Blog

  • Makalah Konsep Qadim dan Hadits antara Filusuf dan Teolog Islam

    Konsep Qadim dan Hadits antara Filusuf dan Teolog Islam

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Sebelum kita mengetahui arti qadim dan hadits alangkah baiknya jika kita mengerti dahulu apakah itu filsafat dan teologi?

    Kata Filsafat padanan dari bahasa Arab Falsafah dan bahasa Inggrisnya philosophy. Kata filsafat sendiri berasal dari bahasa Yunani Philosophia, yakni gabungan dari kata “philos” yang artinya cinta, dan “sophos” berarti kebijaksanaan, dengan kata lain filsafat adalah cinta pada kebijaksanaan, kearifan atau pengetahuan (wisdom). Secara etimologi filsafah berarti cinta kepada kebijaksanaan, kearifan atau pengetahuan (love of wisdom). Dapat pula dikatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang sesuatu yang ada secara hakiki dan mendalam untuk mencari kebenaran yang hakiki.

    Dalam kamus Teologi, dijelaskan bahwa teologi dalam bahasa Yunani artinya pengetahuan mengenai Allah, yaitu usaha metodis untuk memahami serta menafsirkan kebenaran wahyu. Dalam bahasa Latin, teologi diartikan “ilmu yang mencari pemahaman”, maksudnya dengan menggunakan sumber daya rasio, khususnya ilmu sejarah dan filsafat, teologi selalu mencari dan tidak pernah sampai pada jawaban terakhir dan pemahaman yang selesai.[2]

    Kata “hadits” atau al-hadits menurut bahasa berarti al-jadid (suatu yang baru), lawan kata dari al-qadim (suatu yang lama). Kata hadist berarti al-khabar (berita), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain.[3]

    Di kalangan para filosof Muslim dan teolog Muslim sering terjadi perbedaan tentang Qadim dan Hadits. Menurut al-Ghazali apa yang dianggap para filosof itu sebagai suatu kebijaksanaan (wisdom) tak lain adalah kesesatan yang nyata. Menanggapi hal tersebut Ibnu Rusyd tampil sebagai pembela para filosof. Ibnu Rusyd menyanggah tuduhan al-Ghazali tersebut.

    Pembahasan mengenai qadim atau hadisnya kalam Ilahi merupakan salah satu pembahasan teologi di awal terbitnya agama Islam dan juga merupakan pembahasan teologi yang dipandang paling rumit dan selalu menjadi pembahasan dalam sepanjang sejarah Islam. Pembahasan ini tidak hanya dibahas oleh umat islam, tetapi juga telah dikaji sebelumnya oleh para penganut agama Kristen.

    B.       Rumusan Masalah

    1.      Apa pengertian Qadim dan Hadits ?

    2.      Bagaimana pandangan Qadim dan Hadits Berdasarkan Filosof Islam ?

    3.      Bagaimana pandangan Qadim dan Hadits Berdasarkan Teologi Islam ?

    C.      Tujuan

    1.      Untuk mengetahui perbedaan qadim dan hadits.

    2.      Untuk mengetahui konsep qadim dan hadits berdasarkan filosof islam.

    3.      Untuk mengetahui konsep qadim dan hadits berdasarkan teolog islam.

    BAB II

    PEMBAHASAN

    A.      Pengertian Qadim dan Hadits

    Bagi kaum teolog Muslim, qadim berarti “sesuatu yang mempunyai wujud tanpa sebab”, sedangkan bagi kaum filosof Muslim, qadim berarti “sesuatu yang kejadiannya dalam keadaan terus menerus tanpa awal dan tanpa akhir”.

    Bagi kaum teolog Muslim, hadits mengandung arti “menciptakan dari tiada”, sedangkan bagi kaum filosof Muslim kata itu berarti “mewujudkan dari ada menjadi ada dalam bentuk lain”. [4]

    B.       Konsep Qadim dan Hadits berdasarkan Filosof Islam

    1.      Al-Kindi

    Menurut Al-Kindi, sebagai ciptaan Allah beredar menurut aturan-Nya (sunatullah) tidak qadim, tetapi mempunyai permulaan. Ia diciptakan Allah dari tiada menjadi ada. Pengertian qadim menurut Al-Kindi adalah tidak berpermulaan.

    Pendapat Al-Kindi tentang diciptakannya alam dari ketiadaan sejalan dengan pandangan kaum teolog Muslim, tetapi berbeda dengan pendapat para filosof Yunani dan bertentangan dengan pendapat kaum filosof Muslim. Untuk membuktikan adanya Allah, Al-Kindi memajukan argumen tentang baharunya alam. Argumen baharunya alam telah lazim dikenal di kalangan kaum teolog sebelum Al-Kindi. Akan tetapi Al-Kindi mengemukakannya secara filosofis. Ia berangkat dari pertanyaan, apakah mungkin sesuatu menjadi sebab bagi wujud dirinya ? Dengan tegas Al-Kindi menjawab, bahwa itu tidak mungkin karena alam ini

    mempunyai permulaan akan berkesudahan. Ini berarti bahwa alam semesta baharu dan diciptakan dari tiada oleh yang menciptakannya, yakni Allah. [5]

    2.       Al-Farabi

    Dalam membuktikannya adanya Allah Al-Farabi mengemukakan dalil Wajib al-Wujud dan mukmin al-wujud. Menurutnya segala yang ada ini hanya dua kemungkinan dan tidak ada alternatif yang ketiga, yakni Wajib al-Wujud dan mukmin al-wujud.

    Adapun yang dimaksud dengan Wajib al-Wujud adalah wujudnya ada dengan sendirinya. Ia adalah wujud yang sempurna dan adanya tanpa sebab dan wujudnya tidak terjadi karena lainnya. Ia ada selamanya dan tidak didahului oleh tiada. Jika wujud ini tidak ada, maka akan timbul kemustahilan karena wujud lain untuk adanya bergantung kepadanya. Wajib al-Wujud inilah yang disebut dengan Allah.

    Sementara itu yang dimaksud dengan mukmin al-wujud ialah sesuatu yang sama antara berwujud dan tidaknya. Wujud ini jika diperkirakan tidak wujud, tidak mengakibatkan kemustahilan. Mukmin al-wujud tidak akan berubah menjadi wujud aktual tanpa adanya wujud yang menguatkan dan yang menguatkan adanya itu bukan dirinya, tetapi adalah Wajib al-Wujud (Allah).

    Penilaian De Boar ada benarnya ketika ia mengatakan istilah Wajib al-Wujud dan mukmin al-wujud Al-Farabi hanya istilah lain dari al-Qadim dan al-hadis. Mukmin al-wujud Al-Farabi adalah wujud potensial yang pasti menjadi wujud aktual disebabkan terwujudnya yang Wajib al-Wujud. Sementara itu, istilah mukmin menurut kaum teolog Muslim tidak terdapat kaitan keniscayaan wujudnya disebabkan adanya yang Wajib al-Wujud (Allah).[6]

    Dengan kata lain, alam semesta diciptakan bukan dari tiada, melainkan dari sesuatu yang ada. Dan hal ini dapat membawa kita pada kesimpulan bahwa alam ini qadim, yakni tidak bermula dalam waktu, bersifat kekal dan tidak hancur.

    3.       Al-Razi

    Falsafatnya terkenal dengan doktrin Lima yang Kekal: Tuhan, Jiwa Universal, Materi Pertama, Ruang Absolut, dan Zaman Absolut. Menurut Al-Razi dua dari Lima yang Kekal itu hidup dan aktif yaitu Allah dan roh. Satu diantaranya tidak hidup dan pasif, yakni materi. Dua lainnya tidak hidup, tidak aktif, dan tidak pula pasif, yakni ruang dan masa. [7]

    Menurut Al-Razi Allah Maha Pencipta dan Pengatur seluruh alam ini. Alam diciptakan Allah bukan dari tidak ada, tetapi dari bahan yang telah ada. Oleh karena itu, menurutnya alam semesta tidak qadim, baharu, meskipun materi asalnya qadim, sebab penciptaan di sini dalam arti disusun dari bahan yang telah ada. Jiwa universal merupakan sumber kekal yang kedua. Ia dikuasai naluri untuk bersatu dengan materi pertama., terjadilah pada zatnya rupa yang dapat menerima fisik. Materi bersifat kekal karena ia menempati ruang, maka ruang juga kekal. Al-Razi mengatakan bahwa wujud (tubuh) memerlukan ruang dan ia tidak mungkin ada tanpa adanya ruang, tetapi ruang bisa ada tanpa adanya wujud tersebut. Sementara itu waktu adalah berlandaskan pada pergerakan planet-planet, perjalanan bintang-bintang, mentari. Waktu terbatas ini tidak kekal.[8]

    4.      Al-Ghazali

    Pada umumnya para filosof Muslim berpendapat bahwa alam ini qadim, artinya wujud alam bersamaan dengan wujud Allah. Menurut Al-Gazali, tidak ada halangan apa pun bagi Allah menciptakan alam sejak azali dengan iradah-Nya yang qadim pada waktu diadakan-Nya. Sementara itu, ketiadaan wujud alam sebelumnya karena memang belum dikehendaki-Nya. Oleh karena itulah, jika Allah menetapkan ciptaan-Nya dalam satu waktu dan tidak dalam waktu yang lain, tidaklah mustahil terciptanya yang baru dari yang qadim.

    Wujud Allah lebih dahulu dari alam dan zaman. Zaman baharu dan diciptakan. Sebelum zaman diciptakan tidak ada zaman. Sebenarnya pertentangan antara Al-Gazali dan filosof Muslim tentang qadimnya alam hanya pertentangan penafsiran antara teolog Muslim dan filosof Muslim. Filosof Muslim berkeyakinan bahwa penciptaan dari tiada (nihil) adalah suatu kemustahilan. Menurut Al-Gazali (juga teolog Muslim lain) bahwa yang qadim hanya Allah, sedangkan selain Allah adalah hadist (baharu)..[9]

    Bagi Al-Ghazali, bila alam itu dikatakan qadim, mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu diciptakan oleh Tuhan. Jadi paham qadim-nya alam membawa kepada simpulan bahwa alam itu ada dengan sendirinya, tidak diciptakan Tuhan. Dan, ini berarti bertentangan dengan ajaran Alquran yang jelas menyatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan segenap alam (langit, bumi, dan segala isinya).

    Bagi Al-Ghazali, alam haruslah tidak qadim dan ini berarti pada awalnya Tuhan ada, sedangkan alam tidak ada, kemudian Tuhan menciptakan alam, alam ada di samping adanya Tuhan. Sebaliknya, bagi para filsuf Muslim, paham bahwa alam itu qadim sedikit pun tidak dipahami mereka sebagai alam yang ada dengan sendirinya. Menurut mereka, alam itu qadim justru karena Tuhan menciptakannya sejak azali/qadim.

    5.      Ibnu Rusyd

    Menurut al-Ghazali, sesuai dengan keyakinan kaum teolog Muslim, alam diciptakan Allah dari tiada menjadi ada. Sedangkan filosof Muslim mengatakan bahwa alam ini qadim, dengan arti alam ini diciptakan dari sesuatu (materi) yang sudah ada.

    Menurut Ibnu Rusyd, Al-Ghazali keliru menarik kesimpulan bahwa tidak ada seorang filosof Muslim pun yang berpendapat bahwa qadimnya alam sama dengan qadimnya Allah, tetapi yang mereka maksudkan adalah yang ada berubah menjadi ada dalam bentuk lain.[10] Untuk memperkuat argumentasi rasionalnya itu, Ibn Rusyd mengutip Q.S. Hud ayat 7 yang berbunyi:

    وهوالذي خلق السموات والارض فى ستة ايام وكان عرشه علىالماءليبلو

    كم ايكم احسن عملا (هود:   )

    Artinya: “Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (Q.S. Huud: 7)

    Menurut Ibn Rusyd, ayat tersebut mengandung arti bahwa sebelum adanya wujud langit-langit dan bumi, telah ada wujud lain, yaitu wujud air yang diatasnya terdapat tahta kekuasan Tuhan.

    Dari ayat tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa sebelum bumi dan langit dijadikan, telah ada benda lain, yang diberi nama “air”. Dalam ayat lain disebut “uap”. Antara “air” dan “uap” cukup berdekatan, maka bumi dan langit itu dijadikan dari “uap” atau “air”, dan bukan dari ketiadaan. Dengan demikian, alam, dalam arti unsurnya, adalah bersifat kekal dari zaman lampau atau qadim.

    Menurut Ibn Rusyd, sungguh pun alam ini diciptakan karena “sebab” yang lain, namun boleh bersifat qadim, yaitu tidak mempunyai permulaan dalam wujudnya. Dengan demikian, qadim berarti sesuatu yang dalam kejadiannya bersifat kekal, terus menerus, tak bermula dan tak berakhir.[11]

    Bukti dari Tuhan menciptakan alam ini dari sesatu yang “ada” dapat dibuktikan melalui beberapa ayat diantaranya :

    1.         Al Qur’an Surat Hud, ayat 7, yang mengatakan secara garis besar bahwa sebelum ada wujud langit dan bumi telah ada wujud lain, yaitu wujud air yang diatasnya terdapat tahta kekuasaan Tuhan, ditegaskan lagi bahwa langit dan bumi diciptakan setelah ada air, tahta dan masa.

    2.         Al Qur’an surat Fushilat, ayat 11, dikatakan bahwa Tuhan menciptakan bumi dalam 2 masa, menghiasi bumi dengan gunung dan diisi dengan berbagai macam makanan, kemudian Tuhan naik ke langit yang masih merupakan uap, sehingga ditakwilkan langit tercipta dari uap.

    3.         Al Qur’an Surat Al Anbiya’, ayat 30, dikatakan bahwa bumi dan langit pada mulanya adalah satu unsur yang sama kemudian dipecah menjadi 2 benda yang berlainan.

    4.         Al Qur’an surat Ibrahim, ayat 47 – 48, disini menunjukkan bahwa alam ini sifatnya kekal yaitu dikatakan bahwa langit dan bumi akan ditukarkan dengan bumi dan langit yang lain, dan sekaligus membuktikan bahwa alam ini terwujud dan perwujudannya melalui proses yang terus menerus. [12]

    C.      Konsep Qadim dan Hadist berdasarkan Teolog Islam

    1.      Mazhab Hanbali

    Pengikut Ahmad bin Hanbal memandang bahwa kalam Ilahi itu berasal dari suara dan huruf yang ada dalam zat Allah Swt dan termasuk qadim. Sampai-sampai sebagian dari mereka meyakini secara ekstirm bahwa jilid dan pembungkus kitab al-Quran itu pun termasuk qadim.

    “Pertama bahwa zat Allah itu qadim, dan kedua adalah bahwa kalam itu sebagai sifat Allah, sifat bagi zat yang qadim harus juga qadim karena apabila sifat bagi zat qadim itu adalah hadis (baru-tercipta) maka akan menyebabkan perubahan pada zat qadim tersebut dan perubahan pada zat Allah adalah mustahil. Oleh karena itu, kalam Ilahi yang merupakan sifat Allah adalah qadim.”

    Qadhi ‘Adhiduddin mengatakan secara jelas bahwa akidah Hanbali mengenai hal itu adalah batil. Beliau menulis sebagai berikut, “kalam adalah sebuah eksistensi gradual yang antara satu huruf dengan huruf yang lain tercipta saling kebergantungan dan hal itu berarti hadis, kalam yang tersusun dari peristiwa tersebut maka pasti juga bersifat baru. Kalam adalah sebuah eksistensi yang berawal dan berakhir, oleh karena itu ia bersifat baru.”

    2.            Aliran Karamiyah

    Aliran Karamiyah meyakini bahwa kalam Ilahi terdiri dari suara dan huruf-huruf, dan kalam Ilahi itu bersifat hadis dan menyatu dengan zat Allah Swt, dan mereka mengatakan bahwa tidak ada masalah menggandengkan sifat hadis pada yang zat yang qadim.

    Allamah Hilli mengomentari pendapat Karamiyah sebagai berikut, “Wajib al-Wujud (Allah Swt) tidak menerima sifat yang hadis (yang baru) dengan tiga dalil: pertama, ke-hadis-an dan ke-baru-an pada zat Allah menyebabkan perubahan yang bersifat reaktif dalam diri-Nya dimana hal ini sangat berkontradiksi dengan zat Wajib al-Wujud, karena setiap perubahan itu merupakan sifat bagi benda-materi dan Allah bukanlah materi dan benda. Kedua, jika Allah Swt dipandang sebagai sebab dari sifat yang hadis ini, maka sifat yang hadis itu pun harus azali, karena sebabnya adalah azali, sementara anda mengatakan bahwa hadis tersebut adalah sesuatu yang baru terwujud (yakni pernah tiada dan sekarang menjadi ada), dan jika zat sebab itu bukan zat Wajib al-Wujud maka kemestiannya adalah dia memiliki sifat hadis dan membutuhkan kepada sesuatu yang lain, dan hal ini juga tidak layak bagi Wajib al-Wujud. Ketiga, hadis itu jika termasuk sifat kamaliyah (sifat kesempurnaan) maka mustahil sifat tersebut tidak termasuk dalam jajaran sifat-sifat Tuhan, karena Tuhan niscaya memiliki seluruh sifat kesempurnaan dan apabila hadis itu merupakan sifat cacat dan kekurangan maka mustahil Tuhan memiliki sifat tersebut.

    3.            Akidah Asy’ariah

    Kaum Asy’ariah meyakini bahwa kalam itu adalah qadim dan menyatu dengan zat Allah. Abu al-Hasan al-Asy’ary berkata, “Allah berbicara dengan kalam, dan kalam-Nya itu bersifat qadim, karena raja memiliki kekuasaan pada rakyat, dan penguasa senantiasa memerintah dan melarang rakyatnya, maka dia adalah penguasa. Penguasa apakah memerintahkan sesuatu yang qadim atau memerintahakan sesuatu yang hadis. Jika hadis maka apakah dia akan menyatu dan eksis pada zat Allah itu sendiri? Hadis mustahil menyatu dan eksis pada zat Allah karena akan menyebabkan zat Allah sebagai wadah bagi hadirnya sesuatu yang baru. Dan hal ini pasti mustahil. Demikian pula, mustahil kalam itu menyatu dan eksis pada wadah yang lain, karena akan menyebabkan wadah tersebut memiliki sifat kalam dan akan disebut sebagai mutakkalim. Demikian pula, mustahil eksis pada wadah selain zat Allah, oleh karena itu kalam Allah itu bersifat qadim dan eksis pada zat Allah serta menjadi sifat Allah.”

    Oleh karena itu, dalam akidah Asy’ariah kalam itu akan terwujud secara berangsur-angsur dan hadis dalam bentuk ibarat dan lafaz. Ibarat dan lafaz itu tidak menyatu dengan zat Allah dan tidak bisa dikatakan hakikat kalam Allah, tetapi mereka meyakini bahwa kalam hakiki Allah adalah makna dari kata-kata yang dilafazkan yang bersifat qadim dan menyatu serta eksis pada zat Allah Swt.

    4.             Akidah Imamiah dan Muktazilah

    Imamiah dan Muktazilah setelah menggugurkan pandangan Asy’ariah, berpendapat bahwa kalam Ilahi itu adalah hadis dan mereka mengatakan sebagai berikut: “Kalam Ilahi seperti kalam manusia yang terdiri dari huruf dan suara yang mengindikasikan sebuah makna khusus. Perbedaannya adalah manusia ketika hendak mengungkapkan kalam membutuhkan lidah dan mulut serta tempat keluarnya huruf-huruf, sementara Allah tidak membutuhkan hal tersebut. Oleh karena itu, kalam memiliki eksistensi gradual dan sistematik yang berarti hadis. Kalam itu terdapat di tempat lain, tetapi bukan pada zat Allah. Yang dimaksud dengan Allah sebagai Sang Mutakallim adalah tercipta dan terlahir kalam darinya, bukan bermakna bahwa kalam itu menyatu dan eksis pada dirinya, hal ini berbeda dengan suatu sifat seperti mengetahui, kodrat, atau warna hitam dan putih dimana menyatu dengan zatnya”.

    Dikatakan, “Allah menciptakan dan mengadakan suara dan huruf yang memiliki makna dan kemudian hadir dalam bentuk berita, perintah, larangan, atau pertanyaan. Oleh karena itu, kalam Ilahi adalah salah satu dari perbuatan Allah dan hadis, seperti mencipta, memberi rezki, menghidupkan dan mematikan.”

    Sebagaimana telah ketahui bahwa Muktazilah dan Imamiah meyakini bahwa kalam Ilahi itu adalah suara dan huruf-huruf yang memiliki makna yang Allah ciptakan pada suatu tempat, dan dengan perantaraan inilah Allah menyampaikan maksud dan tujuan-Nya. Kalam Ilahi memiliki eksistensi gradual dan hadis dalam rentangan zaman dan waktu, dan maksud dari Allah sebagai Mutakallim adalah Allah menciptakan suara dan huruf-huruf. Sumber dan asal kalam Allah adalah sifat kodrat dan iradah-Nya yang tanpa membutuhkan lidah dan mulut.

    5.            Pandangan Mu’ammar bin Ubbad dan Sebagian Ilmuwan Kristen.

    Al-Quran adalah sesuatu yang aksidental, dan mustahil Allah menciptakan dan menurunkan al-Quran. Karena menurut mereka, mustahil sesuatu yang aksidental itu terlahir dari perbuatan Allah. Mereka mengatakan bahwa al-Quran adalah terwujud dari suatu tempat yang memancarkan kalam itu.

    Dalam catatan Rawandi dan Khayaat tertulis: “Mu’ammar meyakini bahwa al-Quran bukan hasil perbuatan Allah, dan bukan sifat Tuhan, akan tetapi suatu kejadian yang hadir secara alamiah dan natural.

    Pandangan tersebut juga diyakini oleh sebagian ilmuwan kristen sebagaimana dikutip, “Dalam naskah tercatat bahwa wahyu asli adalah Masehi itu sendiri, kalimat Allah dalam bentuk manusia, kitab suci hanyalah kitab tulisan tangan manusia yang menjadi saksi atas hakikat wahyu tersebut. Perbuatan Allah dalam eksistensi masehi dan kitab suci hadir dengan perantaraan masehi, dan kitab suci itu tidak hadir dengan cara pendiktean langsung dari Allah.”

    Kesimpulan dari kajian di atas adalah al-Quran dan seluruh kitab suci samawi bukan ciptaan Tuhan, akan tetapi hasil perbuatan para nabi dimana Allah menciptakan wujud mereka dalam kondisi yang istimewa sedemikian sehingga mampu menyampaikan tujuan, iradah, maksud dan penjelasan Allah Swt.[13]

    BAB III

    PENUTUP

    A.      Kesimpulan

    Menurut Al-Kindi bahwa alam semesta baharu dan diciptakan dari tiada oleh yang menciptakannya, yakni Allah. Berbeda dengan pendapat Al-Farabi bahwa alam semesta diciptakan bukan dari tiada, melainkan dari sesuatu yang ada. Sedangkan Al-Razi mengatakan bahwa dua yang hidup dan aktif yaitu Allah dan roh. Satu diantaranya tidak hidup dan pasif, yakni materi. Dan yang tidak hidup, tidak aktif, dan tidak pula pasif, yakni ruang dan masa. Pendapat Al-Gazali bahwa alam haruslah tidak qadim dan ini berarti pada awalnya Tuhan ada, sedangkan alam tidak ada, kemudian Tuhan menciptakan alam, alam ada di samping adanya Tuhan, dan Menurut Ibn Rusyd, sungguh pun alam ini diciptakan karena “sebab” yang lain, namun boleh bersifat qadim, yaitu tidak mempunyai permulaan dalam wujudnya.

