Blog

  • Makalah Lingkungan Pemasaran

    Lingkungan Pemasaran

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Pemasaran merupakan fungsi bisnis yang bertugas untuk mengenali kebutuhan dan keinginan pelanggan, menentukan pasar sasaran mana yang dapat dilayani dengan sebaik-baiknya oleh perusahaan, serta merancang produk, jasa dan program yang tepat untuk  melayani pasar tersbut. Pemasaran merupakan  ujung tombak dari perusahaan yang menciptakan kepuasan pelanggan sambil mendatangkan laba dengan membangun hubungan dengan para pelanggan. Departemen pemasaran tidak dapat bekerja sendiri untuk mencapai sasaran itu, melainkan harus bekerja sama dengan departemen-departemen lain yang ada dalam perusahaan.

    Dalam perusahaan ada berbagai departemen yang diharuskan dapat saling bekerja dengan erat dan bermitra dengan bagian lain yang ada dalam suatu perusahaan. Seperti yang dikemukakan oleh Profesor Stephen Burnett dari Northwestern, “Dalam sebuah organisasi yang benar-benar berorientasi pada pemasaran, Anda tidak dapat mengatakan siapa y. Setiap yang bertugas di departemen pemasaran. Setiap orang dalam organisasi harus mengambil keputusan berdasarkan pada dampak yang dihasilkan oleh konsumen”.

    Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bawha suatu organisasi atau perusahaan memerlukan sejumlah keputusan untuk mengembangkan dan menerapkan rencana pemasaran. Untuk memberikan pengetahuan dan inspirasi bagi pengambilan keputusan pemasaran, perusahaan harus memiliki informasi terbaru yang komprehensi tentang tren makro, juga tentang efek mikro tertentu bagi perusahaan. Perusahaan harus menyadari bahwa lingkungan pemasaran senantiasa menampilkan peluang dan ancaman baru. Dalam makalah ini akan dibahas tentang lingkungan pemasaran yang terdiri dari lingkungan perusahaan mikro dan lingkungan perusahaan makro.

    1.2 Rumusan Makalah

    Berdasarkan latar belakang tersebut maka yang menjadi pokok permasalahan dalam makalah ini antara lain:

    1. Apa yang dimaksud dengan lingkungan pemasaran?
    2. Apa yang dimaksud dengan lingkungan perusahaan mikro?
    3. Apa yang dimaksud dengan lingkungan perusahaan makro?

    1.3 Tujuan Makalah

    Tujuan yang ingin dicapai dalam makalah ini antara lain:

    1.      Menjelaskan tentang lingkungan pemasaran.

    2.      Menjelaskan tentang lingkungan perusahaan mikro.

    3.      Menjelaskan tentang lingkungan perusahaan makro.

    BAB 2. PEMBAHASAN

    2.1 Pengertian Lingkungan Pemasaran

    Lingkungan pemasaran sebuah perusahaan terdiri dari banyak aktor dan kekuatan di luar staf bagian pemasaran yang mempengaruhi kemampuan manajemen pemasaran untuk mengembangkan dan mempertahankan hubungan baik dengan pelanggan sasaran. Lingkungan pemasaran menawarkan peluang juga ancaman. Perusahaan yang berhasil, mengetahui beberapa pentingnya terus-menerus mengawasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan yang selalu berubah. Tetapi masih banyak perusahaan lain yang tidak memandang perubahan sebagai peluang, mengabaikan bahkan menolak untuk melakukan perubahan kritis sampai styrategi, struktur, sistem, dan budaya perusahaan semakain ketinggalan zaman.

    Seorang pemasar mempunyai tanggung jawab mengenali perubahan yang berasal dalam lingkungan, lebih dari kelompok apapun dalam perusahaan, para pemasar harus menjadi pecermat kecenderungan dan mencari peluang. Walaupun setiap manajer dalam sebuah organisasi harus mengamati lingkungan di luar, pemasaran mempunyai dua buah kemampuan khusus. Mempunyai metode disiplin – intelijen pemasaran dan riset pemasaran – untuk mengumpulkan informasi mengenai lingkungan pemasaran. Dengan melakukan pencermatan secara sistematik, pemasar akan mampu merevisi dan  menyesuaikan starategi pemasaran untuk menghadapi tantangan dan peluang di pasar.

    Lingkungan pemasaran terdiri dari lingkungan mikro dan lingkungan makro. Lingkungan mikro adalah kekuatan yang dekat dengan perusahaan dan lingkungan makro adalah lingkungan kekuatan masyarakat.

    2.2 Lingkungan Mikro Perusahaan

    Lingkungan mikro adalah lingkungan yang terdiri dari berbagai kekuatan yang dekat dengan perusahaan yang mempengaruhi kemampuannya untuk melayani pelanggannya, adapun kekuatan itu terdiri dari perusahaan, pemasok, perantara pemasaran, pelanggan, pesaing, masyarakat. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut.

    2.2.1 Perusahaan

    Yaitu struktur organisasi perusahaan itu sendiri. Strategi pemasaran yang diterapkan oleh bagian manajemen pemasaran harus memperhitungkan kelompok lain di perusahaan dalam merumuskan rencana pemasarannya, seperti manajemen puncak, keuangan perusahaan, penelitian dan pengembangan, pembelian, produksi, dan akuntansi serta sumber daya manusia yang dimiliki perusahaan, karena manajer pemasaran juga harus bekerja sama dengan para staff di bidang lainnya.

    2.2.2 Pemasok

    Para pemasok adalah perusahaan-perusahaan dan individu yang menyediakan sumber daya yang dibutuhkan oleh perusahaan dan para pesaing untuk memproduksi barang dan jasa tertentu. Kadang kala perusahaan juga harus memperoleh tenaga kerja, peralatan, bahan bakar, listrik dan faktor-faktor lain dari pemasok. Perkembangan dalam lingkungan pemasok dapat memberi pengaruh yang arnat berarti terhadap pelaksanaan pemasaran suatu perusahaan.

    Manajer pemasaran perlu mengamati kecenderungan harga dari masukan-masukan terpenting bagi kegiatan produksi perusahaan mereka. Kekurangan sumber-sumber bahan mentah, pemogokan tenaga kerja, dan berbagai kcjadian lainnya yang berhubungan dengan pemasok dapat mengganggu strategi pemasaran yang dilakukan dan dijalankan perusahaan.

    2.2.3 Perantara Pemasaran

    Para perantara pemasaran adalah perusahaan-perusahaan yang membantu perusahaan dalam promosi, penjualan dan distribusi barang/jasa kepada para konsumen akhir. Para perantara pemasaran ini meliputi:

    a.       Perantara, adalah perusahaan atau individu yang membantu perusahaan untuk menemukan konsumen. Mereka terbagi dua macam, yaitu agen perantara seperti agen, pialang dan perwakilan produsen yang mencari dan menemukan para pelanggan dan/atau mengadakan perjanjian dengan pihak lain, tetapi tidak memiliki barang atau jasa itu sendiri.

    b.      Perusahaan Distribusi Fisik, perusahaan seperti ini membantu perusahaan dalam penyimpanan dan pemindahan produk dari tempat asalnya ketempat-tempat yang dituju.

    c.       Para Agen Jasa Pemasaran, seperti perusahaan atau lembaga penelitian pemasaran, agen periklanan, perusahaan media, dan perusahaan konsultan pemasaran,kesemuanya membantu perusahaan dalam rangka mengarahkan dan mempromosikan produknya ke pasar yang tepat.

    d.      Perantara Keuangan, seperti bank, perusahaan kredit, perusahaan asuransi, dan perusahaan lain yang membantu dalam segi keuangan.

    2.2.4 Pelanggan

    Yaitu pasar sasaran suatu perusahaan yang menjadi konsumen atas barang atau jasa yang ditawarkan perusahaan apakah individu-individu, Iembaga-lembaga, organisasi-organisasi, dan sebagainya. Adapun pasar pelanggan ada lima tipe, yaitu:

    a.       Pasar Konsumen, individu atau rumah tangga yang membeli untuk produk untuki  dikonsumsi sendiri. Tangan terakhir yang menerima produk kita.

    b.      Pasar Bisnis, individu atau perusahaan lain yang membeli produk untuk di proses lebih lanjut atau digunakan prose produksinya. Dalam hal ini kita bertindak sebagai permasok bahan produksi untuk perusahaan atau orang lain.

    c.       Pasar Pedagang Besar, individu atau perusahaan lain yang membeli produk kita untuk dijual kembali tanpa mengubah produk yang berasal dari kita dengan tujuan memperoleh keuntungan. Jadi, pasar pedagang besar dapat disebut sebagai penyalur produk kita.

    d.      Pasar Pemerintah adalah instansi pemerintah yang membeli produk kita untuk menyediakan fasilitas umum atau mengalihkan produk tersebut kepada pihak lai yang membutuhkan.

    e.       Pasar Internasional, adalah pembeli luar negeri termasuk kinsumen produsen penjual dan pemerintah yang membelu produk dsari sebuah perusahaan yang akan digunakan untuk konsumen pribadi atau untuk dijual kembali ataupun diproses lebih lanjut.

    2.2.5 Pesaing

    Dalam usahanya melayani kelompok pasar pelanggan, perusahaan tidaklah sendiri. Usaha suatu perusahaan untuk membangun sebuah system pemasaran yang efisien guna melayani pasar gelati disaingi oleh perusahaan lain. Sistem pemasaran dan strategi yang diterapkan perusahaan dikelilingi dan dipengaruhi oleh sekelompok pesaing. Para pesaing ini perlu diidentifikasi dan dimonitor segala gerakan dan tindakannya didalam pasar.

    2.2.6 Masyarakat

    Sebuah perusahaan juga harus memperhatikan sejumlah besar lapisan masyarakat yang tentu saja besar atau kecil menaruh perhatian terhadap kegiatan-kegiatan perusahaan, apakah mereka menerima atau menolak metode-metode dari perusahaan dalam menjalankan usahanya, karena kegiatan perusahaan pasti mempengaruhi minat kelompok lain, Masyarakat memiliki tujuh tipe:

    a.       Masyarakat keuangan. Masyarakat keuangan mempengaruhi kemampuan masyarakat untuk memperoleh dana. Bank, perusahan investasi, dan pemegang saham adalah masyarakat keuangan yang utama.

    b.      Masyarakat media. Masyarakat media adalah sekelompok yang menyebarluaskan berita, mengangkat topik , dan pendapat editorial. Dalam kelompok ini adalah surat kabar, majalah, dan stasuin radio serta televisi.

    c.       Masyarakat pemerintah. Manajemen harus memperhitungksn perkembangan pemerintah. Pemasar harus sering kali berkonsultasi dengan pengacara perusahaan mengenaiisu keamanan produk, kejujuran dalam periklanan, serta berbagia masalah lain.

    d.      Masyarakat warga yang bertindak. Keputusan pemasaran dari sebuah mungkin dipertanyakan oleh organisasi monsumen, kelompok minoritas, kelompok lingkungan, dan lain-lain. Depatemen hubungan masyarakat (humas) dapat membantu perusahaan untuk tetep berhubungan dengan konsumen dan kelompok warga negara lain.

    e.       Masyarakat lokal. Setiap poerusahaan mempunyai masyarakat lokal seperti penduduk yang tingal berdekatan dengan organisasi-organisasi masyarakat. Perusahaan besar biasanya menunjuk perugas hubungan masyarakat untuk brhadapan dengan masyarakat, menghadiri rapat mejawab pertanyaan, dan memberi konstribusi dalam pariwisata yang bermanfaat.

    f.       Masyarakat umum. Sebua perusahaan perlu memikirkan masyarakat umum terhadap produk dan aktivitasnya. Citra yang tumbuh dalam masyarakat mengenai perusahaan mempengaruhi pembelian yang dilakukannnya.

    g.      Masyarakat internal. Masyarakat internal sebuah perusahaan mencakup para pekerja, manajer, sukarelawan, dan dewan direktur. Perusahan besar menggunakan newsletter dan cara lain untuk menginformsikan serta memotivasi masyarakat internalnya. Kalau kariawan merasa positif mengenai perusahannya, sikap ini akan mempengaruhi masyarakat luar.

    2.3 Lingkungan Makro Perusahaan

    2.3.1 Politik dan Hukum

    Dalam hal ini menyangkut tingkat pemusatan kekuatan politik, sifat organisasi politik, sistem partai, kesadaran dalam bermasyarakat. Perusahaan merupakan lembaga sosial yang selalu berhubungan dengan masyarakat, maka kehidupan operasi perusahaan sangat terpengaruh oleh politik Negara dimana perusahaan berada. Pada intinya, faktor-faktor lingkungan politik-hukum yang mempengaruhi kegiatan pemasaran ini dapat dikelompokkan menjadi:

    a.       Kebijakan fiskal dan moneter dari pemerintah

    b.      Hubungan pemerintah dengan industri

    c.       Peraturan dan keadaan politik pada umumnya

    d.      Peraturan khusus di bidang pemasaran yang ditujukan untuk mengatur persaingan dan melindungi konsumen.

    Dan juga perusahaan harus mematuhi aturan yang telah ditetapkan pemerintah, misalkan masalah perizinan, dan lain-lain. Contoh nyata yang lain lagi adalah dalam industri bisnis farmasi tidak diperkenankan memberikan gimmick kepada dokter. Contoh yang kedua adalah pabrik rokok dalam beriklan tidak boleh memunculkan asap rokok dan iklannya hanya boleh ditayangkan pukul 21.30.

    2.3.2 Sosial dan Kebudayaan

    Sosial disini meliputi struktur golongan yang ada dalam masyarakat yang dapat mempengaruhi perkembangan perusahaan, termasuk didalamnya sifat dan perkembangan dari lembaga-lembaga sosial. Kebudayaan disini menyangkut latar belakang sejarah dari suatu masyarakat dimana perusahaan berada yaitu yang berhubungan dengan hasil produksi perusahaan. Juga tercakup didalamnya norma-norma masyarakat setempat, adat istiadat dan kebiasaan mereka.

    Lingkungan sosial-kebudayaan ini mencakup pula faktor-faktor ekonomi, politik-hukum dan teknologi. Bentuk dan sistem perekonomian, politik-hukum, dan teknologi sangat ditentukan manusia beserta kebudayaannya. Akibat-akibat sosial seperti adanya polusi, dapat mendorong pemerintah untuk membuat peraturan yang diperlukan. Hal ini juga dapat mendorong digunakannya teknologi baru untuk mengurangi polusi. Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh manajer pemasaran dalam hal pola kebudayaan dari suatu masyarakat adalah:

    a.       Cara hidup

    b.      Nilai-nilai social

    c.       Kepercayaan

    d.      Kesenangan

    e.       Perekonomian.

    Sistem perekonomian yang mempengaruhi perkembangan perusahaan terdiri dari berbagai aspek ekonomi dan unit-unit ekonomi dalam masyarakat yang meliputi jenis organisasi ekonomi, sistem pemilikan perusahaan, sistem perpajakan dan perbankan,angkatan kerja, tingkat produktivitas, tingkat investasi, pola konsumsi masyarakat, dan lain-lain. Tingkat penghasilan rumah tangga berkaitan dengan tingkat harga dan inflasi yang juga mempengaruhi sistem pemasaran perusahaan. Dalam hal ini kita juga melihat adanya faktor psikologis konsumen, misalnya orang lebih suka menabung daripada membeli barang. Sedangkan orang lain ada yang lebih senang membelanjakan uangnya daripada menyimpan di bank, karena ia mempunyai anggapan bahwa harga-harga akan selalu naik.

    Seperti contoh, akibat krisis perekonomian yang dimulai sejak 1997 lalu, dampaknya terasa sampai saat ini, yaitu Indonesia kembali menjadi Negara miskin. Dengan keadaan tersebut, terjadi perubahan perilaku konsumen secara drastis. Konsumen yang sudah terbiasa menggunakan produk dengan kualitas bagus, saat sekarang juga berharap dapat menikmati produk dengan kualitas yang sama. Namun, karena anggaran sangat terbatas, maka konsumen mulai mencari produk yang dapat bertahan lebih lama. Disamping itu, konsumen masa kini juga mulai menghitung value (nilai) yang diterima apabila membeli suatu produk, konsumen akan menghitung dulu beberapa manfaat yang diterima dan beberap biaya yang dikeluarkan.

    Yang perlu diperhatikan adalah manfaat yang diterima oleh konsumen, bukan hanya sekedar produk berkualitas melainkan juga layanan, karyawan yang memiliki keahlian dan pengetahuan serta citra yang melekat terhadap perusahaan. Misalnya, anda dapat mencontoh McDonald’s yang memiliki citra berkualitas, bersih dan cepat. Sedangkan biaya yang harus dibayar oleh konsumen, bukan hanya sejumlah uang yang berupa harga produk/jasa, melainkan juga biaya waktu, energi dan psikis.

    2.3.3 Pendidikan

    Lingkungan ini adalah keseluruhan dari tingkat pendidikan paling rendah sampai dengan pendidikan tertinggi secara formal serta tingkat pendidikan non formal yang akan mempengaruhi tingkat keahlian khusus dari masyarakat tersebut.

    2.3.4 Tekhnologi

    Dalam kenyataannya tingkat perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi khususnya dalam bidang industri dan fasilitas lain dalam pabrik yang perkembangan sangat pesat ikut terpengaruh dalam perkembangan perusahaan. Oleh karena itu apabila perusahaan ingin mengembangkan tingkat proses produksi dan kegiatan operasionalnya harus berpacu dengan kemajuan tekhnologi.

    2.3.5 Demografi

    Demografi merupakan studi statistik tentang kependudukan beserta karakteristik distribusinya. Masalah demografi ini sangat penting bagi manajer pemasaran, karena masyarakat dapat dinyatakan sebagai pasar. Sejak tahun 1961, jumlah penduduk Indonesia mengalami pertumbuhan yang semakin meningkat. Hal ini dapat memberikan pengaruh yang semakin besar pada kegiatan pemasaran. Banyaknya jumlah anak merupakan target pasar yang baik untuk mainan anak-anak, juga perlengkapan sekolah dan sebagainya. Apabila jumlah pernikahan semakin meningkat sehingga semakin banyak pengantin muda, maka barang-barang jenis alat rumah tangga akan mempunyai target pasar yang baik.

    Jika dilihat dari sisi perusahaan, demografi dibutuhkan untuk mencari tenaga kerja. Lingkungan ini meliputi sumber tenaga kerja yang tersedia dalam masyarakat, angkatan kerja, tingkat kelahiran, tingkat kematian, penyebaran penduduk, umur, jenis kelamin dan lain-lain. Khusus untuk perusahaan yang sangat tergantung pada tenaga kerja maka urbanisasi sering menjadi masalah dalam masyarakat industri.

    BAB 3. KESIMPULAN

    Lingkungan pemasaran dapat diartikan sebagai pelaku dan kekuatan di luar pemasaran yang mempengaruhi kemampuan manajemen pemasaran untuk membangun dan mempertahankan hubungan yang berhasil dengan pelanggan sasaran. Lingkungan pemasaran terdiri dari lingkungan pemasaran mikro dan lingkungan pemasaran makro. Lingkungan pemasaran dapat dikatakan sebagai sesuatu yang lebih umum dari sebuah lingkungan pemasaran perusahaan. Lingkungan pemasaran mikro tidak dapat dipisahkan dari kontribusi para pemasok, perantara pemasaran, pelanggan, pesaing, dan masyarakat. Penjelasan mengenai lingkungan pemasaran mikro sedikit telah dijelaskan pada isi pembahasan makalah di atas. Lingkungan pemasaran makro berkaitan dengan kekuatan demografis, kekuatan ekonomi, kekuatan alam, kekuatan tekhnologi, kekuatan politik, dan kekuatan budaya. Penjelasan secara lebih rincinya juga telah dijelaskan pada isi pembahasan makalah di atas.

    Lingkungan pemasaran sebenarnya juga sangat erat kaitannya dengan lingkungan ekonomi, lingkungan politik, dan lingkungan budaya. Lingkungan ekonomi menjelaskan pada kita mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi daya beli dan pola pengeluaran konsumen. Lingkungan politik lebih mengarah pada Hukum, badan pemerintah dan kelompok LSM yang mempengaruhi dan membatasi berbagai organisasi dan individu dalam masyarakat tertentu. Serta yang terakhir adalah lingkungan budaya, yang memberikan penjelasan bahwa lingkungan pemasaran juga dipengaruhi oleh Institusi dan kekuatan lain yang mempengaruhi nilai dasar, persepsi, selera dan perilaku masyarakat.

    DAFTAR PUSTAKA

    Kotler, P., dan Amstrong, G. 1997. Dasar-dasar Pemasaran. Jakarta: Prehalindo.

    Universitas Jember. 2012. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Edisi Ketiga. Jember: Jember University Press.

    Jain, C., dan Subhash. 2001. Manajemen Pemasaran Internasional. Jakarta: Penerbit Erlangga.

    Sumarni, Murti & Suprihanto, John. 2014. Pengantar Bisnis. Yogyakarta: Penerbit Liberty.

    Widjaja & Jenu, T. 2004. Marketing Management (Pendekatan pada Nilai-nilai Pelanggan). Malang: Bayumedia Publishing.

    Lingkungan Pemasaran  PDF. https://rumitarani.files.wordpress.com/2010/04/lingkungan-pemasaran.pdf [Diakses pada tanggal 17 September 2017].

    http://bukarahasiausaha.blogspot.co.id/2015/07/5-pasar-pelanggan-yang-perlu-kamu-tahu.html [Diakses pada tanggal 14 September 2017].

    http://merahputihkubisa.blogspot.co.id/2015/01/lingkungan-mikro-dan-makro-pemasaran.html [Diakses pada tanggal 14 September 2017].

  • Makalah Pendidikan Pada Masa Penjajahan Belanda dan Jepang

    Pendidikan Pada Masa Penjajahan Belanda dan Jepang

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Pada zaman kolonial pemerintah Belanda menyediakan sekolah yang beraneka ragam bagi orang Indonesia untuk memenuhi kebutuhan berbagai lapisan masyarakat. Ciri yang khas dari sekolah-sekolah ini ialah tidak adanya hubungan berbagai ragam sekolah itu. Namun lambat laun, dalam berbagai macam sekolah yang terpisah-pisah itu terbentuklah hubungan-hubungan sehingga terdapat suatu sistem yang menunjukkan kebulatan. Pendidikan bagi anak-anak Indonesia semula terbatas pada pendidikan rendah, akan tetapi kemudian berkembang secara vertical sehingga anak-anak Indonesia, melalui pendidikan menengah dapat mencapai pendidikan tinggi, sekalipun melalui jalan yang sulit dan sempit.

    Lahirnya suatu sistem pendidikan bukanlah hasil suatu perencanaan menyeluruh melainkan langkah demi langkah melalui eksperimentasi dan didorong oleh kebutuhan praktis di bawah pengaruh kondisi sosial, ekonomi, dan politik di Nederland maupun di Hindia Belanda.

    B. Rumusan Masalah

    Rumusan masalah dari makalah ini adalah:

    1. Bagaimana proses pendidikan selama penjajahan Belanda ?
    2. Bagaimana istem persekolahan pada zaman pemerintahan Belanda?
    3. Bagaimana proses pendidikan pada masa Jepang?

    C. Tujuan

    Adapun tujuan dari makalah ini adalah:

    1. Untuk menjelaskan proses pendidikan selama penjajahan Belanda.
    2. Ingin menjelaskan sistem persekolahan pada zaman pemerintahan Belanda.
    3. Untuk menjelaskan pendidikan pada masa Jepang.

