Blog

  • Eksplorasi Penyebab Masalah – LK 1.2 PPG

    Eksplorasi Penyebab Masalah – LK 1.2 PPG

    Eksplorasi Penyebab Masalah dalam Pembelajaran merupakan salah satu kompetensi penting bagi guru porfesional. Kompetensi ini adalah keterampilan seorang guru dalam memahami masalah apa saja yang ada di dalam kelas dan masalah apa saja yang penting untuk diselesaikan.

    Eksplorasi Penyebab Masalah

    LK 1.2 Eksplorasi Penyebab Masalah adalah upaya yang dilakukan dalam mengetahui masalah yang ada di dalam kelas. Langkah ini dilakukan sebelum akhirnya guru menyusun rancangan pembelaajran invotaif yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah yang ada di dalam kelas.

    Contoh Eksplorasi Penyebab Masalah

    Untuk mengisi LK. 1.2 Eksplorasi Penyebab Masalah, kita dapat di lihat dalam tabel di bawah ini:

    Contoh hasil isian LK 1.2 Eksplorasi Penyebab masalah adalah sebagai berikut

    NoMasalah yang telah diiidentifikasiHasil eksplorasi penyebab masalahAnalisis eksplorasi penyebab masalah
    1Motivasi belajar siswa rendahHasil kajian literaturSardiman (2018), siswa terlihat memiliki motivasi belajar jika telah menunjukkan beberapa sikap sebagai berikut:

    1.  Semangat dan rajin dalam menghadapi tugas.
    2. Gigih saat menghadapi kesulitan.
    3. Menunjukkan minat terhadap bermacam penyelesaian persoalan.
    4. Tidak mudah jenuh pada tugas yang sama.
    5. Mampu bertahan ada argumennya apabila sudah merasa yakin pada suatu hal. 

    Widodo (2020) motivasi belajar siswa dipengaruhi oleh:
    1. Faktor internal, terdiri dari: fisik, psikologis
    2. Faktor eksternal, terdiri dari: sosial, keluarga, lingkungan pembelajaran, guru, sumber belajar, fasilitas belajar.

    Khafid (2021) motivasi belajar dipengaruhi oleh:
    1. Minat siswa
    2. Manfaat materi bagi kehidupan siswa
    3. Kreatifitas guru dalam menyampaikan pembelajaran
    4. Strategi/teknik/metode pembelajaran guru
    5. Perhatian orang tua
    6. Sarana dan prasarana pembelajaran
    7.  Suasana pembelajaran

    Menurut Permatasari (2018:87): Faktor penyebab rendahnya motivasi belajar peserta didik secara internal adalah kurangnya perhatian peserta didik pada saat mengikuti pelajaran, sedangkan secara eksternal disebabkan oleh lingkungan sekolah seperti kurangnya penggunaan metode pembelajaran yang bervariasi, kurangnya media dan sumber belajar, kurangnya penegakan disiplin sekolah dan lingkungan belajar yang kurang mendukung. 

    Hasil wawancara :

    1. Siswa merasa jenuh belajar dikelas disebabkan metode mengajar yang kurang menarik.
    2. Guru belum menggunakan metode mengajar yang tepat, sehingga materi yang diajarkan kurang menarik bagi siswa.
    Setelah dianalisis masalah motivasi belajar siswa rendah dikarenakan :
    1.  Guru kurang mendapatkan pelatihan tentang cara menerapkan metode pembelajaran yang tepat sesuai dengan materi yang diberikan.
    2.Guru belum memiliki cukup waktu untuk menyiapkan media pembelajaran yang sesuai dengan materi yang diberikan.
    3. Tuntutan kurikulum tidak sejalan dengan kondisi lapangan, sehingga sering guru hanya mengejar materi selesai diajarkan meski siswa belum mengerti dengan materi tersebut.
    4. Guru kurang kreatif dalam menata ruang kelas menjadi ruangan yang menarik dan nyaman untuk digunakan.
    5. Kurangnya perhatian orang tua terhadap motivasi peserta didik.
    2Kurangnya Hubungan komunikasi antar guru dan orang tua siswa terkait pembelajaranHasil kajian literatur

    Pusitaningtyas (2016): komunikasi adalah proses penyampaian pesan atau ide oleh seseorang kepada orang lain baik dengan bahasa atau melalui media tertentu yang diantara keduanya sudah terdapat kesamaan makna sehingga saling memahami apa yang sedang dikomunikasikan. Ketut : Komunikasi merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk saling berbagi informasi dari suatu tempat, orang, ataupun kelompok. Dengan tujuan memberikan suatu informasi dan mengkomunikasian kepada audiens kita. Komunikasi guru dan orang tua harus tetap bersinergi dalam mendudukan pendidikan anak didiknya. Menurut Nur Diana (dalam Mansur 2005: 92) pada level ini, anak-anak baru saja mulai mengembangkan karakter mereka melalui perkembangan sikap, moral, sosial, emosi dan karakteristik keagamaan. Pengembangan nilai-nilai ini dapat dicapai dengan optimal jika adanya keharmonisan antara pendidikan anak-anak di rumah dan di sekolah, yang tentu saja tidak dapat dipisahkan dari peran orang tua dan peran guru 

    Dewi (2014): Pembelajaran merupakan suatu interaksi aktif antara guru yang memberikan bahan pelajaran dengan siswa sebagai objeknya. Proses pembelajaran merupakan kegiatan yang didalamnya terdapat sistem rancangan pembelajaran hingga menimbulkan sebuah interaksi antara pemateri (guru) dengan penerima materi (murid/siswa). Adapun beberapa rancangan proses kegiatan pembelajaran yang harus diterapkan adalah dengan melakukan pendekatan pembelajaran, strategi pembelajaran serta metode pembelajaran. 

    Djamaluddin (2019) : Pembelajaran memiliki hakikat perencanaan atau perancangan (desain) sebagai upaya untuk membelajarkan siswa. Itulah sebabnya dalam belajar, peserta didik tidak hanya berinteraksi dengan guru sebagai salah satu sumber belajar, tetapi mungkin berinteraksi dengan keseluruhan sumber belajar yang dipakai untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan. 

    Hasil wawancara:

    1. Orang tua yang sibuk berkerja sehingga kurang memperhatikan kegiatan anak disekolah.
    2. Orang tua hanya bertanya seputar kegiatan disekolah, tidak mencari solusi bersama terkait anak yang bermasalah.
    Setelah dianalisis masalah kurangnya hubungan komunikasi antar guru dan orang tua siswa terkait pembelajaran dikarenakan : 1.    Orang tua yang sibuk bekerja dan kurang memperhatikan pola belajar anaknya.2.    Orang tua yang sibuk berkerja tidak bisa hadir jika diundang rapat disekolah.3.    Orang tua kurang perhatian terhadap masalah anaknya disekolah terkait pembelajaran disekolah.
    3Guru belum  memahami pembelajaran inovatifHasil kajian literatur

    Pembelajaran inovatif merupakan proses pembelajaran yang dirancang, disusun, dan dikondisikan untuk siswa agar mampu belajar. Siswa harus menempatkan diri dengan baik, siswa tidak boleh hanya diam, tapi harus berusaha memotivasi dirinya sendiri agar berkembang. Pembelajaran inovatif akan membangkitkan semangat siswa untuk menjadi yang terbaik (Ismail, 2003; Burhanuddin, 2014; dan Komara, 2014). Model pembelajaran inovatif yang berikutnya adalah model modifikasi tingkah laku dikembangkan berdasarkan teori behavioristik. Model ini memandang belajar sebagai proses perubahan tingkah laku yang diakibatkan oleh hubungan sebab-akibat atau stimulus dan respon antara individu dengan lingkungan. Respon positif akan memberikan penguatan yang positif terhadap siswa (Koesnandar, 2020:38). Pembelajaran inovatif juga mengandung arti pembelajaran yang dikemas oleh guru lainnya yang merupakan wujud gagasan atau teknik yang dipandang baru agar mampu menfasilitasi peserta didik untuk memperoleh kemajuan dalam proses dan hasil belajar.