    Pengikut Ahmad bin Hanbal dan Kaum Asy’ariah memandang bahwa kalam Ilahi itu qadim berasal dari suara dan huruf yang ada dalam zat Allah Swt dan menyatu dengan zat Allah. Sedangkan Aliran Karamiyah dan Imamiah serta Muktazilah meyakini bahwa kalam Ilahi terdiri dari suara dan huruf-huruf, dan kalam Ilahi itu bersifat hadis. “Mu’ammar meyakini bahwa al-Quran bukan hasil perbuatan Allah, dan bukan sifat Tuhan, akan tetapi suatu kejadian yang hadir secara alamiah dan natural.

    B.       Saran

    Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis senantiasa dengan lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan karya-karya berikutnya.

    DAFTAR PUSTAKA

    Penyusun MKD, Tim. 2011. Pengantar Filsafat. Surabaya : IAIN Sunan Ampel Press

    Penyusun MKD, Tim. 2011. Studi Hadist. Surabaya : IAIN Sunan Ampel Press

    Nasution, Harun. 2010. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang

    Susanto. 2011. Filsafat Ilmu. Jakarta: Bumi Aksara

    Zar, Sirajuddin. 2010. FILSAFAT ISLAM Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: RajaGrafindo Persada

    www.alhassanain.com

    www.elfilany.com

    http://syiahali.wordpress.com

  • Makalah Teori Istinbath dan Istidlal

    Teori Istinbath dan Istidlal

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Sebagaimana diketahui, sumber pokok Hukum Islam adalah wahyu, baik yang tertulis (kitab Allah/Al-Qur’an) maupun yang tidak tertulis (Sunnah Rasulullah). Materi-materi hukum yang terdapat di dalam sumber tersebut, secara kuantitatif terbatas jumlahnya. Karena itu terutama setelah berlalunya zaman Rasulullah, dalam penerapannya diperlukan penalaran.

    Permasalahan-permasalahan yang tumbuh dalam masyarakat adakalanya sudah ditemukan nashnya yang jelas dalam kitab suci Al-Qur’an atau Sunnah Nabi, tetapi adakalanya yang ditemukan dalam Al-Qur’an atau Sunnah Nabi itu hanya berupa prinsip-prinsip umum. Untuk pemecahan permasalahan-permasalahan baru yang belum ada nashnya secara jelas, perlu dilakukan istinbath hukum, yaitu mengeluarkan hukum-hukum baru terhadap permasalahan yang muncul dalam masyarakat dengan melakukan ijtihad berdasarkan dalil-dalil yang ada dalam Al-Qur’an atau Sunnah.

    Dengan jalan istinbath itu hukum Islam akan senantiasa berkembang seirama dengan terjadinya dinamika perkembangan masyarakat guna mewujudkan kemaslahatan dan menegakkan ketertiban dalam pergaulan masyarakat serta menjamin hak dan kewajiban masing-masing individu yang berkepentingan secara jelas.

    Bagi seseorang yang hendak melakukan ijtihad, maka ilmu ushul fikih mutlak diperlukan karena ia merupakan alat atau bahan acuan dalam melakukan istinbath hukum.Dalam makalah ini akan dibahas teori istinbath dan istidlal yang digunakan dala studi hukum islam.

    B.     Rumusan Masalah

    1.      Apa pengertian istinbath dan istidlal ?

    2.      Bagaimana teori istinbath dan istidlal ?

    C.    Tujuan

    1.      Untuk mengetahui pengertian istinbath dan istidlal.

    2.      Untuk mengetahui teori istinbath dan istidlal.

    BAB II

    PEMBAHASAN

    A.      Teori Istinbath

    1.      Pengertian Istinbath

    Istinbath” berasal dari kata “nabth” yang berarti : “air yang mula-mula memancar keluar dari sumur yang digali”. Dengan demikian, menurut bahasa, arti istinbath ialah “mengeluarkan sesuatu dari persembunyiannya”.[1] Setelah dipakai sebagai istilah dalam studi hukum islam, arti istinbath menjadi “upaya mengeluarkan hukum dari sumbernya”. Makna istilah ini hampir sama dengan ijtihad. Fokus istinbath adalah teks suci ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi. Karena itu, pemahaman, penggalian, dan perumusan hukum dari kedua sumber tersebut disebut istinbath.

    Upaya istinbath  tidak akan membuahkan hasil yang memadai, tanpa pendekatan yang tepat. Tentu saja pendekatan ini terkait dengan sumber hukum. Menurut ‘Ali Hasaballah, sebagaimana dikutip oleh Nasrun Rusli,[2] melihat ada dua cara pendekatan yang dikembangkan oleh para pakar dalam melakukan istinbath, yakni melalui kaidah-kaidah kebahasan dan melalui pengenalan maksud syariat.

    Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang akan melakukan istinbath atau ijtihad adalah sebagai berikut :

    a.       Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan masalah hukum.

    b.      Memiliki pengetahuan yang luas tentang hadis-hadis Nabi yang berhubungan dengan masalah hukum.

    c.       Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh Ijma’, agar dalam menentukan hukum sesuatu, tidak bertentangan dengan Ijma’.

    d.      Meiliki pengetahuan yang luas tentang qiyas, dan dapat mempergunakannya untuk istinbath hukum.

    e.       Mengetahui ilmu logika, agar dapt mengahasilkan kesimpulan yang benar tentang hukum, dan sanggup mempertanggungjawabkannya.

    f.        Menguasai bahasa Arab secara mendalam karena al-Qur’an dan Sunnah tersusun dalam bahasa Arab, dll.[3]

    2.      Kontruksi Hukum dengan Analisa Tata Bahasa

    Maksud analisa tata bahasa adalah memahami bahasa teks yang tampak. Teks ini bisa diucapkan, ditulis, dan dipahami pengertiannya.[4] Sasaran kajian teks ini adalah ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang termaktub dalam kitab-kitab hadis. Teks tersebut ditulis dalm bahasa Arab, sehingga penalarannya juga menggunakan kajian bahasa Arab.

    Dilihat dari segi cakupannya, ada pernyataan hukum yang bersifat umum dan ada juga yang bersifat khusus. Sasaran hukum dalam pernyataan hukum yang umum adalah tanpa pengecualian. Ungkapan “barangsiapa” berarti menunjuk kepada siapapun, jenis kelamin apapun, generasi manapun tanpa pembatasan. Sedangkan pernyataan khusus mengandung pengertian tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas. Para pakar studi hukum islam sepakat bahwa pernyataan hukum yang khusus bersifat final dan pasti sehingga menutup pengertian yang lain. Namun demikian, pernyataan hukum yang khusus ini ada yang bersifat mutlak tanpa pembatasan dan ada pula yang dibatasi.[5]

    Suatu pernyataan dianggap mutlaq jika tidak ada pembatasan sama sekali yang mempersempit keluasan pengertiannya. Sebaliknya pernyataan dianggap terbatas karena ada pembatasan yang mempersempit pengertiannya.

    Dalam al-Qur’an, banyak terjadi pengulangan kata, baik yang mutlak maupun maupun terbatas. Para studi hukum Isam membuat rumusan mengenai hal ini. Jika kata yang diulangi bermakna mutlak semua, maka maknanya juga mutlak dan sebaliknya.

    Akan tetapi jika pengulangan itu membuat kata yang mutlak dan terbatas dalam tempat yang berlainan, maka terdapat dua kemungkinan makna, Pertama, kata yang mutlak diberi pembatasan sesuai kata yang terbatas. Kedua, kata yang mutlak tidak dibatasi sebagaimana kata yang terbatas, jika masing-masing berbeda dalam hukum dan sebabnya.

    Selain mutlak dan terbatas, pernyataan hukum yang khusus juga disertai perintah dan larangan. Perintah adalah tuntutan untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada yang lebih rendah. Larangan adalah tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada yang lebih rendah tingkatannya.[6] Perintah menuntut pelaksanaan, bukan perdebatan. Begitu pula, larangan mengharuskan untuk ditinggalkan. Ketaatan terhadap perintah dan larangan Allah mendapatkan pahala dan sebaliknya penentangannya akan mendapatkan dosa.

    3.      Kontruksi Hukum dengan Analisa Makna

    Pernyataan hukum tentu mengandung makna yang dapat dikontruksikan. Ada empat teknik analisa untuk menggali hukum melalui makna suatu pernyataan hukum yaitu analisa makna terjemah (‘ibarah nash), analisa pengembangan makna (dilalah al-nash), analisa kata kunci dari suatu pernyataan (isyarah al-nash), dan analisa relevansi makna (iqtidla’ al-nash). Untuk menerapkan keempat teknik analisa tersebut, dapat dikemukakan contoh penggalan ayat 23 surat al-Nisa’ yang bisa diterjemahkan:

    ………………………………….

    “Diharamkan atas kalian ibu-ibu kalian dan putri-putri kalian….”. Ternyata, terjemahan ini tidak bisa dipahami, sehingga muncul pertanyaan, “Dalam hal apakah, orang laki-laki diharamkan atas ibunya dan putrinya?’. Agar bisa dipahami perlu tambahan kata yang relevan pada penggalan ayat diatas. Relevansinya didasarkan pada ayat sebelum dan sesudahnya, sehingga kata yang relevan sebagai tambahan adalah “menikahi”. Inilah kontruksi hukum dengan analisa relevansi makna. (istidla’ al-nash). Penting dicatat bahwa tambahan ini bukan berarti menambahi ayat Al-Qur’an, apalagi merubahnya, melainkan memudahkan pemahaman saja. Karena penggalan ayat tersebut bisa dipahami jika terjemahnya berbunyi : “Diharamkan atas kalian (menikahi) ibu-ibu dan putri-putri kalian….”.

    Terjemah penggalan ayat tersebut memberikan dua pengertian yaitu orang laki-laki dilarang menikahi ibunya dan putri kandungnya. Pengertian sederhana ini merupakan hasil analisa makna terjemah (‘ibarah al-nash). Jika makna ini diperluas lagi, maka muncul banyak kesimpulan hukum. Perluasan makna ini merupakan analisa pengembangan makna (dilalah al-nash). Kata kunci dari penggalan ayat tersebut adalah “diharamkan atas kalian”. Ketika keharaman itu disertai dengan kata kunci “atas kalian” maka hal itu akan menunjukkan bahaya dan kerusakan bila hukum haram itu dilakukan. Pemahaman ini adalah hasil dari analisa kata kunci “(isyarah al-nash).

    B.     Teori Istidlal

    1.      Pengertian Istidlal

    Secara bahasa, kata istidlal berasal dari kata Istadalla yang berarti: minta petunjuk, memperoleh dalil, menarik kesimpulan. Imam al-Dimyathi memberikan arti istidlal secara umum, yaitu mencari dalil untuk mencapai tujuan yang diminta.[7] Dalam proses pencarian, al-Qur’an menjadi rujukan yang pertama, al-Sunnah menjadi alternatif kedua, Ijma’ menjadi yang ketiga dan Qiyas pilihan berikutnya. Apabila keempat dalil belum bisa membuat keputusan hukum, maka upaya berikutnya adalah mencari dalil yang diperselisihkan para ulama, seperti istihsan, Maslahah Mursalah, dll. Dengan demikian, teori istidlal merupakan pencarian dalil-dalil diluar keempat dalil tersebut.

    Menurut bahasa, kata dalil mengandung beberapa makna yakni: penunjuk, buku petunjuk, tanda atau alamat, daftar isi buku, bukti dan saksi. Menurut kebiasaan para pakar studi hukum islam diartikan dengan “sesuatu yang mengandung petunjuk (dalalah) atau bimbingan (irsyad).” Definisi tentang dalil yang lebih mengarah pada landasan hukum yang dikemukakan oleh ‘Abd al-Wahhab Khallaf yaitu “sesuatu yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam  memperoleh hukum syara’ yang bersifat praktis.” Jadi dalil merupakan landasan bagi para pakar studi hukum islam dalam menetapkan suatu ketetapan hukum untuk diterapkan secara praktis oleh seseorang atau masyarakat. Ketetapan bisa bersifat qath’i (pasti) atau zhanni (tidak pasti).

    2.      Macam-macamn Dalil

    Dilihat dari segi keberadaannya, dalil dapat dibedakan menjadi dua macam. Pertama, dalil-dalil hukum keberadaannya  terdapat dalam teks suci yaitu al-Qur’an dan Sunnah yang disebut dengan dalil naqli. Kedua, dalil-dalil hukum yang keberadaannya tidak terdapat dalam teks suci, melainkan dirumuskan melalui analisis pemikiran yang disebut dengan dalil ‘Aqli. Berdasarkan pengertian ini, para ulama menempatkan sebelas dalil sebagai landasan penetapan suatu hukum, yaitu: Al-Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas, istihsan, istishlah, istishhab, sad al-dzari’ah, ‘urf (tradisi), syar’u man qablana (syariah sebelum masa nabi Muhammad SAW), dan madzhab al-shahabi (pendapat sahabat Nabi).

    a.       Al-Qur’an

    Secara bahasa, al-Qur’an dari kata qara’a yang berarti “bacaan” atau “apa yang tertulis padanya” Al-Qur’an didefinisikan sebagai berikut:

     “ Kalam Allah, mengandung mukjizat dan diturunkan kepada Rasulullah, Muhammad SAW, dalam bahasa yang dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah, terdapat dalam mushaf, dimulai dari surah al-Fatihah dan diakhiri an-Nas”.

    Kaum muslim sepakat menerima Al-Qur’an sebagai dalil atau sumber hukum yang paling asasi.

    b.      Sunnah

    Menurut bahasa, sunnah berarti “jalan yang biasa dilaui” atau “cara yang senantiasa dilakukan”. Secara istilah, sunnah adalah segala yang diriwayatkan Nabi baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapan sifatya yang berkaitan dengan hukum.

    c.       Ijma’

    Menurut bahasa, Ijma’ berarti kesepakatan atau konsensus. Ijma’ terbagi menjadi dua bentuk yaitu Ijma’ sharih dan Ijma’ sukuti. Ijma’ sharih adalah kesepakatan para mujtahid, baik melalui pendapat maupun melalui perbuatan terhadap hukum masalah tertentu. Ijma’ sukuti adalah pendapat sebagian mujtahid tentang hukum masalah dan tersebar luas, sementara sebagian mujtahid lainnya hanya diam saja setelah meneliti pendapat mujtahid yang lainnya, tanpa ada yang menolak pendapat tersebut.

    d.      Qiyas

    Arti Qiyas secara bahasa adalah ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan atau menyamakan sesuatu dengan yang lain. Qiyas memiliki empat rukun yaitu Ashl (wadah hukum yang diterapkan melalui nash atau ijma’), far’u (kasus yang akan ditentukan hukumnya), illat (motivasi hukum yang terdapat dan terlihat oleh mujtahid  ashl), dan hukm al-asl (hukum yang telah ditentukan oleh nash atau ijma’).

    e.       Istihsan

    Dari segi bahasa, Istihasan  berarti “menganggap atau memandang baik pada sesuatu”. Dari segi istilah, istihsan ialah meninggalkan Qiyas dan mengamalkan yang lebih kuat darinya, karena terdapat dalil atau alasan yang menghendakinya. Sedangkan pendapat para ulama berbeda-beda dalam mengartikan istihsanIstihsan dilakukan antara lain jika terjadi konflik kepentingan, yaitu kepentingan yang ruang lingkupnya lebih sempit, jika ketentuan hukum pada dalil khusus dilaksanakan secara apa adanya, dengan kepentingan yang ruang lingkupnya lebih jelas, yang didukung oleh ketentuan hukum pada dalil yang umum sifatnya.

    f.       Istishlah

    Istilah lain dari istishlah adalah Maslahah Mursalah. Dari segi bahasa, istishlah berarti baik. Istishlah didefinisikan sebagi upaya penetapan hukum yang didasarkan atas kemaslahatan atau kebaikan. Maslahah terbagi tiga yaitu; yang diterima syara’, yang ditolak oleh syara’ dan yang diperselisihkan oleh ulama muslim karena tidak ada dalil, baik yang menerima maupun yang menolaknya.[8]

    Penggunaan Istishlah harus memenuhi persyaratan yaitu bukan diukur dengan dugaan semata, sifatnya umum bukan perorangan , tidak bertentangan dengan dalil syara’ yang lain, serta diamalkan dalam kondisi yang memerlukan. Menetapkan ketentuan hukum dengan berdasarkan maslahah mursalah, merupakan bidang yang amat subur untuk mengembangkan hukum islam, khususnya dalam muamalah kemasyarakatan.

    g.      Istishhab

    Dari segi bahasa, istishhab berarti “minta bersahabat” atau membandingkan sesuatu dan mendekatkannya”. Definisi istishhab ialah melestarikan suatu ketentuan hukum yang telah ada pada masa lampau, hingga ada dalil yang mengubahnya.

    Ada dua macam istishhab: Pertama, melangsungkan berlakunya hukum akal mengenai kebolehan atau bebas-asal, pada saat tidak dijumpainya dalil yang mengubahnya. Missal, segala macam makanan dan minuman, yang tidak terdapat dalil syara’ tentang keharamannya adalah mubah atau halal. Kedua, melngsungkan berlakunya hukum syara’ berdasarkan suatu dalil, dan tidak ada dalil lain yang mengubahnya. Misal, jika seseorang telah berwudhu, kemudian ragu-ragu apakah wudhunya telah batal atau belum, maka ia dihukumi belum batal atas dasar keadaan wudhu sebelumnya yang diyakininya. Maka Istishhab hanya menjadi hujah untuk melangsungkan hukum tidak menetapkan hukum baru yag sebelumnya belum ada.

    h.      ‘Urf

    Menurut bahasa, ‘Urf berarti “yang kenal”. Definisi ‘Urf ialah “sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional”. Lebih lengkapnya ‘Urf adalah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia karena telah menjadi kebiasaan atau tradisi, baik bersifat perkataan, perbuatan, atau kaitannya dengan meninggalkan perbuatan tertentu.

    ‘Urf dibagi menjadi 2 macam yaitu ‘urf shahih dan ‘urf fasid. ‘Urf shahih adalah tradisi yang tidak berlawanan dengan dalil syara’ serta tidak menghalalkan yang haram dan tidak pula menggugurkan kewajiban.  ‘Urf fasid adalah tradisi yang berlawanan dengan syara’ atau menghalalkan yang haram dan menggugurkan kewajiban.

    i.        Sadd al-Dzari’ah

    Secara bahasa, sad berarti “penutup” dzariah berarti “jalan yang menuju kepada sesuatu” atau “sesuatu yang membawa kepada yang dilarang dan mengandung kemudharatan”. Menurut pakar studi hukum Islam, dzariah berarti sesuatu yang menjadi perantara kearah perbuatan yang diharamkan. Dengan demikian, Sadd al-Dzariah berarti menutup segala sesuatu yang menjadi sarana kepada yang diharamkan atau yang dihalalkan.

    j.        Madzhab Shahabi

    Mazhab Shahabi adalah pendapat para sahabat Nabi tentang suatu kasus yang dikutip oleh para ulama, baik berupa fatwa atau ketetapan hukum. Sementara itu, al-Qur’an dan Sunnah tidak menjelaskan hukum terhadap kasus yang dihadapi sahabat tersebut serta tidak ditemukan kesepakatan para sahabat yang menetapkan para sahabat tersebut. Maka dalam hal ini terdapat empat pendapat ulama. Pertama, pendapat sahabat tidak dapat dijadikan dalil hukum. Kedua, pendapat shabat Nabi dapat dijadikan dalil hukum dan didahulukan dari Qiyas. Ketiga, madzhab sahabat dapat dijadikan dalil hukum bila dikuatkan dengan Qiyas. Keempat,  madzhab sahabat dapat dijadikan dalil hukum bila bertentangan dengan Qiyas. Pertentangan menunjukkan bahwa pendapat tersebut bukan bersumber dari Qiyas, melainkan dari Sunnah.

    BAB III

    PENUTUP

    A.      Simpulan

    Istinbath adalah menggali hukum syara’ yang belum ditegaskan secara langsung oleh nash Al-Qur’an atau Sunnah. Dilihat dari segi cakupannya, ada pernyataan hukum yang bersifat umum dan ada juga yang bersifat khusus. Sasaran hukum dalam pernyataan hukum yang umum adalah tanpa pengecualian, sedangkan pernyataan khusus mengandung pengertian tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas. Ada empat teknik analisa untuk menggali hukum melalui makna suatu pernyataan hukum yaitu analisa makna terjemah, analisa pengembangan makna, analisa kata kunci dari suatu pernyataan, dan analisa relevansi makna.

    Istidlal adalah mencari dalil untuk mencapai tujuan yang dimintaDalam proses pencarian, al-Qur’an menjadi rujukan yang pertama, al-Sunnah menjadi yang kedua, Ijma’ menjadi yang ketiga dan Qiyas pilihan berikutnya. Dilihat dari segi keberadaannya, dalil dapat dibedakan menjadi dua macam. Pertama, dalil-dalil hukum keberadaannya  terdapat dalam teks suci yaitu al-Qur’an dan Sunnah yang disebut dengan dalil naqli. Kedua, dalil-dalil hukum yang keberadaannya tidak terdapat dalam teks suci, melainkan dirumuskan melalui analisis pemikiran yang disebut dengan dalil ‘Aqli. Berdasarkan pengertian ini, para ulama menempatkan sebelas dalil sebagai landasan penetapan suatu hukum, yaitu: Al-Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas, istihsan, istishlah, istishhab, sad al-dzari’ah, ‘urfsyar’u man qablana, dan madzhab al-shahabi.

    B.       Saran

    Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis senantiasa dengan lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan makalah berikutnya.

    DAFTAR PUSTAKA

    Bagir Haidar dan Syafiq Basri. 1996. Ijtihad Dalam Sorotan. Bandung: Mizan Anggota IKAPI

    Effendi Satria. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana

    Haq Hamka, 1998. Falsafah Ushul Fikih. Ujung Pandang: Yayasan al-Ahkam

    Rusli Nasrun. 1997. Konsep Ijtihad Asy-Syaukani Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Logos Wacana Ilmu

    Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel. 2011. Studi Hukum Islam, Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press

    http://fush.uin-suska.ac.id/attachments/073_Mahmuzar.pdf pada tanggal 18 Maret 2012

  • Makalah Nasikh dan Mansukh

    Nasikh dan Mansukh

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Al Qur’an merupakan sumber ilmu yang takkan habis-habisnya untuk dikaji dan diteliti. Banyak cabang-cabang ilmu pengetahuan yang digali dari Al-Qur’an. Dalam makalah ini kami mencoba sedikit membahas tentang ilmu Nasikh Mansukh yang cukup panjang pembahasannya, namun kami telah berusaha untuk lebih teliti dan jeli dalam mempelajarinya. Dengan harapan sebagai seorang muslim yang taat dan paham kita semakin memahami isi kandungan Al-Qur’an secara benar dan baik.

    Di samping itu, tuntutan kebutuhan setiap umat terkadang berbeda satu dengan yang lain. Apa yang cocok untuk satu kaum pada suatu masa mungkin tidak cocok lagi pada masa lain. Oleh karena itu wajarlah jika Allah menghapuskan suatu huum syara’ dengan huku syara’ yang lain untuk menjaga kepentingan para hamba berdasarkan pengetahuan-Nya tentang yang pertama dan yang berikutnya.

    B. Rumusan Masalah

    1. Apa yang dimaksud dengan nasikh dan mansukh ?
    2. Bagaimana pendapat ulama mengenai nasikh dan mansukh ?
    3. Apa urgensi mempelajari nasikh dan mansukh ?

