Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang cenderung topografinya dibatasi oleh punggung – punggung gunung (batas topografi) sebagai tempat penampungan dan penyiraman air hujan yang kemudian menyalurkannya (air, sendimen, dan unsur hara) ke muara (laut) melalui sungai utama (outlet).
DAS merupakan bentuk dari kumpulan berbagai jenis sungai pada suatu tempat tertentu pada kurun waktu tertentu pula. Penamaan DAS biasanya memakai nama sungai utama atu sungai yang memiliki lebar dan panjang yang lebih dibandingkan sungai lainnya. Wilayah daratannya disebut daerah tangkapan air (DTA atau Catchnebt Area) yang merupakan suatu ekosistem dengan sumberdaya alam (air, tanah, dan vegetasi) dan ada semberdaya manusia sebgai pemanfaat sumberdaya alam. (Slamet, 2013)
DAS berfungsi sebagai satu kesatuan bentang lahan, sebagai tempat berlangsungnya proses hidrologi untuk mengubah input menjadi output, sebagai tempat interaksi atau interelasi antara komponen – komponen ekosistem.
Pola aliran sutau sungai besar dapat terbentuk oleh sungai – sungai yang lainnya secara bersama-sama mengalirkan atau mengeringkan air membuat jaringan kerja drainase. Dalam suatu DAS, sungai-sungai (baik utama maupun cabang) secar keseluruhan membentuk suatu pola jaringan. Umumnya dipengaruhi oleh struktur geologi daerah. Pola aliran DAS tidak selalu sama antara DAS yang satu dengan DAS lainnya, bahkan dalam satu DAS dapat terbentuk beberapa pola aliran yang dikendalikan oleh struktur geologi seperti kekar, jenis kemiringan lapisan, lipatan dan lain sebagainya. (Nugroho, S. 2013)
Menurut penelitian yang dilakukan dalam skala DAS, pola aliran berpengaruh terhadap kerapatan dalam menentukan besar debit puncak dan waktu lamanya. Arthur D.Howard telah mengklasifikasikan pola aliran sungai dalam beberapa kategori yaitu, pola dasar, modifikasi pola dasar, dam gabungan modifikasi pola dasar. Dengan demikian setiap pola mencerminkan struktur dan proses yang mengontrolnya.
Morfometri DAS merupakan ukuran kuantitatif karakteristik DAS yang terkait dengan aspek geomorfologi suatu daerah. Karakteristik ini terkait dengan proses pengarusan (drainase) air hujan yang jatuh di dalam DAS. Parameter tersebut adalah luas DAS, bentuk DAS, jaringan sungai< kerapatan aliran, pola aliran, dan gradient kecuraman sungai.
B. Tujuan
Untuk mengetahui dan menganalisis Morfometri DAS.
C. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam praktikum kali ini yaitu peta jaringan sungai, peta rupa bumi bakosurtanal skala 1:25.000 , kertas kalkir, penggaris, kalkulator, dan alat tulis lainnya.
D. Prosedur Kerja
Prosedur Kerja
Langkah awal yaitu mengambarkan peta jaringan
Menentukan orde sungai dari peta jaringan berdasarkan metode
Penentuan dan perhitungan panjang sungai tiap-tiap orde dengan peta jaringan sungai
Menetukan panjang rata-rata tiap orde dan menetukan panjang maksimum sungai
Penentuan luas DAS tiap-tiap orde dengan Map Algebra
Menghitung rasio percabangan, rasio panjang dan rasio luas
Menentukan dimensi fraktannya.
E. Hasil
Tabel 1. Penentuan Orde Sungai Peta Jaringan.
NO
PEUBAH
SATUAN
DAS
1
Orde 1
Buah
10
Panjang total (Km)
4,825
Orde 2
Buah
5
Panjang total (Km)
5,4
Orde 3
Buah
4
Panjang total (Km)
1,7
dst
–
2
Rasio percabangan (Rb) 1
2
Rasio percabangan (Rb) 2
1,25
3
Rasio panjang (RL) 1
1,12
Rasio panjang (RL) 2
0,31
4
Luas (A)
Km2
13,01
5
Dimensi fractal (d1)
Km
6,12
Dimensi fractal (d2)
Km
-0,19
6
Panjang sungai utama
Km
15,3685
7
Kerapatan sungai
Km/km2
0,5183
F. Pembahasan
Penentuan morfometri DAS terlebih dulu harus mengetahui orde sungai mulai dari orde satu sampai orde satu sampai selanjutnya, kerana jika dilihat dari pengertian morfometri DAS itu sendiri adalah pengembangan atau melakukan analisi terhadap orde sungai. Seperti yang disebutkan oleh chow (1964) bahwa penetapan orde sungai diklasifikasi oleh Horton dan dimodifikasi oleh Strahler yaitu aliran sungai yang paling ujung tidak mempunyai anak sungai yang paling ujung tidak mempunyai anak sungai disebut orde pertama, jika dua aliran dari orde yang sama bergabung akan membentuk orde setingkat lebih tinggi, dan jika dua orde yang berbeda bergabung akan membentuk aliran yang mempunyai ordr paling besar.
Setelah orde sungai didapat panjang sungai diukur menggunakan benang. Benang digunakan dalam pengukuran karena sifatnya yang dapat duibah-ubah bentuknya memudahkan dalam mengukur alur sungai, tidak seperti penggrais yang kaku. selanjutnya hasil pengukuran dikonversi ke dalam satuan Km dengan skala yang pada peta sekitar 1:25000. Hasil yang didapat dari pengukuran panjang tiap-tiap orde yaitu 4,825 km (orde 1) , 5,4 km (orde 2), dan 1,7 (orde 3). Berdasarkan hasil tersebut dapat dilihat bahwa orde 2 memiliki nilai yang paling besar hal ini berarti anak sungai yang ada lebih panjang dan banyak. Sedangkan nilai paling kecil adalah pada orde 3.
Berdasarkan hasil yang didapat nilai Rb (1) dengan nilai 2, Rb (2) dengan nilai 1,25, kemudian nilai RL (1) senilai 1,12dan RL (2) senilai 0,31. Dari nilai yang diperoleh Rb (1) dan Rb(2) juga RL(1) dengan RL (2) memiliki nilai yang berbeda – beda. Hal ini disebabkan karena percabangan dan panjang antara orde 1 dan orde lainnya berbeda. Rasio panjang dan rasio percabangan mengikuti geometri sungai tersebut. Chow (1904) menyebutkan bahwa nilai Rb tidak sama dari tiap-tiap orde saru dengan yang lainnya dikarenakan adanya variasi dari bentuk atau geometri sungai tersebut. Nilai Rb dalam kondisi normal adalah 3-5, rasio panjang 1,12 – 0,31 sedangkan luas 13,01.
Dimensi fractal dihitung untuk mengetahui pengaruhi karakteristik DAS terhadap debit puncak dan waktu mencapai debit puncak. Dimensi fractal yang digunakan untuk perhitungan panjang sungai utama (L) adalah nilai dari dimensi fractal sungai utama. Dimensi fractal yang digunakan pada aliran DAS ini adalah dimensi fractal orde 2, karena orde terakhir adalah orde 3.
Bentuk DAS dari hasil yang diperoleh memiliki bentuk bulu burung. Sedangkan kerapatan untuk mengetahui daya penampungan sementara dari DAS. kerapatan jaringan sungai yang didapat yaitu sebesar 0,5183 km/km2. Menurut Sosrodarsono dan Takeda (1993) nilai kerapatan sungai sekitar 0,30 – 0,50 dan dianggap sebagai indeks yang menunjukan keadaan topografi dan geologi dalam daerah aliran.
Karakteristik dari sungai Cipamingkis yaitu ditinjau dari kualitas perairannya, perbedaan karakteristik kualitas air pada musim kemarau dan musim hujan sangat tinggi, karena dipengaruhi oleh besarnya perbedaan debit air yang mengalir. Konsentrasi BOD pada musim kemarau dan musim hujan mempunyai perbedaan yang sangat tinggi , karena pada musim kemarau konsentrasi BOD meningkat dan konsentrasi suspended solid (SS) turun.
G. Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang telah diperoleh dapat disimpulkan bahwa morfometri DAS yang diamati memiliki panjang orde sungai rata -rata sekitar 3,975 km, luas DAS 13,01 km2, dimensi fractal rata-rata 2,965 dengan kerapatan DAS 0,5183 km/km2 dan panjang sungai utama 15,3685 km2. Daerah yang terukur merupakan daerah yang permeable.
DAFTAR PUSTAKA
Chow, V.T. 1964. Handbook of applied Hydorology. Mcgraw-Hill. New York.
Horton, R.E. 1945. Erosional Development of streams and their drainage basic : Am.Bull
Nugroho, S. (2013, 18 oktober). Respon morfomtri dan penggunaan lahan DAS terhadap
banjir bandang (studi kasus bencana banjir disunagi bohorok). Diambil kembali dari http://sirrma.bppt.go.id
Slamet, (2013) model hidrologi satuan sintetik menggunakan parameter morfometri
Analisa Nilai Konduktivitas Thermal pada Beberapa Jenis Material Padatan
Bab I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Setiap Material pasti mengalami proses perpindahan panas. Namun proses ini tidak bisa diamati tetapi pengaruhnya bisa dirasakan dan diukur. Perpindahan panas meliputi konduksi, konveksi dan radiasi, dimana proses-proses perpindahan panas ini banyak ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contohnya yaitu saat memanaskan air. Proses perpindahan panas yang terjadi saat memanaskan air ini yaitu proses konveksi. Konveksi merupakan proses perpindahan panas yang pada umunya terjadi pada zat cair. Perpindahan panas secara konveksi merupakan perpindahan panas yang diikuti pergerakan media perambatannya.
Perpindahan panas adalah perpindahan energi yang terjadi pada benda atau material yang bersuhu tinggi menuju ke suhu yang lebih rendah, hingga tercapainya kesetimbangan panas. Kesetimbangan panas terjadi jika panas dari sumber panas sama dengan jumlah panas benda yang dipanaskan dengan panas yang disebarkan oleh benda tersebut ke medium sekitarnya. Proses perpindahan panas ini berlangsung dalam 3 mekanisme, yaitu konduksi, konveksi dan radiasi.
Konduksi adalah perpindahan panas atau kalor melalui satu jenis zat sehingga konduksi merupakan satu proses pendalaman karena proses perpindahan kalor ini hanya terjadi di dalam bahan. Arah aliran energi kalor adalah dari titik bersuhu tinggi ke titik bersuhu rendah. Perpindahan panas konduksi umumnya terjadi pada zat padat. Proses perpindahan panas konduksi terjadi dengan tanpa diikuti media penghantarnya. Contoh perpindahan panas secara konduksi dalam kehidupan sehari-hari yaitu saat mengaduk kopi dengan sendok, ujung pegangan sendok juga akan terasa panas walaupun tidak tercelup ke dalam kopi yang panas.
Proses perpindahan kalor secara konduksi dilihat secara atomik merupakan pertukaran energi kinetik antar molekul (atom), dimana partikel yang energinya rendah dapat meningkat dengan menumbuk partikel dengan energi yang lebih tinggi. Sebelum dipanaskan elektron dari logam bergetar pada posisi setimbang. Pada ujung logam mulai dipanaskan, pada bagian ini atom dan elektron bergetar dengan amplitudo yang makin membesar. Selanjutnya bertumbukan dengan atom dan elektron disekitarnya dan memindahkan sebagian energinya. Kejadian ini berlanjut hingga pada atom dan elektron di ujung logam yang satunya. Konduksi terjadi melalui getaran dan gerakan elektron bebas.
Jumlah panas yang dikonduksikan melalui material persatuan waktu dituliskan oleh persamaan:
ΔQ / ΔT = Laju aliran konduksi termal k = Konstanta konduktivtas material (W/moC) A = Luas Permukaan Bahan (m2) L = Ketebalan Material ΔT = Perbedaan temperatur dua sisi dari material (oC)
Konveksi adalah perpindahan panas atau kalor dengan cara gerakan partikel yang telah dipanaskan. Besarnya konveksi tergantung pada luas permukaan benda yang bersinggungan dengan fluida (A), perbedaan suhu antara permukaan benda dengan fluida (deltaT), koefisien konveksi (h). Konveksi hanya dapat terjadi melalui zat yang mengalir, maka bentuk pengangkutan kalor ini hanya terdapat pada zat cair dan gas.
Pada pemanasan zat ini terjadi aliran, karena massa yang akan dipanaskan tidak sekaligus dibawa ke suhu yang sama tinggi. Oleh karena itu bagian yang paling banyak atau yang pertama dipanaskan memperoleh massa jenis yang lebih kecil daripada bagian massa yang lebih dingin. Sebagai akibatnya terjadi sirkulasi, sehingga kalor akhirnya tersebar pada seluruh zat. Perpindahan panas konveksi merupakan perpindahan panas yang terjadi dengan diikuti oleh pergerakan media perambatannya.
Perpindahan panas radiasi adalah perpindahan panas yang terjadi karena pancaran radiasi gelombang elektromagnetik. Perpindahan pans radiasi berlangsung elektromagnetik dengan panjang gelombang pada interval tertentu. Jadi perpindahan pans radiasi tidak memerlukan media, sehingga panas dapat berlangsung dalam ruangan hampa udara. Benda yang dapat memancarkan pans dengan sempurna disebut radiator yang sempurna dan dikenal sebagai benda hitam. Sedangkan benda yang ttidak dapat memancarkan panas dengan sempurna disebut benda abu-abu.
Daya hantar panas atau konduktivitas termal adalah sifat bahan yang menunjukkan berap cepat bahan itu dapat menghantarkan panas konduksi. Koefiesien konduksi (k) adalah jumlah panas yang mengalir tiap satuan waktu melalui tebal dinding 1 ft yang luasnya 1 ft2 apabila diberi beda suhu 1°C. Daya hantar pans dapat diukur berdasarkan hokum Fourier. Pada umumnya daya hantar panas suatu bahan harus diukur denagn mengadaan percobaan.
Daya hantar panas biasa dipengaruhi oleh suhu. Koefisien konduktivitas termal k didefinisikan sebagai laju panas pada suatu benda dengan suatu gradien temperature. Dengan kata lain konduktivitas termal menyatakan kemampuan bahan menghantarkan kalor. Koefisien konduktivitas termal (k) merupakan formulasi laju panas pada suatu benda dengan suatu gradien temperature. Nilai konduktivitas termal sangat berperan penting untuk menentukan jenis dari penghantar yaitu konduksi yang baik atau buruk.
Bahan yang mempunyai konduktivitas yang baik disebut dengan konduktor, misalnya logam. Sedangkan bahna yang mempunyai konduktivitas jelek disebut isolator, misalnya asbes, wol, dsb. Suatu bahan dikatakan konduktor apabila bahan tersebut mempunyai nilai k yang besar yaitu > 4.15 W/m°C, biasanya bahan tersebut terbuat dari logam.
Sedangkan untuk isolator mempunyai nilai k < 4.01 W/m°C, biasanya bahan tersebut terbuat dari bahan bukan logam.Nilai konduktivitas termal penting untuk menentukan jenis dari penghantar yaitu konduksi panas yang baik (good conductor) untuk nilai koefisien konduktivitas termal yang besar dan penghantar panas yang tidak baik (good isolator) untuk nilai koefisien panas yang kecil[4].
Tabel 1 Nilai konduktivitas termal berbagai bahan pada 0℃
Bahan
Konduktivitas termal(k) W/M ℃
Logam
Perak (murni)
410
Tembaga (murni)
385
Alumunium (murni)
202
Nikel (murni)
93
Besi (murni)
73
Baja karbon,1%
43
Timbal (murni)
35
Baja krom – nikel (18%Cr,8%Ni)
16.3
Bukan logam
Kuarsa(sejajar sumbu)
41.6
Magnesit
4.15
Marmar
2.08-2.94
Batu pasir
1.83
Kaca, jendela
0.78
Kayu, maple atau ek
0.17
Serbuk gergaji
0.059
Wol kaca
0.038
Konduktivitas termal dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah suhu, kepadatan dan porositas dan kandungan uap air. Suhu memiliki pengaruh yang sangat kecil, namun tetap saja dikatakan bahwa suhu memiliki pengaruh terhadap konduktivitas. Karena semakin bertambahnya suhu, konduktivitas bahan tertentu juga akan meningkat.