    Tujuan utama dari inovasi pembelajaran adalah berusaha meningkatkan kemampuan, yakni kemampuan dari sumber-sumber tenaga, uang, sarana dan prasarana temasuk struktur dan prosedur organisasi agar semua tujuan yang telah direncanakan dapat dicapai secara optimal. Sedangkan manfaat diadakannya inovasi diantaranya dapat memperbaiki keadaan sebelumnya ke arah yang lebih baik, memberikan gambaran pada pihak lain tentang pelaksanaan inovasi sehingga orang lain dapat mengujicobakan inovasi yang kita laksanakan, mendorong untuk terus mengembangkan pengetahuan dan wawasan, menumbuhkembangkan semangat dalam bekerja (Indria Hapsari, 2021:190). 

    Hasil wawancara:
    1. Guru belum mengikuti pelatihan tentang pembelajaran inovatif.
    2. Guru metode yang digunakan monoton.
    Setelah dianalisis masalah guru belum  memahami pembelajaran inovatif dikarenakan :
    1. Guru belum mengikuti pelatihan tentang pembelajaran inovatif.
    2. Metode yang digunakan guru masih monoton.
    3. Guru belum memahami setiap karakteristik dari model-model pembelajaran.
    4. Kegiatan belajar mengajar masih terpusat pada guru 
    4Anak belum bisa menyebutkan huruf dilingkungan sekolahHasil kajian literatur

    Menurut Kamus besar Bahasa Indonesia Poerwadarminta (2000: 707) kemampuan berarti kesanggupan, kecakapan, kekuatan. Menurut Robbins (dalam Susanto, 2011: 97) kemampuan adalah suatu kapasitas berbagai tugas dalam suatu pekerjaan tertentu.

    Soehardi (2003: 24), mengemukakan bahwa kemampuan adalah bakat yang melekat pada seseorang untuk melakukan suatu kegiatan secara fisik atau mental yang diperoleh sejak lahir, belajar, dan dari pengalaman. Berdasarkan ketiga pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan adalah suatu kesanggupan atau kekuatan seseorang yang berasal dari dirinya sendiri maupun yang diperoleh melalui belajar untuk menyelesaikan tugasnya. 

    Madyawati (2016: 23) mengemukakan bahwa perkembangan bahasa mencakup empat kemampuan yaitu menyimak, membaca, menulis, dan berbicara. Perkembangan membaca sebagai salah satu dasar yang harus dimiliki anak terdiri dari beberapa tahapan sesuai dengan usia dan karakteristik perkembangannya. Menurut Keraf (1996: 24) membaca adalah suatu proses yang kompleks yang meliputi kegiatan yang melibatkan fisik dan mental. Membaca juga diartikan sebagai proses pemberian makna simbol visual.

    Menurut Sholifah dan Nurhenti D. Simatupang (2016), menyebutkan banyak faktor yang menyebabkan perkembangan kognitif khususnya mengenai lambang bilangan belum mencapai tingkat perkembangan. Hal ini disebabkan masih terbatasnya dan kurang bervariasi dalam penggunaan media pembelajaran ketika kegiatan belajar mengajar berlangsung serta kegiatan yang kurang bervariasi dan menoton. 

    Menurut Yusuf (dalam Khafid, 2008:47) Lingkungan sekolah tempat peserta didik memperoleh pendidikan kedua, juga dapat mempengaruhi keberhasilan peserta didik dalam mencapai ketuntasan belajar. Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang secara sistematis melaksanakan program bimbingan, pengajaran dan pelatihan dalam rangka membantu peserta didik agar mampu mengembangkan potensinya baik yang menyangkut aspek moral, spiritual, intelektual, emosional maupun sosial.
    Hasil wawancara :
    1. Ketersediaan buku bacaan anak yang masih kurang di sekolah.
    2. Fasilitas perpustakaan dan pojok báca belum mendukung.
    3. Guru tidak memanfaatkan pojok baca yang ada disekolah.
    Setelah dianalisis masalah Anak belum bisa menyebutkan huruf dilingkungan sekolah dikarenakan :
    1. Guru kurang membiasakan anak untuk menyebutkan huruf-huruf dilingkungan sekolah.
    2. Guru tidak memanfaatkan pojok baca yang sudah disediakan.
    3. Sarana mendukung literasi membaca masih kurang.
    5Guru belum menggunakan HOTS dalam pembelajaranHasil kajian literaturMenurut Ariyana& Bestari (dalam Cahya Rohim:2019) HOTs atau keterampilan berfikir tingkat tinggi adalah proses berfikir yang mendalam tentang pengolahan informasi dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah yang bersifat kompleks dan melibatkan keterampilan menganalsis, mengevaluasi dan mencipta. Untuk mengukur keterampilan berfikir tingkat tinggi yang merupakan kemampuan yang bukan hanya sekedar mengingat atau merujuk tanpa melakukan analisis dapat digunakan instrument soal berupa soal berbasis HOTs (Ariyana & Bestary, 2018:11). Rahman (2018): Pembelajaran secara sederhana dapat diartikan sebagai sebuah usaha memengaruhi emosi, intelektual, dan spiritual seseorang agar mau belajar dengan kehendaknya sendiri. Melalui pembelajaran akan terjadi proses pengembangan moral keagamaan, aktivitas, dan kreativitas peserta didik melalui berbagai interaksi dan pengalaman belajar. Pembelajaran berbeda dengan mengajar yang pada prinsipnya menggambarkan aktivitas guru, sedangkan pembelajaran menggambarkan aktivitas peserta didik. Hasil wawancara :1.     Guru belum mengetahui HOTS dalam pembelajaran.2.     Guru belum mendapatkan pelatihan tentang HOTS dalam pembelajaran.Setelah dianalisis masalah guru belum menggunakan HOTS dalam pembelajaran dikarenakan :
    1. Guru belum mengetahui HOTS dalam pemebalajran.
    2. Guru belum mendapatkan pelatihan HOTS dalam pembelajaran.
    3. Guru tidak membiasakan anak untuk bereksplorasi atau aktif bertanya saat pembelajaran berlangsung. 
    6Guru belum menguasai TIK dalam pembelajaranHasil kajian literaturInformasi yaitu data yang didapat untuk tujuan tertentu, atau dengan kata lain data yang diolah sehingga lebih berguna bagi yang memanfaatkannya. Sedangkan data adalah kenyataan yang menggambarkan suatu keadaan yang nyata (Istiyarti, 2014:65) Menurut Alo Liliweri (dalam Istiyarti, 2014:66) Komunikasi adalah suatu aktivitas yang melayani hubungan antara pengirim dengan penerima pesan melampau ruang dan waktu. Nikolopoulou dan Gialamas (2016) mengelompokkan tantangan penggunaan TIK dalam proses pembelajaran dari tiga aspek, yaitu kurangnya dukungan (lack of support), kurangnya kepercayaan (lack of confidence), dan kurangnya perlengkapan (lack of equipment). Proses pembelajaran adalah suatu proses penciptaan lingkungan yang memungkinkan terjadinya proses belajar. Belajar dalam pengertian aktivitas dari peserta didik dalam berinteraksi dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan perilaku yang bersifat relatif konstan. Sebagai institusi, sekolah mempunyai mekanisme yang berbeda-beda dalam proses pembelanjaran anggaran di setiap tahunnya. Banyak sekolah yang masih berpikir bahwa fasilitas yang terpenting dikembangkan hanya fasilitas fisik saja. Padahal jika diprogramkan adanya infrastruktur TIK maka sebuah sekolah akan mempunyai arah yang jelas dalam pengembangan TIK (Istiyarti, 2014:67) 

    Hasil wawancara:
    1. Guru belum memiliki leptop sehingga belum bisa menguasai TIK.
    2. Sarana dan prasarana TIK disekolah belum ada.
    3. Guru belum ada keinginan untuk belajar TIK.
    Setelah dianalisis masalah Guru belum menguasai TIK dalam pembelajaran dikarenakan :

    1. Guru belum memiliki leptop sehingga belum menguasai dengan baik masalah TIK.
    2. Masih monoton menjadikan buku sebagai sumber belajar.
    3. Contoh-contoh materi tema yang diajarkan hanya disampaikan secara lisan.  
  • Keunggulan dan Kelemahan PTK

    Keunggulan dan Kelemahan PTK

    Penelitian Tindakan Kelas atau PTK merupakan penelitian tindakan yang dilakukan oleh guru di dalam kelas untuk memperbaiki program kualitas proses pembelajaran. Penelitian dilaksanakan oleh guru karena diasumsikan bahwa guru adalah pihak yang paling paham dengan seluruh ativitas yang terjadi di dalam kelas. Kendati demikian terdapat keunggulan dan kelemahan PTK.

