Blog

  • Teater Zaman Renaisance Di Ingggris dan Perancis

    Teater Zaman Renaisance Di Ingggris dan Perancis

    Meskipun pemakaian kertas dan penemuan barang metal mempercepat penyebaran ide-idenya dari abad ke-15 dan seterusnya, perubahan Renaisans tidak terjadi secara bersama maupun dapat dirasakan di seluruh Eropa. Hal ini juga terjiad pada teater zaman Renaisance.

    Zaman Renaisans (Renaissance) kadang disebut juga sebagai zaman pencerahan dimana muncul sebuah gerakan massive sejak abad 14 sampai 17. Gerakan dimulai dari Itali dan dianggap sebagai akhir dari masa kegelapan Eropa dimana pemikiran Eropa pada masa itu diselimuti doktrin dan dogma.

    Teater Zaman Renaisance

    Sesudah mengalami masa kebudayaan tradisional yang sepenuhnya diwarnai oleh ajaran Kristiani, orang-orang kini mencari orientasi dan inspirasi baru sebagai alternatif dari kebudayaan Yunani-Romawi sebagai satu-satunya kebudayaan lain yang mereka kenal dengan baik. Kebudayaan klasik ini dipuja dan dijadikan model serta dasar bagi seluruh peradaban manusia.

    Dalam dunia politik, budaya Renaissance berkontribusi dalam pengembangan konvensi diplomasi, dan dalam ilmu peningkatan ketergantungan pada sebuah observasi. Sejarawan sering berargumen bahwa transformasi intelektual ini adalah jembatan antara Abad Pertengahan dan sejarah modern. Meskipun Renaissance dipenuhi revolusi terjadi di banyak kegiatan intelektual, serta pergolakan sosial dan politik, Renaissance paling dikenal karena perkembangan artistik dan kontribusi dari polimatik seperti Leonardo da Vinci dan Michelangelo, yang terinspirasi dengan istilah “manusia Renaissance”.

    Ada konsensus bahwa Renaissance dimulai di Florence, Italia, pada abad ke-14.Berbagai teori telah diajukan untuk menjelaskan asal usulnya dan karakteristik, berfokus pada berbagai faktor termasuk kekhasan sosial dan kemasyarakatan dari Florence pada beberapa waktu; struktur politik; perlindungan keluarga dominan, Wangsa Medici;. dan migrasi sarjana Yunani dan terjemahan teks ke bahasa Italia setelah Kejatuhan Konstantinopel di tangan Turki Utsmani.

    Istilah Renaissance pertama kali disebut oleh Vasari, kemudian Michelet. Pada 1860 Jacob Burckhardt kembali memperkenalkan istilah tersebut dalam karyanya: Die cultuur der Renaissance in Italien. Sejak tahun 1860 itulah istilah renaissance populer dipergunakan. Jacob Burckhardt mendefinisikan Renaissance sebagai kelahiran kembali kebudayaan Yunani-Romawi klasik dan memandang bahwa kebudayaan klasik sebagai contoh yang mulia.

    Teater Zaman Renaisance Di Ingggris (th. 1500 M – th.1700 M)

    Kejayaan teater di zaman Yunani kuno lahir kembali di zaman Renaissance di Inggris. Disana muncul dramawan-dramawan besar seperti yang paling terkenal hingga sekarang adalah Williams yang lahir pada tahun 1564 dan wafat pada tahun 1616). Beberapa karyanya diterjemahkan oleh Trisno Sumardjo, di antaranya; Romeo & Juliet, Hamlet, Prahara, Machbeth, dll.

    Teater Zaman Renaisance Di Perancis (th. 1500 M – th.1700 M)

    Bangsa Perancis juga tidak ketinggalan, mereka mengambil hikmah dari kejayaan teater Yunani kuno. Mereka menamakannya sebagai “neo klasik” yang berarti klasik baru. Di mana mereka kemudian memberi jiwa baru kepada gaya klasik Yunani kuno. Yaitu gaya yang lebih halus, anggun dan mewah. Di zaman itu muncullah Moliere yang lahir pada tahun 1622 M dan wafat pada tahun 1673 M.

    Sebagaimana Williams Shakespeare, Moliere juga mengarang dan mementaskan hasil karyanya sendiri, sekaligus menjadi pemeran utamanya. Beberapa karya Moliere juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, di antaranya: Dokter Gadungan, Si Bakhil, Akal Bulus Scapin, dan lain-lain.

  • Eudonisme

    Eudemonisme

    Pandangan ini diungkapkan oleh Aristoteles (384-322 S.M.), yakni seorang tokoh filsuf dari Yunani. Dalam bukunya, Ethika Nikomakheia ia menegaskan bahwa dalam setiap kegiatannya manusia mengejar suatu tujuan yang baik bagi dirinya. Sering kali juga kita mencari suatu tujuan untuk mencapai suatu tujuan lain. Menurut Aristoteles, semua orang akan menyetujui bahwa tujuan tertinggi adalah kebahagian (eudaimonia). Tetapi jika semua orang mudah menyepakati kebahagian sebagai tujuan terakhir dari hidup manusia, itu belum memecahkan semua  kesulitan, karena dengan kebahagiaan mereka mengerti banyak hal yang berbeda-beda. Ada yang menganggap status sosial adalah kebahagiaan, ada yang menganggap kekayaan adalah kebahagiaan. Namun menurut Aristoteles, semua hal itu tidak bisa diterima sebagai tujuan terakhir. Seseorang mencapai tujuan akhir dengan menjalankan fungsinya dengan baik. Dengan begitu, manusia akan mencapai tujuan terakhirnya atau kebahagiaan. Aristoteles mengatakan fungsi khas yang juga keunggulan seorang manusia adalah rasio atau akal budi. Keunggulan ini tidak dimiliki makhluk-makhluk lain di bumi.  Keunggulan ini memungkinkan manusia mencapai kebahagiaan dengan menjalankan secara paling baik kegiatan-kegiatan rasionalnya.

    Kegiatan-kegiatan rasional harus dilakukan dengan disertai keutamaan. Aristoteles membaginya menjadi dua macam keutamaan :keutamaan intelektual dan keutamaan moral. Keutamaan intelektual menyempurnakan langsung rasio itu sendiri. Sedangkan keutamaan moral rasio menjalankan pilihan-pilihan yang perlu diadakan dalam kehidupan sehari-hari. Keutamaan seperti keberanian, pengendalian diri, kemurahan hati adalah pilihan yang dilaksanakan oleh rasio. Rasio menentukan jalan tengah antara dua ekstrem yang berlawanan. Dengan kata lain, keutamaan adalah keseimbangan antara kurang dan terlalu banyak. Misalnya keberanian adalah keutamaan yang memilih jalan tengah antara sikap gegabah dan sikap pengecut. Keutamaan yang menentukan jalan tengah disebut Aristoteles sebagai Phronesis (kebijaksanaan praktis). Keutamaan ini merupakan inti seluruh kehidupan moral.

    Keutamaan muncul jika kita bisa mengadakan pilihan rasional dan menentukan jalan tengah  antara ekstrem-ekstrem dengan suatu sikap yang tetap. Menurut Aristoteles, manusia adalah baik dalam arti moral, jika selalu mengadakan pilihan-pilhan rasional yang tepat dalam perbuatan-perbuatan moralnya dan mencapai keunggulan dalam penalaran intelektual.

    Apa yang menjadi kelemahan pandangan itu, khususnya dalam kaitannya dengan keutamaan?

    1. Kelemahan ajaran Aristoteles ini adalah daftar keutamaan yang disebut oleh Aristoteles bukan merupakan hasil pemikirannnya sendiri tetapi mencerminkan pandangan etis dari masyarakat Yunani pada waktu itu dan lebih khusus lagi mencerminkan golongan atas dalam masyarakat Athena.Selain itu dalam setiap kebudayaan dan setiap periode sejarah akan memiliki keutamaan-keutamaan sendiri, yang belum tentu sama dalam kebudayaan atau periode sejarah lain.
    2. Kritik lain adalah menyangkut pemikiran Aristoteles tentang keutamaan sebagai jalan tengah antara dua ekstrem. Apakah keutamaan selalu merupakan jalan tengah antara “kurang” dan “terlalu banyak”. Misalnya keutamaan seperti pengendalian diri. Aristoteles mengalami kesulitan dalam menjaelaskan keutamaan ini. Perbuatan makan terlalu banyak bertentangan dengan keutamaan pengendalian diri. Tapi jika manusia mekan terlalu sedikit apakah itu bisa disebut sebagai pelanggaran keutamaan?. Agaknya sulit dikatakan demikian, karena perbuatan seperti berpuasa justru dianggap sebagai bentuk pelaksanaan pengendalian diri.
    3. Dalam ajaran Aristoteles ini, kita belum bisa melihat paham hak manusia dan persamaan hak semua manusia. Karena, ia malah membenarkan secara rasional bahwa beberapa manusia menurut kodratnya adalah budak. Tapi yang harus ditekankan disini adalah pandangan Aristoteles muncul pada zaman Yunani kuno.
    4. Etika Aristoteles dan ajarannya tentang keutamaan tidak begitu berguna untuk memecahkan dilema moral besar yang kita hadapi sekarang misalnya, resiko penggunaan tenaga nuklir,bayi tabung, percobaan medis dengan embrio, dan sebagainya. Pandangan Aristoteles tentang keutamaan lebih cocok untuk menilai kadar  moral seseorang berdasarkan perbuatan-perbuatannya, termasuk hidup moralnya sebagai keseluruhan.
  • Teori Belajar Trial and Error – Edward Lee Thorndike

    Teori Belajar Trial and Error – Edward Lee Thorndike

    Teori belajar trial and error adalah teori belajar yang dikemukakan oleh Edward Lee Thorndike. Hal ini membuat teori ini juga dikenal sebagai Teori Belajar Thorndike.

    Teori Belajar Trial and Error

    Thorndike adalah seorang psikolog pendidikan kelahiran Williamsburg, Massachusetts 13 Agustus 1874. Thorndike banyak mengkaji tentang psikologi pendidikan, perilaku verbal, psikologi komparatif dan sosio psikologis. Teori belajar Trial and Error sendiri ia kemukanan sebagai hasil dari riset mengenai mental telepati pada anak-anak. Setelah berhasil menguji coba teori pada anak-anak, Thorndike kemudian mengujikan teori pada hewan seperti ayam, kucing, tikus, anjing, kera dan ikan. Hasil percobaannya menunjukkan bahwa terdapat perilaku yang sama antara hewan dan manusia dalam belajar. Persitiwa ini disebut sebagai Incremnetal.


    Connectionism

    Asosiasi antara kesan indrawi dan impuls dengan tindakan sebagai ikatan/kaitan atau koneksi atau dengan kata lain hubungan antara S dan R, bukan hanya kondisi stimulus dan tendensi untuk merespon.

    Selecting and Connecting

    Bentuk paling dasar dari proses belajar menurut Thorndike adalah trial and error learning (belajar dengan uji coba), atau yang bisa juga disebut selecting and connecting (pemilihan dan pengaitan). Thorndike mendapatkan ide ini melalui eksperimen awalnya yang memasukkan hewan ke dalam perangkat yang telah ditata sedemikian rupa sehingga ketika hewan itu melakukan jenis respons tertentu ia bisa keluar dari perangkat tersebut. Dari eksperimen ini Thorndike menyimpulkan bahwa selecting and connecting adalah usaha suatu individu untuk dapat menyeleksi cara yang dapat digunakan untuk mencari jalan keluar dari suatu permasalahan, dan menghubungkan kejadian-kejadian yang telah terjadi sebagai suatu patokan untuk dapat menemukan jalan keluar yang benar.

    Learning is Incremental, Not Insightful

    Thorndike menyimpulkan bahwa belajar bersifat incremental (bertahap), bukan insightful (langsung ke pengertian). Dengan kata lain belajar itu melalui tahap-tahap yang sistematis, tidak langsung melompat ke pengertian mendalam. Belajar yang dilakukan secara bertahap akan membutuhkan waktu yang lama tetapi menunjukkan kesuksesan yang relatif stabil. Tetapi jika belajar dilakukan dengan langsung ke pengertian, maka waktu yang dibutuhkan hanya sedikit tetapi kesuksesannya relatif tidak stabil.

    Learning Not Mediated by Ideas

    Berdasarkan risetnya, Thorndike juga menyimpulkan bahwa belajar adalah bersifat langsung dan tidak dimediasi oleh pemikiran atau penalaran. Thorndike menolak campur tangan nalar dalam belajar dan ia lebih mendukung tindakan seleksi langsung dan pengaitan dalam belajar.

    Semua Mamalia Belajar dengan Cara yang Sama

    Menurut Thorndike, proses belajar pada semua mamalia termasuk manusia, mengikuti kaidah yang sama, tetapi proses belajar pada manusia akan lebih rumit dan maju, seperti adanya akuisisi keterampilan memainkan biola, pengetahuan hitungan kalkulus, atau penemuan mesin-mesin.

    Law of Readiness

    Law of readiness (hukum kesiapan) yang dikemukakan Thorndike mengandung tiga bagian, yaitu:

    1. Apabila seseorang siap untuk berperilaku (to conduct), maka perilaku akan sangat memuaskan.
    2. Apabila seseorang siap untuk berprilaku, tapi tidak melakukannya akan sangat menganggu.
    3. Apabila seseorang belum siap untuk berperilaku dan dipaksa untuk berperilaku, maka melakukannya akan sangat menganggu.

    Law of Exercise

    Hukum law of exercise (hukum latihan) yang dikemukakan Thorndike terdiri dari dua bagian, yaitu:

    1. Koneksi antara stimulus dan respons akan menguat saat keduanya digunakan. Dengan kata lain, melatih koneksi (hubungan) antara situasi yang menstimulasi dengan suatu respons akan memperkuat koneksi diantara keduanya. Hukum latihan ini dinamakan law of use (hukum penggunaan).
    2. Koneksi antara situasi dan respon akan melemah apabila hubungan dihentikan atau jika ikatan neural tidak digunakan. Hukum ini dinamakan law of disuse (hukum ketidakgunaan).

    Law of Effect

    Hukum efek yang digagas oleh Thorndike adalah penguatan atau pelemahan dari suatu koneksi antara stimulus dan respon sebagai akibat konsekuensi dari respon. Jika suatu respon diikuti dengan keadaan yang menyenangkan, kekuatan koneksi akan bertambah dan lebih cenderung akan terulang kembali. Jika respon diikui dengan keadaan yang buruk, kekuatan koneksi akan menurun dan memungkinkan untuk perilaku respon tidak mengulang kembali.

    DAFTAR PUSTAKA

    Hergenhahn, B.R. & Oslon, Matterhew H. (2009). An Introduction to Theories of Learning (Teori Belajar). Terjemahan oleh Tri Wibowo B.S. 2008. Jakarta: Kencana.

    Mount, Julie, dkk. 2007. Trial and Error versus Errorless Learning of Functional Skills in Patient with Acute Stroke. Jurnal NeuroRehabilitation.(Online), Jilid 22, No.2, hal. 123-132, (http://iospress.metapress.com/content/ v132145056w10753, diakses 7 Maret 2010).

  • Teori Belajar Sosial – Albert Bandura

    Albert Bandura lahir 4 Desember 1925 di kota kecil Mundare bagian selatan Alberta, Kanada. dia melewati pendidikan dasarnya dengan fasilitas pendidikan yang sangat terbatas namun dengan hasil rata-rata yang sangat memuaskan. Dia menerima gelar sarjana muda bidang psikologi dari University of British of Columbia tahun 1949 kemudian masuk Universuty of Ioa dan mendapat gelar Ph.D tahun 1952. Sejak saat itulah dia menjadi sangat berpengaruh dalam tradisi behaviorist dan teori pembelajaran. Tahun 1953 dia mulai mengajar di Stanford University. Disini dia bertemu dengan Richard Walters anak didiknya dan mereka bekerjasama membuat buku berjudul Adolescent Aggression terbit tahun 1959.

    Bandura menjadi presiden APA pada tahun 1973 dan menerima APA awards atas jasa-jasanya dalam Distinguished Scientific Contributions tahun 1980. Sampai sekarang dia masih dia masih mengajar di Stanford University. 

    Prinsip Dasar Teori Bandura

    Albert Bandura adalah tokoh yang berpengaruh dalam tradisi behavioris dan pembelajaran. Karena behaviorisme lebh menekankan pada metode eksperimental, maka yang jadi pusat perhatiannya adalah variable-variabel yang dapat diamati, diukur dan dimanipulasi serta menghindari apaun yang bersifat subjektif, mental dan tidak bisa diamati secara empiris. Yang menjadi prosedur standar dalam eksperimental adalah bagaimana memanipulasi satu variabel kemudian mengukur pengaruhnya terhadap variabel-variabel yang lain. Dari proses semacam inilah lahir teori kepribadian yang menyatakan lingkungan tempat seseorang pasti membentuk dan mempengaruhi perilakunya. 

    Bandura mengaggap prosedur yang telah ada terlalu sederhana untuk kasus kenakalan remaja yang sedang ditelitinya. Untuk itu dia menambahinya dengan rumusan baru. Menurutnya, lingkungan memang membentuk perilaku namun perilaku juga membentuk lingkungan. Konsep ini dia namakan dengan resiprokal determinism, yaitu dunia dan perilaku seseorang itu saling memengaruhi. Bandura juga memandang kepribadian sebagai interaksi dari tiga hal yaitu: lingkungan, perilaku dan proses psikologi seseorang. Proses psikologis ini berisi kemampuan kita untuk memuaskan berbagai citra (image) dalam pikiran dan bahasa kita. Dengan menambahkan perumpamaan bahasa kedalam tiga hal yang membentuk perilaku tadi, memungkinkan Bandura mengeluarkan teori yang lebih efektif tentang dua hal yang menurut orang selama ini paling memengaruhi perilaku manusia:

    1. Pembelajaran observasional
    2. Regulasi-diri

    Teori-teori Bandura tersebut lebih efektif daripada teori Skinner dan Hull karena Bandura memandang teori teori Skinner dan Hull terlalu bergantung pada reinforcement. Jika setiap unit respon sosial yang kompleks harus dipilah-pilah untuk di reinforce satu per satu bisa jadi orang malah tidak belajar apapun. Menurutnya reinforcement penting dalam menentukan apakah suatu tingkah laku akan terus terjadi atau tidak, tetapi itu bukan satu-satunya pembentuk tingkah laku. Seseorang dapat belajar melakukan sesuatu hanya dengan mengamati dan kemudian mengulang apa yang dilihatnya. Belajar melalui observasi tanpa ada reinforcement yang terlibat, berarti tingkah laku ditentukan oleh antisipasi konsekwensi, itu merupakan pokok teori belajar sosial.

    Struktur Kepribadian

    Bandura adalah salah satu tokoh behaviorist yang meyakini bahwa kepribadian adalah keseluruhan dari cara bagaimana kita mempunyai kemampuan untuk berpikir,merasa dan bertindak. Struktur kepribadian menurutnya terdiri dari tiga hal :

    1. Sistem self. 

    Bagi Bandura pengaruh yang ditimbulkan oleh self sebagai salah satu determinan tingkah laku tidak dapat dihilangkan tanpa membahayakan penjelasan dan kekuatan peramalan. Dengan kata lain, self diakui sebagai unsur struktur kepribadian. Determinism reciprocal menempatkan semua hal saling berinteraksi, dimana pusat atau pemulanya adalah sistem self. Sistem self itu bukan unsur psikis yang mengontrol tingkah laku, tetapi mengacu pada struktur kognitif yang memberikan pedoman mekanisme dan seperangkat fungsi-fungsi persepsi, evaluasi, dan pengaturan tingkah laku. Pengaruh self tidak otomatis (mengatur tingkah laku secara otonom), tetapi self menjadi bagian dari sistem interaksi resiprokal. 

    2. Regulasi Diri

    Manusia mempunyai kemampuan berpikir, dan dengan kemampuan itu mereka memanipulasi lingkungan sehingga terjadi perubahan lingkungan akibat kegiatan manusia. Menurut Bandura, strategi reaktif dan proaktif akan terjadi dalam regulasi diri. Strategi reaktif dipakai untuk mencapai tujuan. Ketika tujuan hampir tercapai, strategi proaktif berperan untuk menentukan tujuan baru yang lebih tinggi. Orang memotivasi dan membimbing tingkah lakunya sendiri melalui strategi proaktif, menciptakan ketidakseimbangan, agar dapat memobilisasi kemampuan dan usahanya berdasarkan antisipasi apa saja yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Ada tiga proses yang dipakai untuk melakukan pengaturan diri, yaitu :

    1. Memanipulasi faktor eksternal 
    2. Memonitor tingkah laku internal
    3. Mengevaluasi tingkah laku internal

    Tingkah laku manusia ini adalah hasil pengaruh resiprokal dari faktor internal dan faktor eksternal. Ada dua faktor yang mempengaruhi dalam proses regulasi diri yaitu factor eksternal dan faktor internal.

    A. Faktor Eksternal Dalam Regulasi Diri

    Faktor eksternal mempengaruhi regulasi diri dengan dua cara, yaitu :

         1. Faktor eksternal memberi standar untuk mengevaluasi tingkah laku 

    Faktor lingkungan berinteraksi dengan pengaruh – pengaruh pribadi untuk membentuk standar evaluasi diri seseorang. Melalui orang tua dan guru, anak-anak belajar baik-buruk, serta tingkah laku yang dikehendaki dan tidak dikehendaki. Melalui pengalaman yang berinteraksi dengan lingkungan yang lebih luas, anak kemudian mengembangkan standar yang dipakai untuk menilai prestasi diri.

