Blog

  • Laporan Studi Kasus Kenakalan Siswa Karena Kurangnya Peran Keluarga Dalam Pendidikan

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Masa remaja sebagai masa penuh kegoncangan, taraf mencari identitas diri dan merupakan periode yang paling berat (Hurlock, 1993). Calon (1953) dalam Monks (2002) mengatakan masa remaja menunjukkan dengan jelas sifat-sifat masa transisi atau peralihan karena remaja belum memiliki status dewasa tetapi tidak lagi memiliki status anak-anak, karena secara fisik mereka sudah seperti orang dewasa. Perkembangan fisik dan psikis menimbulkan kebingungan dikalangan remaja sehingga masa ini disebut oleh orang barat sebagai periode sturm und drung dan akan membawah akibat yang tidak sedikit terhadap sikap, perilaku, kesehatan, serta kepribadian remaja (Monsk, 2002).

    Lebih jelas pada tahun 1974, WHO memberiikan definisi tentang remaja secara lebih konseptual, sebagai berikut (Sarwono, 2001):

    Remaja adalah suatu masa dimana:

    1. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual.
    2. Individu mengalami perkembangan psikologik dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa.
    3. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.

    B.     Tujuan

    Setelah melakukan observaasi di SD Negeri  mahasiswa di harapkan mendapat pengenalan yang luas dalam observasi yang telah penulis dapatkan, yang berhubungan dengan pengenalan latar Sekolah Dasar (SD) yang meliputi :

    1.      Pengamatan interaksi belajar mengajar dan aktivitas murid di dalam dan di luar kelas.

    2.      Pengamatan terhadap kendala-kendala/kenakalan-kenakalan dalam KBM.

    3.      Mewawancarai Kegiatan Belajar Mengajar (KBM).

    C.    Sasaran Kegiatan

    Kegiatan observasi sasarannya ialah :

    1.      Prilaku guru dalam pembelajaran dan interaksi sosialisasi.

    2.      Prilaku siswa dalam pembelajaran dan interaksi sosialisasi.

    3.      Siswa yang melakukan kenakalan-kenakalan di dalam KBM. 

    4.      Siswa yang mengalami kesulitan belajar karena faktor keluarga dan lingkungan.

    D.    JENIS KEGIATAN

    Jenis kegiatan yang dilaksanakan dalam observasi ini antara lain :

    1.      Observasi / pengamatan.

    2.      Study dokumentasi.

    3.      Wawancara.

    4.      Diskusi dan refleksi hasil.

    Bab II. Permasalahan

           I.            Lokasi Observasi

    Nama Sekolah                         : SD Negeri

    Alamat                                                :

    Visi                                          :

    Terbentuknya manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME menguasai IPTEK serta memiliki keterampilan yang memadai sebagai bekal hidup di masa depan.

    Misi                                         :

    a)      Melatih supaya siswa rajin beribadah menurut agamanya masing-masing sehingga menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME serta berbudi pekerti luhur.

    b)      Membimbing siswa agar rajin belajar sehingga menjadi anak yang cerdas, trampil, berpikir kritis serta dapat menguasai IPTEK.

    c)      Membimbing keaktifan siswa agar memiliki kreatifitas serta ketrampilan yang tinggi sebagai bekal hidup di masa depan.

        II.            Identitas Siswa Observasi (Terpilih)

    Nama                                       : Dani (Nama Samaran)

    Tempat & Tanggal Lahir         :

    Alamat                                                :

    Jenis Kelamin                          : Laki-laki

    Umur                                       : 12 Tahun

    Agama                                     : Islam

    Kelas                                       : V

    Orang tua                                : Jaino (Nama Samaran)

    Pekerjaan                                 : Tenaga Kerja Wanita

                                                      Status Ayah meninggal

     III.            Kenakalan yang dilakukan

    Ø  Sering membuat gaduh kelas

    Ø  Mengganggu teman

    Ø  Mengejek teman

    Ø  Malas belajar

    Ø  Bermain sendiri dikelas pada waktu KBM.

     IV.            Sumber Informasi

    Informasi diperoleh dari guru wali kelas V. Berdasarkan informasi dari wali kelas dan guru-guru lain bahwa saudara Dani sering melakukan kenakalan dikelas.

    BAB III

    TEORI RUJUKAN

    Ada beberapa pengertian tentang perilaku kenakalan, M. Gold dan J. Petronio dalam (Sarwono, 2001) mengartikan kenakalan remaja sebagai tindakan oleh seseorang yang belum dewasa yang sengaja melanggar hukum dan yang diketahui oleh anak itu sendiri bahwa jika perbuatan itu sempat diketahui oleh petugas hukum ia bisa dikenai hukuman. Keputusan Menteri Sosial (Kepmensos RI No. 23/HUK/1996) menyebutkan anak nakal adalah anak yang berperilaku menyimpang dari norma-norma sosial, moral dan agama, merugikan keselamatan dirinya, mengganggu dan meresahkan ketenteraman dan ketertiban masyarakat serta kehidupan keluarga dan atau masyarakat (Pusda Depsos RI, 1999).

    B. Simanjutak dalam (Sudarsono, 1995) memberii tinjauan secara sosiokultural tentang arti Juvenile Delinquency atau kenakalan remaja, suatu perbuatan itu disebut delinkuen apabila perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat dimana ia hidup, atau suatu perbuatan yang anti-sosial dimana didalamnya terkandung unsur-unsur normatif. Psikolog Bimo Walgito dalam (Sudarsono, 1995) merumuskan arti selengkapnya dari Juvenile Delinquency sebagai tiap perbuatan, jika perbuatan tersebut dilakukan oleh orang dewasa, maka perbuatan itu merupakan kejahatan, jadi merupakan berbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh anak, khususnya anak remaja. Sementara John W. Santrock  (1995) mendefinisikan, kenakalan remaja (Juvenile Delinquency) mengacu pada suatu rentang perilaku yang luas, mulai dari perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial (seperti bertindak berlebihan disekolah), pelanggaran (seperti melarikan diri dari rumah), hingga tindakan-tindakan kriminal (seperti mencuri).

    BENTUK- BENTUK KENAKALAN

    William C. Kvaraceus dalam (Mulyono, 1995) membagi bentuk kenakalan menjadi dua, yaitu:

    a)      Kenakalan bisaa seperti: Berbohong, membolos sekolah, meninggalkan rumah tanpa izin (kabur), keluyuran, memiliki dan membawa benda tajam, bergaul dengan teman yang memberii pengaruh buruk, berpesta pora, membaca buku-buku cabul, turut dalam pelacuran atau melacurkan diri, berpakaian tidak pantas dan minum minuman keras.

    b)      Kenakalan Pelanggaran Hukum, seperti: berjudi, mencuri, mencopet, menjambret, merampas, penggelapan barang, penipuan dan pemalsuan, menjual gambar-gambar porno dan film-film porno, pemerkosaan, pemalsuan uang, perbuatan yang merugikan orang lain, pembunuhan dan pengguguran kandungan.

    FAKTOR PENYEBAB PERILAKU DELINKUEN

    Menurut Kartini Kartono (1998), Juvenile Delinquency adalah perilaku jahat (dursila), atau kejahatan atau kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangakan tingkah laku yang menyimpang.

    Kartini Kartono (1998) membagi faktor penyebab perilaku kenakalan menjadi dua bagian sebagai berikut:

    a.      FAKTOR INTERNAL

    Perilaku delinkuen pada dasarnya merupakan kegagalan sistem pengontrol diri anak terhadap dorongan-dorongan instingtifnya, mereka tidak mampu mengendalikan dorongan-dorongan instingtifnya dan menyalurkan kedalam perbuatan yang bermanfaat. Pandangan psikoanalisa menyatakan bahwa sumber semua gangguan psikiatris, termasuk gangguan pada perkembangan anak menuju dewasa serta proses adaptasinya terhadap tuntutan lingkungan sekitar ada pada individu itu sendiri, barupa:

    v  Konflik batiniah, yaitu pertentangan antara dorongan infatil kekanak-kanakan melawan pertimbangan yang lebih rasional.

    v  Pemasakan intra psikis yang keliru terhadap semua pengalaman, sehingga terjadi harapan palsu, fantasi, ilusi, kecemasan (sifatnya semu tetapi dihayati oleh anak sebagai kenyataan). Sebagai akibatnya anak mereaksi dengan pola tingkah laku yang salah, berupa: apatisme, putus asa, pelarian diri, agresi, tindak kekerasan, berkelahi dan lain-lain.

    v  Menggunakan reaksi frustrasi negatif (mekanisme pelarian dan pembelaan diri yang salah), lewat cara-cara penyelesaian yang tidak rasional, seperti: agresi, regresi, fiksasi, rasionalisasi dan lain-lain.

    b.      FAKTOR EKSTERNAL

    Disamping faktor-faktor internal, perilaku delinkuen juga dapat diakibatkan oleh faktor-faktor yang berada diluar diri remaja, seperti (Kartono, 1998):

    v  Faktor keluarga, keluarga merupakan wadah pembentukan peribadi anggota keluarga terutama bagi remaja yang sedang dalam masa peralihan, tetapi apabila  pendidikan dalam keluarga itu gagal akan terbentuk seorang anak yang cenderung berperilaku delinkuen, semisal kondisi disharmoni keluarga (broken home), overproteksi dari orang tua, rejected child, dll.

    v  Faktor lingkungan sekolah, lingkungan sekolah yang tidak menguntungkan, semisal: kurikulum yang tidak jelas, guru yang kurang memahawi kejiwaan remaja dan sarana sekolah yang kurang memadai sering menyebabkan munculnya perilaku kenakalan pada remaja. Walaupun demikian faktor yang berpengaruh di sekolah bukan hanya guru dan sarana serta perasarana  pendidikan saja. Lingkungan pergaulan antar teman pun besar pengaruhnya.

    v  Faktor milieu, lingkungan sekitar tidak selalu baik dan menguntungkan bagi pendidikan dan perkembangan anak. Lingkungan adakalanya dihuni oleh orang dewasa serta anak-anak muda kriminal dan anti-sosial, yang bisa merangsang timbulnya reaksi emosional buruk pada anak-anak puber dan adolesen yang masih labil jiwanya. Dengan begitu anak-anak remaja ini mudah terjangkit oleh pola kriminal, asusila dan anti-sosial.

    v  Kemiskinan di kota-kota besar, gangguan lingkungan (polusi, kecelakaan lalu lintas, bencana alam dan lain-lain (Graham, 1983).

    Faktor keluarga memang sangat berperan dalam pembentukan perilaku menyimpang pada remaja, gangguan-gangguan atau kelainan orang tua dalam menerapkan dukungan keluarga dan praktek-praktek manajemen secara konsisten diketahui berkaitan dengan perilaku anti sosial anak-anak remaja , semidal overproteksi, rejected child dan lain-lain(Santrock, 1995). Sebagai akibat sikap orang tua yang otoriter menurut penelitian Santrock & Warshak (1979) di Amerika Serikat maka anak-anak akan terganggu kemampuannya dalam tingkah laku sosial. Kempe & Helfer menamakan  pendidikan yang salah ini dengan WAR (Wold of Abnormal Rearing), yaitu kondisi dimana lingkungan tidak memungkinkan anak untuk mempelajari kemampuan-kemampuan yang paling dasar dalam hubungan antar manusia (Sarwono, 2001).

     BAB IV

    PEMBAHASAN

        V.            Identitas Siswa

    Nama                                       : Dani (Nama Samaran)

    Tempat & Tanggal Lahir         :

    Alamat                                                :

    Jenis Kelamin                          : Laki-laki

    Umur                                       : 12 Tahun

    Agama                                     : Islam

    Kelas                                       : V

    Orang tua                                : Jaino (Nama Samaran)

    Pekerjaan                                 : Tenaga Kerja Wanita (Ibu)

                                                      Status Ayah meninggal

     VI.            Kenakalan yang dilakukan

    Ø  Sering membuat gaduh kelas

    Ø  Mengganggu teman

    Ø  Mengejek teman

    Ø  Malas belajar

    Ø  Bermain sendiri dikelas pada waktu KBM.

    VII.            Sumber Informasi

    Informasi diperoleh dari guru wali kelas V. Berdasarkan informasi dari wali kelas dan guru-guru lainnnya bahwa saudara Dani sering melakukan kenakalan dikelas.

    VIII.            Hasil Observasi

    Setelah dilakukan observasi, saudara dani kurang mendapat perhatian dari keluarga utamanya orang tua kandung. Hal ini disebabkan karena ayah saudara dani sudah meninggal dan ibunya sekarang menjdai tenaga kerja wanita (TKW) di china. Saudara dani hanya tinggal bersama nenek. Karena usia nenek yang sudah tua, sehingga aktifitas dani tidak terlalu dikontrol. Sehingga saudara dani memiliki kebebasan bergaul dengan siapa saja. Ditinjau dari segi lingkungan, ditemukan bahwa saudara dani berteman dengan orang-orang yang notabenenya kurang baik. pernah diketemukan file-file porno di HP dani ( sumber wali kelas ) ketika ditanya dani mengaku kalau itu titipan teman-temannya. Karena serig bergaul dengan orang-orang yang jauh lebih dewasa, teman-temannya pun mulai agak menjauh. Saudara dani juga sering membuat masalah dengan teman-temannya seperti mengejek, memberi perintah, membuat onar di keals dll. Prestasi saudara dani juga tidak terlalu bagus, hal ini dibuktikan dengan observasi, saudara dani masih bingung ketika diberi soal 9:3 padahal dia sudah kelas 5. Situasi ini sudah disadari oleh para guru, guru sudah melakukan peneguran, pemberitahuan ke keluarga tetapi tidak ada hasil positif. Menurut wali kelas, tindakan yang diambil sekarang sudah terlambat dan terlanjur, karena tidak ada keluarga yang mengawasi tingkah lakunya sehari-hari. Neneknya pun juga kurag perhatian, ditambah hubungannya dengan teman-teman yang tidak jelas kelaluannya. Ketika dilakukan wawancara dengan saudara dani, dani banyak melakukan jawaban yang tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya  alias bohong. Sehingga agak menyulitkan dalam observasi.

     IX.            Penanganan

    Untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh saudara dani. Dapat dilakukan konseling kepada dani yang berorientasi pada menumbuhkan kesadaran pada diri subjek bahwa cara dirinya menjalani hidupnya itu kurang baik. Selain itu konseling juga diarahkan pada menjadikan subjek sebagai orang yang mampu bertanggung jawab terhadap dirinya. Dengan teknik-teknik konfrontasi dengan pendekatan RET (Rational Emotif) dan Pendekatan Realitas akan mampu membantu subjek menyelesaikan masalahnya secara positif dan konstruktif. Selain itu, konseling juga dilakukan kepada kedua orang tua /keluarga dani, untuk memberii pengertian kepada mereka akan pentingnya komunikasi dalam keluarga. Untuk sementara ini saudara dani sudah mau menandatangani surat yang isinya dia akan belajar dengan sungguh-sungguh dan tidak berbuat kenakalan lagi.

    https://googleads.g.doubleclick.net/pagead/ads?client=ca-pub-7173834959940249&output=html&h=189&slotname=8127105053&adk=3948611699&adf=2997458014&pi=t.ma~as.8127105053&w=756&abgtt=7&fwrn=4&lmt=1720071016&rafmt=11&format=756×189&url=https%3A%2F%2Fwww.gurumahir.com%2F2013%2F12%2Flaporan-observasi-kenakalan-siswa.html&host=ca-host-pub-1556223355139109&wgl=1&uach=WyJtYWNPUyIsIjEzLjUuMSIsImFybSIsIiIsIjEyNi4wLjY0NzguMTI3IixudWxsLDAsbnVsbCwiNjQiLFtbIk5vdC9BKUJyYW5kIiwiOC4wLjAuMCJdLFsiQ2hyb21pdW0iLCIxMjYuMC42NDc4LjEyNyJdLFsiR29vZ2xlIENocm9tZSIsIjEyNi4wLjY0NzguMTI3Il1dLDBd&dt=1721032289213&bpp=1&bdt=4575&idt=1039&shv=r20240709&mjsv=m202407090101&ptt=9&saldr=aa&abxe=1&cookie=ID%3D3163edae3573e2db%3AT%3D1719504032%3ART%3D1721032290%3AS%3DALNI_ManpuRwGGUj0_C9u_NBK136PGnGpQ&gpic=UID%3D00000e67b218775b%3AT%3D1719504032%3ART%3D1721032290%3AS%3DALNI_MbGOuxeiudyEEK9KAVBbMsHZ6buYw&eo_id_str=ID%3De85c00f1ee643572%3AT%3D1719504032%3ART%3D1721032290%3AS%3DAA-AfjY6JSZ4CnYwsgBAwOwBrv4U&prev_fmts=0x0%2C796x280%2C756x189%2C310x250%2C310x250&nras=1&correlator=4385740538872&frm=20&pv=1&ga_vid=1548747593.1721032290&ga_sid=1721032290&ga_hid=989214380&ga_fc=0&rplot=4&u_tz=480&u_his=1&u_h=900&u_w=1440&u_ah=900&u_aw=1440&u_cd=30&u_sd=2&dmc=8&adx=155&ady=5406&biw=1440&bih=779&scr_x=0&scr_y=2394&eid=44759876%2C44759927%2C44759837%2C95332927%2C95334509%2C95334524%2C95334828%2C31084187%2C95337366%2C31078663%2C31078665%2C31078668%2C31078670&oid=2&psts=AOrYGslsUl8vRS_0RukPymN7DBNA-t11ma5Wax9PClWGO9gJka_uGU4UCPTY44PF56EzlHUovW5PuhBL1kAJSxKk4Oe5lIyP&pvsid=593560419678395&tmod=2107238198&uas=0&nvt=2&ref=https%3A%2F%2Fwww.google.com%2F&fc=1920&brdim=0%2C0%2C0%2C0%2C1440%2C0%2C1440%2C900%2C1440%2C779&vis=1&rsz=%7C%7CpoEebr%7C&abl=CS&pfx=0&fu=1152&bc=31&bz=1&td=1&tdf=0&psd=W251bGwsbnVsbCwidHJlYXRtZW50XzEuMSIsMV0.&nt=1&ifi=4&uci=a!4&btvi=1&fsb=1&dtd=M

       BAB V

    Penutup

    Kesimpulan

    Kesimpulan dari  laporan observasi ini adalah sebagai berikut :

    Keluarga merupakan wadah pembentukan peribadi anggota keluarga terutama bagi remaja yang sedang dalam masa peralihan, tetapi apabila  pendidikan dalam keluarga itu gagal akan terbentuk seorang anak yang cenderung berperilaku delinkuen, semisal kondisi disharmoni keluarga (broken home), overproteksi dari orang tua, rejected child, dll. Faktor keluarga memang sangat berperan dalam pembentukan perilaku menyimpang pada remaja, gangguan-gangguan atau kelainan orang tua dalam menerapkan dukungan keluarga dan praktek-praktek manajemen secara konsisten diketahui berkaitan dengan perilaku anti sosial anak-anak remaja.

    Saran

    Saran dari  laporan observasi ini adalah :

    1)      Untuk para orang tua supaya memperhatikan perkembangan anaknya.

    2)      Jika orang tua kandung tidak ada sebaiknya anak diasuh oleh keluarga yang mempunyai perhatian dan dedikasi tinggi kepada anak tersebut.

    3)      Untuk pertumbuhan dan perkembangan psikologi anak sebaiknya antara faktor keluarga, faktor sekolah/pendidikan dan faktor lingkungan saling bekerja sama.

    DAFTAR PUSTAKA

    Hurlock., E. B., 1993, Psikologi Perkembangan Edisi ke-5, Jakarta:Erlangga.

    Kartono., Kartini, 1998, Patologi Sosial 2, Jakarta:Radja Grafindo Persada.

    Monks., F.J., dkk, 2002, Psikologi Perkembangan, Yogyakarta:Gadjah Mada University Press.

    Mulyono., Y. Bambang, 1995, Pendekatan Analisis Kenakalan Remaja dan Penanggulangannya, Yogyakarta:Kanisius.

    Saad., Hasbullah M., 2003, Perkelahian Pelajar;Potret Siswa SMU di DKI Jakarta, Yogyakarta:Galang Press.

    Santrock., John W., 1995, Perkembangan Masa Hidup jilid 2. Terjemahan oleh Juda Damanika & Ach. Chusairi,  Jakarta:Erlangga.

    Sarwono., Sarlito Wirawan, 2001, Psikologi Remaja, Jakarta:Radja Grafindo Persad

  • Makalah Fonologi – Defenisi

    Fonologi Defenisi

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Setiap manusia menggunakan definisi dalam menjelaskan suatu istilah, supaya tidak terjadi kesalah pahaman dapat memahami sesuatu, karena konsep pemikiran setiap orang tidaklah sama. Seperti halnya seorang ilmuan yang ditutut untuk mampu membuat suatu definisi dari setiap konsep dan mampu bernalar dengan baik. Meskipun disadari, definisi belum mampu menampilkan sesuatu dengan sempurna sesuai dengan pengertian yang dikandungnya.

    Dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang membutuhkan adanya konsep klasifikasi atau kategori, karena kita selalu bersinggungan dengan berbagai benda yang berbeda. Sehingga tanpa adanya pengelompokan benda-benda, tidak dapat kita bayangkan betapa sulitnya kita menjalani kehidupan kita, karena setiap hal yang kita temui akan menjadi masalah bagi kita.Disamping kedua hal tersebut manusia juga perlu untuk bernalar atau berlogika, karena definisi hanyalah sebagai gerbang bagi kita untuk mengenal sebuah kesempurnaan dalam berpikir dan menjelaskan. Namun logika tetap kita perlukan untuk mencapai ketepatan dalam berpikir. Maka dari itu dalam makalah ini, kami akan menjelaskan tentang definisi, unsur dan patokan dalam membuat definisi.

    B. Rumusan Masalah

    1. Apakah yang dimaksud dengan definisi?
    2. Apa sajakah unsur definisi?
    3. Apasajakah patokan dalam membuat definisi?

    C. Tujuan Penulisan

    1. Mengetahui pengertian dari definisi.
    2. Mengetahui unsur-unsur dari definisi.
    3. Mengetahui ketentuan dalam membuat definisi.

    Bab II. Pembahasan

    A. Defenisi dan Unsurnya

    Definisi adalah pengetahuan yang kita butuhkan. Dalam kehi­dupan ilmiah maupun kehidupan sehari-hari kita banyak berurusan dengan definisi. Sewaktu orang memasuki pembicaraan permulaan suatu ilmu, ia akan bertemu dahulu dengan definisinya. Dalam pembicaraan sehari-hari tidak jarang kita diminta untuk menjelaskan pengertian kata yang kita gunakan. Menjelaskan pengertian kata agar tidak terjadi kesimpangsiuran dalam penggunaannya merupakan tugas definisi.Mendefinisi adalah menyebut sekelompok karakteristik suatu kata sehingga kita dapat mengetahui pengertiannya serta dapat membedakan kata lain yang menunjuk obyek yang lain pula. Lalu, apakah karakteristik suatu kata itu? Karakteristik itu tidak lain adalah genera (jenis) dan differentia (sifat pembeda). Jadi mendefi­nisi suatu kata adalah menganalisis jenis dan sifat pembeda yang dikandungnya. Mengapa menyebut genera? Genera kita sebut untuk mendekatkan pikiran kita, karena dengan genera suatu barang atau benda akan mudah dikenal, ia tercakup dalam kelompok apa. Mengapa menyebut differentia? Setelah pikiran kita diantar kepada genera, maka tahulah kita akan barang atau benda sejenis yang di­cakup oleh genera tadi. Dengan sekali menyebut differentianya, maka sampailah kepada pengertian kata yang kita definisikan.Jenis (genera) yang kita pilih adalah jenis terdekat, karena dengan menghadirkan sifat pembedanya (differentia) kita langsung sampai pada pengertiannya. Jenis terdekat adalah nama umum yang langsung mencakup barang atau benda yang kita definisikan. Jadi jika kita hendak mendefinisikan ‘kursi’ hams mulai dengan ‘tempai duduk’ mendefinisi ‘merpati’ dengan burung, mendefinisi ‘dasi’ dengan pakaian, setelah itu baru kita hadirkan sifat pembedanya.Dengan prosedur itu ternyata ada beberapa kata yang tidak dapat kita beri definisi. Pertama adalah kata yang tidak dapat kita temukan generanya, maksudnya tidak bisa kita masukkan ke dalam kelompok nama umum apa. Termasuk dalam kelompok ini adalah kata yang menunjukkan pengertian dasar yang universal, seperti: wujud dan waktu. Kedua adalah kata yang tidak dapat ditemukan differentianya. Kenyataan mental yang sederhana seperti: marah, kesal, senang dan sebagainya, tidak mungkin kita beri definisi, demikian pula penangkapan indera atas obyek yang sederhana seperti kuning, hijau, halus, kasar, wangi dan sebagainya mung­kin dapat menemukan generanya, tetapi apakah differentianya?Juga tidak dapat diberi definisi karena alasan yang sama yakni kata yang tidak dapat ditangkap maksudnya kecuali bila dihubung­kan dengan kata lain, seperti: atau, yang, daripada, meskipun dan sebagainya.Term khusus dan nama unik juga term yang praktis tidak bisa diberi definisi, karena memiliki sifat kesendirian yang tidak terbatas, sehingga tidak mudah ditemukan sifat pembedanya. Jadi lebih mudah mendefinisi term-term dalam ilmu pengetahuan dan seni diban­dingkan dengan barang-barang yang kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Adalah lebih mudah memberikan definisi term-term: negara, ilmu ekonomi, pantun, drama dan semacamnya, daripada term-term seperti: melati, kunci, gergaji dan sebagainya.

    B. Patokan Membuat Definisi

    Agar pembuatan definisi terhindar dari kekeliruan perlu kita perhatikan patokan berikut:

    a.       Definisi tidak boleh lebih luas atau lebih sempit dari konotasi kata yang didefinisikan.Definisi yang terlalu luas misalnya:

    –          Merpati adalah burung yang dapat terbang cepat.(Banyak burung yang dapat terbang cepat bukan merpati)

    –          Negara adalah organisasi masyarakat yang mempunyai per­aturan-peraturan.(Banyak organisasi masyarakat yang mempunyai peraturan tetapi bukan negara).

