Blog

  • 4 Pilar Pendidikan Unesco

    4 Pilar Pendidikan Unesco

    Pilar Pendidikan

    Perkembangan dan perubahan zaman yang semakin cepat berdampak pada tantangan yang semakin beragam pula. Dalam upaya hal tersebut, dunia pendidikan harus dengan cepat mengadaptasi perubahan. Hal ini tertuang pada 4 Pilar Pendidikan yang dirumuskan oleh Unesco.

    Adapun 4 Pilar Belajar tersebut adalah :

    1. learning to know
    2. learning to do
    3. learning to live together
    4. learning to be

    A. Learning to Know

    Learning to Know secara harfiah diartikan sebagai Belajar untuk Mengetahui. Pilar Pendidikan ini berkaitan dengan perolehan, penguasaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan oleh manusia.

    Learning to Know dipandang sebagai cara dan tujuan dari eksistensi manusia. Delors (1996) mentarakan bahwa pengetahuan memiliki dua manfaat bagi manusia yakni untuk

    1. Mengetahui cara untuk melakukan sesuatu (tehnis)
    2. Mengetahui tujuan dari ilmu pengetahuan dipelajari

    Belajar sebagai sebuah cara hidup

    Manusia merupakan mahluk hidup yang memiliki perkembangan pengatahuan dan kognitif paling tinggi diantara seluruh mahluk hidup. Hal ini membuat manusia mampu memaksimalkan hal-hal yang ada di alam untuk keperluan hidup.

    Pandangan ini membuat manusia dianggap wajib memahami dunia tempat mereka tinggal. Paling tidak seorang manusia harus memiliki pengetahuan tentang kebutuhannya terkait dengan hal-hal yang ada di lingkungan sekitarnya.

    Tidak hanya kebutuhan fisik yang diatur oleh hukum-hukum alam, tapi juga kebutuhan manusia sebagai mahluk sosial. Manusia merupakan mahluk yang memiliki kehormatan, rasa percaya diri, memeliki keterampilan berkembang dan menguasai (okupasional), serta berinteraksi dengan sesama manusia. Dari segi tujuan, belajar untuk mengetahui bertujuan untuk memberkan kepuasan karena perolehan pemahaman, pengetahuan dan kepuasan ,melalui penemuan-penemuan secara mandiri.


    Belajar  untuk mengetahui berimplikasi terhadap diamokodasikannya konsep belajar tentang bagaimana belajar, (learning how to learn), dengan mengembangkan seluruh potensi konsentraisi pembeajaran, keterampilan mengingat dan kecakapan untuk berpikir. Sesuai fitrahnya, sejak bayi, anak kecil harus belajar bagaimana berkonsentrasi terhadap objek atau orang-orang lain. Proses untuk memperbaiki keterampilan berkonsentrasi ini dapat bermasifestasi dengan bebagai kesempatan belajar yang berbeda-beda, yang muncul di sepanjang kehidupannya.

    Pengembangan keterampila mengingat adalah suatu wahana yang unggul untuk menanggulangi aliran yang berlimpah dari informasi instan yang disebarluaskan oleh banayak media pada saat ini. Berbahaya jika kta berkesimpulan bahwa arus informasi yang luar biasa bnayaknya ini tidak perlu ditanggulangi dengan penigkata keterampilan dalam mengingat. Kecakapan manusia dalam memorisasi asosiatif yang spesifik ini tidak boleh direduksi semata oleh hadirnya proses automatisasi, tetapi harus selalu dikembangkan secara berhati-hati.

    Sementara itu, berpikir terkait sesuatu yang dipelajari anak, mula-mula dari orang tuanya, kemudian dari para gurunya. Proses berpikir ini harus terkait dengan keterampilan menguasai penyelesaian masalah praktiks maupun mengembangkan masalah abstrak. Oleh sebab itu pembelajaran sebagai praktik pendidikan harus mampu memandu siswa untuk mampu memandu siswa secara sinergis penalaran deduktif sekaligus penalaran induktif yang pada hakkatnya justru suatu proses yang berbeda arah. Keterampilan berpikir secara reflektif ini penting untuk melatih anak menyelesaikan berbagai prolema kehidupan. Belajar untuk berpikir merupakan pembelajaran sepanjang hayat, seseorang selalu siap belajar unutk berpikir, selama hidupnya tidak akan mengalami kebosanan karena menghadapi keniscayaan rutinitas.

    B. Learning to Do

    Konsep learning to do ini terkait dengan pertanyaan pokok, bagaimana kita mengadaptasikan pendidikan sehingga kita mampu membekali siswa bekerja untuk mengisi berbagai jenis lowongan pekerjaan di masa depan. Dalam hal ini pendidikan dihrapkan mampu menyiapkan siswa berkaitan dengan dua hal. Pertama berhubunhan dengan ekonomi industri, dimana para pekerja memperoleh upah dari pekerjaanya. Kedua, yaitu suatu usaha yang kita kenal sebagai wirausaha, para luluasan sekolah menyiapkan jenis pekerjaanya sendiri dan menggaji dirinya sendiri (self employment), dalam semangat entrepreneuship. Suatu hal yang patut dicatat dan diimplikasikandengan baik dalam kurikulum pembelajaran di sekolah., sejak paruh kedua abad ke-20 yang lalu telah ada pergeseran besardalam dunia industry. Jika dulu lebih berpokus pada pekerjaan fisik di limgkungan manufaktur, maka saat ini justru yang banyak berkembang yaitu layanan jasa. Pekerjaan ini semaki dibutuhkan denga berkembang pesatnyateknologi komunikasi dan informasi, pekerjaan yang “tidak tampak” (intangible) makin menjmur.

    Belajar untuk bekerja, learning to do adalah belajar atau berlatih menguasai keterampilan dan kompetensi kerja. Jadi menurut konsep UNESCO belajar jenis ini berkaitan dengan pendidikan vokasional. Pada perkembangannya, dunia usaha/dunia industry menuntut agar setelah lulus, para  siswa pembelajar siap memasuki lapangan kerja, sehinggga seharusnya ada link and match antara sekolah dengan dunia usaha. Maknanya, sekolah wajib menyiapkan berbagai keterampilan dasar untuk siap bekerja. Keterampilan dan kompetensi kerja harus dikuasai siswa, sejalan denga tuntunan perkembangan dunia industry memang semakin tinggi, tidak sekadar pada tingkat keterampilan kompetensi teknis atau operasiaonal, tetapi bahkan sampai dengan kompetensi profesioanal. Sehubung dengan pesatnya perkembangan dunia kewirausahaan, pendidikan dan pembelajaran dituntut untuk mampu menyiapkan para lulusan yang siap mengisi sector informal, itu berarti pembelajaran harus mampu mengembangkan jiwa inovatif siswa.

    C. Learning to Live Together

    Belajar untuk hidup bersama,( Learning to Live Together), mengisyaratkan keniscayaan interaksi berbagai kelompok dan golongan dalam kehidupan global yang dirasakan semakin menyempit akibat kemajuan teknologo komunikasi dan informasi. Komunikasi antar manusia di kedua belahan dunia kini sudah dalam hitungan detik. Agar dapat berinteraksi, berkomunikasi, saling berbagi dan, bekerja sama dan hidup bersama, saling menghargai dalam kesetaraan, sejak kecil anak-anak sudah harus dilatih, dibiasakan hidup berdampingan bersama. Anak-anak harus banyak belajar dari hidup bersama secara damai, apalagi di alam Indonesia yang multikultur, multietnik ini sehingga mereka biasa bersosialisasi sejak awal (being sociable). 

    Sepanjang sejarah, kehidupan manusia secara konstan memperoleh ancaman dari berbagai konflik, tetapi resiko menghadapi konflik ini semakin tinggi terutama karena dua faktor penyebab. Penyebab pertama adalah potensi potensi luar biasa untuk merusak yang berkembang dari diri manusia sendiri, dan ini dibuktikan di dalam abad ke-20 yang lalu. Pada abad ini berlangsung dua perang dunia, perang dunia I dan perang dunia II yang menghancurkan kemanusiaan, membunuh jutaan manusia, menyebabkan kesengsaraan dan penderitaan global. Penyebab keduan, perkembangan media informasi yang luar biasa canggih sehingga berita tentang konflikdi berbagai belahan dunia cepat tersebar luas, dan hal ini telah banayak berpengaruh terhadap diri manusia, sayangnya justru pengaruh negative semacam ini yang paling mudah ditiru. Sehubung dengan itu muncul pertanyaan mendasar. Dapatkah kita berbuat lebih baik? Dapatkah kita hidup berdampingan secara damai untuk memperoleh kemaslahatan bersama? Jawabanya tentu melalui usaha terus menerus yang tidak kenal lelah dan tidak kenal putus asa melalui dunia pendidikan.

    D. Learning to Be

    Belajar untuk menjadi manusia yang utuh (learning to be), mengharuskan tujuan belajar dirancang dan diimplemantasikam sedemikian rupa, sehingga pembeajaran menjadi utuh,paripurna. Manusia yang utuh adalah manusia yang seluruh aspek kepribadiannya berkembang secara optimal dan seimbang, baik aspek ketakwaan, terhadap tuhan, intelektual, emosi, social, fisik, maupun moral. Seimbang dengan kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan social, dan keceradasan spiritual. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan individu-individu yang banyak belajar dalam mengembangkan seluruh aspek kepribadiannya. Dalam kaitan itu mereka harus berusaha banyak meraih keunggulan (being excellene) keunggulan ditunjang dan diperkuat oleh moral yang kuat (being morality). Moral yang kuat wajib ditunjang oleh keimanan inilah yang diharapkan mampu memandu pembelajaran untuk belajar menghargai orang lain, toleran terhadap hak-hak orang lain, dan memahami bahwa hidup bersama dengan berbagai jenis ras, suku, warna kulit, bahasa, tradisi dan budaya merupakan suatau keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Pembelajar secara ringkasnya harus mampu menemukan orang lain (to discover other people) sebagai bagian dari dirinya sendiri. Ikatan manusia semacam ini akan lebih diperkuat jika sejak kecil anak sudah dibiasakan, dilatih, dihadapkan kepada situasi, bahwa manusia diseluruh dunia ini harusnya memang menuju kejutuan umum bersama (toward the common goals) , yaitu tercapainya kondisi dunia yang sejahtera, aman, adil, makmur dalam kesejahteraan an salng menghormati.

  • Cara Mengukur Kebugaran Jasmani

    Cara Mengukur Kebugaran Jasmani

    Mengukur Kebugaran Jasmani

    Kebugaran Jasmani merupakan keadaan dimana seseorang dianggap memiliki kemampuan untuk melakukan kegiatan ringan tanpa mengalami rasa lelah yang berarti. Aspek dua aspek yang masuk dalam kategori kebugaran Jasmani yakni aspek kesehatan dan performa. Aspek tersebut terdiri dari unsur kebugaran meliputi

    1. Kekuatan otot
    2. Daya tahan otot
    3. Daya tahan jantung
    4. Daya tahan paru-paru
    5. Fleksibiltas
    6. Koordinasi
    7. Agility
    8. Kecepatan dan Keseimbangan.

    Cara mengukur kebugaran Jasmani dapat dilakukan dengan 4 Tes. Jenis tes tersebut adalah :

    1. Kecepatan (speed)
    2. Kekuatan (strenght)
    3. Daya Tahan (endurance)
    4. Daya ledak (power)

    Jenis tes yang dapat digunakan untuk mengukur kebugarab jasmani seseorang diantaranya.

    A. Tes Kecepatan

    Tes kecepatan dapat dilakukan dengan tes lari sprint (Speeding) 60 meter. Parameter untuk anak usia 12-14 tahun sebagai berikut:

    Waktu TempuhKategori
    5 – 7 DetikBaik
    8 – 9 DetikCukup
    10 DetikKurang
    Spring Cewek Cantik Langsing POse Lari Kencang

    B. Tes Kekuatan

    Tes Kekuatan atau Strengness dapat dilakukan dengan push up selama 2 menit. Parameter kekuatan dapat dilakukan dengan kategori sebagai berikut:

    N kaliKategori
    > 40 KaliBaik
    30 – 39 KaliCukup
    < 29 KaliKurang

    C. Daya Tahan

    Daya tahan atau Endurance dapat dilakukan dengan jogging selama 12 menit. Parameter endurance disajikan sebagai berikut

    Jarak TemputKategori
    > 2000 meterBaik
    1000 meter – 2000 meterCukup
    < 29 KaliKurang
  • Contoh Rubrik Penilaian Poster

    Penilaian Poster

    Pada beberapa mata pelajaran, guru seringkali memberikan tugas kelompok, tugas rumah (PR), tugas proyek, dan sebagainya dalam bentuk poster. Produk belajar siswa berupa poster tentunya harus dinilai secara obyektif. Untuk menghindarkan guru dari kemungkinan memberikan penilaian yang kurang adil, maka penilaian hasil belajar siswa dalam membuat poster dapat dilakukan dengan rubrik. Sebuah rubrik penilaian produk belajar seperti poster ini memerlukan penekanan pada aspek-aspek atau kriteria-kriteria yang harus diperhatikan dalam pembuatan poster. Aspek-aspek itu misalnya meliputi isi atau teks, desain, gambar, ketersampaian pesan.

    Isi atau teks

    Dalam sebuah poster, teks atau isi poster harus singkat tetapi padat dan kaya akan informasi, kemudian teks juga harus jelas keterbacaannya. Perhatikan bahwa poster hanya memuat tulisan-tulisan pendek. Walaupun demikian informasi yang terdapat di dalamnya harus padat. Jadi penting sekali untuk menyusun informasi dengan pemilihan kalimat yang tepat. Sifatnya pun bisa persuasif, kritik, hingga deskriptif. Ini tentu tergantung tujuan dari dibuatnya poster itu sendiri. Jenis huruf yang digunakan juga harus mudah dibaca dan menunjang  desain.

    Desain

    Penggunaan warna harus menjadi perhatian dalam pembuatan poster. Ini tentu tujuannya agar poster itu menjadi lebih menarik. Ukuran elemen-elemen penyusun harus proporsional. Sementara itu, pesan yang ingin disampaikan harus dapat menjadi pusat perhatian

    Gambar

    Gambar merupakan elemen utama dalam sebuah poster selain teks. Oleh karena itu, gambar harus menarik. Tidak sekedar menarik tentu saja, tetapi juga harus bermakna sebagai penyampai pesan, dan orisinil.

    Ketersampaian pesan   

    Tujuan dibuatnya sebuah poster adalah untuk menyampaikan sebuah pesan tertentu. Oleh sebab itu, sangat penting untuk memperhatikan apakah pesan yang ingin disampaikan oleh pembuat poster dapat ditangkap dengan mudah oleh pembaca.