    C. Tujuan

    1.      Untuk mengetahui pengertian nasikh dan mansukh.

    2.      Untuk mengetahui pendapat ulama mengenai nasikh dan mansukh.

    3.      Untuk mengetahui urgensi mempelajari nasikh dan mansukh.

    Bab II. Pembahasan

    A.      Pengertian Nasikh Mansukh

    Nasikh secara etimologi yaitu menghapus / mengganti / memindahkan / mengutip. Sedangkan secara terminologi, nasikh berarti menghapus suatu hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datang kemudian, dengan catatan kalau sekiranya tidak ada nasikh itu tentulah hukum yang pertama akan tetap berlaku.[1] Seperti terlihat dalam surat Al-Baqarah ayat 106 sebagai berikut :[2]

    Artinya : “Ayat mana saja[3] yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”

    Mansukh secara etimologi yaitu sesuatu yang diganti. Sedangkan secara terminologi, mansukh berarti hukum syara’ yang menempati posisi awal, yang belum diubah dan belum diganti dengan hukum syara’ yang datang kemudian.  

    Arti nasikh mansukh dalam istilah fuqaha’ antara lain:

    1.   Membatalkan hukum yang telah diperoleh dari nas yang telah lalu dengan suatu nas yang baru datang. Seperti cegahan terhadap ziarah kubur oleh Nabi, lalu Nabi membolehkannya.

    2.   Mengangkat nas yang umum, atau membatasi kemutlakan nas seperti :

    a.       Surat Al-Baqarah ayat 228;

    Artinya : “wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ ”[4]

    b.      Surat Al-Ahzab ayat 49;

    Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut’ah[5] dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.”

    Nas yang pertama umum; termasuk didalamnya istri yang sudah                                                                                                     didukul (dicampuri) dan yang belum. Sedang nas yang kedua khusus tertuju pada istri yang belum didukhul.

    Terjadinya Nasikh-Mansukh mengharuskan adanya syarat-syarat berikut :

    1.   Hukum yang mansukh adalah hukum syara’.[6]

    2.   Adanya dalil baru yang mengganti (nasikh) harus setelah ada tenggang waktu dari dalil hukum yang pertama (mansukh).

    3.   Antara dua dalil nasikh dan mansukh harus ada pertetangan yang nyata (kontradiktif).

    4.   Dalil yang mengganti (nasikh) harus bersifat mutawatir.

    B.     Pendapat Ulama Mengenai Nasikh Mansukh

     Timbulnya sikap ulama menanggapi isu nasikh dan mansukh sebenarnya dalam rangka merespon surat An-Nisa’ ayat 82 ;

    Artinya : “kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.”

    Berikut sikap pro dan kontra dari para ulama tentang tepri nasikh-mansukh :

    1.   Pendukung teori nasikh-mansukh. Ulama-ulama yang berpendapat seperti ini adalah Imam Syafi’i (204 H), An Nahas (388 H), As Suyuti (911 H) dan Asy Syukani (1250 H). Dasar teori nasikh-mansukh dalam konteks makna tersebut antara lain : [7]

    a.       Surat Al-Baqarah ayat 106 :

    Artinya : “Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”

    b.      Surat An-Nahl ayat 101 :

    Artinya : ” Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: “Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja”. bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.”

    c.       Adanya kenyataan bahwa beberap ayat ada yang menunjukkan gejala kontradiksi. Misalnya dalam penelitian an-Nahas (388 H) terdapat ayat yang berlawanan dengan ayat-ayat yang lain berjumlah 100  ayat, menurutnya realitas yag diteukan tersebut, mengindikasikan adanya ayat-ayat yang di-mansukh. Kemudian jauh sesudahnya As Suyuti (911 H) hanya menemukan 9 ayat saja. Selanjutnya Asy Syukani (1250 H), bahkan hanya menemukan 8 ayat saja yang tidak mampu dikompromikan.

    2.   Penolak teori nasikh-mansukh. Ulama-ulama yang berpendapat seperti ini adalah antara lain : Abu Muslim Al Ashfahany (322 H), Imam Al Fakhrur Razy-Syafi’i Mazhaban (605H), Muhammad Abduh (1325 H), Sayyid Rasyid Ridla (1354 h), Dr, Taufiq Shidqy dan Ustadz Khudhaybey. Alasan mereka antara lain :

    a.       Jika di dalam al-Quran ada ayat-ayat yang mansukh berarti membatalkan sebagian isinya. Membatalkan isinya berarti menetapkan bahwa di dalam al-Quran ada yang batal (yang salah). Padahal Allah telah menerangkan ciri al-Quran antara lain dala surat Fussilat ayat 42 :

    ž

    Artinya : “Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.”

    b.      Al-Quran adalah syariat yang diabadikan hingga ahir zaman dan menjadi hujjah bagi manusia sepanjang zaman.

    c.       Kebanyakan ayat-ayat yang tertuang di dalam al-Quran bersifat kulliyah bukan juz’iy-khas, dan hukum-hukumnya di dalam al-Quran diterangkan secara ijmaly bukan secara khas.

    d.      Al-Quran surat al-Baqarah ayat :106 tidak memastikan kepada adanya naskh ayat al-Quran.

    e.       Adanya ayat-ayat yang sepintas nmpk kontradiksi, tidak memastikan adanya naskh.

    C.    Urgensi Mempelajari Nasikh dan Mansukh

    Ilmu nasikh-mansukh dalam penggalian ajaran dan hukum Islam dalam al-Quran sangat penting untuk mengetahui proses tshri’ (penetapan dan penerapan hukum) Islam sejalan dengan dinamika kebutuhan masyarakatnya yang selalu berubah, sejuhmana elastisitas ajaran dan hukumnya, serta sejauhmana perubahan hukum itu berlaku. Disamping itu untuk menelusuri tujuan ajaran, dan illat hukum (alasan ditetapkannya suatu hukum), sehingga suatu hukum dan ajarannya boleh diberlakukan secara longgar dan ketat sebagaimana hukum asalnya sesuai kondisi yang mengitarinya atas dasar tujuan ajaran dan illat hukum tersebut.

    BAB III

    PENUTUP

    A.      Simpulan

     Nasikh yaitu menghapus suatu hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datang kemudian. Sedangkan mansukh yaitu hukum syara’ yang menempati posisi awal, yang belum diubah dan belum diganti dengan hukum syara’ yang datang kemudian.

    Ada dua pendapat para ulama tentang teori nasikh-mansukh yaitu ada yang mendukung atau setuju dan ada yang menolak atau tidak setuju jika terdapat nasikh dan mansukh didalam al-Quran.

    Urgensi mempelajari nasikh dan mansukh adalah untuk mengetahui proses tashri’ (penetapan dan penerapan hukum) Islam dan untuk menelusuri tujuan ajaran, serta illat hukum (alasan ditetapkannya suatu hukum).

    B.       Saran

    Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis senantiasa dengan lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan makalah berikutnya.

    DAFTAR PUSTAKA

    Abdul HA, Djalal, H. Prof., Dr. 2000. Ulumul Qur’an (Edisi Lengkap). Surabaya : Dunia Ilmu.

    AL-Khattan, Manna’ Khalil. 2006. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa

    Ash-Shiddieqy, Teungku M. Hasbi. 2000. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir. Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra

    Chirzin, Muhammad. 1998. Al-Qur’an Dan Ulumul Qur’an. Jakarta : Dana Bhakti Prima Yasa.

    DEPAG. 2002. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta

    Denffer, Ahmad. 1988. Ilmu Al-Qur’an. Jakarta : Rajawali.

    Syaikh Muhammad Bin Sholel al Utsaimin. 2004. Pengantar Ilmu Tafsir. Jakarta : Darus Sunnah Press.

    Tim Penyusun MKD. 2011. Studi Al-Qur’an. Surabaya: IAIN Sunan Ampel

  • Makalah Sosiologi Perkotaan dan Pedesaan

    Sosiologi Perkotaan dan Pedesaan

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Masyarakat (society) merupakan istilah yang digunakan untuk menerangkan komuniti manusia yang tinggal bersama-sama. Boleh juga dikatakan masyarakat itu merupakan jaringan perhubungan antara berbagai individu.

    Perkataan society datang daripada bahasa Latin societas, “perhubungan baik dengan orang lain”. Perkataan societas diambil dari socius yang berarti “teman”, maka makna masyarakat itu adalah berkait rapat dengan apa yang dikatakan sosial. Ini bermakna telah tersirat dalam kata masyarakat bahawa ahli-ahlinya mempunyai kepentingan yang sama. Maka, masyarakat selalu digunakan untuk menggambarkan rakyat sebuah negara.

    Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur. Dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Melihat dari berbagai aspek kehidupan yang terjadi di masyarakat pada saat ini, masih terjadinya beberapa fenomena pergeseran nilai, norma serta adat istiadat kaitannya dengan pemahaman tentang masyarakat desa dan kota. Hal tersebut dapat ditinjau dari ilmu sosiologi, dimana yang menjadi obyek adalah masyarakat yang dilihat dari hubungan antar manusia, dan proses yang timbul dari hubungan manusia di dalam masyarakat.

    B. Rumusan Masalah

    1. Apa pengertian dari sosiologi dan masyarakat ?
    2. Bagaimana masyarakat perkotaan ?
    3. Bagaimana masyarakat pedesaan ?
    4. Bagaimana hubungan masyarakat perkotaan dan pedesaan ?

    C. Tujuan

    1. Untuk mengetahui pengertian dari sosiologi dan masyarakat.
    2. Untuk mengetahui tentang masyarakat perkotaan.
    3. Untuk mengetahui tentang masyarakat pedesaan.
    4. Untuk mengetahui hubungan masyarakat perkotaan dan pedesaan.

    Bab II. Pembahasan

    A. Pengertian Sosiologi dan Masyarakat

    Sosiologi merupakan suatu ilmu yang mempelajari seluruh tingkah laku kehidupan manusia di suatu lingkungan yang di mana di dalamnya terdapat manusia-manusia lain yang saling berhubugan antara yang satunya dengan yang lainnya lagi, sehingga terjadi suatu interaksi di seluruh bidang kehidupan.[2]

    Mengenai arti masyarakat, disini kita kemukakan beberapa definisi mengenai masyarakat darti para sarjana, misalnya :

    1. R. Linton : Seorang ahli antropologi mengemukakan, bahwa masyarakat adalah setiap kelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerjasama, sehingga mereka ini dapat mengorganisasikan dirinya berpikir tentang dirinya dalam satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu.
    2. M.J Herskovits : Mengatakan bahawa masyarakat adalah kelompok individu yang diorganisasikan dan mengikuti satu cara hidup tertentu.
    3. J.L. Gillin dan J.P. Gillin : mengatakan bahwa masyarakat adalah kelompok manusia yang terbesar dan mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap dan perasaan persatuan yang sama.
    4. S.R. Steinmetz : seorang sosiolog bangsa belanda mengatakan, bahwa masyarakat adalah kelompok manusia yang terbesar, yang meliputi pengelompokan-pengelompokan manusia yang lebih kecil, yang mempunyai perhubungan yang erat dan teratur.
    5. Hasan Shadily : mendifinisikan masyarakat adalah golongan besar atau kecil terdiri dari beberapa manusia, yang dengan atau karena sendirinya bertalian secara golongan dan pengaruh-mempengaruhi satu sama lain.

    Mengingat definisi-definisi masyarakat tersebut di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa masyarakat harus mempunyai syarat-syarat sebagai berikut :

    1. Harus ada pengumpulan manusia, dan harus banyak, bukan pengumpulan binatang.
    2. Telah bertempat tinggal dalam waktu yang lama di suatu daerah tertentu.
    3. Adanya aturan-aturan atau undang-undang yang mengatur mereka untuk menuju kepadakepentingan dan tujuan bersama.

    B. Masyarakat Perkotaan

    a.       Pengertian Kota

    Masyarakat perkotaan atau urban community adalah masyarakat kota yang tidak tertentu jumlah penduduknya,. Tekanan pengertian “kota” terletak pada sifat serta ciri kehidupan yang berbeda dengan masyarakat pedesaan.

    b.      Ciri-ciri masyarakat Perkotaan Ada

     beberapa ciri yang menonjol pada masyarakat perkotaan, yaitu :

    a)      Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain.

    b)      Pembagian kerja diantara warga kota juga lebih tegas dan punya batas-batas yang nyata.

    c)      Kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan juga lebih banyak diperoleh warga kota dariapada warga desa.

    d)     Jalan pikiran rasional yang pada umumnya dianut masyarakat perkotaan, menyebabkan interaksi-interaksi yang terjadi lebih didasarkan pada faktor kepentingan daripada faktor pribadi.

    e)      Jalan kehidupan yang cepat dikota, mengakibatkan pentingnya faktor waktu, sehingga pembagian waktu yang teliti sangat penting, untuk dapat mengejar kebutuhan-kebutuhan seorang individu.

    f)       Perubahan-perubahan sosial tampak denagn nyata  dikota-kota, karena kota-kota biasanya terbuka dalam menerima pengaruh-pengaruh dari luar.

    Definisi dan pembahasan modernisasi

    Berikut beberapa pendapat tentang modernisasi :[4]

    v Astrid S. Susanto, modernisasi adalah proses menggunakan kesempatan yang diberikan oleh perubahan demikemajuan. Dalam negara yang menganut sistem demokrasi, manusia yang menjadi pkok tujuan.

    v Alex Inkeles, mengemukakan bahwa ada sikap-sikap tertentu yang menandaimanusia dalam setiap masyarakat modern. Dan di antara sikap-sikap ini, ada kecenderungan menerima gagasan-gagasan baru serta mencoba metode-metode baru .

    v Louis Irving Horowitz, Modernisasi yang non ideologis pada dasarnya merupakan suatu istilah teknologi, bukan suatu istilah penilaian. Ia menyangkut penggantian tenaga kerja manusia oleh mesin-mesin, modernisasi berkaitan dengan komunikasi informasi dalam  tempo cepat, memindah orang an barang dengan cepat, otomasi jasa-jasa, dan sebagainya.

    v Soerjono Soekanto, Modernisasi adalah suatu bentuk dari perubahan sosial, yang biasanya merupakan perubahan sosial yang terarah yang didasarkan pada suatu perencanaan yang biasanya dinamakansosial planning.

    Dalam bahasa sosiologi, westernisasi merupakan proses peniruan oleh masyarakat atau negara tentang kebudayaan dari negara-negara Barat yang dianggap lebih baik dari kebudayaan negara sendiri.

    C.      Masyarakat Pedesaan

    a.  Pengertian desa

    Yang dimaksud dengan desa menurut Sutardjo Kartodikusuma mengemukakan sebagai berikut: Desa adalah suatu kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat pemerintahan tersendiri.

    Sedang menurut Paul H. Landis : Desa adalah pendudunya kurang dari 2.500 jiwa.

    b.   Ciri-ciri Masyarakat desa

    Adapun ciri-ciri masyarakat pedesaan adalah :

    a)      Masyarakat pedesaan diantara warganya mempunyai hubungan yang lebih mendalam dan erat bila dibandingkan dengan hubungan mereka dengan masyarakat lainnya di luar batas-batas wilayahnya.

    b)      Sistem kehidupan umumnya berkelompok dengan dasar sistem kekeluargaan.

    c)      Sebagian besar warga masyarakat pedesaan hidup dari pertanian dan pekerjaan-pekerjaan yang bukan agraris hanya bersifat pedesaan bersifat waktu luang.

    D.      Hubungan Masyarakat Perkotaan dan Pedesaan

    Masyarakat pedesaan dan perkotaan bukanlah dua komonitas yang terpisah sama sekali satu sama lain. Bahkan dalam keadaan yang wajar diantara keduanya terdapat hubungan yang erat. Bersifat ketergantungan, karena diantara mereka saling membutuhkan. Kota tergantung dalam memenuhi kebutuhan warganya akan bahan-bahan pangan seperti beras sayur mayur , daging dan ikan. Desa juga merupakan sumber tenaga kasar bagi jenis pekerjaan tertentu dikota. Misalnya saja buruh bangunan dalam proyek perumahan. Proyek pembangunan atau perbaikan jalan raya atau jembatan dan tukang becak. Mereka ini biasanya adalah pekerja musiman. Pada saat musim tanam mereka, sibuk bekerja di sawah. Bila pekerjaan dibidang pertanian mulai menyurut, sementara menunggu masa panen mereka merantau ke kota terdekat untuk melakukan pekerjaan apa saja yang tersedia.

    Sebaliknya, kota menghasilkan barang-barang yang juga diperlukan oleh orang desa seperti bahan-bahan pakaian, alat dan obat-obatan pembasmi hama pertanian, minyak tanah, obat-obatan untuk memelihara kesehatan dan alat transportasi. Kota juga menyadiakan tenaga-tenaga yang melayani bidang-bidang jasa.

    Hubungan kota-desa cenderung terjadi secara alami yaitu yang kuat akan menang, karena itu dalam hubungan desa-kota, makin besar suatu kota makin berpengaruh dan makin menentukan kehidupan perdesaan.

    Salah satu bentuk hubungan antara kota dan desa adalah :

    a). Urbanisasi.

    Dengan adanya hubungan Masyarakat Desa dan Kota  yang saling ketergantungan dan saling membutuhkan tersebut maka timbulah masalah baru yakni ; Urbanisasiyaitu suatu proses berpindahnya penduduk dari desa ke kota atau dapat pula dikatakan bahwa urbanisasi merupakan proses terjadinya masyarakat perkotaan.

    b)      Sebab-sebab Urbanisasi

    1.)    Faktor-faktor yang mendorong penduduk desa untuk meninggalkan daerah kediamannya.

    a.       Bertambahnya penduduk sehingga tidak seimbang dengan persediaan lahan pertanian,

    b.      Terdesaknya kerajinan rumah di desa oleh produk industri modern.

    c.       Penduduk desa, terutama kaum muda, merasa tertekan oleh oleh adat istiadat yang ketat sehingga mengakibatkan suatu cara hidup yang monoton.

    d.      Didesa tidak banyak kesempatan untuk menambah ilmu pengetahuan.

    e.       Kegagalan panen yang disebabkan oleh berbagai hal, seperti banjir, serangan hama, kemarau panjang, dsb. Sehingga memaksa penduduk desa untuk mencari penghidupan lain dikota.

    2.)    Faktor-faktor yang ada dikota yang menarik penduduk desa untuk pindah dan menetap dikota

    a.       Penduduk desa kebanyakan beranggapan bahwa dikota  banyak pekerjaan dan lebih mudah untuk mendapatkan penghasilan

    b.      Dikota lebih banyak kesempatan untuk mengembangkan usaha kerajinan rumah menjadi industri kerajinan.

    c.       Pendidikan terutama pendidikan lanjutan, lebih banyak dikota dan lebih mudah didapat.

    d.      Kota dianggap mempunyai tingkat kebudayaan yang lebih tinggi dan merupakan tempat pergaulan dengan segala macam kultur manusianya.

    BAB III

    PENUTUP

    A.      Kesimpulan

    Manusia menjalani  kehidupan didunia ini tidaklah bisa hanya mengandalkan dirinya sendiri dalam artian butuh bantuan dan pertolongan orang lain , maka dari itu manusia disebut makhluk sosial, Oleh karena itu kehidupan bermasyarakat hendaklah menjadi sebuah pendorong  atau sumber kekuatan untuk mencapai cita-cita kehidupan yang harmonis, baik itu kehidupan didesa maupun diperkotaan. Tentunya itulah harapan kita bersama, tetapi fenomena yang terjadi sekarang ini, jauh sekali dari harapan, kesenjangan Sosial,  yang kaya makin Kaya dan yang Miskin tambah melarat , mutu pendidikan yang masih rendah, orang mudah sekali membunuh saudaranya hanya karena hal sepele saja, dan masih banyak lagi fenomena kehidupan tersebut diatas yang kita rasakan bersama, mungkin juga fenomena itu ada pada lingkungan dimana kita tinggal.

    Fenomena-fenomena yang terjadi diatas tidak hanya terjadi dikota saja, ternyata problem yang tidak jauh beda ada didesa, yang kita sangka adalah tempat yang aman, tenang  dan berakhlak (manusiawi), ternyata telah tersusupi oleh kehidupan kota yang serba boleh dan bebas itu disatu pihak masalah urbanisasi menjadi masalah serius bagi kota dan desa, karena masyarakat desa yang berurbanisasi menjadikan sumber daya manusia yang produktif di desa menjadi berkurang yang membuat sebuah desa tak maju bahkan cenderung tertinggal.

    B.       Saran

    Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis senantiasa dengan lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan karya-karya berikutnya.

    DAFTAR PUSTAKA

    Ahmadi, Abu, Drs. 2003. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Rineke Cipta.

    Ishomuddin. 2005. Sosiologi Perspektif IslamMalang: UMM Press

    Kosim, H, E. 1996. Bandung: Sekolah Tinggi Bahasa Asing Yapari

    Soekanto, Soerjono. 2010. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: RajaGrafindo Persadaaisriska.files.wordpress.com

    christdhawie.blogspot.com

    http://saiedbelajarngeblog.blogspot.com/2009

  • Makalah Pemikiran Ekonomi Islam Syah Waliallah

    Makalah Pemikiran Ekonomi Islam Syah Waliallah

    Berikut ini adalah conoth makalah dengan judul Pemikiran Ekonomi Islam Syah Waliallah. Makalah ini membahas tentang pandangan Syah Waliallah dalam membangun sistem perekonomian berbasis Syariah.

    Pemikiran Ekonomi Islam Syah Waliallah

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Berbagai praktek dan kebijakan ekonomi yang berlangsung pada masa Rasulullah Saw dan Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun merupakan empiris yang dijadikan pijakan bagi para cendekiawan Muslim dalam melahirkan teori-teori ekonominya. Satu hal yang jelas, fokus perhatian mereka tertuju pada pemenuhan kebutuhan, keadilan, efisiensi, pertumbuhan dan kebebasan, yang tidak lain merupakan objek utama yang menginspirasikan pemikiran ekonomi Islam sejak masa awal.

    Makalah ini akan membahas pemikiran ekonomi Islam Syah Waliallah pada fase ketiga yang dimulai pada tahun 1446 hingga 1932 masehi yang merupakan fase tertutupnya pintu ijtihad (independent judgement) yang mengakibatkan fase ini di kenal juga sebagai fase stagnasi. Pada fase ini, para fuqaha hanya menulis catatan-catatan para pendahulunya dan mengeluatkan fatwa yang sesuai dengan aturan standar bagi masing mashab. Namun demikian, terdapat sebuah garakan pembruan selama dua abad terakhir yang menyeru untuk kembali kepada Al-Qur’an dan al-hadist nabi sebagai sumber pedoman hidup.

    B. Rumusan Masalah

    1. Bagaimana biografi Syah Waliallah ?
    2. Apa saja karya-karya Syah Waliallah ?
    3. Bagaimana pemikiran ekonomi Islam Syah Waliallah ?

    C. Tujuan

    1. Untuk mengetahui biografi Syah Waliallah.
    2. Untuk mengetahui karya-karya Syah Waliallah.
    3. Untuk mengetahui pemikiran ekonomi Islam Syah Waliallah.

    Bab II. Pembahasan

    Syah Waliallah (1114-1176H/1703-1762M)

    Nama lengkapnya adalah Qutb al-Din Ahmad bin Abd al-Rahim bin Wajih al-Din al-Syahid bin Mu’azam bin Mansur bin Ahmad bin Mahmud bin Qiwam al-Din al-Dihlawi. Ia dilahirkan pada hari Rabu, tanggal 21 Februari 1703 M atau 4 Syawal 1114 H di Phulat, sebuah kota kecil di dekat Delhi dan wafat pada tahun 1762 M atau 1176 H. Dia dijuluki “Shah Waliullah” yang berarti sahabat Allah karena kesalehan yang ia miliki. Dia memulai studinya di usia lima tahun dan menyelesaikan bacaan dan hafalan dari Al-Quran pada usia tujuh. Dia adalah pengikut Ahlus Sunnah Wal Jamaah dan penganut mazhab fikih Hanafi.