    –          Pidato adalah cara untuk-mempengaruhi orang lain dengan kata-kata.(Banyak cara untuk mempengaruhi orang lain dengan kata­-kata tetapi bukan pidato).

    Definisi yang terlalu sempit misalnya:

    –          Kursi adalah tempat duduk yang dibuat dari kayu ber sandaran, dan berkaki.(Banyak juga kursi yang tidak dibuat dari kayu).

    –          Jujur adalah sikap mau mengakui kesalahan sendiri.(Mau mengakui kelebihan lawan juga disebut sikap jujur).

    –          Kekayaan adalah hasil pertanian yang dapat disimpan.(Banyak selain hasil pertanian bisa disebut kekayaan).

    b.      Definisi tidak boleh menggunakan kata yang didefinisikan. Definisi yang melanggar patokan ini disebut definisi sirkuler, berputar atau tautologi, atau tahsilul hasil seperti:-          Wijib adalah perbuatan yang harus dikerjakan oleh setiap orang.

    –          Kafir adalah orang yang ingkar.-          Merdeka adalah dalam keadaan bebas.Perlu kita ketahui bahwa tidak semua pengulangan me­langgar patokan ini. Pengulangan seperti di bawah ini diper­bolehkan.

    –          Amalan wajib adalah perbuatan yang diberi pahala bila di­kerjakan dan diberi siksa bila ditinggalkan.

    –          Hukum waris adalah hukum yang mengatur pembagian harta kekayaan dari seseorang yang telah meninggal.

    –          Ilmu Ekonomi adalah ilmu yang mempelajari upaya ma­nusia dalam mencapai kemakmuran.Pada definisi-definisi tersebut kata ‘amalan’, ‘hukum’ dan ‘ilmu’ sudah dianggap diketahui; yang menjadi fokus perhatian ada­lah kata ‘wajib’, ‘waris’ dan ‘ekonomi’.

    c.       Definisi tidak boleh memakai penjelasan yang justru mem­bingungkan.Definisi yang melanggar patokan ini disebut definisi obscu­rum per obscurius artinya menjelaskan sesuatu dengan keterang­an yang justru lebih tidak jelas. Ini dapat terjadi karena meng­gunakan bahasa plastik yang tidak sesuai dengan konotasi dan denotasi yang sesungguhnya atau menggunakan istilah yang tidak dapat dimengerti umum, terbatas dalam pikiran para ahli saja.Definisi dengan menggunakan bahasa plastik seperti:

    –          Sejarah adalah samudera pengalaman yang selalu ber­gelombang dada putus-putusnya.

    –          Kehidupan adalah sepotong keju.

    –          Sedekah adalah pembuka pintu surga.

    Definisi yang hanya dimengerti oleh para ahli misalnya definisiHerbert Spencer tentang evolusi yang dibatasinya dengan: Perubahan terus-menerus dari homogenitas yang tidak menentu dan tidak serasi kepada heterogenitas yang me­nentu dan serasi dalam susunan dan kegiatan melalui diferensiasi dan integrasi sambung-menyambung.

    d.      Definisi tidak boleh menggunakan bentuk negatif:

    –          Benar adalah sesuatu yang tidak salah.

    –          lndah adalah sesuatu yang tidak jelek.

    –          Miskin adalah keadaan tidak kaya.

    -Syair adalah bentuk sastra link bukan pantun.-

              Manusia adalah binatang bukan kambing.

    –          Ilmu ekonomi adalah ilmu sosial bukan ilmu komunikasi.

    Hanya keadaan yang tidak mungkin dihindari bentuk negatif diperbolehkan, seperti:

    –          Orang buta adalah orang yang indera penglihatannya tidak berfungsi.

    –          Orang buntung adalah orang yang tidak mempunyai anggota tubuh yang lengkap.

    –          Orang miskin adalah orang yang penghasilannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokoknya sehari-hari.

    Tetapi selama masih bisa diusahakan, kita tidak boleh menggu­nakan bentuk negatif.

    Bab III. Penutup

    A. Kesimpulan

    Mendefinisi adalah menyebut sekelompok karakteristik suatu kata sehingga kita dapat mengetahui pengertiannya serta dapat membedakan kata lain yang menunjuk obyek yang lain pula.Ada beberapa rambu-rambu dalam membuat definisi, diantaranya yaitu:

    a.       Definisi tidak boleh lebih luas atau lebih sempit dari konotasi kata yang didefinisikan.

    b.      Definisi tidak boleh menggunakan kata yang didefinisikan.

    c.       Definisi tidak boleh memakai penjelasan yang justru mem­bingungkan.d.      Definisi tidak boleh menggunakan bentuk negative

  • Laporan Studi Kasus Kebiasaan Siswa Bolos

    Studi Kasus Kebiasaan Siswa Bolos

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Perilaku membolos sebenarnya bukan merupakan hal yang baru lagi bagi banyak pelajar setidaknya mereka yang pernah mengenyam pendidikan sebab perilaku membolos itu sendiri telah ada sejak dulu. Tindakan membolos dikedepankan sebagai sebuah jawaban atas kejenuhan yang sering dialami oleh banyak siswa terhadap kurikulum sekolah. Buntutnya memang akan menjadi fenomena yang jelas-jelas mencoreng lembaga persekolahan itu sendiri. Tidak hanya di kota-kota besar saja siswa yang terlihat sering membolos, bahkan di daerah-daerah pun perilaku membolos sudah menjadi kegemaran.

    Banyak siswa yang sering membolos bukan hanya disekolah sini saja tetapi banyak sekali mengalami hal yang sama kesemua di sebabkan oleh faktor-faktor internal dan eksternal dari anak itu sendiri. Faktor eksternal yang kadang kala menjadikan alasan membolos adalah mata pelajaran yang tidak diminati. Bagi siswa yang kebanyakan remaja dan penuh dengan jiwa yang mementingkan kebebasan dalam berfikir dan beraktifitas itu sangat mengganggu sekali. Sebab masa remaja adalah masa yang penuh gelora dan semangat kreatifitas. Menurut pandangan psikologis usia 15-21 tahun adalah usia pencarian jati diri. Dan tentu saja sistem pendidikan yang ketat tanpa diimbangi dengan pola pengajaran yang ‘menyejukkan’ membuat anak tidak lagi betah di sekolah. Mereka yang tidak tahan itulah yang kemudian mencari pelarian dengan membolos, walaupun secara tak langsung itu juga sebenarnya bukan jawaban yang baik. Terbukti, siswa yang suka membolos seringkali terlibat dengan hal-hal yang cenderung merugikan.

    Anehnya lagi ketika kemudian fenomena membolos, atau fenomena pelajar yang terlibat narkotika, sex bebas hingga tawuran terkuak ke permukaan, sekolah seakan-akan ingin lepas tangan. Terbukti, pihak sekolah masih menganggap mereka yang terlibat hal itu adalah anak-anak ‘nakal’. Dalihnya, anak-anak yang patuh lebih banyak dibandingkan anak-anak yang suka membolos. Memang hal itu benar adanya. Tetapi bukan berarti mereka yang taat di sekolah terselamatkan. Justru sebaliknya, tekanan pendidikan dengan kurikulum yang cukup ketat justru menciptakan keresahan secara psikologis. Makanya, jangan heran jika akhir-akhir ini siswa-siswi kita sering mengalami hysteria. Hal itu dikarenakan luapan emosi tak terkendali melalui alam bawah sadar. Dan biasanya kerap tak terkendali.

    Sikap humanis dan saling introspeksi diri itu adalah hal yang mendukung untuk menyelesaikan masalah prilaku membolos. Unsur-unsur yang ada disekolah bisa saja menjadi alasan anak bisa membolos. Seperti fenomena yang telah di paparkan di atas bukan saja anak yang menjadi tumpuan dan beban kesalahan.

    Penyebutan sekolah awalnya berasal dari Yunani yaitu scholl yang artinya waktu luang. Pada zaman itu sekolah adalah tempat bermain dan berbagi antara guru dan murid, hampir tak ada pengekangan dengan kurikulum. Disana mereka berbagi banyak hal. Atau yang sekarang diterapkan di kali code hasil garapan romo Mangun wijaya yaitu; school without wall (sekolah tanpa dinding).

    Penelitian yang dilakukan adalah di SMK Surya Dharma Bandar Lampung. Dari situ praktikan mencari klien dan medapatkan sumber atau data-data yang kemudian diklarifikasi sebelum diambil kasusnya.

    B. Rumusan Masalah

    1. Apa yang menyebabkan siswa membolos?
    2. Apa saja faktor yang memengaruhi siswa membolos?
    3. Apa yang dapat merugikan siswa membolos?
    4. Bagaimana cara penanganan kasus yang dilakukan guru konselor dalam mengatasi siswa yang membolos?

    Bab II. Kajian Pustaka

    A. Kenakalan Remaja

    Remaja biasannya melakukan perbuatan untuk mencari identitas diri, ingin menunjukan kemampuannya pada orang lain. Remaja ini mengalami perkembangan mental dan pertumbuhan fisik yang belum stabil. Sejalan dengan hal itu remaja perlu sekali mendapatkan bimbingan dan arahan untuk menemukan jati dirinya dan meminimalkan prilaku yang menyimpang.

    Sementara menurut dari sudut perkembangan fisik, remaja dikenal sebagai suatu tahap perkembangan fisik dimana alat-alat kelamin manusia mencapai kematangannya. Ini berarti keadaan bentuk tubuh pada umumnya memperoleh bentuk yang sempurna dimana pada akhir peran perkembangan fisik seorang pria yang berotot dan mampu menghasilkan spermatozoa setiap kali berejakulasi dan bagi wanita bentuk badan juga sudah kelihatan terbentuk dengan perubahan pada payu dara serta berpinggul besar setiap bulan mengeluarkan sel telur yang tidak disenyawakan. Masa puber bagi lelaki adalah ketika bermimpi basah yang pertama dan pada perempuan setelah haid. (Sarlito Wirawan,1997: 6-7)

    Prilaku membolos merupakan suatu bentuk kenakalan remaja yang terjadi pada masa pertumbuhan mereka. Kenakalan remaja (juvenile delinquency) mempunyai arti yang khusus dan terbatas pada suatu masa tertentu yaitu masa remaja sekitar umur 13-21 tahun.

    Prilaku membolos, atau fenomena pelajar yang terlibat narkotika, sex bebas hingga tawuran terkuak ke permukaan, sekolah seakan-akan ingin lepas tangan. Terbukti, pihak sekolah masih menganggap mereka yang terlibat hal itu adalah anak-anak ‘nakal’. Dalihnya, anak-anak yang patuh lebih banyak dibandingkan anak-anak yang suka membolos. Memang hal itu benar adanya. Tetapi bukan berarti mereka yang taat di sekolah terselamatkan. Justru sebaliknya, tekanan pendidikan dengan kurikulum yang cukup ketat justru menciptakan keresahan secaraara psikologis. Makanya, jangan heran jika akhir-akhir ini siswa-siswi kita sering mengalami hysteria missal. Hal itu dikarenakan luapan emosi tak terkendali melalui alam bawah sadar. Dan biasanya kerap tak terkendali

    Menurut Fine Benyian kenakalan remaja adalah satu contoh dari sejumlah tingkah laku yang dilakukan oleh seorang pemuda yang berumur sekitar 18 tahun. Sebagai kebalikan dari daerah hukum dan telah diterima oleh umum dan itu adalah karakter di dalam kelompok anti sosial. Kenakalan remaja adalah jenis nyata dari penyimpangan prilaku yang melawan hukum/peraturan (Fine Benyian,1957;22).

    B. Penyebab-penyebab Perilaku

    1.      Sebab internal

    Sebab internal adalah sebab prilaku individu yang timbulnya dari dalam kondisi dalam anak itu sendiri. Ini di sebabkan beberapa faktor.

    a.       Kelainan fisik

    Anak-anak menderita kelainan fisik akan merasa tertolak untuk hadir di tengah-tengah temennya yang normal. Maka demi masa depannya diselenggarakan pendidikan khusus bagi mereka.

    b.      Kelainan Psikis

    Kelainan psikis adalah kelainan yang terjadi pada kemampuan berfikir (kecerdasan) seorang individu. Kelainan ini baik secara inferior maupun superior bila anak yang taraf kecerdasannya inferior akan sangat tersiksa bila dikumpulkan dalam kelas pada umumnya. Dan anak yang mempunyai tingkat kecerdasan superior dalam arti memiliki kecerdasan yang sangat cerdas sekali. Mereka ini akan merasa tertekan bila harus dicampurkan dengan anak-anak pada umumnya. Alternatif terbaik bagi mereka yaitu dengan mengumpulkan mereka sesuai dengan kecerdasannya masing-masing.

    2.      Sebab eksternal

    Sebab eksternal adalah sebab-sebab yang timbul dari luar diri seseorang. Sebab eksternal ini berpangkal dari keluarga, pergaulan, salah satu atau pengalaman hidup yang tak menyenangkan.

    a.       Keluarga

    Lingkungan keluarga adalah lingkungan yang pertama kali di kenal oleh anak. Anak mulai menerima nilai-nilai baru dari dalam keluarga dan dari keluarga inilah anak mulai mensosialisasikan diri. Lingukngan keluarga diakui oleh semua ahli pendidikan maupun psikologi sebagai lingkungan yang sangat menentukan bagi perkembangan anak selanjutnya (Mustaqim,1990;140). Pola asuh yang keliru dapat menjadikan sebab yang buruk terhadap perkembangan anak. Untuk menjadi dewasa anak telah memiliki kebiasaan yang didapat dari orang tua yang dirasa benar. Padahal itu salah.

    b.      Pergaulan

    Lingkungan masyarakat atau lingkungan pergaulan anak-anak yang telah dididiknya baik oleh orang tuanya anak mendapatkan kesulitan untuk mengembangkan diri di tengah-tengah lingkungan yang tidak baik. Anak dididik jujur akan merasa jengkel bila ternyata teman-temannya suka berbohong. Anak ini dihadapkan pada dua pilihan, antara jujur dan berbohong karena sesuai dengan teman-temannya. Lingkungan pergaulan mempunyai andil bagian yang berarti bagi perkembangan psikis anak, jika lingkungan cenderung baik maka anak cenderung baik begitu pula sebaliknya (Mustaim,1990;141).

    c.       Pengalaman hidup

    Pengalaman hidup mengajarkan pada masa lalu tak akan pernah hilang. Artinya bahwa segala seseuatu yang terjadi di dalam hidupnya tidak akan pernah terlupakan. Anak-anak kurang mendapatkan perhatian dari gurunya senantiasa membuat keonaran untuk mendapatkan perhatian yang khusus baginya. Inilah sebab yang melatar belakangi masalah-masalah pada siswa yang menyebakan suatu perilaku yang menyimpang dimana perilaku ini termasuk pada kenakalan remaja.

    C.      Bentuk-bentuk masalah

    Masalah-maslah yang dihadapi oleh anak remaja sebagai akibat dari adanya sebab-sebab diatas. Bentuk-bentuk masalah yang dihadirkan anak remaja/siswa dapat dibagi menjadi dua sifat yaitu:

    1.        Bersifat Regresif

    Perilaku yang bersifat regresif biasanya ditunjukkan anak-anak dengan kepribadian introvert, bentuk prilaku yang menyimpang misalnya: suka menyendiri, pemalu, penakut, mengantuk, tidak mau masuk sekolah.

    2.        Bersifat Agresif

    Prilaku agresif biasanya ditunjukkan oleh anak yang berkepribadian extrovert. Perbuatan yang dilakukan misalnya : berbohong, membuat onar/kekacauan, memeras/memalak temannya, beringas dan perilaku-perilaku lain yang bisa menarik perhatian orang lain.

    Bila disingkronkan antara bentuk-bentuk kenakalan dan faktor-faktor penyebabnya maka akan didapati ada hubungan yang korelatif antara keduanya. Pemahaman keduanya akan membuat penanganan terhadap masalah menjadi semakin mudah.

    Contoh : seorang anak yang mempunyai prilaku membolos sekolah perhatian yang perlu kita berikan adalah perhatian kepada kenapa dia membolos. Tidak kepada hukuman yang akan diberikan.

    Karena membolos yang dilakukan pasti mempunyai penyebabnya. Pemahaman terhadap faktor-faktor penyebab akan memudahkan dalam penyelesaian masalah (mustaqim, 1990:143)

    D.      Pencegahan dan penanggulangan

    Sebab suatu perilaku yang menyimpang ternyata mempunyai latar belakang lingkungan dan kehidupan sosial yang buruk. Ini bisa dari lingkungan keluarga, teman dan masyarakat. Tidak jarang juga dari status ekonomi keluarga dalam masyarakat.

    Faktor eksogen, remaja hidup dalam interaksi dengan lingkungan, sehingga mendapat pengaruh yang besar pula bagi pembentukan pribadinya. Lingkungan yang sehat dengan menanamkan pendidikan yang benar dan ada hubungan yang harmonis memungkinkan seseorang dapat menjadikan lebih dewasa dan matang dalam kepribadian. Keadaan keluarga, sekolah dan masyarakat menentukan pula kemungkinan berkembangnya pribadi tersebut.

    Usaha penanggulangan masalah kenakalan ini adalah dengan Studi kasus menggunakan pendekatan reality therapy atau terapi realitas. Konsep dasarnya adalah kenyataan yang sebenarnya yang akan dihadapi tanpa memandang jauh ke masa lalu. pendekatan ini juga bisa dikatakan atau menekankan pada masa kini. Pendekatan ini akan membimbing anak mampu menghadapi apa yang akan dihadapinya, mampu mengambil keputusan yang tepat untuk kedepannya. Pendekatan ini lebih bersifat humanis. Sikap humanis ini ditujukan untuk memberikan gambaran dan bimbingan yang menghargai hak-haknya dan mengarahkan untuk pemenuhan kewajiban-keajiban yang harus dijalankan.

    Dalam hal ini juga tidak semata-mata bisa di lakukan oleh konselor tetapi juga oleh pihak keluarga, sekolah dan masyarakat harus juga berpartisipasi mengembangkan bakat dan kemampuannya secara seimbang baik dalam bidang non material maupun dalam bidang spiritual agar tidak terjadi prilaku yang menyimpang.

    Bab III. Metode Pelaksanaan Studi Kasus

    A.      Data penelitian

    Penelitian ini digunakan untuk mengumpulan data peneliti menggunakan data non tes, yaitu wawancara dan observasi. Wawancara ditujukan kepada klien yang merupakan sumber utama. Dan sebagai pendukung data praktikan juga mencari data-data dari teman dekat klien, keluarga, guru yang berada di sekitar klien itu sendiri.

    Wawancara merupakan situasi peran antar pribadi bersama (face to face), ketika seseorang atau pewawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang berhubungan dengan masalah penelitian, kepada klien yang sedang diteliti (responden). Penelitian tidak dilakukan sekali tetapi beberapa kali. Ini dimungkinkan untuk mempermudah dalam pengklarifikasian dan pengembangan kasus yang dihadapi.

    Penelitian ini mendapatkan hasil dari wawancara dengan klien yaitu yang berhubungan dengan kasus yang dihadapi klien. Klien mempunyai prilaku yang kurang baik dimana klien sering membolos tidak mengikuti pelajaran tanpa keterangan yang jelas. Data utama ini yang menjadi sumber utama dalam kasus ini. Klien sering tidak masuk sekolah karena pengaruh keluarga dan lingkungan sekitar, kurang percaya diri. Kurang mengerti tentang hak dan kewajibannya secara benar.

    Hasil dari wawancara peneliti yang diperoleh dari klien adalah sebagai berikut :

    1.        Pertemuan pertama

    Memulai penelitian ini pada tanggal 19 September 2017 yang merupakan pertemuan pertama. Dalam pertemuan pertama peneliti menemui guru BK yang kemudian peneliti dikenalkan kepada klien. Pada pertemuan pertama peneliti menayakan kepada klien untuk menjadi klien dalam study kasus dan klien mau menjadi klien dalam penelitian ini. Dari situ pepenliti kemudian melanjutkan perkenalan yang lebih dalam agar menjadi akrab dan saling membantu. Peneliti kemudian mengadakan kontrak pertemuan untuk selanjutnya dan begitu seterusnya. Dalam pertemuan pertama ini juga peneliti langsung mendapat sinopsis dari guru BK tentang tingkah laku dan masalah yang dihadapi klien.

    2.        Pertemuan kedua

    Pertemuan kedua peneliti mengajukan beberapa pertanyaan kepada klien tentang masalah yang dihadapi. Pertanyaan ini berdasarkan sinopsis masalah yang telah diberikan oleh guru BK yang diberikan pada pertemuan pertama. Dalam pertemuan kedua ini klien menceritakan masalah yang dihadapinya, klien bercerita bahwa ia sering sekali tidak masuk sekolah baik izin, sakit dan tanpa keterangan. Kadang juga membuat surat izin dengan tanda tangan sendiri.

    3.        Pertemuan ketiga

    Pertetemuan ketiga ini peneliti mendapatkan data dari klien tentang keadaan keluarga. Klien menceritakan keadaan keluarga meliputi alamat rumah, pekerjaan orang tua. Klien sering sekali di tinggal ayahnya mencari nafkah dan ibu nya hanya ibu rumah tangga, Orang tuanya bekerja menjadi buruh selama satu minggu penuh. Peneliti juga menanyakan tentang kondisi fisiknya karena klien kadang tidak masuk dengan alasan sakit.

    Klien merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Di rumah jarang sekali mendapatkan pendidikan dari keluarga. Klien sebagai anak kedua yang kurang mendapatkan perhatian yang khusus dari ayah dan ibu nya. Kehidupan keluarga dapat dikatakan cukup baik. Klien sekarang masih tinggal bersama orang tua. Dalam keseharian klien senang sekali mendengarkan musik untuk menenangkan pikiran nya

    4.        Pertemuan keempat

    Dalam pertemuan ke empat peneliti mengajukan pertanyaan tentang kondisi lingkungan tempat tinggal dan tentang pergaulannya. Klien bercerita bila bolos kadang hanya di rumah tidur atau nonton TV, kadang-kadang juga hanya main-main di tempat tetangga dan nongkrong didaerah dekat sekolah. Klien membolos masih memakai seragam sekolah karena klien membolos sejak jam pertama atau memang sengaja tidak masuk sekolah. Klien jarang sekali membolos karena ajakan teman atau siapa tapi karena kehendak sendiri. Di rumah jarang sekali bermain bersama dengan teman atau saudara ini terbukti dari hobinya yang hanya menonton TV.

    5.        Pertemuan kelima

    Peneliti mendapatkan data dari angket data pribadi siswa dan dari teman sebaya di sekolah bahwa klien sering tidak masuk satu kali dalam seminggu kadang juga sampai dua kali. Tentang prestasi disekolah klien biasa-biasa saja dan tidak mendapat peringkat.

    6.        Pertemuan keenam

    Petemuan keenam merupakan pertemuan terakhir dengan klien dalam peremuan terakhir peneliti memberikan gambaran permasalahan dan memberikan saran-saran, bantuan dan solusi atas permasalahan yang dihadapinya. Ini peneliti berikan atas dasar data-data yang peneliti dapatkan dari masalah dan hasil wawancara yang selama peneliti dengan klien berkerja sama. Klien juga berjanji kepada peneliti untuk berubah berusaha memperbaiki sikapnya, memperbaiki prestasinya, dan berusaha selalu masuk sekolah kecuali memang tidak mendukung untuk tidak masuk sekoah.

    B.       Data pendukung

    Data pendukung yang peneliti gunakan dalam pengumpulan data mengenai klien adalah berupa pertanyaan-pertanyaan serta keterbukaan anak dalam melakukan kejujuranya dalam wawancara serta tanya jawab setelah selesai jam pelajaran pada saat pulang dari sekolah serta dari teman-teman dekatnya tepatnya di SMK Surya Dharma Bandar Lampung yang menengah. Data yang penulis peroleh dari angket data siswa dan wawancara dari wali kelasnya.

    Klien menunjukkan orang intelegensinya kurang. Kehidupannya didasarkan pada ketidak sadaran, tertarik pada hal-hal yang nyata, emosinya mudah bergerak, sensitif, sensualitas, ketidak kesadaran dan ada hambatan dalam perkembangan atau mentalnya. Merasa rendah diri, kurang percaya pada diri sendiri apabila forum umum dia kurang percaya diri. Dia cenderung diam.

    Klien juga kurang mendapatkan perhatian dari orang tua karena pekerjaan orang tuanya di luar daerah yang kadang hanya tiga bulan sekali pulang kerumah. Keluarga kurang memperhatian tentang pendidikan klien. Selain itu juga klien jarang sekali berkumpul dengan pelajar justru kadang malah hanya berkumpul dengan teman sebaya. Data ini juga diperoleh untuk melihat perkembangan akibat gangguan kecemasan yang ditimbulkan pada masa kanak-kanak. Sehingga kasih sayang kurang yang didapatkan dari kedua orang tuanya mendorong dirinya untuk mencari perlindungan di luar. Didikan yang keras dari keluarga kakeknyalah yang menyebabkan ia berhasil.

    Dalam penelitian praktikan juga menemukan data-data yang bersifat negatif tetapi juga menemukan data-data yang positif dari tindakan-tidakan klien yang tetep harus dikembangkan juga. Dalam hal ini praktikan melihat bahwa klien juga mempunyai rasa bakti teradap keluarga, klien juga sering membantu keluarga dalam pekerjaan rumah. Klien kadang tidak masuk sekolah hanya di rumah dan membantu orang tua. Tidakan ini tidak salah namun yang menjadi tidak baik karena penempatan yang keliru. Yaitu seperti hanya karena ingin  membantu keluarga klien sampai mengabaikan kewajibannya yaitu belajar.