    Keunggulan dan Kelemahan PTK

    A. Keunggulan PTK

    1. Praktis dan langsung relevan untuk situasi yang aktual
    2. Kerangka kerjanya teratur
    3. Berdasarkan pada observasi yang nyata dan objektif
    4. Fleksibel dan aditif
    5. Dapat digunakan untuk inovasi pembelajaran
    6. Dapat digunakan untuk mengembangkan kurikulum tingkat kelas
    7. Dapat digunakan untuk meningkatkan kepekaan atau profesionalisme guru

    B. Kelemahan PTK

    1. Kurang tertib ilmiah, karena validitas internal dan eksternalnya lemah
    2. Tujuan penelitiannya bersifat situasional
    3. Sampelnya terbatas sehingga kurang representatif dan kontrolnya terhadap variabel bebas sangat sedikit
  • Uji Asumsi Klasik Analisis Regresi Linier Berganda

    Uji Asumsi Klasik

    Uji asumsi klasik digunakan untuk mengetahui apakah hasil analisis regresi linear berganda yang digunakan untuk menganalisis dalam penelitian ini terbebas dari penyimpangan asumsi klasik yang meliputi uji normalitas, multikolinearitas, heteroskedastisitas, dan autokorelasi. Adapun masing-masing penngujian tersebut dapat  dijelaskan sebagai berikut :

    A. Uji Normalitas

    Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam suatu model regresi linear variabel terikat dan variabel bebas keduanya mempunyai distribusi normal atau tidak. Model regresi yang baik adalah yang memiliki distribusi data normal atau mendekati normal (Ghozali, 2001 p.110). Pada prinsipnya normalitas dapat dideteksi dengan meliihat penyebaran data pada sumbu diagonal dari grafik, jika data menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal maka model regresi memenuhi asumsi normalitas, jika data menyebar jauh dari garis diagonal atau tidak mengikuti arah garis diagonal maka model regresi tidak memenuhi asumsi normalitas (Santoso, 2008 p.322).

    2. Uji Multikolinearitas

    Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel dependent (bebas). Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi di antara variabel bebas (Ghozali, 2008 p.91). Untuk mendeteksi ada atau tidaknya multikolinearitas dalam model regresi ini adalah dengan menganalisa matrik korelasi variabel-variabel bebas dan apabila korelasinya signifikan antar variabel bebas tersebut maka terjadi mulltikolinearitas. Uji multikolinearitas dilakukan dengan mencari nilai VIF (Variance Inflation Factor) atau Tolerance Value. Kedua variabel ini menunjukkan setiap variabel independent manakah yang dijelaskan oleh variabel independent lainnya. Tolerance mengukur variabilitas variabel independent yang terpilih yang tidak dijelaskan oleh variabel independent lainnya. Jadi nilai tolerance yang rendah sama dengan VIF yang tinggi, batasan umum yang digunakan adalah tolerance < 0,1 atau nilai VIF > 10 maka terjadi multikolinearitas.

    3. Uji Heteroskedastisitas

    scatter plot, menyebar, model regresi

    Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain. Jika varians dari satu pengamatan ke pengamatan yang lain tetap maka disebut homoskedastisitas atau tidak terjadi heteroskedastisitas. Atau jika varians berbeda maka disebut heteroskedastisitas. Model regresi yang baik adalah yang berifat homoskedastisitas atau tidak terjadi heteroskedastisitas (Ghozali, 2008 p.105). Untuk melihat model regresi bersifat heteroskedastisitas atau tidak, dapat diketahui dengan teknik analisis berbantuan komputer SPSS Statistic dengan metode chart dalam bentuk diagram scatter plot, yaitu:

    1. Jika ada pola tertentu seperti titik-titik yang ada membentuk pola tertentu yang teratur (bergelombang, melebar kemudian menyempit) maka mengindikasikan telah terjadi heteroskedastisitas.
    2. Jika tidak ada pola yang jelas serta titik-titik menyebar di atas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y, maka tidak terjadi heteroskedastisitas.

    4. Uji Autokorelasi

    ModelRR SquareAdjusted R SquareStd. Error of the EstimateDurbin-Watson
    1.309(a).095.06814.2591.871

    Uji autokorelasi bertujuan untuk mengetahui apakah dalam suatu model regresi linear terdapat korelasi antara pengganggu pada periode t dengan kesalahan pada periode t-1 (Ghozali, 2008 p.84). Alat analisis yang digunakan adalah uji Durbin – Watson Statistic. Untuk mengetahui terjadi atau tidak autokorelasi  dilakukan dengan membandingkan nilai statistik hitung Durbin Watson pada tabel.

    Dasar pengambilan keputusan ada tidaknya autokorelasi adalah sebagai berikut :

    a.       Bila nilai DW terletak diantara batas atau upper bound (du) dan (4-du) maka koefisien autokorelasi = 0, berarti tidak ada autokorelasi.

    b.      Bila nilai DW lebih rendah daripada batas bawah atau lower bound (dl) maka koefisien autokorelasi > 0, berarti ada autokorelasi positif.

    c.       Bila nilai DW lebih besar dari (4-dl) maka koefisien autokorelasi < 0, berarti ada autokorelasi negatif.

    d.      Bila nilai DW terletak  antara du dan dl atau DW terletak antara (4-du) dan (4-dl), maka hasilnya tidak dapat disimpulkan.

  • Paradigma Penelitian Pendidikan

    Paradigma penelitian

    Paradigma penelitian pertama kali dikemukakan oleh Kuhn (1970, dalam Bryman dan Bell, 2007: 25) sebagai suatu petunjuk bagi ilmuwan dalam disiplin ilmu tertentu. Disiplin ilmu tertentu berpengaruh terhadap apa yang sedang ditelitinya, dan bagaimana penelitian itu harus dilakukan serta disimpulkan. Selain itu, ada pendapat lain tentang paradigma penelitan dalam konteks yang berbeda.

    Menurut Sugiyono (2009: 42) paradigma penelitian diartikan sebagai pola pikir yang menunjukan hubungan antar variabel yang akan diteliti. Hubungan antar variabel tersebut harus dapat menjawab jenis dan jumlah rumusan masalah penelitian. Variabel-variabel itu juga menentukan hipotesis dan teknik analisis statistik yang akan digunakan. Dalam teknik analisis statistik, termasuk asumsi-asumsi dan pola pengumpulan data yang mendasari paradigma metode penelitian.

    Selanjutnya dalam teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu teknik pengumpulan data kuantitatif dan kualitatif  (Bryman dan Bell, 2007: 26).Menurut McDaniel dan Gates (2013: 117), penelitian kuantitatif adalah penelitian yang digunakan untuk mendapatkan perbedaan yang signifikan secara statistik. Sedangkan penelitian kualitatif adalah penelitian yang digunakan untuk menguji sikap, perasaan, dan motivasi responden.

    Dalam praktik penelitian, teknik penelitian kuantitatif dan kualitatif memiliki perbedaan yang mendasar (McDaniel dan Gates, 2013: 117). Perbedaan tersebut terletak pada ukuran sampel, jenis pertanyaan, jumlah responden, dan lain-lain. Lebih lanjut, perbedaan tersebut dapat dilihat dalam gambar berikut ini (Tabel 3.1).

    Tabel  Perbedaan Paradigma Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif

    Pandangan DasarKualitatifKuantitatif
    Jenis PertanyaanBersifat menyelidikiTidak bersifat menyelidiki
    Ukuran Sampel/SubjekKecilBesar
    Jumlah RespondenBerarti (substansial)Bervariasi
    Persyaratan untuk AdministrasiPewawancara dengan keahlian khususTidak perlu pewawancara khusus atau tidak perlu pewawancara
    InstrumeTerbuka dan BerkembangBaku dan Valid
    Tipe AnalisisSubjektifObjektif
    Alat yang digunakanAlat perekam, gambar, video, panduan diskusiKuisioner, computer, telefon genggam
    Derajat PeniruanRendahTinggi
    Keahlian penelitiPsikologi, sosiologi, sosial psikologi, pemasaran, riset pemasaran, perilaku konsumenStatistik, model keputusan, program komputer
    Tipe PenelitianEksplorasiDeskriptif atau Kausal
    Sifat realitasGanda, holistic, dinamis, hasil konstruksi dan pemahamanDapat diklasifikasikan, konkrit, teramati, terukur
    Hubungan VariabelTimbal balik/ interaktifSebab-akibat (kausal)
    GeneralisasiTransferability (hanya mungkin dalam ikatan konteks dan waktu)Cenderung membuat generalisasi
    Peranan nilaiTerikat nilai-nilai yang dibawa peneliti dan sumber dataCenderung bebas nilai

    Sumber: Dimodifikasi dari McDaniel dan Gates (2013) dan Sugiyono (2009)

    Teknik penelitian kualitatif memiliki keterbatasan uji signifikansi. Sehingga hasil penelitian kualitatif tidak dapat membedakan signifikansi berdasarkan populasi responden (McDaniel dan Gates, 2013: 119). Selain itu, teknik penelitian kualitatif mengandung unsur yang bersifat subyektif sehingga hasil penelitian tidak akan sesuai dengan tujuan awal peneltian (Bryman dan Bell, 2007: 29).