    Bapanya, Shah Abdul Rahim, adalah seorang sufi dan teolog reputasi besar. Dia adalah ahli pengasas dan guru daripada Madrasah-i-Rahimiyah di Delhi. Shah Abdul Rahim dikaitkan dengan penyelesaian yang terkenal teks hukum Islam, Fatawa-i-Alamgiri. Dari sisi genealogisnya (nasab), al-Dihlawi hidup dalam keluarga yang mempunyai silsilah keturunan dengan atribut sosial yang tinggi di masyarakatnya. Kakeknya (Syaikh Wajih al-Din) merupakan perwira tinggi dalam tentara kaisar Jahangir dan pembantu Awrangzeb (1658-1707 M) dalam perang perebutan tahta.

    Masa tinggalnya di Hijaz banyak mempengaruhi pembentukan pemikiran al-Dihlawi dan kehidupan selanjutnya. Di tempat itu, ia belajar hadis, fikih, ajaran sufi pada sejumlah guru yang istimewa di sana, seperti Syekh Abu Thahir al-Kurdi al-Madani, Syekh Wafd Allah al-Makki al-Maliki, dan Syekh Taj al-Din al-Qala’i al-Hanafi.

    Shah Waliallah menerima gelar akademik dan pendidikan rohani daripada ayahnya. Dia hafal Al-Quran dan memperoleh pengetahuan tentang Tafsir, Hadis, spiritualisme, mistisisme, metafizik, logik, dan Ilm-ul-Kalam ketika masih di zaman kanak-kanaknya. Setelah menguasai mata pelajaran ini, dia mengalihkan perhatian pada Shahih Bukhari dan Fiqih Islam. Beliau juga belajar ilmu perubatan dan Thibb. Setelah memperoleh pengetahuan ini, ia mengajar di Madrasah ayahnya selama 12 tahun. Dia berangkat ke Saudi pada tahun 1730 untuk pendidikan tinggi. Selama tinggal di Saudi, ia dipengaruhi oleh Syeikh Abu Tahir bin Ibrahim, seorang sarjana terkenal pada waktu itu. Beliau belajar di Madinah selama 14 tahun, di mana ia memperoleh gelar Sanad dalam Hadis. Hal ini diyakini bahwa sementara Shah Waliallah berada di Saudi, ia diberkati dengan visi Nabi (SAW). Dia juga merupakan keturunan Ulama besar India Mujaddid Alfi Sani Syeikh Ahmad Sirhindi dan diberitakan bahwa ia akan berpengaruh dalam menetapkan pembaharuan Muslim di India.

    Pada saat ia kembali ke Delhi pada bulan Julai 1732, penurunan kekayaan Mughal telah bermula. Sosial, politik, ekonomi dan kondisi keagamaan umat Islam sangat miskin. Shah Waliallah percaya bahwa berbagai permasalahan yang dihadapi umat Islam adalah kerana ketidaktahuan mereka tentang Islam dan Al-Quran. Oleh karena itu, dilatih secara pribadi sejumlah pelajar yang diamanahkan dengan tugas penyebaran Islam. Dalam rangka untuk menyebarkan ajaran Islam dan membuat Al-Quran lebih mudah diakses oleh orang-orang, ia menterjemah Quran ke Parsi, yang utama dan Bahasa umum daripada orang-orang pada waktu itu. Dia juga berusaha mengurangkan berbagai perbedaan dari banyak kumpulan sektarian yang berlaku saat itu.

    Shah Waliallah juga membuat upaya untuk mengangkat politik umat Islam di India. Dia menulis surat kepada Ahmad Shah Abdali untuk membantu warga Muslim di India dalam menghancurkan Marhattas, yang terus-menerus ancaman bagi Empayar Mughal runtuh. Pada 1761, Ahmad Shah Abdali, sebagai tanggapan terhadap Shah Waliallah telefon, diakibatkan kekalahan di Marhattas di Panipat. Shah Waliallah bertanggungjawab atas kebangkitan di masyarakat keinginan untuk kembali semangat moral dan mempertahankan kemurniannya. Dia dikebumikan di 1762. Putra dan pengikut-cakap meneruskan kerja dan misi mulia.

    B. Karya – Karya

    Shah Waliallah adalah seorang penulis yang produktif dan menulis secara menyeluruh di Fiqh dan Hadis. Dia akhirnya menulis 51 buku; 23 di Arab dan 28 dalam Bahasa Parsi. Di antara yang terkenal adalah karya Hujjat-Ullah-il-Balighah dan Izalat-ul-Khifa.

    Karya Syah Waliullah Al Hujjatullah Al Balighah fi Asrar Asy Syar’iyah (The conclusive argument from God)berisi tentang rahasia syari’at dan filsafat hukum Islam. Dalam kitab ini dibahas secara terinci faktor-faktor yang membantu pertumbuhan keadaan masyarakat. Kitab yang lainnya yaitu :

    1. Al Fath al Munir fi Gharib Al Qur’an tentang tafsir Al Qur’an,
    2. Az Zahrawain tafsir QS Al Baqarah dan Ali Imran,
    3. Al Mushaffa   syarah dari   kitab Al Muwaththa karya Imam Malik,  
    4. Al Maswa merupakan syarah kitab Al Muwaththa karya Imam Malik,
    5. An Nawadhir min Ahadits Sayyid al Awa’il wa al Awakhir tentang hadits,
    6. Tarajum al Bukhary tentang hadits 
    7. Syarh Tarajum Ba’d Abwab al Bukhary tentang hadits,
    8. Al Arbain Hadtsan tentang hadits,
    9. Ta’wil al Ahadits tafsir tentang kisah para nabi,
    10. Al Budur al Baziqah dalam ilmu kalam,
    11. ‘Aqd al Jayyid fi Ahkam al Ijtihad wa at Taqlid tentang persoalan ijtihad dan taqlid,
    12. Al Insyaf fi bayan Asbab al Ikhtilaf bain al Fuqaha wa al Mujtahidin tentang munculnya perbedaan pendapat ahli fiqih,
    13. Ad Durr as Samin fi Mubasyarah an Nabi al Amin tentang keutamaan Nabi Muhammad Saw,
    14. Al Maktubat, tentang kehidupan Rasulullah yang merupakan kumpulan risalah yang ditulis ayahnya Abd Rahim Ad Dihlawi,
    15. Al Khair al Kasir tentang akhlaq 
    16. Al Irsyad ila Muhimmat ‘Ilm al afsad, dalam bidang filsafat.
    17. As Sirr al Maktum fi Asbab Tadwin al ‘Ulum, tentang filsafat.
    18. Al Fauz Al Kabir Fi Ushul Tafsir Al Lamahat, tentang fiqih masih dalam bentuk manuskrip.
    19. Izalat Al Khafa ‘An Khilafat Al Khulafa Al anshaf Fi Bayan Asha Al Ikhtilaf Baina Al Fuqaha Wa al Mujtahiddin Al Maktub al Madani , tentang hakekat tauhid,
    20. Husn al Aqidah, tentang aqidah / tauhid,
    21. Atyab an Nuqam fi Madh Sayyid al Arab wa al Ajam. Al Muqadimah as saniyah fi Intisar al Firqah as Sunniyah, dalam pemikiran fiqih dan kalam.
    22. Qaul Al Jamil Fi Bayan Sawa Al sabil Fi Suluk Al Qadariyah, Al Jitsiyah Wa Naqsyabandiyah. ‘Iqd al jayid Fi ahkam Al Ijtihad Wa al Taqlid. Al Intibah Fisalasil Auliya Allah Tasawwuf ki Haqiqat Au Uska Falsafa Tarikh.  Syifa al Qulub (Terapi hati), Al Tafhimat al Ilahiyah (Uraian-uraian Ilahiyah), dalam bidang filsafat dan teologi (ilmu kalam), dan
    23. Diwan as Syi’r Arabi, tentang sastra.

    C. Pemikiran

    Pemikiran ekonomi Shah Waliallah dapat ditemukan dalam karyanya yang terkenal berjudul, Hujjatullah al-Baligha, di mana ia banyak menjelaskan rasionalitas dari aturan-aturan syariat bagi perilaku manusia dan pembangunan masyarakat. Menurutnya, manusia secara alamiah adalah makhluk sosial sehingga harus melakukan kerja sama antara satu orang dengan orang lainnya. Kerja sama usaha (mudharabah, musyarakah), kerja sama pengelolaan pertanian, dan lain-lain. Islam melarang kegiatan-kegiatan yang merusak semangat kerja sama ini, misalnya perjudian dan riba. Kedua kegiatan ini mendasarkan pada transaksi yang tidak adil, eksploitatif, mengandung ketidakpastian yang tinggi, dan beresiko tinggi.

    Ia menganggap kesejahteraan ekonomi sangat diperlukan untuk kehidupan yang baik. Dalam konteks ini, ia membahas kebutuhan manusia, kepemilikan, sarana produksi, kebutuhan untuk bekerjasama dalam proses produksi dan berbagai bentuk distribusi dan konsumsi. Ia juga menelusuri evolusi masyarakat dari panggung primitif sederhana dengan budaya yang begitu kompleks di masanya. Ia juga menekankan bagaimana pemborosan dan kemewahan yang diumbar akan menyebabkan peradaban menjadi merosot. Dalam diskusinya tentang sumber daya produktif, ia menyoroti fakta bahwa hukum Islam telah menyatakan beberapa sumber daya alam yang menjadi milik sosial. Ia mengutuk praktek monopoli dan pengambilan keuntungan secara berlebihan dari lahan perekonomian. Ia menjadikan kejujuran dan keadilan dalam bertransaksi sebagai prasyarat untuk mencapai kemakmuran dan kemajuan.

    Shah Waliallah membahas perlunya pembagian dan spesialisasi kerja, kelemahan dari sistem barter, dan keuntungan dari penggunaaan uang sebagai alat tukar dalam konteks evolusi masyarakat dari primitif ke negara maju. Menurutnya, kerjasama telah membentuk satu-satunya dasar hubungan ekonomi yang manusiawi dan Islami. Transaksi yang melibatkan bunga memiliki pengaruh yang merusak. Praktek bunga menciptakan kecenderungan untuk menyembah uang. Hal ini menyebabkan masyarakat berlomba-lomba dalam memperoleh kemewahan dan kekayaan. Poin paling penting dari filsafat ekonominya adalah bahwa sosial ekonomi memiliki pengaruh yang mendalam terhadap moralitas sosial. Oleh karena itu, kejujuran moral diperlukan untuk membentuk tatanan ekonomi.

    Untuk pengelolaan negara, maka diperlukan adanya suatu pemerintah yang mampu menyediakan sarana pertanahan, membuat hukum dan menegakkannya, menjamin keadilan, serta menyediakan berbagai sarana publik seperti jalan dan jembatan. Untuk berbagai keperluan ini negara dapat memungut pajak dari rakyatnya. Pajak merupakan salah satu sumber pembiayaan kegiatan negara yang penting, namun harus memerhatikan pemanfaatannya dan kemampuan masyarakart untuk membayarnya.

    Berdasarkan pengamatannya terhadap perekonomian di Kekaisaran India, Waliallah mengemukakan dua faktor utama yang menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi. Dua faktor tersebut, yaitu: pertama, keuangan negara dibebani dengan berbagai pengeluaran yang tidak produktif; kedua, pajak yang dibebankan kepada pelaku ekonomi terlalu berat sehingga menurunkan semangat berekonomi. Menurutnya, perekonomian dapat tumbuh jika terdapat tingkat pajak yang ringan yang didukung oleh administrasi yang efisien. 

    Bab III. Penutup

    A. Simpulan

    Nama lengkapnya adalah Qutb al-Din Ahmad bin Abd al-Rahim bin Wajih al-Din al-Syahid bin Mu’azam bin Mansur bin Ahmad bin Mahmud bin Qiwam al-Din al-Dihlawi. Ia dilahirkan pada hari Rabu, tanggal 21 Februari 1703 M atau 4 Syawal 1114 H di Phulat, sebuah kota kecil di dekat Delhi dan wafat pada tahun 1762 M atau 1176 H. Dia dijuluki “Shah Waliullah” yang berarti sahabat Allah karena kesalehan yang ia miliki. Dia adalah pengikut Ahlus Sunnah Wal Jamaah dan penganut mazhab fikih Hanafi.

    Karya Syah Waliullah Al Hujjatullah Al Balighah fi Asrar Asy Syar’iyah (The conclusive argument from God)berisi tentang rahasia syari’at dan filsafat hukum Islam. Dalam kitab ini dibahas secara terinci faktor-faktor yang membantu pertumbuhan keadaan masyarakat.

    Syah Waliallah mengemukakan dua faktor utama yang menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi yaitu: pertama, keuangan negara dibebani dengan berbagai pengeluaran yang tidak produktif; kedua, pajak yang dibebankan kepada pelaku ekonomi terlalu berat sehingga menurunkan semangat berekonomi. Menurutnya, perekonomian dapat tumbuh jika terdapat tingkat pajak yang ringan yang didukung oleh administrasi yang efisien

    B. Saran

    Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis senantiasa dengan lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan makalah berikutnya.

    DAFTAR PUSTAKA

    Chamid Nur. 2010.  Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Yogyakarta : Pustaka Belajar

    Mahfudz  Asnawi. 2010.  Pembaharuan Hukum Islam; Telaah Manhaj Ijtihad Shāh Walī Allāh al-Dihlawī. Yogyakarta: Teras

    Munawir. Tipologi Pembagian Hadis Risālah dan Ģairu Risālah; Studi Pemikiran Hadis al-Dahlawi dalam  Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis.

    Nasution Harun. 1992. Pembaruan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan Jakarta: Bulan Bintang

    Http://www.ensikperadaban.com/?TOKOH_%26amp%3B_INTELEKTUAL_MUSLIM_KONTEMPORER:Pembaharu:Syah_Waliyullah

    Http://gavouer.wordpress.com/2013/02/23/pemikiran-ekonomi-islam-klasik/

    Http://zulfan122.blogspot.com/2012/04/sejarah-pemikiran-ekonomi-islam.html

  • Makalah Hukum Kewarisan – Aul dan Radd

    Makalah Hukum Kewarisan – Aul dan Radd

    Makalah ini berjudul Hukum Kewarisan Aul dan Radd. Makalah ini membahasa kelebihan dan kekurangan harta waris ketika dilakukan pembagian kepada Ahli waris

    Aul dan Radd

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Ketika ada seseorang meninggal yang disebut dengan pewaris meninggalkan harta warisannya dan ahli waris, maka ahli waris harus mendapatkan harta warisan sesuai dengan bagiannya masing-masing.

    Di dalam Hukum Waris Islam ada masalah-masalah kewarisan yang diselesaikan secara khusus. Masalah-masalah khusus dalam kewarisan ini adalah persoalan-persoalan kewarisan yang penyelesaiannya menyimpang dari penyelesaian yang biasa, dengan kata lain pembagian harta warisan itu tidak dilakukan sebagaimana biasanya. Masalah-masalah khusus ini timbul karena adanya kejanggalan apabila penyelesaian pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara biasa. Untuk menghilangkan kejanggalan tersebut, maka penyelesaian pembagian harta warisan itu dilakukan secara khusus.

    Dalam makalah ini akan membahas tentang aul dan radd yaitu ketika pembagian harta warisan terjadi kekurangan ataupun kelebihan harta.

    B. Rumusan Masalah

    1. Bagaimana hukum aul dan radd menurut fiqh Islam?
    2. Bagaimana hukum aul dan radd menurut Kompilasi Hukum Islam?
    3. Apa persamaan dan perbedaan fiqh Islam dan Kompilasi Hukum Islam mengenai aul dan radd?

    C. Tujuan

    1. Untuk mengetahui hukum aul dan radd menurut fiqh Islam.
    2. Untuk mengetahui hukum aul dan radd menurut Kompilasi Hukum Islam.
    3. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan fiqh Islam dan Kompilasi Hukum Islam mengenai aul dan radd.

    Bab II. Pembahasan

    A. Fiqh Islam Aul dan Radd

    1. ‘Aul

    Al-‘aul dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti, diantaranya zalim dan menyeleweng seperti dalam surat An-Nisa ayat 3 yaitu :

    Artinya : “…yang demikian itu adalah lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim. (Q.S. An-Nisa: 3)

    Definisi al-‘aul menurut istilah yaitu bertambahnya jumlah harta waris dari yang telah ditentukan dan berkurangnya bagian para ahli waris.

    Aul adalah suatu situasi dimana fard / saham-saham para ahli waris yang berkumpul dalam mewarisi melebihi dari harta yang dibagi.

    Terjadinya masalah aul apabila terjadi angka pembilang lebih besar dari angka penyebut (mislanya 8/6), sedangkan biasanya harta selalu dibagi dengan penyebutnya, namun apabila hal ini dilakukan akan terjadi kesenjangan pendapatan, dan menimbulkan persoalan yaitu siapa yang lebih diutamakan dari para ahli waris tersebut.

    Apabila ahli waris terdiri atas dzul faraa-idh dan dzul qarabat maka harta peninggalan akan habis terbagi pada pembagian pertama yaitu dengan cara dzul faraa-idh mendapat bagiannya masing-masing dan sisanya untuk dzul qarabat. Demikian pula jika ahli waris hanya terdiri atas dzul qarabat maka harta akan habis pada pembagian pertama. Tetapi jika ahli waris hanya terdiri dari dzul faraa-idh maka ada dua kemungkinan yaitu pada pembagian pertama harta akan habis sedangkan pada pembagian ke dua akan terdapat sisa harta. Dalam penerima waris itu semuanya adalah dzul faraaidh dapat pula terjadi ketekoran. Ketekoran ini berupa hasil pembagian pertama lebih dari 1 (satu). Hal ini diselesaikan dengan pengurangan bagian masing-masing ahli waris tadi secara berimbang. Pengurangan secara berimbang ini disebut ‘aul.

    Contoh masalah aul yaitu apabila ahli waris terdiri dari suami (1/2), seorang saudara perempuan kandung (1/2) dan seorang saudara perempuan ibu (1/6) maka tidak dibenarkan penyisihannya saudara perempuan seibu dengan alasan harta warisan telah habis terbagi kepada suami dan saudara perempuan kandung. Kasus ini disebut masalah aul.

    Pokok masalah yang ada di dalam ilmu faraid ada tujuh. Tiga diantaranya dapat di ‘aul kan sedangkan yang empat tidak dapat. Ketiga pokok masalah yang dapat di aul kan adalah enam (6), dua belas (12), dan dua puluh empat (24), sedangkan pokok masalah yang tidak dapat di aul kan ada empat, yaitu dua (2), tiga (3), empat (4), dan delapan (8).

    Sebagai contoh: seorang wafat dan meninggalkan ayah dan ibu pembagiannya: ibu mendapatkan sepertiga (1/3) bagian, dan sisanya menjadi bagian ayah. Dalam contoh ini pokok masalahnya tiga (3) jadi ibu mendapatkan satu bagian dan ayah mendapatkan dua bagian. Pokok masalah dalam contoh tidak dapat di aulkan, sebab pokok masalahnya cocok atau tepat dengan bagian para asbhabul furudh. 

    Angka-angka pokok yang dapat diaul kan ialah enam (6), dua belas (12), dan dua puluh empat (24). Namun, ketiga pokok masalah itu masing-masing berbeda dan mempunyai sifat tersendiri. Sebagai misal, angka enam (6) hanya dapat di aul kan sehingga angka sepuluh (10), yakni dapat naik menjadi 7, 8, 9 atau 10. Lebih dari angka itu tidak bisa. Berarti pokok masalah enam (6) hanya dapat dinaikkan empat kali saja.

    Kemudian pokok masalah dua belas (12) hanya dapat dinaikkan hingga tujuh belas (17), namun hanya untuk angka ganjilnya. Lebih dari itu tidak bisa. Maka angka dua belas (12) hanya dapat di aul kan tiga kali saja.

    Sedangkan pokok masalah 24 hanya dapat di aul kan kepada 27 saja, dan itu pun hanya pada satu masalah faraid ysng memang masyur dikalangan ulama faraid dengan sebutan “masalah al-mimbariyyah”.

    Ø Contoh ‘Aul Pokok Masalah Enam (6)

    Contoh : seorang wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan dan saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalah dari enam (6). Bagian suami setengah (½) berarti tiga, bagian saudara kandung perempuan setengah (1/2) berarti tiga, sedangakan saudara perempuan seibu seperenam (1/6) berarti satu bagian. Dalam contoh kasus ini jumlah bagian yang ada melebihi pokok masalah, karenanya pokok masalah enam harus dinaikan menjadi 7. Dengan demikian, jumlah bagian (fardh-nya) cocok dengan pokok masalahnya.

    Ø Contoh ‘Aul Pokok Masalah Dua Belas (12)

    Pokok masalah dua belas hanya dapat di’aul kan tiga kali saja, yaitu menjadi tiga belas (13) lima belas (15) atau tujuh belas (17). Berikut ini saya berikan contoh-contohnya:

    1. Seorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, dan dua orang saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnya dari dua belas (12). Bagian istri seperempat (1/4) berarti tiga, bagian ibu seperenam (1/6) berarti dua bagian, sedangkan bagian dua orang saudara perempuan dua pertiga (2/3) berarti delapan bagian. Dalam contoh ini tampak jumlah bagiannya telah melebihi pokok masalahnya, yaitu tiga belas. Karena itu harus dinaikkan menjadi tiga belas (13) sehingga tepat sesuai dengan jumlah bagian yang ada.
    2. Seorang wafat dan meninggalkan seorang istri, ibu, seorang saudara kandung perempuan, seorang saudara perempuan seayah, dan seorang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalah 12. Bagian istri seperempat (1/4) berarti tiga, ibu mendapat seperenam (1/6) berarti dua bagian, saudara kandung perempuan memperoleh setengah (1/2) berarti enam bagian, sedangkan saudara perempuan seayah seperenam (1/6) sebagai penyempurnaan dua pertiga berarti dua bagian, dan bagian saudara perempuan seibu juga seperenam (1/6) berarti dua bagian. Jumlah bagian dalam contoh ini telah melebihi pokok masalah, yaitu lima belas bagian. Karena itu pokok masalahnya di aul kan menjadi lima belas (15).
    3. Seorang wafat dan meninggalkan tiga orang istri, dua orang nenek, delapan orang saudara perempuan seayah, dan empat orang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dua belas. Bagian ketiga orang istri adalah seperempat (¼) berarti tiga bagian, sedangkan bagian kedua nenek adalah (1/6) yang berarti dua bagian, bagi kedelapan saudara perempuan seayah (2/3)-nya berarti delapan bagian dan bagian keempat saudara perempuan seibu 1/3 yang berarti empat bagian. Karena itu pokok masalahnya di aul kan menjadi tujuh belas (17).

    Ø Contoh ‘aul dua puluh empat (24)

    Pokok masalah dua puluh empat hanya dapat di ‘aulkan menjadi angka dua puluh tujuh. Selain itu, pokok masalah ini hanya ada dalam kasus yang oleh ulama’ faraidh dikenal dengan masalah al-mimbariyah. Dinamakan al-mimbariyah karena perkara tersebut diajukan kepada Ali bin Abi Tholib sewaktu masih berada di atas mimbar dan langsung memutuskannya sewaktu masih di atas mimbar.