         2. Faktor eksternal mempengaruhi regulasi diri dalam bentuk penguatan (reinforcement).

    Hadiah intrinsik tidak selalu memberikan kepuasan kepada seseorang. Oleh karena itu, seseorang membutuhkan insentif yang berasal dari lingkungan eksternal. Standar tingkah laku dan penguatan biasanya saling berhubungan. Ketika orang dapat mencapai standar tingkah laku tertentu, perlu penguatan agar tingkah laku semacam itu menjadi pilihan untuk dilakukan lagi. 

    B. Faktor Internal Dalam Regulasi Diri

    Bandura mengemukakan tiga bentuk pengaruh internal yaitu :

         1. Observasi diri (Self Observation) 

    Observasi diri ini dilakukan berdasarkan faktor kualitas penampilan, kuantitas penampilan, orisinalitas tingkah laku diri, dan seterusnya. Orang harus mampu memonitor perfomansinya walaupun tidak sempurna karena orang cenderung memilih beberapa aspek dari tingkah lakunya dan mengabaikan tingkah laku lainnya. Apa yang diobservasi seseorang tergantung pada minat dan konsep diri.

         2. Proses penilaian atau mengadili tingkah laku (Judgemental Process)

    Adalah melihat kesesuaian tingkah laku dengan standar pribadi, membandingkan tingkah laku dengan norma standar atau dengan tingkah laku orang lain, menilai berdasarkan pentingnya suatu aktivitas, dan memberi atribusi perfomansi. Standar pribadi bersumber dari pengalaman mengamati model, misalnya orang tua atau guru, dan menginterpretasikan balikan atau penguatan dari performansi diri. Berdasarkan sumber model dan performansi yang mendapat penguatan, proses kognitif menyusun ukuran-ukuran atau norma yang sifatnya sangat pribadi, karena ukuran itu tidak selalu sinkron dengan kenyataan. Standar pribadi ini jumlahnya terbatas. Sebagian besar aktivitas harus dinilai dengan membandingkannya sesuai ukuran eksternal, bisa berupa normal standar, perbandingan sosial, perbandingan dengan orang lain, atau perbandingan kolektif. Orang juga menilai suatu aktivitas berdasarkan arti penting dari aktivitas itu sendiri bagi dirinya. Akhirnya, orang juga menilai seberapa besar dirinya menjadi penyebab dari suatu performansi, apakah diri sendiri dapat dikenai atribusi (penyebab) tercapainya performansi yang baik atau sebaliknya justru dikenai atribusi terjadinya kegagalan dan performansi yang buruk.

          3. Reaksi – Diri – Afektif (Self Response)

    Berdasarkan pengamatan judgement itu, orang mengevaluasi diri sendiri (positif atau negatif), dan kemudian menghadiahi atau menghukum diri sendiri. Reaksi afektif bisa jadi tidak muncul karena fungsi kognitif membuat keseimbangan yang mempengaruhi evaluasi positif atau negatif menjadi kurang bermakna secara individual.

    3. Efikasi Diri (Self Effication)

    Bagaimana orang bertingkah laku dalam situasi tertentu tergantung kepada resiprokal antara lingkungan dengan kondisi kognitif, khususnya faktor kognitif yang berhubungan dengan keyakinannya bahwa dia mampu atau tidak mampu melakukan tindakan yang memuaskan. Bandura menyebut keyakinan atau harapan diri ini sebagai efikasi diri, dan harapan hasilnya disebut ekspektasi hasil.

         1. Efikasi diri atau efikasi ekspektasi (self effication – efficacy expectation)

    Adalah persepsi diri sendiri mengenai seberapa bagus diri dapat berfungsi dalam situasi tertentu. Efikasi diri berhubungan dengan keyakinan bahwa diri memiliki kemampuan melakukan tindakan yang diharapkan.

         2. Ekspektasi hasil (outcome expectations)

    Adalah perkiraan atau estimasi diri bahwa tingkah laku yang dilakukan diri itu akan mencapai hasil tertentu.

         Sumber Efikasi Diri

    Perubahan tingkah laku dalam system Bandura kuncinya adalah perubahan ekspektasi efikasi (efikasi diri). Efikasi diri atau keyakinan kebiasaan diri itu dapat diperoleh, diubah, ditingkatkan atau diturunkan, melalui salah satu atau kombinasi empat sumber, yaitu :

         1. Pengalaman menguasai suatu prestasi (performent accomplishment)

    Adalah prestasi yang pernah dicapai pada masa lalu. Performansi masa lalu menjadi pengubah efikasi diri yang paling kuat pengaruhnya. Prestasi (masa lalu) yang bagus meningkatkan ekspektasi efikasi, sedangkan kegagalan menurunkan efikasi.

         2. Pengalaman vikarius (vicarious experience)

    Pengalaman vikarius ini diperoleh dari model social. Efikasi akan meningkat ketika mengamati keberhasilan orang lain, sebaliknya efikasi akan menurun jika mengamati orang yang kemampuannya kira-kira sama dengan dirinya ternyata gagal. Kalau figure yang diamati berbeda dengan diri si pengamat, pengaruh vikarius tidak besar. Sebaliknya, ketika mengamati kegagalan figure yang setara dengan dirinya, bisa jadi orang tidak mau mengerjakan apa yang pernah gagal dikerjakan figure yang diamatinya itu dengan jangka waktu yang lama.

          3. Persuasi sosial (social persuation)

    Efikasi diri juga dapat diperoleh, diperkuat atau dilemahkan melalui persuasi sosial. Dampak dari sumber ini terbatas, tetapi pada kondisi yang tepat, persuasi dari orang lain dapat mempengaruhi efikasi diri. Kondisi itu adalah rasa percaya pada pemberi persuasi dan sifat realistik dari apa yang dipersuasikan. 

          4. Pembangkitan emosi (emotional / psychological states)

    Keadaan emosi yang mengikuti suatu kegiatan akan mempengaruhi efikasi di bidang kegiatan itu. Emosi yang kuat, takut, cemas, stress, dapat mengurangi efikasi diri.

          Efikasi Diri sebagai Prediktor Tingkah Laku

    Menurut Bandura, sumber pengontrol tingkah laku adalah resiprokal antara lingkungan, tingkah laku, dan pribadi. Efikasi diri merupakan variabel pribadi yang penting, yang kalau digabung dengan tujuan – tujuan spesifik dan pemahaman mengenai prestasi, akan menjadi penentu tingkah laku mendatang yang penting. Berbeda dengan konsep diri Rogers yang bersifat kesatuan umum, efikasi diri bersifat fragmental. Setiap individu mempunyai efikasi diri yang berbeda – beda tergantung kepada :

    1. Kemampuan yang dituntut oleh situasi yang berbeda 

    2. Kehadiran orang lain, khususnya saingan dalam situasi itu

    3. Keadaan fisiologis dan emosional, seperti kelelahan, kecemasan, apatis, murung.

    Efikasi yang tinggi atau rendah, dikombinasikan dengan lingkungan yang responsif atau tidak responsif, akan menghasilkan empat kemungkinan prediksi tingkah laku, yaitu :

    EfikasiLingkunganPrediksi Hasil Tingkah Laku
    TinggiResponsifSukses, melaksanakan tugas yang sesuai dengan kemampuannya.
    RendahTidak responsifDepresi, melihat orang lain sukses pada tugas yang dianggapnya sulit.
    TinggiTidak responsifBerusaha keras mengubah lingkungan menjadi responsif melakukan protes, aktivitas sosial, bahkan memaksakan perubahan.
    RendahResponsifOrang menjadi apatis, merasa tidak mampu, pasrah.

    Efikasi Kolektif (Collective Efficacy)

    Keyakinan masyarakat bahwa usaha mereka secara bersama – sama dapat menghasilkan perubahan sosial tertentu disebut efikasi kolektif. Bandura berpendapat bahwa orang berusaha mengontrol kehidupan dirinya bukan hanya melalui efikasi diri individual, tetapi juga melalui efikasi kolektif. Efikasi diri dan efikasi kolektif bersama – sama saling melengkapi untuk mengubah gaya hidup manusia. Efikasi kolektif timbul berkaitan dengan masalah – masalah perusakan hutan, kebijakan perdagangan internasional, perusakan ozon, kemajuan teknologi, hukum dan kejahatan, birokrasi, perang, kelaparan, bencana alam, dsb.

    DINAMIKA KEPRIBADIAN

    Motivasi merupakan konstruk kognitif yang mempunyai dua sumber, yaitu: 

    – gambaran hasil pada masa yang akan dating

    – harapan keberhasilan didasarkan pada pengalaman menetapkan dan mencapai tujuan-tujuan antara.

    Harapan untuk mendapatkan reinforcement pada masa yang akan dating memotivasi seseorang untuk bertingkah laku tertentu. Juga dengan menetapkan tujuan atau tingkat performansi yang diinginkan dan kemudian mengevaluasi performansi dirinya, seseorang termotivasi untuk bertindak pada tingkat tertentu. Terus menerus mengamati, memikirkan, dan menilai tingkah laku diri akan memberi insentif-diri sehingga bertahan dalam berusaha mencapai standar yang telah ditentukan.

    Walaupun Bandura setuju dengan penguatan (reinforcement) menjadi penyebab belajar, namun menurutnya seseorang juga dapat belajar dengan

    · penguatan yang diwakilkan (vicarious reinforcement), yaitu kepuasan yang didapat seseorang ketika  mengamati orang lain yang sedang mendapat penguatan membuatnya ikut berusaha belajar gigih agar menjadi seperti orang itu

    · penguatan yang ditunda (expectation reinforcement), yaitu ketika seseorang terus menerus berbuat tanpa mendapat penguatan, karena yakin akan mendapat penguatan yang sangat memuaskan pada masa yang akan datang

    · tanpa penguatan (beyond reinforcement), yaitu belajatr tanpa adanya penguatan sama sekali sperti konsep otonomi fungsional dari Allport.

    Ekspektasi penguatan dapat dikembangkan dengan mengenali dampak dari tingkah laku orang lain yang ada di lingkungan sosial, mengganjar dan menghukum tingkah lakunya sendiri. Seseorang mengembangkan standar pribadi berdasarkan standar sosial melalui interaksinya dengan orang tua, guru, dan teman sebaya. Seseorang dapat mengganjar dan menghukum tingkah lakunya sendiri dengan menerima diri atau mengkritik diri sendiri. Penerimaan dan kritik diri penting perannya dalam membimbing tingkah laku, sehingga tingkah laku seseorang menjadi tetap (konsisten), tidak terus-menerus berubah akibat adanya perubahan sosial.

    PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN

    Belajar melalui observasi

    Menurut Bandura, kebanyakan belajar terjadi tanpa reinforsmen yang nyata. Dalam penelitian yang dilakukannya, ternyata orang dapat mempelajari respon baru dengan melihat respon dari orang lain, bahkan belajar tetap terjadi tanpa ikut melakukan hal yang dipelajari itu, dan model yang diamatinya juga tidak mendapat reinforsmen dari tingkah lakunya. Belajar melalui observasi jauh lebih efisien dibanding belajar melalui pengalaman langsung. Melalui observasi orang dapat memperoleh respon yang tidak diikuti dengan hubungan atau penguatan.

    A. Peniruan (Modelling)

    Hasil gambar untuk bandura modeling

    Inti dari belajar melalui observasi adalah modeling. Peniruan atau meniru sesungguhnya tidak tepat untuk mengganti kata modeling, karena modeling bukan sekedar menirukan atau mengulangi apa yang dilakukan orang lain (model), tetapi modeling juga melibatkan penambahan bahkan pengurangan tingkah laku yang diamati, menggeneralisir berbagai pengamatan sekaligus, melibatkan proses kognitif. 

    B. Modeling tingkah laku baru

    Melalui modeling orang dapat memperoleh tingkah laku baru. Ini dimungkinkan karena adanya kemampuan kognitif. Stimuli berbentuk tingkah laku model do transformasi menjadi gambaran mental, dan yang lebih penting lagi ditarnsformasi menjadi simbol verbal yang dapat diingat kembali suatu saat nanti. Ketrampilan kognitif yang bersifat simbolik ini, membuat orang dapat mentransform apa yang dipelajarinya atau menggabung-gabung apa yang diamatinya dalam berbagai situasi menjadi pola tingkah laku baru.

    Contoh: Seorang anak petani belajar mencangkul tentu saja dari apa yang dia lihat ketika ayahnya sedang bekerja (mencangkul sawah)

    C. Modeling mengubah tingkah laku lama

    Di samping dampak mempelajari tingkah laku baru, modeling mempunyai dua macam dampak terhadap tingkah laku lama. Pertama, tingkah laku model yang diterima secara sosial dapat memperkuat respon yang sudah dimiliki pengamat. Kedua, tingkah laku model yang tidak diterima secara sosial dapat memperkuat atau memperlemah pengamat untuk melakukan tingkah laku yang diterima secara sosial, tergantung apakah tingkah model itu diganjar atau dihukum. Kalau tingkah laku yang tidak dikehendaki itu justru diganjar, pengamat cenderung meniru tingkah laku itu, sebaliknya kalau tingkah laku yang tidak dikehendaki itu dihukum, respon pengamat menjadi semakin lemah.

    D. Modeling Simbolik

    Dewasa ini sebagian besar modeling berbentuk simbolik. Contohnya Film dan telivisi menyajikan contoh tingkah laku yang tak terhitung yang mungkin mempengaruhi pengamatnya. Hal yang disajikan oleh media berpotensi sebagai model tingkah laku..

    E. Modeling kondisioning

    Modeling dapat digabung dengan kondisioning klasik menjadi kondisioning klasik vikarius. Modeling semacam ini banyak dipakai untuk mempelajari respon emosional. Pengamat mengobservasi model tingkahlaku emosional yang mendapat penguatan. Muncul respon emosional yang sama di dalam diri pengamat, dan respon itu ditujukan ke objek yang ada di dekatnya (kondisioning klasik) saat dia mengamati model itu, atau yang dianggap mempunyai hubungan dengan objek yang menjadi sasaran emosional model yang diamati.

    Contoh: 

    – ketika seorang anak melihat acara kekerasan di TV, seperti Smack Down. Maka anak tersebut akan mempraktekkan apa yang dilihatnya dengan teman dekatnya.

    – ketika seorang yang terbiasa melihat film porno, maka anak tersebut akan menirukan adegan film tersebut dengan orang yang ada didekatnya.

    Faktor-faktor penting dalam belajar melalui observasi 

    Belajar melalui observasi memerlukan beberapa aktor atau prakondisi. Menurut Bandura, ada empat proses yang penting agar belajar melalui observasi dapat terjadi, yakni:

    1. perhatian (attention process)

    sebelum meniru orang lain, perhatian harus dicurahkan ke orang yang kita tiru. Perhatian ini dipengaruhi oleh asosiasi pengamat dengan modelnya, sifat model yang atraktif, dan arti penting tingkah laku yang diamati bagi si pengamat.

    2. Representasi (representation process)

    Tingkah laku yang akan ditiru, harus disimbolkan dalam ingatan. Baik dalam bentuk verbal maupun dalam bentuk gambaran/imajinasi. Representasi verbal memungkinkan orang mengevaluasi secara verbal tingkahlaku yang diamati, dan menentukan mana yang dibuang dan mana yang akan dicoba dilakukan. Representasi imajinasi memungkinkan dapat dilakukannya latihan simbolik dalamfikiran, tanpa benar-benar melakukannya secara fisik. 

    3. peniruan tingkah laku model (behavior production process)

    Sesudah mengamati dengan penuh perhatian dan memasukkannya ingatan, orang lalu bertingkah laku. Mmengubah dari gambaran fikiran menjadi tingkah laku menimbulkan kebutuhan evaluasi. Seperti timbul fikiran dalam diri kita bagaimana melakukannya?, apa yang harus dikerjakan, apakah sudah benar?, dll. 

    4. motivasi dan penguatan (motivation and reinforcemen process)

    Belajar melalui pengamatan menjadi efektif kalau pembelajar memiliki motivasi yang tinggi untuk dapat melakukan tingkah laku modelnya. Observasi munkin memudahkan orang untuk menguasi tingkah laku tertentu, tetapi kalau motivasi itu tidak ada maka tidak bakal terjadi proses belajar. Imitasi lebih kuat terjadi pada tingkah laku model yang diganjar, daripada tingkah laku yang dihukum. Imitasi tetap terjadi walaupun model tidak diganjar, sepanjang pengamat melihat model mendapat ciri-ciri positif yang menjadi tanda dari gaya hidupa yang berhasil, sehingga diyakini model umumnya akan diganjar. 

    Motivasi banyak ditentukan oleh kesesuaian antara karekteristik pribadi pengamat dengan karakteristik modelnya. Ciri-ciri model seperti usi, status sosial, seks, keramahan, dan kemampuan penting dalam menentukan tingkat imitasi. Anak lebih senang meniru model seusianya daripada model model dewasa. Anak juga cenderung meniru model yang standar prestasinya dalam jangkauannya, alih-alih model yang standarnya diluar jangkauannya. Anak yang sangat dependen cenderung mengimitasi model yang dependennya lebih ringan. Imitasi juga dipengaruhi oleh interaksi anatara ciri model dengan observernya. Anak cenderung mengimitasi orang tuanya yang hanagat dan open, gadis lebih mengimitasi ibunya. 

    CONTOH KASUS

    Beberapa media cetak dan elektronik pernah menayangkan berita tentang seorang anak yang tewas karena dibanting oleh teman sepermainanya. Peristiwa tersebut tidak terjadi karena memang ada permusuhan diantara kedua anak tersebut namun hanya dalam suasana bermain khas anak-anak. Lalu apa yang menyebabkan kedua karib itu saling membanting? Setelah ditelusuri ternyata kedua anak tersebut terinspirasi oleh sebuah tayangan olahraga gulat yang ditayangkan pada saat prime time.

    Peristiwa yang dialami oleh kedua anak tersebut sesuai dengan teori agresi yang dikemukakan oleh Bandura. Menurutnya, agresi didapatkan melalui pengamatan, pengalaman langsung dengan reinforcement positif dan negatif, latihan atau perintah, dan keyakinan yang ganjil. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Bandura, observasi terhadap perilaku agresi akan menghasilkan respon yang berlebihan. Hal itulah yang terjadi pada dua anak yang ‘bertanding’ gulat tersebut.

    DAFTAR PUSTAKA

    Alwisol. (2008). Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press.

    Boeree, George. (2007). Personality Theories. Yogyakarta: Prismasophie

  • Pengukuran Dalam Psikologi

    Pengukuran dalam Ilmu Pengetahuan

    Meskipun pengukuran dalam ilmu pengetahuan punya sejarah yang panjang dibandingkan dengan seratus dan seperempat abad disiplin lama dari psikologi, ilmu pengukuran dan ilmu psikologi sudah tumbuh dan dewasa satu sama lain. Ini dikarenakan ilmu pengukuran menjadi prasyarat, tidak hanya untuk ilmuwan yang melakukan penelitian tetapi juga untuk praktisi yang mencoba untuk menerapkan teori ilmiah dan metode-metode untuk perkembangan sosial dan memperkaya akademik.

    Ilmuwan lebih peduli dengan perkembangan pengetahuan yang obyektif, tepat dan dapat diverifikasi. Untuk memastikan dimensi atau besarnya atau menentukan atribut atau sesuatu dengan presisi, ilmuwan sering melakukan pengukuran. Ini membantu mereka untuk mendapatkan data kuantitatif atau informasi tentang objek-objek, fenomena, sistem atau atribut mereka. Data kuantitatif atau informasi yang dicatat melalui pengukuran adalah lebih tepat dan bermanfaat. Daripada data non-kuantitatif atau informasi yang tidak jelas dan lebih sering menyesatkan. 

    Melalui pengukuran dan kuantifikasi dengan bantuan dan model matematika dan statistik, ilmuwan mampu membedakan objek-objek dari properti-properti mereka dan membangun hubungan di antara mereka dengan tingkatan yang lebih baik dari perbaikan dan ketepatan. Pengukuran dengan demikian adalah salah satu elemen penting dari penyelidikan ilmiah dan penemuan.

    Definisi dan Arti dari Pengukuran

    Stevens (1951) menegaskan pengukuran sebagai “Penetapan angka-angka ke dalam objek-objek atau peristiwa-peristiwa yang sesuai dengan beberapa peraturan”. Meskipun, definisi ini mengandung beberapa asumsi yang melekat, seperti benda-benda atau atribut selalu ada pada beberapa kuantitas yang dapat diukur dan teratur. Juga, atribut-atribut tersebut telah diukur sesuai dengan serangkaian peraturan-peraturan atau kriteria yang diketahui sebagai peraturan-peraturan dalam pengukuran.

    Jadi, pegukuran secara sederhana terdiri dari serangkaian peraturan-peraturan untuk menempatkan angka-angka ke objek-objek untuk menggambarkan kuantitas dari atribut. Meskipun, kita bisa memiliki yang lain dan berbeda dugaan pengukuran. Misalnya, kita dapat menyusun pengukuran sebagai sebuah heuristik ke penelitian sosial karena pengukuran menetapkan sebuah heuristik ke penelitian sosial dan pemahaman dari perilaku sosial.