    Bab II. Pembahasan

    A. Pendidikan selama penjajahan Belanda 

    Pendidikan selama penjajahan Belanda  dapat dipetakan kedalam 2 (dua) periode besar, yaitu pada masa VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie) dan masa pemerintah Hindia Belanda (Nederlands Indie). pada masa VOC, yang merupakan sebuah kongsi (perusahaan) dagang, kondisi pendidikan di Indonesia dapat dikatakan tidak lepas dari maksud dan kepentingan komersial.

    1. Zaman VOC (Kompeni)

    Pada permulaan abad ke 16 hampir se abad sebelum kedatangan belanda, pedagang portugis menetap di bagian timur Indonesia tempat rempah-rempah itu di hasilkan. Biasanya mereka didampingi oleh misionaris yang memasukkan penduduk kedalam agama katolik yang paling berhasil tiantara mereka adalah Ordo Jesuit di bawah pimpinan Feranciscus Xaverius. Xaverius memandang pendidikan sebagai alat yang ampuh untuk penyebaran agama. Seminari dibuka di ternate, kemudian di solor dan pendidikan agama yang lebih tinggi dapat diperoleh di Goa, India, pusat kekuasaan portugis saat itu. Bahasa portugis hamper sama populernya dengan bahasa melayu, kedudukan yang tak kunjung di capai oleh bahasa Belanda dalam waktu 350 tahun penjajahan kekuasaan portugis melemah akibat peperangan denngan raja-raja Indonesia dan akhirnya dilenyapkan oleh belanda pada tahun 1605.

    2. Zaman Pemerintahan Belanda Setelah VOC

    Setelah VOC dibubarkan, para Gubernur/ komisaris jendral harus memulai system pendidikan dari dasarnya, karena pendidikan zaman VOC berakhir dengan kegagalan total. Pemerintahan baru yang diresapi oleh ide-ide liberal aliran aufklarung atau Enlightenment menaruh kepercayaan akan pendidikan sebagai alat untuk mencapai kemajuan ekonomi dan social. Pada tahun 1808 Deandels seorang Gubernur Belanda mendapat perintah Raja Lodewijk untuk meringankan nasib rakyat jelata dan orang-orang pribumi poetra, serta melenyapkan perdagangan budak. Usaha Deandels tersebut tidak berhasil, bahkan menambah penderitaan rakyat, karena ia mengadakan dan mewajibkan kerja paksa (rodi).

    Didalam lapangan pendidikan Deandels memerintahkan kepada Bupati-bupati di Pulau Jawa agar mendirikan sekolah atasa uasaha biaya sendiri untuk mendidik anak-anak mematuhi adat dan kebiasaan sendiri. Kemidian Deandels mendirikan sekolah Bidan di Jakarta dan sekolah ronggeng di Cirebon. Kemudian Pada masa (interregnum inggris) pemerintahan Inggris (1811-1816) tidak membawa perubahan dalam masalah pendidikan walaupun Sir Stamford Raffles seorang ahli negara yang cemerlang. Ia lebih memperhatikan perkembanagan ilmu pengetahuan, sedangkan pengajaran rakyat dibiarkan sama sekali. Ia menulis buku History of Java.

    Tahun 1826 lapangan pendidikan dan pengajaran terganganggu oleh adanyan usaha-usaha penghematan. Sekolah-sekolah yang ada hanya  bagi anak-anak Indonesia yang memeluk agama Nasrani. Alsannya adalah karena adanya kesulitan financial yang berat yang dihadapi orang Belanda sebagai akibat perang Diponegoro (1825-1830) yang mahal dan menelan banyak korban seerta peperangan antara Belanda dan Belgia (1830-1839).

    Pada tahun 1893 timbullah differensiasi pengajaran bumi putera. Hal ini disebabkan:

    1. Hasil sekolah-sekolah bumi putra kurang memuaskan pemerintah colonial. Hal ini terutama sekali desebabkan karena isi rencana pelaksanaannya terlalu padat.
    2. Dikalangan pemerintah mulai timbul perhatian pada rakyat jelata. Mereka insyaf bahwa yang harus mendapat pengjaran itu bukan hanya lapisan atas saja.
    3. Adanya kenyataan bahwa masyarakat Indonesia mempunyai kedua kebutuhan dilapangan pendidikan yaitu lapisan atas dan lapisa bawah.

    B. Sistem persekolahan pada zaman pemerintahan Hindia Belanda

    Secara umum sistem pendidikan khususnya system persekolahan didasarkan kepada golongan penduduk menurut keturunan atau lapisan (kelas) social yang ada dan menurut golongan kebangsaan yang berlaku waktu itu, yaitu :

    1. Pendidikan Rendah (Lager Onderwijs)

    Pada hakikatnya pendidikan dasar untuk tingkatan sekolah dasar mempergunakan system pokok yaitu:

    a.         Sekolah rendah dengan bahasa pengantar bahasa Belanda.

    1. Sekolah rendah Eropa, yaitu sekolah rendah untuk anak-anak keturunan Eropa.
    2. Sekolah Cina Belanda, yaitu HCS (Hollands Chinese school), suatu sekolah rendah untuk anak-anak keturunan tmur asing.
    3. Sekolah Bumi putra Belanda HIS (Hollands inlandse school), yaitu sekolah rendah untuk golongan penduduk Indonesia asli.

    b.         Sekolah rendah dengan bahasa pengantar bahasa daerah

    1. Sekolah Bumi Putra kelas II (Tweede klasee). Sekolah ini disediakan untuk golonagan bumi putra. Lamaya sekolah tujuh tahun, pertama didirikan tahun 1892.
    2. Sekolah Desa (Volksschool). Disediakan bagi anak-anak golongan bumi putra. Lamanya sekolah tiga tahun yang pertama kali didirikan pada tahun 1907.
    3. Sekolah Lanjutan (Vorvolgschool). Lamanya dua tahun merupakn kelanjutan dari sekolah desa, juga diperuntukan bagi anak-anak golongan bumi putra. Pertama kali didirikan pada tahun 1914.

    4)    Sekolah Peralihan (Schakelschool)

    Merupakan sekolah peralihan dari sekolah desa  (tiga tahun) kesekolah dasar dengan bahasa pengantar bahasa Belanda. Lama belajarnya lima tahun dan diperuntukan bagi anak-anak golongan bumi putra. Disamping sekolah dasar tersebut diatas masih terdapat sekolah khusus untuk orang Ambon seperti Ambonsche Burgerschoolyang pada tahun 1922 dijadikan HIS. Untuk anak dari golongan bangsawan disediakan sekolah dasar khusus yang disebut sekolah Raja (Hoofdensschool). Sekolah ini mula-mula didirikan di Tondano pada tahun 1865 dan 1872, tetapi kemudian diintegrasi ke ELS atau HIS.

    1. Pendidikan lanjutan = Pendidikan Menengah
    1. MULO (Meer Uit gebreid lager school), sekolah tersebut adalah kelanjutan dari sekolah dasar yang berbasa pengantar bahasa Belanda. Lama belajarnya tiga sampai empat tahun. Yang  pertama didirikan pada tahun 1914.
    2. AMS (Algemene Middelbare School) adalah sekolah menengah umum kelanjutan dari MULO berbahasa belanda dan diperuntukan golongan bumi putra dan Timur asing. Lama belajarnya tiga tahun dan yang petama didirikan tahun 1915.
    3. HBS (Hoobere Burger School) atau sekolah warga Negara tinggi adalah sekolah menengeh kelanjutan dari ELS yang disediakan untuk golongan Eropa, Didirikan pada tahun 1860.
    4. Pendidikan Kejuruan (vokonderwijs )

    Sebagai pelaksanaan politik etika pemerintah belanda banyak mencurahkan perhatian pada pendidikan kejuruan. Jenis sekolah kejuruan yang ada  adalah sebagai berikut:

    1. Sekolah pertukangan (Amachts leergang) yaitu sekolah berbahasa daerah.
    2. Sekolah pertukangan (Ambachtsschool) adalah sekolah pertukangan berbahasa pengantar Belanda.
    3. Sekolah teknik (Technish Onderwijs).
    4. Pendidikan Dagang (Handels Onderwijs).
    5. Pendidikan pertanian (landbouw Onderwijs).
    6. Pendidikan kejuruan kewanitaan (Meisjes Vakonderwijs).
    7. Pendidikan Rumah Tangga (Huishoudschool).
    8. Pendidikan keguruan (Kweekschool).
    9. Pendidikan Tinggi (Hooger Onderwijs)

    Karena terdesak oleh tenaga ahli, maka didirikanlah:

    1. Sekolah Tehnik Tinggi (Technische Hoge School).
    2. Sekolah Hakim Tinggi (Rechskundige Hoge school).
    3. Pendidiakn tinggi kedokteran.

    C.    Pendidikan Masa Jepang

    Didorong semangat untuk mengembangkan pengaruh dan wilayah sebagai bagian dari rencana membentuk Asia Timur Raya yang meliputi Manchuria, Daratan China, Kepulauan Filiphina, Indonesia, Malaysia, Thailand, Indo China dan Rusia di bawah kepemimpinan Jepang, negera ini mulai melakukan ekspansi militer ke berbagai negara sekitarnya tersebut. Dengan konsep “Hakko Ichiu” (Kemakmuran Bersama Asia Raya) dan semboyan “Asia untuk Bangsa Asia”, bangsa fasis inipun menargetkan Indonesia sebagai wilayah potensial yang akan menopang ambisi besarnya. Dengan konteks sejarah dunia yang menuntut dukungan militer kuat, Jepang mengelola pendidikan di Indonesia pun tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan di masa pendudukan Jepang sangat dipengaruhi motif untuk mendukung kemenangan militer dalam peperangan Pasifik.

    Setelah Februari 1942 menyerang Sumatera Selatan, Jepang selanjutnya menyerang Jawa dan akhirnya memaksa Belanda menyerah pada Maret 1942. Sejak itulah Jepang kemudian menerapkan beberapa kebijakan terkait pendidikan yang memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan. Hal-hal tersebut antara lain:

    1. Dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan Bahasa Belanda;
    2. Adanya integrasi sistem pendidikan dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas sosial di era penjajahan Belanda.

    Sistem pendidikan pada masa pendudukan Jepang itu kemudian dapat diikhtisarkan sebagai berikut:

    1. Pendidikan Dasar (Kokumin Gakko / Sekolah Rakyat). Lama studi 6 tahun. Termasuk SR adalah Sekolah Pertama yang merupakan konversi nama dari Sekolah dasar 3 atau 5 tahun bagi pribumi di masa Hindia Belanda.
    2. Pendidikan Lanjutan. Terdiri dari Shoto Chu Gakko (Sekolah Menengah Pertama) dengan lama studi 3 tahun dan Koto Chu Gakko (Sekolah Menengah Tinggi) juga dengan lama studi 3 tahun.
    3. Pendidikan Kejuruan. Mencakup sekolah lanjutan bersifat vokasional antara lain di bidang pertukangan, pelayaran, pendidikan, teknik, dan pertanian.
    4. Pendidikan Tinggi.

    Guna memperoleh dukungan tokoh pribumi, Jepang mengawalinya dengan menawarkan konsep Putera Tenaga Rakyat di bawah pimpinan Soekarno, M. Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan K.H. Mas Mansur pada Maret 1943. Konsep ini dirumuskan setelah kegagalan the Triple Movement yang tidak menyertakan wakil tokoh pribumi. Tetapi PTR akhirnya mengalami nasib serupa setahun kemudian. Pasca ini, Jepang tetap merekrut Ki Hajar Dewantoro sebagai penasehat bidang pendidikan mereka. Upaya Jepang mengambil tenaga pribumi ini dilatarbelakangi pengalaman kegagalan sistem pendidikan mereka di Manchuria dan China yang menerapkan sistem Nipponize (Jepangisasi). Karena itulah, di Indonesia mereka mencobakan format pendidikan yang mengakomodasi kurikulum berorientasi lokal. Sekalipun patut dicatat bahwa pada menjelang akhir masa pendudukannya, ada indikasi kuat Jepang untuk menerapkan sistem Nipponize kembali, yakni dengan dikerahkannya Sendenbu (propagator Jepang) untuk menanamkan ideologi yang diharapkan dapat menghancurkan ideologi Indonesia Raya.

    Jepang juga memandang perlu melatih guru-guru agar memiliki keseragaman pengertian tentang maksud dan tujuan pemerintahannya. Materi pokok dalam latihan tersebut antara lain: (1) Indoktrinasi ideologi Hakko Ichiu; (2) Nippon Seisyin, yaitu latihan kemiliteran dan semangat Jepang; (3) Bahasa, sejarah dan adat-istiadat Jepang; (4) Ilmu bumi dengan perspektif geopolitis; serta (5) Olaharaga dan nyanyian Jepang.

    Sementara untuk pembinaan kesiswaan, Jepang mewajibkan bagi setiap murid sekolah untuk rutin melakukan beberapa aktivitas berikut ini:

    1. Menyanyikan lagu kebangsaan Jepang, Kimigayo setiap pagi
    2. Mengibarkan bendera Jepang, Hinomura dan menghormat Kaisar Jepang, Tenno Heika setiap pagi
    3. setiap pagi mereka juga harus melakukan Dai Toa, bersumpah setia kepada cita-cita Asia Raya;
    4. Setiap pagi mereka juga diwajibkan melakukan Taiso, senam Jepang;
    5. Melakukan latihan-latihan fisik dan militer;
    6. Menjadikan bahasa Indonesia sebagai pengantar dalam pendidikan.
    7. Bahasa Jepang menjadi bahasa yang juga wajib diajarkan.

    Setelah menguasai Indonesia, Jepang menginstruksikan ditutupnya sekolah-sekolah berbahasa Belanda, pelarangan materi tentang Belanda dan bahasa-bahasa Eropa lainnya. Termasuk yang harus ditutup adalah HCS, sehingga memaksa peranakan China kembali ke sekolah-sekolah berbahasa Mandarin di bawah koordinasi Hua-Chino Tsung Hui, yang berimplikasi pada adanya proses resinification (penyadaran dan penegasan identitas sebagai keturunan bangsa China). Kondisi ini antara lain memaksa para guru untuk mentranslasikan buku-buku berbahasa asing kedalam Bahasa Indonesia untuk kepentingan proses pembelajaran. Selanjutnya sekolah-sekolah yang bertipe akademis diganti dengan sekolah-sekolah yang bertipe vokasi. Jepang juga melarang pihak swasta mendirikan sekolah lanjutan dan untuk kepentingan kontrol, maka sekolah swasta harus mengajukan izin ulang untuk dapat beroperasi kembali. Taman Siswa misalnya terpaksa harus mengubah Taman Dewasa menjadi Taman Tani, sementara Taman Guru dan Taman Madya tetap tutup. Kebijakan ini menyebabkan terjadinya kemunduran yang luar biasa bagi dunia pendidikan dilihat dari aspek kelembagaan dan operasonalisasi pendidikan lainnya.

    Sementara itu terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa kebijakan antara lain:

    1. Mengubah Kantoor Voor Islamistische Zaken pada masa Belanda yang dipimpin kaum orientalis menjadi Sumubi yang dipimpin tokoh Islam sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy’ari. Di daerah-daerah dibentuk Sumuka;
    2. Pondok pesantren sering mendapat kunjungan dan bantuan pemerintah Jepang;
    3. Mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran bagi pemuda Islam di bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin;
    4. Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Bung Hatta;
    5. Diizinkannya ulama dan pemimpin nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA) yang belakangan menjadi cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan; dan
    6. Diizinkannya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) terus beroperasi, sekalipun kemudian dibubarkan dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang menyertakan dua ormas besar Islam, Muhammadiyah dan NU.

    Lepas dari tujuan semula Jepang memfasilitasi berbagai aktivitas kaum muslimin ketika itu, nyatanya hal ini membantu perkembangan Islam dan keadaan umatnya setelah tercapainya kemerdekaan.

    Bab III. Penutup

    A. Kesimpulan

    1. Pendidikan selama penjajahan Belanda

    Selama penjajahan Belanda  dapat dipetakan kedalam 2 (dua) periode besar, yaitu pada masa VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie) dan masa pemerintah Hindia Belanda (Nederlands Indie). pada masa VOC, yang merupakan sebuah kongsi (perusahaan) dagang, kondisi pendidikan di Indonesia dapat dikatakan tidak lepas dari maksud dan kepentingan komersial.

    2. Sistem persekolahan pada zaman pemerintahan Hindia Belanda

    Secara umum sistem pendidikan khususnya system persekolahan didasarkan kepada golongan penduduk menurut keturunan atau lapisan (kelas) social yang ada dan menurut golongan kebangsaan yang berlaku waktu itu. Yaitu : 1) Pendidikan Rendah (Lager Onderwijs). 2) Pendidikan lanjutan / Pendidikan Menengah. 3) Pendidikan Kejuruan (vokonderwijs ). 4) Pendidikan Tinggi (Hooger Onderwijs).

    3.    Pendidikan Masa Jepang

    Sejak 1942 Jepang kemudian menerapkan beberapa kebijakan terkait pendidikan yang memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan. Hal-hal tersebut antara lain:

    a.    Dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan Bahasa Belanda;

    b.    Adanya integrasi sistem pendidikan dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas sosial di era penjajahan Belanda.

    B.  Kritik dan Saran

    Setelah kita mempelajari pembahasan diatas maka kita dapat mengetahui sejarah pendidikan Islam pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, alangkah baiknya kita bukan hanya sengetahui sejarah saja akan tetapi kita harus bisa mengaplikasikanya ke zaman sekarang dan zaman yang akan datang.

    Daftar Pustaka

    Afifuddin, 2007. Sejarah Pendidikan, bandung: Prosfect.

    Nizar, Samsul, 2008. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana.

    Yunus, Mahmud, 1992. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Hidakarya Agung,

    http://khairuddinhsb.blog.plasa.com/2008/07/21/pendidikan-di-zaman-belanda/

    http://khairuddinhsb.blog.plasa.com/2008/07/21/pendidikan-di-zaman-jepang/


    [1] Afifuddin, Sejarah Pendidikan, (bandung: Prosfect, 2007), hlm. 29

    [2] Nizar, Samsul, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008) hlm …

    [3] Afifuddin, Sejarah Pendidikan, (bandung: Prosfect, 2007), hlm. 36

    [4] http://khairuddinhsb.blog.plasa.com/2008/07/21/pendidikan-di-zaman-belanda/

    [5] Yunus , Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1992) hlm …

    [6] Afifuddin, Sejarah Pendidikan, (bandung: Prosfect, 2007), hlm. 54

    [7] http://khairuddinhsb.blog.plasa.com/2008/07/21/pendidikan-di-zaman-jepang/

  • Makalah Pendidikan Agama Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional

    Pendidikan Agama Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Secara kultural, pendidikan pada umumnya berada dalam lingkup peran, fungsi dan tujuan yang tidak bebeda. Semuanya dalam upaya untuk menegakkan martabat manusia melalui transmisi yang dimilikinya.

    Dunia pendidikan Islam dengan pendidikan pada umumnya, kadang-kadang memang mempunyai persamaan dan kadang-kadang juga memiliki perbedaan. Persamaan akan timbul karena sama-sama berangkat dari dua arah pendidikan yakni dari diri manusia yang memang fitrahnya untuk melakukan proses pendidikan, kemudian dari budaya yakni masyarakat yang memang menginginkan usaha warisan nilai, maka semua memerlukan pendidikan.

    Pendidikan nasional menggalakan potensi individu secara menyeluruh dan terpadu untuk mewujudkan insan yang seimbang dan harmonis dari segi intelektual, rohani dan iman, berdasarkan kepada kepercayaan dan kepatuhan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ada penekanan dalam bidang rohani maupun jasmani manusia dalam sistem pendidikan nasional merupakan ciri-ciri pendidikan Islam. Karena itu kurikulum pendidikan keagamaan merupakan bagian yang dimuat dalam kurikulum pendidikan maupun yang melekat pada setiap pelajaran sebagai bagian dari pendidikan nilai.

    Mengenai pendidikan agama itu sendiri pada dasarnya cukup mewarnai perjalanan bangsa Indonesia, apalagi bila dilihat dari dimensi historis. Sebelum pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan sistem pendidikan Barat yang sekuler, diketahui bahwa pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan formal yang ada di Indonesia.

    B. Rumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang di atas maka saya membatasi atau merumuskan masalah dalam makalah ini sebagai berikut:

    1. Apa pengertian dan tujuan Pendidikan Agama Islam ?
    2. Bagaimana Pendidikan Agama dalam Sistem Pendidikan Nasional?
    3. Bagaimana Implementasi Nilai-nilai Agama dalam Sistem Pendidikan Nasional?
    4. Apa Saja Permasalahan yang ada dalam Pendidikan Islam di Indonesia?

    C. Tujuan

    1. Untuk mengetahui apa pengertian dan tujuan pendidikan Agama Islam.
    2. Untuk mengetahui bagaimana pendidikan agama dalam sistem pendidikan nasional.
    3. Untuk mengetahui bagaimana implementasi nilai-nilai agama dalam sistem pendidikan nasional.
    4. Untuk mengetahui permasalahan-permasalahan yang ada dalam pendidikan Islam di Indonesia.

    Bab II. Pembahasan

    A. Pengertian dan Tujuan Pendidikan Agama Islam

    1.      Pengertian Pendidikan Agama Islam

    Pendidikan dapat diartikan sebagai bimbingan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Sehingga pendidkan dipandang sebagai salah satu aspek yang memiliki peranan pokok dalam membentuk generasi muda agar memiliki kepribadian yang utama.Dalam Islam pada mulanya pendidikan Islam disebut dengan kata “ta’dib”. Kata “Ta’dib”mengacu pada pengertian yang lebih tinggi, dan mencakup unsur-unsur pengetahuan (‘ilm) pengajaran (ta’lim) dan pengasuhan yang baik (tarbiyah). Akhirnya dalam perkembangan kata ta’dib sebagai istilah pendidikan telah hilang peredarannya, dan tidak dikenal lagi, sehingga ahli pendidik Islam bertemu dengan istilah At Tarbiyah atau Tarbiyah, sehingga sering disebut Tarbiyah. Sebenarnya kata ini berasal dari kata “Robba-yurabbi-Tarbiyatan” yang artinya tumbuh dan berkembang. Maka dengan demikian populerlah istilah “Tarbiyah” diseluruh dunia Islam untuk menunjuk pendidikan Islam.[1]

    Terdapat beberapa pengertian mengenai Pendidikan Agama diantaranya sebagai berikut:

    1.      Dalam Enclylopedia Education, Pendidikan Agama Islam diartikan sebagai suatu kegiatan kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan orang beragama. Dengan demikian perlu diarahkan kepada pertumbuhan moral dan karakter. Pendidikan agama tidak cukup hanya memberikan pengetahuan tentang agma saja, akan tetapi disamping pengetahuan agama, mestilah ditekankan pada aktivitas kepercayaan.