    Contoh : seorang wafat dan meninggalkan seorang istri, ayah, ibu, anak perempuan dan cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti ini : pokok masalah dua puluh empat, ayah mendapat seperenam (1/6) berarti empat bagian, ibu memproleh seperenam (1/6) berarti empat bagian, istri mendapat seperdelapan (1/8) berarti tiga bagian, anak perempuan mendapat setengah (1/2) berarti dua belas bagian, sedangkan cucu perempuan keturunan dari anak laki-laki mendapat seperenam (1/6) berarti empat bagian.

    Dalam contoh tersebut tampak jelas bahwa jumlah bagian yang diterima atau yang menjadi hak asbabul furud melebihi jumlah pokok masalahnya. Karena itu kita harus meng-‘aul-kan pokok masalahnya hingga sesuai dengan jumlah bagian yang harus diberikan kepada para asbabul furudh. Sekali lagi ditegaskan, dalam masalah al-mimbariyahini pokok masalah dua puluh empat hanya bisa di-‘aul-kan menjadi angka dua puluh tujuh.

    Contoh disertai harta warisan: seorang meninggal harta warisannya Rp. 60.000.000,- Ahli warisnya terdiri dari: istri, ibu, dua saudara perempuan sekandung dan saudara seibu. Bagian masing-masing :

    Penyelesaiannya :

    AWBagAMHWPenerimaan
    12Rp. 60.000.000,-
    Istri. 1/4.33 /12 x Rp. 60.000.000,-Rp. 15.000.000,-
    Ibu. 1/6.22 /12 x Rp. 60.000.000,-Rp. 10.000.000,-
    2 Sdr.skd. 2/3.88 /12 x Rp. 60.000.000,-Rp. 40.000.000,-
    Sdr.seibu. 1/6.22 /12 x Rp. 60.000.000,-Rp. 10.000.000,-
    15JumlahRp. 75.000.000,-

    Hasilnya terjadi kekurangan sebesar Rp. 15.000.000,-. Apabila diselesaikan dengan cara aul, maka dapat diperoleh :

    AWBagAMHWPenerimaan
    12 menjadi 15Rp. 60.000.000,-
    Istri. 1/4.33 /15 x Rp. 60.000.000,-Rp. 12.000.000,-
    Ibu. 1/6.22 /15 x Rp. 60.000.000,-Rp. 8.000.000,-
    2 Sdr.skd. 2/3.88 /15 x Rp. 60.000.000,-Rp. 32.000.000,-
    Sdr.seibu. 1/6.22 /15 x Rp. 60.000.000,-Rp. 8.000.000,-
    15JumlahRp. 60.000.000,-
    2. Radd

    Ar-radd artinya kembali atau berpaling seperti yang terdapat dalam surat Al-Kahfi ayat 64 yaitu :

    Artinya : “Musa berkata: “Itulah (tempat) yang kita cari”. lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.”

    Menurut istilah ar-radd adalah berkurangnya pokok masalah dan bertambahnya jumlah bagian ashhabul furudh. Terjadinya masalah radd apabila pembilang lebih kecil daripada penyebut dan merupakan kebalikan dari masalah aul. Aul pada dasarnya kurangnya yang akan dibagi, sedangkan pada radd ada kelebihan setelah diadakan pembagian.

    Ar-radd tidak akan terjadi dalam suatu keadaan, kecuali bila terwujud tiga syarat sebagai berikut :

    1. Adanya ashhabulfurudh
    2. Tidak adanya ashabah
    3. Ada sisa harta waris

    Adapun Ayah dan Kakek, meskipun keduanya termasuk ahli waris ashhâbl al-furûdl dalam beberapa keadaan tertentu, mereka berdua tidak berhak menerima radd, karena menurut beliau apabila dalam pembagian harta warisan terdapat ayah atau kakek, maka tidak mungkin terjadi radd, karena keduanya bagi beliau akan menjadi „ashâbah dan berhak mengambil seluruh sisa harta warisan.

    Sedangkan alasan suami atau istri tidak berhak mendapatkan sisa harta, karena kekerabatan mereka bukan didasarkan pada hubungan nasab, melainkan hubungan sababiyah, yakni semata-mata karena sebab perkawinan yang dapat terputus karena kematian. Sejalan dengan itu Amir Syarifuddin juga membenarkan pendapat Ali Ash Shabuni dengan memberikan alasan bahwa adanya radd tersebut adalah karena adanya hubungan rahim, sedangkan suami atau istri kewarisannya disebabkan hukum dan bukan karena hubungan rahim.

    Ada dua ulama berpendapat tentang radd yaitu kelompok pertama yang mengatakan tidak ada raddsetelah ashabul furud mengambil bagiannya dan tidak ada ashabah maka sisa harta diberikan kepada Baitul mal. Kelompok kedua yang mengatakan bahwa harta dikembalikan kepada ashabul furud selain suami istri sesuai dengan presentase bagian-bagian mereka.

    Ahli waris yang berhak mendapat ar-radd yaitu semua ashhabulfurudh kecuali suami dan istri. Suami dan istri tidak berhak karena kekerabatan keduanya bukan karena nasab tetapi karena adanya ikatan tali pernikahan. Ashhabulfurudh yang berhak menerima ar-radd hanya delapan orang yaitu anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan, saudara perempuan seayah, ibu kandung, nenek sahih (ibu dari bapak), saudara perempuan seibu, dan saudara laki-laki seibu. Dalam keadaan bagaimana pun, bila dalam pembagian hak waris terdapat salah satunya ayah atau kakek tidak mungkin ada ar-radd karena keduanya akan menerima waris sebagai ashhabah.

    Untuk lebih jelasnya dibawah ini adalah contoh penyelesaian radd. Seseorang meninggal dunia, ahli warisnya terdiri dari : anak perempuan dan ibu. Harta warisannya Rp. 12.000.000,- Bagian masing-masing :

    1) Jika tidak ditempuh dengan cara radd :

    AWBagAMHWPenerimaan
    6Rp. 12.000.000,-
    Anak Pr 1/4.33 /6 x Rp. 12.000.000,-Rp. 6.000.000,-
    Ibu. 1/6.11 /6 x Rp. 12.000.000,-Rp. 2.000.000,-
    4JumlahRp. 8.000.000,-

    Terdapat sisa harta sebesar Rp. 4.000.000,-

    2) Jika ditempuh dengan cara radd

    AWBagAMHWPenerimaan
    6 menjadi 4Rp. 12.000.000,-
    Anak Pr 1/4.33 /4 x Rp. 12.000.000,-Rp. 9.000.000,-
    Ibu. 1/6.11 /4 x Rp. 12.000.000,-Rp. 3.000.000,-
    4JumlahRp. 12.000.000,-

    Ar-radd mempunyai empat macam yang mempunyai cara atau hukum masing-masing yaitu :

    1. Adanya pemilik bagian yang sama, tanpa suami atau istri.

    Dalam kondisi seperti ini, harta peninggalan dapat langsung dibagikan secara merata kepada seluruh ahli waris berdasarkan jumlah mereka. Dengan demikian, pembagian harta peninggalan dapat diselesaikan dengan cara yang mudah dalam tempo yang singkat.

    Semisal, seseorang wafat dan hanya meninggalkan tiga anak perempuan, maka pokok masalahnya dari tiga, sesuai jumlah ahli waris. Sebab, bagian mereka sesuai fardh adalah dua per tiga (2/3), dan sisanya mereka terima secara ar-radd. Karena itu pembagian hak masing-masing sesuai jumlah mereka, disebabkan mereka merupakan ahli waris dari bagian yang sama.

    2. Adanya pemilik bagian yang berbeda, tanpa suami atau istri.

    Dalam kondisi seperti ini, harta dibagi berdasarkan jumlah bagian para ahli waris, bukan didasarkan pada jumlah mereka. Semisal, seseorang wafat dan meninggalkan seorang anak perempuan (1/2) dan seorang cucu perempuan dari anak laki-laki (1/6). Maka pokok masalahnya adalah empat (4) berdasarkan jumlah bagian kedua ahli waris tersebut. Asal masalah yang semulanya 6 diubah atau diganti dengan hasil penjumlahan yaitu 4.

    3. Adanya pemilik bagian yang sama, dengan adanya suami atau istri.

    Dalam keadaan seperti itu, sesuai kaidah, maka pokok masalahnya ialah angka penyebut dari bagian orang yang tidak menerima radd. Sesudah dibagikan kepada orang tersebut, sisanya baru dibagikan kepada ahli waris lain sesuai dengan jumlah mereka.

    Semisal, seseorang wafat dan meninggalkan suami dan dua anak perempuan. Maka suami mendapatkan seperempat (1/4) bagian, dan sisanya (3/4) dibagikan kepada anak secara merata, yakni sesuai jumlah kepala. Berarti bila pokok masalahnya dari empat (4), suami mendapatkan seperempat (1/4) bagian berarti satu, dan sisanya (yakni 3/4) merupakan bagian kedua anak perempuan dan dibagi secara rata. Didalam permasalahan seperti ini asal masalah diambil dari yang tidak menerima radd yaitu suami atau istri sedangkan yang lain dianggap ashabah(sisa). Kemudian jumlah penerima radd dikali dengan asal masalah.

    4. Adanya pemilik bagian yang berbeda, dengan adanya suami atau istri.

    Kaidah pemecahannya dari masalah ini adalah dengan menetapkan menjadi dua masalah. Masalah pertama dalam susunan ahli warisnya tanpa ada suami/istri, sedangkan masalah kedua dalam susunan ahli warisnya ada suami/istri. Masing-masing diletakkan tersendiri, kemudian kedua asal masalah dibandingkan dengan salah satu dari tiga perbandingan yaitu tamaatsul (kemiripan), tawaafuq (sepadan), dan tabaayun (perbedaan).

    Seseorang wafat dan meninggalkan istri, nenek, dan dua orang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya seperti berikut:

    Ilustrasi pertama tanpa menyertakan suami dan istri:

    Pokok masalahnya dari enam, dengan ar-radd menjadi dari tiga (yakni dari jumlah bagian yang ada). Bagian nenek seperenam (1/6) berarti satu bagian. Bagian kedua saudara perempuan seibu sepertiga (1/3) = 2 bagian.

    Ilustrasi kedua menyertakan suami atau istri:

    Pokok masalahnya dari empat, yaitu diambil dari bagian sahib fardh yang tidak dapat di-radd-kan, yaitu istri. Bagian istri seperempat (1/4) berarti memperoleh satu bagian. Sisanya, yakni tiga bagian, merupakan bagian nenek dan kedua saudara perempuan seibu.

    Dengan melihat kedua ilustrasi tersebut, kita dapati bagian yang sama antara bagian nenek dan bagian dua saudara perempuan seibu, yakni tiga bagian. Angka tiga tersebut berarti tamaatsul (sama) dalam kedua ilustrasi.

    Kemudian bila istri mendapat bagiannya, yakni seperempat (1/4), maka sisa harta waris tinggal tiga bagian. Ilustrasi ini juga merupakan tamaatsul (sama) dengan masalah ar-radd. Karenanya tidak lagi memerlukan tashih (pengalian), dan cukuplah kita jadikan ilustrasi masalah kedua itu sebagai pokok masalah.

    B. Aul dan Radd Menurut Kompilasi Hukum Islam

    Cara-cara ‘aul dan radd yang dikehendaki pasal 192 dan 193 tampaknya merupakan jalan keluar terbaik dalam penyelesaian terhadap dua kasus tersebut. Apakah pembilangnya yang harus dinaikkan sesuai penyebutnya (faridhah al ‘ailah), ataukah sebaliknya diturunkan (faridhah al qashirah) supaya pembilang dan penyebutnya bersesuaian (faridhah al ‘adilah).

    Adapun menurut Kompilasi Hukum Islam dengan memperhatikan pasal 192 bahwa ketika angka pembilang lebih besar dari angka penyebut, maka angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang. Dan dalam pasal 193 bahwa ahli waris yang berhak mendapatkan sisa harta dalam masalah radd adalah semua ahli waris ash-hab al-furudl tanpa terkecuali, termasuk suami atau istri.

    Kompilasi Hukum Islam menyebutkan dalam Pasal 193 bahwa :

    “Apabila dalam pembagian harta warisan di antara para ahli waris Dzawi al-furûdl menunjukkan bahwa angka pembilang lebih kecil daripada angka penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris ashabah , maka pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara rad, yaitu sesuai dengan hak masing-masing ahli waris, sedang sisanya dibagi secara berimbang di antara mereka”.

    Dengan demikian dalam pembagian harta waris andaikata terjadi sisa harta setelah diambil ahli waris ash-hab al-furudl dan tidak ada ahli waris aashabah, Kompilasi Hukum Islam memberikan sisa lebih tersebut kepada semua ahli waris ash-hab al-furudl tanpa terkecuali termasuk dalam hal ini suami atau istri. Karena dalam masalah ‘aul mereka berdua juga terkena pengurangan, maka sebagai konsekuensinya suami atau istri dalam masalah radd juga mendapat tambahan. Ini sebagai konsekuensi, apabila terjadi masalah ‘aul bagian masing-masing ahli waris termasuk suami atau istri yang ahli waris sababiyah dikurangi.

    Sikap tegas yang ditempuh Kompilasi Hukum Islam dalam masalah ini lebih mengedepankan kemaslahatannya, tidak lain agar dalam menyelesaikan pembagian harta waris tidak menimbulkan keraguan bagi pihak-pihak yang mempedomaninya. Adapun ayah dan kakek keatas, dengan memperhatikan Pasal 177 Kompilasi Hukum Islam bahwa:

    “Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian”.

    Dengan demikian jika kita melihat pasal di atas tentang ayah dan kakek ke atas, Kompilasi Hukum Islam juga memberi sisa lebih dalam masalah radd, karena tidak terdapat bagian sisa atau ashabah terhadap mereka berdua.

    C. Persamaan dan Perbedaan Fiqh Islam dan Kompilasi Hukum Islam Mengenai Aul dan Radd

    Memperhatikan dari kedua pendapat diatas, adapun persamaan mengenai aul yaitu ketika angka pembilang lebih besar dari angka penyebut, maka angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang. Sedangkan persamaan radd yaitu tentang ahli waris yang berhak mendapatkan sisa harta dalam masalah radd terjadipada delapan ahli waris ash-hâb al-furûdl, yaitu : anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan, saudara perempuan seayah, ibu kandung, nenek sahih (ibu dari bapak), saudara perempuan seibu, dan saudara laki-laki seibu.

    Dalam masalah aul tidak ada perbedaan sedangkan dalam masalah radd ada perbedaan yaitu dalam kompilasi Hukum Islam ahli waris suami, istri, ayah dan kakek keatas berhak mendapat radd.

    Bab III. Analisis

    Termasuk dalam persoalan ini, kasus radd sebagaimana ditunjuk oleh pasal 193 bab IV dengan pernyataan, “apabila dalam pembagian harta waris di antara para ahli waris dzawil furudh menunjukkan bahwa angka pembilang lebih kecil dari pada angka penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris ashabah, maka pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara radd, yaitu sesuai dengan hak masing-masing ahli waris sedang sisanya dibagi secara berimbang di antara mereka.”

    Dari ketentuan ini dapat difahami bahwa ternyata Kompilasi Hukum Islam menerima konsep radd di dalam ketentuan kewarisannya. Dalam artian bahwa, jika terjadi satu kasus waris yang struktur kewarisannya setelah ditentukan fardh masing-masing waris kemudian hasil (jumlah) perolehan ternyata lebih kecil dari pada asal masalah pertama (ditetapkan berdasarkan memperhatikan perbandingan penyebut waris-waris yang ada), maka untuk penyelesaian akhir terhadap harta warisan dipergunakan asal masalah baru, sesuai dengan jumlah bagian para waris dalam struktur itu yakni dengan menurunkan angka penyebut sesuai dengan angka pembilangnya.

    Pasal 193 merupakan pasal satu-satunya yang membahas tentang radd ini, dan dari sini dapat ditarik suatu pengertian bahwa suami/istri pewaris tidak tertolak menerima kelebihan sisa harta warisan (sebagaimana teori Utsman) disebabkan tidak adanya penjelasan lebih jauh tentang itu. Dengan demikian operasional metode perhitungan radd versi KHI ini adalah sama ketika menyelesaikan masalah ‘aul (sebagaimana ketentuan yang terdapat dalam kitab-kitab faraidh). Atau dengan kata lain, tidak perlu memperhatikan ketentuan cara-cara pemecahan radd dalam hal ashhabul furudh bersama / tidak dengan salah seorang suami atau istri pewaris.

    Satu hal barangkali yang perlu digarisbawahi dalam persoalan radd versi KHI ini adalah meski ayah pewaris tidak disebut-sebut sebagai kelompok ashabah (dalam pasalnya tentang kelompok ahli waris), namun dalam pasal 193 tertulis kata-kata”…tidak ada ahli waris ashabah…,” sehingga jika dihubungkan dengan faraidh, ayah termasuk salah seorang yang berkedudukan sebagai ashabah itu. Berarti kehadiran ayah dalam satu struktur kewarisan, menjadikan salah satu rukun (syarat) terjadinya sebuah kasus radd belum terpenuhi. Padahal ini bukanlah sesuatu yang diperselisihkan para fukaha.

    Penyelesaian sebagaimana maksud pasal di atas tampaknya “berlebihan” jika dihubungkan dengan kenyataan praktik masyarakat yang menurut kebiasaannya harus membagi dua dulu harta peninggalan si pewaris dengan alasan “harta bersama”, untuk kemudian separonya dibagi lagi berdasarkan ketentuan hukum waris, dan jika ada sisa seperti kasus ini, suami istri mendapat tambahan lagi atas nama radd. Padahal pendapat kelompok mayoritas terkait kasus ini barangkali lebih memiliki nilai kekeluargaan jika diterapkan.”

    Bab IV. Penutup

    A. Simpulan

    Menurut fiqh Islam dan Kompilasi Hukum Islam apabila terjadi kekurangan harta ketika pembagian warisan dimana angka pembilang lebih besar dari angka penyebut, maka angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang dan inilah yang dinamakan ‘aul.

    Menurut fiqh Islam apabila terjadi kelebihan harta ketika pembagian warisan dimana pembilang lebih kecil daripada penyebut maka sisa harta dibagikan ke delapan ahli waris tanpa suami, istri, ayah, dan kakek ke atas. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam, sisa harta dibagikan ke semua ahli waris tanpa terkecuali.

    Persamaan mengenai aul antara fiqh Islam dan Kompilasi Hukum islam yaitu ketika angka pembilang lebih besar dari angka penyebut, maka angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang. Sedangkan persamaan radd yaitu tentang ahli waris yang berhak mendapatkan sisa harta dalam masalah radd terjadipada delapan ahli waris ash-hab al-furudl. Dalam masalah aul tidak ada perbedaan sedangkan dalam masala radd ada perbedaan yaitu dalam kompilasi Hukum Islam ahli waris uami, istri, ayah dan kakek keatas berhak mendapat& radd.

    B. Saran

    Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis senantiasa dengan lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan makalah berikutnya.

    DAFTAR PUSTAKA

    Ash-Shabani, Muhammmad Ali. 1995. Pembagian Waris Menurut IslamJakarta : Gema Insani Press

    DEPAG. 2002. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Surabaya

    Lubis, Suhrawardi K. dan Komis Simanjutak. 1995. Hukum Waris Islam. Jakarta : Sinar Grafika

    Nasution, Amin Husein. 2012. Hukum Kewarisan: Suatu Analisis Komparatif Pemikiran Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam. Jakarta : Rajawali Pers

    Saebani, Beni Ahmad. 2009. Fiqh Mawaris. Bandung : Pustaka Setia, 2009

    Sarmadi, A.Sukris. 1997. Trensedensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada

    Syarifuddin, Amir. 2008. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Kencana

    Thalib, Sajuti. 1993. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika

  • Hukum Adat Sebagai Aspek Kebudayaan

    Hukum Adat

    Pengertian Kebudayaan

    Budaya menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah pikiran, akal budi, hasil. Ada beberapa pendapat mengenai pengertian kebudayaan diantaranya :

    1. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatuyang turun temurun dari satu generasi ke generasi kemudian.
    2. Andreas Eppink mengemukakan kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religious, dan segala pernyataan intelektual dan artistic yang menjadi cirri khas suatu masyarakat.
    3. Edward Burnett Tylor memandang kebudayaan merupakan keseluruhan kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan,kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
    4. Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi,kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.

    Segi wujudnya kebudayaan menurut Koentjoroningrat ada 3 wujud yaitu :

    1. Suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma aturan dsb.
    2. Kompleks aktifitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat.
    3. Benda-benda hasilkarya manusia.

    Dari uraian di atas maka dapat diambil pengertian bahwa hukum adat sebagai aspek kebudayaan adalah hukum adat yang dilihat dari sudut pandang nilai, norma sosial, ilmu pengetahuan, serta keseluruhan struktur sosial religious yang didapat seseorang dengan ekstensinya sebagai anggota masyarakat.

    Kebudayaan dalam wujud idiil, bertugas mengarahkan dan mengatur tingkah laku manusia dalam kehidupan masyarakat, sehingga hukum adat merupakan suatu aspek dalam kehidupan masyarakat dalam kebudayaan bangsa Indonesia.

    Hukum Adat Sebagai Aspek Kebudayaan

    Jika hukum adat dilihat dari segi wujud kebudayaan maka hukum adat termasuk dalam kebudayaan yang berwujud sebagai kompleks dari ide yang fungsinya untuk mengarahkan dan mengatur tingkah laku manusia dalam berkehidupan dimasyarakat,dengan demikian hukumadat merupakan aspek dalam kehidupan masyarakat sebagai kebudayaan bangsa Indonesia.

    Hukum adat merupakan hukum tradisional masyarakat yang merupakan perwujudan dari suatu kebutuhan hidup yang nyata serta merupakan salah satu cara pandangan hidup yang secara keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum adat tersebut berlaku.

    Apabila kita melakukan studi tentang hukum adat maka kita harus berusaha memahami cara hidup dan pandangan hidup bangsa Indonesia yang merupakan refleksi dari cara berpikir dan struktur kejiwaan bangsa Indonesia.

    Maka jelas dikatakan bahwa memang hukum adat adalah sebagai aspek kehidupan dan budaya bangsa Indonesia karena struktur kejiwaan dan cara berpikir bangsa Indonesia tercermin lewat hukum adat itu sendiri.

    Hukum yang berlaku pada setiap masyarakat tumbuh dan berkembang bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya kebudayaan suatu masyarakat, karena hukum itu adalah merupakan salah satu aspek dari kebuadayaan suatu masyarakat. Kebudayaan adalah usaha dan hasil usaha manusia menyesuaikan dirinya dengan alam sekelilingnya, karena kebudayaan setiap masyarakat mempunyai corak, sifat serta struktur yang khas, maka hukum yang berlaku pada masing-masing masyarakat juga mempunyai corak, sifat dan struktur masing-masing.

    Proses perkembangan masyarakat manusia berlangsung terus menerus sepanjang sejarah, mengikuti mobilitas dan perpindahan yang terjadi karena berbagai sebab. Hal ini menyebabkan pula terjadinya perbedaan-perbedaan dalam hukum mereka, sedikit atau banyak, namun secara keseluruhan akan terlihat persamaan-persamaan pokok, baik corak, sifat maupun strukturnya, seperti juga yang terjadi dalam perbedaan bahasa. Hukum Adat yang mengatur masyarakat harus tetap dianut dan dipertahankan, tidak hanya berhubungan dengan pergaulan antar sesama manusia dan alam nyata, tetapi mencakup pula kepentingan yang bersifat batiniah dan struktur rohaniah yang berhubungan dengan kepercayaan yang mereka anut dan hormati.