Kepadatan dan porositas suatu benda berpengaruh pada konduktivitas suatu benda, semakin banyak rongga pada benda tersebut maka semakin besar persentasi porositasnya. Dan semakin besar porositas menyebabkan nilai konduktivitas semakin menurun.. Kandungan uap air juga mempengaruhi konduktivitas thermal. Konduksi termal akan meningkat seiring meningkatnya kandungan kelembaman suatu benda.
Gambar 1. Contoh proses konduksi dengan dirangkai seri
Bab III. Metode Praktikum
A. Alat dan Bahan
Percobaan konduktivitas termal ini digunakan alat yang meliputi satu set kompor listrik beserta kasa sebagai pemanas, pyrometer sebagai alat pengukur suhu, penjepit untuk mengambil sampel dari kompor. Kemudian bahan yang digunakan yakni tiga jenis sampel material padatan yakni lempung dengan d=2 cm dan t=1,7 cm; batu bricon dengan d=2,7 cm dan t=2 cm; dan kayu dengan d= 2,2 cm dan t=1,5 cm. Dua buah besi dengan d=2,3cm dan t=1,7cm sebagai media penghantar panas, serta air sebagai pendingin besi. Berikut merupakan ketiga sampel dan besi yang digunakan pada percobaan ini
Gambar 2. Tiga buah sampel yang digunakan saat praktikum
Gambar 3. Rangakaian Seri Percobaan
Langkah kerja
Percobaan ini dilakukan dengan ketiga sampel yang telah ditentukan. Pertama setelah semua alat dan bahan disiapkan dan telah dipastikan alat dalam kondisi yang baik, kompor dinyalakan kemudian sampel disusun secara seri dengan kedua buah besi. Dimana sampel material padatan berada diantara dua buah besi tersebut.
Pemanasan ini dilakukan selama 5 menit. Setelah dipanaskan selama 10 menit diukur besar suhu tiap ujung besi dengan pyrometer. Sehingga didapatkan T1, T2, T3 dan T4 dalam 3 kali pengulangan. Kemudian besi tersebut didinginkan hingga kembali pada suhu awal. Selanjutnya dilakukan pengulangan untuk jenis sampel material padatan yang lain. Secara sistematis langkah kerja percobaan digambarkan sebagai berikut
Gambar 4. Flowchart
Bab IV. Hasil dan Pembahasan
A. Analisa Data
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan didapatkan data seperti pada tabel 1 berikut, dengan sampel yang digunakan yaitu lempung, batu bricon dan kayu serta dua buah besi sebagai penghantar.
Tabel 2. Data hasil praktikum dengan sampel lempung
Rata-rata
T1oC
T2oC
T3oC
T4oC
40
42
63
68
39
41
63
66
39
40
62
65
39,33
41
62,67
66,33
Tabel 3. Data hasil praktikum dengan sampel batu bricon
Rata-rata
T1oC
T2oC
T3oC
T4oC
38
43
63
66
37
42
63
65
37
41
62
64
37,33
42
62,67
65
Tabel 4. Data hasil praktikum dengan sampel kayu
Rata-rata
T1oC
T2oC
T3oC
T4oC
40
41
62
62
38
40
61
63
39
40
61
63
39
40,33
61,33
62,67
B. Perhitungan
Berdasarkan data yang telah diperoleh dilakukan perhitungan untuk mendapatkan nilai konduktivitas termal untuk masing-masing sampel (lempung, batu bricon dan kayu) menggunakan persamaan 1. Berikut merupakan contoh perhitungan konduktivitas termal kayu
Setelah dilakukan perhitungan nilai konduktivitas termal masing-masing sampel, berikut hasil yang diperoleh
Tabel 5. Data hasil perhitungan nilai konduktivitas sampel
Sampel
k (W/m0C)
Lempung
16,3379
Batu bricon
7,0362
Kayu
4,4968
C. Pembahasan
Percobaan konduktivitas termal ini bertujuan untuk mengetahu nilai konduktivitas termal untuk masing-masing sampe yang digunakan (lempung, batu bricon dan kayu). Percobaan ini juga untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi nilai konduktivitas termal beberapa material padatan.
Percobaan ini dilakukan dengan sampel material padatan dan dua buah besi sebagai penghatar panas disusun secara seri dengan sampel diletakkan diantara dua besi besi. susunan seri ini menyebabkan kalor yang merambat pada besi bawah, sampel dan juga besi atas adalah sama. kalor pada msing-masing material juga sama dengan kalor totalnya.
Berdasarkan percobaan dan perhitungan yang telah dilakukan didapatkan nilai konduktivitas termal untuk masing-masing sampel yaitu, lempung 16,3379 W/m0C, batu bricon 7,0362 W/m0C dan kayu 4,4968 W/m0C. Besar nilai konduktivitas antara bahan logam dan non logam berbeda. perbedaan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti perbedaan ikatan yang terjadi pada masing-masing material, kalor jenis benda, luas penampang material, dan juga waktu pemanasan material.
Keberadaan elektron dalam bahan mempengaruhi proses konduksi yang terjadi dalam bahan tersebut. pada material bahan logam, terdapat banyak elektron bebas didalamnya. Sehingga ketika suatu benda bahan logam diberikan kalo pada salah satu ujung atau permukaannya, maka elektron-elektron bebas tersebut akan memiliki energi yang cukup bergera denagn cepat dan menumbuk elektron-elektron bebas lainnya. adanya tumbukan-tumbukan yang terjadi antar electron-elektron bebas di dalam material logam ini menyebabkan laju perpindahan panas yang cepat. Karena adanya pergerakan elektron bebas di dalam struktur kisi bahan, disamping elektron tersebut mengangkut muatan-muatan listrik, dapat pula membawa energi termal dari daerah bersuhu tinggi ke daerah bersuhu rendah. Energi dapat berpindah sebagai energi getaran dalam struktur kisi bahan. Karena itu, penghantar listrik yang baik selalu merupakan penghantar kalor yang baik pula.
Sedangkan untuk bahan non logam, jumlah elektron bebas sangat sedikit. karena jumlah elektron bebas yang sedikit, hal ini menyebabkan proses perpindahan panas pada bahan non logam tidak terjadi melalui proses pengangkutan elektron melainkan melalui energi kisi. Perpindahan panas melalui geraran energi kisi tidaklah sebanyak atau sebaik perpindahan panas malalui pengangkutan elektron. Hal ini berakibat pada besar nilai konduktivitas termal bahan non logam yang lebih kecil dibandingkan dengan bahan logam.
Luas penampang juga mempengaruhi nilai konduktivitas termal suatu material. Dimana semakin besar luas penampang suatu material maka konduktivitas termalnya akan semakin kecil dikarenakan kalor harus mengisi pada semua bagian luasan material dengan sama besar. hal ini menyebabkan laju kalornya semakin kecil. Sedangkan semakin sempit luas penampang maka konduktivitas panas akan semakin besar. Oleh karena itu semakin besar konduktivitas bahan yang digunakan maka semakin besar pula laju kalor yang terjadi. nilai konduktivitas yang lebih besar mengartikan bahwa semakin besar panas yang dapat diterima oleh bahan tersebut sehingga bisa disebut konduktor panas yang baik, begitu pula sebaliknya semakin kecil nilai konduktivitas panas maka semakin sedikit panas yang dapat diterima benda tersebut.
Bab V. Kesimpulan
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa:
Nilai konduktivitas termal lempung 16,3379 W/moC, batu bricon 7,0362 W/moC dan kayu 4,4968 W/moC.
Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai konduktivitas suatu material padatan yaitu ikatan yang terjadi pada masing- masing material, kalor jenis benda, luas penampang material, dan juga waktu pemanasan material.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada asisten percobaan konduktivitas termal yaitu Deril Ristiani dan Nulailyah Isnaini yang telah membimbing kami selama praktikum berlangsung dan juga penulis mengucapkan terima kasih kepada teman- teman sekelompok praktikum konduktivitas termal atas kerjasama dalam melakukan percobaan.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Buchori, Luqman. 2004.”Buku Ajar Perpindahan Panas”.Semarang: Universitas Diponegoro.
Praktikum suksesi adalah praktikum pada mata kuliah ekologi tumbuhan. Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui proses suksesi alami dari lahan garapan.
Daftar isi
Praktikum Ekologi – Suksesi Tumbuhan
Bab I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Di alam ini, ada begitu banyak vegetasi yang tumbuh. Dinamika alam yang ada adalah suatu kenyataan yang tidak dapat diingkari. Segala sesuatu yang sekarang ada sebenarnya hanyalah merupakan suatu stadium dari deretan proses perubahan yang tidak pernah ada akhirnya. Keadaan keseimbangan yang tampaknya begitu mantap, hanyalah bersifat relatif karena keadaan itu segera akan berubah jika salah satu dari komponennya mengalami perubahan.
Vegetasi merupakan sistem yang dinamik, sebentar menunjukkan pergantian yang kompleks kemudian nampak tenang, dan bila dilihat hubungan dengan habitatnya, akan nampak jelas pergantiannya setelah mencapai keseimbangan. Pengamatan yang lama pada pergantian vegetasi di alam menghasilkan konsep suksesi.
Berdasarkan keterangan diatas, dalam kesempatan kali ini kami melakukan pengamatan tentang “Suksesi Tumbuhan” untuk mengetahui proses terjadinya suksesi.
B. Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum adalah untuk mengetahui proses suksesi alami dari lahan garapan.
Bab II. Tinjauan Pustaka
Keadaan bumi selalu berubah-ubah. Kandungan CO2 dan O2 dalam udara, iklimnya, gunungnya, flora dan faunanya tidaklah tetap. Dalam skala yang kecil kita lihat pada gunung Krakatau. Setelah letusannya yang amat dahsyat dalam tahun 1883, kehidupan di pulau itu dapat dikatakan terhapus. Dari penelitian yang dilakukan secara berulang dalam jangka waktu panjang, dapatlah diketahui kehidupan kembali lagi. Mula-mula terdapat tumbuhan tingkat rendah, seperti lumut dan paku-pakuan. Kemudian tumbuhan tingkat tinggi. Proses ini disebut suksesi (Soemarwoto, 1983).
Suatu daerah tidak tetap demikian untuk waktu yang lama. Diawali dengan tumbuhan daerah itu segera dihuni oleh beragam spesies tumbuhan atau hewan. Organisme-organisme ini mengubah habitat yang membuatnya sesuai bagi spesies lain menjadi mantap. Masa pendewasaan perkembangan suatu daerah seringkali mencapai suatu keadaan relatif stabil yang diberikan sebagai tahapan klimaks. Selama masa perkembangan ini, penghunian suatu daerah baru, pertama-tama oleh tumbuhan melandasi jalan bagi hewan-hewan untuk tinggal di dalamnya disebut suksesi. Suksesi adalah suatu cara umum perubahan progresif dalam komposisi spesies suatu komunitas yang sedang berkembang. Hal ini secara bertahap disebabkan oleh reaksi biotik dan berlangsung melalui sederetan tahapan dari tahapan pelopor menuju tahapan klimaks (Michael, 1996).
Vegetasi yang dibiarkan demikian saja, menunjukkan kecenderungan untuk berubah ke suatu arah tertentu. Biasanya dari komunitas yang tidak begitu rumit yang terdiri atas tumbuh-tumbuhan kecil menjadi komunitas yang lebih kompleks yang didominasi oleh tumbuh-tumbuhan yang lebih besar (atau bagaimanapun menimbulkan kesan adanya kompetisi yang lebih besar). Perubahan itu bersifat kontinu, tahap-tahap yang dikenal hanya merupakan ruas-ruas ungkapan vegetasi. Demikian itulah yang disebut suksesi (Polunin, 1960).
Proses pengorganisasian sendiri dengan mana ekosistem-ekosistem mengembangkan struktur dan proses ekologi dari energi yang tersedia disebut suksesi. Suksesi meliputi pengorganisasian menjadi mantap dan kadang-kadang kembali ke awal (retrogess). Suksesi dipertimbangkan berakhir apabila suatu pola ke suatu kondisi yang kurang terorganisir memulai melakukan suksesi lagi. Klimaks adalah merupakan puncak pertumbuhan atau puncak tertinggi yang telah dicapai (Odum, 1992).
Komunitas yang terdiri dari berbagai populasi bersifat dinamis dalam interaksinya yang berarti dalam ekosistem mengalami perubahan sepanjang masa. Perkembangan ekosistem menuju kedewasaan dan keseimbangan dikenal sebagai suksesi ekologis atau suksesi. Proses suksesi berakhir dengan sebuah komunitas atau ekosistem klimaks atau telah tercapai keadaan seimbang (homeostatis) (Suharno, 1999).
A. Suksesi
Suksesi adalah suatu proses perubahan, berlangsung satu arah secara teratur yang terjadi pada suatu komunitas dalam jangka waktu tertentu hingga terbentuk komunitas baru yang berbeda dengan komunitas semula. Dengan perkataan lain, suksesi dapat diartikan sebagai perkembangan ekosistem tidak seimbang menuju ekosistem seimbang. Suksesi terjadi sebagai akibat modifikasi lingkungan fisik dalam komunitas atau ekosistem (Arianto, 2008).
Secara singkat, suksesi dapat diartikan sebagai perubahan dalam suatu komunitas yang berlangsung menuju ke suatu pembentukan komunitas secara teratur (Arianto, 2008).
Akhir proses suksesi komunitas yaitu terbentuknya suatu bentuk komunitas klimaks. Komunitas klimaks adalah suatu komunitas terakhir dan stabil (tidak berubah) yang mencapai keseimbangan dengan lingkungannya. Komunitas klimaks ditandai dengan tercapainya homeostatis atau keseimbangan, yaitu suatu komunitas yang mampu mempertahankan kestabilan komponennya dan dapat bertahan dan berbagai perubahan dalam sistem secara keseluruhan (Arianto, 2008).
Menururt Odum (1992), berdasarkan kondisi habitat pada awal suksesi, dapat dibedakan dua macam suksesi yaitu :
1. Suksesi Primer
Suksesi primer terjadi jika suatu komunitas mendapat gangguan yang mengakibatkan komunitas awal hilang secara total sehingga terbentuk habitat baru. Gangguan tersebut dapat terjadi secara alami maupun oleh campur tangan manusia. Gangguan secara alami dapat berupa tanah longsor, letusan gunung berapi, dan endapan lumpur di muara sungai. Gangguan oleh campur tangan manusia dapat berupa kegiatan penambangan (batu bara, timah, dan minyak bumi).
Suksesi primer ini diawali tumbuhnya tumbuhan pionir, biasanya berupa lumut kerak. Lumut kerak mampu melapukkan batuan menjadi tanah sederhana. Lumut kerak yang mati akan diuraikan oleh pengurai menjadi zat anorganik.
Zat anorganik ini memperkaya nutrien pada tanah sederhana sehingga terbentuk tanah yang lebih kompleks.Benih yang jatuh pada tempat tersebut akan tumbuh subur. Setelah itu. akan tumbuh rumput, semak, perdu, dan pepohonan. Bersamaan dengan itu pula hewan mulai memasuki komunitas yang haru terbentuk. Hal ini dapat terjadi karena suksesi komunitas tumbuhan biasanya selalu diikuti dengan suksesi komunitas hewan.
Secara langsung atautidak langsung. Hal ini karena sumber makanan hewan berupa tumbuhan sehingga keberadaan hewan pada suatu wilayah komunitas tumbuhan akan senantiasa menyesuaikan diri dengan jenis tumbuhan yang ada. Akhirnya terbentuklah komunitas klimaks atau ekosistem seimbang yang tahan terhadap perubahan (bersifat homeostatis).Salah satu contoh suksesi primer yaitu peristiwa meletusnya gunung Krakatau. Setelah letusan itu, bagian pulau yang tersisa tertutup oleh batu apung dan abu sampai kedalaman rata – rata 30 m.
2. Suksesi Sekunder
Suksesi sekunder terjadi jika suatu gangguan terhadap suatu komunitas tidak bersifat merusak total tempat komunitas tersebut sehingga masih terdapat kehidupan/substrat seperti sebelumnya. Proses suksesi sekunder dimulai lagi dari tahap awal, tetapi tidak dari komunitas pionir.
Gangguan yang menyebabkan terjadinya suksesi sekunder dapat berasal dari peristiwa alami atau akibat kegiatan manusia. Gangguan alami misalnya angina topan, erosi, banjir, kebakaran, pohon besar yang tumbang, aktivitas vulkanik, dan kekeringan hutan. Gangguan yang disebabkan oleh kegiatan manusia contohnya adalah pembukaan areal hutan.
