Blog

  • Laporan Praktikum Dasar-Dasar Ilmu Tanah – Pengamatan Tanah Dengan Indra

    Pengamatan Tanah Dengan Indra

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Warna tanah merupakan ciri tanah yang paling jelas dan mudah ditentukan di lapang. Warna tanah mencerminkan beberapa sifat tanah. Kandungan bahan organic yang tinggi akan menimbulkan warna lebih gelap. Tanah dengan drainase yang jelek atau sering jenuh air berwarna kelabu. Tanah yang mengalami dehidratasi senyawa besi berwarna merah.

    Selain itu, untuk membedakan antara tanah yang satu dengan yang lainnya, dapat diamati pula dari tekstur, struktur dan konsistensi tanah. Hal ini sangat bermanfaat agar para  praktikan dapat mudah mengenali berbagai macam jenis tanah. Di Indonesia sendiri bentuk struktur tanah yang umum dijumpai yaitu gumpal, tiang dan kersai. Manfaat dari pengenalan jenis tanah ini bagi bidang pertanian yaitu sebagai landasan dalam pengambilan keputusan untuk bercocok tanam.

    Masing-masing tanah memiliki ciri khasnya masing-masing. Sehingga tanaman yang dapat tumbuh di tanah tersebut juga berbeda antar satu sama lain. Umumnya, tanaman akan tumbuh baik di daerah yang tanahnya gembur, aerasi dan drainasenya baik, serta mengandung banyak unsur hara. Namun, keadaan yang ekstrem dapat membuat tanaman mati atau tidak tumbuh dengan maksimal.  

    B. Tujuan

    1. Menentukan warna dasar beberapa jenis tanah dengan menggunakan buku Munsell Soil Color Chart.
    2. Menetapkan tekstur beberapa jenis contoh tanah secara kualitatif.
    3. Mengamati struktur beberapa jenis contoh tanah yang meliputi bentuk struktur, kelas struktur, dan derajat struktur.
    4. Menetapkan konsistensi berbagai jenis contoh tanah dalam keadaan basah, lembab, dan kering.

    Bab II. Kajian Pustaka

    Tanah sebagai salah satu unsur habitat perlu diketahui kapasitas kemampuannya jika kita hendak melakukan pertanaman pada tanah itu. untuk mengetahui kapasitas kemampuan itu perlu dilakukan penelitian-penelitian denagn cara analisa (penguraian) terhadap tubuhnya. Analisa  itu bertujuan untuk mengungkapkan :

    1. Khuluk (nature) tanah.
    2. Sifat-sifat (properties) tanah.
    3. Tabiat atau perilaku (behaviour) tanah (Sutedjo,2004).

    Warna tanah ditentukan dengan membandingkan tanah-tanah dengan warna baku yang terdapat dalam buku “Munsell Soil Color Chart”. Dalam warna buku ini warna disusun oleh tiga variable yaitu : hue, value, chroma. Hue adalah warna spectrum yang dominan sesuai dengan panjang gelombangnya. Value menunjukkan gelap terangnya warna, sesuai dengan banyaknya sinar yang dipantulkan. Chroma adalah menunjukan kemurnian atau kekuatan dari warna spectrum. Hue menunjukan warna-warna utama tanah yaitu merah (red), kuning (yellow), hijau (G), da coklat (B). Value dibedakan dari 0-8, dimana makin tinggi valuemenunjukkan warna makin terang (makin banyak sinar yang dipantulkan). Chroma juga dibagi dari 0-8 yang menunjukkan warna spectrum makin meningkat ( Subagyo, 1970).

    Tekstur tanah adalah perbandingan relatife dari fraksi pasir, debu dan liat dalam satu bagian tanah. Tekstur tanah kaitannya penting dengan pergerakan udara dan air dalam tanah dan proses pelapukan bahan organik (Supriyadi, 2007).

    Struktur menunjukkan kombinasi atau susunan partikel-partikel tanah primer (pasir, debu, dan liat) sampai pada partikel-partikel sekunder atau ped disebut juga agregrat. Unit ini dipisahkan dari unit gabungan atau karena kelemahan permukaannya. Struktur suatu horizon yang  berbeda satu profil taing tanah, merupakan satu ciri penting tanah, seperti warna, tekstur, dan komposisi kimia (Saifudin, 1986).

    Konsistensi tanah ialah istilah yang berkaitan sangat erat dengan kandungan air dan menunjukkan manifestasi gaya-gaya fisika yakni kohesi dan adhesi yang bekerja dalam tanah pada kandungan air yang berbeda-beda (Hakim, et al, 1986).

    Bab III. Metode Praktikum

    A. Alat dan Bahan

    Praktikum ini banyak menggunakan fungsi panca indera untuk mengetahui warna, tekstur, struktur, dan konsistensi tanah. Selain itu, praktikan juga membutuhkan buku Munsell Soil Color Chart untuk mengklarifikasi warna tanah. Penggaris dibutuhkan untuk menentukan kelas struktur contoh tanah.

    Bahan dasar yang digunakan yaitu contoh tanah dari berbagai jenis tanah. Contoh tanah yang digunakan sebaiknya masih dalam bentuk agregat. Sebaiknya praktikan menyiapkan contoh agregat tanah dalam jumlah cukup banyak.

    B. Prosedur Kerja

    1.  Warna Tanah

    1. Contoh tanah yang masih kering diberi air secukupnya agar menjadi lembab.
    2. Tanah yang sudah lembab itu dibentuk gumpalan dan diletakkan di bawah lubang buku Munsell Soil Color Chart. Tanah dicocokkan warnanya dengan warna yang ada pada buku. Pengamatan tidak boleh dilakukan di bawah sinar matahari.
    3. Setelah itu, dicatat nilai hue, value, dan chroma untuk mengetahui notasi dan warna tanah.

    2. Tekstur Tanah

    1. Tanah dibentuk menjadi bulat kira-kira sebesar kelereng.
    2. Lalu, tanah dibasahi dengan air agar mudah ditekan.
    3. Contoh tanah dipijit dan dipilin membentuk benang sambil dirasakan kasar-halusnya.
    4. Jika :
      • Bentukan benang mudah dan membentuk pita panjang, maka kemungkinan besar teksturnya liat.
      • Pilinan tanah mudah patah, maka kemungkinan tekstur tanahnya lempung berliat.
      • Tidak membentuk benang, kemungkinan teksturnya lempung berpasir. Jika terasa lembut dan licin, berarti lempung berdebu. Jika terasa kasar, maka kemungkinan lempung berpasir.

    3. Struktur Tanah

    1. Tanah yang masih berbentuk agregat dijatuhkan dari ketinggian tertentu sehingga bongkah tanah akan pecah alami.
    2. Hasil pecahan diamati dan diklarifikasi bentuk strukturnya
    3.  Pecahan tanah menjadi agregat mikro (ped) digunakan untuk menentukan kelas struktur.
    4. Ped yang diamati dijatuhkan kembali dari ketinggian tertentu untuk mengetahui derajat struktur tanah.

    4. Konsistensi Tanah

    1. Contoh tanah yang akan diamati dibagi menjadi tiga bagian.
    2. Bagian pertama dibiarkan tetap kering, bagian kedua ditetesi dengan sedikit air agar menjadi lembab, dan bagian ketiga ditetesi dengan air hingga menjadi basah.
    3. Masing- masing bagian diamati dengan cara dipijit dengan ibu jari dan jari telunjuk. Pada kondisi basah, poin yang diamati yaitu tingkat kelekatan dan keliatan tanah. Kondisi lembab digunakan untuk menentukan tingkat kegemburan tanah. Sedangkan kondisi kering untuk mengetahui tingkat kelunakan/kekerasan tanah.

    Bab IV. Hasil dan Pembahasan

    A. Hasil

    1.      Warna dengan Tekstur

    NoJenis TanahWarna TanahTekstur Tanah
    Notasi WarnaNama Warna
    1Vetrisol7,5 YR 3/4Dark BrownLempung Berliat
    2Inseptisol7,5 YR 5/4BrownLempung Berpasir
    3Andisol7,5 YR 3/4Dark BrownLempung Berdebu
    4Entisol10 YR 4/6Dark Yellowish BrownLempung Berliat
    5Ultisol10 YR 3/4Very Dark GreyLiat

    2.      Struktrur

    NoJenis TanahStruktur Tanah
    TipeKelasDerajat
    1InceptisolGumpalKasar2
    2EntisolRemahSangan Kasar2
    3AndisolGumpalKasar2
    4UltisolGumpalSedang3
    5VertisolPejal3

    3.      Konsistensi

    NoJenis TanahKonsistensi BasahKonsistensi LembabKonsistensi Kering
    KelekatanKeliatan
    1InseptisolSSPsVfh
    2AndisolSSP0Vfsh
    3VertisolSP0Vteh
    4EntisolSSPsVfS
    5UltisolSSP0Vteh

    B. Pembahasan

    Pengenalan sifat fisik tanah dapat dilakukan dengan indera manusia. Sifat fisik tanah yang dapat dengan mudah diamati diantaranya :

    1.      Warna Tanah

    Warna tanah merupakan salah satu sifat fisika tanah yang mudah dikenali dan nyata. Warna tanah merupakan petunjuk untuk  beberapa sifat tanah karena warna tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor yang terdapat dalam tanah tersebut. Warna tanah yang nyata, dapat digunakan sebagai suatu ukuran langsung. Penyebab perbedaan warna permukaan tanah umumnya oleh perbedaan kandungan bahan organic. Makin tinggi kandungan bahan organic, warna tanah akan semakin gelap (Foth, 1988).

    Warna tanah dipengaruhi oleh empat jenis bahan, yaitu senyawa-senyawa besi, senyawa mangan dan magnesium, kuarsa dan feldspar, dan bahan organik. (Rajamudin, 2009). Bahan organik merupakan sebuah bahan utama pewarnaan tanah yang tergantung pada keadaan alaminya, jumlah dan penyebaran dalam profil tanah tersebut. Di lapisan bawah, dimana kandungan bahan organik umumnya rendah, warna tanah banyak dipengaruhi oleh bentuk dan banyaknya senyawa Fe yang didapat. Di daerah berdrainase buruk, yaitu daerah yang selalu tergenang air, seluruh tanah berwarna abu-abu. Karena senyawa Fe terdapat dalam keadaan reduksi (Fe3+) misalnya dalam senyawa Fe2O(hematif) yang berwarna merah, atau Fe2O3.3H2O (limonit) yang berwarna kuning kecoklatan. Bila tanah kadang-kadang basah dan kadang-kadang kering, maka disamping warna abu-abu ( daerah yang tereduksi) didapat pula bercak-bercak karatan merah atau kuning yaitu ditempat-tempat dimana udara dapat masuk sehingga terjadi oksidasi besi ditempat tersebut. Beberapa jenis mineral seperti kuarsa dapat menyebabkan warna tanah menjadi lebih terang (Hardjowigeno, 2010).

    Hubungan warna tanah dengan kandungan bahan organik di daerah tropika sering tidak searah dengan didaerah beriklim sedang. Tanah-tanah merah di Indonesia banyak yang mempunyai kandungan bahan organik lebih dari satu persen, sama dengan kandungan bahan organik tanah hitam (mollisol) di daerah beriklim sedang. Warna tanah ditentukan dengan membandingkan tanah-tanah dengan warna baku yang terdapat dalam buku “Munsell Soil Color Chart”. Dalam  buku ini warna disusun oleh tiga variable yaitu : hue, value, chroma. Hue adalah warna spectrum yang dominan sesuai dengan panjang gelombangnya. Value menunjukkan gelap terangnya warna, sesuai dengan banyaknya sinar yang dipantulkan. Chroma adalah menunjukan kemurnian atau kekuatan dari warna spectrum. Hue menunjukan warna-warna utama tanah yaitu merah (red), kuning (yellow), hijau (G), dan coklat (B). Value dibedakan dari 0-8, dimana makin tinggi value menunjukkan warna makin terang (makin banyak sinar yang dipantulkan). Chroma juga dibagi dari 0-8 yang menunjukkan warna spectrum makin meningkat ( Subagyo, 1970).

    2.      Tekstur Tanah

    Tekstur tanah adalah perbandingan relatife dari fraksi pasir, debu dan liat dalam satu bagian tanah. Tekstur tanah kaitannya penting dengan pergerakan udara dan air dalam tanah dan proses pelapukan bahan organik (Supriyadi, 2007). Tekstur tanah biasa juga disebut besar butir tanah, termasuk salah satu sifat tanah yang paling sering ditetapkan. Hal ini disebabkan karena tekstur tanah berhubungan erat dengan pergerakan air dan zat terlarut, udara, pergerakan panas, berat volume tanah, luas permukaan spesifik (specific surface), kemudahan tanah memadat (compressibility), dan lain-lain (Hillel, 1982). Tekstur tanah dibedakan menjadi tiga kelas tekstur utama yaitu tekstur pasir (sand), geluh(loam) dan lempung (clay) (Utomo, 1985 dalam Husodo, 2006). Tanah dikatakan bertekstur pasir bila kandungan pasirnya lebih dari 70%. Tanah dikatakan bertekstur lempung bila kandungan lempungnya lebih dari 35%. Tanah bertekstur geluh merupaka peralihan dari tanah pasir dan lempung, sehingga mempunyai kemampuan menahan air dan unsur-unsur hara cukup baik dan mudah diolah.

    3.      Struktur Tanah

    Struktur menunjukkan kombinasi atau susunan partikel-partikel tanah primer (pasir, debu, dan liat) sampai pada partikel-partikel sekunder atau ped disebut juga agregrat. Unit ini dipisahkan dari unit gabungan atau karena kelemahan permukaannya. Struktur suatu horizon yang  berbeda satu profil tanah, merupakan satu ciri penting tanah, seperti warna, tekstur, dan komposisi kimia (Saifudin, 1986). Struktur tanah yang baik adalah struktur tanah yang dapat memper tahankan kemantapan agregat terhadap perubahan kelembaban tanah yang mendadak dari curah hujan. Struktur tanah yang baik adalah struktur tanah yang didalamnya terdapat penyebaran pori yang baik yaitu terdapat ruang pori di dalam dan diantara agregat yang diisi air dan udara dan sekaligus mantap keadaannya. Kegemburan tanah adalah satu dari beberapa karakteristik penting tanah yang mengambarkan hasil olahan tanah (Wirosoedarmo,2005).

    4.      Konsistensi Tanah

    Konsistensi tanah ialah istilah yang berkaitan sangat erat dengan kandungan air dan menunjukkan manifestasi gaya-gaya fisika yakni kohesi dan adhesi yang bekerja dalam tanah pada kandungan air yang berbeda-beda. Konsistensi tanah tergantung pada tekstur, sifat dan jumlah koloid-koloid inorganik dan organik, struktur dan terutama kandungan air tanah. Berkurangnya kandungan air tanah mengakibatkan tanah kehilangan sifat lekatnya, plastisnya, gemburnya, dan akhirnya jika kering menjadi keras dan kohern (Hakim, et al, 1986).

    Istilah-istilah yang biasa digunakan untuk mengetahui kadar konsistensi tanah pada kandungan air yang berbeda adalah :

    a.       Kelekatan, dengan ciri tanah dapat melekat atau menempel pada benda-benda yang mengenainya.

    b.      Liat, menunjukkan sifat yang mempunyai kemampuan dapat dengan mudah diubah-ubah bentuknya.

    c.       Konsistensi lembab, dicirikan dengan tanah yang gembur.

    d.      Konsistensi kering, dicirikan dengan  kerasnya tanah.  

     Pengungkapaan khuluk, sifat dan tabiat atau perilaku tanah dapat dengan cara kuantitatif dan kualitatif. Analisa kuantitatif membantu praktikan dalam menyampaikan watak tanah tertentu dalam bentuk seperangkat angka. Aplikasi yang biasa digunakan yaitu untuk menyajikan kadar lengas tanah dan lempung. Namun, beberapa perwatakan tanah ada yang hanya dapat di ungkapkan secara kualitatif, misalnya unit-unit struktur dan konsistensi. Pengamatan gejala-gejalanya menghasilkan perwatakan kualitatif (Sutedjo, 2004).

    Setelah melakukan pengamatan, ternyata sifat fisik masing-masing tanah berbeda secara spesifik. Kebanyakan dari contoh tanah bertekstur lempung berliat. Hal ini dikarenakan saat memilin tanah lembab hasil pilinannya mudah patah. Hal ini selaras dengan uji konsistensi basahnya. Sebagian besar tanah yang diamati bersifat agak lekat (sligtly sticky). Sifat lekat tersebut dikarenakan adanya kandungan lempung dalam tanah.

    Bab V. Penutup

    A. Kesimpulan

    1. Sifat fisik tanah yang dapat dengan mudah diamati oleh indera yaitu warna, tekstur, struktur, dan konsistensi tanah.
    2. Warna tanah dapat langsung terlihat. Semakin banyak kandungan bahan organik dalam tanah, warna tanah semakin gelap.
    3. Tekstur tanah dipengaruhi oleh persentase fraksi-fraksi penyusun tanah yang meliputi pasir, debu, dan liat.
    4. Struktur merupakan kombinasi dari ketiga fraksi tanah yang kemudian membentuk agregat tanah.
    5. Kadar konsistensi tanah berhubungan erat dengan kandungan air dalam tanah dan senyawa-senyawa kimia yang ada dalam tanah.

    B. Saran

     Praktikan terkadang menemui kesulitan dalam menentukan derajat struktur tanah pada suatu contoh tanah. Maka dari itu, perlu adanya demo dari asisten terkait ciri-ciri dalam menentukan derajat struktur tanah.

    DAFTAR PUSTAKA

    Foth, Henry D. 1988. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

    Hakim, et al. 1986. Dasar Dasar Ilmu Tanah. Jakarta : Universitas Lampung.

    Hardjowigeno, S. 2010. Ilmu Tanah. Jakarta : Akapress.

    Husodo, Badiono. 2008. Hubungan Keanekaragaman Meso-Makrofauna Tanah dengan Sifat-sifat Fisika dan Kimia Tanah pada Tiga Zona Taman Nasional Meru Betiri. Skripsi. Fakultas Pertanian, Universitas Jember. Jember.

    Rajjamudin, U. 2009. Kajian Tingkat perkembangan Tanah pada Lahan Persawahan di Desa Kaluku Tinggu Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah.

    Subagyo, 1970.  Dasar-Dasar Ilmu Tanah II.  PT.  Soeroengan : Jakarta.

    Supriyadi, Slamet. 2007. Kesuburan Tanah di Lahan Kering Madura. Embriyo. Vol. 4.2:124-132.

    Sutedjo, Mul Mulyani. 2004. Analisis Tanah, Air, dan Jaringan Tanaman. Jakarta : Rineka Cipta

    .

  • Lapporan Praktikum Dasar-Dasar Ilmu Tanah – Pengenalan Profil Tanah

    Pengenalan Profil Tanah

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Tanah adalah lapisan terluar bumi yang memilki lapisan-lapisan (horizon). Horizon tanah terdiri dari horizon O, A, B, dan C. Lapisan tanah ini terbentuk karena proses yang terjadi dalam pembentukan tanah. Pada dasarnya tanah terbentuk dari dari lapisan batuan yang paling besar (bahan induk) menjadi partikel yang lebih kecil (pasir, debu dan liat).

    Selain itu kandungan tanah yang ada dipengaruhi oleh bahan mineral dan penambahan bahan-bahan organik yang berasal dari proses terbentuknya tanah. Kandungan tanah membuat tanah ini memiliki ciri-ciri yang dapat diperhatikan secara lansung (morfologi) seperti warna, bentuk dan batasan-batasan. Tanah lapisan atas warnanya lebih gelap (hitam) dibanding tanah lapisan bawah yang berwarna terang (abu-abu atau kebiruan).

    Profil tanah merupakan penampang tegak tanah yang memperlihatkan berbagai lapisan tanah. Pengamatan profil sangat penting dalam mempelajari sifat-sifat tanah secara cepat dilapangan, terutama yang berkaitan dengan genetis dan klasifikasi tanah. Sidik cepat beberapa sifat fisik, kimia dan biologi tanah juga biasanya dilakukan dengan bersamaan dan merupakan bagian pengamatan profil tanah. Evaluasi terhadap sifat-sifat tanah ini kemudian dilanjutkan secara lebih rinci di laboratorium dengan menggunakan contoh tanah.

    Perkembangan tanah dicirikan oleh terjadinya diferensiasi horizon sebagai wakil proses pedogen baik fisik, kimia dan biologi yang oleh reaksi dalam profil tanah terjadi penambahan bahan organik dan mineral berupa bahan padatan, cair atau gas, menghilangnya bahan diatas tanah, alih tempat bahan dari satu bagian ke bagian lain dalam tubuh tanah, alih rupa senyawa mineral dan bahan organik di dalam tubuh tanah.

    B. Tujuan

    1. Mengetahui profil tanah dan menentukan lapisan-lapisan tanah beserta kedalamannya.
    2. Menentukan kejelasan batas horison tanah.
    3. Menentukan bentuk topografi tiap horison tanah.
    4. Mengetahui kandungan bahan organik dan senyawa Ca pada tiap lapisan tanah.
    5. Menentukan warna, tekstur, struktur, dan konsisten masing-masing lapisan tanah.

    Bab II. Kajian Pustaka

    Tanah merupakan hasil evolusi dan mempunyai susunan teratur yang unik yang terdiri dari lapisan-lapisan atau horison-horison yang berkembang secaragenetik. Proses-proses pembentukan tanah atau perkembangan horison dapatdilihat sebagai penambahan, pengurangan, perubahan atau translokasi. Tanamandan hewan memperoleh lingkungan pada semua jenis tanah, menjdai bagian dari bahan organik. Dalam semua jenis tanah mineral-mineral menahan mineral-mineral sekunder dan campuran lainnya dengan pembentukan serentak dandengan berbagai macvam daya larutnya yang padat dipindahkan dari satu horisonmelewati dan memindahkan bahan-bahan yang dapat larut. Kebanyakan jenistanah mendapat tambahan debu, abu vulkanik atau sedimen-sedimen hasil kikisantanah-tanah di bagian yang lebih tinggi. (Foth, 1988).

    Profil tanah merupakan penampang vertikal tanah yang terdiri atas horizon-horizon atau lapisan-lapisan tanah, yang dibedakan atas solum (horizon A dan B), bahan induk (horizon C) dan batuan induk (R, singkatan dari rock). Pada tanah-tanah yang ditumbuhi vegetasi lebat (misalnya hutan, padang rumput dan lain-lain) di atas horizon A seringkali dijumpai horizon O. Solum tanah (horizon A dan B) adalah bagian profil tanah yang terbentuk akibat proses pembentukan tanah (pedogenik) (Rayes, 2006).

    Solum tanah merupakan bagian dari profil tanah dengan jeluk tertentu yang berkembang akibat proses pembentukan tanah yang dapat meliputi horizon A dan horizon B. Horizon A merupakan horizon mineral di permukaan tanah dan horizon B adalah horizon yang terbentuk di bawah horizon A. Kedalaman solum tanah sangat tergantung dari keadaan lingkungan dimana tanah itu terbentuk dan sebagai akibat saling tindak antara faktor dan proses pembentukan tanah yang bersangkutan (Rajjamudin,2009).

    Bab III. Metode Praktikum

    A. Alat dan Bahan

    Pada pengenalan profil tanah alat-alat yang digunakan yaitu bor tanah, abney level (clinometer) untuk mengukur kemiringan tanah, kompas, altimeter, pH saku, botol semprot, meteran, bilah bambu, belati, dan alat tulis. Sedangkan untuk menentukan warna tanah menggunakan buku Munsell Soil Color Chart. Agar memudahkan praktikan dalam mengamati profil tanah dibutuhkan buku pedoman pengamatan di lapang dan daftar isian profil tanah.

    Bahan yang digunakan untuk menguji kandungan bahan organik dalam tanah yaitu larutan H2O2 3 %. Sedangkan larutan HCl 10 % digunakan untuk mengetahui kandungan senyawa Ca dalam tanah. Pada pengamatan warna, tekstur, struktur, dan konsistensi, dibutuhkan sedikit air untuk membasahi tanah.

    B. Prosedur Kerja

    1. Mula-mula lokasi yang akan diamati profil tanahnya dibor dengan kedalaman 1 m. Pembuatan lubang dilakukan di dua atau tiga titik yang masing-masing berjarak 1m antar titiknya.
    2. Kemudian lokasi tanah tersebut digali sehingga membentuk profil tanah dengan ukuran panjang 2 m, lebar 1,5 m, dan kedalamn 1,5 m. Bidang pengamatan profil tanah sebaiknya dilengkapi dengan tangga untuk mempermudah praktikan turun.
    3. Setelah praktikan turun, hal pertama yang dilakukan adalah menentukan tebal  horison beserta batasnya. Perbedaan setiap horison dapat ditandai dengan adanya perbedaan warna dan perbedaan tingkat kekerasan saat profil tanah ditusuk-tusuk menggunakan belati dengan tekanan konstan.
    4. Setiap horison diberi tanda menggunakan sebilah bambu. Setelah mendapatkan batas-batas tersebut, setiap horison ditusuk-tusuk kembali secara vertikal untuk mengetahui kejelasan batas horison.
    5. Bentuk topografi setiap horison baru dapat diketahui setelah profil tanah ditusuk-tusuk secara horisontal.
    6. Masing-masing horison diambil contoh tanahnya untuk diamati warna, tekstur, struktur, dan konsistensinya. Selain itu, masing-masing contoh tanah diteliti juga kandungan bahan organik dan senyawa Ca-nya.
    7. Faktor sekeliling tanah juga perlu diamati oleh praktikan, salah satunya yaitu perakaran yang ada pada profil tanah.

