Blog

  • Laporan Praktikum Hukum Hess

    Praktikum Hukum Hess

    A. Tujuan

    Membuktikan hukum Hess pada percobaan ini

    B. Dasar Teori

    Banyaknya kalor yang dihasilkan dalam suatu reaksi kimia dapat diukur dengan menggunakan kalorimeter. Kalor dapat diukur dengan menggunakan jalan jumlah total kalor yang disetiap lingkungan kalor yang diserap air merupakan hasil dari perkalian antara massa, kalor jenis dan kenaikkan suhu, sedangkan kalor yang diserap komponen lingkungan lain yaitu tom, pengaduk, termometer, dan lain sebagainya. Merupakan hasil kali jumlah kapasitas kalor komponen-komponen ini dengan suhu. Dari sini dapat diketahui bahwa penjumlahan kalor dapat diterapkan melalui hukum Hess (Attkins, 1999).

    Perubahan suhu yang menyertai reaksi kimia menunjukkan adanya perubahan energi dalam bentuk kalor pada pereaksi dan hasil reaksi. Kalor yang diserap akan dibebaskan oleh sistem menyebabkan suhu sistem berubah. Secara sederhana kalor tersebut dapat dihitung dengan rumus :

    q = m. c. ∆ t

    Keterangan

    q : kalor reaksi (Q)
    m : massa sistem (gram)
    ∆t : perubahan suhu (K)
    c : kalor jenis sistem (j/g.K)

    Perubahan entalpi (∆H) reaksi adalah q untuk jumlah mol pereaksi/hasil reaksi sesuai persamaan reaksi, disertai tanda positif (reaksi endoterm) negatif (reaksi eksoterm). (Kartimi . 2013 : 32)

    Hukum Hess adalah sebuah hukum dalam kimia fisik untuk ekspansi Hess dalam siklus Hess. Hukum ini digunakan untuk memprediksi perubahan entalpi dari hukum kekekalan energi (dinyatakan sebagai fungsi dari keadaan ∆ H).

    Hukum Hess menyatakan bahwa besarnya entalpi dari suatu reaksi tidak ditentukan oleh jalan atau tahap reaksi, tetapi hanya ditentukan oleh keadaan awal dan keadaan akhir suatu reaksi. Setelah itu hukum Hess juga menyatakan bahwa entalpi suatu reaksi merupakan jumlah total dari penjumlahan kalor reaksi tiap satu mol dari masing-masing tahap atau orde reaksi. Sehingga besarnya H dapat ditentukan hanya dengan mengetahui kalor reaksinya saja. Dasar dari hukum Hess ini adalah entalpi atau energi internal artinya bersaran yang tidak tergantung pada jalannya reaksi. Suatu reaksi kadang-kadang tidak hanya berlangsung melalui satu jalur akan tetapi bisa juga melalui jalur lain dengan hasil yang diperoleh adalah sama.

    Salah satu manfaat hukum Hess adalah kita dapat menghitung entalpi suatu reaksi yang sangat sulit sekali diukur dilaboratorium. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan hukum Hess adalah :

    1. Kita dapat mengkombinasikan beberapa reaksi yang telah diketahui  entalpinya untuk memperoleh entalpi reaksi yang kita cari.
    2. Kebalikan dari suatu reaksi mengakibatkan perubahan tanda entalpi, artinya jika suatu reaksi berjalan secara eksoterm maka kebalikan reaksi tersebut adalah endoterm dengan tanda entalpi yang saling berlawanan.

    Dengan melakukan perubahan entalpi dari suatu reaksi kita terlebih dahulu harus memahami bahwa perubahan entalpi berbanding lurus dengan jumlah zat yang terlibat dalam reaksi berbalik. Konsep ini sangat berguna dalam memahami tentang hukum Hess ini (Attkins, 1999). 

    Suatu reaksi kimia yang diinginkan dapat ditulis sebagai rangkaian banyak reaksi kimia. Jika seseorang mengetahui panas reaksi yang diinginkan dapat dihitung dengan menambahkan atau mengurangi panas dari masing-masing tahap.  Prinsip ini dimana panas reaksi ditambahkan atau dikurangi secara aljabar disebut hukum Hess mengenai penjumlahan panas konstan (Farington, 1987).

    C. Alat dan Bahan

    Alat :

    No.Nama AlatUkuranJumlah
    1.Silinder ukur50 ml1
    2.Kalorimeter1
    3.Gelas piala100 ml1
    4.Termometer0 – 100 oC1
    5.Neraca1

    Bahan :

    No.Nama BahanUkuranJumlah
    1.NaOH padatp.a.2 gram
    2.Larutan HCl0,5 M50 ml
    3.Larutan HCl1,0 M25 ml
    4.Air suling (aquades)190 ml

    D.  Prosedur kerja

    Reaksi 1

    a) 50 ml larutan HCl 0,25 M dimasukkan ke dalam 50 ml HCl 0,25 M kalorimeter dari bejana plastik dan dicatat 1 gr NaOH     

     suhunya (suhu awal)                                                                   Padat

    b)   NaOH padat ditimbang sebanyak 1 gram

    dan dicatat massanya.

    c)    Kemudian NaOH padat itu dimasukkan ke dalam

    kalorimeter lalu kalorimeter itu diguncangkan untuk melarutkan NaOH dan suhu mantap yang dicapai dicatat sesudah semua NaOH larut (suhu akhir).

    Reaksi 2a                                                                                  1 gram

    Dilakukan cara yang sama seperti diatas                                  NaOH padat

    (reaksi 1), kemudian kenaikan suhu                        Air

     ditentukan pada pelarutan 1 gram NaOH            25 ml                

    padat ke dalam 25 mlair.

    Reaksi 2b

    a)    Larutan NaOH dari reaksi (2a) dipindahkan

    ke dalam suatu gelas kimia. Kemudian

    25 ml larutan HCl 0,5 M dimasukkan ke                lar. NaOH      HCl 25 ml

    dalam gelas kimia lain. Kedua gelas kimia

    tersebut diletakkan di dalam bejana berisi

    air sampai suhu ke dua larutan itu sama.

    Suhu itu kemudian dicatat dalam tabel pengamatan (sebagai suhu awal).

    b)   Kedua larutan dituangkan ke dalam

    kalorimeter. Kalorimeter diaduk dan      lar. NaOH                                   HCl 0,5 M

    dicatat suhu mantap yang dicapai dalam                                            25 ml

     tabel pengamatan (sebagai suhu akhir).

    E.      HASIL PENGAMATAN

    PercobaanSebelum reaksiSesudah reaksiPersamaan reaksi
    1t1 = 31oCt2 = 33 oCNaOH(s) +HCl(aq)                NaCl(aq) + H2O(l)
    2.at1 = 31 oCt2 = 35 oCNaOH(s) + H2O(l)                NaOH(aq) + H2O(l)
    2.bt1 = 30 oCt2 = 31 oCNaOH(aq) +H2O(l) +HClNaCl(aq) + 2H2O(l)

    F.      PEMBAHASAN

                Perubahan suhu yang menyertai reaksi kimia menunjukkan adanya perubahan energi dalam bentuk kalor pada pereaksi dan hasil reaksi. Kalor yang diserap akan dibebaskan oleh sistem menyebabkan suhu sistem berubah.

                Hukum Hess adalah sebuah hukum dalam kimia fisik untuk ekspansi Hess dalam siklus Hess. Hukum ini digunakan untuk memprediksi perubahan entalpi dari hukum kekekalan energi (dinyatakan sebagai fungsi dari keadaan ∆ H).

                Hukum Hess menyatakan bahwa besarnya entalpi dari suatu reaksi tidak ditentukan oleh jalan atau tahap reaksi, tetapi hanya ditentukan oleh keadaan awal dan keadaan akhir suatu reaksi.

                Berdasarkan hasil pengamatan pada praktikum yang kami lakukan pada hari Rabu, 10 April 2013. Praktikum ini membahas tentang hukum Hess. Yang bertujuan untuk membuktikan hukum Hess pada percobaan kali ini. Dan ternyata percobaan yang telah dilakukan sesuai dengan hukum Hess jika dilihat dari keadaan awal dan keadaan akhirnya saja, itu dibuktikan dengan hasil sesudah reaksi dari kedua percobaan tersebut sama-sama mengeluarkan asap dari kalorimeter setelah kedua larutan tersebut diaduk. Larutan diaduk berfungsi untuk menaikkan suhu di dalam kalorimeter. Karena dengan adanya pengadukan (gesekan) dapat menaikkan suhu. Namun jika dilihat dari data suhunya, percobaan ini sedikit menyimpang dari Hukum Hess karena suhu akhir dari kedua reaksi ini tidak sama hasilnya. Hal ini mungkin dikarenakan kesalahan kami dalam mengukur suhu, sehingga terjadinya ketidak akuratan dalam pengukuran suhu. Maka data yang kami dapat tidak akurat yang seharusnya tidak ada perbedaan di masing-masing reaksi tersebut.

                Jika dari data hasil pengamatan diatas dilakukan perhitungan, maka perubahan entalpi reaksi dari keduanya akan berbeda. Namun disini kami hanya melihat dari keadaan awal dan keadaan akhirnya saja yang sesuai dengan bunyi Hukum Hess itu sendiri tanpa harus mempertimbangkan perhitungannya jadi perbedaan itu tidak terlalu berpengaruh dalam percobaan kami untuk membuktikan Hukum Hess ini.

                Dalam percobaan yang telah kami lakukan, banyak kesalahan/ketidakpastian yang dapat terjadi. Hal ini mungkin karena kesalahan dalam melakukan prosedur percobaan. Adanya ketidaktelitian kami dalam mengukur suhu atau juga karena pada saat pengadukan larutan, tenaga saat pengadukan reaksi pertama tidak sama dengan saat pengadukan reaksi yang kedua. Selain itu juga mungkin disebabkan bahan-bahan yang digunakan telah mengikat zat kimia lainnya yang berada diudara bebas pada saat akan dimasukkan kedalam kalorimeter atau pada saat penimbangan, karena bahan yang dipakai bersifat hidroskopis (NaOH). Dari percobaan tersebut menghasilkan persamaan reaksi kimia yaitu sebagai berikut     :

    NaOH(s) +HCl(aq)                NaCl(aq) + H2O(l)        

    NaOH(s) + H2O(l)                NaOH(aq) + H2O(l)

                NaOH(aq) +H2O(l) +HCl                        NaCl(aq) + 2H2O(l)

    G.     KESIMPULAN

    Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa :

    1.    Hukum Hess menyatakan bahwa besarnya entalpi dari suatu reaksi tidak ditentukan oleh jalan atau tahap reaksi, tetapi hanya ditentukan oleh keadaan awal dan keadaan akhir suatu reaksi.

    2.    Percobaan yang telah dilakukan sesuai dengan hukum Hess jika dilihat dari keadaan awal dan keadaan akhirnya saja, itu dibuktikan dengan hasil sesudah reaksi dari kedua percobaan tersebut sama-sama mengeluarkan asap dari kalorimeter setelah kedua larutan tersebut diaduk.

    3.    Jika dilihat dari data suhunya, percobaan ini sedikit menyimpang dari Hukum Hess karena suhu akhir dari kedua reaksi ini tidak sama hasilnya.

    4.    Dalam percobaan yang kami lakukan, banyak kesalahan/ketidakpastian yang dapat terjadi. Seperti kesalahan dalam melakukan prosedur percobaan ataupun karena bahan-bahan yang digunakan telah mengikat zat kimia lainnya yang berada diudara bebas pada saat akan dimasukkan kedalam kalorimeter atau pada saat penimbangan, karena bahan yang dipakai bersifat hidroskopis (NaOH).

    5.    Persamaan reaksi pada percobaan ini           :

    ·      NaOH(s) +HCl(aq)                NaCl(aq) + H2O(l)                      

    ·      NaOH(s) + H2O(l)                NaOH(aq) + H2O(l)

    ·      NaOH(aq) +H2O(l) +HCl               NaCl(aq) + 2H2O(l)

    H.     DAFTAR PUSTAKA

    Attkins, P. W.. 1999. Kimia Fisik Jilid 1. Jakarta: Erlangga

    Fraington, dkk. 1987. Kimia Fisik. Jakarta: Erlangga

    Kartimi . 2013 . Panduan Praktikum Kimia Dasar 2 . Cirebon : Pusat           Laboratorium    IAIN Syekh Nurjati

  • Eksistensialisme Jean-Paul Sartre

    Eksistensialisme Jean-Paul Sartre

    Jean-Paul Sartre; eksistensi lebih dulu ada dibanding esensi. Manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan

     dan selama hidupnya ia tidak lebih dari hasil kalkulasi dan komitmen-komitmennya di masa lalu. “Satu-satunya landasan nilai adalah kebebasan manusia”

    Filusuf Prancis ini sejak kecil tenggelam di lembar demi lembar buku, mengenal nama-nama sebelum mengenal dunia. Ia yang sejak remaja tak lagi mengenal Tuhan, menghambakan diri pada kesusastraan.

    Eksistensialisme adalah aliran filsafat yg pahamnya berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar.

    Eksistensialisme mempersoalkan keber-Ada-an manusia, dan keber-Ada-an itu dihadirkan lewat kebebasan. Pertanyaan utama yang berhubungan dengan eksistensialisme adalah soal kebebasan. Apakah kebebasan itu? bagaimanakah manusia yang bebas itu? dan sesuai dengan doktrin utamanya yaitu kebebasan, eksistensialisme menolak mentah-mentah bentuk determinasi terhadap kebebasan kecuali kebebasan itu sendiri.

    Jean-Paul Sartre, yang terkenal dengan diktumnya “human is condemned to be free”, manusia dikutuk untuk bebas, maka dengan kebebasannya itulah kemudian manusia bertindak. Pertanyaan yang paling sering muncul sebagai derivasi kebebasan eksistensialis adalah, sejauh mana kebebasan tersebut bebas? Bagi eksistensialis, ketika kebebasan adalah satu-satunya universalitas manusia, maka batasan dari kebebasan dari setiap individu adalah kebebasan individu lain.

    Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan sadar akan tanggung jawabnya dimasa depan adalah inti dari eksistensialisme. Sebagai contoh, mau tidak mau kita akan terjun ke berbagai profesi seperti dokter, desainer, insinyur, pebisnis dan sebagainya, tetapi yang dipersoalkan oleh eksistensialisme adalah, apakah kita menjadi dokter atas keinginan orang tua, atau keinginan sendiri?

    Kebebasan manusia

    Pertanyaannya, eksistensialisme adalah tradisi filsafat antropologis, yang memusatkan diri pada pertanyaan dan pernyataan tentang manusia. Lalu kenapa orang ini perlu repot-repot untuk membunuh Tuhan? Nietzsche dan Sartre punya jawaban yang hampir mirip; jika Tuhan telah mati, segala nilai-nilai menjadi absurd; tak ada artinya. Karena telah kehilangan landasannya yang suci. Maka manusia bebas untuk berkehendak; merdeka!

    Kebebasan bagi Sartre adalah kata kunci dalam filsafatnya. Kebebasan bukanlah rahmat bagi manusia, kebebasan juga bukanlah sebuah ciri yang membedakan manusia dengan yang lain, tapi manusia adalah kebebasan itu sendiri. Manusia bebas untuk mewujudkan apa yang diinginkannya. Namun kebebasan manusia ini sifatnya ambigu. Di satu sisi hal itu berarti ia berhak untuk mewujudkan kemanusiaannya secara penuh, namun di sisi lain ia membuat kita merasakan kegelisahan. Sartre pernah berkata  “manusia dikutuk dengan kebebasannya!”

    Perasaan gelisah ini bagi Sartre merupakan ciri dari kebebasan. Kegelisahan ini timbul dari beban tanggung jawab ketika menyadari bahwa Tuhan tak lagi relevan, dan ia sepenuhnya bebas untuk berkehendak serta berlaku. Dalam merealisasikan kehendak dan perbuatannya ini tak ada lagi landasan baginya, karena nilai-nilai ditentukan oleh dirinya sendiri. Sebuah alegori yang terkenal dari Sartre untuk menggambarkan kebebasan yang menggelisahkan ini adalah tentang seseorang yang berdiri di tepi jurang yang tinggi dan terjal. Menoleh ke bawah akan menimbulkan rasa cemas, karena membayangkan apa yang akan terjadi. Semuanya tergantung pada diri sendiri, apakah akan terjun, atau mundur untuk menyelamatkan diri. Tak ada orang yang menghalangi untuk terjun, segala yang kita perbuat akan kita pertanggungjawabkan sendiri. Masa depan saya seluruhnya tergantung keputusan saya.

    Orang lain adalah neraka bagi diri sendiri

    Salah satu pemikiran Sartre adalah tentang relasi antar manusia. Karena kontroversinya, tema ini pula yang paling sering menjadi sasaran dari para kritikusnya. ”Dosa

    asal saya” kata Sartre, ”adalah adanya orang lain”. Demikian penyimpulkan pandangan Sartre tentang hal ini. Hubungan antara aku dengan orang lain, senantiasa berdasarkan konflik. Mengingat doktrin tersebut, hakikat kesadaran manusia adalah intensionalitas, yakni kesadaran terhadap sesuatu, sekaligus mengobjekkan segala sesuatu. Sekarang bayangkan jika “Aku”, bertemu dengan “Aku-Aku” yang lain, kesadaran yang menegasi, bertemu dengan jenis yang sama. Dalam hal ini Sartre mengajukan sebuah contoh yang sangat bagus dan terkenal; saya sedang mengintip pada lubang kunci, ketika tiba-tiba mendengar langkah-langkah orang di belakang yang telah memergoki saya. Ketika tengah mengintip, apa yang dilihat adalah dunia yang berpusat pada saya, orang-orang yang tengah saya intip menjadi objek, dan sayalah subjeknya. Sementara, ketika seseorang memergoki saya, mendadak sayalah yang menjadi objek dalam kesadarannya. Mendadak saya didefinisikan (sebagai tukang ngintip, mau tahu urusan orang, dll).

    Bahkan menurutnya hubungan antara orang yang saling mencintai adalah relasi yang didasarkan atas sikap saling memperdaya. “Aku berpura-pura menjadi objek cinta pacarku, dan menyerahkan diri sepenuhnya. Padahal, sebenarnya “akulah yang mengobjekkan ia dan akulah subjeknya.”

  • Makalah Teori Belajar Ki Hajar Dewantara

    Teori Belajar Ki Hajar Dewantara

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Pemikiran-pemikiran tentang pendidikan telah dimulai sejak zaman Yunani Kuno, yakni ketika munculnya para filosof seperti Aristoteles, Socrates, Decrates, Plato, dan lainnya. Filosof-filosof ini telah menyusun berbagai filsafat yang secara prinsip membahas persoalan ontology (hakikat realitas), epistemology (pengetahuan), dan aksiologi (nilai). Hasil pemikiran mereka ini memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perkembangan pemikiran pendidikan hingga dewasa ini. Dari sekian banyak tokoh pemikir, tokoh-tokoh yang muncul dalam perdebatan teori kebanyakan dari pemikir-pemikir Barat dan Eropa, sedikit atau jarang dari pemikir-pemikir Timur. Walaupun demikian, pemikir Timur pun sebenarnya tidak kalah visionernya, sebut saja pemikir dari aliran Islam misalnya Al-Ghazali, Ibnu Khaldun, Ibnu Rusyd, dan lain-lain.

    Di Indonesia, muncul tokoh karismatik yang teguh pendirian dan visioner dalam persoalan pendidikan, yakni Ki Hajar Dewantara. Banyak hal yang dapat digali dari satu tokoh ini terutama tentang pendidikan.

    Pendidikan merupakan suatu proses di dalam menemukan transformasi baik dalam diri, maupun komunitas. Oleh sebab itu, proses pendidikan yang benar adalah membebaskan seseorang dari berbagai kungkungan, intimidasi, dan eksploitasi. Disinilah letak afinitas dari pedagogik, yaitu membebaskan manusia secara komprehensif dari ikatan-ikatan yang terdapat diluar dirinya atau dikatakan sebagai sesuatu yang mengikat kebebasan seseorang.

    Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Bab I, pasal I ayat (1) menyatakan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mengembangkan potensi siswa untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

    Pandangan klasik tentang pendidikan pada umumnya dikatakan sebagai pranata yang dapat dijalankan pada tiga fungsi sekaligus: Pertama, menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat di masa depan. Kedua, mentransfer atau memindahkan pengetahuan, sesuai dengan peranan yang diharapkan, dan Ketiga, mentransfer nilai-nilai dalam rangka memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidup (survive) masyarakat dan peradaban-perbedaan.

    Pendidikan tidak sekedar mentransfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) kepada peserta didik, tetapi lebih dari itu, yakni mentransfer nilai (transfer of value). Selain itu, pendidikan juga merupakan kerja budaya yang menuntut peserta didik untuk selalu mengembangkan potensi dan daya kreatifitas yang dimilikinya agar tetap survive dalam hidupnya. Karena itu, daya kritis dan partisipatif harus selalu muncul dalam jiwa peserta didik.

    B.     Rumusan masalah

    Adapun rumusan masalah dari teori belajar Ki Hajar Dewantara sebagai berikut :

    1.      Bagaimanakah biografi Ki Hajar Dewantara ?

    2.      Bagaimanakah Ki Hajar Dewantara dengan ajarannya ?

    3.      Bagaimana pandangan Ki Hajar Dewantara dalam pendidikan ?

    4.      Bagaimana aplikasi pandangan Ki Hajar Dewantara dalam pendidikan ?

    5.      Apa kaitan teori Ki  Hajar Dewantara dengan Konstruktivisme ?

    6.      Bagaimanakah Peranan Ki Hajar Dewantara dalam perkembangan pendidikan di Indonesia saat ini ?

    C.    Tujuan

    1.      Mengetahui bagaimana biografi Ki Hajar Dewantara

    2.      Memahami ajaran Ki Hajar Dewantara

    3.      Agar mengetahui bagaimana pandangan Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan

    4.      Untuk mengetahui bagaimana aplikasi Ki Hajar Dewantara dalam pendidikan

    5.      Mengetahui kaitan teori Ki Hajar Dewantara dengan kontruktivisme

    6.      Mengetahui peranan Ki Hajar Dewantara dalam perkembangan pendidikan di Indonesia saat ini

    BAB II

    PEMBAHASAN

    A.    Biografi Ki Hajar Dewantara

    Suwardi Suryaningrat atau yang lebih dikenal dengan Ki Hajar Dewantara lahir pada tanggal 2 Mei 1889 di Yogyakarta. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Beliau adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Ia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda. Pernah ia di buang ke negeri Belanda oleh pemerintah Belanda dari tanggal 6 September 1913 sampai dengan 5 September 1919, karena kritik pedasnya pada pemerintah Hindia Belanda saat itu. Karena pengabdian dan prestasinya yang besar dalam bidang pendidikan, beliau menjadi menteri pendidikan Indonesia yang pertama pada tahun 1956 di era pemerintahan Soekarno. Beliau wafat pada tanggal 26 April 1959 dan dimakamkan dengan pemakaman negara secara militer serta diangkat menjadi Perwira Tinggi oleh pemerintah. Beliau kini dikenang sebagai Bapak Pendidikan bangsa Indonesia. Dan pemerintah Republik Indonesia kemudian menetapkan hari lahirnya, tanggal 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional.

       Berbagai Penghargaan

    ·         Gelar Doktor Kehormatan (honoris causa) di bidang Ilmu Kebudayaan dari Universitas Gadjah Mada

    ·         Diangkat menjadi Pahlawan Nasional pada tanggal 28 Nopember 1959 Dianugerahi Presiden penghargaan Bintang Mahaputra I pada tanggal 17 Agustus 1960

    ·         Dianugerahi tanda kehormatan Satya Lencana Kemerdekaan pada tanggal 20 Mei 1961

    Perubahan Nama dan Prinsip Hidup Ki Hajar Dewantara

    Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat  bebas dekat dengan rakyat. Ki Hajar Dewantara sendiri dengan mengubah namanya ingin menunjukkan perubahan sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan Negara. Oleh karena itu, nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi perantara antara Tuhan dan manusia, mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini). Sebagai pendidik yang merupakan perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya adalah berwatak pandita juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa keselamatan.

    B.     Ki Hajar Dewantara dan Ajarannya.

    Ki Hadjar Dewantara dikenal sebagai tokoh yang berjuang untuk member jawaban terhadap pertanyaan: Pendidikan apakah yang cocok untuk anak-anak Indonesia? Jawabannya adalah Pendidikan Nasional. Untuk menyelengarakan pendidikan nasional beliau mendirikan Lembaga Pendidikan Nasional Taman Siswa yang kemudian dikenal sebagai Perguruan Taman Siswa. Perguruan Taman Siswa bertujuan untuk membuat rakyat pandai, sebab Ki Hadjar Dewantara berkeyakinan bahwa perjuangan pergerakan tidak akan berhasil tanpa kepandaian. Untuk itu beliau mengemukakan konsepnya mengenai Pendidikan Nasional yang direalisasi mulai tanggal 3 Juli 1922 dengan mendirikan Perguruan Taman Siswa di Yogyakarta dengan tugas-tugasnya :

    a.       Pertama adalah untuk mendidik rakyat agar berjiwa kebangsaan dan berjiwa merdeka, untuk menjadi kader-kader yang sanggup dan mampu mengangkat derajat nusa dan bangsanya sejajar dengan bangsa lain yang merdeka.

    b.      Kedua membantu perluasan pendidikan dan pengajaran yang pada waktu itu sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, sedang sekolah yang disediakan oleh pemerintah Belanda sangat terbatas.