    Ini adalah sebuah contoh rubrik penilaian produk berupa poster buatan siswa berdasarkan kriteria-kriteria poster yang baik yang telah diuraikan di atas.

    Aspek / Kategori / Kriteria4321
    Isi / teksIsi teks singkat, padat akan informasi, jelas keterbacaannyaDua dari kriteria isi / teks yang baik dipenuhi, sementara salah satu kriteria tidak dipenuhiHanya salah satu dari kriteria isi / teks yang baik dipenuhi, sementara dua kriteria tidak dipenuhiIsi teks terlalu panjang, miskin informasi, tidak jelas keterbacaannya (seluruh kriteria tidak terpenuhi)
    DesainWarna menarik, ukuran elemen penyusun proporsional, pesan yang ingin disampaikan menjadi pusat perhatian (ketiga kriteria terpenuhi)Dua dari kriteria desain yang baik dipenuhi, sementara salah satu kriteria tidak dipenuhiHanya salah satu dari kriteria desain yang baik dipenuhi, sementara dua kriteria tidak dipenuhiWarna, ukuran elemen penyusun, pusat perhatian tidak menunjukkan desain yang baik (seluruh kriteria tidak terpenuhi)
    GambarGambar menarik, bermakna sebagai penyampai pesan, dan orisinil (ketiga kriteria terpenuhi)Dua dari kriteria gambar yang baik dipenuhi, sementara salah satu kriteria tidak dipenuhiHanya salah satu dari kriteria gambar yang baik dipenuhi, sementara dua kriteria tidak dipenuhiGambar tidak menarik, tidak bermakna sebagai penyampai pesan, dan tidak orisinil (seluruh kriteria desain yang baik tidak terpenuhi)
    Ketersampaian PesanPesan sangat mudah ditangkap pembacaPesan cukup mudah ditangkap pembacaPesan sulit ditangkap pembacaPesan tidak dapat ditangkap pembaca

    Demikian contoh rubrik penilaian poster yang dapat saya berikan untuk anda. Semoga dapat bermanfaat untuk kegiatan penilaian hasil belajar (produk) di kelas anda yang berkaitan dengan tugas membuat poster. Jika anda mempunyai ide atau saran, silakan menuliskannya di kolom komentar. Semoga bermanfaat. Wassalam.

  • Perlengkapan Olahraga Renang Resmi

    Berenang secara alami tidak membutuhkan perlengkapan atau pakaian khusus. Manusia dapat berenang tanpa perlengkapan apapun dalam kondisi apapun. Berenang yang ditujukan untuk rekreasi dan olahraga terkadang membutuhkan pakaian dan perlengkapan khusus untuk membantu memudahkan bergerak di air.

    Pakaian yang digunakan untuk berenang dirancang untuk memudahkan manusia bergerak di air. Pakaian renang biasanya terbuat dari bahan karet yang mengikuti bentuk tubuh untuk menghindari masuknya udara ke dalam pakaian. Pakaian renang juga dirancang untuk mempercepat pergerakan manusia di air, rancangan seperti ini ditujukan bagi kegiatan berenang untuk kompetisi.

    Selain pakaian yang dirancang khusus, dalam berenang terkadang membutuhkan perlengkapan khusus seperti kaca mata renang, ban renang, penutup telinga dan hidung, penutup kepala. Secara umum perlengkapan renang tersebut ditujukan untuk memudahkan berenang dan menghindari risiko yang timbul akibat berenang.

    Berikut ini perlengkapan berenang yang umum

    • Ban, digunakan untuk anak-anak bermain dan yang belum bisa berenang
    • Kaca Mata Renang, penting agar mata tidak teriritasi dan perih ketika sedang berenang, terdapat dua macam kaca mata renang yakni yang minus dan yang buramKaca mata renang Minus digunakan untuk orang yang ber-kacamata minus, sekarang juga tersedia kaca mata renang minus. Kaca Mata Renang Buram/ Berkabut, sebaiknya gunakan kaca mata renang Anti Fog dengan kualitas yang baik, bila kaca mata renang mulai berkabut, maka bisa ditambahkan obat untuk diteteskan ke kaca mata renang. 
    • Pakaian Renang, Pakaian renang biasanya terbuat dari bahan karet yang mengikuti bentuk tubuh untuk menghindari masuknya udara ke dalam pakaian.
    • Papan Pelampung. Biasanya digunakan bagi mereka yang belajar mengapungkan badan dan meluncur serta belajar kaki gaya dada/kodok maupun kaki gaya bebas. Dengan cara papan tersebut dipegang dengan tangan, kemudian meluncur di permukaan air dan gerakkan kaki dengan gerakan kaki gaya dada atau gaya bebas. Selain itu papan pelampung dapat memperkuat tangan dengan cara menjepitkan papan pelampung tersebut di paha agar kaki atau paha selalu di atas. Dengan begitu kaki tidak perlu bergerak, sehingga hanya tanganlah yang akan bergerak dengan gaya dada atau bebas. Papan renang paling sering digunakan untuk melatih ketahanan dan kekuatan kaki gaya bebas.
    • Hand Paddle, berguna untuk untuk melatih dan memperkuat tangan (biasanya digunakan untuk renang gaya bebas). Cara penggunaannya dengan memasukkan telapak tangan ke dalam hand paddle setelaha itu anda dapat memulai untuk berenang.
    • Pull Boy, digunakan untuk belajar gaya kupu. Alat ini akan membantu kaki yang sering tenggelam ketika awal belajar gaya kupu. Jadi dengan alat ini, maka kaki bisa lebih terangkat ke atas permukaan air.
    • Penutup Kepala. Ada beberapa kegunaan penutup kepala, misalnya untuk melindungi rambut dari air kolam renang yang kurang baik (misalnya terlalu banyak mengandung kaporit), untuk orang yang berambut panjang agar tidak mengganggu sewaktu berenang, dll.
  • Perkembangan Moral, Nilai dan Agama pada Masa Remaja

    Perkembangan Moral, Nilai dan Agama pada Masa Remaja

    Remaja adalah masa perkembangan yang memiliki fase paling beragam. Pada fase ini, Remaja mengalam perkembangan moral, nilai dan agama.

    Perkembangan Moral, Nilai dan Agama pada Masa Remaja

    Masa remaja adalah periode di mana seseorang mulai bertanya-tanya mengenai berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya sebagai dasar bagi pembentukan nilai diri mereka. Elliot Turiel (1978) menyatakan bahwa para remaja mulai membuat penilaian tersendiri dalam menghadapi masalah-masalah populer yang berkenaan dengan lingkungan mereka, misalnya: politik, kemanusiaan, perang, keadaan sosial, dsb. Remaja tidak lagi menerima hasil pemikiran yang kaku, sederhana, dan absolut yang diberikan pada mereka selama ini tanpa bantahan. Remaja mulai mempertanyakan keabsahan pemikiran yang ada dan mempertimbangan lebih banyak alternatif lainnya.

    Secara kritis, remaja akan lebih banyak melakukan pengamatan keluar dan membandingkannya dengan hal-hal yang selama ini diajarkan dan ditanamkan kepadanya. Sebagian besar para remaja mulai melihat adanya “kenyataan” lain di luar dari yang selama ini diketahui dan dipercayainya. Ia akan melihat bahwa ada banyak aspek dalam melihat hidup dan beragam jenis pemikiran yang lain. Baginya dunia menjadi lebih luas dan seringkali membingungkan, terutama jika ia terbiasa dididik dalam suatu lingkungan tertentu saja selama masa kanak-kanak.

    Kemampuan berpikir dalam dimensi moral (moral reasoning) pada remaja berkembang karena mereka mulai melihat adanya kejanggalan dan ketidakseimbangan antara yang mereka percayai dahulu dengan kenyataan yang ada di sekitarnya. Mereka lalu merasa perlu mempertanyakan dan merekonstruksi pola pikir dengan “kenyataan” yang baru. Perubahan inilah yang seringkali mendasari sikap “pemberontakan” remaja terhadap peraturan atau otoritas yang selama ini diterima bulat-bulat. Misalnya, jika sejak kecil pada seorang anak diterapkan sebuah nilai moral yang mengatakan bahwa korupsi itu tidak baik.pada masa remaja ia akan mempertanyakan mengapa dunia sekelilingnya membiarkan korupsi itu tumbuh subur bahkan sangat mungkin korupsi itu dinilai baik dalam suatu kondisi tertentu. Hal ini tentu saja akan menimbulkan konflik nilai bagi sang remaja. Konflik nilai dalam diri remaja ini lambat laun akan menjadi sebuah masalah besar, jika remaja tidak menemukan jalan keluarnya. Kemungkinan remaja untuk tidak lagi mempercayai nilai-nilai yang ditanamkan oleh orangtua atau pendidik sejak masa kanak-kanak akan sangat besar jika orangtua atau pendidik tidak mampu memberikan penjelasan yang logis, apalagi jika lingkungan sekitarnya tidak mendukung penerapan nilai-nilai tersebut.

    Peranan orangtua atau pendidik sangat besar dalam memberikan alternatif jawaban dari hal-hal yang dipertanyakan oleh putra-putri remajanya. Orangtua yang bijak akan memberikan lebih dari satu jawaban dan alternatif supaya remaja itu bisa berpikir lebih jauh dan memilih yang terbaik. Orangtua yang tidak mampu memberikan penjelasan dengan bijak dan bersikap kaku akan membuat sang remaja tambah bingung. Remaja tersebut akan mencari jawaban di luar lingkaran orangtua dan nilai yang dianutnya. Ini bisa menjadi berbahaya jika “lingkungan baru” memberi jawaban yang tidak diinginkan atau bertentangan dengan yang diberikan oleh orangtua. Konflik dengan orangtua mungkin akan mulai menajam.

    A. Remaja

    Kata “remaja” berasal dari bahasa latin yaitu adolescere yang berarti to grow atau to grow maturity (Golinko, 1984 dalam Rice, 1990). Banyak tokoh yang memberikan definisi tentang remaja, seperti DeBrun (dalam Rice, 1990) mendefinisikan remaja sebagai periode. Papalia dan Olds (2001) tidak memberikan pengertian remaja (adolescent) secara eksplisit melainkan secara implisit melalui pengertian masa remaja (adolescence).

    Menurut Papalia dan Olds (2001), masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun.

    Menurut Adams & Gullota (dalam Aaro, 1997), masa remaja meliputi usia antara 11 hingga 20 tahun. Sedangkan Hurlock (1990) membagi masa remaja menjadi masa remaja awal (13 hingga 16 atau 17 tahun) dan masa remaja akhir (16 atau 17 tahun hingga 18 tahun). Masa remaja awal dan akhir dibedakan oleh Hurlock karena pada masa remaja akhir individu telah mencapai transisi perkembangan yang lebih mendekati masa dewasa.

    Papalia & Olds (2001) berpendapat bahwa masa remaja merupakan masa antara kanak-kanak dan dewasa. Sedangkan Anna Freud (dalam Hurlock, 1990) berpendapat bahwa pada masa remaja terjadi proses perkembangan meliputi perubahan-perubahan yang berhubungan dengan perkembangan psikoseksual, dan juga terjadi perubahan dalam hubungan dengan orangtua dan cita-cita mereka, dimana pembentukan cita-cita merupakan proses pembentukan orientasi masa depan.

    Transisi perkembangan pada masa remaja berarti sebagian perkembangan masa kanak-kanak masih dialami namun sebagian kematangan masa dewasa sudah dicapai (Hurlock, 1990). Bagian dari masa kanak-kanak itu antara lain proses pertumbuhan biologis misalnya tinggi badan masih terus bertambah. Sedangkan bagian dari masa dewasa antara lain proses kematangan semua organ tubuh termasuk fungsi reproduksi dan kematangan kognitif yang ditandai dengan mampu berpikir secara abstrak (Hurlock, 1990; Papalia & Olds, 2001).

    Remaja: pertumbuhan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa

    Yang dimaksud dengan perkembangan adalah perubahan yang terjadi pada rentang kehidupan (Papalia & Olds, 2001). Perubahan itu dapat terjadi secara kuantitatif, misalnya pertambahan tinggi atau berat tubuh; dan kualitatif, misalnya perubahan cara berpikir secara konkret menjadi abstrak (Papalia dan Olds, 2001). Perkembangan dalam kehidupan manusia terjadi pada aspek-aspek yang berbeda. Ada tiga aspek perkembangan yang dikemukakan Papalia dan Olds (2001), yaitu:

    1. perkembangan fisik,
    2. perkembangan kognitif, dan
    3. perkembangan kepribadian dan sosial.

    Aspek-aspek perkembangan pada masa remaja

    1) Perkembangan fisik

    Yang dimaksud dengan perkembangan fisik adalah perubahan-perubahan pada tubuh, otak, kapasitas sensoris dan ketrampilan motorik (Papalia & Olds, 2001). Perubahan pada tubuh ditandai dengan pertambahan tinggi dan berat tubuh, pertumbuhan tulang dan otot, dan kematangan organ seksual dan fungsi reproduksi. Tubuh remaja mulai beralih dari tubuh kanak-kanak yang cirinya adalah pertumbuhan menjadi tubuh orang dewasa yang cirinya adalah kematangan. Perubahan fisik otak sehingga strukturnya semakin sempurna meningkatkan kemampuan kognitif (Piaget dalam Papalia dan Olds, 2001).

    2) Perkembangan Kognitif

    Menurut Piaget (dalam Santrock, 2001), seorang remaja termotivasi untuk memahami dunia karena perilaku adaptasi secara biologis mereka. Dalam pandangan Piaget, remaja secara aktif membangun dunia kognitif mereka, di mana informasi yang didapatkan tidak langsung diterima begitu saja ke dalam skema kognitif mereka. Remaja sudah mampu membedakan antara hal-hal atau ide-ide yang lebih penting dibanding ide lainnya, lalu remaja juga menghubungkan ide-ide tersebut. Seorang remaja tidak saja mengorganisasikan apa yang dialami dan diamati, tetapi remaja mampu mengolah cara berpikir mereka sehingga memunculkan suatu ide baru.

    Perkembangan kognitif adalah perubahan kemampuan mental seperti belajar, memori, menalar, berpikir, dan bahasa. Piaget (dalam Papalia & Olds, 2001) mengemukakan bahwa pada masa remaja terjadi kematangan kognitif, yaitu interaksi dari struktur otak yang telah sempurna dan lingkungan sosial yang semakin luas untuk eksperimentasi memungkinkan remaja untuk berpikir abstrak. Piaget menyebut tahap perkembangan kognitif ini sebagai tahap operasi formal (dalam Papalia & Olds, 2001).