    Bab IV. Hasil dan Pembahasan

    A. Hasil

    Nomor Lapisan12345
    Dalam lapisan (cm)2421163520
    Simbol lapisanOA1A2BC
    Batas lapisandgccg
    Batas topografiwwiwi
    Warna tanah (matriks)10 YR ¾Dark Yellow7,5 YR ¾Dark Brown7,5 YR ¾Dark Brown10 YR 4/6Dark Yellow10 YR3/6Yellowish Brown
    Tekstur tanahClClclclcl
    Struktur tanah2, c2, m2, c2, m1, f
    KonsistensiB : ss, -L : vfK : sB : ss, psL : fK : shB : ss, p0L : vfK : sB : ss, -L : vfK : sB : ss, p0L : vtK : vh
    pH tanah (lapang)555,575
    Reaksi terhadap HCl+1+1+1+1
    Reaksi terhadap H2O2+1+1+1+1
    PerakaranHalus Banyak  : 150 cmKasar Sedikit   : 150 cm

    B. Pembahasan

     Profil tanah ialah penampang tegak/vertikal tanah di mulai dari permukaan tanah sampai lapisan induk bawah tanah.  Solum tanah adalah penampang tanah di mulai dari horizon A hingga horizon B.  Terdapat horizon-horizon pada tanah-tanah yang memiliki perkembangan genetis menyugestikanbahwa beberapa proses tertentu, umumnya terdapat dalam perkembangan pembentukan profil tanah(Gobenhog.1994 ).

    Kedalaman solum tanah sangat tergantung dari keadaan lingkungan dimana tanah itu terbentuk dan sebagai akibat saling tindak antara faktor dan proses pembentukan tanah yang bersangkutan. Secara lebih rinci, proses tersebut meliputi (a) gleisasi dan iluviasi, (b) pembentukan karatan besi dan mangan, (c) pembentukan warna kelabu (grayzation), (d) pembentukan lapisan tapak bajak, (e) pembentukan selaput (cutan), (f) penyebaran kembali basa-basa, dan (g) akumulasi dan dekomposisi bahan organic (Rajjamudin, 2009).

    Bahan organik merupakan sebuah bahan utama pewarnaan tanah yang tergantung pada keadaan alaminya, jumlah dan penyebaran dalam profil tanah tersebut. Dilapisan bawah, dimana kandungan bahan organic umumnya rendah, warna tanah banyak dipengaruhi oleh bentuk dan banyaknya senyawa Fe yang didapat. Didaerah berdrainase buruk, yaitu daerah yang selalu tergenang air, seluruh tanah berwarna abu-abu. Karena senyawa Fe terdapat dalam keadaan reduksi (Fe3+) misalnya dalam senyawa Fe2O(hematif) yang berwarna merah, atau Fe2O3.3H2O (limonit) yang berwarna kuning kecoklatan. Bila tanah kadang-kadang basah dan kadang-kadang kering, maka disamping warna abu-abu ( daerah yang tereduksi) didapat pula bercak-bercak karatan merah atau kuning yaitu ditempat-tempat dimana udara dapat masuk sehingga terjadi oksidasi besi ditempat tersebut. Beberapa jenis mineral seperti kuarsa dapat menyebabkan warna tanah menjadi lebih terang (Hardjowigeno, 1992).

    Hubungan warna tanah dengan kandungan bahan organik didaerah tropika sering tidak searah dengan didaerah beriklim sedang. Tanah-tanah merah di Indonesia banyak yang mempunyai kandungan bahan organik lebih dari satu persen, sama dengan kandungan bahan organik tanah hitam (mollisol) didaerah beriklim sedang.

    Analisis kadar kapur tanah (Ca) secara kualitatif atau yang biasa dilakukan di lapangan yaitu meneteskan contoh tanah dengan larutan HCl. Apabila tanah mengandung kapur maka akan terjadi reaksi atau pembuihan. Semakin banyak kandungan kapur dalam tanah maka reaksi yang terjadi semakin besar atau hebat (Hanafiah, 2005). Bahan organik merupakan akumulasi seresah tumbuhan dan hewan yang telah mati dan telah terombakkan oleh jasad hidup tanah. Penentuan jumlah bahan organik secara kualtatif yaitu dengan mengamati banyaknya percikan atau buih yang timbul setelah massa tanah ditetesi dengan H2O2.

    Pada masing-masing lokasi profil yang sudah ditentukan, kemudian dibuat profil tanah dengan ukuran 1×1,5 m dengan kedalaman 1,5 m, kecuali untuk profil yang dangkal adalah sampai batas batuan yang ada di bawahnya, atau sampai batas air tanah untuk profil yang mempunyai air dangkal. Pada masing-masing profil tanah tersebut dilakkan deskripsi profil. Parameter morfologi tanah yang diamati, yaitu horizon (jenis, kedalaman, batas), tekstur,struktur, konsistensi, warna, kutan lempung, konkresi/ motling, perakaran, rekahan (cracking), dan bebatuan. (Wiyono,dkk, 2006).

    Pengamatan yang dilakukan oleh praktikan pada profil tanah yang diamati menunjukkan bahwa tanah tersebut memiliki lima lapis horizon tanah yang meliputi horizon O, horizon A1, horizon A2, horizon B, dan horizon C. Penusukan pada profil menggambarkan batas lapisan pada tiap horizon. pH rata-rata dari masing-masing lapisan yaitu 5-7. Hal ini menunjukkan sifat tanah yang masam. Selain karena banyaknya vegetasi yang ada di sekitar tanah, keadaan asam juga disebabkan air hujan yang mengenai profil tanah.

    V.                KESIMPULAN DAN SARAN

    A.    Simpulan

    1.      Profil tanah merupakan penggambaran lapisan tanah secara langsung.

    2.      Horizon-horizon yang terbentuk dalam tanah menggambarkan perkembangan tanah yang terjadi.

    B.     Saran

     Sebaiknya praktikum dilakukan dihari yang cerah. Profil tanah yang akan diamati juga sebaiknya tidak terkena hujan atau sinar matahari langsung. Hal tersebut dapat membuat pengamatan menjadi kurang akurat.

    DAFTAR PUSTAKA

    Foth D. Henry. 1988. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

    Hanafiah, Kemas Ali, 2009, Dasar-dasar Ilmu Tanah, Rajawali pers, Jakarta.

    Hardjowigeno, S. 2010. Ilmu Tanah. Jakarta : Akapress.

    Rajjamudin, U. 2009. Kajian Tingkat perkembangan Tanah pada Lahan Persawahan di Desa Kaluku Tinggu Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah.

    Rayes, M. Luthfi. 2006. Deskripsi Profil Tanah di Lapangan. Malang : Unit Penerbitan fakultas Pertanian Universitas Brawijaya.

  • Laporan Praktikum Genetika Tumbuhan – Teori Kemungkinan

    Praktikum Teori Kemungkinan

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Terbentuknya individu hasil perkawinan yang dapat dilihat dalam wujud fenotip, pada dasarnya hanya merupakan kemungkinan – kemungkinan pertemuan gamet jantan dan gamet betina. Keturunan hasil suatu perkawinan atau persilangan tidak dapat dipastikan begitu saja, melainkan hanya diduga berdasarkan peluang yang ada. Sehubungan dengan itu, peranan teori kemungkinan sangat penting dalam mempelajari genetika.

    Apabila seseorang ingin mengevaluasi suatu hipotesis genetik maka diperlukan suatu uji yang dapat mengubah deviasi – deviasi dari nilai – nilai yang diharapkan menjadi probabilitas dari ketidaksamaan demikian yang terjadi oleh peluang. Uji ini harus pula memperhatikan besarnya sampel dan jumlah peubah ( derajat bebas ). Uji ini dikenal sebagai uji X2 ( Chi Square Test ).

    Praktikum ini akan memperagakan secara sederhana penggunaan teori kemungkinan dan uji X2 dengan tingkat kepercayaan tertentu. Peragaan akan dilakukan dengan melihat pelemparan uang logam. Harapannya praktikan dapat berlatih mengunakan teori ini kembali untuk hasil persilangan yang sesunguhnya.

    B. Tujuan

    Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui uji X dan berlatih menggunakan uji X tersebut pada suatu persilangan.

    Bab II. Kajian Pustaka

    Menurut Suryo (2010), ada tiga dasar dalam teori kemungkinan, antara lain yaitu :

    1.      Kemungkinan atas terjadinya sesuatu yang diinginkan ialah sama dengan perbandingan antara sesuatu yang diinginkan itu terhadap keseluruhannya.

    2.      Kemungkinan terjadinya dua peristiwa atau lebih, yang masing-masing berdiri sendiri ialah sama dengan hasil perkalian dari besarnya kemungkinan untuk peristiwa-peristiwa itu.

    3.      Kemungkinan terjadinya dua peristiwa atau lebih, yang saling mempengaruhi ialah sama dengan jumlah dari besarnya kemungkinan untuk peristiwa-peristiwa itu.

    Nurgiyantoro, et. al. (2004) menyatakan bahwasannya Chi-kuadrat adalah teknik statistik yang digunakan untuk menguji probabilitas suatu kejadian, yang dilakukan dengan cara mempertentangkan antara frekuensi yang benar-benar terjadi atau frekuensi yang dapat diobservasi (O) dengan frekuensi yang diharapkan (E).

    Tes X2 dapat dinyatakan dengan rumus sebagai berikut :

    X = ∑ ( )

    e : hasil yang diramal/diharapkan (expected)

    d : deviasi/penyimpangan (deviation), yaitu selisih antara hasil yang diperoleh (observed) dan hasil yang diramal

    Perhitungan yang dilakukan nanti juga harus memperhatikan besarnya derajat kebebasan (degree of freedom), yang nilainya sama dengan jumlah fenotip dikurangi dengan satu (Suryo, 2010).

    Percobaan-percobaan persilangan secara teori akan menghasilkan keturunan dengan nisbah tertentu. Nisbah teoretis ini pada hakekatnya merupakan peluang diperolehnya suatu hasil, baik berupa fenotipe maupun genotipe. Sebagai contoh, persilangan monohibrid antara sesama individu Aa akan memberikan nisbah fenotipe A- : aa = 3 : 1 dan nisbah genotipe AA : Aa : aa = 1 : 2 : 1 pada generasi F2. Hal ini kemudian dapat disimpulkan bahwa peluang diperolehnya fenotipe A- dari persilangan tersebut adalah 3/4, sedangkan peluang munculnya fenotipe aa adalah 1/4. Begitu juga untuk genotipe peluang munculnya AA, Aa, dan aa masing-masing adalah 1/4, 2/4 (=1/2), dan ¼ (Surjadi, 1989).

    Uji X2 (Chi-kuadrat) menggunakan X tabel 5% atau 0,05 karena tingkat signifikan 5% atau 0,05 yang merupakan tingkat signifikan minimal pada percobaan di laboratorium. Semakin kecil angka taraf signifikansi maka semakin baik untuk penelitian atau semakin akurat, tetapi semakin kecil peluang untuk diterimanya pengujian. Taraf signifikansi diberi simbol α yang dinyatakan dalam proporsi atau persentase, sedangkan harga (1-α)100% disebut taraf  kepercayaan. Sebagai contoh, apabila kita menetapkan α sebesar 0,05 atau 5% berarti sama dengan menentukan taraf  kepercayaan sebesar (1-0,05)= 0,95 atau 95%  (Pollet,  1994).

    Bab III. Metode Praktikum

    A. Bahan dan Alat

    Bahan yang digunakan pada praktikum ini yaitu mata uang logam dan lembar pengamatan. Sedangkan alat yang digunakan antara lain : uang logam, kalkulator, dan alat tulis.

    B. Prosedur Kerja

    1. Satu keping uang logam dilempar ke atas, lalu dicatat hasilnya (angka atau gambar). Pelemparan dilakukan 50 kali dan 100 kali. Hasilnya dianalisis menggunakan uji X2.
    2. Hal yang sama dilakukan pada kasus 2 keping uang logam yang dilempar sekaligus serta kasus 3 keping uang logam yang dilempar sekaligus.
    3. Semua data dicatat pada lembar pengamatan.

    Bab IV. Hasildan Pembahasan

    A. Hasil

    Tabel Analisis Chi-Square (1)

    X2 tab : 3,84

    50 ×KarakteristikJumlah
    AG
    O272350
    E × 50 = 25 × 50 = 2550
    ((O – E) – 0,5) 22,252,254,5
    0,090,090,18
    X20,090,090,18

    Hipotesis :

    Jika X2 tab < X2 hasil = Hipotesis ditolak

    Jika X2 tab > X2 hasil = Hipotesis diterima

    Kesimpulan :

    X2 tab = 3,84 > X2 hasil = 0,18, maka hipotesis diterima.

    Tabel Analisis Chi-Square (2)

    X2 tab : 3,84

    100 ×KarakteristikJumlah
    AG
    O5743100
    E × 100 = 50 × 100 = 50100
    ((O – E) – 0,5) 242,2542,2584,5
    0,8450,8451,69
    X20,8450,8451,69

    Hipotesis :

    Jika X2 tab < X2 hasil = Hipotesis ditolak

    Jika X2 tab > X2 hasil = Hipotesis diterima

    Kesimpulan :

    X2 tab = 3,84 > X2 hasil = 1,69 , maka hipotesis diterima.

    Tabel Analisis Chi-Square (3)

    X2 tab : 5,99

    50 ×KarakteristikJumlah
    AAAGGG
    O14171950
    E12,52512,550
    ((O – E) – 0,5) 22,256442,25108,5
    0,182,563,386,12
    X20,182,563,386,12

    Hipotesis :

    Jika X2 tab < X2 hasil = Hipotesis ditolak

    Jika X2 tab > X2 hasil = Hipotesis diterima

    Kesimpulan :

    X2 tab = 5,99 < X2 hasil = 6,12, maka hipotesis ditolak.

    Tabel Analisis Chi-Square (4)

    X2 tab : 5,99

    100 ×KarakteristikJumlah
    AAAGGG
    O245719100
    E255025100
    ((O – E) – 0,5) 21493686
    0,040,981,442,46
    X20,040,981,442,46

    Hipotesis :

    Jika X2 tab < X2 hasil = Hipotesis ditolak

    Jika X2 tab > X2 hasil = Hipotesis diterima

    Kesimpulan :

    X2 tab = 5,99 > X2 hasil = 2,46, maka hipotesis diterima.

    Tabel Analisis Chi-Square (5)

    X2 tab : 7,82

    50 ×KarakteristikJumlah
    AAAAAGAGGGGG
    O31724650
    E6,2518,7518,756,2550
    ((O – E) – 0,5) 210,563,0627,560,0641,24
    1,680,161,460,00963,309
    X21,680,161,460,00963,309

    Hipotesis :

    Jika X2 tab < X2 hasil = Hipotesis ditolak

    Jika X2 tab > X2 hasil = Hipotesis diterima

    Kesimpulan :

    X2 tab = 7,82 > X2 hasil = 3,309, maka hipotesis diterima.

    Tabel Analisis Chi-Square (6)

    X2 tab : 3,84

    100 ×KarakteristikJumlah
    AAAAAGAGGGGG
    O739459100
    E12,537,537,512,5100
    ((O – E) – 0,5) 230,252,2556,2512,3101
    2,420,061,50,984,96
    X22,420,061,50,984,96

    Hipotesis :

    Jika X2 tab < X2 hasil = Hipotesis ditolak

    Jika X2 tab > X2 hasil = Hipotesis diterima

    Kesimpulan :

    X2 tab = 7,82 > X2 hasil = 4,96, maka hipotesis diterima.

    B. Pembahasan

    Kemungkinan peristiwa yang diharapkan ialah perbandingan dari peristiwa yang diharapkan itu dengan segala peristiwa yang mungkin terjadi terhadap suatu obyek ( Yatim, 1991). Teori kemungkinan juga dijelaskan oleh Spiegel (1995) dalam bukunya yang berjudul “Matematika Dasar”. Beliau mengemukakan bahwasannya probabilitas (atau dapat diartikan juga sebagai kemungkinan), merupakan perbandingan peristiwa yang diinginkan dengan seluruh kejadian. 

    Kemudian,  Suryo (2010) melaporkan bahwa ada tiga dasar dalam teori kemungkinan, antara lain yaitu :

    1. Kemungkinan atas terjadinya sesuatu yang diinginkan ialah sama dengan perbandingan antara sesuatu yang diinginkan itu terhadap keseluruhannya.
    2. Kemungkinan terjadinya dua peristiwa atau lebih, yang masing-masing berdiri sendiri ialah sama dengan hasil perkalian dari besarnya kemungkinan untuk peristiwa-peristiwa itu.
    3. Kemungkinan terjadinya dua peristiwa atau lebih, yang saling mempengaruhi ialah sama dengan jumlah dari besarnya kemungkinan untuk peristiwa-peristiwa itu.

    Adanya penerapan teori ini dapat memperkecil adanya kesalahan dalam melakukan suatu percobaan. Jika sebelumnya telah dilakukan analisis mengenai peluang kegagalan, maka hal tersebut akan mempermudah seseorang dalam mengambil suatu keputusan. Teori ini juga mengambil peranan penting di dunia genetika. Hal ini dikarenakan, dengan teori ini, seorang pemulia tanaman dapat memprediksi keberhasilan hasil persilangan yang dilakukannya agar menghasilkan varietas yang sesuai dengan harapan yang diinginkan. Seperti yang telah dilaporkan oleh Suryo (2010), bahwasannya  teori kemungkinan ikut mengambil peranan penting dalam ilmu genetika. Misalnya mengenai pemindahan gen-gen dari induk/orang tua ke gamet-gamet, pembuahan sel telur oleh spermatozoon, berkumpulnya kembali gen-gen di dalam zigot sehingga terjadi berbagai macam kombinasi.

    Uji Chi-kuadrat adalah pengujian hipotesis mengenai perbandingan antara frekuensi oservasi atau yang benar-benar terjadi (Fo) dengan frekuensi harapan/ekspektasi (Fe) yang didasarkan atas hipotesis tertentu. Secara umum, uji ini digunakan dalam penelitian untuk mencari kecocokan ataupun menguji ketidakadaan hubungan antara beberapa populasi. Uji Chi-kuadrat untuk mencari kecocokan digunakan untuk menguji apakah distribusi frekuensi yang diamati menyimpang secara signifikasi dari suatu distribusi frekuensi hipotesis atau yang diharapkan (Dwiwinarsih, 2009).

    Nurgiyantoro, et. al. (2004) juga menyatakan bahwasannya Chi-kuadrat adalah teknik statistik yang digunakan untuk menguji probabilitas suatu kejadian, yang dilakukan dengan cara mempertentangkan antara frekuensi yang benar-benar terjadi atau frekuensi yang dapat diobservasi (O) dengan frekuensi yang diharapkan (E).

    Masih menurut Nurgiyantoro, et. al. (2004) bahwasannya uji Chi-kuadrat digunakan untuk menguji perbedaan frekuensi data berskala nominal. Data yang berskala nominal akan mempertanyakan seberapa banyak atau seberapa sering suatu peristiwa muncul. Jadi, uji ini digunakan untuk mempertanyakan banyaknya sebuah frekuensi.

    Maka dari itu, uji ini biasanya digunakan untuk membandingkan suatu kejadian apakah hanya berifat kebetulan, atau secara signifikan memang berbeda dengan hipotesis awal atau hipotesis nol (Ho) nya. Seperti percobaan yang telah dilakuakan oleh Oktarisna, et. al. (2013) yang menguji kecocokan warna polong menggunakan metode Chi-kuadrat. Uji ini dilakukan untuk melihat besarnya nilai perbandingan data percobaan yang diperoleh dari persilangan yang telah dilakukan (tanaman buncis varietas introduksi dengan varietas lokal) dengan hasil yang diharapkan berdasarkan hipotesis secara teoritis (sesuai dengan Hukum Mendel). Hasilnya, keturunan F1 yang didapatkan dari hasil persilangan menunjukkan kesesuaian dengan perbandingan pada teori Mendel (penerimaan Ho).

    Selain uji Chi-kuadrat terdapat uji beda lain dalam ilmu statistik yaitu teknik t-tes. Menurut Nurgiyantoro, et. al. (2004), uji ini digunakan apabila data yang ada berupa data yang berskala interval. Umumnya uji ini dimaksudkan untuk menguji perbedaan rata-rata hitung di antara dua kelompok yang memiliki persyaratan tertentu untuk diteliti.

    Praktikum yang telah dilakukan menghasilkan data-data berupa data yang berskala nominal yakni hanya terbatas pada jumlah munculnya angka (A) dan gambar (G). Uji Chi-kuadrat di sini  ditujukan untuk mengetahui perbedaan frekuensi pemunculan angka (A) dan gambar (G). Meskipun uji t juga digunakan untuk menguji perbedaan,  namun tidak dapat digunakan untuk mengetahui frekuensi pemunculan angka (A) dan gambar (G).

    Uji Chi-kuadrat dilakukan dengan membandingkan nilai X hitung dengan X2 tabel. Dalam ilmu statistik, apabila nilai X2 hitung lebih besar dari pada X2 tabelnya maka hipotesis nol (Ho) ditolak. Namun, apabila X2 hitung lebih kecil dibandingkan dengan X2 tabelnya, maka hipotesis nol (Ho) diterima. Nyatanya, dalam ilmu genetika tumbuhan, uji Chi-kuadrat digunakan untuk mengetahui apakah hasil percobaan telah sesuai dengan teori. Seperti yang telah dilaporkan oleh Mangoendidjojo (2014), bahwa untuk mengadakan uji tingkat kesesuaian terhadap suatu hasil prcobaan maka digunakan uji Chi-kuadrat.

    Pokok bahasan ilmu genetika menjelaskan bahwasannya Ho berbunyi “Percobaan sesuai dengan teori.” Hal tersebut dikarenakan apabila nilai X2 hitung semakin kecil, maka tingkat kesalahannya pun akan semakin kecil, sedangkan nilai X2 tabel menjadi patokan nilai kesalahan yang masih dapat diterima atau ditoleransi. Jika nilai kesalahan pada percobaan telah melewati nilai X2 tabel, maka dapat dikatakan percobaan tersebut tidak dapat dipercaya kebenarannya atau dengan kata lain dikatakan gagal.

    Selain terdapat nilai X2 tabel, hal lain yang perlu diperhatikan pada saat menggunakan uji Chi-kuadrat yaitu taraf signifikansi yang digunakan. Taraf signifikansi merupakan taraf kesalahan yang mungkin ada pada suatu percobaan. Hal ini digunakan sebagai faktor koreksi agar data dari suatu percobaan masih dapat diterima kebenarannya. Umumnya, taraf signifikansi yang digunakan sebesar 5% dan 1%. Hal tersebut dapat diartikan bahwa tingkat galat atau eror yang dimiliki oleh data percobaan yakni sebesar 5% atau 1%.

    Faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya kesalahan pada percobaan ini sebagian besar disebabkan oleh kesalahan praktikan dalam melakukan percobaan. Kesalahan tersebut dapat dikarenakan adanya ketidakhomogenan alat yang digunakan serta perlakuan yang diberikan. Penting sekali untuk menggunakan alat yang homogen pada percobaan ini. Alat dan perlakuan yang homogen akan menunjukkan hasil dengan tingkat kesalahan yang kecil. Sehingga data dapat diterima kebenarannya. Diterimanya suatu hasil yaitu apabila nilai X2 hitung tidak melebihi X2 tabel pada taraf signifikansi yang dianjurkan.

    Kelompok 2 telah melakukan percobaan dengan melakukan pelemparan 1 koin mata uang yang pada masing-masing sisinya terdapat angka (A) dan gambar (G). Pelemparan dilakukan sebanyak 100 kali. Data observasi yang diperoleh setelah pelemparan tersebut yakni muncul angka (A) sebanyak 57 kali dan gambar (G) sebanyak 43 kali. Sedangkan angka harapan yang dimiliki oleh masing-masing sisi yaitu angka (A) dan gambar (G)  adalah 50.

    Kemudian dari data tersebut dimasukkan ke dalam pengujian Chi-kuadrat. Hasil pengujian menyatakan bahwa nilai X2 hitung = 1,69 ternyanya lebih kecil dibandingkan dengan X2 tabel = 3,84. Hal tersebut menandakan bahwa hasil percobaan telah sesuai dengan angka yang diharapkan atau dengan kata lain sesuai dengan teori. Meskipun pada hasil observasi tidak menunjukkan angka yang sama dengan harapan yang diinginkan, namun hasil percobaan tetap dapat diterima atau dikatakan masih sesuai dengan perbandingan angka yang diharapkan.

    Bab V. Penutup

    A. Kesimpulan

    1. Kemungkinan atau peluang merupakan perbandingan peristiwa yang diinginkan dengan seluruh kejadian.
    2. Teori peluang bermanfaat untuk mencegah terjadinya kegagalan. Adanya teori ini memungkinkan dilakukannya perencanaan terhadap hasil yang diinginkan.
    3. Uji Chi-kuadrat merupakan pengujian untuk mengetahui frekuensi munculnya suatu peristiwa. Uji ini juga digunakan untuk mengetahui tingkat kesesuaian suatu percbaan dengan hipotesis yang diharapkan.
    4. Uji Chi-kuadrat hanya dapat dilakukan pada data yang berbentuk nominal.