Menurut Odum (1992), adapun tahapan-tahapan suksesi sekunder yaitu :
1. Fase permulaan
Setelah penggundulan hutan, dengan sendirinya hampir tidak ada biomasa yang tersisa yang mampu beregenerasi. Tetapi, tumbuhan herba dan semak-semak muncul dengan cepat dan menempati tanah yang gundul.
2. Fase awal/muda
Kurang dari satu tahun, tumbuhan herba dan semak-semak digantikan oleh jenis-jenis pohon pionir awal yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: pertumbuhan tinggi yang cepat, kerapatan kayu yang rendah, pertumbuhan cabang sedikit, daun-daun berukuran besar yang sederhana, relatif muda/cepat mulai berbunga, memproduksi banyak benih-benih dorman ukuran kecil yang disebarkan oleh burung-burung, tikus atau angin, masa hidup yang pendek (7- 25 tahun), berkecambah pada intensitas cahaya tinggi, dan daerah penyebaran yang luas.
Kebutuhan cahaya yang tinggi menyebabkan bahwa tingkat kematian pohon-pohon pionir awal pada fase ini sangat tinggi, dan pohon-pohon tumbuh dengan umur yang kurang lebih sama. Walaupun tegakan yang tumbuh didominasi oleh jenis-jenis pionir, namun pada tegakan tersebut juga dijumpai beberapa jenis pohon dari fase yang berikutnya, yang akan tetapi segera digantikan/ditutupi oleh pionir-pionir awal yang cepat tumbuh.
3. Fase Dewasa
Setelah pohon-pohon pionir awal mencapai tinggi maksimumnya, mereka akan mati satu per satu dan secara berangsur-angsur digantikan oleh pionir-pionir akhir yang juga akan membentuk lapisan pohon yang homogen (Finegan 1992). Secara garis besar, karakteristik-karakteristik pionir-pionir akhir yang relatif beragam dapat dirangkum sebagai berikut: Walaupun sewaktu muda mereka sangat menyerupai pionir-pionir awal, pionir-pionir akhir lebih tinggi, hidup lebih lama (50-100 tahun), dan sering mempunyai kayu yang lebih padat.
Pionir-pionir akhir menggugurkan daun dan memiliki biji/benih yang disebarkan oleh angin, yang seringkali dorman di tanah dalam periode waktu yang sangat lama. Mereka bahkan dapat berkecambah pada tanah yang sangat miskin unsur hara bila terdapat intensitas cahaya yang cukup tinggi. Jenis-jenis pionir akhir yang termasuk kedalam genus yang sama biasanya dijumpai tersebar didalam sebuah daerah geografis yang luas.
Dalam akhir fase, akumulasi biomasa berangsur-angsur mengecil secara kontinyu. Dalam hutan-hutan yang lebih tua, biimasa yang diproduksi hanya 1- 4.5 t/ha/tahun. Setelah 50-80 tahun, produksi primer bersih mendekati nol. Sejalan dengan akumulasi biomasa yang semakin lambat, efisiensi penggunaan unsur-unsur hara akan meningkat, karena sebagian besar dari unsur-unsur hara tersebut sekarang diserap dan digunakan kembali. Sebagai hasil dari keadaan tersebut dan karena adanya peningkatan unsur hara-unsur hara yang non-fungsional pada lapisan organik dan horizon tanah bagian atas, maka konsentrasi unsur-unsur hara pada biomasa.
Menurut Odum (1992), faktor-faktor lingkungan dapat dikelompokkan menjadi kategori yaitu :
1. Iklim
a. Curah hujan
Curah hujan menentukan ketersediaan air untuk pertumbuhan dan proses-proses penting lainnya pada vegetasi). Air merupakan salah satu faktor penting yang dapat menentukan tipe vegetasi. Air dapat mengubah kadar garam tanah sehingga dapat mempengaruhi vegetasi suatu daerah. Jumlah hujan yang turun berlainan antara suatu daerah dengan daerah lainnya, tergantung dari beberapa faktor yaitu topografi, letak daerah dan letak geografis.
b. Suhu
Suhu di daerah tropika tidak pernah turun sampai titik beku dan kebanyakan berkisar antara 200°C dan 280°C. Suhu tropika yang tinggi disebabkan oleh sudut jatuh pancaran surya yang hampir tegak. Perubahan tahunan panjangnya hari yang hanya kecil, dan kapasitas bahan dalam lautan dan tanah. Suhu yang tinggi pada daerah tropika kebanyakan disebabkan oleh suhu minimum yang lebih tinggi dan tidak dipengaruhi suhu maksimumnya yang dekat di khatulistiwa mencapai kira-kira 300°C.
c. Kelembapan
Kelembaban udara dipengaruhi oleh temperatur, yaitu apabila suhu turun menyebabkan kelembaban relatif bertambah, sedangkan jika suhu naik maka kelembaban akan berkurang. Kelembaban dan suhu juga mempengaruhi dalam menentukan daerah distribusi tumbuhan terutama pepohonan.
d. Angin
Pengaruh angin terhadap vegetasi cukup penting. Angin memberikan pengaruh terhadap konfigrasi, distribusi tumbuhan dan juga mempengaruhi faktor ekologi lainnya seperti kandungan air dalam udara, suhu di suatu tempat melalui pengaruhnya terhadap penguapan. Angin juga mempengaruhi secara langsung vegetasi yaitu dengan menumbangkan pohon-pohon atau mematahkan dahan-dahan atau bagian-bagian lain.
e. Cahaya
Cahaya juga memainkan peranan penting dalam penyebaran, orientasi dan pembungaan tumbuhan. Di dalam hutan tropika, cahaya merupakan faktor pembatas, dan jumlah cahaya yang menembus melalui sudut hutan akan tampak menentukan lapisan atau tingkatan yang terbentuk oleh pepohonan.
2. Fisiologis
Fisiologi yaitu meliputi faktor topografi berurusan dengan corak permukaan daratan dan mencakup ketinggian, kemiringan tanah, lapis alas geologi yang mempengaruhi pengirisan, pengikisan dan penutupan. Berbagai corak permukaan tanah itu berpengaruh pada sifat dan sebaran komunitas tumbuhan.
3. Edatik
Tanah membentuk lingkungan untuk sistem akar yang rumit pada tumbuhan dan bagian bawah tanah lainnya seperti rhizoma, subang dan umbi lapis maupun untuk sejumlah jasad tanah. Tanah juga secara terus menerus menyediakan air dan garam mineral. Dapat berdiri tegaknya tanaman di atas tanah merupakan masalah yang peka. Beberapa jenis tanaman tidak dapat tumbuh pada pada tanah jenis tertentu kecuali jika pohon itu telah tersesuaikan secara khusus.
4. Biotik
Meliputi pengaruh jasad kehidupan baik hewan maupun tumbuhan. Pengaruh itu dapat langsung ataupun tidak langsung dan dapat merugikan atau menguntungkan tumbuhan tersebut. Di dalam hutan banyak terdapat tumbuhan, komunitas tersebut berinteraksi satu sama lain dan menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungannya.
Bab III. Metodologi
A. Alat dan Bahan
Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah sebagai berikut :
1. Alat
Cangkul
Skop
Tali rafia
Patok kayu
Ember
Kamera
Alat tulis
B. Bahan
Lahan alami seluas 2×2 m2
Air
B. Prosedur Kerja
Adapun prosedur kerja yang dilakukan dalam praktikum ini adalah sebagai berikut :
Membersihkan lahan garapan dengan cangkul dari rumput-rumputan dan tumbuhan yang hidup dilahan tersebut.
Memetak lahan garapan dengan ukuran 2 × 2 m2 dan dibatasi oleh tali rafia dan disiram dengan air. Selanjutnya biarkan petak pengamatan tersebut selama 4 minggu.
Setelah 4 minggu mengamati jenis tumbuhan yang tumbuh dalam plot dan mencatat mengenai jumlah dan jenis tumbuhan yang ada serta mengukur tingginya.
Mencatat perubahan komposisi tumbuhan tersebut.
Bab IV. Hasil dan Pembahasan
A. Hasil Pengamatan
Adapun hasil pengamatan yang diperoleh dalam praktikum ini adalah sebagai berikut :
No.
Spesies
Latin
Famili
Tinggi (cm) / Minggu
I
II
III
IV
1.
Ilalang
Imperata cylindrica
Poaceae
—
—
11, 3-
33, 41, 2
Adapun tabel gambar hasil pengamatan tiap minggunya adalah sebagai berikut :
No.
Gambar
Keterangan
1
Pengamatan minggu pertama
2
Pengamatan minggu kedua
3
Pengamatan minggu ketiga
4
Pengamatan minggu keempat
B. Pembahasan
Pada Praktikum kali ini membahas tentang suksesi tumbuhan yang bertujuan untuk mengetahui proses terjadinya suksesi alami dari lahan garapan. Suksesi merupakan proses perubahan dalam suatu komunitas yang berlangsung hingga menuju suatu arah pembentukan komunitas secara teratur. Suksesi merupakan proses yang terjadi akibat adanya modifikasi lingkungan fisik dalam suatu komunitas tersebut. Pengamatan suksesi ini kami lakukan di depan gedung jurusan biologi FMIPA UNTAD.
Praktikum ini dilakukan dengan membuat petak/plot sebanyak 1 buah dengan luas 2 × 2 m2, petak inilah yang dibuat gundul (dirusak) dengan cara mencangkul area petak ini hingga akar tanaman yang ada manjadi hilang sama sekali. Petak/plot dibuat dengan menggunakan tali rafia dengan warna yang mencolok (misalnya merah), pemilihan warna ini bertujuan agar pembatas (garis) tersebut masih dapat terlihat jelas walaupun nantinya tumbuh berbagai tumbuhan dengan lebat.
Pengamatan tentang suksesi ini dilakukan selama 4 minggu. Pada saat pembuatan petak/plot dan pencangkulan lahan, dihitung sebagai minggu ke 0. Selama berlangsungnya pengamatan suksesi, praktikan mengalami beberapa minggu di mana tidak turun hujan (± 3 minggu), sedangkan di sisa minggu yang ada, hampir setiap harinya turun hujan.
Perlu diketahui bahwa hujan sangat berpengaruh dalam pertumbuhan tanaman dan berlangsungnya suksesi di dalam tumbuhan pada petak yang bersangkutan. Semakin deras hujan yang terjadi, maka akan dapat dipastikan suksesi yang terjadi juga akan semakin subur (lebat).
Pada minggu pertama dan kedua, belum ada vegetasi yang tumbuh. Hal ini kemungkinan pada petak tersebut, proses pencangkulan sampai menghilangkan akar dari tanaman yang ada sebelumnya sehingga diperlukan proses yang lama untuk menumbuhkan kembali tanaman tersebut.
Pada minggu ketiga terdapat vegetasi baru, yaitu ilalang. Tumbuhan ilalang dengan populasi sebanyak 2 spesies dengan tinggi 1 cm dan 1,3 cm.
Pada minggu keempat, populasi ilalang bertambah menjadi 3 spesies dengan tinggi masing-masing 3 cm, 3,4 cm dan 1,2 cm. Penambahan populasi serta tinggi varietas ini kemungkinan dikarenakan sering terjadinya hujan yang mengakibatkan tumbuhnya ilalang pada petak/plot pengamatan.
Dalam praktikum yang kami lakukan, suksesi yang terjadi pada lahan garapan yang kami buat termasuk dalam jenis suksesi sekunder. Suksesi sekunder muncul dari kerusakan alam yang parsial saja, hal ini sesuai karena kerusakan yang timbul hanya disebabkan oleh proses pencangkulan dan bukan karena kerusakan alam total yang umumnya terjadi akibat bencana alam.
Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa vegetasi yang pertama muncul adalah jenis rerumputan yaitu ilalang. Hal ini disebabkan jenis suksesi merupakan suksesi sekunder, dimana sudah terdapat kehidupan sebelumnya. Vegetasi yang biasanya muncul pertama kali biasanya berupa tumbuhan pelopor atau pionir yaitu tumbuhan yang berkemampuan tinggi untuk hidup pada lingkungan yang serba terbatas pada berbagai faktor pembatas. Kehadiran kelompok pionir ini akan menciptakan kondisi lingkungan tertentu yang memberikan kemungkinan hidup bagi tumbuhan lainnya. Jenis tumbuhan pionir lainnya yaitu tumbuhan lumut kerak. Lumut kerak termasuk dalam tumbuhan pionir sebab memiliki kemampuan dalam proses pembentukam lapisan tanah, memecah batuan dengan akarnya dan membebaskan materi organik ketika terjadi pelapukan dari bagian tumbuhan yang mati.
Proses terjadinya suksesi dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan yang baik secara terpisah-pisah maupun dalam kombinasi dapat mempengaruhi ketidakhadiran atau kehadiran, keberhasilan atau kegagalan berbagai komunitas tumbuhan melalui vegetasi penyusunnya.
Sehingga dari percobaan yang telah dilakukan dapat dikatakan berhasil sebab tampak terjadinya proses suksesi yakni perubahan dalam suatu komunitas yang berlangsung menuju ke suatu arah pembentukan komunitas secara teratur. Hal ini nampak dengan munculnya beberapa jenis vegetasi yang nantinya akan membentuk suatu komunitas baru.
Bab V. Penutup
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum ini adalah sebagai berikut :
Suksesi yang kami lakukan ini merupakan jenis suksesi sekunder. Karena telah ditemukan adanya kehidupan sebelumnya, yaitu berupa rumput-rumput liar, yang kemudian dibersihkan dengan cara dicangkul sampai bersih hingga akar-akarnya. Proses suksesi sekunder dimulai lagi dari tahap awal, tetapi tidak dari komunitas pioner. Yaitu ada fase permulaan, fase awal, fase muda, dan diakhiri dengan fase klimaks yang ditandai dengan matinya tanaman secara terus-menerus.
Faktor-faktor yang mempengaruhi suskesi yaitu iklim, topografi, edatik dan biotik.
B. Saran
Sebaiknya pengamatan suksesi harus lebih teliti dalam mengamati dan mengukur jenis tumbuhan yang tumbuh pada lahan garapan.
DAFTAR PUSTAKA
Arianto. 2008. Pengertian Suksesi (http://sobatbaru.blogspot.com /2008/06/pengertian-suksesi.html). Diakses pada tanggal 19 April 2013.
Contoh laporan praktikum biokimia dengan topik Uji Kualitas Enzim amilase pada Kacang Hijau. Topik dari praktikum mengamati dampak suhu dan pH terhadap enzim.
Daftar isi
Uji Kualitatif Akitivitas Enzim Amylase pada Kacang Hijau
Bab I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Enzim adalah suatu kelompok protein yang menjalankan dan mengatur perubahan-perubahan kimia dalam sistem biologi. Zat ini dihasilkan oleh organ-organ hewan dan tanaman, yang secara katalitik menjalankan berbagai reaksi seperti pemecahan hidrolisis, oksidasi, reduksi, isomerisasi, adisi, transfer radikal dan pemutusan rantai karbon. Kebanyakan enzim yang terdapat di dalam alat atau organ dari organisme berupa larutan koloidal dalam cairan tubuh seperti air ludah, darah, cairan lambung, dan cairan pancreas. Enzim terdapat di bagian dalam sel, berkaitan dengan protoplasma. Enzim juga terdapat dalam mitokondria dan ribosom. Enzim atau biokatalisator adalah katalisator organik yang dihasilkan oleh sel.
Salah satu proses penting yang terjadi di dalam tubuh tumbuhan yaitu metabolisme. Proses tersebut berupa pemecahan molekul menjadi molekulyang lebih kecil (katabolisme) dan penyusunan molekul dari molekul-molekul yang lebih kecil (anabolisme). Dalam tubuh tumbuhan terjadi banyakreaksi kimia yang kompleks dengan banyak tipe yang berbeda, hal ini disebabkan karena adanya suatu protein khusus yang mengontrol metabolisme yang disebut enzim (Widarmayanti, PRatih. 2012).
Enzim merupakan biokatalisator yang sangat efektif yang akanmeningkatkan kecepatan reaksi kimia spesifik secara nyata, dimana reaksi initanpa enzim akan berlangsung lambat (Lehninger, 1995). Kebanyakan enzim-enzim yang terdapat di tubuh organisme tidak bekerja secara sendiri-sendiritetapi saling bekerja sambung-menyambung satu dengan yang lainmembentuk sistem enzim (Isnawati, 2009). Pemanfaatan enzim amilase darikecambah biji di bidang industri masih belum banyak dilakukan. Bila hal inidilakukan tentunya merupakan salah satu cara yang dapat meningkatkan nilai ekonomis dari kacang kedelai tersebut (Bahri, Syaiful dkk. 2012)
B. Tujuan
Tujuan dilakukannya praktikum pengujian kerja enzim amylase pada kacang hijau adalah sebagai berikut :
Mengetahui pengaruh suhu dan pH terhadap aktivitas enzim pada kacang hijau kering.