    Tahap formal operations adalah suatu tahap dimana seseorang sudah mampu berpikir secara abstrak. Seorang remaja tidak lagi terbatas pada hal-hal yang aktual, serta pengalaman yang benar-benar terjadi. Dengan mencapai tahap operasi formal remaja dapat berpikir dengan fleksibel dan kompleks. Seorang remaja mampu menemukan alternatif jawaban atau penjelasan tentang suatu hal. Berbeda dengan seorang anak yang baru mencapai tahap operasi konkret yang hanya mampu memikirkan satu penjelasan untuk suatu hal. Hal ini memungkinkan remaja berpikir secara hipotetis. Remaja sudah mampu memikirkan suatu situasi yang masih berupa rencana atau suatu bayangan (Santrock, 2001). Remaja dapat memahami bahwa tindakan yang dilakukan pada saat ini dapat memiliki efek pada masa yang akan datang. Dengan demikian, seorang remaja mampu memperkirakan konsekuensi dari tindakannya, termasuk adanya kemungkinan yang dapat membahayakan dirinya.

    Pada tahap ini, remaja juga sudah mulai mampu berspekulasi tentang sesuatu, dimana mereka sudah mulai membayangkan sesuatu yang diinginkan di masa depan. Perkembangan kognitif yang terjadi pada remaja juga dapat dilihat dari kemampuan seorang remaja untuk berpikir lebih logis. Remaja sudah mulai mempunyai pola berpikir sebagai peneliti, dimana mereka mampu membuat suatu perencanaan untuk mencapai suatu tujuan di masa depan (Santrock, 2001).

    Salah satu bagian perkembangan kognitif masa kanak-kanak yang belum sepenuhnya ditinggalkan oleh remaja adalah kecenderungan cara berpikir egosentrisme (Piaget dalam Papalia & Olds, 2001). Yang dimaksud dengan egosentrisme di sini adalah “ketidakmampuan melihat suatu hal dari sudut pandang orang lain” (Papalia dan Olds, 2001). Elkind (dalam Beyth-Marom et al., 1993; dalam Papalia & Olds, 2001) mengungkapkan salah satu bentuk cara berpikir egosentrisme yang dikenal dengan istilah personal fabel.

    Personal fabel adalah “suatu cerita yang kita katakan pada diri kita sendiri mengenai diri kita sendiri, tetapi [cerita] itu tidaklah benar” . Kata fabel berarti cerita rekaan yang tidak berdasarkan fakta, biasanya dengan tokoh-tokoh hewan. Personal fabel biasanya berisi keyakinan bahwa diri seseorang adalah unik dan memiliki karakteristik khusus yang hebat, yang diyakini benar adanya tanpa menyadari sudut pandang orang lain dan fakta sebenarnya. Papalia dan Olds (2001) dengan mengutip Elkind menjelaskan “personal fable” sebagai berikut :

    “Personal fable adalah keyakinan remaja bahwa diri mereka unik dan tidak terpengaruh oleh hukum alam. Belief egosentrik ini mendorong perilaku merusak diri [self-destructive] oleh remaja yang berpikir bahwa diri mereka secara magis terlindung dari bahaya. Misalnya seorang remaja putri berpikir bahwa dirinya tidak mungkin hamil [karena perilaku seksual yang dilakukannya], atau seorang remaja pria berpikir bahwa ia tidak akan sampai meninggal dunia di jalan raya [saat mengendarai mobil], atau remaja yang mencoba-coba obat terlarang [drugs] berpikir bahwa ia tidak akan mengalami kecanduan. Remaja biasanya menganggap bahwa hal-hal itu hanya terjadi pada orang lain, bukan pada dirinya”.

    Pendapat Elkind bahwa remaja memiliki semacam perasaan invulnerability yaitu keyakinan bahwa diri mereka tidak mungkin mengalami kejadian yang membahayakan diri, merupakan kutipan yang populer dalam penjelasan berkaitan perilaku berisiko yang dilakukan remaja (Beyth-Marom, dkk., 1993). Umumnya dikemukakan bahwa remaja biasanya dipandang memiliki keyakinan yang tidak realistis yaitu bahwa mereka dapat melakukan perilaku yang dipandang berbahaya tanpa kemungkinan mengalami bahaya itu.

    Beyth-Marom, dkk (1993) kemudian membuktikan bahwa ternyata baik remaja maupun orang dewasa memiliki kemungkinan yang sama untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku yang berisiko merusak diri (self-destructive). Mereka juga mengemukakan adanya derajat yang sama antara remaja dan orang dewasa dalam mempersepsi self-invulnerability. Dengan demikian, kecenderungan melakukan perilaku berisiko dan kecenderungan mempersepsi diri invulnerable menurut Beyth-Marom, dkk., pada remaja dan orang dewasa adalah sama.

    3) Perkembangan kepribadian dan sosial

    Yang dimaksud dengan perkembangan kepribadian adalah perubahan cara individu berhubungan dengan dunia dan menyatakan emosi secara unik; sedangkan perkembangan sosial berarti perubahan dalam berhubungan dengan orang lain (Papalia & Olds, 2001). Perkembangan kepribadian yang penting pada masa remaja adalah pencarian identitas diri. Yang dimaksud dengan pencarian identitas diri adalah proses menjadi seorang yang unik dengan peran yang penting dalam hidup (Erikson dalam Papalia & Olds, 2001).

    Perkembangan sosial pada masa remaja lebih melibatkan kelompok teman sebaya dibanding orang tua (Conger, 1991; Papalia & Olds, 2001). Dibanding pada masa kanak-kanak, remaja lebih banyak melakukan kegiatan di luar rumah seperti kegiatan sekolah, ekstra kurikuler dan bermain dengan teman (Conger, 1991; Papalia & Olds, 2001). Dengan demikian, pada masa remaja peran kelompok teman sebaya adalah besar.

    Pada diri remaja, pengaruh lingkungan dalam menentukan perilaku diakui cukup kuat. Walaupun remaja telah mencapai tahap perkembangan kognitif yang memadai untuk menentukan tindakannya sendiri, namun penentuan diri remaja dalam berperilaku banyak dipengaruhi oleh tekanan dari kelompok teman sebaya (Conger, 1991).

    Kelompok teman sebaya diakui dapat mempengaruhi pertimbangan dan keputusan seorang remaja tentang perilakunya (Beyth-Marom, et al., 1993; Conger, 1991; Deaux, et al, 1993; Papalia & Olds, 2001). Conger (1991) dan Papalia & Olds (2001) mengemukakan bahwa kelompok teman sebaya merupakan sumber referensi utama bagi remaja dalam hal persepsi dan sikap yang berkaitan dengan gaya hidup. Bagi remaja, teman-teman menjadi sumber informasi misalnya mengenai bagaimana cara berpakaian yang menarik, musik atau film apa yang bagus, dan sebagainya (Conger, 1991).

    B. Ciri-ciri Masa Remaja

    Masa remaja adalah suatu masa perubahan. Pada masa remaja terjadi perubahan yang cepat baik secara fisik, maupun psikologis. Ada beberapa perubahan yang terjadi selama masa remaja.

    1. Peningkatan emosional yang terjadi secara cepat pada masa remaja awal yang dikenal dengan sebagai masa storm & stress. Peningkatan emosional ini merupakan hasil dari perubahan fisik terutama hormon yang terjadi pada masa remaja. Dari segi kondisi sosial, peningkatan emosi ini merupakan tanda bahwa remaja berada dalam kondisi baru yang berbeda dari masa sebelumnya. Pada masa ini banyak tuntutan dan tekanan yang ditujukan pada remaja, misalnya mereka diharapkan untuk tidak lagi bertingkah seperti anak-anak, mereka harus lebih mandiri dan bertanggung jawab. Kemandirian dan tanggung jawab ini akan terbentuk seiring berjalannya waktu, dan akan nampak jelas pada remaja akhir yang duduk di awal-awal masa kuliah.
    2. Perubahan yang cepat secara fisik yang juga disertai kematangan seksual. Terkadang perubahan ini membuat remaja merasa tidak yakin akan diri dan kemampuan mereka sendiri. Perubahan fisik yang terjadi secara cepat, baik perubahan internal seperti sistem sirkulasi, pencernaan, dan sistem respirasi maupun perubahan eksternal seperti tinggi badan, berat badan, dan proporsi tubuh sangat berpengaruh terhadap konsep diri remaja.
    3. Perubahan dalam hal yang menarik bagi dirinya dan hubungan dengan orang lain. Selama masa remaja banyak hal-hal yang menarik bagi dirinya dibawa dari masa kanak-kanak digantikan dengan hal menarik yang baru dan lebih matang. Hal ini juga dikarenakan adanya tanggung jawab yang lebih besar pada masa remaja, maka remaja diharapkan untuk dapat mengarahkan ketertarikan mereka pada hal-hal yang lebih penting. Perubahan juga terjadi dalam hubungan dengan orang lain. Remaja tidak lagi berhubungan hanya dengan individu dari jenis kelamin yang sama, tetapi juga dengan lawan jenis, dan dengan orang dewasa.
    4. Perubahan nilai, dimana apa yang mereka anggap penting pada masa kanak-kanak menjadi kurang penting karena sudah mendekati dewasa.
    5. Kebanyakan remaja bersikap ambivalen dalam menghadapi perubahan yang terjadi. Di satu sisi mereka menginginkan kebebasan, tetapi di sisi lain mereka takut akan tanggung jawab yang menyertai kebebasan tersebut, serta meragukan kemampuan mereka sendiri untuk memikul tanggung jawab tersebut.

    C. Tugas perkembangan remaja

    Tugas perkembangan remaja menurut Havighurst dalam Gunarsa (1991) antara lain :

    • memperluas hubungan antara pribadi dan berkomunikasi secara lebih dewasa dengan kawan sebaya, baik laki-laki maupun perempuan
    • memperoleh peranan sosial
    • menerima kebutuhannya dan menggunakannya dengan efektif
    • memperoleh kebebasan emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya
    • mencapai kepastian akan kebebasan dan kemampuan berdiri sendiri
    • memilih dan mempersiapkan lapangan pekerjaan
    • mempersiapkan diri dalam pembentukan keluarga
    • membentuk sistem nilai, moralitas dan falsafah hidup

    Erikson (1968, dalam Papalia, Olds & Feldman, 2001) mengatakan bahwa tugas utama remaja adalah menghadapi identity versus identity confusion, yang merupakan krisis ke-5 dalam tahap perkembangan psikososial yang diutarakannya. Tugas perkembangan ini bertujuan untuk mencari identitas diri agar nantinya remaja dapat menjadi orang dewasa yang unik dengan sense of self yang koheren dan peran yang bernilai di masyarakat (Papalia, Olds & Feldman, 2001).

    Untuk menyelesaikan krisis ini remaja harus berusaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa perannya dalam masyarakat, apakah nantinya ia akan berhasil atau gagal yang pada akhirnya menuntut seorang remaja untuk melakukan penyesuaian mental, dan menentukan peran, sikap, nilai, serta minat yang dimilikinya.

    Bab III. Perkembangan Moral Pada Masa Remaja

    A. Pengertian

    Istilah moral berasal dari kata Latin “mos” (moris) yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan/nilai-nilai atau tata cara kehidupan. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral.

    Nilai-nilai moral itu, seperti seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan, memelihara kebersihan, dan memelihara hak orang lain, serta larangan mencuri, berzina, membunuh, meminum minuman keras dan berjudi.

    Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya.

    B. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi

    Perkembangan moral seorang anak banyak dipengaruhi oleh lingkungannya. Anak memperoleh nilai-nilai moral dari lingkungannya, terutama dari orangtuanya. Dia belajar untuk mengenal nlai-nilai dan berprilaku sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Dalam mengembangkan nilai moral anak, peranan orangtua sangatlah penting, terutama pada waktu anak masih kecil. Beberapa sikap orangtua yang perlu diperhatikan sehubungan dengan perkembangan moral anak , diantaranya  sebagai berikut :

    a. Konsisten dalam mendidik anak

    Ayah dan ibu harus memiliki sikap dan perlakuan yang sama dalam melarang atau membolehkan tingkah laku tertentu kepada anak. Suatu tingkah laku anak yang dilarang oleh orangtua pada suatu waktu, harus juga dilarang apabila dilakukan pada waktu lain.

    b. Sikap orangtua dalam keluarga

    Secara tidak langsung, sikap orangtua terhadap anak, sikap ayah terhadap ibu, atau sebaliknya, dapat mempengaruhi perkembangan moral anak, yaitu melalui proses peniruan (imitasi). Sikap orangtua yang keras (otoriter) cenderung melahirkan sikap disiplin semu oada anak, sedangkan sikap yang acuh tak acuh atau sikap masa bodoh, cenderung mengembangkan sikap kurang bertanggungjawab dan kurang mempedulikan norma pada diri anak. Sikap yang sebaiknya dimiliki oleh orangtua adalah sikap kasih saying, keterbukaan, musyawarah (dialogis).

    Interaksi dalam keluarga turut mempengaruhi perkembangan moral anak

    c. Penghayatan dan pengamalan agama yang dianut

    Orangtua merupakan panutan (teladan) bagi anak, termasuk disini panutan dalam mengamalkan ajaran agama. Orangtua yang menciptakan iklim yang religious (agamis), dengan cara memberikan ajaran atau bimbingan tentang nilai-nilai agama kepada anak, maka anak akan mengalami perkembangan moral yang baik.

    d. Sikap konsisten orang tua dalam menerapkan norma

    Orangtua yang tidak menghendaki anaknya berbohong, atau berlaku tidak jujur, maka mereka harus menjauhkan dirinya dari prilaku berbohong atau tidak jujur. Apabila orangtua mengajarkan kepada anak, agar berprilaku jujur, bertutur kata yang sopan, bertanggungjawab atau taat beragama, tetapi orangtua sendiri menampilkan perilaku sebaliknya, maka anak akan mengalami konflik pada dirinya, dan akan menggunakan ketidakkonsistenan orangtua itu sebagai alas an untuk tidak melakukan apa yang diinginkan orangtuanya, bahkan mungkin dia akan berprilaku seperti orangtuanya.

    C. Karakteristik Perkembangan

    Karakteristik yang menonjol dalam perkembangan moral remaja adalah bahwa sesuai dengan tingkat perkembangan kognisi yang mulai mencapai tahapan berfikir operasional formal, yaitu mulai mampu berpikir abstrak dan mampu memecahkan masala-masalah yang bersifat hipotetis maka pemikiran remaja terhadap suatu permasalahan tidak lagi hanya terikat pada waktu, tempat, dan situasi, tetapi juga pada sumber moral yang menjadi dasar hidup mereka (Gunarsa,1988).