     Oleh karena itu, paradigma dalam metode penelitian ini merupakan metode penelitian kuantitatif. Metode penelitian kuantitatif memiliki tujuan untuk menguji hipotesis sesuai dengan data yang diperoleh untuk dapat menghasilkan kesimpulan yang obyektif (Bryman dan Bell, 2007: 28).

  • Skala Pengukuran Dalam penelitian pendidikan

    Skala merupakan alat yang digunakan untuk membedakan variabel satu dan lainya dalam penelitian (Bryman dan Bell, 2007: 732). Pengukuran merupakan angka atau simbol yang dipilih untuk karakteristik tertentu dari objek yang diukur sesuai dengan aturan yang telah ditentukan (Malhotra, 2012: 278). Menurut  Sugiyono (2009: 92), skala pengukuran merupakan kesepakatan yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan panjang pendeknya interval yang ada dalam alat ukur, sehingga alat ukur tersebut bila digunakan dalam pengukuran akan menghasilkan data kuantitatif. Ada empat tipe skala pengukuran, yaitu skala nominal, skala ordinal, skala interval, dan skala rasio (Malhotra, 2012: 282).

    Skala nominal digunakan untuk memberikan angka. Skala ordinal digunakan untuk memberikan angka dan tingkatan. Skala interval merupakan skala yang digunakan untuk memberi angka, memiliki tingkatan, dan memiliki jarak. Skala rasio adalah skala yang bertujuan untuk memberi angka,memiliki jarak, tingkatan dan titik nol (Malhotra, 2012: 283). Selanjutnya, Tabel 3.5 menggambarkan perbandingan antar pengukuran skala (Malhotra, 2012: 283).

    Jenis skala interval yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala Likert. Skala Likert adalah skala yang menunjukkan seberapa kuat tingkat setuju atau tidak setuju terhadap suatu pernyataan (McDaniel dan Gates, 2013: 315). Ada tiga alasan peneliti menggunakan skala Likert. Alasan pertama adalah karena memudahkan responden untuk menjawab kuisioner apakah setuju atau tidak setuju (Malhotra, 2012: 308). Alasan kedua adalah mudah digunakan dan mudah dipahami oleh responden (McDaniel dan Gates, 2013: 307). Alasan ketiga adalah secara visual menggunakan skala Likert lebih menarik dan mudah diisi oleh responden (Sugiyono, 2009: 96).

    Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan skala Likert tujuh poin yang terdiri dari “Sangat Tidak Setuju”, “Tidak Setuju”, “Agak Tidak Setuju”, “Netral”, “Agak Setuju”, “Setuju”, dan “Sangat Setuju”. Ada empat alasan menggunakan skala Likert tujuhpoin. Alasan pertama karena dari skala tiga sampai sebelas, skala tujuh yang paling sering digunakan (Blerkom, 2009: 155). Skala Likert 9 poin atau 13 poin akan membuat reponden menjadi lebih sulit untuk membedakan setiap poin skala dan responden sulit dalam mengolah informasi (Hair et al., 2007: 237). Alasan kedua adalah dapat memberikan responden pilihan yang lebih banyak dan meningkatkan diferensiasi poin (Azzara, 2010: 100). Alasan ketiga, dengan menggunakan skala Likert 7 poin, pemilihan kategori dalam kuesioner akan menjadi lebih spesfik (Mustafa, 2009: 147). Hal tersebut akan memberikan kesemptaan kepada responden untuk dapat memilih keinginan mereka secara spresifik. Alasan keempat karena peneliti mengikuti penelitian sebelumnya oleh Eisingerich dan Rubera (2010) yang menggunakan skala Likert 7 poin.

  • Masalah Pendidikan yang Cocok Jadi topik Penelitian Skripsi Mahasiswa Pendidikan

    Pengertian Masalah Belajar

    Masalah adalah sesuatu yang tidak disukai adanya, menimbulkan masalah bagi diri sendiri dan atau orang lain, ingin atau perlu dihilangkan.

    “Belajar ialah sesuatu proses yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Belajar juga diartikan sebagai proses perubahan pengetahuan atau perilaku sebagai hasil dari pengalaman. Pengalaman ini terjadi melalui interaksi antara individu dengan lingkungannya”. “Belajar adalah proses tingkah laku ( dalam arti luas), ditimbulkan atau diubah melalui praktek dan latihan”.  “Belajar adalah suatu proses dimana suatu organisasi berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman”.

    Dari definisi masalah dan belajar maka masalah belajar dapat diartikan atau didefinisikan sebagai berikut :“Masalah belajar adalah suatu kondisi tertentu yang dialami oleh murid dan menghambat kelancaran proses yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan”.

    Faktor-Faktor Penyebab Munculnya Masalah Pembelajaran

    Para ahli seperti Cooney, Davis & Henderson (1975) telah mengidentifikasikan beberapa faktor penyebab masalah pembelajaran, di antaranya:

    1. Faktor Fisiologis

    Faktor-faktor yang menjadi penyebab masalah belajar peserta didik ini berkait dengan kurang berfungsinya otak, susunan syaraf ataupun bagian-bagian tubuh lain. Para guru harus menyadari bahwa hal yang paling berperan pada waktu belajar adalah kesiapan otak dan sistem syaraf dalam menerima, memproses, menyimpan, ataupun memunculkan kembali informasi yang sudah disimpan. Kalau ada bagian yang tidak sesuai pada bagian tertentu dari otak seorang peserta didik, maka dengan sendirinya peserta didik akan mengalami masalah belajar. Seandainya sistem syaraf atau otak peserta didik karena sesuatu dan lain hal kurang berfungsi secara sempurna akibatnya akan mengalami hambatan ketika belajar.

    2. Faktor Sosial

    Merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah jika orang tua dan masyarakat sekeliling sedikit banyak akan berpengaruh terhadap kegiatan belajar dan kecerdasan peserta didik sebagaimana ada yang menyatakan bahwa sekolah adalah cerminan masyarakat dan anak adalah gambaran orang tuanya. Oleh karena itu ada beberapa faktor penyebab masalah belajar yang berkait dengan sikap dan keadaan keluarga serta masyarakat sekeliling yang kurang mendukung peserta didik tersebut untuk belajar sepenuh hati. Tetangga yang mengatakan sekolah tidak penting karena banyak sarjana menganggur, masyarakat yang selalu minum-minuman keras dan melawan hukum, ada orang tua yang selalu marah bila menonton TV setiap saat, ada juga yang tidak terbuka ataupun kurang menyayangi anaknya dengan sepenuh hati dapat merupakan contoh dari beberapa faktor sosial yang menjadi penyebab masalah belajar peserta didik.

    Intinya, lingkungan di sekitar peserta didik harus dapat membantu mereka untuk belajar semaksimal mungkin selama mereka belajar di sekolah. Dengan cara seperti ini, lingkungan dan sekolah akan membantu para peserta didik, harapan bangsa ini untuk berkembang dan tumbuh menjadi lebih cerdas.

    Peserta didik dengan kemampuan cukup seharusnya dapat dikembangkan menjadi peserta didik berkemampuan baik, yang berkemampuan kurang dapat dikembangkan menjadi berkemampuan cukup. Sekali lagi, orang tua, guru, dan masyarakat, secara sengaja atau tidak sengaja, dapat menyebabkan masalah bagi peserta didik. Karenanya, peran orang tua dan guru dalam membentengi para peserta didik dari pengaruh negatif masyarakat sekitar, di samping perannya dalam memotivasi para peserta didik untuk tetap belajar menjadi sangat menentukan.