Mengetahui pengaruh konsentrasi substrat terhadap aktivitas enzim.
Bab II. Tinjauan Pustaka
A. Enzim
Kata enzim berarti “dalam ragi”, bahkan tanpa mengetahui struktur dan fungsinya, manusia telah menggunakan enzim sejak zaman prasejarah dalam produksi anggur, cuka, dan keju. Enzim merupakan katalis yang lebih efisien dari pada kebanyakan katalis laboratorium dan industry (seperti pH dalam suatu reaksi hidrogenasi). Reaksi biologis dalam tubuh manusia berlangsung pada 37C dan dalam medum berair.temperatur tinggi, tekanan tinggi, atau reagensia yang reaktif (NaOH alat LiAH4), tidak tersedia bagi suatu organisme. Enzim juga memungkinkan suatu selektivitas pereaksi-pereaksi dan suatu pengendalian laju reaksi yang tidak dimungkinkan oleh kelas katalis lain.
Semua enzim adaah protein, akan tetapi tidak semua protein adalah enzim. Beberapa mempunyai struktur yang agak sederhana. Namun sebagian besar enzim mempunyai struktur yang rumit. Banyak enzim yang strukturnya belum diketahui. Untuk aktivitas biologis, beberapa enzim memerlukan gugus-gugus prostetik, atau kofaktor. Kofaktor ini merupakan bagian non-protein dari enzim itu. Suatu kofaktor dapat berupa ion logam sederhana, ion tembaga misalnya, meruakan kofaktor bagi enzim asam askorbat oksidae. Enzim lain mengandung olekul organic non-protein sebagai kofaktor. Gugus prostektik organic seringkali dirujuk sebagai suatu koenzim.
Sumber enzim dapat diperoleh dari tanaman, hewan dan mikroorganisme. Salah satu enzim pemecah pati adalah enzim α-amilase (α-1,4-glukan-glukanodidrolase; EC.3.2.1.1.), enzim ini sangat berperan dalam industri pembuatan roti dan sirup. Enzim a-amilase banyak terdapat pada kecambah kacang-kacangan. Enzim α-amilase dalam biji dibentuk pada waktu awal perkecambahan oleh asam giberilik. Asam giberilik adalah suatu senyawa organik yang sangat penting dalam proses perkecambahan suatu biji karena bersifat sebagai pengontrol perkecambahan tersebut. (Suarni, 2007)
Enzim bekerja secara khas pada substrat tertentu. Enzim bekerja sebagai katalis dengan cara menurunkan energy aktifasi, sehingga laju reaksi meningkat (Poejadi, 2006).
B. Bagaimana Enzim Bekerja
Diduga enzim menyesuaikan diri disekitar sibstrat (molekul yang akan dikerjakan) untuk membentuk suatu kompleks-enzim-substrat. Ikatan-ikatan substrat dapat menjadi tegag oleh daya tarik antar substrat dan enzim. Ikatan tegang memiliki energy tinggi dan lebih mudah terpatahkan, oleh karena itu, reaksi yang diinginkan lebih mudah dan menghasilkan suatu kompleks-enzim-produk.
Dalam banyak hal, produk dan substart itu tidak sama bentuknya, jadi kesesuaian antara produk dan enzim tidak lagi sempurna. Bentuk yang diubah (dari) produk itu menyebabkan kompleks itu berdisosiasi, dan permukaan enzim sisap untuk menerima molekul subsrat lain. Teori aktivitas enzim ini disebut teori kesesuaian-terimbas.
Enzim mempunyai bobot molekul mulai dari 12.000 – 120.000 dan lebih tinggi. Sebagian besar dari substrat (misalnya, suatu asam amino atau suatu satuan glukosa) merupakan molekul yang lebih kecil. Lokasi spesifik pada struktur enzim besar dimana reaksi terjadi, disebut lebih aktif.
C. Amylase
Amilase adalah enzim yang mampu menghidrolisis amilum menjadi dekstrin, maltosa ataupun glukosa. Karena amilum sendiri tersusun atas amilosa san amilopektin serta dalam satu molekul amilosa terdapat beberapa jenis ikatan sedangkan enzim bersifat spesifik maka terdapat beberapa jenis amilase antara lain α-amilase, β-amilase dan glukoamilase.
Masing-masing enzim bekerja pada tipe dan titik ikatan glikosida yang berbeda dari suatu rantai amilosa ataupun amilopektin (deMan, 1989). Sumber amilase yang umum digunakan berasal dari mikroba, karena dari tinjauan ekonomis lebih menguntungkan. Tetapi sumber lain dari amilase yang cukup kaya adalah kecambah kacang-kacangan dan padi.
D. Kacang Hijau
Kacang hijau adalah sejenis palawija yang dikenal luas di daerah tropika. Tumbuhan yang termasuk suku polong-polongan ini memiliki banyak manfaat dalam kehidupan sehari-hari sebagai sumber bahan pangan berprotein nabati tinggi. Kacang hijau di Indonesia menempati urutan ketiga terpenting sebagai tanaman pagan legume, setelah kedelai dan kacang tanah. Bagian yang paling bernilai ekonomis adalah bijinya. Kecambah kacang hijau menjadi sayuran yang umum dimakan di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara dan dikenal sebagai tauge. Kacang hijau bila direbus cukup lama akan pecah dan pati yang terkandung di dalamnya akan keluar dan mengental menjadi seperti bubur.
Pemilihan kacang hijau sebagai sumber enzim α-amilase karena dalam bentuk kecambah mengandung tokoferol (pro vitamin E) 936,4 ppm, fenolik 11,3 ppm. Senyawa tersebut merupakan antioksidan yang sangat penting terhadap kesehatan terutama balita. Senyawa fenolik dengan antioksidan lainnya pada konsentrasi rendah dapat melindungi bahan pangan tersebut dari kerusakan oksidatif. Selain itu, kacang hijau memiliki kelebihan dari segi ekonomis dan agronomis dibandingkan dengan tanaman kacang-kacangan lainnya. (Suarni, 2007)
E. Isolasi dan Uji Kualitatif Enzim Amilase dari Kecembah Kacang Hijau
Salah satu komponen penyusun biji-biji tanaman yang besar adalah rotein, yang di dalamnya termasuk golongan protein fungsional yang berfungsi sebagai enzim. Salah satu enzim yang bekerja adalah enzim alfa amylase yang dipergunakan pada proses metabolism pati. Enzim ini berfungsi memecah senyawa pati enjadi dekstrin dan maltose yang diperlukan untuk pertumbuhan/perkecambahan biji.
Biji yang tidak dikecambahkan mengandung afa amylase dengan aktivitas rendah, akan tetapi bila biji-biji tersebut dikecambahkan maka akan diperoleh kecambah yang mengandung enzim dengan aktivitas yang lebih besar. Beberapa faktor yang mempengaruhi proses hidrolisis pati oleh enzim amylase, diantaraya yaitu pH, Temperatur, waktu, dan konsentrasi katalisator. Untuk mengetahui dan memahami kerja enzim ini, maka pada percobaan kali ini akan digunakan estrak enzim kasar yang berasal dari kecambah kacang hijau. Parameter yang diakai untuk mengetahui aktivitas hidrolisis enzim amylase terhadap substrat pati disini adalah kehilangan kemampuan untuk memberikan warna biru saat bereaksi dengan iodine.
Bab III. Metodologi
A. Alat dan Bahan
1. Alat
Berikut ini merupakan alat yang digunakan daam praktikum uji aktivitas enzim amylase pada kacang hijau, yaitu :
Mortar
Kuvet
Sentrifuge
Pemanas suhu 100 derajat celcius
Beaker glass
Mikro pipet
Tabung reaksi dan rak tabung reaksi
Pipet volume
Water bath
Falcon tube
3. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum uji aktivitas enzim amylase adalah sebagai berikut :
Biji kacang hijau kering
Pati 4% dalam buffer asetat
Larutan iodine 1%
Buffer asetat pH 5.5
HCl 5 N
B. Prosedur Kerja
Berikut ini merupakan procedure pengujian aktivitas enzyme amylase pada kacanh hijau.
Menghaluskan biji kacang hijau kering menggunakan mortal dan alu.
Menambahkan 5 ml larutan buffer asetat (pH 5.5), kemudian menghomogenkan.
Setelah larutan homogeny, kemudan memindahkannya dari mortar ke falcon tube dan kemudain di masukkan ke dalam sentriful 5000 rpm selama 10 menit untuk memisahkan supernatan dan pellet.
Seteah 10 menit, falcon tube dikeluarkan dari dalam sentrifus untuk kemudian memisahkan supernatant dari peet dan memindahkannya ked ala tube kecil sebanyak 4 buah, dengan masing masing tube berisikan 0,5 ml supernatan.
Langkah selanjutnya adalah memperlakukan keempat larutan pada tube, dan filtrate yang dapat dipakai sebagai sumber enzim kasar, yang dikondisikan dalam beberapa perlakuan :
Filtrate diinkubasikan pada suhu ruang
Filtrate diinkubasikan pada suhu 50oC (menggunakan water bath) selama 10 menit
Filtrate diinkubasikan pada suhu 100oC (menggunakan penangas selama 10 menit
Filtrate ditambahkan larutan HCL 5 N (2 tetes pipet drop)
Siapkan 0,5 ml substrat (4% larutan pati dalam buffer asetat) dan di camurkan pada masing-masing tabung reaksi untuk menghidrolisis amilum polisakarida menjadi gula yang lebih sederhana
Kemudian tambahkan 0,5 ml filtrate enzim kasar (yang telah dipersiapkan) dan 1 % iodine pada masing-masing tabung reaksi.
Mengamati dan mencatat data perubahan warna yang terjadi setelah penambahan sebenyak 1 tetes iodine selama 15 menit.
Bab IV. Hasil dan Pembahasan
A. Hasil Pengamatan
Berikut ini merupakan hasil pengamatan uji aktivitas enzim amylum pada kacang hijau oleh kelompok satu dengan bahan utama kacang hijau kering.
Tabel 1. Kecepatan Enzim Amilase dalam Menghidrolisis Pati
Perlakuan dan waktu inkubasi(menit)
Suhu normal
Suhu 50˚C
Suhu 100˚C
+HCL
0
5
10
0
5
10
0
5
10
0
5
10
Biji Kering
-+
++
-+
—
++
-+
++
++
++
++
++
++
Keterangan: kolom tabel di isi dengan notasi dari waktu yang di perlukan untuk terjadinya perubahan warna:
Notasi:
— : Tidak terjadi perubahan warna -+ : Terjadi sedikit perubahan warna ++ : Terjadi perubahan warna
B. Pengaruh suhu dan PH cvfterhadap aktivitas amylase
Perlakuan dan waktu inkubasi (waktu)
Suhu normal
Suhu 50˚C
Suhu 100˚C
+HCL
Biji kering
-+ +
-++
– -+
—
Keterangan:
Aktivitas hidrolitik enzim amilase terhadap substrat pati ditunjukan oleh kehilangan kemampuan enzim tidak mampu untuk memberikan warna biru saat bereaksi dengan iodine
Notasi:
– – – : Warna biru – – + : Warna biru kecoklatan – + + : Warna kuning kecoklatan + + + :Warna kuning atau bening
B. Pembahasan
Enzim adalah suatu kelompok protein yang menjalankan dan mengatur perubahan-perubahan kimia dalam sistem biologi. Enzim merupakan senyawa yang sangat rentan dan peka. Pada benih enzim dapat ditemukan pada proses perkecambahan, karena karbohidrat tidak bisa digunakan, sehingga ketika benih ingin menggunakan enzim, ia harus dipecah atau dilakukan perombakan terlebih dahulu. Enzim alfa amylase pada perkecambahan berfungsi untuk menghidrolisis amylum polisakaida menjadi glukosa atau kelompok gula yang lebih sederhana.
Pada praktikum ini dilakukan pengujian aktivitas enzim alfa amylase pada kacanh hijau biji kering, direndam satu malam, dikecambahkan selama 24 jam dan dikecambhakan selama 48 jam. Dimana dalam pengujian ini digunakan substrat amilum (pati) sebagai parameter untuk menunjukkan aktivitas enzim dan kesediaan enzim alfa amylase dalam merombak amilum, dengan uji iod. Uji iod digunakan untuk menguji karbohidrat jenis poisakarida yang akan ditunjukkan dengan nilai positif apabila iodine direaksikan dengan golongan polisakarida.
Parameter pengamatan adalah dengan adanya perubahan warna biru dengan waktu tertentu. Apabila larutan kehilangan warna biru, maka menandakan bahwa terjadi proses reaksi enzimatis atau menandakan masih adanya aktivitas hidrolisis enzim. Pengujian terhadap suhu dan pH di indikasikan dengan tidak terbentuknya warna biru, karena terjadi proses enzimatis karena substratnya telah di hidrolisis menjadi gula yang lebih sederhana.
Dari data yang telah didapatkan di atas, dapat diketahui bahwa kerja/aktivitas enzim terbaik adalah pada kondisi suhu ruang dan pada suhu 50ºC. untuk lebih jelasnya, dibawah ini akan diuraikan kembali hasil pengujian aktivitas enzim amylase pada kacang hijau hasil dari kelompok satu dengan kondisi kacang hiaju kering.
1. Suhu normal
Hasil dari pengamatan kelompok kami dengan data di atas, Enzim yang kami amaiti dalam keadaan suhu normal dan pada menit pertama setelah di tetesi dengan larutan Iodin menjadi sedikit berubah dari warna awalnya, hal ini menunjukkan bahwa enzim pada suhu ruang yang telah di tambahkan larutan iodin mengalami sedikit perubahan karena masih terjadi proses reaksi enzimatis meskipun sangat kecil, sehingga menunjukkan hanya terjadi sedikit perubahan warna. Dan pada pengujian suhu normal dengan waktu 0 menit atau penambahan larutan iodine yang pertama, didapatkan hasil bahwa telah terjadi sedikit perubahan warna.
Ada menit ke 5 atau penambahan iodine yang kedua Nampak bahwa enzim yang ada di tabung reaksi tersebut sudah tidak terlihat aktifitasnya lagi atau mengalami denaturasi karena terlihat adanya perubahan warna dari awalnya kuning menjadi biru. Pada menit ke 10 menit kembali ditetskan larutan iodin yang ke 3 kalinya, ternyata pada kondisi ini, enzim kembali menunjukkan adanya aktivitas karena warna larutan menjadi sedikit terang dari sebelumnya warna biru pekat. Dalam melakukan praktikum isolasi enzim seyogyanya dilakukan pada suhu dingin atau rendah dan dengan cepat, karena jika tidak bisa saja mengaibatkan enzim mengalami kerusakan.
2. Suhu 50˚C
Hasil dari pengamatan aktivitas enzim amylase pada suhu 50ͦ◦C. Pada menit pertama (T=0) tidak terjadi perubahan warna dan ketika sudah di teteskan iodin masih tetap tidak terjadi perubahan waran di kaaarenakan dalam suhu 50˚C enzim pada menit pertama enzim masih mampu untuk melakukan proses enzimatis dan bekerja dengan baik.
Pada menit ke 5, larutan kembali ditetsi menggunakan larutan iodine, dan ternyata larutan tersebut terjadi perubahan warna dari warna kuning biru menjadi warna biru. Hal ini menunjukkan bahwa enzim yang ada di tabung reaksi tersebut sudah tidak ada aktifitas lagi dan mulai mengalami kerusakan. Pada menit yang ke 10 menit kita tambahkan lagi larutan iodin yang ke 3 kalinya, larutan mengalami perubahan warna menjadi lebih terang, lebih terang dari pada hasil meni ke 10 pada suhu normal. Hal ini menunjukkan bahwa enzim amylase masih dapat bekerja dengan baik pada suhu 50◦C.
3. Suhu 100˚C
Hasil dari pengamatan yang kelompok kami lakukan pada kondisi suhu 100◦C menunjukkan bahwa Enzim yang kami amaiti pada awal peneesan larutan iodine sudah menunjukkan keadaan bahwa enzim sudah tidak bekerja lagi hingga sampai menit terakhir enzim yang di tambahkan iodin tersebut tetap tidak bekerja karena pada suhu yang tinggi enzim akan mengalami kerusakan, sehigga pada suhu 100˚C semua enzim akan mengalami kerusakan atau tidak bisa bekerja lagi.