    Ki Hajar Dewantara telah menciptakan sistem pendidikan yang merupakan sistem pendidikan perjuangan. Falsafah pendidikannya adalah menentang falsafah penjajahan dalam hal ini falsafah Belanda yang berakar pada budaya Barat. Falsafah pendidikan Ki Hajar Dewantara bukan semata-mata sistem pendidikan perjuangan, melainkan juga merupakan suatu pernyataan falsafah dan budaya bangsa Indonesia sendiri. Sistem pendidikan tersebut kaya akan konsep-konsep kependidikan yang asli. Ki Hajar Dewantara mengembangkan sistem pendidikan melalui Perguruan Taman Siswa yang mengartikan pendidikan sebagai upaya suatu bangsa untuk memelihara dan mengembangkan benih turunan bangsa itu. Untuk itu, Ki Hajar Dewantara mengembangkan metode among sebagai sistem pendidikan yang didasarkan asas kemerdekaan dan kodrat alam. Sistem pendidikan Ki Hadjar Dewantara itu dikembangkan berdasarkan lima asas pokok yang disebut Pancadarma Taman Siswa, yang meliputi:

    a.       Asas kemerdekaanyang berarti disiplin diri sendiri atas dasar nilai hidup yang tinggi, baik hidup sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.

    b.      Arti merdeka adalah sanggup dan mampu untuk berdiri sendiri untuk mewujudkan hidup diri sendiri, hidup tertib dan damai dengan kekuasaan atas diri sendiri. Merdeka tidak hanya berarti bebas tetapi harus diartikan sebagai kesanggupan dan kemampuan yaitu kekuatan dan kekuasaan untuk memerintah diri pribadi.

    c.       Asas kodrat alam, yang berarti bahwa pada hakikatnya manusia itu sebagai makluk, adalah satu dengan kodrat alam. Manusia tidak dapat lepas dari kodrat alam dan akan berbahagia apabila dapat menyatukan diri dengan kodrat alam yang mengandung kemajuan itu. Oleh karena itu, setiap individu harus berkembang dengan sewajarnya.

    d.      Asas kebudayaan, yang berarti bahwa pendidikan harus membawa kebudayaan kebangsaan itu ke arah kemajuan yang sesuai dengan kecerdasan zaman, kemajuan dunia dan kepentingan hidup lahir dan batin rakyat pada setiap zaman dan keadaan.

    e.       Asas kebangsaan, yang berarti tidak boleh bertentangan dengan kemanusiaan, malah harus menjadi bentuk kemanusiaan yang nyata. Oleh karena itu asas kebangsaan ini tidak mengandung arti permusuhan dengan bangsa lain melainkan mengandung rasa satu dengan bangsa sendiri, satu dalam suka dan duka, rasa satu dalam kehendak menuju kepada kebahagiaan hidup lahir dan batin seluruh bangsa.

    f.       Asas kemanusiaan, yang menyatakan bahwa darma setiap manusia itu adalah perwujudan kemanusiaan yang harus terlihat pada kesucian batin dan adanya rasa cinta kasih terhadap sesama manusia dan terhadap makluk ciptaan Tuhan seluruhnya.

    C.    Pandangan Ki Hajar Tentang Pendidikan

    Dalam pandangan Ki Hajar Dewantara kedewasaan bisa diartikan sebagai kesempurnaan hidup yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang selaras dengan alamnya dan masyarakat. Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan secara umum sebagai daya upaya untuk mewujudkan perkembangan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelek) dan jasmani anak, menuju ke arah masa depan yang lebih baik.

    Kedewasaan akan tercapai pada akhir windu ketiga, yaitu tercapainya kesempurnaan hidup selaras dengan alam anak dan masyarakat. Jadi dapat diartikan bahwa pendidikan terutama berlangsung sejak anak lahir hingga anak berusia sekitar 24 tahun.

    “Ki Hajar menyetujui teori Konvergensi, dimana perkembangan manusia itu ditentukan oleh dasar (nature) dan ajar (nurture). Anak yang baru lahir diibaratkan keertas putih yang sudah ada tulisannya, tetapi belum jelas”.

    Selanjutnya Ki Hajar juga berpendapat bahwa perkembangan anak didik mulai dari lahir hingga dewasa dibagi atas fase-fase sebagai berikut: (1) Jaman Wiraga (0-8 th) merupakan periode yang amat penting bagi perkembangan badan dan pandca indra. (2) Jaman Wicipta (8-16 th) merupakan masa perkembangan untuk daya-daya jiwa terutama pikiran anak, dan (3) Jaman wirama (16-24 th) masa untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat di mana anak mengambil bagian sesuai dengan cita-cita hidupnya.

    Selain itu ajaran beliau yang tidak kalah penting adalah yang Konsep dasar kependidikan Ki Hajar Dewantara yang sekaligus diterima sebagai prinsip kepemimpinan bangsa Indonesia dikenal sebagai sistem among, yang antara lain berbunyi:

    a.       “ing ngarsa sung tulada” berarti guru sebagai pemimpin (pendidik) berdiri di depan dan harus mampu memberi teladan kepada anak didiknya. Guru harus bisa menjaga tingkah lakunya supaya bisa menjadi teladan. Dalam pembelajaran, apabila guru mengajar menggunakan metode ceramah, ia harus benar-benar siap dan tahu bahwa yang diajarkannya itu baik dan benar.

    b.      “ing madya mangun karsa” yang berarti bahwa seorang pemimpin (pendidik) ketika berada di tengah harus mampu membangkitkan semangat, berswakarsa dan berkreasi pada anak didik. Hal ini dapat diterapkan bila guru menggunakan metode diskusi. Sebagai nara sumber dan sebagai pengarah guru dapat memberi masukan-masukan dan arahan.

    c.       “tut wuri handayani” yang berarti bahwa seorang pemimpin (pendidik) berada di belakang, mengikuti dan mengarahkan anak didik agar berani berjalan di depan dan sanggup bertanggung jawab. Ketika guru berada di tengahmembangun semangat, di belakang memberi dorongan, dapat terjadi anak didik akan berusaha bersaing, berkompetisi menunjukkan kemampuannya yang terbaik.

    Metode Among

    Cara mengajar dan mendidik dengan menggunakan “metode Among” dengan semboyan Tut Wuri Handayani artinya mendorong para anak didik untuk membiasakan diri mencari dan belajar sendiri. Mengemong (anak) berarti membimbing, member kebebasan anak bergerak menurut kemauannya. Guru atau pamong mengikuti dari belakang dan memberi pengaruh, bertugas mengamat amati dengan segala perhatian, pertolongan diberikan apabila dipandang perlu. Anak didik dibiasakan bergantung pada disiplin kebatinannya sendiri, bukan karena paksaan dari luar atau perintah orang lain. Among berarti membimbing anak dengan penuh kecintaan dan mendahulukan kepentingan sang anak. Dengan demikian anak dapat berkembang menurut kodratnya. Hubungan murid dan pamong seperti keluarga. Murid memanggil gurunya dengan sebutan “ibu” atau “bapak” berbeda dengan sekolah lain pada jaman itu yang memanggil gurunya dengan sebutan “tuan”, “nyonya”, “nona”, “ndoro”, “den Behi” atau “mas Behi”.

    Dengan menggunakan dasar kekeluargaan dalam metode among hubungan antara murid dan guru sangat erat. Pengertian keluarga juga dipakai untuk sendi persatuan. Sifat keluarga mengandung unsur unsure.

    1.      Cinta mencintai sesama anggota keluarga

    2.      Sesama hak dan sesama kewajiban

    3.      Tidak ada nafsu menguntungkan diri dengan merugikan anggota lain.

    4.      Kesejahteraan bersama

    5.      Sikap toleran

    Selain asas kekeluargaan Pendidikan di Taman Siswa menggunakan sistem Tri Pusat.yaitu :

    1.      Pusat keluarga, buat mendidik budi pekerti dan laku social

    2.      Pusat perguruan, sebagai balai wiyata untuk usaha mencari dan memberikan ilmu pengetahuan di samping pendidikan intelek

    3.      Pusat pergerakan pemuda, sebagai daerah merdekanya kaum pemuda atau “kerajaan Pemuda” untuk melakukan penguasaan diri, yang amat penting untuk pembentukan watak.

    Dalam memberi pelajaran, supaya tidak membosankan dan menyenangkan, contoh-contoh yang dipakai diambilkan dari kehidupan sehari-hari yang dikenal oleh murid. Dengan demikian pelajaran yang diberikan menjadi gamblang (jelas) dan dapat meresap pada ingatan anak didik. Hal ini cocok dengan model kontekstual.

    Fatwa Sendi Kehidupan

    Ki Hadjar Dewantara juga mengajarkan bahwa dalam mempelajari sesuatu sebaiknya bersendikan “tetep-mantep-antep”, “ngandel-kendel-bandel-kandel” dan “Neng-ning-nung- nang

    a.       Tetep” atau tetap, maksudnya untuk mencapai apa yang kita kehendaki perlulah kita selalu tetap dalam pekerjaan kita jangan selalu menengok kanan kiri. Kita harus berjalan tertib dan maju, setia dan taat terhadap segala asas-asas kita. Kita harus selalu Mantep” atau berbesar hati, agar tidak akan ada kekuatan yang akan menahan langkah kita atau membelokkan langkah kita. Sehingga dengan sendirinya perbuatan kita akan antep” atau berat (berbobot), sehingga tidak mudah kita ditahan, dihambat atau dilawan.

    b.       Ngandel” atau percaya maksudnya yakin kepada penguasa (Tuhan) dan kekuatan diri. Kendel” atau berani, yaitu menghindarkan rasa takut atau wasangka. Bandel” atau tahan, tawakal, hatinya kuat menderita. Kandel” atau tebal, yang meskipun menderita namun kuat badan dan tubuhnya. Keempat tabiat ini saling berhubungan : “barang siapa dapat percaya tentu akan berani, lalu mudahlah ia tawakal dan dengan sendirinya ia akan tebal tubuhnya.”

    c.       Neng”, berarti meneng” yaitu tenteram lahir batinnya. Ning” dari perkataan wening” dan bening” berarti jernih pikirannya, mudah dapat membedakan barang yang hak dan batal, yang benar dan yang salah

    d.      Nung” dari kata “hanung” berarti kuat, sentosa dalam kemauannya, yaitu kokoh dalam segala kekuatannya, lahir dan batin, untuk mencapai apa yangdikehendakinya Nang” yaitu menang” atau dapat wewenang” atau berhak atas buah usahanya.

    Keempat tabiat ini saling berhubungan : barang siapa dapat neng” tentu mudah ia akan berpikir ning”, lalu menjadi kuat atau nung” kemauannya, dan dengan sendirinya akan menang”.

    D.    Aplikasi Pandangan Ki Hadjar Dewantara Dalam Pendidikan

    Pada jaman kemajuan teknologi sekarang ini, sebagian besar manusia dipengaruhi perilakunya oleh pesatnya perkembangan dan kecanggihan teknologi (teknologi informasi). Banyak orang terbuai dengan teknologi yang canggih, sehingga melupakan aspek-aspek lain dalam kehidupannya, seperti pentingnya membangun relasi dengan orang lain, perlunya melakukan aktivitas sosial di dalam masyarakat, pentingnya menghargai sesama lebih dari pada apa yang berhasil dibuatnya, dan lain-lain.  Seringkali teknologi yang dibuat manusia untuk membantu manusia tidak lagi dikuasai oleh manusia tetapi sebaliknya manusia yang terkuasai oleh kemajuan teknologi. Manusia tidak lagi bebas menumbuh kembangkan dirinya menjadi manusia seutuhnya dengan segala aspeknya. Keberadaan manusia pada zaman ini seringkali diukur dari “to have” (apa saja materi yang dimilikinya) dan “to do” (apa saja yang telah berhasil atau tidak berhasil dilakukannya) dari pada keberadaan pribadi yang bersangkutan (“to be” atau “being”nya). Dalam pendidikan perlu ditanamkan sejak dini bahwa keberadaan seorang pribadi, jauh lebih penting dan tentu tidak persis sama dengan apa yang menjadi miliknya dan apa yang telah dilakukannya. Sebab manusia tidak sekedar pemilik kekayaan dan juga menjalankan suatu fungsi tertentu. Pendidikan yang humanis menekankan pentingnya pelestarian eksistensi manusia, dalam arti membantu manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya, sebagai manusia yang utuh berkembang, (menurut Ki Hajar Dewantara menyangkut daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif)). Singkatnya, “educate the head, the heart, and the hand !” Di tengah-tengah maraknya globalisasi komunikasi dan teknologi, manusia makin bersikap individualis. Mereka “gandrung teknologi”, asyik dan terpesona dengan penemuan-penemuan atau barang-barang baru dalam bidang IPTEK yang serba canggih, sehingga cenderung melupakan kesejahteraan dirinya sendiri sebagai pribadi manusia dan semakin melupakan aspek sosialitas dirinya. Oleh karena itu, pendidikan dan pembelajaran hendaknya diperbaiki sehingga memberi keseimbangan pada aspek individualitas ke aspek sosialitas atau kehidupan kebersamaan sebagai masyarakat manusia. Pendidikan dan pembelajaran hendaknya juga dikembalikan kepada aspek-aspek kemanusiaan yang perlu ditumbuh kembangkan pada diri peserta didik. Ki Hajar Dewantara, pendidik asli Indonesia, melihat manusia lebih pada sisi kehidupan psikologiknya. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan sampai sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi. Dari titik pandang sosio-anthropologis, kekhasan manusia yang membedakannya dengan makhluk lain adalah bahwa manusia itu berbudaya, sedangkan makhluk lainnya tidak berbudaya. Maka salah satu cara yang efektif untuk menjadikan manusia lebih manusiawi adalah dengan mengembangkan kebudayaannya. Persoalannya budaya dalam masyarakat itu berbeda-beda. Dalam masalah kebudayaan berlaku pepatah: “Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.” Manusia akan benar-benar menjadi manusia kalau ia hidup dalam budayanya sendiri. Manusia yang seutuhnya antara lain dimengerti sebagai manusia itu sendiri ditambah dengan budaya masyarakat yang melingkupinya. Ki Hajar Dewantara sendiri dengan mengubah namanya ingin menunjukkan perubahan sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan negara.

    Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan sebagai pendidik pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau figure keteladanan, baru kemudian sebagai fasilitator atau pengajar. Oleh karena itu, nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi perantara antara Tuhan dan manusia, mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini). Sebagai pendidik yang merupakan perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya adalah berwatak pandita juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa keselamatan. Manusia merdeka adalah tujuan pendidikan Taman Siswa. Merdeka baik secara fisik, mental dan kerohanian. Namun kemerdekaan pribadi ini dibatasi oleh tertib damainya kehidupan bersama dan ini mendukung sikap-sikap seperti keselarasan, kekeluargaan, musyawarah, toleransi, kebersamaan, demokrasi, tanggungjawab dan disiplin. Sedangkan maksud pendirian Taman Siswa adalah membangun budayanya sendiri, jalan hidup sendiri dengan mengembangkan rasa merdeka dalam hati setiap orang melalui media pendidikan yang berlandaskan pada aspek-aspek nasional. Landasan filosofisnya adalah nasionalistik dan universalistik. Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang merdeka dan independen baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual. Universal artinya berdasarkan pada hukum alam (natural law), segala sesuatu merupakan perwujudan dari kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan, merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian tumbuh dalam diri (hati) manusia. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Maka hak setiap individu hendaknya dihormati, pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan independen secara fisik, mental dan spiritual. pendidikan hendaknya tidak hanya mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan dari orang kebanyakan, pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu tetapi perbedaan antara masing-masing pribadi harus tetap dipertimbangkan. pendidikan hendaknya memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan hara diri, setiap orang harus hidup sederhana dan guru hendaknya rela mengorbankan kepentingan-kepentingan pribadinya demi kebahagiaan para peserta didiknya. Peserta didik yang dihasilkan adalah peserta didik yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan bertanggungjawab atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain. Metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh (care and dedication based on love). Yang dimaksud dengan manusia merdeka adalah seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan selaras dari segala aspek kemanusiaannya dan yang mampu menghargai dan menghormati kemanusiaan setiap orang.

    Oleh karena itu bagi Ki Hajar Dewantara pepatah ini sangat tepat yaitu “educate the head, the heart, and the hand”. Guru yang efektif memiliki keunggulan dalam mengajar (fasilitator); dalam hubungan (relasi dan komunikasi) dengan peserta didik dan anggota komunitas sekolah; dan juga relasi dan komunikasinya dengan pihak lain (orang tua, komite sekolah, pihak terkait); segi administrasi sebagai guru; dan sikap profesionalitasnya. Sikap-sikap profesional itu meliputi antara lain: keinginan untuk memperbaiki diri dan keinginan untuk mengikuti perkembangan zaman. Maka penting pula membangun suatu etos kerja yang positif yaitu: menjunjung tinggi pekerjaan; menjaga harga diri dalam melaksanakan pekerjaan, dan keinginan untuk melayani masyarakat. Dalam kaitan dengan ini penting juga performance/penampilan seorang profesional: secara fisik, intelektual, relasi sosial, kepribadian, nilai-nilai dan kerohanian serta mampu menjadi motivator. Singkatnya perlu adanya peningkatan mutu kinerja yang profesional, produktif dan kolaboratif demi pemanusiaan secara utuh setiap peserta didik. Akhirnya kita perlu menyadari bahwa tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia muda. Pendidikan hendaknya menghasilkan pribadi-pribadi yang lebih manusiawi, berguna dan berpengaruh di masyarakatnya, yang bertanggungjawab atas hidup sendiri dan orang lain, yang berwatak luhur dan berkeahlian.

    E.     Ki  Hajar Dewantara dan Konstruktivisme

    Ki Hajar Dewantara dan konstruktivisme dalam pendidikan mempunyai kesamaan. Keduanya sama-sama menekankan bahwa titik-berat proses belajar-mengajar terletak pada murid. Pengajar berperan sebagai fasilitator atau instruktur yang membantu murid mengkonstruksi koseptualisasi dan solusi dari masalah yang dihadapi. Mereka beperpendapat bahwa pembelajaran yang optimal adalah pembelajaran yang berpusat pada murid (student center learning).

    Konstruktivisme yang sudah besar pengaruhnya sejak periode 1930-an dan 1940-an di Amerika, juga di Eropa, secara langsung atau tidak langsung dasar-dasarnya pernah dipelajari oleh Ki Hadjar. Dasar pertama yang dari pendekatan konstruktivisme dalam pendidikan adalah ‘teori konvergensi’ yang menyatakan bahwa pengetahuan manusia merupakan hasil interaksi dari faktor bawaan (nature) dan faktor pengasuhan (nurture). Dalam tulisannya berjudul ”Tentang dasar dan ajar”, Ki Hadjar menunjukkan keberpihakannya kepada teori konvergensi. Menurutnya, baik ‘dasar’ (faktor bawaan) maupun ‘ajar’ (pendidikan) berperan dalam pembentukan watak seseorang.

    Dalam penerapannya di bidang pendidikan, oleh Ki Hajar teori konvergensi diturunkan menjadi sistem pendidikan yang memerdekakan siswa atau yang disebutnya ‘sistem merdeka’. Dalam tulisan “Ketertiban, Perintah dan Paksaan. Faham Tua dan Faham Baru”, Ki Hadjar mengemukakan 10 syarat untuk melakukan ‘sistem merdeka’ agar memperoleh hasil yang baik. Inti dari syarat-syarat itu dalam hemat saya adalah memfasilitasi siswa untuk memperoleh pengalaman yang dapat dijadikan media pembelajaran, mencakup pembelajaran tentang konsekuensi logis dari tindakan sesuai dengan hukum sebab-akibat dan kesadaran tentang pentingnya belajar bagi kehidupan siswa dalam keseharian mereka. Ki Hadjar menunjukkan bahwa pendidikan diselenggarakan dengan tujuan membantu siswa menjadi manusia yang merdeka dan mandiri, serta mampu memberi konstribusi kepada masyarakatnya.

    Menjadi manusia merdeka berarti a). tidak hidup terperintah, b). berdiri tegak karena kekuatan sendiri, dan c). cakap mengatur hidupnya dengan tertib. Singkatnya, pendidikan menjadikan orang mudah diatur tetapi tidak bisa disetir. Jika dicermati, maka ‘sistem merdeka’ dari Ki Hadjar sejalan dengan pandangan konstruktivisme. Dasar pemikiran konstruktivisme adalah: pengetahuan merupakan hasil konstruksi manusia. Orang yang belajar tidak hanya meniru atau mencerminkan apa yang yang diajarkan, melainkan menciptakan sendiri. Menurut ahli konstruktivisme, pengetahuan tidak mungkin ditransfer kepada orang lain karena setiap orang membangun pengetahuannya sendiri.

    Penerapan konstruktivisme dalam proses belajar-mengajar menghasilkan metode pengajaran yang menekankan aktivitas utama pada siswa. Teori pendidikan yang didasari konstruktivisme memandang murid sebagai orang yang menanggapi secara aktif objek-objek dan peristiwa-peristiwa dalam lingkungannya, serta memperoleh pemahaman tentang seluk-beluk objek-objek dan peristiwa-peristiwa itu. Menurut teori ini, perlu disadari bahwa siswa adalah subjek utama dalam kegiatan penemuan pengetahuan. Mereka menyusun dan membangun pengetahuan melalui berbagai pengalaman yang memungkinkan terbentuknya pengetahuan. Mereka harus menjalani sendiri berbagai pengalaman yang pada akhirnya memberikan percikan pemikiran (insight) tentang pengetahuan-pengetahuan tertentu. Hal terpenting dalam pembelajaran adalah siswa perlu menguasai bagaimana caranya belajar. Dengan itu, ia bisa jadi pembelajar mandiri dan menemukan sendiri pengetahuan-pengetahuan yang butuhkan dalam kehidupan.

    Pandangan konstruktivisme tentang pendidikan sejalan dengan pandangan Ki Hadjar yang menekankan pentingnya siswa menyadari alasan dan tujuan ia belajar. Baginya perlu dihindari pendidikan yang hanya menghasilkan orang yang sekadar menurut dan melakukan perintah (dalam bahasa Jawa=dhawuh). Ki Hadjar mengartikan mendidik sebagai “berdaya-upaya dengan sengaja untuk memajukan hidup-tumbuhnya budi-pekerti (rasa-fikiran, rokh) dan badan anak dengan jalan pengajaran, teladan dan pembiasaan” Menurutnya, jangan ada perintah dan paksaan dalam pendidikan. Pendidik adalah orang yang mengajar, memberi teladan dan membiasakan anak didik untuk menjadi manusia mandiri dan berperan dalam memajukan kehidupan masyarakatnya. Jika pun ada ganjaran dan hukuman, maka “ganjaran dan hukuman itu harus datang sendiri sebagai hasil atau buahnya segala pekerjaan dan keadaan.”

    Teori perkembangan dari tokoh psikologi kognitif, Jean Piaget (1954) mengatakan, bahwa anak mengkonstruksi sendiri pengetahuannya melalui pengalaman bertemu dengan objek-objek di lingkungan. Merujuk Piaget, anak adalah pembelajar yang pada dirinya sudah memiliki motivasi untuk mengetahui dan akan memahami sendiri konsekuensi dari tindakan-tindakannya. Teori Piaget juga merupakan salah satu dasar dari konstruktivisme. Ini menunjukkan adanya kesesuaian antara pemikiran Ki Hadjar dan konstruktivisme sama-sama memandang pengajar sebagai mitra para siswa untuk menemukan pengetahuan. Mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke murid melainkan kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Kegiatan mengajar di sini adalah sebuah partisipasi dalam proses belajar. Pengajar ikut aktif bersama siswa dalam membentuk pengetahuan, mencipta makna, mencari kejelasan, bersikap kritis dan memberikan penilaian-penilaian terhadap berbagai hal. Mengajar dalam konteks ini adalah membantu siswa untuk berpikir secara kritis, sistematis dan logis dengan membiarkan mereka berpikir sendiri.

    Sejalan dengan konstruktivisme, Ki Hadjar yang memakai semboyan “Tut Wuri Handayani”, menempatkan pengajar sebagai orang yang berada di belakang siswa, membimbing dan mendorong siswa untuk belajar, memberi teladan, serta membantu siswa membiasakan dirinya untuk menampilkan perilaku yang bermakna dan berguna bagi masyarakatnya. Pengajar harus banyak terlibat dengan siswa agar ia memahami konteks yang melingkupi kegiatan belajar siswa. Ia juga melibatkan siswa dalam menentukan apa yang hendak dibicarakan dalam kegiatan belajar-mengajar sehingga siswa benar-benar terlibat. Keterlibatan pengajar dengan siswa pada saat-saat siswa sedang berjuang menemukan berbagai pengetahuan sangat diperlukan untuk menumbuhkan rasa percaya siswa baik pada dirinya sendiri maupun pada pengajar.

    Pengajar harus memiliki fleksibilitas pikiran yang tinggi agar dapat memahami dan menghargai pemikiran siswa karena seringkali siswa menampilkan pendapat yang berbeda bahkan bertentangan dengan pemikiran pengajar. Apa yang dikatakan oleh murid dalam menjawab sebuah pertanyaaan adalah masuk akal bagi mereka saat itu. Jika jawaban itu jauh bertentangan dengan prinsip-prinsip keilmuan atau membahayakan, maka pengajar harus hati-hati dalam memberi pengarahan. Jangan sampai pengarahan yang diberikan menghilangkan rasa ingin tahu siswa atau menimbulkan konflik antara pengajar dengan siswa. Dalam perkataan Ki Hajar, “Si pendidik hanya boleh membantu kodrat-iradatnya “keadilan”, kalau buahnya segala pekerjaan dan keadaan itu tidak timbul karena adanya rintangan, atau kalau buahnya itu tidak terlihat nyata dan terang.”

    Pada dasarnya, secara formal pendidikan yang dijalani oleh Ki Hajar adalah pendidikan Barat. Dasar pemahaman tentang pendidikan diperolehnya dari teori-teori yang dikembangkan para pemikir Barat, di antaranya filsuf Yunani Sokrates dan Plato, tokoh pendidikan Friederich Fröbel dan Maria Montessori, Rudolf Steiner, Karl Groos, serta ahli ilmu jiwa Herber Spencer. Itu bisa kita lihat dari tulisan-tulisan Ki Hadjar yang banyak merujuk mereka.

