Blog

  • Laporan Praktikum Kimia Bobot Jenis

    Praktikum Kimia Bobot Jenis

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Dalam kehidupan sehari–hari kita selalu berhubungan dengan berbagai macam benda yang selalu kita gunakan untuk menunjang segala aktivitas kita. Tanpa kita ketahui, setiap benda memiliki massa jenis yang berbeda antara satu dan yang lainnya.

    Dalam bidang farmasi, ahli farmasi seringkali menggunakan besaran pengukuran kerapatan dan bobot jenis apabila mengadakan perubahan massa dan volume. Kerapatan adalah turunan besaran yang menyangkut satuan massa dan volume. Bobot jenis diartikan sebagai perbandingan kerapatan dari suatu zat terhadap kerapatan air, harga kedua zat ditentukan pada temperatur yang sama, jika tidak dengan cara lain yang khusus.

    Bobot jenis (bilangan murni tanpa dimensi) adalah perbandingan bobot zat terhadap air volume yang sama ditimbang di udara pada suhu yang sama. Bobot jenis suatu zat adalah perbandingan antara bobot zat dibanding dengan volume zat pada suhu tertentu (Biasanya 25oC), Sedangkan rapat jenis adalah perbandingan antara bobot jenis suatu zat dengan bobot jenis air pada suhu tertentu (biasanya dinyatakan sebagai 25o/25o, 25o/4o, 4o/4o). Untuk bidang farmasi, biasanya 25o/25.

    Penentuan bobot jenis berlangsung dengan piknometer, Areometer, timbangan hidrostatik (timbangan Mohr-Westphal) dan cara manometris. Ada beberapa alat untuk mengukur bobot jenis dan rapat jenis, yaitu menggunakan piknometer, neraca hidrostatis (neraca air), neraca Reimann, beraca Mohr Westphal .

    Cara penentuan bobot jenis ini sangat penting diketahui oleh seorang calon farmasis, karena dengan mengetahui bobot jenis kita dapat mengetahui kemurnian dari suatu sediaan khususnya yang berbentuk larutan.

    Disamping itu dengan mengetahui bobot jenis suatu zat, maka akan mempermudah dalam memformulasi obat. Karena dengan mengetahui bobot jenisnya maka kita dapat menentukan apakah suatu zat dapat bercampur atau tidak dengan zat lainnya. Dengan mengetahui banyaknya manfaat dari penentuan bobot jenis maka percobaan ini dilakukan.

    B. Tujuan Percobaan

    Tujuan  percobaan ini yaitu:

    1. Untuk  menentukan kerapatan zat asam borat
    2. untuk menentukan bobot jenis cairan (alkohol 70%, Minyak kelapa, berri juice,gliserin).

    Bab II. Kajian Pustaka

    A. Dasar Teori

    Bobot jenis adalah rasio bobot suatu zat terhadap bobot suatu zat terhadap bobot zat baku yang volumenya sama pada suhu yang sama dan dinyatakan dalam desimal. Bobot jenis dinyatakan dalam desimal dengan beberapa angka dibelakang koma sebanyak akurasi yang diperlukan pada penentuannya. Pada umumnya, dua angka dibelakang koma sudah mencukupi. Bobot jenis dapa dihitung, atau untuk senyawa khusus dapat ditemukan dalam United States Pharmacopeia (USP).

    Bobot jenis suatu zat dapat dihitung dengan mengetahui bobot dan volumenya, melalui persamaan berikut :Bobot jenis (BJ) = bobot zat (g) Bobot sejumlah volume air yang setara (g) (Ansel, H.C., 2004: 210-211)

    Bobot jenis suatu zat adalah perbandingan bobot zat terhadap air dengan volume yang sama ditimbang diudara pada suhu yang sama (Ditjen POM,1979:767).

    Penetapan bobot jenis digunakan hanya untuk cairan dan kecuali dinyatakan lain didasarkan pada perbandingan bobot zat di udara padasuhu yang telah ditetapkan terhadap bobot air dengan volume dan suhu yang sama. Bila pada suhu 25°C zat berbentuk padat, tetapkan bobo tjenis pada suhu yang telah tertera pada masing-masing monografi dan mengacu pada air pada suhu 25°C. Bilangan bobot jenis merupakan bilangan perbandingan tanpa dimensi yang mengacu pada bobot jenis air pada 4°C (=1000 g.m-1) (Ditjen POM, 1995:1030).

    Berat jenis adalah bilangan murni tanpa dimensi yang dapat diubah menjadi kerapatan dengan menggunakan rumus yang cocok. Bobot jenis didefinisikan sebagai perbandingan kerapatan dari suatu zat terhadap kerapatan air, harga kedua zat ditentukan pada temperatur yang sama, jika tidak dengan cara lain yang khusus (Martin,1990:8).