    Penyelidikan Van Vollen Hoven dan sarjana-sarjana lain membuktikan bahwa wilayah Hukum Adat Indonesia itu tidak hanya terbatas pada daerah-daerah hukum Republik Indonesia yaitu terbatas pada daerah kepulauan Nusantara kita. Hukum Adat Indonesia tidak hanya bersemayam dalam hati nurani orang Indonesia yang menjadi warga Negara Republik Indonesia di  segala penjuru Nusantara kita, tetapi tersebar meluas sampai kegugusan kepulauan Philipina dan Taiwan di sebelah Utara, di pulau Malagasi (Madagskar) dan berbatas di sebelah Timur sampai di kepulauan Paska, dianut dan dipertahankan oleh oang Indonesia yang termasuk golongan orang Indonesia dalam arti ethnis. Dalam wilayah yang sangat luas ini Hukum Adat tumbuh, dianut dan dipertahankan sebagai peraturan penjaga tata-tertib sosial dan tata-tertib hukum di antara manusia, yang bergaul di dalam suatu masyarakat, supaya dengan demikian dapat dihindarkan segala bencana dan bahaya yang mungkin atau telah mengancam. Ketertiban yang dipertahankan oleh Hukum Adat itu baik bersifat batiniah maupun jasmaniah, kelihatan dan tak kelihatan, tetapi diyakini dan dipercayai sejak kecil sampai berkubur berkalang tanah. Di mana ada masyarakat, disitu ada Hukum (Adat).

    Hukum yang terdapat di dalam masyarakat manusia, betapa sederhana dan kecil pun masyarakat itu, menjadi cerminnya. Karena tiap masyarakat, tiap rakyat, mempunyai kebudayaan sendiri dengan corak dan sifatnya sendiri, mempunyai alam dan struktur alam pikiran sendiri, maka hukum di dalam tiap masyarakat yang bersangkutan, mempunyai corak dan sifatnya sendiri, yaitu: hukum dari masyarakat masing-masing berlainan.

    Von Savigny mengajarkan bahwa hukum adat mengikuti “Volksgeist” (jiwa / semangat rakyat) dari masyarakat tempat hukum itu berlaku. Karena Volksgeist masing-masing masyarakat berlainan, maka juga hukum masyarakat itu berlainan pula.

    Begitu pula halnya Hukum Adat di Indonesia, hukum adat itu senantiasa tumbuh dari suatu kebutuhan hidup yang keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum adat itu berlaku. Tidak mungkin suatu hukum yang asing bagi masyarakat itu dipaksakan atau dibuat, apabila hukum yang asing itu bertentangan dengan kemauan orang terbanyak dalam masyarakat yang bersangkutan, dalam arti bertentangan dengan kebudayaan rakyat yang bersangkutan. Jadi kita tak boleh meninjau Hukum Adat Indonesia terlepas dari “Volkgeist;, dari sudut alam pikiran yang khas orang Indonesia yang terjelma dalam  Hukum Adat itu. Kita juga tak boleh lupastruktur rohaniah masyarakat Indonesia yang bersangkutan.

    Tidak semua perubahan dalam jiwa dan struktur masyarakat merupakan perubahan fundamental yang melahirkan suatu jiwa dan struktur yang baru, sebab masyarakat adalah sesuatu yang kontinu (berjalan terus/tidak berhenti). Masyarakat berubah tetapi tidak sekaligus meninggalkan yang lama. Jadi di dalam sesuatu masyarakat terdapatlah realitas bahwa sesuatu proses perkembangan mengatur kembali yang lama serta menghasilkan synthese dari yang lama dan yang baru, sesuai dengan kehendak, kebutuhan, cara hidup dan pandangan hidup sesuatu rakyat. 

    1.1  Cara Berpikir Masyarakat Indonesia

    Menurut Prof. Soepomo dilihat dari aspek struktur kejiwaan dan cara berpikir masyarakat Indonesia mewujudkan corak-corak atau pola tertentu dalam hukum adat yaitu :

    a.       Mempuyai Sifat Kebersamaan (Communal)

    Manusia menurut hukum adat merupakan makhluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat, rasa kebersamaan, meliputi segala lapangan hukum adat.

    b.      Mempunyai Corak Magis-Religius

    Corak Magis-Religius yang berhubungan dengan aspek kehidupan didalam masyarakat Indonesia.

    c.       Sistem Hukum Adat diliputi oleh Pikiran Penataan Serba Konkret

    Misalnya : Perhubungan perkawinan antara dua suku yang eksogam, perhubungan jual (pemindahan) pada perjanjian tentang tanah dan sebagainya.

    d.      Hukum Adat mempunyai Sifat yang Sangat Visual

    Hubungan hukum dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkan dalam ikatan yang dapat dilihat.

    1.2   Sifat-sifat Umum Hukum Adat

    F.D. Holleman di dalam pidato inaugurasinya yang berjudul de commune trek in het indonesische rechtsleven (corak kegotongroyongan di dalam kehidupan hukum indonesia) menyimpulkan bahwa ada 4 sifat umum Hukum Adat Indonesia yaitu : [7]

    a.       Sifat Religio-magis.

    Koentjaraningrat dalam tesisnya menulis bahwa alam pikiran religio-magis itu mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: 

    a)      Kepercayaan terhadap makhluk-makhluk halus, roh-roh dan hantu-hantu yang menempati seluruh alam semesta dan khusus.

    b)      Gejala-gejala alam, tumbuh-tumbuhan, binatang, tubuh manusia dan benda- benda.

    c)      Kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan sakti yang meliputi seluruh alam semesta dan khusus terdapat dalam peristiwa-peristiwa yang luar biasa, binatang yang luar biasa, tumbuh-tumbuhan yang luar biasa, tubuh manusia yang luar biasa, benda-benda yang luar biasa dan suara yang luar biasa.

    d)     Anggapan bahwa kekuatan sakti yang pasif itu dipergunakan sebagai magische kracht dalam berbagai perbuatan-perbuatan ilmu gaib untuk mencapai kemauan manusia atau untuk menolak bahaya gaib;

    e)      Anggapan bahwa kelebihan kekuatan sakti dalam alam menyebabkan keadaan krisis, menyebabkan timhulnya berbagai macam bahaya yang hanya dapat dihindari dengan berbagai macam pantangan. 

    Prof. Bushar Muhammad mengatakan orang Indonesia pada dasarnya berpikir dan bertindak didorong oleh kepercayaan kepada tenaga-tenaga gaib yang mengisi, menghuni seluruh alam semesta.

    b.      Sifat komunal.

    Merupakan salah satu segi atau corak yang khas dari suatu masyarakat yang masih hidup terpencil dan kehidupannya sehari-hari sangat tergantung kepada tanah atau alam pada umumnya. Dalam masyarakat semacam itu selalu terdapat sifat lebih mementingkan keseluruhan dan lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan individual.

    c.       Sifat Kontan.

    Mengandung pengertian bahwa dengan sesuatu perbuatan nyata, suatu perbuatan simbolis atau suatu pengucapan, perbuatan/tindakan hukum yang dimaksud telah selesai seketika itu juga. Dengan demikian segela sesuatu yang terjadi sebelum dan sesudah perbuatan simbolis itu adalah di luar akibat-akibat hukum dan dianggap tidak ada sangkut pautnya atau sebab akibatnya menurut hukum.

    d.      Sifat Nyata

    Untuk sesuatu yang dikehendaki atau diinginkan akan ditransformasikan atau diwujudkan dengan sesuatu benda, diberi tanda yang kelihatan baik langsung (sesungguhnya) maupun hanya menyerupai obyek yang dikehendaki.

    3.      Proses Terbentuknya Hukum

    3.1    Hukum Adat adalah Hukum Non Statuir

    Hukum adat pada umumnya memang belum/ tidak tertulis. Oleh karena itu dilihat dari mata seorang ahli hukum memperdalam pengetahuan hukum adatnya dengan pikiran juga dengan perasaan pula. Jika dibuka dan dikaji lebih lanjut maka akan ditemukan peraturan-peraturan dalam hukum adat yang mempunyai sanksi dimana ada kaidah yang tidak boleh dilanggar dan apabila dilanggar maka akan dapat dituntut dan kemudian dihukum.

    3.2    Hukum Adat Tidak Statis

    Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup karena dia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat sesuai dengan fitrahnya sendiri, hukum adat terus menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri. [8]

    Van Vollen Hoven juga mengungkapkan dalam bukunya “Adatrecht” sebagai berikut :

    “Hukum adat pada waktu yang telah lampau agak beda isinya, hukum adat menunjukkan perkembangan” selanjutnya dia menambahkan “Hukum adat berkembang dan maju terus, keputusan-keputusan adat menimbulkan hukum adat”

    3.3     Unsur-unsur dalam Hukum Adat

    a.       Unsur Kenyataan

    Adat dalam keadaan yang sama selalu diindahkan oleh rakyat dan secara berulang-ulang serta berkesinambungan dan rakyat mentaati serta mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

    b.      Unsur Psikologis

    Setelah hukum adat ini ajeg atau berulang-ulang yang dilakukan selanjutnya terdapat keyakinan pada masyarakat bahwa adat yang dimaksud mempunyai kekuatan hukum, dan menimbulkan kewajiban hukum (opinion yuris necessitatis).

    3.4  Timbulnya Hukum Adat

    Hukum adat lahir dan dipelihara oleh putusan-putusan para warga masyarakat hukum terutama keputusan kepala rakyat yang membantu pelaksanaan perbuatan hukum itu atau dalam hal bertentangan keperntingan dan keputusan para hakim mengadili sengketa sepanjang tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat, senafas, seirama, dengan kesadaran tersebut diterima atau ditoleransi. Ajaran ini dikemukakan oleh Ter Haar yang dikenal sebagai Teori Keputusan.

    4.      Sumber Pengenal Hukum Adat

    4.1  Corak Hukum Adat

    Corak dalam hukum adat :

    1. Tradisional
    2. Keagamaan
    3. Kebersamaan
    4. Konkret dan Visual
    5. Terbuka dan Sederhana
    6. Dapat berubah dan menyesuaikan
    7. Tidak dikodifikasi
    8. Musyawarah Mufakat

    4.2  Sistem Hukum Adat

    Sistem hukum adat pada dasarnya bersendikan pada alam fikiran bangsa Indonesia yang tidak sama dengan alam pikiran masyarakat Barat. Oleh karena itu sistem hukum adat dan sistem hukum Barat terdapat beberapa perbedaan diantaranya :

    Hukum BaratHukum Adat
    – Mengenal hak suatu barang dan hak orang seorang atas sesuatu objek yang hanya berlaku terhadap sesuatu orang lain yang tertentu– Tidak mengenal dua pembagian hak tersebut, perlindungan hak ditangan hakim
    – Mengenal Hukum Umum dan Hukum Privat– Berlainan daripada batas antara lapangan public dan lapangan privat pada Hukum Barat
    – Ada Hakim Pidana dan Hakim Perdata– Pembetulan hukum kembali kepada hakim (kepala adat) dan upaya adat (adat reaksi)

    4.3  Kekuatan Materiil Hukum Adat

    Menurut Soepomo kekuatan materiil Hukum Adat bergantung pada beberapa factor, antara lain :

    1. Lebih atau kurang banyaknya penetapan yang serupa yang memberikan stabilitas pada peraturan hukum yang diwujudkan oleh penetapan itu.
    2. Seberapa jauh keadaan sosial di dalam masyarakat yang bersangkutan mengalami perubahan.
    3. Seberapa jauh peraturan yang diwujudkan itu selaras dengan sistem hukum adat yang berlaku.
    4. Seberapa jauh peraturan itu selaras dengan syarat-syarat kemanusiaan dan rasa keadilan.

    DAFTAR PUSTAKA

    Departemen Pendidikan Nasional.2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta

    Warjiyati, Sri. 2006.Memahami Hukum Adat. Surabaya : IAIN Surabaya

    Wulansari, Dewi. 2010. Hukum Adat di Indonesia. Bandung : PT. Refika Aditama

    Soepomo. 1989. Hukum Adat. Jakarta : PT. Pradnya Paramita

    Soepomo.1996. Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia II.(Jakarta : PT. Pradnya Paramita

    Wignjodipoero , Soerojo. 1995. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta : PT. Toko Gunung Agung

  • Makalah Filsafat Abad Pertengahan

    Makalah Filsafat Abad Pertengahan

    Filsafat abad pertangahan didominasi oleh konsep ketuhanan khususnya agama abrahamik. Perkembangan filsafat di daerah timur dipenuhi oleh konsep ketuhanan dalam pandangan Katolik yang berpusat di Roma sedangkan daerah timur dipengaruhi konsep ketuhanan dan agama Islam.

    Filsafat Abad Pertengahan

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Abad pertengahan merupakan kurun waktu yang khas. Secara singkat dikatakan bahwa dominasi agama kristen sangat menonjol. Perkembangan alam pikiran harus disesuaikan dengan ajaran agama. Demikian pula filsafat, harus diuji apakah tidak bertentangan dengan ajaran agama islam.

    Filsafat abad pertengahan menggambarkan suatu zaman yang baru di tengah-tengah suatu perkumpulan bangsa yang baru, yaitu bangsa eropa barat. Filsafat yang baru ini disebut skolastik.

    Pada masa pertumbuhan dan perkembangan filsafat eropa ( sekitar lima abad ) belum memunculkan ahli pikir ( filosuf ), akan tetapi setelah abad ke-6 masehi, baru muncul ahli pikir yang mengadakan penyelidikan filsafat. Jadi, filsafat Eropa yang mengawali kelahiran filsafat barat abad pertengahan.

    Filsafat barat abad pertengahan ( 476-1492 M ) juga dapat dikatakan sebagai abad gelap. Berdasarkan pada pendekatan sejarah gereja, saat itu tindakan gereja sangat membelenggu kehidupan manusia. Manusia tidak lagi memiliki kebebasan untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya. Para ahli pikir saat itu juga tidak mempunyai kebebasan berpikir. Apalagi  terdapat pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan agama ajaran gereja. Siapa pun orang yang mengemukakannya akan mendapatkan hukuman berat. Pihak gereja melarang diadakannya penyelidikan-penyelidikan berdasarkan rasio terhadap agama. Karena itu, kajian terhadap agama ( teologi) yang tidak berdasarkan ketentuan gereja akan mendapatkan larangan ketat. Yang berhak mengadakan penyelidikan terhadap agama hanyalah pihak gereja. Kendati demikian, ada juga yang melanggar peraturan tersebut dan mereka dianggap orang murtad dan kemudian diadakan pengejaran (inkuisisi ).

    B. Rumusan Masalah

    1. Bagaimanakah sejarah filsafat pada abad pertengahan?
    2. Apakah ciri filsafat pada abad pertengahan?
    3. Bagaimana periode pada abad pertengahan?
    4. Bagaimanakah perkembangan filsafat pada abad pertengahan ?

    C. Tujuan

    1. Untuk mengetahui sejarah filsafat pada abad pertengahan.
    2. Untuk mengetahui ciri filsafat pada abad pertengahan.
    3. Untuk mengetahui periode pada abad pertengahan.
    4. Untuk mengetahui perkembangan filsafat pada abad pertengahan.

    Bab II. Pembahasan

    A. Sejarah Filsafat Abad Pertengahan

    Sejarah filsafat Abad Pertengahan dimulai kira-kira pada abad ke-5 sampai awal abad ke-17. Para sejarawan umumnya menentukan tahun 476, yakni masa berakhirnya Kerajaan Romawi Barat yang berpusat di kota Roma dan munculnya Kerajaan Romawi Timur yang kelak berpusat di Konstantinopel (sekarang Istambul), sebagai data awal zaman Abad Pertengahan dan tahun 1492 (penemuan benua Amerika oleh Columbus) sebagai data akhirnya.

    Masa ini diawali dengan lahirnya filsafat Eropa. Sebagaimana halnya dengan filsafat Yunani yang dipengaruhi oleh kepercayaan, maka filsafat atau pemikiran pada Abad Pertengahan pun dipengaruhi oleh kepercayaan Kristen. Artinya, pemikiran filsafat Abad Pertengahan didominasi oleh agama.

    Periode abad pertengahan mempunyai perbedaan yang mencolok dengan abad sebelumnya. Perbedaan ini terletak pada dominasi agama. Timbulnya agama kristen pada permulaan abad masehi membawa perubahan besar terhadap kepercayaan agama. Zaman pertengahan adalah zaman keemasan bagi kekristenan. Disinilah yang menjadi persoalannya, karena agama kristen itu mengajarkan bahwa wahyu tuhanlah yang merupakan kebenaran sejati. Hal ini berbeda dengan pandangan yunani kuno mengatakan bahwa kebenaran dapat di capai oleh kemampuan akal.

    B. Ciri Filsafat Abad Pertengahan

    Filsafat Abad Pertengahan dicirikan dengan adanya hubungan erat antara agama Kristen dan filsafat. Dilihat secara menyeluruh, filsafat Abad Pertengahan memang merupakan filsafat Kristiani. Oleh karena itu, kiranya dapat dikatakan bahwa filsafat abad pertengahan adalah suatu filsafat agama dengan agama kristiani sebagai basisnya.

    Agama Kristen menjadi problema kefilsafatan karena mengajarkan bahwa wahyu Tuhanlah yang merupakan kebenaran yang sejati. Hal ini berbeda dengan pandangan yunani kuno yang mengatakan bahwa kebenaran dapat dicapai oleh kemampuan akal. Mereka belum mengenal adanya wahyu.

    Mengenai sikap terhadap pemikiran Yunani ada dua:[7]

    1. Golongan yang menolak sama sekali pemikiran Yunani, karena pemikiran Yunani merupakan pemikiran orang kafir karena tidak mengakui wahyu.
    2. Menerima filsafat yunani yang mengatakan bahwa karena manusia itu ciptaan Tuhan maka kebijaksanaan manusia berarti pula kebijaksanaan yang datangnya dari Tuhan. Mungkin akal tidak dapat mencapai kebenaran yang sejati. Oleh karena itu, akal dapat dibantu oleh wahyu.

    C. Periode-periode pada abad pertengahan

    Secara garis besar, filsafat abad pertengahan dapat dibagi menjadi dua periode yaitu Zaman Patristik dan Zaman Skolastik.

    a.   Zaman Patristik

    Patristik berasal dari kata patres (bentuk jamak dari pater) yang berarti bapak-bapak. Yang dimaksudkan adalah para pujangga Gereja dan tokoh-tokoh Gereja yang sangat berperan sebagai peletak dasar intelektual kekristenan. Mereka khususnya mencurahkan perhatian pada pengembangan teologi, tetapi dalam kegiatan tersebut mereka tak dapat menghindarkan diri dari wilayah kefilsafatan. Masa Patristik dibagi atas Patristik Yunani (atau Patristik Timur) dan Patristik Latin (atau Patristik Barat).

    Bapak Gereja terpenting pada masa itu antara lain Tertullianus (160-222), Justinus, Clemens dari Alexandria (150-251), Origenes (185-254), Gregorius dari Nazianza (330-390), Basilus Agung (330-379), Gregorius dari Nyssa (335-394), Dionysius Areopagita, Johanes Damascenus, Ambrosius, Hyeronimus, dan Agustinus (354-430).

    Tertullianus, Justinus, Clemens dari Alexandria, dan Origenes adalah pemikir-pemikir pada masa awal patristik. Gregorius dari Nazianza, Basilus Agung, Gregorius dari Nyssa, Dionysius Areopagita,dan Johanes Damascenus adalah tokoh-tokoh pada masa patristik Yunani. Sedangkan Ambrosius, Hyeronimus, dan Agustinus adalah pemikir-pemikir yang menandai masa keemasan patristik Latin.

    Agustinus adalah seorang pujangga gereja dan filsuf besar. Setelah melewati kehidupan masa muda yang hedonistis, Agustinus kemudian memeluk agama Kristen dan menciptakan sebuah tradisi filsafat Kristen yang berpengaruh besar pada abad pertengahan.

    Agustinus menentang aliran skeptisisme (aliran yang meragukan kebenaran). Menurut Agustinus skeptisisme itu sebetulnya merupakan bukti bahwa ada kebenaran. Menurut Agustinus, Allah menciptakan dunia ex nihilo (konsep yang kemudian juga diikuti oleh Thomas Aquinos). Artinya, dalam menciptakan dunia dan isinya, Allah tidak menggunakan bahan.[9]

    Filsafat patristik mengalami kemunduran sejak abad V hingga abad VIII. Di barat dan timur tokoh-tokoh dan pemikir-pemikir baru dengan corak pemikiran yang berbeda dengan masa patristik.

    b. Zaman Skolastik

    Zaman Skolastik dimulai sejak abad ke-9. Kalau tokoh masa Patristik adalah pribadi-pribadi yang lewat tulisannya memberikan bentuk pada pemikiran filsafat dan teologi pada zamannya, para tokoh zaman Skolastik adalah para pelajar dari lingkungan sekolah-kerajaan dan sekolah-katedral yang didirikan oleh Raja Karel Agung (742-814) dan kelak juga dari lingkungan universitas dan ordo-ordo biarawan.

    Filsafat mereka disebut “Skolastik” (dari kata Latin “scholasticus”, “guru”), karena pada periode ini filsafat diajarkan dalam sekolah-sekolah, biara dan universitas-universitas menurut suatu kurikulum yang baku dan bersifat internasional.

    Tokoh-tokoh terpenting masa skolastik adalah Boethius (480-524), Johannes Scotus Eriugena (810-877), Anselmus dari Canterbury (1033-1109), Petrus Abelardus (1079-1142), Bonaventura (1221-1274), Singer dari Brabant (sekitar 1240-1281/4), Albertus Agung (sekitar 1205-1280), Thomas Aquinas (1225-1274), Johannes Duns Scotus (1266-1308), Gulielmus dari Ockham (1285-1349), dan Nicolaus Cusanus (1401-1464).

    Anselmus mengemukakan semboyan credo ut intelligam, yang artinya aku percaya agar aku mengerti. Kepercayaan digunakan untuk mencari pengertian, filsafat sebagai alat pikiran, teologi sebagai kepercayaan. Sumbangan terpenting Anselmus yaitu suatu ajaran ketuhanan yang bersifat filsafat. Dalam menjelaskan kedatangan dan kematian Kristus Anselmus menjelaskan bahwa kemuliaan Tuhan telah digelapkan oleh kejatuhan malaikat dan manusia. Hal ini merupakan penghinaan bagi Tuhan yang patut dikenai hukuman. Untuk menyelamatkan manusia, Tuhan menjelma menjadi anakNya agar hukuman dapat ditanggung. Dengan demikian keadilan, rahmat dan kasih Tuhan telah genap dan dipenuhi.

    Peter Abelardus dianggap membuka kembali kebebasan berpikir dengan semboyannya: intelligo ut credom (saya paham supaya saya percaya). Pemikiran Abelardus yang bercorak nominalismei ditentang oleh gereja karena mengritik kuasa rohani gereja.Dalam ajaran mengenai etika, Abelardus beranggapan bahwa ukuran etika ialah hukum kesusilaan alam. Kebajikan alam menjadikan manusia tidak perlu memiliki dosa asal. Tiap orang dapat berdosa jika menyimpang dari jalan kebajikan alam. Akal manusia sebagai pengukur dan penilai iman.

    Bagi Thomas Aquinas, tidak ada perbedaan antara akal dan wahyu Kebenaran iman hanya dapat dicapai melalui keyakinan dan wahyu (dunia diciptakan Tuhan dalam 6 hari). Ada kebenaran teologis alamiah yang dapat ditemukan pada akal dan wahyu (sebagai jalan menemukan kebenaran), tetapi hanya ada satu kebenaran, yaitu teologi iman. Pengetahuan tidak sama dengan kepercayaan. Pengetahuan didapat dari indra dan diolah dari akal, tetapi akal tidak bisa mencapai realitas tertinggi. Dalil akal harus diperkuat oleh agama.