    2.      Ahmad D. Marimba mengemukakan bahwa Pendidikan Islam adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama (insan kamil).[2]

    3.      Menurut Zakiyah Darajat dalam bukunya karangan abdul Majid Pendidikan Agama Islam adalah suatu usaha untuk membina dan mengasuh peserta didik agar senantiasa dapat memahami ajaran Islam secara menyeluruh. Lalu menghayati tujuan, yang pada akhirnya dapat mengamalkan serta menjadikan Islam sebagai pandangan hidup.[3]

    4.      Menurut Ahmad Tafsir dalam bukunya Abdul Majid Pendidikan agama Islam adalah bimbingan yang diberikan seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.[4]

    5.      Menurut Dr. H. Zuhairini Pendidikan Agama berarti usaha-usaha secara sistematis dan pragmatis dalam membantu anak didik agar supaya mereka hidup sesuai dengan ajaran Islam.[5]Ada

     tiga term tertentu yang di gunakan manusia dalam mengartikan pendidikan agama dalam khasanah pendidikan islam:

    a.       Istilah al-tarbiyah

    Abdurrahman An-Nahlawi mengemukakan bahwa menurut kamus Bahasa Arab, lafaz At-Tarbiyah berasal dari tiga kata, pertama, raba-yarbu yang berarti bertambah dan bertumbuh. Makna ini dapat dilihat dalam Al-Qur’an Surat Ar-Rum ayat 39. Kedua, rabiya-yarba yang berarti menjadi besar.  Ketiga, rabba-yarubbu yang berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, menjaga dan memelihara.

    b.      Istilah al-Ta’lim

    Dr. Abdul Fattah Jalal, pengarang Min al-Usul at-Tarbiyah fii al-islam (1977: 15-24) mengatakan bahwa istilah ta’lim lebih luas dibanding tarbiyah yang sebenarnya berlaku hanya untuk pendidikan anak kecil. Yang dimaksudkan sebagai proses persiapan dan pengusahaan pada fase pertama pertumbuhan manusia (yang oleh Langeveld disebut pendidikan “pendahuluan”), atau menurut istilah yang populer disebut fase bayi dan kanak-kanak.

    c.       Istilah al-Ta’dib

    Menurut Al-Attas, ta’dib adalah pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan kekuasaan dan keagungan Tuhan di dalam tatanan wujud dan keberadaannya.[6]

    Dari beberapa definisi pendidikan Islam di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan agama Islam adalah sebagai berikut:

    1.      Segala usaha berupa bimbingan terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak, menuju terbinanya kepribadian utama sesuai dengan ajaran agama Islam.

    2.      Suatu usaha untuk mengarahkan dan mengubah tingkah laku individu untuk mencapai pertumbuhan kepribadian yang sesuai ajaran Islam dalam proses kependidikan melalui latihan-latihan akal pikiran (kecerdasan, kejiwaan, keyakinan, kemauan dan perasaan serta panca indera) dalam seluruh aspek kehidupan manusia.

    3.      Bimbingan secara sadar dan terus menerus yang sesuai dengan kemampuan dasar (fitrah dan kemampuan ajarannya pengaruh diluar) baik secara individu maupun kelompok sehingga manusia memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam secara utuh dan benar. Yang diaksud utuh dan benar adalah meliputi Aqidah (keimanan), Syari’ah (ibadah mu’amalah) dan Akhlak (budi pekerti).

    2.      Tujuan Pendidikan agama Islam

    Adapun Tujuan Pendidikan Agama Islam menurut beberapa ahli/tokoh pendidik Islam adalah:

    1.      Imam Al Ghozali mengatakan tujuan pendidikan Agama Islam yang  hendak dicapai adalah : pertama kesempurnaan manusia yang bertujuan mendekatkan diri (dalam arti kualitatif) kepada Allah SWT. Kedua kesempatan manusia yang bertujuan untuk kebahagiaan di dunia dan di akhirat, karena itu berusaha mengajar manusia agar mampu mencapai tujuan-tujuan yang di rumuskan tadi. Untuk menjadikan insan kamil (manusia paripurna) tidaklah tercipta dalam sekejap mata, tetapi mengalami proses yang panjang dan ada prasyarat-prasyarat yang harus dipenuhi di antaranya mempelajari berbagai ilmu, mengamalkanya, dan menghadapi berbagai cobaan yang mungkin terjadi dalam proses kependidikan itu.

    2.      Muhammad Athiyah Al Abrasi mengemukakan tujuan pendidikan Islam secara umum, ialah: (a). Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia; (b). Persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan di   akherat; (c). Persiapan mencari rejeki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan; (d). Menumbuhkan semangat ilmiah (scientific spirit) pada pelajar dan memuaskan keinginan arti untuk mengetahui dan memungkinkan ia mengkaji ilmu demi ilmu itu sendiri; (e). Menyiapkan pelajaran dari segi profesional, tehnis supaya dapat menguasai profesi tertentu, dan ketrampilan tertentu agar ia dapat mencapai rejeki dalam hidup disamping memelihara segi kerokhanian.[7]

    3.      Menurut Ahmad D. Marimba dalam bukunya” Pengantar filsafat Pendidikan Islam”, menyatakan tujuan akhir pendidikan Islam adalah terbentuknya kepribadian muslim.Dari beberapa pendapat tersebut di atas maka dapat ditarik suatu pengertian bahwa tujuan pendidikan Islam yaitu untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan diri pribadi manusia muslim secara menyeluruh melalui latihan kejiwaan, akal pikiran, kecerdasan, perasaan dan panca indera, sehingga memiliki kepribadian yang utama.[8]

    4.      Menurut Drs. Abd. Rahman Sholeh Tujuan Pendidikan Agama Islam ialah memberikan bantuan kepada manusia yang belum dewasa, supaya cakap menyelesaikan tugas hidupnya yang diridhai Allah SWT, sehingga terjalinlah kebahagiaan dunia dan akhirat atas kuasanya sendiri.[9]

    5.      Menurut Al Syaibani, tujuan pendidikan Islam adalah :

    a.       Tujuan yang berkaitan dengan individu, mencakup perubahan yang berupa pengetahuan, tingkah laku masyarakat, tingkah laku jasmani dan rohani dan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki untuk hidup di dunia dan di akhirat.

    b.      Tujuan yang berkaitan dengan masyarakat, mencakup tingkah laku masyarakat, tingkah laku individu dalam masyarakat, perubahan kehidupan masyarakat, memperkaya pengalaman masyarakat.

    c.       Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi, dan sebagai kegiatan masyarakat.[10]

    B.       Pendidikan Agama Dalam Sistem Pendidikan Nasional

    Secara historis diketahui bahwa sejak pemerintahan Kolonial Belanda memperkenalkan sistem pendidikannya yang bersifat sekuler, keadaan pendidikan di Indonesia berjalan secara dualistis. Pendidikan kolonial yang tidak memperhatikan nilai-nilai agama dengan pola Baratnya berjalan sendiri, sementara pendidikan Islam yang diwakili pesantren dengan tidak memperhatikan pengetahuan umum juga berjalan sendiri. Hal ini berjalan sampai Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya meskipun pada permulaan abad ke-20 sudah diperkenalkan sistem pendidikan madrasah berusaha memadukan kedua sistem tersebut di atas terutama memasukkan pengetahuan-pengetahuan umum ke lembaga-lembaga pendidikan islam dan memakai sistem klasikal. Namun, ternyata suasana ketradisionalannya masih terlihat sekali.

    Jadi, pemerintahan dan bangsa Indonesia pada masa awal kemerdekaan masih mewarisi sistem pendidikan yang bersifat dualistis tersebut:

    a.       Sistem pendidikan dan pengajaran modern yang bercorak sekuler atau sistem pendidikan dan pengajaran pada sekolah-sekolah umum yang merupakan warisan dari pemerintah kolonial belanda.

    b.      Sistem pendidikan islam yang tumbuh dan berkembang di kalangan umat islam sendiri, yaitu sistem pendidikan dan pengajaran yang berlangsung di surau atau langgar, masjid, pesantren, dan madrasah yang bersifat tradisional dan bercorak keagamaan semata-mata.[11]

    Dari perjalanan historisnya tersebut, meskipun pendidikan islam tidak jarang mendapatkan tekanan dan kurang mendapat perhatian yang memadai dari pemerintah, namun pendidikan islam telah berhasil survive di dalam berbagai situasi dan kondisi mengarungi masa-masa sulitnya. Hal demikian menyebabkan pendidikan Islam menyandang berbagai jenis nilai luhur (Tilaar, 2000: 78), seperti hal-hal sebagai berikut:

    a.       Nilai historis, di mana pendidikan Islam telah survive baik pada masa kolonial hingga zaman kemerdekaan. Pendidikan Islam telah menyumbangkan nilai-nilai yang sangat besar di dalam kesinambungan hidup bangsa, dalam kehidupan bermasyarakat, dalam perjuangan bangsa Indonesia mencapai kemerdekaannya. Di dalam invasi kebudayaan barat, pendidikan Islam telah menunjukkan ketahanannya sehingga tetap survive.

    b.      Nilai religius, pendidikan Islam di dalam perkembangannya tentunya telah memelihara dan mengembangkan nilai-nilai agama Islam sebagai salah satu nilai budaya bangsa Indonesia.

    c.       Nilai moral, pendidikan islam tidak diragukan lagi sebagai pusat pemelihara dan pengembangan nilai-nilai moral yang berdasarkan agama Islam. Sekolah-sekolah madarsah, pesantren, bukan hanya berfungsi sebagai pusat pendidikan, tetapi juga sebagai pusat atau benteng moral dari kehidupan mayoritas bangsa Indonesia.[12]

    1.      Fungsi Pendidikan Agama Dalam Sistem Pendidikan Nasional

    Secara eksplisit fungsi pendidikan agama yang telah dituangkan dalam penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU Nomor 2 Tahun 1989, yang menyebutkan “pendidikan agama merupakan usaha untuk memperkuat iman dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama yang dianut peserta didiknya yang bersangkutan, dengan memperhatikan tuntutan yang menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan basional.[13]

    C.      Implementasi Nilai-nilai Agama dalam Sistem Pendidikan Nasional

    Pendidikan keagamaan merupakan bagian terpadu yang dimuat dalam kurikulum pendidikan maupun melekat pada setiap mata pelajaran sebagai bagian dari pendidikan nilai. Oleh karena itu nilai-nilai agama akan selalu memberikan corak kepada pendidikan agama.

    Pada palaksanaannya, pendidikan keagamaan dalam sistem pendidikan nasional, baik yang berada pada jalur sekolah maupun pendidikan luar sekolah, paling tidak tampil dalam beberapa bentuk atau kategori yang secara substansial memiliki perbedaan, baik dalam sifatnya maupun dalam implikasi pelaksanaannya sebagai barikut:

    1.      Keberadaan Mata Pelajaran Agama

    Didalam UU Nomor 2 tahun 1989 dikemukakan bahwa pendidikan keagamaan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan, dan diselenggarakan pada semua jenjang pendidikan. Pendidikan keagamaan merupakan salah satu bahan kajian dalam kurikulum semua jenis dan jenjang pendidikan di Indonesia.

    2.      Lembaga Penyelenggara Pendidikan Keagamaan

    Berkenaan dengan lembaga yang menyelenggarkan pendidikan keagamaan ini, ada tiga bentuk yaitu:

    1. Pesantren.
    2. Madrasah-madrasah keagamaan (diniyah).
    3. Madrasah-madrasah yang termasuk pendidikan umum berciri khas agama, yaitu Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah.

    Dalam sistem pendidikan nasional, pesantren yang mempunyai akar kuat dalam masyarakat Islam Indonesia merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah. Di pesantren secara intensif agama dipelajari, didalami, dan dikaji.

    3.      Melekatnya Nilai-nilai Agama pada Setiap Mata Pelajaran

    Hal ini pada dasarnya lebih subtil, namun mempunyai peranan yang sangat penting dalam upaya mengembangkan nilai-nilai keagamaan pada anak didik. Sebagai contoh dalam hal ini adalah pendidikan MIPA. Melalui pendidikan ini siswa mempelajari substansi ke-MIPA-an yang terdiri atas dalil-dalil, teori-teori, generalisasi-generalisasi, prinsip-prinsip, dan konsep-konsep MIPA. Dengan penguasaan ini, mereka dapat menerapkan MIPA untuk tujuan pemecahan masalah dan pengembangan iptek. Di samping substansi ke MIPA-an, ada dimensi nilai yang terkandung dalam pendidikan MIPA. Misalnya, siswa dapat belajar untuk lebih mencintai lingkungan, sadar akan keuntungan MIPA bagi kehidupan manusia, dan sadar pula akan implikasi dari penerapan MIPA terhadap kehidupan manusia jika disalah gunakan untuk tujuan-tujuan destruktif.

    4.      Penanaman Nilai-nilai Agama di Keluarga

    Keluarga merupakan bagian dari pendidikan luar sekolah sebagai wahana pendidikan agama yang paling ampuh. Keluarga merupakan pendidikan yang pertama dan utama bagi seseorang, dengan orang tua sebagai kuncinya. Dalam hal ini Al-Qur’an mengungkapkan tentang peranan orang tua untuk mendidik anak-anaknya, seperti yang dinyatakan dalam Surat At-Tahrim ayat 6, yaitu:

    يَآَ يُّهَاالَّذِيْنَءَاَمَنُوْا قُوْآ أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيْكُمْ نَارًا

    Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim:6)

                Pendidikan dalam keluarga terutama berperan dalam mengembangkan watak, kepribadian, nilai-nilai budaya, nilai-nilai keagamaan dan moral, serta keterampilan sederhana.[14]

    D.      Permasalahan Pendidikan Islam di Indonesia

    Permasalahan umum pendidikan islam:

    a.       Masalah Pemerataan, adalah permasalahn umum pertama pendidikan islam. Isu pemerataan pendidikan merupakan turunan dari isu pemerataan  pembangunan. Logika pembangunan mempunyai sisi yang sama dengan logika pendidikan, yaitu bahwa pembangunan atau pendidikan dimulai dari pertumbuhan, pertumbuhan itu kemudian dibagi atau diratakan, tanpa pertumbuhan tidak ada yang diratakan, kecuali kemiskinan atau kebodohan.

    b.      Masalah Mutu, adalah permasalahan umum kedua pendidikan islam. Pendidikan yang bermutu menjadi acuan bersama, karena pendidkan islam memang harus mampu memberi layanan yang bermutu, tawaran yang menjanjikan masa depan peserta didik, dan sekaligus tawaran yang akan memperoleh respon positif dari masyarakat, sehingga pendidikan islam bisa berwujud seperti “magnet school” yakni lembaga yang mampu menyedot partisipasi masyarakat karena layanan pendidikannya bermutu. Namun demikian, pendidikan islam dalam banyak respon selalu di tempatkan sebagai kualitas pendidikan yang terendah.

    c.       Masalah Relevansi, adalah permasalahan umum ketiga pendidikan islam. Pendidikan islam diselenggarakan bukan diruang kosong, tapi di tengah kehidupan masyarakat yang terus berubah tanpa memahami karakteristik masyarakat, pendidikan islam bisa keluar dari kontek masyarakatnya. Pendidikan isalam bisa menjadi “a-historis”, pendidikan islam bisa di “awang-awang”. Setelah keluar, mereka bisa terasing, teralienasi dari masyarakatnya. Mereka tidak memahami masyarakat, dan sebaliknya mereka tidak memahami jalan fikiran mereka.

    d.      Masalah manajemen, adalah permasalahan umum keempat pendidkan islam. Menurut Thaher, pelaksanaan otonomi daerah bidang pendidikan haruslah menitik beratkan manajemen pendidikan. Institusi  pendidikan harus diberi wewenang mengatur dirinya sendiri dengan suatu sistem yang sudah di desain. Tanpa menitik beratkan perhatian pada manajemen, maka sasaran pendidikan jangka pendek maupun jangka panjang hanya menjadi impian (Thaher, 2000) Abad ke – 21 adalah abad dimana masalah manajemen pendidikan menjadi sorotan serius.[15]

    Permasalahan Khusus/Internal pendidikan Islam

    a.       Masalah konseptual, adalah masalah khusus pertama pendidikan islam. Masalah konsepsual adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan konsep pendidikan islam, baik konsep filosofis maupun konsep empiris. Konsep filosofis menyangkut konsep peristilahan dan persepsi tentang pendidikan islam sebagaimana telah dibahas diatas, sedang konsep empiris menyangkut asas psikologis, sosiologis, politis pendidikan islam dan sebagainya, yang selama ini kurang mendapatkan porsi yang proposional dalam pengembangan pendidikan islam.

    b.      Masalah Struktural, adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan struktur pendidikan islam. Sejak Indonesia merdeka, polemik tentang struktur pengelolaan pendidikan islam, struktur perjenjangan kelembagaan pendidikan islam, dan struktur organik lainnya, khususnya apakah pola kelanjutan pendidikan islam menggunakan single track atau multi track sampai sekarang belum pernah tuntas dibahas.

    c.       Masalah operasional, adalah masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan dan pengelolaan pendidikan islam. Masalah tersebut bisa bertolak dari fungsi pendidikan islam, komponen pendidikan islam, hubungan input, proses, dan out put serta out come, atau selainnya. Namun jika bertitik tolak dari fungsi pendidikan islam, maka indikator dan soslusinya menyangkut fungsi pendidikan intelektual, nilai-nilai dan produktivitas.[16] 

    BAB III

    PENUTUP

    A.    Kesimpulan

    Dengan pemaparan definisi pendidikan islam di atas dapat disimpulkan bahwa definisi pendidikan islam adalah proses pembentukan kepribadian manusia kepribadian islam yang luhur. Bahwa pendidikan islam bertujuan untuk menjadikannya selaras dengan tujuan utama manusia menurut islam, yakni beribadah kepada Allah swt.

    Diharapkan dengan pemahaman hakikat pendidikan islam ini. Member motivasi agar manusia khususnya muslim selalu mencari ilmu hingga akhir hayat, dalam rangka merealisasikan tujuan yang telah disebutkan dalam QS. Adz-Dzariyat: 56 dapat diaplikasikan secara berkelanjutan.

    B.     Saran

    Setelah membahas hakikat pendidikan islam ini. Maka kami berharap pendidikan islam lebih di utamakan dan di pelajari lebih mendalam, khususnya dalam kehidupan sehari- hari dan menanamkannya pada generasi muda agar syari’at dan ajaran islam dapat di mengerti dan di pahami oleh generasi muda dalam mengaplikasikannya didalam kehidupan sehari- hari.

    DAFTAR PUSTAKA

    Ahmadi, Abu dkk. 2003 Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta.

    Arif, Arifuddin. 2008. Pengantar Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kultura.

    Hasbullah. 2006. Otonomi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

    Hasbullah. 2012. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.

    http://sablinews.blogspot.com/2012/10/sablicom-makalah-tentang-pendidikan_30.html

    Majid, Abdul. 2004. Pendidikan Agama Islam  (KBK 2004)Bandung: Remaja Rosda Karya.

    Marimba, Ahmad D. 1989. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung : Al- Ma’arif.

    Nizar, Samsul. 2002. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Pres.

    Soebahar, A.H. 2009. Matriks Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Marwa.

    Tafsir, Ahmad. 1992. Imu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.

    Zuhairini  dkk. 1993. Metodologi Pendidikan Agama 1. Solo: Ramadhani.

  • Makalah Pendidikan Multikultural

    Pendidikan Multikultural

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Pendidikan adalah salah satu bidang yang sangat menentukan dalam kemajuan suatu Negara.Indonesia adalah Negara kesatuan yang terdiri dari berbagai macam suku, adat, agama, bahasa, dan lain-lain. Kesatuan ini akan menjadi bentuk Negara secara plural melalui pendidikan. Perbedaan ini dapat disatukan agar tidak terjadi diskriminasi yang menyudutkan pada salah satu golongan sehingga pembangunan Indonesia terlambat.  Pada prinsipnya, pendidikan multikultural adalah pendidikan yang menghargai perbedaan.

    Pendidikan multikultural senantiasa menciptakan struktur dan proses dimana setiap kebudayaan bisa melakukan ekspresi. Tentu saja untuk mendesain pendidikan multicultural secara praksis, itu tidaklah mudah.Tetapi, paling tidak kita mencoba melakukan ijtihad untuk mendesain sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan multikulturalisme. Setidaknya ada dua hal bila kita akan mewujudkan pendidikan multikulturalisme yang mampu memberikan ruang kebebasan bagi semua kebudayaan untuk berekspresi.

    Pertama adalah dialog.Pendidikan multikultural tidak mungkin berlangsung tanpa dialog. Dalam pendidikan multikultural, setiap peradaban dan kebudayaan yang ada berada dalam posisi yang sejajar dan sama. Tidak ada kebudayaan yang lebih tinggi atau dianggap lebih tinggi (superior) dari kebudayaan yang lain. Dialog meniscayakan adanya persamaan dan kesamaan diantara pihak-pihak yang terlibat.

    Anggapan bahwa kebudayaan tertentu lebih tinggi dari kebudayaan yang lain  akan melahirkan fasisme, nativisme,dan chauvinisme. Dengan dialog, diharapkan terjadi sumbang pemikiran yang pada gilirannya akan memperkaya kebudayaan atau peradaban yang bersangkutan. Di samping sebagai pengkayaan, dialog juga sangat penting untuk mencari titik temu antar peradaban dan kebudayaan yang ada.

    Pendidikan multikultural dapat dirumuskan sebagai wujud kesadaran tentang keanekaragaman kultural, hak-hak asasi manusia serta pengurangan atau penghapusan  berbagai jenis prasangka atau prejudise  untuk membangun suatu kehidupan masyarakat yang adil dan maju.

    B. Rumusan Masalah

    1. Apakah pengertian Pendidikan Multikultural?
    2. Apa saja dasar Pendidikan Multikultural?
    3. Apa saja tujuan Pendidikan Multikultural?
    4. Apa saja fungsi pendidikan multikultural?
    5. Bagaimanakah Paradigma Baru Pendidikan Multikultural?

    C. Tujuan Penulisan

    1. Untuk mengetahui pengertian Pendidikan Multikultural
    2. Untuk mengetahui dasar pendidikan multikultural
    3. Untuk mengetahui tujuan pendidikan multikultural
    4. Untuk mengetahui fungsi pendidikan multikultural
    5. Untuk mengetahui paradigma Pendidikan MultikulturaL

    Bab II. Pembahasan

    A. Pengertian Pendidikan Multikultural

    Kata budaya/kultur (culture)di pandang penting karena kata ini membentuk dan merupakan bagian dari istilah Pendidikan Multikultural. Bagaimana kita mendefinisikan budaya akan menentukan arti dari istilah Pendidikan Multikultural. Tanpa kita mengetahui apa arti budaya / kultur, kita akan sulit memahami implikasi pendidikan multicultural secara utuh. Misalnya jika budaya didefinisikan sebagai warisan dan tradisi dari suatu kelompok social, maka pendidikan multicultural berarti mempelajari tentang berbagai (multi) warisan dan tradisi budaya.

    Istilah multikultur berakar dari kata kultur yang diartikan sebatas pada budaya dan kebiasaan sekelompok orang pada daerah tertentu (Ainul Yaqin, 2005:6). Secara etimologis multiculturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), culture (budaya), dan isme (aliran atau paham) (H.A.R Tilaar,2004: Punggung). Multicultural sebenarnya merupakan kata dasar yang mendapat awalan. Kata dasar dasar itu adalah kultur yang berarti kebudayaan, kesopanan, atau pemeliharaan sedang awalannya adalah multi yang berarti banyak, ragam, atau aneka. Dengan demikian, multikultur berarti keragaman kebudayaan, aneka kesopanan, atau banyak pemeliharaan.

    Multikulturalisme merupakan suatu paham atau situasi-kondisi masyarakat yang tersusun dari banyak kebudayaan.Multikulturalisme sering merupakan perasaan nyaman yang dibentuk oleh pengetahuan. Pengetahuan dibangun oleh keterampilan yang mendukung suatu proses komunikasi yang efektif, dengan setiap orang dari sikap kebudayaan yang ditemui dalam setiap situasi dengan melibatkan sekelompok orang yang berbeda latar belakang kebudayaannya. Multikulturalisme sebagai sebuah paham menekankan pada kesenjangan dan kesetaraan budaya-budaya local tanpa mengabaikan hak-hak dan ekstensi budaya yang ada.

    Pengertian “Multikultural” secara luas mencakup pengalaman yang membentuk persepsi umum terhadap usia, gender, agama, status social ekonomi, jenis identitas budaya, bahasa, ras, dan berkebutuhan khusus.