    Bab IV. Analisis dan Diganosis

    A. Subjek Studi

    I. Identitas

    Nama Inisial : BAS
    Usia : 15 Tahun
    Jenis Kelamin : Pria
    Kelas / Sekolah : X Administrasi Perkartoran SMK Swasta XX
    Agama : Islam

    II. Identitas Orangtua

    Ayah : PRN
    Pekerjaan : Buruh
    Ibu : SLS
    Pekerjaan Ibu Rumah Tangga

    B. Sipnosis (Keadaan Psikologis Klien)

    Klien dalam studi kasus yang dikembangan ini klien Sering tidak masuk sekolah walaupun hanya satu minggu sekali bahkan tidak jarang pula satu minggu dua kali. Alasan yang dialami klien untuk tidak berangkat sekolah dikarenakan malas untuk berangkat sekolah, tidak belajar karena pelajaran tertentu dan klien pada waktu tidak berangkat sekolah dia sering nongkrong di warung dekat sekolah dan terkadang ia dirumah dengan alasan sakit.

    Dalam proses pembelajaran, mengalami permasalahan ini terbukti bahwa anak ini menyukai beberapa mata pelajaran saja dan pelajaran yang paling disukai adalah Bahasa Inggris dan matematika. Dalam hal aktualisasi diri juga mengalami permasalahan ini terbukti ketika dalam proses wawancara anaknya susah diajak komunikasi. Dalam proses pembelajaran kurang menguasai apa yang disampaikan oleh gurunya serta jarang memperhatikan gurunya dalam pelajaran dan ketika pelajaran berlangsung ia sering sekali pergi ke uks dengan alasan sakit agar tidak belajar. Anaknya juga sering terlambat sekolah karena sering bangun kesiangan. Sering sekali terkena hukuman karena terlambat 20 menit.

    C. Jenis Dan Nama Kasus

    Dari hasil observasi dan data-data yang didapatkan selama obervasi yang kemudian didentifikasi, merumuskan dan menyimpulan untuk mengkaji tentang “STUDI KASUS PERILAKU MEMBOLOS DIKALANGAN PELAJAR KARENA MALAS” Studi kasus perilaku membolos dikalangan pelajar ini menggunakan pendekatan reality therapy atau terapi realitas. Konsep dasarnya adalah kenyataan yang sebenarnya yang akan dihadapi tanpa memandang jauh ke masa lalu. pendekatan ini juga bisa dikatakan atau menekankan pada masa kini.

    Pendekatan ini akan membimbing anak mampu menghadapi apa yang akan dihadapinya, mampu mengambil keputusan yang tepat untuk kedepannya. Pendekatan ini lebih bersifat humanis.

    D. Analisis

    Prilaku yang dialami klien sekarang adalah dampak dari eksternal yaitu kurangnya peran keluarga yang kurang dalam keseharianya klien mencoba untuk mengatasi segala permasalahanya sendiri dalam hal moral dan spiritual. Karena usianya yang sekarang dalam masa pubertas, dimana juga klien mencari jati dirinya terpengaruh oleh teman-temannya yang membuat klien suka membolos sekolah. Prilaku membolos membuat klien mengalami ketinggalan pelajaran, sehingga prestasi klien menurun dan nilai rapornya rendah.

    Klien sering tidak masuk sekolah karena hanya ingin melakukan sebuah kegiatan yang disenangi oleh klien, dimana saat klien malas untuk berangkat sekolah sehingga klien ketinggalan pelajaran dan dapat merugikan sendiri. Kemalasan klien tidak terlalu begitu parah karena hanya malas berangkat sekolah. Dalam hal kegiatan yang lain tidak begitu malas.

    Klien membolos karena malas berangkat sekolah. Malas karena ada beberapa pelajaran yang tidak disukai dan bahkan guru yang tidak disukai. Kemalasan yang dimiliki oleh klien karena klien kurang memahami kewajibanya sebagai seorang anak yaitu belajar. Klien tidak mengerti hal utama yang harus dilakukan oleh seorang murid.

    II.      Diagnosis

    1.        Efisiensi Kasus

    Kasus yang dihadapi klien yaitu perilaku membolos sekolah yang mana perilaku merugikan dirinya sendiri karena ketinggalan pelajaran dari teman-temanya, sehingga sering mendapat nilai rendah. Faktor-faktor efektif yang dialami klien yaitu perilaku membolos sekolah. Prilaku dikarenakan faktor internal dan eksternal. Prilaku yang menyimpang dilakukan karena keinginanya sendiri dan pengaruh dari luar yaitu dari pergaulannya dengan teman-teman serta lingkungan yang kurang mendukung.

    2.        Latar Belakang kasus

    Masalah yang dialami klien merupakan prilaku perlu dihindari klien karena membawa pada ketinggalan pelajaran. Prilaku tersebut tidak terlepas dari latar belakang masalah yang dihadapinya. Masalah klien pada dasarnya disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal.

    a.       Faktor Internal

    Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam atau dari diri klien sendiri. Klien selalu mempunyai keinginan untuk dirumah menonton TV dan bermain bersama teman-temannya yang mana saat tidak masuk sekolah dan klien sendiri sering mengalami malas untuk berangkat sekolah.

    b.      Faktor eksternal

    Faktor eksternal adalah faktor yang bersal dari luar klien. Sebab dari perilaku yang menyimpang dengan membolos sekolah berawal dari kemalasan untuk tidak masuk sekolah agar dapat menonton TV serta bermain bersama teman-teman. Kehadiran teman-teman yang memiliki kebebasan dan tidak memiliki tanggjung jawab sebagi seorang murid membuat klien ikut-ikutan.

    Selain dari lingkungan masyarakat klien juga mempunyai keluarga, yang mana klien merasa kurang diperhatikan oleh ayah yang pergi untuk bekerja dan ibu yang mengurus adiknya. Walaupun kedua orang tuanya sudah merasa diperhatikan tatapi klien merasa kurang adanya perhatian. Orang tua jarang memberikan bimbingan, serta arahan.

    c.         Sebab Timbulnya Kasus

    Masalah yang dihadapi klien bermulai dari pertengahan masuk sekolah SMK Surya Dharma Bandar Lampung, dimana klien malas masuk sekolah. Selain itu klien juga mengalami malas untuk datang karena ada mata pelajaran yang tidak ia sukai, ingin menonton TV dirumah dan ingin bermain bersama teman-temannya.

    d.        Dinamika Psikis Klien

    Dinamika Psikis Negatif, Klien memiliki perilaku yang kurang baik, dimana suka membolos sekolah yang mengakibatkan ketingalan pelajaran sehingga prestasinya menurun dan mendapatkan nilai rendah.

    III.              PROGNOSIS

    A.      Dampak-dampak kasus

    1.         Dampak negatif

    Perilaku membolos yang dilakukan oleh klien bila tidak segera di atasi maka akan menimbulkan dampak negatif bagi dirinya, sekolah dan keluarga dan bahkan sampai ke lingkungan sekitarnya. Membolos menjadikan klien ketinggalan pelajaran sehingga membuat indek prestasinya dalam kelas menurun.

    Jika klien dibiarkan dalam keadaan ini, perilaku yang dilakukan klien akan menggangu dirinya sendiri, orang tuanya, pihak sekolah dan lingkungannya juga. Klien akan mengalami kekewatiran dimana saat membolos sekolah takut kalau diketahui pihak sekolah dan orang tuanya.

    2.         Dampak positif

    Dari data-data permasalahan yang peraktikan dapatkan menyimpulan bahwa klien tidak masuk kadang karena tidak suka dengan guru sehingga mengarah juga ke mata pelajaran yang diampu oleh guru tersebut.

    B.       Alternatif Pemecahan Kasus

    Dengan adanya studi kasus ini, klien dapat mengerti dari perilakunya yang menyimpang dimana klien dapat memahami perilaku yang dilakukannya tidak membawa kemajuan baginya. Sehingga dengan adanya studi kasus ini klien tahu perilaku membolos sekolah tidak ada manfatnya. Dan klien dapat lebih rajin untuk berangkat sekolah agar tidak ketinggalan pelajaran dan mendapat nilai raport yang lebih baik.

    IV.              TREATHMENT

    A.    Metode, Teknik, Sasaran Dan Tujuan

    1.         Metode

    Studi kasus perilaku membolos dikalangan pelajar ini menggunakan metode reality therapy atau terapi realitas. Konsep dasarnya adalah kenyataan yang sebenarnya yang akan dihadapi tanpa memandang jauh ke masa lalu. pendekatan ini juga bisa dikatakan atau menekankan pada masa kini. Metode ini akan membimbing anak mampu menghadapi apa yang akan dihadapinya, mampu mengambil keputusan yang tepat untuk kedepannya. Pendekatan ini lebih bersifat humanis.

    2.         Teknik

    Teknik-teknik yang digunakan adalah :

    a)      Menggunakan role playing dengan klien.

    b)      Menggunakan humor yang mendorong suasana yang segar dengan rileks.

    c)      Tidak menjanjikan kepada klien maaf apapun, karena telah terlebih dahulu diadakan perjanjian untuk melakukan tingkah laku tertentu yang sesuai dengan keberadaan klien.

    d)     Menolong klien utnuk merumuskan tingkah apa yang akan diperbuatnya.

    e)      Membuat model-model peranan terapis sebagai guru yang lebih bersifat mendidik.

    f)       Membuat batas-batas yang tegas dari struktur dan situasi terapinya

    g)      Menggunakan terapi kejutan verbal atau ejakan yang pantas untuk menkanfrontasikan klien dengan tingkah lakunya yang tak pantas, misalnya berupa teguran secara langsung atau tiba-tiba terhadap tingkah lakunya atau janji yang tak dapat dipertanggungjawabkan

    h)      Ikut terlibat mencari hidup yang lebih efektif, misalnya, dengan merencanakan model belajar atau sekolah yang langsung dalam kehidupan dilakukan.

    3.         Sasaran

    Dalam menangani kasus ini sasaran yang utama hendak dicapai adalah subyek sendiri, jadi perlakuan yang peneliti lakukan ditujukan kepada subyek.

    4.         Tujuan

    a.         Menolong individu agar mampu mengurus diri sendiri dengan kata lain individu dapat membuat keputusan yang tepat dari tingkah laku yang dibuatnya untuk mencapai masa datang yang lebih baik (memandirikan klien)

    b.         Mendorng klien untuk bertanggung jawab serta memikul segala resiko. Tanggung jawab yang dimintakan klien sesuai dengan kemampuaan dan keinginnya

    c.         Mengembangkan rencana-rencana nyata dalam mencapai tujuan, rencana harus dibuat realistik dalam arti dapat diwujudkan dalam tingkah laku yang nyata dan merupakan harapan yang dapat dicapai atas kemampuan yang dimiliki klien.

    d.        Tingkah laku yang sukses yang dapat dihubungkan dengan pencapaian kepribadian yang sukses. Kesuksesan pribadi dicapai dengan nilai-nilai adanya keinginan individu, untuk mengubahnya sendiri jadi tanggungjawab yang penuh atas kesadaran sendiri.

    e.         Terapi ditekankan pada disiplin dan tanggungjawab atas kesadaran sendiri

    B.     Waktu Dan Tempat Pelaksanaan

    Waktu dan tempat pelaksanaan di SMK Surya Dharma Bandar Lampung yang peneliti laksanakan bersama-bersama dengan klien, dengan menggunakan metode tingkah laku desensitisasi sitematis secara bertahap-tahap dari waktu ke waktu dan beberapa metode yang lain sesuai dengan kondisi klien.

    1.        Pertemuan pertama (19 September 2017)

    Memulai penelitian ini pada tanggal 19 September 2017 yang merupakan pertemuan pertama. Dalam pertemuan pertama peneliti menemui guru BK yang kemudian peneliti dikenalkan kepada klien. Pada pertemuan pertama peneliti menayakan kepada klien untuk menjadi klien dalam study kasus dan klien mau menjadi klien dalam penelitian ini. Dari situ pepenliti kemudian melanjutkan perkenalan yang lebih dalam agar menjadi akrab dan saling membantu. Peneliti kemudian mengadakan kontrak pertemuan untuk selanjutnya dan begitu seterusnya. Dalam pertemuan pertama ini juga peneliti langsung mendapat sinopsis dari guru BK tentang tingkah laku dan masalah yang dihadapi klien.

    2.        Pertemuan kedua (21 September 2017)

    Pertemuan kedua peneliti mengajukan beberapa pertanyaan kepada klien tentang masalah yang dihadapi. Pertanyaan ini berdasarkan sinopsis masalah yang telah diberikan oleh guru BK yang diberikan pada pertemuan pertama. Dalam pertemuan kedua ini klien menceritakan masalah yang dihadapinya, klien bercerita bahwa ia sering sekali tidak masuk sekolah baik izin, sakit dan tanpa keterangan. Kadang juga membuat surat izin dengan tanda tangan sendiri.

    3.        Pertemuan ketiga ( 27 September 2017)

    Pertetemuan ketiga ini peneliti mendapatkan data dari klien tentang keadaan keluarga. Klien menceritakan keadaan keluarga meliputi alamat rumah, pekerjaan orang tua. Klien sering sekali di tinggal ayahnya mencari nafkah dan ibu nya hanya ibu rumah tangga, Orang tuanya bekerja menjadi buruh selama satu minggu penuh. Peneliti juga menanyakan tentang kondisi fisiknya karena klien kadang tidak masuk dengan alasan sakit.

    Klien merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Di rumah jarang sekali mendapatkan pendidikan dari keluarga. Klien sebagai anak kedua yang kurang mendapatkan perhatian yang khusus dari ayah dan ibu nya. Kehidupan keluarga dapat dikatakan cukup baik. Klien sekarang masih tinggal bersama orang tua. Dalam keseharian klien senang sekali mendengarkan musik untuk menenangkan pikiran nya

    4.        Pertemuan keempat (4 Oktober 2017)

    Dalam pertemuan ke empat peneliti mengajukan pertanyaan tentang kondisi lingkungan tempat tinggal dan tentang pergaulannya. Klien bercerita bila bolos kadang hanya di rumah tidur atau nonton TV, kadang-kadang juga hanya main-main di tempat tetangga dan nongkrong didaerah dekat sekolah. Klien membolos masih memakai seragam sekolah karena klien membolos sejak jam pertama atau memang sengaja tidak masuk sekolah. Klien jarang sekali membolos karena ajakan teman atau siapa tapi karena kehendak sendiri. Di rumah jarang sekali bermain bersama dengan teman atau saudara ini terbukti dari hobinya yang hanya menonton TV.

    5.        Pertemuan kelima (10 Oktober 2017)

    Peneliti mendapatkan data dari angket data pribadi siswa dan dari teman sebaya di sekolah bahwa klien sering tidak masuk satu kali dalam seminggu kadang juga sampai dua kali. Tentang prestasi disekolah klien biasa-biasa saja dan tidak mendapat peringkat.

    6.        Pertemuan keenam (17 Oktober 2017)

    Petemuan keenam merupakan pertemuan terakhir dengan klien dalam peremuan terakhir peneliti memberikan gambaran permasalahan dan memberikan saran-saran, bantuan dan solusi atas permasalahan yang dihadapinya. Ini peneliti berikan atas dasar data-data yang peneliti dapatkan dari masalah dan hasil wawancara yang selama peneliti dengan klien berkerja sama. Klien juga berjanji kepada peneliti untuk berubah berusaha memperbaiki sikapnya, memperbaiki prestasinya, dan berusaha selalu masuk sekolah kecuali memang tidak mendukung untuk tidak masuk sekoah.

    C.    Evaluasi treatment

    Subyek telah peneliti kenal cukup lama dan sadar bahwa masalah yang dihadapai membutuhkan bantuan konseling, sikap awal pada pertemuan-pertemuan dengan peneliti lebih menunjukkan hubungan yang mempunyai perhatian yang lebih besar dalam suasana keakraban, termasuk dengan anggota keluarga yang lain. Subyek menunjukkan sikap yang senang apabila peneliti datang menemuinya. Sehingga memudahkan peneliti dalam melakukan perlakukan terhadap subyek, dari awal pengumpulan data sampai dengan pelakuan pada treatment-treatment.

    Setelah dilakukan pada subyek, nampak ada perubahan. Sekarang merasa lebih santai dan lebih mantap dalam menghadapi berbagai masalah yang muncul. Anak-anak merasa diperhatikan dan mendapatkan tempat untuk mengutarakan semua perasaannya dibandingkan sebelumnya. Namun demikian perlakuan terhadap ibu baru sekali dan belum banyak peneliti laksanakan lebih banyak karena ibunya (ibu pulang ke ayahnya tanpa minta ijin subyek, karena membawa/menghabiskan sejumlah uang subyek yang cukup banyak) tidak ada di rumah sejak awal treatment ini diperlakukan.

    Jadi selama melakuan treatment yang peneliti lakukan dalam waktu yang singkat yaitu kurang lebih satu setengah bulan, menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Artinya bahwa subyek mengalami perkembangan yang baik dibandingkan sebelumnya. Dapat dikatakan bahwa treatment yang dikenakan pada subyek telah berhasil 80%. Tetapi sekalipun studi kasus ini telah berakhir, namun tetapi peneliti menekan kepada subyek untuk tetap latihan-latihan releksasi dan sewaktu-waktu subyek membutuhkan bantuan peneliti bersedia dan dengan senang hati.

    BAB V

    KESIMPULAN

    A.      Kesimpulan

    Mempelajari dan memahami masalah psikologis terhadap kasus yang disebabkan adanya bentukan baik dari dalam diri individu maupun keluarga serta faktor eksternal yang lain. Mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan timbulnya masalah, baik itu latar kasus maupun pencetus kasus yang berasal dari lingkungan internal maupun eksternal yang mempengaruhi dinamika psikis (gejala-gejala psikis) klien. Memberikan perlakuan yang tepat sehingga kecemasan yang di alami klien dapat teratasi. Memberikan perlakuan terhadap klien supaya memperoleh tingkah laku yang diterima masyarakat dan mengambil keputusan yang tepat bagi dirinya untuk perkembangan diri yang optimal dalam menggunakan segala kelemahan dan kelebihannya

    B.        Pendapat

    Berdasarkan pada analisa, diagnosis dan kesimpulan di atas, penulis berpendapat:

    Subyek mengalami gangguan kecemasan yang di sebabkan oleh faktor psikologis, yaitu adanya kepribadian subyek yang mudah sekali emosional (kurang adanya kestabilan emosional) dalam menghadapi berbagai masalah. Kurang menerima kenyataan terhadap apa yang dihadapi saat sekarang. Subyek terbawa pada pengalaman-pengalam masa lalu yang traumatik dan kehilangan fugur orang yang paling dekat, membuat subyek mempunyai ketergantungan yang tinggi. Sebaliknya disisi lain subyek harus berperan sebagai figur ibu dan sekaligus ayah.

    Subyek sebenarnya sangat membutuhkan dorongan dan dukungan dari pihak orang tua, namun demikian orang tua justru manambah memberikan beban terhadap subyek (karena keberadaan yang tidak memungkinkan).

    Gangguan kecemasan yang dialami subyek masih dalam batas rasional dan hal ini akan sangat terasa bila subyek sedang banyak mengalami masalah. Dan subyek cukup potesial untuk mengatasi masalah.

    DAFTAR PUSTAKA

    Molyono, Bambang Y. 1984. Pendekatan Analisis kenakalan Remaja dan penanggulangannya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta

    Partowisastro Kuestuer, Drs. 1983. Dinamika Psikologi Sosial. Penerbit Erlangga Jakarta 

    Mustaqim, Drs. Dan Wahid Abdul, Drs. 1990. Psikologi Pendidikan. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta 

    Hariyadi Sugeng, Drs. MS. 1993. Perkembangan Peserta Didik. Penerbit IKIP Semarang Press. Semarang 

    Pujosuwarno Sayekil. Drs. 1983 Berbagai Pendekatan Dalam Konsling. Penerbit IKIP Yogyakarta FIP. Yogyakarta.

  • Makalah Peran dan Perkembangan Baju Bodo – Busana Adat Suku Bugis Makassar

    Makalah Peran dan Perkembangan Baju Bodo – Busana Adat Suku Bugis Makassar

    Peran dan Perkembangan Baju Bodo

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Busana adat merupakan salah satu aspek yang cukup penting. Bukan saja berfungsi sebagai penghias tubuh, tetapi juga sebagai kelengkapan suatu upacara adat. Yang dimaksud dengan busana adat di sini adalah pakaian berikut aksesori yang dikenakan dalam berbagai upacara adat seperti perkawinan, penjemputan tamu, atau hari-hari besar adat lainnya. Pada dasarnya, keberadaan dan pemakaian busana adat pada suatu upacara tertentu akan melambangkan keagungan upacara itu sendiri.

    Melihat kebiasaan mereka dalam berbusana, sebenarnya dapat dikatakan bahwa busana adat Makasar menunjukkan kemiripan dengan busana yang biasa dipakai oleh orang Bugis. Meskipun demikian, ada beberapa ciri, bentuk maupun corak, busana yang khas milik pendukung kebudayaan Makasar dan tidak dapat disamakan dengan busana milik masyarakat Bugis.

    Pada masa dulu, busana adat orang Makasar dapat menunjukkan status perkawinan, bahkan juga status sosial pemakainya di dalam masyarakat. Hal itu disebabkan masyarakat Makasar terbagi atas tiga lapisan sosial. Ketiga strata sosial tersebut adalah ono karaeng, yakni lapisan yang ditempati oleh kerabat raja dan bangsawan; tu maradeka, yakni lapisan orang merdeka atau masyarakat kebanyakan; dan atu atau golongan para budak, yakni lapisan orangorang yang kalah dalam peperangan, tidak mampu membayar utang, dan yang melanggar adat. Namun dewasa ini, busana yang dipakai tidak lagi melambangkan suatu kedudukan sosial seseorang, melainkan lebih menunjukkan selera pemakainya.

    Sementara itu, berdasarkan jenis kelamin pemakainya, busana adat Makasar tentu saja dapat dibedakan atas busana pria dan busana wanita. Masing-masing busana tersebut memiliki karakteristik tersendiri, busana adat pria dengan baju bella dada dan jas tutunya sedangkan busana adat wanita dengan baju bodo dan baju labbunya.

    Busana adat pria Makasar terdiri atas baju, celana atau paroci, kain sarung atau lipa garusuk, dan tutup kepala atau passapu. Baju yang dikenakan pada tubuh bagian atas berbentuk jas tutup atau jas tutu dan baju belah dada atau bella dada. Model baju yang tampak adalah berlengan panjang, leher berkrah, saku di kanan dan kiri baju, serta diberi kancing yang terbuat dari emas atau perak dan dipasang pada leher baju. Gambaran model tersebut sama untuk kedua jenis baju pria, baik untuk jas tutu maupun baju bella dada. Hanya dalam hal warna dan bahan yang dipakai terdapat perbedaan di antara keduanya. Bahan untuk jas tutu biasanya tebal dan berwarna biru atau coklat tua. Adapun bahan baju bella dada tampak lebih tipis, yaitu berasal dari kain lipa sabbe atau lipa garusuk yang polos, berwarna terang dan mencolok seperti merah, dan hijau.

    Khusus untuk tutup kepala, bahan yang biasa digunakan berasal dari kain pasapu yang terbuat dari serat daun lontar yang dianyam. Bila tutup kepala pada busana adat pria Makasar dihiasi dengan benang emas, masyarakat menyebutnya mbiring. Namun jika keadaan sebaliknya atau tutup kepala tidak berhias benang emas, pasapu guru sebutannya. Biasanya, yang mengenakan pasapu guru adalah mereka yang berstatus sebagai guru di kampung. Pemakaian tutup kepala pada busana pria mempunyai makna-makna dan simbol-simbol tertentu yang melambangkan satus sosial pemakainya.

    Kelengkapan busana adat pria Makassar yang tidak pernah lupa untuk dikenakan adalah perhiasan seperti keris, gelang, selempang atau rante sembang, sapu tangan berhias atau passapu ambara, dan hiasan pada penutup kepala atau sigarak. Gambaran busana adat pria Makassar lengkap dengan semua jenis perhiasan seperti itu, tampak jelas pada seorang pria yang sedang melangsungkan upacara pernikahan. Lebih tepatnya dikenakan sebagai busana pengantin pria.

    Sementara itu, busana adat wanita Makasar terdiri atas baju dan sarung atau lipa. Ada dua jenis baju yang biasa dikenakan oleh kaum wanita, yakni baju bodo dan baju labbu dengan kekhasannya tersendiri. Baju bodo berbentuk segi empat, tidak berlengan, sisi samping kain dijahit, dan pada bagian atas dilubangi untuk memasukkan kepala yang sekaligus juga merupakan leher baju. Adapun baju labbu atau disebut juga baju bodo panjang, biasanya berbentuk baju kurung berlengan panjang dan ketat mulai dari siku sampai pergelangan tangan. Bahan dasar yang kerap digunakan untuk membuat baju labbu seperti itu adalah kain sutera tipis, berwarna tua dengan corak bunga-bunga. Kaum wanita dari berbagai kalangan manapun bisa mengenakan baju labbu.

    Pasangan baju bodo dan baju labbu adalah kain sarung atau lipa, yang terbuat dari benang biasa atau lipa garusuk maupun kain sarung sutera atau lipa sabbe dengan warna dan corak yang beragam. Namun pada umumnya, warna dasar sarung Makasar adalah hitam, coklat tua, atau biru tua, dengan hiasan motif kecil kecil yang disebut corak cadi. Sama halnya dengan pria, wanita makasar pun memakai berbagai perhiasan untuk melengkapi tampilan busana yang dikenakannya Unsur perhiasan yang terdapat di kepala adalah mahkota (saloko), sanggul berhiaskan bunga dengan tangkainya (pinang goyang), dan anting panjang (bangkarak). Perhiasan di leher antara lain kalung berantai (geno ma`bule), kalung panjang (rantekote), dan kalung besar (geno sibatu), dan berbagai aksesori lainnya. Penggunaan busana adat wanita Makassar yang lengkap dengan berbagai aksesorinya terlihat pada busana pengantin wanita. Begitu pula halnya dengan para pengiring pengantin, hanya saja perhiasan yang dikenakannya tidak selengkap itu.