    Berat jenis dapat ditentukan dengan menggunakan berbagai metode yaitu sebagai berikut (Martin, A., 1993):

    a. Metode Piknometer

    Prinsip metode ini didasarkan atas penentuan massa cairan dan penentuan rungan yang ditempati cairan ini. Ruang piknometer dilakukan dengan menimbang air. Menurut peraturan apotek, harus digunakan piknometer yang sudah ditera, dengan isi ruang dalam ml dan suhu tetentu (20oC). Ketelitian metode piknometer akan bertambah sampai suatu optimum tertentu dengan bertambahnya volume piknometer. Optimum ini terletak sekitar isi ruang 30 ml. Ada dua tipe piknometer, yaitu tipe botol dengan tipe pipet.

    b. Neraca Mohr Westphal

    Neraca ini dipakai untuk mengukur bobot jenis zat cair. Terdiri atas dua dengan 10 buah lekuk untuk menggantungkan anting, pada ujung lekuk yang ke 10 tergantung sebuah benda celup C terbuat dari gelas (kaca) pejal (tidak berongga), ada yang dalam benda celup dilengkapi dengan sebuah thermometer kecil untuk mengetahui susu cairan yang diukur massa jenisnya, neraca seimbang jika ujung jarum D tepat pada jarum T.

    c. Densimeter

    Densimeter merupakan alat untuk mengukur massa jenis (densitas) zat cair secara langsung. Angka – angka yang tertera pada tangkai berskala secara langsung menyatakan massa jenis zat cair yang permukaannya tepat pada angka yang tertera.

    Berat jenis untuk penggunaan praktis lebih sering didefinisikan sebagai perbandingan massa dari suatu zat terhadap massa sejumlah volume air yang sama pada suhu 4o atau temperatur lain yang tertentu. Notasi berikut sering ditemukan dalam pembacaan berat jenis: 25o/25o, 25o/4o, dan 4o/4o.

    Angka yang pertama menunjukkan temperatur udara di mana zat ditimbang; angka di bawah garis miring menunjukkan temperatur air yang dipakai. Buku-buku farmasi resmi menggunakan patokan 25o/25o untuk menyatakan berat jenis (Martin, A., 1990:8).

    Berat jenis dapat ditentukan dengan menggunakan berbagai tipe piknometer, neraca Mohr-Westphal, hidrometer dan alat-alat lain. Pengukuran dan perhitungan didiskusikan di buku kimia dasar, fisika dan farmasi (Martin, A., 1990:8).

    Kerapatan adalah turunan besaran karena menyangkut satuan massa dan volume. Batasannya adalah massa per satuan volume pada temperatur dan tekanan tertentu, dan dinyatakan dalam sistem cgs dalam gram per sentimeter kubik (gram/cm3) (Martin, A., 1990:8).

    Kerapatan merupakan besaran turunan karena menyangkut satuan massa dan volume pada temperatur dan tekanan tertentu, dan dinyatakan dalam sistem cgs dalam gram per sentimeter kubik (g/cm3). Berbeda dengan kerapatan, bobot jenis merupakan bilangan murni tanpa dimensi yang dapat diubah menjadi kerapatan dengan menggunakan rumus yang sesuai. Bobot jenis untuk penggunaan praktis lebih sering didefinisikan sebagai perbandingan massa dari suatu zat terhadap massa sejumlah volume air pada suhu 4 oC atau temperature  lain yang tertentu. Notasi berikut sering ditemukan dalam pembacaan bobot jenis  25 oC/25 oC, 25 oC/ 4oC, dan 4C/4 oC. Angka yang pertama menunjukkan temperatur udara di mana zat ditimbang. Angka di bawah garis miring menunjukkan temperatur air yang dipakai (Martin,1990).

    Kerapatan suatu zat merupakan perbandingan massa dan volume zat itu, sehingga nilai kerapatan dapat diukur melalui pengukuran massa dan volumenya.

    ρ =\frac{m}{V} \ \ \ \ \ ... (1)

    Keterangan :

    ρ  = Massa jenis (gr/ml)
    m = Massa zat (g)
    V = Volume zat (ml)  

    (Martin.A.,1990)

    Kerapatan air dapat pula dihitung secara akurat dengan persamaan IAPWS97 atau IAPWS95 dengan keakuratan sekitar ±0,01%. Kita dapat menghitung kerapatan air dengan mengatur molalitas dari LiCl dan membandingkannya dengan hasil IAPWS97 (Lachman,1994).

    Bila kerapatan suatu benda lebih besar daripada air, maka benda akan tenggelam dalam air. Bila kerapatannya lebih kecil, maka benda akan mengapung. Walaupun kebanyakan zat padat dan cairan mengembang bila dipanaskan dan menyusut bila dipengaruhi pertambahan tekanan eksternal, perubahan dalam volume ini relatif kecil, sehingga dapat dikatakan bahwa kerapatan kebanyakan zat padat dan cairan hampir tak bergantung pada  temperatur dan tekanan. Sebaliknya kerapatan gas sangat bergantung pada tekanan dan temperatur sehingga temperatur dan tekanan harus dinyatakan bila memberikan kerapatan gas (Lachman, 1994).

    Meskipun massa dari serbuk bulk sampel dapat ditentukan dengan ketelitian tinggi, pengukuran volume lebih sulit dari yang terlihat. Kesulitan utama pada penentuan volume sebenarnya dari serbuk bulk, diman tipe ruang-ruang udara atau rongga dapat dibedakan : (Lachman,1989:143)

    1. Rongga intrapartikel yang terbuka rongga-rongga terdapat didalam partikel tunggal, tetapi terbuka pada lingkungan luar.
    2. Rongga intrapartikel yang tertutup-rongga-rongga terdapat di dalam partikel tunggal, tetapi tertutup dari lingkungan luar.
    3. Rongga antarpartikel-ruang-ruang udara antara dua partikel individu.

    Kerapatan jenis dapat dibedakan menjadi tiga yaitu:

    1. Kerapatan partikel sejati adalah ketika volume diukur tidak termasuk baik pori-pori terbuka dan tertutup dan merupakan properti fundamental dari suatu material.
    2. Kerapatan partikel jelas adalah ketika volume diukur meliputi pori-pori antar partikel
    3. Kerapatan partikel yang efektif adalah volume “dilihat” oleh fluida bergerak melewati partikel. Hal ini penting dalam proses seperti sedimentasi atau fluidisation tetapi jarang digunakan dalam bentuk sediaan padat.