4. +HCL
Pada hasil yang kami amati saat pratikum ketika enzim di tambahkan dengan larutan Hcl menunjukkan bahwa telah terjadi kerusakan enzim, karena +Hcl diduga dapat meningkatkan keasaman dan pada saat itu enzim yang ada pada tabung reaksi yang di tambahkan +Hcl akan mengalami kerusakan dan tidak dapat bekerja seperti biasanya.Maka dari itu apabila kita melakukan pratikum menggunakan enzim dan +Hcl maka hasilnya adalh enzim tersebut akan rusak dan tidak dapat bekerja dengan baik. Karena menurut hasil pengamatan ilmuan menunjukkan bahwa enzim akan bekerja dengan baik pada pH 4,5-8. Penambahan Hcl mengakibatkan penurunan pH.
Hal itu karena nilai pH medium menjadi semakin asam, sehingga aktivitas enzim amilase mengalami penurunan. Semakin asam nilai pH maka semakin banyak enzim yang mengalami denaturasi. Enzim amilase merupakan enzim ekstraseluler, maka aktivitas enzimatik dipengaruhi oleh nilai pH medium. Pada saat itu, nilai pH medium adalah 5,31-6,00.
Nilai pH tersebut merupakan nilai pH optimum bagi aktivitas enzim amilase. Aktivitas optimum enzim berkisar pada nilai pH pertumbuhan mikroorganisme penghasil enzim tersebut. Enzim amilase umumnya stabil pada kisaran nilai pH 5,5-7,0. Aktivitas optimum umumnya terjadi pada nilai pH 4,8 –6,5. Tetapi nilai pH optimum aktivitas enzim berbeda-beda tergantung organisme penghasil enzimnya (Pujoyuwono et al., 1997).
Apabila membandingkan dengan data hasil pengujian aktivitas enzim amylase pada kacang hijau dengan parameter pengaruh suhu dan pH, maka dapat didapatka hasil bahwa Pada suhu normal terdapat warna kuning kecoklatan yang artinya pada saat saat di suhu ruang enzim masih bekerja karena pH yang ada pada enzim tidak terlalu tinggi atau tidak terlalu rendah.
Sama halnya pada kondisi suhu 50˚C enzim yang direaksikan dengan larutan iodin masih terlihat adanya roses enzimatis dan masih dalam kategori baik, pada suhu ini pH enzim masih sedikit normal yaitu dengan bukti perubahan warna kuning kecokelatan. Dari sini dapat diketahui bahwa enzim pada suhu ruang dan suhu 50˚C masih bekerja dengan baik.sedangkan pada suhu 100˚C enzim mengaami kerusakan karena sejak pertama ditetesi larutan iod sudah berubah warna menjadi biru.
Pada penambahan larutan +Hcl enzim benar-benar tidak bisa melakukan aktivitas enzimatis, karena sudah terlihat rusak di karenakan asam yang terlalu tinggi mengakibatkan perubahan warna biru yang pekat dan mengartikan bahwa enzim tidak data bekerja ada pH yang terlalu rendah. Menurut Suarni (2007) Enzim amilase banyak terdapat pada kecambah kacang-kacangan.
Enzim α-amilase dalam biji dibentuk pada waktu awal perkecambahan oleh asam giberilik. Asam giberilik adalah suatu senyawa organik yang sangat penting dalam proses perkecambahan suatu biji karena bersifat sebagai pengontrol perkecambahan tersebut. Oleh karena itu enzim amilase akan sangat mudah diperoleh dari kacang hijau.
Dari pengujian yang telah dilakukan menggunakan perlakuan yang berbeda mendapatkan hasil bahwa pada pengujian enzim dengan koacang hijau dikecambahkan selama 48 jam menunjukkan hasil yang baik, dengan ditunjukkan tidak ada perubahan warna dengan 4 perlakuan yang diberikan, yaitu enzim pada suhu norma, suhu 50◦C, suhu 100◦C dan penambahan asam Hcl. Berdasarkan data yang didapatka meskipun kacang hijau yang dikecambahkan selama 48 jam direaksika dengan Hcl atau pada suhu tinggi mengalami perubahan warna hanya sedikit.
Hal ini berarti pada fase perkecambahan 48 jam kandungan enzim amylase sangat banyak dan melakukan aktivitas dengan keras. Sehingga pada pengujian ini hasil terbaik ditunjukkan oleh kelompo kacang hijau yang dikecambahkan selama 48 jam. Pada fase perkecambahan antara hari ke 2 – hari ke 8 diduga terjadi aktivitas enzim yang besar, karena pada fase ini benih harus berupaya untuk melakukan proses pertumbuhan dari biji menjadi tanaman kecil muda (bibit), sehingga memerlukan banyak tenaga.
Disamping itu, aktivitas enzim ada umumnya juga dipengaruhi oleh beberapa faktor. Berikut ini merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi kerja/aktivitas dari enzim yaitu :
1. Suhu
Semua enzim membutuhkan suhu yang cocok agar dapat bekerja dengan baik. Laju reaksi biokimia meningka seiring kenaikan suhu. Hal ini Karena panas meningkatkan energy kinetic dari molekul sehinga menyebabkan jumlah tabrakan diantara molekul-molekul meningkat. Sedangkan dalam kondisi suhu renjah, reaksi menjadi terhambat kaena hanya terdapat sedikit kontak antara ubstrat dan enzim. Namun, suhu yang ekstrimjuga tida baik untuk enzim.
Di bawah pengaruh suhu yang sangat tinggi, molekul enzim cenderung terdistorsi, sehingga laju reaksipun jadi menurun. Enzim yang terdenaturasi gagal melaksanakan fugsi normanya. Dalam tubuh manusia, suhu optimum dimana kebanyakan enzim yang dapat bekerja lebih baik pada suhu yang lebih rendah dari ini.
2. pH
efisiensi suatu enzim sangat dipengaruhi oleh nilai pH atau derajat keasaman lainnya. Ini karena muatan komponen asam amino enzim berubah bersama dengan perubahan nilai pH. Secara umum, kebanyakan tetap stabil dan berjalan dengan baik pada kisaran pH 6-8 tapi, ada beberapa enzim tertentu yang bekerja dengan baik hanya di lingkunga asam tau basa.
Nilai pH menguntungkan bagi enzim tertentu sebenarnya tergantung ada sistem biollogisnya tempat enzim tersebut bekerja. Ketika nilai pH menjadi terlalu tinggi atau terlalu rendah, maka struktur dasar enzim dapat megalami perubahan. Sehingga sisi aktif enzim tidak dapat mengikat substrat dengan benar, sehingga aktivitas enzim akan sangat terpengaruhi.
Bahkan enzim dapat samai benar benar berhenti. Perubahan pH mempengaruhi muatan total protein enzim yang dapat mempengaruhi aktivitasnya, baik dengan perubahan struktur maupun dengan perubahan muatan pada residu asam amino yang berfungsi mengikat substrat (Jayanti, 2013).
3. Konsentrasi substrat
Jelas saja konsentrasi substrat yang lebih tinggi berarti lebih banyak jumah molekul substrat yang terlibat dengan aktivitas enzim. Sedangkan konsentrasi substrat yang rendah berarti lebih sedikit jumlah molekul substrat yang dapat melekat pada enzim, menyebabkan berkurangnya aktivitas enzim. Tapi terkait laju enzimatik sudah mencapai maksimum dan enzim sidah dala kondisi paling aktif, peningkatan konsentrasi substrat tidak akan memberika perbedaan dalam ektivitas enzim. Dalam kondisi seperti ini, disisi aktif semua enzim terus terdapat substrat, sehingga tidak ada temat untuk substrat ekstra.
4. Konsentrasi Enzim
Semakin besar konsentrasi enzim maka kecepatan reaksi akan cepat pula. Konsentrasi enzim berbanding lurus dengan kecepatan reaksi, tentunya selama masih ada substrat yang perlu diubah menjadi produk.
5. Activator dan Inhibitor
Activator meruakan molekul yang membantu enzim agar mudah berikatan dengan substrat. Inhibitor adaah substansi yang memiliki ecenderungan untuk menghambat aktivitas enzim. Inhibitor enzim memiiki dua cara berbeda mengganggu fungsi enzim. Berdasarkan caranya, inhibitor dibagi menjadi 2 kataegori : inhibitor kompetitif dan inhibitor non kompetitif.
Inhibitor kompetitif memiliki struktur yang sama dengan molekul substrat, inhibitor ini melekat pada sisi aktif enzim sehingg mngulangi pembentukan ikatan kompleks enzim-substrat. Inhibitor non kompetitif dapat melekat pada sisi enzim yang bukan merupakan sisi aktif dan membentuk kompleks enzim-inhibitor. Inhibitor ini mengubah bentuk/struktur enzim, sehinga sisi aktif enzim mnjadi tidak berfungsi dan substra tidak dapat berikatan dengan enzim tersebut.
Bab V. Penutup
A. Kesimpulan
dari praktikum yang dilakukan, dapat ditarik kesimpulan seperti dibawah ini :
enzim merupakan biokatalisator yang mampu untuk memcah amilum menjadi gula sederhana pada proses perkecambahan.
Enzyme dapat bekerja dengan baik pada pH optimal antar 4,5-8 dan ada suhu yang rendah. Jika pada suhu tinggi akan mengalami denaturasi
kecepatan enzimamilase dalam menghidrolisis pati biji kering yang telah dilaksanakan dapat disimpulkan bahwa enzim di beriiodin pada suhu normal dan suhu 50oC mengalami perubahan warna menjadi kuning kecoklatan, pada suhu 100oC mengalami perubahan warna menjadi biru kecoklatan, dan pada +HCl menjadiwarnabiru.
B. Saran
Saran yang didapatkan setelah dilakukannya praktikum ini adalah sebagai berikut
Untuk praktikan diharapkan lebih tenang lagi dalam mengerjakan praktikum dan jangan sampai merusak atau memecahkan alat-alat laboratorium.
Dalam melakukan kegiatan penambhana bahan bahan kimia seharusnya dilakukan dengan penuh kehati hatian, sehingga tidak akan terjadi kesaahan dalam penambahan volume maupun jenis larutan
DAFTAR PUSTAKA
Buku praktik kerja mahasiswa. 2017.Biokimia. Politeknik Negeri Jember:Jember
Pujoyuwono, M.D., N. Trinovia, D.S. Richana, Damardjati dan U. Murdiyanto. 1997.
Karakterisasi enzim amilase dari beberapa strain bakteri indegenous Indonesia.
ProsidingSeminar Teknologi Pangan. Bogor: Balai Penelitian Bioteknologi Pangan
Fressenden.1982. “Organic Chemistry eds.3”. Jakarta : Erlangga
Lampiran 1
A. Tabel kecepatan Enzim amilase dalam menghidrolisis pati
Perlakuan dan waktu inkubasi (menit)
Suhu normal
Suhu 50˚C
Suhu 100˚C
+HCL
0
5
10
0
5
10
0
5
10
0
5
10
Biji kering
-+
++
– +
– –
++
-+
++
++
++
++
++
++
Biji di rendam semalam
– –
– –
– –
-+
-+
-+
-+
-+
++
++
++
++
Biji di kecambahkan (umur 24 jam)
– –
—
– –
—
—
– +
—
++
– –
-+
-+
++
Biji di kecambahkan (umur 48 jam)
– –
-+
– –
– –
-+
++
– –
-+
++
++
– –
– –
Keterangan: kolom tabel di isi dengan notasi dari waktu yang di perlukan untuk terjadinya perubahan warna:
Notasi:
– – : Tidak terjadi perubahan warna – + : Terjadi sedikit perubahan warna + + : terjadi perubahan warna
B.Pengaruh suhu dan PH cvf terhadap aktivitas amilase
Perlakuan dan waktu inkubasi (waktu)
Suhu normal
Suhu 50˚C
Suhu 100˚C
+HCL
Biji kering
-++
-++
–+
—
Biji direndam semalam
+++
-++
—
—
Biji dikecambahkan (umur 24 jam)
+++
+++
-++
—
Biji dikecambahkan (umur 48 jam)
+++
+++
–+
—
Keterangan:
Aktivitas hidrolitik enzim amilase terhadap substrat pati ditunjukan oleh kehilangan kemampuan enzim tidak mampu untuk memberikan warna biru saat bereaksi dengan iodin
Curah hujan wilayah merupakan curah hujan yang pengukurannya dilakukan di suatu wilayah tertentu (wilayah regional). Curah hujan yang dibutuhkan untuk menyusun suatu rencangan pemanfaatan air dan rencana pengendalian banjir adalah curah hujan rata – rata diseluruh daerah yang bersangkutan, bukan hanya curah hujan pada satu titik saja. Menurut Sosrodarsosno dan Takeda (1977) data curah hujan dan debit merupakan data yang sangat penting dalam perencanaan waduk. Analisis data hujan dimaksudkan untuk mendapatkan besaran curah hujan. Perlunya menghitung curah hujan wilayah adalah untuk penyusunan suatu rancangan pemanfaatan air dan rancangan pengendalian banjir. Loebis (1987) mengatakan bahwa metode yang digunakan dalam perhitungan curah hujan rata – rata wilayah ada tiga metode, yaitu metode rata – rata aritmatika (aljabar), metode polihon Thiessen, dan metode Isohyet.
Tingkat curah hujan di suatu wilayah menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kondisi lingkungan di daerah tersebut. Seiring dengan meningkatnya intensitas curah hujan, biasanya selalu ada dampak negatif yang timbul. Seperti terjadinya banjir dan longsor dimana faktor metrologi dalam hal ini curah hujan diketahui menjadi penyebab utama bila dilihat dari intensitas, durasi, serta distribusinya. Tjasyono (2007) menyebutkan khusus untuk kejadian banjir, terjadinya kerusakan lingkungan dan perubahan fisik permukaan tanah juga menjadi faktor penting yang dapat menunjang terjadinya banjir dimana akibat hal tersebut kemampuan dari daya tamping dan daya simpan terhadap air hujan menjadi berkurang.
Oleh karena itu penting untuk mempelajari cara analisis data curah hujan wilayah pada suatu contoh data yang diberikan dimatah kuliah Hidrologi agar bermanfaat baik dalam kaitannya dengan mata kuliah lain dan aplikasinya di dunia kerja khususnya dalam bidang yang mengatasi masalah seputar faktor adanya air yakni hujan.
B. Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk menentukan curah hujan wilayah dengan menggunakan metode rata – rata aritmatika dan polygon Thiessen.
BAHAN DAN METODE
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam praktikum kali ini yaitu penggaris, planimeter, kalkulator, busur derajat, kertas millimeter blok , dan alat tulis lainnya.
Prosedur Kerja
1. Metode Aritmatika
Plotkan semua lokasi stasiun pengukuran dan tinggi hujan yang ada disekitar daerah yang akan ditentukan curah hujan wilayahnya. Mentukan berapa banyak stasiun pengukuran hujan yang terletak di dalam batasan daerah tersebut. Menjumlahkan tinggi hujan dari sejumlah stasiun pengukuran hujan yang telah ditentukan.Curah hujan diperoleh dengan cara menbagi jumlah tinggi hujan secara matematis dengan menggunakan rumus R= i = I
N
R adalah curah hujan wilayah, n adalah banyaknya srasiun pengukuran yang terletak di dalam daerah, Ri adalah curah hujan ke-I.
2. Metode Poligon Thiessen
Plotkan semua lokasi stasiun pengukuran dan tinggi hujan yang ada disekitar daerah yang akan ditentukan curah hujan wilayahnya. Menyambungkan setiap stasiun pengukuran hujan dengan stasiun pengukuran terdekatnya terutama untuk stasiun – stasiun pengukuran hujan yang berada dalam dan paling dekat dengan batas daerah wilayah. Sambungkan antar stasiun akan membentuk deretan segitiga yang tidak boleh saling berpotongan satu sama lain. Kemudian menentukan titik tengah dari setiap sisi segitiga dan membuat sebuah garis tegak lurus terhadap masing – masing sisi segitiga tersebut tepat di titik tengahnya. Menghubungkan setiap garis tegak lurus tersebut satu sama lain sehingga membentuk polygon – polygon dimana setiap polygon hanya diwakili oleh satu stasiun pengukuran hujan yang berada di dalam atau paling dekat dengan batas daerah wilayah.