    Dari banyaknya rujukan yang digunakan, tampak jelas Ki Hadjar merupakan orang yang giat belajar dan berwawasan luas. Pemikiran-pemikiran yang dirujuknya adalah pemikiran-pemikiran mutakhir di jamannya. Ia tampak sebagai orang yang terus menambah dan mengembangkan pemahamannya tentang pendidikan. Saya menilainya sebagai tokoh yang progresif dan berorientasi ke depan dalam bidang pendidikan Indonesia. Tetapi yang menjadikan pemikiran Ki Hadjar berharga bagi Indonesia, khususnya dalam bidang pendidikan adalah kemampuannya menempatkan pemikiran-pemikiran mutakhir itu dalam konteks Indonesia. Ki Hadjar tidak hanya menyerap atau meniru pemikiran para ahli, melainkan memodifikasi dan mengembangkannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia.

    Dalam karya-karyanya, dapat dicermati bagaimana Ki Hadjar mengembangkan teori dan sistem pendidikan yang sesuai dengan konteks Indonesia. Ia menganjurkan pelibatan keluarga sebagai agen utama dalam pendidikan. Sebagai contoh, dalam tulisannya “Mobilisasi Intelektual Nasional untuk Mengadakan Wajib Belajar”, Ki Hadjar mengajukan “Asas Kultural dan Sosial” dalam proses pembelajaran rakyat Indonesia, khususnya pembelajaran membaca dan menulis. Di situ ia mengemukakan ‘Methode-Keluarga’ sebagai “laku pengajaran, yang karena praktisnya, mudah dilakukan oleh tiap-tiap orang yang sudah pandai membaca untuk dipakai bagi tiap-tiap orang di dalam keluarga.” Dalam banyak tulisan, Ki Hadjar juga menempatkan pentingnya peran keluarga dalam pendidikan. Dalam tulisan “Pendidikan Keluarga”. Ki Hadjar menyimpulkan perlunya anak-anak dikembalikan “ke dalam alam keluarganya”. Keluarga adalah hak anak dan oleh karena itu jangan merampas anak dari keluarganya. Di sisi lain, jangan juga keluarga membuang anak ke sekolah karena kebutuhan utama anak ada dalam keluarga.

    Bagi Ki Hadjar, keluarga adalah alam yang paling penting bagi pertumbuhan anak. Apalagi di Indonesia, pola hidup kekeluargaan dan kelekatan orang dengan keluarga dinilai sangat penting. “Mulai dari kecil hingga dewasa anak-anak hidup di tengah keluarganya.” Begitu tulis Ki Hajar. “Ini berarti bahwa anak-anak itu baik di dalam “masa peka”-nya maupun di dalam periode bertumbuhnya fikiran  mendapat pengaruh yang sebanyak-banyaknya serta sedalam-dalamnya dari keluarganya masing-masing.” Keluarga merupakan lingkungan yang sangat bermakna bagi anak. Apa yang terjadi dalam keluarga merupakan fenomena yang dihayati anak sebagai peristiwa penting dan oleh karena itu dijadikan titik-tolak anak untuk belajar dan berusaha memahami dunia. Pendidikan yang tidak relevan dengan keluarga akan cenderung diabaikan anak sebab dinilai bukan sebagai hal yang bermakna.

    Pemikiran Ki Hajar tentang pentingnya keluarga sebagai komunitas yang bermakna bagi anak sejalan dengan konstruktivisme yang memandang bahwa pembelajaran dan perolehan pengetahuan pada anak akan terjadi jika dan hanya jika apa yang akan dipelajari dan diketahui itu relevan dengan kehidupan anak. Objek-objek yang bermakna (dalam arti dianggap penting) akan dikenali dan dipelajari sehingga representasinya disimpan dalam kognisi (pikiran) anak dalam bentuk pengetahuan. Sebaliknya objek-objek yang tak bermakna akan diabaikan oleh anak. Anak-anak memilih sendiri pengetahuan apa yang akan dikonstruksi dalam pikiran berdasarkan derajat kepentingannya. Lingkungan sosial, dengan keluarga sebagai pusat, memberikan dasar penting-tidaknya suatu pengetahuan bagi anak. Pemikiran ini juga sejalan dengan pemikiran Vygotsky (1978) yang menjadi salah satu dasar dari konstruktivisme-sosial.

    Pemikiran tentang pendidikan yang berkonteks Indonesia merupakan sumbangan orisinil dari Ki Hadjar. Meski dewasa ini sudah banyak ahli pendidikan dan psikologi pendidikan yang menekankan pentingnya konteks sosial-budaya tempat siswa hidup, tetap saja rumusan tentang pendidikan yang berkonteks Indonesia yang komprehensif baru dikemukakan oleh Ki Hadjar. Dalam kumpulan karyanya tentang pendidikan, kita temukan berbagai rumusan konsep pendidikan yang berkonteks Indonesia itu. Di antaranya dalam tulisan “Pendidikan dan pengajaran nasional”, “Taman Madya”, “Taman Siswa dan Shanti Niketan”, “Olah gending minangka panggulawentah atau Olah gending sebagai pendidikan”, “Kesenian dalam Pendidikan”, “Faedahnya sistim pondok’, dan “Pengajaran budipekerti”. Di dalamnya juga termasuk pentingnya pendidikan memfasilitasi siswa untuk mempelajari etika, ada-istiadat dan budi-pekerti agar siswa nantinya dapat hidup mandiri dan ikut berkontribusi dalam masyarakatnya.

    Keterbukaan pikiran disertai dengan kerangka orientasi ke masa depan melahirkan progresivitas pemikiran Ki Hajar. Ia menjadi tokoh Indonesia yang berpikir ke depan melalui pergaulannya dengan banyak kalangan dari berbagai bangsa. Itulah yang menjadikan pikirannya tetap relevan hingga di abad ke-21 ini. Ia menggunakan berbagai pengetahuan yang dimiliki bukan sebagai resep atau dogma, melainkan sebagai alat untuk menganalisis dan memahami kenyataan hidup di masyarakat. Dari situ, saya memahami Ki Hadjar sebagai orang yang berorientasi pada masalah yang dihadapi, bukan pada aliran atau teori tertentu. Rumusan-rumusan konsep pendidikan yang dipaparkannya secara jelas menunjukkan keterlibatannya dengan persolan-persoalan pendidikan yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia di masa ia hidup. Dari pergulatannya dengan berbagai persoalan itu, lahirlah pemikiran-pemikiran progresif yang memberi solusi konstruktif.

    F.     Peranan Ki Hadjar Dewantara Dalam Perkembangan Pendidikan Di Indonesia Saat Ini

    Dalam berbagai sumber tulisan tentang pendidikan Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan harus dimulai dari persamaan persepsi pemangku pendidikan tentang mendidik itu sendiri. Menurut Kihajar dewantara mendidik dalam arti yang sesungguhnya adalah proses memanusiakan manusia (humanisasi), yakni pengangkatan manusia ke taraf insani. Di dalam mendidik ada pembelajaran yang merupakan komunikasi eksistensi manusiawi yang otentik kepada manusia, untuk dimiliki, dilanjutkan dan disempurnakan. Jadi sesungguhnya pendidikan adalah usaha bangsa ini membawa manusia Indonesia keluar dari kebodohan, dengan membuka tabir aktual-transenden dari sifat alami manusia (humanis).

    Menurut Ki Hajar Dewantara tujuan pendidikan adalah “penguasaan diri” sebab di sinilah pendidikan memanusiawikan manusia (humanisasi). Penguasaan diri merupakan langkah yang harus dituju untuk tercapainya pendidikan yang mamanusiawikan manusia. Ketika setiap peserta didik mampu menguasai dirinya, mereka akan mampu juga menentukan sikapnya. Dengan demikian akan tumbuh sikap yang mandiri dan dewasa.

    Dalam konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara ada 2 hal yang harus dibedakan yaitu sistem “Pengajaran” dan “Pendidikan” yang harus bersinergis satu sama lain.  Pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari aspek hidup lahiriah (kemiskinan dan kebodohan). Sedangkan pendidikan lebih memerdekakan manusia dari aspek hidup batin (otonomi berpikir dan mengambil keputusan, martabat, mentalitas demokratik). Keinginan yang kuat dari Ki Hajar Dewantara untuk generasi bangsa ini dan mengingat pentingnya guru yang memiliki kelimpahan mentalitas, moralitas dan spiritualitas. Beliau sendiri untuk kepentingan mendidik, meneladani dan pendidikan generasi bangsa ini telah mengubah namanya dari ningratnya sebagai Raden Mas soewardi Suryaningrat menjadi Ki hajar dewantara. Menurut tulisan Theo Riyanto, perubahan nama tersebut dapat dimakna bahwa beliau ingin menunjukkan perubahan sikap ningratnya menjadi pendidik, yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan Negara ini. Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan spiritualitas, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Yang utama sebagai pendidik adalah fungsinya sebagai model keteladanan dan sebagai fasilitator kelas.

    Nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi perantara antara Tuhan dan manusia, mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini). Sebagai pendidik yang merupakan perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya adalah berwatak pandita juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa keselamatan.

    Menerjemahkan dari konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara tersebut, maka banyak pakar menyepakati bahwa pendidikan di Indonesia haruslah memiliki 3 Landasan filosofis, yaitu nasionalistik, universalistik dan spiritualistik. Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang merdeka dan independen baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual. Universal artinya berdasarkan pada hukum alam (natural law), segala sesuatu merupakan perwujudan dari kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan, merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian tumbuh dalam diri (hati) manusia. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Maka hak setiap individu hendaknya dihormati, pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan independen secara fisik, mental dan spiritual, pendidikan hendaknya tidak hanya mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan dari orang kebanyakan; pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu tetapi perbedaan antara masing-masing pribadi harus tetap dipertimbangkan, pendidikan hendaknya memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan harga diri, setiap orang harus hidup sederhana dan guru hendaknya rela mengorbankan kepentingan-kepentingan pribadinya demi kebahagiaan para peserta didiknya.

    Output pendidikan yang dihasilkan adalah peserta didik yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan bertanggungjawab atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain. Dalam pemikiran kihajar dewantara, metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh. Metode ini secara teknik pengajaran meliputi ‘kepala, hati dan panca indera’ (educate the head, the heart, and the hand).

    Teladan sesungguhnya memiliki makna sesuatu dari proses mengajar, hubungan dan interaksi selama proses pendidikan yang kemudian pada hari ini atau masa depan peserta didik menjadi contoh yang selalu di tiru dan di gugu. Jadi guru teladan tidak ada hubungannya dengan sosok guru yang senantiasa menjaga wibawa, menjaga ‘image’ dengan selalu menampilkan dirinya ‘ferfect’ dan ‘penuh aturan’ dan kaku di hadapan peserta didiknya.

    Dalam sebuah proses belajar, sadar atau tidak maka ‘perilaku’ seorang guru akan menjadi komunikasi (penyampaian pesan) paling efektif dan pengaruhnya sangat besar (90%) pada peserta didik. Perilaku inilah yang akan menjadi ‘teladan’ bagi kehidupan sosial peserta didik. Secara psikologis pengaruh ‘perilaku’ tersebut adalah pengaruh bawah sadar peserta didik, yang akan muncul kembali saat ia melakukan aktifitas dalam ‘bersikap’, ‘bertindak’ atau ‘menilai sesuatu’ pada dirinya maupun orang lain.

    Jika merefleksikan pada motivasi pendidikan Ki hajar Dewantara maka seorang guru yang ingin diteladani haruslah melepaskan ‘trompah’ dari jiwa, sikap, dan perilaku mengajarnya. Guru tidak berangkat dari ‘kepahlawanan’ untuk kemudian ‘mendidik’ tetapi dari mendidiklah kemudian dia layak menjadi ‘pahlawan’ pada hati setiap manusia lain. Bagaimana agar ketadanan seorang guru berbuah hal yang baik pada jiwa, sikap dan perilaku peserta didiknya dimasa akan datang, maka seorang guru haruslah ‘profesional’ dalam pengajaran dan hubungan social. Bukan professional ‘to have’ tetapi professional ‘to be’. Bukan professional disebabkan kebendaan (materi) tetapi professional bersumber dari ‘penguasaan diri’, ‘pengabdian’ dan ‘kehormatan’ diri dan bangsanya. Sehingga dalam prosesnya ‘mengajar’ akan menjadi cara hidup seorang guru untuk mencapai kemanfaatan sebanyak-banyaknya melalui ‘pengabdiannya’ dan proses menebarkan ‘kehormatan’ tersebut pada hati, kepala dan pancaindera peserta didiknya.

    Proses memindahkan segala’keteladanan diri’ pengetahuan diri dan perilaku professional seorang guru kepada peserta didik dibutuhkan teknik yang oleh Ki hajar dewantara disebuat ‘among’ mendidik dengan sikap asih, asah dan asuh, dibutuhkan guru yang tidak hanya mampu ‘mengajar’ tetapi juga mampu ‘mendidik’. Pada posisi inilah guru juga harus mampu menjadi motivator dikelasnya. Mengapa motivator? Karena Motivator memiliki kekuatan sinergis antara mengajar dan mendidik seperti motivasi dari pendidikan Ki Hajar itu sendiri.

    PENUTUP

    A.    Kesimpulan

    Dalam pemikiran Ki Hajar Dewantara, metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan di Indonesia  adalah sistem Among. Ajarannya yang terkenal ialah tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan).

    Sistem Pendidikan Taman Siswa yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara merupakan sebuah pola pendidikan yang berusaha menyambungkan kembali benang merah kejayaan Indonesia pada masa lampau sehingga harkat dan martabat bangsa kita kembali terangkat.
    Perumusan sistem pembelajaran ini berusaha menekankan pada aspek keluhuran budaya dan keseimbangan manusia dalam daya cipta, rasa dan karsa. Kita diajarkan untuk tidak memaksakan kehendak dan membatasi pertumbuhan potensi anak yang diakui berbeda-beda setiap individunya.

    DAFTAR PUSTAKA

    Nata Abuddin. 2005. Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada

    http://eprints.walisongo.ac.id/118/1/Intan_Tesis_Sinopsis.pdf diakses pada tanggal 11 April 2014

    http://eprints.uny.ac.id/7371/1/p-16.pdf diakses pada tanggal 11 April 2014

    http://keloempat.wordpress.com/2014/04/11

  • Refleksi Pemikiran Ki Hajar Dewantara Tentang Pendidikan dan Pengajaran

    Ki hajar Dewantara adalah seorang tokoh pendidikan Indonesia. Secara umum, beliau berpendapat jika Pendidikan dan Pengajaran bukanlah hal yang sama.

    Pemikiran Ki Hajar Dewantara Tentang Pendidikan dan Pengajaran

    Koneksi Antara Modul

    Filosofis Pemikiran Ki Hajar Dewantara

    Menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan dan pengajaran tidaklah sama. 

    • Pengajaran merupakan bagian dari pendidikan. 
    • Pengajaran merupakan proses pendidikan dalam memberi ilmu untuk kecakapan hidup anak secara lahir dan batin.
    • Pendidikan pada hakikatnya adalah menuntun / memberi tuntunan terhadap segala kekuatan kodrat yang dimiliki anak agar mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi – tingginya, baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. 
    • Pendidikan menciptakan ruang bagi murid untuk bertumbuh secara utuh agar mampu memuliakan dirinya dan orang lain serta menjadi mandiri.

    Apa yang anda percaya tentang murid dan pembelajaran di kelas sebelum Anda mempelajari modul 1.1 ?

    Sebelum mempelajari modul 1.1  tentang filosofis pemikiran Ki Hajar Dewantara pembelajaran yang saya lakukan hanya sebatas transfer materi pelajaran. Saya menganggap ketuntasan materi lebih penting. Saya hanya melihat nilai dari aspek kognitif saja. Contohnya saat mereka mengerjakan soal berupa tugas maupun ulangan harian. Jika murid sudah mencapai nilai kkm dianggap pembelajaran sudah berhasil. Selain itu saya juga beranggapan murid hanya sebagai objek pembelajaran saja sehingga pembelajaran lebih berpusat kepada guru ( teacher center ). Sebelumnya saya tidak memperdulikan apakah murid – murid sudah paham dengan materi yang saya sampaikan karena fokus utama saya lebih kepada ketercapaian materi. Saya hanya meminta siswa menghafal materi yang saya ajarkan tanpa memikirkan bagaimana caranya agar materi yang saya sampaikan dapat mereka pahami sepenuhnya. Sehingga ketika murid mendapat nilai dibawah kkm saya merasa gagal dan kecewa. 

    Apa yang berubah dari pemikiran atau perilaku Anda setelah mempelajari modul ini ?

    Setelah saya mempelajari modul 1.1 tentang pemikiran Ki Hajar Dewantara, saya menyadari bahwa apa yang saya pikirkan dan saya lakukan selama ini tidak tepat. Seharusnya saya melakukan proses pembelajaran secara menyeluruh bukan hanya aspek kognitif saja namun juga afektif, psikomotor, spiritual, sosial dan budaya. Murid bukan hanya sebagai objek pembelajaran melainkan juga sebagai subjek pembelaran. Murid memiliki kebebasan dalam berekspresi,mengemukakan pendapat dan berkreasi sesuai dengan metode dan media pembelajaran yang tepat. Guru sebaiknya hanya sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran. Saya juga harus mempelajari karakteristik murid. Sebaiknya saya berikan kesempatan murid untuk tumbuh sesuai dengan kodratnya masing – masing.

    Apa yang dapat segera saya terapkan lebih baik agar kelas Anda mencerminkan pemikiran Ki Hajar Dewantara ?

    Yang dapat segera saya terapkan dalam pembelajaran di kelas antara lain :

    • Merancang pembelajaran yang interaktif dan menyenangkan dengan melibatkan murid sesuai metode student center.
    • Menerapkan pembelajaran abad 21 ( Berpikir kirtis, kreatif, inovatif, kolaborasi dan komunikasi ) dengan berpegang teguh pada konsep memerdekakan murid.
    • Pembelajaran tidak lagi menuntut akan tetapi menuntun. Karena tugas guru adalah memberi tuntunan atau arahan yang baik pada murid – muridnya. Beusaha menjadi teladan bagi murid baik dalam perkataan maupun perbuatan.
    • Saya harus mengenali karakter dan latar belakang murid dengan menjalin komunikasi yang baik.

    Filosofi Pendidikan Ki Hajar Dewantara     

    Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam pembentukan karakter dan kemajuan suatu bangsa. Ki Hajar Dewantara, sebagai tokoh pendidikan Indonesia yang sangat berpengaruh, memberikan kontribusi yang besar dalam pengembangan sistem pendidikan di Indonesia. Ki Hadjar Dewantara (KHD) membedakan kata pendidikan dan pengajaran dalam memahami arti dan tujuan pendidikan. Menurut Ki Hajar Dewantara, pengajaran adalah bagian dari  pendidikan, pengajaran merupakan proses pendidikan dalam memberi ilmu atau berfaedah untuk kecakapan hidup anak secara lahir dan batin. Sedangkan pendidikan memberi tuntunan terhadap segala kekuatan kodrat yang dimiliki anak agar ia mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai seorang manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Berdasarkan pernyataan tersebut maka didapatlah sebuat kesimpulan bahwa;

    “menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan dan pengajaran merupakan usaha persiapan dan persediaan untuk segala kepentingan hidup manusia, baik dalam hidup bermasyarakat maupun hidup berbudaya dalam arti yang seluas-luasnya”

    Dasar-dasar pemikiran Ki Hajar Dewantara mencerminkan visi yang luas tentang pentingnya pendidikan sebagai sarana untuk membentuk individu yang berkualitas, masyarakat yang inklusif, serta menciptakan perubahan positif dalam konteks sosial dan budaya. Filosofi Ki Hajar Dewantara tidak hanya relevan dalam konteks sejarah pendidikan Indonesia, tetapi juga memberikan inspirasi dan panduan bagi pengembangan sistem pendidikan yang bermakna dan berdampak dalam konteks global saat ini

    Refleksi Diri

        Sebelum saya mengikuti kegiatan pembelajaran ini , pemahaman saya tentang murid dan pembelajaran di kelas mungkin lebih bersifat konvensional. Saya cenderung melihat murid sebagai penerima informasi yang harus diisi dengan pengetahuan oleh guru, dengan pembelajaran terutama berfokus pada pemberian materi dan evaluasi hasil tes. Namun, setelah menjalani dan mengikuti proses pembelajaran pada kegiatan modul ini, pemikiran dan pandangan saya mengenai hal ini telah mengalami transformasi yang signifikan. Salah satu perubahan utama dari pemikiran saya sebelumnya adalah pemahaman yang lebih mendalam tentang peran aktif murid dalam proses pembelajaran. Pembelajaran pada modul 1.1.  memberi saya wawasan tentang pentingnya pembelajaran yang terfokus pada murid, di mana murid tidak hanya menerima informasi dari guru, tetapi juga secara aktif terlibat dalam proses pembelajaran, bertanggung jawab atas pemahaman mereka sendiri, dan memiliki peran dalam mengarahkan pembelajaran mereka. Selain itu, saya juga lebih memahami pentingnya beragam gaya belajar dan strategi pembelajaran yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan individual murid. Sebelumnya, mungkin saya lebih cenderung menggunakan pendekatan yang lebih seragam untuk semua murid, tetapi sekarang saya menyadari bahwa setiap murid memiliki keunikan dan kebutuhan belajar yang berbeda, sehingga penting untuk menyediakan lingkungan belajar yang mendukung dengan beragam media yang disesaikan dengan kebutuhan tersebut..

    Transformasi Proses Pembelajaran Kelas

    Dengan mengadopsi pemikiran-pemikiran Ki Hadjar Dewantara dalam praktik pembelajaran saya, saya yakin bahwa saya dapat memberikan kontribusi yang lebih besar dalam membantu murid-murid mencapai potensi maksimal mereka, menjadi individu yang berdaya, dan berkontribusi positif bagi masyarakat dan bangsa. Dalam hal penerapan pemikiran Ki Hadjar Dewantara (KHD) dalam suasana pembelajaran di kelas secara konkret dalam konteks lokal sosial budaya, maka sebagai seorang pendidik terdapat beberapa langkah yang saya lakukan diantaranya :

        1.   Menghargai keberagaman budaya dan latar belakang sosial murid 

    Hal ini tercermin dalam desain pembelajaran yang saya buat, di mana saya memilih materi yang relevan dengan kehidupan sehari-hari mereka, serta memasukkan elemen-elemen lokal dan tradisional yang dapat membangkitkan minat dan kebanggaan mereka terhadap warisan budaya mereka. Dalam pembelajaran IPA, kita dapat mengaitkan konsep-konsep sains dengan pengetahuan lokal dan tradisional yang dimiliki oleh murid-murid. Misalnya, ketika membahas topik ekosistem, kita dapat menyoroti ekosistem lokal yang ada di sekitar sekolah atau komunitas murid. Dengan demikian, murid tidak hanya belajar konsep-konsep sains secara abstrak, tetapi juga terhubung dengan realitas lingkungan sekitar mereka

        2.   Mengundang Ahli atau tokoh masyarakat 

    Saya mengundang tokoh masyarakat setempat pada saat kegiatan tertentu dapat memberikan pengalaman belajar yang berharga bagi murid-murid. Dalam konteks pembelajaran yang saya ampu yaitu IPA, saya mengundang, petani, atau pelestari lingkungan untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman mereka terkait dengan topik-topik IPA seperti pertanian berkelanjutan, konservasi lingkungan, atau penemuan ilmiah lokal.

        3.   Merancang pembelajaran kolaboratif dan proyek kelompok:

    Mata pelajaran yang saya ampu sangat cocol dengan kegiatan ini. Mata pelajaran IPA sangat cocok untuk pembelajaran kolaboratif dan proyek kelompok. Murid-murid dapat diberi kesempatan untuk bekerja sama dalam eksperimen ilmiah, penyelidikan lapangan, atau proyek-proyek terapan yang berkaitan dengan masalah-masalah lingkungan lokal. Hal ini tidak hanya mengembangkan keterampilan IPA mereka, tetapi juga membangun keterampilan sosial, kepemimpinan, dan kerja dalam tim. 

        4.   Penilaian yang Holistik:

    Dalam hal penilaian, saya juga mengadopsi pendekatan yang sesuai dengan pemikiran KHD. Saya tidak hanya fokus pada penilaian akademik, tetapi juga memberikan perhatian pada pengembangan karakter, sikap, dan nilai-nilai moral yang tercermin dalam perilaku dan tindakan murid. Saya memberikan umpan balik yang konstruktif dan mendukung untuk membantu mereka tumbuh menjadi individu yang bertanggung jawab, peduli, dan memiliki integritas.

    Kesimpulan

    • Pemikiran Ki Hajar Dewantara mengajarkan bahwa pendidikan menekankan pada pembentukan karakter yang selaras dengan kearifan lokal (kodrat alam).  Tentu saja hal ini memiliki relevans dalam konteks sosio-kultural (nilai-nilai luhur budaya) yang terdapat pada daerah masing-masing. Ki Hajar Dewantara beranggapan bahwa kekuatan sosio-kultural dapat menjadi pendorong utama pembentukan karakter pada anak. 
    • Dengan mengintegrasikan pemikiran KHD secara konkret dalam proses pembelajaran dan suasana kelas, saya percaya bahwa murid-murid akan lebih terlibat, termotivasi, dan merasa bernilai. Mereka akan belajar bukan hanya untuk mencapai nilai, tetapi juga untuk mengembangkan diri mereka secara holistik sebagai individu yang berdaya dan berkontribusi positif bagi masyarakat. 
  • Reliabilitas Instrumen Tes

    RELIABILITAS TES

                Reliabilitas merupakan sifat yang ada pada data atau skor yang dihasilkan oleh instrumen dan tidak bersifat dikotomis. Dengan demikian kurang tepat kiranya kalau dipertanyakan apakah suatu instumen itu memiliki reliabilitas atau tidak, akan tetapi tepatnya adalah suatu instrumen dapat menghasilkan data atau skor yang memiliki tingkat reliabilitas yang memadai atau tidak. Suatu instrumen memiliki tingkat reliabilitas yang tinggi, sedang, atau rendah[1].