    (Gibson,2004).

    Perbandingan antara massa (berat) dengan volume diketahui sebagai kerapatan bahan. Didasarkan atas perbandingan-perbandingan berikut, untuk serbuk bahan padat dapat dinyatakan tiga kerapatan yang berbeda.

    di mana M adalah massa sampel. Membandingkan kerapatan   dari suatu sampel pada kondisi tes yang spesifik dengan kerapatan sebenarnya (kadang-kadang disebut kerapatan teoretis) dari bahan, akan sampai pada kuantitas yang tidak berdimensi, kerapatan relatif, dimana:

    ρ_t =\frac{m}{V} \ \ \ \ \ ... (2)

    (Lachman,1989:148)

    Sesatan yang mempengaruhi suatu hasil eksperimen, dapat dengan baik dibagi menjadi kesalahan dari jenis yang tertetapkan (determinate) dan tak-tertetapkan (indeterminate). Sesatan tertetapkan atau sesatan konstan merupakan jenis sesatan yang dapat dihindarkan, atau besarnya dapat ditetapkan (Ansel, 2004).

    Porositas adalah hasil bagi volume total dari ruang-ruang rongga (Vv) terhadap volume bulk, dimana volume bulk itu sendiri yaitu jumlah volume yang dipakai oleh seluruh massa serbuk pada pengepakan khusus yang dipakai selama pengukuran, jadi kesimpulannya adalah porositas merupakan hasil bagi antara volume total dan jumlah yang telah digunakan selama pengukuran. Adapun rumus dari porositas: (Lachman, 1989:145).

    B. Uraian Bahan

    1. Alkohol (Ditjen POM, 1979:65)

    Nama Resmi :AETHANOLUM
    Nama Lain : Etanol (alkohol)
    Rumus Molekul / BM : C2H6O / 46,07
    Pemerian : Cairan tak berwarna, jernih, mudah menguap, dan mudah bergerak, bau khas, rasa panas, mudah  terbakar dengan memberikan nyala biru yang tidak berasap.  
    Kegunaan :Sebagai sampel uji
    Penyimpanan :Dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari cahaya: di tempat sejuk, jauh dari nyala api.

    Rumus Struktur

    2. Aquades (Ditjen POM,1979:96)

    Nama resmi :AQUA DESTILLATA
    Nama lain :Air Suling 
    Rumus Molekul/BM : H2O / 18,02
    Rumus Struktur : H-O-H
    Pemerian :Cairan jernih, tidak berbau, dan tidak berwarna.
    Kegunaan :Sebagai Zat baku
    Penyimpanan :dalam wadah tertutup rapat

    3. Asam Borat (Ditjen POM,1979:49)

    Nama resmi :ACIDUM BORICUM
    Nama lain :Asam borat
    Rumus Molekul/BM : H3BO3  /  61,83
    Rumus Struktur : H-O-H
    Pemerian :Hablur, serbuk hablur putih atau sisik mengkilap tidak berwarna : kasar : tidak berbau: rasa agak asam dan pahit kemudian manis.
    Kegunaan :Sebagai sampel uji
    Penyimpanan :Dalam wadah tertutup baik

    4. Gliserol (Ditjen POM,1979:271)

    Nama resmi :GLYCEROLUM
    Nama lain :Gliserol
    Rumus Molekul / BM : C3H8O/ 92,10
    Rumus Struktur : H-O-H
    Pemerian :Cairan seperti sirup; jernih, tidak berwarna; tidak berbau: manis di ikuti rasa hangat. Higroskopik
    Kegunaan :Sebagai sampel uji
    Penyimpanan :Dalam wadah tertutup baik

    5. Minyak kelapa (Ditjen POM,1979:456)

    Nama resmi :Oleum cocos
    Nama lain :Minyak kelapa
    Bobot Jenis0,845 – 0905 g/ml
    KelarutanLarut dalam 2 bagian etanol (95%)P pada suhu 600C; sangat mudah larut dalam kloroform P dan mudah dan juga mudah larut dalam eter P.
    Pemerian :Cairan jernih; tidak berwarna atu kuning pucat; bau khas, tidak tengik. 
    Kegunaan :Sebagai sampel uji
    Penyimpanan:dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya, di tempat sejuk.

     6.)  Parafin cair (Ditjen POM,1979:474)

                  Nama resmi               : PARAFFINUM  LIQUIDUM

                  Nama lain                  : Parafin cair

                  Bobot Jenis               : 0.84–0.89 g/cm3

    Pemerian          : cairan kental, transparan, tidak berfluoresensi:tidak berwarna: hampir tidak berbau:hampir tidak mempunyai rasa.

                  Kegunaan                  : sebagai zat tambahan

                  Penyimpanan            : dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya.

     7.) Sampel sirup (Berri juice)

    Komposisi : Air, Konsentrat Jeruk, Gula, Bulir jeruk, Pengatur Keasaman Asam Sitrat, Perisa Jeruk, Pengawet Kalium Sorbat, Penstabil Mengandung Mikrokristalin Selulose), Pektin & Karagenan, Vitamin C, Pewarna Beta Karoten Cl No 75130 

    BPOM RI MD 249610084279

    Bab III. Metode Praktikum

    a.    Menentukan Kerapatan Bulk

    Ø   Timbang asam borat sebanyak 10 g, kemudian masukkan ke dala gelas ukur 50 ml.