    B. Saran

    Sebaiknya dalam melakukan praktikum ini, praktikan memperhatikan kehomogenan alat dan bahan yang digunakan. Selain itu, praktikan juga harus memberikan perlakuan yang homogen terhadap setiap percobaan. Hal ini ditujukan agar tidak terjadi kesalahan dalam penghitungan dan penarikan kesimpulan.

    DAFTAR PUSTAKA

    Dwiwinarsih, Rina. 2009. Analisis Tingkat Kepuasan Konsumen terhadap Pelayanan Bakmi Aisy di Depok. Jurnal Ekonomi Manajemen. Fakultas Ekonomi Universitas Gunadarma Depok. 

    Mangoendidjojo, W. 2014. Genetika Populasi. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

    Nurgiyantoro, Burhan, Gunawan, dan Marzuki. 2004. Statistik Terapan.  Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

    Oktarisna, F. Amy, Andy Soegianto, dan Arifin N. Sugiharto. 2013. Pola Pewarisan Sifat Warna Polong pada hasil Persilangan Tanaman Buncis (Phaseolus vulgaris L.) Varietas Introduksi dengan Varietas Lokal. Jurnal Produksi Tanaman. Vol. 1. No. 2. Hlm. 81-89.

    Pollet. 1994. Penggunaan Metode Statistika Untuk Ilmu Hayati. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

    Spiegel, M. R. 1995. Matematika Dasar. Alih bahasa : Kasir Iskandar.  Erlangga, Jakarta.

    Surjadi. 1989. Pendahuluan Teori Kemungkinan Dan Statistika. Penerbit ITB, Bandung.

    Suryo. 2010. Genetika. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

    Yatim, W. 1991. Genetika. Tarsito, Bandung.

  • Laporan Praktikum Genetika Tumbuhan – Persilangan Monohibrid

    Praktikum Persilangan Monohibrid

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Persilangan antara dua indukan yang berbeda sifat akan menghasilkan anakan yang membawa sifat dari kedua indukan tersebut. Hal tersebut dapat terjadi karena pada saat persilangan, sel gamet pada tumbuhan jantan maupun betina sama-sama menyumbangkan setengah sifatnya dari pasangan alelnya. Kemudian, saat telah melakukan persilangan dapat ditemukan berbagai sifat anakan yang mungkin. Sifat anakan merupakan ekspresi yang keluar akibat sifat dari gen induknya yang saling bertemu.

    Suatu anakan biasanya akan condong pada sifat salah satu induknya. Hal tersebut menandakan bahwa indukan memiliki sifat dominan terhadap indukan lain. Namun ada juga yang anakannya merupakan gabungan dari sifat kedua indukan. Itu tandanya indukan bersifat intermediet atau semi dominan. Mendel menyadari hal tersebut dan akhirnya merumuskan kejadian-kejadian pada suatu persilangan dengan persamaan peluang sederhana.

    Teori Hukum Mendel sampai saat ini pun masih digunakan oleh banyak orang. Teori ini  mempermudah pendugaan sifat anakan yang mungkin terjadi jika melakukan persilangan antara dua indukan dengan sifat beda. Jika pada indukan hanya ditemukan satu sifat beda, maka persilangan tersebut merupakan persilangan monohibrid. Semakin banyak sifat beda yang dimiliki oleh kedua indukan, semakin banyak kemungkinan yang muncul. Maka peluang terjadinya suatu sifat anakan pun akan semakin kecil dibandingkan dengan persilangan monohibrid.

    Pada praktikum ini dilakukan pengujian Hukum Mendel I mengenai segregasi pada persilangan monohibrid dengan melakukan penanaman kedelai. Tanaman kedelai dipilih sebagai bahan praktikum karena tanaman ini termasuk tanaman berhari pendek. Selain itu, tanaman ini sudah mulai berkecambah kurang lebih pada umur 5-6 hari. Hal ini mempermudah dan mempersingkat waktu pengamatan. Bagian tanaman yang hendak diamati yaitu warna hipokotil pada tanaman yang terbagi menjadi putih dan ungu. Pada umur 1 minggu, tanaman telah dapat diamati warna hipokotilnya, sehingga mempercepat pengambilan data.

    B.     Tujuan

    Praktikum ini bertujuan untuk membuktikan Hukum Mendel I pada persilangan monohibrid.

    II.                TINJAUAN PUSTAKA

    Hasil perkawinan antara dua individu yang mempunyai sifat beda dinamakan hibrid. Maka anakan pada F1 merupakan hibrid dari kedua indukannya atau parentalnya (P1). Berdasarkan banyaknya sifat beda yang terdapat pada suatu individu, dapat dibedakan :

    Monohibrid, ialah suatu hibrid dengan satu sifat beda (Aa)

    Dihibrid, ialah suatu hibrid dengan dua sifat beda (AaBb)

    Trihibrid, ialah suatu hibrid dengan tiga sifat beda (AaBbCc), dan seterusnya

    (Suryo, 2010).

    Wijayanto, et. al.(2013) juga melaporkan hal yang senada dengan pernyataan di atas bahwasannya terdapat dua macam persilangan berdasarkan jumlah sifat yang disilangkan. Kedua macam persilangn tersebut yaitu persilangan monohibrid dan persilangan dihibrid. Persilangan monohibrid merupakan persilangan dengan satu sifat beda, sedangkan persilangan dihibrid merupakan persilangan dengan dua sifat beda. Persilangan dihibrid ini lebih rumit dibandingkan dengan persilangan monohibrid karena pada persilangan dihibrid melibatkan dua lokus.

    Winchester (1958 dalam Yasin, et. al, 2005) melaporkan bahwa hukum peluang juga telah diterapkan oleh Gregor Mendel (1822-1884) sebagai bapak Ilmu Genetika. Dikemukakan bahwa hasil persilangan dari generasi antar F1 pada kacang buncis untuk tujuh karakter tanaman yakni bentuk biji, warna albumen, warna kulit biji, bentuk polong, warna polong, posisi letak bunga, dan panjang batang. Masing-masing karakter memiliki ratio 3 : 1, atau peluang = ¼ yang resesif (aa) dan peluang = ¾ pada karakter dominan (AA dan Aa). Pada generasi F1 ratio genotip p (Aa) = ½.

    Lebih lanjut, Cahyono (2010) melaporkan bahwasannya hukum pewarisan Mendel adalah hukum yang mengatur pewarisan sifat secara genetik dari satu organisme kepada keturunannya. Hukum ini didapat dari hasil penelitian Gregor Johann Mendel, seorang biarawan Austria. Hukum tersebut terdiri dari dua bagian:

    1.      Hukum Pertama Mendel (hukum pemisahan atau segregation)

    Isi dari hukum segregasi :

    “ Pada waktu berlangsung pembentukan gamet, setiap pasang gen akan disegregasi ke dalam masing-masing gamet yang terbentuk.”

    2.      Hukum Kedua Mendel (hukum berpasangan secara bebas atau independent assortment)

    Isi dari hukum pasangan bebas :

    “ Segregasi suatu pasangan gen tidak bergantung kepada segregasi pasangan gen lainnya, sehingga di dalam gamet-gamet yangterbentu akan terjadi pemilihan kombinasi gen-gen secara bebas.”  

    Pada tahun 1936, ahli statistik RA Fisher menggunakan uji chi-square untuk menganalisis data Mendel dan dapat disimpulkan bahwa rasio yang dihasilkannya terbukti kebenarannya. Ini menunjukkan kesesuaian data yang telah dibuat melalui suatu observasi dapat dijadikan suatu hipotesis. Selanjutnya, untuk mengkonfirmasi hasil persilangannya, Mendel melakukan persilangan kebalikan yang tadinya tanaman dominan menjadi tetua betina, diubah sebagai tetua jantan. Persilangan kebalikan ini disebut dengan persilangan resiprokal. Ternyata hasilnya tidak berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa sifat-sifat tersebut tidak terkait dengan pewarisan maternal (Sobir dan Syukur, 2015).

    Sesungguhnya ratio fenotipe F2 3:1 merupakan perhitunagn secara teoritis. Ratio ini didapat dari ratio genotipenya. Sebetulnya dalam kenyataan sehari-hari, ratio fenotipe yang didapat tidaklah persis demikian. Makin dekat nilai ratio kenyataan atau observasi (o) terhadap ratio teoritis atau ekspektasi (e), makin sempurna data yang dipakai, berarti makin bagus pernyataan fenotipenya. Jika perbandingan o/e mendekati angka 1 berarti data yang didapat semakin bagus dan pernyataan  fenotipe tentang karakter yang diselidiki mendekati sempurna. Tapi, jika o/e makin menjauhi angka 1, maka data itu buruk dan pernyataan fenotipe karakter yang diselidiki dipengaruhi oleh suatu faktor lain, entah faktor lingkungan atau karena data yang dipakai berasal dari jumlah obyek yang sedikit (Yatim, 2003).

    III.             METODE PRAKTIKUM

    A.    Bahan dan Alat

    Bahan yang dibutuhkan pada praktikum kali ini antara lain biji kacang kedelai dari dua varietas berbeda yaitu berhipokotil ungu dan putih. Benih yang digunakan yaitu benih P1 yang warna hipokotilnya ungu, P2 yang berwarna putih, F1 yang merupakan hasil persilangan P1 dan P2, dan F2 yang merupakan hasil dari persilangan F1 dengan sesamanya. Selain itu, bahan lain yang dibutuhkan adalah media tanam (tanah) dan lembar pengamatan.  Sedangkan alat yang digunakan pada praktikum persilangan monohibrid hanya seed box dan alat tulis.

    B.     Prosedur Kerja

    1.      Seed box diisi dengan tanah sampai ¾ dari volume seed box.

    2.      Kemudian, benih ditanam pada seed box. Pada benih P1, P2, dan F1, ditanam sebanyak 10 buah pada garis yang sejajar. Kemudian untuk benih F2 ditanam sebanyak 20 buah.

    3.      Benih dibiarkan sehingga muncul kecambah.

    4.      Setelah berkecambah, warna batang atau kotiledon dari tanaman F2 dihitung dan ditabulasikan masing-masing jenisnya (ungu atau putih).

    5.      Data kemudian dianalisis menggunakan uji chi square.

    IV.             HASIL DAN PEMBAHASAN

    A.    Hasil

    P1        :           Galur 1            ><        Galur 2

                               HH                              hh

                             (ungu)                         (putih)

    F1        :                                   Hh

                                             (100% ungu)

    P2        :           Hh                   ><        Hh

    F2        :           HH, Hh, Hh, hh

    Perbandingan genotip :   1 : 2 : 1

    Perbandingan fenotip  :   3      :     1

                                        (ungu) : (putih)

    Tabel Uji X 2

    Karakteristik yang diamatiS
    UnguPutih
    O13720
    E  x 20 = 15 x 20 = 520
    (│O-E│) 22,252,254,5
    0,150,450,6
    X20,150,450,6

    x2 tabel = 3,84

    x2 hitung = 0,6

    x2 tabel > x2 hitung

    maka hasil pengujian sesui dengan perbandingan pada Hukum Mendel I.

    B.     Pembahasan

    Persilangan monohibrid merupakan perkawinan antara dua individu yang memiliki satu sifat beda. Persilangan ini menghasilkan anakan yang memiliki setengah gen dari masing-masing induknya. Maka dari itu, terkadang anak hasil persilangan memiliki sifat yang mirip dengan induknya. Seringkali sifat yang tampak pada anakan sangat condong kepada salah satu induk. Hal itu menandakan sifat indukan tersebut lebih kuat atau dominan dibandingkan dengan sifat indukan yang lain.

    Mendel mengamati kejadian tersebut dengan melakukan percobaan. Seperti yang dijelaskan oleh Suryo (2010) dalam bukunya yang berjudul “Genetika”, bahwasannya Mendel melakukan perkawinan silang menggunakan tanaman ercis. Saat itu, Mendel mengawinkan tanaman ercis berbatang tinggi (TT) dengan yang berbatang kerdil (tt). Hasilnya, tanaman keturunan pertama seragam berbatang tinggi (Tt). Anak hasil persilangan tersebut memiliki gamet dengan alel T dan gamet dengan alel t. Hal tersebut kemudian menghasilkan Hukum Mendel I yang terkenal dengan nama Hukum Segregasi (pemisahan gen sealel).

    Mengutip isi dari Hukum Mendel I seperti yang telah dilaporkan oleh Cahyono (2010),  “Pada waktu berlangsung pembentukan gamet, setiap pasang gen akan disegregasi ke dalam masing-masing gamet yang terbentuk.” Maka dari itu, dari persilangan monohibrid dapat dibuktikan bahwa pada setiap individu berlaku Hukum Mendel I.

    Persilangan monohibrid pada kenyataannya memiliki beberapa manfaat bagi kelangsungan makhluk hidup. Adanya persilangan tersebut dapat memperbaiki sifat suatu varietas yang kurang diminati (resesif) sehingga memiliki sifat yang lebih baik (dominan). Dengan kata lain, dari persilangan ini dapat diperoleh varietas unggul. Selain itu, persilangan ini juga dapat meningkatkan produktivitas suatu tanaman. Hal ini dikarenakan produk yang dihasilkan akan memiliki persentase kualitas baik yang lebih tinggi. semua itu pada akhirnya akan sangat menguntungkan bagi para pelaku budidaya secara ekonomi.

    Persilangan monohibrid juga telah dilakukan oleh Yasin dan kawan-kawannya (2005) yang menyilangkan jagung biasa dengan jagung QPM. Jagung QPM adalah jagung yang kualitas proteinnya lebih tinggi, dimana dua asam amino penting yakni lisin dan triptopfan dua kali lebih banyak dari jagung biasa. Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan bahwa pada generasi F2 hanya terdapat dua (11,76 %) tongkol dari 18 tongkol yang diamati yang mengikuti Hukum Mendel dengan ratio fenotip resesif : dominan = 1:3 yakni family (CML161xMr14)-2 dan (CML161xMr14)-30.

    Adanya sifat fenotip (yang tampak) maupun genotip (yang kasat mata) pada anakan hasil persilangan monohibrid merupakan hasil dari interaksi gen-gen induknya. Gen merupakan kode pembawa sifat dari induk yang diturunkan pada anaknya. Suatu individu tidak hanya tersusun atas satu gen saja. Namun, tersusun atas banyak gen yang mengatur sifat dari masing-masing anggota tubuh individu tersebut.

    Gen-gen tersebut bergabung dan membentuk suatu rantai heliks ganda bernama DNA. DNA ini kemudian melipat dan memampat menjadi kecil yang berbentuk seperti batang dan disebut sebagai kromosom. Masing-masing gen menempatkan diri pada rantai DNA. Bagian atau tempat gen tersebut bersemayam bernama lokus. Gen-gen tersebut memiliki pasangan yang terletak bersebrangan dengan dirinya di dalam rantai DNA. Pasangan gen pada kromosom itulah yang disebut alel.

    Pada praktikum ini, telah dilakukan pengujian Hukum Mendel 1 dengan cara mengamati rasio pada F2. Proses pengamatan diawali dengan menanam kedelai P1 yang berhipokotil ungu, P2 yang berhipokotil putih, F1 yang merupakan keturunan pertama dari hasil persilangan P1 dan P2, dan F2 yang merupakan hasil persilangan F1 dengan sesamanya. Variabel yang diamati yaitu warna hipokotil. Terlihat pada penanaman 10 benih kedelai F1, didapatkan keturunan yang semuanya berwarna ungu. Hal tersebut menandakan bahwa sifat ungu pada hipokotil P1 dominan terhadap warna hipokotil pada P2.

    Gambar 1. Awal penanaman benih kedelai pada seed box
    Gambar 2. Hasil destruksi tanaman kedelai

    Kemudian, pada destruksi tanaman F2 yang semuanya berjumlah 20, didapatkan 13 individu yang berwarna ungu dan 7 yang berwarna putih. Setelah dikalkulasikan, ternyata perbandingan keduanya mendekati 3:1. Angka tersebut merupakan perbandingan fenotip yang diduga oleh Mendel.

    Kemudian dilakukan pengujian akhir menggunakan uji chi-square. Ternyata nilai X hitung dari data tersebut yaitu 0,6. Angka ini lebih kecil dibandingkan dengan X tabel yang nilainya sebesar 3,84. Hal tersebut menunjukkan bahwa hasil percobaan sesuai dengan kaidah Hukum Mendel I. Maka dari itu, dapat diduga perbandingan genotip yang mungkin terjadi pada F2 yaitu 1 : 2 : 1 (HH : Hh : hh).  

    V.                KESIMPULAN DAN SARAN

    A.    Kesimpulan

    1.      Persilangan monohibrid merupakan perkawinan antara dua individu yang memiliki satu sifat beda.

    2.      Hukum Mendel I mengenai pemisahan gen sealel menjelaskan bahwasannya hasil perkawinan antara dua individu yang berbeda sifatnya (
    HH dengan hh) akan memiliki gamet dengan alel dari masing-masing induknya (Hh).

    3.      Perbandingan fenotip untuk monohibrid dari induk yang homozigot dominan dengan homozigot resesif yaitu 3 : 1 (dominan : resesif). Sedangkan perbandingan genotipnya yaitu 1 : 2: 1 (HH : Hh : hh).

    B.     Saran

    Sebaiknya dalam melakukan praktikum, praktikan melakukan penanaman dengan benar. Benih kedelai seharusnya ditanam pada tanah yang gembur, dan tidak terlalu dalam. Jangan lupa untuk tetap menjaga kelembaban tanah. Hal tersebut ditujukan agar benih mudah berkecambah.

    DAFTAR PUSTAKA

    Cahyono, Fransisca. 2010. Kombinatorial dalam Hukum Pewarisan Mendel. Makalah II2092 probabilitas dan Statistik – Sem. I. Program Studi Teknik Informatika Institut Teknologi Bandung, Bandung.

    Sobir dan M. Syukur. 2015. Genetika Tanaman. IPB Press, Bogor.

    Suryo, H. 2010. Genetika. UGM Press, Yogyakarta.

    Wijayanto, D. Agus, Rusli Hidayat, dan Mohammad Hasan. 2013. Penerapan Model Persamaan Diferensiasi dalam Penentuan Probabilitas Keturunan dengan Dua Sifat Beda. Jurnal Ilmu Dasar. Vo. 14. No. 2 hlm. 79-84.

    Yasin, M. H. G., Arifuddin, dan Faesal. 2005. Uji Kesesuaian Hukum Mendel dalam Memilih Benih Jagung Opaque. Informatika Pertanian. Vol. 14. Hlm. 763-770.

    Yatim, Wildan. 2003. Genetika. Tarsito, Bandung.

  • Laporan Praktikum Genetika Tumbuhan – Penyimpangan Hukum Mendel

    Laporan Praktikum Genetika Tumbuhan – Penyimpangan Hukum Mendel

    Praktikum penyimpangan hukum mendel adalah praktikum untuk mata kuliah Genetika Tumbuhan. Praktikum ini bertujuan untuk mengamati pola pewarisan sifat yang tidak sesuai dengan hukum mendel namun masih terdapat pola dihibrida hukum Mendel.

    Penyimpangan Hukum Mendel

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Persilangan dihibrida merupakan perkawinan dua individu dengan dua sifat beda. Dengan persilangan ini dapat dibuktikan kebenaran hukum Mendel II yang menyatakan bahwa gen – gen yang terletak pada kromosom yang berlainan akan secara bebas dan menghasilkan empat macam fenotip dengan perbandingan 9 : 3 : 3 :1. Dalam kenyataannya, seringkali terjadi penyimpangan atau hasil yang jauh dari harapan yang mungkin disebabkan oleh beberapa hal seperti adanya interaksi gen, adanya gen yang bersifat homozigot letal dan sebagainya.

    Penyimpangan-penyimpangan tersebut bukan berarti tidak mengikuti kaidah Hukum Mendel. Hanya saja perbandingan fenotipnya sedikit bergeser. Seperti halnya pada epistatis dominan yang memiliki perbandingan 12:3:1. Pada dasarnya angka 12 pada perbandingan tersebut merupakan penyatuan dari angka 9 dan 3 pada perbandingan Hukum Mendel. Perubahan tersebut dapat terjadi karena gen indukan yang dominan bersifat epistatis atau menutupi gen resesif. Sehingga sifat resesif yang ada pada 3 bagian tersebut tidak terlihat.

    B. Tujuan

    Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui adanya penyimpangan pada Hukum Mendel II.

    Bab II. Kajian Pustaka

    Cahyono (2010) melaporkan bahwasannya hukum pewarisan Mendel adalah hukum yang mengatur pewarisan sifat secara genetik dari satu organisme kepada keturunannya. Hukum ini didapat dari hasil penelitian Gregor Johann Mendel, seorang biarawan Austria. Hukum tersebut terdiri dari dua bagian:

    1. Hukum Pertama Mendel (hukum pemisahan atau segregation) – Pada waktu berlangsung pembentukan gamet, setiap pasang gen akan disegregasi ke dalam masing-masing gamet yang terbentuk.”
    2. Hukum Kedua Mendel (hukum berpasangan secara bebas atau independent assortment) – Segregasi suatu pasangan gen tidak bergantung kepada segregasi pasangan gen lainnya, sehingga di dalam gamet-gamet yang terbentuk akan terjadi pemilihan kombinasi gen-gen secara bebas.”  

    Welsh (1991) menambahkan bahwasannya masing-masing faktor keturunan mempunyai peluang matematika yang tidak saling menentukan dalam pemunculan pewarisan sifatnya pada tanaman. Istilah dihibrida menjelaskan adanya pewarisan faktor keturunan yang mempunyai perbandingan jumlah individu 9:3:3:1 atau dengan variasi perbandingan angka itu.

    Namun pada kenyataannya, dominansi suatu alele terhadap alele yang lain tidak selalu terjadi. Penampakan suatu gen dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan, umur, jenis kelamin, spesies, fisiologis, genetik, dan macam-macam faktor lainnya. Tidak adanya dominansi telah diketahui pada awal sejarah penelitian gen. Perubahan pengaruh dominansi ini timbul karena interaksi alele, baik antara alele pada lokus yang sama maupun pada lokus yang berbeda (Crowder, 1990).

    Interaksi gen merupakan peristiwa dua gen atau lebih yang bekerjasama dalam memperlihatkan fenotip (Pratiwi, 2000). Interaksi gen mula-mula ditemukan oleh William Bateson dan R.C Punet pada bentuk pial ( jengger ). Pada saat perkawinan ayam berjengger rose dengan pea didapatkan F1 yang semuanya bertipe walnut. Timbulnya fenotipe baru yang muncul dari perkawinan antara ayam berjengger walnut dengan sesamanya disebabkan oleh interaksi gen.

    Menurut Yatim (2003), interaksi gen dapat terjadi dalam 4 bentuk :

    1. Komplementer
    2. Kriptomeri
    3. Epistatis
    4. Polimeri

    Kemudian Sobir dan Syukur (2015) melaporkan lebih lanjut bahwasannya aksi gen dari suatu lokus dapat menutupi aksi dari gen-gen pada lokus yang lain. Interaksi ini dikenal dengan istilah epistatis. Epistatis artinya menutupi gen lain. Gen yang ditutup disebut juga dengan hypostatis. Proses ini berlangsung bila paling sedikit ada dua lokus yang mengendalikan pemunculan satu sifat / karakter. Misalnya ada 2 pasang gen yang memisah secara bebas, tetapi saling berinteraksi, pada banyak peristiwa interaksi nisbah yang diharapkan 9:3:3:1 akan berubah.

    Tabel 1. Modifikasi nisbah (9:3:3:1) untuk dua lokus yang bersegregasi bebas, akibat adanya interaksi antar-lokus (Sobir dan Syukur, 2015).

    No.RasioKeteranganIstilah yang digunakan oleh beberapa penulis
    Tanpa Interaksi
    1.9:3:3:1Dominansi lengkap dari kedua gen; fenotipe baru dihasilkan dari interaksi antara alel dominan dan interaksi antara alel homozigot resesif
    Komplementasi
    2.9:3:4Dominansi lengkap oleh kedua gen; ketika gen bersifat homozigot resesif, gen tersebut menekan/ menutupi sifat fenotipe gen lainnya.Epistatis resesif
    3.9:7Dominansi lengkap oleh kedua gen; ketika salah satu gen bersifat homozigot resesif, gen tersebut menekan/ menutupi sifat fenotipe gen lainnya.Epistatis resesif ganda
    Modifikasi
    4.12:3:1Dominansi lengkap oleh kedua gen; ketika salah satu gen bersifat dominan, maka gen tersebut akan menekan/ menutupi sifat fenotipe gen lainnya.Epistatis/ Epistatis dominan
    5.7:6:3Dominansi lengkap oleh salah satu gen dan dominansi parsial oleh gen lainnya.
    6.13:3Dominansi lengkap oleh kedua gen; apabila kedua gen dominan, maka akan menekan/ menutupi sifat fenotipe gen lainnya.Epistatis dominan dan resesif / Faktor inhibitory
    Duplikasi
    7.15:1Dominansi lengkap oleh kedua gen; apabila salah satu gen dominan, maka akan menekan/ menutupi sifat gen lainnya.Epistatis dominan ganda
    8.9:6:1Dominansi lengkap oleh kedua gen; ketika kedua gen dalam kondisi dominan, maka akan menekan/ menutupi sifat gen lainnya.Interaksi gen/ Polimerism/ Faktor additif

    Bab III. Metode Praktikum

    A. Bahan dan Alat

    Bahan yang digunakan pada praktikum kali ini meliputi : kantong plastik dan kancing warna. Alat yang digunakan antara lain : lembar pengamatan dan alat tulis.