                Hampir sama dengan pengertian tersebut, bahwa keberadaan reliabilitas tiada semata-mata berupa dua pilihan, reliabel ataukah tidak reliabel, akan tetapi merupakan rentang yang berjenjang dari tingkat yang paling tinggi sampai tingkat yang paling rendah. Karena pentingnya reliabilitas, maka pemakalah mencoba akan membahas tentang reliabilitas tes.

    PEMBAHASAN

    1.       Pengertian Reliabilitas

    Kata reliabilitas dalam bahasa Indonesia yang digunakan saat ini, sebenarnya diambil dari kata reliability dalam bahasa Inggris dan berasal dari kata reliable yang artinya dapat dipercaya, keajegan, konsisten, keandalan, kestabilan[2]. Sedangkan menurut Trochim, sebagaimana dikutip oleh Harun Rasyid dan Mansur, secara terminilogi reliabilitas berarti “pengulangan” atau “konsistensi”[3].

    Menurut Sekaran, reliabilitas atau keandalan suatu pengukuran menunjukkan sejauh mana pengukuran tersebut tanpa bias (bebas dari kesalahan) dan karena itu menjamin pengukuran yang konsisten lintas waktu dan lintas beragam item dalam instrument. Dengan kata lain, keandalan suatu pengukuran merupakan indikasi mengenai stabilitas dan konsistensi di mana instrument mengukur konsep dan membantu menilai “ketepatan” sebuah pengukuran[4]. Sedangkan Groth-Marnat mendefinisikan reliabilitas suatu test merujuk pada derajat stabilitas, konsistensi, daya prediksi, dan akurasi. Ia melihat seberapa skor-skor yang diperoleh seseorang itu akan menjadi sama jika orang itu diperiksa ulang dengan tes yang sama pada kesempatan berbeda[5].

    Menurut Sugiono, Reliabilitas adalah serangkaian pengukuran atau serangkaian alat ukur yang memiliki konsistensi bila pengukuran yang dilakukan dengan alat ukur itu dilakukan secara berulang. Reabilitas tes adalah tingkat keajegan (konsitensi) suatu tes, yakni sejauh mana suatu tes dapat dipercaya untuk menghasilkan skor yang ajeg, relatif tidak berubah walaupun diteskan pada situasi yang berbeda-bed. Sedangkan Sukadji mengatakan bahwa reliabilitas suatu tes adalah seberapa besar derajat tes mengukur secara konsisten sasaran yang diukur. Reliabilitas dinyatakan dalam bentuk angka, biasanya sebagai koefisien. Koefisien tinggi berarti reliabilitas tingg.

    Menurut Arifin, suatu tes dapat dikatakan andal (reliable) jika tes tersebut mempunyai hasil yang taat asas (konsisten). Sedangkan Sudjana mengatakan bahwa reliabilitas suatu tes adalah ketepatan atau kejegan tes tersebut dalam menilai apa adanya, artinya kapan pun tes tersebut digunakanakan memberikan hasil yang sama atau relatif sama[9].

    Berdasarkan beberapa pendapat tentang reliabilitas di atas, dapat ditegaskan bahwa reliabilitas akan diartikan dengan keajegan (konsistensi) bilamana tes tersebut diuji berkali-kali hasilnya relatif “sama”[10], artinya setelah hasil tes yang pertama dengan tes yang berikutnya dikorelasikan terdapat hasil korelasi yang signifikan[11]. Sedangkan yang mengartikan dengan keandalan (reliability) atau ketetapan jika ia dapat dipercaya, konsisten, atau stabil dan produktif[12].

    Sebagai contoh, kalau kita mengukur panjang sebuah meja kayu dengan menggunakan sebuah meteran berulang-ulang, baik dalam tenggang waktu yang singkat maupun tenggang waktu yang yang lama, maka hasil ukur  tersebut akan dapat dipastikan selalu menunjukkan angka yang sama selama panjang meja tersebut belum berubah. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa meteran tersebut reliabel, atau konsisten, atau dapat diandalkan atau stabil.

    2.       Jenis-jenis Reliabilitas

    Dalam kaitannya dengan sebuah penelitian atau evaluasi, reliabilitas dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu;

    a.    Reliabilitas Stabil (Stability Reliability)

    Reliabilitas ini mengacu pada waktu. Maksudnya adalah untuk menentukan stabilitas, maka dilakukan tes ulang pada variabel yang sama namun pada waktu belainan. Kemudian hasil dari pengujian tersebut akan dibandingkan dan berkorelasi dengan pengujian awal untuk memberikan stabilitas.

    b.    Reliabilitas Terwakili (Reprsentative Reliability)

    Reliabilitas pada jenis ini reliabilitas mengacu pada kebterandalan masing-masing kelompok. Dalam hal ini menguji apakah penyampaian indicator sama jawabannya dengan saat diterapkan pada kelompok yang berbeda.

    c.    Reliabilitas Seimbang (Equivalence Reliability)

    Pada jenis ini menerapkan banyak indikator yang dapat diopresikan ke semua konsepsi pengukuran, sehingga kesetaraan keandalan akan penggunaan dua instrument untuk mengukurkan konsep yang sama pada tingkat kesulitan yang sama kemudian bias menentukan reliabel atau tidak pengujian akan ditentukan dari hubungan 2 skor instrument, atau lebih dikenal dengan hubungan antara variabel bebas (Independen Variable) dengan variabel terikat (dependen variable)[13]

    3.      Macam- Macam Reliabilitas

    Salah satu syarat agar hasil suatu tes dapat dipercaya adalah tes tersebut harus mempunyai reliabilitas yang memadai. Oleh karena itu Djali dan Pudji membedakan reliabilitas menjadi 2 macam, yaitu :

    ü  Reliabilitas Konsistensi tanggapan

    ü  Reliabilitas konsistensi gabungan item

    a.      Reliabilitas Konsistensi Tanggapan

    Reliabilitas ini selalu mempersoalkan mengenai tanggapa responden atau objek terhadap tes tersebut apakah sudah baik atau konsisten. Dalam artian apabila tes yang telah di cobakan tersebut dilakukan pengukuran kembali terhadap obyek yang sama, apakah hasilnya masih tetap sama dengan pengukuran sebelumnya. Jika hasil pengukuran kedua menunjukkan ketidakonsistenan, maka hasil pengukuran tersebut tidak mengambarkan keadaan obyek yang sesungguhnya. Untuk mengetahui apakah suatu tes atau instrument tersebut sudah mantap atau konsisten, maka tes atau instrument tersebut harus diuji kepada obyek ukur yang sama secara berulang-ulang.

    b.      Reliabilitas Konsistensi Gabungan Item

    Reabilitas ini terkait dengan konsistensi antara item-item suatu tes atau instrument.. Apabila terhadap bagian obyek ukur yang sama, hasil pengukuran melalui item yang satu kontradiksi atau tidak konsisten dengan hasil ukur melalui item yang lain maka pengukuran dengan tes (alat ukur) sebagai suatu kesatuan itu tidak dapat dipercaya. Untuk itu jika terjadi hal demikian maka kita tidak bisa menyalahkan obyek ukur, melainkan alat ukur (tes) yang dipersalahkan, dengan mengatakan bahwa tes tersebut tidak reliable atau memiliki reliabilitas yang rendah[14].

    4.      Hal-hal yang Mempengaruhi Hasil Tes

    a.      Hal yang Berhubungan dengan Tes Itu Sendiri (Panjang Tes dan Kualitas Butir Soalnya)

    Tes yang terdiri dari banyak butir, tentu saja lebih valid dibandingkan dengan tes yang hanya terdiri dari beberapa butir. Tinggi rendahnya validitas berkorelasi dengan tinggi rendahnya reliabilitas tes. Dengan kata lain, semakin panjang tes, maka reliabilitasnya semakin tinggi pula.

    b.      Hal yang Berhubungan dengan Tercoba (Testee)

    Suatu tes yang dicobakan kepada kelompok yang terdiri dari banyak siswa akan mencerminkan keragaman hasil yang menggambarkan besar-kecilnya reliabilitas tes. Tes yang dicobakan kepada bukan kelompok terpilih, akan menunjukkan reliabilitas yang lebih besar daripada yang dicobakan pada kelompok tertentu yang diambil secara terpilih.

    c.      Hal yang Berhubungan dengan Penyelenggaraann Tes

    Faktor penyelenggaraan tes yang bersifat administratif, sangat menentukan hasil tes.

    a).    Petunjuk yang diberikan sebelum tes dimulai, akan memberikan ketenangan kepada para tes-tes dalam mengerjakan tes, dan dalam penyelenggaraan pun tidak banyak terdapat pertanyaan. Kondisi ini tentu saja akan berpengaruh terhadap hasil tes.

    b).   Pengawas yang tertib akan memberi pengaruh terhadap hasil yang diberikan oleh siswa terhadap tes. Adanya pengawasan yang ketat akan menciptakan ketegangan yang menimbulkan rasa tidak nyaman bagi siswa yang sedang menjawab tes.

    c).    Suasana lingkungan dan tempat tes (duduk tidak teratur, suasana gaduh dan sebagainya) akan mepengaruhi hasil tes[15].

    5.     Analisis Validitas dan Reliabilitais

    Sebuah instrumen yang valid belum tentu reliabel, tetapi instrumen yang reliabel sudah tentu valid. Pernyataan ini menandakan bahwa validitas dan reliabilitas adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam pengkonstruksian sebuah instrumen jika ingin dikatakan baik. Namun demikian keduanya memiliki karakter yang berbeda, sebagaimana berikut:

    1.      Validitas terkait dengan ketepatan objek yang tidak lain adalah tidak menyimpangnya dari kenyataan, artinya data itu benar, maka konsep reliabilitas terkait dengan pemotretan berkali-kali yang bersifat ajeg.

    2.      Suatu tes atau instrumen pengukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat tersebut dapat menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut. Suatu tes yang menghasilkan data yang tidak relevan dengan tujuan pengukuran dikatakan sebagai tes yang memiliki validitas rendah.Sedangkan dalam reliabilitas, besarnya ketetapanitulah yang menunujukkan tingginya reliabilitas instrumen.

    3.      Jika validitas adalah sebuah proses yang harus dilalui instrumen agar dapat diketahui apakah instrumen yang sudah dikonstruksi telah mengukur item yang seharusnya diukur. Cara mengetahuinya melalui validitas rasional (isi dan konstruksi) dan validitas empiris (ramalan dan bandingan). Maka, reliabilitas adalah sebuah proses yang harus dilalui instrumen untuk mengetahui keandalan atau keajegan dari sebuah instrumen. Dengan kata lain, instrumen yang baik akan menarik jawaban atau data yang sama walaupun diberikan di waktu dan kondisi yang berbeda. Cara mengetahuinya melalui reliabilitas tes retes, bentuk alternatif, belah dua, Kuder-Richardson dan koefisien alpha, dan pemberi skor (sebagaimana akan dibahas oleh pemakalah selanjutnya)[16].

    PENUTUP

    1. Dalam berbagai kepustakaan, konsep reliabilitas memiliki arti yang luas, mencakup; keterpercayaan, keterandalan, keajegan, kestabilan, dan konsistensi hasil pengukuran, namun demikian ide pokok yang terkandung dalam konsep reliabilitas adalah keterpercayaan hasil pengukuran yaitu sejauh mana hasil pengukuran dapat dipercaya.
    2. Hal yang mempengaruhi hasil tes: a. hal yang berhubungan dengan tes itu sendiri (panjang tes dan kualitas butir soalnya), b. hal yang berhubungan dengan tercoba (testee), c. hal yang berhubungan dengan penyelenggaraann tes.
    3. Jenis-jenis reliabilitas, yaitu; reliabilitas stabil (stability reliability), reliabilitas terwakili (reprsentative reliability), dan reliabilitas seimbang (equivalence reliability).
    4. Macam-macam reliabilitas, yaitu; reliabilitas konsistensi tanggapan dan reliabilitas konsistensi gabungan item
    5. Validitas adalah sebuah proses yang harus dilalui instrumen agar dapat diketahui apakah instrumen yang sudah dikonstruksi telah mengukur item yang seharusnya diukur. Sedangkan, reliabilitas adalah sebuah proses yang harus dilalui instrumen untuk mengetahui keandalan atau keajegan dari sebuah instrumen. Dengan kata lain, instrumen yang baik akan menarik jawaban atau data yang sama walaupun diberikan di waktu dan kondisi yang berbeda.

    DAFTAR PUSTAKA

    Arifin, Zaenal, Evaluasi InstruksionalBandung: PT. Remaja Rosdakarya.

    Arikunto, Suharsimi. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: Bumi Aksara, 2008.

    Djali, dan Muljono, Puji, Pengukuran dalam Bidang Pendidikan. PT. Gramedia : Jakarta, 2008.

    Marnat, Gary Growth. Handbook of Psychological Assessment. Yogyakarta:  Pustaka Pelajar, 2009.

    Rasyid, Harun dan Mansur, Penilaian Hasil Belajar. Bandung: Wacana Prima, 2008.

    Sekaran, U. Metode Riset Bisnis. Jakarta : Salemba Empat, 2006.

    Sudijono, Anas. Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012.

    Sudjana, Nana. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995.

    Sudjana, D, Manjemen Program Pendidikan Untuk Pendidikan Nonformal dan Pengembangan Sumber Daya ManusiaBandung : Falah Production, 2004.

    Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta, 2005.

    Sukadji, S, Menyusun dan Mengevaluasi Laporan PenelitianJakarta : UI-Press, 2000.

  • Makalah Penilaian Otentik

    Penilaian Otentik

    Dewasa ini paradigma pendidikan di Indonesia sudah semakin berkembang dari pendekatan tradisional, dimana siswa hanyalah sebagai objek pendidikan, kurang aktif di dalam prosesnya dan gurulah yang menjadi center utama dalam pembelajaran, dan kemudian menjadi pendekatan yang lebih modern, yaitu berpusat kepada siswa. Berkembangnya metode dalam pendidikan tentu saja sejalan dengan berkembangnya sistem evaluasi di dalam pendidikan dan pembelajaran itu sendiri. Namun, sampai sekarang masih banyak sekolah-sekolah yang terlalu kaku dan tradisional dalam menerapkan sistem evaluasi kepada siswa. Siswa terkadang hanya dihadapkan pada sesuatu yang hanya bersifat fakta, jawaban pendek atau pertanyaan pilihan ganda.

    Siswa hanya dinilai pada sejumlah tugas terbatas yang mungkin tidak sesuai dengan apa yang dikerjakan di kelas, menilai dalam situasi yang telah ditentukan sebelumnya dimana kandungannya sudah ditetapkan, seolah hanya menilai prestasi, jarang memberi sarana untuk menilai kemampuan siswa memonitor pembelajaran mereka sendiri bahkan jarang memasukan soal-soal yang menilai respon emotional terhadap pengajaran (Santrock, 2007).

    Pada dasarnya, suatu sistem penilaian yang baik adalah tidak hanya mengukur apa yang hendak diukur, namun juga dimaksudkan untuk memberikan motivasi kepada siswa agar lebih bertanggung jawab atas apa yang mereka pelajari, sehingga penilaian menjadi bagian integral dari pengalaman pembelajaran dan melekatkan aktivitas autentik yang dilakukan oleh siswa yang dikenali dan distimulasi oleh kemampuan siswa untuk menciptakan atau mengaplikasikan pengetahuan yang mereka dapat di ranah yang lebih luas (Earl&Cousins, 1995; Stiggins, 1996; Hargreaves, dkk, 2001).

    Autentic assessment dianggap mampu untuk lebih mengukur secara keseluruhan hasil belajar dari siswa karena penilaian ini menilai kemajuan belajar bukan melulu hasil tetapi juga proses dan dengan berbagai cara. Dengan kata lain sistem penilaian seperti ini dianggap lebih adil untuk siswa sebagai pembelajar, karena setiap jerih payah yang siswa hasilkan akan lebih dihargai (Sudrajat, 2007). Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik menyusun makalah yang berjudul ”Penilaian Autentik (Authentic Assessment)”1.2

    B. Rumusan Masalah

    1. Apa pengertian dan ciri-ciri penilaian autentik (Authentic Assessment)?
    2. Bagaimana manfaat dan tujuan penilaian autentik?
    3. Bagaimana penerapan autentik?
    4. Bagaimana contoh penilaian autentik?

    C. Tujuan

    1. Menjelaskan pengertian dan ciri-ciri penilaian autentik.
    2. Menjelaskan manfaat dan tujuan penilaian autentik.
    3. Menjelaskan penerapan autentik.
    4. Mendeskripsikan contoh penilaian autentik.

    Bab II. Pembahasan

    2.1 Pengertian dan Ciri-Ciri Penilaian Autentik (Authentic Assessment)
    Gulikers, Bastiaens & Kirschner (2004) menjelaskan bahwa authentic assesment menuntut siswa untuk menggunakan kompetensi yang sama atau mengkombinasikan pengetahuan, kemampuan, dan sikap yang dapat mereka aplikasikan pada kriteria situasi dalam kehidupan professional.
    Berikut ini beberapa macam pengertian asesmen autentik dari berbagai sumber:
    1. Asesmen autentik adalah soal tes atau latihan yang sangat mendekati hasil pendidikan sains yang diinginkan. Latihan informasi dan penalaran ilmiah pada situasi semacam yang akan dihadapi di luar kelas. (The National Science Education Standart, 1995, dalam Voss, tanpa tahun)
    2. Suatu asesmen yang melibatkan siswa di dalam tugas-tugas otentik yang bermanfaat, penting, dan bermakna (Hart, 1994). Asesmen itu terlihat sebagai aktivitas pembelajaran yang melibatkan keterampilan berpikir tinggi serta koordinasi tentang pengetahuan yang luas.
    3. Asesmen autentik menantang peserta didik untuk menerapkan informasi maupun keterampilan akademik baru pada suatu situasi riil untuk suatu maksud yang jelas. Asesmen autentik memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengeluarkan seluruh kemampuannya sembari memperlihatkan apa yang telah dipelajarinya (Johnson, 2002).
    4. Asesmen autentik adalah suatu cara pengukuran penguasaan peserta didik terhadap suatu mata pelajaran dengan cara yang lain dibanding regugitasi sederhana dari pengetahuan. Asesmen autentik harus mengukur proses pemahaman dan bukan sederhana potongan-potongan informasi yang dihafal.
    (http://www.cast.org/neac/AnchoredInstruction1663.cfm).
    5. Suatu asesemen dikatakan autentik, jika asesmen itu memeriksa/menguji secara langsung perbuatan atau prestasi peserta didik berkaitan dengan tugas intelektual yang layak (Grant, 1990). Dalam hal ini asesmen autentik menutut peserta didik untuk menjadi orang yang efektif yang memiliki pengetahuan yang dibutuhkan.

    Asesmen menjadi autentik bilamana pembelajaran yang diukur oleh asesmen itu memiliki nilai di luar kelas serta bermakna bagi peserta didik (Kerka, 1995). Asesmen autentik mengamanatkan keterampilan dan kemampuan yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas yang sesungguhnya.
    Menurut Jon Mueller penilaian autentik merupakan suatu bentuk penilaian dimana siswa diminta untuk melakukan tugas-tugas dunia nyata yang menunjukkan aplikasi bermakna dari pengetahuan dan keterampilan esensial. Penilaian autentik biasanya mencakup tugas bagi siswa untuk melakukan dan sebuah rubrik di mana kinerja mereka pada tugas yang akan dievaluasi.
    Penilaian autentik berarti mengevaluasi pengetahuan atau keahlian siswa dalam konteks yang mendekati dunia rill atau kehidupan nyata sedekat mungkin (Pokey & Siders, 2001 dalam Santrock, 2007). Penilaian autentik muncul dikarenakan penilaian tradisional yang sering kali mengabaikan konteks dunia nyata (Santrock, 2007).
    Penilaian autentik menantang para siswa untuk menerapkan informasi dan keterampilan baru dalam situasi nyata untuk tujuan tertentu. Penilaian ini merupakan alat bagi sekolah yang maju, yang tahu dengan jelas apa yang diharapkan dari siswa dan tahu dengan jelas bagaimana mereka mewujudkan kualitas tersebut (Sizer, 1992: Johnson, 2009).
    Johnson (2009) menjelaskan bahwa authentic assesment berfokus kepada tujuan, melibatkan pembelajaran secara langsung, mengharuskan membangun, keterkaitan dan kerja sama, dan menanamkan tingkat berfikir yang lebih tinggi, karena tugas-tugas yang diberikan di dalam penilaian autentik mengharuskan penggunaan strategi-strategi tersebut, maka para siswa bisa menunjukan penguasaannya terhadap tujuan dan kedalaman pemahamannya, dan pada saat yang bersamaan meningkatkan pemahaman dan perbaikan diri.
    Bila performance assessment meminta anak didik untuk mendemonstrasikan perilaku atau kemampuan tertentu dalam situasi testing. Authentic assessment membawa demonstrasi ini selangkah lebih maju dan menekankan pentingnya penerapan keterampilan atau kemampuan yang dimaksud dalam konteks situasi kehidupan nyata. Penilaian autentik berfokus pada tujuan, melibatkan pembelajaran secara langsung, mengharuskan membangun keterkaitan dan kerjasama, dan menanamkan tingkat berpikir yang lebih tinggi. Pengujian standar (ujian nasional, ulangan umum, dan lain-lain.) dan penilaian dalam bentuk angka bersifat ekslusif dan sempit, sementara penilaian autentik bersifat inklusif.
    (http://heintjetamburian.blogspot.com/2008/02/contextual-teaching-learning.html, Akses 24 Maret 2010 pukul 18.31 WIB)
    Ciri-ciri assessment authentic:
    a. Mengukur pengetahuan dan keterampilan siswa.
    b. Mempersyaratkan penerapan pengetahuan dan keterampilan.
    c. Penilaian terhadap produk atau kinerja.
    d. Tugas-tugas kontekstual dan relevan.
    (Nur, 2001 dalam Sunarmi dan Triastono, 2003)

    2.2 Manfaat dan Tujuan Penilaian Autentik
    2.2.1 Manfaat Penilaian Autentik
    Penggunaan penilaian autentik sebagai evaluasi hasil pembelajaran siswa di sekolah merupakan suatu solusi yang bisa ditawarkan untuk melihat sejauh mana pembelajaran yang dilakukan berjalan dengan efektif. Di kedua sisi ini adalah sesuatu yang menguntungkan baik bagi siswa itu sendiri maupun pihak guru atau sekolah.
    Manfaat bagi siswa adalah dapat mengungkapkan secara total seberapa baik pemahaman materi akademik mereka, mengungkapkan dan memperkuat penguasaan kompetensi mereka, seperti mengumpulkan informasi, menggunakan sumber daya, menangani teknologi dan berfikir sistematis, menghubungkan pembelajaran dengan pengalaman mereka sendiri, dunia mereka dan masyarakat luas, mempertajam keahlian berfikir dalam tingkatan yang lebih tinggi saat mereka menganalisis, memadukan, dan mengidentifikasi masalah, menciptakan solusi dan mengikuti hubungan sebab akibat, menerima tanggung jawab dan membuat pilihan, berhubungan dan kerja sama dengan orang lain dalam membuat tugas, dan belajar mengevaluasi tingkat prestasi sendiri (Newmann & Wehlage, 1993; Jonshon, 2009).
    Sedangkan bagi guru, penilaian autentik bisa menjadi tolak ukur yang komprehensif mengenai kemampuan siswa dan seberapa efektif metode yang diberikan kepada siswa bisa dijalankan. Oleh karena itulah, penerapan authentic assessment sebagai alat evaluasi hasil belajar di sekolah-sekolah ataupun level universitas penting untuk diperhatikan agar siswa tidak hanya sekedar menjadi pembelajar saja, namun pada akhirnya pencapaian prestasi diikuti dengan kemampuan mengaplikasikan kemampuan yang dimilikinya ke dalam dunia nyata.
    2.2.2 Tujuan Penilaian Autentik
    o Penilaian autentik bertujuan mengevaluasi kemampuan siswa dalam konteks dunia nyata. Dengan kata lain, siswa belajar bagaimana mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilannya ke dalam tugas-tugas yang autentik.
    o Melalui penilaian autentik ini, diharapkan berbagai informasi yang absah/benar dan akurat dapat terjaring berkaitan dengan apa yang benar-benar diketahui dan dapat dilakukan oleh siswa atau tentang kualitas program pendidikan .
    (http://www.slideshare.net/abeyow/pembelajaran-kontekstualcontextual-teaching-learning-ctl akses 24 Maret 2010 pukul 19.08 WIB)

    2.3 Bentuk dan Strategi Penerapan Penilaian Autentik
    2.3.1 Bentuk Penerapan Penilaian Autentik
    Bentuk-bentuk penerapan asesmen autentik yaitu sebagai berikut:
    1. Pada umumnya pendidik mengenal 4 macam asesmen autentik, yaitu portofolio, perbuatan atau kinerja, proyek, dan respon tertulis secara luas (Johnson, 2002).
    2. Asesmen autentik dapat mencakup aktivitas yang beragam seperti wawancara lisan, tugas problem solving kelompok, pembuatan portofolio (Hart, 1994). Dalam cara lain dinyatakan pula bahwa cara-cara asesmen dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu observasi, contoh-contoh perbuatan, serta tes dan prosedur serupa tes atau pengukuran prestasi peserta didik pada suatu waktu maupun tempat tertentu.
    3. Peserta didik untuk mengilustrasikan informasi akademik yang telah dipelajarinya, misalnya dalam bidang sains, pendidikan, kesehatan, matematika, dan bahasa inggris, dengan merancang sebuah presentasi tentang emosi orang (Johnson, 2002).
    4. Asesmen autentik memberikan kesatuan utuh tugas kepada peserta didik yang mencerminkan prioritas dan tantangan yang dijumpai dalam aktivitas pembelajaran yang paling baik, seperti melakukan penelitian, menulis, merevisi, dan mendiskusikan masalah. Asesmen autentik juga mengikuti apakah peserta didik dapat terampil memberikan jawaban perbuatan atau produk yang seksama dan yang dapat dipertanggungjawabkan. Asesmen autentik menjadi valid dan reliabel dengan cara menekankan dan membakukan kriteria produk yang sesuai (Grant, 1990).