    B. Rumusan Masalah

    1. Apa yang di maksud dengan baju bodo
    2. Jelaskan arti warna baju bodo

    Bab II. Pembahasan

    A. Mengenak Sekilas Tentang Baju Bodo

    Meskipun baju adat dari Makassar cukup popular, dikenal luas masih ada sebagian orang yang belum mengenal apa baju adat makassar yang sesungguhnya. Selama ini kita hanya melihatnya dari gambar buku-buku pelajaran dan foto-foto dari berbagai media baik cetak maupun elektronik. Tidak adil  rasanya jika hanya mengetahui baju adat dari daerah sendiri, Indonesia merupakan Negara kesatuan, upaya kita mengenal keanekaragaman budaya termasuk cinta tanah air. Dengan kita lebih mengenal lebih lanjut tentang budaya Makassar sedikitnya mengikis rasa etnosentrisme yang melekat didalam diri kita.

    Etnosentrisme merupakan paham yang menganggap bahwa budayanyalah yang paling baik dibandingkan dengan budaya lain. di sisi lain paham ini menanamkan semangat kestiaan yang tinggi, tetapi disisi  lain dapat memberikan konflik jika ditanamkan secara berlebihan. Sebagai Negara kesatuan kita dituntut untuk bisa saling menghargai budaya masing-masing.

    Baju adat merupakan pakaian tradisional yang terbuat dari bahan, corak, model, dari masyarakat setempat. Baju adat dari Makassar sering disebut baju bodo. Untuk sebagian suku bugis yang menetap di Makassar menyebut baju bodo dengan sebutan baju tokko. Baju bodo atau bojo tokko  dibuat dengan bentuk segi empat berlengan pendek. Baju ini dibuat dengan berbagai warna, dan kain yang digunakan adalah kain muslin.

     Kain muslin merupakan kain yang  terbuat dari gulungan kapas yang dijalin dengan menggunakan benang katun. Baju bodo ini merupakan salah satu baju tradisional tertua yang ada di dunia. Bahkan public internasional pun tidak mengetahuinya, maka dari itu kita perlu memperkenalkannya keseluruh penjuru dunia. Seperti telah disebutkan sebelumnya baju bodo terbuat dari kain muslin, yang merupakan kain yang sangat tua bahkan dikenal sejak abad ke-13.

    Hebatnya jika dibanding dengan masyarakat didataran Eropa, lebih dulu dikenal oleh masyarakat Makassar khususnya pada abad ke 17. Baru dikenal di Eropa pada ke-18. Kain muslin yang digunakan untuk membuat baju bodo atau waju tokko ini awalnya sangat tipis, bahkan transparan. Sehingga pada awal pembuatan baju bodo, baju ini memperlihatkan bentuk tubuh wanita, sehingga bagian dada, pusar dan payudaranya sangat jelas terlihat. Sementara untuk padananya menegenakan kain sejenis kain sarung tenun khas Makassar.

    Perjalanan selanjutnya, baju bodo ini berubah menjadi la’bu . Dahulu baju bodo yang masih memperlihatkan bagian dada wanita ini sejak zaman masuknya islam ditanah Makassar. Meskipun agama islam sudah masuk ke Makassar pada abad ke-5, namun baru  diterima oleh masyarakat pada abad ke-17.

    Penerimaan ajaran islam ini juga tidak lepas dari peran DI/II, DI/TII ini juga memberikan pengaruh pada perkembangan dan perubahan Baju Bodo menjadi baju La’bu dalam ajaran islam yang diemban oleh DI/TII pada masyarakat ini melarang memperlihatkan aurat, bahkan larangan in menjadi isu besar dikalangan agamawan dan pelaku adat. Larangan yang dilontarkan oleh penganut DI/TII waktu itu membuat baju Bodo juga semakin jarang dikenakan. Hal ini tentu saja bisa berakibat terkikisnya corak khas budaya dan minimnya. Penggunaan baju bodo dalam upacara adat.

    Keterbukaan Kerajaan Gowa akan ajaran Islam ini, membuat raja gowa mengambil kebijakan yang cukup bijaksana. Kebijakan yang diberikan adalah memodifikasi baju bodo yang semua transparan dibuat agak tebal,longgar, panjang sampai lutut yang disebut  dengan baju la’bu.

    Jadi baju adat dari Makassar yang masih banyak kita sebut dengan baju bodo ini, sebenarnya disebut dengan baju la’bu tetap saja tidak menghilangkan unsur sejarah baju bodo itu sendiri sehingga masyarakat luas masih saja menyebutnya baju bodo.

    Baju bodo adalah pakaian tradisional perempuan suku Bugis, Makassar, Sulawesi, Indonesia. Baju bodo berbentuk segi empat, biasanya berlengan pendek, yaitu setengah atas bagian siku lengan. Baju bodo juga dikenali sebagai salah satu busana tertua di dunia. Menurut adat Bugis, setiap warna baju bodo yang dipakai oleh perempuan Bugis menunjukkan usia ataupun martabat pemakainya. Berikut gambar baju bodo suku bugis Makassar :

    B. Arti Warna Baju Bodo

    Bagi masyarakat Makassar, baju adat tradisionalnya tidak dibuat jika tidak memasuki arti atau makna, serta fungsi. Baju bodo yang dibuat dari kain yang berwarna warni ini memasuki arti dan fungsi yang berbeda beda. Salah satunya perbedaan warna baju yang dipakai dikenakan itu menunjukkan identitas penggunaanya.

    Arti warna baju bodo dibuat hanya diperuntukkan untuk kaum wanitanya, tidak untuk laki-laki. Perbedaan arti dan fungsi inilah mengapa baju bodo ini dibuat berwarna, tetapi khususnya warna yang menjadi kesepakatan adat tidak boleh salah penggunaanya, sementara warna lainnya diperbolehkan untuk acara non formal. Baju bodo yang dikenakan untuk kelompok usia tertentu akan berbeda pilihan warnanya. Hal ini sudah dilakukan turun temurun sejak neneng moyang mereka sudah menjadi tradisi. Jika tradisi ini dilanggar, dipandang tidak tahu adat. Berikut arti warna baju bodo yang menunjukkan usia pemakainya:

    1. Warna kuning gading. Baju bodo warna kuning gading ini disebut dengan waju pella-pella (kupu-kupu), dan dikenakan untuk anak perempuan dibawah usia 10 tahun. Warna ini disimbolkan sebagai dunia anak-anak yang penuh keceriaan, dan diharapkan supaya anak cepat dewasa dan bisa menghadapi tantangan hidup .
    2. Warna jingga (merah muda). Baju bodo warna jingga dikenakan untuk perempuan usia 10-14 tahun. Usia ini dianggap masih matang atau setengah dewasa.
    3. Warna jingga atau merah muda lapis. Baju bodo warna ini dikenakan untuk perempuan usia 14-17 tahun. Bedanya dengan usia 10-14 tahun hanya model bajunya, yang dibuat bersusun atau berlapis. Baju bodo warna ini dikenakan juga untuk mereka yang sudah menikah tetapi belum memilki anak.
    4. Warna merah darah lapis. Baju bodo warna ini dikenakan untuk usia 17-25 tahun. Baju ini dikenakan untuk wanita yang sudah menikah dan telah memiliki anak. Menggunakan warna merah darah ini maknanya si wanita ini sudah mengeluarkan darah dari rahimnya.
    5. Warna hitam. Baju bodo khususnya warna hitam dikenakan untuk wanita yang berusia 25-40 tahun.
    6. Warna ungu. Baju bodo warna ini biasanya dikenakan oleh seseorang yang sudah tidak memilki seoarang suami (janda)
    7. Warna putih. Baju bodo Warna putih  biasanya dipakai oleh para pembantu dan dukun.
    8. Warna hijau. Baju bodo Hijau biasanya dipakai oleh perempuan bangsawan.

    Selain peraturan pemakaian baju bodo itu, dahulu juga masih sering didapati perempuan Bugis-Makassar yang mengeakan Baju Bodo sebagai pakaian pesta, misalnya pada pesta perkawinan. Akan tetapi saat ini, baju adat ini sudah semakin terkikis oleh perubahan zaman. Baju bodo kini terpinggirkan, digantikan oleh kebaya modern, gaun malam yang katanya modis, atau busana-busana yang lebih simpel dan mengikuti trend.

    Walau dengan keterpinggirannya, Baju bodo kini tetap dikenakan oleh mempelai perempuan dalam resepsi pernikahan ataupun akad nikah. Begitu pula untuk passapi’nya (pendamping mempelai, biasanya anak-anak). Juga digunakan pagar ayu.

    Bab III. Penutup

    A.    KESIMPULAN

    Baju bodo adalah pakaian tradisional perempuan suku Bugis Makassar, Sulawesi, Indonesia. Baju bodo berbentuk segi empat, biasanya berlengan pendek, yaitu setengah atas bagian siku lengan. Baju bodo juga dikenali sebagai salah satu busana tertua di dunia. Menurut adat Bugis, setiap warna baju bodo yang dipakai oleh perempuan Bugis menunjukkan usia ataupun martabat pemakainya. Baju bodo meemilki arti sesuai warnanya, berikut arti warna baju bodo yang menunjukkan usia pemakainya:

    –          Warna kuning gading. Baju bodo warna kuning gading ini disebut dengan waju pella-pella (kupu-kupu), dan dikenakan untuk anak perempuan dibawah usia 10 tahun. Warna ini disimbolkan sebagai dunia anak-anak yang penuh keceriaan, dan diharapkan supaya anak cepat dewasa dan bisa menghadapi tantangan hidup .

    –          Warna jingga (merah muda). Baju bodo warna jingga dikenakan untuk perempuan usia 10-14 tahun. Usia ini dianggap masih matang atau setengah dewasa.

    –          Warna jingga atau merah muda lapis. Baju bodo warna ini dikenakan untuk perempuan usia 14-17 tahun. Bedanya dengan usia 10-14 tahun hanya model bajunya, yang dibuat bersusun atau berlapis. Baju bodo warna ini dikenakan juga untuk mereka yang sudah menikah tetapi belum memilki anak.

    –          Warna merah darah lapis. Baju bodo warna ini dikenakan untuk usia 17-25 tahun. Baju ini dikenakan untuk wanita yang sudah menikah dan telah memiliki anak. Menggunakan warna merah darah ini maknanya si wanita ini sudah mengeluarkan darah dari rahimnya.

    –          Warna hitam. Baju bodo khususnya warna hitam dikenakan untuk wanita yang berusia 25-40 tahun.

    –          Warna ungu. Baju bodo warna ini biasanya dikenakan oleh seseorang yang sudah tidak memilki seoarang suami (janda)

    –          Warna putih.  Baju bodo Warna putih  biasanya dipakai oleh para pembantu dan dukun.

    –          Warna hijau. Baju bodo Hijau biasanya dipakai oleh perempuan bangsawan.

    B.     SARAN

    Penulis berharap dengan adanya makalah ini, memberikan pengetahuan bagi pembaca agar mengatahui pakaian adat bugis Makassar. Serta penulis menginginkan agar pakaian adat bugis Makassar yakni baju bodo bisa terkenal sampai keseluruh penjuru dunia yang bisa mengangkat martabat khususnya suku bugis Makassar.

  • Makalah Etika Berbusana Remaja

    Makalah Etika Berbusana Remaja

    Etika Berbusana Remaja

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Perkembangan busana dari masa ke masa mengalami mperubahan yang sangat signifikan. Bahkan dari tahun ke tahun mode atau style berubah menurut pemikiran dan perkembangan budaya dan tekhnologi.

    B. Rumusan Permasalahan

    Permasalahan yang timbul dari Berbusana dikalangan remaja :

    1. Apakah etika berbusana?
    2. Bagaimana penerapan etika berbusana?
    3. Bagaimana Etika berbusana yang baik?
    4. Apa Motif yang bisa diterapkan remaja kehidupan sehari-hari?

    Bab II. Pembahasan

    A. Pengertian Etika Berbusana

    Untuk memahami etika berbusana, perlu dipahami tentang etika. Menurut Frans Magniz–Suseno, etika ialah ilmu yang mencari orientasi, etika mau mengerti mengapa kita harus mengikuti ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita dapat mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral. Sementara itu, Drs.H.Hasbullah Bakry,SH. mengemukakan etika yaitu ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan melihat pada amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui akal pikiran.

    Dalam kaitannya dengan berbusana, maka dapat diartikan bahwa etika berbusana yaitu suatu ilmu yang memikirkan bagaimana seseorang dapat mengambil sikap dalam berbusana tentang model, warna, corak (motif) mana yang tepat baik sesuai dengan kesempatan, kondisi dan waktu serta norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.

    Estetika berbusana dapat diartikan sebagai suatu bidang pengetahuan yang membicarakan bagaimana berbusana yang serasi sesuai dengan bentuk tubuh seseorang serta kepribadiannya. Berbusana yang indah dan serasi yang menerapkan nilai-nilai estetika berarti harus dapat memilih model, warna dan corak, tekstur, yang sesuai dengan pemakai.

    B. Penerapan Etika Berbusana

    Menerapkan etika berbusana dalam kehidupan manusia perlu memahami tentang kondisi lingkungan, budaya dan waktu pemakaian. Untuk hal itu baik jenis, model, warna atau corak busana perlu disesuaikan dengan ke tiga hal tersebut, agar seseorang dapat diterima dilingkungannya.

    Dasar perintah manusia untuk memakai dan menggunakan busana termaktub dalam kitab suci Al-Quran yaitu :

    “Katakanlah kepada wanita yang beriman:”Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka.

    “Wahai Putra-Putra Adam! Kami telah menurunkan kepada kamu pakaian yang berfungsi menutupi ‘aurat kamu dan bulu (sebagai pakaian indah untuk perhiasan).” (QS.al-A’raf : 26)

    “Wahai putra-putra Adam, pakailah perhiasan kamu (yakni pakaian kamu di setiap (memasuki) masjid” (QS. al-A’raf [7] : 31)

    “Dan dia (Allah) menjadikan kamu bagi kamu pakaian yang memelihara kamu dari panas dan pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam peperangan.”(QS.an-Nahl : 81).

    Manusia membutuhkan pakaian (sandang) untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dasar sehari-hari di samping kebutuhan akan tempat tinggal (papan) dan makanan (pangan). Pakaian dapat memberikan keindahan, proteksi dari penyakit, kenyamanan, dan lain sebagainya. Tanpa baju/pakaian dapat mengakibatkan seseorang dikatakan gila.

    C. Etika Berbusana yang Baik

    1. Menutup Aurat Bagian Tubuh

    Saat ini banyak kita jumpai gadis dan wanita yang tidak menutup aurat dengan bajunya, sehingga dapat memunculkan rangsangan kepada kaum laki-laki yang melihatnya. Ada banyak pilihan pakaian yang tertutup dan sopan yang bisa digunakan tanpa mengurangi kecantikan perempuan. Seharusnya pemerintah memberikan teguran dan hukuman bagi orang-orang yang mengumbar tubuhnya.

    2. Sesuai Dengan Tujuan, Situasi dan Kondisi Lingkungan

    Jika ingin sekolah gunakanlah pakaian seragam sekolah, bukan pakaian untuk tidur (piyama), renang, kerja, dan lain-lain. Apabila suhu di luar rumah sangat dingin, gunakanlah jaket yang tebal, bukan memakai pakaian tipis.

    3. Tampak Rapi, Bersih, Sehat, dan Ukurannya Pas

    Pakaian yang dipakai sebaiknya pakaian yang telah dicuci bersih, disetrika rapi dan jika dipakai tidak kebesaran maupun kekecilan. Pakaian yang kotor merupakan sarang penyakit bagi kita diri sendiri maupun kepada oang lain yang ada di sekitarnya.

    4. Tidak Mengganggu Orang Lain

    Pakailah baju-baju yang biasa-biasa saja tidak mengganggu akivitas maupun kenyamanan orang lain. Misalnya menggunakan gaun wanita dengan ekor puluhan meter sangat tidak pantas jika kita gunakan di tempat seperti di bus umum.

    5. Tidak Melanggar Hukum Negara dan Hukum Agama

    Sebelum memakai pakaian ada baiknya diingat-ingat dulu hukum di dalam maupun di luar negeri. Hindari memakai pakaian yang bertentangan dengan adat istiadat, hukum budaya yang berlaku di tempat tersebut. Di mana bumi di pajak, di situ langit di junjung.

    D. Enam motif berbusana

    1. Motif Religi

    Manusia sebagai makhluk yang mempunyai keyakinan dalam memeluk agama manapun cenderung mempunyai motif berbusana yang tidak melanggar sopan santun, tata susila, tidak memberi peluang kepada orang berbuat sesuatu yang asusila. Motif religi ini akan mendorong orang memilih busana yang sesuai dengan aturan-aturan yang dibolehkan atau dipersyaratkan dalam agamanya.

    Berbusana dengan motif religi seyogianya akan menyesuaikan dengan aturan dan persyaratan, seperti dalam agama Islam untuk busana laki-laki minimal dari pusat sampai lutut, sedangkan untuk perempuan seperti telah dikemukakan di atas yaitu untuk perempuan yang sudah akil balig harus menutupi seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Berbusana untuk perempuan ini dalam Al Qur’an surat AlAhzab [33] : 59 yang artinya ”Hai Nabi ! suruhlah isteri-isterimu, dan anak-anak perempuan-mu, dan perempuan Mu’minin, menghulurkan jilbab mereka atas (muka-muka) mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang”.

    2. Motif Budaya

    Busana cenderung tidak dapat dilepaskan dari budaya masyarakat, karena dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaan, adat istiadat yang ada pada masyarakat. Dikemukakan oleh Kluckhohn bahwa tujuh unsur kebudayaan sebagai cultural universal yang bisa didapatkan pada semua bangsa di dunia, yaitu salah satunya peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, transport, dan sebagainya). Salah satu unsur kebudayaan yang dikemukakan Kluckhohn tersebut, jelas busana atau pakaian termasuk dalam unsur kebudayaan.

    Berbedanya busana daerah antara daerah yang satu dan daerah lainnya, karena kebudayaan manusia di setiap daerah cenderung berbeda, yang dipengaruhi oleh alam sekitar. Perbedaan busana daerah masing-masing ini, karena setiap daerah mempunyai adat istiadat, kebiasaan, cara hidup yang bisa berbeda di antara yang satu dan yang lainnya, dan lingkungan sosial budaya yang berbeda. Jadi, motif budaya ini dapat dimanifestasikan pada busana, baik dengan adanya busana daerah yang ada di kepulauan di wilayah Republik Indonesia, maupun dengan masuknya budaya barat yang dianggap oleh orang pada umumnya lebih praktis. Kenyataan kepraktisan ini memberi inspirasi untuk membuat busana daerah lebih praktis dalam pemakaiannya tanpa menghilangkan ciri khasnya.

    3. Motif Kebersamaan

    Manusia sebagai makhluk sosial ingin selalu hidup berteman, sebagai teman ngobrol, diskusi, mencurahkan isi hati, dan ingin diterima di  lingkungan  di mana ia berada. Motif kebersamaan ini dapat dilihat dari kebersamaan dalam pekerjaan, dalam organisasi, sosial, politik, profesi, kegemaran (hobby), sekolah (studi). Motif kebersamaan ini dapat diimplementasikan pada kekompakan melaksanakan tugas dan tanggung jawab, disiplin kerja, dan aturan atau cara berbusana. Salah satunya motif kebersamaan dapat disalurkan melalui berbusana.

    Motif kebersamaan melalui berbusana dapat dimanifestasikan dengan menyepakati busana seragam, baik untuk busana seragam pekerjaan atau kantor tertentu,  seperti  seragam  pegawai  Pemerintah  Daerah  (Pemda), Pajak, Tentara Nasional Indonesia/TNI (darat, laut, udara), Polisi Republik Indonesia (Polri), pramugari, seragam organisasi partai politik maupun seragam sekolah dari Sekolah Dasar (SD) sampai dengan seragam Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), dan seragam yang berupa jas atau jaket mahasiswa.

    4. Motif Mode

    Dalam pemilihan busana antara lain akan dipengaruhi oleh motif mode, karena kecenderungan setiap orang ingin mengikuti mode yang sedang digemari masyarakat atau mode yang paling mutakhir. Motif mode yang umumnya ada pada setiap orang inipun dapat dijadikan dasar untuk memproduki busana pada perusahaan-perusahaan industri busana. Usaha-usaha  industri   busana   akan   berkembang pesat apabila pengelola usaha tersebut cukup jeli melihat  dan  memahami model-model mana yang digemari masyarakat, sehingga menjadi mode  yang   trend di masyarakat tertentu.

    Model merupakan topik yang memberikan kegairahan kepada manusia terutama pada wanita yang peduli pada berbusana. Mode sering berubah dari waktu  ke  waktu,  lebih-lebih  di  negara  yang mempunyai empat  musim  (musim panas, musim gugur, musim dingin dan musim semi). Perubahan musim ini akan mendorong para desainer untuk menciptakan model-model busana yang diprediksikan akan dapat digemari masyarakat dan berkembang di masyarakat pada musim-musim tertentu. Dari model busana yang diciptakan para desainer itu dapat menjadi mode yang digemari masyarakat. Selanjutnya, pemilihan model busana pada orang-orang yang peduli dan perhatian terhadap mode yang sedang trend, menjadi motif untuk memilih busana.

    5. Motif Urusan

    Motif urusan yaitu motif yang berkaitan dengan urusan pribadi (privacy), urusan  dalam  kaitan  status  dan  urusan  dalam  suatu profesi. Berkaitan dengan motif urusan, di  antaranya  memerlukan  busana  yang  sesuai  dengan  motif  urusan tersebut  terutama  bagi orang-orang yang peduli, perhatian pada hal berbusana atau orang-orang yang berada di perkotaan yang sibuk dengan berbagai kegiatan.

    Motif urusan yang berkaitan dengan berbusana ini akan memberikan arahan kepada seseorang untuk  mempergunakan busana pada kesempatan tertentu sesuai dengan urusannya masing-masing. Busana (pakaian) sebagai salah satu kebutuhan primer ekonomi (di samping pangan dan papan) dalam situasi tertentu dapat menjadi urusan  politik  dan  hukum  nasional  suatu  negara.  Sebagai  contoh hal itu  pernah terjadi dalam Pemerintah Churchill di Inggris mengeluarkan dekrit tentang busana (pakaian) untuk  menanggulangi  kekurangan dana  dan  tenaga  akibat  perang  yang terus berkecamuk perlu menentukan kostum siap  pakai yang hemat dalam penggunaan  bahan  dan  perhitungan ongkos produksi. Dekrit dimaksud  dikenal  Utility  Scheme Dresses.

    6. Motif Alam

    Motif alam berarti sangat menentukan jenis atau bentuk busana seperti apa, sehingga menutup aurat dengan daun-daunan yang apapun dapat masuk tahapan manusia berbusana. Mengamati berbusana sejak zaman primitif atau juga sekarang pada daerah-daerah pedalaman tertentu seperti di Irian Jaya dapat kita memperhatikan busana-busana yang mereka pergunakan. Mereka masih tergantung pada alam, apalagi jika kita melihat  ke belakang,  di  mana  alam& masih belum& terjamah manusia, teknologi masih sangat sederhana, ilmu pengetahuan belum berkembang, sehingga manusia masih mengandalkan atau memanfaatkan benda-benda yang ada di alam dengan pengolahan yang sangat sederhana. Hasil kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (ipteks) dalam bidang pertekstilan dapat menghasilkan berbagai macam bahan busana, dari bahan yang  sederhana sampai bahan yang eksklusif untuk melayani  kebutuhan  manusia, salah satunya karena manusia memilih busana ada yang karena motif alam.

    Bab III. Penutup

    A. Kesimpulan

    Berbusana sangatlah penting peranannya dalam kehidupan manusia dalam segala kegiatan. Dengan berbusana manusia dapat menunjukan pribadi individu masing, gaya hidup, lingkungan, budaya bahkan status social yang berjenjang dalam masyarakat. Remaja harus bisa menentukan mana busana yang baik dan tepat sesuai waktu dan tempat. Remaja juga bisa memilah mana yang sesuai dengan religi.
    III.2 Saran
    Penulis dalam menyusun makalah ini pastilah belum sempurna, maka dari itu penulis berharap teman-teman dan pembaca sudi memberikan saran dan kritik untuk kebaikan makalah berikutnya.

    Diposting 22nd January 2013 oleh Unknown

  • Makalah Gaya Berpakaian Sembahyang Umat Hindu

    Makalah Gaya Berpakaian Sembahyang Umat Hindu

    Berikut ini adalah makalah kebudayaan dengan judul Gaya Penapakaian Sembahyang Umat Hindu. Makalah ini membaha tentang perkembangan gaya berpakaian dan penyebab perubahan gaya berpakaian.

    Gaya Berpakaian Sembahyang Umat Hindu

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Dewasa ini globalisasi sangat mempengaruhi zaman. Segala aspek menjadi berubah akibat dari arus globalisasi. Termasuk gaya hidup yang suka kebarat-baratan, mulai dari sikap, gaya bicara, maupun dalam berbusana. Salah satu perubahan yang paling mencolok adalah soal penampilan (gaya pakaian). Gaya pakaian menjadi salah satu hal yang sangat mempengaruhi kepribadian seseorang di era globalisasi saat ini.

    Globalisasi memang membawa dampak terjadinya pergeseran etika dalam  berbusana adat ke Pura oleh generasi muda Hindu. Banyak generasi muda yang  kurang memahami dan juga ada yang tidak mau memahami tentang etika dalam berpakaian ke Pura. Banyak dari meraka terutama kaum perempuan yang memakai model baju kebaya (baju atasan yang sering dikenakan para wanita dalam persembahyangan ke Pura) yang kurang sesuai.

     Pada dasarnya berbusana tentu akan lebih baik jika disesuaikan dengan aktifitas / kegiatan yang akan dilakukan. Wanita sering kita jumpai mengenakan kebaya dengan bahan transparan dengan kain bawahan (kamen) bagian depan hanya beberapa cm dibawah lutut untuk melakukan persembahyangan. Kita seharusnya mengetahui bahwa pikiran setiap manusia tentu tidak sama, ada yang berpikir positif bahwa itulah trendmode masa kini. Tapi ada yang berpikiran negatif tentu tidak sedikit, inilah permasalahanya bagi orang yang mempunyai  pikiran negatif, paling tidak busana terbuka akan mempengaruhi kesucian pikiran umat lain yang melihatnya sehingga mempengaruhi konsentrasi persembahyangan. Oleh karena itu dalam makalah ini, kami akan membahas tentang perkembangan gaya busana remaja Hindu pada Khususnya dan bagi umat Hindu pada umumnya.