    Teori-Teori Pengukuran

    Perkembangan dari teori pengukuran masih tergolong asli. Konsep dari pengukuran tumbuh diluar dari evolusi Teori angka-Angka dan aplikasi tersebut dalam pengetahuan fisik. Teori Pengukuran adalah mengutamakan perhatian dengan perkembangan dari ukuran atau sebuah alat dengan dengan bantuan dari sebuah sistem analis atau sebuah penelitian dapat mengukur atribut-atribut dari kesatuan yang telah ada/fenomena/sistem menurut penyelidikan. Itu adalah sebuah proses yang terlibat dalam menetapkan lambang-lambang, hal itu, pemberian angka terhadap orang-orang, objek-objek, peristiwa-peristiwa atau atribut-atribut mereka termasuk dalam peraturan-peraturan sebelumnya. Sebuah peraturan tegas dalam menetapkan lambang-lambang ke dalam satu kesatuan. Padahal peneliti-peneliti fisik menggunakan istilah”properti” untuk menggambarkan kualitas/kuantitas dari beberapa kesatuan fisik, peneliti-peneliti sosial memilih “atribut” untuk menandakan kualitas/kuantitas dari manusia atau fenomena sosial.

    Dalam hal lain, lambang-lambang mempunyai nilai kuantitatif. Lambang-lambang yang digunakan untuk menunjukkan aspek-aspek non kuantitatif dari kesatuan-kesatuan atau atribut mereka disebut dengan numerals. Hal itu berarti bahwa numerals memiliki nilai non kuantitatif. Lambang-lambang yang memperlihatkan nilai kuantitatif disebut numbers, yang memungkinkan kita untuk menggunakan sistem matematika dan sistem statistik untuk tujuan dari penggambaran, analisis, dan prediksi. 

    Jadi, numbers tersebut dapat dipertanggungjawabkan untuk manipulasi sistem statistik dan analisis sistem matematika, yang mana, dalam perubahan, mengungkapkan informasi baru atau fakta-fakta tentang kesatuan-kesatuan, fenomena atau sistem-sistem yang diukur.

    Rules (peraturan-peraturan) merupakan komponen yang paling signifikan dari proses pengukuran karena kualitas dari pengukuran atau bergantung dari hasil sebagian besar proses pengukuran. Rules yang lemah membuat pengukuran tidak memiliki arti dan pasti menyesatkan atau kesimpulan yang menyimpang. Lebih jauh lagi, pengukuran hanya berarti ketika pengukuran berhubungan dengan kenyataan dan kegunaan dari peraturan adalah menghubungkan proses pengukuran pada kenyataan.

    Teori Pengukuran Campbell

    Norman Robert Campbell adalah yang mempublikasikan tulisannya antara tahun 1920-1938, membangun dasar dari teori modern pengukuran. Pada pekerjaannya, dia mendiskusikan permasalahan-permasalahan dari pengukuran sebagai penggunaan untuk bidang ilmu pengetahuan. Menjelaskan apa itu pengukuran, Campbell mengatakan, “Pengukuran adalah proses dari menetapkan angka-angka untuk melambangkan kualitas (properties), objek dari pengukuran adalah untuk memungkinkan senjata yang sangat kuat dari analisis sistem matematika untuk diaplikasikan pada pokok persoalan ilmu pengetahuan” (Campbell, 1960). Pada penjelasannya yang terperinci dan sangat mengagumkan, Campbell menggambarkan bahwa ketika kita menyelidiki atau mengukur objek-objek, kita, pada kenyataannya, menyelidiki atau mengukur properties atau atribut-atribut pada objek-objek tersebut. Contohnya, ketika suatu sikap seseorang diukur, itu sering dianggap salah bahwa orang tersebut telah diukur. Sebenarnya, yang telah diukur ialah sebuah atribut dari seseorang, sikapnya, kepribadian, temperamen, intelegensi, dan sebagainya. Dalam rangka mempromosikan seseorang pada sebuah pekerjaan, kita mencoba untuk mengukur atau menentukan teknik kecakapan atau keahlian. Campbell juga menunjukkan bahwa objek-objek fisik atau fenomena bisa memiliki dua macam sifat : (a) quality-like dan (b) quantity like, bahwa itu adalah adalah salah satu yang mewakili kualitas-kualitas dari objek-objek dan lainnya yang merupakan jumlah objek-objek.

    Sesuai dengan Campbell, pengukuran menggunakan kedua tipe sifat. Tapi, sifat-sifat kuantitatif seperti panjang, berat, volume, tinggi, dan sebagainya, dapat diukur dengan suatu “asas” atau hal yang sebenarnya, hal tersebut tidak membutuhkan pengukuran dari properti-properti (sifat-sifat) yang lain untuk mengukur mereka, dan menerima “orang asing” atau tingkatan level yang tinggi dari pengukuran daripada sifat-sifat kuantitatif. Selain itu, sifat-sifat kualitatif dapat diukur atau ditentukan oleh “perolehan” atau cara yang tidak langsung, yang didasarkan pada pengukuran dari jarak yang lain. 

    Kontribusi Steven

    Setelah Campbell, kontribusi utama dari teori pengukuran telah dibuat oleh S.S. Stevens, Professor Psikologi dari Universitas Harvard. Ketika menyetujui Campbell bahwa pengukuran melibatkan sebuah hubungan dari sistem angka-angka ke pembedaan aspek-aspek dari orang banyak, objek-objek atau peristiwa-peristiwa sesuai untuk satu atau peraturan lainnya, Steven dalam tulisan awalnya, mengajukan pandangan bahwa penetapan numbers atau numerals dibawah perbedaan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah membawaka kita pada beberapa jenis skala dari pengukuran, yaitu Skala Nominal, Skala Ordinal, Skala Interval, dan Skala Ratio. Kemudian, dia mengemukakan jenis lain dari skala yang disebut Skala Interval Logaritma, yang menurutnya dapat memperoleh hasil yang tepat.

    TIPE-TIPE SKALA PENGUKURAN 

    Steven bermaksud membuat cara-cara untuk mengukur. Walaupun sebagian besar angka dari skala ada dan bisa dibuat untuk mengukur atribut-atribut dari orang-orang, objek-objek, peristiwa-peristiwa, dan sebagainya, semua skala terdiri dari empat tipe dasar, yaitu : 

    Skala Nominal 

    Dengan pengukuran nominal, kita mampu untuk memutuskan apakah pemberian seseorang, objek, fakta atau data ditujukan untuk skala nominal dan dapat memutuskan ekuivalen atau non-ekuivalen diantara benda-benda atau data. Lebih lanjut, pengukuran nominal hanya mengenai diskriminasi dan membandingkan kesatuan-kesatuan atau data sebagai tipe dari kepemilikan karakteristik-karakteristik, daripada derajat kepemilikan karakteristik. 

    Pengukuran nominal adalah sesuatu yang kurang berpengalaman dan dianggap tingkatan paling rendah dalam pengukuran. Pada saat yang sama, itu adsetralah dasar untuk semua tingkatan tertinggi dari pengukuran. 

    Skala Ordinal 

    Pada skala Ordinal, sesuatu atau data disusun dengan tingkatan atribut khusus. Dengan kata lain, kelanjutan Skala Ordinal dari pengukuran, kita mencoba untuk menentukan tingkatan golongan atau ketidaksamaan dari elemen-elemen yang mana angka-angka ditempatkan. Contoh khususnya adalah A lebih besar atau lebih baik atau lebih bermanfaat daripada B, B lebih besar atau lebih baik atau lebih bermanfaat daripada C, dan sebagainya. Seperti hubungan yang digambarkan oleh simbol “>” yang berarti “lebih besar” daripada dalam referensi ke atribut-atribut tertentu. Sebuah skala ordinal tidak mencerminankan atau memberitahu berapa banyak arti absolutyang dimiliki atribut dari kesatuan atau seberapa jauh terpisahnya kesatuan dengan atribut. 

    Skala Interval 

    Pada kasus Skala Interval, kesatuan tidak hanya digolongkan dan di urutkan dengan beberapa pengukuran atribut, tetapi jarak atau perbedaan antara tingkat-tingkat atau pada bagian-bagian yang berdekatan juga tergambarkan, dan jarak ini tetap antara setiap interval dan tingkatan yang berturut-turut. Contoh dari Skala Interval adalah Fahrenheit dan Skala IQ. 

    Dengan Skala Interval, kita masuk ke dalam bentuk pengukuran yang merupakan analisa kuantitatif dalam pengertian biasa. Misalnya, pada Skala Interval, tekanan pada 40 derajat Centigrade atau 104 derajat Fahrenheit adalah tidak sama dengan panasnya 20 derajat Centigrade karena suhu 20 derajat Centigrade pada skala Fahrenheit adalah 68 derajat Fahrenheit, dan 104 derajat Fahrenheit tidak sama dengan 2 X 68 derajat Fahrenheit. 

    Meskipun sangat sedikit Skala Interval yang telah berkembang pada lingkungan ilmu pengetahuan sosial, kita dapat mencapai pengukuran interval dari atribut seperti 

    a. Minat, sikap, kepribadian, motivasi, dan sebagainya. 

    b. Status, kegemaran membaca, dan sebagainya. 

    c. Mengingat, perlunya atau tidak perlunya informasi untuk tujuan ini. 

    Kita dapat membuat pola urutan penilaian angka pada skala yang dimulai dari angka nol yang berubah-ubah yang melambangkan ketidakhadiran dari sebuah atribut atau kualitas yang diukur, dan meningkatkan nilai dalam hasil satuan-satuan yang berturut-turut dalam kenaikan skala pada keinginan yang terbatas. 

    Skala Ratio 

    Skala-skala Ratio paling berpengalaman dari keempat skala pengukuran. Berat, panjang, waktu, daya tahan listrik, dan suhu diukur dengan skala Kelvin dalam pengukuran Skala Ratio. Sebuah Skala Ratio memiliki semua karakteristik-karakteristik dari Nominal, Ordinal, dan Interval Skala dan, dalam penjumlahan, suatu titik nol dan asli menggambarkan ketiadaan besarnya sebuah variabel atribut. 

    ATRIBUT-ATRIBUT DARI INSTRUMENT PENGUKURAN 

    Kualitas dari penelitian sebagian besar bergantung pada baik atau efektifnya ukuran, dan untuk mengembangkan suatu ukuran baik adalah sebuah tugas yang sulit. Pengukuran adalah sebuah perumusan yang tepat dalam penelitian dan penggambaran atau penetapan definisi yang tepat dari rencana menyinggung peritiwa atau atribut-atribut mereka yang diukur dari kepentingan dasar. 

    Hal itu, satu yang harus diketahui apa yang diukur. Contohnya, jika satu keinginan untuk mengukur kegunaan atau keefektifan dari bahan ajar, satu yang harus diketahui yakni apa yang menjadi indikator dari kegunaan atau keefektifannya. 

    MASALAH-MASALAH DALAM PENGUKURAN-PENGUKURAN PSIKOLOGI 

    Pengukuran yang Tidak Langsung 

    Bemacam-macam atribut psikologis dapat diperoleh untuk penelitian dan pengukuran dengan tidak langsung. Pada umumnya, atribut-atribut yang mendasari proses-proses psikologis mengira menunjukkan diri mereka secara jelas hanya melalui tingkah laku, yang benar-benar dipertimbangkan dengan objektif dan bisa diukur. 

    Kekurangan Nol Mutlak

    Nol Mutlak, pada kasus pengukuran psikologi, berarti sebuah situasi dimana properti yang diukur itu tidak ada. Nol mutlak tersedia pada kasus kuantitas fisik, seperti panjang, tapi sangat sulit untuk menentukan atribut-atribut dalam kasus psikologis. 

    Kita Mengukur suatu Contoh dari Tingkah Laku bukan Tingkah Laku yang Menyeluruh 

    Pada pengukuran-pengukuran psikologis, sebuah kumpulan yang menyeluruh dari dimensi tingkah laku adalah tidak mungkin dan kita hanya memilih contoh dari dimensi tingkah laku secara hati- hati untuk menilai atribut-atribut dalam pertanyaan. 

    Kekurangan Stimulus yang Cukup/Tanggapan Permulaan 

    Masalah lain yang dihadapi dalam pengukuran psikologis adalah ciptaan jumlah yang cukup dari kekuatan variabel atau permulaan, yang secara aktual relevan ketika mempelajari keterangan atribut psikologis. Metode eksperimental, metode utama dibelakang penelitian ilmiah psikologi, sangat menderita dalam masalah ini. 

    Ketidaktentuan dan Keinginan Terlibat dalam Tanggapan Manusia 

    Subjek-subjek tes kadang-kadang memberikan tanggapan tidak menententu dan diinginkan secara umum meniadakan seluruh tujuan dari pengukuran psikologis. Ketidaktentuan memungkinkan munculnya salah satu kelalaian hak pada bagian peneliti, atau tidak hati-hati pada bagian subjek-subjek, atau hak untuk tidak mengkontrol yang tidak ada hubungan variabel-variabelnya. 

    Ketidaktetapan dari Atribut-Atribut Manusia Berakhir 

    Beragam atribut manusia seperti intelegensi, kepribadian, sikap, dan sebagainya, mungkin dapat mengubah periode waktu, dan kadang-kadang tetap cukup untuk menyediakan lapangan bagi variasi tersebut. Atribut-atribut psikologis terlalu dinamis dan mereka secara terus menerus mengalami pengaturan dan reorganisasi. 

    Masalah Hitungan 

    Hal ini dipertanyakan apakah numbers memenuhi syarat dan cukup mampu untuk menunjukkan semua atribut-atribut psikologis. Pengukuran kuantitatif memiliki batasan-batasannya tersendiri karena semua hal yang ada mungkin tidak selalu ada dalam beberapa jumlah, dan terkadang jika itu terjadi, kita mungkin menemukan kesulitan untuk menetapkan jumlah suatu angka secara tepat menangkap maksud dan intisari.

  • Perkembangan Psikososial Eric Erikson

    Teori Erik Erikson tentang perkembangan manusia dikenal dengan teori perkembangan psiko-sosial. Teori perkembangan psikososial ini adalah salah satu teori kepribadian terbaik dalam psikologi. Seperti Sigmund Freud, Erikson percaya bahwa kepribadian berkembang dalam beberapa tingkatan. Salah satu elemen penting dari teori tingkatan psikososial Erikson adalah perkembangan persamaan ego. Persamaan ego adalah perasaan sadar yang kita kembangkan melalui interaksi sosial. Menurut Erikson, perkembangan ego selalu berubah berdasarkan pengalaman dan informasi baru yang kita dapatkan dalam berinteraksi dengan orang lain. Erikson juga percaya bahwa

    kemampuan memotivasi sikap dan perbuatan dapat membantu perkembangan menjadi positif, inilah alasan mengapa teori Erikson disebut sebagai teori perkembangan psikososial.

    Erikson memaparkan teorinya melalui konsep polaritas yang bertingkat/bertahapan. Ada 8 (delapan) tingkatan perkembangan yang akan dilalui oleh manusia. Menariknya bahwa tingkatan ini bukanlah sebuah gradualitas. Manusia dapat naik ketingkat berikutnya walau ia tidak tuntas pada tingkat sebelumnya. Setiap tingkatan dalam teori Erikson berhubungan dengan kemampuan dalam bidang kehidupan. Jika tingkatannya tertangani dengan baik, orang itu akan merasa pandai. Jika tingkatan itu tidak tertangani dengan baik, orang itu akan tampil dengan perasaan tidak selaras. Dalam setiap tingkat, Erikson percaya setiap orang akan mengalami konflik/krisis yang merupakan titik balik dalam perkembangan. Erikson berpendapat, konflik-konflik ini berpusat pada perkembangan kualitas psikologi atau kegagalan untuk mengembangkan kualitas itu. Selama masa ini, potensi pertumbuhan pribadi meningkat. Begitu juga dengan potensi kegagalan. Tahapan perkembangan Erikson secara singkat dapat dilihat pada tabel berikut.

    Developmental StageBasic Components
    Infancy (0-1 thn)Early childhood (1-3 thn)Preschool age (4-5 thn)School age (6-11 thn)Adolescence (12-10 thn)Young adulthood ( 21-40 thn)Adulthood (41-65 thn)Senescence (+65 thn)Trust vs MistrustAutonomy vs Shame, DoubtInitiative vs GuiltIndustry vs InferiorityIdentity vs Identity ConfusionIntimacy vs IsolationGenerativity vs StagnationEgo Integrity vs Despair

    Untuk penjelasan pada masing masing tahapan perkembangan akan dipaparkan satu persatu sebagai
    berikut:
    1. Trust vs Mistrust (Kepercayaan vs Kecurigaan)
    Masa bayi (infancy) ditandai adanya kecenderungan trust – mistrust. Perilaku bayi didasari oleh dorongan mempercayai atau tidak mempercayai orang-orang di sekitarnya. Dia sepenuhnya mempercayai orang tuanya, tetapi orang yang dianggap asing dia tidak akan mempercayainya. Oleh karena itu kadang-kadang bayi menangis bila di pangku oleh orang yang tidak dikenalnya.

    Tahap ini berlangsung pada masa oral, kira-kira terjadi pada umur 0-1 atau 1 ½ tahun. Tugas yang harus dijalani pada tahap ini adalah menumbuhkan dan mengembangkan kepercayaan tanpa harus menekan kemampuan untuk hadirnya suatu ketidakpercayaan. Kepercayaan ini akan terbina dengan baik apabila dorongan oralis pada bayi terpuaskan, misalnya untuk tidur dengan tenang, menyantap makanan dengan nyaman dan tepat waktu, serta dapat membuang kotoron (eliminsi) dengan sepuasnya. Oleh sebab itu, pada tahap ini ibu memiliki peranan yang secara kwalitatif sangat menentukan perkembangan kepribadian anaknya yang masih kecil. Apabila seorang ibu bisa memberikan rasa hangat dan dekat, konsistensi dan kontinuitas kepada bayi mereka, maka bayi itu akan mengembangkan perasaan dengan menganggap dunia khususnya dunia sosial sebagai suatu tempat yang aman untuk didiami, bahwa orang-orang yang ada didalamnya dapat dipercaya dan saling menyayangi. Hasil dari adanya kepercayaan berupa kemampuan mempercayai lingkungan dan dirinya serta juga mempercayai kapasitas tubuhnya dalam berespon secara tepat terhadap lingkungannya. Sebaliknya, jika seorang ibu tidak dapat memberikan kepuasan kepada bayinya, dan tidak dapat memberikan rasa hangat dan nyaman atau jika ada hal-hal lain yang membuat ibunya berpaling dari kebutuhan-kebutuhannya demi memenuhi keinginan mereka sendiri, maka bayi akan lebih mengembangkan rasa tidak percaya, dan dia akan selalu curiga kepada orang lain.

    Hal ini jangan dipahami bahwa peran sebagai orangtua harus serba sempurna tanpa ada kesalahan/cacat. Karena orangtua yang terlalu melindungi anaknya pun akan menyebabkan anak punya kecenderungan maladaptif. Erikson menyebut hal ini dengan sebutan salah penyesuaian indrawi. Orang yang selalu percaya tidak akan pernah mempunyai pemikiran maupun anggapan bahwa orang lain akan berbuat jahat padanya. Dengan kata lain, mereka akan mudah tertipu atau dibohongi. Sebaliknya, hal terburuk dapat terjadi apabila pada masa kecilnya sudah merasakan ketidakpuasan yang dapat mengarah pada ketidakpercayaan. Mereka akan berkembang pada arah kecurigaan dan merasa terancam terus menerus. Hal ini ditandai dengan munculnya frustasi, marah, sinis, maupun depresi. Pada tahap ini bayi mengalami ritualisasi di mana hubungan yang terjalin dengan ibunya dianggap sebagai sesuatu yang keramat (numinous). Jika hubungan tersebut terjalin dengan baik, maka bayi akan mengalami kepuasan dan kesenangan tersendiri. Selain itu, Alwisol berpendapat bahwa numinous ini pada akhirnya akan menjadi dasar bagaimana orang menghadapi / berkomunikasi dengan orang lain, dengan penuh penerimaan, penghargaan, tanpa ada ancaman dan perasaan takut. Sebaliknya, apabila dalam hubungan tersebut bayi tidak mendapatkan kasih sayang dari seorang ibu akan merasa terasing dan terbuang, sehingga dapat terjadi suatu pola kehidupan yang lain di mana bayi merasa berinteraksi secara interpersonal atau sendiri dan dapat menyebabkan adanya idolism (pemujaan). Pemujaan ini dapat diartikan dalam dua arah yaitu anak akan memuja dirinya sendiri, atau sebaliknya anak akan memuja orang lain.

    2. Otonomi vs Perasaan Malu dan Ragu-ragu

    Masa kanak-kanak awal (early childhood) ditandai adanya kecenderungan autonomy – shame, doubt. Pada masa ini sampai batas-batas tertentu anak sudah bisa berdiri sendiri, dalam arti duduk, berdiri, berjalan, bermain, minum dari botol sendiri tanpa ditolong oleh orang tuanya, tetapi di pihak lain dia telah mulai memiliki rasa malu dan keraguan dalam berbuat, sehingga seringkali minta pertolongan atau persetujuan dari orang tuanya.

    Pada tahap kedua adalah tahap anus-otot (anal-mascular stages), masa ini biasanya disebut masa balita yang berlangsung mulai dari usia 18 bulan sampai 3 atau 4 tahun. Tugas yang harus diselesaikan pada masa ini adalah kemandirian (otonomi) sekaligus dapat memperkecil perasaan malu dan ragu-ragu. Apabila dalam menjalin suatu relasi antara anak dan orangtuanya terdapat suatu sikap/tindakan yang baik, maka dapat menghasilkan suatu kemandirian. Namun, sebaliknya jika orang tua dalam mengasuh anaknya bersikap salah, maka anak dalam perkembangannya akan mengalami sikap malu dan ragu-ragu.