    3. Faktor Kejiwaan

    Faktor-faktor yang menjadi penyebab masalah belajar peserta didik ini berkait dengan kurang mendukungnya perasaan hati (emosi) peserta didik unutuk belajar secara sungguh-sungguh. Sebagai contoh, ada peserta didik yang tidak suka mata pelajaran tertentu karena ia selalu gagal mempelajari mata pelajaran itu. Jika hal ini terjadi, peserta didik tersebut akan mengalami masalah belajar yang sangat berat. Hal ini merupakan contoh dari faktor emosi yang menyebabkan masalah belajar. Contoh lain adalah peserta didik yang rendah diri, peserta didik yang ditinggalkan orang yang paling disayangi dan menjadikannya sedih berkepanjangan akan mempengaruhi proses belajar dan dapat menjadi faktor penyebab masalah belajarnya.

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang dapat mempelajari suatu mata pelajaran dengan baik akan menyenangi mata pelajaran tersebut. Begitu juga sebaliknya, anak yang tidak menyenangi suatu mata pelajaran biasanya tidak atau kurang berhasil mempelajari mata pelajaran tersebut. Karenanya, tugas utama yang sangat menentukan bagi seorang guru adalah bagaimana membantu peserta didiknya sehingga mereka dapat mempelajari setiap materi dengan baik. Yang perlu mendapatkan perhatian juga, hukuman yang diberikan seorang guru dapat menyebabkan peserta didiknya lebih giat belajar, namun dapat juga menyebabkan mereka tidak menyukai guru mata pelajaran tersebut. Dapat juga terjadi, peserta didik akan membenci sekali mata pelajaran yang diasuh guru tersebut. Kalau hal seperti ini yang terjadi, tentunya akan sangat merugikan peserta didik tersebut.

    4. Faktor Intelektual

    Faktor-faktor yang menjadi penyebab masalah belajar peserta didik ini berkait dengan kurang sempurna atau kurang normalnya tingkat kecerdasan peserta didik. Para guru harus meyakini bahwa setiap peserta didik mempunyai tingkat kecerdasan berbeda. Ada peserta didik yang sangat sulit menghafal sesuatu, ada yang sangat lamban menguasai materi tertentu, ada yang tidak memiliki pengetahuan prasyarat dan juga ada yang sangat sulit membayangkan dan bernalar. Hal-hal yang disebutkan tadi dapat menjadi faktor penyebab masalah belajar pada diri peserta didik tersebut.

    5. Faktor Kependidikan

    Faktor-faktor yang menjadi penyebab masalah belajar peserta didik ini berkait dengan belum mantapnya lembaga pendidikan secara umum. Guru yang selalu meremehkan peserta didik, guru yang tidak bisa memotivasi peserta didik untuk belajar lebih giat, guru yang membiarkan peserta didiknya melakukan hal-hal yang salah, guru yang tidak pernah memeriksa pekerjaan peserta didik, sekolah yang membiarkan para peserta didik bolos tanpa ada sanksi tertentu, adalah contoh dari faktor-faktor penyebab masalah dan pada akhirnya akan menyebabkan ketidak berhasilan peserta didik tersebut.

    Masalah-Masalah Dalam Pembelajaran

    Masalah-masalah yang muncul dalam pembelajaran dapat dibedakan sebagai berikut:

    1. Dari segi guru

    1. Guru mendapat kesulitan menerapkan metode pembelajaran yang tepat dan bervariasi.
    2. Kepribadian guru secara keseluruhan belum bisa diteladani peserta didik.
    3. Penerapan tugas sebagai pengajar, pendidik, pelatih belum dapat berjalan optimal.
    4. Guru mendapat kesulitan dalam menentukan dan mengidentifikasi materi esensial dan materi sulit.
    5. Komitmen, kinerja, dan keikhlasan guru dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran belum sesuai harapan.
    6. Guru masih mengandalkan Lembaran Kegiatan Peserta didik (LKS) yang dijual penerbit untuk pekerjaan rumah peserta didik karena kesulitan dalam mengembangkan LKS sendiri. Padahal seharusnya LKS yang dikerjakan peserta didik disesuaikan dengan kondisi peserta didik pada sekolah yang bersangkutan.
    7. Guru kesulitan menerapkan disiplin bagi peserta didik dalam belajar.
    8. Kemampuan guru masih kurang dalam mengelola laboratorium, sehingga kesulitan menyajikan materi sains secara praktek.
    9. Guru kesulitan dalam mengembangkan media pembelajaran yang sesuai.
    10. Guru kesulitan membuat alat evaluasi belajar dan mengembangkan Emosional Spiritual Question (ESQ).

    2. Dari segi kurikulum

    1. Isi kurikulum yang padat menyulitkan guru untuk mencapai target yang hendak dicapai dan menerapkan pendidikan pada peserta didik sehingga menghambat kemampuan peserta didik berpikir tingkat tinggi.
    2. Pelaksanaan kurikulum dan evaluasi hasil belajar cenderung pada ranah kognitif, sehingga ranah afektif dan psikomotor cenderung tidak diterapkan.
    3. Materi cenderung lebih tinggi untuk tingkat kemampuan peserta didik.
    4.  Kurikulum yang sering berubah membuat guru sulit menjalankannya di sekolah.

    3. Dari segi peserta didik

    1. Minat baca, motivasi belajar, dan daya nalar peserta didik  relatif rendah.
    2. Kemandirian dan strategi belajar kurang baik.
    3. Kurang efektif memanfaatkan waktu dan sumber belajar.
    4. Aktivitas bertanya di kelas rendah.
    5. Mudah terpengaruh oleh dampak negatif teknologi.

    4. Dari segi manajerial

    1. Kurangnya perhatian pimpinan terhadap sarana dan prasarana sains baik laboratorium maupun media.
    2. Pelatihan meningkatkan mutu guru belum merata.
    3. Supervisi oleh kepala sekolah dan pengawas belum optimal.
    4. Kurangnya reward bagi guru yang kinerja baik, dan sebaliknya.

    5. Dari segi orang tua

    1. Kurangnya perhatian orang tua, disiplin, kepedulian, bimbingan belajar, dan fasilitas belajar di rumah.
    2. Kuatnya pengaruh televisi di rumah sedangkan orang tua tidak dapat mencegahnya.
    3. Banyaknya orang tua yang tidak mengenali bakat anaknya.
    4. Tingginya harapan orang tua dibandingkan kemampuan anaknya.

    6. Dari segi pemerintah

    1. Kurang optimalnya perhatian pemerintah dalam pengadaan sarana, fasilitas laboratorium, dan buku-buku perpustakaan sekolah.
    2. Adanya intervensi birokrat yang terlalu jauh terhadap kebijakan pendidikan. Misalnya pengangkatan kepala sekolah.

    7. Dari segi lingkungan atau masyarakat

    1. Lingkungan masyarakat kurang kondusif mendukung suasana belajar.
    2. Kemajuan teknologi berpengaruh negatif terhadap konsentrasi belajar peserta didik.
    3. Pendidikan agama kurang memadai.
    4. Tidak aktifnya kegiatan organisasi di masyarakat yang dapat membangun kreativitas peserta didik.

    Upaya Mengatasi Masalah-Masalah Dalam Pembelajaran

    Untuk mencegah dan mengatasi masalah-masalah yang dapat muncul dalam pembelajaran dapat dapat dilakukan berbagai upaya sebagai berikut:

    1. Dari segi guru

    1. Guru harus menguasai kompetensi guru yang meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional (sesuai U No. 14 Tahun 2005) atau kompetensi profesional,  sosial dan personal (sesuai Depdikbud 1990).
    2. Guru harus menguasai 10 kompetensi dasar guru yang meliputi penguasaan bahan pelajaran beserta konsep-konsep dasar keilmuannya, pengelolaan program belajar mengajar, pengelolaan kelas, pengelolaan dan penggunaan media dan sumber pembelajaran, penguasaan landasan-landasan kependidikan, pengelolaan interaksi belajar mengajar, penilaian prestasi belajar siswa, pengenalan fungsi dan program bimbingan dan penyuluhan, pengenalan administrasi sekolah dan pemahaman prinsip-prinsip dan melakukan penelitian serta pemanfaatan hasil penelitian pendidikan untuk kepentingan peningkatan mutu pembelajaran.
    3. Guru harus menguasai 10 keterampilan dasar guru yang meliputi keterampilan bertanya, memberi penguatan, mengadakan variasi, menjelaskan, membuka dan menutup pelajaran, membimbing diskusi kelompok kecil, mengelola kelas, mengajar kelompok kecil dan perorangan, mengembangkan  dan menggunakan media serta mengembangkan ESQ.
    4. Guru harus menguasai 10 prinsip dalam pembelajaran.