    B. Rumusan Masalah

    1. Bagaimana perkembangan gaya busana remaja Hindu di era globalisasi?
    2. Apakah dampak dan penyebab perubahan gaya pakaian adat ke pura remaja Hindu diera globalisasi?
    3. Bagaimana etika berpakaian sembahyang atau busana adat ke pura yang benar dan tepat?

    C. Tujuan Penulisan

    1. Untuk mengetahui perkembangan gaya busana remaja Hindu di era globalisasi;
    2. Untuk mengetahui dampak dan penyebab perubahan gaya pakaian adat ke pura remaja Hindu diera globalisasi;
    3. Untuk mengetahui etika berpakaian sembahyang atau busana adat ke pura yang benar dan tepat.

    Bab II. Pembahasan

    A. Perkembangan Gaya Busana Remaja Hindu di Era Globalisasi

    Secara etimologis globalisasi berasal dari kata globe (Inggris) yang berarti dunia. Dari kata itu dikenal istilah globalisasi yang berarti proses mendunia. Globalisasi secara harfiah adalah sebuah perubahan sosial, berupa bertambahnya keterkaitan diantara masyarakat dan elemen-elemen yang terjadi akibat transkulturasi dan perkembangan teknologi di bidang komunikasi dan transportasi yang memfasilitasi pertukaran budaya dan ekonomi internasional

    Mantra (1996 : 1-2) mengemukakan, Globalisasi merupakan gejala yang tak dapat dihindarkan, tetapi sekaligus juga membuka kesempatan yang luas. Globalisasi telah membawa kemajuan besar dan perubahan-perubahan mendasar dalam kehidupan masyarakat, khususnya umat Hindu yaitu terjadinya benturan kultur. Sekarang ini globalisasi bukan merupakan hal yang baru dibicarakan. Tekanan dari globalisasi yang menjadi tantangan terbesar saat ini harus dicarikan solusi.

    Pengertian busana (pakaian) dalam arti luas adalah suatu benda kebudayaan yang sangat penting untuk hampir semua suku bangsa di dunia.  Pakaian adalah menyimbolkan manusia, sebuah topeng dan suatu petunjuk tentang jabatan, tingkat, status, tetapi bukan identifikasi  dengan suatu bagian dari pengada hakiki (Dilistone : 2002:80). Pakaian atau busana dikatakan sebagai suatu benda kebudayaan yang sangat penting untuk hampir semua suku bangsa di dunia (Artini 2013:3).

    Synnott (2003 : 11-14), juga mengemukakan bahwa, “tubuh kita dengan bagian-bagiannya dimuati oleh simbolisme kultural, publik dan privat, positif dan negatif, politik dan ekonomi, seksual, moral dan seringkali kontroversial”. Pakaian adalah salah satu ciri khas seseorang dalam berpenampilan. Baik itu dalam bekerja, jalan-jalan, belanja maupun dalam bersembahyang.

    Saat ini banyak generasi muda yang menggunakan trend kebaya seperti gambaran di atas. Agama  Hindu mengajarkan susila. Sehingga pakaian ke pura itu adalah pakaian yang bisa menumbuhkan rasa nyaman baik yang memakai maupun yang melihat, menumbuhkan rasa kesucian, dan mengandung kesederhanaan, warnanya pun akan lebih baik yang berwarna tidak ngejreeeng, jadi karena pakaian bisa menumbuhkan kesucian pikiran.

    Seperti yang banyak mengalami perubahan pada etika dalam menggunakan busana adat ke pura. Sejak dahulu hingga sekarang busana adat ke pura selalu berubah sesuai perkembangan jaman. Seharusnya dalam menggunakan busana adat ke pura terutama untuk persembahyangan harus sesuai dengan tata cara yang berlaku. Namun dewasa ini para umat Hindu terutama para remaja dalam menggunakan busana adat sudah tidak sesuai dengan aturan.

    Hal ini bisa terjadi karena pola pikir masyarakat. Mereka tidak mengerti akan makna dari busana adat tersebut. Untuk itu agar tidak terus-menerus keliru, perlu adanya pemberitahuan kepada masyarakat secara umum tentang tatwa dalam berbusana adat. Sehingga masyarakat menjadi lebih paham dan mengerti makna-makna yang terkandung dalam busana adat ke pura.

    Pada zaman sekarang ini kurangnya minat generasi muda (yowana) khususnya dari kalangan dehe (gadis) untuk memakai tata rias rambut model sanggul, termasuk menatanya dengan model pepusungan, juga amat jarang ditemukan.

    Umumnya kalangan wanitanya, lebih banyak menata rambutnya dengan cara membiarkan rambutnya terurai (megambahan), baik dengan potongan rambut pendek ataupun rambut panjang. Mereka juga biasanya menggunakan berbagai jenis ikatan di bagian belakang seperti gelang karet, ada juga yang menggunakan pita pengikat atau bando dengan variasi hiasan warna-warni. Sedangkan untuk kalangan prianya, dalam tata rias rambut, mereka cenderung tampil apa adanya tanpa sentuhan penataan salon kecantikan. Hanya saja karena terpengaruh model punk, cukup banyak anak-anak muda yang menyisir rambutnya dengan model acak-acakan.

    Adapun contoh-contoh perubahan busana adat ke pura diera globalisasi sekarang seperti :

    1. Pemakaian baju kebaya/brokat bagi busana wanita menjadi lebih transfaran, modis dan memakai lengan pendek
    2. Pemakaian kamben/kain bagi busana wanita sedikit lebih tinggi atau diatas lulut.
    3. Pemakaian asesoris yang berlebihan sehingga terkesan modis dan mahal seperti bross, hiasan kepala.
    4. Pemakaian udeng/destar bagi busana laki-laki yang tidak benar, tidak memiliki ikatan ujung udeng menghadap keatas
    5. Pemakaian kamben/kain bagi busana laki-laki yang tidak memiliki kancut (ujungnya lancip menyentuh tanah) dan ada juga yang memakai kamben model sarung yang bukan termasuk busana ke pura.
    6. Pemakaian tinggi saput dan jarak kamben bagi busana laki-laki yang salah biasanya sejengkal dari mata kaki.
    7. Pemakaian sanggul yang salah, gadis memakai pusung tagel dan wanita yang sudah berkeluarga memakai pusung gonjer atau bahkan dengan rambut terurai.

    B. Dampak dan Penyebab Perubahan Gaya Pakaian Adat ke pura Umat Hindu/ Remaja Hindu di era Globalisasi

    Busana Adat ke Pura kian menyimpang, yang merupakan tradisi busana adat ke pura saat ini terjadi bergeseran. Bahkan, busana yang kini sering dipergunakan umat ke pura kian menyimpang. Kendati tak ada aturan baku soal tata busana adat ke pura, namun tetap diperlukan pakaian sopan dan tidak berpakaian tembus pandang (Bali Post) Minggu (8/12/2014).

    Adapun penyebab dari perubahan trend busana adat kepura bagi umat Hindu adalah :

    1. Banyaknya selebritis dan para model memakai bahan-bahan budaya bali yang dipakai sampel model atau desain terbaru untuk dimodifikasi.
    2. Dari adanya modifikasi yang dipakai model atau selebritis menjadi banyak yang ditiru oleh umat agama Hindu untuk busana ke pura biar lebih modern.
    3. Adanya kombinasi atau perpaduan model busana barat dan busana lokal yang menjadi trend terbaru dalam berbusana.
    4. Berkembangnya pariwisata bali terutama orang-orang suka dengan budaya dan busana bali sehingga banyak menjadi barang dagangan untuk para tusis-turis yang dating ke Bali.
    5. Berkembangnya trend (Fashion) busana-busana modern dari luar yang dapat mempengaruhi busana adat ke pura sehingga dilihat menjadi lebih modis.
    6. Banyaknya umat Hindu (para ABG) yang mengikuti perkembangan fashion/trend terbaru dari berbagai gaya busana. Seperti kebaya, kamen dan pakaian lainnya.

    Adapun dampak yang terjadi bagi umat hindu dari adanya perubahan seni berbusana diera globalisasi antara lain :

    1. Kurangnya kesadaran terhadap tatwa atau filosofi yang terkandung dari symbol-simbol busana adat kepura umat Hindu.
    2. Adanya penyimpangan etika dalam berbusana, seperti banyak busana contohnya : kebaya yang transparan dan pemakaian kamen terlalu tinggi (diatas lutut).
    3. Adanya pikiran-pikiran kotor dipura yang diakibatkan pakaian yang kurang sopan terutama bagi laki-laki yang tidak bisa mengontrol diri melihat busana yang tranfaran dan terlalu vulgar.
    4. Mengganggu kenyamanan saat sembahyang, dari bahan yang terlalu bervariasi dan gaya yang sedikit ketat.
    5. Adanya persaingan busana dikalangan ibu-ibu yang sedang sembahyang akibat berkembangnya terus fashion atau model-model terbaru, sehingga dapat menimbulkan kesenjangan dan merasa jengah dalam berbusana.
    Kebaya Putih Gadis Bali Pakaian Sembahyang
    Sarung Batik Kebaya Gadis Bali
    Gadis Bali Kebaya Tradisional Pakaian Sembahyang

    C. Etika Berpakaian Sembahyang atau Busana Adat ke Pura yang Benar dan Tepat

    Selama ini, banyak cara berpakaian busana adat ke pura yang tidak sesuai dengan pakem. Penyimpangan yang dilakukan terhadap berbusana ke pura ini tentunya dapat berpengaruh negatif. Generasi  muda sekarang boleh mengikuti perkembangan mode berpakaian namun hanya dilaksanakan dalam upacara resepsi atau menghadiri upacara perkawinan. Untuk berpakaian ke pura memang tidak ada aturan baku.

    Namun, sembahyang ke pura tentu harus berpakaian sopan dan tidak berpakaian tembus pandang. Tidak hanya berpakaian, mulai dari penataan rambut harus rapi. Sedangkan untuk pakaian brokat yang sekarang mengalami banyak modifokasi hendaknya hanya dipakai saat pesta.

    Berkaitan dengan busana adat ke Pura dalam rangka mengikuti upacara persembahyangan yang masuk kategori sebagai pakaian “tradisi-religi”, tentunya dimaksudkan untuk digunakan pada ruang dan waktu saat melakukan hubungan bhakti dengan Ida Sanghyang Widhi Wasa atau Ida Bhatara-Bhatari. Dan untuk kepentingan itu jelas memerlukan persyaratan mendasar yaitu Asuci laksana,dimana umat ketika datang pedek tangkil ke Pura sepatutnya terlebih dahulu membersihkan diri secara fisik, disertai juga penyucian pikiran serta penampilan dalam balutan busana/pakaian yang bersih, rapi, dan sopan.

    Pada dasarnya tata busana yang digunakan pada saat berlangsungnya upacara keagamaan, yakni sesuai dengan konsepsi Tri Angga, yang terdiri dari:

    1. Busana/pakaian pada Uttama Angga(kepala).
    2. Busana/pakaian Madyama Angga(badan),
    3. ­Busana/pakaian Kanistama Angga(dari pinggang ke bawah)
    1. Etika Busana Adat ke Pura untuk Putra

    Dalam menggunakan busana adat diawali dengan menggunakan kain/kamen, dengan lipatan untuk putra kamen/ wastra melingkar dari kiri kekanan karena merupakan pemegang Dharma. Tinggi kamen putra kira-kira sejengkal dari telapak kaki karena putra sebagai penanggung jawab Dharma harus melangkah dengan panjang, tetapi harus tetap melihat tempat yang dipijak adalah Dharma.

    Pada putra menggunakan kancut (lelancingan) dengan ujung yang lancip dan sebaiknya menyentuh tanah (menyapuh jagat), ujungnya yang kebawah sebagai symbol penghormatan terhadap ibu pertiwiKancutjuga merupakan simbol kejantanan. Untuk persembahyangan, tidak diperkenankan untuk menunjukkan kejantanan yang berarti pengendalian, tetapi pada saat ngayah kejantanan itu boleh ditunjukkan. Untuk menutupi kejantanan itu maka ditutupi dengan saputan (kampuh). Tinggi saputan kira-kira satu jengkal dari ujung kamen, selain untuk menutupi kejantanan, saputan juga berfungsi sebagai penghadang musuh dari luar. Saputan melingkar berlawanan arah jarum jam (prasawya).

    Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan selendang kecil (umpal) yang bermakna kita sudah mengendalikan hal-hal yang buruk. Pada saat inilah tubuh manusia sudah terbagi dua yaitu Bhuta Angga dan Manusa Angga. Penggunaan umpal diikat menggunakan simpul hidup di sebelah kanan sebagai symbol pengendalian emosi dan menyama. Pada saat putra memakai baju , umpal harus terlihat sedikit agar kita pada sat kondisi apapun siap memegang teguh Dharma.

    Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan baju (kwaca) dengan syarat bersih, rapi dan sopan. Baju pada saat busana adat terus berubah-ubah sesuai dengan perkembangan. Pada saat ke pura harus menunjukan rasa syukur kita, rasa syukur tersebut diwujudkan dengan memperindah diri. Jadi pada bagian baju sebenarnya tidak ada patokan yang pasti.

    Kemudian dilanjutkan menggunakan udeng (destar). Udeng secara umum dibagi tiga yakni:

    1. Udeng jejateran (udeng untuk persembahyangan) menggunakan simpul hidup di depan, disela-sela mata, sebagai lambang cundamani atau mata ketiga. Juga sebagai lambang pemusatan pikiran, dengan ujung menghadap keatas sebagai symbol penghormatan pada Sang Hyang Aji Akasa. Udeng jejateran memiliki dua bebidakan yakni sebelah kanan lebih tinggi, dan sebelah kiri lebih rendah yang berarti kita harus mengutamakan dharma. Bebidakan yang kiri symbol Dewa Brahma, yang kanan symbol Dewa siwa dan simpul hidup lemabnagkan Dewa wisnu, udeng jejataran bagian atas kepala atau rambut masih tidak tertutupi yang berarti masih brahmacara dan amsih meminta.
    2. Udeng dara kepak (dipakai oleh raja), masih ada bebidakan tetapi ada tambahan penutup kepala yang berarti symbol pemimpin yang selalu melindungi masyarakatnya dan pemusatan kecerdasan.
    3. Udeng beblatukan (dipakai oleh pemangku) tidak ada bebidakan, hanya ada penutup kepala dan simpulnya di belakang dengan diikat kebawah sebagai symbol lebih mendahulukan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi serta disimbolkan sudah mampu menundukkan indria-indria.
    2. Etika Busana Adat ke Pura untuk Putri

    Sama seperti busana adat putra, pertama diawali dengan memakai kamen tetapi lipatan kamen melingkar dari kanan ke kiri sesuai dengan konsep sakti. Putri sebagai sakti bertugas menjaga agar si laki-laki tidak melenceng dari ajaran Dharma. Tinggi kamen putri kira-kira setelapak tangan karena pekerjaan putri sebagai sakti sehingga langkahnya lebih pendek.

    Setelah menggunakan kamen untuk putri memakai bulang yang berfungsi untuk menjaga rahim, untuk mengendalikan emosi. Pada putri menggunakan selendang/senteng diikat menggunakan simpul hidup dikiri yang berarti sebagai sakti dan mebraya. Putri memakai selendang diluar, tidak tertutupi oleh baju, agar selalu siap membenahi putra kalau melenceng dari ajaran Dharma, dilanjutkan dengan menggunakan baju(kebaya).

    Dalam Seminar sehari oleh Gunarta (2013) mengambil tema “ Filosofi Pakaian Adat Bali” dijelaskan pepusungan ada tiga yaitu :

    1. Pusung gonjer yaitu di buat dengan cara rambut dilipat sebagaian dan sebagian lagi digerai,pusung gonjer di gunakan untuk putri yang masih lajang/ belum menikah sebagai lambang putri tersebut masih bebas memilih dan dipilih pasangannya. Pusung gonjer juga sebagai symbol keindahan sebagai mahkota serta sebagai stana Tri Murti.
    2. Pusung Tagel adalah untuk putrid yang sudah menikah.
    3. Pusung podgala/pusung kekupu yaitu cempaka putih, cempaka kuning, sandat sebagai lambang Tri Murti. Biasanya dipakai oleh peranda istri. Ada tiga bunga yang di pakai yaitu cempaka putih, cempaka kuning, sandat sebagai lambing dewa Tri Murti.

    Bab III. Penutup

    A. Kesimpulan

    Globalisasi merupakan gejala yang tak dapat dihindarkan, tetapi sekaligus juga membuka kesempatan yang luas. Globalisasi telah membawa kemajuan besar dan perubahan-perubahan mendasar dalam kehidupan masyarakat, khususnya umat Hindu.

     Pengertian busana (pakaian) dalam arti luas adalah suatu benda kebudayaan yang sangat penting untuk hampir semua suku bangsa di dunia.  Pakaian adalah menyimbolkan manusia, sebuah topeng dan suatu petunjuk tentang jabatan, tingkat, status, tetapi bukan identifikasi  dengan suatu bagian dari pengada hakiki.

    Akibat pengaruh dari modernisasi dan globalisasi bentuk penampilan saat berbusana adat kepura remaja Hindu hadir dengan penampilan yang bagaikan seorang artis selebritis. Banyaknya perubahan busana yang sedikit menyimpang seperti : busana pakaian wanita yang terlalu transfaran, kamben yang terlalulu tinggi, memakai hiasan asesoris yang berlebihan.

    Pemakaian sanggul yang kadang tertukar dengan perempuan yang lajang daan yang sudah berkeluarga. Bagi busana laki-laki dalam pemakaian busana udeng/destar kebanyakan tidak memakai symbol ikatan ujung udenga yang menghadap keatas, pemakaian kancut yang salah.

    Pergeseran busana adat kepura mempunyai sebab dan dampak antara lain: sebab dari perubahan busana adat kepura seperti banyaknya pengaruh busana dari luar yang diadopsi serta dikombinasikan dengan budaya lokal busna Hindu. Umat Hindu mengikuti trend busana yang berkembang. Serta perubahan berbusana itu dapat berdampak bagi generasi umat Hindu kedepan seperti kurangnya pemahanan tattwa/filosofi dan etika yang terkandung dalam setiap busana adat ke pura.

    B. Saran

    Dari makalah ini kami menhgarapkan agar para pembaca dan umat Hindu pada umumnya agar seseorang pergi ke pura berniat untuk menghadapkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa menggunakan pakaian bersih dan sopan serta sesuai dengan tattwa yang ada dalam tatanan agama dan budaya.

    Berpenampilan tetap cantik/tampan, rapi dan bersih pada saat melakukan persembahyangan tidak ada salahnya, namun tidak boleh berlebihan sehingga persembahyangan pun bisa dilakukan dengan baik. Untuk bisa tampil cantik, tentu tidak harus menggunakan pakaian kebaya, dan aksesori serba mahal. Semua harus disesuaikan dengan keperluan saja, jangan sampai berlebih yang bisa menimbulkan kesan pamer. Mulai dari pakaian atau kebaya, pilih yang tepat untuk acara persembahyangan, dan rambut sewajarnya, demikian juga aksesoris. Dan jangan lupa agar filosofis dalam berpakaian tidak dilupakan. Karena itu adalah sebuah budaya yang patut untuk di pertahankan.

    DAFTAR PUSTAKA

    Mantra, Ida Bagus , 1996. Landasan Kebudayaan Bali.Denpasar : Yayasan Dharma

    Synnott, 2003. Tubuh Sosial : Simbolisme diri dan MasyarakatI.Yogyakarta: Jalasutra.

    Tim Redaksi , (Bali Post) Minggu (8/12/2014). Denpasar. BALI POST

    (http://acaryawasu.blogspot.com/2012/11/tatwa-busana-adat-bali-makna) Diakses pada 27 Oktober 2016

    Yudha Asmara, Imade https://imadeyudhaasmara.wordpress.com/2015/04/24/perkembangan-busana-adat-kepura-bagi-remaja-hindu-dalam-era-globalisasi-perspektif-tri-kerangka-dasar-agama-hindu/ Diakses pada 27 Oktober 2016

  • Makalah Sejarah Perkembangan Busana

    Sejarah Perkembangan Busana

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Busana berasal dari bahasa sansekerta “bhusana” yang berati pakaian. Busana merupakan segala sesuatu yang dipakai manusia mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki. Busana yang kita kenakan sekarang merupakan perkembangan dari busana dasar . Dengan melalui makalah mengenai sejarah busana ini,kita bisa mengetahui penjelasan tentang awal adanya busana dasar tersebut sehingga seperti busana yang kita kenakan sekarang pada masa ini.

    B. Tujuan

    1. menjelaskan sejarah busana
    2. menyebutkan tujuan berbusana

    C. Rumusan Masalah

    1. Bagaimana sejarah busana?
    2. Apa sajakah tujuan berbusana?

    Bab II. Pembahasan

    A. Sejarah Busana

    Busana berasal dari bahasa sansekerta “bhusana” yang berati pakaian. Busana merupakan segala sesuatu yang dipakai manusia mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki. Pada zaman pra sejarah, manusia belum mengenal busana seperti sekarang. manusia memakai kulit binatang, tumbuh- tumbuhan untuk menutupi tubuh mereka. manusia purba yang hidup di daerah dingin menutupi tubuhnya dengan kulit binatang, misalnya kulit domba yang berbulu tebal. sedangkan manusia purba yang hidup di daerah panas, melindungi tubuh mereka dengan memanfaatkan kulit pepohonan yang direndam terlebih dahulu lalu dipukul – pukul dan dikeringkan. selain itu mereka juga menggunakan dedaunan dan rumput.

    Sebelum mengenal tenunan, manusia pada zaman dahulu mengenakan pakaian hanya pada bagian-bagian tertentu saja, seperti pada bagian dada atau pada lingkar pinggang atau panggul. Bahan yang digunakan didapat dari lingkungan sekitar, baik berupa kulit binatang, kulit batang bahkan daun. Fungsinya juga hanya sebagai penutup bagian tertentu pada tubuh.

    Manusia purba sudah mengenal penggunaan aksesoris, mereka menggunakan kerang, biji – bijian, dan taring binatang yang disusun sedemikian rupa menjadi asesoris seperti kalung, gelang, dll. Pemakaian asesoris pada jaman purba lebih ditekankan kepada fungsi kepercayaan atau mistis. menurut kepercayaan mereka, dengan memakai benda – benda tersebut dapat menunjukkan kekuatan atau keberanian dalam melindungi diri dari roh – roh jahat dan agar selalu dihormati. cara lain yang dilakukan yaitu dengan membubuhkan lukisan di tubuh mereka yang dikenal dengan “tattoo”.Walaupun sudah mengenal bentuk tapi bentuknya sederhana dengan wujud geometris yaitu segi empat atau segi empat panjang. Cara pakai ada yang dililitkan, ada pula yang dilubangi untuk memasukkan kepala.

    Perkembangan bentuk busana mengalami kemajuan yang cukup pesat. Dari penggunaan kulit kayu, kulit binatang, dll manusia akhirnya menemukan teknologi pembuatan kain, yang pada awalnya masih sangat sederhana yaitu dengan menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin ( ATBM).

    Dalam perkembanganya, bentuk maupun cara penggunaannya digolongkan menjadi bentuk dasar busana, yaitu celemek panggul, ponco, tunika, kaftan, kutang, pakaian bungkus.

    1. Celemek panggul

    Celemek panggul adalah bentuk pakaian yang paling sederhana dibuat dari sehelai kain panjang yang dililitkan satu atau beberapa kali pada tubuh bagian bawah dari pinggang sampai lutut atau sampai menutup mata kaki.  Busana atau pakaian ini sering disebut dengan pakaian bungkus. Dalam perkembangannya pakaian ini dikenal dengan nama kain panjang atau sarung.

    2. Ponco

    Ponco adalah bentuk dasar busana yang dibuat dari kain segiempat dan diberi lubang ditengah untuk memasukkan kepala. Sisi baju tidak dijahit.

    3. Tunika

    Pengembangan bentuk dasar ponco adalah tunika. Dibuat dari kain segiempat, berukuran dua kali panjang antara bahu sampai mata kaki atau sampai batas panggul. Kain dilipat dua menurut panjangnya, dengan lipatan disebelah atas. Pada pertengahan dibuat lubang leher dengan belahan pendek pada bagian tengah muka. Sisi-sisinya dijahit dari bawah hingga + 25cm sebelum lipatan. Bagian yang tidk dijahit dipakai untuk memasukkan lengan. Di Indonesia peninggalan bentuk ini disebut baju bodo dan baju kurung.

    4. Kaftan

    Kaftan merupakan perkembangan bentuk dasar tunika. karena dibuat dari kain yang berbentuk segi empat.Bagian tengah muka dibuat belahan sampai bawah, hingga cara mengenakannya tidak perlu melalui kepala. Bentuk dasar busana ini di Indonesia dikenal dengan nama baju kebaya.

    5. Busana Bungkus

    Bentuk pakaian bungkus merupakan pakaian yang berbentuk segi empat panjang yang dipakai dengan cara dililitkan atau dibungkus ke badan mulai dari dada, atau dari pinggang sampai panjang yang diinginkan seperti celemek panggul. Pakaian bungkus ini tidak dijahit, walaupun pada saat pakaian bungkus ini muncul jarum jahit sudah ada. Pemakaian pakaian bungkus ini dengan cara dililitkan ke tubuh seperti yang ada di India yang dinamakan sari, toga dan palla di Roma, chiton dan peplos di zaman Yunani kuno, kain panjang dan selendang di Indonesia.