    2.3.2. Strategi Penilaian Autentik
    o Penilaian kinerja (Performance assessment) yang dikembangkan untuk menguji kemampuan siswa dalam mendemonstrasikan pengetahuan pada berbagai situasi nyata dan konteks tertentu.
    o Observasi sistematik atau investigasi jangka pendek (System Observation – short investigation) yang bermanfaat untuk menyajikan informasi tentang dampak aktivitas pembelajaran terhadap sikap siswa.
    o Pertanyaan terbuka. Sama halnya observasi sistematik, ia memberikan stimulus dan bertanya kepada siswa untuk memberikan tanggapan. Tanggapan ini dapat berupa : (i) suatu tulisan singkat atau jawaban lisan; (ii) suatu pemecahan matematik; (iii) suatu gambar; (iv) suatu diagram, grafik.
    o Portofolio (Portfolio) adalah kumpulan dari berbagai keterampilan, ide, minat dan keberhasilan/prestasi siswa selama jangka waktu tertentu (Hart, 1994). Koleksi tersebut memberikan gambaran perkembangan siswa setiap saat.
    o Kajian/penilaian pribadi (self assessment). Siswa untuk mengevaluasi partisipasi, proses dan produk mereka. Pertanyaan evaluatif merupakan alat dasar dalam kajian pribadi.
    o Jurnal (Journal) merupakan suatu proses refleksi dimana siswa berpikir tentang proses belajar dan hasilnya, kemudian menuliskan ide-ide, minat dan pengalamannya. Dengan kata lain jurnal membantu siswa dalam mengorgani-sasikan cara berpikirnya dan menuangkannya secara eksplisit dalam bentuk gambar, tulisan dan bentuk lainnya.
    (http://www.slideshare.net/abeyow/pembelajaran-kontekstualcontextual-teaching-learning-ctl akses 24 Maret 2010 pukul 19.08 WIB)
    Custer (1994), Lazar dan Bean (1991), Rerf (1995), serta Rudner dan Boston (1994) menyatakan bahwa beberapa alat yang digunakan pada asesmen autentik: (a) Ceklist, yaitu tentang tujuan pebelajar, kemajuan menulis/membaca, kelancaran menulis dan membaca, kontak pembelajaran, dan sebagainya, (b) Simulasi, (c) Essay dan contoh penulisan lain, (d) Demonstrasi atau perbuatan, (e) Wawancara masuk dan kemajuan, (f) Presentasi lisan, (g) Evaluasi oleh instruktur sejawat yang lainnya baik informal maupun formal, (h). Asesmen sendiri, (i) Pertanyaan-pertanyaan untuk respon yang tergagas.

    Penyekoran Asesmen Autentik
    Menurut Hart (1994), penyekoran asesmen autentik yaitu sebagai berikut: (a) Menekankan penyekoran berdasarkan suatu standar yang digunakan bersama, (b) Mengungkap dan mengidentifikasi kekuatan siswa, bukan menunjukkan kelemahan mereka, (c) Diskor berdasarkan standar kinerja yang jelas, bukan dengan acuan norma, (d) Mengakses proses dan komptensi secara rutin, (e) Menggalakkan siswa untuk melakukan kebiasaan menilai diri sendiri.
    Alat yang dipakai untuk membantu guru melakukan penyekoran adalah rubrik penyekoran. Rubrik penyekoran adalah suatu set kriteria yang digunakan untuk menyekor atau menempatkan posisi siswa pada tes, portofolio, atau kinerja. Rubrik penyekoran mendeskripsikan tingkat kinerja yang diharapkan dicapai siswa secara relatif. Jadi, deskripsi kinerja-kinerja siswa dan bagaimana menempatkan kinerja tersebut dalam suatu rentangan nilai yang telah ditetapkan sebelumnya.

    2.4 Contoh Penilaian Autentik (Authentic Assessment)

    Lampiran 1 : Acuan Asesmen Kegiatan Diskusi Mahasiswa secara Individual
    Lembar Skor untuk Diskusi
    Mahasiswa :……………………………………..
    Topik :………………………………………
    Positif
    Skor Negatif
    Skor
    ….
    ….
    ….

    ….

    ….

    ….

    ….
    …. 1. Mengajukan pertanyaan
    2. Memberi komentar yang relevan
    3. Mengemukakan bukti-bukti untuk mendukung informasi faktual
    4. Mengajak peserta yang pasif untuk berdiskusi
    5. Mengetahui adanya pernyataan yang kontradiktif di antara peserta diskusi
    6. Mengetahui adanya komentar yang kontradiktif di antara peserta diskusi
    7. Dapat membuat suatu analogi
    8. Mengemukakam pertanyaan untuk mengklarifikasi pernyataan yang kurang jelas ….

    ….

    ….
    ….

    ….
    …. 1. Tidak memusatkan perhatian
    2. Membingungkan peserta diskusi lain
    3. Melakukan interupsi
    4. Memberikan komentar yang tidak relevan
    5. Memonopoli diskusi
    6. Menyerang peserta lain

    Lampiran 2 : Acuan Asesmen Kegiatan Diskusi Mahasiswa secara Berkelompok

    Hal Kriteria Evaluasi
    Isi Lengkap, dengan tambahan
    materi yang bagus
    (15) Lengkap
    (12) Sama dengan text book
    (10) Tidak lengkap, tetapi sebagian besar materi telah tercakup (5) Secara substansial tidak lengkap (0)
    Presentasi Jelas, ringkas dengan alur yang baik
    (10) Jelas, ringkas dengan alur kadang kurang baik.
    (8) Kemam-puan
    presentasi sedang
    (7) Presentasi tersendat-sendat.
    (4) Presentasi tidak berjalan
    (0)
    Organisasi kelompok Organisasi sangat bagus, saling menunjang
    presentasi
    (10) Organisasi bagus
    (8) Organisasi sedang, beberapa orang kurang terorganisir
    (6) Organisasi kurang sehingga sering terjadi kesalahan komuni-kasi
    (4) Organisasi kacau sehingga presentasi sangat terganggu
    (0)
    Kreativitas Sangat kreatif tanpa keluar dari tujuan
    (10) Kreatif menimbul-kan antusiasme (8) Kadang-kadang menarik perhatian
    (6) Kreatifitas lemah
    (4) Menjemu-
    kan membuat mengantuk
    (0)

    Pengaturan Waktu Tepat waktu
    (5) Waktu tidak terorgani-sasi dengan baik (0)

    Keterangan: Jumlah keseluruhan skor maksimal adalah 50. Angka dalam tanda kurung adalah skor setiap kriteria.

    BAB III
    PENUTUP

    3.1 Simpulan
    1. Penilaian autentik merupakan evaluasi pengetahuan atau keahlian siswa dalam konteks yang mendekati dunia rill atau kehidupan nyata sedekat mungkin yang menunjukkan aplikasi bermakna dari pengetahuan dan keterampilan esensial.
    Ciri-ciri assessment authentic:
    a. Mengukur pengetahuan dan keterampilan siswa.
    b. Mepersyaratkan penerapan pengetahuan dan keterampilan.
    c. Penilaian terhadap produk atau kinerja.
    d. Tugas-tugas kontekstual dan relevan.
    2. Manfaat penilaian autentik
    a. Bagi siswa: dapat mengungkapkan secara total seberapa baik pemahaman materi akademik, mengungkapkan dan memperkuat penguasaan kompetensi, seperti mengumpulkan informasi, menggunakan sumber daya, menangani teknologi dan berfikir sistematis.
    b. Bagi guru: bisa menjadi tolak ukur yang komprehensif mengenai kemampuan siswa dan seberapa efektif metode yang diberikan kepada siswa bisa dijalankan.
    Tujuan Penilaian autentik:
    a. Penilaian autentik bertujuan mengevaluasi kemampuan siswa dalam konteks dunia nyata.
    b. Menjaring berbagai informasi yang absah/benar, akurat, berkaitan dengan apa yang benar-benar diketahui dan dapat dilakukan oleh siswa atau tentang kualitas program pendidikan.
    3. Bentuk penilaian autentik:
    a. Para pendidik mengenal empat macam, yaitu portofolio, perbuatan atau kinerja (performance), proyek, dan respon tertulis secara luas (Johnson, 2002).
    b. Asesmen autentik dapat mencakup aktivitas yang beragam seperti wawancara lisan, tugas problem solving kelompok, pembuatan portofolio (Hart, 1994).
    c. Peserta didik untuk mengilustrasikan informasi akademik yang telah dipelajarinya, dengan merancang sebuah presentasi tentang emosi orang (Johnson, 2002).
    d. Asesmen autentik memberikan kesatuan utuh tugas kepada peserta didik yang mencerminkan prioritas dan tantangan yang dijumpai dalam aktivitas pembelajaran yang paling baik (Grant, 1990).
    Strategi penerapan penilaian autentik: (a) Penilaian kinerja (Performance assessment), (b) Observasi sistematik atau investigasi jangka pendek (System Observation – short investigation), (c) Pertanyaan terbuka, (d) Portofolio, (e) Kajian/penilaian pribadi (self assessment), (f) Jurnal (Journal).
    4. Contoh-contoh penilaian autentik termasuk mendemonstrasikan hasil karya dalam pameran seperti science fair (pameran sains) atau art show (pertunjukan seni), menunjukkan keterampilan yang dimiliki dalam bentuk kumpulan portofolio, menampilkan tari atau resital musik, berpartisipasi dalam debat, dan mempresentasikan karya tulis asli kepada teman-teman sebaya atau orang tua.
    3.1 Saran
    Penyajian makalah seharusnya disertai dengan pemahaman yang baik. Karena itu akan cukup membantu dalam penyusunan kalimat-kalimat, kata-kata yang lebih operasional sehingga mudah dipahami pembaca. Sebaiknya, jika makalah disusun dari literatur, maka harus mengutip dari literatur yang terpercaya, agar kevalidan argumen dan kebenaran teori bisa dipertanggungjawabkan.

    DAFTAR RUJUKAN

    (http://heintjetamburian.blogspot.com/2008/02/contextual-teaching-learning.html, Akses 24 Maret 2010 pukul 18.31 WIB)
    (http://www.cast.org/neac/AnchoredInstruction1663.cfm) akses 24 Maret 2010 Pukul 18.45 WIB)
    http://www.slideshare.net/abeyow/pembelajaran-kontekstualcontextual-teaching-learning-ctl akses 24 Maret 2010 pukul 19.08 WIB
    Sunarmi dan Triastono. 2003. Evaluasi proses dan Hasil Belajar. Malang: Dirjen DIKTI dan UM (Program SEMI-QUE IV)

  • Makalah Asesmen Kinerja

    Asesmen Kinerja

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Beragam teknik dapat dilakukan untuk mengumpulkan informasi tentang kemajuan belajar sisiwa, baik yang berhubungan dengan proses beajar maupun hasil belajar. Teknik pengumpulan informasi tersebut pada prinsipnya adalah cara penilaian kemajuan belajar peserta didik berdasarkan standar yang ditentukan oleh kurikulum. Pada standar pendidikan, kita temukan indikator-indikator pembelajaran. Dalam indikator pembelajaran inilah nantinya seorang guru dapat menentukan cara penilaian yang sesuai. Ada tujuh teknik penilain yang dapat digunakan salah satunya yaitu penilaian unjuk kerja/kinerja/performance.

    Penilaian kinerja siswa merupakan salah satu alternatif penilaian yang difokuskan pada dua aktivitas pokok, yaitu: Observasi proses saat berlangsungnya unjuk keterampilan dan evaluasi hasil cipta atau produk. Penilaian bentuk ini dilakukan dengan mengamati saat siswa melakukan aktivitas di kelas atau menciptakan suatu hasil karya sesuai dengan tujuan pembelajarannya. Kecakapan yang ditampilkan siswa adalah variabel yang dinilai. Penilaian terhadap kecakapan siswa didasarkan pada perbandingan antara kinerja siswa dengan target yang telah ditetapkan. Proses penilaiannya dilakukan mulai persiapan, melaksanakan tugas sampai den-gan hasil akhir yang dicapainya. Oleh karena itu penilaian dengan tertulis dan lisan saja tidak dapat mewakili secara keseluruhan segala penilaian yang di inginkan apalagi dengan materi pembahasan yang menuntut siswa agar dapat memecahkan masalah dan menentukan sikap, bekerja sama dengan teman sekelompoknya dan lain-lainnya. Maka penilaian kinerja akan menjawab semua pertanyaan yang belum bisa terjawab pada penilaian secara lisan dan tulisan.

    B.     Rumusan masalah

    1.      Bagaimana Konsep dari Penilaian Unjuk Kerja (performance)?

    2.      Bagaimana Langkah-langkah Penilaian Unjuk Kerja (performance)?

    3.      Bagaimana Pelaksanaan Penilaian Unjuk Kerja (performance)?

    C.    Tujuan

    1.      Untuk Mengetahui Konsep Penilaian Unjuk Kerja (Performance).

    2.      Untuk Mengetahui Langkah-langkah Penilaian Unjuk Kerja (Performance).

    3.      Untuk Mengetahui Pelaksanaan Penilaian Unjuk Kerja (Performance).

    BAB II

    PEMBAHASAN

    A.    Konsep Penilaian Performance

    1.      Pengertian

    Dalam pedoman penilaian di SD/MI, dinyatakan bahwa tes kinerja adalah tes yang penugasannya disampaikan dalam bentuk lisan atau tertulis dan proses penilaiannya dilakukan sejak siswa melakukan persiapan, melaksanakan tugas sampai dengan hasil akhir. Penilaian kinerja pada prinsipnya lebih di tekankan pada proses keterampilan dan kecakapan dalam menyelesaikan tugas yang diberikan. Penilaian ini cocok digunakan untuk menilai kompetensi yang menuntut peserta didik melakukan tugas tertentu seperti: praktek di laboratorium, praktek sholat, praktek olahraga, bermain peran, memainkan alat musik, bernyanyi, membaca puisi/ deklamasi dan lain-lain. Cara penilaian ini dianggap lebih otentik daripada tes tertulis karena apa yang dinilai lebih mencerminkan kemampuan peserta didik yang sebenarnya.

    Performance assessment adalah penilaian berdasarkan hasil pengamatan penilai terhadap aktivitas siswa sebagaimana yang terjadi. Penilaian dilakukan terhadap unjuk kerja, tingkah laku, atau interaksi siswa. Performance assessment digunakan untuk menilai kemampuan siswa melalui penugasan. Penugasan tersebut dirancang khusus untuk menghasilkan respon (lisan atau tulis), menghasilkan karya (produk), atau menunjukkan penerapan pengetahuan. Tugas yang diberikan kepada siswa harus sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai dan bermakna bagi siswa (Setyono,2005:3).

    Sedangkan menurut Majid (2006:88) performance assessment merupakan penilaian dengan berbagai macam tugas dan situasi di mana peserta tes diminta untuk mendemonstrasikan pemahaman dan mengaplikasikan pengetahuan yang mendalam, serta keterampilan di dalam berbagai macam konteks. Jadi boleh dikatakan bahwa performance assessment adalah suatu penilaian yang meminta peserta tes untuk mendemostrasikan dan mengaplikasikan pengetahuan ke dalam berbagai macam konteks sesuai dengan kriteria-kriteria yang diinginkan.

    Berdasarkan kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa performance assessment adalah suatu bentuk penilaian untuk mendemostrasikan atau mengaplikasikan pengetahuan yang telah diperoleh oleh siswa dan menggambarkan suatu kemampuan siswa melalui suatu proses, kegiatan, atau unjuk kerja.

    2.      Ruang lingkup

    Penilaian Unjuk Kerja (performance) merupakan salah satu alternatif penilaian yang difokuskan pada dua aktivitas pokok, yaitu: Observasi proses saat berlangsungnya unjuk keterampilan dan evaluasi hasil cipta atau produk. Penilaian bentuk ini dilakukan dengan mengamati saat siswa melakukan aktivitas di kelas atau menciptakan suatu hasil karya sesuai dengan tujuan pembelajarannya.

    3.      Karakteristik

    Menurut Stiggins (1994:160), salah satu karakteristik penilaian kinerja siswa adalah dapat digunakan untuk melihat kemampuan siswa selama proses pembelajaran tanpa harus menunggu sampai proses tersebut berakhir.


                Karakteristik penilaian kinerja menurut Norman (dalam Siti Mahmudah, 2000:18) adalah (1) tugas-tugas yang diberikan lebih realistis atau nyata;(2) tugas-tugas yang diberikan lebih kompleks sehingga mendorong siswa untuk berpikir dan ada kemungkinan mempunyai solusi yang banyak;(3) waktu yang diberikan untuk asesmen lebih banyak; (4) dalam penilaiannya lebih banyak menggunakan pertimbangan.

    Adapun pendapat lain yang dikemukakan oleh Isyanti (2004:6) bahwa penilaian unjuk kerja dapat mengungkapkan potensi siswa dalam memecahkan masalah, penalaran, dan komunikasi dalam bentuk tulisan maupun lisan. Menurut Setyono (2005:3) bahwa penilaian performansi digunakan untuk menilai kemampuan siswa melalui penugasan yang berupa aspek pembelajaran kinerja dan produk. Hutabarat (2004:16) berpendapat bahwa penilaian kinerja lebih tepat untuk menilai kemampuan siswa dalam menyajikan lisan, pemecahan masalah dalam suatu kelompok, partisipasi siswa dalam suatu kegiatan pembelajaran, kemampuan siswa dalam menggunakan peralatan laboratorium serta kemampuan siswa mengoperasikan suatu alat.

    B.     Langkah-langkah Membuat Penilaian Performance

    Adapun langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam membuat performance assessment adalah 1) Identifikasi semua langkah penting atau aspek yang diperlukan atau yang akan mempengaruhi hasil akhir; 2) Menuliskan kemampuan-kemampuan khusus yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas; 3) Mengusahakan kemampuan yang akan diukur tidak terlalu banyak sehingga semua dapat diamati; 4) Mengurutkan kemampuan yang akan diukur berdasarkan urutan yang akan diamati; 5) Bila menggunakan skala rentang, perlu menyediakan kriteria untuk setiap pilihan (Hutabarat, 2004: 17).

    Menurut Majid (2006: 88) langkah-langkah membuat performance assessment adalah 1) Melakukan identifikasi terhadap langkah-langkah penting yang diperlukan atau yang akan mempengaruhi hasil akhir (output yang terbaik); 2) Menuliskan perilaku kemampuan spesifik yang penting dan diperlukan untuk menyelesaikan dan menghasilkan output yang terbaik; 3) Membuat kriteria-kriteria kemampuan yang akan diukur, jengan terlalu banyak sehingga semua kriteria- kriteria tersebut dapat diobservasi selama siswa melaksanakaan tugas; 4) Mengurutkan kriteria-kriteria kemampuan yang akan diukur berdasarkan urutan yang dapat diamati; 5) Kalau ada periksa kembali dan bandingkan dengan kriteria-kriteria kemampuan yang dibuat sebelumnya oleh orang lain.

    C.    Pelaksanaan Penilaian Performance

    1.      Dalam melaksanakan penilaian unjuk kinerja perlu diperhatikan langkah-langkah berikut :

    a)      Langkah-langkah kinerja yang diharapkan dilakukan peserta didik untuk menunjukkan kinerja dari suatu kompentesi.

    b)      Kelengkapan dan ketepatan aspek yang akan dinilai dalam kinerja tersebut.

    c)      Kemampuan-kemampuan khusus yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas.

    d)     Upayakan kemampuan yang akan dinilai tidak terlalu banyak, sehingga semua dapat diamati.

    e)      Kemampuan yang akan dinilai diurutkan berdasarkan urutan yang akan diamati.

    2.      Menurut Dr. Ari Widodo, Dra. Sri Wuryastuti, M.pd, Dra. Margaretha, M.pd cara melaksanakan asesmen kinerja, dapat dikelompokkan sebagai berikut :

    a)      Asesmen kinerja klasikal digunakan untuk mengakses kinerja siswa secara keseluruhan dalam satu kelas.

    b)      Asesmen kinerja kelompok untuk mengakses kinerja siswa secara berkelompok.

    c)      Asesmen kinerja individu untuk mengakses kinerja siswa secara individu.

    3.      Teknik Penilaian Unjuk Kerja

    Pengamatan unjuk kerja perlu dilakukan dalam berbagai konteks untuk menetapkan tingkat ketercapaian kemampuan tertentu. Untuk menilai kemampuan berbicara peserta didik, misalnya dilakukan pengamatan atau observasi berbicara yang beragam, seperti : diskusi dalam kecil, berpidato, berbicara, teknik bertanya, kemampuan menyampaikan pendapat, dan melakukan wawancara. Dengan demikian, gambaran kemampuan peserta didik akan lebih utuh. Untuk mengetahui unjuk kerja peserta didik dapat menggunakan alat atau instrument berikut :

    a)      Daftar Cek (Check-list)

    Penilaian unjuk kerja dapat dilakukan dengan menggunakan daftar cek (baik-tidak baik). Dengan menggunakan daftar cek, peserta didik dapat memperoleh nilai bila criteria penguasaan kompetensi tertentu dapat diamati oleh penilai. Jika tidak dapat diamati, peserta didik tidak memperoleh nilai.

    Kelemahan daftar cek ini adalah penilai hanya mempunyai dua pilihan mutlak, misalnya benar-salah, diamati-tidak diamati, baik- tidak baik. Dengan demikian daftar cek tidak terdapat nilai tengah. Namun daftar cek lebih praktis digunakan untuk mengamati dan menilai subjek dalam jumlah besar.

    2.      Skala Penilaian

    Penilaian unjuk kerja yang menggunakan skala penilaian memungkinkan penilai memberi nilai tengah terhadap penguasaan kompetensi tertentu, karena pemberian nilai secara berkelanjutan dimana penilaian kategori ini lebih dari dua. Skala penilaian terentang dari tidak sempurna sampai sempurna. Misalnya 1 = tidak sempurna, 2 = cukup sempurna, 3 = sempurna, 4 = sangat sempurna. Untuk memperkecil factor subyektifitas, perlu dilakukan penilaian oleh lebih dari satu guru, agar hasil penilaiannya lebih akurat.

    Contoh       :

    Standar Kompetensi 

    6. Mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi dengan berpidato, melaporkan isi buku, dan baca puisi

    Kompetensi Dasar

    6.1 Mengenal tata cara berpidato.

    Indicator

    6.1.1 Berpidato dengan sistematika, intonasi dan sikap yang tepat.


    Rubrik Penilaian :

    Penilaian Unjuk Kerja Pidato Bahasa Indonesia Dengan Menggunakan Check List.

    Sekolah           : SDN 02 Taman Sari                          Tahun Pelajaran           : 2016

    Nama Siswa    : Aulia                                                 Kelas/Semester            : VI/II

    NoAspek yang DinilaiYaTidak
    1Kelancaran
    2Penokohan
    3Ekspresi
    Skor yang dicapai2
    Skor maksimum3

    Description :

    1.      Kelancaran

    Bila kata dan kalimat diucapkan dengan lancar, sesuai dengan lafal dan intonasi naskah pidato sehingga terdengar jelas.

    2.      Penokohan

    Penokohan drama sesuai dengan karakter sehingga pembicaraan sangat cocok dan bermakna.

    3.      Ekspresi

    Ekspresi gerak-gerik dan mimik pelaku sangat serasi dengan isi drama sehingga pembicaraan hidup dan menarik.

    Nilai    = Skor Perolehan  × 100

                   Skor Maksimal

    Nilai    = 2 × 100

                   3

                = 66,6

    Keterangan penilaian :

    1)      Sangat kompeten bila mendapatkan nilai 91 sampai dengan 100

    2)      Kompeten bila mendapatkan nilai 71 sampai dengan 90

    3)      Cukup kompeten bila mendapatkan nilai 60 sampai dengan 70

    4)      Kurang kompeten bila mendapatkan nilai kurang dari 61

    Dari perolehan nilai unjuk kerja di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan atau kompetensi peserta didik tersebut dalam pidato bahasa Indonesia adalah cukup kompeten.

    BAB III

    PENUTUP

    A.    Kesimpulan

    Tujuan tugas penilaian unjuk kerja adalah untuk mengetahui apa yang siswa ketahui dan apa yang mereka lakukan. Tugas tersebut harus bermakna, autentik, dan dapat mengukur penguasaan siswa. Evaluasi hasil tugas penilaian unjuk kerja melibatkan pemahaman dan langkah-langkah.

    Dalam penilaian unjuk kerja siswa dibandingkan dengan tugas itu sendiri. Tujuan guru adalah untuk melihat perkembangan intelektual atau kekurangannya. Guru dapat mengembangkan standar unjuk kerja sendiri untuk menilai kualitas pekerjaann siswanya.

    B.     Saran

    Penyusun dalam menyusun makalah ini banyak menemukan hambatan dari segi isi maupun literatur, penyusun menyarankan pembaca untuk memberikan kritikan dan saran yang membangun untuk kesuksesan makalah selanjutnya.

    DAFTAR PUSTAKA

    1.      http://www.kajianpustaka.com/2012/11/penilaian-kinerja-performance-assessment.html

    2.      http://www.madrasahmedia.web.id/2014/09/pengertian-dan-langkah-penilaian-unjuk-kerja.html

    3.      http://www.academia.edu/6543246/Penilaian_dalam_Pembelajaran_Bahasa_Indonesia_di_Sekolah_Dasar

  • Makalah Asesmen Hasil Belajar

    Asesmen Hasil Belajar

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Dewasa ini istilah asesmen banyak digunakan dalam kegiatan evaluasi, terutama setelah di berlakukannya kurikulum berbasis kompetensi. Kurikulum ini memiliki karakteristik tertentu baik dalam perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, maupun evaluasi pembelajaran. Dalam kegiatan evaluasi pembelajaran, kurikilum ini tidak hanya mempersyaratkan penggunaan tes formal seperti halnya yang biasa digunakan selama ini, melainkan juga evaluasi alternative yang dinamakan dengan asesmen portofolio (autentik) maupun asesmen kinerja (performance).