    Orang tua dalam mengasuh anak pada usia ini tidak perlu mengobarkan keberanian anak dan tidak pula harus mematikannya. Dengan kata lain, keseimbanganlah yang diperlukan di sini. Ada sebuah kalimat yang seringkali menjadi teguran maupun nasihat bagi orang tua dalam mengasuh anaknya yakni “tegas namun toleran”. Sedikit rasa malu dan ragu-ragu, sangat diperlukan bahkan memiliki fungsi atau kegunaan tersendiri bagi anak, karena tanpa adanya perasaan ini, anak akan berkembang ke arah sikap maladaptif yang disebut Erikson sebagai impulsiveness (terlalu menuruti kata hati), sebaliknya apabila seorang anak selalu memiliki perasaan malu dan ragu-ragu juga tidak baik, karena akan membawa anak pada sikap malignansi yang disebut Erikson compulsiveness. Sifat inilah yang akan membawa anak selalu menganggap bahwa keberadaan mereka selalu bergantung pada apa yang mereka lakukan, karena itu segala sesuatunya harus dilakukan secara sempurna. Apabila tidak dilakukan dengan sempurna maka mereka tidak dapat menghindari suatu kesalahan yang dapat menimbulkan adanya rasa malu dan ragu-ragu.

    Ritualisasi yang dialami oleh anak pada tahap ini yaitu dengan adanya sifat bijaksana dan legalisme. Melalui tahap ini anak sudah dapat mengembangkan pemahamannya untuk dapat menilai mana yang salah dan mana yang benar dari setiap gerak atau perilaku orang lain yang disebut sebagai sifat bijaksana. Sedangkan, apabila dalam pola pengasuhan terdapat penyimpangan maka anak akan memiliki sikap legalisme yakni merasa puas apabila orang lain dapat dikalahkan dan dirinya berada pada pihak yang menang sehingga anak akan merasa tidak malu dan ragu-ragu walaupun pada penerapannya menurut Alwisol mengarah pada suatu sifat yang negatif yaitu tanpa ampun, dan tanpa rasa belas kasih.

    3. Inisiatif vs Kesalahan

    Masa pra sekolah (Preschool Age) ditandai adanya kecenderungan initiative – guilty. Pada masa ini anak telah memiliki beberapa kecakapan, dengan kecakapan-kecakapan tersebut dia terdorong melakukan beberapa kegiatan, tetapi karena kemampuan anak tersebut masih terbatas adakalanya dia mengalami kegagalan. Kegagalan-kegagalan tersebut menyebabkan dia memiliki perasaan bersalah, dan untuk sementara waktu dia tidak mau berinisatif atau berbuat.

    Tahap ketiga ini juga dikatakan sebagai tahap kelamin-lokomotor (genital-locomotor stage) atau yang biasa disebut tahap bermain. Tahap ini pada suatu periode tertentu saat anak menginjak usia 3 sampai 5 atau 6 tahun, dan tugas yang harus diemban seorang anak pada masa ini ialah untuk belajar punya gagasan (inisiatif) tanpa banyak terlalu melakukan kesalahan. Masa-masa bermain merupakan masa di mana seorang anak ingin belajar dan mampu belajar terhadap tantangan dunia luar, serta mempelajari kemampuan-kemampuan baru juga merasa memiliki tujuan. Dikarenakan sikap inisiatif merupakan usaha untuk menjadikan sesuatu yang belum nyata menjadi nyata, sehingga pada usia ini orang tua dapat mengasuh anaknya dengan cara mendorong anak untuk mewujudkan gagasan dan ide-idenya. Akan tetapi, semuanya akan terbalik apabila tujuan dari anak pada masa genital ini mengalami hambatan karena dapat mengembangkan suatu sifat yang berdampak kurang baik bagi dirinya yaitu merasa berdosa dan pada klimaksnya mereka seringkali akan merasa bersalah atau malah akan mengembangkan sikap menyalahkan diri sendiri atas apa yang mereka rasakan dan lakukan.

    Ketidakpedulian (ruthlessness) merupakan hasil dari maladaptif yang keliru, hal ini terjadi saat anak memiliki sikap inisiatif yang berlebihan namun juga terlalu minim. Orang yang memiliki sikap inisiatif sangat pandai mengelolanya, yaitu apabila mereka mempunyai suatu rencana baik itu mengenai sekolah, cinta, atau karir mereka tidak peduli terhadap pendapat orang lain dan jika ada yang menghalangi rencananya apa dan siapa pun yang harus dilewati dan disingkirkan demi mencapai tujuannya itu. Akan tetapi bila anak saat berada pada periode mengalami pola asuh yang salah yang menyebabkan anak selalu merasa bersalah akan mengalami malignansi yaitu akan sering berdiam diri (inhibition). Berdiam diri merupakan suatu sifat yang tidak memperlihatkan suatu usaha untuk mencoba melakukan apa-apa, sehingga dengan berbuat seperti itu mereka akan merasa terhindar dari suatu kesalahan.

    Kecenderungan atau krisis antara keduanya dapat diseimbangkan, maka akan lahir suatu kemampuan psikososial adalah tujuan (purpose). Selain itu, ritualisasi yang terjadi pada masa ini adalah masa dramatik dan impersonasi. Dramatik dalam pengertiannya dipahami sebagai suatu interaksi yang terjadi pada seorang anak dengan memakai fantasinya sendiri untuk berperan menjadi seseorang yang berani. Sedangkan impersonasi dalam pengertiannya adalah suatu fantasi yang dilakukan oleh seorang anak namun tidak berdasarkan kepribadiannya. Oleh karena itu, rangakain kata yang tepat untuk menggambarkan masa ini pada akhirnya bahwa keberanian, kemampuan untuk bertindak tidak terlepas dari kesadaran dan pemahaman mengenai keterbatasan dan kesalahan yang pernah dilakukan sebelumnya.

    4. Kerajinan vs Inferioritas
    Masa Sekolah (School Age) ditandai adanya kecenderungan industry–inferiority. Pada masa ini anak sangat aktif mempelajari apa saja yang ada di lingkungannya. Dorongan untuk mengatahui dan berbuat terhadap lingkungannya sangat besar, tetapi di pihak lain karena keterbatasan-keterbatasan kemampuan dan pengetahuannya kadang-kadang dia menghadapi kesukaran, hambatan bahkan kegagalan. Hambatan dan kegagalan ini dapat menyebabkan anak merasa rendah diri.

    Tahap keempat ini dikatakan juga sebagai tahap laten yang terjadi pada usia sekolah dasar antara umur 6 sampai 12 tahun. Salah satu tugas yang dilalui dalam tahap ini ialah adalah dengan mengembangkan kemampuan bekerja keras dan menghindari perasaan rasa rendah diri. Anak pada usia ini dituntut untuk dapat merasakan bagaimana rasanya berhasil, apakah itu di sekolah atau ditempat bermain. Melalui tuntutan tersebut anak dapat mengembangkan suatu sikap rajin. Berbeda kalau anak tidak dapat meraih sukses karena mereka merasa tidak mampu (inferioritas), sehingga anak juga dapat mengembangkan sikap rendah diri.

    Kecenderungan maladaptif akan tercermin apabila anak memiliki rasa giat dan rajin terlalu besar yang mana peristiwa ini menurut Erikson disebut sebagai keahlian sempit. Di sisi lain jika anak kurang memiliki rasa giat dan rajin maka akan tercermin malignansi yang disebut dengan kelembaman. Mereka yang mengidap sifat ini oleh Alfred Adler disebut dengan “masalah-masalah inferioritas”, maksudnya jika seseorang tidak berhasil pada usaha pertama, maka jangan mencoba lagi. Usaha yang sangat baik dalam tahap ini sama seperti tahap-tahap sebelumnya adalah dengan menyeimbangkan kedua karateristik yang ada, dengan begitu ada nilai positif yang dapat dipetik dan dikembangkan dalam diri setiap pribadi yakni kompetensi.

    Dalam lingkungan yang ada pola perilaku yang dipelajari pun berbeda dari tahap sebelumnya, anak diharapkan mampu untuk mengerjakan segala sesuatu dengan mempergunakan cara maupun metode yang standar, sehingga anak tidak terpaku pada aturan yang berlaku dan bersifat kaku. Peristiwa tersebut biasanya dikenal dengan istilah formal. Sedangkan pada pihak lain jikalau anak mampu mengerjakan segala sesuatu dengan mempergunakan cara atau metode yang sesuai dengan aturan yang ditentukan untuk memperoleh hasil yang sempurna, maka anak akan memiliki sikap kaku dan hidupnya sangat terpaku pada aturan yang berlaku. Hal inilah yang dapat menyebabkan relasi dengan orang lain menjadi terhambat. Peristiwa ini biasanya dikenal dengan istilah formalism.

    5. Identitas vs Kekacauan IdentitasTahap kelima merupakan tahap adolesen (remaja), yang dimulai pada saat masa puber dan berakhir pada usia 18 atau 20 tahun. Masa Remaja (adolescence) ditandai adanya kecenderungan identity – Identity Confusion. Pencapaian identitas pribadi dan menghindari peran ganda merupakan bagian dari tugas yang harus dilakukan dalam tahap ini. Menurut Erikson masa ini merupakan masa yang mempunyai peranan penting, karena melalui tahap ini orang harus mencapai tingkat identitas ego, dalam pengertiannya identitas pribadi berarti mengetahui siapa dirinya dan bagaimana cara seseorang terjun ke tengah masyarakat.

    Masa pubertas terjadi pada tahap ini, kalau pada tahap sebelumnya seseorang dapat menapakinya dengan baik maka segenap identifikasi di masa kanak-kanak diintrogasikan dengan peranan sosial secara aku, sehingga pada tahap ini mereka sudah dapat melihat dan mengembangkan suatu sikap yang baik dalam segi kecocokan antara isi dan dirinya bagi orang lain, selain itu juga anak pada jenjang ini dapat merasakan bahwa mereka sudah menjadi bagian dalam kehidupan orang lain. Semuanya itu terjadi karena mereka sudah dapat menemukan siapakah dirinya. Identitas ego merupakan akumulasi nilai-nilai ego sebelumnya yang merupakan ego sintesis. Oleh karena itu, salah satu point yang perlu diperhatikan yaitu apabila tahap-tahap sebelumnya berjalan kurang lancar atau tidak berlangsung secara baik, disebabkan anak tidak mengetahui dan memahami siapa dirinya yang sebenarnya ditengah-tengah pergaulan dan struktur sosialnya, inilah yang disebut dengan identity confusion atau kekacauan identitas.

    Akan tetapi di sisi lain jika kecenderungan identitas ego lebih kuat dibandingkan dengan kekacauan identitas, maka mereka tidak menyisakan sedikit ruang toleransi terhadap masyarakat yang bersama hidup dalam lingkungannya. Erikson menyebut maladaptif ini dengan sebutan fanatisisme. Orang yang berada dalam sifat fanatisisme ini menganggap bahwa pemikiran, cara maupun jalannyalah yang terbaik. Sebaliknya, jika kekacauan identitas lebih kuat dibandingkan dengan identitas ego maka Erikson menyebut malignansi ini dengan sebutan pengingkaran. Orang yang memiliki sifat ini mengingkari keanggotaannya di dunia orang dewasa atau masyarakat akibatnya mereka akan mencari identitas di tempat lain yang merupakan bagian dari kelompok yang menyingkir dari tuntutan sosial yang mengikat serta mau menerima dan mengakui mereka sebagai bagian dalam kelompoknya.

    Kesetiaan akan diperoleh sebagi nilai positif yang dapat dipetik dalam tahap ini, jikalau antara identitas ego dan kekacauan identitas dapat berlangsung secara seimbang, yang mana kesetiaan memiliki makna tersendiri yaitu kemampuan hidup berdasarkan standar yang berlaku di tengah masyarakat terlepas dari segala kekurangan, kelemahan, dan ketidakkonsistennya. Ritualisasi yang nampak dalam tahap adolesen ini dapat menumbuhkan ediologi dan totalisme.

    6. Keintiman vs IsolasiTahap pertama hingga tahap kelima sudah dilalui, maka setiap individu akan memasuki jenjang berikutnya yaitu pada masa dewasa awal yang berusia sekitar 20-30 tahun. Masa Dewasa Awal (Young adulthood) ditandai adanya kecenderungan intimacy – isolation. Kalau pada masa sebelumnya, individu memiliki ikatan yang kuat dengan kelompok sebaya, namun pada masa ini ikatan kelompok sudah mulai longgar. Mereka sudah mulai selektif, dia membina hubungan yang intim hanya dengan orang-orang tertentu yang sepaham. Jadi pada tahap ini timbul dorongan untuk membentuk hubungan yang intim dengan orang-orang tertentu, dan kurang akrab atau renggang dengan yang lainnya.

    Jenjang ini menurut Erikson adalah ingin mencapai kedekatan dengan orang lain dan berusaha menghindar dari sikap menyendiri. Periode diperlihatkan dengan adanya hubungan spesial dengan orang lain yang biasanya disebut dengan istilah pacaran guna memperlihatkan dan mencapai kelekatan dan kedekatan dengan orang lain. Di mana muatan pemahaman dalam kedekatan dengan orang lain mengandung arti adanya kerja sama yang terjalin dengan orang lain. Akan tetapi, peristiwa ini akan memiliki pengaruh yang berbeda apabila seseorang dalam tahap ini tidak mempunyai kemampuan untuk menjalin relasi dengan orang lain secara baik sehingga akan tumbuh sifat merasa terisolasi. Erikson menyebut adanya kecenderungan maladaptif yang muncul dalam periode ini ialah rasa cuek, di mana seseorang sudah merasa terlalu bebas, sehingga mereka dapat berbuat sesuka hati tanpa memperdulikan dan merasa tergantung pada segala bentuk hubungan misalnya dalam hubungan dengan sahabat, tetangga, bahkan dengan orang yang kita cintai/kekasih sekalipun. Sementara dari segi lain/malignansi Erikson menyebutnya dengan keterkucilan, yaitu kecenderungan orang untuk mengisolasi/menutup diri sendiri dari cinta, persahabatan dan masyarakat, selain itu dapat juga muncul rasa benci dan dendam sebagai bentuk dari kesendirian dan kesepian yang dirasakan.

    Oleh sebab itu, kecenderungan antara keintiman dan isoalasi harus berjalan dengan seimbang guna memperoleh nilai yang positif yaitu cinta. Dalam konteks teorinya, cinta berarti kemampuan untuk mengenyampingkan segala bentuk perbedaan dan keangkuhan lewat rasa saling membutuhkan. Wilayah cinta yang dimaksudkan di sini tidak hanya mencakup hubungan dengan kekasih namun juga hubungan dengan orang tua, tetangga, sahabat, dan lain-lain.

    Ritualisasi yang terjadi pada tahan ini yaitu adanya afiliasi dan elitisme. Afilisiasi menunjukkan suatu sikap yang baik dengan mencerminkan sikap untuk mempertahankan cinta yang dibangun dengan sahabat, kekasih, dan lain-lain. Sedangkan elitisme menunjukkan sikap yang kurang terbuka dan selalu menaruh curiga terhadap orang lain.

    7. Generativitas vs StagnasiMasa dewasa (dewasa tengah) berada pada posisi ke tujuh, dan ditempati oleh orang-orang yang berusia sekitar 30 sampai 60 tahun. Masa Dewasa (Adulthood) ditandai adanya kecenderungan generativity-stagnation. Sesuai dengan namanya masa dewasa, pada tahap ini individu telah mencapai puncak dari perkembangan segala kemampuannya. Pengetahuannya cukup luas, kecakapannya cukup banyak, sehingga perkembangan individu sangat pesat. Meskipun pengetahuan dan kecakapan individu sangat luas, tetapi dia tidak mungkin dapat menguasai segala macam ilmu dan kecakapan, sehingga tetap pengetahuan dan kecakapannya terbatas. Untuk mengerjakan atau mencapai hal– hal tertentu ia mengalami hambatan.

    Apabila pada tahap pertama sampai dengan tahap ke enam terdapat tugas untuk dicapai, demikian pula pada masa ini dan salah satu tugas untuk dicapai ialah dapat mengabdikan diri guna keseimbangan antara sifat melahirkan sesuatu (generativitas) dengan tidak berbuat apa-apa (stagnasi). Generativitas adalah perluasan cinta ke masa depan. Sifat ini adalah kepedulian terhadap generasi yang akan datang. Melalui generativitas akan dapat dicerminkan sikap memperdulikan orang lain. Pemahaman ini sangat jauh berbeda dengan arti kata stagnasi yaitu pemujaan terhadap diri sendiri dan sikap yang dapat digambarkan dalam stagnasi ini adalah tidak perduli terhadap siapapun.

    Maladaptif yang kuat akan menimbulkan sikap terlalu peduli, sehingga mereka tidak punya waktu untuk mengurus diri sendiri. Selain itu malignansi yang ada adalah penolakan, di mana seseorang tidak dapat berperan secara baik dalam lingkungan kehidupannya akibat dari semua itu kehadirannya ditengah-tengah area kehiduannya kurang mendapat sambutan yang baik.

    Harapan yang ingin dicapai pada masa ini yaitu terjadinya keseimbangan antara generativitas dan stagnansi guna mendapatkan nilai positif yang dapat dipetik yaitu kepedulian. Ritualisasi dalam tahap ini meliputi generasional dan otoritisme. Generasional ialah suatu interaksi/hubungan yang terjalin secara baik dan menyenangkan antara orang-orang yang berada pada usia dewasa dengan para penerusnya. Sedangkan otoritisme yaitu apabila orang dewasa merasa memiliki kemampuan yang lebih berdasarkan pengalaman yang mereka alami serta memberikan segala peraturan yang ada untuk dilaksanakan secara memaksa, sehingga hubungan diantara orang dewasa dan penerusnya tidak akan berlangsung dengan baik dan menyenangkan.

    8. Integritas vs KeputusasaanTahap terakhir dalam teorinya Erikson disebut tahap usia senja yang diduduki oleh orang-orang yang berusia sekitar 60 atau 65 ke atas. Masa hari tua (Senescence) ditandai adanya kecenderungan ego integrity – despair. Pada masa ini individu telah memiliki kesatuan atau intregitas pribadi, semua yang telah dikaji dan didalaminya telah menjadi milik pribadinya. Pribadi yang telah mapan di satu pihak digoyahkan oleh usianya yang mendekati akhir.

    Mungkin ia masih memiliki beberapa keinginan atau tujuan yang akan dicapainya tetapi karena faktor usia, hal itu sedikit sekali kemungkinan untuk dapat dicapai. Dalam situasi ini individu merasa putus asa. Dorongan untuk terus berprestasi masih ada, tetapi pengikisan kemampuan karena usia seringkali mematahkan dorongan tersebut, sehingga keputusasaan acapkali menghantuinya.

    Dalam teori Erikson, orang yang sampai pada tahap ini berarti sudah cukup berhasil melewati tahap-tahap sebelumnya dan yang menjadi tugas pada usia senja ini adalah integritas dan berupaya menghilangkan putus asa dan kekecewaan. Tahap ini merupakan tahap yang sulit dilewati menurut pemandangan sebagian orang dikarenakan mereka sudah merasa terasing dari lingkungan kehidupannya, karena orang pada usia senja dianggap tidak dapat berbuat apa-apa lagi atau tidak berguna. Kesulitan tersebut dapat diatasi jika di dalam diri orang yang berada pada tahap paling tinggi dalam teori Erikson terdapat integritas yang memiliki arti tersendiri yakni menerima hidup dan oleh karena itu juga berarti menerima akhir dari hidup itu sendiri. Namun, sikap ini akan bertolak belakang jika didalam diri mereka tidak terdapat integritas yang mana sikap terhadap datangnya kecemasan akan terlihat.

    Kecenderungan terjadinya integritas lebih kuat dibandingkan dengan kecemasan dapat menyebabkan maladaptif yang biasa disebut Erikson berandai-andai, sementara mereka tidak mau menghadapi kesulitan dan kenyataan di masa tua. Sebaliknya, jika kecenderungan kecemasan lebih kuat dibandingkan dengan integritas maupun secara malignansi yang disebut dengan sikap menggerutu, yang diartikan Erikson sebagai sikap sumaph serapah dan menyesali kehidupan sendiri. Oleh karena itu, keseimbangan antara integritas dan kecemasan itulah yang ingin dicapai dalam masa usia senja guna memperoleh suatu sikap kebijaksanaan.

    Sumber:
    Slavin, R.E. 1994. Educational Psychology. New Jersey: Prentice Halln
    Gunarsa, Singgih D. 1982. Dasar Teori dan Perkembangan Anak. Jakarta: Gunung Mulia
    Desmita. 2012. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
    Monks, F.J; Knoer, A.M.P. & Siti Rahayu Haditono. (2004).Psikologi Perkembangan : Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
    Santrock, J.W. (2010).Life Span Development. New York : Mc. Graw Hill

  • Hipotesis nol (H0) Vs Hipotesis Alternatif (Ha)

    Hipotesis Dalam Penelitian. 

    Hipotesa berasal dari penggalan kata ”hypo” yang artinya ”di bawah” dan thesa” yang artinya ”kebenaran”, jadi hipotesa yang kemudian cara menulisnya disesuaikan dengan ejaan Bahasa Indonesia menjadi hipotesa dan berkembangan menjadi Hipotesis. Pengertian Hipotesa menurut Sutrisno Hadi adalah tentang pemecahan masalah. Sering kali peneliti tidak dapat memecahkan permasalahannya hanya dengan sekali jalan. Permasalahan itu akan diselesaikan segi demi segi dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk tiap-tiap segi, dan mencari jawaban melalui penelitian yang dilakukan.

    Dari kedua pernyataan tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa hipotesis adalah suatu dugaan yang perlu diketahui kebenarannya yang berarti dugaan itu mungkin benar mungkin salah. Dalam uji hipotesis, yang dilakukan adalah membuktikan mana yang akan kita terima dan mana yang akan kita tolak diantara statemen yang ada pada Hipotesis Nol (H0) ataukah yang terdapat pada Hipotesis Alternatif (H1).