    Pada perkembangannya, pakaian bungkus berbeda-beda dalam cara pemakaiannya untuk tiap daerah, sehingga muncul pakaian bungkus yang namanya berbeda-beda di antaranya:

    1. Himation, yaitu bentuk busana bungkus yang biasa di pakai oleh ahli filosof atau orang terkemuka di Yunani Kuno. Himation ini panjangnya 12 atau 15 kaki yang terbuat dari bahan wol atau lenan putih yang seluruh bidangnya di sulam. Busana ini dapat dipakai di atas chiton atau dengan mantel. Bentuk busana yang hampir menyerupai himation ini yaitu pallium yang biasa dipakai di atas toga oleh kaum pria di Roma pada abad kedua.
    2. Chlamys, yaitu busana yang menyerupai himation, yang berbentuk longgar. Biasanya dipakai oleh kaum pria Yunani Kuno.
    3. Mantel/shawl, yaitu busana yang berbentuk segi empat panjang yang dalam pemakaiannya disampirkan pada satu bahu atau kedua bahu. Pada bagian dada diberi peniti sehingga muncul lipit-lipit dan pada kedua ujungnya diberi jumbai-jumbai.
    4. Toga, merupakan bentuk pakaian resmi yang dipakai sebagai tanda kehormatan di zaman republik dan kerajaan di Roma. Ada beberapa jenis toga di antaranya yaitu, toga palla yaitu toga yang dipakai saat berkabung dan toga trabea yang dibuat menyerupai cape bayi.
    5. Palla, yaitu busana wanita Roma di zaman republik dan kerajaan, dipakai di atas tunika atau stola. Pemakaiannya hampir sama dengan shawl yang disemat dengan peniti. Warna palla pada umumnya warna biru, hijau dan warna keemasan.
    6. Paludamentum, sagum dan abolla, yaitu sejenis pakaian jas militer di zaman prasejarah.
    7. Chiton, yaitu busana pria Yunani Kuno yang mirip dengan tunik di Asia. Bahan chiton biasanya terbuat dari bahan wol, lenan dan rami yang diberi sulaman dengan benang berwarna dan benang emas sebagai pengaruh tenunan Persia.
    8. Peplos dan haenos, yaitu busana wanita Yunani Kuno yang bentuk dasarnya sama dengan chiton, ada yang dibuat panjang dan ada yang pendek. Pada bagian bahu ada lipit-lipit yang ditahan dengan peniti dan ada kalanya pada pinggang juga dibuat lipit-lipit sehingga terlihat seperti blus. Peplos dari Athena memakai ikat pinggang yang diikat di atas lipit-lipit di pinggang.
    9. Cape atau cope, yaitu busana paling luar pada pakaian pria di Byzantium yang berbentuk mantel yang diikat pada bahu atau leher dan diberi hiasan bros.
    6. Kutang

    Kutang berarti tidak memiliki belahan. Kutang adalah perkembangan dari busana bungkus yang sisinya disatukan. Contoh busana ini adalah kaos yang sering kita gunakan. Setiap busana bagian atas yang tidak memiliki belahan, bentuk dasarnya adalah kutang

    7. Celana

    Celana muncul untuk melengkapi Kaftan. Celana berfungsi menututupi bagian tubuh bagian bawah. Awalnya celana terdiri dari kain berbentuk sarung atau rok yang kemudian dibentuk menjadi celana dengan cara menarik bagian tengahnya, hingga terciptalah berbagai model celana hingga sekarang. Dari 4 bentuk busana di atas, banyak model yang berkembang hingga saat ini (D.Frida, Perkuliahan).

    B. Tujuan Berbusana

    Tujuan berbusana pada jaman dahulu hanya sekedar menutup aurat atau rasa malu saja. Namun seiring berkembangnya jaman pada masa kini tujuan berbusana adalah untuk

    1. Memenuhi syarat adat istiadat, peradaban dan kesusilaan
    2. Memenuhi syarat kesehatan
    3. Memenuhi rasa keindahan
    4. Menunjukan jenis profesi
    5. Menutupi kekurangan dari bagian tubuh.

    Bab III. Kesimpulan

    A. Kesimpulan

    Dari bentuk maupun cara penggunaannya, busana awal digolongkan menjadi bentuk dasar busana, yaitu celemek panggul, ponco, tunika, kaftan, kutang, pakaian bungkus.

    B. Saran

    Dalam membuat makalah seperti ini, sebaiknya mengambil referensi yang berbeda-beda dan disatukan sehingga materi yang diperoleh lebih lengkap.

  • Makalah Pakaian Adat Maluku

    Pakaian Adat Maluku

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang bersifat Heterogen karena masyarakat dari setiap daerah memiliki kebudayaan masing-masing dan telah mengakar kuat selama berabad-abad yang berasal dari nenek moyang secara turun temurun. Masyarakat serta kebudayaan tidak terlepas dari negara kita yang tercinta ini mulai dari unjung Indonesia timur sampai barat yang banyak ragam budayanya. Setiap masyarakat pastilah memiliki kebudayaan yang berbeda dengan masyarakat lainnya yang menjadi penanda keberadaan suatu masyarakat/suku.  Kebudayaan dari setiap daerah memiliki  nilai seni tradisional yang mengandung arti dari kehidupan  serta adat dari daerah itu  sendiri yang mencerminkan kebiasaan warga daerah tersebut, seperti halnya masyarakat Maluku.

    Masyarakat Maluku merupakan salah satu masyarakat dari kawasan Indonesia Bagian Timur, masyarakat ini memiliki tradisi dan budaya yang  beraneka ragam. Misalnya tarian tradisional Maluku adalah cakalele, tari lenso, katreji dll. Alat musik Maluku adalah tifa, totobuang. Dan rumah adat Maluku adalah  Baileo dan selain itu dalam moment ajang seni seperti kegiatan yang sedang berlangsung JEJAK TRADISIONAL DAERAH MALUKU juga Pakaian Tradisional Maluku.

    akaian tradisional Maluku yang terkenal antara lain: kebaya dansa, baju cele, baju orlapei. Baju-baju ini sering dipergunakan dalam acara-acara resmi kedaerahan. Salah satu dari pakaian tradisional diatas yang akan dibahas secara khusus dalam makalah ini mengenai ciri-ciri, perlengkapan pakaian tradisional, fungsi pakaian tradisional, dan cara perwatan pakaian agar pakaian tradisional tetap terawat adalah pakaian tradisional kebaya dansa (kebaya ambon/kebaya mama/kebaya nona rok).

    C. Rumusan Masalah

    Berdasarkan latar permasalahan diatas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam pemakalaan ini adalah:

    Ciri-ciri, perlengkapan pakaian, fungsi pakaian, dan cara perawatan kebaya ambon/kebaya nona rok sebagai pakaian adat  khas bagi masyarakat Maluku.

    Bab II. Pembahasan

    Pakaian Tradisional merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh negara Indonesia dan banyak dipuji oleh negara-negara lain. Dengan banyaknya suku-suku dan provinsi yang ada di wilayah negara Indonesia, maka otomatis pula banyak sekali macam-macam baju adat yang dipakai oleh masing-masing suku di seluruh provinsi Indonesia.Karena dari banyaknya suku-suku yang ada di Indonesia memiliki ciri-ciri khusus dalam pembuatan ataupun dalam mengenakan Pakaian tradisional tersebut.

    Sebagian besar pakaian adat hanya digunakan pada acara-acara tertentu seperti pernikahan, upacara adat dan lain-lain. Di daerah Maluku pakaian adat disebut Pakaian baju Cale atau kain Selele. Pakaian adat ini biasa digunakan sebagai pelatikan raja, cuci negeri, pesta negeri, acara panas pela dan lain-lain. Selain itu ada juga  Baju Nona Rok atau kebaya ambon.

    Ciri-ciri kabaya ambon:

    1. Kebaya putih tangan panjang berlengan kancing dari jenis kain Brokar halus atau kain tetron.
    2. Pengikat pinggang terbuat dari perak yang disebut pending.
    3. Sepatu vantovel hitam dan berkaos kaki putih.
    4. Rok dibuat/dijahit lipit kecil sekali dari jenis kain motif kembang kecil-kecil warna merah atau orange.
    5. Konde dibuat dari rambut asli atau konde palsu yang siap dipakai yaitu konde bulan.
    6. Warna baju kebaya adalah putih yang melambangkan kesucian dan warna rok kebaya adalah merah yang melambangkan keberanian

    Perlengkapan Konde pakaian kebaya ambon:
    1. Tusuk konde disebut haspel yang dibuat dari emas atau perak.
    2. Kak kuping 4 buah ditusuk pada lingkaran konde bentuknya seperti kembang terbuat dari perak atau emas.
    3. Sisir Konde diletakan pada bagian tengah dari konde tersebut dibuat juga dari emas atau perak.
    4. Bunga Ron dilingkar pada konde tersebut dibuat dari bahan gabus atau papeceda

    Perlengkapan Pakaian Dalam Pakaian kebaya ambon:

    Sebagian besar pakaian adat hanya membuat bagian luarnya saja. Di Maluku tidak hanya membuat pakain luar, namun ada juga yang menjadi ciri khas pakaian Maluku yaitu memperhatikan pakaian dalam juga. Berikut bagian-bagian pakaian dalam seperti Cole yaitu baju dalam atau disebut kutang yang dipakai/digunakan sebelum memakai kebaya. Ada cole berlengan panjang tapi ada juga cole berlengan pendek dan pada bagian atasnya diberi renda border. Cole dibuat dari kain putih, sedangkan bagian belakang dari cole tersebut disebut belakang cole dibordir bagian belakang. Sedangkan pada bagian depan cole memakai kancing dan pada bagian ujung lengan diberi renda bordir.

    Fungsi Pakaian Kebaya  Ambon:

    Pakaian nona rok biasanya dipakai oleh pendeta, guru, atau orang terpelajar,keluarga golongan menengah dan keluarga golongan pemerintahan. Pakaian ini dipakai pada acara-acara penting yaitu pesta perkawinan acara kenegaraan dan lain-lain.

    Cara Perawatan Pakaian Kebaya ambon:

    Langkah pertama, baju kebaya ambon lapisan luar maupun  dalaman yang telah habis dipakai dianginkan.Langkah kedua, lapisan luar yang terdiri dari bahan tetron di bilas dengan air, dan lapisan dalam yang disebut cole dibilas dengan kanji agar tetap kuat dan tahan lama.

    Bab III. Penutup

    A. Kesimpulan

    Dari pembahasan pada bab diatas dapat di ambil kesimpulan adalah:

    1. Baju kebaya ambon berwarna  putih tangan panjang berlengan kancing dari jenis kain Brokar halus atau kain tetron.
    2. Rok kebaya ambon dibuat/dijahit lipit kecil sekali dari jenis kain motif kembang kecil-kecil warna merah atau orange.
    3. Perlengkapan Pakaian kebaya ambon adalah tusuk konde, kan kuping, sisir konde dan bunga ron. Serta cole atau pakaian dalam.
    4. Pakaian ini dipakai pada acara-acara penting yaitu pesta perkawinan acara kenegaraan dan lain-lain.

    B. Saran

    Sebagai anak Maluku mari kita bergandengan tangan dan bersatu untuk menjaga serta melestarikan budaya yang di turunkan oleh leluhur untuk itu kita harus tunjukkan kepada dunia bahwa Maluku banyak memiliki kebudayaan salah satunya pakaian tradisional kebaya ambon.









                                          DAFTAR PUSTAKA

    http://kebudayaanindonesia.net/id/culture/1092/pakaian-adat-maluku
    http://budayanusantara2010.wordpress.com/2012/03/27/pakaian-adat-tradisional-indonesia/
    http://smpn234jakarta.blogspot.com/2012/11/pakaian-adat-tradisional-provinsi-maluku.html
    http://fitriyanamarizka.blogspot.com/2012/12/pakaian-rumah-dan-senjata-tradisonal.html
    http://jongambon.blogspot.com/2009/10/pakaian-adat-malukuambon.html
    http://saputronugroho.wordpress.com/2010/08/02/pakaian-adat-maluku/
    http://annisa-rafika.blogspot.com/2011/11/baju-daerah-maluku.html

  • Makalah Kode Etik Keguruan

    Kode Etik Keguruan

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Profesi adalah suatu hal yang harus dibarengi dengan keahlian dan etika. Meskipun sudah ada aturan yang mengatur tentang kode etik profesi, namun seperti kita lihat saat ini masih sangat banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran ataupun penyalah gunaan profesi. Istilah profesi telah dimengerti oleh banyak orang bahwa suatu hal yang berkaitan dengan bidang yang sangat dipengaruhi oleh pendidikan dan keahlian, sehingga banyak orang yang bekerja tetap sesuai. Tetapi dengan keahlian saja yang diperoleh dari pendidikan kejuruan, juga belum cukup disebut profesi. Tetapi perlu penguasaan teori sistematis yang mendasari praktek pelaksanaan, dan hubungan antara teori dan penerapan dalam praktek.

    B. Rumusan Masalah

    1. Apa yang di maksud dengan kode etik ?
    2. Apa saja sanksi jika melakukan pelanggaran kode etik ?
    3. Bagaimana cara penetapan dalam kode etik ?

    Bab II. Pembahasan

    A. Kode Etik Kependidikan

    I. Pengertian Kode Etik

    Kode yaitu tanda-tanda atau simbol-simbol yang berupa kata-kata, tulisan atau benda yang disepakati untuk maksudmaksud tertentu, misalnya untuk menjamin suatu berita, keputusan atau suatu kesepakatan suatu organisasi. Kode juga dapat berarti kumpulan peraturan yang sistematis(Eliviza 2009). Kode Etik Dapat diartikan pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan atau tata cara sebagai pedoman berperilaku.

    Dalam kaitannya dengan profesi, bahwa kode etik merupakan tata cara atau aturan yang menjadi standart kegiatan anggota suatu profesi. Suatu kode etik menggambarkan nilai-nilai professional suatu profesi yang diterjemahkan kedalam standaart perilaku anggotanya. Nilai professional paling utama adalah keinginan untuk memberikan pengabdian kepada masyarakat.

    a.) Menurut undang-undang nomor 8 tahun 1974 tentang pokok-pokok

    kepegawaian. Pasal 28 undang-undang ini dengan jelas menyatakan bahwa   “pegawai Negeri sipil   mempunyai kode etik sebagai pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan di dalam dan di luar kedinasan. Dalam penjelasan undang-undang tersebut di nyatakan bahwa dengam adanya kode etik ini, pegawai negeri sipil sebagai aparatur negara dan perbuatan dalam melaksanakan tugasnya dan dalam pergaulan hidup sehari-hari.

     b.) Ketua umum PGRI Menyatakan bahwa kode  etik guru   Indonesia   merupakan

     landasan moral dan pedoman tingkah laku guru warga. PGRI dalam    melaksanakan panggilan pengabdiaanya bekerja sebagai guru (PGRI, 1973). Dari pendapat ketua umum PGRI ini dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam kode etik guru Indonesia terdapat dua unsure pokok yakni sebagai landasan moral dan sebagai pedoman tingkah laku.

    Dari uraian tersebut Kelihatan bahwa kode etik itu suatu profesi adalah norma-norma yang harus diindahkan oleh setiap anggota profesi di dalam melaksanakan tugas profesinya dan dalam hidupnya di masyarakat. Norma-norma tersebut berisi petunjuk-petunjuk bagi para anggota profesi tentang bagaimana mereka melaksanakan profesinya dan larangan-larangan yaitu ketenntuan-ketentuan tentang apa yang tidak boleh diperbuat atau dilaksanakan oleh mereka, melainkan juga menyangkut tingkah laku anggota profesi pada umumnya dalam pergaulannya sehari-hari di dalam masyarakat.

    II. Tujuan Kode Etik

    Pada dasarnya  tujuan merumuskan kode etik dalam suatu profesi adalah kepentingan anggota dan kepentingan organisasi profesi itu sendiri. Menurut Hermawan (dikutip dalam Kosasi dan Soetjipto, 2004:31-32) Secara umum tujuan mengadakan kode etik adalah sebagai berikut :

          a)  Untuk menjunjung tinggi martabat profesi

    Dalam hal ini kode etik dapat menjaga pandangan dan kesan dari pihak luar atau   masyarakat agar mereka jangan sampai memandang rendah terhadap profesi yang bersangkutan. Oleh karenanya setiap kode etik suatu  profesi akan melarang berbagai bentuk tindak-tanduk atau kelakuan anggota profesi yang dapat mecemarkan nama baik profesi terhadap dunia luar dari segi ini, kode etik juga seringkali disebut kode kehormatan.

          b)  Untuk menjaga dan memelihara ksejahteraan para anggotanya

    Yang dimaksud kesejahteraan di sini meliputi baik kesejahteraan  lahir (atau material) maupun kesejahteraan lahir para anggota profesi, anggotanya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan kesejahteraan para anggotanya. Misalnya dengan menetapkan tariff-tarif minimum bagi  honorarium anggota prosi dalam melaksanakan tugasnya, sehingga siapa-siapa yang mengadakan tariff di bawah minimum akan di anggap tercela dan merugikan rekan-rekan seprofesi. Kode etik juga sering mengandung peraturan-peraturan yang bertujuan membatasi tingkah laku yang tidak pantas atau tidak jujur bagi para anggota profrsi dalam berinteraksi dengan sesame rekan anggota profesi.

           c) Untuk meningkatakan pengabdian para anggota profesi

    Tujuan lain kode etik dapat juga berkaitan dengan peningkatan kegiatan pengabdian profesi, sehingga para anggota profesi dapat dengan mudah mengetahui tugas dan tanggung jawabpengabdiannya dalam melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu, kode etik merumuskan ketentuan-ketentuan yang perlu dilakukan para anggota profesi dalam menjalankan tugasnya.

            d) Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi

    Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi, maka diwajibkan kepada setiap anggota untuk secara aktif berpartisipasi dalam membina organisasi profesi dan kegiatan-kegiatan yang dirancang organisasi.

                      Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan suatu profesi menyusun kode etik adalah untuk menjunjung tinggi martabat profesi, menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggota, meningkatkan pengabdian anggota profesi, dan meningkatkan mutu profesi dan mutu organisasi profesi.

    1.3  Penetapan Kode Etik

                   Kode etik hanya dapat ditetapkan oleh suatu organisasi profesi yang berlaku dan mengikat para anggotanya. Penetapan kode etik lazim dilakukan pada kongres organisasi profesi. Dengan demikian, penetapan kode etik tidak boleh dilakukan oleh orang secara perorangan, melainkan harus dilakukan oleh orang-orang yang diutus untuk dan atas nama anggota-anggota profesi dari organisasi tersebut.dengan demikian, jelas bahwa orang-orang yang bukan atau tidak menjadi anggota profesi tersebut, tidak dapat  dikenakan aturan yanga da dalam kode etik tersebut. Kode etik suatu profesi hanya akan mempunyai pengaruh yang kuat dalam menegakkan disiplin di kalangan profesi tersebut, jika semua orang yang menjalankan profesi tersebut tergabung (menjadi anggota) dalam organisasi profesi yang bersangkutan.

                  Apabila setiap orang yang menjalankan suatu profesi secara otomatis tergabung di dalam suatu organisasi atau iktan professional, maka barulah ada jaminan bahwa profei terebut dapat dijalankan secara murni dan baik, karena setiapa anggota profesi yang melakukan pelanggaran yang serius terhadap kode etik dapat dikenakan sanksi.

    1.4 Pelanggaran Kode Etik

           Pelanggaran kode etik adalah terjadinya penyimpangan yang dilakukan oleh anggota kelompok profesi dari kode etik profesi di mata masyarakat. Beberapa penyebab pelanggaran kode etik profesi adalah :

    a.   Idealisme dalam kode etik profesi tidak sejalan dengan fakta yang terjadi di     sekitar para profesional sehingga harapan terkadang sangat jauh dari kenyataan.

    b. Memungkinkan para profesional untuk berpaling kepada kenyataan dan mengabaikan idealisme kode etik profesi. Kode etik profesi bisa menjadi pajangan tulisan berbingkai.

    c. Kode etik profesi merupakan himpunan norma moral yang tidak dilengkapi dengan sanksi keras karena keberlakuannya semata-mata berdasarkan kesadaran profesional.

    d. Memberi peluang kepada profesional untuk berbuat menyimpang dari kode etik profesinya.

    1.5  Sanksi Pelanggaran Kode Etik

    a.  Sanksi moral

          Sebagai contoh dalam hal ini jika seseorang anggota profesi bersaing secara tidak jujur atau curang dengan sesame anggota profesinya, dan jika dianggap kecurangan itu serius ia dapat di tuntut di muka pengadilan. Pada umumnya, Karena kode etik adalah sanksi moral. Barang siapa melanggar kode etik akan mendapat celaan dari rekan-rekannya, sedangkan sanksi yang dianggap terberat adalah sipelanggar dikeluarkan dari organisasi profesi. Adanya kode etik dalam suatu organisasi profesi tertentu, menandakan bahwa organisasi profesi itu telah mantap

    b.   Sanksi dikeluarkan dari organisasi

         Kasus-kasus pelanggaran kode etik akan ditindak dan dinilai oleh suatu dewan kehormatan atau komisi yang dibentuk khusus untuk itu. Karena tujuannya adalah mencegah terjadinya perilaku yang tidak etis, seringkali kode etik juga berisikan ketentuan-ketentuan profesional, seperti kewajiban melapor jika ketahuan teman sejawat melanggar kode etik.

         Ketentuan itu merupakan akibat logis dari self regulation yang terwujud dalam kode etik; seperti kode itu berasal dari niat profesi mengatur dirinya sendiri, demikian juga diharapkan kesediaan profesi untuk menjalankan kontrol terhadap pelanggar. Namun demikian, dalam praktek sehari-hari control ini tidak berjalan dengan mulus karena rasa solidaritas tertanam kuat dalam anggota-anggota profesi, seorang profesional mudah merasa segan melaporkan teman sejawat yang melakukan pelanggaran. Tetapi dengan perilaku semacam itu solidaritas antar kolega ditempatkan di atas kode etik profesi dan dengan demikian maka kode etik profesi itu tidak tercapai, karena tujuan yang sebenarnya adalah menempatkan etika profesi di atas pertimbanganpertimbangan lain. Lebih lanjut masing-masing pelaksana profesi harus memahami betul tujuan kode etik profesi baru kemudian dapat melaksanakannya.

          Kode Etik Profesi merupakan bagian dari etika profesi. Kode etik profesi merupakan lanjutan dari norma-norma yang lebih umum yang telah dibahas dan dirumuskan dalam etika profesi. Kode etik ini lebih memperjelas, mempertegas dan merinci norma-norma ke bentuk yang lebih sempurna walaupun sebenarnya norma-norma tersebut sudah tersirat dalam etika profesi. Dengan demikian kode etik profesi adalah sistem norma atau aturan yang ditulis secara jelas dan tegas serta terperinci tentang apa yang baik dan tidak baik, apa yang benar dan apa yang salah dan perbuatan apa yang dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh seorang professional

    1.6  Kode Etik Guru

    Kode etik guru Indonesia dapat dirumuskan sebagai himpunan nilai-nilai dan norma-norma profesi guru yang tersusun dengan baik dan sistematik dalam system yang utuh dan bulat. Fungsi kode etik guru Indonesia adalah sebagai landasan moral dan pedoman tingkah laku setiap guru warga PGRI dalam menunaikan tugas pengabdiannya sebagai guru, baik di dalam maupun diluar sekolah serta dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Dengan demikian, maka kode etik guru Indonesia merupakan alat yang amat penting untuk pembentukan sikap professional para anggota profesi keguruan.

    Sebagaimana dengan profesi lainnya, kode etik guru Indonesia ditetapkan dalam suatu kongres yang dihadiri oleh seluruh utusan cabang dan pengurus daerah PGRI dari seluruh penjuru tanah air, pertama dalam kongres XIII di Jakarta tahun 1973, dan kemudian disempurnakan dalam kongres PGRI XVI tahun 1989 juga di Jakarta. Adapun teks kode etik guru Indonesia yang telah disempurnakan tersebut adalah sebagai berikut:

    KODE ETIK GURU INDONESIA

    Guru Indonesia menyadari, bahwa pendidikan adalah bidang pengabdian terhadap Tuhan yang maha esa, bangsa dan Negara, serta kemanusian pada umumnya. Guru Indonesia yang berjiwa pancasila dan setiap pada undang-undang dasar 1945, turut bertanggung jawab atas terwujudnya cita-cita proklamasi kemerdekaan republic Indonesia 17 agustus 1945. oleh sebab itu, guru Indonesia terpanggil untuk menunaikan karyanya dengan memedomani dasar-dasar sebagai berikut:

    1.      Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa pancasila.

    2.      Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran professional.

    1. Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan.
    2. Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses belajar mengajar.
    3. Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid masyarakat sekitarnya untuk membina peran serta dan rasa tanggunga jawab bersama terhadap pendidikan.
    4. Guru secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya.
    5. Guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaaan, dan kesetiakawanan social.
    6. Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian.
    7. Guru melaksanakan segala kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan.

    1.7   Fungsi Kode etik

    Pada dasarnya kode etik memiliki fungsi ganda yaitu sebagai perlindungan dan pengembangan bagi profesi. Fungsi seperti itu sama seperti apa yang dikemukakan Gibson dan Michel (1945 : 449) yang lebih mementingkan pada kode etik sebagai pedoman pelaksanaan tugas prosefional dan pedoman bagi masyarakat sebagai seorang professional.

    Biggs dan Blocher ( dikutip dalam elviza,2009:4) mengemukakan tiga fungsi kode etik yaitu : 1. Melindungi suatu profesi dari campur tangan pemerintah. (2). Mencegah terjadinya pertentangan internal dalam suatu profesi. (3). Melindungi para praktisi dari kesalahan praktik suatu profesi.

    Sutan Zahri dan Syahmiar Syahrun (dikutip dalam Elviza,2009:4) mengemukakan empat fungsi kode etik guru bagi guru itu sendiri, antara lain : 1. Agar guru terhindar dari penyimpangan tugas yang menjadi tanggung jawabnya. 2. Untuk mengatur hubungan guru dengan murid, teman sekerja, masyarakat dan pemerintah. 3. Sebagai pegangan dan pedoman tingkah laku guru agar lebih bertanggung jawab pada profesinya. 4. Penberi arah dan petunjuk yang benar kepada mereka yang menggunakan profesinya dalam melaksanakan tugas.