    2. Dari segi siswa

    1. Siswa harus meningkatkan minat baca dengan memotivasi diri belajar dari hal yang dianggap mudah.
    2. Siswa harus berusaha membagi waktu seefisien mungkin.
    3. Selektif dalam menggunakan teknologi.

    3. Dari segi kurikulum

    Merevisi kurikulum yang ada agar dapat diterapkan dalam tiga ranah pembelajaran (kognitif, afektif, psikomotor), bukan melakukan penggantian kurikulum tersebut.

    4. Dari segi manejerial

    Peningkatan kinerja manejerial dari segi sarana dan prasarana serta kualitas guru untuk perbaikan proses pembelajaran.

    5. Dari segi orang tua

    Orang tua perlu meningkatkan kepedulian terhadap prestasi belajar anaknya dengan mengontrol penggunaan teknologi dan mengenali bakat anak sehingga dapat mengarahkan untuk menekuni bidang yang tepat.

    6. Dari segi pemerintah

    Perlunya optimalisasi perhatian pemerintah dalam pengadaan sarana dan prasarana dalam pengadaan sarana, fasilitas laboratorium, dan buku-buku perpustakaan sekolah dan minimalisasi intervensi birokrat yang terlalu jauh terhadap kebijakan pendidikan.

    7. Dari segi masyarakat

    Menciptakan lingkungan yang kondusif untuk mendukung suasana belajar seperti mengontrol penggunaan internet untuk pelajar, mengaktifkan kegiatan organisasi yag dapat membangun kreativitas peserta didik.

  • Model-Model Desain Pembelajaran

    Pengertian Model Pembelajaran

    Apabila antara pendekatan, strategi, metode, teknik dan bahkan taktik pembelajaran sudah terangkai menjadi satu kesatuan yang utuh maka terbentuklah apa yang disebut dengan model pembelajaran. Jadi, model pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru. Dengan kata lain, model pembelajaran merupakan bungkus atau bingkai dari penerapan suatu pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran.

    Macam-macam Model Pembelajaran.

    1. Model Dick and Carrey.

    Salah satu model desain pembelajaran adalah model Dick and Carey (1985). Model ini termasuk ke dalam model prosedural. Langkah–langkah Desain Pembelajaran menurut Dick and Carey adalah:

    1. Mengidentifikasikan tujuan umum pembelajaran.
    2. Melaksanakan analisi pembelajaran
    3. Mengidentifikasi tingkah laku masukan dan karakteristik siswa.
    4. Merumuskan tujuan performansi
    5. Mengembangkan butir–butir tes acuan patokan
    6. Mengembangkan strategi pembelajaran
    7. Mengembangkan dan memilih materi pembelajaran
    8. Mendesain dan melaksanakan evaluasi formatif
    9. Merevisi bahan pembelajaran
    10. Mendesain dan melaksanakan evaluasi sumatif.

    Perhatikan tahapan-tahapan model Dick & Carey pada gambar berikut:

    Gambar 1: Model Dick and Carey Model Dick and Carey terdiri dari 10 langkah. Setiap langkah sangat jelas maksud dan tujuannya sehingga bagi perancang pemula sangat cocok sebagai dasar untuk mempelajari model desain yang lain. Kesepuluh langkah pada model Dick and Carey menunjukan hubungan yang sangat jelas, dan tidak terputus antara langkah yang satu dengan yang lainya. Dengan kata lain, system yang terdapat pada Dick and Carey sangat ringkas, namun isinya padat dan jelas dari satu urutan ke urutan berikutnya. Langkah awal pada model Dick and Carey adalah mengidentifikasi tujuan pembelajaran. Langkah ini sangat sesuai dengan kurikulum perguruan tinggi maupun sekolah menengah dan sekolah dasar, khususnya dalam mata pelajaran tertentu di mana tujuan pembelajaran pada kurikulum agar dapat melahirkan suaturancangan pembangunan.

    Penggunaan model Dick and Carey dalam pengembangan suatu mata pelajaran dimaksudkan agar:

    1. pada awal proses pembelajaran anak didik atau siswa dapat mengetahui dan mampu melakukan hal–hal yang berkaitan dengan materi pada akhir pembelajaran.
    2. adanya pertautan antara tiap komponen khususnya strategi pembelajaran dan hasil pembelajaran yang dikehendaki.
    3. menerangkan langkah–langkah yang perlu dilakukan dalam melakukan perencanaan desain pembelajaran

    2. Model Kemp

    Model Kemp termasuk ke dalam contoh model melingkar jika ditunjukkan dalam sebuah diagram, model ini akan tampak seperti gambar berikut ini:

    Secara singkat, menurut model ini terdapat beberapa langkah dalam penyusunan sebuah bahan ajar, yaitu:

    1. Menentukan tujuan dan daftar topik,menetapkan tujuan umum untuk pembelajaran tiap topiknya.
    2. Menganalisis karakteristik pelajar, untuk siapa pembelajaran tersebut didesain.
    3. Menetapkan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai dengan syarat dampaknya dapat dijadikan tolak ukur perilaku pelajar.
    4. Menentukan isi materi pelajaran yang dapat mendukung tiap tujuan.
    5. Pengembangan prapenilaian/ penilaian awal untuk menentukan latar belakang pelajar dan pemberian level pengetahuan terhadap suatu topik.
    6. Memilih aktivitas pembelajaran dan sumber pembelajaran yang menyenangkan atau menentukan strategi belajar-mengajar, jadi siswa siswa akan mudah menyelesaikan tujuan yang diharapkan.
    7. Mengkoordinasi dukungan pelayanan atau sarana penunjang yang meliputi personalia, fasilitas-fasilitas, perlengkapan, dan jadwal untuk melaksanakan rencana pembelajaran.
    8. Mengevaluasi pembelajaran siswa dengan syarat mereka menyelesaikan pembelajaran serta melihat kesalahankesalahan dan peninjauan kembali beberapa fase dari perencanaan yang membutuhkan perbaikan yang terus menerus, evaluasi yang dilakukan berupa evaluasi formatif dan evaluasi sumatif.

    3. Model ASSURE

    Model ASSURE merupakan suatu model yang merupakan sebuah formulasi untuk Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) atau disebut juga model berorientasi kelas. Menurut Heinich et al (2005) model ini terdiri atas enam langkah kegiatan yaitu:

    1. Analyze Learners
    2. States Objectives
    3. Select Methods, Media, and Material
    4. Utilize Media and materials
    5. Require Learner Participation
    6. Evaluate and Revise
    1. Analisis Pelajar.

    Menurut Heinich et al (2005) jika sebuah media pembelajaran akan digunakan secara baik dan disesuaikan dengan cirri-ciri Belajar, isi dari pelajaran yang akan dibuatkan medianya, media dan bahan pelajaran itu sendiri. Lebih lanjut Heinich, 2005 menyatakan sukar untuk menganalisis semua cirri pelajar yang ada, namun ada tiga hal penting dapat dilakuan untuk mengenal pelajar sesuai .berdasarkan cirri-ciri umum, keterampilan awal khusus dan gaya belajar.

    2. Menyatakan Tujuan.

    Menyatakan tujuan adalah tahapan ketika menentukan tujuan pembeljaran baik berdasarkan buku atau kurikulum. Tujuan pembelajaran akan menginformasikan apakah yang sudah dipelajari anak dari pengajaran yang dijalankan. Menyatakan tujuan harus difokuskan kepada pengetahuan, kemahiran, dan sikap yang baru untuk dipelajari.

    3. Pemilihan Metode, media dan bahan.

    Heinich et al. (2005) menyatakan ada tiga hal penting dalam pemilihan metode, bahan dan media yaitu menentukan metode yang sesuai dengan tugas pembelajaran, dilanjutkan dengan memilih media yang sesuai untuk melaksanakan media yang dipilih, dan langkah terakhir adalah memilih dan atau mendesain media yang telah ditentukan.