    Menurut Suharsimi Arikunto, jenis Hipotesa penelitian  dapat di golongkan menjadi dua yaitu :

    1. Hipotesa Kerja, atau disebut juga dengan Hipotesa alternatif (Ha). Hipotesa kerja menyatakan adanya hubungan antara variabel X dan Y, atau adanya perbedaan antara dua kelompok.
    2. Hipotesa Nol (Null hypotheses) Ho. Hipotesa nol sering juga disebut Hipotesa statistik,karena biasanya dipakai dalam penelitian yang bersifat statistik, yaitu diuji dengan perhitungan statistik. 

    Karakteristik Hipotesis yang Baik

    Sebuah hipotesis atau dugaan sementara yang baik hendaknya mengandung beberapa hal. Hal – hal tersebut diantaranya :

    1. Hipotesis harus mempunyai daya penjelas
    2. Hipotesis harus menyatakan hubungan yang diharapkan ada di antara variabel-variabel-variabel.
    3. Hipotesis harus dapat diuji
    4. Hipotesis hendaknya konsistensi dengan pengetahuan yang sudah ada.
    5. Hipotesis hendaknya dinyatakan sesederhana dan seringkas mungkin.

    Berenson et al (2006) menyatakan beberapa poin penting tentang hipotesis nol dan hipotesis alternatif sebagaimana dirinci sebagai berikut:

    1. Hipotesis Nol (H0) mewakili kondisi status quo, atau kondisi yang sekarang diyakini kebenarannya, atau suatu pernyataan yang didasarkan pada teori atau konsep.
    2. Hipotesis Alternatif (H1) adalah lawan dari statemen H0 atau mewakili claim atau dugaan dari peneliti terhadap kemungkinan tidak berlakunya kondisi status quo atau kondisi saat ini sebagai bagian dari tujuan penelitian yang hendak diraih.
    3. Jika H0 ditolak, maka peneliti memiliki bukti secara statistik bahwa hipotesis alternative yang berlaku atau yang dianggap benar.
    4. Jika ternyata hasil dari penelitian H0 tidak ditolak, maka peneliti gagal membuktikan bahwa hipotesis alternative adalah benar, meskipun demikian tidak berarti bahwa H0 terbukti benar.
    5. Hipotesis nol selalu mengarah pada nilai spesifik dari suatu nilai dari parameter populasi dan tidak boleh berupa suatu sampel statistik.
    6. Pernyataan hipotesis nol selalu berupa tanda sama dengan, yang menghubungkan pada nilai-nilai spesifik dari suatu parameter populasi.
    7. Pernyataan dari hipotesis alternatif tidak pernah menggunakan tanda sama dengan untuk menghubungkan nilai-nilai spesifik dari suatu parameter populasi.

    Itulah yang bisa saya jelaskan mengenai Hipotesis Nol (H0) dan Hipotesis Alternatif (H1). Kita kadang memaknai keduanya terbalik. Semoga dengan adanya artikel ini, bisa memperjelas lagi mengenai kedua Hipotesis tersebut. Terimakasih.

  • Perspektif dalam Interaksi Sosial

    A. PERSPEKTIF INTERAKSIONISME SIMBOLIK

    Konsep interaksionisme simbolik mengacu pada penggunaan simbol-simbol dalam interaksi sosial. Manusia menggunakan simbol untuk mengembangkan pandangan mereka mengenai dunia dan saling berkomunikasi. Tanpa simbol, kehidupan sosial manusia tidak akan lebih canggih daripada kehidupan hewan.

    Simbol tidak hanya memungkinkan adanya hubungan, tetapi juga membentuk masyarakat. Tanpa simbol, kita tidak akan dapat mengkoordinasikan tindakan satu sama lain. Tanpa simbol, masyarakat takkan mampu membuat perencanaan tentang apapun juga.

    Apakah sesungguhnya yang dimaksud dengan simbol ? Sejatinya simbol dapat dimaknai sebagai sesuatu yang nilai atau maknanya diberikan kepadanya oleh mereka yang mempergunakannya. Dengan demikian, tidaklah mengherankan bila satu simbol yang sama, dapat memiliki berbagai makna. Contohnya, warna putih dapat berarti suci, berkabung (bagi etnis Tionghoa), atau menyerah (bendera putih).

    Herbert Blumer (1900-1987) menambahkan bahwa pokok pikiran interaksionisme simbolik terdiri atas actthing, dan meaning. Manusia bertindak (act) terhadap sesuatu (thing) atas dasar makna (meaning) yang dipunyai sesuatu tersebut baginya. Misalnya, tindakan (act) seorang penganut agama Hindu di India terhadap seekor sapi (thing) akan berbeda dengan tindakan seorang penganut agama Islam di Pakistan. Karena bagi masing-masing orang tersebut, sapi mempunyai makna (meaning) berbeda.

    Tokoh lain dari perspektif interaksionisme simbolik adalah George Herbert Mead (1863-1931). Ia mengemukakan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan pihak-pihak lain, menggunakan perantaraan simbol-simbol tertentu yang dimiliki dan dipahami bersama. Mereka lantas saling menafsirkan keadaan serta perilaku atas dasar makna simbol dimaksud. Contohnya, saat menyalami Ganar di hari wisudanya, Adi memberikan ucapan selamat tapi dengan wajah cemberut. Dari bahasa tubuh yang ditunjukkan Adi, Ganar dapat menduga bahwa ucapannya tidaklah tulus.

    B. PERSPEKTIF DEFINISI SITUASI

    Dalam kaitannya dengan definisi situasi, W.I. Thomas (1863-1947) terkenal dengan ungkapannya, “when men define situations as real, they are real in their consequences” (bila orang mendefinisikan suatu situasi sebagai hal yang nyata, maka konsekuensinya nyata pula). Contohnya, beberapa orang pemuda berpenampilan sangar dan acak-acakan memasuki sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta. Mereka dicurigai satpam dan langsung didefinisikan sebagai penjahat. Konsekuensinya nyata, mereka diringkus dan dianiaya hingga babak belur.

    Salah satu definisi situasi yang dibuat oleh masyarakat adalah aturan yang mengatur interaksi antar individu maupun kelompok sosial, di antaranya :

    1) Aturan Ruang

    Dalam buku The Hidden Dimensions (1982), dikemukakan bahwa pada interaksi dijumpai aturan tertentu mengenai penggunaan ruang. Teori tentang penggunaan ruang dalam proses interaksi disebut proxemics. Berdasarkan penelitian, disimpulkan bahwa dalam interaksi sosial, terdapat beberapa jarak yang digunakan :

    • Jarak Intim (intimate distance)

    Berkisar antara 0-45 cm, kedekatan dengan tubuh orang lain disertai keterlibatan intensif dari pancaindera, yakni penglihatan, bau badan, suhu badan, suara, sentuhan kulit, hembusan nafas. Interaksi pada jarak ini berlangsung, misalnya, antara orang yang sedang bercinta ataupun dalam olahraga jarak dekat seperti gulat.

    • Jarak Pribadi (personal distance)

    Berkisar antara 45 cm-1,22 m. Interaksi pada tahap dekat dalam jarak ini cenderung dijumpai di antara orang yang hubungannya dekat, misalnya pasangan suami istri, kekasih, atau sahabat. Interaksi pada tahap jauh dari jarak ini terjadi antara orang yang saling menyentuh bila merentangkan tangan, misalnya orang yang mengikuti kegiatan senam bersama.

    • Jarak Sosial (social distance)

    Berkisar antara 1,22 m-3,66 m, orang yang berinteraksi dapat berbicara secara normal dan tidak saling menyentuh. Lazim dalam pertemuan santai atau hubungan kerja.

    • Jarak Publik (public distance)

    Dipelihara oleh orang yang harus tampil di depan umum, seperti politikus. Semakin besar jarak, makin besar pula suara yang mesti dikeluarkan. Kata dan kalimat yang diucapkan semakin dipilih dengan seksama.

    2) Aturan Waktu

    Dalam interaksi sosial, harus memperhatikan waktu. Tidak setiap orang bisa berinteraksi dengan semua orang tiap waktu.

    3) Aturan Gerak dan Sikap Tubuh

    Dalam interaksi sosial, orang lain juga membaca perilaku kita, bukan hanya kata-kata kita. Ini penting untuk diperhatikan, karena dalam interaksi kita tidak hanya memperhatikan apa yang dilakukan orang lain tetapi juga pada apa yang dilakukannya. Komunikasi non-verbal (non-verbal communication) atau bahasa tubuh (body language) menyampaikan maksud dan perasaan kita pada orang lain. Studi Sosiologis terhadap gerak tubuh dan komunikasi non-verbal disebut kinesics.

  • Karakteristik Penelitian Sosial

    Sosiologi, sebagai ilmu pengetahuan, tidaklah stagnan. Agar dapat mempertahankan relevansi kajiannya, Sosiologi harus senantiasa berkembang. Dan penelitian sosial adalah modal dasar bagi perkembangan Sosiologi. Melalui penelitian sosial, para ahli Sosiologi menemukan fakta-fakta baru yang memperluas cakrawala serta memperdalam khazanah keilmuan.

    Daftar isi

    Penelitian Sosial

    Penelitian sosial sejatinya dapat diartikan sebagai aktivitas menelaah suatu masalah dengan menggunakan metode ilmiah secara terancang dan sistematis untuk menemukan pengetahuan baru yang terandalkan kebenarannya (obyektif dan sahih) mengenai ‘dunia alam’ atau ‘dunia sosial’. 

    Secara umum, penelitian sosial memiliki sejumlah karakteristik di antaranya :

    1. Obyek penelitian sosial adalah masyarakat berikut berbagai gejala sosial (social phenomena) dan kenyataan sosial (social facts). Dalam hal ini, manusia tidak dilihat sebagai kenyataan fisik ataupun biologis, melainkan sebagai makhluk sosial (social being). Pengalaman manusia selalu bermakna sosial.
    2. Ilmu pengetahuan alam mempunyai “metode ilmiah” berdasarkan hasil percobaan dan atas penemuan fakta-fakta ilmiah. Sedangkan ilmu-ilmu sosial (seperti Sosiologi), bidangnya sangat berbeda dimana dalam memahami manusia sebagai mahluk sosial tidak dapat dipersamakan dengan metode mempelajari atom, kelinci percobaan, ataupun bahan kimia lainnya.
    3. Penelitian sosial sebagai kegiatan ilmiah berusaha menggali dan mengembangkan pengetahuan dari sumber-sumber primer untuk menemukan prinsip-prinsip, hukum-hukum, dalil-dalil, teori, maupun generalisasi yang berlaku umum mengenai gejala sosial (social phenomena) dan kenyataan sosial (social facts) yang diteliti.
    4. Karena masyarakat bersifat dinamis, maka penelitian sosial harus dilakukan terus-menerus agar senantiasa mampu memberikan penjelasan yang tepat dan terandalkan mengenai berbagai fenomena, gejala, dan masalah sosial.
    5. Obyek-obyek penelitian sosial memiliki gejala yang multivariasi. Contohnya, pengamatan terhadap 10 orang pekerja yang sedang bergotong royong mungkin saja akan berbeda hasilnya dengan pengamatan terhadap 10 orang pekerja lain, walaupun berlangsung di tempat yang sama, pada waktu bersamaan, serta materi tugas kelompok pun sama pula.

    f) Penelitian sosial menggunakan cara kerja dengan prosedur yang teliti, jelas, sistematik, dan dapat dipertanggungjawabkan sebagai proses yang memberi kemungkinan terbaik bagi tercapainya pengetahuan yang benar.

    g) Penelitian sosial mendasarkan diri pada pengetahuan dan pengalaman yang selama ini telah dicapai serta diterima kebenarannya. Dengan perkataan lain, penelitian sosial bukanlah tindakan spekulatif.

    Sebagai kegiatan ilmiah, penelitian sosial juga memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

    • Sistematis, artinya bahasan tersusun secara teratur, berurutan menurut sistem.
    • Logis, artinya sesuai dengan logika, masuk akal, benar menurut penalaran.
    • Empiris, artinya diperoleh dari pengalaman, penemuan, pengamatan dari lapangan penelitian.
    • Metodis, artinya berdasarkan metode yang kebenarannya diakui oleh penalaran.
    • Umum, artinya menggeneralisasi, meliputi keseluruhan dan tidak menyangkut yang khusus saja.
    • Akumulatif, artinya bertambah terus, makin berkembang, dinamis.

    Seorang peneliti sosial yang baik seharusnya memiliki sejumlah dedikasi dan sikap ilmiah sebagai berikut :

    1. Objective, factual, yakni peneliti haruslah bersikap obyektif dengan mengesampingkan keberpihakan dan subyektivitas, dengan memisahkan pendapat pribadi dari fakta yang diperoleh di lapangan. Dalam tindakannya, juga harus selalu didasarkan atas fakta dan temuan nyata.
    2. Open, fair, responsible, dimana peneliti harus bersikap terbuka terhadap berbagai kritik, saran, dan perbaikan dari berbagai kalangan. Peneliti juga mesti bersikap wajar, jujur dalam pekerjaannya, serta dapat mempertanggungjawabkan semua hasil penelitiannya secara ilmiah.
    3. Curious, wanting to know, yakni peneliti harus mempunyai sikap selalu ingin tahu terutama mengenai masalah-masalah yang diteliti dan senantiasa haus akan pengetahuan-pengetahuan baru. Ini juga berarti bahwa peneliti adalah pribadi-pribadi yang peka terhadap informasi dan data.
    4. Inventive always, yaitu peneliti harus memiliki daya cipta, kreatif, dan senang terhadap inovasi.

    Sikap-sikap tersebut selayaknya pula didukung oleh cara berpikir yang skeptis (selalu menanyakan bukti atau fakta yang mendukung suatu pernyataan), analitis (menganalisis setiap persoalan yang dihadapi), kritis (didasari logika), jujur, dan terbuka terhadap kritik maupun masukan dari pihak-pihak lain.

    RANGKUMAN

    1. Karakteristik pokok penelitian sosial ialah bahwa obyeknya adalah masyarakat berikut berbagai gejala sosial (social phenomena) dan kenyataan sosial (social facts).
    2. Sebagai kegiatan ilmiah, penelitian sosial berciri sistematis, logis, empiris, metodis, umum, dan akumulatif.
  • Makalah Perkembangan Peserta Didik

    Berikut ini Contoh Makalah Perkembangan Peserta Didik dalam perspektif Pendidikan. Makalah ini bertujuan untuk me

    Perkembangan Peserta Didik

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Masa remaja adalah periode di mana seseorang mulai bertanya-tanya mengenai berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya sebagai dasar bagi pembentukan nilai diri mereka. Elliot Turiel (1978) menyatakan bahwa para remaja mulai membuat penilaian tersendiri dalam menghadapi masalah-masalah populer yang berkenaan dengan lingkungan mereka, misalnya: politik, kemanusiaan, perang, keadaan sosial, dsb. Remaja tidak lagi menerima hasil pemikiran yang kaku, sederhana, dan absolut yang diberikan pada mereka selama ini tanpa bantahan. Remaja mulai mempertanyakan keabsahan pemikiran yang ada dan mempertimbangan lebih banyak alternatif lainnya.

    Secara kritis, remaja akan lebih banyak melakukan pengamatan keluar dan membandingkannya dengan hal-hal yang selama ini diajarkan dan ditanamkan kepadanya. Sebagian besar para remaja mulai melihat adanya “kenyataan” lain di luar dari yang selama ini diketahui dan dipercayainya. Ia akan melihat bahwa ada banyak aspek dalam melihat hidup dan beragam jenis pemikiran yang lain. Baginya dunia menjadi lebih luas dan seringkali membingungkan, terutama jika ia terbiasa dididik dalam suatu lingkungan tertentu saja selama masa kanak-kanak.

    Kemampuan berpikir dalam dimensi moral (moral reasoning) pada remaja berkembang karena mereka mulai melihat adanya kejanggalan dan ketidakseimbangan antara yang mereka percayai dahulu dengan kenyataan yang ada di sekitarnya. Mereka lalu merasa perlu mempertanyakan dan merekonstruksi pola pikir dengan “kenyataan” yang baru. Perubahan inilah yang seringkali mendasari sikap “pemberontakan” remaja terhadap peraturan atau otoritas yang selama ini diterima bulat-bulat. Misalnya, jika sejak kecil pada seorang anak diterapkan sebuah nilai moral yang mengatakan bahwa korupsi itu tidak baik.pada masa remaja ia akan mempertanyakan mengapa dunia sekelilingnya membiarkan korupsi itu tumbuh subur bahkan sangat mungkin korupsi itu dinilai baik dalam suatu kondisi tertentu. Hal ini tentu saja akan menimbulkan konflik nilai bagi sang remaja. Konflik nilai dalam diri remaja ini lambat laun akan menjadi sebuah masalah besar, jika remaja tidak menemukan jalan keluarnya. Kemungkinan remaja untuk tidak lagi mempercayai nilai-nilai yang ditanamkan oleh orangtua atau pendidik sejak masa kanak-kanak akan sangat besar jika orangtua atau pendidik tidak mampu memberikan penjelasan yang logis, apalagi jika lingkungan sekitarnya tidak mendukung penerapan nilai-nilai tersebut.

    Peranan orangtua atau pendidik sangat besar dalam memberikan alternatif jawaban dari hal-hal yang dipertanyakan oleh putra-putri remajanya. Orangtua yang bijak akan memberikan lebih dari satu jawaban dan alternatif supaya remaja itu bisa berpikir lebih jauh dan memilih yang terbaik. Orangtua yang tidak mampu memberikan penjelasan dengan bijak dan bersikap kaku akan membuat sang remaja tambah bingung. Remaja tersebut akan mencari jawaban di luar lingkaran orangtua dan nilai yang dianutnya. Ini bisa menjadi berbahaya jika “lingkungan baru” memberi jawaban yang tidak diinginkan atau bertentangan dengan yang diberikan oleh orangtua. Konflik dengan orangtua mungkin akan mulai menajam.

    Bab II. Tinjauan Pustaka

    Kata “remaja” berasal dari bahasa latin yaitu adolescere yang berarti to grow atau to grow maturity (Golinko, 1984 dalam Rice, 1990). Banyak tokoh yang memberikan definisi tentang remaja, seperti DeBrun (dalam Rice, 1990) mendefinisikan remaja sebagai periode. Papalia dan Olds (2001) tidak memberikan pengertian remaja (adolescent) secara eksplisit melainkan secara implisit melalui pengertian masa remaja (adolescence).

    Menurut Papalia dan Olds (2001), masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun.

    Menurut Adams & Gullota (dalam Aaro, 1997), masa remaja meliputi usia antara 11 hingga 20 tahun. Sedangkan Hurlock (1990) membagi masa remaja menjadi masa remaja awal (13 hingga 16 atau 17 tahun) dan masa remaja akhir (16 atau 17 tahun hingga 18 tahun). Masa remaja awal dan akhir dibedakan oleh Hurlock karena pada masa remaja akhir individu telah mencapai transisi perkembangan yang lebih mendekati masa dewasa.

    Papalia & Olds (2001) berpendapat bahwa masa remaja merupakan masa antara kanak-kanak dan dewasa. Sedangkan Anna Freud (dalam Hurlock, 1990) berpendapat bahwa pada masa remaja terjadi proses perkembangan meliputi perubahan-perubahan yang berhubungan dengan perkembangan psikoseksual, dan juga terjadi perubahan dalam hubungan dengan orangtua dan cita-cita mereka, dimana pembentukan cita-cita merupakan proses pembentukan orientasi masa depan.

    Transisi perkembangan pada masa remaja berarti sebagian perkembangan masa kanak-kanak masih dialami namun sebagian kematangan masa dewasa sudah dicapai (Hurlock, 1990). Bagian dari masa kanak-kanak itu antara lain proses pertumbuhan biologis misalnya tinggi badan masih terus bertambah. Sedangkan bagian dari masa dewasa antara lain proses kematangan semua organ tubuh termasuk fungsi reproduksi dan kematangan kognitif yang ditandai dengan mampu berpikir secara abstrak (Hurlock, 1990; Papalia & Olds, 2001).

    Remaja: pertumbuhan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa

    Yang dimaksud dengan perkembangan adalah perubahan yang terjadi pada rentang kehidupan (Papalia & Olds, 2001). Perubahan itu dapat terjadi secara kuantitatif, misalnya pertambahan tinggi atau berat tubuh; dan kualitatif, misalnya perubahan cara berpikir secara konkret menjadi abstrak (Papalia dan Olds, 2001). Perkembangan dalam kehidupan manusia terjadi pada aspek-aspek yang berbeda. Ada tiga aspek perkembangan yang dikemukakan Papalia dan Olds (2001), yaitu:

    1. perkembangan fisik,
    2. perkembangan kognitif, dan
    3. perkembangan kepribadian dan sosial.

    Aspek-aspek perkembangan pada masa remaja

    A. Perkembangan fisik

    Yang dimaksud dengan perkembangan fisik adalah perubahan-perubahan pada tubuh, otak, kapasitas sensoris dan ketrampilan motorik (Papalia & Olds, 2001). Perubahan pada tubuh ditandai dengan pertambahan tinggi dan berat tubuh, pertumbuhan tulang dan otot, dan kematangan organ seksual dan fungsi reproduksi. Tubuh remaja mulai beralih dari tubuh kanak-kanak yang cirinya adalah pertumbuhan menjadi tubuh orang dewasa yang cirinya adalah kematangan. Perubahan fisik otak sehingga strukturnya semakin sempurna meningkatkan kemampuan kognitif (Piaget dalam Papalia dan Olds, 2001).