    B. Dasar Pendidikan Multikultural

    1.    Kesadaran Nilai Penting Keragaman Budaya

    Pendidikan multikultural ini memberikan pemahaman mengenai berbagai jenis kegiatan pendidikan sebagai bagian integral dari kebudayaan universal.

    2.    Gerakan Pembaharuan Pendidikan

    Ini ditujukan agar tidak ada kesenjangan sosial dan diskriminasi di masyarakat.Contohnya seperti kesenjangan ketika muncul fenomena sekolah favorit yang didominasi oleh golongan orang kaya karena ada kebijakan lembaga yang mengharuskan untuk membayar uang pangkal yang mahal untuk bisa masuk ke sekolah favorit itu.Sedangkan siswa dengan karakteristik budaya yang berbeda tidak memiliki kesempatan itu.

    3.    Proses Pendidikan

    Pendidikan multikultural juga merupakan proses (pendidikan) yang tujuannya tidak akan pernah terealisasikan secara penuh. Pendidikan Multikultural harus dipandang sebagai suatu proses yang terus menerus, dan bukan sebagai sesuatu yang langsung bisa tercapai. Tujuan utama dari pendidikan multicultural adalah untuk memperbaiki prestasi secara utuh bukan sekedar meningkatkan skor.

    C. Tujuan Pendidikan Multikultural

    1.    Pengembangan Literasi Etnis dan Budaya

    Mempelajari tentang latar belakang sejarah, bahasa, karakteristik budaya, sumbangan, peristiwa kritis, individu yang berpengaruh, dan kondisi social, politik, dan ekonomi dari berbagai kelompok etnis mayoritas dan minoritas.

    2.    Perkembangan Pribadi

    Menekankan pada pengembangan pemahaman diri yang lebih besar, konsep diri yang positif, dan kebanggaan pada identitas pribadinya yang berkontribusi pada perkembangan pribadi siswa, yang berisi pemahaman yang lebih baik tentang diri yang pada akhirnya berkontribusi terhadap keseluruhan prestasi intelektual, akademis, dan social siswa.

    3.    Klarifikasi Nilai dan Sikap

    Merupakan langkah kunci dalam proses melepaskan potensi kreatif individu untuk memperbarui diri dan masyarakat untuk tumbuh-kembang lebih lanjut.

    4.    Kompetensi Multikultural

    Dengan mengajarkan keterampilan dalam komunikasi lintas budaya, hubungan antar pribadi, pengambilan perspektif, analisis kontekstual, pemahaman sudut pandang dan kerangka berpikir alternatif, dan menganalisa bagaimana kondisi budaya mempengaruhi nilai, sikap, harapan, dan perilaku.

    5.    Kemampuan Keterampilan Dasar

    Untuk memfasilitasi pembelajaran untuk melatih kemampuan keterampilan dasar  dari siswa yang berbeda secara etnis dengan memberi materi dan teknik yang lebih bermakna untuk kehidupan dan kerangka berpikir dari siswa yang berbeda secara etnis.

    6.    Persamaan dan Keunggulan Pendidikan

    Tujuan persamaan multikultural berkaitan erat dengan tujuan penguasaan ketrampilan dasar, namun lebih luas dan lebih filosofis. Untuk menentukan sumbangan komparatif terhadap kesempatan belajar, pendidik harus memahami secara keseluruhan bagaimana budaya membentuk gaya belajar, perilaku mengajar, dan keputusan pendidikan.

    7.    Memperkuat Pribadi untuk Reformasi Sosial

    Tujuan terakhir dari Pendidikan multikultural adalah memulai proses perubahan di sekolah yang pada akhirnya akan meluas ke masyarakat. Tujuan ini akan melengkapi penanaman sikap, nilai, kebiasaan dan ketrampilan siswa sehingga mereka menjadi agen perubahan sosial (social change agents) yang memiliki komitmen yang tinggi dengan reformasi masyarakat untuk memberantas perbedaan (disparities) etnis dan rasial dalam kesempatan dan kemauan untuk bertindak berdasarkan komitmen ini. Untuk melakukan itu, mereka perlu memperbaiki pengetahuan mereka tentang isu etnis di samping mengembangkan kemampuan pengambilan keputusan, ketrampilan tindakan sosial, kemampuan kepemimpinan, dan komitmen moral atas harkat dan persamaan.

    8.    Memiliki Wawasan Kebangsaan/Kenegaraan yang Kokoh

    Dengan mengetahui kekayaan budaya bangsa itu akan tumbuh rasa kebangsaan yang kuat. Rasa kebangsaan itu akan tumbuh dan berkembang dalam wadah negara Indonesia yang kokoh. Untuk itu Pendidikan Multikultural perlu menambahkan materi, program dan pembelajaran yang memperkuat rasa kebangsaan dan kenegaraan dengan menghilangkan etnosentrisme, prasangka, diskriminasi dan stereotipe.

    9.    Memiliki Wawasan Hidup yang Lintas Budaya dan Lintas Bangsa sebagai Warga Dunia.

    Hal ini berarti individu dituntut memiliki wawasan sebagai warga dunia (world citizen). Namun siswa harus tetap dikenalkan dengan budaya lokal, harus diajak berpikir tentang apa yang ada di sekitar lokalnya. Mahasiswa diajak berpikir secara internasional dengan mengajak mereka untuk tetap peduli dengan situasi yang ada di sekitarnya – act locally and globally.

    10.         Hidup Berdampingan secara Damai

            Dengan melihat perbedaan sebagai sebuah keniscayaan, dengan menjunjung tinggi nilai kemanusian, dengan menghargai persamaan akan tumbuh sikap toleran terhadap kelompok lain dan pada gilirannya dapat hidup berdampingan secara damai.[2]

    D.    Fungsi Pendidikan Multikultural

                The National Council for Social Studies (Gorski, 2001) mengajukan sejumlah fungsi yang menunjukan pentingnya keberadaan dari pendidikan multikultural. Fungsi tersebut adalah :

    1. Memberi konsep diri yang jelas.
    2. Membantu memahami pengalaman kelompok etnis dan budaya ditinjau dari sejarahnya.
    3. Membantu memahami bahwa konflik antara ideal dan realitas itu memang ada pada setiap masyarakat.
    4. Membantu mengambangkan pembuatan keputusan (decision making), partisipasi social, dan keterampilan kewarganegaraan (citizenship skills)
    5. Mengenal keberagaman dalam penggunaan bahasa.

    E. Paradigma Baru Pendidikan Multikultural.

    Kemajemukan merupakan ciri khas bangsa Indonesia.Seperti diketahui Indonesia merupakan Negara Kepulauan dengan jumlah pulau terbesar di dunia. Pada satu sisi kemajemukan masyarakat memberikan side effect (dampak) secara positif namun pada sisi lain juga menimbulkan dampak negatif, karena kemajemukan itulah justru terkadang sering menimbulkan konflik antar kelompok masyarakat. Pada akhirnya, konflik-konflik antar kelompok masyarakat tersebut akan melahirkan distabilitas keamanan, sosioekonomi, dan ketidakharmonisan social (social disharmony).

    Dalam menghadapi fluralism budaya diperlukan paradigma baru yang lebih toleran yaitu paradigma Pendidikan Multikultural.Paradigma Pendidikan Multikultural itu penting sebab dapat mengarahkan anak didik untuk bersikap dan berpandangan toleran dan inklusif terhadap realitas masyarakat yang beragam baik dalam hal budaya, suku, ras, etnis, maupun agama.

    Pendidikan multikultural sebagai pendidikan alternatif patut dikembangan dan dijadikan sebagai model pendidikan di Indonesia dengan alasan, Pertama, realitas bahwa Indonesa adalah negara yang dihuni oleh berbagai suku, bangsa, etnis agama, dengan bahasa yang beragam dan membawa budaya yang heterogen serta tradisi dan perdaban yang beraneka ragam. Kedua, pluralitas tersebut secara inheren sudah ada sejak bangsa Indonesia ini ada.Ketiga, masyarakat menentang pendidikan yang berorientasi bisnis, komersialisasi, dan kapitalis, yang mengutamakan golongan atau orang tertentu.

    Keempat, masyarakat tidak menghendaki kekerasan dan kesewenang-wenangan pelaksanaan hak setiap orang.Kelima, pendidikan multikultur sebagai resistensi fanatisme yang mengarah pada berbagai jenis kekerasan dan kesewenang-wenangan.Keenam, pendidikan multikultural memberikan harapan dalam mengatasi berbagai gejolak masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini.ketujuh, pendidikan multikultutral sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan, social, kalaman, dan keTuhanan.

    Bab III. Penutup

    DAFTAR PUSTAKA

    Sutarno.2007.Pendidikan Multikultural.Kalimantan Selatan:Dinas Pendidikan dan FKIP Unlam

    Maslikhah.2007.Pendidikan Mulikultural.Jawa Tengah:PT. Temprina Media Grafika

    Mahfud,Choirul.2009.Pendidikan Multikultural,Yogyakarta:Pustaka Pelajar


    [1] Sutarno,Pendidikan Multikultural,(Kalimantan Selatan:Dinas Pendidikan dan FKIP Unlam,2007),hal 57

    [2]  Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2009), hal 9

    [3]  Sutarno,Pendidikan Multikultural,(Kalimantan Selatan:Dinas Pendidikan dan FKIP Unlam,2007),hal 61

    [4] Maslikhah,Pendidikan Mulikultural,(Jawa Tengah:PT.Temprina Media Grafika,2007),hal 43

  • Makalah Istishab

    Istishab

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Dalam peristilaan ahli ushul, istishab berarti menetapkan hukum menurut keadaan yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil yang mengubahnya. Dalam ungkapan lain, ia diartikan juga sebagai upaya menjadikan hukum peristiwa yang ada sejak semula tetap berlaku hingga peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil yang mengubah ketentuan itu.

    B. Rumusan Masalah

    Bertitik tolak pada uraian yang telah dikemukakan di atas, penulis dapat menarik sebuah rumusan masalah sebagai berikut:

    1. Pengertian Istishab

    2.       Syarat-syarat Istishab

    3.       Macam- Macam Istishab

    4.       Contoh Istishab

    5.       Dasar Hukum Istishab

    6.       Kehujjahan Istishab

    7.       Implikasi dan Kaedah-Kaedahnya

    8.       Relevansi Istishab dengan UU Positif serta terhadap Perkembangan Masyarakat pada Zaman Sekarang

    BAB  II

    PEMBAHASAN

    ISTHISHAB

    A.    Pengertian Istishab

                Secara lughawi (etimologi) istishab itu berasal dari kata is-tash-ha-ba ((استصحب dalam shigat is-tif’âl (استفعال), yang berarti: استمرار الصحبة. Kalau kata الصحبة diartikan “sahabat” atau “teman”, dan استمرار  diartikan “selalu” atau “terus-menerus”, maka istishab itu secara lughawi artinya adalah: “selalu menemani” atau “selalu menyertai”.[1]

                Sedangkan secara istilah (terminologi), terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama, di antaranya ialah:

    1.      Imam Isnawi

                Istishab ialah melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan yang telah ditetapkan karena suatu dalil sampai ada dalil lain yang mengubah hukum-hukum tersebut.

    2.      Ibn al-Qayyim al-Jauziyah

                Istishab ialah mengukuhkan menetapkan apa yang pernah ditetapkan dan meniadakan apa yang sebelumnya tiada.[2]

    3.      Abdul-Karim Zaidan

                Istishab ialah menganggap tetapnya status sesuatu seperti keadaannya semula selama belum terbukti ada sesuatu yang mengubahnya.[3]

                Istishab juga dapat berarti melanjutkan berlakunya hukum yang telah tetap di masa lalu, diteruskan sampai yang akan datang selama tidat terdapat yang mengubahnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa istishab adalah menetapkan berlakunya suatu hukum yang telah ada sebelum ada dalil atau bukti yang mengubah hukum tersebut.[4]

    B.     Syarat-syarat Istishab

    1.      Syafi’iyyah dan Hanabillah serta Zaidiyah dan Dhahiriyah berpendapat bahwa hak-hak yang baru timbul tetap menjadi hak seseorang yang berhak terhadap hak-haknya terdahulu.

    2.      Hanafiyyah dan Malikiyah membatasi istishab terhadap aspek yang menolak saja dan tidak terhadap aspek yang menarik (ijabi) menjadi hujjah untuk menolak, tetapi tidak untuk mentsabitkan.

    C.    Macam- Macam Istishab

                Para ulama ushul fiqih mengemukakan bahwa istishab ada 5 macam yang sebagian disepakati dan sebagian lain diperselisihkan. Kelima macam Istishab itu adalah[5] :

    1.      Istishab hukum Al- Ibahah Al- Asliyyah

                Maksudnya menetapkan hukum sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh selama belum ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Misalnya seluruh pepohonan di hutan adalah merupakan milik bersama umat manusia dan masing- masing orang berhak menebang dan memanfaatkan pohon dan buahnya, sampai ada bukti yang menunjukkan bahwa hutan tersebut telah menjadi milik sesorang. Berdasarkan ketetapan perintah ini, maka hukum kebolehan memanfaatkan hutan tersebut berubah menjadi tidak boleh. Istishab seperti ini menurut para ahli ushul fiqih dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum.

    2.   Istishab yang menurut akal dan syara’ hukumnya tetap dan berlangsung terus.

                Misalnya hukum wudhu seseorang yang telah berwudhu dianggap berlangsung terus sampai adanya penyebab yang membatalkannya. Apabila seseorang merasa ragu apakah wudhunya masih ada atau sudah batal, maka berdasarkan Istishab wudhuya dianggap masih ada karena keraguan tidak bisa mengalahkan keyakinan. Hal ini sejalan dengan Sabda Rasul “ Jika seseorang merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu ia ragu apakah ada sesuatu yang keluar atau tidak, maka sekali- kali janganlah ia keluar dari masjid (membatalkan shalat) sampai kamu mendengar suara atau mencium bau kentut. (HR. Muslim dan Abu Hurairah).

                Istishab bentuk kedua ini terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqih. Inu Qayyim al- Jauziyyah berpendapat bahwa Istishab seperti ini dapat dijadikan hujjah.

                Ulama’ Hanafiyah berpendirian bahwa pendapat seperti ini hanya bisa dijadikan hujjah untuk menetapkan dan menegaskan hukum yang telah ada, dan tidak bisa dijadikan hujjah untuk hukum yang belum ada.

                Imam Ghazali menyatakan bahwa istishab hanya bisa dijadikan hujjah apabila didukung oleh nash atau dalil, dan dalil itu menunjukkan bahwa hukum itu masih tetap berlaku dan tidak ada dalil yan laing yang membatalkannya.

                Sedangkan Ulama Malikiah menolak istishab sebagai hujjah dalam beberapa kasus, seperti kasus orang yang ragu terhadap keutuhan wudhunya. Menurut mereka dalam kasus seperti ini istishab tidak berlaku, karena apabila sesorang merasa regu atas keutuhan wudhunya sedangkan sedangkan di dalam keadaan shalat, maka shalatnya batal dan ia harus berwudhu kembali dan mengulangi shalatnya.

    3.      Istishab terdapat dalil yang bersifat umum sebelum datangnya dalil yang mengkhususkannya dan istishab dengan nash selama tidak ada dalil nasakh (yang membatalkannya).

                Contoh istishab dengan nash selama tidak ada yang menasakhkannya. Kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan yang berlaku bagi umat sebelum Islam tetap wajib bagi umat Islam berdasarkan ayat di atas, selama tidak ada nash lain yang membatalkannya. Kasus seperti ini menurut Jumhur ulama’ ushul fiqih termasuk istishab. Tetapi menurut ulama ushul fiqih lainnya, contoh di atas tidak dinamakan istishab tetapi berdalil berdasarkan kaidah bahasa.

    4.      Istishab hukum akal sampai adanya hukum syar’i.

                Maksudnya, umat manusia tidak dikenakan hukum syar’i sebelum datangnya syara’. Seperti tidak adanya pembebanan hukum dan akibat hukumnya terhadap umat manusia,sampai datangnya dalil syara’ yang menentukan hukum. Misalnya seseorang menggugat orang lain bahwa ia berhutang kepadanya sejumlah uang, maka penggugat berkewajiban untuk  mengemukakan bukti atas tuduhannya, apabila tidaksanggup, maka tergugat bebas dari tuntutan dan ia dinyatakan tidak pernah berhutang pada penggugat. Istishab seperti ini diperselisihkan menurut ulama Hanafiyah, istishab dalam bentuk ini hanya bisa menegaskan hukum yang telah ada, dan tidak bisa menetapkan hukum yang akan datang.

                Sedangkan menurut ulama Malikiyah, Syati’iyah, dan Hanabilah, istishab seperti ini juga dapat menetapkan hukum syar’i, baik untuk menegaskan hukum yang telah ada maupun hukum yang akan datang.

    5.      Istishab hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’ tetapi keberadaan ijma’ itu diperselisihkan.

                Istishab sepeti ini diperselisihkan para ulama tentang kehujahannya. Misalnya para ulama fiqih menetapkan berdasarkan ijma’ bahwa tatkala air tidak ada, seseorang boleh bertayamum untuk mengerjakan shalat. Tetapi dalam keadaan shalat, ia melihat ada air, apakah shalat harus dibatalkan ?

                Menurut ulama’ Malikiyyah dan Syafi’iyyah, orang tersebut tidak boleh membatalkan shalatnya, karena adanya ijma’ yang mengatakan bahwa shalatnya sah apabila sebelum melihat air. Mereka mengaggap hukum ijma’ tetap berlaku sampai adanya dalil yang menunjukkan bahwa ia harus membatalkan shalatnya kemudian berwudhu dan mengulangi shalatnya.

                Ulama Hanabilah dan Hanafiyyah mengatakan orang yang melakukan shalat dengan tayamum dan ketika shalat melihat air, ia harus membatalkan shalatnya untuk berwudhu. Mereka tidak menerima ijma’, karena ijma’ menurut mereka hanya terkait dengan hukum sah nya shalat bagi orang dalam keadaan tidak adanya air, bukan keadaan tersedianya air.

    D.     Contoh Istishab

                Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dan perempuan B, kemudian mereka berpisah dan berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada perubahan hukum perkawinan mereka walaupun mereka telah lama berpisah. Berpegang ada hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang ditetapkan dengan istishab.[6]

    E.     Dasar Hukum Istishab

                Dari keterangan dan contoh diatas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya istishab itu bukanlan cara menetapkan hukum (thuruqul istinbath), tetapi ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikan. Pernyataan ini sangat diperlukan untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain, seperti dipahami dari contoh di atas. Seandainya si B boleh kawin dengan si C, maka akan terjadi perselisihan antara si A dan C atau terjadi suatu keadaan pengaburan batas antara yang sah dengan yang tidak sah dan antara yang halal dengan yang haram.[7]

    F.     Kehujjahan Istishab

                Para ulama ushul fiqih berbeda pendapat tentang kehujjahan isthishab ketika tidak ada dalil syara’ yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi[8] :

    1.      Ulama Hanafiyah : menetapkan bahwa istishab itu dapat menjadi hujjah untuk menolak akibat-akibat hukum yang timbul dari penetapan hukum yang berbeda (kebalikan) dengan penetapan hukum semula, bukan untuk menetapkan suatu hukum yang baru. Dengan kata lain isthishab itu adalah menjadi hujjah untuk menetapkan berlakunya hukum yang telah ada dan menolak akibat-akibat hukum yang timbul dari ketetapan yang berlawanan dengan ketetapan yang sudah ada, bukan sebagai hujjah untuk menetapkan perkara yang belum tetap hukumnya.

    2. Ulama mutakallimin (ahli kalam) : bahwa istishab tidak bisa dijadikan dalil, karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya adil. Demikian juga untuk menetapkan hukum yang sama pada masa sekarang dan yang akan datang, harus pula berdasarkan dalil. Alasan mereka, mendasarkan hukum pada istishab merupakan penetapan hukum tanpa dalil, karena sekalipun suatu hukum telah ditetapkan pada masa lampau dengan suatu dalil. Namun, untuk memberlakukan hukum itu untuk masa yang akan datang diperlakukan dalil lain. Istishab, menurut mereka bukan dalil. Karenanya menetapkan hukum yang ada d i masa lampau berlangsung terus untuk masa yang akan datang, berarti menetapkan suatu hukum tanpa dalil. Hal ini tidak dibolehkan syara’.

    3. Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Zhahiriyah dan Syi’ah : bahwa istishab bisa menjadi hujjah serta mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama belum ada yang adil mengubahnya. Alasan mereka adalah, sesuatu yang telah ditetapkan pada masa lalu, selama tidak ada adil yang mengubahnya, baik secara qathi’ (pasti) maupun zhanni (relatif), maka semestinya hukum yang telah ditetapkan itu berlaku terus, karena diduga keras belum ada perubahannya. Menurut mereka, suatu dugaan keras (zhan) bisa dijadikan landasan hukum. Apabila tidak demikian, maka bisa membawa akibat kepada tidak berlakunya seluruh hukum-hukum yang disyari’atkan Allah SWT. dan Rasulullah SAW. Akibat hukum perbedaan kehujjahan istishab : Menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, Zhahiriyah, dan Syi’ah, orang hilang berhak Menerima pembagian warisan pembagian warisan dari ahli warisnya yang wafat dan bagiannya ini disimpan sampai keadaannya bisa diketahui, apakah masih hidup, sehingga harta waris itu diserahkan kepadanya, atau sudah wafat, sehingga harta warisnya diberikan kepada ahli waris lain.   Menurut ulama Hanafiyah, orang yang hilang tidak bisa menerima warisan, wasiat, hibah dan wakaf, karena mereka belum dipastikan hidup. Sebaliknya, harta mereka belum bisa dibagi kepada ahli warisnya, sampai keadaan orang lain itu benar-benar terbukti telah wafat, karena penyebab adanya waris mewarisi adalah wafatnya seseorang. Alasan mereka dalam hal ini adalah karena istishhab bagi mereka hanya berlaku untuk mempertahankan hak (harta orang hilang itu tidak bisa dibagi), bukan untuk menerima hak atau menetapkan hak baginya (menerima waris, wasiat, hibah dan wakaf)[10].

    G.    Implikasi dan Kaedah-Kaedahnya

    الاصل بقاء ماكان على ماكان حتى يثبت ما يفيره

    ”pada asalnya segala sesuatu itu tetap (hukumnya) berdasarkan ketentuan yang telah ada   sehingga ada dalil yang merubahnya.”

     الاصل في الاشياء الا باحة

    “pada asalnya hukum segala sesuatu itu boleh.”

     الاصل في الانسان البراءة

    “manusia pada asalnya adalah bebas dari beban.”

     بالشك ولايزول الابيقين مثله ما ثبت باليقين لايزول

    “apa yang telah ditetapkan dengan yakin, maka ia tidak bisa gugur karena keragu-raguan. Ia tidak bisa gugur kecuali dengan yakin juga.”

    H.    Relevansi Istishab dengan UU Positif terhadap Perkembangan Masyarakat  Zaman Sekarang

    Istishab dipergunakan dalam UU Pidana sebagai landasan, karena segala sesuatu dipandang mubah sebelum ada ketentuan tegas yang menetapakan keharamannya, dan kebanyakan dari hukum UU Perdata pun demikian. Dalam istishab pada dasarnya seseorang itu dinyatakan tidak bersalah sampai ada bukti secara meyakinkan bahwa orang tersebut bersalah. Prinsip ini di dalam hukum positif Indonesia khususnya dikenal dengan istilah praduga tak bersalah.[12]

    Bab III. Kesimpulan

    A.    Kesimpulan

    1. Istishab merupakan landasan hukum yang masih diperselisihkan akan tetapi kita sebagai umat Islam sepatutnya kita mempelajari dan mengatahui setiap hukum-hukum yang ada.
    2. Istishab merupakan suatu hukum yang menganggap tetapnya status sesuatu seperti keadaanya semula selama belum terbukti sesuatu yang mengubahnya.
    3. Dalam melihat hukum istishab, kita jangan hanya melihat dari satu sudut pandang saja, akan tetapi mempejari secara cermat mengenai seluk beluk istishab itu sendiri dari keseluruhan aspeknya.