    Aquinas yang pemikirannya dipengaruhi Aristoteles, melakukan pula pengristenan teori Aristoteles dalam teologi Kristen. Salah satu penyempurnaan teori Aristoteles oleh Aquinas yaitu pandangan bahwa wanita adalah pria yang tidak sempurna. Pria dianggap aktif dan kreatif, wanita dipandang pasif dan reseptif. Bagi Aqunias pria dan wanita memiliki jiwa yang sama,   hanya sebagai makhluk alamlah wanita lebih rendah, jiwanya sama.

    Aku percaya sebab mustahil”, demikian semboyan Occam sebagai suatu gambaran terhadap hubungan tidak harmonis antara kepercayaan dan pengetahuan. Pandangan dengan corak nominalis ini banyak dikritik oleh gereja karena dianggap otoritas gereja. Bagi Occam, ”bukan saja akal manusia tidak akan dapat mengerti pernyataan Tuhan, tetapi juga akal akan menyerang segala ikrar keputusan gereja dengan hebat sebab akal manusia sekali-kali tidak bisa memasuki dunia ketuhanan. Manusia hanya dapat menggantungkan kepercayaan kepada kehendak Tuhan saja yang telah dinyatakan dalam alkitab”. Dengan demikian, antara keyakinan yang bersumber terhadap agama dan pengetahuan yang bersumber pada akal harus dipisahkan. Akibat pandangan ini Occam dihukum penjara oleh Paus, namun mendapat suaka dari Raja Louis IV.

    Periode ini terbagi menjadi tiga tahap:

    1. Periode Skolastik awal (800-120)

    Ditandai oleh pembentukan metode yang lahir karena hubungan yang rapat antara agama dan filsafat. Yang tampak pada permulaan ialah persoalan tentang universalia. Ajaran Agustinus dan neo-Platonisme mempunyai pengaruh yang luas dan kuat dalam berbagai aliran pemikiran.

    Pada periode ini, diupayakan misalnya, pembuktian adanya Tuhan berdasarkan rasio murni, jadi tanpa berdasarkan Kitab Suci (Anselmus dan Canterbury). Problem yang hangat didiskusikan pada masa ini adalah masalah  universalia dengan konfrontasi antara “Realisme” dan “Nominalisme” sebagai latar belakang problematisnya. Selain itu, dalam abad ke-12, ada pemikiran teoretis mengenai filsafat alam, sejarah dan bahasa, pengalaman mistik atas kebenaran religious pun mendapat tempat.

    2. Periode puncak perkembangan skolastik (abad ke-13)

    Periode puncak perkembangan skolastik : dipengaruhi oleh Aristoteles akibat kedatangan ahli filsafat Arab dan yahudi. Filsafat Aristoteles memberikan warna dominan pada alam pemikiran Abad Pertengahan. Aristoteles diakui sebagai Sang Filsuf, gaya pemikiran Yunani semakin diterima, keluasan cakrawala berpikir semakin ditantang lewat perselisihan dengan filsafat Arab dan Yahudi. Universitas-universitas pertama didirikan di Bologna (1158), Paris (1170), Oxford (1200), dan masih banyak lagi universitas yang mengikutinya. Pada abad ke-13, dihasilkan suatu sintesis besar dari khazanah pemikiran kristiani dan filsafat Yunani. Tokoh-tokohnya adalah Yohanes Fidanza (1221-1257), Albertus Magnus (1206-1280), dan Thomas Aquinas (1225-1274). Hasil sintesis besar ini dinamakan summa (keseluruhan).

    3. Periode Skolastik lanjut atau akhir (abad ke-14-15)

    Periode skolastik Akhir abad ke 14-15 ditandai dengan pemikiran islam yang berkembang kearah nominalisme ialah aliran yang berpendapat bahwa universalisme tidak memberi petunjuk tentang aspek yang sama dan yang umum mengenai adanya sesuatu hal. Kepercayaan orang pada kemampuan rasio memberi jawaban atas masalah-masalah iman mulai berkurang. Ada semacam keyakinan bahwa iman dan pengetahuan tidak dapat disatukan. Rasio tidak dapat mempertanggungjawabkan ajaran Gereja, hanya iman yang dapat menerimanya.

    D. Perkembangan Filsafat Abad Pertengahan

    Pada abad pertengahan ini perkembangan ilmu mencapai kemajuan yang pesat karena adanya penerjemahan karya filsafat Yunani klasik ke bahasa Latin, juga penerjemahan kembali karya para filsuf Yunani oleh bangsa Arab ke bahasa Latin. Karangan para filsuf Islam menjadi sumber terpenting penerjemahan buku, baik buku keilmuan maupun filsafat. Diantara karya filsuf islam yang diterjemahkan antara lain astronomi (Al Khawarizmi), kedokteran (Ibnu Sina), karya-karya Al Farabi, Al Kindi, Al Ghazali.

    Fokus pada pengembangan ilmu melalui sekolah menjadi perhatian dari Raja Charlemagne (Charles I) dengan pendirian sekolah-sekolah dan perekrutan guru dari Italia, Inggris dan Irlandia. Sistem pendidikan di sekolah dibagi menjadi tiga tingkat. Pertama, yakni pengajaran dasar (diwajibkan bagi calon pejabat agama dan terbuka juga bagi umum). Kedua, diajarkan tujuh ilmu bebas (liberal art) yang dibagi menjadi dua bagian; a) gramatika, retorika, dan dialektika (trivium), b) aritmetika, geometri, astronomi dan musik (quadrivium). Tingkatan ketiga ialah pengajaran buku-buku suci.

    Masa abad pertengahan adalah masa pembentukan kebudayaan Barat dengan ciri khas ajaran Masehi (filsafat skolastik) yang diwarnai oleh perkembangan peradaban Kristen. Peradaban Kristen menjadi dasar bagi kebudayaan masa modern. Peninggalan kebudayaan abad pertengahan dapat dilihat dari karya seni musik, bangunan bercorak gothik sebagai bentuk pemujaan terhadap gereja.

    Bab III. Penutup

    A. Kesimpulan

    Zaman pertengahan ialah zaman dimana Filsafat Abad Pertengahan dicirikan dengan adanya hubungan erat antara agama Kristen dan filsafat. Abad pertengahan memiliki sebutan lain misalnya abad kegelapan, jaman skolastik atau masa patristik, yang semuanya menggambarkan corak pemikiran filsafat dan keilmuan yang dibentuk sesuai dengan perkembangan peradaban Kristen.

    Abad ini ditandai dengan keruntuhan budaya Romawi dan upaya untuk kembali membangun peradaban berdasarkan ajaran filsafat Yunani dan ajaran agama Kristen. Perkembangan ilmu dan filsafat berlangsung di gereja-gereja pada awalnya, untuk kemudian mengalami perpecahan dikarenakan domininasi kuat agama terhadap berbagai aspek kehidupan.

    Perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat berlangsung dengan lambat tetapi pasti sejalan dengan kontak budaya dengan budaya Islam dan semangat untuk kembali pada kejayaan peradaban Yunani. Masa ini berakhir dengan pemisahan kekuasaan dan pemikiran antara ajaran agama yang bertahan di gereja dan perkembangan keilmuan yang mendapat tempat di lembaga sekolah.

    B. Saran

    Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis senantiasa dengan lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan karya-karya berikutnya.

    DAFTAR PUSTAKA

    Ali, Basyarat. A. Problem Filsafat Abad Pertengahan. 10 Januari 2010  Myopera.com/basyarat/blog/2001/01. Diakses tanggal 30 September 2010

    Bakry, H. 1991. Di Sekitar Filsafat Skolastik Kristen. Jakarta: Firdaus.

    Hanafi, A. 1983. Filsafat Skolastik. Jakarta:Pustaka Alhusna

    Maksum, Ali. 2010. Pengantar Filsafat. Jogjakarta : Ar Ruzz Media

    Mustansyir, Rizal. 2009. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Belajar Offset

    Petrus, Simon. 2004. Petualangan Intelektual. Yogyakarta: Kanisius

    Surajiyo. 2005. Ilmu filsafat suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara

    Tim Penyusun MKD.2011. Pengantar Filsafat. Surabaya : IAIN Sunan Ampel Press

    http://adib-elfikr.blogspot.com

    http://betetsays.blogspot.com/2011

    http://elearning.gunadarma.ac.id

    .


    [1] Dikutip dari http://adib-elfikr.blogspot.com

    [2] Ali Maksum, Pengantar Filsafat, (Jogjakarta : Ar Ruzz Media, 2010), hlm. 99

    [3] Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual, (Yogyakarta, Kanisius:2004), hlm. 102

    [4] Rizal Mustansyir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2009) cet. 9, hlm. 66

    [5] Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005) cet. I, hlm. 157

    [6] Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual, (Yogyakarta, Kanisius:2004), hlm. 102

    [7] Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta, Bumi Aksara: 2005), hlm. 156

    [8] Dikutip dari http://elearning.gunadarma.ac.id

    [9] Dikutip dari http://betetsays.blogspot.com/2011

    [10] Tim Penyusun MKD, Pengantar Filsafat, (Surabaya : IAIN Sunan Ampel, 2011), hlm. 26

    [11] http://elearning.gunadarma.ac.id

    [12] Hasbullah Bakry, Di sekitar Filsafat Skolastik Kristen. 1991. Jakarta: Firdaus

    [13] Ali, Basyarat. A. Problem Filsafat Abad Pertengahan. 10 Januari 2010  Myopera.com/basyarat/blog/2001/01. Diakses tanggal 30 September 2010

    [14] Surajio, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta, Bumi Aksara: 2005), hlm.  157

    [15] A. Hanafi. Filsafat Skolastik. 1983. Jakarta: Alhusna

  • Makalah Salaf – Ahmad Ibn Hanbal dan Ibn Taimiyah

    Makalah Salaf – Ahmad Ibn Hanbal dan Ibn Taimiyah

    Makalah Salaf dengan dua tokoh uatama yakni Ahmad Ibn Hanbal dan Ibn Taimiyah.

    Salaf – Ahmad Ibn Hanbal dan Ibn Taimiyah

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Pada awalnya ilmu kalam lahir banyak persoalan yang timbul dikalangan masyarakat, karena itulah muncul berbagai pendapat dan pemikiran, sehingga terbentuk aliran-aliaran pemikiran para ulama. termasuk aliran teologi yang untuk menyelesaikan masalah-masalah kalam tersebut.

    Hal ini berdasarkan potensi-potensi yang dimiliki oleh setiap manusia, baik berupa potensi biologis maupun psikologis dan terus berkembang untuk mencari nilai-nilai kebaikan. Ilmu kalam dengan perkembangannya menimbulkan permasalaan, kemudian berkembang menjadi beberapa aliran, hal ini disebabkan karena perbedaan-perbedaan yang dimulai oleh para ulama kalam.

    Disini kita akan menggali lebih dalam tentang pemikiran-pemikiran yang mereka jalani, Aliran-aliran tersebut masing-masing mempunyai landasan yang dijadikan dasar mereka dalam ber-hujjah. Baik itu Al-Qur’an maupun Hadits.

    Diantara aliran-aliran tersebut adalah aliran Salafiyah. Ada banyak sekali ulama-ulama salaf yang tersebar di seluruh dunia, dan pada makalah ini akan dibahas dua ulama yaitu Imam Ahmad Bin Hanbali dan Ibnu Taimiyah. Disamping biografi dan riwayat hidup dari dua ulama di atas juga akan dibahas tentang pemikirannya, seperti Imam Ahmad Bin Hanbali yaitu tentang ayat-ayat mutasyabihat dan kemakhlukan al-qur’an sedangkan Ibnu Taimiyah tentang sifat-sifat allah dan lainnya.

    Namun sebelum pembahasan tentang ulama-ulama salaf beserta pemikirannya didalam makalah ini akan dibahas tentang pengertian salaf itu sendiri.

    B. Rumusan Masalah

    1. Apa pengertian salaf?
    2. Siapa biografi ulama salaf dan pemikirannya?
    3. Bagaimana perkembangan salafiyah di Indonesia ?

    C. Tujuan

    1. Untuk mengetahui pengertian salaf.
    2. Untuk mengetahui biografi dan pemikiran ulama salaf
    3. Untuk mengetahui perkembangan salafiyah di Indonesia.

    Bab II. Pembahasan

    A. Pengertian Salaf

    Kata salaf secara bahasa bermakna orang yang telah terdahulu dalam ilmu, iman, keutamaan dan kebaikan. Berkata Ibnul Mandzur : “Salaf  juga berarti orang-orang yang mendahului kamu dari nenek moyang, orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan denganmu dan memiliki umur lebih serta keutamaan yang lebih banyak”. Oleh karena itu, generasi pertama dari Tabi’in dinamakan As-Salafush Shalih.

    Adapun secara istilah, maka dia adalah sifat pasti yang khusus untuk para sahabat ketika dimutlakkan dan yang selain mereka diikut sertakan karena mengikuti mereka. Al-Qalsyaany berkata dalam Tahrirul Maqaalah min Syarhir Risalah : As-Salaf Ash-Shalih adalah generasi pertama yang mendalam ilmunya lagi mengikuti petunjuk Rasulullah dan menjaga sunnahnya. Allah SWT telah memilih mereka untuk menegakkan agama-Nya dan meridhoi mereka sebagai imam-imam umat.

    Salafiyah adalah sikap atau pendirian para ulama Islam yang mengacu kepada sikap atau pendirian yang dimiliki para ulama generasi salaf itu. Kata salafiyah sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti ‘terdahulu’, yang maksudnya ialah orang terdahulu yang hidup semasa dengan Nabi Muhammad SAW, Sahabat, Tabi’in, dan Tabi’it Tabi’in.

    Menurut Thabawi Mahmud Sa’ad, salaf artinya ulama terdahulu. Salaf terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat, tabi’i, tabi’ tabi’in, para pemuka abad ke-3 H dan para pengikutnya pada abad ke-4 H yang terdiri atas para muhadditsin dan lainnya. Salaf berarti pula ulama-ulama saleh yang hidup pada tiga abad pertama islam.

    Sedangkan menurut As-Syahrastani, ulama salaf adalah ulama yang tidak menggunakan ta’wil (dalam menafsirkan ayat-ayat yang mutasyabihat) dan tidak mempunyai faham tasybih (anthropomorphisme). Sedangkan Mahmud Al-Bisybisyi dalam Al-Firaq Al-Islamiyah mendefinisikan salaf sebagai sahabat, tabi’ tabi’in yang dapat diketahui dari sikapnya menampik penafsiran yang mendalam mengenai sifat-sifat Allah yang menyerupai segala sesuatu yang baru untuk menyucikan dan mengagungkan-Nya. W. Montgomery watt menyatakan bahwa gerakan salafiyah berkembang terutama di bagdad pada abad ke-13.

    Ibrahim Madzkur menguraikan karakteristik ulama salaf atau salafiyah sebagai berikut :

    1. Mereka lebih mendahulukan riwayat (naql) daripada dirayah(aql).
    2. Dalam persoalan pokok-pokok agama (ushuluddin) dan persoalan-persoalan cabang agama (furu’ad-din), mereka hanya bertolak dari penjelasan Al-Kitab dan As-Sunnah.
    3. Mereka mengimani Allah tanpa perenungan lebih lanjut (tentang dzat-Nya) dan tidak pula mempunyai faham anthropomorphisme.
    4. Mereka mengimani ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan makna lahirnya, dan tidak berupaya untuk menakwilkannya.

    Menurut Harun Nasution, secara kronologis salafiyah bermula dari Imam Ahmad bin Hanbal. Lalu ajarannya dikembangkan Imam Ibn Taimiyah, kemudian disuburkan oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahab, dan akhirnya berkembang di dunia Islam secara sporadis.

    Bila Salafiyah muncul pada abad ke-7 H, hal ini bukan berarti tercampuri masalah baru. Sebab pada hakikatnya mazhab Salafiyah ini merupakan kelanjutan dari perjuangan pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal. Atau dengan redaksi lain, mazhab Hanbalilah yang menanamkan batu pertama bagi pondasi gerakan Salafiyah ini. Atas dasar inilah Ibnu Taimiyah mengingkari setiap pendapat para filosof Islam dengan segala metodenya.

    Pada akhir pengingkarannya Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa tidak ada jalan lain untuk mengetahui aqidah dan berbagai permasalahannya hukum baik secara global ataupun rinci, kecuali dengan Al-Qur’an dan Sunnah kemudian mengikutinya. Apa saja yang diungkapkan dan diterangkan Al-Qur’an dan Sunnah harus diterima, tidak boleh ditolak. Mengingkari hal ini berarti telah keluar dari agama.

    B. Ulama-ulama Salaf dan Beberapa Pemikirannya

    1. Imam Ahmad Bin Hanbali

    a. Riwayat Singkat Hidup Ibn Hanbal

    Imam Hanbal nama lengkapnya ialah Al-imam Abu abdillah Ahmad ibn Hanbal Hilal Addahili As-Syaibani Al-Maruzi, beliau dilahirkan di Baghdad pada tahun 164 H/780 M dan meninggal pada tahun 241 H/855 M. Ia sering dipanggil Abu Abdillah karena salah seorang anaknya bernama Abdillah. Namun, ia lebih dikenal dengan nama Imam Hanbal karena merupakan pendiri madzhab Hambali.

    Ayahnya bernama Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Anas bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syaiban, bin Dahal bin Akabah bin Sya’ab bin Ali bin Jadlah bin Asad bin Rabi Al-Hadis bin Nizar, sedangkan ibu beliau bernama Syahifah binti Maimunah binti Abdul Malik bin Sahawah bin Hindur Asy-Syaibani (wanita dari bangsa Syaibaniyah juga) dari golongan terkemuka kaum bani Amir.

    Ayahnya meninggal ketika Ibn Hanbal masih remaja, Namun ia telah memberikan pendidikan Al-Qur’an pada Ibnu Hanbal pada usia 16 tahun ia belajar Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama lainnya kepada ulama’-ulama’ Baghdad. Lalu mengunjungi ulama’-ulama’ terkenal di khuffah, Basrah, Syam, Yaman, Mekkah, Madinah. Di antara guru-gurunya adalah : Hammad bin Khallid, Ismail bin Aliyyah, Muzaffar bin Mudrik, Walid bin Muslim, Muktamar bin Sulaiman, Abu Yusuf Al-Qadi, Yahya bin Zaidah, Ibrahim bin Sa’id, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Abd Razaq bin Humam, dan  Musa bin Thariq. Dari guru-gurunya Ibn Hanbal mempelajari ilmu fiqh, kalam, ushul, dan bahasa Arab.

    Ibn Hanbal dikenal sebagai seorang zahid. Hampir setiap hari Ia berpuasa dan hanya tidur sebentar dimalam hari. Ia juga dikenal Sebagai seorang dermawan.

    Karya beliau sangat banyak, di antaranya : Kitab Al Musnad, karya yang paling menakjubkan karena kitab ini memuat lebih dari dua puluh tujuh ribu hadits, Kitab At-Tafsir, Kitab Az-Zuhud, Kitab Fadhail Ahlil Bait, Kitab Jawabatul Qur’an, Kitab Al Imaan, Kitab Ar-Radd ‘alal Jahmiyyah, Kitab Al Asyribah, dan Kitab Al Faraidh.

    b. Pemikiran Teori Ibn Hanbal

    a) Tentang ayat-ayat Mutasyabihat

    Dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an , Ibn Hanbal lebih suka menerapkan pendekatan lafdzi (tekstual) daripada pendekatan ta’wil, terutama yang berkaitan dengan sifat-sifat tuhan dan ayat-ayat Mustasyabihat. Hal itu terbukti ketika ditanya tentang penafsiran “(yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arsy.”(Q.s. Thaha : 50.) Dalam hal ini Ibn Hanbal menjawab “Bersemayam diatas arasy terserah pada Allah dan bagaimana saja Dia kehendaki dengan tiada batas dan tiada seorangpun yang sanggup menyifatinya.”

    Dan ketika ditanya tentang makna hadist nuzul (Tuhan turun kelangit dunia), ru’yah (orang-orang beriman melihat Tuhan diakhirat), dan hadist tentang telapak kaki Tuhan, Ibn Hanbal menjawab : “Kita mengimani dan membenarkannya, tanpa mencari penjelasan cara dan maknanya.”

    Dari pernyataan diatas, tampak bahwa Ibn hanbal bersikap menyerahkan (tafwidh) makna-makna ayat dan hadist mutasyabihat kepada Allah dan Rasul-Nya, Ia sama sekali tidak mena’wilkan pengertian lahirnya.

    b) Tentang Status Al-Qur’an

    Ibn Hanbal tidak sependapat dengan faham Mu’tazilah, yakni Al-Qur’an tidak bersifat qadim, tetapi baru dan diciptakan. Faham adanya qadim disamping Tuhan, berarti menduakan Tuhan, Sedangkan menduakan Tuhan adalah Syirik dan dosa besar yang tidak diampuni oleh Allah.

    Ibn Hanbal tidak mau membahas lebih lanjut tentang status Al-Qur’an. Itu dapat dilihat dari salah satu dialog yang terjadi antara Ishaq bin Ibrahim, gubernur Irak dengan Ahmad Ibn Hanbal. Ia hanya mengatakan bahwa al-Qur’an tidak diciptakan. Hal ini sejalan dengan pola pikirnya yang menyerahkan ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat Allah kepada Allah dan rasul-Nya.

    2. Ibn Taimiyah

    a. Riwayat Singkat Hidup Ibn Taimiyah

    Nama lengkap Ibn Taimiyah adalah Taqiyyuddin Ahmad bin Abi Al-Halim binTaimiyah. Dilahirkan di Harran pada hari senin tanggal 10 rabiul awwal tahun 661 H dan meninggal di penjara pada malam senin tanggal 20 Dzul Qaidah tahun 729 H. Kewafatannya telah menggetarkan dada seluruh penduduk Damaskus, Syam, dan Mesir, serta kaum muslimin pada umumnya. Ayahnya bernama Syihabuddin Abu Ahmad Abdul Halim bin Abdussalam Ibn Abdullah bin Taimiyah, seorang syekh, khatib dan hakim di kotanya.

    Dikatakan oleh Ibrahim Madkur bahwa ibn Taimiyah merupakan seorang tokoh salaf yang ekstrim karena kurang memberikan ruang gerak leluasa kepada akal. Ia adalah murid yang muttaqiwara, dan zuhud, serta seorang panglima dan penentang bangsa tartas yang berani. Selain itu ia dikenal sebagai seorang muhaddits mufassirfaqihteolog, bahkan memiliki pengetahuan luas tentang filsafat. Ia telah mengkritik khalifah Umar dan khalifah Ali bin Abi Thalib. Ia juga menyerang Al-Ghazali dan Ibn Arabi. Kritikannya ditujukan pula pada kelompok-kelompok agama sehingga membangkitkan para ulama sezamannya. Berulangkali Ibn Taimiyah masuk kepenjara hanya karena bersengketa dengan para ulama sezamannya.

    b.Pemikiran Teori Ibn Taimiyah

    Pikiran-pikiran Ibnu Taimiyah adalah sebagai berikut :

    1. Sangat berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadist
    2. Tidak memberikan ruang gerak yang bebas kepada akal
    3. Berpendapat bahwa Al-Qur’an mengandung semua ilmu agama
    4. Di dalam islam yang diteladani hanya 3 generasi saja (sahabat, tabi’in, dan tabi’i-tabi’in)
    5. Allah memili sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap mentanzihkan-Nya.