    B. Perkembangan Kognitif

    Menurut Piaget (dalam Santrock, 2001), seorang remaja termotivasi untuk memahami dunia karena perilaku adaptasi secara biologis mereka. Dalam pandangan Piaget, remaja secara aktif membangun dunia kognitif mereka, di mana informasi yang didapatkan tidak langsung diterima begitu saja ke dalam skema kognitif mereka. Remaja sudah mampu membedakan antara hal-hal atau ide-ide yang lebih penting dibanding ide lainnya, lalu remaja juga menghubungkan ide-ide tersebut. Seorang remaja tidak saja mengorganisasikan apa yang dialami dan diamati, tetapi remaja mampu mengolah cara berpikir mereka sehingga memunculkan suatu ide baru.

    Perkembangan kognitif adalah perubahan kemampuan mental seperti belajar, memori, menalar, berpikir, dan bahasa. Piaget (dalam Papalia & Olds, 2001) mengemukakan bahwa pada masa remaja terjadi kematangan kognitif, yaitu interaksi dari struktur otak yang telah sempurna dan lingkungan sosial yang semakin luas untuk eksperimentasi memungkinkan remaja untuk berpikir abstrak. Piaget menyebut tahap perkembangan kognitif ini sebagai tahap operasi formal (dalam Papalia & Olds, 2001).

    Tahap formal operations adalah suatu tahap dimana seseorang sudah mampu berpikir secara abstrak. Seorang remaja tidak lagi terbatas pada hal-hal yang aktual, serta pengalaman yang benar-benar terjadi. Dengan mencapai tahap operasi formal remaja dapat berpikir dengan fleksibel dan kompleks. Seorang remaja mampu menemukan alternatif jawaban atau penjelasan tentang suatu hal. Berbeda dengan seorang anak yang baru mencapai tahap operasi konkret yang hanya mampu memikirkan satu penjelasan untuk suatu hal. Hal ini memungkinkan remaja berpikir secara hipotetis. Remaja sudah mampu memikirkan suatu situasi yang masih berupa rencana atau suatu bayangan (Santrock, 2001). Remaja dapat memahami bahwa tindakan yang dilakukan pada saat ini dapat memiliki efek pada masa yang akan datang. Dengan demikian, seorang remaja mampu memperkirakan konsekuensi dari tindakannya, termasuk adanya kemungkinan yang dapat membahayakan dirinya.

    Pada tahap ini, remaja juga sudah mulai mampu berspekulasi tentang sesuatu, dimana mereka sudah mulai membayangkan sesuatu yang diinginkan di masa depan. Perkembangan kognitif yang terjadi pada remaja juga dapat dilihat dari kemampuan seorang remaja untuk berpikir lebih logis. Remaja sudah mulai mempunyai pola berpikir sebagai peneliti, dimana mereka mampu membuat suatu perencanaan untuk mencapai suatu tujuan di masa depan (Santrock, 2001).

    Salah satu bagian perkembangan kognitif masa kanak-kanak yang belum sepenuhnya ditinggalkan oleh remaja adalah kecenderungan cara berpikir egosentrisme (Piaget dalam Papalia & Olds, 2001). Yang dimaksud dengan egosentrisme di sini adalah “ketidakmampuan melihat suatu hal dari sudut pandang orang lain” (Papalia dan Olds, 2001). Elkind (dalam Beyth-Marom et al., 1993; dalam Papalia & Olds, 2001) mengungkapkan salah satu bentuk cara berpikir egosentrisme yang dikenal dengan istilah personal fabel.

    Personal fabel adalah “suatu cerita yang kita katakan pada diri kita sendiri mengenai diri kita sendiri, tetapi [cerita] itu tidaklah benar” . Kata fabel berarti cerita rekaan yang tidak berdasarkan fakta, biasanya dengan tokoh-tokoh hewan. Personal fabel biasanya berisi keyakinan bahwa diri seseorang adalah unik dan memiliki karakteristik khusus yang hebat, yang diyakini benar adanya tanpa menyadari sudut pandang orang lain dan fakta sebenarnya. Papalia dan Olds (2001) dengan mengutip Elkind menjelaskan “personal fable” sebagai berikut :

    “Personal fable adalah keyakinan remaja bahwa diri mereka unik dan tidak terpengaruh oleh hukum alam. Belief egosentrik ini mendorong perilaku merusak diri [self-destructive] oleh remaja yang berpikir bahwa diri mereka secara magis terlindung dari bahaya. Misalnya seorang remaja putri berpikir bahwa dirinya tidak mungkin hamil [karena perilaku seksual yang dilakukannya], atau seorang remaja pria berpikir bahwa ia tidak akan sampai meninggal dunia di jalan raya [saat mengendarai mobil], atau remaja yang mencoba-coba obat terlarang [drugs] berpikir bahwa ia tidak akan mengalami kecanduan. Remaja biasanya menganggap bahwa hal-hal itu hanya terjadi pada orang lain, bukan pada dirinya”.

    Pendapat Elkind bahwa remaja memiliki semacam perasaan invulnerability yaitu keyakinan bahwa diri mereka tidak mungkin mengalami kejadian yang membahayakan diri, merupakan kutipan yang populer dalam penjelasan berkaitan perilaku berisiko yang dilakukan remaja (Beyth-Marom, dkk., 1993). Umumnya dikemukakan bahwa remaja biasanya dipandang memiliki keyakinan yang tidak realistis yaitu bahwa mereka dapat melakukan perilaku yang dipandang berbahaya tanpa kemungkinan mengalami bahaya itu.

    Beyth-Marom, dkk (1993) kemudian membuktikan bahwa ternyata baik remaja maupun orang dewasa memiliki kemungkinan yang sama untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku yang berisiko merusak diri (self-destructive). Mereka juga mengemukakan adanya derajat yang sama antara remaja dan orang dewasa dalam mempersepsi self-invulnerability. Dengan demikian, kecenderungan melakukan perilaku berisiko dan kecenderungan mempersepsi diri invulnerable menurut Beyth-Marom, dkk., pada remaja dan orang dewasa adalah sama.

    C. Perkembangan kepribadian dan sosial

    Yang dimaksud dengan perkembangan kepribadian adalah perubahan cara individu berhubungan dengan dunia dan menyatakan emosi secara unik; sedangkan perkembangan sosial berarti perubahan dalam berhubungan dengan orang lain (Papalia & Olds, 2001). Perkembangan kepribadian yang penting pada masa remaja adalah pencarian identitas diri. Yang dimaksud dengan pencarian identitas diri adalah proses menjadi seorang yang unik dengan peran yang penting dalam hidup (Erikson dalam Papalia & Olds, 2001).

    Perkembangan sosial pada masa remaja lebih melibatkan kelompok teman sebaya dibanding orang tua (Conger, 1991; Papalia & Olds, 2001). Dibanding pada masa kanak-kanak, remaja lebih banyak melakukan kegiatan di luar rumah seperti kegiatan sekolah, ekstra kurikuler dan bermain dengan teman (Conger, 1991; Papalia & Olds, 2001). Dengan demikian, pada masa remaja peran kelompok teman sebaya adalah besar.

    Pada diri remaja, pengaruh lingkungan dalam menentukan perilaku diakui cukup kuat. Walaupun remaja telah mencapai tahap perkembangan kognitif yang memadai untuk menentukan tindakannya sendiri, namun penentuan diri remaja dalam berperilaku banyak dipengaruhi oleh tekanan dari kelompok teman sebaya (Conger, 1991).

    Kelompok teman sebaya diakui dapat mempengaruhi pertimbangan dan keputusan seorang remaja tentang perilakunya (Beyth-Marom, et al., 1993; Conger, 1991; Deaux, et al, 1993; Papalia & Olds, 2001). Conger (1991) dan Papalia & Olds (2001) mengemukakan bahwa kelompok teman sebaya merupakan sumber referensi utama bagi remaja dalam hal persepsi dan sikap yang berkaitan dengan gaya hidup. Bagi remaja, teman-teman menjadi sumber informasi misalnya mengenai bagaimana cara berpakaian yang menarik, musik atau film apa yang bagus, dan sebagainya (Conger, 1991).

    1. Ciri-ciri Masa Remaja

    Masa remaja adalah suatu masa perubahan. Pada masa remaja terjadi perubahan yang cepat baik secara fisik, maupun psikologis. Ada beberapa perubahan yang terjadi selama masa remaja.

    1. Peningkatan emosional yang terjadi secara cepat pada masa remaja awal yang dikenal dengan sebagai masa storm & stress. Peningkatan emosional ini merupakan hasil dari perubahan fisik terutama hormon yang terjadi pada masa remaja. Dari segi kondisi sosial, peningkatan emosi ini merupakan tanda bahwa remaja berada dalam kondisi baru yang berbeda dari masa sebelumnya. Pada masa ini banyak tuntutan dan tekanan yang ditujukan pada remaja, misalnya mereka diharapkan untuk tidak lagi bertingkah seperti anak-anak, mereka harus lebih mandiri dan bertanggung jawab. Kemandirian dan tanggung jawab ini akan terbentuk seiring berjalannya waktu, dan akan nampak jelas pada remaja akhir yang duduk di awal-awal masa kuliah.
    2. Perubahan yang cepat secara fisik yang juga disertai kematangan seksual. Terkadang perubahan ini membuat remaja merasa tidak yakin akan diri dan kemampuan mereka sendiri. Perubahan fisik yang terjadi secara cepat, baik perubahan internal seperti sistem sirkulasi, pencernaan, dan sistem respirasi maupun perubahan eksternal seperti tinggi badan, berat badan, dan proporsi tubuh sangat berpengaruh terhadap konsep diri remaja.
    3. Perubahan dalam hal yang menarik bagi dirinya dan hubungan dengan orang lain. Selama masa remaja banyak hal-hal yang menarik bagi dirinya dibawa dari masa kanak-kanak digantikan dengan hal menarik yang baru dan lebih matang. Hal ini juga dikarenakan adanya tanggung jawab yang lebih besar pada masa remaja, maka remaja diharapkan untuk dapat mengarahkan ketertarikan mereka pada hal-hal yang lebih penting. Perubahan juga terjadi dalam hubungan dengan orang lain. Remaja tidak lagi berhubungan hanya dengan individu dari jenis kelamin yang sama, tetapi juga dengan lawan jenis, dan dengan orang dewasa.
    4. Perubahan nilai, dimana apa yang mereka anggap penting pada masa kanak-kanak menjadi kurang penting karena sudah mendekati dewasa.
    5. Kebanyakan remaja bersikap ambivalen dalam menghadapi perubahan yang terjadi. Di satu sisi mereka menginginkan kebebasan, tetapi di sisi lain mereka takut akan tanggung jawab yang menyertai kebebasan tersebut, serta meragukan kemampuan mereka sendiri untuk memikul tanggung jawab tersebut.
    2. Tugas perkembangan remaja

    Tugas perkembangan remaja menurut Havighurst dalam Gunarsa (1991) antara lain :

    • memperluas hubungan antara pribadi dan berkomunikasi secara lebih dewasa dengan kawan sebaya, baik laki-laki maupun perempuan
    • memperoleh peranan sosial
    • menerima kebutuhannya dan menggunakannya dengan efektif
    • memperoleh kebebasan emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya
    • mencapai kepastian akan kebebasan dan kemampuan berdiri sendiri
    • memilih dan mempersiapkan lapangan pekerjaan
    • mempersiapkan diri dalam pembentukan keluarga
    • membentuk sistem nilai, moralitas dan falsafah hidup

    Erikson (1968, dalam Papalia, Olds & Feldman, 2001) mengatakan bahwa tugas utama remaja adalah menghadapi identity versus identity confusion, yang merupakan krisis ke-5 dalam tahap perkembangan psikososial yang diutarakannya. Tugas perkembangan ini bertujuan untuk mencari identitas diri agar nantinya remaja dapat menjadi orang dewasa yang unik dengan sense of self yang koheren dan peran yang bernilai di masyarakat (Papalia, Olds & Feldman, 2001).

    Untuk menyelesaikan krisis ini remaja harus berusaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa perannya dalam masyarakat, apakah nantinya ia akan berhasil atau gagal yang pada akhirnya menuntut seorang remaja untuk melakukan penyesuaian mental, dan menentukan peran, sikap, nilai, serta minat yang dimilikinya.

    D. Perkembangan Moral Pada Masa Remaja

    Istilah moral berasal dari kata Latin “mos” (moris) yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan/nilai-nilai atau tata cara kehidupan. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral.

    Nilai-nilai moral itu, seperti seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan, memelihara kebersihan, dan memelihara hak orang lain, serta larangan mencuri, berzina, membunuh, meminum minuman keras dan berjudi.

    Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya.

    3.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi

    Perkembangan moral seorang anak banyak dipengaruhi oleh lingkungannya. Anak memperoleh nilai-nilai moral dari lingkungannya, terutama dari orangtuanya. Dia belajar untuk mengenal nlai-nilai dan berprilaku sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Dalam mengembangkan nilai moral anak, peranan orangtua sangatlah penting, terutama pada waktu anak masih kecil. Beberapa sikap orangtua yang perlu diperhatikan sehubungan dengan perkembangan moral anak , diantaranya  sebagai berikut :

    a.      Konsisten dalam mendidik anak

    Ayah dan ibu harus memiliki sikap dan perlakuan yang sama dalam melarang atau membolehkan tingkah laku tertentu kepada anak. Suatu tingkah laku anak yang dilarang oleh orangtua pada suatu waktu, harus juga dilarang apabila dilakukan pada waktu lain.

    b.      Sikap orangtua dalam keluarga

    Secara tidak langsung, sikap orangtua terhadap anak, sikap ayah terhadap ibu, atau sebaliknya, dapat mempengaruhi perkembangan moral anak, yaitu melalui proses peniruan (imitasi). Sikap orangtua yang keras (otoriter) cenderung melahirkan sikap disiplin semu oada anak, sedangkan sikap yang acuh tak acuh atau sikap masa bodoh, cenderung mengembangkan sikap kurang bertanggungjawab dan kurang mempedulikan norma pada diri anak. Sikap yang sebaiknya dimiliki oleh orangtua adalah sikap kasih saying, keterbukaan, musyawarah (dialogis).

    Interaksi dalam keluarga turut mempengaruhi perkembangan moral anak

    c.       Penghayatan dan pengamalan agama yang dianut

    Orangtua merupakan panutan (teladan) bagi anak, termasuk disini panutan dalam mengamalkan ajaran agama. Orangtua yang menciptakan iklim yang religious (agamis), dengan cara memberikan ajaran atau bimbingan tentang nilai-nilai agama kepada anak, maka anak akan mengalami perkembangan moral yang baik.

    d.      Sikap konsisten orangtua dalam menerapkan norma

    Orangtua yang tidak menghendaki anaknya berbohong, atau berlaku tidak jujur, maka mereka harus menjauhkan dirinya dari prilaku berbohong atau tidak jujur. Apabila orangtua mengajarkan kepada anak, agar berprilaku jujur, bertutur kata yang sopan, bertanggungjawab atau taat beragama, tetapi orangtua sendiri menampilkan perilaku sebaliknya, maka anak akan mengalami konflik pada dirinya, dan akan menggunakan ketidakkonsistenan orangtua itu sebagai alas an untuk tidak melakukan apa yang diinginkan orangtuanya, bahkan mungkin dia akan berprilaku seperti orangtuanya.

    3.3 Karakteristik Perkembangan

    Karakteristik yang menonjol dalam perkembangan moral remaja adalah bahwa sesuai dengan tingkat perkembangan kognisi yang mulai mencapai tahapan berfikir operasional formal, yaitu mulai mampu berpikir abstrak dan mampu memecahkan masala-masalah yang bersifat hipotetis maka pemikiran remaja terhadap suatu permasalahan tidak lagi hanya terikat pada waktu, tempat, dan situasi, tetapi juga pada sumber moral yang menjadi dasar hidup mereka (Gunarsa,1988).

    Perkembangan pemikiran moral remaja dicirikan dengan mulai tumbuh kesadaran akan kewajiban mempertahankan kekuasaan dan pranata yang ada karena dianggap sebagai suatu yang bernilai, walau belum mampu mempertanggung jawabkannya secara pribadi (Monks, 1988). Perkembangan moral remaja yang demikian, jika meminjam teori perkembangan moral dari Kohlberg berarti sudah mencapai tahap konvensioanl. Pada akhir masa remaja seseorang akan memasuki tahap perkembangan pemikiran moral yang disebut tahap pascakonvensional ketika orisinilitas pemikiran moral remaja sudah semakin jelas. Pemikiran moral remaja berkembang sebagai pendirian pribadi yang tidak tergantung lagi pada pendapat atau pranata yang bersifat konvensional.

    Melalui pengalaman atau berinteraksi social dengan orang tua, guru, teman sebaya atau orang dewasa lainnya, tingkat moralitas remaja sudah lebih matang jika dibandingkan dengan usia anak. Mereka sudah lebih mengenal tentang nilai-nilai moral atau konsep-konsep moralitas, seperti kejujuran, keadilan, kesopanan, dan kedisiplinan.

    Pada masa ini muncul dorongan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat dinilai baik oleh orang lain. Remaja berprilaku bukan hanya untuk memenuhi kepuasan fisiknya, tetapi psikologis (rasa puas dengan adanya penerimaan dan penilaian positif dari orang lain tentang perbuatannya).

    Dikaitkan dengan perkembangan moral dari Lawrence Kohlberg, menurut Kusdwirarti Setiono (Fuad Noshori, Suara Pembaharuan, 7 Maret 1997) pada umunya remaja berada dalam tingkatan konvensional, atau berada dalam tahap ketiga (berprilaku sesuai dengan tuntutan dan harapan kelompok), dan keempat (loyalitas terhadap norma atau peratutan yang berlaku dan diyakininya).

    Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kusmara (Mahasiswa PPB FIP IKIP Bandung) terhadap siswa kelas II SMA Negeri 22 Bandung pada tahun 1995 ditemukan bahwa tingkatan moral mereka itu bersifat menyebar, yaitu pada tingkat pra-konvensional (14%), konvensional (38%), dan pasca-konvensional (48%). Jumlah para siswa yang menjadi responden penelitiannya sebanyak 120 orang.

    Dengan masih adanya siswa SMU (remaja) pada tingkat pra-konvensional atau konvensional, maka tidaklah heran apabila diantara remaja masih banyak yang melakukan dekadensi moral atau pelecehan nilai-nilai seperti tawuran, tindak criminal, meminum minuman keras, dan hubungan seks di luar nikah.

    Remaja berprestasi dan tawuran adalah dua hal berbeda yang merupakan cerminan moral yang dianut remaja.

    Keragaman tingkat moral remaja disebabkan oleh factor penentunya yang beragam juga. Salah satu factor penentu atau yang mempengaruhi perkembangan moral remaja itu adalah orangtua. Manurut Adamm dan Gullotta (183: 172-173) terdapat beberapa hasil penelitian yang menunjukkan bahwa orangtua mempengaruhi nilai remaja, yaitu sebagai berikut :

    1. Terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat moral remaja dengan tingkat moral orangtua  (Haan, Langer & Kohlberg, 1976).
    2. Ibu-ibu remaja yang tidak nakal mempunyai skor yang lebih tinggi dalam tahapan nalar moralnya daripada ibu-ibu yang anaknya nakal, dan remaja yang tidak nakal mempunyai skor lebih tinggi dalam kemampuan nalar moralnya daripada remaja yang nakal (Hudgins & Prentice, 1973).
    3. Terdapat dua factor yang  dapat meningkatkan perkembangan moral anak atau remaja, yaitu :
      1. Orangtua yang mendorong anak untuk berdiskusi secara demokratik dan terbuka mengenai berbagai isu, dan
      2. Orangtua yang menerapkan disiplin terhadap anak dengan teknik berpikir induktif  (Parikh, 1980).

    3.4 Upaya-upaya Sekolah Dalam Rangka Mengembangkannya

    Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang secara sistematik melaksanakan program bimbingan, pengajaran, dan latihan dalam rangka membantu siswa agar mampu mengembangkan potensinya, baik yang menyangkut aspek moral-spiritual, intelektual, emosional, maupun social.

    Upaya sekolah dalam memfasilitasi tugas-tugas perkembangan siswa akan berjalan baik apabila di sekolah tersebut telah tercipta iklim atau atmosfir yang sehat atau efektif, baik menyangkut aspek menejemennya maupun profesionalisme para personelnya.

    Masa remaja akhir sudah mampu memahami dan mengarahkan diri untuk mengemnbangkan  dan memelihara identitas dirinya. Dalam proses perkembangan independensi sebagai antisipasi mendekati masa dewasa yang matang, remaja :

    1. Berusaha untuk bersikap hati-hati dalam berprilaku, memahami kemampuan dan kelemahan dirinya.
    2. Meneliti dan mengkaji makna, tujuan, dan keputusan tentang jenis manusia seperti apa yang dia inginkan.
    3. Memperhatikan etika masyarakat, keinginan orangtua dan sikap teman-temannya.
    4. Mengembangkan sifat-sifat pribadi yang diinginkannya.

    BAB IV

    PERKEMBANGAN NILAI

    PADA MASA REMAJA

    4.1  Pengertian

    Menurut Sutikna (1988:5), nilai adalah norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, misalnya adat kebiasaan dan sopan-santun. Menurut Spranger , dikutip oleh Sunaryo Kartadinata (1988), nilai merupakan suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh individu untuk menimbang dan memilih alternative keputusan dalam situassi social tertentu.