    Perkembangan pemikiran moral remaja dicirikan dengan mulai tumbuh kesadaran akan kewajiban mempertahankan kekuasaan dan pranata yang ada karena dianggap sebagai suatu yang bernilai, walau belum mampu mempertanggung jawabkannya secara pribadi (Monks, 1988). Perkembangan moral remaja yang demikian, jika meminjam teori perkembangan moral dari Kohlberg berarti sudah mencapai tahap konvensioanl. Pada akhir masa remaja seseorang akan memasuki tahap perkembangan pemikiran moral yang disebut tahap pascakonvensional ketika orisinilitas pemikiran moral remaja sudah semakin jelas. Pemikiran moral remaja berkembang sebagai pendirian pribadi yang tidak tergantung lagi pada pendapat atau pranata yang bersifat konvensional.

    Melalui pengalaman atau berinteraksi social dengan orang tua, guru, teman sebaya atau orang dewasa lainnya, tingkat moralitas remaja sudah lebih matang jika dibandingkan dengan usia anak. Mereka sudah lebih mengenal tentang nilai-nilai moral atau konsep-konsep moralitas, seperti kejujuran, keadilan, kesopanan, dan kedisiplinan.

    Pada masa ini muncul dorongan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat dinilai baik oleh orang lain. Remaja berprilaku bukan hanya untuk memenuhi kepuasan fisiknya, tetapi psikologis (rasa puas dengan adanya penerimaan dan penilaian positif dari orang lain tentang perbuatannya).

    Dikaitkan dengan perkembangan moral dari Lawrence Kohlberg, menurut Kusdwirarti Setiono (Fuad Noshori, Suara Pembaharuan, 7 Maret 1997) pada umunya remaja berada dalam tingkatan konvensional, atau berada dalam tahap ketiga (berprilaku sesuai dengan tuntutan dan harapan kelompok), dan keempat (loyalitas terhadap norma atau peratutan yang berlaku dan diyakininya).

    Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kusmara (Mahasiswa PPB FIP IKIP Bandung) terhadap siswa kelas II SMA Negeri 22 Bandung pada tahun 1995 ditemukan bahwa tingkatan moral mereka itu bersifat menyebar, yaitu pada tingkat pra-konvensional (14%), konvensional (38%), dan pasca-konvensional (48%). Jumlah para siswa yang menjadi responden penelitiannya sebanyak 120 orang.

    Dengan masih adanya siswa SMU (remaja) pada tingkat pra-konvensional atau konvensional, maka tidaklah heran apabila diantara remaja masih banyak yang melakukan dekadensi moral atau pelecehan nilai-nilai seperti tawuran, tindak criminal, meminum minuman keras, dan hubungan seks di luar nikah.

    Remaja berprestasi dan tawuran adalah dua hal berbeda yang merupakan cerminan moral yang dianut remaja.

    Keragaman tingkat moral remaja disebabkan oleh factor penentunya yang beragam juga. Salah satu factor penentu atau yang mempengaruhi perkembangan moral remaja itu adalah orangtua. Manurut Adamm dan Gullotta (183: 172-173) terdapat beberapa hasil penelitian yang menunjukkan bahwa orangtua mempengaruhi nilai remaja, yaitu sebagai berikut :

    1. Terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat moral remaja dengan tingkat moral orangtua  (Haan, Langer & Kohlberg, 1976).
    2. Ibu-ibu remaja yang tidak nakal mempunyai skor yang lebih tinggi dalam tahapan nalar moralnya daripada ibu-ibu yang anaknya nakal, dan remaja yang tidak nakal mempunyai skor lebih tinggi dalam kemampuan nalar moralnya daripada remaja yang nakal (Hudgins & Prentice, 1973).
    3. Terdapat dua factor yang  dapat meningkatkan perkembangan moral anak atau remaja , yaitu :
      • Orangtua yang mendorong anak untuk berdiskusi secara demokratik dan terbuka mengenai berbagai isu, dan
      • Orangtua yang menerapkan disiplin terhadap anak dengan teknik berpikir induktif  (Parikh, 1980).

    3.4 Upaya-upaya Sekolah Dalam Rangka Mengembangkannya

    Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang secara sistematik melaksanakan program bimbingan, pengajaran, dan latihan dalam rangka membantu siswa agar mampu mengembangkan potensinya, baik yang menyangkut aspek moral-spiritual, intelektual, emosional, maupun social.

    Upaya sekolah dalam memfasilitasi tugas-tugas perkembangan siswa akan berjalan baik apabila di sekolah tersebut telah tercipta iklim atau atmosfir yang sehat atau efektif, baik menyangkut aspek menejemennya maupun profesionalisme para personelnya.

    Masa remaja akhir sudah mampu memahami dan mengarahkan diri untuk mengemnbangkan  dan memelihara identitas dirinya. Dalam proses perkembangan independensi sebagai antisipasi mendekati masa dewasa yang matang, remaja :

    1. Berusaha untuk bersikap hati-hati dalam berprilaku, memahami kemampuan dan kelemahan dirinya.
    2. Meneliti dan mengkaji makna, tujuan, dan keputusan tentang jenis manusia seperti apa yang dia inginkan.
    3. Memperhatikan etika masyarakat, keinginan orangtua dan sikap teman-temannya.
    4. Mengembangkan sifat-sifat pribadi yang diinginkannya.

    Bab IV. Perkembangan Nilai pada Masa Remaja

    A.  Pengertian

    Menurut Sutikna (1988:5), nilai adalah norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, misalnya adat kebiasaan dan sopan-santun. Menurut Spranger , dikutip oleh Sunaryo Kartadinata (1988), nilai merupakan suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh individu untuk menimbang dan memilih alternative keputusan dalam situassi social tertentu.

    Jadi, nilai itu merupakan :

    1. Sesuatu yang diyakini kebenarannya dan mendorong orang untuk mewujudkannya.
    2. Produk social yang diterima sebagai milik bersama dengan kelompoknya.
    3. Sebagai standar konseptual yang relative stabil yang membimbing individu dalam menentukan tujuan yang ingin dicapai dalam rangka memenuhi kebutuhan psikologisnya.

    Spranger menggolongkan nilai ke dalam enam jenis nilai, yaitu :

    1.      Nilai teori atau nilai keilmuan

    Adalah nilai yang mendasari perbuatan seseorang berdasarkan pertimbangan rasional.

    2.      Nilai ekonomi

    Adalah nilai yang mendasari perbuatan atas dasar pertimbangan untung rugi atau financial.

    3.      Nilai social atau solidaritas

    Tidak memperhitungkan laba atau rugi terhadap dirinya yang penting dia dapat melakukannya untuk kepentingan orang lain dan menimbulkan rasa puas pada dirinya.

    4.      Nilai agama

    Atas dasar pertimbangan kepercayaan bahwa sesuatu itu benar menurut agama dan merasa berdosa jika tidak berbuat sesuai yang disyariatkan agama.

    5.      Nilai seni

    Atas dasar pertimbangan  rasa keindahan atau rasa seni yang terlepas dari berbagai pertimbangan material.

    6.      Nilai Politik

    Atas dasar pertimbangan baik-buruknya untuk kepentingan dirinya atau kelompoknya.

    Remaja sebagai individu maupun sebagai komunitas masyarakat memiliki nilai-nilai yang dianutnya. Nilai yang dianut remaja tersebt dapat dipengaruhi oleh posisi kehidupan mereka, apakah kehidupan secara modern atau secara tradisional. Nilai yang dianutnya akan berpengaruh terhadap prilaku remaja tersebut.

    Nilai-nilai kehidupan yang perlu diinformasikan dan selanjutnya dihayati oleh para remaja tidak terbatas pada adat kebiasaan dan sopan santun saja, namun juga seperangkat nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila misalnya nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai perikemanusiaan dan perikeadilan, nilai-nilai estetik, nilai-nilai etik, dan nilai-nilai intelektual dalam bentuk-bentuk sesuai  dengan perkembangan  remaja.

    Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila contohnya :

    ·   Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban.

    ·   Mengembangkan sikap tenggang rasa

    ·   Tidak semena-mena terhadap orang lain.

    4.2  Faktor-faktor Yang Mempengaruhi

    Nilai adalah suatu ukuran atau parameter terhadap suatu obyek tertentu  Nilai dapat diartikan sebagai ukuran baik atau buruknya sesuatu. Bisa juga diartikan sebagai harga (value) dari sesuatu. Nilai-nilai kehidupan adalah norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, misalnya, adat kebiasaan dan sopan santun (sutikna, 1988:5).

    Beberapa factor yang mempengaruhi perkembangan nilai ada masa remaja adalah sebagai berikut :

    1.      Diri Sendiri

    Setiap orang memiliki ukuran baik atau buruk sesuatu dengan sudut pandang orang tersebut terhadap sesuatu, sehingga jika si A menganggap bersendawa setelah makan itu adalah baik, belum tentu si B menganggap hal tersebut juga prilaku yang baik. Jadi, setiap orang memiliki penilaian tersendiri terhadap sesuatu yang akan diwujudkan dalam tingkah lakunya. Hal ini termasuk dalam sikap normative, yaitu nilai merupakan suatu keharusan yang menuntut diwujudkan dalam tingkah laku. Misalnya : nilai kesopanan dan kesedrhanaan, orang yang selalu bersikap sopan akan selalu berusaha menjaga tutr kata dan sikapnya sehingga dapat membedakan tindakan yang baik dan yang buruk. Dengan kata lain, nilai-nilai perlu dikenal terlebih dahulu, kemudian dihayati dan didorong oleh moral, baru kemudian akan terbentuk sikap tertentu terhadap nilai-nilai tersebut. Dalam masa remaja, mereka menganggap diri mereka adalah benar dan apa yang mereka yakini pun adalah benar.

    2.      Teman/Orang Terdekat

    Pengaruh dari orang lain juga berperan dalam terwujudnya suatu nilai. Teman atau orang terdekat biasanya memiliki suatu paham dan sifat yang hamper sama satu sama lainnya. Dalam pertemanan biasanya mudah untuk saling memahami dan memberikan penanaman suatu paham ke teman lainnya dan orang tersebut akan menganggap suatu paham yang ditanam padanya adalah benar. Ini dikarenakan dalam pertemanan mereka akan saling mempercayai satu sama lainnya. Misalnya : si A berjalan didepan orang yang lebih tua yang sedang duduk tanpa member hormat (membungkuk sedikit), lalu teman terdekatnya yang melihat itu mengatakan bahwa hal tersebut tidak baik untuk dilakukan dan merupakan hal yang tidak sopan. Seharusnya kita melewati orang yang lebih tua, sebaiknya membungkuk sedikit (member hormat kepada yang lebih tua). Sehingga setelah diberikan pemahaman, si A mengerti dam melakukan apa yang dikatakan temannya tersebut. Pada masa remaja, seseorang akan lebih percaya atau memiliki hubungan yang lebih dekat dengan temannya dibandingkan hubungan dengan keluarganya. Mereka lebih sering bersosialisai dengan temannya sehingga penanaman nilai akan mudah terserap dan ditanam pada diri remaja tersebut.

    3.      Pergaulan

    Pergaulan yang memberikan pengaruh yang baikakan mewujudkan suatu nilai yang baik poula dan sebaliknya. Didalam pergaulan terdapat interaksi nilai yang dianut seseorang. Bisa saja nilai yang dulu dianggap baik dapat berubah menjadi nilai yang buruk setelah interaksi atau penglihatan yang dialaminya dalam pergaulan. Tetapi itu tergantung dari remaja tersebut, apakah ia bertahan terhadap nilai yang telah dianutnya atau akan merubahnya. Di dalam perkembangan, hal ini mungkin saja terjadi. Misalnya menceritakan hal-hal yang buruk/kejelelkan orang lain. Yang dulunya dianggap biasa saja, setelah pergaulan yang membawa nilai positif melalui pembelajaran nilai tersebut berubah menjadi buruk.

    Pergaulan pada masa remaja turut menentukan nilai yang dianutnya.

    Pergaulan menjadi hal yang penting pada masa remaja. Pada saat itu pergaulan menentukan sikap/tingkah laku dari nilai yang dan seseorang. Pergaulan yang baik akan menciptakan nilai yang baik dan sebaliknya. Remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak yang sangat rawan dalam penentuan nilai. Ditekankan sekali lagi bahwa pada masa remaja, seseorang lebih sering berinteraksi dengan temannya dalam bentuk pergaulan disbanding dengan keluarganya.

    4.      Teknologi

    Pengaruh dari kecanggihan teknologi juga memiliki pengaruh kuat terhadap terwujudnya suatu nilai. Di era sekarang, remaja banyak menggunakan teknologi untuk belajar maupun hiburan. Contoh : internet memiliki fasilitas yang menwarkan berbagai informasi yang dapat diakses secara langsung.

    Remaja dan internet

    Nilai positifnya, ketika remaja atau siswa mencari bahan pelajaran yang mereka butuhkan mereka dapat mengaksesnya dari internet. Namun internet juga memiliki nilai negative seperti tersedianya situs porno yang dapat merusak moral remaja. Apalagi pada masa remaja memiliki rasa keingintahuan yang besar dan sangat rentan terhadap informs sperti itu. Mereka belum bisa mengolah pikiran secara matang yang akhirnya akan menimbulkan berbagai tindak kejahatan seperti pemerkosaan dan hamil di luar nikah/hamil usia dini.

    5.      Lingkungan / Masyarakat

    Kenyamanan dalam bertempat tinggal memiliki peran yang besar dalam pembentuukan nilai individu. Remaja yang memiliki potensi tersosialisasi baik akan pandai berteman dan memiliki tenggang rasa yang kuat. Hal ini didukung oleh lingkungan yang mendukung pula. Maka akan terwujud nilai kesejaheraan yang baik. Bagi remaja hal ini akan berguna untuk mewujudkan rasa percaya diri dan bersosialisasi yang baik kepada masyarakat.

    ·         Identifikasi dengan orang-orang yang dianggapnya sebagai model. Maksudnya mengikuti sikap dan prilaku yang dianggapnya sebagai idola.

    ·         Hubungan anak dengan orangtuanya.

    ·         Adanya control dari masyarakat yang mempunyai sanksi-sanksi tersendiri buat pelanggar-pelanggarnya.

    ·         Unsur Lingkungan berbentuk manusia yang langsung dikenal atau dihadapi oleh seseorang sebagai perwujudan dari nilai-nilai tertentu.

    ·         Aktivitas-aktivitas anak remaja yang diperankannya.