    4. Penggunaan Media dan bahan.

    Menurut Heinich et al (2005) terdapat lima langkah bagi penggunaan media yang baik yaitu, preview bahan, sediakan bahan, sedikan persekitaran, pelajar dan pengalaman pembelajaran.

    5. Partisipasi Pelajar di dalam kelas.

    Sebelum pelajar dinilai secara formal, pelajar perlu dilibatkan dalam aktivitas pembelajaran seperti memecahkan masalah, simulasi, kuis atau presentasi.

    6. Penilaian dan Revisi

    Sebuah media pembelajaran yang telah siap perlu dinilai untuk menguji keberkesanan dan impak pembelajaran. Penilaian yang dimaksud melibatkan beberaoa aspek diantaranya menilai pencapaian pelajar, pembelajaran yang dihasilkan, memilih metode dan media, kualitas media, penggunaan guru dan penggunaan pelajar.

    4. Model ADDIE.

    Ada satu model desain pembelajaran yang lebih sifatnya lebih generik yaitu model ADDIE (Analysis-Design-Develop-Implement- Evaluate). ADDIE muncul pada tahun 1990-an yang dikembangkan oleh Reiser dan Mollenda.Salah satu fungsinya ADIDE yaitu menjadi pedoman dalam membangun perangkat dan infrastruktur program pelatihan yang efektif, dinamis dan mendukung kinerja pelatihan itu sendiri.

    Model ini menggunakan 5 tahap pengembangan yakni :

    1. Analysis (analisa)
    2. Design (disain / perancangan)
    3. Development (pengembangan)
    4. Implementation (implementasi/eksekusi)
    5. Evaluation (evaluasi/ umpan balik)
    Langkah 1: Analisis

    Tahap analisis merupakan suatu proses mendefinisikan apa yang akan dipelajari oleh peserta belajar, yaitu melakukan needs assessment (analisis kebutuhan), mengidentifikasi masalah (kebutuhan), dan melakukan analisis tugas (task analysis). Oleh karena itu, output yang akan kita hasilkan adalah berupa karakteristik atau profile calon peserta belajar, identifikasi kesenjangan, identifikasi kebutuhan dan analisis tugas yang rinci didasarkan atas kebutuhan.

    Langkah 2: Desain

    Tahap ini dikenal juga dengan istilah membuat rancangan (blueprint). barat bangunan, maka sebelum dibangun gambar rancang bangun (blue-print) diatas kertas harus ada terlebih dahulu. Apa yang kita lakukan dalam tahap desain ini? Pertama merumuskan tujuan pembelajaran yang SMAR (spesifik, measurable, applicable, dan realistic). Selanjutnya menyusun tes, dimana tes tersebut harus didasarkan pada tujuan pembelajaran yag telah dirumuskan tadi. Kemudian tentukanlah strategi pembelajaran yang tepat harusnya seperti apa untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam hal ini ada banyak pilihan kombinasi metode dan media yang dapat kita pilih dan tentukan yang paling relevan. Disamping itu, pertimbangkan pula sumber-sumber pendukung lain, semisal sumber belajar yang relevan, lingkungan belajar yang seperti apa seharusnya, dan lainlain. Semua itu tertuang dalam sautu dokumen bernama blue-print yang jelas dan rinci.

    Langkah 3: Pengembangan

    Pengembangan adalah proses mewujudkan blue-print alias desain tadi menjadi kenyataan. Artinya, jika dalam desain diperlukan suatu software berupa multimedia pembelajaran, maka multimedia tersebut harus dikembangkan. Atau diperlukan modul cetak, maka modul tersebut perlu dikembangkan. Begitu pula halnya dengan lingkungan belajar lain yang akan mendukung proses pembelajaran semuanya harus disiapkan dalam tahap ini. Satu langkah penting dalam tahap pengembangan adalah uji coba sebelum diimplementasikan. Tahap uji coba ini memang merupakan bagian dari salah satu langkah ADDIE, yaitu evaluasi. Lebih tepatnya evaluasi formatif, karena hasilnya digunakan untuk memperbaiki sistem pembelajaran yang sedang kita kembangkan.

    Langkah 4: Implementasi

    Implementasi adalah langkah nyata untuk menerapkan sistem pembelajaran yang sedang kita buat. Artinya, pada tahap ini semua Yang telah dikembangkan diinstal atau diset sedemikian rupa sesuai dengan peran atau fungsinya agar bisa diimplementasikan. Misal, jika memerlukan software tertentu maka software tersebut harus sudah diinstal. Jika penataan lingkungan harus tertentu, maka lingkungan atau seting tertentu tersebut juga harus ditata. Barulah diimplementasikan sesuai skenario atau desain awal.

    Langkah 5: Evaluasi

    Evaluasi adalah proses untuk melihat apakah sistem pembelajaran yang sedang dibangun berhasil, sesuai dengan harapan awal atau tidak. Sebenarnya tahap evaluasi bisa terjadi pada setiap empat tahap di atas. Evaluasi yang terjadi pada setiap empat tahap diatas itu dinamakan evaluasi formatif, karena tujuannya untuk kebutuhan revisi. Misal, pada tahap rancangan, mungkin kita memerlukan salah satu bentuk evaluasi formatif misalnya review ahli untuk memberikan input terhadap rancangan yang sedang kita buat. Pada tahap pengembangan, mungkin perlu uji coba dari produk yang kita kembangkan atau mungkin perlu evaluasi kelompok kecil dan lainlain.

    5. Model Hanafin and Peck

    Model Hannafin dan Peck ialah model desain pengajaran yang terdiri daripada tiga fase yaitu fase Analisis keperluan, fase desain, dan fase pengembangan dan implementasi (Hannafin & Peck 1988). Dalam model ini, penilaian dan pengulangan perlu dijalankan dalam setiap fase. Model ini adalah model desain pembelajaran berorientasi produk. Gambar di bawah ini menunjukkan tiga fase utama dalam model Hannafin dan Peck (1988).

    Fase pertama dari model Hannafin dan Peck adalah analisis kebutuhan. Fase ini diperlukan untuk mengidentifikasi kebutuhankebutuhan dalam mengembangkan suatu media pembelajaran termasuklah di dalamnya tujuan dan objektif media pembelajaran yang dibuat, pengetahuan dan kemahiran yang diperlukan oleh kelompok sasaran, peralatan dan keperluan media pembelajaran. Setelah semua keperluan diidentifikasi Hannafin dan Peck (1988) menekankan untuk menjalankan penilaian terhadap hasil itu sebelum meneruskan pembangunan ke fase desain.

    Fasa yang kedua dari model Hannafin dan Peck adalah fase desain. Di dalam fase ini informasi dari fase analisis dipindahkan ke dalam bentuk dokumen yang akan menjadi tujuan pembuatan media pembelajaran. Hannafin dan Peck (1988) menyatakan fase desain bertujuan untuk mengidentifikasikan dan mendokumenkan kaedah yang paling baik untuk mencapai tujuan pembuatan media tersebut. Salah satu dokumen yang dihasilkan dalam fase ini ialah dokumen story board yang mengikut urutan aktivitas pengajaran berdasarkan keperluan pelajaran dan objektif media pembelajaran seperti yang diperoleh dalam fase analisis keperluan. Seperti halnya pada fase pertama, penilaian perlu dijalankan dalam fase ini sebelum dilanjutkan ke fase pengembangan dan implementasi.

    Fase ketiga dari model Hannafin dan Peck adalah fase pengembangan dan implementasi. Hannafin dan Peck (1988) mengatakan aktivitas yang dilakukan pada fase ini ialah penghasilan diagram alur, pengujian, serta penilaian formatif dan penilaian sumatif. Dokumen story board akan dijadikan landasan bagi pembuatan diagram alir yang dapat membantu proses pembuatan media pembelajaran. Untuk menilai kelancaran media yang dihasilkan seperti kesinambungan link, penilaian dan pengujian dilaksanakan pada fase ini. Hasil dari proses penilaian dan pengujian ini akan digunakan dalam proses pengubahsuaian untuk mencapai kualitas media yang dikehendaki. Model Hannafin dan Peck (1988) menekankan proses penilaian dan pengulangan harus mengikutsertakan proses-proses pengujian dan penilaian media pembelajaran yang melibatkan ketiga fase secara berkesinambungan. Lebih lanjut Hannafin dan Peck (1988) menyebutkan dua jenis penilaian yaitu penilaian formatif dan penilaian sumatif. Penilaian formatif ialah penilaian yang dilakukan sepanjang proses pengembangan media sedangkan penilaian.