    Jadi, nilai itu merupakan :

    1.   Sesuatu yang diyakini kebenarannya dan mendorong orang untuk mewujudkannya.

    2.   Produk social yang diterima sebagai milik bersama dengan kelompoknya.

    3.   Sebagai standar konseptual yang relative stabil yang membimbing individu dalam menentukan tujuan yang ingin dicapai dalam rangka memenuhi kebutuhan psikologisnya.

    Spranger menggolongkan nilai ke dalam enam jenis nilai, yaitu :

    1.      Nilai teori atau nilai keilmuan

    Adalah nilai yang mendasari perbuatan seseorang berdasarkan pertimbangan rasional.

    2.      Nilai ekonomi

    Adalah nilai yang mendasari perbuatan atas dasar pertimbangan untung rugi atau financial.

    3.      Nilai social atau solidaritas

    Tidak memperhitungkan laba atau rugi terhadap dirinya yang penting dia dapat melakukannya untuk kepentingan orang lain dan menimbulkan rasa puas pada dirinya.

    4.      Nilai agama

    Atas dasar pertimbangan kepercayaan bahwa sesuatu itu benar menurut agama dan merasa berdosa jika tidak berbuat sesuai yang disyariatkan agama.

    5.      Nilai seni

    Atas dasar pertimbangan  rasa keindahan atau rasa seni yang terlepas dari berbagai pertimbangan material.

    6.      Nilai Politik

    Atas dasar pertimbangan baik-buruknya untuk kepentingan dirinya atau kelompoknya.

    Remaja sebagai individu maupun sebagai komunitas masyarakat memiliki nilai-nilai yang dianutnya. Nilai yang dianut remaja tersebt dapat dipengaruhi oleh posisi kehidupan mereka, apakah kehidupan secara modern atau secara tradisional. Nilai yang dianutnya akan berpengaruh terhadap prilaku remaja tersebut.

    Nilai-nilai kehidupan yang perlu diinformasikan dan selanjutnya dihayati oleh para remaja tidak terbatas pada adat kebiasaan dan sopan santun saja, namun juga seperangkat nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila misalnya nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai perikemanusiaan dan perikeadilan, nilai-nilai estetik, nilai-nilai etik, dan nilai-nilai intelektual dalam bentuk-bentuk sesuai  dengan perkembangan  remaja.

    Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila contohnya :

    ·   Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban.

    ·   Mengembangkan sikap tenggang rasa

    ·   Tidak semena-mena terhadap orang lain.

    4.2  Faktor-faktor Yang Mempengaruhi

    Nilai adalah suatu ukuran atau parameter terhadap suatu obyek tertentu  Nilai dapat diartikan sebagai ukuran baik atau buruknya sesuatu. Bisa juga diartikan sebagai harga (value) dari sesuatu. Nilai-nilai kehidupan adalah norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, misalnya, adat kebiasaan dan sopan santun (sutikna, 1988:5).

    Beberapa factor yang mempengaruhi perkembangan nilai ada masa remaja adalah sebagai berikut :

    1.      Diri Sendiri

    Setiap orang memiliki ukuran baik atau buruk sesuatu dengan sudut pandang orang tersebut terhadap sesuatu, sehingga jika si A menganggap bersendawa setelah makan itu adalah baik, belum tentu si B menganggap hal tersebut juga prilaku yang baik. Jadi, setiap orang memiliki penilaian tersendiri terhadap sesuatu yang akan diwujudkan dalam tingkah lakunya. Hal ini termasuk dalam sikap normative, yaitu nilai merupakan suatu keharusan yang menuntut diwujudkan dalam tingkah laku. Misalnya : nilai kesopanan dan kesedrhanaan, orang yang selalu bersikap sopan akan selalu berusaha menjaga tutr kata dan sikapnya sehingga dapat membedakan tindakan yang baik dan yang buruk. Dengan kata lain, nilai-nilai perlu dikenal terlebih dahulu, kemudian dihayati dan didorong oleh moral, baru kemudian akan terbentuk sikap tertentu terhadap nilai-nilai tersebut. Dalam masa remaja, mereka menganggap diri mereka adalah benar dan apa yang mereka yakini pun adalah benar.

    2.      Teman/Orang Terdekat

    Pengaruh dari orang lain juga berperan dalam terwujudnya suatu nilai. Teman atau orang terdekat biasanya memiliki suatu paham dan sifat yang hamper sama satu sama lainnya. Dalam pertemanan biasanya mudah untuk saling memahami dan memberikan penanaman suatu paham ke teman lainnya dan orang tersebut akan menganggap suatu paham yang ditanam padanya adalah benar. Ini dikarenakan dalam pertemanan mereka akan saling mempercayai satu sama lainnya. Misalnya : si A berjalan didepan orang yang lebih tua yang sedang duduk tanpa member hormat (membungkuk sedikit), lalu teman terdekatnya yang melihat itu mengatakan bahwa hal tersebut tidak baik untuk dilakukan dan merupakan hal yang tidak sopan. Seharusnya kita melewati orang yang lebih tua, sebaiknya membungkuk sedikit (member hormat kepada yang lebih tua). Sehingga setelah diberikan pemahaman, si A mengerti dam melakukan apa yang dikatakan temannya tersebut. Pada masa remaja, seseorang akan lebih percaya atau memiliki hubungan yang lebih dekat dengan temannya dibandingkan hubungan dengan keluarganya. Mereka lebih sering bersosialisai dengan temannya sehingga penanaman nilai akan mudah terserap dan ditanam pada diri remaja tersebut.

    3.      Pergaulan

    Pergaulan yang memberikan pengaruh yang baikakan mewujudkan suatu nilai yang baik poula dan sebaliknya. Didalam pergaulan terdapat interaksi nilai yang dianut seseorang. Bisa saja nilai yang dulu dianggap baik dapat berubah menjadi nilai yang buruk setelah interaksi atau penglihatan yang dialaminya dalam pergaulan. Tetapi itu tergantung dari remaja tersebut, apakah ia bertahan terhadap nilai yang telah dianutnya atau akan merubahnya. Di dalam perkembangan, hal ini mungkin saja terjadi. Misalnya menceritakan hal-hal yang buruk/kejelelkan orang lain. Yang dulunya dianggap biasa saja, setelah pergaulan yang membawa nilai positif melalui pembelajaran nilai tersebut berubah menjadi buruk.

    Pergaulan pada masa remaja turut menentukan nilai yang dianutnya.

    Pergaulan menjadi hal yang penting pada masa remaja. Pada saat itu pergaulan menentukan sikap/tingkah laku dari nilai yang dan seseorang. Pergaulan yang baik akan menciptakan nilai yang baik dan sebaliknya. Remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak yang sangat rawan dalam penentuan nilai. Ditekankan sekali lagi bahwa pada masa remaja, seseorang lebih sering berinteraksi dengan temannya dalam bentuk pergaulan disbanding dengan keluarganya.

    4.      Teknologi

    Pengaruh dari kecanggihan teknologi juga memiliki pengaruh kuat terhadap terwujudnya suatu nilai. Di era sekarang, remaja banyak menggunakan teknologi untuk belajar maupun hiburan. Contoh : internet memiliki fasilitas yang menwarkan berbagai informasi yang dapat diakses secara langsung.

    Remaja dan internet

    Nilai positifnya, ketika remaja atau siswa mencari bahan pelajaran yang mereka butuhkan mereka dapat mengaksesnya dari internet. Namun internet juga memiliki nilai negative seperti tersedianya situs porno yang dapat merusak moral remaja. Apalagi pada masa remaja memiliki rasa keingintahuan yang besar dan sangat rentan terhadap informs sperti itu. Mereka belum bisa mengolah pikiran secara matang yang akhirnya akan menimbulkan berbagai tindak kejahatan seperti pemerkosaan dan hamil di luar nikah/hamil usia dini.

    5.      Lingkungan / Masyarakat

    Kenyamanan dalam bertempat tinggal memiliki peran yang besar dalam pembentuukan nilai individu. Remaja yang memiliki potensi tersosialisasi baik akan pandai berteman dan memiliki tenggang rasa yang kuat. Hal ini didukung oleh lingkungan yang mendukung pula. Maka akan terwujud nilai kesejaheraan yang baik. Bagi remaja hal ini akan berguna untuk mewujudkan rasa percaya diri dan bersosialisasi yang baik kepada masyarakat.

    ·         Identifikasi dengan orang-orang yang dianggapnya sebagai model. Maksudnya mengikuti sikap dan prilaku yang dianggapnya sebagai idola.

    ·         Hubungan anak dengan orangtuanya.

    ·         Adanya control dari masyarakat yang mempunyai sanksi-sanksi tersendiri buat pelanggar-pelanggarnya.

    ·         Unsur Lingkungan berbentuk manusia yang langsung dikenal atau dihadapi oleh seseorang sebagai perwujudan dari nilai-nilai tertentu.

    ·         Aktivitas-aktivitas anak remaja yang diperankannya.

    4.3  Karakteristik Perkembangan

                Karena masa remaja merupakan masa mencari jati diri, dan berusaha melepaskan diri dari lingkungan orang tua untuk menemukan jati dirinya maka masa remaja menjadi suatu periode yang sangat penting dalam pembentukan nilai (Horrocks, 1976; Adi, 1986; Monks, 1989). Salah satu karakteristik remaja yang sangat menonjol berkaitan dengan nilai adalah bahwa remaja sudah sangat merasakan pentingnya tata nilai dan mengembangkan nilai-nilai baru yang sangat diperlukan sebagai pedoman, pegangan, atau petunjuk dalam mencari jalannya sendiri untuk menumbuhkan identitas diri menuju kepribadian yang semakin matang (Sarwono, 1989). Pembentukan nilai-nilai baru dilakukan dengan cara identifikasi dan imitasi terhadap tokoh atau model tertentu atau bisa saja berusaha mengembangkannya sendiri.

    4.4  Upaya-upaya Sekolah Dalam Rangka Mengembangkannya

    Nilai adalah suatu ukuran atau parameter terhadap suatu obyek tertentu. Nilai dapat diartikan sebagai ukuran baik atau buruknya sesuatu. Bisa juga diartikan sebagai harga (value) dari sesuatu. Nilai-nilai kehidupan adalah norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, misalnya, adat kebiasaan dan sopan santun (Sutikna, 1988:5).

     Dapat dikatakan bahwa lingkungan adalah faktor yang paling penting bagi perkembangan nilai, remaja yang seiring dengan pematangan kepribadian remaja tersebut. Nilai bersifat abstrak, dalam arti tidak dapat ditangkap melalui indra, yang dapat ditangkap adalah objek yang memiliki nilai. Meskipun abstrak, nilai merupakan suatu realitas, sesuatu yang ada dan dibutuhkan manusia. Jadi, nilai bersifat normatif, suatu keharusan yang menuntut diwujudkan dalam tingkah laku, misalnya nilai kesopanan dan kesederhanaan. Misalnya, seseorang yang selalu bersikap sopan santun akan selalu berusaha menjaga tutur kata dan sikap sehingga dapat membedakan tindakan yang baik dan yang buruk. Dengan kata lain, nilai-nilai perlu dikenal terlebih dahulu, kemudian dihayati dan didorong oleh moral, baru kemudian akan terbentuk sikap tertentu terhadap nilai-nilai tersebut.

    Kondisi psikologis remaja mengalami ketidakstabilan. Dalam keadaan seperti itu, mereka perlu dibimbing untuk mengenal nilai-nilai dalam kehidupan 3 yang tidak terbatas pada adat kebiasaan dan sopan santun saja, tetapi juga nilai-nilai keagamaan, keadilan, estetik dan nilai-nilai intelektual dalam bentuk-bentuk sesuai dengan perkembangan remaja.

     Ketika anak berada dalam masa perkembangan, pembentukan moralnya dipengaruhi oleh lingkungannya. Dimulai dari lingkungan keluarga, dimana orang tua mengenalkan nilai-nilai sederhana seperti kesopanan terhadap ayah dan ibu. Saat pergaulan anak tersebut makin luas pada usia remaja, dia akan mengenal lebih banyak nilai-nilai kehidupan melalui kejadian-kejadian di sekitarnya. Remaja terdorong untuk mengidentifikasi peristiwa yang dialaminya sehingga dapat membedakan sikap mana yang baik dan mana yang tidak baik untuk dilakukan

    Upaya membantu remaja menemukan identitas diri:

    a. Berilah informasi tentang pilihan-pilihan karier dan peran-peran orang dewasa

    b.  Membantu siswa menemukan sumber-sumber untuk memecahkan masalah pribadinya (melalui guru konseling)

    c.  Bersikap toleran terhadap tingkah laku remaja yang dipandang aneh. Caranya: mendiskusikan tentang tatakrama dlm berpakaian

    d. Memberi umpan balik yg realistik tentang dirinya. Caranya: berdiskusi dg siswa, member contoh orang lain yg sukses dalam hidup.

    Menurut Kohlberg ;

    1. Anak menganggap baik dan buruk atas dasar akibat yang ditimbulkannya berupa kepatuhan dan hukuman atas kekuasaan yang tidak bisa diganggu gugat. Misalnya, jika anak tidak mau belajar maka dia tidak akan diijinkan untuk bermain dengan temannya.

    2. Anak tidak lagi secara mutlak tergantung kepada aturan yang ada di luar dirinya atau ditentukan oleh orang lain, tetapi mereka sadar bahwa setiap kejadian dapat dipandang dari berbagai sisi yaitu sisi manfaat dan kerugiannya.

    3. Anak mulai memasuki umur belasan tahun, dimana anak memperlihatkan orientasi perbuatan-perbuatan yang dapat dinilai baik atau tidak baik oleh orang lain.

    4. Anak merasakan bahwa perbuatan baik yang diperlihatkan bukan hanya agar dapat diterima lingkungan, tetapi juga bertujuan agar dapat ikut mempertahankan aturan atau norma sosial, contohnya seorang remaja yang mulai belajar menghormati orang yang lebih tua dengan bersikap ramah dan santun

    5. Remaja menyadari adanya hubungan timbal balik antara dirinya dengan lingkungan sosial melalui kata hati yang dirasakannya. Maksudnya, jika dia menjalankan kewajibannya sebagai anggota masyarakat maka lingkungan aka memberikan perlindungan dan rasa nyaman padanya.

    6, (Prinsip Universal), remaja mengadakan penginternalisasian moral yaitu remaja melakukan tingkah laku moral yang dikemudikan oleh tanggung jawab batin sendiri, menjadikan penilaian moral sebagai nilai-nilaipribadi yang tercermin pada tingkah lakunya.

    Mengenai peranan sekolah dalam mengembangkan kepribadian anak, Hurlock (1986: 322) mengemukakan bahwa sekolah merupakan factor penentu bagi perkembangan kepribadian anak (siswa), baik dalam cara berpikir, bersikap, maupun cara berprilaku. Sekolah berperan sebagai substitusi keluarga dan guru substitusi orangtua. Ada beberapa alassan, mengapa sekolah memainkan peranan penting yang berarti bagi perkembangan kepribadian anak, yaitu ;

    a)      Siswa harus hadir disekolah

    b)      Sekolah memberikan pengaruh kepada anak secara dini seiring dengan masa perkembangan ‘konsep dirinya”.

    c)      Anak-anak banyak menghabiskan waktunya di sekolah daripada di tempat lain di luar rumah

    d)      Sekolah member kesempatan kepada siswa untuk meraih sukses

    e)      Sekolah member kesempatan pertama kepada anak untuk menilai dirinya dan kemampuannya secara realistic.

    BAB  V

    PERKEMBANGAN AGAMA

     PADA MASA REMAJA

    5.1  Pengertian

    Masa remaja adalah masa bergejolaknya bermacam-macam perasaan yang kadang-kadang bertentangan satu sama lain. Kondisi ini menyebabkan terjadinya perubahan emosi yang begitu cepat dalam diri remaja,,seperti ketidakstabilan perasaan remaja kepada Tuhan/Agama.

    Sebagaimana yang dijelaskan oleh Adams dan Gullotta (1983), agama memberikan sebuah kerangka moral, sehingga membuat seseorang mampu membandingkan tingkah lakunya, agama dapat menstabilkan tingkah laku dan bisa memberikan penjelasan mengapa dan untuk apa seseorang berada di dunia ini, agama memberikan perlindungan rasa aman, terutama bagi remaja yang tengah mencari eksistensi dirinya.

    Fitrah beragama ini merupakan disposisi (kemampuan dasar) yang mengandung kemungkinan atau berpeluang untuk berkembang. Namun, mengenai arah dan kualitas perkembangan beragama remaja sangat bergantung kepada proses pendidikan yang diterimanya. Jiwa beragama atau kesadaran beragama merujuk kepada aspek rohaniah individu yang berkaitan dengan keimanan kepada Allah yang direfleksikan kedalam peribadatan kepada-Nya.

    Kebutuhan remaja akan Allah kadang-kadang tidak terasa ketika remaja dalam keadaan tenang, aman, dan tentram. Sebaliknya Allah sangat dibutuhkan apabila remaja dalam keadaan gelisah, ketika ada ancaman, takut akan kegelapan, ketika merasa berdosa.

    Jadi,,kesimpulannya,,perasaan remaja pada agama adalah ambivalensi. Kadang-kadang sangat cinta dan percaya pada Tuhan, tetapi sering pula berubah menjadi acuh tak acuh dan menentang (Zakiyah Darajat, 2003:96-96 dan Sururin, 2002:70).

    5.2  Faktor-faktor Yang Mempengaruhi

    Tidak sedikit remaja yang bimbang dan ragu dengan agama yang diterimanya,,W. Sturbuck meneliti mahasiswa Middle Burg College. Dari 142 remaja yang berusia 11-26 tahun, terdapat 53% yang mengalami keraguan tentang:

    a)      Ajaran agama yang mereka terima.

    b)      Cara penerapan ajaran agama.

    c)      Keadaan lembaga-lembaga keagamaan.

    d)      Para pemuka agama

    Menurut analisis yang dilakukan W.Starbuck, keraguan itu disebabkan oleh factor:

    1. Kepribadian

    Tipe kepribadian dan jenis kelamin, bisa menyebabkan remaja melakukan salah tafsir terhadap ajaran agama.

    Ø  Bagi individu yang memiliki kepribadian yang introvert, ketika mereka mendapatkan kegagalan dalam mendapatkan pertolongan Tuhan, maka akan menyebabkan mereka salah tafsir terhadap sifat Maha Pengasih dan Maha Penyayangnya Tuhan.

    Misalnya: Ketika berdoa’a tidak terkabul,,maka mereka akan menjadi ragu akan kebenaran sifat Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang Tuhan tersebut. Kondisi ini akan sangat membekas pada remaja yang introvert walau sebelumnya dia taat beragama.

    Ø  Untuk jenis kelamin

    Wanita yang cepat matang akan lebih menunjukkan keraguan pada ajaran agama dibandingkan pada laki-laki cepat matang.

    2. Kesalahan Organisasi Keagamaan dan Pemuka Agama

    Kesalahan ini dipicu oleh “dalam kenyataannya,,terdapat banyak organisasi dan aliran-aliran keagamaan”. Dalam pandangan remaja hal itu mengesankan adanya pertentangan dalam ajaran agama. Selain itu remaja juga melihat kenyataan “Tidak tanduk keagamaan para pemuka agama yang tidak sepenuhnya menuruti tuntutan agama”.

    3. Pernyataan Kebutuhan Agama

    Pada dasarnya manusia memiliki sifat konservatif (senang dengan yang sudah ada),, namun disisi lain,,manusia juga memiliki dorongan curiosity (dorongan ingin tahu).

    Kedua sifat bawaan ini merupakan kenyataan dari kebutuhan manusia yag normal. Apa yang menyebabkan pernyataan kebutuhan manusia itu berkaitan dengan munculnya keraguan pada ajaran agama?

    Dengan dorongan Curiosity, maka remaja akan terdorong untuk mempelajari/mengkaji ajaran agamanya. Jika dalam pengkajian itu terdapat perbedaan-perbedaan atau terdapat ketidaksejalanan dengan apa yang telah dimilikinya (konservatif) maka akan menimbulkan keraguan.

    4. Kebiasaan

    Remaja yang sudah terbiasa dengan suatu tradisi keagamaan yang dianutnya akan ragu untuk menerima kebenaran ajaran lain yang baru diterimanya/dilihatnya.

    Kebiasaan mengaji untuk menanamkan nilai-nilai agama

    5. Pendidikan

    Kondisi ini terjadi pada remaja yang terpelajar. Remaja yang terpelajar akan lebih kritis terhadap ajaran agamanya. Terutama yang banyak mengandung ajaran yang bersifat dogmatis. Apalagi jika mereka memiliki kemampuan untuk menafsirkan ajaran agama yang dianutnya secara lebih rasional.

    6. Percampuran Antara Agama dengan Mistik

    Dalam kenyataan yang ada ditengah-tengah masyarakat,,kadang-kadang tanpa disadari ada tindak keagamaan yang mereka lakukan ditopangi oleh mistik dan praktek kebatinan. Penyatuan unsur ini menyebabkan remaja menjadi ragu untuk menentukan antara unsur agama dengan mistik.