Pengukuran curah hujan wilayah membutuhkan data dari beberapa stasiun di wilayah tersebut bukan hanya satu stasiun pengkuruan saja, karena curah hujan wilayah harus diukur dan mencakup seluruh daerah dalam arti lebih luas dari pada data pengukuran cutah hujan titik. Curah hujan wilayah dapat diketahui dengan perhitungan berbagai metode yaitu, metode aritmatik, metode polygon thiessen, dan metode isohyets tetapi metode isohyets tidak di lakukan pada praktikum kali ini. Ketiga metode ini memiliki kelemahan dan kelenihan masing – masing. Perhitungan curah hujan wilayah di praktikum ini menggunakan metode aritmatika (pada tabel 1) dan metode polygon thiessen (pada tabel 2). Perhitungan dengan metode aritmatika dapat lebih menghemat waktu karena pengerjaanya yang tidak banyak membutuhkan perhitungan. Selainitu metode aritmatika juga tidak memerlukan alat – alat seperti yang digunakan metode polygon thiessen, misalnya kertas grafik. Curah hujan wilayah jika dihitung dengan metode aritmatik cukup mudah , yakni hanya menjumlahkan hasil pengukuran dari beberapa stasiun. Sedangkan metode polygon thiessen membutuhkan waktu yang lebih lama dari pada metode aritmatik karena perhitungan memerlukan ketelitan dan proses pengerjaan yang baik. Wilayah pengukuran di sketsa di kertas grafik untuk dilakukan pengamatan dan selanjutnya stasiun – stasiun yang ada diberi batas polygon. Batasan polygon inilah yang membatasi daerah stasiun satu dengan stasiun lainnya agar perhitungan lebih mudah.
Oleh karena itu metode aritmatik dianggap meode yang paling sederhana dari pada metode yang lainnya. Meskipun begitu metode yang digunakan harus disesuaikan dengan kondisi yang ada. Metode aritmatik merupakan metode yang sesuai dengan daerah yang topografinya datar dan distribusi hujan tersebar merata seperti Jakarta. Sedangkan metode polygon thiessen digunakan jika titik – titik pengamatan di daerah yang memiliki topografi tidak yang tidak merata sehingga diwakili oleh satu stasiun penakar hujan.
Berdasarkan gambar dapat dilihat bahwa wilayah tersebut mencakup 12 stasiun pengukuran curah hujan, tapi stasiun ke-12 berada di luar wilayah pengukuran meskipun stasiun tersebut dekat dengan daerah pengukuran. Hasil menunjukkan nilai yang berbeda dari perhitungan dengan kedua metode yang seharusnya hasilnya sama. Pengukuran dengan metode aritmatik menunjukkan hasil yang lebih besar (96) dari pada hasil dengan metode poligon thiessen (111.32). Hal tersebut dapat terjadi karena beberapa faktor, antara lain: peneliti atau pengamat, perhitungan yang salah, penarikan beberapa garis di kertas grafik pada metode polygon thiessen, dan lain-lain. Pengamat yang melakukan perhitungan sangat mempengaruhi hasil yang didapat karena ketelitian pengamat yang satu dengan pengamat yang lainnya itu dapat berbeda. Pengamat yang telah terbiasa melakukan perhitungan curah hujan wilayah dengan beberapa metode baik aritmatik, polygon thiessen, dan isohyets tentulah menghasilkan hasil yang baik atau mendekati sempurna. Sebaliknya hal yang terjadi jika pengamat merupakan seseorang yang baru belajar. Selain itu tebal pensil yang digunakan akan berpengaruh terhadap garis-garis yang dibuat di kertas grafik pada metode polygon. Jadi, kerapihan kerja dan keterampilan pengamat dalam hal ini sangat diperlukan.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa penentuan curah hujan wilayah dapat dilakukan dengan tiga metode (aritmatik, polygon thiessen, isohyets). Penggunaan metode disesuaikan dengan kondisi yang ada di lapangan karena masing-masing metode memiliki kelemahan dan kelebihannya masing-maisng. Metode yang lebih sederhana adalah metode aritmatik.
DAFTAR PUSTAKA
Loebis Joesron. 1987. Banjir Rencana untuk Bangunan Air. Bandung: DPU.
Sosrodarsono Suyono ,Takeda Kensaku. 1977. Bendungan Type Urugan. Jakarta : Pradnya.
Tjasyono, B. H. K., & Harijono, S. W. B. (2008). Meteorologi Indonesia 2 Awan dan HujanMonsun. Jakarta: Badan Meteorologi dan Geofisika.
Tjasyono, B. H. K., Juaeni, I., & Harijono, S. W. B. (2007). Proses Meteorologis Bencana Banjir Di Indonesia. Jurnal Meteorologi dan Geofisika, 8(2), 1-13
Gregor lahir pada tanggal 22 Juli 1822 di kota Heizendorf, di daerah daulat kerajaan Austria yang kini masuk bagian wilayah Cekosiowakia. Tahun 1843 dia masuk biara Augustinian, di kota Brunn, Austria. Dia menjadi pendeta tahun 1847. Tahun 1850 dia ikut ujian peroleh ijasah guru, tetapi gagal dan dapat angka terburuk dalam biologi! Meski begitu, kepada pendeta di biaranya mengirim Mendel ke Universitas Wina, dari tahun 1851-1853 dia belajar matematika dan ilmu pengetahuan lainnya. Mendel tak pernah berhasil mengantongi ijasah guru resmi, tetapi dari tahun 1854-1868 dia menjadi guru cadangan ilmu alam di sekolah modern kota Brunn. Mendellah yang menemukan bagaimana pewarisan sifat itu bekerja dan apa yang sebenarnya diturunkan dari orang tua ke keturunannya? Pada saat itu belum ada teori gen, kromosom, DNA, mitosis dan meiosis. Mendel mengembangbiakkan kacang kapri dengan berbagai karakter yang berbeda untuk mengetahui mekanisme pewarisan sifat. Teorinya dipublikasikan pada tahun 1865 . Kesimpulan hukum mendel ini dituangkan ke dalam 2 buah rumusan, yaitu : Hukum Mendel I (pesilangan monohybrid) ‘pada waktu pembelahan gamet terjadi segregasi / pemisahan alel alel suatu gen secara bebas dari diploid menjadi haploid’ Hukum mendel I ini disimpulkan dari persilangan monohibrid. Hukum ini disebut juga hukum segregasi. Hukum I Mendel mengatakan bahwa pada waktu pembentukan gamet, terjadi segregasi (pemisahan) alel-alel suatu gen secara bebas dari diploid menjadi haploid.
Hukum Mendel II (persilangan dihibrid) ‘pada saat pembentukan gamet, alel-alel berbeda yang telah bersegregasi bebas ajan bergabung secara bebas membentuk genotip dengan kombinasi-kombinasi alel yang berbeda.’ Hukum Mendel II Disimpulkan dari persilangan dihibrid. Hukum ini juga dinamakan Hukum Penggabungan Bebas (the mendelian law of independent assortment). Hukum II Mendel menyatakan bahwa pada waktu pembentukan gamet, alel-alel berbeda yang telah bersegregasi bebas (misal alel A memisah dari a, serta alel B memisah dari b) akan bergabung secara bebas membentuk genotip dengan dengan kombinasi alel yang berbeda-beda.
Di Dalam persilangan terdapat 3 jenis persilangan, yaitu :
1. Testcross : persilangan antara suatu individu yang tidak diketahui genotipnya dengan induk yang genotipnya homozigot resesif. Tujuan dari persilangan ini adalah untuk menguji heterozigositas suatu persilangan.
2. Backcross : persilangan antara anakan F1 yang heterozigot dengan induknya yang homozigot dominan, karena disilangkan seperti ini maka kemungkinan anak hasil dari persilangan itu hanya satu macam.
3. Resiprok : persilangan ulang dengan jenis kelamin yang dipertukarkan.
Jenis-jenis penyimpangan semu Hukum mendel ( Interaksi genetic) 1. Atavisme – akibat Interaksi beberapa gen Atavisme adalah interaksi dari beberapa gen yang menyebabkan munculnya suatu sifat yang berbeda dengan karakter induknya ~ Atavisme pertama kali ditemukan oleh Bateson dan Punnet. ~ Penyimpangan terjadi karena munculnya sifat baru pada jengger ayam (Walnut dan single). ~ Tipe jengger walnut merupakan hasil interaksi dari dua gen dominan yang berdiri sendiri, tipe jengger single merupakan hasil interaksi dua gen resesif.
2.Polimeri * Polimeri merupakan bentuk interaksi gen yang bersifat kumulatif (saling menambah). * Polimeri terjadi akibat adanya interaksi antara dua gen atau lebih, sehingga disebut juga gen ganda. * Gen Ganda -> Menumbuhkan suatu sifat akibat kumulatif kerja sama banyak gen. * peristiwa polimeri mirip dengan persilangan dihibrid dominan tidak penuh (intermediat). * Contohnya adalah persilangan pada biji gandum (biji merah x biji putih)
3. Kriptomeri * Kriptomeri adalah peristiwa dimana sifat gen dominan yang tersembunyi, apabila berdiri sendiri. Jika berinteraksi degan gen dominan lainnya, akan muncul sifat gen dominan yang tersembunyi tersebut. * Contonhnya pada bunga Linaria maroccana.
Perbandingan hasilnya adalah 9 : 3 : 4 (ungu : merah : putih) 4. Gen-gen komplementer > Merupakan interaksi gen yang saling melengkapi. Jika terdapat dua gen dominan maka sifat fenotip muncul. > Contohnya adalah pada bunga lathyrus odoratus yang terdapat dua gen yang saling berinteraksi dalam memunculkan pigmen bunga Ada alel PIGMENTASI (cc) + ENZIM pengaktif pigmen (pp) Alel C_ -> (+) menumbuhkan zat bahan mentah pigmen cc -> (-) menumbuhkan zat bahan mentah pigmen Alel P_ -> (+) menumbuhkan enzim pp -> (-) menumbuhkan enzim *fungsi enzim adalah untuk mengubah zat bahan mentah pigmen menjadi antosianin berwarna ungu
Ratio Fenotipenya Ungu : Putih = 9 : 7
5. Epistasis – hipostasis * Interaksi beberapa gen yang terdiri dari dua jenis, yaitu Epistasis dan Hipostasis * Epistasis adalah gen yang memengaruhi atau menghalangi gen lain atau menutupi * Hipostasis adalah gen yang dipengaruhi atau dihilangi gen lain * Epistasis dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: * Epistasis dominan (gen dengan alel dominan yang menutupi kerja gen lain) contohnya adalah labu putih yang disilangkan dengan labu hijau yang akan menghasilkan 100% labu putih dan akan menghasilkan genotipe putih : kuning : hijau dengan perbandingan 12 : 3 : 1.
* Epistasis resesif (gen dengan alel homozigot resesif yang mempengaruhi gen lain) contohnya warna rambut tikus hitam dengan tikus putih akan menghasilkan tikus abu-abu agouti, yang akan menghasilkan perbandingan 9 : 3 : 4 (hitam : krem : putih).
* Epistasis dominan rangkap (peristiwa dua gen dominan atau lebih yang bekerja untuk munculnya satu fenotip tunggal) contohnya persilangan biji segitiga dengan biji bulat yang akan menghasilkan 100% biji segitiga, apabila disilangkan lagi akan menghasilkan genotipe 15:1
Jenis penyimpangan hukum mendel (Interaksi Alel) * Dominasi tidak sempurna (Incomplete Dominance) Dominasi tidak sempurna adalah alel dominan yang tidak dapat menutupi alel resesif sepenuhnya. Akibatnya individu yang heterozigot mempunyai ½ sifat dominan dan ½ sifat resesif. Contohnya pada tanaman Antirrhinum(tanaman bunga Snapdragon
Jenis penyimpangan hukum mendel (Interkasi Alel) * Dominasi tidak sempurna (Incomplete Dominance) Dominasi tidak sempurna adalah alel dominan yang tidak dapat menutupi alel resesif sepenuhnya. Akibatnya individu yang heterozigot mempunyai ½ sifat dominan dan ½ sifat resesif. Contohnya pada tanaman Antirrhinum(tanaman bunga Snapdragon)
> Kodominan Terjadi ketika 2 alel suatu gen menghasilkan produk berbeda gn alel yg 1 tidak dipengaruhi oleh alel lain. Contohnya adalah pada sapi: RR (sapi wrn merah) kodominan thd rr (putih), RR x rr à Rr (roan=coklat kemerahan/kekuningan), pada Pd bulu ayam: BB (bulu hitam) sedominan thd bb (putih), BB (hitam) x bb (putih), Bb (blue Andalusia), dan Pd anjing Husky: BB (bermata biru) x bb (mata coklat), BB x bb akan menghasilkan Bb (bermata biru dan coklat).
* Alel Ganda Dapat terjadi karena mutasi (perubahan pada struktur molekul DNA yg sifatnya diwariskan pd keturunannya) Hasil Mutasi ini akan banyak variasi alel dengan 1 gen. Contoh : warna rambut kelinci. Pertambahan jumlah anggota alel ganda menyebabkan bertambahnya kemunkinan genotip bagi masing-masing fenotip (polimorfisme)
> Alel resesif Alel yang dapat menyebabkan kematian bagi individu yang memilikinya pada saat masih menjadi embrio awal atau beberapa saat setelah kelahiran. a. Alel letal resesif : alel yang dalam keadaan homozihot resesif dapar menyebabkan kematian. Contoh : albino ( 1 dari 4 keturunan akan mati) b. Alel letal dominan : alel yag dalam keadaan homozigot dominan dapat menyebabkan kematian. Contoh : ayam jambul (1 dari 4 keturunan akan mati)
Penentuan Jenis Kelamin Ekspresinya tergantung dari jenis kelamin, misalnya kebotakan yang terjadi pada laki-laki. Gen yang terpaut pada kromosom kelamin akan diturunkan bersama-sama gen penentu jenis kelamin.
Jenis kelamin Manusia = Tipe XY * 46 kromosom(23 pasang) or * 44 for tubuh (A) + 2 kromosomsex or * 22psgA (AA) + 1 psg sex (XX/XY) ¡ Induk jantan (2n): 44(A)+XY = 22(AA) + XY ¡ Induk betina (2n): 44(A)+XX = 22 (AA) + XX ¡ Sperma(n)= 22 (A)+X dan 22(A) +Y atau 11 (AA) + X atau 11 (AA) +Y ¡ Ovum(n) = 22 (A)+X dan 11 (AA) + X
Jenis kelamin Serangga = Tipe XO Ordo Hemiptera (kepik) danOrthoptera (belalang) ¡ Jantan = heterogametik ¡ Sel gamet à X danO (- kromosomkelamin) ¡ Hewan jantan : XO ¡ Hewan betina : XX Cth: serangga tipe XO (mis: belalang Melanoplus differentialis) ¡ Belalang betina = 24 kromosom(22A + XX) ¡ Belalang jantan = 23 kromosom(22A + XO)
Jenis kelamin Unggas = Tipe ZW * Terdapat pada burung (+ unggas), kupu-kupu, ngengat, dan beberapa jenis ikan. Cth: pada unggas ayam Ayam jantan = kromosomkelamin ZZ – Z Ayam betina = ________”________ ZW– Z danW ¡ Anak:Z x Z = ayam jantan (ZZ) ¡ Anak:Z xW= ayam betina (ZW) Kromosomayam = 40 kromosom(20 pasang kromosom) • Induk jantan (2n): 38(A)+ ZZ atau 19 (AA) + 1 (ZZ) • Induk betina (2n): 38(A)+ ZWatau 19 (AA) + 1 (ZW) ¡ Sperma (n) = 19(A) + Z ¡ Ovum (n) = 19(A) + Z dan 19(A) +W
Jenis kelamin Lebah Madu Lebah jantan = n (16 kromosom) ¡ Lebah betina = 2n (32 kromosom) Lebah jantan membuahi à 50%(16 kromosom) So 16 (dari jantan) + 16 dari betina = 32(2n)= betina 0 + 16____”____ = 16(n)=jantan (PARTENOGENESIS) PARTENOGENESIS adalah individu baru terbentuk dari telur yg tdk dibuahi
Tautan dan Pindah Silang Selain adanya interaksi genetic dan alel, penyimpangan hukum mendel juga bisa terjadi akibat adanya Tautan dan pindah silang. Tautan 1. Tautan Autosomal Merupakan gen-gen yang terletak pada kromosom yang sama, tidak dapat bersegregasi secara bebas dan cenderung diturunkan bersama. Tautan ini ditemukan oleh Thomas Hunt Morgan, beliau adalah orang pertama yang menghubungkan suatu gen tertentu dengan kromosom tertentu. Contoh dari peristiwa ini adalah yang terjadi pada lalat Drosophila yang di testcross dengan lalat buah. 2. Tautan Kelamin Gen yang terletak pada kromosom kelamin dan sifat yang ditimbulkan gen ini diturunkan bersama dengan jenis kelamin. Kromosom terdiri dari kromosom X dan kromosom Y, apabila pada laki-laki terdapat kromosom XY, dan pada perempuan terdapat kromosom XX. Gen tertaut kromosom X adalah gen yang terdapat pada kromosom X. Gen tertaut kromosom Y adalah gen yang terdapat pada kromosom Y. Dari setiap persilangan, anak laki-laki mendapatkan kromosom X dari ibunya, sedangkan pada anak perempuan akan mendapatkan kromosom X dari kedua orangtuanya.