    B. Prosedur Kerja

    1. Kantong plastik berisi kancing warna diambil, kemudian dikocok hingga homogen.
    2. Dari dalam kantong diambil satu butir kancing, kemudian dicatat hasilnya.
    3. Pengambilan kancing dilakukan sebanyak 90 kali dan 160 kali, kemudian dicatat pada lembar pengamatan.
    4. Data dianalisa dengan uji Chi-Square. 

    Bab IV. Hasil dan Pembahasan

    A. Hasil

    Jenis Penyimpangan Hukum Mendel : Gen Duplikat dengan Efek Kumulatif (9:6:1)

    Tabel 1. Perhitungan X 2 90 × Pengambilan Kancing

    KarakteristikJumlah
    KuningMerahHitam
    O6123690
    E50,62533,755,62590
    (│O – E│) 2107,64115,56250,14223,34
    2,133,4240,025,57

    X2   Tabel = 5,99

    Kesimpulan = percobaan telah sesuai dengan perbandingan.

    Tabel 2. Perhitungan X 2 160 × Pengambilan Kancing

    KarakteristikJumlah
    HitamPutihKuning
    O96568160
    E906010160
    (│O – E│) 23616456
    0,40,270,41,07

    X2   Tabel = 5,99

    Kesimpulan = percobaan telah sesuai dengan perbandingan.

    Jenis Penyimpangan Hukum Mendel : Epistatis Dominan Duplikat (15:1)

    Tabel 1. Perhitungan X 2 90 × Pengambilan Kancing

    KarakteristikJumlah
    Hijau (H)Kuning (K)
    O85590
    E84,3755,62590
    ((O – E) – 0,5) 20,0160,0160,032
    1,896 × 10 -428,4 × 10 -430,34 × 10 -4

    X2  Tabel = 3,84

    Kesimpulan = percobaan telah sesuai dengan teori

    Tabel 2. Perhitungan X 2 160 × Pengambilan Kancing

    KarakteristikJumlah
    Hijau (H)Kuning (K)
    O1537160
    E15010160
    ((O – E) – 0,5) 26,256,2513
    0,041670,6250,667

    X2  Tabel = 3,84

    Kesimpulan = percobaan telah sesuai dengan teori

    Jenis Penyimpangan Hukum Mendel : Epistatis Dominan (12:3:1)

    Tabel 1. Perhitungan X 2 90 × Pengambilan Kancing

    KarakteristikJumlah
    CoklatKuningHijau
    O6522390
    E67,516,875,62590
    (│O – E│) 26,2526,2656,8939,405
    0,09251,55641,22482,8737

    X2   Tabel = 5,99

    Kesimpulan = percobaan telah sesuai dengan perbandingan.

    Tabel 2. Perhitungan X 2 160 × Pengambilan Kancing

    KarakteristikJumlah
    CoklatKuningHijau
    O130255160
    E1203010160
    (│O – E│) 21002525150
    0,83330,83332,54,1667

    X2   Tabel = 5,99

    Kesimpulan = percobaan telah sesuai dengan perbandingan.

    Jenis Penyimpangan Hukum Mendel : Epistatis Dominan Resesif (13:3)

    Tabel 1. Perhitungan X 2 90 × Pengambilan Kancing

    KarakteristikJumlah
    PC
    O721890
    E73,12516,87590
    ((O – E) – 0,5) 21,2651,2652,53
    0,0170,0740,091

    X2  Tabel = 3,84

    Kesimpulan = percobaan telah sesuai dengan teori

    Tabel 2. Perhitungan X 2 160 × Pengambilan Kancing

    KarakteristikJumlah
    KH
    O13228160
    E13030160
    ((O – E) – 0,5) 2448
    0,0300,1300,160

    X2  Tabel = 3,84

    Kesimpulan = percobaan telah sesuai dengan teori

    Jenis Penyimpangan Hukum Mendel : Epistatis Resesif (9:3:4)

    Tabel 1. Perhitungan X 2 90 × Pengambilan Kancing

    KarakteristikJumlah
    KMH
    O44222490
    E50,62516,87522,590
    (│O – E│) 243,8926,522,2572,66
    0,8661,570,12,536

    X2   Tabel = 5,99

    Kesimpulan = percobaan telah sesuai dengan perbandingan.

    Tabel 2. Perhitungan X2 160 × Pengambilan Kancing

    KarakteristikJumlah
    HKP
    O872845160
    E903040160
    (│O – E│) 2942538
    0,10,130,6250,855

    X2   Tabel = 5,99

    Kesimpulan = percobaan telah sesuai dengan perbandingan.

    Jenis Penyimpangan Hukum Mendel : Epistatis Resesif Duplikat (9:7)

    Tabel 1. Perhitungan X 2 90 × Pengambilan Kancing

    KarakteristikJumlah
    HitamHijau
    O355590
    E39,3750,6290
    ((O – E) – 0,5) 223,7115,0538,76
    0,60,290,89

    X2  Tabel = 3,84

    Kesimpulan = percobaan telah sesuai dengan teori

    Tabel 2. Perhitungan X 2 160 × Pengambilan Kancing

    KarakteristikJumlah
    HijauKuning
    O6496160
    E7090160
    ((O – E) – 0,5) 230,2530,2560,5
    0,430,330,76

    X2  Tabel = 3,84

    Kesimpulan = percobaan telah sesuai dengan teori

    B. Pembahasan

    Persilangan antara dua individu yang memiliki dua sifat beda pada umumnya mengikuti Hukum Mendel II yakni memiliki perbandingan 9:3:3:1. Namun, pada kenyataannya sering kali dijumpai penyimpangan-penyimpangan yang  terjadi pada anakannya. Menurut Crowder (1990), adanya dominansi suatu alele terhadap alele yang lain tidak selalu terjadi. Penampakan suatu gen dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan, umur, jenis kelamin, spesies, fisiologis, genetik, dan macam-macam faktor lainnya. Tidak adanya dominansi telah diketahui pada awal sejarah penelitian gen. Perubahan pengaruh dominansi ini timbul karena interaksi alele, baik antara alele pada lokus yang sama maupun pada lokus yang berbeda.

    Selanjutnya, Sobir dan Syukur (2015) melaporkan bahwasannya interaksi antar-lokus merupakan peristiwa yang terjadi antara dua gen atau lebih yang berbeda lokus dan saling berinteraksi dalam menghasilkan suatu penampilan atau fenotipe. Aksi gen dari satu lokus dapat menutupi aksi dari gen-gen pada lokus yang lain. Mendel pada saat mengenalkan teorinya menggambarkan seolah-olah setiap gen bebas dari gen yang lain dalam pembentukan genotipe. Pada kenyataannya suatu fenotipe merupakan hasil suatu rangkaian proses metabolisme yang pada setiap tahapannya terlibat satu gen. Jadi satu sifat itu sebenarnya merupakan hasil kerja sederetan gen.

    Adanya interaksi gen yang menimbulkan penyimpangan Hukum Mendel dapat dilihat pada warna kulit biji (aleuron) jagung. Pada tanaman jagung, terdapat gen C yang menumbuhkan bahan mentah pigmen dan gen R yang menumbuhkan pigmentasi aleuron. Kulit biji jagung hanya akan berwarna jika gen C dan gen R hadir bersama-sama dalam satu individu. Jika hanya salah satu atau tak ada keduanya, kulit biji itu akan berwarna putih atau dengan kata lain tak berwarna. Maka dari itu, perbandingan awal Mendel yakni 9:3:3:1 akan berubah menjadi 9:7. Angka 7 merupakan kumulasi dari angka 3,3, dan 1yang mewakili genotip C_rr, ccR_, dan ccrr. Ketiga gen tersebut tidak memenuhi persyaratan guna memunculkan warna pada aleuron sehingga ketiganya dikumulatifkan. Hal ini dapat dikatakan telah menyimpang dari Hukum Mendel II yang memiliki perbandingan 9:3:3:1 (Yatim, 2003).

    Interaksi gen yang menimbukan aksi gen dari satu lokus dapat menutupi aksi dari gen-gen pada lokus lain dikenal dengan istilah epistatis. Sebuah atau sepasang gen yang menutupi ( mengalahkan ) ekspresi gen yang lain yang bukan alelnya dinamakan gen yang epistasis. Gen yang dikalahkan ini tadi dinamakan gen yang hipostasis. Peristiwanya disebut epistasis dan hipostasis. Peristiwa epistasis dapat dibedakan sebagai berikut :

    1. Epistasis dominan

    Epistasis dominan adalah peristiwa dimana gen yang dominan menutupi gen dominan lain yang bukan alelnya. E. W. Sinnot (dalam Yatim, 2003) melakukan penelitian terhadap warna buah labu summer squash (Cucurbita pepo. Warna pada buah tersebut ternyata diatur oleh 2 gen yaitu Y-y dan W-w dengan Y = kuning; y =hijau; W = epistatis; dan w = tak mengalahkan. Adanya gen W menghalangi pertumbuhan warna sehingga buah akan berwarna putih.

    Jika dilakukan persilangan antara labu putih murni (WWYY) dengan hijau murni (wwyy), maka F1 akan berfenotipe putih (WwYy). Selanjutnya, jika antar F1 disilangkan, maka akan menghasilkan perbandingan 12: 3: 1 dengan keterangan 12 untuk putih (W_Y_ dan W_yy); 3 untuk kuning (wwY_); dan 1 untuk hijau (wwyy). Hal tersebut secara fenotip memang menyimpang dari Hukum Mendel II, namun secara genotip sebenarnya perbandingannya tetap mengikuti kaidah Hukum Mendel II yakni 9:3:3:1. Demikian ini bagan persilangannya :

    P1 :    WWYY           ><        wwyy
    (putih)                     (hijau)
    F1 :                     WwYy
    (putih)

    F2 :

    WYWywYwy
    WYWWYYWWYyWwYYWwYy
    WyWWYyWWyyWwYyWwyy
    wYWwYYWwYywwYYwwYy
    wyWwYyWwyywwYyWwyy

    Ratio F2 :       a. Genotipe : 9 W_Y_ : 3W_yy : 3 wwY_ : 1 wwyy

    b. Fenotipe : 12 putih : 3 kuning : 1 hijau

    2. Epistasis resesif

    Epistasis resesif terjadi apabila suatu gen resesif menutupi ekspresi gen lain yang buakan alelenya. Hanya jika terdapat alele dominan pada lokus tersebut, alel pada lokus lain dapat diekspresikan. Akibat peristiwa ini, pada generasi F2 akan diperoleh nisbah fenotipe 9:3:4 (Sobir dan Syukur, 2015). Peristiwa ini biasanya terjadi pada persilangan bunga Linaria maroccana warna merah ( AAbb ) dengan Linaria maroccana warna putih ( aaBB ). Jika kedua alel dominan A dan B hadir dalam satu individu, maka bunga akan berwarna ungu.hal tersebut dapat diamati pada tabel dibawah ini :

    Tabel 2. Rasio genotipe dan fenotipe F2 pada warna bunga Linaria maroccan(Sobir dan Syukur, 2015)

    AABB (1)AABb (2)AaBB (2)AaBb (4)AAbb (1)Aabb (2)aaBB (1)aaBb (2)Aabb (1)
    934
    Ungumerahputih
    3. Epistasis dominan resesif

    Epistasis dominan resesif terjadi karena terdapat dua gen dominan yang jika bersama-sama pengaruhnya akan menghambat pengaruh salah satu gen dominan tersebut (Pratiwi, 2000). Hal ini biasanya terjadi pada warna bulu ayam. Menurut Yatim (2003), pada ayam ras ada interaksi anatara 2 gen yaitu antara gen I-i dan C-c dengan I = epistatis; i = tak menghalangi; C = ada pigmentasi; c = tak ada pigmentasi. Jika I tak hadir dan C hadir (iiC_), maka bulu akan berwarna hitam atau coklat. Sedangkan untuk individu lain yang tidak bergenotipe demikian bulu akan berwarna putih. Perbandingan pada persilangan ini yaitu 13 : 3, dengan 13 berwarna putih (I_C_; I_cc; dan iicc) dan 3 berwarna hitam tu coklat (iiC_).

    4. Adanya gen resesif rangkap

    Menurut Sobir dan Syukur (2015), epistatis resesif ganda (duplikat resesif) adalah fenotipe yang sama dihasilkan oleh kedua genotipe homozigot resesif. Dua gen resesif berifat epistatik terhadap alele dominan dengan kata lain perlu interaksi komplementasi antara gen dominan tertentu dengan gen dominan lainnya.

    Penyimpangan ini dapat terjadi warna bunga tanaman kapri (Pisum sativum). Pada persilangan antara tetua berwarna putih (CCpp) dengan tetua berwarna bunga putih lainnya (ccPP) dihasilkan tanaman F1 berwarna bunga ungu (CcPp). Pada populasi F2, terjadi segregasi, yaitu 9 berwarna bunga ungu : 7 berwarna bunga putih. C adalah gen dominan yang diperlukan untuk pembentukan warna; sedangkan P adalah gen dominan menghasilkan pigmen ungu. Keberadaan keduanya secara bersama-sama menghasilkan bunga berwarna ungu (C_P_).

    5. Adanya gen dominan rangkap

    Epistatis dominan ganda berlangsung karena dua gen memproduksi bahan yang sama dan menghasilkan fenotipe yang sama. Interaksi antara dua gen tidak harus selalu bertentangan. Terkadang terdapat kedua gen yang saling mensubstitusi peran masing-masing dalam menghasilkan suatu protein atau enzim. Kedua gen tersebut inilah yang berperan dalam menghasilkan rasio sifat fenotipe pada generasi F2 menjadi 15 : 1 (Sobir dan Syukur, 2015).

    Fenomena ini dapat terlihat pada hibrida 2 varietas gandum yang berbiji merah (AABB) dan yang berbiji putih (aabb). F1 berwarna perantaraan / intermediet (AaBb). Sedangkan F2 terdiri dari 1/16 merah (AABB), 4/16 merah gelap (AABb-AaBB), 6/16 sedang (sama dengan F1), 4/16 merah terang (Aabb-aaBb), dan 1/16 putih (aabb). Kalau dibulatkan perbandingan untuk yang berwarna (merah) dan yang berwarna putih ialah 15 : 1 (Yatim, 2003).

    6. Adanya gen-gen rangkap yang mempunyai pengaruh kumulatif

    Peristiwa ini terjadi jika salah satu gen di satu lokus memiliki alele dominan (homozigot atau heterozigot) menghasilkan fenotipe yang sama. Contohnya pada persilangan buah summer squash (Curcubita pepo) berbentuk disc (AABB) dengan bentuk buah panjang (aabb), maka akan menghasilkan 100% F1 dengan bentuk disc (AaBb). Ketika F1 dibiarkan menyerbuk sendiri, terdapat buah yang berbentuk disc, bulat, dan panjang dengan perbandingan 9 : 6: 1. Hal tersebut dapat diamati pada tabel sebaran F2 berikut ini :

    Tabel 3. Rasio genotipe dan fenotipe F2 pada bentuk buah summer squash(Sobir dan Syukur, 2015)

    AABB (1)AABb (2)AaBB (2)AaBb (4)AAbb (1)Aabb (2)aaBB (1)aaBb (2)Aabb (1)
    961
    discbulatpanjang

    Pengetahuan mengenai penyimpangan Hukum Mendel ini sebenarnya merupakan tahap untuk mempermudah para ilmuwan maupun orang-orang yang tertarik pada bidang ilmu genetika dalam menganalisa jenis gen indukan maupun gen dari suatu varietas. Pengetahuan tersebut bermanfaat pada saat akan menyilangkan suatu varietas. Hal tersebut nantinya akan bermuara pada  pengusahaan hasil seperti yang diharapkan oleh pemulia.

    Pada pengujian dengan jenis penyimpangan gen duplikat denga efek kumulatif yang memiliki perbandingan 9 : 6 : 1, didapatkan hasil observasi pada pengambilan kancing 90 kali untuk kuning = 61 butir, merah = 23 butir dan hitam = 6 butir. Sedangkan pada pengambilan kancing 160 kali, didapatkan kancing berwarna hitam = 96 butir, putih = 56 butir dan kuning = 8 butir. Setelah kedua data dimasukkan ke dalam uji Chi-Square ternyata nilai X hitung keduanya tidak ada yang melebihi nilai X tabel = 5,99. Maka dari itu, data dua jenis pengambilan tersebut sesuai dengan penyimpangan Hukum Mendel yang termasuk dalam golongan gen duplikat dengan efek kumulatif. Percobaan dapat sesuai denga teori dikarenakan populasi yang digunakan homogen. Selain itu, pada pengambilan 90 kali, kancing kuning bersifat dominan terhadap dua kancing lainnya. Begitu pula pada kancing hitam pada pengambilan 160 kali yang lebih dominan dibandingkan dua kancing lainnya.

    Pada pengujian dengan jenis penyimpangan epistatis dominan duplikat/polimeri yang memiliki perbandingan 15 : 1, didapatkan hasil observasi pada pengambilan kancing 90 kali untuk hijau = 85 butir dan kuning = 5 butir. Sedangkan pada pengambilan kancing 160 kali, didapatkan kancing berwarna hijau = 153 butir dan kuning = 7 butir. Setelah kedua data dimasukkan ke dalam uji Chi-Square ternyata nilai X hitung keduanya tidak ada yang melebihi nilai X tabel = 3,84. Maka dari itu, data dua jenis pengambilan tersebut sesuai dengan penyimpangan Hukum Mendel yang terjmasuk dalam golongan epistatis dominan duplikat. Percobaan ini dapat sesuai dengan teori karena populasi yang digunakan bersifat homogen. Selain itu, pada pengambilan 90 kali, kancing hijau bersifat dominan terhadap kancing kuning. Begitu pula pada pengambilan 160 kali, kancing hijau bersifat dominan terhadap kancing kuning.

    Pada pengujian dengan jenis penyimpangan epistatis dominan yang memiliki perbandingan 12 : 3 : 1, didapatkan hasil observasi pada pengambilan kancing 90 kali untuk cokelat = 65 butir, kuning = 22 butir dan hijau = 3 butir. Sedangkan pada pengambilan kancing 160 kali, didapatkan kancing berwarna kuning = 130 butir, hijau = 25 butir dan merah = 5 butir. Setelah kedua data dimasukkan ke dalam uji Chi-Square ternyata nilai X hitung keduanya tidak ada yang melebihi nilai X tabel = 5,99. Maka dari itu, data dua jenis pengambilan tersebut sesuai dengan penyimpangan Hukum Mendel yang terjmasuk dalam golongan epistatis dominan. Percobaan ini dapat sesuai dengan teori karena populasi yang digunakan bersifat homogen. Selain itu, pada pengambilan 90 kali, kancing cokelat bersifat dominan terhadap dua kancing lainnya. Begitu pula pada pengambilan 160 kali, kancing kuning bersifat dominan terhadap dua kancing lainnya.

    Pada pengujian dengan jenis penyimpangan epistatis dominan resesif yang memiliki perbandingan 13 : 3, didapatkan hasil observasi pada pengambilan kancing 90 kali untuk P = 72 butir dan C = 18 butir. Sedangkan pada pengambilan kancing 160 kali, didapatkan kancing K = 132 butir dan H = 28 butir. Setelah kedua data dimasukkan ke dalam uji Chi-Square ternyata nilai X hitung keduanya tidak ada yang melebihi nilai X tabel = 3,84. Maka dari itu, data dua jenis pengambilan tersebut sesuai dengan penyimpangan Hukum Mendel yang terjmasuk dalam golongan epistatis dominan resesif. Percobaan ini dapat sesuai dengan teori karena populasi yang digunakan bersifat homogen. Selain itu, pada pengambilan 90 kali, kancing P bersifat dominan terhadap kancing C. Begitu pula pada pengambilan 160 kali, kancing K bersifat dominan terhadap kancing H.

    Pada pengujian dengan jenis penyimpangan epistatis resesif yang memiliki perbandingan 9 : 3 : 4, didapatkan hasil observasi pada pengambilan kancing 90 kali untuk K = 44 butir, M = 22 butir dan H = 24 butir. Sedangkan pada pengambilan kancing 160 kali, didapatkan kancing H = 87 butir, K = 28 butir dan P = 45 butir. Setelah kedua data dimasukkan ke dalam uji Chi-Square ternyata nilai X hitung keduanya tidak ada yang melebihi nilai X tabel = 5,99. Maka dari itu, data dua jenis pengambilan tersebut sesuai dengan penyimpangan Hukum Mendel yang terjmasuk dalam golongan epistatis resesif. Percobaan ini dapat sesuai dengan teori karena populasi yang digunakan bersifat homogen. Selain itu, pada pengambilan 90 kali, kancing K bersifat dominan terhadap dua kancing lainnya. Begitu pula pada pengambilan 160 kali, kancing H bersifat dominan terhadap dua kancing lainnya.

    Pada pengujian dengan jenis penyimpangan epistatis resesif duplikat yang memiliki perbandingan 9 : 7, didapatkan hasil observasi pada pengambilan kancing 90 kali untuk hijau = 55 butir dan hitam = 35 butir. Sedangkan pada pengambilan kancing 160 kali, didapatkan kancing berwarna kuning = 96 butir dan hijau = 64 butir. Setelah kedua data dimasukkan ke dalam uji Chi-Square ternyata nilai X hitung keduanya tidak ada yang melebihi nilai X tabel = 3,84. Maka dari itu, data dua jenis pengambilan tersebut sesuai dengan penyimpangan Hukum Mendel yang terjmasuk dalam golongan epistatis resesif duplikat. Percobaan ini dapat sesuai dengan teori karena populasi yang digunakan bersifat homogen. Selain itu, pada pengambilan 90 kali, kancing hijau bersifat dominan terhadap kancing hitam. Begitu pula pada pengambilan 160 kali, kancing kuning bersifat dominan terhadap kancing hijau.  

    Bab V. Penutup

    A. Kesimpulan

    1. Penyimpangan Hukum Mendel dapat disebabkan oleh faktor-faktor lingkungan, umur, jenis kelamin, spesies, fisiologis, genetik, dan macam-macam faktor lainnya.
    2. Sebuah atau sepasang gen yang menutupi ( mengalahkan ) ekspresi gen yang lain yang bukan alelnya dinamakan gen yang epistasisGen yang dikalahkan ini tadi dinamakan gen yang hipostasis.
    3. Peristiwa epistasis dapat dibedakan sebagai berikut :
      • Epistasis dominan (12:3:1)
      • Epistasis resesif (9:3:4)
      • Epistasis dominan resesif (13:3)
      • Adanya gen resesif rangkap (15:1)
      • Adanya gen dominan rangkap (9:7)
      • Adanya gen-gen rangkap yang mempunyai pengaruh kumulatif (9:6:1).

    B. Saran

    Sebaiknya dalam melakukan praktikum ini, praktikan mengambil kancing warna dengan teliti. Hal ini ditujukan agar tidak terjadi kesalahan pada saat memasukkan data.

    DAFTAR PUSTAKA

    Cahyono, Fransisca. 2010. Kombinatorial dalam Hukum Pewarisan Mendel. Makalah II2092 probabilitas dan Statistik – Sem. I. Program Studi Teknik Informatika Institut teknologi Bandung.

    Crowder, L.V. 1990. Genetika Tumbuhan. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

    Pratiwi D.A. 2000. Biologi . Jakarta : Erlangga.

    Sobir dan M. Syukur. 2015. Genetika Tanaman. Bogor : IPB Press.

    Welsh, J. R. 1991. Dasar-Dasar Genetika dan Pemuliaan Tanaman. Jakarta : Erlangga.

    Yatim, Wildan. 2003. Genetika. Bandung : Tarsito.

  • Laporan Praktikum Genetika Tumbuhan – Perhitungan Frekuensi Alele, Fenotipe dan Pengukuran Sifat-Sifat Kuantitaif

    Perhitungan Frekuensi Alele, Fenotipe dan Pengukuran Sifat-Sifat Kuantitaif

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Suatu populasi terdiri dari kelompok individu yang berkembang biak secara seksual dan aseksual dan bersilang secara acak.  Populasi tersebut mewariskan alelnya dari generasi ke generasi berikutnya menurut  hukum segregasi dan pengelompokan secara bebas. Suatu populasi dapat juga dibatasi sebagai kumpulan individu yang membentuk suatu lungkang gen. Lungkang gen adalah total seluruh gen yang ada dalam gamet dari suatu populasi tertentu.

    Adanya pewarisan sifat tersebut menjadikan suatu varietas dapat bertahan terus menerus dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini dapat terjadi secara sempurna jika semua faktor tidak dipengaruhi oleh faktor luar yang dapat menciptakan suatu mutasi. Apabila data yang diperoleh dari hasil persilangan tersebut bebas dari mutasi, maka kemungkinan pewarisan sifat dapat diduga menggunakan analisis uji chi square.