    Ø  Ukur volume zat padat.

    Ø  Hitung kerapatan Bulk menggunakan persamaan :

                           Bobot zat padat (g)Kerapatan  Bulk  = 

                        Volume Bulk (ml)

    b.    Menentukan Kerapatan Mampat

    Ø  Timbang asam borat sebanyak 10 gram.

    Ø  Masukkan ke dalam gelas ukur.

    Ø  Ketuk sebanyak 100 kali ketukan.

    Ø  Ukur  volume yang terbentuk.

    Ø  Hitung Kerapatan Mampat dengan persamaan :

    Bobot zat padat (g)                              Kerapatan Mampat   = 

                        Volume Mampat (ml)

    c.     Menentukan Kerapatan Sejati

    Ø  Timbang piknometer yang bersih dan kering beserta tutupnya (W1).

    Ø  Isi piknometer dengan zat padat kira-kira mengisi 2/3 bagian volumenya. Timbang piknometer berisi zat padat berisi zat padat beserta tutupnya (W3).

    Ø  Isikan parafin cair perlahan-lahan ke dalam piknometer berisi zat padat, kocok-kocok dan isi sampain penuh sehingga tidak ada gelembung udara di dalamnya.

    Ø  Timbang piknometer berisi zat padat dan parafin cair dan tutupnya (W4).

    Ø   Bersihkan  piknometer dan isi penuh dengan parafin cair hingga tidak ada gelembung didalamnya.

    Ø  Timbang piknometer berisi penuh parafin cair dan tutupnya (W2).

    Ø  Hitung kerapatan zat menggunakan persamaan :         (W3 – W1)

                ρ Padatan    =

                                         (W2 – W1) – (W4 – W3)

    Keterangan :

             W1 : massa piknometer kosong beserta tutupnya

                         W2 : massa piknometer penuh parafin beserta tutupnya.

                         W3 : massa piknometer berisi zat padat beserta tutupnya.

           W4 : massa piknometer berisi zat padat dan dipenuhi parafin beserta tutupnya.

    d.     Menentukan Bobot Jenis Cairan

    Ø  Gunakan piknometer yang bersih dan kering.

    Ø  Timbang piknometer kosong (W1), lalu isi dengan air suling, bagian luar piknometer dilap sampai kering dan ditimbang (W2).

    Ø  Buang air suling tersebut, keringkan  piknometer lalu isi dengan cairan yang akan diukur  

    Ø  Timbang bobot jenis cairan menggunakan persamaan :

            W3-W1                                                  Dt  =           

                                                                  W2-W1           

    Keterangan :

              Dt  : bobot jenis pada suhu t

                         W1 : bobot piknometer kosong

                         W2 : bobot piknometer + air suling

                         W3 : bobot piknometer + cairan

    BAB III

    CARA KERJA

          I.        Alat dan Bahan

    1)    Alat yang digunakan

                Alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah botol semprot, cawan porselin, gelas  kimia 50 ml, gelas ukur 25 ml, hairdryer, piknometer 25 ml, pipet tetes, dan timbangan analitik.

    2)    Bahan yang digunakan

                Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah air suling, alkohol 70%,     aluminium foil, asam borat 10 gr, gliserin, kertas timbang, label (e-tiket), minyak kelapa, parafin cair , sampel sirup (Berry juice), dan tissue.

        II.          Langkah Percobaan

    a)    Kerapatan Bulk

    1.    Disiapkan alat dan bahan akan digunakan

    2.     Ditimbang asam borat sebabyak 10 gram

    3.    Dimasukkan ke dalam gelas ukur  50 ml

    4.     Kemudian diukur volume zat padat

    5.    Dicatat dan  dihitung kerapatan Bulk

    b)  Kerapatan Mampat

                   1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.

                   2. Ditimbang Asam Borat sebanyak 10 gram.

                   3. Dimasukkan ke dalam gelas ukur 25 ml.

                   4. Kemudian diketuk-ketuk sebanyak 100 kali ketukan.

                   5. Lalu, diukur volume yang terbentuk.

                   6. Dihitung kerapatan Mampat dan dicatat hasilnya.

                c)  Kerapatan sejati

    1.    Disiapka alat dan bahan yang akan digunakan

    2.    Ditimbang piknometer yang bersih dan keringbersama tutupnya

    3.    Diisi piknometer dengan Asam Borat sebanyak 10 g, lalu ditimbang piknometer berisi zat padat beserta tutupnya

    4.    Kemudian diisikan parafin cair perlahan-lahan ke dalam piknometer berisi zat padat. Lalu, dikocok-kocok dan diisi sampai penuh sehingga tidak ada gelembung udara didalamnya.

    5.    Piknometer yang berisi zat padat serta parafin cair ditimbang beserta tutupnya.

    6.    Selanjutnya, dibersihkan piknometer dan piknometer diisi kembali dengan parafin cair sampai penuh (tidak terdapat gelembung)

    7.    Ditimbang piknometer berisi penuh parafin cair dan tutupnya

    8.    Dihitung kerapatan zat dan dicatat hasilnya.

    d)    Menentukan bobot jenis

    1.    Disiapkan alat dan bahan

    2.    Piknometer dibersihkan dengan air suling, kemudian dibilas dengan alkohol dan dikeringkan denga menggunakan hairdryer