Pindah Silang Pindah silang adalah Proses pertukaran gen-gen antara kromatid-kromatid yang bukan pasangannya pada sepasang kromosom homolog. Peristiwa pindah silang diikuti oleh patah dan melekatnya kromatid sewaktu profase dalam pembelahan meiosis. Pada saat pembelahan meiosis, masing-masing kromosom mengalami duplikasi dan membentuk kromosom-kromosom homolog. Saat kromosom homolog berpasangan dan membentuk sinapsis, terjadi pindah silang antara dua kromatid yang tidak berpasangan.
Gen Letal Gen Letal merupakan gen yang menyebabkan kematian bila dalam keadaan homozigot. Letal dominan disebabkan oleh gen homozigot dominan, sedangkan letal resesif disebabkan oleh gen homozigot resesif.
Golongan Darah pada Manusia Golongan darah adalah hasil dari pengelompokan darah berdasarkan ada atau tidaknya substansi antigen pada permukaan sel darah merah (eritrosit). Antigen tersebut dapat berupa karbohidrat, protein, glikoprotein, atau glikolipid.
Golongan Darah sistem ABO Berdasarkan adanya dua macam antigen (A dan B) dan antibody (a dan b). antigen adalah glikoprotein yang terdapat pada permukaan sel darah mera, sedangkan antibody adalah molekul protein yang dihasilkan oleh sel-B untuk merespon adanya antigen dan terdapat pada serum atau cairan darah.
Golongan Darah sistem MN Penggolongan yang didasarkan adanya salah satu jenis antigen glikoprotein, yang disebut glikoforin A yang didapat dari reaksi antigen-antibodi. Terdapat dua macam antigen glikoforin yaitu M dan N. reaksi dari keduanya dengan anti serum menghasilkan fenotip dan genotip golongan darah system MN.
Golongan Darah sistem Rh Sistem ini berasal dari percobaan pada eritrosit kera Rhesus. Antigen rhesus ini berupa glikoprotein tertentu pada membrane plasma sel-sel darah merah dan membagi golongan darah manusia menjadi 2 kelompok berdasarkan reaksi penggumpalan antara antigen sel darah merah dengan anti serum Rh, yaitu positif dan negative.
Kelainan dan penyakit Genetik Kelainan Genetik (Genetic Abnormality) adalah Penyimpangan dari sifat umum atau sifat rata-rata manusia. Penyakit genetic (Genetic Disorder) adalah Penyakit yang muncul karena tidak berfungsinya faktor-faktor genetic yang mengatur struktur dan fisiologi tubuh manusia. Kelainan dan penyakit genetic ini dapat disebabkan oleh mutasi gen yang mengakibatkan terjadinya perubahan susunan gen yang umumnya tidak sempurna atau cacat, dan alel mutan yang bersifat resesif, tetapi ada yang dominan.
Pewarisan Alel Resesif Autosomal 1. Albino Penyakit yang membuat seseorang tidak mempunyai pigmen kulit atau melamin sehingga rambut dan badannya putih. Penyakit ini dapat menyebabkan penglihatan yang sensitive terhadap cahaya karena iris matanya tidak ada pigmen.
2. Anemia Sel Sabit Anemia Sel Sabit ini adalah penyakit menurun yang disebabkan karena bentuk eritrosit seoerti bulan sabit, sehingga afinitasnya terhadap oksigen sangat rendah. Kelainan ini disebabkan oleh gen resesif s, dan alelnya gen S untuk sifat normal. Dalam keadaan homozigot dominan ss bersifat letal.
3. Galaktosemia Penyakit ini terjadi karena tubuh tidak dapat menghasilkan enzim yang dapat memecah laktosa. Penyakit ini mengakibatkan kerusakan mata, hati, dan otak. Gejala yang ditimbulkan malnutrisi, diare dan muntah-muntah, Cara mengobatinya adalah dengan diet bebas laktosa dan tes urin.
4. Talasemia Merupakan kelainan genetik (penyakit genetik) yang disebabkan rendahnya kemampuan pembentukkan hemoglobin, terjadi karena gangguan salah satu rantai globin. Thalasemia menyebabkan kemampuan eritrosit dalam mengangkut oksigen rendah (anemia).
5. Fibrosis sistik Penyakit ini disebabkan karena tidak adanya protein yang membantu transport ion klorida melalui membran plasma. Konsentrasi ion klorida yang terlalu tinggi
SOURCE 1. PPT Hereditas milik Bella, Anthony, Steven 2. Nurhayati, Nunung. Biologi Bilingual Untuk SMA/MA Kelas XII Semester 1 dan 2. Bandung: Yrama Widya, 2008.
Seringkali kita mendengar seseorang mengatakan “lendir” berwarna hijau di lantai kamar mandi yang membuat licin atau yang menempel dibagian dalam galon air minum ataupun air kolam yang berwarna hijau adalah lumut.
Padahal apa yang kita sebut lumut tersebut bukanlah lumut melainkan algae. Perlu kita ketahui bahwa, lumut dan algae adalah dua makhluk yang berbeda, namun kebanyakan orang tidak mengenalnya. Berikut kita lihat beberapa perbedaan antara lumut dan algae :
ALGAE
LUMUT
Merupakan anggota kingdom protista, kelompok protista mirip tumbuhan, jadi algae bukanlah tumbuhan
Merupakan anggota kingdom plantae (tumbuhan)
Tersusun atas satu sel atau banyak sel yang belum terdiferensiasi membentuk jaringan khusus
Tersusun atas banyak sel yang sudah terdiferensiasi membentuk jaringan
Algae dikelompokkan menjadi algae hijau, merah, coklat, pirang, ganggang api berdasarkan pigmen yang dimilikinya
Lumut dikelompokkan menjadi lumut hati, lumut tanduk dan lumut daun berdasarkan struktur talus penyusunnya
Tidak memiliki akar, batang dan daun
Telah memiliki akar, batang dan daun
Perkembangbiakan generatif dengan konjugasi
Perkembangbiakan generatif dengan fertilisasi antara spermatozoid dengan ovum
Algae yang sering dianggap lumut adalah algae hijau yang bersel satu atau berbentuk filamen (benang-benang)
Lumut tidak bersel satu dan tidak berbentuk filamen
Berikut beberapa contoh gambar algae dan lumut :
1. ALGAE
2. LUMUT HATI (Hepaticopsida)
3. LUMUT TANDUK (Anthocerotopsida)
4. LUMUT DAUN (Bryopsida)
oke, semoga sudah bisa membedakan antara lumut dan algae dan nggak salah kaprah lagi !!!
Salah satu pertanyaan menarik tentang kacang tanah (Arachis hypogaea L) adalah mengapa biji kacang tanah berada di dalam tanah sedangkan bunganya berada di atas permukaan tanah ? Lantas apakah biji kacang tanah bukanlah biji dari bunganya, atau merupakan umbi seperti pada wortel, ketela, kentang dll.
FAKTA
Proses penyerbukan bunga kacang tanah terjadi pada malam hari yaitu sebelum bunga mekar.
Tanaman kacang tanah melakukan penyerbukan sendiri. Penyerbukan silang pada tanaman kacang dapat terjadi tapi dalam jumlah yang sangat rendah.
Setelah terjadi pembuahan, bakal buah akan tumbuh memanjang yang disebut ginofora.
Mula-mula ujung ginofora yang runcing mengarah ke atas tapi kemudian setelah tumbuh memanjang, ginofora tadi akan mengarah ke bawah (positif geotropic) kemudian terus menuju ke dalam tanah dan membentuk polong di dalam tanah.
Setelah polong terbentuk maka proses pertumbuhan ginofora yang memanjang berhenti.
Ginofora dapat tumbuh memanjang dan mencapai ukuran 6-17 cm.
Bila ginofor tumbuh lebih dari 15 cm di atas permukaan tanah, akan menyebabkan ginofora tidak dapat menembus tanah sehingga tidak akan terbentuk polong, hal itu disebabkan karena pertumbuhan dan perkembangan ginofor menjadi polong memerlukan kondisi kelembaban dan cahaya sebagaimana yang ada di dalam tanah.
Jadi, kacang tanah adalah biji dari bunga di atas tanah yang dimasukkan kedalam tanah oleh ginofora yang kemudian membentuk polong. Sehingga ia tidak sama dengan umbi seperti ketela pohon, wortel, kentang dll.
Ø Fenotip : sifat keturunan yang dapat terlihat oleh pancaindera.
Ø Genotip : sifat yang tidak tampak, hal ini ditentukan oleh pasangan gen dalam individu.
Ø Gen : Faktor penentu, yang membawa informasi terkode dalam unit-unit herediter berupa segmen-segmen DNA.
Ø Parental : persilangan antara induk jantan dan induk betina (P)
Ø Filius : Hasil persilangan parental (F1 : keturunan pertama, F2 : keturunan kedua, perkawinan F1 dan F1 )
Ø Galur murni : tanaman yang jika dikawinkan sesamanya akan menghasilkan anak yang serupa, misal bunga putih dengan bunga putih, keturunannya semua berbunga putih.
Ø Hibrid : hasil perkawinan antara dua individu yang mempunyai sifat beda.
Ø Alel : pasangan gen masing-masing yang mempunyai sifat berbeda, misal R dan r, M dan m, B dan b. Alel ini terletak pada lokus yang berkesuaian di dalam kromosom homolog. Jika dilihat dari fenotipnya, alel ini anggota pasangan gen yang memiliki pengaruh sama atau berlawanan untuk suatu sifat.
Ø Lokus : tempat tertentu pada kromosom yang diduduki oleh satu alel pada satu sifat.
Ø Homozigot : individu yang genotipnya sama (missal: HH, MM, atau hh, mm dll)
Ø Heterozigot: genotip suatu individu yang berbeda alelnya (misal: Hh, Mm). Penulisan heterozigot harus ditulis huruf besar terlebih dahulu.
Ø Dominan : sifat yang menutupi/mengalahkan sifat lain ( sibolnya kapital, misal BB)
Ø Resesif : sifat yang tertutupi oleh sifat lain yang dominan (simbolnya kecil, misal bb)
Ø Intermediet : sifat antara induk jantan dan betina, sehingga berbeda dari kedua induknya (misal: tanaman bunga merah dikawinkan dengan bunga putih menghasilkan keturunan pertama (F1) berwarna pink. Sifat warna pink ini adalah perpaduan antara induk jantan dan betina, sehingga berbeda dari induknya.
Catatan
· Setiap alel dominan harus digunakan sebagai huruf gamet yang akan di pakai. Misal Warna Merah dominan terhadap warna putih. Sehingga pemilihan gamet berdasarkan warna yang dominan MM untuk resesif mm.
· Setiap penulisan alel pada heterozigot, dominan yang berhuruf besar harus diutamakan. Misal Mm, TIDAK BOLEH ditulis mM.
Berikut ini adalah contoh laporan praktikum dasar-dasar ilmu tanah. Topik dari praktikum ini adalah penyiapan contoh tanah.
Daftar isi
Penyiapan Contoh Tanah
Bab I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Makhluk hidup yang dapat menghasilkan makanannya sendiri hanyalah tumbuhan. Manusia dan hewan sangat bergantung hidupnya pada ketersediaan tumbuhan. Maka dari itu, tanah sebagai media utama yang disediakan alam untuk tempat tumbuh tanaman haruslah dikelola dengan baik.
Pada masa pembangunan seperti sekarang tanah yang awalnya dimanfaatkan sebagai lahan pertanian sudah mengalami perubahan menjadi pemukiman penduduk. Desa-desa berkembang menjadi kota. Semakin bertambahnya populasi manusia bertambah pula kebutuhan tanah untuk bermukim, sehingga lahan pertanian akan semakin berkurang sedangkan kebutuhan pangan manusia semakin meningkat. Hal ini sudah menjadi fenomena umum dalam kehidupan. Oleh karena itu tanah harus digunakan sebaik-baiknya dan seefisien mungkin.
Agar jumlah produksi meningkat, dibutuhkan media yang baik bagi tumbuh kembang tanaman. Media yang baik bagi pertumbuhan tanaman harus mampu menyediakan kebutuhan tanaman seperti air, udara, unsur hara, dan terbebas dari bahan-bahan beracun dengan konsentrasi yang berlebihan. Maka dari itu, sifat-sifat tanah sangat penting untuk dipelajari agar dapat memberikan media tumbuh yang ideal bagi tanaman. Pengambilan contoh tanah menjadi tahapan penting untuk mengetahui sifat-sifat fisik tanah agar dapat menggambarkan keadaan tanah di lapang.
B. Tujuan
Menyiapkan contoh tanah kering udara berdiameter 2mm dan 0,5 mm.
Bab II. Kajian Pustaka
Tanah merupakan hasil evolusi dan mempunyai susunan teratur yang unik dan terdiri dari lapisan-lapisan atau horizon-horison yang berkembang secara genetik. Proses-proses pembentukan tanah atau perkembangan horizon dapat dilihat sebagai penambahan, pengurangan atau translokasi (Foth, 1988).
Pengambilan contoh tanah merupakan tahapan penting untuk penetapan sifat-sifat fisik tanah di laboratorium. Sifat-sifat fisik tanah yang dapat ditetapkan di laboratorium mencakup berat volume (BV), berat jenis partikel (PD = particle density),tekstur tanah, permeabilitas tanah, stabilitas agregat tanah, distribusi ukuran pori tanah termasuk ruang pori total (RPT), pori drainase, pori air tersedia, kadar air tanah, kadar air tanah optimum untuk pengolahan, plastisitas tanah, pengembangan atau pengerutan tanah (COLE = coefficient of linier extensibility), dan ketahanan geser tanah (Suganda et al, 2006).
Pengenalan sifat fisik tanah ditujukan untuk mengetahui kondisi fisik sebenarnya di lapangan. Dengan mengetahui kondisi fisik tanah tersebut dapat diperkirakan tingkat produktivitas tanah dan sampai sejauh mana diperlukan tindakan pengolahan tanah untuk memperbaiki kondisi tanah tersebut atau tindakan TOT (Tanpa Olah Tanah) lebih sesuai diterapkan sehingga efisien dan efektif dinilai dari aspek ekonomi dan konservasi tanah (Asmin et al, 2006).
Soil Taxonomy USDA System adalah suatu sistem klasifikasi tanah yang bersifat universal. Hampir semua negara di dunia menggunakan sistem ini untuk mengklasifikasi tanah, meskipun ada sistem yang lain seperti sistem FAO Unesco. Di Indonesia terdapat sistem klasifikasi tanah, yaitu sistem Pusat Penelitian Tanah dan sistem tersebut juga masih dipakai. Soil Taxonomy USDA merupakan sistem yang dapat diterima oleh semua pihak karena dalam pengklasifikasian tanah mendasarkan pada sifat tanah yang ditemukan di lapang dan dapat diukur secara kuantitatif. Selain itu, sistem ini juga berhubungan dengan genesis tanah yang membentuk morfologi tanah tersebut. Hal ini membuat sistem tersebut bersifat terbuka untuk tanah-tanah baru yang berbeda dengan tanah yang ditemukan sebelumnya (Wiyono et al, 2006).
Dalam sistem klasifikasi tanah PPT-Bogor dikenal 20 golongan tanah yaitu:
Organosol: merupakan tanah yang mempunyai horison histik setebal 50 cm atau lebih dengan bulk density (berat volume) yang rendah.
Litosol: merupakan tanah yang dangkal yang terdapat pada batuan yang kukuh sampai kedalaman 20 cm dari permukaan tanah.
Ranker: merupakan tanah dengan horison A umbrik dengan ketebalan 25 cm dan tidak mempunyai horison daignostik lainnya.
Rendzina: merupakan tanah dengan horison A molik yang terdapat diatas batu kapur dengan kadar kalsium karbonat lebih dari 40 persen.