    Uji chi square pada dasarnya sebagai alat penguji apakah angka suatu hasil sesuai dengan angka yang diharapkan. Penggunaan uji ini dalam ilmu genetika digunakan untuk menganalisis keadaan individu dalam suatu populasi, apakah sudah sesuai dengan perbandingan Hukum Mendel. Apabila suatu persilangan berjalan sesuai dengan asumsi-asumsi Hardy-Weinberg, maka frekuensi alel dan frekuensi genotip dari suatu generasi individu akan sebanding dengan frekuensi alel dan frekuensi genotip indukannya.

    B.     Tujuan

    ·         Menghitung frekuensi alele dan frekuensi genotip individu dalam dalam suatu populasi.

    ·         Membuktikan Hukum Hardy-Weinberg.

    ·         Mengukur sifat-sifat kuantitatif suatu individu..

    II.                TINJAUAN PUSTAKA

    Populasi ialah suatu kelompok dari satu macam organisme, dan dari situ dapat diambil cuplikan (sample). Semua makhluk merupakan suatu masyarakat sebagai hasil perkawinan antar spesies dan mempunya lengkang gen yang sama. Lengkang gen (gene pool) ialah jumlah dari semua alel yang berlainan atau keterangan genetik dalam anggota dari suatu populasi yang membiak secara kawin. Gen-gen dalam lengkang mempunyai hubungan dinamis dengan alel lainnya dan dengan lingkungan dimana makhluk-makhluk itu berada. Faktor-faktor lingkungan, seperti seleksi, mempunyai kecenderungan untuk merubah frekuensi gen dan dengan demikian akan menyebabkan perubahan evolusi dalam populasi (Suryo, 2010). Susanto (2011) menambahkan, bahwasannya deskripsi susunan genetik suatu populasi mendelian dapat diperoleh jika diketahui macam genotip yang ada dan juga banyaknya masing-masing genotip tersebut. adapun nilai proporsi atau persentase genotip tersebut dikenal dengan istilah frekuensi genotip.

    Frekuensi gen adalah proporsi suatu alel tertentu yang terdapat dalam suatu populasi (Mangoendidjojo, 2014). Mariandayani (2012) juga melaporkan bahwasannya frekuensi alel yang mengendalikan ekspresi variasi dalam suatu populasi dapat diduga melalui bentuk morfogenetik pada suatu individu. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi nilai frekuensi alel diantaranya : kawin acak, migrasi, mutasi, seleksi alam, efek kombinasi dari seleksi dan mutasi, serta hanyutan gen.

    Penemuan Hardy tahun 1908 di Inggris yang kemudian didukung oleh penemuan pada tahun 1909 oleh Weinberg di Jerman merupakan dasar berkembangnya ilmu genetika populasi sampai sekarang. Hasil penemuan kedua orang tersebut melahirkan suatu prinsip yang kemudian disebut sebagai Hukum Hardy-Weinberg yang mengatakan bahwa : “ Bila tidak ada faktor-faktor yang berpengaruh yang dapat mengubah frekuensi gen pada suatu populasi, dan populasi tersebut mengadakan atau mengalami perkawinan acak secara terus-menerus dari satu generasi ke generasi berikutnya, frekuensi gennya tidak akan mengalami perubahan setelah satu kali mengalami random mating.” Jadi, proporsi gen atau genotipnya tidak berubah dari generasi ke generasi berikutnaya (Mangundidjojo, 2014).

    Uji Chi Square adalah pengujian hipotesis mengenai perbandingan antara frekuensi oservasi atau yang benar-benar terjadi (Fo)dengan frekuensi harapan/ekspektasi (Fe) yang didasarkan atas hipotesis tertentu. Secara umum, uji ini digunakan dalam penelitian untuk mencari kecocokan ataupun menguji ketidakadaan hubungan antara beberapa populasi. Uji chi square untuk mencari kecocokan digunakan untuk menguji apakah distribusi frekuensi byang diamai menyimpang secara signifikasi dari suatu distribusi frekuensi hipotesis atau yang diharapkan (Dwiwinarsih, 2009).

    III.             METODE PRAKTIKUM

    A.    Bahan dan Alat

    Bahan-bahan yang dibutuhkan pada praktikum kali ini antara lain Sekantong kancing berwarna sekantong kacang tanah dan lembar data pengamatan. Sedangkan alat yang digunakan pada praktikum pengamatan perilaku kromosom yakni timbangan elektrik, kalkulator dan alat tulis.

    B.     Prosedur Kerja

    Percobaan 1

    1.      Kancing berwarna pada kantong plastik diambil secara acak dengan pengambilan sebanyak 200 kali. Pengambilan dilakukan dengan pengembalian kembali.

    2.      Dicatat warna yang diperoleh pada lembar data pengamatan.

    3.      Frekuensi alel clan frekuensi genotipenya dihitung. 

    4.      Data yang diperoleh dianalisa menggunakan Uji Chi Square.

    Percobaan 2

    1.      Setiap kantong diisi dengan 2 macam warna kancing baju dengan perbandingan seperti hasil perhitungan percobaan 1. Kedua kantong isinya sama banyak.

    2.      Kancing diambil secara acak dari setiap kantong dan dicatat warnanya. Pengambilan dilakukan dengan pengembalian kembali.

    3.      Pengambilan diulang sebanyak 100 kali.

    4.      Frekuensi genotip dan frekuensi alelenya dihitung.

    5.      Data yang telah diperoleh dianalisa menggunakan Uji Chi Square.

    Percobaan 3

    1.      Individu kacang tanah diambil secara acak dari populasinnya dan ditimbang. Pengambilan dilakukan tanpa pengembalian.

    2.      Pengambilan diulangi sebanyak 100 kali.

    3.      Data bobot kacang kemudian dikelompokkan dan dibuat grafiknya.

    IV.             HASIL DAN PEMBAHASAN

    A.    Hasil

    1.      Percobaan 1

    ·         Frekuensi Alele

    GG (merah)     : 45

    Gg (hijau)        : 114

    gg (kuning)      : 41

    z          : 41

    q2            =    =  = 0,21

    q          =  = 0,46

    p + q     = 1

    p           = 1 – q

                    = 1 – 0,46

                    = 0,54

    ·         Frekuensi Genotip

    Ø  pp  = (p) 2 × 100 %

                = (0,54) 2 × 100 %

                = 29 %

    Ø  2pq= 2 (p) (q) × 100 %

    = 2 (0,54) (0,46) × 100 %

    = 50 %

    Ø  qq  = (q)× 100 %

    = (0,46) 2 × 100 %

    = 21 %

    ∑         = pp + 2pq + qq

                = 29 % + 50 % + 21 %

                = 100 %

    pp : 2pq : qq

    1   :    2   : 1

    Tabel Uji X 2

    Karikatur yang diamatiS
    (GG)(Gg)(gg)
    O4511441200
    E¼ x 200 = 50½ x 200 = 100¼ x 200 = 50200
    (│O-E│) 22519681302
    0,51,961,624,08
    X20,51,961,624,08

    x2 tabel = 5,99

    x2 hitung = 4,08

    x2 tabel > x2 hitung

    maka hasil signifikan / hasil pengujian sesui dengan perbandingan.

    2.      Percobaan 2

    ·         Frekuensi Alele

    GG      : 26

    Gg       : 50

    gg        : 24

    z          : 24

    q2            =    =  = 0,24

    q          =  = 0,49

    p + q     = 1

    p           = 1 – q

                              = 1 – 0,49

                            = 0,51

    ·         Frekuensi Genotip

    Ø  pp  = (p) 2 × 100 %

                = (0,51) 2 × 100 %

                = 26,01%

    Ø  2pq= 2 (p) (q) × 100 %

    = 2 (0,51) (0,49) × 100 %

    = 49,48 %

    Ø  qq  = (q) 2 × 100 %

    = (0,49) 2 × 100 %

    = 24,01 %

    ∑         = pp + 2pq + qq

                = 26,01 % + 49,48 % + 24,01 %

                = 100 %

    pp : 2pq : qq

    1   :    2   : 1

    Tabel Uji X 2

    Karikatur yang diamatiS
    (GG)(Gg)(gg)
    O265024100
    E¼ x 200 = 25½ x 200 = 50¼ x 200 = 25100
    (│O-E│) 21012
    0,0400,040,08
    X20,0400,040,08

    x2 tabel = 5,99

    x2 hitung = 0,08

    x2 tabel > x2 hitung

    maka hasil signifikan / hasil pengujian sesui dengan perbandingan.

    3.      Percobaan 3

    ·         tabel bobot tanaman kacang (g)

    Bobot0,20,30,40,5
    Jumlah1846306

    ·         Grafik bobot dan jumlah kacang tanah

    b.       Pembahasan

    Populasi dalam arti genetika atau biasa disebut dengan populasi Mendelian, ialah sekelompok individu suatu spesies yang bereproduksi secara seksual, hidup di tempat tertentu pada saat yang sama, dan di antara mereka terjadi perkawinan. Masing-masing dari mereka akan memberikan kontribusi genetik ke dalam lungkang gen, yaitu sekumpulan informasi genetik yang dibawa oleh semua individu di dalam populasi (Susanto, 2011).

    Sifat-sifat suatu individu pada populasi yang besar cenderung tidak berubah frekuensinya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini hanya dapat terjadi jika individu dalam populasi tersebut melakukan pekawinan secara acak dan tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Keadaan tersebut ternyata disadari oleh ilmuwan Hardy dan Weinberg yang kemudian mengemukakan Hukum Hardy-Weinberg. Isi dari hukum tersebut, seperti yang telah dilaporkan oleh Mangundidjojo (2014), bahwasannya “Bila tidak ada faktor-faktor yang berpengaruh yang dapat mengubah frekuensi gen pada suatu populasi, dan populasi tersebut mengadakan atau mengalami perkawinan acak secara terus-menerus dari satu generasi ke generasi berikutnya, frekuensi gennya tidak akan mengalami perubahan setelah satu kali mengalami random mating.”

    Frekuensi gen atau disebut juga dengan frekuensi alel menurut Crowder (2006), yaitu proporsi atau persentase alel yang berbeda yang menyusun lokus gen. Frekuensi alel ini juga akan berpengaruh pada frekuensi genotip dalam suatu populasi. Menurut  Susanto (2011), frekuensi genotip merupakan proporsi atau persentase genotip tertentu di dalam suatu populasi. Kemudian oleh Hardy-Weinberg keduanya dirumuskan sebagai hukum keseimbangan Hardy-Weinberg.

    Menurut Crowder (2006) dalam bukunya yang berjudul “Genetika Tumbuhan”, pada hukum keseimbangan Hardy-Weinberg terdapat beberapa asumsi yang harus terpenuhi yaitu :

    1.      Perkawinan secara rambang atau acak.

    2.      Tidak ada seleksi  

    3.      Tidak ada migrasi

    4.      Tiadk ada mutasi

    5.      Tidak ada penghanytan genetik rambang atau acak

    6.      Meiosis berlangsung normal

    Kaitan antara hukum keseimbangan Hardy-Weinberg dengan frekuensi alel maupun frekuensi genotip yaitu mempermudah analisa suatu populasi. Hukum ini akan menjawab apakah populasi tersebut berada dalam keseimbangan frekuensi alel yang stabil ataukah tidak. Hal ini ditujukan untuk mengukur kestabilan suatu populasi. Kemudian, apabila terjadi suatu penyimpangan  maka penyebabnya akan mudah diketahui.

    Crowder (2006) kembali melaporkan, bahwasannya Hardy dan Weinberg sadar bahwa keseimbangan alel dalam suatu populasi dapat digambarkan dengan rumus sederhana penjabaran binomial yaitu (p+q) 2 = 1. Penggunaan rumus ini yaitu untuk melukiskan keseimbangan yang dapat ditunjukkan dengan mengamati persilangan antara gamet dari genotip yang berbeda.

    Adanya keseimbangan dalam populasi akan memunculkan sifat kuantitatif dan kualitatif tertentu yang mencirikan suatu populasi dari populasi yang lain. Susanto (2011) menjelaskan, bahwasannya sifat kuantitatif merupakan sifat-sifat dengan sebaran kontinyu, mempunyai nilai tertentu yang dapat diperoleh melalui pengukuran. Sifat ini dikendalikan oleh banyak gen nonalelik yang masing-masing memberikan kontribusi relatif terhadap pemunculan suatu fenotip. Selain itu, sifat ini juga banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Contohnya saja tinggi suatu tanaman yang dinyatakan dengan satuan panjang tertentu seperti cm, km, dan lain sebagainya. Ketinggian suatu tanaman juga dapat dipengaruhi oleh zat hara maupun kadar air yang tersedia di lingkungan hidupnya. Maka dari itu, tinggi tanaman selain merupakan sifat bawaan dari induknya, juga terdapat faktor lingkungan yang menjadikan sifat tersebut dapat meningkat atau menurun.

    Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, keseimbangan populasi tidak hanya dapat dilihat dari sifat kuantitatif individu tersebut, melainkan juga dilihat dari sifat kualitatifnya. Menurut Susanto (2011), sifat kualitatif merupakan sifat yang tidak memerlukan pengukuran untuk mendapatkan nilai dari individu tersebut. Sifat ini diatur oleh sebuah gen dan sedikit dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Hal tersebut dapat terlihat contohnya pada bunga mawar yang berwarna merah. Warna merah pada bunga merupakan sifat yang diturunkan oleh induknya dalam suatu gen yan mengkode warna merah. Warna tersebut tidak akan berubah meskipun terdapat faktor lingkungan yang berbeda. Jadi, apabila terdapat tanaman mawar yang ditanam pada daerah A akan sama warna bunganya jika ditanam di daerah B.

    Mula-mula praktikan melakukan pengambilan kancing warna pada dua buah wadah pada percobaan 1 dan 2.  Masing-masing wadah berisikan dua warna kancing yaitu hijau (G) dan kuning (g) yang sama jumlahnya. Praktikan mengambil kancing warna dari keduanya secara bersamaan. Praktikan melakukan pengambilan kancing sebanyak 200 kali dengan pengembalian pada percobaan 1. Sedangkan pada percobaan 2 hanya dilakukan 100 kali pengambilan dengan pengembalian. Tiap warna pada kancing yang diambil dicatat dan dijumlahkan berdasarkan kelompoknya (GG, Gg, gg). Kemudian, dari data tersebut dilakukan uji Chi-square.

    Kemudian, dengan penghitungan secara sederhana meggunakan rumus p + q = 1, maka diketahui frekuensi alel pada percobaan 1 yaitu  0,54 (p) dan 0,46 (q) Sedangkan pada percobaan 2 nilai frekuensi alelnya yaitu 0,51 (p) dan 0,49 (q). Nilai pada frekuensi alel tersebut kemudian dimasukkan ke dalam perhitungan untuk mendapatkan nilai frekuensi genotipnya. Hasil percobaan 1menunjukkan  perbandingan pp : 2pq : qq yaitu 29% : 50 % : 21%. Sedangkan pada percobaan dua perbandingannya yaitu 26,01% : 49,48% : 24,01%. Kedua perbandingan tersebut sesuai dengan perbandingan genotip pada Hukum Mendel yaitu 1 : 2 : 1.

    Guna menguji, apakah hasil perhitungan tersebut telah memenuhi keseimbangan pada Hukum Hardy-Weinberg, maka dilakukanlah uji chi square. Uji chi square merupakan suatu cara untuk mengadakan evaluasi apakah hasil percobaan yang telah dilakukan sesuai dengan keadaan secara teoritis (Suryo, 2010). Maka berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan, didapatkan hasil x hitung pada percobaan 1 yaitu 4,08 dan pada percobaan 2 sebesar 0,08. Nilai tersebut lebih kecil dibandingkan x tabel yang nilainya mencapai 5,99. Hal ini menunjukkan bahwa hasil pengujian sesuai dengan perbandingan teoritis. Maka dapat disimpulkan hasil dari percobaan yang telah dilakukan sesuai dengan perbandingan pada teori Hukum Mendel II.

    Setelah melakukan pembuktian pada Hukum Hardy-Weinberg, praktikan kemudian melakukan pengukuran pada sifat kuantitatif suatu spesies. Pengukuran ini dilakukan menggunakan biji kacang. Mula-mula kacang pada kantong diambil dan ditimbang bobotnya. Masing-masing kacang dicatat bobotnya pada selembar kertas. Pengambilan tersebut diulang sebanyak 100 kali tanpa adanya pengulangan. Kemudian dari data yang ada, dibuatlah grafik yang menggambarkan banyaknya kacang pada tiap-tiap kelompok bobot. Menurut hasil perhitungan, bobot kacang yang paling banyak yaitu 0,3 g yang ditemukan  sebanyak 46 butir.

    V.                KESIMPULAN DAN SARAN

    A.    Kesimpulan

    1.      Frekuensi alel yaitu  persentase alel yang berbeda yang menyusun suatu lokes gen. Sedangkan frekuensi genotip yaitu persentase genotip dalam suatu populasi yang  besar.

    2.      Berdasarkan perhitungan pada percobaan 1 dan 2, maka terbukti percobaan sesuai dengan Hukum Hardy-Weinberg. Hal tersebut ditandai dengan hasil perhitungan x hitung pada kedua percobaan yang lebih kecil dibandingkan dengan x tabel.

    3.      Sifat kuantitatif merupakan sifat dari suatu organisme yang dapat diukur dan dinyatakan dengan angka-angka. Sifat ini memiliki besaran dan nilai. Pengukuran sifat kuantitatif dilakukan dengan penimbangan biji kacang yang diulang sebanyak 100 kali. Pada pengukuran, didapatkan bahwa kacang dengan bobot 0,3 g terdapat dalam jumlah yang paling banyak.

    B.     Saran

    Sebaiknya dalam melakukan praktikum, praktikan tetap fokus pada jalannya praktikum. Hal ini ditujukan agar tidak adanya kesalahan dalam memasukkan data dan perhitungan. Data yang salah dapat menimbulkan kesalahan hasil uji sehingga nilai dari perhitungan yang digunakan kurang dapat dipercaya kebenarannya.

    DAFTAR PUSTAKA

    Crowder, L. V. 2006. Genetika Tumbuhan. Yogyakarta : UGM Press.

    Dwiwinarsih, Rina. 2009. Analisis Tingkat Kepuasan Konsumen terhadap Pelayanan Bakmi Aisy di Depok. Jurnal Ekonomi Manajemen. Fakultas Ekonomi Universitas Gunadarma Depok.

    Mangoendidjojo, W. 2014. Genetika Populasi. Yogyakarta : UGM Press.

    Mariandayani, H. Nurcahya. 2012. Keragaman Kucing (Felis domesticus) berdasarkan Morfogenetik. Jurnal Peternakan Sriwijaya. Vol. 1. No. 1.  Hlm. 10-19.

    Suryo, H. 2010. Genetika. Yogyakarta : UGM Press.

    Susanto, H. Agus. 2011. Genetika. Yogyakarta : Graha Ilmu.

  • Laporan Praktikum BTLM – Perlakukan Bahan Organik Sebagai Pembenah dan Pemupukan Lahan Marginal

    Perlakukan Bahan Organik Sebagai Pembenah dan Pemupukan Lahan Marginal

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Lahan marginal atau lahan kritis merupakan lahan-lahan yang sifat-sifat fisika, kimia maupun biologinya mengalami penurunan kualitas sehingga tidak dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman dengan baik. Tiap tahunnya luas lahan marginal semakin bertambah. Hal ini dikarenakan adanya degradasi lahan sebagai efek samping dari konservasi lahan tanah pertanian menjadi industri, perumahan maupun pusat kota.

    Faktor pembatas pada lahan marginal yang umumnya ditemui pada suatu budidaya tanaman antara lain daya memegang air yang rendah serta tidak tersedianya hara bagi tanaman. Hal tersebut dapat diatasi salah satunya dengan melakukan penambahan  bahan organik ke dalam tanah. Bahan organik ini dapat berfungsi ganda yaitu sebagai pembenah tanah dan juga sebagai pupuk organik bagi tanaman.

    Kegiatan penambahan bahan organik ke dalam tanah ini diharapkan dapat meningkatkan daya memegang air tanaman serta memberikan tambahan pasokan hara tersedia bagi tanaman.selain itu, pemberian bahan organik juga diharapkan dapat merubah  struktur tanah sehingga tanah lebih mantap sebagai tempat tumbuh tanaman. Struktur tanah yang mantap akan menunjang pertumbuhan serta perkembangan tanaman yang baik. Sehingga, harapannya produk tanaman yang dihasilkan dari tanaman-tanaman yang ditanam di lahan marginal memiliki kualitas  serta kuantitas yang tinggi.

    B. Tujuan

    1. Mempelajari cara pemberian pembenah tanah pada lahan marginal
    2. Mempelajari cara pemberian pupuk pada lahan marginal
    3. Mengetahui pengaruh pemberian pembenah tanah dan pemupukan pada tanah pasir pantai terhadap pertumbuhan tanaman.

    Bab II. Tinjauan Pustaka

    A. Botani Jagung

    Jagung  (Zea  mays L.)  termasuk  dalam  keluarga  rerumputan. Tanaman  jagung  (Zea  mays L.)  dalam  sistematika  (Taksonomi)  tumbuhan diklasifikasikan sebagai berikut (Rukmana, 2010) :

    Kingdom         : Plantae

    Divisio             : Spermatophyta

    Sub Divisio     : Angiospermae

    Kelas               : Monocotyledonae

    Ordo                : Graminae

    Famili              : Graminaeae

    Genus              : Zea

    Spesies            : Zea mays L.

    Tanaman jagung termasuk jenis tanaman semusim. Akar tanaman jagung dapat tumbuh dan berkembang dengan baik pada kondisi tanah yang sesuai untuk pertumbuhan  dan  perkembangan  tanaman. Pada kondisi  tanah  yang  subur  dan

    gembur, jumlah akar tanaman jagung sangat banyak. Sementara pada tanah yang kurang baik akar yang tumbuh jumlahnya terbatas. Tanaman  jagung  tingginya  sangat  bervariasi,  tergantung pada  jenis varietas yang ditanam dan kesuburan tanah. Struktur daun tanaman jangung terdiri atas  tangkali  daun,  lidah  daun,  dan  telinga  daun.  Jumlah  daun  setiap  tanaman jagung  bervariasi  antara  8 – 48  helai,  namun  pada  umumnya  berkisar  antara 18 – 12 helai tergantung pada varietas dan umur tanaman daun jagung berbentuk pita  atau  garis  dengan  letak  tulang  daun  di  tengah- tengah  daun  sejajar  dengan daun,  berbulu halus,serta  warnanya  bervariasi  (Rukmana,  2010).

    Syarat tumbuh bagi tanaman jagung manis  yakni cahaya matahari  cukup atau  tidak  ternaungi,  suhu  optimum  240–300C,  curah  hujan  merata sepanjang umur tanaman antara 100–200 mm per bulan, ketinggian tempat optimal hingga 300  m dpl. Pertumbuhan  jagung  manis  optimal  pada  tanah lempung berdebu dan derajat kemasaman 5,0–7,0 serta bebas dari genangan air. Jagung  merupakan  tanaman  C4  yang  memiliki  daya  adaptasi  pada  faktor-faktor pembatas  pertumbuhan  seperti  intensitas  radiasi  surya  tinggi,  suhu  siang  dan malam yang tinggi, curah hujan rendah serta kesuburan tanah yang rendah (Emedinta, 2004).

    B.     Pupuk Bokashi

    Pupuk bokashi adalah pupuk organik hasil fermentasi dengan teknologi larutan EM-4 yang dapat digunakan untuk menyuburkan tanah dan menekan pertumbuhan patoge dalam tanah, efeknya dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman.Pupuk bokashi mudah dibuat dan siap pakali dalam waktu relatif singkat. Selain itu biaya pembuatannya murah sehingga sangat efektif dalam meningkatkan produksi pertanian.Bahan-bahan untuk mebuat bokashi sangat banyak. Terdapat di sekitar lahan pertanian, misalnya jerami padi, pupuk kandang, rumput, sampah hijauan, sekam padi, serbuk gergaji, dan lain-lain. Semua bahan organik akan difermentasi dalam kondisi semi hasil fermentasi bahan organaik yang mudah diserap oleh perakaran tanaman (Irawan, 2012)

    C. Pupuk Majemuk NPK

    Pupuk NPK merupakan salah satu jenis pupuk majemuk yang paling umum digunakan. Pupuk NPK adaah salah satu pupuk majemuk yang mengandung unsur Nitrogen (N), Posfor (P) dan Kalium (K) dengan kadar yang beragam. Jenis dan kadar unsur yang dikandungnya berdasarkan negara asalnya. Seperti amafoska I (12-24-12) dari Amerika Serikat, nitrofoska I (17.5-13-22) dari Jerman, compound fertilizer (14-12-9) dari Jepang dan NPK Holland (15-15-15) dari Belanda (Lingga dan Marsono, 2008).

    Pemakalian pupuk majemuk NPK akan memberi suplai N yang cukup besar ke dalam tanah, sehingga dengan pemberian pupuk NPK yang mengandung nitrogen tersebut akan membantu pertumbuhan tanaman. Pupuk NPK merupakan pupuk majemuk yang terdiri dari pupuk tunggal N, P dan K. Fungsi nitrogen sebagai pupuk adalah untuk memperbaiki pertumbuhan vegetatif tanaman (tanaman yang tumbuh pada tanah yang cukup N akan berwarna lebih hijau) dan membantu proses pembentukan protein (Hardjowigeno, 2003).