    B.     Saran

    Penulis mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun dari pembaca agar sekiranya dapat menjadi bahan perbaikan dalam pembuatan makalah dikemudian hari.

    DAFTAR PUSTAKA

    Abdul Karim Zaidan. Al-Wajiz Fi Usul al-Fiqh. Beirut: Muassasah al-Risalah. Cet 4. 1994.

    Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih: Kidah Hukum Islam,  Jakarta : Pustaka   Amani. 2003.

    Djazuli, A., Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam,   Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.

    M. Fadlil Said An-Nadwi. Ushul Fiqih Terjemah Syarah Al-Waroqot. Surabaya :   Al-Hidayah. 2004.

    Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,     2009.

    Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, Jakarta : Amzah. 2005.

    Umam, Chaerul, dkk, Ushul Fiqih 1, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000.


    Chaerul Umam dkk, Ushul Fiqih 1, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), hlm. 78

    M. Fadlil Said An-Nadwi, Ushul Fiqih Terjemah Syarah Al-Waroqot, (Surabaya : Al-Hidayah, 2004), hlm. 134

    Abdul Karim Zaida, Al-Wajiz Fi Usul al-Fiqh, (Beirut: Muassasah al-Risalah. Cet 4, 1994), hlm. 267

    Chaerul Umam dkk, Ushul Fiqih 1, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), hlm.79

    Abdul Karim Zaida, Al-Wajiz Fi Usul al-Fiqh, (Beirut: Muassasah al-Risalah. Cet 4, 1994), hlm. 268

    Abdul Karim Zaida, Al-Wajiz Fi Usul al-Fiqh, (Beirut: Muassasah al-Risalah. Cet 4, 1994), hlm. 274

    [7] Abdul Karim Zaida, Al-Wajiz Fi Usul al-Fiqh, (Beirut: Muassasah al-Risalah. Cet 4, 1994), hlm. 275

    [8] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hlm.82

    [9] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung : CV. Pustaka Setis, 2010), hlm. 127.

    [10]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih: Kidah Hukum Islam, ( Jakarta : Pustaka Amani, 2003 ), hlm. 122.

    [11] Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta : Amzah, 2005 ), hlm.145.

    [12]A. Djazuli, Ilmu FiqhPenggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hlm.221

  • Makalah Tata Cara Pengurusan Jenazah

    Tata Cara Pengurusan Jenazah

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Syariat Islam mengajarkan bahwa setiap manusia pasti akan mengalami kematian yang tidak pernah diketahui kapan waktunya. Sebagai makhluk sebaik-baik ciptaan Allah SWT dan ditempatkan pada derajat yang tinggi, maka Islam sangat menghormati orang muslim yang telah meninggal dunia. Oleh sebab itu, menjelang menghadapi kehariban Allah SWT orang yang telah meninggal dunia mendapatkan perhatian khusus dari muslim lainnya yang masih hidup.

    Dalam ketentuan hukum Islam jika seorang muslim meninggal dunia maka hukumnya fardhu kifayah atas orang-orang muslim yang masih hidup untuk menyelenggarakan 4 perkara, yaitu memandikan, mengkafani, menshalatkan dan menguburkan orang yang telah meninggal tersebut. Untuk lebih jelasnya 4 persoalan tersebut, pemakalah akan mencoba menguraikan dalam penjelasan berikut ini.

    B. Rumusan masalah

      1. Apa pengertian jenazah
      2. Bagaimana tatacara memandikan jenazah
      3. Siapa yang berhak memandikan jenazah
      4. Bagaimana tatacara mengkafani jenazah

      C. Tujuan masalah

      1. Untuk mengetahui pengertian jenazah
      2. Untuk mengetahui tatacara memandikan jenazah
      3. Untuk mengetahui tatacara mengkafani jenazah

      Bab II. Pembahasan

      A. Pengertian jenazah

      Kata jenazah bila ditinjau dari segi bahasa berasal dari bahasa arab dan menjadi turunan dari isim mashdar yang diambil dari fi’il madhi janaza-yajnizu-janazatan wa jinazatan. Bila huruf jim dibaca fathah (janazatan,kata ini berarti orang yang telah meninggal dunia. Namun bila huruf jimnya dibaca kasrah, maka kata ini berarti orang yang mengantuk.

      Lebih jauh, jenazah menurut Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin S., mengartikan jenazah sebagai orang yang telah meninggal yang diletakkan dalm usungan dan hendak dibawa ke kubur untuk dimakamkan.

      B. Hal-hal yang harus dilakukan sesudah meninggal

      apabila seseorang meninggal, maka ada beberapa hal yang harus dilakukan:

      1. Hendaklah dipejamkan (ditutupkan) matanya, menyebut kebaikan, mendoakan, meminta ampun atas dosanya.
      2. Hendakalh ditutup seluruh badannya dengan kain sebagai penghormatan kepadanya dan supaya tidak terbuka ‘auratnya.
      3. Tidak ada halangan untuk mencium mayat bagi keluarganya atau sahabat-sahabatnya yang sangat sayang dan berdukacita sebab matinya.
      4. Ahli mayat yang mampu hendaklah dengan segera membayar utang si mayat jika ia berutang, baik dibayar dari harta peninggalannya atau dari pertolongan keluarga sendiri.[3]

      C. Memandikan jenazah

      Setiap orang muslim yang meninggal dunia harus dimandikan, dikafani dan dishalatkan terlebih dahulu sebelum dikuburkan terkecuali bagi orang-orang yang mati syahid. Hukum memandikan jenazah orang muslim menurut jumhur ulama adalah fardhu kifayah. Artinya, kewajiban ini dibebankan kepada seluruh mukallaf di tempat itu, tetapi jika telah dilakukan oleh sebagian orang maka gugurlah kewajiban seluruh mukallaf. Adapun dalil yang menjelaskan kewajiban memandikan jenazah ini terdapat dalam sebuah hadits Rasulullah saw. Yakninya:

      عن ا بن عبا س ا ن ا لنبي صلى ا لله عليه و سلم قا ل: فى ا لذ ي سقط عن ر ا حلته فما ت ا غسلو ه بما ء و سد ر (رواه ا لبخرو مسلم)

      “dari Ibnu Abbas, bahwasanya Nabi SAW telah tentang orang yang jatuh dari kendaraannya lalu mati, “mandikanlah air dan daun bidara.” (H.R Bukhari dan Muslim)

      Syarat bagi orang yang memanddikan jenazah:

      1. Muslim, berakal, dan baligh
      2. Berniat memandikan jenazah
      3. Jujur dan sholeh
      4. Terpercaya, amanah, mengetahui hukum memandikan mayat dan memandikan sebagaimana yang diajarkan sunnah serta mampu menutup aib si mayat.

      Mayat yang wajib dimandikan:

      1. Mayat seorang muslim bukan kafir
      2. bukan bayi yang keguguran dan jika lahir dalam keadaan sudah meninggaltidak dimandikan
      3. ada sebagian tubuh mayat yang dapat dimandikan
      4. bukan mayat yang mati syahid (mati dalam peperangan untuk membela agama Allah).

      D. Hal-hal yang harus dipersiapkan sebelum memandikan jenazah

        Siapkan terlebih dahulu segala sesuatu yang dibutuhkan untuk keperluan mandinya, sepert:

        1. tempat memandikan pada ruangan tertutup.
        2. ember, gayung, dan air.
        3. kapas.
        4. kapur barus.
        5. daun bidara/ sidr.
        6. kaos tangan dan sarung tangan kain sesuai dengan jumlah petugas yang memandikan.
        7. Kain penutup mayat 5-6.
        8. Handuk.
        9. Sabun (lebih baik cair), shampoo, cutton buds.
        10. Minyak wangi.
        11. Tempat sampah untuk membuang kotoran
        12. Kafan yang menyesuaikan keadaan dan jenis kelamin jenazah.

        Sebelum memandikan jenazah ada baiknya kita memenuhi aturan sebelum memandikan jenazah yaitu:

        1. Mengikat kepala mayit.
        2. Meletakkan kedua tangan diaatas perut (seperti orang yang melakukan shalat).
        3. Mengikat dan menyatukan persendian lutut.
        4. Menyatukan kedua ibu jari kaki.
        5. Menghadpkan mayyit kearah kiblat.

        E. Tatacara memandikan jenazah

        Pada mulanya kita sediakan air sebanyak mungkin, air kapur barus, dan sabun, kain. Kemudian lakukan bacaan niat, ketentuan bacaan niat yaitu:

        1)      Jika mayat laki-laki dewasa, lafadz niatnya adalah:

        (Nawaitul ghusla lihaadzal mayyit fardhal kifaayati lillaahita’ala).

        2)      Jika mayat perempuan dewasa:

        (Nawaitul ghusla lihaadzal mayyitati fardhal kifaayati lillaahita’ala)

        3)      Jika mayat kanak-kanak laki-laki:

        (Nawaitul ghusla lihaadzal mayyit tifli fardhal kifaayati lillahita’ala)

        4)      Jika mayat kanak-kanak perempuan:

        (Nawaitul ghusla lihaadzal mayyit tiflati fardhal kifaayati lillahita’ala)

        1. Tinggikan kepala jenazah agar air tidak mengalir kearah kepala. Masukkan jari tangan yang telah dibalut dengan kain basah ke mulut jenazah, gosok giginya dan bersihkan hidungnya, kemudian siramkan.
        2. Siramkan air kesebelah kanan dahulu kemudian kesebelah kiri tubuh jenazah.
        3. Setelah itu dudukkan mayit dan tekan-tekan perut, agar kotoran dalam perut keluar. Dan bersihkan dubur mayit dengan niat istinja’ bagi mayit. Bacaan niat: nawaitul istinjaa-i minal mayyit frdhan ‘alayya lillahita’ala. Dan ketika membersihkan “auratnya”, hendaklah tangan orang yang memandikan dilapisi dengan kain, karena menyentuh aurat itu hukumnya haram.
        4. Kemudian ambilkan wudhu bagi simayit, dengan bacaan niat: (nawaitul wudhu-a lihaadzal mayyit lillaahita’ala).
        5. Setelah itu hendaklah dimandikan tiga kali dengan air sabun atau dengan air bidara, dengan memulainya bagian yang kanan. Dan seandainya tiga kali tidak cukup, misalnya belum bersih maka hendaklah dilebihinya menjadi lima atau tujuh kali. Rasulullah SAW bersabda:

        اغسلنهاوتراًّ :ثلاثاً او خمسًا او سبعا : اواكثر من ذلك ان رايتنّ

        “mandikanlah jenazah-jenazah itu secara (hitungan) ganjil, tiga, lima, tujuh kali. Atau boleh lebih jika kau pandang perlu”.

        1. Jika telah selesai memandikan mayat, hendaklah tubuhnya dikeringkan dengan kain atau handuk yang bersih, agar kain kafannya tidak basah, lalu ditaruh, diatas minyak wangi.
          tetapi kalau mayit meninggal ketika sedang ihram, maka harus dimandikan seperti biasa tanpa dikenai kafur atau lainnya yang berbau harum.
        2. Yang berhak memandikan jenazah

        Kalau mayat itu laki-laki, hendaklah yang meamandikannya laki-laki pula, tidak boleh perempuan memandikan mayat laki-laki kecuali istri dan muhrimnya. Sebaliknya jika mayat itu perempuan, hendaklah dimandikan oleh perempuan pula, tidak boleh laki-laki memandikan perempuan kecuali suami dan muhrimnya.

        Jika suami dan muhrim sama-sama ada, suami lebih berhak untuk memandikan istrinya, begitu juga jika istri dan muhrim sama-sama ada, maka istri lebih berhak untuk memandikan suaminya.

        Bila meninggal seorang perempuan, dan ditempat itu tidak ada perempuan, suami, atau muhrimnya pun tidak ada, maka mayat itu hendaklah “ditayammumkan” saja., idak dimandikan oleh laki-laki yang lain. Begitu juga jika meninggal seorang laki-laki, sedangkan disana tidak ada laki-laki, istri atau muhrimnya, maka mayat itu hendaklah ditayammumkan saja.

        Kalau mayat kanak-kanak laki-laki, maka boleh perempuan memandikannya, begitu juga kalau mayat kanak-kanak perempuan, boleh pula laki-laki memandikannya.

        Jika ada beberapa orang yang berhak yang memandikan, maka yang lebih berhak ialah keluarga yang terdekat kepada mayat kalau ia mengetahui akan kewajiban mandi serta dipercayai. Kalau tidak, berpindahlah hak kepada yang lebih jauh yang berpengetahuan serta amanah (dipercayai).[5]

        1. Mengkafani jenazah

        mengkafani jenazah adalah menutupi atau membungkus jenazah dengan sesuatu yang dapat menutupi tubuhnya walau hanya sehelai kain. Hukum mengkafani jenazah muslim dan bukan mati syahid adalah fardhu kifayah.

        Kafan diambilkan dari harta si mayat sendiri jika ia meninggalkan harta, kalau ia tidak meninggalkan harta, maka kafannya wajib atas orang yang wajib memberi belanjananya ketika ia hidup. Kalau yang wajib memberi belanja itu tidak pula mampu, hendaklah diambilkan dari baitul mal, dan diatur menurut hukum agama islam. Jika baitul mal tidak ada atau tidak teratur, maka wajib atas orang muslim yang mampu. Demikian pula belanja lain-lain yang bersangkutan dengan keperluan mayat.

        Hal-hal yang disunnahkan dalam mengkafani jenazah adalah:

        a)      Kain kafan yang digunakan hendaknya kain kafan yang bagus, bersih, dan menutupi seluruh tubuh mayat.

        b)      Kain kafan hendaknya berwarna putih.

        Jumlah kain kafan untuk mayat laki-laki hendaknya 3 lapis kain, tiap-tiap lapis menutupi sekalian badannya. Sebagian ulama berpendapat, satu dari tiga lapis itu hendaklah izar (kain mandi), dua lapis menutupi sekalian badannya.

        Cara mengafani:

        a)      Dihamparkan sehelai-sehelai dan ditaburkan diatas tiap-tiap lapis itu harum-haruman seperti kapur barus dan sebagainya.

        b)      Lantas mayat diletakkan diatasnya sesudah diberi kapur barus dan sebagainya. Kedua tangannya diletakkan diatas dadanya, tangan kanan diatas tangan kiri, atau kedua tangan itu diluruskan menurut lambungnya (rusuknya).

        c)      Tutuplah lubang-lubang (hidung, telinga, mulut, kubul dan dubur) yang mungkin masih mengeluarkan kotoran dengan kapas.

        d)     Selimutkan kain kafan sebelah kanan paling atas, kemudian ujung lembar sebelah kiri. Selanjutnya, lakukan seperti ini selembar demi selmbar dengan cara yang lembut.

        e)      Ikatlah dengan tali yang sudah disiapkan sebelumnya di bawah kain kafan tiga atau lima ikatan.

        Untuk kain kafan mayat perempuan terdiri dari 5 lembar kain kafan, yaitu terdiri dari:

        1. Lembar pertama berfungsi untuk menutupi seluruh badan.
        2. Lembar kedua berfungsi sebagai kerudung kepala.
        3. Lembar ketiga berfungsi sebagai baju kurung.
        4. Lembar keempat berfungsi sebagai untuk menutup pinggang hingga kaki.
        5. Lembar kelima berfungsi untuk menutup pinggul dan paha.

        Cara mengafani:

        1. Susunlah kain kafan yang sudah dipotong-potong untuk masing-masing bagian dengan tertib.
        2. Angkatlah jenazah dalam keadaan tertutup dengan kain dan letakkan diatas kain kafan sejajar, serta taaburi dengan wangi-wangian atau kapur barus.
        3. Tutuplah lubang-lubang yang mungkin masih mengeluarkan kotoran dengan kapas.
        4. Tutupkan kain pembungkus pada kedua pahanya.
        5. Pakaikan sarung.
        6. Pakaikan baju kurung.
        7. Dandani rambutnya dengan tiga dandanan, lalu julurkan kebelakang.
        8. Pakaikan kerudung.
        9. Membungkus dengan lembar kain terakhir dengan cara menemukan kedua ujung kain kiri dan kanan lalu digulungkan kedalam.
        10. Ikat dengan tali pengikat yang telah disiapkan.
        11. Membaikkan pemakaian kain kafan

        Kafan yang baik maksudnya baik sifatnya dan baik cara memakainya, serta terbuat dari bahan yang baik. Sifat-sifatnya telah diterangkan, yaitu kain yang putih, begitu pula cara memakaikannya dengan baik. Adapun baik yang tersangkut dengan dasar kain ialah, jangan sampai berlebih-lebihan memilih dasar kain yang mahal-mahal harganya. Sabda rasulullah saw:   

        عن على بن ابى طالب قال رسول الله صلى الهه عليه وسلم: لاتغالوافى الكفن فانه يسلب سريعا. رواه أبوداود

        Dari ‘ali bin abi thalib: “Berkata Rasulullah saw: Janganlah kamu berlebih-lebihan memilih kain yang mahal-mahal untu kafan, karena sesungguhnya kafan itu akan hancur dengan seegera.

        Bab III. Penutup

        A. Kesimpulan

        Sepanjang uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwasanya manusia sebagi makhluk yang mulia di sisi Allah SWT dan untuk menghormati kemuliannya itu perlu mendapat perhatian khusus dalam hal penyelenggaraan jenazahnya. Dimana, penyelengaraan jenazah seorang muslim itu hukumnya adalah fardhu kifayah. Artinya, kewajiban ini dibebankan kepada seluruh mukallaf di tempat itu, tetapi jika telah dilakukan oleh sebagian orang maka gugurlah kewajiban seluruh mukallaf.

        Adapun 4 perkara yang menjadi kewajiban itu ialah

        1. Memandikan
        2. Mengkafani
        3. Menshalatkan
        4. Menguburkan

        Adapun hikmah yang dapat diambil dari tata cara pengurusan jenazah, antara lain:

        1. Memperoleh pahala yang besar.
        2. Menunjukkan rasa solidaritas yang tinggi diantara sesame muslim.
        3. Membantu meringankan beban kelurga jenazah dan sebagai ungkapan belasungkawa atas musibah yang dideritanya.
        4. Mengingatkan dan menyadarkan manusia bahwa setiap manusia akan mati dan masing-masing supaya mempersiapkan bekal untuk hidup setelah mati.
        5. Sebagai bukti bahwa manusia adalah makhluk yang paling mulia, sehingga apabila salah seorang manusia meninggal dihormati dan diurus dengan sebaik-baiknya menurut aturan Allah SWT dan RasulNya.

        DAFTAR PUSTAKA

        Mas’ud, Ibnu & Abidin, Zainal S. 2000. fiqh mazhab syafi’i, Bandung: Pustaka Setia

        Nawawi, Imam, al-jana’iz, Beirut: Dar al-fikr,tt

        Rasyid, sulaiman. 1987. Fiqih islam. Bandung: Sinar Baru


        [1] Imam an-nawawi, al-majmu’ syarh al-muhazzab, kitab al-jana’iz, bab ma yuf’al bi al-mayyit, (Beirut: Dar al-fikr,tt), V:10

        [2] Ibnu Mas’ud, zainal Abidin S, fiqh mazhab syafi’i, (Bandung: Pustaka Setia,2000), hlm.449

        [3] H.Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, (Bandung: CV. SINAR BARU,1987), hlm.172

        [4] H.Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, (Bandung: CV. SINAR BARU,1987), hlm.175

        [5] H.Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, (Bandung: CV. SINAR BARU,1987), hlm.176

        [6] H.Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, (Bandung: CV. SINAR BARU,1987), hlm.180

      1. Makalah Pengertian Pancasila Sebagai Filsafat dan Etika

        Pengertian Pancasila Sebagai Filsafat dan Etika

        Bab I. Pendahuluan

        A. Latar Belakang

        Pancasila berasal dari bahasa sansekerta. Pancasila juga terdiri dari dua kata yaitu : panca berarti lima dan Sila berarti perinsip atau asas.

        Pancasila adalah dasar falsafah negaraindonesia, sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, setiap warga negara indonesia harus mempelajari, mendalami, menghayati dan mengamalkan dalam segala bidang kehidupan.  

        Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai sehingga merupakan  sumber dari penjabaran norma hukum, norma moral maupun norma kenegaraan lainnya. Dalam filsafat pancasila terkandung didalamnya suatu pemikiran  yang bersifat kritis, mendasar, rasional, sistematis dan komprehensiv (menyeluruh) dan sistem pemikiran ini merupakan suatu nilai, oleh karena itu suatu pemikiran filsafat tidak secara langsung menyajikan  norma-norma yang merupakan pedoman dalam suatu tindakan melainkan suatu nilai yang bersifat mendasar. 

        B. Rumusan Masalah

        Berdasarkan uraian diatas, permasalahan yang akan menjadi titik fokus dalam makalah ini adalah:

        1. Apa Pengertian Pancasila sebagai Filsafat

        2. Apa saja Nilai-nilai pancasila yang menjadi dasar antara hak dan kewajiban asasi manusia

        3. Apa pengertian pancasila sebagai etika politik

        4. Bagaimana pancasila sebagai etika politik

        C. Maksud dan tujuan

        Adapun maksud dan tujuan dari penyusunan makalah ini

        1. Mengetahui pengertian pancasila sebagai filsafat

        2. Mengetahui nilai-nilai yang menjadi dasar antara hak dan kewajiban asasi manusia

        3. Mengetahui pengertian pancasila sebagai etika politik

        4. Mengetahui pancasila sebagai etika politik

        D. Sistematika Penulisan

        Berdasarkan penentuan penyusunan, makalah ini terdiri dari:

        Bab 1: Pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, maksud dan tujuan dan sistematika penulisannya.

        Bab 2 : Pengertian pancasila sebagai filsafat,nilai-nilai yang menjadi dasar antara hak dan kewajiban asasi manusia ,pengertian pancasila sebagai etika politi , dan pancasila sebagai etika politik

        Bab 3 : Penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saranng kehidupan.  

        BAB II

        PEMBAHASAN

        A. Pancasila sebagai filsafat

        1. Pengertian pancasila sebagai filsafat

        Pengertian pancasila sebagai filsafat  pancasila dapat didefinisikan  sebagai refleksi kritis dan rasional tentang pancasila sebagai dasar negara dan kenyataan budaya bangsa, dengan tujuan untuk mendapatkan pokok-pokok pengertiannya yang mendasar dan menyeluruh. Pancasila dikatakan sebagai filsafat, karena pancasila merupakan hasil permenungan jiwa yang mendalam yang dilakukan oleh the founding fathers indonesia, yang dituangkan dalam suatu sistem ( abdul gani, 1998).

          Pengertian filsafat pancasila secara umum adalah hasil berfikir atau pemikiran yang sedalam-dalamnya dari bangsa indonesia yang dianggap, dipercaya dan diyakini sebagai kenyataan, norma-norma dan nilai-nilai yang benar, adil, bijaksana, dan paling sesuai dengan kehidupan dan kepribadian bangsa indonesia. Filsafat pancasila kemudian dikembangkan oleh Soekarno sejak 1955 sampai kekuasaannya berakhir pada 1965. Pada saat itu, Soekarno selalu menyatakan bahwa pancasila merupakan filsafat asli indonesia yang diambil dari budaya dan tradisi indonesia, serta merupakan akulurasi budaya india (hindu-budha), barat  (kristen), dan arab (islam).  Filsafat pancasila menurut Soeharto elah mengalami indonesianisasi. Semua sila dalam pancasila adalah asli diangkat dari budaya indonesia dan selanjutnya dijabarkan menjadi lebih rinci kedalam butir-butir pancasila. 