    4.3  Karakteristik Perkembangan

                Karena masa remaja merupakan masa mencari jati diri, dan berusaha melepaskan diri dari lingkungan orang tua untuk menemukan jati dirinya maka masa remaja menjadi suatu periode yang sangat penting dalam pembentukan nilai (Horrocks, 1976; Adi, 1986; Monks, 1989). Salah satu karakteristik remaja yang sangat menonjol berkaitan dengan nilai adalah bahwa remaja sudah sangat merasakan pentingnya tata nilai dan mengembangkan nilai-nilai baru yang sangat diperlukan sebagai pedoman, pegangan, atau petunjuk dalam mencari jalannya sendiri untuk menumbuhkan identitas diri menuju kepribadian yang semakin matang (Sarwono, 1989). Pembentukan nilai-nilai baru dilakukan dengan cara identifikasi dan imitasi terhadap tokoh atau model tertentu atau bisa saja berusaha mengembangkannya sendiri.

    4.4  Upaya-upaya Sekolah Dalam Rangka Mengembangkannya

    Nilai adalah suatu ukuran atau parameter terhadap suatu obyek tertentu. Nilai dapat diartikan sebagai ukuran baik atau buruknya sesuatu. Bisa juga diartikan sebagai harga (value) dari sesuatu. Nilai-nilai kehidupan adalah norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, misalnya, adat kebiasaan dan sopan santun (Sutikna, 1988:5).

     Dapat dikatakan bahwa lingkungan adalah faktor yang paling penting bagi perkembangan nilai, remaja yang seiring dengan pematangan kepribadian remaja tersebut. Nilai bersifat abstrak, dalam arti tidak dapat ditangkap melalui indra, yang dapat ditangkap adalah objek yang memiliki nilai. Meskipun abstrak, nilai merupakan suatu realitas, sesuatu yang ada dan dibutuhkan manusia. Jadi, nilai bersifat normatif, suatu keharusan yang menuntut diwujudkan dalam tingkah laku, misalnya nilai kesopanan dan kesederhanaan. Misalnya, seseorang yang selalu bersikap sopan santun akan selalu berusaha menjaga tutur kata dan sikap sehingga dapat membedakan tindakan yang baik dan yang buruk. Dengan kata lain, nilai-nilai perlu dikenal terlebih dahulu, kemudian dihayati dan didorong oleh moral, baru kemudian akan terbentuk sikap tertentu terhadap nilai-nilai tersebut.

    Kondisi psikologis remaja mengalami ketidakstabilan. Dalam keadaan seperti itu, mereka perlu dibimbing untuk mengenal nilai-nilai dalam kehidupan 3 yang tidak terbatas pada adat kebiasaan dan sopan santun saja, tetapi juga nilai-nilai keagamaan, keadilan, estetik dan nilai-nilai intelektual dalam bentuk-bentuk sesuai dengan perkembangan remaja.

     Ketika anak berada dalam masa perkembangan, pembentukan moralnya dipengaruhi oleh lingkungannya. Dimulai dari lingkungan keluarga, dimana orang tua mengenalkan nilai-nilai sederhana seperti kesopanan terhadap ayah dan ibu. Saat pergaulan anak tersebut makin luas pada usia remaja, dia akan mengenal lebih banyak nilai-nilai kehidupan melalui kejadian-kejadian di sekitarnya. Remaja terdorong untuk mengidentifikasi peristiwa yang dialaminya sehingga dapat membedakan sikap mana yang baik dan mana yang tidak baik untuk dilakukan

    Upaya membantu remaja menemukan identitas diri:

    a. Berilah informasi tentang pilihan-pilihan karier dan peran-peran orang dewasa

    b.  Membantu siswa menemukan sumber-sumber untuk memecahkan masalah pribadinya (melalui guru konseling)

    c.  Bersikap toleran terhadap tingkah laku remaja yang dipandang aneh. Caranya: mendiskusikan tentang tatakrama dlm berpakaian

    d. Memberi umpan balik yg realistik tentang dirinya. Caranya: berdiskusi dg siswa, member contoh orang lain yg sukses dalam hidup.

    Menurut Kohlberg ;

    1. Anak menganggap baik dan buruk atas dasar akibat yang ditimbulkannya berupa kepatuhan dan hukuman atas kekuasaan yang tidak bisa diganggu gugat. Misalnya, jika anak tidak mau belajar maka dia tidak akan diijinkan untuk bermain dengan temannya.

    2. Anak tidak lagi secara mutlak tergantung kepada aturan yang ada di luar dirinya atau ditentukan oleh orang lain, tetapi mereka sadar bahwa setiap kejadian dapat dipandang dari berbagai sisi yaitu sisi manfaat dan kerugiannya.

    3. Anak mulai memasuki umur belasan tahun, dimana anak memperlihatkan orientasi perbuatan-perbuatan yang dapat dinilai baik atau tidak baik oleh orang lain.

    4. Anak merasakan bahwa perbuatan baik yang diperlihatkan bukan hanya agar dapat diterima lingkungan, tetapi juga bertujuan agar dapat ikut mempertahankan aturan atau norma sosial, contohnya seorang remaja yang mulai belajar menghormati orang yang lebih tua dengan bersikap ramah dan santun

    5. Remaja menyadari adanya hubungan timbal balik antara dirinya dengan lingkungan sosial melalui kata hati yang dirasakannya. Maksudnya, jika dia menjalankan kewajibannya sebagai anggota masyarakat maka lingkungan aka memberikan perlindungan dan rasa nyaman padanya.

    6, (Prinsip Universal), remaja mengadakan penginternalisasian moral yaitu remaja melakukan tingkah laku moral yang dikemudikan oleh tanggung jawab batin sendiri, menjadikan penilaian moral sebagai nilai-nilaipribadi yang tercermin pada tingkah lakunya.

    Mengenai peranan sekolah dalam mengembangkan kepribadian anak, Hurlock (1986: 322) mengemukakan bahwa sekolah merupakan factor penentu bagi perkembangan kepribadian anak (siswa), baik dalam cara berpikir, bersikap, maupun cara berprilaku. Sekolah berperan sebagai substitusi keluarga dan guru substitusi orangtua. Ada beberapa alassan, mengapa sekolah memainkan peranan penting yang berarti bagi perkembangan kepribadian anak, yaitu ;

    a)      Siswa harus hadir disekolah

    b)      Sekolah memberikan pengaruh kepada anak secara dini seiring dengan masa perkembangan ‘konsep dirinya”.

    c)      Anak-anak banyak menghabiskan waktunya di sekolah daripada di tempat lain di luar rumah

    d)      Sekolah member kesempatan kepada siswa untuk meraih sukses

    e)      Sekolah member kesempatan pertama kepada anak untuk menilai dirinya dan kemampuannya secara realistic.

    BAB  V

    PERKEMBANGAN AGAMA

     PADA MASA REMAJA

    5.1  Pengertian

    Masa remaja adalah masa bergejolaknya bermacam-macam perasaan yang kadang-kadang bertentangan satu sama lain. Kondisi ini menyebabkan terjadinya perubahan emosi yang begitu cepat dalam diri remaja,,seperti ketidakstabilan perasaan remaja kepada Tuhan/Agama.

    Sebagaimana yang dijelaskan oleh Adams dan Gullotta (1983), agama memberikan sebuah kerangka moral, sehingga membuat seseorang mampu membandingkan tingkah lakunya, agama dapat menstabilkan tingkah laku dan bisa memberikan penjelasan mengapa dan untuk apa seseorang berada di dunia ini, agama memberikan perlindungan rasa aman, terutama bagi remaja yang tengah mencari eksistensi dirinya.

    Fitrah beragama ini merupakan disposisi (kemampuan dasar) yang mengandung kemungkinan atau berpeluang untuk berkembang. Namun, mengenai arah dan kualitas perkembangan beragama remaja sangat bergantung kepada proses pendidikan yang diterimanya. Jiwa beragama atau kesadaran beragama merujuk kepada aspek rohaniah individu yang berkaitan dengan keimanan kepada Allah yang direfleksikan kedalam peribadatan kepada-Nya.

    Kebutuhan remaja akan Allah kadang-kadang tidak terasa ketika remaja dalam keadaan tenang, aman, dan tentram. Sebaliknya Allah sangat dibutuhkan apabila remaja dalam keadaan gelisah, ketika ada ancaman, takut akan kegelapan, ketika merasa berdosa.

    Jadi,,kesimpulannya,,perasaan remaja pada agama adalah ambivalensi. Kadang-kadang sangat cinta dan percaya pada Tuhan, tetapi sering pula berubah menjadi acuh tak acuh dan menentang (Zakiyah Darajat, 2003:96-96 dan Sururin, 2002:70).

    5.2  Faktor-faktor Yang Mempengaruhi

    Tidak sedikit remaja yang bimbang dan ragu dengan agama yang diterimanya,,W. Sturbuck meneliti mahasiswa Middle Burg College. Dari 142 remaja yang berusia 11-26 tahun, terdapat 53% yang mengalami keraguan tentang:

    a)      Ajaran agama yang mereka terima.

    b)      Cara penerapan ajaran agama.

    c)      Keadaan lembaga-lembaga keagamaan.

    d)      Para pemuka agama

    Menurut analisis yang dilakukan W.Starbuck, keraguan itu disebabkan oleh factor:

    1. Kepribadian

    Tipe kepribadian dan jenis kelamin, bisa menyebabkan remaja melakukan salah tafsir terhadap ajaran agama.

    Ø  Bagi individu yang memiliki kepribadian yang introvert, ketika mereka mendapatkan kegagalan dalam mendapatkan pertolongan Tuhan, maka akan menyebabkan mereka salah tafsir terhadap sifat Maha Pengasih dan Maha Penyayangnya Tuhan.

    Misalnya: Ketika berdoa’a tidak terkabul,,maka mereka akan menjadi ragu akan kebenaran sifat Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang Tuhan tersebut. Kondisi ini akan sangat membekas pada remaja yang introvert walau sebelumnya dia taat beragama.

    Ø  Untuk jenis kelamin

    Wanita yang cepat matang akan lebih menunjukkan keraguan pada ajaran agama dibandingkan pada laki-laki cepat matang.

    2. Kesalahan Organisasi Keagamaan dan Pemuka Agama

    Kesalahan ini dipicu oleh “dalam kenyataannya,,terdapat banyak organisasi dan aliran-aliran keagamaan”. Dalam pandangan remaja hal itu mengesankan adanya pertentangan dalam ajaran agama. Selain itu remaja juga melihat kenyataan “Tidak tanduk keagamaan para pemuka agama yang tidak sepenuhnya menuruti tuntutan agama”.

    3. Pernyataan Kebutuhan Agama

    Pada dasarnya manusia memiliki sifat konservatif (senang dengan yang sudah ada),, namun disisi lain,,manusia juga memiliki dorongan curiosity (dorongan ingin tahu).

    Kedua sifat bawaan ini merupakan kenyataan dari kebutuhan manusia yag normal. Apa yang menyebabkan pernyataan kebutuhan manusia itu berkaitan dengan munculnya keraguan pada ajaran agama?

    Dengan dorongan Curiosity, maka remaja akan terdorong untuk mempelajari/mengkaji ajaran agamanya. Jika dalam pengkajian itu terdapat perbedaan-perbedaan atau terdapat ketidaksejalanan dengan apa yang telah dimilikinya (konservatif) maka akan menimbulkan keraguan.

    4. Kebiasaan

    Remaja yang sudah terbiasa dengan suatu tradisi keagamaan yang dianutnya akan ragu untuk menerima kebenaran ajaran lain yang baru diterimanya/dilihatnya.

    Kebiasaan mengaji untuk menanamkan nilai-nilai agama

    5. Pendidikan

    Kondisi ini terjadi pada remaja yang terpelajar. Remaja yang terpelajar akan lebih kritis terhadap ajaran agamanya. Terutama yang banyak mengandung ajaran yang bersifat dogmatis. Apalagi jika mereka memiliki kemampuan untuk menafsirkan ajaran agama yang dianutnya secara lebih rasional.

    6. Percampuran Antara Agama dengan Mistik

    Dalam kenyataan yang ada ditengah-tengah masyarakat,,kadang-kadang tanpa disadari ada tindak keagamaan yang mereka lakukan ditopangi oleh mistik dan praktek kebatinan. Penyatuan unsur ini menyebabkan remaja menjadi ragu untuk menentukan antara unsur agama dengan mistik.

    Penyebab keraguan remaja dalam bidang agama yang dikemukakan oleh Starbuck diatas,,adalah penyebab keraguan yang bersifat umum bukan yang bersifat individual. Keraguan remaja pada agama bisa juga terjadi secara individual. Keraguan yang bersifat individual ini disebabkan oleh:

    a. Kepercayaan

    Yaitu: Keraguan yang menyangkut masalah ke-Tuhanan dan implikasinya. Keraguan seperti ini berpeluang pada remaja agama Kristen,,yaitu: tentang ke-Tuhanan yang Trinitas.

    b. Tempat Suci

    Yaitu: keraguan yang menyangkut masalah pemuliaan dan pengaguman tempat-tempat suci.

    c. Alat Perlengkapan Agama

    Misalnya: Fungsi salib pada ajaran agama kristen

    d. Fungsi dan Tugas dalam Lembaga Keagamaan

    Misalnya: Fungsi pendeta sebagai penghapus dosa

    e. Pemuka agama, biarawan dan biarawati

    f. Perbedaan aliran dalam keagamaan

    Keraguan yang dialami remaja dalam bidang agama dapat memicu konflik dalam diri remaja. Bentuk dari konflik itu “Remaja akan dihadapkan kepada pemilihan antara mana yang baik dan yang buruk serta antara yang benar dan salah”.

    Jenis konflik yang memungkinkan dialami remaja:

    a) Konflik yang terjadi antara percaya dan ragu.

    b) Konflik yang terjadi antara pemilihan satu diantara dua macam agama atau antara dua ide keagamaan atau antara dua lembaga keagamaan.

    c) Konflik yang terjadi oleh pemilihan antara ketaatan beragama atau sekuler.

    d) Konflik yang terjadi antara melepaskan kebiasaan masa lalu dengan kehidupan keagamaan yang didasarkan atas petunjuk Ilahi.

    Jadi,

    v  Tingkat keyakinan dan ketaatan remaja pada agama sangat dipengaruhi oleh kemampuan mereka dalam menyelesaikan keraguan dan konflik batin yang terjadi dalam dirinya.

    v  Dalam upaya mengatasi konflik batin, para remaja cenderung untuk bergabung dalam peer groups-nya dalam rangka berbagi rasa dan pengalaman. Kondisi inipun akan mempengaruhi keyakinan dan ketaatan remaja pada agama (Jalaluddin, 2002:78-81)

    Faktor lain yang mempengaruhi adalah,,adanya motivasi dari dalam diri remaja itu sendiri. Menurut Yahya Jaya,,motivasi beragama adalah: Usaha yang ada dalam diri manusia yang mendorongnya untuk berbuat sesuatu tindak keagamaan dengan tujuan tertentu atau usaha yang menyebabkan seseorang beragama.