    Pendekatan asesmen dalam kegiatan evaluasi cenderung lebih terbuka karena peserta didik juga dapat di minta untuk melakukan asesmen atas produk yang di hasilkan sendiri, dan asesmen pada produk yang dihasilkan oleh teman-temannya. Namun demikian proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengolahan hasil asesmen ini banyak memerlukan waktudan sumberdaya lainnya. Pendeknya. Kegiatan asesmen dalam pembelajaran lebih tidak efisien dibandingkan dengan kegiatan evaluasi konvensional yang selama ini digunakan.

    B. Rumusan masalah

    1. Apa pengertian dari asesmen dalam pembelajaran
    2. Apa tujuan dari asesmen pembelajaran
    3. Apa saja prinsip-prinsip dalam asesmen pembelajaran
    4. Bagaimana konsep asesmen kinerja beserta prosedur penerapannya
    5. Bagaiamana konsep asesmen portofolio beserta prosedur penerapannya

    C. Tujuan penulisan

    1. Untuk mengetahui pengertian dari asesmen dalam pembelajaran
    2. Untuk mengetahui tujuan dari asesmen pembelajaran
    3. Untuk mengetahui prinsip-prinsip dalam asesmen pembelajaran
    4. Untuk mengetahui konsep asesmen kinerja beserta prosedur penerapannya
    5. Untuk mengetahui konsep asesmen portofolio beserta prosedur penerapannya

    Bab II. Pembahasan

    Kegiatan asesmen muncul pertama kali di Cina pada tahun 206 sebelum masehi ketika dinasti Han memperkenalkan ujian untuk membantu proses seleksi pegawai kerajaan. Meskipun objektivitas asesmen itu banyak yang mempertanyakan, namun asesmen ini dipandang sangat bermanfaat dalam proses seleksi penempatan orang-orang yang menjadi kesayangannya. Pada tahun 822 setelah masehi dinasti Tang melaksanakan ujian tetulis bagi calon pegawai kerajaan, ujian itu berlangsung beberapa hari yang lulus mencapai 2%, calon pegawai yang berhasil kemudian diberikan asesmen lisan oleh raja.

    Menurut  Dodge dan Bickrat (1994) yang merupakan salah satu pakar asesmen pembelajaran menyatakan bahwa asesmen is process of  gathering information about children in order to make decisions about their education (asesmen merupakan proses memeroleh informasi tentang anak untuk membuat keputusan tentang pendidikannya). Pendidik memperoleh informasi yang bermanfaat tentang pengetahuan, keterampilan, dan kemajuannya melalui pengamatan, dokumentasi dan review pekerjaan anak secara terus-menerus.

    Asesmen merupakan proses mendokumentasi, melalui proses pengukuran, pengetahuan, keterampilan, sikap dan keyakinan peserta didik. Dapat dinyatakan pula bahwa asemen merupakan kegiatan sistematik untuk memperoleh informasi tentang apa yang di ketahu, dilakukan, dan di kerjakan oleh peserta didik.

    B. Tujuan Asesmen

    Asesmen pembelajaran memiliki 2 tujuan, yaitu tujuan isi dan tujuan proses (Herman, Aschbacher, and Winters, 1992). Asesmen dengan tujuan isi digunakan untuk menentukan seberapa jauh peserta didik telah mempelajari pengetahuan dan keterampilan spesifik. Dalam hal ini asesmen harus terfokus pada belajar peserta didik.

    Sedangkan, asesmen yang berkaitan dengan tujuan proses digunakan untuk mendiagnosis kekuatan dan kelemahan peserta didik serta merencanakan pembelajaran yang sesuai dengan kondidi perserta didik. Karena pendidik biasanya berupaya memahami kelemahan peserta didik, maka pendidik harus mengases proses dan produk atau isi melalui kegiatan interview, dokumentasi, observasi mauapun ujian dengan menggunakan tes pilihan ganda.

    Tujuan asesmen pembelajaran pada dasarnya tergantung pada penggunaan jenis asesmen itu.

    Ada 4 jenis asesmen itu :

    1.      Asesmen  Formatif dan Sumatif

    Asesmen sumatif biasanya dilaksanakan di akhir pembelajaran, dan di gunakan untuk membuat keputusan tentang kenaikan kelas peserta didik. Sedangkan asemen formatif berbentuk pemberian balikan atas pekerjaan peserta didik, dan tidak di jadikan dasar kenaikan kelas. Dalam konteks belajar asesmen sumatif dan normatif itu disebut dengan asesmen belajar.

    2.      Asesmen Subyektif dan Obyektif

    Asesmen bentuk objektif merupakan bentuk pertanyaan yang memiliki satu jawaban yang benar. Asemen subjektif merupakan bentuk pertanyaan yang memiliki lebih dari satu jawaban yang benar

    3. Asesmen acuan patokan dan normatif

    Asesmen acuan patokan, biasanya menggunakan tes acuan patokan, merupakan asesmen yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didikberdasarkan kriteria yang telah di tetapkan sebelumnya.

    Asesmen acuan normatif, atau dikenal dengan penentuan rangking berdasarkan kurve normal. Asesmen untuk ujian masuk sekolah biasanya menggunakan asesmen acuan normatif karena dapat menunjukkan proporsi jumlah peserta didik yang lulus atau di terima di sekolah atau universitas. Dengan menggunakan acuan normative maka calon peserta didik yang diterima setiap tahun di suatu sekolah akan bervariasi karena kemampuan mereka tidak sama.

    4. Asesmen Formal dan Informal

    Asesmen formal di wujudkan dalam bentuk dokumen tertulis seperti tes tertulis (diberikan skor dalam bentuk angka / penentuan rangking). Sedangkan asesmen informal dimaksudkan untuk menentukan rangking akhir peserta didik. Asesmen ini biasannya dilakukan dengan cara yang lebih terbuka, seperti melalui observasi, partisipasi, evaluasi diri dan diskusi.

    C. Prinsip Asesmen

    Agar belajar dapat terjadi pada diri peserta didik, asesmen harus terpadu dengan kurikulum dan pendidikan. Asesmen yang baik harus berdasarkan pada landasan pendidikan. Ada tujuh prinsip dalam menerapkan asesmen belajar yaitu :

    1. Tujuan utama  asaesmen adalah memperbaiki masalah belajar peserta didik.

    Asesmen ini memberikan informasi yang bermanfaat mengenai apa yang telah dicapai oleh peserta didikterhadap tujuan belajar dan mengenai kemajuan belajar peserta didik masing-masing.

    2.      Asesmen bertujuan untuk mendukung belajar peserta didik.

    Asesmen baik yang digunakan untuk laporan kemajuan peserta didik, sertifikasi peserta didik, dan informasi untuk perbaikan dan akuntabilitas sekolah adalah di maksudkan untuk mendukung belajar peserta didik

    3.      Obyektif bagi  semua peseta didik.

    Asesmen yang baik akan memberikan keyakinan bahwa semua peserta didik akan memperoleh perlakuan yang sama. Asesmen menggunakan berbagai metode untuk mengakses kemajuan peserta didik serta cara-cara peserta didik mengungkapkan pengetahuan dan pemahamannya terhadap mata pelajaran.

    4.      Kolaborasi profesional.

    Pendidik menentukan dan berperan serta dalam pengembangan profesional serta bekerjasama untuk memperbaiki sistem asesmen. Kemampuan profesional itu perlu diperkuat melalui sekelompok pendidik memberikan skor pekerjaan peserta didik.

    5.      Partisipasi Komite Sekolah dalam pengembangan asesmen.

    Pelaksanaan asesmen perlu melibatkan orangtua, anggota masyarakat, peserta didik, bersama-sama pendidik dan pakar yang memiliki keahlian tertentu dalam mengembangkan asesmen. Diskusi tujuan dan metode asesmen perlu melibatkan orang-orang yang peduli terhadap pendidikan.

    6.      Keteraturan dan kejelasan komunikasi mengenai asesmen.

    Pendidik dan sekolah mengkomunikasikan tujuan, metode, dan hasil asesmen. Pendidik dan sekolah melaporkan apa yang diketahui dan apa yang mampu dilakukan oleh peserta didik, apa yang perlu dipelajari oleh peserta didik, dan apa yang akan dilakukan oleh peserta didik untuk perbaikan perilaku peserta didik.

    7.      Peninjauan kembali dan perbaikan asesmen

    Asesmen perlu dikaji kembali dan diperbaiki untuk memastikan bahwa asesmen itu benar-benar memberikan manfaat kepada peserta didik. Tindakan ini harus dilakukan secara berkesinambungan. Peninjauan kembali merupakan dasar bagi pembuatan keputusan dalam mengubah sebagian atau seluruh asesmen.

    2.4  Asesmen Kinerja (asesmen autentik)

    Asesmen berbasis kinerja merupakan bentuk ujian dimana peserta didik menjawab suatu pertanyaan atau menampilkan kemampuan atau pengetahuan. Penerapan asesmen yang berbasis kinerja mempersyaratkan peserta didik secara aktif menyelesaikan tugas-tugas komplek. Asesmen autentik merupakan jenis asesmen kerja. Nama autentik itu diperoleh dari fokus teknik evaluasi yang digunakan untuk mengukur tugas kompleks, relevan, dan di dalam dunia nyata. Asesmen autentik dapat berbentuk karya ilmiah. Asesmen kinerja memiliki kemampuan untuk mengetahui minat peserta didik.

    Untuk melaksanakan asesmen kinerja itu, berikut tahap-tahap yang harus dilaui :

    1.      Identifikasi hasil pembelajaran

    Hasil pembelajaran diperoleh dari tujuan pembelajaran. Jika dalam pembelajaran tujuannya tercapai dengan baik maka hasil pembelajaran akan dihasilkan secara maksimal.

    2.      Kembangkan tugas-tugas yang dapat dilakukan oleh peserta didik dalam mempelajari tujuan pemnelajaran

    Peserta didik belajar mendemonstrasikan tujuan pembelajaran dengan berbagai cara, misalnya dengan cara membaca, berbicara, diskusi, pembuatan keputusan maupun pemecahan masalah.

    3.      Identifikasi hasil belajar tambahan yang didukung oleh tugas

    Tugas yang kompleks adalah lebih dari sekedar mendemonstrasikan dan menerapkan pengetahuan. Karena tugas kinerja bersifat autentik, maka tugas itu lebih banyak mendukung belajar dan lebih dari satu tujuan belajar,

    4.      Rumuskan kriteria dan tingkat kinerjauntk mengevaluasi kinerja peseta didik

    Salah satu cara pendidik dapat mengetahui kualitas kegiatan peserta didik dapat diperoleh melalui mengembangkan kriteria yang dapat digunakan untuk menilai dan mendeskripsikan tingkat kinerja.

    2.5  Asesmen Portofolio

    Asesmen portofolio merupakan bentuk evaluasi kinerja yang paling populer. Portofolio biasanya berbentuk file atau folder yang berbentuk koleksi karya peserta didik.  Portofolio di maksudkan untuk memotivasi peserta didik, meningkatkan belajar melalui refleksi dan asesmen diri. Portofolio dapat dievaluasi dengan dua cara. Pertama evaluasi berbasis kinerja. Kemajuan peserta didik dibandingkan dengan standar kinerja yang sesuai dengan kinerja peserta didik lainnya atau kurikulum. Teknik evaluasi kedua adalah mengukur kemjuan peerta didik individual pada periode waktu tertentu.teknik ini digunakan asesmen perubahan pengetahuan atau keterampilan peserta didik.

    Ada beberapa teknik yang dapat digunakan untuk mengases portofolio. Metode evaluasi poertofolio dapat dioperasionalisasikan dengan menggunakan rubric, yakni pedoman penskoran yang berisi rumusan semua dimensi diases. Rubric itu dapat berbentuk holistic yang menghasilkan skor tunggal, atau dapat berbentuk analitik yang menghasilkan beberapa skor yang member peluang evaluasi pengetahuan dan keterampilan penting.

    Dalam menerapkan asesmen portofolio, ada beberapa tahap yang harus dilalui

    1.      Perencanaan dan pengorganisasian

    ·         Kembangkan perencanaan portofolio

    ·         Rencanakan waktu secukupnya

    ·         Mulai dengan satu aspek belajar dan hasil belajar peserta didik

    ·         Pilih aspek-aspek yang dimasukkan didalam portofolio yang menunjukkan kemajuan peserta didik

    ·         Pilih setidaknya 2 aspek yakni indikator yang diperlukan atau aspek inti dan sampel pekerjaan yang dipilih

    ·         Tempatkan daftar tujuan di masing-masing portofolio

    2.      Implementasi

    ·         Lekatkan perkembangan aspek portofolio didalam kegiatan kelas yang sedang berlangsung

    ·         Berikan tanggung jawab kepada peserta didik

    ·         Bagi spek-aspek portofolio yang telah dipilih.

    ·         Catat komentar pendidik dan peserta didik

    3.      Hasil

    ·         Analisis aspek portofolio untuk memahami pengetahuan dan keterampilan peserta didik

    ·         Gunakan informasi portofolio untuk mendokumentasi kegitan belajar peserta didik untuk disampaikan kepada orang tua dan memperbaiki pembelajaran dikelas.

    Bab III. Penutup

    3.1  Kesimpulan

    Asesmen merupakan proses mendokumentasi, melalui proses pengukuran, pengetahuan, keterampilan, sikap dan keyakinan peserta didik. Dapat dinyatakan pula bahwa asemen merupakan kegiatan sistematik untuk memperoleh informasi tentang apa yang di ketahu, dilakukan, dan di kerjakan oleh peserta didik.

    Asesmen pembelajaran memiliki 2 tujuan, yaitu tujuan isi dan tujuan proses (Herman, Aschbacher, and Winters, 1992). Asesmen dengan tujuan isi digunakan untuk menentukan seberapa jauh peserta didik telah mempelajari pengetahuan dan keterampilan spesifik. Sedangkan, asesmen yang berkaitan dengan tujuan proses digunakan untuk mendiagnosis kekuatan dan kelemahan peserta didik serta merencanakan pembelajaran yang sesuai dengan kondidi perserta didik.

    Dalam kegiatan belajar mengajar, asesmen ini dianggap sangat penting, karena selain dapat mengevaluasi hasil belajar peserta didik, juga bisa menjadi penambah semangat bagi peserta didik agar mencapai hasil yang maksimal.

    3.2  Saran

    Kita sebagai colon guru hendaknya mengerti dan benar-benar paham mengenai asesmen, karena asesmen akan sangat bermanfaat saat kita bekerja nanti. Mengingat masa depan yang akan kita hadapi tentu akan berbeda dengan masa yang sedang kita jalani sekarang ini, maka dengan mengetahui asesmen ini kita bisa mengevaluasi cara kerja kita sendiri.

    DAFTAR PUSTAKA

    Rifa’i RC, Achmad. dan Catharina Tri Anni. 2010. Psikologi Pendidikan. Semarang : UNNES Press.

    http://related:file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PSIKOLOGI_PEND_DAN_BIMBINGAN/195911301987031-YAYA_SUNARYA/BAHAN_EVALUASI-ASESMEN/KONSEP_DASAR.pdf pdf asesmen hasil belajar

    http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:inJtbwOGgHIJ:journal.uny.ac.id/index.php/jpji/article/download/3059/2550+&cd=2&hl=en&ct=clnk. Di unduh tanggal 24 maret 2016  pukul 19.00 WIB

  • Makalah Konsep Dasar Asesmen Pembelajaran

    Konsep Dasar Asesmen Pembelajaran

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Pembelajaran mengenai anak usia dini (prasekolah) tidaklah sama dengan pembelajaran yang dilakukan di lembaga sekolah lainnya seperti sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas. Diakhir kelas enam sekolah dasar atau kelas sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas, siswa mengerjakan ujian akhir nasional untuk menentukan lulus tidaknya siswa. Ujian akhir tersebut berbentuk tes tertulis, soal-soal yang ada didalamnya menggambarkan materi pelajaran standar yang dipelajari siswa selama belajar di sekolah. Proses seperti ini dikenal dengan istilah evaluasi belajar tahap akhir nasional kemudian diganti menjadi ujian akhir nasional yang biasanya dilakukan setelah akhir suatu program.

    Tujuan adanya ujian akhir nasional adalah untuk mengukur keberhasilan suatu program yang diwujudkan dalam bentuk angka atau skor. Jika anak memperoleh niai delapan puluh berarti anak tersebut menguasi delapan puluh persen materi pelajaran dan berarti lulus.

    Sedangkan untuk anak taman kanak-kanak, proses evalusi seperti diatas tidak sesuai, bahkan tes tertulis seperti itu sebaiknya dihindari kecuali untuk tujuan-tujuan tertentu. Pertimbangannya ialah bahwa anak taman kanak-kanak belum bisa membaca dan menulis. Selain itu, tes tertulis membuat anak stres. Sebagai gantinya didalam lembaga pra sekolah memakai asesmen sebagai evaluasi, penilaian, pengukuran kemampuan belajar siswa. Adapun aspek-aspek pengembangan kompetensi pada anak usia dini sebagai pendoman guru pendidik untuk mengetahui bagaimana cara mengenal dan mengetahui karakteristik anak usia dini serta membantu dalam pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini.

    B. Rumusan Masalah

    Berdasarkarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas , rumusan masalah dalam makalah ini sebagai berikut;

    1. Apa Pengertian Asesmen ?
    2. Apa Fungsi dari Asesmen ?
    3. Apa saja Komponen Asesmen?

    4.      Apa Manfaat Asesmen?

    5.      Apa saja Aspek-Aspek Perkembangan Anak Usia Dini ?

    6.      Apa saja Manfaat  Perkembangan Anak Usia Dini?

    1.3.Tujuan

    Berdasarkan rumusan masalah tersebut diatas, tujuan dan kegunaan makalah ini sebagai berikut:

    1.      Mengetahui Pengertian Asesmen

    2.      Mengetahui Fungsi dari Asesmen

    3.      Mengetahui Komponen Asesmen

    4.      Mengetahui Manfaat Asesmen

    BAB II

    PEMBAHASAN

    A.    Pengertian Pengukuran, Penilaian, dan Tes

    1.      Pengertian Asesmen Pembelajaran

              Secara umum, asesmen dapat diartikan sebagai proses untuk mendapatkan informasi dalam bentuk apapun yang dapat digunakan untuk dasar pengambilan keputusan tentang siswa baik yang menyangkut kurikulumnya, program pembelajarannya, iklim sekolah maupun kebijakan-kebijakan sekolah. Keputusan tentang siswa ini termasuk bagaimana guru mengelola pembelajaran di kelas, bagaimana guru menempatkan siswa pada program- program pembelajaran yang berbeda, tingkatan tugas-tugas untuk siswa yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masing-masing, bimbingan dan penyuluhan, dan saran untuk studi lanjut.

              Keputusan tentang kurikulum dan program sekolah termasuk pengambilan keputusan tentang efektifitas program dan langkah-langkah untuk meningkatkan kemampuan siswa dengan pengajaran remidi (remidial teaching). Keputusan untuk kebijakan pendidikan meliputi; kebijakan di tingkat sekolah, kabupaten maupun nasional. Pembahasan tentang kompetensi untuk melakukan asesmen tentang siswa akan meliputi bagaimana guru mengkoleksi semua informasi untuk membantu siswa dalam mencapai target pembelajaran dengan berbagai teknik asesmen, baik teknik yang bersifat formal maupun nonformal, seperti teknik paper and pencil test, unjuk kerja siswa dalam menyelesaikan pekerjaan rumah, tugas-tugas di laboratorium maupun keaktifan diskusi selama proses pembelajaran. Semua informasi tersebut dianalisis untuk kepentingan laporan kemajuan siswa.

              Asesmen secara sederhana dapat diartikan sebagai proses pengukuran dan non pengukuran untuk memperoleh data karakteristik peserta didik dengan aturan tertentu. Dalam pelaksanaan asesmen pembelajaran, guru akan dihadapkan pada 3 (tiga) istilah yang sering dikacaukan pengertiannya, atau bahkan sering pula digunakan secara bersama yaitu istilah pengukuran, penilaian dan test. Untuk lebih jauh bisa memahami pelaksanaan asesmen pembelajaran secara keseluruhan, perlu dipahami dahulu perbedaan pengertian dan hubungan di antara ketiga istilah tersebut, dan bagaimana penggunaannya dalam asesmen pembelajaran.

    2.      Pengukuran

              Secara sederhana pengukuran dapat diartikan sebagai kegiatan atau upaya yang dilakukan untuk memberikan angka-angka pada suatu gejala atau peristiwa, atau benda, sehingga hasil pengukuran akan selalu berupa angka. Alat untuk melakukan pengukuran ini dapat berupa alat ukur standar seperti meter, kilogram, liter dan sebagainya, termasuk ukuran-ukuran subyektif yang bersifat relatif, seperti depa, jengkal, “sebentar lagi”, dan lain-lain. Dalam proses pembelajaran guru juga melakukan pengukuran terhadap proses dan hasil belajar yang hasilnya berupa angka-angka yang mencerminkan capaian dan proses dan hasil belajar tersebut.

              Angka 50, 75, atau 175 yang diperoleh dari hasil pengukuran proses dan hasil pembelajaran tersebut bersifat kuantitatif dan belum dapat memberikan makna apaapa, karena belum menyatakan tingkat kualitas dari apa yang diukur. Angka hasil pengukuran ini biasa disebut dengan skor mentah. Angka hasil pengukuran barumempunyai makna bila dibandingkan dengan kriteria atau patokan tertentu.

    3.      Evaluasi

              Evaluasi adalah proses pemberian makna atau penetapan kualitas hasil pengukuran dengan cara membandingkan angka hasil pengukuran tersebut dengan kriteria tertentu. Kriteria sebagai pembanding dari proses dan hasil pembelajaran tersebut dapat ditentukan sebelum proses pengukuran atau dapat pula ditetapkan sesudah pelaksanaan pengukuran. Kriteria ini dapat berupa proses/kemampuan minimal yang dipersyaratkan, atau batas keberhasilan, dapat pula berupa kemampuan rata-rata unjuk kerja kelompok dan berbagai patokan yang lain.

              Kriteria yang berupa batas kriteria minimal yang telah ditetapkan sebelum pengukuran dan bersifat mutlak disebut dengan Penilaian Acuan Patokan atau Penilaian Acua Kriteria (PAP/PAK), sedang kriteria yang ditentukan setelah kegiatan pengukuran dilakukan dan didasarkan pada keadaan kelompok dan bersifat relatif disebut dengan Penialain Acuan Norma/ Penilaian Acuan Relatif (PAN/PAR)

    4.      Tes

              Adalah seperangkat tugas yang harus dikerjakan atau sejumlah pertanyaan yang harus dijawab oleh peserta didik untuk mengukur tingkat pemahaman dan penguasaannya terhadap cakupan materi yang dipersyaratkan dan sesuai dengan tujuan pengajaran tertentu. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya tes merupakan alat ukur yang sering digunakan dalam asesmen pembelajaran disamping alat ukur yang lain.

    B.     Fungsi, Tujuan, Dan Prinsip Asesmen

    1.      Penilaian Kelas

              Penilaian kelas pada dasarnya merupakan rangkaian kegiatan pendidik yang terkait dengan pengambilan keputusan tentang pencapaian kompetensi atau hasil belajar peserta didik selama mengikuti proses pembelajaran. Untuk kepentingan itu dilakukan pengumpulan data sebagai informasi akurat untuk pengambilan keputusan. Pengumpulan data dengan prosedur dan alat penilaian yang sesuai dengan kompetensi dasar atau indikator yang akan dinilai yang dalam subunit terdahulu kita sebut dengan asesmen.

    2.      Tujuan Asesmen Berbasis kelas

              Secara rinci tujuan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

    a.       Dengan melakukan asesmen berbasis kelas ini pendidik dapat mengetahui seberapa jauh siswa dapat mencapai tingkat pencapai kompetensi yang dipersyaratkan, baik selama mengikuti pembelajaran dan setelah proses pembelajaran berlangsung.

    b.      Saat melaksanakan asesmen ini, Anda sebagai pendidik juga akan bisa langsung memberikan umpan balik kepada peserta didik, sehingga tidak pelu lagi menunda atau menunggu ulangan semester untuk bisa mengetahui kekuatan dan kelemahannya dalam proses pencapaian kompetensi.

    c.       Dalam asesmen berbasis kelas ini, Anda juga secara terus menerus dapat melakukan pemantauan kemajuan belajar yang dicapai setiap peserta didik, sekaligus Anda dapat mendiagnosis kesulitan belajar yang dialami peserta didik sehingga secara tepat dapat menentukan siswa mana yang perlu pengayaan dan siswa yang perlu pembelajaran remedial untuk mencapai kompetensi yang dipersyaratkan.

    d.      Hasil pemantauan kemajuan proses dan hasil pembelajaran yang dilakukan terus menerus tersebut juga akan dapat dipakai sebagai umpan balik bagi Anda untuk memperbaiki metode, pendekatan, kegiatan, dan sumber belajar yang digunakan, sesuai dengan kebutuhan materi dan juga kebutuhan siswa.

    e.       Hasil-hasil pemantauan tersebut, kemudian dapat Anda jadikan sebagai landasan untuk memilih alternatif jenis dan model penilaian mana yang tepat untuk digunakan pada materi tertentu dan pada mata pelajaran tertentu, yang sudah barang tentu akan berbeda. Anda sebagai pendidik yang tahu persis pertimbangan pemilihannya

    f.       Hasil dari asesmen ini dapat pula memberikan informasi kepada orang tua dan komite sekolah tentang efektivitas pendidikan, tidak perlu menunggu akhir semester atau akhir tahun. Komunikasi antara pendidik, orang tua dan komite harus dijalin dan dilakukan terus menerus sesuai kebutuhan

    3.      Fungsi Asesmen Berbasis kelas

              Secara rinci fungsi dari penilaian kelas dapat dijelaskan sebagai berikut (Diknas, 2006):

    a.       Kalau tujuan pembelajaran adalah pencapaian standar kompetensi maupun kompetensi dasar, maka penilaian kelas ini dapat menggambarkan sejauhmana seorang peserta didik telah menguasai suatu kompetensi.

    b.      Asesmen berbasis kelas dapat berfungsi pula sebagai landasan pelaksanaan evaluasi hasil belajar peserta didik dalam rangka membantu peserta didik memahami dirinya, membuat keputusan tentang langkah berikutnya, baik untuk pemilihan program, pengembangan kepribadian maupun untuk penjurusan, dalam hal ini terkait erat dengan peran guru sebagai pendidik sekaligus pembimbing.

    c.       Sejalan dengan tujuan asesmen yang telah dikemukakan di atas maka salah satu fungsi asesmen berbasis kelas ini adalah menemukan kesulitan belajar dan kemungkinan prestasi yang bisa dikembangkan peserta didik dan sebagai alat diagnosis yang membantu pendidik menentukan apakah seorang siswa perlu mengikuti remedial atau justru memerlukan program pengayaan.

    d.      Dengan demikian asesmen juga akan berfungsi sebagai upaya pendidik untuk dapat menemukan kelemahan dan kekurangan proses pembelajaran yang telah dilakukan ataupun yang sedang berlangsung. Temuan ini selanjutnya dapat digunakan sebagai dasar penentuan langkah perbaikan proses pembelajaran berikutnya, guna peningkatan capaian hasil belajar siswa.

    e.       Kesemuanya dapat dipakai sebagai kontrol bagi guru sebagai pendidik dan semua stake holder pendidikan dalam lingkup sekolah tentang gambaran kemajuan perkembangan proses dan hasil belajar peserta didik.