    3.    Piknometer diisi dengan air suling sampai penuh (tidak ada gelembung) dan kemudian ditimbang

    4.    Air Suling dikeluarkan dan piknometer dibersihkan dan dikeringkan

    5.    Piknometer diisi dengan sampel cairan (sirup, alkohol, minyak kelapa, dan gliserin secara bergantian)

    6.    Ditimbang piknometer yang berisi cairan sampel dan dicatat massanya

    7.    Dihitung bobot jenis cairan dan dicatat hasilnya

    Bab IV. Hasil dan Pembahasan

    A. Hasil Praktikum

    a.    Kerapatan Bulk

    Bobot zat (g)10 g
    Volume bulk (ml)12 ml
    Kerapatan Bulk (g/ml)0,83 g/ml

    Perhitungan :

    Bobot zat padat (g)Kerapatan  Bulk  = 

    Volume Bulk (ml)

    10 g                                                            =    

                                                                    12 ml

                                                              =  0,83 g/ml

    b.      Kerapatan Mampat

    Bobot Zat (g)10 g
    Volume mampat (ml)11 ml
    Kerapatan Mampat (g/ml)0,9o g/ml

      Perhitungan :

                                                                      Bobot zat padat (g)Kerapatan Mampat =

                                                                    Volume mampat (ml)

                                                                          10 g                                                                         =                   = 0.90 g/ml

                                                                          11 ml

    c.    Kerapatan sejati

    Bobot piknometer kosong (g)21,76 g
    Bobot pikno + zat cair (g)44,06  g
    Bobot pikno + zat padat (g)31,75 g
    Bobot jenis zat padat + cair46,64 g

                 Perhitungan :        

                       (W3 – W1)            ρ Padatan    =

                                               (W2 – W1) – (W4 – W3)

                                                       (31,75-21,76)g                        9,99  g                                           =                                                       =                

                                            (44,06-21,76)g–(46,64-31,76)g         7,42  g 

                      `                   = 1,346

    d.    Bobot jenis zat cair

    ·         Berri juice

    Bobot piknometer kosong (g)14,25 g
    Bobot pikno + Zat Air (g)39,45 g
    Bobot pikno + Zat Cair (g) (berri juice)40,63 g
    Bobot jenis zat Cair1,046

    Perhitungan :

                W3-W1                       Dt  =    

                                                   W2-W1

                                                (40,63-14,25)g          26,38 g                           =                                 =                    = 1,046

                                               (39,45-14,25)g          25,2 g

    ·         Alkohol

    Bobot piknometer kosong (g)14,25 g
    Bobot pikno + Zat Air (g)39,45 g
    Bobot pikno + Zat Cair (g) (Alkohol) 38,47 g
    Bobot jenis zat Cair0.96

     Perhitungan :

    W3-W1                       Dt  =    

                                                   W2-W1

                                                (38,47-14,25)g           24,22 g                           =                                 =                    = 0.96

                                               (39,45-14,25)g          25,2 g

    ·         Gliserin

    Bobot piknometer kosong (g)14,25 g
    Bobot pikno + Zat Air (g)39,45 g
    Bobot pikno + Zat Cair (g) (Gliserin) 45,92 g
    Bobot jenis zat Cair1,256

     Perhitungan :

     W3-W1                       Dt  =    

                                                   W2-W1

                                                (45.92-14.25)g          31.67 g                           =                                 =                    = 1,256

                                               (39.45-14.25)g          25.2 g

    ·            Minyak kelapa

    Bobot piknometer kosong (g)23,44 g
    Bobot pikno + Zat Air (g)48,24 g
    Bobot pikno + Zat Cair (g) (Minyak kelapa) 45,91  g
    Bobot jenis zat Cair0.90

                   Perhitungan :

    W3-W1                                    Dt  =

                                                  W2-W1

                                                 45,91 g – 23,44 g    22,47 g                                              =                              =                = 0.90

                                                 48,24 g – 23,44 g     24,8 g                               

        II.        Pembahasan

    Praktikum ini bertujuan untuk menentukan kerapatan Asam Borat yang mana terbagi atas tiga kerapatan yaitu kerapatan sejati, mampat dan bulk. Selain itu praktikum ini juga bertujuan untuk menentukan bobot jenis alkohol 70%, minyak kelapa, berri jus, dan gliserin. 

    Dalam bidang farmasi bobot jenis dan rapat jenis suatu zat atau cairan digunakan sebagai salah satu metode analisis yang berperan dalam menentukan senyawa cair, digunakan pula untuk uji identitas dan kemurnian dari senyawa obat terutama dalam bentuk cairan, serta dapat pula diketahui tingkat kelarutan/daya larut suatu zat.

    Density atau biasa disebut massa jenis, bobot jenis atau kerapatan zat merupakan karakteristik mendasar yang dimiliki zat. Kerapatan suatu zat merupakan perbandingan massa dan volume zat itu, sehingga nilai kerapatan dapat diukur melalui pengukuran massa dan volumenya.

    Specific gravity atau massa jenis suatu zat adalah hasil yang diperoleh dengan membagi bobot zat dengan bobot air, dalam piknometer. Kecuali dinyatakan lain dalam monografi, keduanya ditetapkan pada suhu 25o .

    Pada percobaan ini, penentuan bobot jenis dilakukan dengan menggunakan piknometer. Sampel yang digunakan adalah sampel sirup (berry juice, alkohol, gliserin, dan minyak kelapa). Sedangkan pada kerapatan sampel yang digunakan adalah asam borat.