    Unsur kalium berfungsi membantu pembentukan protein dan karbohidrat, memperkuat jaringan tanaman serta membentuk antibodi tanaman melawan penyakit dan kekeringan. Salah satu fungsi spesifik unsur K adalah sebagai pengimbang atau penetral efek kelebihan N yang menyebabkan tanaman menjadi sukulen (awet muda) sehingga lebih mudah terserang hama penyakit, rapuh dan mudah rontoknya bunga, buah, daun, cabang. Hal ini karena unsur K berfungsi meningkatkan sintesis dan translokasi karbohidrat, sehingga mempercepat penebalan dinding-dinding sel dan ketegaran tangkali/buah/cabang (Hanafiah 2007).

    D. Bahan Pembenah Tanah

    Bahan pembenah tanah (soil  conditioner) adalah material-material yang ditambahkan  ke dalam tanah.  Pembenah  tanah  mampu  memperbaiki  struktur  tanah,  mengubah  kapasitas  tanah  menahan  dan melalukan  air,  sehingga  dapat  mendukung  pertumbuhan  tanaman.  Penambahan  pembenah  tanah  dapat meningkatkan  kapasitas  lapang  dan  pertumbuhan  tanaman, hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan produktivitas lahan. Peningkatan produktifitas pada lahan  yang  kritis  juga  diperlukan  sebagai penyokong  produktifitas  pertanian.  Lahan kritis  merupakan  lahan  yang  telah mengalami  kerusakan  baik  karena  curah hujan yang sangat rendah atau tekstur tanah yang  buruk  sehingga  berkurang  fungsinya. Salah satu cara dalam memperbaiki kondisi  tanah  tersebut  dengan menambahkan  pembenah  tanah.  (Abdurachman dan Sutono,  1997).

    III. METODE PRAKTIKUM

    A.    Tempat dan Waktu

    Praktikum ini dilakukan di screen house Fakultas Pertanian pada 30 September 2016 sampai dengan 28 Oktober 2016

    B.     Bahan dan Alat

    Bahan yang digunakan dalam praktikum ini yaitu pasir, benih jagung, pupuk bokashi, pupuk NPK, air, polybag dan label. Alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu timbangan, ember, gelas air mineral bekas 200 ml, timbangan analitik, kamera dan alat tulis.

    C.    Prosedur Kerja

    1.      Tanah pasir disiapkan dan ditimbang seberat 5 kg.

    2.      Dosis perlakuan bahan pembenah tanah yaitu =

    Bokashi B0 gram; B1 = 250 gram; B= 500 gram

    3.      Dosis perlakuan pemberian pupuk ditentukan dengan menghitung

    Pupuk NPK P0 = 0 gram; P1 = 5 gram; P2 = 10 gram

    4.      Perlakuan dosis pembenah tanah dan dosis pupuk disusun ke dalam rancangan faktorial 3×3 dengan  kombinasi dan diulang sebanyak 3 kali sehingga terdapat 27 unit percobaan

    5.      Pembenah tanah dan pupuk diberikan sesuai dengan perlakuan dosis dicampur dengan tanah pasir hingga merata lalu diberi tabel pada setiap polybag

    6.      Benih jagung ditanam pada masing-masing polybag sebanyak 3 biji/polybag. Media tanam disiram air terebih dahulu hingga kapasitas lapang sebelum ditanami benih.

    7.      Pemeiharaan dilakukan dengan penyiraman sejumah air 200 mm/polybag.

    8.      Pengendaian DPT dilakukan secara insidental.

    9.      Pengamatan terhadap variabel tinggi dan jumah daun diamati setiap 1 minggu sekali.

    10.  Variabel bobot basah tajuk panjang akar dan bobot akar diamati seteah 4 minggu.

    D. Rancangan Percobaan

    Rancangan Acak Kelompok

    1.      Perlakuan =

    Pupuk Bokashi            B= 0 g

                                        B1 = 250 g

                                        B2  = 500 g

    Pupuk NPK                 P = 0 g

                                        P1  = 5 g

                                        P2  = 10 g

    Kombinasi perlakuan            B0P0, B0P1, B0P2, B1P0, B1P1, B1P2, B2P1, B2P2, B2P0

    2.      Diulang sebanyak 3 kali

    3.     

    B2P2
    B2P1

    Denah Percobaan

    B1P0
    B2P0
    B1P2
    B0P1
    B1P1
    B0P2
    B0P0
    B2P2

    I                                                       

    B2P0
    B1P1
    B0P2
    B0P0
    B1P0
    B2P1
    B1P2
    B0P1

    II

    B2P2
    B0P0
    B2P0
    B1P1
    B0P2
    B1P0
    B0P1
    B2P1
    B1P2

    III

    IV. Hasil dan Pembahasan

    A. Hasil

    Tabel 1. Hasil sidik ragam perlakuan bokhasi dan pupuk NPK majemuk terhadap pertumbuhan tanaman jagung.
    No.VariabellPerlakuan
    BPBxP
    1Tinggi tanamanSnsntn
    2Jumlah daunSnsntn
    3Bobot basah tajukSnsntn
    4Bobot akartntntn
    5Panjang akartntntn
    Keterangan : B= pupuk bokhasi, P= pupuk NPK majemuk, BxP= kombinasi pupuk bokhasi dan pupuk NPK majemuk. sn= sangat nyata, n= nyata dan tn= tidak nyataKesimpulan :1.      Tinggi tanaman:Perlakuan pupuk bokhasi memberikan pengaruh sangat nyata terhadap tinggi tanamanPerlakuan pupuk NPK majemuk memberikan pengaruh sangat nyata terhadap tinggi tanamanPerlakuan kombinasi antara pupuk bokhasi dengan pupuk NPK majemuk memberikan pengaruh tidak nyata terhadap tinggi tanaman2.      Jumlah daun:Perlakuan pupuk bokhasi memberikan pengaruh sangat nyata terhadap jumlah daunPerlakuan pupuk NPK majemuk memberikan pengaruh sangat nyata terhadap jumlah daunPerlakuan kombinasi antara pupuk bokhasi dengan pupuk NPK majemuk memberikan pengaruh tidak nyata terhadap jumlah daun3.      Bobot basah tajuk:Perlakuan pupuk bokhasi memberikan pengaruh sangat nyata terhadap bobot basah tajukPerlakuan pupuk NPK majemuk memberikan pengaruh sangat nyata terhadap bobot basah tajukPerlakuan kombinasi antara pupuk bokhasi dengan pupuk NPK majemuk memberikan pengaruh tidak nyata terhadap bobot basah tajuk4.      Bobot akar:Perlakuan pupuk bokhasi memberikan pengaruh tidak nyata terhadap bobot akarPerlakuan pupuk NPK majemuk memberikan pengaruh tidak nyata terhadap bobot akarPerlakuan kombinasi antara pupuk bokhasi dengan pupuk NPK majemuk memberikan pengaruh tidak nyata terhadap bobot akar5.      Panjang akar:Perlakuan pupuk bokhasi memberikan pengaruh tidak nyata terhadap panjang akarPerlakuan pupuk NPK majemuk memberikan pengaruh tidak nyata terhadap panjang akarPerlakuan kombinasi antara pupuk bokhasi dengan pupuk NPK majemuk memberikan pengaruh tidak nyata terhadap panjang akar
    Tabel 2. Pengaruh perlakuan pupuk bokhasi dan pupuk NPK majemuk terhadap pertumbuhan tanaman jagung
    PerlakuanVariabell
    TTJDBOBOTBAPA
    B060,67 a7,67 b15,02 b3,96 b57,49 a
    B186,38 a9,44 a32,57 a5,47 a55 a
    B291,8 b9,22 a34,99 a4,65 ab46,78 a
    P073,86 b7,67 b19,89 b4,15 a55,17 ab
    P182,62 a9,11 a31,31 a4,91 a59,99 a
    P282,37 a9,56 a31,38 a5,02 a44,11 b
    B0P054,65,676,823,5966,03
    B0P163,178,3315,993,9262,9
    B0P264,23922,244,3843,53
    B1P085,43929,075,8660,43
    B1P189,479,6739,035,2459,2
    B1P284,239,6729,615,3145,37
    B2P081,538,3323,782,9939,03
    B2P195,239,3338,905,5657,87
    B2P298,631042,295,3943,43

    Keterangan : Angka yang diikuti huruf kecil (a,b) yang berbeda pada kolom dan perlakuan yang sama menunjukkan adanya perbedaan yang nyata setelah diuji menggunakan DMRT (α= 0,05). TT= Tinggi tanaman, JD= Jumlah daun, BOBOT= Bobot basah tajuk, BA= bobot akar dan PA= Panjang akar.

    B.     Pembahasan

    Pupuk adalah semua bahan yang ditambahkan pada tanah dengan maksud untuk memperbaiki sifat fisis, kimia dan biologis tanah. Sebagai tempat tumbuhnya tanaman, tanah harus subur, yaitu memiliki sifat fisis, kimia, dan biologi yang baik. Sifat fisis menyangkut kegemburan, porositas, dan daya serap. Sifat kimia mennyangkut pH serta ketersedian unsur-unsur hara. Sedangkan sifat biologis menyangkut kehidupan mikroorganisme dalam tanah. Tumbuhan memerlukan nutrisi baik zat organik maupun zat anorganik. Nutrisi organik diperoleh melalui proses fotosintesis, sedangkan nutrisi anorganik semuanya diperoleh melalui akar dari dalam tanah dalam bentuk zat-zat terlarut berupa kation dan anion yang mampu masuk ke dalam pembuluh xilem akar (Sulanjana, et al, 2005).

    Tujuan utama pemupukan adalah menjamin ketersediaan hara secara optimum untuk mendukung pertumbuhan tanaman sehingga diperoleh peningkatan hasil panen. Penggunaan pupuk yang efisien pada dasarnya adalah memberikan pupuk dalam bentuk dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan tanaman, dengan cara yang tepat dan pada saat yang tepat sesuai dengan kebutuhan dan tingkat pertumbuhan tanaman tersebut. Tanaman dapat menggunakan pupuk hanya pada perakaran aktif, tetapi sukar menyerap hara dari lapisan tanah yang kering atau mampat. Efisiensi pemupukan dapat ditaksir berdasarkan kenaikan bobot kering atau serapan hara terhadap satuan hara yang ditambahkan dalam pupuk tersebut (Lingga dan Marsono, 2008).

    Berdasarkan data hasil analisis sidik ragam, terlihat bahwa perlakuan bokashi dan pupuk NPK majemuk memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap variable pertumbuhan seperti tinggi tanaman, jumlah daun dan bobot basah tajuk, namun perlakuan keduanya memberikan pengaruh tidak nyata terhadap panjang akar dan bobot basah akar. Sedangkan pada interaksi perlakuan pupuk bokashi dan pupuk NPK majemuk pada semua variabel menunjukkan hasil yang tidak nyata atau dengan kata lain, tidak ada interaksi antara kedua perlakuan terhadap seluruh variabel yang diamati  Hasil tersebut selaras dengan hasil penelitian Abdulah (2013), yang menyatakan bahwasannya pemberian pupuk bokashi dan pupuk majemuk Phonska memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap tinggi tanaman jagung, jumlah daun, diameter batang, berat tongkol, dan panjang tongkol. Namun tidak terdapat interaksi antara pemberian bokasih eceng gondok dan Phonska terhadap pertumbuhan dan produksi jagung manis.

    Hasil dari analisis ragam pemberian pupuk bokashi dan pupuk NPK majemuk untuk variabel tinggi tanaman jumah daun dan bobot basah tajuk kemudian diuji lanjut menggunakan uji lanjut DMRT untuk melihat pengaruh dosis pupuk yang memberikan pengaruh besar. Perlakuan pupuk bokashi untuk variabel tinggi tanaman menunjukkan respon terbaik dan input paling efektif pada perlakuan tanpa pemberian pupuk bokashi sedangkan variabel jumah daun dan bobot basah tajuk menunjukkan respon terbaik dengan input paling efektif  pada pemberian pupuk bokashi 25 gram (50%).

    Pemberian pupuk bokashi dan pupuk NPK majemuk tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap variabel bobot basah akar dan panjang akar. Maka dari itu tidak dilakukan uji lanjut pada kedua variabel tersebut. Akan tetapi, variabel bobot basah akar menunjukkan respon paling baik pada pemberian pupuk bokashi 25 gram (50%) sedangkan variabel panjang akar menunjukkan respon terbaik pada perlakuan tanpa pemberian pupuk bokashi.

    Perlakuan pupuk NPK majemuk untuk variabel tinggi tanaman, jumah daun dan bobot basah tajuk menunjukkan respon terbaik dengan input paling efektif pada pemberian 5 gram pupuk. Sedangkan pada pemberian pupuk NPK majemuk pada variabel bobot basah akar dan panjang akar menunjukkan pengaruh tidak nyata sehingga tidak diakukan uji lanjut. Namun, pada variabel bobot basah akar, respon terbaik ditunjukkan dengan pemberian pupuk NPK majemuk sebanyak 10 gram sedangkan pada variabel panjang akar, respon terbaik ditunjukkan pada pemberian pupuk  5 gram.

    Data hasil sidik ragam menunjukkan bahwasannya pemberian pupuk dalam jumah yang lebih banyak tidak selalu memberikan respon yang lebih baik bila dibandingkan dengan pemberian pupuk yang lebih sedikit. Hal tersebut dijelaskan oleh  Hamidah (2009) bahwasannya secara teoritis suatu tanaman akan  tumbuh  subur  bila  elemen  yang  tersedia  cukup  dan  sesuai  dengan  kebutuhan tanaman.  Penambahan unsur hara yang berlebihan tidak menghasilkan pertumbuhan vegetatif maupun generatif yang sebanding dengan unsur hara yang diberikan.

    V. KESIMPULAN DAN SARAN

    A. Kesimpulan

    1.      Pemeberian pupuk bokashi atau pembenah tanah pada tanah pasir pantai dilakukan dengan cara dicampurkan ke dalam tanah pasir pantai. Pupuk bokashi berpotensi bekerja memperbaiki struktur fisik, kimia dan biologi tanah.

    2.      Sedangkan pemberian pupuk NPK majemuk dilakukan dengan cara membuat 3 buah lubang di daerah sekitar perakaran tanaman kemudian membenamkan pupuk ke dalam lubang tersebut.

    3.      Berdasarkan hasil pengamatan, perlakuan pemberian pupuk bokashi memberikan pengaruh sangat nyata terhadap variabel tinggi tanaman, jumah daun dan bobot basah tajuk namun  tidak berpengaruh nyata terhadap bobot basah akar dan panjang akar. Sama halnya pada perlakuan pemberian pupuk NPK majemuka. Namun tidak terjadi interaksi antara pemberian pupuk bokashi dengan pupuk NPK majemuk terhadap variabel yang diamati.

    B.     Saran

    Penyiraman sebaiknya diakukan secara teratur setiap hari agar tanaman tidak mengaami cekaman kekeringan sehingga perbedaan data pengukuran pada variabel pengamatan benar-benar data yang disebabkan karena adanya perbedaan perlakuan. Kemudian pada saat melakukan pengukuran dianjurkan untuk teliti dan mencantumkan 2 angka di belakang koma. Sebaiknya pengecekan alat-alat seperti timbangan harus lebih diperhatikan agar tidak terjadi kesalahan, sehingga data pengukuran yang diperoleh sesuai.

    DAFTAR PUSTAKA

    Abdurachman, A. dan S. Sutono. 1997. Teknologi Pengendaian Erosi Lahan Berlereng daam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering : Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.

    Hanafiah KA.  2007.  Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

    Hardjowigeno S. 2003. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Bogor.

    Irawan, Ujang. S. 2012. Teknik Pembuatan Pupuk Bokashi. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPMM). Booklet Catalog Repository. Consultant of Royal Danish Embassy in Jakarta, DIANIDA. International Development Coorporation. Embassy of Denmark

    Lingga dan Marsono. 2008. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penenbar Swadaya. Jakarta.

    Rukmana, R. 2010. Usaha Tani Jagung. Kanisius, Jakarta.

    Sulanjana, Agung, et al. 2005. Makalah Industri Pupuk dan Amonia. Bandung; Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA UPI.

  • Laporan Praktikum BTLM – Pengapuran Tanah Marginal

    Pengapuran Tanah Marginal

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Umumnya, daerah-daerah di Indonesia di dominasi dengan tanah Ultisol (Podsolik Merah Kuning). Tanah Podsolik Merah Kuning atau PMK ini bersifat masam dan tergolong ke dalam lahan marginal. Seperti yang telah diketahui bersama bahwasannya tanah pada lahan marginal tidak mampu mendukung usaha budidaya tanaman dengan baik. Maka dari itu, perlu dilakukan perbaikan sifat tanah terlebih dahulu sebelum melakukan budidaya tanaman di lahan marginal.

    Kendala yang biasanya dijumpai pada budidaya tanaman di tanah PMK yaitu keracunan ion-ion tertentu seperti Al dan Fe serta tidak tersedianya unsur hara P bagi tanah. Keadaan tersebut dipicu karena rendahnya pH sehingga tanah bersifat masam. Saat keadaan lingkungan menjadi tidak seimbang, maka komponen-komponen lain yang berada di tanah juga akan berubah menjadi tidak seimbang seperti halnya ketersediaan unsur hara. Kekurangan unsur hara pada tanaman akan menghambat proses metabolisme di dalam tubuh tanaman solehingga akan mempengaruhi pada hasil produksi tanaman.

    Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala pada tanah PMK yang bersifat masam yaitu dengan cara pengapuran. Kegiatan pengapuran bertujuan untuk menaikkan pH tanah. Pengapuran dilakukan menggunakan kapur pertanian berupa kalsit, dolomit, kapur tembok, kapur tohor dan lain-lain. Penyusun bahan-bahan kapur tersebut umumnya berupa Ca dan Mg. kedua unsur tersebut selain merupakan unsur hara esensial primer yang sangat dibutuhkan juga dapat menaikkan pH tanah. 

    B. Tujuan

    1. Mempelajari cara pemberian kapur pada tanah marginal asam.
    2. Mengetahui pengaruh pemberian kapur pada tanah masam terhadap pertumbuhan tanaman

    Bab II. Tinjauan Pustaka

    A. Tanah Podsolik Merah Kuning

    Sistem klasifikasi tanah USDA secara umum menggolongkan tanah Podsolik Merah Kuning (PMK) dalam ordo Ultisol. PMK merupakan bagian dari tanah Ultisol yang terbentuk karena curah hujan tinggi dan suhu rendah. Tanah ini umumnya berkembang dari bahan induk tua dan banyak ditemukan di daerah dengan bahan induk batuan liat (Hardjowigeno, 2007).

    Tanah  PMK  adalah  tanah  yang  mempunyai  perkembangan  profil, konsistensi  teguh, bereaksi  masam,  dengan  tingkat  kejenuhan  basa  rendah. Podsolik  merupakan  segolongan  tanah  yang  mengalami  perkembangn  profil dengan  batas  horizon  yang  jelas,  berwarna  merah  hingga  kuning  dengan kedalaman  satu  hingga  dua  meter.  Tanah  ini  memiliki  konsistensi  yang  teguh sampai  gembur  (makin  ke  bawah  makin  teguh),  permeabilitas  lambat  sampai sedang,  struktur  gumpal  pada  horizon  B  (makin  kebawah  makin  pejal),  tekstur beragam dan agregat berselaput liat. Di samping itu sering dijumpai konkresi besi dan kerikil kuarsa (Indrihastuti, 2004).

    Lebih jelasnya Ramadhani et al. (2015) menjelaskan bahwa kendala yang sering dihadapi pada tanah mineral PMK yaitu: pertama, pH tanah yang rendah, kelarutan Al, Fe, dan Mn yang tinggi, ketersediaan P dan Mo yang rendah. Kedua, ketersediaan kation-kation basa dan kejenuhan basa yang rendah mengakibatkan tanah bersifat masam dan miskin hara. Ketiga, dominasi mineral liat kaolinit dan oksida-oksida besi dan aluminium yang menyebabkan tanah ini memiliki kapasitas tukar kation yang rendah. Keempat, tingginya kandungan mineral-mineral dan apabila terlarut menyebabkan kejenuhan kation akan bersifat toksik bagi tanaman, serta anion-anion akan mudah terfiksasi menjadi tidak tersedia bagi tanaman.

    B. Kapur Kalsit

    Kalsit merupakan batu kapur karbonat yang tidak atau sedikit mengandung mengandung Mg (magnesium). Batu kapur ini merupakan CaCO3 kristalin (murni). Namun, perlu juga diketahui bahwa magnesium dalam batuan kapur bervariasi sampai sekitar 13% Mg atau 21% MgO. Apabila jumlah molekuler antara CaCO3 sama dengan MgCO3 (ekuimolekuler) disebut dolomit (>13% Mg), sedangkan apabila terdapat dalam perbandingan yang lain disebut dolomitik. Begitu juga dengan kalsit, bila tidak dalam bentuk kristalin maka biasa disebut dengan nama kalsitik (Harjanti, 2009).

    Masih menurut Harjanti (2009) kapur pertanian umumnya kalsitik. Kalsit memiliki sifat fisik berat jenis 2,71 dengan kekerasan 3,00 dalam skala Mohs, bentuk prismatik, tabular, bersifat pejal dan berbutir halus sampai kasar. Warna kalsit yang tidak murni adalah kuning, coklat, pink, biru, lavender, hijau pucat, abu-abu, dan hitam. Kalsit (CaCO3) umumnya ditemukan dengan pengotor seperti Fe, Mg, Mn dan terkadang Zn dan Co. Bentuk kalsit sangat bervariasi, yang paling umum adalah kristal rhombohedral dan scalenohedral. Kalsit memiliki sifat tembus transparan dan tembus cahaya serta memiliki ketahanan yang rapuh. Kalsit lebih mudah bereaksi (berbuih) dalam larutan HCl serta dalam kebanyakan asam-asam lainnya

    Menurut Lumbanraja dan Tampubolon (2013) selain meningkatkan kejenuhan basa tanah, kalsit juga dapat meningkatkan pH tanah, serta meningkatkan ketersediaan nutrien Ca bagi tanaman. Kapur pertanian tanpa Mg (kalsit) biasanya digunakan hanya untuk meningkatkan reaksi tanah dari sangat masam menjadi agak masam. Hal ini dilakukan agar pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik.

    C. Kapur Dolomit

    Kapur dolomit memiliki sifat fisik berwarna putih keabuabuan atau kebiru-biruan dengan kekerasan dolomit berkisar antara 3,50 – 4,00 dalam skala Mohs. Dolomit memiliki berat jenis antara 2,80 – 3,00. Selain itu dolomit bersifat pejal dan berbutir halus hingga kasar. Dolomit memiliki jumlah Ca dan Mg yang relatif seimbang, tetapi kadang kala ada satu elemen yang lebih besar persentasenya dari pada yang lain. Besi dan mangan terkadang ditemukan dalam jumlah kecil. Bentuk dolomit yang paling umum dalam grup kecil ialah kristal rhombohedral dengan lengkungan, nampak seperti pelana. Dolomit memiliki sifat tembus transparan dan tembus cahaya dalam pecahan yang tipis serta memiliki ketahanan yang rapuh. Dolomit lambat bereaksi dalam larutan HCl dan nitrit (Harjanti, 2009).

    D. Pengapuran pada Tanah Masam

    Pengapuran pada tanah masam dapat memperbaiki sifat fisik, kimiawi dan biologi tanah. Perbaikan sifat fisik tanah berlangsung cukup lama. Pengapuran berpengaruh bagi agregasi partikel tanah, juga pada aerasi dan perkolasi, serta struktur tanah (Sutedjo dan Kartasapoetra, 2002).

    Pemberian kapur dapat mempercepat proses dekomposisi melalui pengaktifan mikroorganisme, serta mempercepat pelepasan unsur-unsur yang terkandung dalam tandan kosong. Beberapa keuntungan yang dimiliki kapur yaitu: struktur tanahnya menjadi baik dan kolehidupan mikroorganisme dalam tanah lebih giat, akibatnya daya melapuk bahan organik menjadi humus lebih cepat, kelarutan zat-zat yang sifatnya meracuni tanaman menjadi menurun dan unsur lain tidak banyak terbuang, ditempat yang diberi kapur akan lebih leluasa ditanami berbagai jenis tanaman. Meningkatnya kesuburan fisik dan kimia tanah yang tercipta melalui pengapuran dan penambahan unsur hara yang cukup akan meningkatkan produktivitas dan pada akhirnya akan meningkatkan produksi tanaman yang dibudidayakan (Rahmawaty et al., 2012).

    Jumlah kapur yang dibutuhkan untuk menaikan pH tanah, tergantung kepada jenis dan derajat keasaman tanah itu sendiri.Waktu pengapuran adalah dua minggu sebelum tanam (Wardie, 2015). Penggunaan kapur dalam jangka panjang memiliki pengaruh yang kurang menguntungkan bagi keseimbangan hara dalam tanah. Sebagai contoh, ketersediaan kalium sangat dipengaruhi ololeh nisbah K/(Ca+Mg) dalam tanah. Penggunaan kapur juga akan mengurangi ketersediaan unsur mikro, terutama bila diberikan dalam jumlah yang berlebih. Kapur juga menyebabkan kadar bahan organik tanah merosot dengan cepat karena aktivitas mikroorganisme perombak menjadi lebih aktif. Ololeh karenanya penggunaan kapur terus-menerus harus dihindari untuk menjaga kualitas tanah tetap baik (Dariah et al., 2015).