    Menurut Nico Syukur, Manusia termotivasi untuk beragama atau melakukan tindak keagamaan dalam 4 hal:

    1. Didorng oleh keinginan untuk mengatasi frustasi dalam kehidupan, baik:

    v  Frustasi karena kesukaran alam

    v  Frustasi karena social

    v  Frustasi karena moral

    v  Frustasi karena kematian

    2. Didorong oleh keinginan untuk menjaga kesusilaan dan tata tertib masyarakat

    3. Didorong oleh keinginan untuk memuaskan rasa ingin tahu atau intelek ingin tahu manusia.

    4. Didorong oleh keinginan menjadikan agama sebagai sarana untuk mengatasi ketakutan.

    5.3  Karakteristik Perkembangan

    Apakah remaja memikirkan Tuhan sama dengan cara berpikir anak ? Apakah perkembangan intelektual mempengaruhi perkembangan terhadap Tuhan atau agama? Karena pandangan terhadap Tuhan atau agama sangat dipengaruhi oleh perkembangan berpikir, maka pemikiran remaja tentang Tuhan berbeda dengan pemikiran anak.

    Kemampuan berpikir abstrak remaja memungkinkannya untuk dapat mentransformasikan keyakinan beragamanya. Dia dapat mengapresiasi kualitas keabstrakan Tuhan sebagai Yang Maha Adil, Maha Kasih Sayang. Berkembangnya kesadaran atau keyakinan beragama, seiring dengan mulainya remaja menanyakan atau mempermasalahkan sumber-sumber otoritas dalam kehidupan, seperti pertanyaan “Apakah Tuhan Maha Kuasa, mengapa masih terjadi penderitaan dan kejahatan di dunia ini?”

    Untuk memperoleh kesadaran beragama remaja ini, dapat disimak dalam uraian berikut :

    1.         Masa Remaja Awal (sekitar usia 13-16 tahun)

    Pada masa ini terjadi perubahan jasmani yang cepat, sehingga memungkinkan terjadinya kegoncangan emosi, kecemasan, dan kekhawatiran. Bahkan, kepercayaan agama yang telah tumbuh pada umur sebelumnya, mungkin pula mengalami kegoncangan . Kepercayaan kepada Tuhan kadang-kadang sangat kuat, kan tetapi kadang-kadang menjadi berkurang yang terlihat pada cara beribadah yang kadang-kadang rajin dan kadang-kadang malas. Penghayatan rohaninya cenderung skeptic (was-was) sehingga muncul keengganan dan kemalasan untuk melakukan berbagai kegiatan ritual (misalnya ibadah sholat) yang selama ini dilakukan dengan penuh kepatuhan.

    Kegoncangan alam keagamaan ini mungkin muncul, dikarenakan oleh factor internal maupun eksternal. Faktor internal yang berkaitan dengan matangnya organ seks, yang mendorong remaja untuk memenuhi kebutuhan tersebut, namun disisi lain ia tahu bahwa perbuatannya itu dilarang agama. Kondisi ini menimbulkan konflik pada diri remaja. Faktor internal lainnya adalah bersifat psikologis, yaitu sikap independen, keinginan untuk bebas, tidak mau terikat oleh norma-norma keluarga ( orangtua). Apabila orangtua atau guru-guru kurang memahami da mendekatinya secara baik, bahkan bersikap keras, maka sikap itu akan muncul dala bentuk tingkah laku negative (negativisme), seperti membandel, oposisi, menentang atau menyendiri, dan acuh tak acuh.

    Apabila remaja kurang mendapat bimbingan keagamaan dalam keluarga, kondisi keluarga yang kuarang harmonis, orangtua yang kurang memberikan kasih saying dan berteman dengan kelomopok sebaya yang kurang menghargai nilai-nilai agama, maka kondisi diatas akan menjadi pemicu berkembangnya sikap dan perilaku remaja yang kurang baik atau asusila, seperti pergaulan bebas (free sex), minum-minuman keras, mengisap ganja dan menjadi troublemaker (pengganggu ketertiban/pembuat keonaran) dalam masyarakat.

    2.            Masa Remaja akhir ( 17-21 tahun)

    Secara psikologis, masa ini merupakan permulaan masa dewasa, emosinya mulai stabil dan pemikirannya mulai matang (kritis). Dalam kehidupan beragama, remaja sudah mulai melibatkan diri ke dalam kegiatan-kegiatan keagamaan. Remaja sudah dapat membedakan agama sebagai ajaran dengan manusia sebagai penganutnya diantaranya ada yang shalih dan ada yang tidak shalih. Pengertian ini memungkinkan dia untuk tidak terpengaruh oleh orang-orang yang mengaku beragama, namun tidak melaksanakan ajaran agama atau perilakunya bertentangan dengan nilai agama.

    Salah satu tugas perkembangan yang diukur adalah keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yaitu ;

    1.      Mengembangkan pemahaman agama

    2.      Meyakini agama sebagai pedoman hidup

    3.      Meyakini bahwa setiap perbuatan manusia tidak lepas dari pengawasan Tuhan

    4.      Meyakini kehidupan akhirat

    5.      Meyakini bahwa Tuhan Maha Penyayang dan Maha Pengampun

    6.      Melaksanakan ibadah

    7.      Mempelajari kitab suci

    8.      Berdoa kepada Tuhan

    9.      Menghindarkan diri dari perbuatan yang dilarang agama

    10.  Menghormati kedua orangtua dan orang lain

    11.  Bersabar dan bersyukur

    5.4  Upaya-upaya Sekolah Dalam Rangka Mengembangkannya

     

    5.4.1  Pendidikan Agama di Sekolah dan Pembinaan  Mental Remaja

    Pada usia remaja, ditinjau dari aspek ideas and mental growth, kekritisan dalam merangkum pemikiran-pemikiran keagamaan mulai muncul, kekritisan yang dimaksud bisa berupa kejenuhan atau kebosanan dalam mengikuti uraian-uraian yang disampaikan guru Agama di sekolah apalagi jika metodologi pengajaran yang disampaikan cenderung monoton dan berbau indoktrinasi. Jadi mereka telah mulai menampilkan respon ketidak sukaan terhadap materi keagamaan yang dipaketkan di sekolah. Sebenarnya akar permasalahan yang timbul dari kekurang senangan remaja terhadap paket materi pelajaran keagamaan di sekolah terletak pada minimnya motivasi untuk mendalami agama secara lebih intens, yang lebih sederhana lagi ialah pelajaran agama yang mereka dapat di sekolah kurang memberikan aplikasi dan solusi praktis dalam keseharian mereka. Apalagi waktu mereka lebih banyak dihabiskan dengan nonton teve, jalan-jalan ke mall, “ngeceng”, pacaran dan hal-hal lain meski banyak juga remaja kita yang melakukan aktifitas positif seperti remaja mesjid, berwiraswasta atau ikut organisasi eskul sekolah serta mengikuti kursus-kursus keterampilan.

    Cara seorang guru mengajar turut mempengaruhi pemahaman yang diterima anak/remaja.

    Jawaban dari permasalahan diatas adalah kembali pada sosok guru agama sebagai tauladan dan sumber konsentrasi remaja yang menjadi peserta didiknya. Mampukah ia menjadikan dirinya termasuk masalah materi serta metodologi yang dipergunakan sebagai referensi utama bagi peserta didiknya yang seluruhnya remaja itu dalam mengembangkan sikap keberagamaan yang tidak sekedar merasa memiliki agama (having religion) melainkan sampai kepada pemahaman agama sebagai comprehensive commitment dan driving integrating motive, yang mengatur seluruh kehidupan seseorang dan merupakan kebutuhan primer yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sehingga nantinya remaja-remaja tersebut merasakan ibadah sebagai perwujudan sikap keberagamaan intrinsik tersebut sama pentingnya atau malah lebih penting dibanding nonton teve, jalan-jalan, hura-hura dan lain sebagainya.

    Satu hal penting lainnya yang tidak boleh diabaikan oleh para guru Agama di sekolah ialah materi pelajaran agama yang disampaikan di sekolah hendaknya selalu diorientasikan pada kepentingan remaja, seorang guru Agama harus bisa menanamkan keyakinan bahwa apa-apa yang ia sampaikan bukan demi kepentingan sekolah (kurikulum) atau kepentingan guru Agama melainkan demi kepentingan remaja itu sendiri. Karenanya pemahaman akan kondisi objektif kejiwaan remaja mutlak diperlukan oleh para guru Agama di sekolah. Seorang guru Agama harus senantiasa dekat dan akrab dengan permasalahan remaja yang menjadi peserta didiknya agar mampu menyelami sisi kejiwaan mereka. Dan materi pelajaran agamapun harus terkesan akrab dan kemunikatif, sehingga otomatis sistem pengajaran yang cenderung monolog (satu arah), indoktriner, terkesan sangar (karena hanya membicarakan halal haram) harus dihindari, untuk kemudian diganti dengan sistem pengajaran yang lebih menitik beratkan pada penghayatan dan kesadaran dari dalam diri. Hal ini mungkin saja dilakukan baik dengan mengajak peserta didik bersama-sama mengadakan ritual peribadatan (dalam rangka penghayatan makna ibadah) atau mengajak peserta didik terjun langsung ke dalam kehidupan masyarakat kecil sehingga mereka bisa mengamati langsung dan turut merasakan penderitaan yang dialami masyarakat marginal tersebut (sebagai upaya menanamkan rasa solidaritas sosial). Jadi intinya mereka tidak hanya mendengar atau mengetahui saja melainkan turut dilibatkan dalam permasalahan yang terdapat dalam materi pengajaran agama di sekolah.

    Namun diatas semua itu yang paling penting adalah keterpaduan unsur keluarga, lingkungan masyarakat, kebijakan pemerintah disamping sekolah dalam rangka turut menanamkan semangat beragama yang ideal (intrinsik) di kalangan para remaja. Karena tanpa kerjasama terkait antar usur-unsur tersebut mustahil akan tercipta generasi muda (remaja) yang berkualitas.

    5.4.2  Upaya-upaya Sekolah Dalam Rangka Mengembangkannya

    Pendidikan dimanapun dan kapanpun masih dipercaya orang sebagai media ampuh untuk membentuk kepribadian anak ke arah kedewasaan. Pendidikan agama adalah unsur terpenting dalam pendidikan moral dan pembinaan mental. Karenanya keyakinan itu harus dipupuk dan ditanamkan sedari kecil sehingga menjadi bagian tidak terpisahkan dari kepribadian anak sampai ia dewasa. Melihat dari sini, pendidikan agama di sekolah mendapat beban dan tanggung jawab moral yang tidak sedikit apalagi jika dikaitkan dengan upaya pembinaan mental remaja. Usia remaja ditandai dengan gejolak kejiwaan yang berimbas pada perkembangan mental dan pemikiran, emosi, kesadaran sosial, pertumbuhan moral, sikap dan kecenderungan serta pada akhirnya turut mewarnai sikap keberagamaan yang dianut (pola ibadah).

    Menurut Havighurs (1961:5), sekolah memunyai peranan atau tanggung jawab penting dalam membantu para siswa mencapai tugas perkembangannya. Sehubungan dengan hal ini, sekolah seyogyanya berupaya untuk menciptakan iklim yang kondusif atau kondisi yang dapat memfasilitasi siswa ( yang berusia remaja) untuk mencapai perkembangannya. Tugas-tugas perkembangan remaja itu menyangkut aspek-aspek kematangan dalam berinteraksi social, kematangan personal, kematangan dalam mencapai filsafat hidup, dan kematangan dalam beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

    Tugas perkembangan agama pada masa remaja ini berkaitan dengan hakikat manusia sebagai mahluk Tuhan, yang mempunyai tugas suci untuk beribadah kepada-Nya. Ibadah ini misinya adalah untuk memperoleh kesejahteraan, kebahagiaan atau kenyamanan hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Perkembangan keimanan dan ketakwaan ini merupakan tugas perkembangan yang penanamannya dimulai sejak usia dini. Pada usia remaja, nilai-nilai keimanan dan ketakwaan harus sudah diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Pencapaian tugas perkembangang ini, pada setiap remaja tampaknya bersifat heterogen. Heterogenitas perkembangan ini dipengaruhi oleh factor pengalaman keagamaan masing-masing, terutama dilingkungan keluarganya.

    Dalam rangka membantu remaja (siswa) dalam mengokohkan atau memantapkan keimanan dan ketakwaannya, maka sekolah seyogyanya melakukan upaya-upaya berikut :

    1.         Pimpinan (kepala sekolah dan para wakilnya), guru-guru, dan personel sekolah lainnya harus sama-sama mempunyai terhadap program pendidikan agama atau penanaman nilai-nilai agama di sekolah, baik melalui :

    a)         Proses belajar-mengajar di kelas

    b)         Bimbingan (pemaknaan hikma hidup beragama/beribadah, pemberian dorongan, contoh/tauladn baik dalam bertutur kata, berprilaku, berpakaian, maupun melaksankan ibadah)

    c)         Pembisaan dalam mengamalkan nilai-nilai agama.

    2.         Guru agama seyoganya memiliki kepribadian yang mantap (ahlakul karimah), pemahaman dan ketrampilan professional, serta kemampuan dalam mengemas materi pembelajaran, sehingga mata pelajaran agama menjadi menarik dan bermakana bagi remaja.

    3.         Guru-guru menyisipkan nilai-nilai agama ke dalam mata pelajaran yang diajarkannya , sehingga siswa memiliki apresiasi yang positif terhadap  nilai-nilai agama.

    4.         Sekolah menyediakan sarana ibadah (mesjid) sebagai laboratorium rohaniah yang cukup memadai, serta memfungsinkannya secara maksimal.

    5.         Menyelenggarakan kegiatan ekstrakurikuler kerohanian, pesantren kilat, ceramah-ceramah keagamaan, atau diskusi keagamaan secara rutin.

    6.         Bekerja sama dengan orangtua siswa dalam membimbing keimanan dan ketakwaan siswa.

    Ekstrakurikuler kerohanian adalah salah satu upaya sekolah dalam mengembangkan nilai agama

    Mengenai peranan guru dalam pendidikan akhlak, Imam Al-Ghazali mengemukakan bahwa penyembuhan badan memerlukan seorang dokter yang tahu tentang tabiat badan serta macam-macam penyakit dan cara-cara penyembuhannya. Demikian pula halnya dengan penyembuhan jiwa dan akhlak. Keduanya membutuhkan guru (pendidik) yang tahu tentang tabiat dan kekurangan jiwa manusia serta tentang cara memperbaiki dan mendidiknya. Kebodohan dokter akan merusak kesehatan orang sakit. Begitupun kebodohan guru akan merusak akhlak muridnya.