    Kerapatan terbagi atas tiga yaitu kerapatan sejati, mampat, dan bulk. Pada kerapatan mampat asam borat diketuk sebanyak 100 kali ketukan, hal ini dilakukan agar pori-pori pada partikel  asam borat tertutup dari lingkungan luar.  Kerapatan bulk tidak dilakukan perlakuan apapun seperti kerapatan mampat dan sejati, hal ini disebabkan karena kerapatan bulk merupakan perbandingan massa dan volume yang mana termasuk pori terbuka, tertutup dan antarpartikel. Jadi agar termasuk pori terbuka, tertutup dan antarpartikel oleh sebab itu asam borat tidak diberikan perlakuan apapun. Sedangkan kerapatan sejati adalah perbandingan massa dan volume yang mana tidak termasuk pori terbuka, tertutup, dan antarpartikel. Pada praktikum penentuan kerapatan sejati, asam borat ditambahkan dengan parafin cair. Penambahan parafin cair ini bertujuan agar asam borat tidak memiliki pori-pori baik itu pori terbuka, pori tertutup maupun antar partikel.  

    Pada percobaan I setelah menimbang piknometer kosong dalam keadaan bersih dan kosong dengan teliti didapatkan bobot sebesar 14,25 gr. Kemudian diisi dengan air suling dan didapatkan bobot sebesar 39,45 gr dan kemudian diisi dengan sampel sirup (berry juice) dan ditimbang didapatkan 40,63 gr. Dan dicari bobot jenis dengan rumus  didapatkan hasil sebesar 1,046.

    Pada percobaan II piknometer kosong diisi dengan cairan (alkohol 70%) dan didapatkan 38,47 gr. Dari hasil tersebut dapat dihitung bobot jenisnya dan hasilnya adalah 0,96.

    Pada percobaan III piknometer kosong diisi dengan gliserin dan ditimbang, hasilnya yaitu 45,92 gr. Dari data itu dapat dihitung bobot jenis Gliserin dan hasilnya adalah 1,256.

    Pada percobaan IV piknometer kosong diisi dengan minyak kelapa, kemudian ditimbang hasilnya yaitu 45,91gr. Setelah itu, dicari bobot jenis minyak kelapa dengan rumus  didapatkan hasil sebesar 0,90.

    Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi bobot jenis suatu zat adalah :

    1.   Temperatur, dimana pada suhu yang tinggi senyawa yang diukur berat jenisnya dapat menguap sehingga dapat mempengaruhi bobot jenisnya, demikian pula halnya pada suhu yang sangat rendah dapat menyebabkan senyawa membeku sehingga sulit untuk menghitung bobot jenisnya.

    2.  Massa zat, jika zat mempunyai massa yang besar maka kemungkinan bobot  jenisnya juga menjadi lebih besar.

    3.  Volume zat, jika volume zat besar maka bobot jenisnya akan berpengaruh tergantung pula dari massa zat itu sendiri, dimana ukuran partikel dari zat, bobot molekulnya serta kekentalan dari suatu zat dapat mempengaruhi bobot jenisnya.

    4.   Kekentalan/viskositas sutau zat dapat juga mempengaruhi berat jenisnya.

    Hasil yang diperoleh pada praktikum bobot jenis ada beberapa yang menyimpang dari hasil yang ditetapkan oleh Ditjen POM. Misalnya pada penentuan bobot jenis alkohol 70%, hasil yang harus diperoleh 0.8119 – 0.8139, namun hasil yang diperoleh adalah 0.96. Pada penentuan bobot jenis minyak kelapa, hasil yang harus diperoleh adalah 0.845 – 0.905, namun yang diperoleh adalah 0.90. sedangkan pada Gliserin hasilnya 1,256 dan sudah sesuai dengan yang ditetapkan oleh Ditjen POM yakni antara 1,255 -1,260.

    Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi, dapat disebabkan oleh karena berbagai kesalahan pada saat melakukan praktikum. Penyimpangan-penyimpangan ini antara lain:

    1.      Penimbangan

    Kesalahan akibat penimbangan ini bisa disebabkan karena timbangan yang digunakan berganti-ganti. Sehingga hasil penimbangan antara timbangan yang satu dengan yang lain belum tentu sama.

    2.      Cara penutupan piknometer yang salah

    Cara penutupan piknometer yang terlalu cepat dapat menyebabkan air yang tumpah terlalu banyak sehingga tentu mempengaruhi berat pada penimbangan.

    3.      Pengaruh perubahan suhu

    Perubahan suhu yang terlalu cepat dapat menyebabkan cairan di dalam piknometer memuai/menyusut dengan tidak semestinya, sehingga pada waktu ditimbang zat tersebut memberikan hasil yang berbeda dengan yang telah ditentukan.  

    4.      Piknometer yang belum kering dan bersih

    Piknometer yang demikian belum bisa digunakan untuk penentuan kerapatan dan bobot jenis, karena masih ada cairan/kontaminan yang tertinggal di dalamnya sehingga tentu saja akan mempengaruhi hasil akhir.

    5.      Volume air yang tidak tepat

    Volume air yang dimasukan ke dalam piknometer harus tepat dengan yang telah ditentukan, karena jika terlalu banyak atau terlalu sedikit maka akan mempengaruhi hasil akhir.

    6.      Sampel yang terkontaminasi

    Sampel yang terkontaminasi tentu saja akan memberikan hasil yang menyimpang, karena kemurnian zat tersebut sudah berbeda dengan zat yang masih murni.