    C.    Cakupan, Jenis dan Teknik Asesmen Pembelajaran

    1.      Cakupan Ranah Asesmen

              Cakupan asesmen terkait dengan ranah hasil belajar dalam konteks Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang diberlakukan. Hal ini merupakan penjabaran dari stándar isi dan stándar kompetensi lulusan. Di dalamnya memuat kompetensi secara utuh yang merefleksikan pengetahuan, keterampilan, dan sikap sesuai karakteristik masing-masing mata pelajaran. Muatan dari stándar isi pendidikan adalah stándar kompetensi dan kompetensi dasar. Satu stándar kompetensi terdiri dari beberapa kompetensi dasar dan setiap kompetensi dasar dijabarkan ke dalam indikator-indikator pencapaian hasil belajar yang dirumuskan atau dikembangkan oleh guru dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi sekolah/daerah masing-masing. Indikator-indikator yang dikembangkan tersebut merupakan acuan yang digunakan untuk menilai pencapaian kompetensi dasar bersangkutan. Teknik penilaian yang digunakan harus disesuaikan dengan karakteristik indikator, standar kompetensi dasar dan kompetensi dasar yang diajarkan oleh guru. Tidak menutup kemungkinan bahwa satu indikator dapat diukur dengan beberapa teknik penilaian, hal ini karena memuat domain kognitif, afektif, dan psikomotor.

              Seperti diuraikan di atas, umumnya tujuan pembelajaran mengikuti pengklasifikasian hasil belajar yang dilakukan oleh Bloom pada tahun 1956, yaitu cognitiveaffective, dan psychomotor. Benjamin Bloom (1956) mengelompokkan kemampuan manusia ke dalam dua ranah (domain) utama yaitu ranah kognitif dan ranah non-kognitif. Ranah non-kognitif dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu ranah afektif dan ranah psikomotor. Setiap ranah diklasifikasikan secara berjenjang mulai dari yang sederhana sampai pada yang kompleks.

    a.      Ranah Kognitif

    Dalam hubungannya dengan satuan pelajaran, ranah kognitif memegang tempat utama, terutama dalam tujuan pengajaran di SD, SMTP, dan SMU. Aspek kognitif dibedakan atas enam jenjang, yaitu aspek pengetahuan, pemahanan, analisis, sintesis dan penilaian.

    1)      Pengetahuan (knowledge), dalam jenjang ini seseorang dituntut dapat mengenali atau mengetahui adanya konsep, fakta atau istilah tanpa harus mengerti atau dapat menggunakannya. Kata-kata operasional yang digunakan, yaitu: mendefinisikan, mendeskripsikan, mengidentifikasikan, mendaftarkan, menjodohkan, menyebutkan, menyatakan dan mereproduksi.

    2)      Pemahaman (comprehension), kemampuan ini menuntut siswa memahami atau mengerti apa yang diajarkan, mengetahui apa yang sedang dikomunikasikan dan dapat memanfaatkan isinya tanpa harus menghubungkannya dengan hal-hal lain. Kemampuan ini dijabarkan menjadi tiga, yakni; (a) menterjemahkan, (b) menginterpretasikan, dan (c) mengekstrapolasi. Kata-kata operasional yang digunakan antara lain: memperhitungkan, memperkirakan, menduga, menyimpulkan, membedakan, menentukan, mengisi, dan menarik kesimpulan.

    3)      Penerapan (aplication), adalah jenjang kognitif yang menuntut kesanggupan menggunakan ide-ide umum, tata cara ataupun metode-metode, prinsip-prinsip, serta teori-teori dalam situasi baru dan konkret. Kata-kata operasional yang digunakan antara lain: mengubah, menghitung, mendemonstrasikan, menemukan, memanipulasikan, menghubungkan, menunjukkan, memecahkan, dan menggunakan.

    4)      Analisis (analysis adalah tingkat kemampuan yang menuntut seseorang untuk dapat menguraikan suatu situasi atau keadaan tertentu ke dalam unsur-unsur atau komponen pembentuknya. Kemampuan analisis diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu; (a) analisis unsur, (b) analisis hubungan, (c) analisis prinsip-prinsip yang terorganisasi. Kata-kata operasional yang umumnya digunakan antara lain: memperinci, mengilustrasikan, menyimpulkan, menghubungkan, memilih, dan memisahkan.

    5)      Sintesis (synthesis), jenjang ini menuntut seseorang untuk dapat menghasilkan sesuatu yang baru dengan cara menggabungkan berbagai faktor. Hasil yang diperoleh dapat berupa: tulisan, rencana atau mekanisme. Kata operasional yang digunakan terdiri dari: mengkatagorikan, memodifikasikan, merekonstruksikan, mengorganisasikan, menyusun, membuat design, menciptakan, menuliskan, dan menceritakan.

    6)      Evaluasi (evaluation) adalah jenjang yang menuntut seseorang untuk dapat menilai suatu situasi, keadaan, pernyataan, atau konsep berdasarkan suatu kriteria tertentu. Hal penting dalam evaluasi ialah menciptakan kondisi sedemikian rupa sehingga siswa mampu mengembangkan kriteria, standar atau ukuran untuk mengevaluasi sesuatu. Kata-kata operasional yang dapat digunakan antara lain: menafsirkan, menentukan, menduga, mempertimbangkan, membenarkan, dan mengkritik.

    b.      Ranah Afektif

    Secara umum ranah afektif diartikan sebagai internalisasi sikap yang menunjuk ke arah pertumbuhan batiniah yang terjadi bila individu menjadi sadar tentang nilai yang diterima dan kemudian mengambil sikap sehingga kemudian menjadi bagian dari dirinya dalam membentuk nilai dan menentukan tingkah lakunya. Jenjang kemampuan dalam ranah afektif yaitu:

    1)      Menerima (Receiving), diharapkan siswa peka terhadap eksistensi fenomena atau rangsangan tertentu. Kepekaan ini diawali dengan penyadaran kemampuan untuk menerima dan memperhatikan. Kata-kata operasional yang digunakan antara lain: menanyakan, memilih, mendeskripsikan, memberikan, mengikuti, menyebutkan.

    2)      Menjawab (Responding), siswa tidak hanya peka pada suatu fenomena, tetapi juga bereaksi terhadap salah satu cara. Penekanannya pada kemauan siswa untuk menjawab secara sukarela, membaca tanpa ditugaskan. Kata-kata operasional yang digunakan antara lain: menjawab, membantu, melakukan, membaca, melaporkan, mendiskusikan, dan menceritakan.

    3)      Menilai (valuing), diharapkan siswa dapat menilai suatu obyek, fenomena atau tingkah laku tertentu dengan cukup konsisten. Kata-kata operasional yang digunakan antara lain; melengkapi, menerangkan, membentuk, mengusulkan, mengambil bagian, memilih, dan mengikuti.

    4)      Organisasi (organization), tingkat ini berhubungan dengan menyatukan nilainilai yang berbeda, menyelesaikan/memecahkan masalah, membentuk suatu sistem nilai. Kata-kata operasional yang digunakan antara lain: mengubah, mengatur, menggabungkan, membandingkan, mempertahankan, menggeneralisasikan, dan memodifikasikan.

    c.       Ranah Psikomotor

    Berkaitan dengan gerakan tubuh atau bagian-bagiannya mulai dari yang sederhana sampai yang kompleks. Perubahan pola gerakan memakan waktu sekurang-kurangnya 30 menit. Kata operasional untuk aspek psikomotor harus menunjuk pada aktualisasi kata-kata yang dapat diamati, yang meliputi:

    1)      Muscular or motor skill; mempertontonkan gerak, menunjukkan hasil, melompat, menggerakkan, dan menampilkan.

    2)      Manipulations of materials or objects; mereparasi, menyusun, membersihkan, menggeser, memindahkan, dan membentuk.

    3)       Neuromuscular coordination; mengamati, menerapkan, menghubungkan, menggandeng, memadukan, memasang, memotong, menarik, dan menggunakan. (Poerwanti E., 2001)

    2.      Asesmen sebagai dasar Evaluasi

              Skor yang diperoleh sebagai hasil pengukuran hasil belajar dalam pelaksanaan asesmen seringkali belum bisa memberikan makna secara optimal, sebelum diberikan kualitas dengan membandingkan skor hasil pengukuran tersebut dengan kriteria tertentu. Kriteria atau pendekatan dalam evaluasi hasil belajar dapat berupa kriteria yang bersifat mutlak, kriteria relatif atau kriteria performance.

    3.      Pelaksanaan Asesmen dan Penilaian Hasil Belajar

              Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19, Tahun 2005 (PP No. 19/2005), penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas; (1) penilaian hasil belajar oleh pendidik, (2) penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan, dan (3) penilaian hasil belajar oleh Pemerintah.

    4.      Teknik Asesmen

              Dilihat dari tekniknya, asesmen proses dan hasil belajar dibedakan menjadi dua macam yaitu dengan Teknik Tes dan Non Tes namun pada umumnya pengajar lebih banyak menggunakan tes sebagai alat ukur dengan rasional bahwa tingkat obyektivitas evaluasi lebih terjamin, hal ini tidak sepenuhnya benar. Anda bisa lebih jauh mencermati pada unit-unit selanjutnya.

    1)      Teknik tes adalah seperangkat tugas yang harus dikerjakan oleh orang yang dites, dan berdasarkan hasil menunaikan tugas-tugas tersebut, akan dapat ditarik kesimpulan tentang aspek tertentu pada orang tersebut. Tes sebagai alat ukur sangat banyak macamnya dan luas penggunaannya.

    2)      Teknik nontes dapat dilakukan dengan observasi baik secara langsung ataupun tak langsung, angket ataupun wawancara. Dapat pula dilakukan dengan Sosiometri, teknik non tes digunakan sebagai pelengkap dan digunakan sebagai pertimbangan tambahan dalam pengambilan keputusan penentuan kualitas hasil belajar, teknik ini dapat bersifat lebih menyeluruh pada semua aspek kehidupan anak. Dalam KBK teknik nontes disarankan untuk banyak digunakan.

    BAB III

    KESIMPULAN

                Asesmen merupakan kegiatan untuk mengungkapkan kualitas proses dan hasil pembelajaran. Banyak yang mencampuradukkan pengertian antara evaluasi evaluation), penilaian (assessment), pengukuran (measurement), dan tes (test), padahal keempatnya memiliki pengertian dan fungsi yang berbeda. Evaluasi adalah kegiatan mengidentifikasi untuk melihat apakah suatu program yang telah direncanakan telah tercapai atau belum, berharga atau tidak, dan dapat pula untuk melihat tingkat efisiensi pelaksanaannya. Evaluasi berhubungan dengan keputusan nilai (value judgement). Penilaian (assessment) adalah penerapan berbagai cara dan penggunaan beragam alat penilaian untuk memperoleh informasi tentang sejauh mana hasil belajar siswa atau ketercapaian kompetensi (rangkaian kemampuan) siswa. Penilaian menjawab pertanyaan tentang sebaik apa hasil atau prestasi belajar seorang siswa. Pengukuran (measurement) adalah proses pemberian angka atau usaha memperoleh deskripsi numerik dari suatu tingkatan dimana seorang siswa telah mencapai karakteristik tertentu. Hasil penilaian dapat berupa nilai kualitatif dan nilai kuantitatif. Pengukuran berhubungan dengan proses pencarian atau penentuan nilai kuantitatif tersebut. Tes adalah cara penilaian yang dirancang dan dilaksanakan kepada siswa pada waktu dan tempat tertentu serta dalam kondisi yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang jelas.

    Pada umumnya tujuan pembelajaran mengikuti pengklasifikasian hasil belajar yang dilakukan oleh Bloom pada tahun 1956, yaitu cognitiveaffective dan psychomotor. Kognitif adalah ranah yang menekankan pada pengembangan kemampuan dan ketrampilan intelektual. Afektif adalah ranah yang berkaitan dengan pengembangan perasaan, sikap nilai dan emosi dan ranah psikomotor adalah ranah yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan atau ketrampilan motorik. Kriteria atau pendekatan dalam evaluasi hasil belajar dapat berupa kriteria yang bersifat mutlak, kriteria relatif atau kriteria performa. Jenis evaluasi selalu dikaitkan dengan fungsi dan tujuan evaluasi, yang meliputi (1) Evaluasi Formatif (2) Evaluasi Sumatif (3) Evaluasi Diagnostik (4) Evaluasi penempatan, dan (5) Evaluasi Seleksi. Menurut PP. 19 tahun 2005, penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas: (1) penilaian hasil belajar oleh pendidik; (2) penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan; dan (3) penilaian hasil belajar oleh Pemerintah.  Dilihat dari tekniknya, asesmen proses dan hasil belajar dibedakan menjadi dua macam yaitu dengan teknik tes dan nontes.

    DAFTAR PUSTAKA

    Adams. J WikEd. Authentic Assessment [online]. tersedia:http://wik.ed.uiuc.edu/index.php/ Authentic_Assessment#Descriptions.2C_definitions.2C_synonyms.2C_organizer_terms.2C_types_ofInternet. Diakses tanggal 28 Juni 20014.

    Anas S, Drs, Prof (1995). Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

    Farida Yusuf Tayibnapis. 2000. Evaluasi Program. Jakarta:  Rineka Cipta.

    Hopkins, C., D., & Antes, R., L., 1990. Classroom Measurement and Evaluation.Illinois:  F.E. Peacock Publishers. Inc.

    Wiggins, Grant. 1990. The case for authentic assessmentPractical Assessment, Research & Evaluation, 2(2). [online] tersedia: http://PAREonline.net/getvn.asp?v=2&n. Diakses tanggal 28 Juni 20014.

  • Makalah Antropologi Pendidikan

    Antropologi Pendidikan

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Pendidikan dapat diartikan sebagai suatu proses pembelajaran, pemberian pengetahuan, keterampilan dan sikap melalui pikiran, karakter serta kapasitas fisik dengan menggunakan pranata-pranata agar tujuan yang ingin dicapai dapat dipenuhi. Pendidikan dapat diperoleh melalui lembaga formal dan informal. Penyampaian kebudayaan melalui lembaga informal tersebut dilakukan melalui enkulturasi semenjak kecil di dalam lingkungan keluarganya. Dalam masyarakat yang sangat kompleks, terspesialisasi dan berubah cepat, pendidikan memiliki fungsi yang sangat besar dalam memahami kebudayaan sebagai satu keseluruhan.

    Dengan makin cepatnya perubahan kebudayaan, maka makin banyak diperlukan waktu untuk memahami kebudayaannya sendiri.

    Hal ini membuat kebudayaan di masa depan tidak dapat diramalkan secara pasti, sehingga dalam mempelajari kebudayaan baru diperlukan metode baru untuk mempelajarinya. Dalam hal ini pendidik dan antropolog harus saling bekerja sama, dimana keduanya sama-sama memiliki peran yang penting dan saling berhubungan. Pendidikan bersifat konservatif yang bertujuan mengumpulkan hasil-hasil prestasi kebudayaan, yang dilakukan oleh pemuda-pemudi sehinga dapat menyesuaikan diri pada kejadian-kejadian yang dapat diantisipasikan di dalam dan diluar kebudayaan serta merintis jalan untuk melakukan perubahan terhadap kebudayaan.

    Bab II. Antropologi Pendidikan

    Antrpologi pendidikan mulai menampilkan dirinya sebagai disiplin ilmu pada pertengahan abad-20. Pada waktu itu banyak pertanyaan yang diajukan kepada tokoh pendidikan tentang sejauhmana pendidikan dapat mengubah suatu masyarakat. Sebagaimana di ketahui pada waktu itu negara maju tengah mengibarkan program besarnya, yakni menciptakan pembangunan di negara-negara yang baru merdeka (hadad,1980). Antropologi pendidikan berupaya menemukan pola budaya belajar masyarakat (pedesaan dan perkotaan) yang dapat menciptakan perubahan sosial. Demikian juga mengenai perwujudan kebudayaan para pengambil kebijakan pendidikan yang berorientasi pada perubahan sosial budaya mendapat perhatian.

    Pada awalnya Antropologi dipandang sebagai ilmu yang menggambarkan kebudayaan masyarakat yang ada di luar Eropa. Bahan dasar pembentunkan ilmu itu dikumpulkan sejak abad ke-18 ketika banyaknya cerita-cerita orang perorangan yang kebetulan bertemu dengan kelompok suku bangsa yang kehidupannya amat unik dan bersahaja dalam perspektif bangsa Eropa. Cerita-cerita tersebut diperkuat dengan perjalanan ilmuan yang mengunjungi masyarakat kelompok tersebut, yang didukung oleh laporan administrasi pegawai colonial tentang keadaan lingkungan dan adat istiadat bangsa yang berada dikoloninya. Sejumlah informasi tersebut menjadi sekumpulan data berharga untuk menjadi bahan analisis ilmuan, termasuk pihak pemerintah colonial untuk mendorong dilakukannya serangkaian penelitian yang sistematis mengenai kehidupan bangsa diluar benua Eropa.

    A. Antropologi Pendidikan

    1. Antropologi

    Antropologi adalah kajian tentang manusia dan cara-cara hidup mereka. Antropologi mempunyai dua cabang utama, yaitu antropologi yang mengkaji evolusi fisik manusia dan adaptasinya terhadap lingkungan yang berbeda-beda, dan antropologi budaya yang mengkaji baik kebudayaan-kebudayaan yang masih ada maupun kebudayaan yang sudah punah. Secara umum antropologi budaya mencakup antropologi bahasa yang mengkaji bentuk-bentuk bahasa, arkeologi yang mengkaji kebudayaan-kebudayaan yang masih punah, etnologi yang mengkaji kebudayaan yang masih ada atau kebudayaan yang hidup yang masih dapat di amati secara langsung.

    Antropologi merupakan salah satu cabang ilmu sosial yang mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu. Lahir atau muncul berawal dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda dari apa yang dikenal di Eropa. Antropologi lebih memusatkan pada penduduk yang merupakan masyarakat tunggal, tunggal dalam arti kesatuan masyarakat yang tinggal di daerah yang sama, antropologi mirip seperti sosiologi tetapi pada sosiologi lebih menitikberatkan pada masyarakat dan kehidupan sosialnya.

    Antropologi adalah suatu ilmu yang memahami sifat – sifat semua jenis manusia secara lebih banyak. Antropologi yang dahulu dibutuhkan oleh kaum misionaris untuk penyebaran agama Nasrani dan bersamaan dengan itu berlangsung system penjajahan atas Negara – Negara di luar Eropa, dewasa ini dibutuhkan bagi kepentingan kemanusiaan yang lebih luas. Studi antropologi selain untuk kepentingan pengembangan ilmu itu sendiri, di Negara – Negara yang telah membangun sangat diperlukan bagi pembuatan – pembuatan kebijakan dalam rangka pembangunan dan pengembangan masyarakat.

    Sebagai suatu disiplin ilmu yang sangat luas cakupannya, maka tidak ada seorang ahli antropologi yang mampu menelaah dan menguasai antropologi secara sempurna. Demikianlah maka antropologi dipecah – pecah menjadi beberapa bagian dan para ahli antropologi masing – masing mengkhususkan diri pada spesialisasi sesuai dengan minat dan kemampuannya untuk mendalami studi secara mendalam pada bagian – bagian tertentu dalam antropologi. Dengan demikian, spesialisasi studi antropologi menjadi banyak, sesuai dengan perkembangan ahli – ahli antropologi dalam mengarahkan studinya untuk lebih mamahami sifat – sifat dan hajat hidup manusia secara lebih banyak.

    2. Sejarah Perkembangan Antropolgi

    Tahap pertamaantropologi muncul ketika orang pribumi di Asia, Afrika dan Amerika didatangi oleh orang Eropa. Orang Eropa tertarik kepada orang pribumi karena kebudayaan orang Eropa sangat berbeda dengan kebudayaan orang pribumi.

    Tahap kedua, antropopologi telah berkembang dengan tujuan utama untuk mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksud untuk mendapat suatu pengertian tentang tingkat-tingkat kuno dalam sejarah dan evolusi dan sejarah penyebaran kebudayaan manusia.

    Tahap ketiga, pada fase perkembangan ketiga ini, antroplogi menjadi suatu ilmu yang praktis, dengan tujuannya adalah mempelajari masyarakat dan kebudayaan suku-suku bangsa di luar Eropa guna kepentingan kolonial dan guna mendapat suatu pengertian tentang masyarakat masa kini yang kompleks.

    Tahap keempat, antropologi mengalami masa perkembangan yang paling luas, baik mengenai bertambahnya bahan pengetahuan yang jauh lebih teliti maupun mengenai ketajaman dari metode-metode ilmiahnya. Pada masa perkembangan ini, antropologi mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan akademis dan tujuan praktis.

    Tujuan akademis dari ilmu ini adalah mencapai pengertian tentang makhluk manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna bentuk fisiknya, masyarakat serta kebudayaan, sedang tujuan praktis dari ilmu antropologi adalah mempelajari manusia dalam aneka warna masyarakat suku bangsa guna membangun masyarakat suku bangsa itu.
    Dari tahap-tahap perkembangan ilmu antropologi tampak bahwa sebagaimana halnya dengan ilmu-ilmu pengetahuan yang lain ilmu pengetahuan antroplogi pun terus mengalami perkembangan.

    Pada tahap awal sejarah perkembangannya, antropologi hanya bersifat deskripsikemudian dalam perkembangannya bahasan/ulasan antropologi disertai penjelasan atas dasar analisis dari interaksi antara manusia dengan kebudayaannya. Di samping itu, antropologi mempunyai perhatian utama adanya perbedaan dan persamaan (keanekawarnaan) berbagai manusia (ras) dan budaya di muka bumi.

    3. Konsep Evolusi Manusia dalam Ilmu Biologi

    Dalam tahun 1858 ahli biologi C. Darwin (1809-1882) memberikan ceramah yang disponsori oleh perhimpunan Linnean di London, dan setahun kemudian terbitlah bukunya The Origin Of Species (1859). Pendirian yang diajukan dalam ceramah dan buku itu adalah bahwa semua bentuk hidup dan jenis makhluk yang kini ada di dunia itu, dengan dipengaruhi oleh berbagai macam proses alamiah, berevolusi atau berkembang sangat lambat dari bentuk-bentuk yang sangat sederhana (yaitu makhluk-makhluk satu sel) menjadi beberapa jenis baru yang komplek. Makhluk-makhluk jenis baru itu masing-masing berevolusi juga menjadi jenis-jenis baru yang bertambah kompleks lagi, dan demikian seterusnya hingga dalam jangka waktu beratus-ratus juta tahun terjadilah jenis-jenis makhluk yang paling kompleks seperti kera dan manusia.

    Orang awam di Eropa Barat mula-mula sangat menentang pendirian tadi, dan walaupun sudah ada berbagai tulisan mengenai proses sejarah evolusi masyarakat manusia pada waktu itu, tetapi gagasan mengenai jenis-jenis evolusi belum dapat diterima. Hal itu di karenakan pada pertengahan abad ke-19 di Eropa ada suatu pembangkitan dan pengetatan kembali dari kehidupan keagamaan, dan gagasan-gagasan seperti gagasan Darwin itu di anggap gagasan orang kafir yang bertentangan dengan keyakinan ke agamaan  yang mengatakan bahwa semua jenis mahkluk di dunia (termasuk manusia), merupakan hasil ciptaan Tuhan yang mutlak. Kecuali itu gagasan bahwa manusia dan kera merupakan keturunan dari suatu makhluk yang sama, bahkan bahwa manusia adalah keturuna Kera , merupakan gagasan yang awam terlampau sulit untuk di terima.

    Di samping C. Darwin ada pula ahli biologi lain, yaitu A. Wallace (1823-1913) yang secara terpisah dari Darwin telah juga mengembangkan gagasan tentang evolusi mahkluk di dunia yang sama, walaupun Wallace lebih memperluas soal proses seleksi alam dalam penentuan bentuk fisik dari jenis-jenis yang baru dalam proses evolusi. Darwin hanya menyebut mengenai seleksi alam itu secara sepintas lalu dalam ceramahnya. Pada dasarnya memang tidak ada perbedaan antara teori mengenai proses evolusi dari kedua ahli biologi itu, kedua-duanya berpendirian bahwa di antara individu-individu dalam satu jenis mahluk selalu ada perbedaan-perbedaan kecil. Beberapa individu yang lemah kurang dapat bertahan terhadap tekanan-tekanan alam, lalu mati, sedangkan individu-individu yang lebih kuat dapat bertahan dan hidup langsung. Melahirkan keturunan dan mewariskan sifat-sifatnya yang kuat tadi kepada sebagian dari keturunannya. Dalam generasi berikutnya proses tadi berulang lagi, demikian seterusnya. Menurut Wallace, semakin kejam dan keras tekanan alamnya maka semakin tinggi pula mutu yang menjadi syarat bagi organisme individu-individu dari suatu jenis yang memiliki sifat-sifat yang dapat memenuhi syarat-syarat alamiah itulah yang dapat bertahan untuk hidup terus. Inilah yang oleh Darwin maupun Wallace disebut “seleksi alam”.