    Sekolah mempunyai peran penting dalam pembentukan karakter dan kepribadian peserta didik karena sebagian besar waktu mereka habis untuk berinteraksi dengan lingkungan sekolah. peran Sekolah Dalam Mengembangkan Tugas Perkembangan adalah sebagai berikut :

    1.   Pencapaian tugas perkembangan melalui kelompok teman sebaya

    2.   Mencapai perkembangan kemandirian pribadi

    3.   Pengembangan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan YME

    Dalam kaitannya dengan upaya mengembangkan fitrah beragama anak, atau siswa, sekolah mempunyai peranan yang sangat penting. Peranan ini terkait mengembangkan pemahaman, pembiasaan mengamalkan ibadah atau akhlak yang mulia, serta sikap apresiatif terhadap ajaran atau hukum-hukum agama. Upaya-upaya itu adalah sebagai berikut:

    1.     Dalam mengajar, guru hendaknya menggunakan pendekatan (metode)  yang bervariasi (seperti ceramah, tanya jawab, diskusi, demontrasi, dan berkisah), sehingga anak tidak merasa jenuh mengikutinya.

    2.     Dalam menjelaskan materi pelajaran, guru agama hendaknya tidak terpaku kepada teks atau materi itu saja (bersifat tekstual), tetapi materi itu sebaiknya peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakat (kontekstual).

    3.     Guru hendaknya memberikan penjelasan kepada siswa, bahwa semua ibadah ritual (mahdloh) akan memberikan makna yang lebih tinggi di hadapan Allah, apabila nilai-nilai yang terkandung dalam setiap ibadah tersebut direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari.

    4.     Guru hendaknya memiliki kepribadian yang baik (akhlak mulia).

    5.     Guru hendaknya menguasai bidang studi yang diajarkannya secara memadai, minimal materi-materi yang terkandung dalam kurikulum.

    6.     Guru hendaknya memahami ilmu-ilmu lain yang relevan atau yang menunjang kemampuannya dalam mengelola proses belajar mengajar, seperti psikologi pendidikan, bimbingan konseling, metodologi pengajaran, administrasi pendidikanm teknik evaluasi, dan psikologi belajar agama.

    7.     Pimpinan sekolah, guru-guru dan pihak sekolah lainnya hendaknya memberikan contoh, tauladan yang baik dalam mengamalkan ajaran agama, seperti dalam melaksanakan ibadah shalat, menjalin tali persaudaraan, memelihara kebersihan, mengucapkan dan menjawab salam, semangat dalam menuntut ilmu, dan berpakaian muslim/muslimat (menutup aurat).

    8.     Guru-guru yang mengajar bukan pendidikan agama hendaknya mengintegrasikan nilai-nilai agama ke dalam materi-materi pelajaran yang diajarkannya.

    9.     Sekolah hendaknya menyediakan saran ibadah (mesjid) yang memadai dan memfungsikannya secara optimal.

    10.   Sekolah hendaknya menyelenggarakan kegiatan ektrakulikuler kerohanian bagi para siswa dan ceramah-ceramah atau diskusi keagamaan secara rutin.

     Hal Ini Berdasarkan Teori Perkembangan Peserta Didik Pada Tugas Perkembangan Masa Remaja Menurut Havigrus  :

    – Mencapai hubungan lebih matang dengan teman sebaya

    – Mencapai peran sosial wanita atau pria

    – Menerima keadaan fisik dan menggunkan secara efektif

    – Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya

    – Mencapai jaminan kemandirian ekonomi

    – Memilih dan mempersiapkan karir

    – Mempersipakan pernikahan dan hidup keluarga

    – Mengembangkan ketrampilan intelektual

    – Mencapai tingkah laku yang bertangung jawab secara sosial

    – Memperoleh seperangkat nilai dan norma dalam bertingkah laku

    – Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME

  • Masa Pemerintahan Orde Baru – 1966 Hingga 1998

    Orde Baru adalah istilah yang merujuk pada masa Pemerintahan Presiden Soeharto. Istilah Orde Baru digunakan merujuk pada suksesi periode sebelumnya yang dikenala sebagai Orde Lama yakni masa di Mana Indonesia dipimpin oleh Presiden Soekarno.

    Orde Baru

    Langkah yang diambil pemerintah untuk penataan kehidupan politik :

    a. Penataan politik dalam negeri

    1. Pembentukan kabinet pembangunan

    Kabinet awal pada masa peralihan kekuasaan (28 Juli 1966) adalah Kabinet AMPERA dengan tugas yang dikenal dengan nama Dwi Darma Kabinet Ampera yaitu untuk menciptakan stabilitas politik dan ekonomi

    sebagai persyaratan untuk melaksanakan pembangunan nasional. Program Kabinet AMPERA yang disebut Catur Karya Kabinet AMPERA adalah sebagai berikut.

    • Memperbaiki kehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan.
    • Melaksanakan pemilihan Umum dalam batas waktu yakni 5 Juli 1968.
    • Melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif untuk kepentingan nasional.
    • Melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme.

    Selanjutnya setelah sidang MPRS tahun 1968 menetapkan Suharto sebagai presiden untuk masa jabatan 5 tahun maka dibentuklah kabinet yang baru dengan nama Kabinet Pembangunan dengan tugasnya yang disebut dengan Pancakrida, yang meliputi:

    • Penciptaan stabilitas politik dan ekonomi.
    • Penyusunan dan pelaksanaan Rencana Pembangunan Lima Tahun Tahap pertama.
    • Pelaksanaan Pemilihan Umum.
    • Pengikisan habis sisa-sisa Gerakan 30 September.
    • Pembersihan aparatur negara di pusat pemerintahan dan daerah dari pengaruh PKI. [1]

    2. Pembubaran PKI dan organisasi masanya

    Suharto sebagai pengemban Supersemar guna menjamin keamanan, ketenangan, serta kestabilan jalannya pemerintahan maka melakukan :

    • Pembubaran PKI pada tanggal 12 Maret 1966 yang diperkuat dengan dikukuhkannya Ketetapan MPRS No. IX Tahun 1966.
    • Dikeluarkan pula keputusan yang menyatakan bahwa PKI sebagai organisasi terlarang di Indonesia.
    • Pada tanggal 8 Maret 1966 dilakukan pengamanan 15 orang menteri yang dianggap terlibat Gerakan 30 September 1965.

    3. Penyederhanaan dan pengelompokan partai politik

    Setelah pemilu 1971 maka dilakukan penyederhanakan jumlah partai tetapi bukan berarti menghapuskan partai tertentu sehingga dilakukan penggabungan (fusi) sejumlah partai. Sehingga pelaksanaannya kepartaian tidak lagi didasarkan pada ideologi tetapi atas persamaan program. Penggabungan tersebut menghasilkan 3 kekuatan sosial-politik, yaitu :

    1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan fusi dari NU, Parmusi, PSII, dan Partai Islam Perti yang dilakukan pada tanggal 5 Januari 1973 (kelompok partai politik Islam)
    2. Partai Demokrasi Indonesia (PDI), merupakan fusi dari PNI, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo (kelompok partai politik yang bersifat nasionalis.
    3. Golongan Karya (Golkar). [2]

    4. Pemilihan umum

    Selama masa Orde Baru telah berhasil melaksanakan pemilihan umum sebanyak enam kali yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali, yaitu: tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama Orde Baru menimbulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia sudah tercipta. Apalagi pemilu itu berlangsung secara tertib dan dijiwai oleh asas LUBER(Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia).

    5. Peran ganda ABRI

    Guna menciptakan stabilitas politik maka pemerintah menempatkan peran ganda bagi ABRI yaitu sebagai peran hankam dan sosial. Sehingga peran ABRI dikenal dengan Dwifungsi ABRI. Peran ini dilandasi dengan adanya pemikiran bahwa TNI adalah tentara pejuang dan pejuang tentara. Kedudukan TNI dan Polri dalam pemerintahan adalah sama di lembaga MPR/DPR dan DPRD.

    6. Pemasyarakatan P4

    Pada tanggal 12 April 1976, Presiden Suharto mengemukakan gagasan mengenai pedoman untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila yaitu gagasan Ekaprasetia Pancakarsa. Gagasan tersebut selanjutnya ditetapkan sebagai Ketetapan MPR dalam sidang umum tahun 1978 mengenai “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila” atau biasa dikenal sebagai P4.

    Guna mendukung program Orde baru yaitu Pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen maka sejak tahun 1978 diselenggarakan penataran P4 secara menyeluruh pada semua lapisan masyarakat.

    Tujuan dari penataran P4 adalah membentuk pemahaman yang sama mengenai demokrasi Pancasila sehingga dengan pemahaman yang sama diharapkan persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut maka opini rakyat akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru.

    Pelaksanaan Penataran P4 tersebut menunjukkan bahwa Pancasila telah dimanfaatkan oleh pemerintahan Orde Baru. Hal ini tampak dengan adanya himbauan pemerintah pada tahun 1985 kepada semua organisasi untuk menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal. [3]

    b. Pelaksanaan politik luar negeri

    Pada masa Orde Baru, politik luar negeri Indonesia diupayakan kembali kepada jalurnya yaitu politik luar negeri yang bebas aktif. Untuk itu maka MPR mengeluarkan sejumlah ketetapan yang menjadi landasan politik luar negeri Indonesia. Dimana politik luar negeri Indonesia harus berdasarkan kepentingan nasional, seperti permbangunan nasional, kemakmuran rakyat, kebenaran, serta keadilan.

    1. Kembali menjadi anggota PBB

    Indonesia kembali menjadi anggota PBB dikarenakan adanya desakan dari komisi bidang pertahanan keamanan dan luar negeri DPR GR terhadap pemerintah Indonesia. Pada tanggal 3 Juni 1966 akhirnya disepakati bahwa Indonesia harus kembali menjadi anggota PBB dan badan-badan internasional lainnya dalam rangka menjawab kepentingan nasional yang semakin mendesak. Keputusan untuk kembali ini dikarenakan Indonesia sadar bahwa ada banyak manfaat yang diperoleh Indonesia selama menjadi anggota PBB pada tahun 1950-1964. Indonesia secara resmi akhirnya kembali menjadi anggota PBB sejak tanggal 28 Desember 1966.

    2. Pendirian ASEAN

    Indonesia menjadi pemrakarsa didirikannya organisasi ASEAN pada tanggal 8 Agustus 1967. Latar belakang didirikan Organisasi ASEAN adalah adanya kebutuhan untuk menjalin hubungan kerja sama dengan negara-negara secara regional dengan negara-negara yang ada di kawasan Asia Tenggara.

    Tujuan awal didirikan ASEAN adalah untuk membendung perluasan paham komunisme setelah negara komunis Vietnam menyerang Kamboja.

    Hubungan kerjasama yang terjalin adalah dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Adapun negara yang tergabung dalam ASEAN adalah Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Filipina.

    3. Integrasi Timor Timur ke wilayah Indonesia

    Timor- Timur merupakan wilayah koloni Portugis sejak abad ke-16 tapi kurang diperhatikan oleh pemerintah pusat di Portugis sebab jarak yang cukup jauh. Tahun 1975 terjadi kekacauan politik di Timor-Timur antar partai politik yang tak terselesaikan sementara itu pemerintah Portugis memilih untuk meninggalkan Timor-Timur. Kekacauan tersebut membuat sebagian masyarakat Timor-Timur yang diwakili para pemimpin partai politik memilih untuk menjadi bagian Republik Indonesia yang disambut baik oleh pemerintah Indonesia. Secara resmi akhirnya Timor-Timur menjadi bagian Indonesia pada bulan Juli 1976 dan dijadikan provinsi ke-27.

    DAFTAR PUSTAKA:

    http://hlherlambang.blogspot.com/2010/07/jus-bacem.html

    http://rahmanvansupatra.wordpress.com/2013/03/31/masa-pemerintahan-orde-baru-soeharto/

    http://rpcindy17.blogspot.com/2013/11/sistem-pemerintahan-pada-masa-orde-baru.html

    Matroji, 2008. Sejarah program Ilmu Pengetahuan Alam kelas XII SMA. Jakarta:PT Bumi Aksara

  • Kebijakan Luar Negeri Kabinet Ampera

    Setelah memiliki kebijakan luar negeri yang buruk di mata Internasional pada masa kabinet Dwikora, Kabinet Ampera I yang dipimpin Letjen Soeharto membuat banyak kebijakan baru yang sangat kontra dengan kebijakan Presiden Soekarno.

    Kebijakan Luar Negeri

    Langkah-langkah yang diambil oleh kabinet ampera dalam menata kembali politik luar negeri, antara lain sebagai berikut :

    1. Indonesia kembali menjadi anggota PBB

    Indonesia kembali menjadi anggota PBB pada 28 September 1966 dan tercatat sebagai anggota ke-60. Sebagai Anggota PBB, Indonesia telah banyak memperoleh manfaat dan bantuan dari organisasi Internasional tersebut. Manfaat dan bantuan PBB, antara lain sebagai berikut :

    • PBB turut berperan dalam mempercepat proses pengakuan de facto ataupun de jure kemerdekaan Indonesia oleh dunia Internasional.
    • PBB turut berperan dalam prosesnya kembalinya Irian Barat ke wilayah RI.
    • PBB banyak memberikan sumbangan kepada bangsa Indonesia dalam bidang ekonomi, sosial, dan kebudayaan.

    2. Pemberhentian konfrontasi dengan Malaysia

    Indonesia melakukan konfrontasi dengan Malaysia setelah diumumkan Dwikora oleh presiden Soekarno pada tanggal 3 Mei 1964. Tindakan pemerintah Orde lama ini jelas menyimpang dari pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif.

    Pada masa Orde baru,politik luar negeri Indonesia dikembalikan lagi pada politik bebas aktif sesuai dengan pancasila dan UUD 1945. Hal ini merupakan pelaksanaan dari ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966. Indonesia segera memulihkan hubungan dengan Malaysia yang sejak 1964 terputus. Normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia tersebut berhasil dicapai dengan menanda tangani Jakarta Accord pada tanggal 11 Agustus 1966.Persetujuan normalisasi hubungan dilakukan wakil perdana menteri luar negeri Malaysia, Tun Abdul Razak dan menteri Utama luar negeri Indonesia, Adam Malik. Perundingan telah menghasilkan persetujuan yang dikenal sebagai Persetujuan Bangkok. Adapun persetujuan Bangkok mengandung 3 (tiga) hal pokok :

    • Rakyat Sabah dan Serawak akan diberikan kesempatan menegaskan lagi keputusan yang telah diambil mengenai kedudukan mereka dalam Federasi Malaysia.
    • Kedua pemerintah menyetujui memulihkan hubungan diplomatik
    • Kedua pemerintah menghentikan segala bentuk permusuhan

    3. Pembentukan Organisasi ASEAN

    ASEAN (Assocation of Southeast Asian Nations) atau perhimpunan bangsa-bangsa asia tenggara merupakan organisasi regional yang dibentuk atas prakarsa lima menteri luar negeri negera-negara dikawasan Asian tenggara. Kelima menteri luar negeri tersebut adalah :

    1. Narsisco Ramos dari Filipina
    2. Adam Malik dari Indonesia
    3. Thanat Khoman dari Thailand
    4. Tun Abdul Razak dari Malaysia
    5. S. Rajaratnam dari Singapura.