    Dalam melaksanakan tugas profesinya guru indonesia menyadari sepenuhnya bahwa perlu ditetapkan Kode Etik Guru Indonesia sebagai pedoman bersikap dan berperilaku yang mengejewantah dalam bentuk nilai-nilai moral dan etika dalam jabatan guru sebagai pendidik putera-puteri bangsa (syadiashare 2011).

    CONTOH PENERAPAN KODE ETIK

    a.       Kode Etik Guru

         “Guru memiliki kewajiban untuk membimbing anak didik seutuhnya dengan tujuan membentuk manusia pembangunan yang pancasila”. Inilah bunyi kode etik guru yang perrtama dengan istilah “bebakti membimbing” yang artinya mengabdi tanpa pamrih dan tidak pandang bulu dengan membantu (tanpa paksaan, manusiawi). Istilah seutuhnya lahir batin, secara fisik dan psikis. Jadi guru harus berupaya dalam membentuk manusia pembangunan pancasila harus seutuhnya tanpa pamrih.

    b.      Kode Etik Guru Pembimbing/ Konselor Sekolah

         “ Konselor harus menghormati harkat pribadi, integritas dan keyakinan kliennya”. Apabila kode etik itu telah diterapkan maka konselor ketika berhadapan dalam bidang apapun demi lancarnya pendidikan diharapkan memiliki kepercayaan dengan clientnya dan tidak membuat clientnya merasa terseinggung.

    Hal yang terjadi jika kode etik tidak ada

    Kode etik profesi berfungsi sebagai pelindung dan pengembangan profesi. Dengan telah adanya kode etik profesi, masih banyak kita temui pelanggaran-pelanggaran ataupun penyalahgunaan profesi. Apalagi jika kode etik profesi tidak ada, maka akan semakin banyak terjadi pelanggaran. Akan semakin banyak terjadi penyalah gunaan profesi.

    1.8    Penerapan Kode Etik

    Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu Ethos yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat. Etika merupakan ilmu atau konsep yang dimiliki oleh individu atau masyarakat untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar dan buruk atau baik. Etika adalah refleksi dari kontrol diri karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok sosial (profesi) itu sendiri.

    Istilah profesi dapat diartikan sebagai suatu hal yang berkaitan dengan bidang pekerjaan yang sangat dipengaruhi oleh pendidikan dan keahlian yang dilakukan secara bertanggung jawab dengan tujuan memperoleh penghasilan.

    Kode etik adalah suatu bentuk aturan tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada dan pada saat yang dibutuhkan akan dapat difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang secara logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang dari kode etik. Salah satu contoh tertua adalah “Sumpah Hipokrates” yang dipandang sebagai kode etik pertama untuk profesi dokter. Hipokrates adalah doktren Yunani kuno yang digelari ”Bapak Ilmu Kedokteran”.

    Contoh penerapan kode etik pada bidang profesi guru :

    “Guru memiliki kewajiban untuk membimbing anak didik seutuhnya dengan tujuan membentuk manusia pembangunan yang Pancasila”. Inilah bunyi kode etik guru yang pertama dengan istilah “berbakti membimbing” yang artinya mengabdi tanpa pamrih dan tidak pandang bulu dengan membantu (tanpa paksaan, manusiawi). Istilah seutuhnya lahir batin, secara fisik dan psikis. Jadi guru harus berupaya dalam membentuk manusia pembangunan Pancasila harus seutuhnya tanpa pamrih.

    Kode Etik Guru di Indonesia

    pembukaan

    Dengan rahmat Tuhan yang Maha Esa guru Indonesia menyadari bahwa jabatan guru adalah suatu profesi yang terhormat dan mulia. Guru mengabdikan diri dan berbakti untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia indonesia yang bermain, bertakwa dan berakhlak mulia serta mengusai ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil,makmur, dan beradap.

    Guru Indonesia selalu tampil secara profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan. Melatih menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru Indonesia memiliki kehandalan yang tinggi sebagai sumber daya utama untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

    Guru indonesia adalah insan yang layak ditiru dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, khususnya oleh peserta didik yang dalam melaksanakan tugas berpegang teguh pada prinsip “ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karso, tut wuri handayani”. Dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip tersebut guru indonesia ketika menjalankan tugas-tugas profesional sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi.

    Guru indonesia bertanggung jawab mengatarkan siswanya untuk mencapai kedewasaan sebagai calon pemimpin bangsa pada semua bidang kehidupan. Untuk itu, pihak-pihak yang berkepentingan selayaknya tidak mengabaikan peranan guru dan profesinya, agar bangsa dan negara dapat tumbuh sejajar dengan bangsa lain di negara maju, baik pada masa sekarang maupun masa yang akan datang. Kondisi seperti itu bisa mengisyaratkan bahwa guru dan profesinya merupakan komponen kehidupan yang dibutuhkan oleh bangsa dan negara ini sepanjang zaman. Hanya dengan tugas pelaksanaan tugas guru secara profesional hal itu dapat diwujudkan eksitensi bangsa dan negara yang bermakna, terhormat dan dihormati dalam pergaulan antar bangsa-bangsa di dunia ini.

    Peranan guru semakin penting dalam era global. Hanya melalui bimbingan guru yang profesional, setiap siswa dapat menjadi sumber daya manusia yang berkualitas, kompetetif dan produktif sebagai aset nasional dalam menghadapi persaingan yang makin ketat dan berat sekarang dan dimasa datang.

    Dalam melaksanakan tugas profesinya guru indonesia

     menyadari sepenuhnya bahwa perlu ditetapkan Kode Etik Guru Indonesia sebagai pedoman bersikap dan berperilaku yang mengejewantah dalam bentuk nilai-nilai moral dan etika dalam jabatan guru sebagai pendidik putera-puteri bangsa.

    ·         Bagian Satu

           Pengertian, tujuan, dan Fungsi

           Pasal 1

          (1) Kode Etik Guru Indonesia adalah norma dan asas yang disepakati dan diterima oleh guru-guru Indonesia. Sebagai pedoman sikap dan perilaku dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pendidik, anggota maasyarakat dan warga negara.

    (2) Pedoman sikap dan perilaku sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) pasal ini adalah nilai-nilai moral yang membedakan perilaku guru yang baik dan buruk, yang boleh dan tidak boleh dilaksanakan selama menunaikan tugas-tugas profesionalnya untuk mendidik, mengajar,membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik, serta sikap pergaulan sehari-hari di dalam dan luar sekolah.

          Pasal 2

    (1) Kode Etik Guru Indonesia merupakan pedoman sikap dan perilaku bertujuan menempatkan guru sebagai profesi terhormat, mulia, dan bermartabat yang dilindungi undang-undang.

    (2) Kode Etik Guru Indonesia berfungsi sebagai seperangkat prinsip dan norma moral yang melandasi pelaksanaan tugas dan layanan profesional guru dalam hubungannya dengan peserta didik, orangtua/wali siswa, sekolah dan rekan seprofesi, organisasi profesi, dan pemerintah sesuai dengan nilai-nilai agama, pendidikan, sosial, etika dan kemanusiaan.

    ·        Bagian Dua

          Sumpah/Janji Guru Indonesia

           Pasal 3

    (1)  Setiap guru mengucapkan sumpah/janji guru Indonesia sebagai wujud   pemahaman, penerimaan, penghormatan, dan kesediaan untuk mematuhi nilai-nilai moral yang termuat di dalam Kode Etik Guru Indonesia sebagai pedoman bersikap dan berperilaku, baik di sekolah maupun di lingkungan masyarakat.

    (2)  Sumpah/janji guru Indonesia diucapkan di hadapan pengurus organisasi profesi guru dan pejabat yang berwenang di wilayah kerja masing-masing.

    (3)   Setiap pengambilan sumpah/janji guru Indonesia dihadiri oleh penyelenggara satuan pendidikan.

           Pasal 4

    (1) Naskah sumpah/janji guru Indonesia dilampirkan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Kode Etik Guru Indonesia.

    (2) Pengambilan sumpah/janji guru Indonesia dapat dilaksanakan secara   perorangan atau kelompok sebelumnya melaksanakan tugas.

    ·        Bagian Tiga

           Nilai-nilai Dasar dan Nilai-nilai Operasional

           Pasal 5

             Kode Etik Guru Indonesia bersumber dari :

    (1) Nilai-nilai agama dan Pancasila

    (2) Nilai-nilai kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial,   dan kompetensi profesional.

    (3) Nilai-nilai jati diri, harkat dan martabat manusia yang meliputi perkembangan kesehatan jasmaniah, emosional, intelektual, sosial, dan spiritual,

          Pasal 6

    (1) Hubungan Guru dengan Peserta Didik:

          a. Guru berperilaku secara profesional dalam melaksanakan tuga didik,   mengajar, membimbing, mengarahkan,melatih,menilai, dan mengevaluasi proses dan hasil pembelajaran.

          b. Guru membimbing peserta didik untuk memahami, menghayati dan mengamalkan hak-hak dan kewajiban sebagai individu, warga sekolah, dan anggota masyarakat

          c.   Guru mengetahui bahwa setiap peserta didik memiliki karakteristik secara individual dan masing-masingnya berhak atas layanan pembelajaran.

           d. Guru menghimpun informasi tentang peserta didik dan menggunakannya untuk kepentingan proses kependidikan.

           e. Guru secara perseorangan atau bersama-sama secara terus-menerus berusaha menciptakan, memelihara, dan mengembangkan suasana sekolah yang menyenangkan sebagai lingkungan belajar yang efektif dan efisien bagi peserta didik.

           f. Guru menjalin hubungan dengan peserta didik yang dilandasi rasa kasih sayang dan menghindarkan diri dari tindak kekerasan fisik yang di luar batas kaidah pendidikan.

           g. Guru berusaha secara manusiawi untuk mencegah setiap gangguan yang dapat mempengaruhi perkembangan negatif bagi peserta didik.

           h. Guru secara langsung mencurahkan usaha-usaha profesionalnya untuk membantu peserta didik dalam mengembangkan keseluruhan kepribadiannya, termasuk kemampuannya untuk berkarya.

           i. Guru menjunjung tinggi harga diri, integritas, dan tidak sekali-kali merendahkan martabat peserta didiknya.

           j. Guru bertindak dan memandang semua tindakan peserta didiknya secara adil.

           k. Guru berperilaku taat asas kepada hukum dan menjunjung tinggi kebutuhan dan hak-hak peserta didiknya.

           l. Guru terpanggil hati nurani dan moralnya untuk secara tekun dan penuh perhatian bagi pertumbuhan dan perkembangan peserta didiknya.

    m. Guru membuat usaha-usaha yang rasional untuk melindungi peserta didiknya dari kondisi-kondisi yang menghambat proses belajar, menimbulkan gangguan kesehatan, dan keamanan.

           n. Guru tidak boleh membuka rahasia pribadi serta didiknya untuk alasan-alasan yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan pendidikan, hukum, kesehatan, dan kemanusiaan.

            o. Guru tidak boleh menggunakan hubungan dan tindakan profesionallnya kepada peserta didik dengan cara-cara yang melanggar norma sosial, kebudayaan, moral, dan agama.

            p. Guru tidak boleh menggunakan hubungan dan tindakan profesional dengan peserta didiknya untuk memperoleh keuntungan-keuntungan pribadi.

    (2) Hubungan Guru dengan Orangtua/wali Siswa :

           a.  Guru berusaha membina hubungan kerjasama yang efektif dan efisien dengan Orangtua/Wali siswa dalam melaksannakan proses pedidikan.

           b.  Guru mrmberikan informasi kepada Orangtua/wali secara jujur dan    objektif mengenai perkembangan peserta didik.

            c.  Guru merahasiakan informasi setiap peserta didik kepada orang lain yang  bukan orangtua/walinya.

            d.  Guru memotivasi orangtua/wali siswa untuk beradaptasi dan berpatisipasi dalam memajukan dan meningkatkan kualitas pendidikan.

            e.  Guru berkomunikasi secara baik dengan orangtua/wali siswa mengenai kondisi dan kemajuan peserta didik dan proses kependidikan pada umumnya.

            f.  Guru menjunjunng tinggi hak orangtua/wali siswa untuk berkonsultasin dengannya berkaitan dengan kesejahteraan kemajuan, dan cita-cita anak atau anak-anak akan pendidikan.

             g.  Guru tidak boleh melakukan hubungan dan tindakan profesional dengan orangtua/wali siswa untuk memperoleh keuntungna-keuntungan pribadi.

    (3) Hubungan Guru dengan Masyarakat :

            a. Guru menjalin komunikasi dan kerjasama yang harmonis, efektif dan efisien dengan masyarakat untuk memajukan dan mengembangkan pendidikan.

            b. Guru mengakomodasikan aspirasi masyarakat dalam mengembnagkan dan meningkatkan kualitas pendidikan dan pembelajaran.

           c. Guru peka terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat

            d. Guru berkerjasama secara arif dengan masyarakat untuk meningkatkan prestise dan martabat profesinya.

            e. Guru melakukan semua usaha untuk secara bersama-sama dengan masyarakat berperan aktif dalam pendidikan dan meningkatkan kesejahteraan peserta didiknya

            f. Guru memberikan pandangan profesional, menjunjung tinggi nilai-nilai agama, hukum, moral, dan kemanusiaan dalam berhubungan dengan masyarakat.

            g. Guru tidak boleh membocorkan rahasia sejawat dan peserta didiknya   kepada masyarakat.

           h. Guru tidak boleh menampilkan diri secara ekslusif dalam kehidupam masyarakat.

             (4) Hubungan Guru dengan seklolah

           a. Guru memelihara dan eningkatkan kinerja, prestasi, dan reputasi sekolah.

            b. Guru memotivasi diri dan rekan sejawat secara aktif dan kreatif dalam melaksanakan proses pendidikan.

           c. Guru menciptakan melaksanakan proses yang kondusif.

           d. Guru menciptakan suasana kekeluargaan di dalam dan luar sekolah.

           e. Guru menghormati rekan sejawat.

           f. Guru saling membimbing antarsesama rekan sejawat

           g. Guru menjunung tinggi martabat profesionalisme dan hubungan kesejawatan dengan standar dan kearifan profesional.

    h. Guru dengan berbagai cara harus membantu rekan-rekan juniornya untuk tumbuh secara profsional dan memilih jenis pelatihan yang relevan dengan tuntutan profesionalitasnya.

           i. Guru menerima otoritas kolega seniornya untuk mengekspresikan pendapat-pendapat profesionalberkaitan dengan tugas-tugas pendidikan dan pembelajaran

           j. Guru membasiskan diri pada nilai-nilai agama, moral, dan kemanusiaan dalam setiap tindakan profesional dengan sejawat.

           k. Guru memliki beban moral untuk bersama-sama dengan sejawat   meningkatkan keefektifan pribadi sebagai guru dalam menjalankan tugas-tugas profesional pendidikan dan pembelajaran.

            l. Guru mengoreksi tindakan-tindakan sejawat yang menyimpang dari   kaidah-kaidah agama, moral, kemanusiaan, dan martabat profesionalnya.

            m. Guru tidak boleh mengeluarkan pernyataan-pernyaan keliru berkaitan dengan kualifikasi dan kompetensi sejawat atau calon sejawat.

            n. Guru tidak boleh melakukan tindakan dan mengeluarkan pendapat yang akan merendahkan martabat pribadi dan profesional sejawatnya

           o. Guru tidak boleh mengoreksi tindakan-tindakan profesional sejawatnya atas dasar pendapat siswa atau masyarakat yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarnya.

           p. Guru tidak boleh membuka rahasia pribadi sejawat kecuali untuk pertimbangan-pertimbangan yang dapat dilegalkan secara hukum.

           q. Guru tidak boleh menciptakan kondisi atau bertindak yang langsung atau tidak langsung akan memunculkan konflik dengan sejawat.

          (5) Hubungan Guru dengan Profesi :

          a. Guru menjunjung tinggi jabatan guru sebagai sebuah profesi

          b. Guru berusaha mengembangkan dan memajukan disiplin ilmu pendidikan dan bidang studi yang diajarkan

          c. Guru terus menerus meningkatkan kompetensinya

          d. Guru menjunjung tinggi tindakan dan pertimbangan pribadi dalam  menjalankan tugas-tugas profesionalnya dan bertanggungjawab atas konsekuensiinya.

          e. Guru menerima tugas-tugas sebagai suatu bentuk tanggungjawab, inisiatif individual, dan integritas dalam tindkan-tindakan profesional lainnya.

           f. Guru tidak boleh melakukan tindakan dan mengeluarkan pendapat yang akan merendahkan martabat profesionalnya.

           g. Guru tidak boleh menerima janji, pemberian dan pujian yang dapat mempengaruhi keputusan atau tindakan-tindakan proesionalnya

           h. Guru tidak boleh mengeluarkan pendapat dengan maksud menghindari tugas-tugas dan tanggungjawab yang muncul akibat kebijakan baru di bidang pendidikan dan pembelajaran.

             (6) Hubungan guru dengan Organisasi Profesinya :

           a. Guru menjadi anggota aorganisasi profesi guru dan berperan serta secara   aktif dalam melaksanakan program-program organisasi bagi kepentingan kependidikan.

           b. Guru memantapkan dan memajukan organisasi profesi guru yang memberikan manfaat bagi kepentingan kependidikan

           c. Guru aktif mengembangkan organisasi profesi guru agar menjadi pusat informasi dan komunikasi pendidikan untuk kepentingan guru dan masyarakat.

           d. Guru menjunjung tinggi tindakan dan pertimbangan pribadi dalam menjalankan tugas-tugas organisasi profesi dan bertanggungjawab atas konsekuensinya.

            e. Guru menerima tugas-tugas organisasi profesi sebagai suatu bentuk tanggungjawab, inisiatif individual, dan integritas dalam tindakan-tindakan profesional lainnya.

           f. Guru tidak boleh melakukan tindakan dan mengeluarkan pendapat yang dapat merendahkan martabat dan eksistensis organisasi profesinya.

           g. Guru tidak boleh mengeluarkan pendapat dan bersaksi palsu untuk memperoleh keuntungan pribadi dari organisasi profesinya.

           h. Guru tidak boleh menyatakan keluar dari keanggotaan sebagai organisasi profesi tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.

              (7) Hubungan Guru dengan Pemerintah :

           a) Guru memiliki komitmen kuat untuk melaksanakan program pembangunan bidang pendidikan sebagaimana ditetapkan dalam UUD 1945, UU Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Tentang Guru dan Dosen, dan ketentuan Perundang-Undang lainnya.

            b) Guru membantu Program pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan   berbudaya.

            c) Guru berusaha menciptakan, memeliharadan meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan pancasila dan UUD1945.

            d) Guru tidak boleh menghindari kewajiban yang dibebankan oleh pemerintah atau satuan pendidikan untuk kemajuan pendidikan dan pembelajaran.

            e) Guru tidak boleh melakukan tindakan pribadi atau kedinasan yang berakibat pada kerugian negara.

    ·        Bagian Empat

    Pelaksanaan , Pelanggaran, dan sanksi

    Pasal 7

    (1) Guru dan organisasi profesi guru bertanggungjawab atas pelaksanaan Kode Etik Guru Indonesia.

    (2) Guru dan organisasi guru berkewajiban mensosialisasikan Kode Etik Guru Indonesia kepada rekan sejawat Penyelenggara pendidikan, masyarakat dan pemerintah.

    Pasal 8

    (1) Pelanggaran adalah perilaku menyimpang dan atau tidak melaksanakan Kode Etik Guru Indonesia dan ketentuan perundangan yang berlaku yang berkaitan dengan protes guru.

    (2) Guru yang melanggar Kode Etik Guru Indonesia dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.

    (3) Jenis pelanggaran meliputi pelanggaran ringan sedang dan berat.

    Pasal 9

    (1) Pemberian rekomendasi sanksi terhadap guru yang melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik Guru Indonesia merupakan wewenang Dewan Kehormatan Guru Indonesia.

    (2) Pemberian sanksi oleh Dewan Kehormatan Guru Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus objektif

    (3) Rekomendasi Dewan Kehormatan Guru Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan oleh organisasi profesi guru.

    (4)   Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan upaya pembinaan kepada guru yang melakukan pelanggaran dan untuk menjaga harkat dan martabat profesi guru.

    (5) Siapapun yang mengetahui telah terjadi pelanggaran Kode Etik Guru Indonesia wajib melapor kepada Dewan Kehormatan Guru Indonesia, organisasi profesi guru, atau pejabat yang berwenang.

    (6) Setiap pelanggaran dapat melakukan pembelaan diri dengan/atau tanpa bantuan organisasi profesi guru dan/atau penasehat hukum sesuai dengan jenis pelanggaran yang dilakukan dihadapan Dewan Kehormatan Guru Indonesia.

    ·        Bagian Lima

    Ketentuan Tambahan

    Pasal 10

    Tenaga kerja asing yang dipekerjakan sebagai guru pada satuan pendidikan di Indonesia wajib mematuhi Kode Etik Guru Indonesia dan peraturan perundang-undangan.

    ·        Bagian Enam

    Penutup

    Pasal 11

    (1) Setiap guru secara sungguh-sungguh menghayati,mengamalkan serta menjunjung tinggi Kode Etik Guru Indonesia.

    (2) Guru yang belum menjadi anggota organisasi profesi guru harus memilih organisasi profesi guru yang pembentukannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan

    BAB III

    PENUTUP

    Kesimpulan

    Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kode etik dapat diartikan pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan atau tata cara sebagai pedoman berperilaku. Biasanya jika ada seseorang yang melanggar kode etik, maka dia akan mendapat celaan dari rekan-rekan kerjanya dan  sanksi yang dianggap terberat adalah si pelanggar dikeluarkan dari organisasi profesi. Kode etik hanya dapat ditetapkan oleh suatu organisasi profesi yang berlaku dan mengikat para anggotanya. Penetapan kode etik lazim dilakukan pada suatu kongres organisasi profesi. Dengan demikian, penetapan kode etik tidak boleh dilakukan oleh orang perorangan, melainkan harus dilakukan oleh orang-orang yang diutus untuk dan atas nama anggota-anggota profesi dari organisasi tersebut.

    Saran

    Sebaiknya bahasa yang dipergunakan dalam penyampaian penulisan tentang kode etik ini diperbanyak lagi agar pembaca semakin mengerti tentang kode etik guru.

    Daftar Pustaka

    Elviza. 2009. kode-etik-profesi. http://e3l.blogspot.com/2009/05/makalah-kode-etik-profesi.html. Diakses tanggal 3 Maret 2011.

    galih.2009.pengertian-dan-fungsi-kode-etik. http://pakgalih.wordpress.com/2009/04/07/pengertian-dan-fungsi-kode-etik/.Diakses tanggal 3 Maret 2011.

    Soetjipto dan Rafli Kosasi . 2004. Profesi Keguruan. Jakarta : Rineka Cipta.

  • Laporan Studi Kasus Pemilihan Pakaian Terhadap Kepercayaan Diri mahasiswa

    Pemilihan Pakaian Terhadap Kepercayaan Diri mahasiswa

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Di kehidupan ini, pakaian merupakan hal yang tidak bisa lepas dari manusia dan menjadi bagian yang penting sebagai salah satu kebutuhan pokok. Dalam buku yang ditulis oleh Malcolm, diuraikan bahwa pakaian dapat berfungsi sebagai alat komunikasi identitas, adat, dan sifat individu pemakaiannya[1]. Gaya berpakaian seseorang dipengaruhi oleh banyak hal seperti budaya, nilai-nilai yang diwariskan kelompok masyarakat maupun keluarga, lingkungan, media, trend fashion, serta karakter pribadi. Semua itu memberi referensi cara berpakaian dan membentuk preferensinya.[2] Menurut Irwan M. Hidayana, selain berfungsi sebagai pelindung tubuh, pakaian juga merupakan salah satu media yang digunakan untuk mengekspresikan seni dan keindahan. Setiap orang berlomba-lomba tampil lebih modern, muda, dan gaya. Pakaian menjadi corak kreatifitas dan seni tiap individu.

    Berbicara mengenai kreatifitas dan seni, seseorang yang memiliki kepercayaan diri akan tumbuh menjadi individu yang lebih kreatif dan produktif. Mereka akan mampu mengekspresikan dirinya dengan lebih baik. Menurut Thantaway, percaya diri adalah suatu kondisi mental yang menjadikan seseorang dapat bertindak dengan keyakinan yang kuat pada dirinya[3]. Dapat disimpulkan bahwa pengertian rasa percaya diri adalah suatu keyakinan seseorang terhadap segala aspek kelebihan yang dimilikinya, serta kelebihan tersebut membuatnya merasa mampu mencapai berbagai tujuan dalam hidupnya. Kepercayaan diri seseorang memampukan dirinya untuk mengembangkan penilaian positif terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan atau situasi yang dihadapinya[4], sifat ini merupakan milik pribadi yang sangat penting dan ikut menentukan kebahagiaan hidup seseorang. Kepercayaan diri dapat berkembang dari evaluasi diri yang memampukan seseorang untuk dapat memahami diri sendiri dan akan tahu siapa dirinya. Orang yang tidak memiliki kepercayaan diri akan memiliki konsep diri negatif, rendah diri, dan sering menutup diri.

    Hal yang ingin dibahas dalam penelitian ini adalah, apakah ada hubungan antara kepercayaan diri tersebut dengan gaya berpakaian seseorang. Saat ini, pakaian sudah sangat bervariasi baik dari segi model dan warna pakaian. Berbagai jenis model pakaian yang mencakup perbedaan bentuk, warna, dan bahan mencerminkan berbagai corak seni dan keindahan tersendiri. Segala jenis pakaian, dari formal, semiformal, hingga nonformal memiliki makna tersendiri bagi penggunanya. Oleh karena itulah, perlu diketahui makna-makna tersebut bagi penggunanya, apakah suatu pakaian dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan diri pengguna, ataupun memiliki arti lain bagi penggunanya.