    Disamping Dari Model-Model Diatas Ada Lagi Model Desain Pembelajaran Yang Lainnya Yaitu:

    1. Model Peningkatan kemampuan Pengajar berfokus pada peningkatan penegatahuan, keterampilan, sensitivitas dan teknik pembelajaran para pengajar, dan bukannya pada subyek yang mereka ajarkan.
    2. Model pembuatan produk pembelajaran berfokus untuk menghasilkan paket pembelajaran, baik untuk kegunaan sendiri maupun untuk penggunaan secara meluas termasuk yang diproduksikan secara komersial.
    3. Model pengembangan system berfokus pada peningkatan system yaitu adanya aktivitas menyeluruh dalam menyusun kurikulum, mata ajaran/mata kuliah, program pengajaran, dan bahan ajaran. Adakalanya pendekatan ini memerlukan perubahan dalam pengelolaan kegiatan belajar dan peranan tenaga pengajar, seperti halnya yang terdapat pada UT.
    4. Model peningkatan organisasi : kegiatannya meliputi perubahan pada struktur, kebijaksanaan, dan lingkungan organisasi di mana pembelajaran berlangsung. Model ini lazim dilaksanakan di lembaga diklat pada organisasi tertentu.

    Karakteristik model

    1. Model PPSI.

    Dikembangkan oleh Badan Pengembang Pendidikan (BPP) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1972.

    2. Model Rekontruksi kuliah

    Model ini diciptakan oleh Tjipto Utomo, dan Kees Ruijjter, dan diberi nama “rekontruksi kuliah/kursus” karena ditujukan untuk memperbaiki kuliah yang sudah berjalan di ITB

    3. Model Briggs dan Wage.

    Model ini khusus dibuat untuk kegunaan seseorang tenaga pengajar untuk keperluannya di kelas

    4. .Model Gerlach dan Ely.

    Menurut Gerlach dan Ely langkah awal berupa spesifikasi isi dan tujuan merupakan langkah yang simultan dan merupakan kegiatan interaktif.

    5. Model Kemp.

    Model ini dapat digunakan pada SD sampai perguruan tinggi

    6. Model Gentry

    Disain pembelajaran model Gentry dikenal dengan singkatan IPDM (Instructional Project Development and Management) mulai diperkenalkan pada tahun 1994 oleh Castelle G. Gentry.

  • Ciri-Ciri Sumber Belajar

    Sebelum membahas tentang ciri-ciri sumber belajar alangkah baiknya kita tahu dulu makna sumber belajar itu sendiri. Sumber belajar adalah suatu daya, kekuatan yang dapat memberi sesuatu yang orang perlakukan dalam rangka proses belajar mengajar.
    Oleh karena itu sumber belajar mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

    1. Sumber belajar harus mampu memberikan kekuatan sehingga tujuan instruksional dapat tercapai secara maksimal.
    2. Sumber belajar harus mempunyai nilai-nilai instruksional edikatif.
    3. Sumber belajar yang dirancang mempunyai ciri-ciri spesifik sesuai dengan tersedianya media.

    Ciri-ciri diatas jika dicermati, dapat disimpulkan bahwa sumber belajar harus mampu memudahkan tercapainya tujuan belajar atau tercapainya keberhasilan belajar. Karena itu, untuk menunjang tercapainya keberhasilan belajar, maka sumber belajar haruslah tepat sesuai dengan yang dibutuhkan dalam proses pembelajaran.

  • Ciri-Ciri Karakteristik Peserta Didik

    Karakteristik Peserta Didik

    Peserta didik memiliki sejumlah ciri-ciri karakteristik, diantaranya : Peserta didik adalah individu yang memiliki potensi fisik dan psikis, sehingga ia merupakan insan yang unik. Peserta didik merupakan individu yang sedang berkembang, artinya peserta didik tengah mengalami perubahan-perubahan dalam dirinya secara wajar, baik yang ditujukan kepada diri sendiri maupun yang diarahkan pada penyesuaian dengan lingkungannya. Peserta didik adalah individu yang membutuhkan bimbingan individual dan perlakuan manusiawi. Peserta didik merupakan individu yang memiliki kemampuan untuk mandiri.

    Peserta didik secara formal adalah orang yang sedang berada pada fase pertumbuhan dan perkembangan baik secara fisik maupun psikis, pertumbuhan dan perkembangan merupakan ciri dari seseorang peserta didik yang perlu bimbingan dari seorang pendidik. Pertumbuhan menyangkut fisik, perkembangan menyangkut psikis.

    Menurut Pasal 1 Ayat 4 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan pada jalur jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Syamsul Nizar mendeskripsikan ciri-ciri karakteristik peserta didik diantaranya :

    1. Peserta didik bukanlah miniatur orang dewasa tetapi memiliki dunianya sendiri.
    2. Peserta didik memiliki perioditas perkembangan dan pertumbuhan.
    3. Peserta didik adalah makhluk Tuhan yang memiliki perbedaan individu baik disebabkan oleh faktor bawaan maupun lingkungan dimana ia berada.
    4. Peserta didik merupakan dua unsur utama jasmani dan rohani, unsur jasmani memiliki daya fisik, dan unsur rohani memiliki daya akan hati nurani dan nafsu.
    5. Peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi atau fitrah yang dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis.

    Peserta didik menurut sifatnya dapat dididik, karena mereka mempunyai bakat dan disposisi-disposisi yang memungkinkan untuk diberi pendidikan, diantaranya :

    1. Tubuh anak sebagai peserta didik selalu berkembang sehingga semakin lama semakin dapat menjadi alat untuk menyatakan kepribadiannya.
    2. Anak dilahirkan dalam keadaan tidak berdaya. Keadaan ini menyebabkan dia terikat kepada pertolongan orang dewasa yang bertanggung jawab.
    3. Anak membutuhkan pertolongan dan perlindungan serta membutuhkan pendidikan.
    4. anak mempunyai daya eksplorasi. Anak mempunyai kekuatan untuk menemukan hal-hal yang baru di dalam lingkungannya dan menuntut kepada pendidik untuk diberi kesempatan.
    5. Anak mempunyai dorongan untuk mencapai emansipasi dengan orang lain

    Selain karakteristik diatas ada beberapa ciri-ciri karakteristik peserta didik lainnya yaitu :

    1. Belum memiliki pribadi dewasa sehingga masih menjadi tanggung jawab pendidik.
    2. Masih menyempurnakan aspek tertentu dari kedewasaannya sehingga masih menjadi tanggung jawab pendidik.
    3. Sebagai manusia yang memiliki sifat-sifat dasar yang sedang ia kembangkan secara terpadu, menyangkut seperti kebutuhan biologis, rohani, sosial, intelegensi, emosi, kemampuan berbicara, perbedaan indivual dan sebagainya.
  • Pengertian Deskripsi Dalam Pembelajaran

    Dalam pembelajaran disekolah biasanya ada materi tentang deskripsi dalam suatu bacaan. Siswa biasanya disuruh untuk memahami bentuk bacaan sehingga dia akan tahu jenis bacaan apa yang dia baca. Untuk itu siswa perlu tahu apa yang dimaksud dengan deskripsi dalam suatu bacaan. Deskripsi adalah ragam wacana yang melukiskan atau menggambarkan suatu berdasarkan kesan-kesan dari pengamatan, pengalaman, dan perasaan penulisnya (Suparno, 2008:1.11). Sunarno (2007:1) mempertegas pendapat suparno bahwa tulisan deskripsi berisi gambaran mengenai suatu hal atau keadaan sehingga pembaca seolah-olah melihat, mendengar, atau merasakan hal tersebut. Deskripsi menggambarkan sesuatu dengan jelas dan terperinci. Tulisan deskripsi bertujuan melukiskan atau memberikan gambaran terhadap sesuatu dengan sejelas-jelasnya sehingga pembaca seolah-olah dapat melihat, mendengar, membaca, atau merakan hal yang dideskripsikan.

    Dengan demikian deskripsi dapat disimpulkan sebagai tulisan yang isinya menjelaskan sesuatu. Sesuatu yang menjadi objek tulisan dijelaskan secara rinci sesuai dengan apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan oleh panca indra pengarang. Tulisan ini bermaksud meyakinkan pembaca tentang kebenaran dan keberadaan sesuatu yang telah dijelaskan oleh penulis.