    Bab III. Metode Praktikum

    A. Bahan dan Alat

    Bahan yang digunakan dalam praktikum ini yaitu pasir, benih jagung, kapur kalsit, kapur dolomit, pupuk NPK, air, polybag dan label. Alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu timbangan, ember, gelas air mineral bekas 200 ml, timbangan analitik, Ph meter, kamera dan alat tulis.

    B. Prosedur Kerja

    1.      Tanah PMK disiapkan dan ditimbang seberat 5 kg

    2.      Dosis perakuan pengapuran yaitu =

    Kalsit          = Ks= 7,32 gram

       Ks= 14,64 gram

    Dolomit      = D1  = 6,5 gram

       D2   = 13 gram

    Kontrol       = 0 gram

    3.      Perakuan dosis pengapuran disusun ke dalam rancangan faktorial dengan 3 perakuan kalsit, dolomit dan kontrol dan diulang sebanyak 5 kali. Jadi total ada 25 unit percobaan.

    4.      Kapur diberikan sesuai dengan perakuan dosis dicampur hingga merata dengan tanah PMK yang sudah disiapkan lalu diberi tabel pada setiap polybag sesuai denah percobaan.

    5.      Benih jagung ditanam pada masing-masing polybag sebanyak 3 biji/polybag. Media tanam disiram air terebih dahulu hingga kapasitas lapang sebelum ditanami benih.

    6.      Pemeliharaan dilakukan dengan penyiraman sejumah air 200 ml/polybag.

    7.      Pengendalian DPT dilakukan secara insidental.

    8.      Pengamatan terhadap variabel tinggi dan jumah daun diamati setiap 1 minggu sekali.

    9.      Variabel bobot basah tajuk, panjang akar dan bobot akar diamati seteah 4 minggu.

    D.    Rancangan Percobaan

    Rancangan Acak Kelompok

    1.      

    Perlakuan = Kalsit              Ks1 = 7,32 gram

                                          Ks2 = 14,64 gram

     Dolomit           D1 = 6,5 gram

                                           D2 = 13 gram

                  Kontrol            0 gram

    2.      Diulang sebanyak 5 kali

    3.      Denah Percobaan

    D1

    K
    D2
    D2
    Ks1
    Ks2
    K
    Ks2
    Ks1
    D1
    Ks1
    D2
    Ks2
    D2
    Ks2
    D1
    Ks1
    K
    D1
    K
    Ks2
    D1
    D2
    K
    Ks1

    I                                         

    II

    III

    IV

    V

    IV. Hasil dan Pembahasan

    A. Hasil

    Tabel 1. Hasill sidik ragam perlakuan terhadap pertumbuhan tanaman jagung
    NoVariabelHasill
    1Tinggi tanamantn
    2Jumlah dauntn
    3Bobot basah tajukn
    4Panjang akartn
    keterangan : sn= sangat nyata, n= nyata dan tn= tidak nyataKesimpulan:1.      Perlakuan kapur kalsit dan dolomit memberikan pengaruh tidak nyata terhadap tinggi tanaman2.      Perlakuan kapur kalsit dan dolomit memberikan pengaruh tidak nyata terhadap jumlah daun3.      Perlakuan kapur kalsit dan dolomit memberikan pengaruh nyata terhadap bobot basah bajuk4.      Perlakuan kapur kalsit dan dolomit memberikan pengaruh tidak nyata terhadap panjang akarTabel 2. Pengaruh perlakuan terhadap pertumbuhan tanaman jagungPerlakuanVariabelTTJDBOBOTPAKontrol77,947,8 15,96 a 57,64D172,487,4 10,47 b 65,22D271,186,6 9,61 b 33,4Ks165,626,6 8,49 b 58,7Ks264,96,8 8,46 b 68,02Keterangan : Angka yang diikuti huruf kecil (a,b) yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan yang nyata setelah diuji menggunakan DMRT (α= 0,05). TT= Tinggi tanaman, JD= Jumlah daun, BOBOT= Bobot basah tajuk dan PA= Panjang akar.

    Tabel 3. Pengamatan pH

    PerlakuanpH
    Kontrol3,5
    Ks14,0
    Ks24,1
    D14,4
    D24,4

    Kesimpulan:

    1.        Perlakuan kontrol pada tanah PMK menghasillkan pH tanah akhir 3,5

    2.        Penambahan kapur kalsit 50% (Ks1) pada tanah PMK menghasillkan pH tanah akhir 4,0

    3.        Penambahan kapur kalsit 100% (Ks2) pada tanah PMK menghasillkan pH tanah akhir 4,1

    4.        Penambahan kapur dolomit 50% (D1) pada tanah PMK menghasillkan pH tanah akhir 4,4

    5.        Penambahan kapur dolomit 100% (D2) pada tanah PMK menghasillkan pH tanah akhir 4,4

    B. Pembahasan

    Berdasarkan data hasill analisis sidik ragam, terlihat bahwa perlakuan kapur kalsit dan dolomit tidak memberikan pengaruh terhadap variabe pertumbuhan seperti tinggi tanaman jumah daun dan panjang akar perakuan kapur kalsit dan dolomit hanya memberikan pengaruh terhadap variabe bobot basah tajuk Hasill dari analisis ragam perlakuan kapur kalsit dan dolomit untuk variabe bobot basah tajuk kemudian diuji lanjut menggunakan uji lanjut DMRT untuk melihat pengaruh dosis pupuk yang memberikan pengaruh terbesar. Perlakuan kapur kalsit dan dolomit untuk variabe bobot basah tajuk menunjukkan respn terbaik dan input paing efektif pada perakuan tanpa pemberian kapur kalsit dan dolomit

    M. Gonggo, et al (2004) melakukan penelitian terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman jagung pada lahan gambut dengan penerapan teknologi tampurin. Lahan gambut merupakan salah satu contoh lahan masam. Teknologi tampurin yaitu pemberian pupuk berupa campuran bahan pupuk dan ameiloran kecuali urea (280 g) yaitu SP-36 (280 g), KCl (150 g), Dolomit (1400 g), Terusi (14 g), Mamikr (14 g), Abu janjang kelapa sawit (350 g) dan kotoran sapi (140 g). Hasil dari penelitian tersebut menyatakan bahwasannya pertumbuhan dan hasil tanaman jagung pada lahan gambut tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antara tanaman yang diberikan perlakuan tampurin dengan kontrol.

    Sebelumnya, Ardi (1988) juga menyatakan bahwasannya pengaruh pengapuran dan inkubasi terhadap C, N, C/N, fosfat dan katoin basa dapat ditukar tidak nyata sehingga hasil yang didapat dari perlakuan tampurin lengkap dan perlakuan lainnya juga kontrol berbeda tidak nyata. Bahkan berdasarkan data pengamatan peubah pertumbuhan dan hasil tanaman jagung yang dikumpulkan nilai rata-rata perlakuan cenderung kecil jika dibandingkan perlakuan lainnya termasuk juga dengan kontrol.

    Perlakuan kapur kalsit dan dolomit tidak memberikan pengaruh terhadap variabel tinggi tanaman, jumah daun dan panjang akar sehingga tidak dilakukan uji lanjut pada ketiga variabel tersebut. Akan tetapi, variabel tinggi tanaman dan jumlah daun memiliki respon paling baik pada perlakuan tanpa pemberian kapur kalsit dan dolomit. Sedangkan variabel panjang akar menunjukkan respon terbaik pada perlakuan pemberian kapur kalsit 14,64 gram (100%).

    Kemasaman tanah PMK pada saat praktikum diukur menggunakan pH meter. Hasil dari pengukuran tersebut didapatkan data pH tanah pada perlakuan kontrol sebesar 3,5. Pemberian kapur kalsit sebanyak 7,32 gram menaikkan pH tanah menjadi 4. Penambahan kapur kalsit sebanyak 14,64 gram juga menaikkan pH tanah menjadi 4,1. Sedangkan pada perakuan kapur dolomit pemberian kapur dolomit sebanyak 6,5 gram menaikkan pH tanah menjadi 4,4. Begitu pula pada penambahan kapur dolomit sebanyak 13 gram menaikkan pH tanah menjadi 4,4.

    Menurut Emedinta (2004), pertumbuhan  tanaman jagung  manis  optimal  pada  tanah lempung berdebu dan derajat kemasaman 5,0–7,0 serta bebas dari genangan air. Jagung  merupakan  tanaman  C4  yang  memiliki  daya  adaptasi  pada  faktor-faktor pembatas  pertumbuhan  seperti  intensitas  radiasi  surya  tinggi,  suhu  siang  dan malam yang tinggi, curah hujan rendah serta kesuburan tanah yang rendah karena faktr kekeringan maupun ahan yang masam

    Berdasarkan data yang telah terkumpul dari hasil pengamatan selama 4 MST maka dapat diketahui bahwa penambahan bahan kapur pada tanah PMK tidak menaikkan pH secara signifikan. Pertumbuhan tanaman terbaik ditunjukkan justru pada perlakuan kontrol. Hal ini dikarenakan tanaman jagung dapat beradaptasi secara luas sehingga tetap dapat tumbuh dengan baik di lingkungan yang masam.

    V. KESIMPULAN DAN SARAN

    A.    Kesimpulan

    1.      Cara pemberian kapur pada tanah masam yaitu dengan mencampur bahan kapur dengan tanah PMK secara rata sebelum melakukan penanaman.

    2.      Pemberian kapur pada tanah masam berupa tanah PMK memberikan pengaruh terhadap variabel bobot basah tajuk namun tidak berpengaruh terhadap variabel tinggi tanaman, jumah daun dan panjang akar.

    B. Saran

    Sebaiknya pada saat memberikan kapur dilakukan di luar polybag agar kapur tercampur secara merata. Pada tanah, pengapuran juga sebaiknya dilakukan 2 minggu sebelum tanaman. Hal ini ditujukan agar efek pengapuran terhadap peninggkatan pH tanah dapat terilhat secara nyata serta memberikan lingkungan tumbuh yang baik bagi tanaman jagung. Lingkungan yang optimal secara langsung akan mempengaruhi produksi tanaman jagung.

    DAFTAR PUSTAKA

    Ardi, D. S. 1988. Pengaruh Pengapuran dan Inkubasi terhadap Sifat Kimia Tanah Gambut Dendang Tiga, Jambi. Pros Pertemuan Teknis Penelitian Tanah, Cipayung. 189-199.

    Dariah, Ai. et al. 2015. Pembenah Tanah untuk Meningkatkan Produktivitas Lahan Pertanian. Jurnal Sumberdaya Lahan. Vol. 9 (2) : 67-84.

    Hardjowigeno, S. 2007. Ilmu Tanah. Akademi Pessindo. Jakarta.

    Harjanti, R. S. 2009. Pengujian Efektivitas Bahan Pembenah Tanah Dolomit untuk Tanah Masam. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

    Lumbanraja, P dan B. Tampubolon. 2013. Pengaruh Aplikasi Kalsit dan Pupuk Organik Hakoko terhadap Ca-dd, Al-dd dan Hasill Biji Kedelai (Glycine max (L) Merr.) pada Ultisol Simalingkar. Jurnal Ilmiah Pendidikan Tinggi. Vol. 6 (1) : 114-121.

    M. Gonggo, Bambang, Purwanto, Biman W. Simanihuruk dan J. Arto. Pertumbuhan dan Hasi Jagung pada Lahan Gambut dengan Penerapan Teknologi Tampurin. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertannian Indonesia. Vol. 6 : (1) 14-21.

    Rahmawaty, et al. 2012. Pengaruh Pemberian Tandan Kosong Sawit dan Kapur Dolomit Sebagai Campuran Media Tanam terhadap Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit ( Elaeis quenensis Jacq. ) di Main Nursery. Jurnal Agrifarm. Vol. 1 (1) : 14-18.

    Ramadhani, F. et al. 2015. Pemanfaatan Beberapa Jenis dan Dosis Limbah Kelapa Sawit (Elaeis guinensis Jacq) terhadap Perubahan pH, N, P, K Tanah Podsolik Merah Kuning (PMK). Jurnal Agroteknologi. Vol. 6 (1) : 9-16.

    Sutedjo, M. M. dan A. G. Kartasapoetra. 2002. Pengantar Ilmu Tanah. Rineka Cipta. Jakarta.

    Wardie, J. 2015. Analisis Pendapatan dan Kesejahteraan Petani Padi Lokal Lahan Padang Surut di Kapuas. Agros. Vol. 17 (2) : 153-165.

  • Laporan Praktikum BTLM – Pemberian Arang pada Tanah Pasir untuk Meningkatkan Ketersedian Air Bagi Tanaman

    Pemberian Arang pada Tana Pasir untuk Meningkatkan Ketersedian Air Bagi Tanaman

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Indonesia merupakan negara kepulauan sehingga Indonesia memiliki garis pantai yang panjang. Daerah pesisir pantai umumnya merupakan lahan-lahan marginal berupa lahan pasir pantai. Faktor pembatas pada lahan pasir pantai dalam budidaya tanaman yaitu daya memegang air yang rendah serta salinitas yang tinggi. Maka dari itu, perlu dilakukan upaya pembenahan sifat fisika dan kimia tanah agar lahan tersebut dapat digunakan sebagai lahan pertanian.

    Daya memegang air yang rendah pada lahan pasir pantai dikarenakan struktur tanah yang tidak mantap. Guna memperbaiki struktur tanah tersebut salah satu hal yang dapat diusahakan yaitu pemberian bahan organik pada tanah pasir. Bahan organik tersebut diharapkan mampu memperbaiki sifat fisik tanah sehingga tanah lebih mantap dan kehiangan air dapat dikurangi.

    Guna meningkatkan daya memegang air pada tanah pasir pantai maka pada kesempatan kali ini akan diperkenalkan teknologi biochar. Biochar yaitu suatu bahan berbentuk arang yang mengandung karbon tinggi dan dibuat melalui biomassa pertanian yang dibakar. Biochar ini berfungsi sebagai pembenah tanah serta sumber hara. Perannya sebagai pembenah tanah inilah yang menyebabkan perubahan sifat fisik pada tanah pasir pantai sehingga dapat meningkatkan lengas tanah.

    B. Tujuan

    1. Mempelajari cara pemberian arang sebagai pembenah tanah pada lahan marginal.

    2. Mengetahui pengaruh pemberian arang pada tanah pasir terhadap pertumbuhan tanaman.

    Bab II. Tinjauan Pustaka

    A. Tanah Pasir Pantai

    Salah satu yang termasuk ke dalam lahan marginal adalah lahan pasir. Selama ini penanganan lahan pasir  masih relatif kurang. Pulau Jawa memiliki pantai yang luas 81.000 km2 potensial dikembangkan sebagai lahan pertanian. Provinsi DIY memiliki lahan pasir pantai seluas sekitar 3.300 hektar atau 4% luas wilayah, terbentang sepanjang 110 km dipantai selatan lautan Indonesia. Bentangan pasir pantai ini berkisar antara 1-3 km dari garis pantai. Sistem bentang darat ini mudah goyah mengakibatkan terhambatnya proses pembentukan tanah (Yuwono, 2009).

    Lahan pasir pantai merupakan lahan marjinal dengan ciri-ciri antara lain : tekstur pasiran, struktur lepas-lepas, kandungan hara rendah, kemampuan menukar kation rendah, daya menyimpan air rendah, suhu tanah di siang hari sangat tinggi, kecepatan angin dan laju evaporasi sangat tinggi. Upaya perbaikan sifat-sifat tanah dan lingkungan mikro sangat diperlukan, antara lain misalnya dengan penyiraman yang teratur, penggunaan mulsa penutup tanah, penggunaan pemecah angin (wind breaker), penggunaan bahan pembenah tanah (marling), penggunaan lapisan kedap, dan pemberian pupuk (baik organik maupun an-organik) (Yuwono, 2009).

    Kemampuan menahan air yang rendah, akan meyebabkan kolehilangan unsur hara dari dalam tanah melalui pelindian akan semakin besar berjalan dengan semakin tingginya curah hujan (Hakim et al., 1986). Tekstur tanah berpasir juga akan menyebabkan banyak pupuk terlindi karena mempunyai laju infiltasi yang cepat (Widjajaadi et al., 1987). Unsur utama yang sering hilang dari dalam tanah melalui pelindian adalah N, K, Ca, dan Mg (Hakim et al., 1986). Lebih jauh lagi, tanah bertekstur pasiran juga mempunyai kandungan bahan organik dan hara N yang rendah solehingga tanah ini memerlukan pemberian hara N yang cukup banyak, sedangkan kemungkinan kolehilangan hara N melalui pelindian cukup besar (Rinsemi, 1993).

    B. Arang Sekam

    Nurbaity (2011) menjelaskan, sekam merupakan sumber bahan organik yang mudah didapat yang berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan pembawa pupuk hayati FMA. Sekam padi merupakan bahan organik yang berasal dari limbah pertanian yang mengandung beberapa unsur penting seperti protein kasar, lemak, serat kasar, karbon, hidrogen, oksigen dan silika (Balai Penelitian Pascapanen Pertanian, 2001). Menurut Agustin, et al (2014) arang sekam padi memiliki daya serap tinggi karena memiliki pori yang banyak karena luas permukaan yang besar solehingga mampu menyerap air dan hara yang ada disekitarnya untuk disimpan dalam pori tersebut. Arang sekam padi mempunyai luas permukaan dalam antara 300-2000 m2/g (Soemeinaboedhy dan Tejowulan, 2007).

    C. Arang Kayu

    Arang mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai penyerap karena memiliki luas permukaan yang besar dan kurang lebih sama dengan koloid tanah. Arang aktif mempunyai daya serap (adsorpsi) yang tinggi terhadap bahan berbentuk larutan atau uap. Sifat penting arang kayu adalah kerapatan totalnya antara 1,38-1,46 g/cm3, porositasnya 70%, permukaan dalam 50 m3/g, berat bagian terbesar ntara 80-220 kg/m2, kandungan karbon 80-90%, kandungan abu 1-2%, dan zat mudah menguap antara 10-18% (Soemeinaboedhy dan Tejowulan, 2007).

    D. Rekayasa Teknologi untuk Meningkatkan Daya Ikat Air

    Air merupakan bagian terpenting dari suatu makhluk hidup. Faktor yang sangat mempengaruhi ketersediaan air di dalam tanah adalah sifat fisik tanah dimana tanah mempunyai tekstur liat, porositas dan infiltrasi rendah solehingga daya serap air menjadi rendah. Inovasi pembenah tanah alami yang belum dijadikan kebijakan ololeh pemerintah salah satu diantaranya adalah zeolit. Zeolit sebagai pembenah tanah adalah mineral dari senyawa aluminosilikat terhidrasi dengan struktur berongga dan kation-kation alkali yang dapat dipertukarkan (Juliana, et al, 2015). Zeolit sebagai pembenah yang diberikan ke dalam tanah dengan jumlah yang cukup banyak dapat memperbaiki sifat-sifat fisik, kimia, dan biologi tanah solehingga produksi pertanian dapat ditingkatkan (Abdillah, 2008).

    Aplikasi zeolit umumnya bertujuan untuk meningkatkan kemampuan tanah dalam menyimpan dan menyediakan air serta unsure hara untuk kebutuhan tanaman, dan juga untuk menekan kolehilangan air dan unsure hara akibat lahan kering (Rahutomo, et al, 2010). Selain dapat menyimpan air dan unsure hara, zeolit juga dapat mengontrol dan menaikkan pH tanah, kelembaban tanah, serta sebagai carrier pestisida, herbisida, dan fungisida. Penambahan zeolit pada pupuk kandang juga dapat meningkatkan proses nitrifikasi (Abdillah, 2008).

    Bab III. Metode Praktikum

    A. Bahan dan Alat

    Bahan yang digunakan meliputi tanah pasir, air, arang sekam, arang kayu, benih jagung dan pupuk NPK. Alat yang digunakan yaitu polibag, ember, timbangan, screen house, penggaris dan alat tulis.

    B. Prosedur Kerja

    1. Tanah pasir disiapkan dan ditimbang sebanyak 5 kg.
    2. Dosis perlakuan bahan pembenah tanah, yaitu :

    Arang sekam            As1 = 31 g

                                     As2 = 62 g

    Arang kayu              Ak1 = 31 g

                                     Ak2 = 62 g

    Kontrol                      K = 0 g

    3.      Perlakuan dosis pembenah tanah disusun ke dalam RAKL dan diulang sebanyak 5 kali, sehingga terdapat 25 unit percobaan.

    4.      Pembenah tanah diberikan sesuai dengan dosis, dicampur dengan tanah pasir hingga merata, lalu diberi label pada setiap polibag.

    5.      Media tanam disiram air terlebih dahulu hingga kapasitas lapang sebelum ditanam benih. Benih jagung ditanam pada masing-masing polibag sebanyak 3 biji / polibag.

    6.      Pemeliharaan dilakukan dengan penyiraman sejumlah air 200 ml / polibag.

    7.      Pengendalian dapat dilakukan secara insidental.

    8.      Pemupukan dilakukan pada 10 hari setelah tanam dan 20 hari setelah tanam dengan dosis 25 g / polibag.

    9.      Pengamatan terhadap variabell tinggi dan jumlah daun dilakukan setiap 1 minggu sekali.

    10.  Variabell diamati bobot basah tajuk, bobot akar dan panjang akar dilakukan setelah 4 minggu.

    D.    Rancangan Percobaan

    Rancangan Acak Kelompok

    1        Perlakuan = Arang Sekam         As1 = 31 g

                                                        As2 = 62 g

                        Arang Kayu            Ak1 = 31 g

                                                       Ak2 = 62 g

                        Kontrol                    0 g

    2        Diulang sebanyak 5 kali

    3        Denah Percobaan

                    

    I                                       

    II

    III

    IV

    V

    IV. Hasil dan Pembahasan

    A. Hasil

    Tabel 1. Hasil sidik ragam perlakuan terhadap pertumbuhan tanaman jagung
    NoVariabellHasil
    1Tinggi tanamantn
    2Jumlah dauntn
    3Bobot basah tajuktn
    4Bobot akartn
    5Panjang akartn
    keterangan : sn= sangat nyata, n= nyata dan tn= tidak nyataKesimpulan:1.      Perlakuan arang sekam memberikan pengaruh tidak nyata terhadap tinggi tanaman2.      Perlakuan arang sekam memberikan pengaruh tidak nyata terhadap jumlah daun3.      Perlakuan arang sekam memberikan pengaruh tidak nyata terhadap bobot basah tajuk4.      Perlakuan arang sekam memberikan pengaruh tidak nyata terhadap bobot akar5.      Perlakuan arang sekam memberikan pengaruh tidak nyata terhadap panjang akar
    Tabel 2. Pengaruh perlakuan terhadap pertumbuhan tanaman jagung
    PerlakuanVariabell
    TTJDBOBOTBAPA
    Kontrol78,328,2 20,49 3,65  48,6
    Ak1768,2 18,813,94 51,92
    Ak270,928 16,773,25 48,24
    As181,328,6 21,933,61 62,48
    As277,187,2 16,242,69 51,3

    Keterangan : Angka yang diikuti huruf kecil (a,b) yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan yang nyata setelah diuji menggunakan DMRT (α= 0,05). TT= Tinggi tanaman, JD= Jumlah daun, BOBOT= Bobot basah tajuk, BA= Bobot akar dan PA= Panjang akar.

    B. Pembahasan

    Secara teoritis lahan pasir pantai didominasi oleh pasir dengan kandungan lebih dari 70%, porositas rendah atau kurang dari 40%, sebagian besar ruang pori berukuran besar solehingga aerasinya baik, daya hantar cepat, tetapi kemampuan menyimpan air dan zat hara rendah. Dari segi kimia, tanah pasir cukup mengandung unsur fosfor dan kalium yang belum siap diserap tanaman, tetapi lahan pasir kekurangan unsur nitrogen (Sunardi dan Sarjono, 2007). Salah satu cara yang dapat dipergunakan untuk meningkatkan efisiensi pemupukan adalah dengan pemberian arang (charcoal). Arang merupakan jenis-jenis bahan organik yang berasal dari berbagai sumber. Sumber dan komposisi bahan yang berbeda akan menyebabkan kemampuan mempengaruhi penyediaan fosfor dan kalium pada tanah berbeda pula (Nurhayati, et al, 1986).

    Salah satu bahan pembenah tanah yang sering digunakan adalah arang sekam dan arang kayu. Arang sekam sering dimanfaatkan petani untuk memperbaiki tanah pertanian. Selain itu, telah banyak penelitian yang menggunakan arang sekam untuk campuran media tanam dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman. Penggunaan arang sekam dapat memperbaiki sifat fisik maupun kimia tanah (Kusuma, 2013).