    B. Rumusan Masalah

    Dari latar belakang yang telah dijelaskan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

    1. Bagaimana hubungan antara pemilihan pakaian dengan tingkat kepercayaan diri mahasiswa?

    Bab II. Kajian Pustaka

    A. Pengertian Pakaian

    Menurut kamus besar bahasa Indonesia, pakaian merupakan barang yang dipakai untuk menutupi tubuh. Pakaian termasuk salah satu kebutuhan pokok selain makanan dan tempat tinggal. Pakaian melindungi bagian tubuh yang tidak terlihat dan bertindak sebagai perlindungan dari unsur- unsur yang merusak, seperti suhu panas dan dingin, sengatan matahari, hujan, salju, angin atau kondisi cuaca lainnya[5]. Pakaian juga mengurangi tingkat risiko selama kegiatan, seperti bekerja atau olahraga. Selain itu, pakaian juga dapat berfungsi sebagai pelindung dari bahaya lingkungan tertentu, seperti serangga, bahan kimia berbahaya, senjata, dan kontak dengan zat kimia. Pakaian pada umumnya terbuat dari katun, linen, nilon, poliester, sutra, maupun wol atau kulit binatang.

    2.2 Pengertian Kepercayaan Diri

    Percaya diri merupakan salah satu aspek yang penting dalam kehidupan individu[6]. Percaya diri merupakan kondisi mental atau psikologis seseorang untuk memberikan keyakinan kuat pada dirinya untuk berani berbuat atau melakukan suatu tindakan[7]. Seseorang yang memiliki kepercayaan diri akan yakin atas kemampuan mereka sendiri serta optimis, sedangkan seseorang yang tidak percaya diri akan memiliki konsep diri negatif, kurang percaya pada kemampuannya, kurang motivasi, mudah putus asa, dan sering menutup diri.

    2.3 Teori Hierarki Kebutuhan

    Menurut Abraham Maslow, manusia memiliki lima tingkat kebutuhan dasar yang akan selalu berusaha untuk dipenuhi sepanjang masa hidupnya[8]. Kebutuhan tersebut bertingkat dari yang paling mendesak hingga yang akan muncul dengan sendirinya saat kebutuhan sebelumnya telah dipenuhi. Setiap orang pasti akan melalui tingkatan-tingkatan tersebut dalam hidupnya. Lima tingkatan ini membedakan setiap manusia dan mempengaruhi kesejahteraan hidupnya, teori ini juga telah resmi di akui dalam dunia psikologi.

    Kebutuhan dasar menurut Maslow terdiri atas kebutuhan fisiologis, yang berupa kebutuhan dasar manusia untuk hidup. Selanjutnya, kebutuhan akan keamanan, kebutuhan cinta sayang dan kepemilikan, kebutuhan esteem, dan yang terakhir adalah kebutuhan aktualisasi diri yang menggambarkan ketepatan seseorang dalam menempatkan diri sesuai dengan kemampuannya. Aktualisasi diri melibatkan keinginan yang terus menerus untuk memenuhi potensi, seperti keinginan untuk mencapai prestasi-prestasi yang hebat. Kebutuhan aktualisasi diri tidak selalu jelas dan berbeda tiap individu satu dengan lainnya.

    Tingkatan kebutuhan fisiologis merupakan tingkatan yang paling mendasar untuk mempertahankan kehidupan individu. Kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan yang akan terus menerus muncul dan harus dipenuhi. Kebutuhan-kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan makanan, minuman, pakaian, tempat berteduh, istirahat, air, dan oksigen.

    Tingkatan kebutuhan Esteem melibatkan kebutuhan baik harga diri dan penghargaan dari orang lain. Manusia selalu butuh untuk dihormati dan dihargai. Contoh penghargaan meliputi pujian, piagam, tanda jasa, hadiah, untuk merasakan kepuasan dalam hidupnya. Ketika kebutuhan ini terpenuhi, kepercayaan diri seseorang akan bertambah dan orang akan merasa lebih berharga sebagai orang di dunia. Ketika kebutuhan ini tak terpenuhi, orang merasa rendah, lemah, tak berdaya dan tidak berharga. Penghargaan juga meliputi penghargaan dan kepercayaan atas diri sendiri, akan sejauh mana seseorang menilai dirinya positif, bernilai, ataupun berharga.

    2.4 Teori Fungsi Busana

    Kaiser (1990) menjelaskan empat teori tentang fungsi busana, yaitu teori kesopanan, dimana fungsi pakaian didasari oleh nilai moral atau kesopanan, teori ketidaksopanan, yang mengabaikan nilai kesopanan seperti sebagai daya tarik seksual, teori melindungi diri, dimana pakaian sebagai pelindung, serta yang terakhir yakni teori berhias[9].

    Teori Berhias atau Decoration Theory menjelaskan bahwa pakaian yang digunakan mengutamakan estetika agar pemakai terlihat lebih menarik dan berkesan atau merasa berwibawa. Teori inilah yang menjadi fokus penelitian dalam fungsi busana. Tujuan manusia menggunakan teori berhias antara lain diantaranya sebagai:

    1. Daya tarik seksual, untuk menarik perhatian lawan jenis.
    2. Trophysm, untuk menunjukkan kehebatan atau kemampuan tertentu pemakainya.
    3. Terrorism, untuk memberikan suatu kesan tertentu.
    4. Identifikasi, untuk memberikan identitas dan membedakan diri dari orang lain seperti perbedaan status, jabatan, keagamaan, atau suatu kelompok tertentu.

    2.5 Hipotesis Penelitian

    Pakaian yang digunakan mahasiswa bukan sekadar untuk menutupi anggota tubuh belaka, namun pemilihan pakaian menjadi selera pribadi mahasiswa. Artinya mahasiswa akan cenderung memilih pakaian yang menurut mereka baik dan cocok untuk digunakan, sedangkan saat pakaian yang digunakan terasa kurang cocok, maka mahasiswa akan rendah tingkat kepercayaan dirinya, sebab pakaian mencerminkan diri mahasiswa. Kemudian saat mahasiswa begitu memperhatikan pakaiannya, bahkan pakaian menjadikan prioritas pertama sebagai jati diri pribadi. Maka model dan jenis pakaian yang digunakan akan sangat diperhatikan oleh mahasiswa sehingga mempengaruhi kepercayaan diri dengan lingkungan sekitarnya, baik saat berinteraksi,berpergian dan beraktivitas sehari-hari.

    Bab III. Metode Penelitian

    A. Pendekatan Penelitian

    Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kuantitatif. Menurut Rubin, Palmgreen, & Sypher, 1994 dalam buku Pengantar Teori Komunikasi analisis dan aplikasi, bahwa metode kuantitatif (quantitative method) menuntut peneliti untuk melakukan pengamatan yang dapat dikuantifikasi (diubah dalam bentuk angka) dan kemudian menganalisis angka-angka tersebut. Penelitian kuantitatif merupakan penelitian dengan menjelaskan suatu masalah yang hasilnya dapat digeneralisasi.[10] Dalam penelitian kuantitatif, para peneliti dituntut untuk memisahkan diri dari data dan bersikap objektif. Artinya semua data harus objektif dan telah teruji.

    3.2 Paradigma Penelitian

    Paradigma penelitian ini menggunakan paradigma positivisme, kali ini peneliti mencoba melakukan penelitian yaitu studi hubungan pemilihan pakaian pada kepercayaan diri mahasiswa Surya University. Paradigma ini bertujuan untuk memprediksi dan mengontrol hubungan timbal balik atau sebab akibat yang objektif. Dalam konsepsi ini, paham positivisme diidentifikasikan dengan kegiatan riset atau penelitian kuantitatif.

    3.2 Sampel dan Populasi

    Objek penelitian yang diteliti yakni mahasiswa Surya University angkatan 2013 dan angkatan 2014. Mahasiswa Surya University angkatan 2013 dan angkatan 2014 dipilih karena tim peneliti melihat mahasiswa Surya University sering sekali memakai pakaian yang bervariasi, baik kasual ataupun sopan dan rapi.

    3.3 Metode Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data

    Jenis metode penelitian yang digunakan yaitu metode survei dengan menggunakan kuesioner sebagai alat sekaligus sebagai teknik pengumpulan data. Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data melalui lembaran yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan secara tertulis kepada sekelompok orang untuk mendapatkan jawaban, tanggapan, atau informasi yang dibutuhkan oleh peneliti. Pertanyaan dalam kuesioner berbentuk pilihan ganda disertai dengan alasan terhadap jawaban yang dipilih. Melalui kuesioner dapat didapatkan data secara cepat dan menyeluruh untuk dianalisis. Penggunaan kuesioner bertujuan untuk memperoleh data atau informasi terkait sejumlah responden yang telah mewakili populasi. Survei dengan kuesioner dilakukan melalui cara pemberian secara langsung kuesioner terhadap beberapa mahasiswa Surya University yang dipilih secara acak atau simple random sampling. Penyebaran kuesioner diberikan kepada 20 mahasiswa yang terdiri atas 10 wanita dan 10 laki-laki. Hasil data kuesioner merupakan informasi penting penelitian yang akan dibahas lebih lanjut.

    3.4 Operasional variabel

    Dalam penelitian ini, operasional di definisikan sebagai unsur suatu penelitian yang terkait dengan variabel yang terdapat dalam judul penelitian maupun yang tercakup dalam paradigma penelitian yang sesuai dengan rumusan masalah. Dalam penggunaannya, operasional penelitian digunakan sebagai landasan sekaligus alasan mengapa sesuatu yang memiliki kaitan bisa mempengaruhi variabel tak bebas ataupun menjadi salah satu penyebab[11].

    3.4.1 Variabel Bebas

    Variabel independen (bebas) adalah variabel yang dipergunakan untuk memperkirakan[12]. Variabel penelitian ini menjadi subjek yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahan atau timbulnya variabel terikat. Dalam penelitian ini, yang akan dibahas sebagai variabel bebas adalah pemilihan pakaian yang digunakan para mahasiswa Surya University yang menjadi tolak ukur bebas.

    Pemilihan Pakaian (X)
    Pakaian adalah suatu bahan tekstil atau bahan lainnya yang dijahit maupun tidak, baik dipakai

    atau disampirkan untuk penutup tubuh seseorang. Pakaian berfungsi sebagai pelindung tubuh, juga merupakan salah satu media yang digunakan untuk mengekspresikan seni dan keindahan. Setiap orang berlomba-lomba tampil lebih modern, muda, dan gaya. Pakaian menjadi corak kreatifitas dan seni tiap individu. Dalam pembagian pakaian sendiri terbagi menjadi tiga yaitu pakaian formal, pakaian nonformal dan pakaian semiformal.

    Yang menjadi tolak ukur dalam pemilihan pakaian adalah jenis pakaian yang digunakan oleh mahasiswa. Maka dari itu, peneliti menggolongkan pakaian menjadi 3 yaitu.

    1. Pakaian formal meliputi : Kemeja lengan panjang, blus, rok dengan potongan simpel, blazer, jas, dress, celana kain
    2. Pakaian nonformal meliputi : Kaos oblong, cardigan, jaket/hoodie/sweater, kaos T- shirt, celana gunung, celana jeans.
    3. Pakaian semi formal : Kaos berkerah, kemeja lengan pendek, rok pendek, gabungan antara formal dan kasual (atasan maupun bawahan).

    3.5.2 Variabel Terikat

    Variabel dependent (terikat/ variabel tidak bebas) adalah variabel yang nilainya akan diperkirakan atau diramalkan[13]. Variabel ini menjadi subjek yang dipengaruhi oleh variabel bebas. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel terikat adalah tingkat kepercayaan diri mahasiswa.

    Tingkat Kepercayaan diri (Y)

    Pengertian rasa percaya diri adalah suatu keyakinan seseorang terhadap segala aspek kelebihan yang dimilikinya, serta kelebihan tersebut membuatnya merasa mampu mencapai berbagai tujuan dalam hidupnya.

    Yang menjai objek kajian dalam tingkat kepercayaan diri adalah:

    1. Keyakinan diri untuk tampil di muka umum
    2. Tidak malu dalam bersosialisasi dalam lingkungan

    Bab IV. Hasl dan Pembahasan

    A. Analisis Data

    Berdasarkan data yang diperoleh setelah kuesioner dibagikan secara acak kepada 20 responden, didapatkan hasil sebagai berikut.

    1. Didapati fungsi lain pakaian yang dominan bagi responden adalah sebagai bentuk representasi kepercayaan diri mereka. Data yang diperoleh adalah sebagai berikut : Tidak ada yang menjawab pakaian untuk menunjukkan kehebatan pakaian/pamer mereka; 7 responden memilih pakaian sebagai cerminan karakter/jati diri; 12 responden yang menjawab sebagai bentuk representasi kepercayaan diri mereka; serta satu orang yang menjawab sebagai fungsi lainnya. Alasan yang dijelaskan oleh para responden bahwa dengan menggunakan pakaian yang mereka anggap bagus dan baik dapat meningkatkan kadar kepercayaan diri mereka pribadi.
    2. Pada pertanyaan kedua, tim peneliti memperbolehkan responden untuk memilih 3 pilihan jawaban, untuk pertanyaan ‘apa saja yang menunjang kepercayaan diri anda’. Berdasarkan hasil yang didapatkan oleh tim peneliti, responden memilih 3 jawaban yang terbanyak adalah “C,G,H” yaitu gaya rambut, kepintaran, dan pakaian. Sebab, para responden mengatakan bahwa bila mereka tidak memiliki kepintaran dalam hal akademis maupun kepintaran dalam memilih gaya rambut dan pakaian, maka mereka merasa akan kehilangan penunjang dari rasa kepercayaan diri mereka. Sepeti contoh dan alasan yang dikemukakan oleh responden, apabila para responden ingin menghadiri sebuah acara penting, namin mereka tidak memiliki kepintaran dalam memilih gaya rambut dan pakaian yang sesuai dengan acara tersebut, tentu saja mereka akan merasa malu dan tidak percaya diri ketika menghadiri acara tersebut.
    3. Pada pertanyaan ketiga, tim peneliti ingin mengetahui seberapa besar skala pengaruh pakaian terhadap kepercayaan diri responden. Dari skala 1-5, didapati hasil yang paling banyak yaitu di skala 4, dimana pakaian cukup mempengaruhi kepercayaan diri responden. Alasan yang diutarakan yaitu ketika para responden menggunakan pakaian tertentu, hal tersebut dapat meningkatkan kepercayaan diri mereka.
    4. Pada pertanyaan keempat, tim peneliti ingin mengetahui ‘jenis pakaian apa yang sering responden gunakan saat pergi ke kampus’. Sebanyak 12 responden memilih pakaian kasual, dimana menurut pendapat mereka, menggunakan pakaian kasual lebih nyaman dan tidak memakan waktu lebih dalam penyiapannya.
    5. Pertanyaan yang kelima dan terakhir, tim peneliti membuat pertanyaan tentang ‘apakah responden pernah memakai pakaian yang tidak sesuai dengan tempatnya’. Didapati separuh dari seluruh sampel pernah menggunakan pakaian yang tidak sesuai dengan tempatnya (salah kostum). Para responden memberikan penjelasan bahwa mereka pada awalnya memang malu, tetapi mereka berusaha tetap percaya diri saja walaupun menjadi pusat perhatian dari orang yang lain.

    B. Pembahasan

    Pakaian adalah salah satu kebutuhan pokok yang diperlukan manusia selain pangan dan papan. Selain fungsi pakaian sebagai alat penutup tubuh yang memberikan kepantasan, Kenyamanan dan keamanan, pakaian juga memiliki makna lain bagi pengguna maupun pengamatnya. Pakaian dapat mencerminkan kreatifitas, status, budaya, maupun identitas penggunanya. Jenis-jenis pakaian meliputi baju, celana, rok, blouse, jas, dress, jaket dan juga pakaian dalam.

    Dari data-data hasil penelitian yang diperoleh, dapat dilihat hubungan antara pakaian dan kepercayaan diri mahasiswa Surya University. Sebagian besar hasil mengatakan selain fungsi pakaian untuk melindungi tubuh, pakaian juga mencerminkan kepercayaan diri mahasiswa. Menurut hasil dari kuesioner yang disebarkan kepada dua puluh mahasiswa Surya University, cara berpakaian sangat berperan penting dalam meningkatkan kepercayaan diri seseorang. Mayoritas mahasiswa menyatakan dengan menggunakan pakaian kasual saat pergi ke kampus, mereka merasa santai dan nyaman. Selain itu, pakaian kasual berupa kaos tidak susah dan memakan waktu dalam penggunaannya sehingga pakaian ini menjadi pilihan mahasiswa untuk pergi ke kampus. Mahasiswa lain yang menggunakan pakaian semiformal juga menyatakan bahwa pakaian semiformal mendorong rasa kepercayaan diri mereka karena selain penggunaannya yang santai, pakaian semiformal juga terlihat sopan karena bentuknya yang berupa kaos berkerah atau baju yang berbahan tipis. Sedangkan mahasiswa yang memilih pakaian formal mengemukakan bahwa kerapian membuat mereka nyaman, ataupun mereka menggunakan pakaian jenis formal karena memang ada tuntutan dari suatu tempat atau acara yang mereka ikuti.

    Pemilihan pakaian menjadi hal yang cukup penting bagi mahasiswa Surya University. Para responden berpendapat bahwa pakaian yang mereka pakai cukup berpengaruh terhadap tingkat kepercayaan diri mereka. Seperti contoh, mahasiswa yang memakai pakaian yang tidak sesuai dengan tempatnya akan membuat si pemakai baju yang salah merasa malu, minder, tidak percaya diri, dan berusaha membawa diri mereka untuk menjauh dari keramaian.

    Selain pakaian, terdapat hal lain yang juga berpengaruh dalam menunjang kepercayaan diri seperti aksesoris yang digunakan, gaya rambut, sepatu, tas, dan keadaan fisik dan kepintaran pun dapat menjadi penunjang kepercayaan diri. Namun, pakaian tetap menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kepercayaan diri mahasiswa Surya University.

    C. Hubungan dengan Teori

    Setiap manusia pasti mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi, di antaranya merupakan kebutuhan pakaian. Pakaian menjadi salah satu bagian dari kehidupan yang sangat penting. Selain sebagai pelindung, pakaian menjadi ekspresi dan wibawa diri. Individu yang mendapat pujian terhadap pakaian yang mereka pakai dapat dipastikan akan lebih percaya diri akan penampilannya. Dari data hasil penelitian, responden menyatakan bahwa berpenampilan akan meningkatkan kepercayaan diri, menyatakan bila ekspresi mereka dihargai, maka akan meningkatkan kepercayaan diri mereka. Ketika mereka menggunakan pakaian yang tidak sesuai dengan tempat, maka yang terjadi adalah rasa percaya diri akan menurun dan tidak akan mendapatkan pujian karena salah berpakaian, dimana hal ini mempengaruhi kebutuhan penghargaan yang dikemukakan menurut Teori Hierarki Kebutuhan Abraham Maslow.

    Pakaian dapat memberikan suatu kesan tertentu kepada pengamatnya, sepeti rasa kesopanan, kenyamanan, dan keindahan sehingga pakaian yang digunakan dapat mempengaruhi persepsi pengamat yang melihat pakaian tersebut. Pengamat yang memberikan nilai positif terhadap pakaian tersebut dapat membuat penggunanya merasa lebih percaya diri. Teori berhias dalam fungsi busana menjelaskan bahwa pakaian yang mengutamakan estetika membuat pemakai terlihat lebih menarik, berkesan dan membuatnya merasa berwibawa. Semakin menarik, cocok, dan berwibawa seseorang, maka semakin tinggi pula tingkat kepercayaan dirinya. Responden penelitian yang menyatakan bahwa cara berpakaian mempengaruhi kepercayaan diri disebabkan karena berpakaian disaat tertentu dapat memengaruhi tingkat kepercayaan diri mereka tergantung dari bagaimana penilaian orang lain yang melihatnya. Sedangkan responden yang menyatakan bahwa pakaian tidak hanya untuk melindungi tubuh melainkan juga untuk mencerminkan jari diri, mengikuti identifikasi pada teori fungsi busana.

    Bab V. Penutup

    A. Simpulan

    Pemilihan pakaian dengan kepercayaan diri mahasiswa memiliki hubungan yang cukup berpengaruh. Walaupun terdapat faktor penunjang kepercayaan diri yang lain seperti penampilan dan kecerdasan, pakaian tetap menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kepercayaan diri mahasiswa. Mahasiswa yang salah memakai pakaian dan yang memakai pakaian yang tidak cocok dengan lingkungannya akan cenderung merasa malu dan kehilangan rasa percaya diri mereka. Mahasiswa memiliki beberapa perspektif yang berbeda mengenai jenis pakaian yang dipakai dengan kepercayaan diri mereka. Ada yang merasa lebih percaya diri ketika menggunakan pakaian yang kasual, formal, maupun semiformal. Terdapat pula beberapa standar responden mengenai kepercayaan diri yang berdasarkan dari pandangan orang lain ketika orang lain melihat penampilan dan pakaian mereka.

    B. Saran

    Berdasarkan data yang telah diperoleh pihak peneliti, dapat disarankan bahwa responden tidak perlu khawatir tentang tingkat kepercayaan diri mereka sendiri. Karena, kepercayaan diri para responden itulah yang akan membuat mereka menjadi seseorang yang dapat dilihat oleh orang lain dari cara berpakaiannya. Responden dapat menjadi acuan mengenai cara berpakaian dalam berpakaian kasual, formal, dan semiformal. Hal tersebut tentu sangat dipengaruhi oleh kepercayaan diri responden yang menggunakan pakaian pada jenis-jenis tersebut.

    DAFTAR PUSTAKA

    6 Langkah Mudah Meraih Percaya Diri Yang Dijamin Berhasil. 2012. http://www.motivasi- islami.com/meraih-percaya-diri/ (diakses April 28, 2015).

    Fungsi Komunikasi Pakaian. 24 April 2013. http://www.femina.co.id/isu.wanita/topik.hangat/fungsi.komunikasi.pakaian/005/007/272 (diakses April 28, 2015).

    Haryanto. Pengertian Kepercayaan Diri. 25 Juni 2010. http://belajarpsikologi.com/pengertian- kepercayaan-diri/.

    —. Pengertian Kepercayaan Diri. 25 Juni 2010. http://belajarpsikologi.com/pengertian-kepercayaan- diri/.

    —. Teori Hierarki Kebutuhan Maslow. 18 Oktober 2010. http://belajarpsikologi.com/teori-hierarki- kebutuhan-maslow/ (diakses April 2015, 2015).

    J, Supranto. Metode Penelitian Hukum dan Statistik. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003.
    Kaiser, S. B. The Social Psychology of Clothing: Symbolic Appearances in Context. New York:

    Macmillan, 1990.
    Nainggolan, Marlina Nova Lia. Perancangan Busana Pesta Wanita Dengan Kombinasi Ulos Dan

    Eksplorasi Desain Permukaan. Bandung: Telkom University, 2010. Siahaan, Sari Rosanni. Landasan Teori. 2015.

    http://www.academia.edu/7823976/BAB_2_LANDASAN_TEORI_2.1.

    LAMPIRAN

    Berikut adalah format kuesioner yang dibagikan:

    Adakah fungsi lain dari pakaian selain untuk melindungi tubuh?

    1. Untuk pamer
    2. Untuk mencerminkan identitas/jati diri (karakteristik diri)
    3. Kepercayaan diri
    4. Lainnya:_______

    (Berikan alasan pada jawaban.)

    Apa saja a. b. c. d. e.

    f.

    yang menunjang kepercayaan diri Anda?* (Maksimal 3 jawaban) Aksesoris
    Alat-alat elektronik (Gadget, dll.)
    Gaya rambut

    Sepatu
    Tas
    Keadaan fisik

    https://mikazestory.blogspot.com/2015/11/makalah-pemilihan-pakaian-terhadap.html 9/11

    7/15/24, 3:15 PM Mikaze Story: Makalah Pemilihan Pakaian Terhadap Kepercayaan Diri mahasiswa

    g. Kepintaran h. Pakaian

    Seberapa besar pakaian mempengaruhi tingkat kepercayaan diri Anda?

    1. Sangat mempengaruhi
    2. Mempengaruhi
    3. Biasa saja
    4. Tidak terlalu mempengaruhi
    5. Tidak mempengaruhi sama sekali

    Jenis pakaian apa yang sering Anda gunakan saat pergi ke kampus? a. Formal

    b. Kasual
    c. Semi-Formal
    (Berikan alasan pada jawaban.)

    Apakah Anda pernah memakai pakaian yang tidak sesuai dengan tempatnya? a. Ya

    b. Tidak
    Jika Ya, apa yang Anda rasakan? Lalu apa yang Anda lakukan?

    Data Penelitian

    Jawabaa b c d e f g h n No.

    1 0 7 12 1 – – – –

    2 1 3 13 9 4 9 10 11

    349610—

    4 1 12 6 1 – – – –

    5 10 10 – – – – – –

    [1] Malcolm Bernard dalam Fashion Sebagai Komunikasi, 1996, dikutip oleh Femina, Fungsi Komunikasi Pakaian.
    [2] Irwan M. Hidayana, Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, dikutip oleh Femina, Fungsi Komunikasi Pakaian
    [3] Thantaway dalam Kamus istilah Bimbingan dan Konseling, 2005:87. Dikutip oleh Haryanto, Pengertian Kepercayaan Diri, 2010.
    [4] Loekmono, 1983, dikutip oleh Sari Siahaan dalam Academia.edu
    [5] Keyyissah, 2012.
    [6] Haryanto, Pengertian Kepercayaan Diri, 2010.
    [7] Thantaway, dikutip dari 6 Langkah Mudah Meraih Percaya Diri Yang Dijamin Berhasil. 2012. [8] Abraham Maslow, psikolog humanistik, dikutip oleh Haryanto, 2010.
    [9] Kaiser, S. B. (1990). The Social Psychology of Clothing: Symbolic Appearances in Context [10] Rubin, Palmgreen, & Sypher dalam buku Pengantar Teori Komunikasi analisis dan aplikasi, 1994
    [11] J.Supranto, hal 322,2003.
    [12] J.Supranto, hal 156, 2003.
    [13] J.Supranto, hal 156, 2003

    Label: Paper, Tugas
    Diposting oleh Kaze Hikari di 00.10.00