    BAB V

    PENUTUP

          I.           Kesimpulan

    Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan  sebagai berikut 

    –          Kerapatan  zat padat     

    1.    ρ  padatan Bulk         :     0,83 g/ml

    2.    ρ  padatan Mampat   :     0,90 g/ml

    3.    ρ  padatan Sejati        :     1,364 g/ml

    –          Bobot  jenis zat cair  (Dt)  :

    1.    Bobot jenis sirup          : 1,046

    2.    Bobot jenis alkohol      : 0,96

    3.    Bobot jenis Gliserin     : 1,256

    4.    Bobot jenis minyak kelapa : 0,90

        II.           Saran

                   Sebaiknya laboratorium lebih melengkapkan dan memperbanyak alat, agar praktikan dapat melakukan percobaan dengan cepat tanpa harus menunggu lagi sehingga dapat lebih mengevesienkan waktu dalam melakukan praktikum.

    DAFTAR PUSTAKA

    Ansel,H.C. 2004. Kalkulus farmasetik.EGC:Jakarta.

    Ditjen POM.1979. Farmakope Indonesia edisi III. Jakarta; Depkes RI.

    Gibson, Mark.2004. Pharmaceutical preformulation and Formulation.USA; Health Group

    Lachman, L., dkk. 1989. Teori dan Praktek Farmasi Industri Edisi III, diterjemahkan oleh Siti suyatmi. Jakarta; UI Press.

    Lachman, L., dkk. 1994. Teori dan Praktek Farmasi Industri II Edisi III, diterjemahkan oleh Siti suyatmi. Jakarta; UI Press.

    Martin, Alfred, dkk.  1990 . Farmasi FisikaDasar-dasar farmasi fisika dalam ilmu farmasetika, diterjemahkan oleh Yoshita , edisi III , jilid I. Jakarta; penerbit UI.

    Mirawati. 2013. Penuntun Praktikum Farmasi Fisika. Makassar; Jurusan Farmasi UMI.

  • Laporan Praktikum Larutan Non Elektrolit Hukum Ranoult

    Praktikum Larutan Non Elektrolit Hukum Ranoult

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    B. Tujuan Percobaan

    1. Mempelajari pengaruh komposisi terhadap titik didih campuran.
    2. Mempelajari pengaruh gaya hantar molekul terhadap tekanan uap campuran.

    Bab II. Kajian Teori

    Suatu larutan dikatakan ideal, jika larutan tersebut mengikuti hukum Raoult pada seluruh kisaran komposisi dari sistem tersebut. Hukum Raoult secara umum didefinisikan sebagai fugasitas dari tiap komponen dalam larutan yang sama dengan hasil kali fugasitasnya dalam keadaan murni pada temperatur dan tekanan yang sama serta fraksi molnya dalam larutan tersebut, yakni fi = xi fi (Dogra, 1990).

    Dalam larutan ideal, semua mengikuti kompenen (pelarut dan zat terlarut) mengikuti hukum Raoult pada seluruh selang konsentrasi. Bunyi dari hukum Raoult adalah: “tekanan uap larutan ideal dipengaruhi oleh tekanan uap pelarut dan fraksi mol zat terlarut yang terkandung dalam larutan tersebut” (Syukri,1999).

    Dalam semua larutan encer yang tidak mempunyai interaksi kimia diantara komponen-komponennya, hukum Raoult berlaku bagi pelarut, baik ideal maupun tidak ideal.  Tetapi hukum Raoult tidak berlaku bagi larutan tidak ideal encer. Perbedaan ini bersumber pada kenyataan molekul-molekul pelarut yang luar biasa banyaknya. Hal ini menyebabkan lingkungan molekul terlarut sangat berbeda dalam lingkungan pelarut murni. Zat terlarut dalam larutan tidak ideal encer mengikuti hukum Henry, bukan hukum Raoult (Petrucci, 1987).

    Bila dua cairan bercampur maka ruang di atasnya berisi uap kedua cairan tersebut. Tekanan uap jenuh masing-masing komponen (poi) di ruangan itu lebih kecil daripada tekanan uap jenuh cairan murni (poi), karena permukaan larutan diisi oleh dua jenis zat sehingga peluang tiap komponen untuk menguap berkurang. Peluang itu setara dengan fraksi molnya masing-masing (xi) (Syukri, 1999).

    PA = XA PoA

    Jika dua macam cairan dicampur dan tekanan uap parsialnya masing-masing diukur, maka menurut hukum Raoult untuk tekanan uap parsial A berlaku (Dogra, 1990):

                                        ………………………………………………………………………….. (1.1)

    PB = XB PoB 

    Sedangkan untuk tekanan uap parsial B berlaku :

                                        ………………………………………………………………………….. (1.2)

    P = XA PB 

    XA dan XB disebut fraksi mol. Jumlah tekanan uap (P) menurut hukum Dalton adalah:

                                        ………………………………………………………………………….. (1.3)

    Penyimpangan hukum Raoult terjadi karena perbedaan interaksi antara partikel sejenis dengan yang tak sejenis. Misalnya campuran A dan B, jika daya tarik A-B lebih besar dari A-A atau B-B, maka kecenderungan bercampur lebih besar, akibatnya jumlah tekanan uap kedua zat lebih kecil daripada larutan ideal disebut penyimpangan negatif. Penyimpangan positif terjadi bila daya tarik A-B lebih kecil daripada daya tarik A-A dan B-B, akibatnya tekanan uapnya menjadi lebih besar dari larutan ideal. Sifat suatu larutan mendekati sifat pelarutnya jika jumlahnya lebih besar. Akan tetapi larutan dua macam cairan dapat berkomposisi tanpa batas, karena saling melarutkan. Kedua cairan dapat sebagai pelarut atau sebagai zat terlarut tergantung pada komposisinya (Syukri,1999).