          Filsafat pancasila dapat digolongkan sebagai filsafat praktis sehingga filsafat pancasila tidak hanya mengandung pemikiran yang sedalam-dalamnya atau tidak hanya bertujuan mencari, tetapi hasil pemikiran yang berwujud filsafat pancasila tersebut dipergunakan sebagai pedoman hidup sehari-hari (way of life atau welltansecahuum) agar hdup bangsa indonesia dapat mencapai kebahagiaan lahir dan batin, baik didunia maupun diakhirat (salam,1988: 23-24 ) .

          Secara etimologi, kata falsafah berasal dari bahasa yunani, yaitu: philosophia, philo/philos/ philein yang artinya cinta/ pecinta/ mencintai dan sophia, yang berarti kebijakan / wisdom/ kearifan/ hikmah/ hakikat kebenaran .Berfilsafat berarti berfikir sedalam-dalamnya terhadap sesuatu secara sistematis untuk mencari hakikat sesuatu.

          Pada umumnya, terdapat dua pengertian filsafat, yaitu filsafat dalam arti proses dan filsafat dalam arti produk. Selain itu ada pengertian lain, yaitu filsafat sebagai ilmu dan filsafat sebagai pandangan hidup. Hal ini berarti filsafat pancasila mempunyai fungsi dan peranan sebagi pedoman dan pegangan dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan dalam kehidupan sehari-hari.

          Jadi,pengertian filsafat menurut istilah berasal dari yunani, bangsa yunanilah yang mula-mula berfilsafat  seperti lazimnya dipahami orang sampai sekarang. Kata ini bersifat majemuk, bersal dari kata “ philos” yang berarti “sahabat” dan kata “sophia” yang berarti “ pengetahuan yang bijaksana (wished) dalam bahasa belanda, atau wisdom kata inggris, dan hikmat menurut kata arab. Maka philosophia menurut arti katanya berarti cinta pada pengetahuan yang bijaksana, oleh karena itu mengusahakannya. (gazalba, 1977). Jadi terdapat sedikit perbedaan arti, disitu pihak menyatukan bahwa filsafat merupakan bentuk majemuk dari “ philein” dan sophos “ , (nasution, 1973).

        a. Sistem filsafat

          Pemikiran filsafat berasal dari berbagai tokoh yang menjadikan manusia sebagai subjek.  Suatu ajaran filsafat yang bulat mengajarkan tentang berbagai segi kehidupan yang mendasar. Suatu sistem filsafat sedikitnya megajarkan tentang sumber dan hakikat realitas, filsafat hidup, dan tata nilai, termasuk teori terjadinya pengetahuan dan logika. 

        b. Pancasila dalam pendekatan filsafat

        Pancasila dalam pendekatan filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mendalam mengenai pancasila. Filsafat pancasila dapat didefinisikan secara ringkas sebagai refeleksi kritis dan rasional tentang pancasila dalam bangunan bangsa dan negara indonesia (syarbaini; 2003). 

        2. Aliran-aliran filsafat

        1) Aliran materialisme

          Aliran ini mengajarkan bahwa hakikat realitas kesemestaan, termasuk makhluk hidup dan manusia ialah materi. Semua realitas itu ditentukan oleh materi misalnya: benda-ekonomi, makanan.

        2) Aliran idealisme

          Aliran ini mengajarkan bahwa ide atau spirit manusia yang menentukan hidup dan pengertian manusia. Subjek manusia sadar atas realitas dirinya dan kesemestaan, karena ada akal budi dan kesadaran. 

        3) Aliran realisme

          Aliran ini menggambarkan bahwa kedua aliran diatas, yang bertentangan itu tidak sesuai dengan kenyataan. Realitas itu adalah paduan benda (material dan jasmaniah ) dengan yang non materi (spiritual, jiwa dan rohaniah). Jadi realisme merupakan sintesis antara jasmaniah-rohaniah, materi dengan non materi. 

        c. Nilai-nilai pancasila berwujud dan bersipat filsafat

          Pendekatan filsafat pancasila adalah ilmu pengetahuan yang mendalam tentang pancasila. untuk mendapatkan pengertian yang mendalam, kita harus mengetahui sila-sila pancasila tersebut. Adapun hakikat dan pokok-pokok yang terkandung di dalamnya, yaitu: 

        1) Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa 

        2) Pancasila sebagai dasar negara

        3) Filsafat pancasila yang abstrak tercermin dalam pembukaan UUD 1945

        4) Pancasila yang dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945 merupakan suatu kebulatan yang utuh.

        5) Jiwa pancasila yang abstrak setelah menjadi proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.

        6) Berdasarkan penjelasan otentik UUD 1945. 

        d. Inti isi sila-sila pancasila Sila ketuhan yang maha esa. 

          Nilai-nilai nya meliputi dan menjiwai keempat sila lainnya. Dalam sila ini terkandung nilai bahwa negara yang didirikan adalah sebagai tujuan manusia sebagai makhluk tuhan yang maha esa.

        1. Sila kemanusiaan yang adil dan beradab.

          Sila ini secara sistematis didasari dan dijiwai oleh sila ketuhanan yang maha esa serta mendasari dan menjiwai ketiga sila berikutnya. Dalam sila kemanusiaan terkandung nilai-nilai bahwa negara harus menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang beradab. 

        2. Persatuan indonesia.

          Nilai yang terkandung dalam sila persatuan indonesia tidak dapat dipisahkan dengan keempat sila lainnya karena seluruh sila merupakan suatu kesatuan yang bersifat sistematis. Didalam persatuan indonesia terkandung nilai bahwa negara adalah sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia atau sebagai makhluk individu dan makhluk sosial.

        3. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.

          Nilai yang terkandung dalam sila keempat ini adalah demokrasi yang tidak hanya mendasarkan pada kebebasan individu. Oleh karena itu demokrasi yang didasari leh hikmat kebijaksanaan meletakan kedaulatan ditangan rakyat dengan didasari oleh moral kebijksnaan untuk kehiduan bersama yang harmonis, bukan persaingan bebas dan menguasai yang lainnya.

        4. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.

          Hal ini mengandung arti bahwa negara indonesia merupakan suatu negara yang bertujuan untuk mewujudkan suatu kesejahteraan untuk seluruh warganya, untuk seluruh rakyatnya. 

        5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.

          Hal ini mengandung arti bahwa negara indonesia merupakan suatu negara yang bertujuan untuk mewujudkan suatu kesejahteraan untuk seluruh warganya, untuk seluruh rakyatnya. 

        e. Cabang-cabang filsafat dan aliran-alirannya

          Sebagaimana ilmu lainnya filsafat memiliki cabang-cabang yang berkembang sesuai dengan persoalan filsafat yang dikemukakannya. Filsafat timbul karena adanya persoalan-persoalan yang dihadapi manusia. Cabang-cabang filsafat yang tradisional terdiri atas empat yaitu : logika, metafisika, epistemologi, dan etika.

          Dalam filsafat pancasila juga disebutkan bahwa ada tiga tingkatan nilai, yaitu nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praktis.

        1) Nilai dasar

          Nilai yang mendasari nilai instrumental. Nilai dasar yaitu asas-asas yang kita terima sebagai dalil yang bersifat sedikit banyak mutlak.

        2) Nilai instrumental

          Nilai sebagai pelaksana umum dari nilai dasar. Umumnya berbentuk norma sosial dan norma hukum yang selanjutnya akan terkristalisasi dalam peraturan dan mekanisme lembaga-lembaga negara.

        3) Nilai praktis

          Nilai yang sesungguhnya kita laksanakan dalam kenyataan. Nilai praktis sesungguhnya menjadi batu ujian, apakah nilai dasar dan nilai instrumental itu benar-benar hidup dalam masyarakat indonesia.

         Nilai-nilai dasar dari pancasila adalah nilai ketuhanan yang maha Esa, nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, nilai persatuan, nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan dan nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia 

        B. Pancasila sebagai etika

        1. Pengertian etika

           Etika termasuk kelompok filsafat praktis dan dibagi menjadi dua kelompok yaitu etika umum dan etika khusus, etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral.

        Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral. Etika umum mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia, sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungannya dengan berbagai aspek kehidupan manusia. Etika khusus dibagi menjadi dua yaitu etika individual dan etika sosial. Etika termasuk kelompok filsafat praktis dan dibagi menjadi.dua kelompok yaitu etika umum dan etika khusus. 

          Istilah lain dari kata etika secara etimologis, etika berasal dari bahasa yunani, ethos, yang artinya watak kesusilaan atau adat. Istilah ini identik dengan moral yang berasal dari bahasa latin, mos yang jamaknya mores, yang juga berarti adat atau cara hidup. meskipun kata etika dan moral memiliki kesamaan arti, dalam pemakaian sehari-hari, dua kata ini digunakan secara berbeda. Moral atau moralitas digunakan untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika digunakan untuk mengkaji sistem nilai yang ada. Dalam bahasa arab pandangan kata etika adalah akhlak yang merupakan kata jamak; khuluk yang berarti perangkai, tingkah laku atau tabi’at. 

        2. Aliran-aliran besar etika

        1) Etika deontologi

          Etika deontologi memandang bahwa tindakan dinilai baik atau buruk berdasarkan apakah tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban. Etika deontologi tidak mempersoalkan akibat dari tindakan tersebut, baik atau buruk. Kebaikan adalah ketika seseorang melaksanakan apa yang sudah menjadi kewajibannya. Tokoh yang mengemukakan teori ini adalah imanuel kant. Kant menolak akibat suatu tindakan sebagai dasar untuk menilai tindakan tersebut karena akibat tadi tidak menjamin universalitas dan kosistensi dalam bertindak dan menilai suatu tindakan.

        2) Etika teleologi

          Pandangan etika teleologi berbalikan dengan etika deontologi, yaitu bahwa baik buruk suatu tindakan dilihat berdasarkan tujuan atau akibat dari perbuatan itu. Etika teleologi membantu kesulitan etika deontologi ketika menjawab apabila dihadapkan pada situasi konkrit ketika dihadapkan pada dua atau lebih kewajiban yang bertentangan satu dengan yang lain.

        Etika teologi dapat digolongkan menjadi dua, yaitu egoisme etis dan utilitarianisme.

        • Egoisme etis memandang bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang  berakibat baik untuk pelakunya. Secara moral setiap orang dibenarkan mengejar kebahagiaan untuk dirinya dan dianggap salah atau buruk apabila membiarkan dirinya sengsara dan dirugikan.

        • Utilitarianisme menilai bahwa baik buruknya suatu perbuatan tergantung bagaimana akibatnya terhadap banyak orang. Tindakan dikatakan baik apabila mendatangkan kemanfaatan yang besar dan memberikan kemanfaatan bagi sebanyak mungkin orang. 

        3. Etika pancasila

          Akualisasi pancasila sebagai dasar etika, tercermin dalam sila-silanya, yaitu sebagai berikut:

         Sila pertama: menghormati setiap orang atau warga negara atas berbagai kebebasannya dalam menganut agama dan kepercayaannya masing-masing.

         Sila kedua: menghormati setiap orang dan warga negara sebagai pribadi.

         Sila ketiga: bersikap dan bertindak adil dalam mengatasi segmentasi.

         Sila keempat: kebebasan, kemerdekaan, kebersamaan, dimiliki dan dikembangkan dengan dasar musyawarah.

         Sila kelima: membina dan mengembangkan masyarakat yang berkeadilan sosial.

        4. Nilai-nilai  Etika pancasila

          Etika pancasila mempunyai nilai-nilai yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia. Diantaranya: 

        • Nilai yang pertama adalah ketuhanan, Secara hierarkis nilai ini biasa dikatakan sebagai nilai yang tertinggi karena menyangkut nilai yang bersifat mutlak.

        • Nilai yang kedua adalah kemanusiaan, Suatu perbuatan dikatakan baik apabila sesuai dengan nila-nilai kemanusiaan. Prinsip pokok dalam nilai kemanusiaan pancasila adalah keadilan dan keadaban.

        • Nilai yang ketiga adalah persatuan, Suatu perbuatan dikatakan baik apabila dapat memperkuat persatuan dan kesatuan. Sikap egois dan menang sendiri merupakan perbuatan buruk, demikian pula sikap yang memecah belah persatuan.

        • Nilai yang keempat adalah kerakyatan

        Dalam kaitan dengan kerakyatan ini terkandung nilai lain yang sangat penting, yaitu nilai hikmat atau kebijaksanaan dan permusyawaratan.

        • Nilai yang kelima adalah keadilan

        Apabila dalam sila kedua disebutkan kata adil, maka kata tersebut lebih dilihat dalam konteks manusia selaku individu. Adapun nilai keadilan pada sila kelima lebih diarahkan pada konteks sosial. 

        1) Hakikat etika pancasila

        Rumusan pancasila yang otentik dimuat dalam pembukaan UUD1945 alenea empat. Dalam penjelasan UUD 1945 yang disusun oleh PPKI ditegaskan bahwa pokok-pokok  pikiran yang termuat dalam pembukaan ada empat yaitu: (persatuan, keadilan, kerakyatan dan ketuhanan menurut kemanusiaan yang adil dan beradab), dijabarkan kedalam pancasila pasal-pasal batang tubuh UUD 1945.

        Menurut tap MPRS NO.XX/MPRS/1966 dikatakan bahwa pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum. Sebagai sumber segala sumber, pancasila merupakan satu-satunya sumber nilai yang berlaku ditanah air. Dari satu sumber tersebut diharapkan mengalir dan memancar nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, kerakyatan dan keadilan yang menjiwai setiap kebijakan yang dibuat oleh penguasa. Hakikat pancasila pada dasarnya merupakan satu sila yaitu gotong royong atau cinta kasih dimana sila tersebut melekat pada setiap insan, maka nilai-nilai pancasila identik dengan kodrat manusia. 

        Oleh sebab itu penyelenggaraan negara yang dilakukan oleh pemerintah tidak boleh bertentangan dengan harkat dan martabat manusia, terutama manusia yang tinggal diwilayah Nusantara. 

        2) pancasila sebagai etika politik

        Sebagai suatu system kepercayaan, Pancasila hanya bisa bermakna jika nilai-nilainya tercermin di dalam tingkah laku abdi Negara dan warga masyarakat secara keseluruhan. Idealnya, Pancasila hadir di dalam praktek kekuasaan Negara, menjiwai setiap kebijakan pemerintah, menjadi landasan di dalam berbagai interaksi politik, serta menyemangati hubungan ekonomi, sosila, dan budaya bangsa Indonesia.

        Dalam praktik pemerintahan, pengamalan nilai-nilai Pancasila seharusnya menjadi landasan etis. Pancasila sepatutnya hadir sebagaisuatu system yang mewakili kepribadian bangsa. Pemerintah yang berdasarka Demokrasi Pancasila sepantasnya menjadi acuan yang jelas bagi semua WNI dalam berbagai tingkatan dan ruang lingkup politik.

        Melihat semua kemungkinan itu, sangat wajar jika pada tataran analisis lebih lanjut Pancasila sebagai etika politik perlu ditegaskan sebagai tolak ukur untuk menilai keberhasilan bangsa membangun sebuah system pemerintahan yang memihak kepada kepentingan rakyat.

        Berdasarkan etika politik bangsa Indonesia, dapat dipahami bahwa sila pertama adalah dasar etika politik yang bersifat rohaniah, dan atas dasar itu dibangun hubungan etika politik bangsa Indonesia dalam empat fondasi gerak dan aktivitas politik yang mempertimbangkan nilai Pancasila.

        Dengan dasar-dasar ini sebagi pimpinan dan pegangan pemerintah Negara pada hakikatnya tidak boleh menyimpang dari jalan lurus untuk mencapai kebahagiaaan rakyat. Dengan bimbingan dasar yang tinggi dan murni akan dilaksanakan tugas yang tidak ringan (Kaelan dan Achmad Zubaidi. 2004. 62-69 ). Namun realita yang terjadi dewasa ini menunjukkan bahwa penerapan pancasila sebagai etika politik sudah mulai terkikis. Salah satu contoh kecilnya adalah curi start dalam berkampanye. Sampai ke tindakan korupsi yang sudah menjadi tontonan kita sehari-hari di tv. 

        3) Penerapan nilai-nilai etika pancasila dalam kehidupan politik

        Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan Negara, etika politik menuntut agar kekuasaan dalam Negara dijalankan sesuai dengan asas legalitas (legitimasi hukum), yaitu dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku, disahkan dan dijalankan secara demokratis (legitimasi demokrasi), dan dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip moral (legitimasi moral). 

        4) Lima prinsip dasar etika politik

        Pancasila sebagai etika politik maka mempunyai lima prinsip itu berikut ini disusun menurut pengelompokan Pancasila, karena Pancasila memiliki logika internal yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan dasar etika politik modern.

        • Pluralisme

        Pluralisme adalah kesediaan untuk menerima pluralitas, artinya untuk hidup dengan positif, damai, toleran, dan biasa/normal bersama warga masyarakat yang berbeda pandangan hidup, agama, budaya, adat. Pluralisme  mengimplikasikan pengakuan terhadap kebebasan beragama, kebebasan berpikir, kebebasan mencari informasi, toleransi. Pluralisme memerlukan kematangan kepribadian seseorang dan sekelompok orang.

        • Hak Asasi Manusia

        Jaminan hak-hak asasi manusia adalah bukti Kemanusian yang adil dan beradab. Karena hak-hak asasi manusia menyatakan bagaimana manusia wajib diperlakukan dan wajib tidak diperlakukan. Jadi bagaimana manusia harus diperlakukan agar sesuai dengan martabatnya sebagai manusia. Karena itu, hak-hak asasi manusia adalah baik mutlak maupun kontekstual dalam pengertian sebagai berikut.

        – Mutlak karena manusia memilikinya bukan karena pemberian Negara, masyarakat, melainkan karena pemberian Sang Pencipta .

        –  Kontekstual karena baru mempunyai fungsi dan karena itu mulai disadari, diambang modernitas di mana manusia tidak lagi dilindungi oleh adat/tradisi, dan seblaiknya diancam oleh Negara modern.

        • Solidaritas Bangsa

        Solidaritas bermakna manusia tidak hanya hidup demi diri sendiri, melainkan juga demi orang lain, bahwa kita bersatu senasib sepenanggungan. Manusia hanya hidup menurut harkatnya apabila tidak hanya bagi dirinya sendiri, melainkan menyumbang sesuatu pada hidup manusia-manusia lain. Sosialitas manusia berkembang secara melingkar yaitu keluarga, kampung, kelompok etnis, kelompok agama, kebangsaan, solidaritas sebagai manusia.  Maka di sini termasuk rasa kebangsaan. Manusia menjadi seimbang apabila semua lingkaran kesosialan itu dihayati dalam kaitan dan keterbatasan masing-masing.

        • Demokrasi

        Prinsip “kedaulatan rakyat” menyatakan bahwa tak ada manusia atau sebuah elit atau sekelompok ideologi berhak untuk menentukan dan memaksakan orang lain harus atau boleh hidup. Demokrasi berdasarkan kesadaran bahwa mereka yang dipimpin berhak menentukan siapa yang memimpin mereka dan kemana mereka mau dipimpin. Jadi demokrasi memerlukan sebuah system penerjemah kehendak masyarakat ke dalam tindakan politik.

        BAB III

        PENUTUP

        A. Kesimpulan

        Pancasila adalah sebagai dasar filsafat Negara Indonesia, yang nilai-nilainya telah ada pada bangsa Indonesia sejak zaman dahulu kala, berupa nilai-nilai adat istiadat, kebudayaan, dan nilai-nilai agama. Dengan demikian, sila ketuhanan yang maha Esa nilai-nilainya telah ada pada bangsa Indonesia sebagai kausa materialis. Makna yang terkandung dalam sila ketuhanan yang maha Esa sebenarnya intinya adalah ketuhanan. Hal ini mengandung makna bahwa Negara dengan tuhan adalah hubungan sebab akibat yang tidak langsung melalui manusia sebagai pendukung pokok. Maka sesuai dengan makna yang terkandung dalam sila pertama bahwa adanya tuhan bagi bangsa dan Negara Indonesia adalah telah menjadi suatu keyakinan, sehingga adanya tuhan bukanlah persoalan. Adanya tuhan adalah dalam keyakinannya, sehingga adanya tuhan bukanlah persoalan . adanya tuhan adalah dalam kenyataan secara objektif (ada dalam objektifnya). Peranan etika pancasila didalam unsur ketuhanan ialah mempunyai peranan penting dalam pembentukan manusia Indonesia yang utuh. Melalui pendidikan agama manusia Indonesia yang utuh diharapkan akan memiliki sifat berkebutuhan. Dalam rangka pendidikan diindonesia unsure ketuhanan telah mendapat perhatian dan tempat sebagaimana mestinya.

        B. Saran

        Dalam kehidupan kita memang harus menjadikan pancasila sebagai pedoman dasar dan harus melakukan pengalaman sila-sila dalam pancasila. Dalam sila pertama terutama, kita harus menghormati berbagai macam agama yang ada diindonesia, sebagai perwujudan akan saling menghormati dan menghargai sesama pemeluk agama. Karena Indonesia ini terdiri dari kemajemukan agama didalam berbagai wilayah Indonesia.

          Selain itu, manusia diindonesia juga diberikan kebebasan untuk memeluk agamanya sesuai dengan kepercayaannya massing-masing selama agama tersebut merupakan agama yang keberadaannya diakui Indonesia. Oleh karena itu, kerukunan antara umat beragama perlu kita jaga sebagai masyarakat Indonesia yang bhineka tunggal ika dalam rangka perwujudan dan pengalaman sila-sila pancasila terutama dalam sila pertama yaitu ketuhanan yang maha Esa.

        DAFTAR PUSTAKA

        Sya’baini,Pendidikan Pancasila,Cetakan Pertama, (Bogor:Pustaka Nasional,2003)

        Kaelan,Pendidikan Pancasila,Edisi Kesepuluh, (Paradigma yogyakarta,2014)

        Http;//www.google.com/search?q=lima+prinsip+dasar+etika+politik+pancasila

        https://asmawaty pricilia.wordpress.com/2016/01/26/makalah-pancasila-sebagai-etika-politik/

        https://asmawaty pricilia.wordpress.com/2016/01/26/makalah-pancasila-sebagai-etika-politik/

        Winarno,Pendidikan Kewarganegaraan, (Paradigma Baru Jakarta)

      2. Makalah Dinamika Pelaksanaan UUD 1945

        Makalah Dinamika Pelaksanaan UUD 1945

        Berikut ini makalah dengan judul Dinamika Pelaksanan UUD 1945. Pembahasan dalam makalah ini berisi penjelasan tentang dinamika pelaksanaan UUD 1945.

        Dinamika Pelaksanaan UUD 1945

        Bab I. Pendahuluan

        A. Latar Belakang

        Pembahasan dalam materi ini bertujuan untuk memahami dinamika pelaksanaan UUD 1945, yang meliputi hal-hal berikut ini.

        1. Masa awal kemerdekaan.
        2. Masa orde lama.
        3. Masa orde baru.
        4. Masa era global.

        Undang-undang Dasar 1945 berlaku di Indonesia dalam dua kurun waktu. Pertama sejak ditetapkannya oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945, yang berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 2 tanggal 10 Oktober diberlakukan surat mulai tanggal 17 Agustus 1945, sampai berlakunya Konstitusi RIS pada saat pengakuan kedaulatan tanggal 27 Desember 1949. Kedua adalah dalam kurun waktu sejak diumumkannya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 sampai sekarang, dan ini terbagi pula atas   masa orde lama, orde  baru, dan masa era global. Dalam kurun waktu berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 kita telah mencatat pengalaman tentang gerak pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Berikut ini kita akan bahas pelaksanaan UUD 1945 dalam dinamika ketatanegaraan RI.