    4. Ilmu-ilmu Bagian dari Antropologi

    Di universitas-universitas Amerika, tempat antropologi telah mencapai perkembangan yang paling luas, ruang lingkup dan batas lapangan perhatian yang luas itu menyebabkan adanya tidak kurang dari lima masalah penelitian khusus, yaitu:

    1. Masalah sejarah asal dan perkembangan manusia (atau evolusinya) dipandang dari segi biologi.
    2. Masalah sejarah terjadinya berbagai ragam manusia, dipandang dari ciri-ciri tubuhnya.
    3. Masalah sejarah asal, perkembangan, serta penyebaran berbagai macam bahasa diseluruh dunia.
    4. Masalah perkembangan, penyebaran, dan terjadinya beragam kebudayaan di dunia.
    5. Masalah mengenai asas-asas kebudayaan manusia dalam kehidupan masyarakat-masyarakat suku bangsa di dunia.

    Lapangan-lapangan penelitian yang bermaksud memecahkan kelima masalah tersebut di atas sangat luas sehingga untuk setiap masalah (yang merupakan ilmu bagian dari antropologi) diperlukan ahli-ahli yang khusus pula.  

    5. Objek Studi dan Pengamatan Antropologi

    Objek studi antropologi dapat dipilah menjadi dua, yaitu objek material dan objek formal. Objek material adalah sasaran yang menjadi perhatian dalam penyelidikan. Mengingat lingkup pelajaran antropologi manusia dan budaya, maka sasaran penyelidikan sebagai objek material sangat luas.

    Sasaran penyelidikan yang banyak tersebut pada umumnya juga menjadi sasaran penyelidikan ilmu pengetahuan sosial lainnya: maka objek formallah yang membedakan ciri ilmu pengetahuan antropologi dengan yang lain. Yang dimaksud objek formal adalah cara pendekatan dalam penyelidikan terhadap objek yang sedang menjadi pusat perhatiannya.

    Ada tiga cara pendekatan dalam ilmu antropologi, yaitu:

    Pertama, pengumpulan fakta. Dalam pengumpulan fakta di sini terdiri dari berbagai metode observasi, mencatat, mengolah dan melukiskan fakta-fakta yang terjadi dalam masyarakat hidup. Sedangkan metode-metode pengumpulan fakta dalam ilmu ini adalah penelitian di lapangan (utama), dan penelitian perpustakaan.

    Kedua, penentuan ciri-ciri umum dan sistem. Hal ini adalah tingkat dalam cara berpikir ilmiah yang bertujuan untuk menentukan ciri-ciri umum dan sistem dalam himpunan fakta yang dikumpulkan dalam suatu penelitian. Adapun ilmu antropologi yang bekerja dengan bahan berupa fakta-fakta yang berasal dari sebanyak mungkin macam masyarakat dan kebudayaan dari seluruh dunia, dalam hal mencari ciri-ciri umum di antara aneka warna fakta masyarakat itu harus mempergunakan berbagai metode membandingkan atau metode komparatif. Adapun metode komparatif itu biasanya dimulai dengan metode klasifikasi.

    Ketiga, verifikasi. Dalam kaitan ini, ilmu antropologi menggunakan metode verifikasi yang bersifat kualitatif. Dengan mempergunakan metode kualitatif, ilmu ini mencoba memperkuat pengertiannya dengan menerapkan pengertian itu dalam kenyataan beberapa masyarakat yang hidup, tetapi dengan cara mengkhusus dan mendalam.

    B.  Antropologi Pendidikan

    G.D. Spindler berpendirian bahwa kontribusi utama yang bisa diberikan antropologi terhadap pendidikan adalah menghimpun sejumlah pengetahuan empiris yang sudah diverifikasikan dengan menganalisa aspek-aspek proses pendidikan yang berbeda-beda dalam lingkungan social budayanya.[9] Teori khusus dan percobaan yang terpisah tidak akan menghasilkan disiplin antropologi pendidikan. Pada dasarnya, antropologi pendidikan mestilah merupakan sebuah kajian sistematik, tidak hanya mengenai praktek pendidikan dalam prespektif budaya, tetapi juga tentang asumsi yang dipakai antropolog terhadap pendidikan dan asumsi yang dicerminkan oleh praktek-praktek pendidikan. (Imran Manan, 1989)

    Dengan mempelajari metode pendidikan kebudayaan maka antropologi bermanfaat bagi pendidikan. Dimana para pendidik harus melakukan secara hati-hati. Hal ini disebabkan karena kebudayaan yang ada dan berkembang dalam masyarakat bersifat unik, sukar untuk dibandingkan sehingga harus ada perbandingan baru yang bersifat tentatif. Setiap penyelidikan yang dilakukan oleh para ilmuwan akan memberikan sumbangan yang berharga dan mempengaruhi pendidikan.

    Antropologi pendidikan dihasilkan melalui teori khusus dan percobaan yang terpisah dengan kajian yang sistematis mengenai praktek pendidikan dalam perspektif budaya, sehingga antropolog menyimpulkan bahwa sekolah merupakan sebuah benda budaya yang menjadi skema nilai-nilai dalam membimbing masyarakat. Namun ada kalanya sejumlah metode mengajar kurang efektif dari media pendidikan sehingga sangat berlawanan dengan data yang didapat di lapangan oleh para antropolog. Tugas para pendidik bukan hanya mengeksploitasi nilai kebudayaan namun menatanya dan menghubungkannya dengan pemikiran dan praktek pendidikan sebagai satu keseluruhan.

    Antropologi pendidikan mulai menampakkan dirinya sebagai disiplin ilmu pada pertengahan abab ke-20. Pada waktu itu banyak pertanyaan yang diajukan kepada tokoh pendidikan tentang sejauhmana pendidikan dapat mengubah suatu masyarakat. Sebagaimana diketahui pada waktu itu Negara maju tengah mengibarkan program besarnya, yakni menciptakan pembangunan di Negara-negara yang baru merdeka (Hadad, 1980). Antropologi pendidikan berupaya menemukan pola budaya belajar masyarakat (pedesaan dan perkotaan) yang dapat merubah perubahan social.

     Demikian juga mengenai perwujudan kebudayaan para ahli mengambil kebijakan pendidikan yang berorientasi pada perubahan social budaya mendapat perhatian. Konferensi pendidikan antropologi yang berorientasi pada perubahan social di Negara-negara baru khususnya melalui pendidikan persekolahan mulai digelar. Hasil-hasil  kajian pendidikan dipersekolahan melalui antropologi diterbitkan pada tahun 1954 dibawah redaksi G.D. Spindler (1963). 

    Konferensi memberi rekomendasi untuk melakukan serangkaian penelitian antropologi pendidikan di persekolahan, mengingat jalur perubahan social budaya salah satunya dapat dilakukan dengan melalui pendidikan formal. Banyak penelitian menunjukan bahwa system pendidikan di Negara-negara baru diorientasikan untuk mengokohkan kelompok social yang tengah bekuasa.

    Antropologi Pendidikan sebagai disiplin kini banyak di kembangkan oleh para ahli yang menyadari pentingnya kajian budaya pada suatu masyarakat. Antropologi di negara-negara maju memandang salah satu persoalan pembangunan di Negara berkembang adalah karena masalah budaya belajar. Kajian budaya belajar kini menjadi perhatian yang semakin menarik, khususnya bagi para pemikir pendidikan diperguruan tinggi. Perhatian ini dilakukan dengan melihat kenyataan lemahnya mutu sumber daya manusia yang berakibat terhadap rentannya ketahanan social budaya masyarakat dalam menghadapi krisis kehidupan.

    Orientasi pengembangan budaya belajar harus dilakukan secara menyeluruh yang menghubungkan pola budaya belajar yang ada di dalam lingkungan masyarakat dan lembaga pendidikan formal. Van Kemenade (1969) telah mengingatkan: “persoalan pendidikan jangan  hanya dianggap melulu persoalan pedagogis didaktis metodis dan tidak menjadi masalah kebikajan social, sehingga pendidikan tidak ada lagi menjadi kebutuhan bersama. Untuk itu perlu analisa empiric tentang tugas pendidikan  dalam konteks kehidupan masyarakat”.

    Pendekatan dan teori antropologi pendidikan dapat dilihat dari dua kategori. Pertama, pendekatan teori antopologi pendidikan yang bersumber dari antropologi budaya yang ditujukan bagi perubahan social budaya. Kedua, pendekatan teori pendidikan yang bersumber dari filsafat.

    Teori antropologi pendidikan yang diorientasikan pada perubahan social budaya dikategorikan menjadi empat orientasi:

    1. Orientasi teoritik yang focus perhatiannya kepada keseimbangan secara statis. Teori ini merupakan bagian dari teori-teori evolusi dan sejarah.
    2. Orientasi teori yang memandang adanya keseimbangan budaya secara dinamis. Teori ini yang menjadi penyempurna teori sebelumnya, yakni orientasi adaptasi dan tekno-ekonomi yang menjadi andalanya
    3. Orientasi teori yang melihat adanya pertentangan budaya yang statis, dimana sumber teori dating dari rumpun teori structural.
    4. Orientasi teori yang bermuatan pertentangan budaya yang bersifat global atas gejala interdependensi antar Negara, dimana teori multicultural termasuk didalamnya.

    C. Konsep Budaya Belajar Pendidikan Antropologi

    Budaya atau kebudayaan tidak hanya berupa fenomena yang berwujud material semata, baik yang berupa benda, tindakan ataupun emosi, melainkan sesuatu yang abstrak yang terdapat dalam pikiran manusia, yaitu berupa model system pengetahuan manusia yang digunakan oleh pemiliknya untuk menafsirkan benda, tindakan dan emosi (Geodenough dalam Spradley, 1972). Tegasnya kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosio budaya yang digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan pengalaman, lingkungannya yang menjadi kerangka landasan untuk menciptakan dan mendorong terwujudnya kelakuan (Suparlan: 1980). Berdasarkan konsep tersebut, maka budaya belajar juga dipandang sebagai model-model pengetahuan manusia mengenai belajar yang digunakan oleh individu atau kelompok social untuk menafsirkan benda, tindakan dan emosi dalam lingkungannya.

    Cara pandang budaya belajar sebagai system pengetahuan mengisyaratkan bahwa, budaya belajar merupakan “pola kelakuan manusia yang berfungsi sebagai blueprint (pedoman hidup) yang dianut secara bersama” (Keesing & Keesing, 1971). Sebagai sebuah pedoman, budaya belajar digunakan untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, yang dapat menciptakan dan mendorong individu-individu bersangkutan melakukan berbagai macam tindakan dan pola tindakan yang sesuai dengan kerangka aturan yang telah digariskan bersama. 

    Budaya belajar dapat menjadi piranti proses adaptasi manusia dengan lingkungannya, baik berupa lingkungan fisik maupun lingkungan social. System pengetahuan belajar digunakan untuk adaptasi dalam kerangka memenuhi tiga syarat kebutuhan hidup, yakni:

    1)      Syarat dasar alamiah, yang berupa kebutuhan biologis, seperti pemenuhan kebutuhan makan, minum, menjaga stamina, menjadikan organ-organ tubuh manusia lebih berfungsi

    2)      Syarat kejiwaan, yakni pemenuhan kebutuhan akan perasaan tenang, jauh dari perasaan takut, keterkucilan, kegelisahan dan berbagai kebutuhan kejiwaan lainnya

    3)      Syarat dasar social, yakni kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain, dapat melangsungkan hubungan, dapat mempelajari kebudayaan, dapat mempertahankan diri dari serangan musuh. (Suparlan, 1980, Bennet, 1976: 172)

    Lebih lanjut Bunnet (1976) menjelaskan, bahwa adaptasi adalah upaya menyesuaikan dalam arti ganda, yakni manusia belajar menyesuaikan kehidupan dengan lingkungannya, atau sebaliknya manusia belajar agar lingkungan yang dihadapi dapat disesuaikan dengan keinginan dan tujuannya. Pada kenyataannya manusia memang tidak hanya sekedar menerima lingkungan dengan apa adanya, melainkan belajar untuk menanggapi bergabai masalah yang ada  di lingkungannya. Oleh karena itu, pada suatu lingkungan masyarakat terdapat ragam bentuk tindakan belajar individu atau kelompok yang pada dasarnya terdorong oleh sikap adaptif mereka. Upaya manusia melakukan belajar menyesuaikan dengan lingkungannya senantiasa berhubungan dengan pranata social, psikologis, ekonomi dan juga fisik nya. (Montagu, 1969, Smith, 1982: 85-89).

    Dalam kaitannya itu, maka budaya belajar dapat dipandang juga sebagai strategi adaptasi yang berupa model-model pengetahuan belajar yang mencakup serangkaian aturan, petunjuk, resep-resep, rencana, strategi yang dimiliki dan digunakan oleh individu pembelajar untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya(spradley, 1972). Resep-resep tersebut berisikan pengetahuan belajar yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi tujuan-tujuan dan tata cara yang digunakan untuk mencapai tujuan dengan sebaik-baiknya.

    Pendidikan sebagai pranata social selalu berbeda dalam tatanan system social masyarakat pendukungnya, yang memiliki kedudukan penting yang relative sama dengan pranata keluarga, agama dan pemerintahan dalam menentukan tata kelakuan seseorang dan kelompok. Oleh karena itu kepribadian seseorang adalah produk dari budaya masyarakat pendukung kebudayaan itu.

    D.    Pranata Pendidikan (Ragam dan Fungsi)

    Pranata social yang ada dalam masyarakat pada umumnya memilki hubungan antara satu dengan yang lainnya, bahkan untuk fungsi tertentu sering terjadi tumpang tindih. Kadang kala pranata tertentu seolah-olah memiliki pengaruh lebih besar dibandingkan dengan lainnya, serta dalam kenyataannya dikesankan memiliki pengaruh yang kuat pula bagi lembaga lainnya. Oleh karena itu dibutuhkan tingkat kesempurnaan dan keseimbangan antara pranata keluarga, pemerintahan, agama, ekonomi dan pendidikan.

    Setiap pranata memiliki symbol tersendiri yang satu sama lain memiliki keterkaitan. Secara substansif pengenal utama setiap pranata dapat dilihat dari adanya symbol budaya, symbol perilaku dan simbul ideology. Simbul budaya adalah lambang yang dipergunakan untuk mengenal keberadaan suatu pranata. Symbol bisa dalam bentuk benda maupun bukan. Bendera, lagu kebangsaan dan logo dipergunakan sebagai penanda suatu pranata. Role of couduck merupakan aturan perilaku baik yang formal dan tradisi informal untuk menjamin perilaku agar tidak terjadi penyimpangan. Ideology yaitu pengikat suatu kelompok. Ideology memberikan aturan dalam bidang social, moral, ekonomi dan politik untuk kelompok tertentu yang umumnya diterima bersama oleh lembaga yang bersangkutan.

    Dalam konteks transmisi kebudayaan, diperlukan piranti tertentu. Piranti ini adalah berbagai institusi social, baik pada lingkungan keluarga, masyarakat, lembaga pendidikan sekolah dan juga media masa sebagai penyalur informasi.   

    1)      Lingkungan Pendidikan Keluarga

    Lingkungan keluarga adalah unit social terkecil yang memiliki peran penting dalam internalisasi. Proses identifikasi dalam keluarga menjadikan seorang anak dapat mengenal keseluruhan anggota keluarganya, baik saudara terdekat maupun saudara jauh. Seorang ayah yang berperan sebagai kepala keluarga dikenalnya melalui tindakan-tindakannya. Demikian pun kegiatan ayah dalam pekerjaan sehari-hari memungkinkan terjadinya identifikasi (bentuk peniruan) oleh anak-anaknya. Upaya peniruan yang pada mulanya dilakukan sambil lalu ini, secara perlahan akan menjadi bagian dalam transmisi buadaya. Para orang tua berfungsi sebagai nara sumber utama.

    Secara tersirat budaya belajar dari peniruan, baik secara individual maupun kelompok memungkinkan terjadinya pemahaman utuh antar genersi (orang tua versus anak). Lingkungan keluarga menjadi salah satu  focus kajian antropologi pendidikan. Terutama mengenai system kebudayaan. Di dalam keluarga itulah suatu generasi dilahirkan dan dibesarkan. Mereka mendapat pelajaran pertama kali, apalagi bagi masyarakat yang belum mengenal dan menciptakan lingkungan pendidikan formal. Dalam lingkungan keluarga terdapat tiga fungsi utama dalam keluarga, yaitu: (1) fungsi seksual; (2) fungsi ekonomi; (3) fungsi edukasi.

    Fungsi eduksi berkaitan dengan pewarisan budaya. Keluarga bukan hanya sebagai tempat melahirkan anak, tetapi sekaligus sebagai tempat membesarkannya. Anak dalam lingkungan keluarga belajar berbahasa, mengumpulkan berbagai pengertian serta belajar menggunakan nilai yang berlaku dalam kebudayaan. Dengan demikian, keluarga berfungsi meneruskan nilai budaya yang dimilikinya. Suasana edukasi berlangsung penuh kasih sayang, keakraban dan penuh tanggung jawab. Dengan kata lain kegiatan edukasi dilakukan secara terus-menerus dengan berbagai cara baik.

     Inti dari proses pewarisan budaya dalam keluarga adalah terjadinya interaksi penuh makna dalam suasana informal. Proses pewarisan budaya di lingkungan keluarga telah banyak mendapat perhatian antropolog. Seperti yang dilakukan oleh Margaret Mead, yang meneliti adat istiadat pengasuhan anak-anak di masyarakat Manus (sebelah utara irian). Bersama F. Cooke Mac Gregor. Med mengadakan penelitian tentang gerak-gerak tubuh anak-anak Bali, yang kemudian hasilnya dibukukan dengan judul Growth and Culture (1951).

    2)      Lingkungan Pendidikan Masyarakat

    J.P Gillin (1951) mengartikan masyarakat sebagai sekelompok manusia yang tersebar, dan yang memiliki kebiasaan, tradisi, sikap dan peranan untuk hidup bersama. Masyarakat terdiri atas kesatuan-kesatuan yang paling kecil. Pada prinsipnya suatu masyarakat terwujud apabila diantara kelompok individu tersebut telah lama melakukan kerja sama serta hidup bersama secara menetap. System perwarisan budaya lewat lingkungan masyarakat berlangsung dalam berbagai pranata social, diantaranya pemilihan hak milik, perkawinan, religi, system hokum, system kekerabatan, dan system edukasi. Sebagai suatu komunitas yang lebih luas, masyarakat memiliki struktur.

                  Pewarisan budaya menjadi tugasbersama bagi seluruh anggota masyarakat di lingkungannya. Bila seorang anak melakukan hubungan pertemanan, maka hubungan atau interaksi social itu menunjukan hubungan yang lebih luas. Mereka akan menerima berbagai pembelajaran nilai dan norma, memperlakukan orang lain, menghormati orang yang lebih tua, dan sebagainya. Mereka juga menyerap berbagai pengetahuan dari lingkungan, mendapatkan bimbingan, dan nilai-nilai lain yang berkembang pada masyarakatnya. Pada saat anak melakukan kekeliruan, maka anggota masyarakat lainnya akan memberikan nasihat atau koreksi terhadap perilakunya yang tidak sesuai tersebut. Demikian selanjutnya seorang anak diberi pelajaran dan bimbingan oleh anggota masyarakat lainnya.

    3)      Lingkungan Pendidikan sekolah

    Sekolah adalah institusi yang diciptakan oleh masyarakat yang berfungsi untuk melaksanakan pembelajaran. Pembelajaran tidak hanya menyampaikan pengetahuan saja yang berupa latihan untuk kecerdasan, melainkan untuk menghaluskan moral dan menjadikan akhlak yang baik. Sekolah dalam masyarakat dikategorikan sebagai pendidikan formal. Pada dasarnya lembaga sekolah berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat dibidang pembelajaran. Kebutuhan masyarakat tentang pembelajaran semakin hari semakin banyak. Oleh karena itu, sekolah pada dasarnya menyiapkan dan membekali peserta didik untuk kehidupan di masa yang akan datang.

    Pendidikan di sekolah dalam kerangka pewarisan budaya jelas sekali arahnya. Para pendidik yang bertugas sebagai guru melakukan penyampaian pengetahuan dan interaksi moral itu berdasarkan rancangan atau program yang disesuaikan dengan system pengetahuan dan nilai-nilai yang dianaut oleh masyarakat. Misalnya dalam mata pelajaran agama yang senantiasa harus diajarkan di berbagai tingkatan dan jenjang pendidikan di sekolah. Hal itu merupakan cermin dari masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama.

    Proses pewarisan budaya di sekolah dilakukan secara bertahap, terencana dan terus menerus. Cara pewarisan melalui lembaga sekolah ini hanya berlaku bagi masyarakat yang kebudayaannya kompleks. Di Indonesia, meskipun suku bangsa masih belum dapat dijangkau mengingat letak geografisnya yang terpencil, namun pendidikan formal ini diupayakan untuk dapat dilaksanakan, misalnya dengan pola guru kunjung. Lebih dari itu, pemerintah Indonesia telah merencanakan adanya program Wajib Belajar Sembilan tahun (Pendidikan Dasar dan Sekolah Menengah Pertama) yang wajib diikuti oleh semua warga Indonesia yang berumur 7 sampai 15 tahun.

    4)      Lingkungan Pendidikan Media Massa

    Media massa adalah bagian dalam masyarakat yang bertugas menyebarluaskan berita, opini, pengetahuan dan sebagainya. Sifat media massa adalah mencari dan mengolah bahan pemberitaan yang actual, menarik perhatian, dan menyangkut kepentingan bersama. Berdasarkan sifatnya, media massa berfungsi sebagai control social terhadap segala bentuk penyimpangan dari nilai, norma, dan aturan yang berlaku di masyarakat. Dengan pemberitaan yang baik dan benar masyarakat menjadi tahu terhadap setiap peristiwa yang terjadi di lingkungan sekitar.

                Salah satu fungsi media massa adalah fungsi pendidikan bagi masyarakat. Banyaknya informasi yang diberikan, baik berupa pendapat-pendapat, masalah social budaya secara langsung maupun tidak dapat memperluas wawasan para pembacanya. Melalui media massa terjalin hubungan atau kontak social secara tidak langsung antar anggota masyarakat. Keseluruhan itu menunjukan besarnya peran media massa dalam proses transformasi budaya bagi seluruh anggota masyarakat.

    E.     Aplikasi Pendidikan Antropologi bagi Pendidikan Multikulturan

    Bagi pendidik persoalan pendidikan multicultural merupakan sesuatu yang sensitive dalam pengertian isu yang kompleks dan unik yang mesti diantisipasi. Dalam kaitannya dengan menumbuhkan kesadaran terhadap keberagaman ini, secara dini harus terjadi suasana saling memahami melalui interaksi yang bermakna anatr satu dengan yang lainnya. Dengan memperhatikan keragaman sebagai bagian dari lingkungan dan perilaku yang dibentuk oleh budaya, maka pembelajaran seyogyanya berpusat pada keragaman latar sosiobudaya.

    Berdasarkan pandangan ini, beberapa prinsip yang perlu diperhatikan oleh seorang pendidik antara lain:

    1.      Penyelenggaraan pendidikan bertumpu pada kesadaran adanya keberagaman

    2.      Memahami dan mengenai pengalaman setiap individu peserta didik berdasarkan pada etnis dan keturunan, dst.

    3.      Orientasi pelayanan bertolak dari kondisi keberagaman menuju keberasamaa.

    4.      Kiat mempromosikan perbedaan yang ditujukan untuk membangun kesamaan dan tidak memperbesar perbedaan.

    5.      Memahami peran organisasi termasuk pengusaha dan profesi sebagai sumber belajar potensial dalam pelaksanaan dan peningkatkan proses pembelajaran, pendidikan dan pelatihan.

    Pendidikan multicultural tidak hanya dimaksudkan memberikan akses kepada kelompok etnik dan minoritas untuk memperoleh akses pendidikan secara baik. Tetapi menciptakan interaksi antara individu dari kelompok tersebut agar tercipta harmoni kehidupan dalam masyarakat plural. Melalui pendekatan pendidikan multicultural akan tercipta :

    a.       Saling memahami perbedaan sosiobudaya.

    b.      Menciptakan harmoni kehidupan dalam suasana berbeda budaya, sebab kesadaran bagaimana mengelola keragaman sosiobudaya untuk harmoni kehidupan dalam masyarakat plural telah muncul sejak tahun 1900.

    BAB. III

    KESIMPULAN

    Antropologi adalah kajian tentang manusia dan cara-cara hidup mereka. Antropologi mempunyai dua cabang utama, yaitu antropologi yang mengkaji evolusi fisik manusia dan adaptasinya terhadap lingkungan yang berbeda-beda, dan antropologi budaya yang mengkaji baik kebudayaan-kebudayaan yang masih ada maupun kebudayaan yang sudah punah.

    Antropologi pendidikan mulai menampakkan dirinya sebagai disiplin ilmu pada pertengahan abab ke-20.

    DAFTAR PUSTAKA

    Ibrahim. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan (Bandung: PT. IMTIMA 2007).

    http://id.wikipedia.org/wiki/Antropologi.

    Koenjaraningrat. Sejarah Teori Antropologi” (Jakarta: Universitas Islam, 1982).

    Koentjaraningrat.  Pengantar Ilmu Antropologi(Jakarta, PT Rineka Cipta, 2009).

    http://id.shvoong.com/social-sciences/1827094-asik-nya-belajar-antropologi/

    Manan,Imanan.  Antropologi Pendidikan, (Jakarta, P2LPTK, 1989.