Grumosol: merupakan tanah dengan kadar liat lebih dari 30 persen, bersifat mengembang jika basah dan retak-retak jika kering. Retak (crack) dengan lebar 1 cm dan dengan kedalaman retak hingga 50 cm dan dijumpai gilgai atau struktur membaji pada kedalaman antara 25 – 125 cm dari permukaan.
Gleisol: merupakan tanah yang memperlihatkan sifat hidromorfik pada kedalaman 0 – 50 cm dari permukaan dan dijumpai horison histik, umbrik, molik, kalsik atau gipsik.
Aluvial: merupakan tanah yang berkembang dari bahan induk alluvial muda, terdapat stratifikasi dengan kadar C organik yang tidak teratur. Horison permukaan dapat berupa horison A okrik, horison histik atau sulfuric.
Regosol: merupakan tanah yang bertekstur kasar dari bahan albik dan tidak dijumpai horison penciri lainnya kecuali okrik, hostol atau sulfuric dengan kadar pasir kurang dari 60 persen pada kedalaman antara 25 – 100 cm dari permukaan tanah.
Koluvial: merupakan tanah yang tidak bertekstur kasar dari bahan albik, tidak mempunyai horison diagnostik lainnya kecuali horison A umbrik, histik atau sulfurik.
Arenosol: merupakan tanah yang bertekstur kasar dari bahan albik yang terdapat pada kedalaman kurang dari 50 cm dari permukaan tanah dan hanya mempunyai horison A okrik.
Andosol: merupakan tanah yang berwarna hitam sampai coklat tua dengan kandungan bahan organik tinggi, remah dan porous, licin (smeary) dan reaksi tanah antara 4.5 – 6.5. Horison bawah-permukaan berwarna coklat sampai coklat kekuningan dan kadang dijumpai padas tipis akibat semenatsi silika. Horison A dapat terdiri dari molik atau umbrik yang terdapat diatas horison kambik. Ciri lainnya adalah BV rendah (< 85 g/cm3) dan kompleks pertukaran didominasi oleh bahan amorf. Tanah ini dijumpai pada daerah dengan bahan induk vulkanis mulai dari pinggiran pantai sampai 3000 m diatas permukaan laut dengan curah hujan yang tinggi serta suhu rendah pada daerah dataran tinggi.
Latosol: merupakan tanah yang mempunyai distribusi kadar liat tinggi (>60%), KB < 50%, horison A umbrik dan horison B kambik.
Brunizem: merupakan tanah yang mempunyai distribusi kadar liat tinggi (>60%), gembur, KB > 50%, horison A molik dan horison B kambik.
Kambisol: merupakan tanah yang mempunyai horison B kambik dan horison A umbrik atau molik, tidak terdapat gejala hidromorfik.
Nitosol: merupakan tanah yang mempunyai horison B argilik dengan penurunan liat kurang dari 20% terhadap liat maksimum, tidak ada plintit, tidak mempunyai sifat vertik tetapi mempunyai sifat ortoksik (KTK dengan amoniumasetat < 24 cmpl/kg liat).
Podsolik: merupakan tanah yang mempunyai horison B argilik, kejenuhan basa < 50% dan tidak mempunyai horison albik.
Mediteran: merupakan tanah yang mempunyai horison argilik dengan kejenuhan basa > 50% dan tidak mempunyai horison albik.
Planosol: merupakan tanah yang mempunyai horisol E albik yang terletak diatas horison argilik atau natrik, perubahan tekstur nyata, adanya liat berat atau fragipan di dalam kedalam 125 cm. Pada horison E albik dijumpai cirri hidromorfik.
Podsol: merupakan tanah yang mempunyai horison B spodik.
Oksisol: merupakan tanah yang mempunyai horison B oksik (Dudal et al, 1957).
Bab III. Metode Praktikum
A. Alat dan Bahan
Pada praktikum penyiapan contoh tanah, alat utama yang digunakan adalah mortir dan penumbuknya serta saringan. Ukuran saringan yang dibutuhkan yaitu yang memiliki diameter lubang 2mm, 1mm, dan 0,5 mm. Selain itu, dibutuhkan pula tambir untuk peranginan, kantong plastik, spidol dan label.
Bahan yang dibutuhkan pada praktikum ini sangat mudah di dapat. Cukup dengan mengambil tanah terganggu dari lapang dalam jumlah yang diperlukan. Tanah tersebut sebelum digunakan harus sudah dikeringanginkan selama kurang lebih satu minggu.
B. Prosedur Kerja
Contoh tanah yang sudah dikeringanginkan ditumbuk dalam mortar secara hati-hati, kemudian diayak dengan saringan berturut-turut dari yang berdiameter 2mm, 1mm dan 0,5mm. Contoh tanah yang tertampung diatas saringan 1mm adalah contoh tanah yang berdiameter 2mm, sedang yang lolos saringan 0,5mm adalah contoh tanah halus (<0,5).
Contoh tanah yang diperoleh dimasukkan ke dalam kantong plastic dan diberi label seperlunya.
Bab IV. Pembahasan
Setiap tanah memiliki suatu morfologi tertentu yang dihubungkan dengan suatu kombinasi faktor-faktor pembentuk tanah yang khas. Terdapat beberapa jenis tanah yang digunakan dalam praktikum acara I, diantaranya: vertisol, andisol, inceptisol, entisol dan ultisol.
A. Vertisol
Vertisol adalah tanah hitam dan subur, dapat terbentuk dari berbagai macam bahan induk tanah. Tanah ini mempunyai sifat yang retak-retak bila kering. Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa warna tanah Vertisol bevariasi, dengan hue berkisar dari 2.5Y hingga 10YR, value bervariasi dari 2 hingga 6, dan kroma berkisar dari 0 hingga 4. Mineral liat didominasi oleh smektit, dengan sedikit kaolinit, illit atau vermikulit. Pembentukan tanah Vertisol terjadi melalui dua proses utama, pertama adalah proses terakumulasinya mineral 2:1 (smektit), dan yang kedua adalah proses mengembang dan mengkerut yang terjadi secara periodik sehingga membentuk slickenside atau relief mikro gilgai. Kation dapat ditukar yang mendominasi Vertisol sangat tergantung pada bahan induk tanahnya.
Vertisol yang berasal dari bahan volkan didominasi oleh kation dapat tukar Ca++ diikuti oleh Mg++, yang berasal dari batu gamping didominasi oleh Ca++, sedangkan yang berasal dari ultrabasa peridotit didominasi oleh Mg++. Nilai kapasitas tukar kation dari Vertisol tergolong tinggi hingga sangat tinggi dengan pH berkisar antara 5,5 hingga 7,4. Penggunaan tanah ini untuk pertanian harus memperhatikan tingginya kandungan kation Ca++ dan Mg++, serta pengelolaan air untuk menghindarkan tanah dari kondisi kering (Prasetyo, 2007).
Tanah vertisol termasuk tanah yang unik diantara tanah mineral yang berkembang dari batuan kapur. Kandungan liat yang tinggi menyebabkan tanah ini mampu mengembang dan mengkerut. Kandungan bahan organik pada tanah vertisol umumnya antara 1,5 – 4 %.
B. Andisol
Tanah andisol merupakan tanah abu volkan yang mempunyai sifat-sifat khusus terutama kapasitasnya yang sangat besar dalam menjerap P. Jerapan P ini menyebabkan pemupukan P pada tanah ini kurang efisien. Tanah ini mempunyai unsur hara yang cukup tinggi, sehingga tanah jenis ini baik untuk ditanami. Kebanyakan tanah Andisol memiliki pH antara 5 – 7, dan memiliki kandungan C-organik berkisar antara 2-5%.
C. Inceptisol
Tanah Inceptisol (inceptum atau permulaan) dapat disebut tanah muda karena pembetukannya agak cepat sebagai hasil pelapukan bahan induk, kandungan bahan organiknya berkisar antara 3-9 % tapi biasanya sekitar 5% . (Saridevi et al, 2013). Tanah ini memiliki lapisan solum tanah yang tebal sampai sangat tebal, yaitu dari 130 cm – 5 meter bahkan lebih, sedangkan batas antara horizon tidak begitu jelas. Warnanya merah, coklat sampai kekuning-kuningan. Reaksi tanah berkisar antara pH 4.5-6.5, yaitu dari asam sampai agak asam. Tekstur seluruh solum tanah ini umumnya adalah liat, sedang strukturnya remah dan konsistensi adalah gembur (Sarief, 1979).
D. Entisol
Di Indonesia tanah entisol banyak diusahakan untuk areal persawahan baik sawah teknis maupun tadah hujan pada daerah dataran rendah. Tanah ini mempunyai konsistensi lepas-lepas, tingkat agregasi rendah, peka terhadap erosi dan kandungan hara tersediakan rendah. Potensi tanah yang berasal dari abu vulkan ini kaya akan hara tetapi belum tersedia, pelapukan akan dipercepat bila terdapat cukup aktivitas bahan organik sebagai penyedia asam-asam organik. Tanah Entisol merupakan tanah yang relatif kurang menguntungkan untuk pertumbuhan tanaman, sehingga perlu upaya untuk meningkatkan produktivitasnya dengan jalan pemupukan (Utami, 2003).
E. Ultisol
Tanah ultisol termasuk tanah marginal dan umumnya belum tertangani dengan baik. Sifat fisik tanah ini umumnya jelek, yaitu mempunyai permeabilitas tanah yang sangat rendah, drainase buruk, ruang pori makro yang sangat sedikit sehingga aerasi tanah sangat rendah. Tanah ultisol umumnya jelek dan kurang menunjang untuk pengembangan di bidang pertanian seperti aerasi buruk, stabilitas agregat yang kurang stabil, laju infiltrasi dan permeabilitas lambat, serta daya pegang air (water holding capacity) rendah (Bondansari et al, 2011).
Tanah ultisol yang tersebar luas di Indonesia memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai areal pertanaman jagung. Menurut Hardjowigeno (1995), tanah ordo ultisol terluas penyebarannya dibandingkan dengan jenis-jenis tanah lainnya yaitu sekitar 30 % atau sekitar 48.000.000 hektar dari luas daratan di Indonesia terutama di Sumatera (43,5 %), Kalimantan (29,9 %), Sulawesi (10,3 %) dan Irian Jaya (23,0 %).
Analisis sifat fisik tanah memerlukan contoh tanah yang berbeda, tergantung tujuannya. Ada beberapa jenis contoh tanah, diantaranya contoh tanah utuh (unditurbed soil sample), agregat utuh (undisturbed soil aggregate), dan contoh tanah tidak utuh (diturbed soil sample). Masing-masing memiliki analisis yang berbeda-beda :
Contoh Tanah Utuh : merupakan contoh tanah yang diambil dari lapisan tanah tertentu dalam keadaan tidak terganggu, sehingga kondisinya hampir menyamai kondisi di lapangan.
Contoh Tanah Agregat Utuh : contoh tanah berupa bonkahan alami yang kokoh dan tidak mudah pecah.
Contoh Tanah Terganggu : kondisinya tidak sama dengan keadaan di lapangan, karena sudah terganggu sejak dalam pengambilan contoh. (Suganda et al, 2006).
Cara-cara pengambilan contoh tanah yang baik :
Pertama, kita harus memperhatikan kebersihan permukaan tanahnya (tanaman, daun-daunan, sisa tanaman, kotoran-kotoran lain). Setelah benar-benar bersih, baru dilkuakan pengambilan.
Contoh tanah individual diambil dengan menggunakan alat-alat bor tanah, tabung hoffer, cangkul ataupun sekop dari bagian atau lapisan tanah sedalam 10-20 cm.
Contoh-contoh tanah individual (5-20 contoh) selanjutnya dicampur sehingga merata, bawa ke tempat yang teduh untuk ditebarkan agar menjadi kering udara.
Banyaknya tanah kering udara yang diperlukan untuk suatu contoh adalah sekitar 500-1.000 gram, kemudian diberi petunjuk (etiket) dari mana/tempt mana tanah itu diambil, topografi (letak dan tinggi tempat), jenis tanaman yang sudah dan akan ditanam, pemberian pupuk yang biasa dilakuakan pada tanahnya, perlakuan-perlakuan lain, warna tanah, pengairan terhadap air itu, serta penjelasan-penjelasan lainnya yang bersifat khusus dan mungkin diperlukan.
Petunjuk-petunjuk yang ada di tulis kembali pada label (rangkap dua) kemudian contoh tanah rata-rata yang kering udara itu dimasukkan ke dalam kantong plastik berikut selembar label, setelah diikat rapat, label yang satu lagi diikatkan/ditempelkan baik-baik pada bagian luar kantong. Hal ini untuk mengantisipasi kerusakan yang terjadi pada label yang berada di luar.
Pembuatan contoh tanah halus untuk keperluan analisa ada dua cara :
Cara kering : untuk tanah yang bersifat gembur
Cara basah : untuk tanah yang berat maupun berkerikil lunak.
Cara pembutan contoh tanah kering udara mengguanakan cara kering :
Tanah kering udara yang masih berbongkah-bongkah dihancurkan terlebih dahulu dengan tangan pada lumpang porselen.
Selanjutnya ditumbuk dengan hati-hati sampai menjadi halus.
Tanah kering udara yang telah halus kemudian diayak dengan pengayak yang lubang-lubangnya berdiameter 2 mm. Jika masih tersisa ditumbuk dan diayak lagi dengan pengayak yang sama, demikian dilakukan berkali-kali sehingga pada akhirnya tersisa bahan-bahan yang keras dan sukar untuk dihaluskan lagi.
Bahan-bahan kering yang halus hasil pengayakan dicampur sampai merata. Setelah itu dimasukkan dalam botol yang benar-benar kering dan tertutup. Kemudian diberi etiket utuk memudahkan pengambilan. (Sutedjo, 2004).
Bab V. Penutup
A. Kesimpulan
Pengambilan contoh tanah dapat dilakukan dalam tiga macam bentuk : contoh tanah utuh, contoh tanah agregatt utuh dan contoh tanah terganggu.
Pembuatan contoh tanah halus untuk analisa dibedakan menjadi dua macam yaitu cara kering dan cara basah.
B. Saran
Ada baiknya praktikan dapat melakukan praktikum ini sendiri. Walaupun terlihat mudah, belum tentu setiap praktikan dapat membuat berbagai macam jenis contoh tanah. Penggolongan contoh tanah berdasarkan jenisnya juga perlu dipelajari oleh praktikan. Hal ini untuk memudahkan praktikan dalam membedakan tanah saat melakukan praktikum lain yang menggunakan contoh tanah yang telah dibuat.
DAFTAR PUSTAKA
Asmin dan Syamsiar. 2006. Pengenalan Sifat Fisik Tanah untuk Kesesuaian Penglolaan Lahan Tanpa Olah Tanah pada Lahan Kering di Sulawesi Tenggara. Bulletin Teknologi dan Informasi Pertanian. 1:1-12.
Bondansari dan Susiol B S. 2011. Pengaruh Zeolit dan Pupuk Kandang Terhadap BeberapaSifat Fisik Tanah Ultisol dan Entisol pada Pertanaman Kedelai (Glycine max L. Merril). Agronomika. Vol. 11. 2:122-135.
Dudal dan Supraptoharjo. 1957. Klasifikasi Tanah Indonesia. Bogor : Pusat Penelitian Tanah.
Foth D. Henry. 1988. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Hardjowigeno, S. 1995. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Jakarta: Aka-Press.
Prasetyo, BH. 2007. Perbedaan Sifat-Sifat Tanah Vertisol dari Berbagai Bahan Induk. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia . Vol. 9. 1:20-31
Saridevi, Gusti Agung Ayu Ratih, et al. 2013. Perbedaan Sifat Biologi Tanah pada Beberapa Tipe Penggunaan Lahan di Tanah Andisol, Inceptisol dan Vertisol. E-Jurnal Agroteknologi Tropika. Vol. 2. No. 1
Suganda, Husein, et al. 2006. Petunjuk Pengambilan Contoh Tanah.
Sutedjo, Mul Mulyani. 2004. Analisis Tanah, Air, dan Jaringan Tanaman. Jakarta : Rineka Cipta.
Sarief. 1979. Ilmu Tanah Umum. Bandung : Bagian Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Padjajaran.
Utami SNH dan Handayani S. 2003. Sifat Kimia Entisol Pada Sistem Pertanian Organik. Ilmu Pertanian. Vol. 10. 2:63-69.
Wiyono, et al. 2006. Aplikasi Soil Taxonomy pada Tanah-Tanah yang Berkembang dari Bentukan Karst Gunung Kidul. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan. Vol. 6. No. 1:13-26.