        B. Rumusan Masalah

        1. Mengetahui dinamika pelaksanaan UUD 1945 pada masa awal kemerdekaan
        2. Mengetahui dinamika pelaksanaan UUD 1945 pada masa orde lama
        3. Mengetahui dinamika pelaksanaan UUD 1945 pada masa orde baru
        4. Mengetahui dinamika pelaksanaan UUD 1945 pada masa reformasi

        Bab II. Pembahasan

        A. Masa awal kemerdekaan

        Undang-undang 1945 disahkan setelah proklamasi pada 18 agustus 1945 merupakan bukti UUD 1945 tersebut diakui sebagai konstitusi negara. UUD 1945 merupakan sumber motivasi dan aspirasi perjuangan serta tekad bangsa indonesia.

        UUD 1945 sebagai hukum dasar tertulis dalam gerak pelaksanaannya pada kurun waktu 1945-1949,jelas tidak dilaksanakan dengan baik,karena kita memang sedang dalam masa pancaroba,dalam usaha membela dan mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diproklamirkan,sedangkan pihak colonial Belanda justru ingin menjajah kembali Indonesia yang telah merdeka.Segala perhatian bangsa dan negara diarahkan untuk memenangkan perang kemerdekaan. Oleh karena itu,dalam pelaksanaannya UUD 1945 terjadi penyimpangan-penyimpangan konstitusional.

        Sistem pemerintahan dalam kelembagaan yang ditetapkan dalam UUD 1945 jelas belum dapat dilaksanakan. Dalam masa ini sempat diangkat anggota DPA sementara,sedangkan MPR dan DPR belum sempat dibentuk. Pada waktu itu masih diberlakukan ketentuan Aturan Peralihan Masal IV yang menyatakan,“Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk melalui UUD ini, segala kekuasaanya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan Komite Nasional”.

        Penyimpangan Konstitusional yang dapat dalam kurun waktu 1945-1949. Pertama, berubahnya komite nasional pusat dari pembantu Presiden menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislative dan ikut menentukan garis-garis besar Haluan Negara berdasarkan Maklumat Wakil Presiden No.X tanggal 16 Oktober 1945. Kedua, berdasarkan sistem kabinet presidensial menjadi kabinet parlementer.

        Berdasarkan usul Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BP-KNIP) tanggal 11 November 1945, yang kemudian dinyatakan presiden dan diumumkan dengan Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945,system cabinet presidensial berdasarkan UUD 1945 diganti dengan system cabinet parlementer.

        a. Sistem Presidensial

        Sistem pemerintahan RI menurut UUD 1945 tidak menganut suatu system dari negara manapun, tetapi adalah suatu system khas bangsa Indonesia. Hal itu dapat diketahui dari isi baik Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan, maupun dari pembicaraan-pembicaraan pada waktu perencanaan, penetapan dan pengesahan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut. Menurut. UUD 1945, disamping berkedudukan sebagai kepala negara, Presiden juga sebagai kepala pemerintahan. Presiden memegang kekuasaan pemerintahan tertinggi dibawah MPR. Presiden adalah mandataris MPR. Kepala pemerintahan adalah presiden, sehingga menurut konstitusi ketatanegaraan ini, pemerintah pada hakikatnya adalah Presiden. System ketatanegaraan yang kepala pemerintahannya adalah presiden dinamakan system presidensial, UUD 1945 mempergunakan system presidensial. Sistwem presidensial ini berlangsung untuk pertama kalinya pada tanggal 18 Agustus sampai dengan 14 November 1945.

        b. Penyimpangan UUD 1945

        Pasal 4 dan 17 UUD 1945 telah menunjukkan, bahwa UUD 1945 menganut system pemerintahan presidensial. Presiden memegang kekuasaan pemerintah, mengangkat serta memberhentikan para menteri. Para menteri bertanggung jawab kepada Presiden. Pada tanggal 11 november 1945, Badan Pekerja KNIP mengusulkan kepada Presiden agar sistem pertanggungjawaban menteri kepada parlemen dengan pertimbangan sebagai berikut.

        1. Dalam UUD 1945 tidak terdapat satu pasal pun yang mewajibkan atau melarang menteri bertanggung jawab.
        2. Pertanggungjawaban kepada badan perwakilan rakyat itu adalah suatu jalan untuk memberlakukan kedaulatan rakyat.

        Perkembangan pemerintah parlementer tidak berjalan sebagaimana diharapkan dalam Maklumat Pemerintah 14 November 1945. Hal keadaan politik dalam negeri dan keamanan negara. Keadaan politik ini memaksa Presiden kembali alih kekuasaan menjadi system pemerintahan presidensial.

        UUD 1945 sebagai UUD negara bagian

        Berdasarkan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) yang menyatakan :

        1. Didirikannya negara RIS,
        2. Pengakuan kedaulatan oleh pemerintahan kerajaan Belanda kepada negara RIS,
        3. Didirikannya uni antara RIS dan kerajaan Belanda.

        UUD 1945 tidak berlaku lagi

        Terbentuknya negara RIS hanyalah sebuah siasat Belanda yang memecah-belah persatuan bangsa. Akibatnya, negara yang berbentuk federal itu hanya tinggal tiga negara saja, yaitu :

        1. Negara Republik Indonesia.
        2. Negara Indonesia Timur.
        3. Negara Sumatra Timur.

        Pada tanggal 19 Mei 1950 tercapai kata sepakat antara RIS dan negara Republik Indonesia yang dituangkan dalam suatu piagam persetujuan RI-RIS untuk membentuk negara kesatuan sebagai penjelmaan dari negara Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945. Piagam persetujuan itu ditanda tangantangani oleh kedua belah pihak, yaitu Perdana Menteri RIS Dr. Moh. Hatta selaku pemegang mandate dari dua negara bagian dan pemerintah RI diwakili oleh Mr. A. Halim.

        B. Masa orde lama

        Pada bulan September 1955 dan Desember 1955. Diadakan pemilihan umum, masing-masing memilih anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Konstituante.Tugas Konstituante adalah untuk membuat suatu rancangan UUD sebagai pengganti UUDS 1950, yang menurut pasal 134 akan ditetapkan secepatnya bersama-bersama dengan pemerintah.

        Untuk mengambil keputusan mengenai UUD, maka pasal 137 UUDS 1950 menyatakan sebagai berikut :

        1. Untuk mengambil putusan tentang rancangan UUD baru, maka sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota konstituante harus hadir.
        2. Rancangan tersebut diterima jika disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.
        3. Rancangan yang telah diterima oleh konstituante, dikirimkan kepada Presiden untuk disahkan kepada pemerintah.
        4. Pemerintah harus mengesahkan rancangan itu dengan segera, serta mengumumkan UUD itu dengan keluhuran.

        Lebih dari dua tahun bersidang, Konstituante belum berhasil merumuskan rancangan UUD baru. Perbedaan pendapat yang telah terjadi perdebatan-perdebatan didalam gedung konstituante mengenai dasar negara yang telah menjalar ke luar gedung konstituante dan diperkirakan pula akan menimbulkan ketegangan-ketegangan politik dan fisik dikalangan masarakat.

        Saran untuk kembali pada UUD 1945 itu pada hakikatnya dapat diterima para anggota konstituante, namun dengan berbagai pandangan. Pertama, menerima saran kembali kepada UUD 1945 secara utuh. Kedua, menghendaki kembalinya kepada UUD 1945 dengan suatu amandemen, yaitu dimasukanya lagi tujuh kata “Dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Sehubungan tidak memperoleh kemufakatan antara dua pandangan itu, maka konstituante mengadakan pemungutan suara terhadap usul pemerintah untuk kembali kepada UUD 1945. Pertama-tama diadakan kembali pemungatan suara terhadap usul amandemen, dan dilaksanakan 29 Mei 1959. Usul amandemen itu tidak memperoleh suara dua pertiga dari anggota yang hadir.

        Selanjutnya, dilaksanakan pemungutan suara terhadap usul pemerintah untuk kembali ke UUD 1945 secara utuh. Pemungutan suara dilakukan sebanyak tiga kali. Tanggal 30 Mei 1959 diadakan pemungutan suara yang pertama dengan hasil 269 suara yang setuju dan 199 suara yang tidak setuju. Karena persyaratan formal yaitu, 2/3 dari jumlah anggota yang hadir sesuai dengan ketentuan Pasal 137 UUDS 1950 tidak terpenuhi, maka tanggal 1 Juni 1959 diselenggarakan pemungutan suara yang kedua. Hasilnya adalah 264 suara setuju menerima usul untuk kembali ke UUD 1945 dan 204 suara menolak, yang juga tidak memenuhi kourum. Pemungutan suara ketiga dilangsungkan tanggal 2 Juni 1959 dan secara rahasia dengan hasil 263 suara setuju dan 203 menolak, sehingga persyaratan formal juga tidak terpenuhi.

        Untuk mencegah timbulnya permasalahan bagi bangsa Indonesia, maka Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 tentang kembali kepada UUD 1945.

        Dekrit Presiden berbunyi sebagai berikut.

        1. Menetapkan pembubaran konstituante.
        2. Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945  berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 sudah tidak berlaku lagi.
        3. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, serta Dewan Pertimabangan Agung Sementara akan diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

        Penyimpangan-penyimpangan pada masa orde lama :

        1. MPR, dengan ketetapan, No.1/MPRS/1960 telah mengambil putusan menetapkan pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul ”Penemuan Kembali Resolusi Kita” yang lebih dikenal dengan Manifesto Politik Republik Indonesia (MANIPOL) sebagai GBHN bersifat tetap. Hal ini jelas bertentangan dengan ketentuan UUD 1945.
        2. MPRS mengambil putusan mengangkat Ir.Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Hal ini bertentangan dengan UUD 1945  yang menetapkan masa presiden lima tahun.
        3. Hak budget DPR tidak berjalan, karena setelah tahun 1960 pemerintaah tidak mengajukan rangcangan Undang-Undang APBN untuk mendapat persetujuan DPR sebelum berlakunya tahun anggaran yang bersangkutan.
        4. Pimpinan lembaga-lembaga negara dijadikan menteri-menteri negara, sedangkan presiden menjadi anggota DPA, yang semuanya tidak sesuai dengan Undang-Undang 1945.

        Penyimpangan ini jelas bukan hanya mengakibatkan tidak berjalannya system yang ditetapkan dalam UUD 1945, melainkan juga telah mgengakibatkan memburuknya keadaan politik dan keamanan serta terjadinya kemerosotan ekonomi yang mencapai puncaknya dengan pemberontakan G-30-PKI. Dan pemberontakan tersebut dapat digagalkan oleh rakyat Indonesia terutama oleh generasi muda.

        Dengan dipelopori oleh pemuda, pelajar, dan mahasiswa rakyat Indonesia menyampaikan Tritula (Tri Tuntutan Rakyat) yang meliputi:

        1. Bubarkan PKI.
        2. Bersihkan kabinet dari unsur-unsur KPI.
        3. Turunkan harga/perbaikan ekonomi.

        Gelombang gerakan rakyat semakin besar, sehingga presiden tidak mampu lagi mengembalikannya ,maka keluarlah surat perintah 11 maret 1966 yangmemberikan kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk mengambil langkah-langkah dalam mengembalikan keamanan negara. Sejak peristiwa inilah sejarah ketatanegaraan Indonesia dikuasai oleh kekuasaan Orde Baru.

        C. Masa Orde Baru

        Masa Orde Baru lahir sejak munculnya Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) yang diberikan Presiden kepada Letnan Jendral TNI Soeharto. Inti dari Supersemar berisi memberikan wewenang kepadanya untuk mengambil langkah-langkah pengamanan yang dianggap perlu untuk menyelamatkan keadaan. Orde Baru lahir dengan tekad awalnya adalah untuk mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia atas dasar pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
        Pengemban Supersemar telah membubarkan PKI dan ormas-ormasnya dan dan mengadakan koreksi terhadap penyimpangan dalam berbagai bidang selama pemerintahan Orde Lama dengan konstitusional, yaitu melalui siding MPRS yang telah menghasilkan berikut ini.

        1. Pengukuhan Supersemar (Tap. No. IX/MPRS/1966).
        2. Pembubaran PKI dan ormas-ormasnya (Tap. No. XXY/MPRS/1966).
        3. Penegasan Kembali Landasan Kebijakan Politik Luar Negeri RI  (Tap. No. XII/MPRS/1966).
        4. Pembaharuan Kembali Landasan Bidang Ekonomi, Keuangan,  dan Pembangunan (Tap. No. XXIII/MPRS/1966).
        5. Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presideb Soekarno (Tap. No. XXXIII/MPRS/1966).
        6. Pengangkatan Soehato sebagai Presideb sampai terpilihnya Presiden oleh MPR hasil pemilihan umum (Tap. No XLIV/MPRS/1966).

        Dalam pelaksanaan demokrasi sepanjang pemerintahan orde baru peranan UUD 1945 cenderung berpihak kepada rezim yang berkuasa dari pada upaya menegakkan kedaulatan rakyat, sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945. Permerintahan orde baru telah banyak melakukan penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan pemilu-pemilu, antara lain sebagai berikut.

        1. Campur tangan birokrasi terlalu besar.
        2. Panitia pemilu tidak independen (memihak).
        3. Kompetisi antarkontestan tidak leluasa.
        4. Rakyat tidak bebas berdiskusi dan menentukan pilihan.
        5. Penghitungan suara tidak jujur.
        6. Kontestan tidak bebas kampanye.

        Berikut ini penyebab penyimpangan dalam pelaksaan pembangunan Orde Baru.

        1. Bidang ekonomi, pelaksanaannya masih cenderung monopolistik.
        2. Bidang politik. Mekanisme hubungan pusat dan daerah cenderuung menganut sentralisasi kekuasaan.
        3. Bidang hukum. Undang-undang tentang pembatasan presiden belum memadai sehingga memberi peluang terjadinya korupsi, kolusi, nepotisme.

        D. Masa Reformasi

        Pada masa ini sering terjadi pergantian kepemimpinan dalam pemerintah. Tercatat pada masa ini terdapat empat kali pergantian Presiden yaitu BJ Habibie, Abdurahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri. Yang paling terasa pada pelaksanaan UUD 1945 pada masa ini terutama pada masa Presiden Megawati adalah terjadi perubahan-perubahan pada batang tubuh UUD 1945 atau yang akrab kita dengar dengan istilah amandemen.

        Tujuannya adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai denagn perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Tercatat telah terjadi empat kali Amandemen UUD 1945 selama kurun waktu 1999-2002 diantaranya:

        • Sidang Umum MPR, tanggal 14-21 Oktober 1999 Perubahan Pertama
        • Sidang Tahunan MPR, tanggal 7-21 Agustus 2000 Perubahan Kedua
        • Sidang Tahunan MPR, tanggal 1-9 November 2001 Perubahan Ketiga
        • Sidang Tahunan MPR, tanggal 1-11 Agustus 2002 Perubahan Keempat

        Menurut Soetanto ( 2004: 93-94 ) ada beberapa alasan dari segi materi muatan, mengapa UUD 1945 setelah berbagai perubahan perlu disempurnakan dalam rangka reformasi hukum, diantaranya:

        • Alasan Histories, bahwa sejarah mencatat pembentukan UUD 1945 memang didesain para pendiri negara (BPUPKI & PPKI) sebagai UUD yang sifatnya sementara dan butuh penyempurnaan lebih lanjut.
        • Alasan Filosofis, bahwa dalam UUD 1945 terdapat percampuradukan beberapa gagasan yang saling bertentangan.
        • Alasan Teoritis, bahwa dari sudut pandang teori konstitusi, keberadaan konstitusi bagi suatu negara hakikatnya adalah untuk membatasi kekuasaan negara agar tidak sewenang-wenang tetapi justru UUD 1945 kurang menonjolkan hal tersebut.
        • Alasan Yuridis, sebagaimana lazimnya konstitusi tertulis yang selalu memuat adanya klausula perubahan didalam naskahnya, begitupun UUD 1945 yang didasari akan ketidaksempurnaan didalamnya dikarenakan UUD 1945 itu sendiri merupakan hasil pekerjaan manusia.
        • Alasan Politis Praktis, bahwa secara sadar atau tidak, langsung atau tidak langsung, dalam praktik politik sebenarnya UUD 1945 sudah sering mengalami perubahan yang menyimpang dari teks aslinya.

        Bab III. Penutup

        A. Kesimpulan

        1. UUD 1945 merupakan peraturan perundang-undangan tertinggi dalam Negara dan menjadi hukum dasar tertulis Negara, yang bersifat mengikat dan berisi aturan yang harus ditaati oleh setiap warga Negara.
        2. Pelaksanaan UUD 1945 dari awal kemerdekaan sampai dengan sekarang masih sering terjadi penyimpangan-penyimpangan yang dapat menimbulkan korupsi, kolusi, nepotisme. Seperti yang terjadi sekarang ini yang paling menojol ialah krisis ekonomi. Seharusnya UUD 1945 sebagai landasan hukum tertinggi bisa melaksanakan peranannya dengan baik secara tranfaran.
        3. Seperti didalam pembukaan UUD 1945 “penjajahan diatas dunia harus dihapuskan” pernyataan seperti ini sebenarnya bukan hanya ditujukan kepada negara lain tetapi kepada negara sendiri.
        4. Sebaiknya kita sebagai warna negara yang memiliki UUD 1945 sebagai hukum tertinggi bisa meresapi, memaknai dan mengaplikasikannya kedalam kehidupan bersosial.

        DAFTAR PUSTAKA
        Syahrial Syarbani. 2014. PENDIDIKAN PANCASILA DI PERGURUAN TINGGI. Bogor. Ghalia Indonesia
        Aim Abdulkarim, 2013. PANCASILA AND CIVIC EDUCATION I. Bandung. Grafindo Media Pratama.
        Aim Abdulkarim, 2013. PANCASILA AND CIVIC EDUCATION II. Bandung. Grafindo Media Pratama.
        http://patiahlistiana11.blogspot.co.id/2014/12/makalah-dinamika-pelaksanaan-uud-1945.html
        http://ucuandyhafiandy.blogspot.co.id/2013/01/makalah-dinamika-pelaksanaan-uud-1945.html
        http://hitamandbiru.blogspot.co.id/2011/01/dinamika-undang-undang-dasar-1945.html

      3. Makalah Ushul Fiqh – Sad Adz-dzari’ah

        Bab I. Pendahuluan

        A. Latar Belakang

        Fiqh atau hukum Islam diramu dan disusun berdasarkan petunjuk Allah dalam Al-Qur’an dan penjelasan yang diberikan Nabi dalam Sunnahnya.Untuk dapatnya titah Allah dan penjelasan Nabi yang merupakan Syari’ah itu menjadi pedoman beramal yang terurai bernama fiqh tersebut, disusun ketentuan dan aturan. Pengetahuan tentang aturan dan ketentuan yang dapat membimbing Ulama dalam merumuskan fiqh itulah kemudian disebut “Ushul Fiqh”.

        Dalam ijtihad, para ulama mengembangkan berbagai teori, metode, dan prinsip hukum yang sebelumnya tidak dirumuskan secara sistematis, baik dalam Al-quran maupun as-Sunnah. Hal tersebut dilakukan berkaitan dengan tuntutan realita sosial dan persoalan baru yang muncul yang tidak dibahas secara spesifik dalam Al-Qur’an.

        Di antara metode penetapan hukum yang dikembangkan para ulama adalah sadd adz-dzari’ah. Metode sadd adz-dzari’ah merupakan upaya pencegahan agar tidak terjadi sesuatu yang menimbulkan dampak negatif. Hukum Islam tidak hanya mengatur tentang perilaku manusia yang sudah dilakukan tetapi juga yang belum dilakukan. Hal ini karena salah satu tujuan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kerusakan (mafsadah). Jika suatu perbuatan yang belum dilakukan diduga keras akan menimbulkan kerusakan (mafsadah), maka dilaranglah hal-hal yang mengarahkan kepada perbuatan tersebut. Metode hukum inilah yang kemudian dikenal dengan sadd adz-dzari’ah.

        B. Rumusan Masalah

        Berdasarkan latar belakang diatas, maka perumusan masalahnya adalah sebagai berikut:

        1. Apa yang dimaksud dengan sad adz-dzari’ah?
        2. Apa dasar hukum sad adz-dzari’ah?
        3. Apa saja macam – macam sad adz-dzari’ah?
        4. Bagaimana pandangan ulama’ tentang sadd adz-dzari’ah?

        C. Tujuan

        Dari rumusan masalah diatas tujuan dan manfaat penulis makalah ini adalah:

        1. Dapat mengetahui apa itu sadd adz-dzari’ah
        2. Dapat mengetahui dasar hukum sadd adz-dzari’ah
        3. Dapat mengetahui macam – macam sadd adz-dzari’ah
        4. Dapat mengetahui pandangan ulama’ sadd adz-dzari’ah

        Bab II. Pembahasan

        A. Pengertian Sadd Adz-Dzari’ah

        1. Secara Etimologis

        Kata sadd adz-dzari’ah (سد الذريعة) merupakan bentuk frase (idhafah) yang terdiri dari dua kata, yaitu sadd (سَدُّ)dan adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة). Secara etimologis, kata as-sadd (السَّدُّ)merupakan kata benda abstrak (mashdar) dari سَدَّ يَسُدُّ سَدًّا. Kata as-sadd tersebut berarti menutup sesuatu yang cacat atau rusak dan menimbun lobang. Sedangkan adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة) merupakan kata benda (isim) bentuk tunggal yang berarti jalan, sarana dan sebab terjadinya sesuatu.

        2. Secara Terminologis / Istilah

        Kata Al-dzari’ah dikalangan ahli Ushul diartikan :

        ماَ تَكُوْنُ وَسِيْلَةً وَطَرِيْقاً اِلىَ شَيْئٍ مَمْنُوْعٍ شَرْعاً

        Jalan yang menjadi perantaraan dan jalan kepada sesuatu yang dilarang

        Menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, jalan atau perantara tersebut bisa berbentuk sesuatu yang dilarang maupun yang dibolehkan.[3]Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd adz-dzari’ah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang.

        B.  Dasar Hukum Saddu Dzariah

        1)      Al-Qur’an

        وَلاَ تَسُبُّواْ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللّهِ فَيَسُبُّواْ اللّهَ عَدْواً بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ

         زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ

        Terjemahan :

        “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka.Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan”. (QS. Al-An’am : 108)

        Dari ayat di atas, nampak jelas bahwa mencaci maki Tuhan atau sembahan agama lain adalah adz-dzari’ah yang akan menimbulkan adanya sesuatu mafsadah yang dilarang, yaitu mencaci maki Tuhan. Sesuai dengan teori psikologi mechanism defense, orang yang Tuhannya dicaci kemungkinan akan membalas mencaci Tuhan yang diyakini oleh orang sebelumnya mencaci. Karena itulah, sebelum balasan caci maki itu terjadi, maka larangan mencaci maki tuhan agama lain merupakan tindakan pencegahan(sadd adz-dzari’ah).

        يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقُولُواْ رَاعِنَا وَقُولُواْ انظُرْنَا وَاسْمَعُوا ْوَلِلكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ

        Terjemahannya :

        “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa`ina”, tetapi katakanlah : “Unzhurna”, dan “dengarlah”. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih.”(QS. Al-Baqoroh:104)

        Pada QS.Al-Baqarah ayat 104 di atas, bisa dipahami adanya suatu bentuk pelarangan terhadap sesuatu perbuatan karena adanya kekhawatiran terhadap dampak negatif yang akan terjadi. Kata raa ‘ina (رَاعِنَا) berarti: “Sudilah kiranya kamu memperhatikan kami.” Saat para sahabat menggunakan kata ini terhadap Rasulullah, orang Yahudi pun memakai kata ini dengan nada mengejek dan menghina Rasulullah SAW. Mereka menggunakannya dengan maksud kata raa’inan (رَعِنًا)sebagai bentuk isim fail dari masdar kata  ru’unah(رُعُوْنَة)yang berarti bodoh atau tolol. Karena itulah, Tuhan pun menyuruh para sahabat Nabi SAW mengganti kata raa’ina yang biasa mereka pergunakan dengan unzhurna yang juga berarti sama dengan raa’ina. Dari latar belakang dan pemahaman demikian, ayat ini menurut al-Qurthubi dijadikan dasar dari sadd adz-dzari’ah.[4]

        2)      As-Sunnah

        رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشَبَّهَاتٌ لَا يَعْلَمُهَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الْمُشَبَّهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ كَرَاعٍ يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يُوَاقِعَهُ أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلَا إِنَّ حِمَى اللَّهِ فِي أَرْضِهِ مَحَارِمُهُ أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ

        Terjemahannya :

        Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Yang halal sudah jelas dan yang haram juga sudah jelas. Namun diantara keduanya ada perkara syubhat (samar) yang tidak diketahui oleh banyak orang. Maka barangsiapa yang menjauhi diri dari yang syubhat berarti telah memelihara agamanya dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang sampai jatuh (mengerjakan) pada perkara-perkara syubhat, sungguh dia seperti seorang penggembala yang menggembalakan ternaknya di pinggir jurang yang dikhawatirkan akan jatuh ke dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki batasan, dan ketahuilah bahwa batasan larangan Allah di bumi-Nya adalah apa-apa yang diharamkan-Nya. Dan ketahuilah pada setiap tubuh ada segumpal darah yang apabila baik maka baiklah tubuh tersebut dan apabila rusak maka rusaklah tubuh tersebut. Ketahuilah, ia adalah hati”.(Shohih Bukhari no.50)

        Hadits ini menerangkan bahwa mengerjakan perbuatan yang syubhat lebih besar kemungkinan akan terjerumus mengerjakan kemaksiatan daripada kemungkinan dapat memelihara diri dari perbuatan itu. Tindakan yang paling selamat ialah melarang perbuatan yang mengarah kepada perbuatan maksiat itu.

        3)      Kaidah fiqih

        Di antara kaidah fikih yang bisa dijadikan dasar penggunaan sadd adz-dzari’ah adalah: 

        دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ.

        Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih kebaikan (maslahah).[5]

        Kaidah ini merupakan kaidah asasi yang bisa mencakup masalah-masalah turunan di bawahnya. Berbagai kaidah lain juga bersandar pada kaidah ini. Karena itulah, sadd adz-dzari’ah pun bisa disandarkan kepadanya. Hal ini juga bisa dipahami, karena dalam sadd adz-dzari’ah terdapat unsur mafsadah yang harus dihindari.

        C.  Macam – macam Sadd Adz-Dzari’ah

        Adz-Dzari’ah dibagi menjadi dua yaitu:[6]

        1.      Dari segi kualitas kemafsadatannya.

        Dari segi kualitas kemafsadatannya, dzari’ah dibagi menjadi empat:[7]

        a.       Dzari’ah/perbuatan yang pasti akan membawa mafsadat, misalnya menggali sumur di jalan umum yang gelap.

        b.      Dzari’ah/perbuatan yang jarang membawa mafsadat misalnya menanam pohon anggur. Walaupun buah anggur sering dibuat minuman keras, tetapi hal ini termasuk jarang. Karena itu, dzari’ah ini tidak perlu dilarang.

        c.       Dzari’ah/perbuatan yang diduga keras akan membawa mafsadat, misalnya menjual anggur kepada perusahaan pembuat minuman keras. Dzari’ah ini harus dilarang.

        d.      Dzari’ah/perbuatan yang sering membawa mafsadat, namun kekhawatiran terjadinya tidak sampai pada dugaan yang kuat melainkan hanya asumsi biasa, misalnya transaksi jual beli secara kredit yang memungkinkan terjadinya riba. Terjadi perbedaanpendapat di kalangan ulama tentang dzar’ah yang keempat ini. ada yang berpendapat harus dilarang dan ada yang berpendapat sebaliknya.

        2.      Dzari’ah dilihat dari jenis kemafsadatan yang ditimbulkan

        Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah, dzari’ah jenis ini dibagi menjadi 2 :

        a.       Perbuatan yang membawa kemafsadatan misalnya meminum minuman keras yang mengakibatkan mabuk, dan mabuk itu suatu kemafsadata.

        b.      Perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan atau dianjurkan, namun digunakan untuk melakukan perbuatan yang haram baik disengaja ataupun tidak. Yang disengaja misalnya nikah al-tahlil dan yang tidak sengaja misalnya mencaci-maki ibu bapak orang lain yang mengakibatkan orang tuanya juga dicaci-maki orang tersebut.

        3.      Dzari’ah dilihat dari bentuknya dibagi menjadi empat, yaitu:[8]

        a.       Yang secara sengaja ditujukan untuk suatu kemafsadatan misalnya meminum mminuman keras. Hal ini dilarang oleh syara’

        b.      Pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan tetapi dilakukan untuk suatu kemafsadatan, misalnya nikah tahlil. Hal ni dilarang oleh syara’.

        c.       Pekerjaan yang hukumnya boleh dan tidak bertujuan untuk suatu kemafsadatan tetapi biasanya akan mengakibatkan mafsadat, misalnya mencaci sesembahan orang lain. Hal ini dilarang oleh syara’

        d.      Pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan tetapi kadang membawa mafsadat, misalnya melihat wanita yang dipinang. Tetapi menurut Ibnu Qayyim, kemaslahatannya lebih besar maka dibolehkan sesuai kebutuhan.

        D.  Pandangan Ulama’ Tentang Sadd Adz-Dzari’ah

        Sebagian besar Ulama’ berpendapat bahwa sadd adz-dzariah dapat dijadikan dalil dalam fiqh Islam, mereka hanya berbeda dalam pembatasannya.Imam Malik dan Imam Ahmad amat banyak berpegang pada dzari.’ah, Ulama malikiyah dan hanabilah dapat menerima kehujjahan sadd adz-dzari’ah ini sebagai salah satu dalil syara’. Alasan mereka antara lain:

        a. Firman Allah dalam surat An An’am, 6: 108:

        وَلَا تَسُّبُوْاالَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ فَيَسُبُّوْااللهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمِ (الانعم 108)

        Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan….(QS: An An’am:108)

        b. Hadits Rasulullah saw

        اَلاَوَاِنَّ حِمىَ اللهِ مَعَاصِيْهِ فَمَنْ حاَمَ حَوْلَ الْحِمىَ يُوْشِكُ اَنْ يَقَعَ فِيْهِ

        Ingatlah, tanaman Allah adalah ma’siat-ma’siat kepada-Nya. Siapa yang menggembalakan di sekitar tanaman tersebut, ia akan terjerumus di dalamnya. (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim).

         Sedangkan Imam Syafi’I dan Abu Hanifah kurang dari mereka walaupun mereka berdua terakhir tidak menolak dzari’ah secara keseluruhan dan tidak mengakuinya sebagai dalil yang berdiri sendiri. Menurut Syafi’I dan Abu Hanifah, dzari’ah ini masuk kedalam dasar yang telah mereka tetapkan yaitu qiyas dan istihsan menurut Hanafi.[9]

        Berpegang pada dzari’ah tidak boleh terlalu berlebihan, karena orang yang tenggelam didalamnya bisa saja melarang perbuatan yang sebenarnya mubah, mandub bahkan yang wajib, karena terlalu khawatir terjerumus ke jurang kedzaliman. Oleh karena itu Ibnul Araby didalam kitabnya Ahkamul Qur’an mengaitkan keharaman karena dzari’ah itu apabila yang diharamkan karena saddu dzari’ah itu, tsabit keharamannya dengan nash, bukan dengan qiyas, dan bukan pula dengan dzari’ah. Oleh karena itu tidak boleh meninggalkan perwalian harta anak yatim karena takut dzalimnya wali.

        Dengan demikian, maka mukallaf (orang muslim yang dikenai kewajiban atau perintah dan menjauhi larangan agama) wajib mengetahui benar didalam menggunakan dzari’ah itu akan bahaya menggunakannya atau bahaya meninggalkannya. Merekapun harus mentarjihkan (menguatkan) diantara keduanya kemudian harus mengambil mana yang rajih (unggul).

        BAB III

        PENUTUP

        A.    Kesimpulan

                    Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa sadd adz-dzari’ah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang. Dasar hukum sadd adz-dzari’ah adalah jelas, mulai dari Al Quran, sunnah, dan kaidah fiqh.

                    Dari kesepakatan ulama, al-Qarafi dan asy-Syatibi membagi adz-dzari’ah menjadi tiga macam, yaitu:

        1)      Sesuatu yang telah disepakati untuk tidak dilarang meskipun bisa menjadi jalan atau sarana terjadinya suatu perbuatan yang diharamkan.

        2)      Sesuatu yang disepakati untuk dilarang

        3)      Sesuatu yang masih diperselisihkan untuk dilarang atau diperbolehkan

        Sebagian besar Ulama’ berpendapat bahwa sadd adz-dzariah dapat dijadikan dalil dalam fiqh Islam, mereka hanya berbeda dalam pembatasannya.Berpegang pada dzari’ah tidak boleh terlalu berlebihan, karena orang yang tenggelam didalamnya bisa saja melarang perbuatan yang sebenarnya mubah, mandub bahkan yang wajib, karena terlalu khawatir terjerumus ke jurang kedzaliman. Mukallaf (orang muslim yang dikenai kewajiban atau perintah dan menjauhi larangan agama) wajib mengetahui benar didalam menggunakan dzari’ah itu akan bahaya menggunakannya atau bahaya meninggalkannya. Merekapun harus mentarjihkan (menguatkan) diantara keduanya kemudian harus mengambil mana yang rajih (unggul)

        B.     Saran

        1.      Hendak lah perbuatang yang dapat menimbulkan kerusakan itu dicegah/disumbat meskipun perbuatan itu baik agar tidak terjadi kerusakan.

        2.      Jauhilah diri dari perkara-perkara yang lahirnya mubah agar tidak terjadi kepada diri dari perbuatan maksiat dan menjerumuskan diri kejalan kerusakan.

        DAFTAR PUSTAKA

        Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2012.

        Dr. H. Fathurrahman Djamil, MA, Filsafat Hukum Islam, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997.

        Dr. H. Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1995.

        Drs. H. Nasrun Haroen, M. A, Ushul Fiqh, Jakarta, Logos, 1996.

        Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt.

        Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, juz 2.

        Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1995.


        [1]  Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2012). Hlm. 2

        [2] Dr. H. Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hlm. 164.

        [3] Drs. H. Nasrun Haroen, M. A, Ushul Fiqh, (Jakarta, Logos, 1996),  hlm. 160

        [4]Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, juz 2, hal. 56

        [5]Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt).  Hlm. 176

        [6] Drs. H. Nasrun Haroen, M. A, Ushul Fiqh,  (Jakarta, Logos, 1996). Hlm. 162.

        [7] Dr. H. Fathurrahman Djamil, MA, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997). Hlm. 166.

        [8] Drs. H. Nasrun Haroen, M. A, op. cit., Hlm. 166.

        [9]Sulaiman  Abdullah,  Sumber  Hukum  Islam  (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), Hlm. 166.

      4. Makalah Sejarah Kewirausahaan

        Sejarah Kewirausahaan

        Bab I. Pendahuluan

        A. Latar Belakang

        Di antara makhluk hidup yang di ciptakan Tuhan Yang Maha Esa, manusia merupakan makhluk yang paling sempurna. Manusia membutuhkan pekerjaan agar memperoleh penghasilan untuk membiayai kehidupan sehari-hari. Di antara manusia tersebut ada beberapa orang yang mendapat kesempatan dan mampu menciptakan lapangan kerja sendiri bahkan dapat membuka lapangan kerja untuk orang lain.

        Dalam rangka pemerataan hasil-hasil pembangunan perlu lebih di tingkatkan dan diperluas usaha-usaha untuk memperbaiki penghasilan. Salah satunya dengan wirausaha, kita sering mendengar bahkan mengucap istilah Kewirausahaan tetapi kita tidak mengetahui sejarah dan perkembangan  kewirausahaan tersebut, maka untuk itu makalah ini akan mengupas tentang sejarah dan perkembangan kewirausahaan tersebut.

        B. Rumusan Masalah

        1. Bagaimana sejarah serta perkembangan kewirausahaan?

        C. Tujuan Makalah

        1. Untuk memahami sejarah dan perkembangan kewirausahaan.

        Bab II. Pembahasan

        A. Istilah Kewirausahaan

        Istilah wiraswasta sering dipakai tumpang tindih dengan istilah wirausaha. Di dalam literatur dapat dilihat bahwa pengertian wiraswasta sama denga wirausaha, demikian wirausaha seperti sama dengan wiraswasta.

        Istilah wiraswastawan ada menghubungkannya dengan istilah saudagar. Walaupun sama artinya dalam bahasa sanskerta, tetapi maknanya berlainan. Wiraswasta terdiri atas tiga kata : wira , swa, dan sta, masing-masing berarti wira adalah manusia unggul, teladan, berbudi luhur, berjiwa besar, berani, pahlawan/pendekar kemajuan, dan memiliki keagungan watak; swa artinya sendiri; dan sta artinya berdiri. Sedangkan saudagar terdiri dari dua suku kata. Sau berarti seribu, dan dagar artinya akal. Jadi, saudagar berarti seribu akal.

        Jadi, bertolak dari ungkapan etimologis diatas, maka wiraswasta berarti keberanian, keutamaan serta keperkasaan dalam memenuhi kebutuhan serta memecahkan permasalahan hidup dengan kekuatan yang ada pada dirinya.  

        Kemudian istilah wirausaha yang asal terjemahannya dari entrepreneur (bahasa prancis) yang diterjemahkan kedalam bahasa inggris dengan arti between taker atau  go-between.

        B. Sejarah dan Perkembangan Kewirausahaan

        Wirausaha secara historis sudah dikenal sejak diperkenalkan oleh Richard Castillon pada tahun 1755. Di luar negeri, istilah kewirausahaan telah dikenal sejak abad 16, sedangkan di Indonesia baru dikenal pada akhir abad 20.

        Beberapa istilah wirausaha seperti di Belanda dikenal dengan ondernemer, di Jerman dikenal dengan unternehmer.

        Sejarah kewirausahaan dapat dibagi dalam beberapa periode:

        1. Periode awal

        Sejarah kewirausahaan dimulai dari periode awal yang dimotori oleh  pengusaha sebagai go-between adalah Marco polo, yang mencoba untuk mengembangkan rute perdagangan hingga timur jauh.Dalam masanya, terdapat dua pihak yakni pihak pasif dan pihak aktif. Pihak pasif bertindak sebagai pemilik modal dan mereka mengambil keuntungan yang sangat banyak terhadap pihak aktif.

        Sedangkan pihak aktif adalah pihak yang menggunakan modal tersebut untuk berdagang antara lain dengan mengelilingi lautan. Mereka menghadapi banyak resiko baik fisik maupun sosial akan tetapi keuntungan yang diperoleh sebesar 25%. Yang selanjutnya akan dibedakan antara pemilik modal dengan wirausaha atau yang menjalankan usaha tersebut

        2. Abad pertengahan

        Kewirausahaan berkembang di periode pertengahan, pada masa ini wirausahawan dilekatkan pada aktor dan seorang yang mengatur proyek besar. Mereka tidak lagi berhadapan dengan resiko namun mereka menggunakan sumber daya yang diberikan, yang biasanya yang diberikan oleh pemerintah. Tipe wirausahaawan yang menonjol antara lain orang yang bekerja dalam bidang arsitektural (baik arsiteknya sebagai perancang yang menjual jasa ataupun pekerja yang mengerjakan jasa tersebut dan yang memberikan modal sekaligus menjadi manajer bagi mereka)

        3. Abad 17

        Di abad 17, seorang ekonom, Richard Cantillon, menegaskan bahwa seorang wirausahawan adalah seorang pengambil resiko, dengan melihat perilaku mereka yakni membeli pada harga yang tetap namun menjual dengan harga yang tidak pasti. Ketidakpastian inilah yang disebut dengan menghadapi resiko.[3]

        4. Abad 18

        Berlanjut di abad ke 18, seorang wirausahawan tidak dilekatkan pada pemilik modal, tetapi dilekatkan pada orang-orang yang membutuhkan modal. Wirausahawan akan membutuhkan dana untuk memajukan dan mewujudkan inovasinya. Pada masa itu dibedakan antara pemilik modal dan wirausahawan sebagai seorang penemu.

         para ahli membedakan pengertian investor (venture capitalist) atau orang yang memiliki modal dengan orang yang membutuhkan modal atau wirausaha. Salah satu penyebab terjadi pemisahan ini adalah karena revolusi industri yang melanda dunia. Berbagai penemuan terjadi pada abad ini sebagai reaksi terhadap perubahan dunia.

        Seperti Eli Whitney dan Thomas Edison, kedua orang ini berhasil mengembangkan era teknologi baru tetapi mereka tidak mempunyai modal untuk membiayai riset mereka dan penelitian mereka. Eli Whitney membiayai mesin pemisah kapas dari bijinya dengan menggunakan pinjaman pemerintah, sedangkan Thomas Edison membiayai usaha riset listrik dan kimianya dari sumber dana perseorangan (private source). Baik Eli maupun Thomas adalah pengguna modal (wirausaha) bukan sebagai pemasok dana (venture capitalist). Seorang pemasok dana adalah seorang manajer keuangan professional yang menginvestasikan  uangnya pada investasi yang beresiko dalam bentuk penyertaan modal untuk mendapatkan hasil yang tinggi dari investasi tersebut.

        5. Abad 19

        Sedangkan di abad ke 19 dan awal abad 20, wirausahawan didefinisikan sebagai seseorang yang mengorganisasikan dan mengatur perusahaan untuk meningkatkan pertambahan nilai personal.

        Dimana, Wirausaha tidak dibedakan dengan manajer dan hanya dilihat dari pandangan ekonom. Wirausaha  mengorganisir dan mengoperasikan  perusahaan untuk manfaat pribadi. Ia membiayai bahan baku yang digunakan dalam bisnis, tanah, gaji karyawan, dan modal yang diperlukan. Ia memberikan kontribusi inisiatif, keahlian dalam pembuatan perencanaan, pengorganisasian, dan administratur perusahaan. Ia harus menanggung resiko rugi karena hal-hal yang tidak dapat dikontrolnya. Nilai bersih keuntungan pada akhir tahun atau masa menjadi keuntungannya. Wirausaha yang dikenal pada masa ini adalah Andrew Carnegie, ia tidak menemukan sesuatu tetapi hanya mengadopsi dan membentuk teknologi baru dan produk menjadi penting dan menghasilkan. Ia berhasil membawa industri baja Amerika menjadi industri yang tidak henti-hentinya ketimbang menghasilkan suatu penemuan atau kreativitas tertentu.

        6. Abad 20 sampai sekarang

        Pada abad ini, gagasan wirausaha sebagai penemu mulai dikenalkan; Fungsi wirausaha adalah untuk melakukan reformasi atau revolusi pola-pola produksi dengan mengeksploitasi penemuan atau, secara umum, menggunakan teknologi baru (yang sebenarnya belum pernah dicoba orang lain) untuk menghasilkan produk baru atau menghasilkan produk lama dengan cara baru, membuka sumber bahan baku baru, membuka pasar baru, dengan mengorganisir kembali industri yang ada sekarang. Konsep inovasi sangat menonjol pada masa ini. Inovasi untuk mengenalkan sesuatu  yang  baru adalah sebagian dari tugas berat wirausaha. Inovasi tidak saja membutuhkan kemampuan untuk menghasilkan dan mengembangkan konsep tetapi juga harus mengerti segala kekuatan yang bekerja atau terdapat di lingkungan (sekitarnya). Sesuatu yang baru bisa berupa produk baru atau sebuah sistem baru, untuk simplikasi struktur organisasi baru. Kemampuan inovasi adalah sebuah instinks yang membedakan seseorang dengan orang lain. Jadi

        Sedangkan Ilmu kewirausahaan di Indonesia baru dikenalkan pada akhir abad ke 20, namun praktiknya sudah sejak dulu ada, bahkan sejak jaman colonial kegiatan perniagaan dan bisnis sudah ada di Indonesia. Pada akhir abad 20, pendidikan kewirausahaan dipelajari baru terbatas pada beberapa sekolah dan perguruan tinggi saja. Pendidikan kewirausahaan melalui pendidikan formal maupun pelatihan-pelatihan di segala lapisan masyarakat semakin berkembang seiring dengan perkembangan dan tantangan ekonomi seperti krisis moneter yang sempat melanda di akhir tahun 90-an.

        Bab III. Penutup

        A. Kesimpulan

        Periode Awal, Sejarah kewirausahaan dimulai dari periode awal yang dimotori oleh Marcopolo. Dalam masanya, terdapat dua pihak pasif dan pihak aktif. Pihak pasif bertindak sebagai pemilik modal dan mereka mengambil keuntungan yang sangat banyak terhadap pihak aktif.  Abad Pertengahan, Kewirausahaan berkembang di periode pertengahan, pada masa ini wirausahawan dilekatkan pada aktor dan seorang yang mengatur peroyek besar. Mereka tidak lagi berhadapan dengan resiko namun mereka menggunakan sumberdaya yang diberikan, yang biasanya diberikan oleh pemerintah. Tipe wirausahawan yang menonjol antara orang yang bekerja dalam bidang arsitektural. dengan menghadapi resiko. Di abad 17 seorang ekonom, Richard Cantillon, menegaskan bahwa seorang wirausahawan adalah seorang pengambil resiko, dengan melihat perilaku mereka yakni membeli pada harga yang tetap namun menjual dengan harga yang tidak pasti. Ketidakpastian inilah yang disebut dengan menghadapi resiko. Berlanjut ke abad 18, seorang wirausahawan tidak dilekatkan pada pemilik modal, tetapi dilekatkan pada orang-orang yang membutuhkan modal. Wirausahawan akan membutuhkan dana untuk memajukan dan mewujudkan inovasinya. Pada masa itu dibedakan antara pemilik modal dan wirausahawan sebagai seorang penemu. Sedangkan di abad 19 dan akhir 20, Wirausahawan didefinisikan sebagai seseorang yang mengorganisasikan dan mengatur perusahaan untuk meningkatkan pertambahan nilai personal. Pada abad 20, inovasi melekat erat pada wirausahawan di masa sekarang.

        Di Indonesia kewirausahaan dipelajari baru terbatas pada beberapa sekolah atau perguruan tinggi. Dilandasi dengan terbitnya Inpres no.4 tahun 1995 tentang Gerakan Nasional memasyarakatkan dan membudayakan Kewirausahaan.

        B. Saran

        Dengan membaca dan memahami Sejarah dan perkembangan  kewirausahaan diatas hendaknya kita mampu memahami serta mempraktekkannya dalam berwirausaha untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

        Buchari Alma,  Kewirausahaan untuk mahasiswa dan umum, ( Bandung: ALFABETA, 2008). Hlm. 17

        Robert D. Hisrich dkk, Kewirausahaan ed. 7, ( Jakarta:Salemba Empat, 2008) . hlm. 6

        Op. cit. hlm. 22