    Berdasarkan data hasil analisis sidik ragam, terlihat bahwa perlakuan pemberian arang sekam dan arang kayu tidak memberikan pengaruh terhadap variabel pertumbuhan tanaman seperti tinggi tanaman, jumah daun, bobot basah tajuk, bobot akar dan panjang akar. Oleh karena itu tidak dilakukan uji lanjut pada variabel-variabel tersebut. Akan tetapi, variabel tinggi tanaman, jumah daun, bobot basah tajuk dan panjang akar memiliki respon paling baik pada perlakuan pemberian arang sekam sebanyak 31 gram. Sedangkan variabel  bobot akar menunjukkan respon terbaik pada perlakuan pemberian arang kayu sebanyak 31 gram.

    Penggunaan arang di Jepang dapat meningkatkan produksi padi sampai 50%. Selain itu penggunaan arang dapat menambah jumlah daun serta memperluas tajuk pohon tanaman hutan kota, solehingga efektif untuk mengurangi serta menurunkan polusi dan suhu udara melalui penyerapan CO3 udara (Gusmailina,et al., 2015). Media tumbuh semai melina (Gmelina arborea Roxb) yang ditambahkan arang aktif dengan kadar 15% dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi 8,20%, diameter batang 45,95% dan bobot biomassa 58,82% (Lempang dan Tikupadang, 2013). Penggunaan arang aktif juga menunjukkan pengaruh sangat nyata terhadap pertumbuhan akar dan bobot biomassa tanaman pule landak, serta pengembangan stek tanaman Capsicum omnium (Ciner & Tipirdamaz, 2002), juga mencegah pembusukan akar pada tanaman melon (Lempang, 2013).

    Meskipun hasil sidik ragam menunjukkan bahwa semua perlakuan berpengaruh tidak nyata, namun tabel 3.2 menunjukkan bahwa nilai variabel tertinggi diperoleh dari media tanam yang diberi perlakuan arang. Arang mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai penyerap dan pelepas unsur hara (pupuk) dalam bidang kesuburan tanah karena memiliki luas permukaan yang besar dan kurang lebih sama dengan koloid tanah. Arang mempunyai daya serap (adsorpsi) yang tinggi terhadap bahan yang berbentuk larutan atau uap (Pohan, et al, 2002). Gusmailina, et al (2015) menambahkan bahwa pemberian arang/biochar dengan dosis 2,5 ton/ha cenderung meningkatkan agregasi tanah. Selain itu aplikasi mulsa dan pembenah tanah berbahan dasar arang berpengaruh terhadap peningkatan pertumbuhan dan produksi jagung.

    V. KESIMPULAN DAN SARAN

    A.    Kesimpulan

    1.      Cara pemberian arang pada tanah pasir pantai yaitu dengan mencampur arang dengan tanah pasir pantai secara merata sebelum melakukan penanaman.

    2.      Pemberian arang pada tanah pasir pantai tidak memberikan pengaruh terhadap variabel-variabel pertumbuhan seperti tinggi tanaman, jumah daun, bobot basah tajuk, bobot akar dan pangjang akar.

    B. Saran

    Sebaiknya pada saat memberikan arang dilakukan di luar polybag agar arang tercampur secara merata pada tanah. Dosis pemberian arang juga perlu ditambah agar dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap variabel pertumbuhan. Peletakan polybag juga sebaiknya di tempat yang kering atau terlindung dari hujan. Hal ini ditujukan agar polybag tidak tergenang oleh air.

    DAFTAR PUSTAKA

    Hakim, N., Yusuf, N., Lubis, A. M., Sutopo, G. N., Go Ban Hong, dan Bailey, H. H.        1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

    Juliana, Mia. 2011. Karakteristik fisik dan kimia kompos bokashi, arang sekam, dan arang kayu terhadap penyerapan gas amoniak (NH3). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB, Bogor.

    Kusuma. 2013.  Pengaruh penambahan arang dan abu sekam dengan proporsi yang berbeda terhadap permeabilitas dan porositas tanah liat serta pertumbuhan kacang hijau (Vigna radiataL). Buletin Anatomi dan Fisiologi. 21(1).

    Nurbaity, A., A. Setiawan, and M. Oviyanti. 2011. “Efektivitas Arang Sekam Sebagai Bahan Pembawa Pupuk Hayati Mikoriza Arbuskula pada Produksi Sorgum. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. Bandung

    Rinsema, W. T. 1993. Pupuk dan Cara Pemupukan. Bharata Karya Aksara. Jakarta.

    Soemeinaboedhy, N., dan R. S. Tejowulan. 2007. Pemanfaatan beberapa macam arang sebagai sumber unsur hara P dan K serta sebagai pembenah tanah. Agroteksos. 17(2):114–122.

    Widjajaadji, I. P. G., Suwardjo, H., dan Soepartini, M. 1987. Faktor Tanah dalam Menentukan Kebutuhan dan Meningkatakan Efisiensi Penggunaan Pupuk. Prosiding Lokakarya Nasional Efisiensi Pupuk. Puslittan Balitbang Deptan: 183-203.

    Yuwono, N. W. 2009. Membangun kesuburan tanah di lahan marginal. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan. Vol 9(2): 137-141.

  • Laporan Praktikum Genetika Tumbuhan – Persilangan Dihibrid

    Praktikum Persilangan Dihibrid

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Persilangan dihibrid merupakan persilangan antaradua individu dengan dua sifat beda. Persilangan ini seringkali dihubungkan dengan Hukum Mendel II mengenai kombinasi antara dua gen yang terjadi secara bebas. Menurut Mendel, apabila terdapat dua individu yang memiliki dua sifat beda dan melakukan perkawinan, maka akan menghasilkan anakan dengan perbandingan 9 : 3: 3 : 1. Perbandingan ini akan muncul dari sepasang indukan yang memiliki sepasang alel yang heterozigot.

    Mendel menggambarkan sifat-sifat yang ada pada suatu individu dengan menggunakan lambang berupa huruf abjad. Huruf kapital menandakan sifat dominan, sedangkan huruf kecil menandakan sifat resesif. Walaupun tidak dapat menjelaskan secara detail mengenai pengkodean maupun karakteristik dari masing-masing gen, namun gagasan Mendel tersebut sangat bermanfaat dalam mendalami sifat suatu individu. Suatu individu dapat dirunut indukannya berdasarkan sifat yang tampak dengan menggunakan persamaan abjad-abjad tersebut.  

    Berdasarkan persilangan tersebut, kita dapat mengembangkan varietas unggul pada produk-produk pertanian. Sebab, dengan persilangan dihibrida, akan memperkecil produk yang tidak diinginkan. Sebaliknya, justru akan didapatkan produk yang memiliki kabaikan dari kedua indukannya. Hal ini sangat menguntungkan bagi para pelaku yang bergerak dalam bidang budidaya tanaman.

    B. Tujuan

    Praktikum ini bertujuan untuk membuktikan Hukum Mendel II pada persilangan dihibrid

    Bab II. Tinjaun Pustaka

    “Bila suatu tanaman hibrida yang memiliki beberapa karakter disilangkan, maka turunan tersebut akan menghasilkan seri kombinasi karakter yang berpasangan. Pada turunan berikutnya, masing-masing pasangan karakter tersebut ternyata bermunculan secara bebas dari pasangan karakter induknya,” (Dalil Mendel II). Dalil tersebut menjelaskan bahwa bila ada faktor keturunan yang berbeda, maka faktor keturunan yang berbeda tersebut tidaklah saling mempengaruhi. Masing-masing faktor keturunan itu mempunyai peluang matematika yang tidak saling menentukan dalam pemunculan pewarisan sifatnya pada tanaman. Istilah dihibrida menjelaskan adanya pewarisan faktor keturunan yang mempunyai perbandingan jumlah individu 9:3:3:1 atau dengan variasi perbandingan angka itu (Welsh, 1991).

    Hukum Mendel II disebut juga hukum asortasi. Mendel menggunakan kacang ercis untuk dihibrid, yang pada bijinya terdapat dua sifat beda, yaitu soal bentuk dan warna biji. Persilangan dihibrid yaitu persilangan dengan dua sifat beda sangat berhubungan dengan hukum Mendel II yang berbunyi “independent assortment of genes”. Atau pengelompokan gen secara bebas. Hukum ini berlaku ketika pembentukan gamet, dimana gen sealel secara bebas pergi ke masing-masing kutub ketika meiosis.  B untuk biji bulat, b untuk biji kisut, K untuk warna kuning dan k untuk warna hijau. Jika tanaman ercis biji bulat kuning homozygote (BBKK) disilangkan dengan biji kisut hijau (bbkk), maka semua tanaman F1 berbiji bulat kuning. Apabila tanaman F1 ini dibiarkan menyerbuk kembali, maka tanaman ini akan membentuk empat macam gamet baik jantan ataupun betina masing-masing dengan kombinasi BK, Bk,Bk, bk. Akibatnya turunan F2 dihasilkan 16 kombinasi.yang terdiri dari empat macam fenotip, yaitu 9/16 bulat kuning, 3/16 bulat hijau, 3/16 kisut kuning dan 1/16 kisut hijau. Dua diantara fenotip itu serupa dengan induknya semula dan dua lainnya merupakan fariasi baru  (Gooddenough,1984).

    Pada persilangan yang melibatkan dua pasang gen yaitu A-a dengan B-b, terbentuk 4 macam gamet pada akhir fase meiosis. Gamet-gamet tersebut yaitu gamet AB, Ab, aB, dan ab. Gamet AB dan ab disebut memiliki kombinasi asli, atau umum disebut dengan kombinasi parental. Sedangkan kedua gamet yang lainnya yaitu gamet Ab dan aB disebut memiliki kombinasi baru, atau biasa disebut dengan rekombinan (Yatim, 2003).

    Hasil persilangan dihibrid merupakan hasil persilangan monohibrid I × hasil persilangan monohibrid II. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan menghitung hasil persilangan yang didapat. Apabila diperhatikan dominansinya, maka terdapat 12 bagian dari total 16 bagian yang memiliki sifat dominan, sedangkan sisanya yang berjumlah 4 bagian memiliki sifat resesif. Hal tersebut menunjukkan perbandingan yang mendekati 3 : 1 (Suryo, 2010).

    Pembuktian Hukum Mendel II sering dilakukan menggunakan lalat Drosophilla melanogaster. Drosophila memiliki ciri morfologi yang berbeda antara jantan dengan betinanya. Drodophila jantan memiliki ukuran tubuh lebih kecil dibandingkan yang betina. Drosophila jantan memiliki 3 ruas bagian abdomennya dan bersisir kelamin.Sedangkan pada betinanya ukurannya relatif lebih besar dengan 6 ruas pada bagian abdomen dan tidak memiliki sisir kelamin (Soemartono, 1979).

    Bab II. Metode Praktikum

    A. Bahan dan Alat

    Bahan yang digunakan meliputi : lalat Drosophila melanogaster yang berjenis normal, white, dan ebony; media lalat; plastik bening; chloroform; kapas dan lembar pengamatan. Sedangkan alat yang digunakan antara lain : botol bening, lup, cawan petri dan alat tulis.

    B. Prosedur Kerja

    1. Lalat Drosophila yang masih hidup dipingsankan dengan cara dibius menggunakan chloroform. Tahap pembiusan yaitu mula-mula kapas dibasahi sedikit dengan chloroform, kemudian kapas tersebut diletakkan di dalam wadah berisikan lalat selama beberapa menit.
    2. Lalat yang sudah dibius, kemudian dikeluarkan dan diamati morfologinya menggunakan lup.
    3. enampang lalat yang terlihat kemudian digambar pada selembar kertas dan diidentifikasi ciri-cirinya.

    Bab IV. Hasil dan Pembahasan

    A. Hasil

    Tabel 1. Morfologi Lalat Drosophila Normal

    Tabel 2. Morfologi Lalat Drosophila White

    Tabel 3. Morfologi Lalat Drosophila Eboni

    Uji X 2  

    KarakteristikJumlah
    B_T_B_ttbbT_Bbtt
    O94373510176
    E99333311176
    (│O – E│) 225164146
    0,250,490,120,090,95

    Kesimpulan :

    X 2  tabel = 7,28 > X 2  hitung = 0,95, maka percobaan sesuai dengan teori

    Persilangan :

    P1        :           Normal            ><        Eboni

                            BBTT                          bbtt

                BB : badan kecil         bb: badan besar

                TT : tubuh kelabu        tt :  tubuh hitam

    F1        :                          BbTt

                            (Badan kecil, tubuh kelabu )

    P2        :           BbTt    ><        BbTt

    F2        : Tabel Punet

    BTBtbTbt
    BTBBTTBBTtBbTTBbTt
    BtBBTtBBttBbTtBbtt
    bTBbTTBbTtbbTTbbTt
    BtBbTtBbttbbTtBbtt

    Fenotip F2       : kecil-kelabu : kecil-hitam : besar-kelabu : besar-hitam

    B_T_    :B_tt     :bbT_   :bbtt  

    Genotip F2                  : 

    Perbandingannya        :          9         :          3       :         3      :           1

    B. Pembahasan 

    Persilangan dihibrid merupakan persilangan antara dua individu yang memiliki dua sifat beda. Persilangan ini kerap dikaitkan dengan Hukum Mendel II mengenai kombinasi gen secara bebas. Seperti yang telah dilaporkan oleh Suryo (2010), munculnya Hukum Mendel II juga pada mulanya diawali dengan percobaan Mendel yang menyilangkan tanaman ercis berbiji bulat-berwarna kuning (BBKK) dengan tanaman ercis berbiji keriput-berwarna hijau (bbkk). Hasil akhirnya, tanaman tersebut memiliki keturunan dengan 4 variasi yang berbeda dengan perbandingan 9:3:3:1.

    Hasil percobaan Mendel tersebut membuktikan bahwasannya gen-gen dari sepasang alel akan berpisah secara bebas ketika berlangsung pembelahan reduksi (meiosis) pada waktu pembentukan gamet-gamet. Sehingga akan menghasilkan gamet-gamet sebagai berikut : BK, Bk, bK, bk. Keempat gamet tersebutlah yang kemudian berkombinasi secara bebas membentuk keempat varian pada anakannya.

    Maka dari itu, persilangan dihibrid umumnya mengikuti aturan Hukum Mendel II yakni harus memiliki perbandingan 9:3:3:1. Apabila anakan yang dihasilkan dari persilangan dihibrid tidak memiliki atau jauh dari perbandingan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pada persilangan tersebut terjadi penyimpangan. Penyimpangan pada Hukum Mendel II umumnya disebabkan karena adanya ketidaksempurnaan pada gen induk.

    Contoh persilangan dihibrid dapat dilihat pada tanaman jagung yang telah disilangkan. Tanaman jagung memiliki komposisi genetik yang sangat dinamis dengan cara penyerbukan yang menyilang. Fiksasi gen – gen unggul pada genotipe homozigot justru akan berakibat depresi dan menghasilkan tanaman kerdil yang berdaya hasil renda. Tanaman yang vigor, tumbuh cepat, subur, dan hasilnya tinggi justru didapat dari tanaman dengan komposisi genetik heterozigot.Varietas jagung hibrida telah banyak dikomersilkan di Indonesia, contohnya varietas yang dilepas PT BISI yaitu varietas C-1 yang merupakan hibrida dari populasi bersari bebas dengan silang tunggal dari Cargill. Contoh lain yaitu varietas IPB – 4 yang merupakan hasil persilangan tanaman jagung yang memiliki waktu hidup tidak terlalu lama tetapi toleran terhadap serangan hama utama (Takdir et al, 2012).

    Persilangan dari varietas IPB – 4 yaitu demikian :

    P1        :           AAbb              ><        aaBB

                      AA : waktu hidup sebentar                 aa : waktu hidup lama

                      bb   : tidak toleran terhadap hama      BB : toleran terhadap hama

    F1        :           AaBb

                      (Waktu hidup sebentar, toleran terhadap hama)

    F2        :  Tabel Punnet

    ABAbaBab
    ABAABBAABbAaBBAaBb
    AbAABbAAbbAaBbAabb
    aBAaBBAaBbaaBBaaBb
    abAaBbAabbaaBbaabb

    Perbandingan  : 9: 3: 3:1

    Genotip           : A_B_ : A_bb : aaB_ : aabb

    Fenotip            : waktu hidup sebentar, toleran : waktu hidup sebentar, tidak toleran : waktu hidup lama, toleran : waktu hidup lama, tidak toleran

    Persilangan dihibrid ini kemudian dikembangkan dalam bidang pertanian, khususnya pada aspek pemuliaan tanaman. Adanya persilangan tersebut dapat menguntungkan bagi para petani maupun pemulia untuk mendapatkan produk tanaman yang baik. Seperti halnya, apabila ditemukan tanaman yang berasal dari dua varietas berbeda, sedangkan pada masing-masing varietas memiliki kelebihan dan kekuranagn, maka petani dan pemulia dapat menyilangkan keduanya melalui persilangan dihibrid. Dengan begitu akan dihasilkan anakan yang memiliki kelebihan dari kedua induknya. Selain itu, apabila anakan yang dihasilkan sesuai dengan perbandinagn pada Hukum Mendel II, maka akan memperkecil hasil tanaman yang memiliki sifat yang tidak diinginkan (resesif). Hal tersebut secara tidak langsung meningkatkan produksi pada tanaman budidaya.

    Drosophila melanogaster memiliki ciri-ciri umum antara lain mata yang berwarna merah, tepi sayap yang teratur disertai dengan pola sayap yang seragam, bristle yang agak panjang dan halus, serta warna tubuh cokelat kekuning-kuningan (Stine, 1993).  Bristle adalah modifikasi dari rambut Drosophila melanogaster yang pendek dan dilengkapi oleh sensor dan perangkap mangsa. Selain itu, dikenal pula istilah halter pada Drosophila melanogaster.  Halter merupakan sayap belakang yang menyusut menjadi struktur seperti kenop dan berfungsi sebagai alat keseimbangan (Borror, 1998).

    Mutasi pada Drosophila melanogaster dapat terjadi pada warna mata, bentuk sayap dan warna tubuh.

    1. Mutasi pada sayap dapat dibedakan menjadi :
      • Mutan curly (cy). Mutasi terjadi akibat inversi. Sayap pada mutan curly melengkung ke atas dalam keadaan homozigot letal.
      • Mutan miniature (m). Mutasi yang terjadi akibat kerusakan pada kromosom pertama, lokus 36,1. panjang sayap hanya sepanjang tubuh.
      • Mutan vestigial (vg). Sayap dan halter tereduksi yang terjadi akibat kerusakan pada gen vestigial yang terletak pada kromosom kedua, lokus 67,0.
      • Mutan dumpy (dp). Sayap 2/3 panjang tubuh akibat kerusakan pada kromosom kedua, lokus 13,1.
    2. Mutasi pada warna mata dapat dibedakan menjadi :
      • Mutan sepia (se). warna mata cokelat sampai hitam akiat kerusakan gen pada kromosom ketiga, lokus 26,0 (Russell, 1994).
      • Mutan cinnabar (cn). Warna mata merah, ocelli putih akibat kerusakan gen pada lokus kedua, lokus 57,5 (Russell, 1994).
      • Mutan white apricot (wa). Warna mata merah muda akibat kerusakan pada gen pink yang terletak pada kromosom ketiga (Klug & Cummings, 1994).
      • Mutan Star (S). kerusakan gen yang terjadi pada kromosom kedua, lokus 1,3 menyebabkan mata kasar dan kecil dalam keadaan homozigot letal (Russell, 1994).
      • Mutan white (w). Mata berwarna putih yang terjadi akibat adanya kerusakan pada gen white yang terletak pada kromosom pertama, lokus 1,5.
    3. Mutasi pada warna tubuh dapat dibedakan menjadi :
      • Mutan yellow (y). Seluruh tubuhnya berwarna kuning akibat  kerusakan pada gen yellow yang terletak pada kromosom pertama.
      • Mutan ebony (e). Seluruh tubuh berwarna cokelat karena kerusakan pada kromosom ketiga, lokus 64,0.
      • Mutan black (b). Seluruh tubuhnya berwarna hitam akibat terjadinya kerusakan pada gen black yang terletak pada kromosom kedua, lokus 48,0.

    Drosophila melanogaster normal (wild type) dinyatakan dengan simbol + atau dengan notasi huruf. Huruf kapital digunakan untuk sifat dominan dan huruf kecil untuk sifat resesif terhadap mutan-mutannya. Mutan-mutan diberi notasi sesuai dengan sifat mutasinya, yaitu dengan memberikan satu atau dua huruf pertama yang mendeskripsikan sifat mutasi tersebut. Sebagai contoh, vg untuk mutan vestigial dan w untuk mutan white (Jones & Rickrads, 1991). Lalat mutan yang memiliki perbedaan lebih dari satu dibandingkan dengan lalat normal, maka notasi harus dituliskan seluruhnya secara berurutan.

    Contoh: w+w+dp+y+y+

       ww dp dp y+y+ 

    Praktikum ini bertujuan untuk membuktikan perbandingan pada Hukum Mendel II mengenai persilangan dihibrid. Bahan yang digunakan yakni lalat Drosophila. Hewan ini dipilih karena karakternya yang unik yaitu memiliki banyak mutan. Selain itu, siklus hidup lalat ini tergolong sebentar. Persilangan dilakukan antara dua jenis lalat yang berbeda. Maka dari itu, mula-mula praktikan harus mengamati morfologi pada masing-masing lalat baik yang normal maupun yang mutan. Ada tiga jenis lalat yang diamati, yakni normal, white dan ebony. Lalat normal jantan memiliki karakteristik warna mata merah, terdapat segmen garis hitam yang pekat yang lebar pada bagian abdomen posteriornya, serta ujung abdomennya tidak berbentuk lancip. Sedangkan yang betinanya bermata merah, ujung abdomennya berbentuk lancip dan tidak ada penghitaman pada abdomen posteriornya. Morfologi pada lalat white jantan memiliki karakteristik mata berwarna putih, ujung abdomennya berbentuk tumpul dan ada garis hitam tebal pada bagian tersebut. sedangkan pada lalat white betina memiliki karakteristik mata berwarna putih, ujung abdomen berbentuk lancip dan tidak ada penghitaman pada bagian tersebut. Kemudian pada lalat ebony jantan memiliki karakteristik mata berwarna merah, tubuh berwarna hcoklat kehitaman dan tubuhnya lebih kecil dari yang betina. Sedangkan pada lalat ebony betina terdapat karakteristik mata berwarna merah, tubuh berwarna coklat kehitaman dan ukurannya lebih besar daripada lalat jantan.

    Selain mengamati morfologi lalat, pada praktikum kali ini dilakukan simulasi persilangan antara lalat normal (BBTT) dengan lalat eboni (bbtt). Lalat normal memiliki karakteristik fenotip berbadan kecil-tubuh kelabu. Sedangkan lalat eboni memiliki karakteristik fenotip berbadan besar-tubuh hitam. Pada keturunan F1 nya semua anakan menampakkan karakteristik fenotip badan kecil-tubuh kelabu. Kemudian hasil F1 tersebut disilangkan sesamanya sehingga menghasilkan data sebagai berikut : B_T_ = 94; B_tt = 37; bbT_ = 35; bbtt = 10. Dari hasil perhitungan menggunakan uji Chi-Squre didapatkan hasil X hitung sebesar = 0,95. Nilai tersebut lebih kecil dibandingkan dengan X tabelnya = 7,28. Hal ini menandakan data yang ada telah sesuai dengan perbandingan pada Hukum Mendel dua yaitu 9:3:3:1.

    Bab V. Penutup

    A. Kesimpulan

    1. Persilangan dihibrid merupakan persilangan antara dua individu dengan dua sifat beda.
    2. Persilangan dihibrid dapat digunakan untuk menguji Hukum Mendel II tentang kombinasi gen secara bebas. Hasil dari persilangan dihibrid sesuai dengan perbandingan Hukum Mendel yaitu 9:3:3:1.

    B. Saran

    Sebaiknya dalam melakukan praktikum ini, praktikan dapat mengamati morfologi lalat secara lebih teliti sehingga didapatkan perbedaan antara lalat normal dengan lalat yang mutan.

    DAFTAR PUSTAKA

    Borror, D. J., Charles A. Tripelhorn, dan Norman F. Johnson. 1998. Pengenalan Pelajaran Serangga. 8th Ed. Terj dari an Introduction to Study of Insect oleh Soetiyono Partosoedjono. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

    Goodenough. 1984. Genetika Edisi ketiga Jilid Satu. Jakarta : Erlangga.

    Jones, R. N. & Rickards, G. K. 1991. Practical Genetics. England: Open University Press.

    Klug, W.S. & M.R. Cummings. 1994. Concepts of Genetics. 4th ed. Engelwood Cliffs: Prentice Hall Inc.

    Russell, P. J. 1994. Fundamental of Genetics. USA: Harper Collins College Publisher.

    Soemartono. 1979. Pedoman Praktikum Biologi Umum 3. Jakarta : Djambatan.

    Stine, G. James. 1993. Laboratory Exercise in Genetic. New York : Mac Milan Publishing co.,Inc.

    Suryo, H. 2010. Genetika. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

    Takdir, Andi, et al. 2012. Pembentukan Varietas Jagung Hibrida (online). Balitsereal.litbang.pertanian.go.id diakses 15 Oktober 2015.

    Welsh, J. R. 1991. Dasar-Dasar Genetika dan Pemuliaan Tanaman. Jakarta : Erlangga.

    Yatim, Wildan. 2003. Genetika. Bandung : Tarsito.