    Ibn Taimiyah mengkritik Imam Hanbali dengan mengatakan bahwa kalaulah kalamullah itu qadim, kalamnya pasti qadim pula. Ibn Taimiyah adalah seorang tekstualis. Oleh sebab itu pandangannya dianggap oleh ulama mazhab Hanbal, Al-kitab Ibn Al-Jauzi sebagai pandangan tajsim (antropomorpisme) Allah, yakni menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Oleh karena itu, Al-Jauzi berpendapat bahwa pengakuan Ibn Taimiyah sebagai salaf perlu ditinjau kembali.

    Berikut ini adalah pandangan ibnu Taimiyah tentang sifat-sifat Allah.[8]

    a)   Percaya Sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang Ia sendiri atau Rasul-Nya menyifati. Sifat-sifat yang dimaksud adalah:

    1. Sifat salbiyah, yaitu qidam, baqa, muhalafatu lil hawaditsi, qiyamuhu binafsihi, dan wahdanniyah.
    2. Sifat ma’nawi, yaitu qudrah, iradah, samea, bashar, hayat, ilmu, dan kalam.
    3. Sifat khabariah (sifat-sifat yang diterangkan Al-Qur’an dan Hadis walaupun akal bertanya tentang maknanya). Seperti keterangan yang menyatakan bahwa Allah dilangit; Allah diatas Arasy; Allah turun kelangit dunia; Allah dilihat oleh orang beriman diakhirat kelak; wajah, tangan dan mata Allah
    4. Sifat dhafiah, meng-idhafat-kan atau menyandarkan nama-nama Allah pada alam makhluk, rabb al-amin, khaliq al-kaum. Dan falik al-habb wa al-nawa.

    b) Percaya sepenuhnya terhadap nama-nama-Nya, yang Allah dan Rasul-Nya sebutkan, seperti al-awwal, al-akhir, azh-zhahir, al-bathin, al-alim, al-qadir, al-hayy, al-qayyum, as-sami, dan al-bashir.

    c) Menerima sepenuhnya nama-nama Allah tersebut dengan tidak mengubah makna yang tidak dikehendaki lafadz, tidak menghilangkan pengertian lafazd, tidak mengingkarinya, tidak menggambarkan bentu-bentuk Tuhan, dan tidak menyerupai sifat-sifat-Nya dengan sifat-sifat makhluknya.

    Ibn Taimiyah tidak menyetujui penafsiran ayat-ayat mutsyabihat. Menurutnya, ayat atau Hadist yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan sebagaimana adanya, dengan cacatan tidak men-tajsim-kan, tidak menyerupakanNya dengan makhluk, dan tidak bertanya-tanya tentangNya. [9]

    C. Perkembangan Salafiyah di Indonesia

    Perkembangan salafiyah di Indonesia di awali oleh gerakan-gerakan persatuan islam (persis), atau Muhammadiyah. Gerakan-gerakan lainnya, pada dasarnya juga dianggap sebagai gerakan ulama salaf, tetapi teologinya sudah di pengaruhi oleh pemikiran yang dikenal dengan istilah logika. Sementara itu, para ulama yang menyatakan diri mereka sebagai ulama salaf, mayoritas tidak menggunakan pemikiran dalam membicarakan masalah teologi (ketuhanan).

    Dalam perkembangan berikutnya, sejarah mencatat bahwa salafiyah tumbuh dan berkembang pula menjadi aliran (mazhab) atau paham golongan, sebagaimana KhawarrijMu’tazilahMaturidiyah, dan kelompok-kelompok Islam klasik lainnya. Salafiyah bahkan sering dilekatkan dengan ahl-sunnah wa al-jama’ah, di luar kelompok Syiah.

    Bab III. Penutup

    A. Kesimpulan

    Salaf bukanlah suatu “harakah”, bukan pula manhaj hizbi (fanatisme golongan), dan bukan pula manhaj yang mengajarkan taklid, kekerasan. Tetapi manhaj Salaf adalah ajaran Islam sesungguhnya yang dibawa oleh Nabi SAW dan difahami serta dijalankan oleh para salafush-shalih-radhiyalahu ‘anhum, yang ditokohi oleh para sahabat, kemudian oleh para Tabi’in dan selanjutnya Tabi’i Tabi’in.

    Imam hanbali adalah salah seorang tokoh ulama salaf yang mempunyai ciri khas dalam pemikirannya yaitu lebih menerapkan pendekatan lafdzi (tekstual) daripada pendekatan ta’wil, kemudian beliau menyerahkan (tafwidh) makna-makna ayat dan hadist mutasyabihat kepada Allah dan Rasul-Nya.
    Kemudian ulama salaf lainnya adalah Ibnu Taimiyah, Ibnu Taimiyah merupakan tokoh salaf yang ekstrim karena kurang memberikan ruang gerak leluasa pada akal. Ia adalah murid yang muttaqi, wara, zuhud, serta seorang panglima dan penentang bangsa Tartas yang berani. Ibnu Taimiyah tidak menyetujui penafsiran ayat- ayat mutasyabihat. Menurutnya, ayat atau Hadist yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan sebagaimana adanya, dengan cacatan tidak men-tajsim-kan, tidak menyerupakanNya dengan makhluk, dan tidak bertanya-tanya tentangNya.

    Untuk memahami latar belakang perkembangan, pemikiran dalam masyarakat islam, tentu salah satu cara yang bisa kita gunakan adalah dengan melihat materi-materi agama yang menjadi konsern umat islam. terutama semua materi yang menjadi konsern umat islam dinyatakan merujuk pada Al-Qur’an dan hadis.

    B. Saran

    Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis senantiasa dengan lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan karya-karya berikutnya.

    DAFTAR PUSTAKA

    Adnan Amal Taupik, Panggabean Syamsu Rizal. 1987. Tafsir dan Kontektual Al-Qur’anBandung: Miza

    Husen Muhammad, Dzahadi. 1978. Penyimpangan-penyimpangan dalam penafsiran Al-Qur’an, Jakarta : Rajawali press

    Muhammad Asy Syak’ah Mustofa. 1994. Islam Tidak Bermazhab. Jakarta: Gema Insani

    Nasution Harun. 1986. Teologi Islam : Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta:UI Press

    Rozak Abdul, Anwar Rosihon. 2007. Ilmu Kalam. Bandung : CV Pustaka Setia

    Yusuf, Abdullah. 1993. Pandangan Ulama tentang Ayat-ayat Mutasyabihat. Bandung:Sinar Baru

    http://ferdiansweblog.blogspot.com/2010

    http://nuris23.wordpress.com/salafiyah-yang-dibina-oleh-dr-aminullah-el-hady/

    http://www.darussalaf.or.id

  • Makalah Sistem Ketatanegaraan RI

    Sistem Ketatanegaraan RI

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Negara adalah sekumpulan orang yang menempati wilayah tertentu dan diorganisasi oleh pemerintah negara yang sah, yang umumnya memiliki kedaulatan. Sebuah negara tentunya harus mempunyai berbagai unsur yang membentuknya menjadi sebuah kesatuan. Menurut Oppenheimer dan Lauterpacht unsur-unsur tersebut antara lain adalah rakyat yang bersatu, daerah atau wilayah, pemerintahan yang berdaulat, dan pengakuan dari negara lain.

    Setelah beberapa unsur tersebut terpenuhi, negara tidak akan dengan langsung berjalan dengan sendirinya. Maka dari itu untuk menjamin keberlangsungan proses penyelenggaraan negara  sesuai dengan fungsi dan tujuannya, keberadaan sistem ketatanegaraan menjadi sangat penting. Sistem ini ibarat sebuah kontrak sosial yang mengikat secara hukum antara pemerintah dengan rakyatnya. Dengan sistem ini, siapapun yang berkuasa akan melaksanakan roda pemerintahan dengan sebaik-baiknya untuk kemakmuran rakyat.

    Indonesia dibentuk sebagai negara kesatuan dengan sistem pemerintahan presidensial yang didalamnya terdapat lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Selain itu, sistem ketatanegaraan indonesia juga dibangun dari berbagai lembaga lain yang masuk kedalam tiga lembaga besar tersebut. Pada saat ini banyak masyarakat bahkan pelajar yang kurang memahami tentang Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, padahal suatu bangsa akan menjadi baik jika seluruh warga negaranya memahami, mengerti, dan dapat menjalankan dengan penuh tanggung jawab sebagaimana peraturan dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia.

    Maka dalam makalah ini, penyusun akan menguraikan hal-hal yang berkaitan dengan sistem ketatanegaraan yang dijalankan oleh Negara Indonesia.

    BAB II

    RUMUSAN MASALAH

    2.1.Rumusan Masalah

    1.      Apakah pengertian dari sistem ketatanegaraan?

    2.      Bagaimanakah sistem ketatanegaraan di Republik Indonesia?

    3.      Bagaimanakah Republik Indonesia menjalankan sistem ketatanegaraannya pada saat ini?

    2.2.Tujuan

    1.      Mengetahui pengertian sistem ketatanegaraan

    2.      Mengetahui sistem ketatanegaraan di Republik Indonesia

    3.      Mengetahui kondisi Republik Indonesia dalam menjalankan sistem ketatanegaraannya pada saat ini.

    2.3.Manfaat

    1.       

    BAB III

    PEMBAHASAN

    3.1 Pengertian Sistem Ketatanegaraan

    Istilah Sistem Ketatanegaraan  merupakan gabungan dari dua kata, yaitu: “Sistem” dan “Ketatanegaraan”. Sistem berarti keseluruhan yang terdiri dari beberapa bagian yang mempunyai hubungan fungsional baik antara bagian-bagian maupun hubungan fungsional terhadap keseluruhannya, sehingga hubungan tersebut menimbulkan suatu ketergantungan antara bagian-bagian yang akibatnya jika salah satu bagian tidak bekerja dengan baik akan mempengaruhi keseluruhnya itu.

    Dan Ketatanegaraan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata tata negara yang artinya seperangkat prinsip dasar yang mencakup peraturan susunan pemerintah , bentuk negara, dan sebagainya yang menjadi dasar peraturan suatu negara. Sedangkan menurut hukumnya, tata negara adalah suatu kekuasaan sentral yang mengatur kehidupan bernegara yang menyangkut sifat, bentuk , tugas negara dan pemerintahannya serta hak dan kewajiban para warga terhadap pemerintah atau sebaliknya. Jadi dapat disimpulkan Ketatanegaran adalah segala sesuatu mengenai tata negara.

    Dari pengertian itu, maka secara harfiah Sistem Ketatanegaraan dapat diartikan sebagai suatu bentuk hubungan antar lembaga negara dalam mengatur kehidupan bernegara.

    3.2 Sistem Ketatanegaraan di Republik Indonesia

    a.      Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Sebelum Amandemen UUD 1945

    Sistem Ketatanegaran  sebelum Amandemen UUD 1945 Pelaksanaan kekuasaan Negaranya dilakukan dengan pembagian (bukan pemisahan) tugas atau fungsi dari masing-masing penyelenggara Negara.

    Secara konstitusional sistem ketatanegaraan Indonesia pada masa pemerintahan orde baru menggunakan UUD 1945. Secara prinsip terdapat lima kekuasaan pemerintah Negara Republik Indonesia menurut UUD 1945, yaitu:

    1)      Kekuasaan menjalankan perundang-undangan Negara , disebut juga kekuasaan eksekutif dilakukan oleh pemerintah ( dalam hal ini adalah Presiden)

    2)      Kekuasaan memberikan pertimbangan kenegaraan kepada pemerintah , disebut juga kekuasaan konsultatif dilakukan oleh Dewan Pertimbangan Agung

    3)      Kekuasaan membentuk Perundang-undangan Negara atau kekuasaan legislative dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama dengan Presiden

    4)      Kekuasaan mengadakan pemeriksaan keuangan Negara , disebut kekuasaan eksaminatif atau kekuasaan inspektif, dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan

    5)      Kekuasaan mempertahankan perudang-undangan Negara atau kekuasaan Yudikatif, dilakukan oleh Mahkamah Agung (C.S.T Kansil : 1978,83).

    Pada masa ini lembaga tertingginya adalah MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), kemudian Presiden, DPA (Dewan Pertimbangan Agung), DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), dan MA (Mahkamah Agung).

    a.       MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia yang dimana MPR-lah pemegang kekuasaan tertinggi Negara dan pelaksana kedaulatan rakyat sedangkan  keanggotaan MPR diisi oleh fraksi-fraksi seperti Fraksi ABRI, Fraksi Karya Pembangunan dan lain-lain. MPR memiliki kewenangan untuk :

    1). Memilih dan mengangkat

        presiden/mandatris dan wakil presiden untuk

        membantu presiden.

    2). Memberikan mandate kepada presiden untuk

          melaksanakan Garis-Garis Besar Halauan

         Negara (GBHN) dan putusan-putusan MPR  

         lainnya.

    3). Memberhentikan presiden sebelum habis

         masa jabatannya.

    4). Menetapkan Undang-Undang Dasar dan Mengubah Undang-

          Undang Dasar,

    5). Meminta dan menilai pertanggung jawaban Presiden.

    b.      Presiden ialah penyelenggara kekuasaan pemerintahan negara tertinggi di bawah MPR, yang dalam melakukan kewajibannya dibantu oleh satu orang wakil presiden ( pasal 4 UUD 1945). Presiden tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR dan pada akhir masa jabatannya (5 tahun) memberikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan GBHN yang ditetapkan UUD 1945 dan MPR di hadapan sidang MPR.

    c.       DPA (Dewan Pertimbangan Agung) adalah badan penasehat pemerintah yang berkewajiban memberi jawaban atas pertanyaan presiden. Disamping itu DPA berhak mengajukan usul dan wajib mengajukan pertimbangan kepada presiden.

    d.      DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) yang seluruh anggotanya adalah anggota MPR berkewajiban senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden dalam rangka pelaksanaan halauan Negara. Apabila DPR menganggap Presiden sungguh melanggar halauan Negara, maka DPR menyampaikan memorandum untuk mengingatkan Presiden. Selain itu DPR memiliki kewenangan membentuk Undang-Undang termasuk menetapkan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bersama-sama dengan Presiden.

    e.       BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) adalah badan yang memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara yang dalam pelaksanaan tugasnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, namun tidak berdiri di atas pemerintah. BPK memeriksa semua pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara dan hasil pemeriksaannya diberitahukan kepada DPR.

    f.       MA (Mahkamah Agung) ialah badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang dalam pelaksanaan tugasnya, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh-pengaruh lainnya. Tugas Mahkamah Agung adalah memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum baik diminta maupun tidak kepada lembaga-lembaga tinggi negara, juga memberikan nasehat hukum kepada presiden/kepala negara untuk pemberian/penolakan grasi. Disamping itu Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji seorang menteri hanya terhadap peraturan-peraturan perundangan di bawah.

    b. Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Amandemen UUD 1945

    Salah satu agenda penting dari gerakan reformasi adalah amandemen terhadap UUD 1945 yang kemudian berhasil dilaksanakan selama 4 tahun berturut-turut melalui Sidang Tahunan MPR yaitu tahun 1999, 2000, 2001, dan tahun 2002.

    Adapun Latar Belakang pelaksanaan Amandemen UUD 1945 :

    1.         Undang-Undang Dasar 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat. Hal ini berakibat pada tidak terjadinya checks and balances pada institusi-institusi ketatanegaraan.

    2.         Undang-Undang Dasar 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif (Presiden). Sistem yang dianut UUD 1945 adalah executive heavy yakni kekuasaan dominan berada di tangan Presiden dilengkapi dengan berbagai hak konstitusional yang lazim disebut hak prerogatif (antara lain: memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi) dan kekuasaan legislatif karena memiliki kekuasan membentuk Undang-undang.

    3.         UUD 1945 mengandung pasal-pasal yang terlalu “luwes” dan “fleksibel” sehingga dapat menimbulkan lebih dari satu penafsiran (multitafsir), misalnya Pasal 7 UUD 1945 (sebelum di amandemen).

    4.         UUD 1945 terlalu banyak memberi kewenangan kepada kekuasaan Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan Undang-undang. Presiden juga memegang kekuasaan legislatif sehingga Presiden dapat merumuskan hal-hal penting sesuai kehendaknya dalam Undang-undang.

    Perubahan pada UUD 1945 setelah amandemen membawa perubahan pula pada Sistem Ketatanegaraan yang dimana sebelumnya MPR memiliki kekuasaan yang tidak terbatas dirubah menjadi kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar.

    a.       Kewenangan MPR setelah Amandemen UUD 1945 :

    1.      Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-undang Dasar.

    2.      Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.

    3.      Majelis permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatanya menurut Undang-Undang Dasar.

    Amandemen juga mencabut kekuasaan untuk membuat Undang – Undang dari tangan Presiden dan memberikan kekuasaan untuk membuat Undang – Undang tersebut kepada DPR. Sehingga jelas bahwa amandemen ingin mempertegas posisi check and balances antara presiden sebagai lembaga eksekutif dan DPR sebagai lembaga legislatif.

    b.      Kewenangan DPR setelah Amandemen UUD 1945 :

    1.      Membentuk undang-undang yang dibahas dengan presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.

    2.      Membahas dan memberikan persetujuan peraturan pemerintahan pengganti undang-undang.

    3.      Menerima dan membahas usulan RUU yang diajukan DPD yang berkaitan dengan bidang tertentu dan mengikutsertakannya dalam pembahasan.

    4.      Menetapkan APBN bersama presiden dengan memperhatikan DPD.

    5.      Melaksanakan pengawasan terhadap UU, APBN, serta kebijakan pemerintah, dan sebagainya.

    Pergeseran lain adalah terbentuknya lembaga perwakilan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia sebagai utusan daerah yang dipilih secara langsung melalui pemilihan umum.

    c.       Kewenangan DPD :

    1.      Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

    2.      Memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia atas Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan Rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.

    d.      Kewenangan MA setelah Amandemen UUD 1945 :

    1.      Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundangundangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.

    2.      Mengajukan tiga orang anggota hakim konstitusi.

    3.      Memberikan pertimbangan dalam hal Presiden memberi grasi dan rehabilitasi.

    e.        Kewenangan MK setelah Amandemen UUD 1945 :

    1.      Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.

    2.      Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945.

    Dalam masa pasca amandemen terdapat lembaga baru yakni KY (Komisi Yudisial).

    f.       Kewenangan KY :

    1.      Melakukan pengawasan terhadap Hakim agung di Mahkamah Agung.

    2.      Melakukan pengawasan terhadap Hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah MA.

    Dan Pasca Amandemen Anggota BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dipilih DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD.

    g.      Kewenangan BPK setelah Amandemen UUD 1945 :

    1.         Mengawasi dan memeriksa pengelolaan keuangan negara (APBN) dan daerah (APBD)

    2.         Menyampaikan hasil pemeriksaan kepada DPR dan DPD dan ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum. Berkedudukan di ibukota negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi.

    Setelah amandemen kewenangan dan tugas Presiden lebih dipertegas lagi tidak sama halnya pada masa sebelum amandemen.

    h.      Kewenangan Presiden setelah Amandemen UUD 1945 :

    1.      Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

    2.      Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang

       sebagaimana mestinya.

    3.      Dalam hal ihwal kegentingan yang memmaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-undang.

    4.      Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan berikut.

    5.      Jika tidak mendapat persetujuan maka Peraturan Pemerintah itu harus dicabut.

    3.3 Kondisi Republik Indonesia dalam Menjalankan Sistem Ketatanegaraannya pada Saat ini

    Menurut Bapak Sulardi (Dosen Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Malang) arah pembangunan ini mulai tak terarah sejak GBHN hilang dari peredarannya meskipun sudah terdapat Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Visi pembanguan nasional 2005-2025 adalah Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur. Visi itulah yang hingga saat ini belum ditemukan wujudnya. Alih-alih terwujud, keresahan dan ketidakpastian masa depan bangsa justru ada di depan mata dan bahkan menjauh dari nilai-nilai Pancasila.

    Sistem presidensial, yang berlaku sekarang, membawa konsekuansi bahwa presiden dipilih oleh rakyat. Karena presiden dipilih oleh rakyat, dia bertanggung jawab kepada rakyat dan konstitusi. Dengan demikian, konsekuensi ketatanegaraan berkaitan dengan arah pembanguan nasional ditentukan oleh presiden dengan mewujudkan janji-janji yang dia kampanyekan menjelang pemilihan presiden. Janji-janji itulah yang semestinya diwujudkan dalam visi dan misi RPJPN, yang dapat diurai menjadi pembangunan jangka pendek dan jangka panjang.

    Hasrat untuk kembali menghadirkan GBHN yang disusun oleh MPR  sebagai pedoman pembangun nasional secara konstitusional telah tertutup. Bangsa ini sebaiknya menghormati dan melaksanakan kesepakatan yang diwujudkan dari hasil perubahan UUD 1945. Kini presiden bukan lagi bawahan MPR dan MPR bukan lagi pemegang dan pelaksana kedaulatan rakyat, sehingga tidak mungkinlah memaksa MPR menyusun GBHN dan menyodorkan kepada presiden untuk melaksanakan. Inilah konsekuensi dari perubahan.

    BAB IV

    KESIMPULAN DAN SARAN

    3.1 Kesimpulan

    Sistem Ketatanegaraan dapat diartikan sebagai suatu bentuk hubungan antar lembaga negara dalam mengatur kehidupan bernegara. Sistem ketatanegaraan Republik Indonesia pada masa sebelum Amandemen UUD 1945 memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari system ketatanegaraan sebelum Amandemen ialah sistem ketatanegaraannya lebih terarah dan pemerintah hanya fokus pada target yang telah ditentukan sebelumnya serta  Kekurangannya ialah tidak ada campur tangan rakyat dalam menentukan kebijakan sehingga dalam pembuatan system ketatanegaraan hanya menguntungkan pihak-pihak yang berkuasa.

                Sedangkan sesudah Amandemen UUD 1945 sistem ketatanegaraan Republik Indonesia lebih mengutamakan aspirasi rakyat daripada pihak-pihak yang berkuasa. Namun di balik itu, tidak terarahnya system ketatanegaraan tersebut karena terlalu banyak yang ditargetkan.

                Pada intinya, sistem ketatanegaraan Republik Indonesia telah melalui alur waktu yang panjang. Alur waktu yang lambat laun menyeret Republik Indonesia untuk melakukan penyesuaian dan perubahan-perubahan baru dalam sistem ketatanegaraannya. Perubahan-perubahan ini mempunyai landasan hukum yang jelas yang tertuang dalam Amandemen-amandemen UUD 1945. Dalam setiap perubahan-perubahan, Negara Republik Indonesia selalu berusaha menjadi lebih baik yang meskipun pada kenyataannya masih saja terdapat kekurangan-kekurangan pada setiap perubahan tersebut.

    3.2 Saran

    Ketika pemerintah dihadapkan pada suatu pilihan dalam menentukan kebijakan yang begitu besar pengaruhnya pada negara ini diharapkan lebih fokus pada suatu target sehingga pemerintah lebih mudah dalam implementasinya. Dan juga ketika pemerintah memiliki ambisi yang begitu besar pada negara ini, hal itu sebenarnya wajar dan baik. Akan tetapi jika semua itu tidak didukung oleh penerapan sistem ketatanegaraan yang adil dan bijaksana, maka ambisi-ambisi itu hanyalah sekedar mimpi. Oleh karena itu, kelompok kami begitu berharap kepada seluruh jajaran Pemerintah Negara Republik Indonesia untuk menerapkan sistem ketatanegaraan yang berlaku dengan adil dan bijaksana serta memusatkan tujuan pada suatu target yaitu Negara Republik Indonesia menjadi lebih baik.