    Penyebab keraguan remaja dalam bidang agama yang dikemukakan oleh Starbuck diatas,,adalah penyebab keraguan yang bersifat umum bukan yang bersifat individual. Keraguan remaja pada agama bisa juga terjadi secara individual. Keraguan yang bersifat individual ini disebabkan oleh:

    a. Kepercayaan

    Yaitu: Keraguan yang menyangkut masalah ke-Tuhanan dan implikasinya. Keraguan seperti ini berpeluang pada remaja agama Kristen,,yaitu: tentang ke-Tuhanan yang Trinitas.

    b. Tempat Suci

    Yaitu: keraguan yang menyangkut masalah pemuliaan dan pengaguman tempat-tempat suci.

    c. Alat Perlengkapan Agama

    Misalnya: Fungsi salib pada ajaran agama kristen

    d. Fungsi dan Tugas dalam Lembaga Keagamaan

    Misalnya: Fungsi pendeta sebagai penghapus dosa

    e. Pemuka agama, biarawan dan biarawati

    f. Perbedaan aliran dalam keagamaan

    Keraguan yang dialami remaja dalam bidang agama dapat memicu konflik dalam diri remaja. Bentuk dari konflik itu “Remaja akan dihadapkan kepada pemilihan antara mana yang baik dan yang buruk serta antara yang benar dan salah”.

    Jenis konflik yang memungkinkan dialami remaja:

    a) Konflik yang terjadi antara percaya dan ragu.

    b) Konflik yang terjadi antara pemilihan satu diantara dua macam agama atau antara dua ide keagamaan atau antara dua lembaga keagamaan.

    c) Konflik yang terjadi oleh pemilihan antara ketaatan beragama atau sekuler.

    d) Konflik yang terjadi antara melepaskan kebiasaan masa lalu dengan kehidupan keagamaan yang didasarkan atas petunjuk Ilahi.

    Jadi,

    v  Tingkat keyakinan dan ketaatan remaja pada agama sangat dipengaruhi oleh kemampuan mereka dalam menyelesaikan keraguan dan konflik batin yang terjadi dalam dirinya.

    v  Dalam upaya mengatasi konflik batin, para remaja cenderung untuk bergabung dalam peer groups-nya dalam rangka berbagi rasa dan pengalaman. Kondisi inipun akan mempengaruhi keyakinan dan ketaatan remaja pada agama (Jalaluddin, 2002:78-81)

    Faktor lain yang mempengaruhi adalah,,adanya motivasi dari dalam diri remaja itu sendiri. Menurut Yahya Jaya,,motivasi beragama adalah: Usaha yang ada dalam diri manusia yang mendorongnya untuk berbuat sesuatu tindak keagamaan dengan tujuan tertentu atau usaha yang menyebabkan seseorang beragama.

    Menurut Nico Syukur, Manusia termotivasi untuk beragama atau melakukan tindak keagamaan dalam 4 hal:

    1. Didorng oleh keinginan untuk mengatasi frustasi dalam kehidupan, baik:

    v  Frustasi karena kesukaran alam

    v  Frustasi karena social

    v  Frustasi karena moral

    v  Frustasi karena kematian

    2. Didorong oleh keinginan untuk menjaga kesusilaan dan tata tertib masyarakat

    3. Didorong oleh keinginan untuk memuaskan rasa ingin tahu atau intelek ingin tahu manusia.

    4. Didorong oleh keinginan menjadikan agama sebagai sarana untuk mengatasi ketakutan.

    5.3  Karakteristik Perkembangan

    Apakah remaja memikirkan Tuhan sama dengan cara berpikir anak ? Apakah perkembangan intelektual mempengaruhi perkembangan terhadap Tuhan atau agama? Karena pandangan terhadap Tuhan atau agama sangat dipengaruhi oleh perkembangan berpikir, maka pemikiran remaja tentang Tuhan berbeda dengan pemikiran anak.

    Kemampuan berpikir abstrak remaja memungkinkannya untuk dapat mentransformasikan keyakinan beragamanya. Dia dapat mengapresiasi kualitas keabstrakan Tuhan sebagai Yang Maha Adil, Maha Kasih Sayang. Berkembangnya kesadaran atau keyakinan beragama, seiring dengan mulainya remaja menanyakan atau mempermasalahkan sumber-sumber otoritas dalam kehidupan, seperti pertanyaan “Apakah Tuhan Maha Kuasa, mengapa masih terjadi penderitaan dan kejahatan di dunia ini?”

    Untuk memperoleh kesadaran beragama remaja ini, dapat disimak dalam uraian berikut :

    1.         Masa Remaja Awal (sekitar usia 13-16 tahun)

    Pada masa ini terjadi perubahan jasmani yang cepat, sehingga memungkinkan terjadinya kegoncangan emosi, kecemasan, dan kekhawatiran. Bahkan, kepercayaan agama yang telah tumbuh pada umur sebelumnya, mungkin pula mengalami kegoncangan . Kepercayaan kepada Tuhan kadang-kadang sangat kuat, kan tetapi kadang-kadang menjadi berkurang yang terlihat pada cara beribadah yang kadang-kadang rajin dan kadang-kadang malas. Penghayatan rohaninya cenderung skeptic (was-was) sehingga muncul keengganan dan kemalasan untuk melakukan berbagai kegiatan ritual (misalnya ibadah sholat) yang selama ini dilakukan dengan penuh kepatuhan.

    Kegoncangan alam keagamaan ini mungkin muncul, dikarenakan oleh factor internal maupun eksternal. Faktor internal yang berkaitan dengan matangnya organ seks, yang mendorong remaja untuk memenuhi kebutuhan tersebut, namun disisi lain ia tahu bahwa perbuatannya itu dilarang agama. Kondisi ini menimbulkan konflik pada diri remaja. Faktor internal lainnya adalah bersifat psikologis, yaitu sikap independen, keinginan untuk bebas, tidak mau terikat oleh norma-norma keluarga ( orangtua). Apabila orangtua atau guru-guru kurang memahami da mendekatinya secara baik, bahkan bersikap keras, maka sikap itu akan muncul dala bentuk tingkah laku negative (negativisme), seperti membandel, oposisi, menentang atau menyendiri, dan acuh tak acuh.

    Apabila remaja kurang mendapat bimbingan keagamaan dalam keluarga, kondisi keluarga yang kuarang harmonis, orangtua yang kurang memberikan kasih saying dan berteman dengan kelomopok sebaya yang kurang menghargai nilai-nilai agama, maka kondisi diatas akan menjadi pemicu berkembangnya sikap dan perilaku remaja yang kurang baik atau asusila, seperti pergaulan bebas (free sex), minum-minuman keras, mengisap ganja dan menjadi troublemaker (pengganggu ketertiban/pembuat keonaran) dalam masyarakat.

    2.            Masa Remaja akhir ( 17-21 tahun)

    Secara psikologis, masa ini merupakan permulaan masa dewasa, emosinya mulai stabil dan pemikirannya mulai matang (kritis). Dalam kehidupan beragama, remaja sudah mulai melibatkan diri ke dalam kegiatan-kegiatan keagamaan. Remaja sudah dapat membedakan agama sebagai ajaran dengan manusia sebagai penganutnya diantaranya ada yang shalih dan ada yang tidak shalih. Pengertian ini memungkinkan dia untuk tidak terpengaruh oleh orang-orang yang mengaku beragama, namun tidak melaksanakan ajaran agama atau perilakunya bertentangan dengan nilai agama.

    Salah satu tugas perkembangan yang diukur adalah keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yaitu ;

    1.      Mengembangkan pemahaman agama

    2.      Meyakini agama sebagai pedoman hidup

    3.      Meyakini bahwa setiap perbuatan manusia tidak lepas dari pengawasan Tuhan

    4.      Meyakini kehidupan akhirat

    5.      Meyakini bahwa Tuhan Maha Penyayang dan Maha Pengampun

    6.      Melaksanakan ibadah

    7.      Mempelajari kitab suci

    8.      Berdoa kepada Tuhan

    9.      Menghindarkan diri dari perbuatan yang dilarang agama

    10.  Menghormati kedua orangtua dan orang lain

    11.  Bersabar dan bersyukur

    5.4  Upaya-upaya Sekolah Dalam Rangka Mengembangkannya

     

    5.4.1  Pendidikan Agama di Sekolah dan Pembinaan  Mental Remaja

    Pada usia remaja, ditinjau dari aspek ideas and mental growth, kekritisan dalam merangkum pemikiran-pemikiran keagamaan mulai muncul, kekritisan yang dimaksud bisa berupa kejenuhan atau kebosanan dalam mengikuti uraian-uraian yang disampaikan guru Agama di sekolah apalagi jika metodologi pengajaran yang disampaikan cenderung monoton dan berbau indoktrinasi. Jadi mereka telah mulai menampilkan respon ketidak sukaan terhadap materi keagamaan yang dipaketkan di sekolah. Sebenarnya akar permasalahan yang timbul dari kekurang senangan remaja terhadap paket materi pelajaran keagamaan di sekolah terletak pada minimnya motivasi untuk mendalami agama secara lebih intens, yang lebih sederhana lagi ialah pelajaran agama yang mereka dapat di sekolah kurang memberikan aplikasi dan solusi praktis dalam keseharian mereka. Apalagi waktu mereka lebih banyak dihabiskan dengan nonton teve, jalan-jalan ke mall, “ngeceng”, pacaran dan hal-hal lain meski banyak juga remaja kita yang melakukan aktifitas positif seperti remaja mesjid, berwiraswasta atau ikut organisasi eskul sekolah serta mengikuti kursus-kursus keterampilan.

    Cara seorang guru mengajar turut mempengaruhi pemahaman yang diterima anak/remaja.

    Jawaban dari permasalahan diatas adalah kembali pada sosok guru agama sebagai tauladan dan sumber konsentrasi remaja yang menjadi peserta didiknya. Mampukah ia menjadikan dirinya termasuk masalah materi serta metodologi yang dipergunakan sebagai referensi utama bagi peserta didiknya yang seluruhnya remaja itu dalam mengembangkan sikap keberagamaan yang tidak sekedar merasa memiliki agama (having religion) melainkan sampai kepada pemahaman agama sebagai comprehensive commitment dan driving integrating motive, yang mengatur seluruh kehidupan seseorang dan merupakan kebutuhan primer yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sehingga nantinya remaja-remaja tersebut merasakan ibadah sebagai perwujudan sikap keberagamaan intrinsik tersebut sama pentingnya atau malah lebih penting dibanding nonton teve, jalan-jalan, hura-hura dan lain sebagainya.

    Satu hal penting lainnya yang tidak boleh diabaikan oleh para guru Agama di sekolah ialah materi pelajaran agama yang disampaikan di sekolah hendaknya selalu diorientasikan pada kepentingan remaja, seorang guru Agama harus bisa menanamkan keyakinan bahwa apa-apa yang ia sampaikan bukan demi kepentingan sekolah (kurikulum) atau kepentingan guru Agama melainkan demi kepentingan remaja itu sendiri. Karenanya pemahaman akan kondisi objektif kejiwaan remaja mutlak diperlukan oleh para guru Agama di sekolah. Seorang guru Agama harus senantiasa dekat dan akrab dengan permasalahan remaja yang menjadi peserta didiknya agar mampu menyelami sisi kejiwaan mereka. Dan materi pelajaran agamapun harus terkesan akrab dan kemunikatif, sehingga otomatis sistem pengajaran yang cenderung monolog (satu arah), indoktriner, terkesan sangar (karena hanya membicarakan halal haram) harus dihindari, untuk kemudian diganti dengan sistem pengajaran yang lebih menitik beratkan pada penghayatan dan kesadaran dari dalam diri. Hal ini mungkin saja dilakukan baik dengan mengajak peserta didik bersama-sama mengadakan ritual peribadatan (dalam rangka penghayatan makna ibadah) atau mengajak peserta didik terjun langsung ke dalam kehidupan masyarakat kecil sehingga mereka bisa mengamati langsung dan turut merasakan penderitaan yang dialami masyarakat marginal tersebut (sebagai upaya menanamkan rasa solidaritas sosial). Jadi intinya mereka tidak hanya mendengar atau mengetahui saja melainkan turut dilibatkan dalam permasalahan yang terdapat dalam materi pengajaran agama di sekolah.

    Namun diatas semua itu yang paling penting adalah keterpaduan unsur keluarga, lingkungan masyarakat, kebijakan pemerintah disamping sekolah dalam rangka turut menanamkan semangat beragama yang ideal (intrinsik) di kalangan para remaja. Karena tanpa kerjasama terkait antar usur-unsur tersebut mustahil akan tercipta generasi muda (remaja) yang berkualitas.

    5.4.2  Upaya-upaya Sekolah Dalam Rangka Mengembangkannya

    Pendidikan dimanapun dan kapanpun masih dipercaya orang sebagai media ampuh untuk membentuk kepribadian anak ke arah kedewasaan. Pendidikan agama adalah unsur terpenting dalam pendidikan moral dan pembinaan mental. Karenanya keyakinan itu harus dipupuk dan ditanamkan sedari kecil sehingga menjadi bagian tidak terpisahkan dari kepribadian anak sampai ia dewasa. Melihat dari sini, pendidikan agama di sekolah mendapat beban dan tanggung jawab moral yang tidak sedikit apalagi jika dikaitkan dengan upaya pembinaan mental remaja. Usia remaja ditandai dengan gejolak kejiwaan yang berimbas pada perkembangan mental dan pemikiran, emosi, kesadaran sosial, pertumbuhan moral, sikap dan kecenderungan serta pada akhirnya turut mewarnai sikap keberagamaan yang dianut (pola ibadah).

    Menurut Havighurs (1961:5), sekolah memunyai peranan atau tanggung jawab penting dalam membantu para siswa mencapai tugas perkembangannya. Sehubungan dengan hal ini, sekolah seyogyanya berupaya untuk menciptakan iklim yang kondusif atau kondisi yang dapat memfasilitasi siswa ( yang berusia remaja) untuk mencapai perkembangannya. Tugas-tugas perkembangan remaja itu menyangkut aspek-aspek kematangan dalam berinteraksi social, kematangan personal, kematangan dalam mencapai filsafat hidup, dan kematangan dalam beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

    Tugas perkembangan agama pada masa remaja ini berkaitan dengan hakikat manusia sebagai mahluk Tuhan, yang mempunyai tugas suci untuk beribadah kepada-Nya. Ibadah ini misinya adalah untuk memperoleh kesejahteraan, kebahagiaan atau kenyamanan hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Perkembangan keimanan dan ketakwaan ini merupakan tugas perkembangan yang penanamannya dimulai sejak usia dini. Pada usia remaja, nilai-nilai keimanan dan ketakwaan harus sudah diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Pencapaian tugas perkembangang ini, pada setiap remaja tampaknya bersifat heterogen. Heterogenitas perkembangan ini dipengaruhi oleh factor pengalaman keagamaan masing-masing, terutama dilingkungan keluarganya.

    Dalam rangka membantu remaja (siswa) dalam mengokohkan atau memantapkan keimanan dan ketakwaannya, maka sekolah seyogyanya melakukan upaya-upaya berikut :

    1.         Pimpinan (kepala sekolah dan para wakilnya), guru-guru, dan personel sekolah lainnya harus sama-sama mempunyai terhadap program pendidikan agama atau penanaman nilai-nilai agama di sekolah, baik melalui :

    a)         Proses belajar-mengajar di kelas

    b)         Bimbingan (pemaknaan hikma hidup beragama/beribadah, pemberian dorongan, contoh/tauladn baik dalam bertutur kata, berprilaku, berpakaian, maupun melaksankan ibadah)

    c)         Pembisaan dalam mengamalkan nilai-nilai agama.

    2.         Guru agama seyoganya memiliki kepribadian yang mantap (ahlakul karimah), pemahaman dan ketrampilan professional, serta kemampuan dalam mengemas materi pembelajaran, sehingga mata pelajaran agama menjadi menarik dan bermakana bagi remaja.

    3.         Guru-guru menyisipkan nilai-nilai agama ke dalam mata pelajaran yang diajarkannya , sehingga siswa memiliki apresiasi yang positif terhadap  nilai-nilai agama.

    4.         Sekolah menyediakan sarana ibadah (mesjid) sebagai laboratorium rohaniah yang cukup memadai, serta memfungsinkannya secara maksimal.

    5.         Menyelenggarakan kegiatan ekstrakurikuler kerohanian, pesantren kilat, ceramah-ceramah keagamaan, atau diskusi keagamaan secara rutin.

    6.         Bekerja sama dengan orangtua siswa dalam membimbing keimanan dan ketakwaan siswa.

    Ekstrakurikuler kerohanian adalah salah satu upaya sekolah dalam mengembangkan nilai agama

    Mengenai peranan guru dalam pendidikan akhlak, Imam Al-Ghazali mengemukakan bahwa penyembuhan badan memerlukan seorang dokter yang tahu tentang tabiat badan serta macam-macam penyakit dan cara-cara penyembuhannya. Demikian pula halnya dengan penyembuhan jiwa dan akhlak. Keduanya membutuhkan guru (pendidik) yang tahu tentang tabiat dan kekurangan jiwa manusia serta tentang cara memperbaiki dan mendidiknya. Kebodohan dokter akan merusak kesehatan orang sakit. Begitupun kebodohan guru akan merusak akhlak muridnya.

    Sekolah mempunyai peran penting dalam pembentukan karakter dan kepribadian peserta didik karena sebagian besar waktu mereka habis untuk berinteraksi dengan lingkungan sekolah. peran Sekolah Dalam Mengembangkan Tugas Perkembangan adalah sebagai berikut :

    1.   Pencapaian tugas perkembangan melalui kelompok teman sebaya

    2.   Mencapai perkembangan kemandirian pribadi

    3.   Pengembangan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan YME

    Dalam kaitannya dengan upaya mengembangkan fitrah beragama anak, atau siswa, sekolah mempunyai peranan yang sangat penting. Peranan ini terkait mengembangkan pemahaman, pembiasaan mengamalkan ibadah atau akhlak yang mulia, serta sikap apresiatif terhadap ajaran atau hukum-hukum agama. Upaya-upaya itu adalah sebagai berikut:

    1.     Dalam mengajar, guru hendaknya menggunakan pendekatan (metode)  yang bervariasi (seperti ceramah, tanya jawab, diskusi, demontrasi, dan berkisah), sehingga anak tidak merasa jenuh mengikutinya.

    2.     Dalam menjelaskan materi pelajaran, guru agama hendaknya tidak terpaku kepada teks atau materi itu saja (bersifat tekstual), tetapi materi itu sebaiknya peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakat (kontekstual).

    3.     Guru hendaknya memberikan penjelasan kepada siswa, bahwa semua ibadah ritual (mahdloh) akan memberikan makna yang lebih tinggi di hadapan Allah, apabila nilai-nilai yang terkandung dalam setiap ibadah tersebut direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari.

    4.     Guru hendaknya memiliki kepribadian yang baik (akhlak mulia).

    5.     Guru hendaknya menguasai bidang studi yang diajarkannya secara memadai, minimal materi-materi yang terkandung dalam kurikulum.

    6.     Guru hendaknya memahami ilmu-ilmu lain yang relevan atau yang menunjang kemampuannya dalam mengelola proses belajar mengajar, seperti psikologi pendidikan, bimbingan konseling, metodologi pengajaran, administrasi pendidikanm teknik evaluasi, dan psikologi belajar agama.

    7.     Pimpinan sekolah, guru-guru dan pihak sekolah lainnya hendaknya memberikan contoh, tauladan yang baik dalam mengamalkan ajaran agama, seperti dalam melaksanakan ibadah shalat, menjalin tali persaudaraan, memelihara kebersihan, mengucapkan dan menjawab salam, semangat dalam menuntut ilmu, dan berpakaian muslim/muslimat (menutup aurat).

    8.     Guru-guru yang mengajar bukan pendidikan agama hendaknya mengintegrasikan nilai-nilai agama ke dalam materi-materi pelajaran yang diajarkannya.

    9.     Sekolah hendaknya menyediakan saran ibadah (mesjid) yang memadai dan memfungsikannya secara optimal.

    10.   Sekolah hendaknya menyelenggarakan kegiatan ektrakulikuler kerohanian bagi para siswa dan ceramah-ceramah atau diskusi keagamaan secara rutin.

     Hal Ini Berdasarkan Teori Perkembangan Peserta Didik Pada Tugas Perkembangan Masa Remaja Menurut Havigrus  :

    – Mencapai hubungan lebih matang dengan teman sebaya

    – Mencapai peran sosial wanita atau pria

    – Menerima keadaan fisik dan menggunkan secara efektif

    – Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya

    – Mencapai jaminan kemandirian ekonomi

    – Memilih dan mempersiapkan karir

    – Mempersipakan pernikahan dan hidup keluarga

    – Mengembangkan ketrampilan intelektual

    – Mencapai tingkah laku yang bertangung jawab secara sosial

    – Memperoleh seperangkat nilai dan norma dalam bertingkah laku

    – Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME

    DAFTAR PUSTAKA

    Dr. Zakiyah Darajat, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, Penerbit Gunung Agung, Jakarta, Cet. VII, 1983.

    Drs. H. Abdul Aziz Ahyadi, Psikologi Agama: Kepribadian Muslim Pancasila, Penerbit Sinar Baru, Bandung, Cet. II, 1991.

    Drs. Jalaluddin Rahmat Msc, Islam Alternatif, Penerbit Mizan, Bandung, Cet. I, 1986.

    Makalah-makalah Ibu Dra. Susilaningsih MA (dosen Mata Kuliah Psikologi Agama di Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

    Syamsu Yusuf. (2002). Psikologi Belajar Agama. Bandung: Maestro.

    Singgih Gunarsa. (2004). Psikologi Praktis: Anak, Remaja dan Keluarga. Jakarta: Gunung Mulia

    Tim Pustaka Familia. (2006). Konsep Diri Positif, Menentukan Prestasi Anak. Yogyakarta: Kanisius.

    Singgih Gunarsa. (2008). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: Gunung Mulia.

    http://ardika.blog.uns.ac.id/files/2010/05/makalah-perkembangan-nilai-moral-dan-sikap/

    Ali, Muhammad.2004.Psikologi Remaja : Perkembangan Peserta Didik.Jakarta : PT. Bumi Aksara.