    Pendatangan naskah ASEAN pada tanggal 8 Agustus 1967, naskah tersebut disebut Deklarasi Bangkok. Keanggotaan ASEAN bertambah seiring banyaknya negara yang merdeka. Brunei Darussalam, Vietnam, Laos, Myanmar, dan Kampuchea. Terdapat 10 Anggota ASEAN yang terbentuk 30 April 1999.

  • Susunan Menteri Kabinet Ampera I

    Kabinet Ampera I

    Kabinet Ampera I merupakan kabinet yang terbentuk pada tanggal 25 Juli 1966 berdasarkan MRPS No. XIII tahun 1966. Kabinet Ampera adalah kabinet yang pertama kali diumumkan oleh Letjen Soeharto yang berperan selaku Ketua Presidium Kabinet berdasarkan persetujuan Presiden Soekarno.

    Susunan Kabinet

    Kabinet Ampera I adalah kabinet yang disusun secara mendesak pasca Coup de Etat gagal yang dilakukan oleh PKI. Tugas Pokok dari Kabinet Ampera I ini adalah (1) membersihkan kabinet dari unsur PKI dan (2) memperbaiki kondisi ekonomi republik Indonesia.

    Presiden

    Ir. Soekarno

    Presidium

    1. Ketua Presidium Letjen Soeharto
    2. Menteri Utama bidang Pertahanan dan Keamanan Letjen Soeharto
    3. Menteri Utama bidang Politik Adam Malik
    4. Menteri Utama bidang Kesejahteraan Rakyat Idham Chalid
    5. Menteri Utama bidang Ekonomi dan Keuangan Sultan Hamengkubuwono IX
    6. Menteri Utama bidang Industri dan Pembangunan Sanusi Hardjadinata

    Anggota Kabinet

    Pertahanan dan keamanan

    Menteri/Panglima Angkatan Darat: Letjen Soeharto
    Menteri/Panglima Angkatan Laut: Laksdya Muljadi
    Menteri/Panglima Angkatan Udara: Marsekal Rusmin Nurjadin
    Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian: Sutjipto Judodihardjo
    Menteri Veteran dan Demobilisasi: Mayjen Sarbini

    Urusan politik

    Menteri Luar Negeri: Adam Malik
    Menteri Dalam Negeri: Mayjen Basuki Rahmat
    Menteri Kehakiman: Prof. Umar Seno Adji
    Menteri Penerangan: B.M. Diah

    Kesejahteraan rakyat

    Menteri Pendidikan dan Kebudayaan: Sarino Mangunpranoto
    Menteri Agama: K.H. Sjaifuddin Zuchri
    Menteri Sosial: A.M. Tambunan
    Menteri Kesehatan: Prof. G.A. Siwabessy
    Menteri Tenaga Kerja: Komjen Polisi Awaluddin Djamin

    Keuangan dan ekonomi

    Menteri Perdagangan: Mayjen Ashari Danudirdjo
    Menteri Keuangan: Dr. Frans Seda
    Menteri Perhubungan: Komodor Sutopo
    Menteri Kelautan : Laksdya Jatidjan
    Menteri Pertanian: Brigjen Sutjipto
    Menteri Perkebunan: P.C. Harjasudirdja

    Industri dan pembangunan

    Menteri Perindustrian Ringan dan Energi: Mayjen M. Jusuf
    Menteri Perindustrian Tekstil dan Kerajinan: Muhammad Sanusi
    Menteri Pertambangan: Bratanata
    Menteri Pekerjaan Umum: Sutam

  • Tugas Utama Kabinet Ampera

    Kabinet Ampera adalah susunan kabinet yang dimabil dari singkatan Amanat Penderitaan Rakyat. Kabinet ini merupakan pengganti dari Kabinet Dwikora III dan terbentuk pasca pemberontakan PKI 30 September 1965.

    Tugas Pokok Kabinet Ampera

    Tugas utama dari Kabinet Ampera seperti yang tertuang pada MRPS No. XIII tahun 1966 adalah (1) membersihkan kabinet dari unsur PKI dan (2) memperbaiki stabilitas kondisi perekonomian Indonesia.

    Jelaskan apa saja tugas pokok Kabinet Ampera? Apabila membahas mengenai kabinet ini, kita akan mengetahui beberapa sebutan-sebutan kuno seperti Dwidarma dan Catur Karya. Dikutip dari wikipedia, tugas pokok kabinet Ampera ditetapkan melalui ketetapan MPRS No. XIII tahun 1966. Kabinet Ampera dibentuk pada tanggal 28 Juli 1966, jumlah total anggotanya 30. Kabinet ini dibentuk untuk menggantikan Kabinet Dwikora III, kemudian pada perkembangan selanjutnya kabinet ini digantikan dengan Kabinet Ampera II.

    Jadi dapat kalian pahami, pembahasan kali ini merupakan tugas pokok Kabinet Ampera 1. Letjen Soeharto merupakan ketua Presidium kabinet, setelah mendapat persetujuan dari Presiden Soekarno. Tugas pokok kabinet Ampera dikenal dengan sebutan nama Dwidharma, yakni mewujudkan stabilitas politik dan ekonomi. Berikut ini penjelasan tugas kabinet Ampera yang ditetapkan oleh MPRS pada tahun 1966, meliputi :

    1. Setelah terjadi peristiwa besar Gerakan 30 September, keadaan politik di Indonesia menjadi semakin kacau. Seruan masyarakat tertuju kepada pembubaran PKI yang “diduga” menjadi dalang pembunuhan beberapa Jenderal TNI AD. Nah, salah satu tugas pokok kabinet Ampera adalah mewujudkan stabilitas politik, langkah yang dilakukan yaitu membubarkan partai komunis Indonesia dan menyingkirkan pejabat tinggi (menteri) yang “diduga” menjadi antek PKI. 
    2. Tugas pokok kedua kabinet Ampera yaitu mewujudkan stabilitas ekonomi. Perlu kalian ketahui, kondisi ekonomi saat itu benar-benar lesu bisa dibilang kacau. Beberapa sebabnya seperti rendahnya pendapatan per kapita (70$ AS), inflasi melambung tinggi (65%). Langkah yang dilakukan kabinet ini untuk mengatasi masalah ekonomi adalah dengan membuat rencana pembangunan lima tahun atau kita kenal dengan nama Repelita.

    Setelah mengetahui tugas pokok kabinet Ampera, sekarang tinggal kita bahas mengenai program kerjanya. Catur karya merupakan sebutan dari empat program kerja kabinet Ampera, program-program tersebut antara lain :

    1. Memperbaiki kehidupan rakyat, fokus utamanya berkaitan dengan Sandang dan Pangan.
    2. Dalam batas waktu yang ditentukan akan melaksanakan pemilihan umum.
    3. Melaksanakan politik bebas dan aktif untuk kepentingan nasional.
    4. Melaksanakan perjuangan anti kolonialisme dan imperialisme dalam segala manifestasi dan bentuknya.
  • PPG Dalam Jabatan LK 1.3 – Penentuan Penyebab Masalah

    PPG Dalam Jabatan LK 1.3 – Penentuan Penyebab Masalah

    Mari Teman-teman diminta untuk melakukan diskusi mengenai bagaimana mengklasifikasi/ mengelompokkan / mengkonsultasikan penyebab masalah yang telah diidentifikasi. Selanjutnya, tuangkan hasil kegiatan ini pada LK 1.3 Penentuan Penyebab Masalah.

    Penentuan Penyebab Masalah

    Untuk mengisi LK 1.3 Penentuan Penyebab Masalah ini teman-teman membutuhkan tabel isian dari LK 1.2 Eksplorasi Penyebab Masalah Kajian Literatur dan LK 1.1. Identifikasi Masalah.

    Contoh hasil isian LK 1.3 Penentuan Penyebab Masalah

    Berikut kami berikan contoh hasil isian LK 1.3 Penentuan Penyebab Masalah. Ini hanya contoh saja, mohon untuk tidfak di gunakan sebagai sumber rujukan, oleh karena, masalah yang di hadapi oleh teman-teman semua bisa berbeda.

    Tabel 2. Contoh hasil isian LK 1.3 Penentuan Penyebab Masalah

    NoHasil Eksplorasi MasalahAkar Penyebab MasalahAnalisis Akar Penyebab Masalah
    1Motivasi belajar siswa rendah disebabkan oleh kurangnya/ rendahnya/ belum optimalnya,
    – Minat belajar
    – Lingkungan keluarga
    –  Tingkah laku
    –  Disipin
    –  Kepercayaan diri
    – Tanggung jawab
    –  Metode pembelajaran yang digunakan guru
    –  Fasilitas belajar
    –  Kecerdasan
    –  Tata ruang kelas
    –  Guru kurang mendapat pelatihan
    –  Semangat belajar anak 
    Model, metode atau strategi pembelajaran yang diterapkan belum inovatifBerdasarkan hasil diskusi dan analisis ditentukan bahwa akar penyebab masalah adalah Model, metode atau strategi pembelajaran yang diterapkan belum inovatif. Cara mengajar guru yang tidak inovatif dan kontekstual. Guru harus kreatif dan mencari tahu metode pembelajaran yang tepat dan juga harus menata ruang kelas yang menarik untuk meningkatkan motivasi belajar anak. Dengan tata ruang dan suasana belajar anak dikelas yang bagus akan meningkatkan motivasi belajar anak dikelas. Pembelajaran inovatif merupakan metode pembelajaran yang bervariasi untuk dilaksanakan.  Variasi belajar ini sangat membantu meningkatkan semangat belajar anak disekolah.Pembelajaran inovatif disesuaikan dengan karakteristik model pembelajaran dengan materi yang diberikan sehingga kesesuaian materi dengan metode pembelajaran dapat membuat pembelajaran menjadi menyenangkan bagi anak dikelas.
    2Anak belum bisa menyebutkan huruf dilingkungan sekolah disebabkan oleh,
    – Kurangnya pembiasaan anak
    – Guru belum memaksimalkan pojok baca
    – Sarana dan prasarana pojok baca masih kurang
    – Kemampuan anak
    – Buku-buku bacaan masih kurang
    – Perkembangan Bahasa anak berbeda-beda
    – Orang tua kurang perhatian terhadap perkembangan anak
    Model, metode atau strategi pembelajaran yang diterapkan belum inovatifBerdasarkan hasil diskusi dan analisis ditentukan bahwa akar penyebab masalah adalah model, metode atau strategi pembelajaran yang diterapkan belum inovatif sehingga anak belum bisa menyebutkan huruf dilingkungan sekolah. Guru harus melakukan pembiasaan menyebutkan huruf dilingkungan sekolah agar perkembangan Bahasa anak bisa meningkat dengan media pembelajaran yang inovatif. Guru juga harus memanfaatkan pojok baca disekolah. Mengajak anak untuk membaca buku untuk mengenalkan huruf dan agar bisa anak terbiasa melihat huruf-huruf yang ada disekolah. Guru juga setiap hari membacakan dongeng kepada untuk meningkatkan Bahasa anak dengan bertanya jawab. Guru harus sering bertanya kepada siswa huruf-huruf yang ada di lingkungan sekolah.
    3Anak belum bisa berpikir HOTS, disebabkan oleh
    –  Semangat belajar siswa kurang
    – Siswa tidak aktif bertanya
    – Pembelajaran membosankan
    – Siswa kurang percaya diri untuk bertanya
    –  Metode pembelajaran kurang tepat
    – Cara berpikir anak masih sebatas LOTS 
    Guru belum menggunakan HOTS dalam pembelajaranBerdasarkan hasil diskusi dan analisis ditentukan bahwa akar penyebab masalah adalah guru belum menggunakan HOTS dalam pembelajaran. Guru belum menggunakan HOTS dalam RPP pembelajaran. Guru masih melaksanakan pembelajaran berbasis LOTS. Guru belum menggunakan metode pembelajaran yang tepat bagi siswa. 
    4Guru belum menggunakan TIK dalam pembelajaran, disebabkan oleh
    – Guru belum memiliki leptop
    – sarana dan prasarana TIK tidak ada disekolah
    – Pembelajaran monoton menggunakan buku tema
    – Guru memberikan contoh materi pembelajaran secara lisan
    – Pembelajaran kurang menarik
    – Belum ada keinginan guru untuk belajar TIK
    Guru belum menggunakan TIK dalam pembelajaranBerdasarkan hasil diskusi dan analisis ditentukan bahwa akar penyebab masalah adalah Guru belum menggunakan TIK dalam pembelajaran. Pembelajaran belum menggunakan media pembelajaran TIK membuat pembelajaran materi Tema yang berkaitan dengan lingkungan kurang nyata. Jadi, guru seharusnya mengajarkan/memberikan contoh yang nyata/riil sehingga siswa tidak salah paham terhadap penjelasan guru. Pembelajaran dengan menggunakan TIK juga menarik perhatian siswa karena mereka akan fokus mendengarkan dan melihat materi pembelajaran dengan misalnya dengan menggunakan  infocus dan leptop dalam menyampaikan materi. Guru juga harus kreatif untuk belajar TIK karena perkembangan zaman yang semakin canggih dan siswa sekarang lebih tertarik belajar dengan menggunakan TIK. Perkembangan zaman yang serba digital hal tersebut guru dituntut untuk bisa dan harus belajar TIK agar tidak ketinggalan informasi perkembangan TIK.
    5Guru belum  memahami pembelajaran inovatif, disebabkan oleh
    – Guru belum mengikuti pelatihan tentang pembelajaran inovatif.
    –  Metode yang digunakan guru masih monoton.
    –  Guru belum memahami setiap karakteristik dari model-model pembelajaran.
    – Kegiatan belajar mengajar masih terpusat pada guru
    Guru belum menerapkan pembelajaran inovatifBerdasarkan hasil diskusi dan analisis ditentukan bahwa akar penyebab masalah adalah Guru belum menerapkan pembelajaran inovatif. Guru belum mendapatkan pelatihan mengenai pembelajaran inovatif. Pembelajaran inovatif untuk meningkatkan kualitas guru dalam mengajar. Kegiatan belajar yang dilakukan oleh guru masih berpusat pada guru sehingga guru belum menerapkan pembelajaran inovatif. Metode yang digunakan masih monoton.