    Larutan ideal adalah larutan yang gaya tarik menarik molekul-molekul komponennya sama dengan gaya tarik menarik anatara molekul dari masing-masing komponennya. Jadi, bila larutan zat A dan B bersifat ideal, maka gaya tarik antara molekul A dan B, sama dengan gaya tarik antara molekul A dan A atau antara B dan B (Hedricson, 1988).

    Bila dua cairan bercampur, maka ruang diatasnya berisi uap kedua cairan tersebut. Tekanan uap jenuh masing-masing komponen di ruangan itu lebih kecil daripada tekanan uap jenuh cairan murni, karena permukaan larutan diisi oleh dua jenis zat sehingga peluang tiap komponen untuk menguap berkurang. Peluang itu setara dengan fraksi molnya masing-masing  (Hedricson, 1988).

    Campuran ideal adalah sebuah campuran yang menaati hukum Raoult. Sebenarnya tidak ada campuran yang bisa dibilang ideal. Tapi beberapa campuran larutan kondisinya benar-benar mendekati keadaan yang ideal (Hedricson, 1988).

    Larutan non ideal dapat menunjukkan penyimpangan positif (dengan tekanan uap lebih tinggi daripada yang diprediksikan oleh hukum Raoult) atau penyimpangan negatif (dengan tekanan uap lebih rendah). Pada tingkat molekul penyimpangan negatif muncul bila zat terlarut menarik molekul pelarut dengan sangat kuat, sehingga mengurangi kecenderungannya untuk lari ke fase uap. Penyimpangan positif muncul pada kasus kebalikkannya yaitu bila molekul pelarut dan zat terlarut tidak saling tertarik satu sama lain (Oxtoby, 2001)

    1.2.1 Etil Asetat

    Etil asetat adalah senyawa organik dengan rumus CH3CH2OC(O)CH3/ CH3COOC2H5. Senyawa ini merupakan ester dari etanol dan asam asetat. Etil Asetat adalah pelarut polar yang volatil (mudah menguap), tidak beracun, dan tidak higroskopis. Etil asetat merupakan penerima ikatan hidrogen yang lemah, dan bukan suatu donor ikatan hidrogen karena tidak adanya proton yang bersifat asam (yaitu hidrogen yang terikat pada atom elektronegatif seperti flor,oksigen, dan nitrogen. Etil asetat dapat melarutkan air hingga 30 % dan larut dalam air hingga kelarutan 8 % pada suhu kamar. Kelarutannya meningkat pada suhu yang lebih tinggi. Namun denikian,senyawa ini tidak stabil dalam air yang mengandung basa atau asam (Fessenden, 1982).

    1.2.2 Toluen

    Toluena, dikenal juga sebagai metilbenzena ataupun fenilmetana, adalah cairan bening tak berwarna yang tak larut dalam air dengan aroma sepertipengencer cat dan berbau harum seperti benzena. Toluena adalahhidrokarbon aromatik yang digunakan secara luas dalam stok umpan industri dan juga sebagai pelarut. Seperti pelarut-pelarut lainnya, toluena juga digunakan sebagai obat inhalan oleh karena sifatnya yang memabukkan. Titik didih toluene 110. 6oC, kepadatan 866. 90 kg/ m3 dan massa molar 92, 14 g/ mol (Fessenden, 1982).

    .1.2.3 Larutan Non Elektrolit

    Suatu larutan adalah campuran homogen  dari molekul, atom ataupun ion dari dua zat atau lebih. Suatu larutan disebut suatu campuran karena susunannya dapat berubah-ubah. Disebut homogen karena susunannya begitu seragam sehingga tak dapat diamati adanya bagian-bagian yang berlainan, bahkan dengan  mikroskop optis sekalipun. Dalam  campuran heterogen  permukaan-permukaan tertentu dapat dideteksi antara bagian-bagian atau fase-fase yang terpisah (Dogra, 1990).

    Biasanya dengan larutan dimaksudkan fase cair. Lazimnya adalah satu komponen (penyusun) larutan semacam itu adalah suatu cairan sebelum campuran itu dibuat. Cairan ini disebut medium pelarut atau solvent. Zat yang terlarut disebut solute . dalam hal-hal yag meragukan, zat yang kuantitasnya lebih kecil disebut zat terlarut. Contoh zat terlarut dalam suatu campuran 50 : 50 dari etil alkohol dan air (Dogra, 1990).

    Fasa cair mempunyai beberapa sifat fisika diantaranya : titik didih, berat jenis, titik beku, tekanan uap, dan tekanan osmosis.  Suatu zat yang dapat larut, jika ditambahkan pada pelarut maka akan mengakibatkan berubahnya sifat fisika dari pelarut murni. Sifat koligatif larutan dimaksud sebagai sifat-sifat fisika larutan yang hanya tergantung pada jumlah partikel zat terlarut dan tidak tergantung pada jenis zat terlarut (Oxtoby, 2001).

    Larutan non elektrolit adalah larutan yang tidak dapat menghantarkan arus listrik dan tidak menimbulkan gelembung gas. Pada larutan non elektrolit, molekul-molekulnya tidak terionisasi dalam larutan, sehingga tidak ada ion yang bermuatan yang dapat menghantarkan arus listrik (Oxtoby, 2001).

    1.2.4 Sifat Koligatif Larutan Non Elektrolit

    Sifat koligatif larutan adalah sifat larutan yang tidak tergantung pada macamnya zat terlarut tetapi semata-mata hanya ditentukan oleh banyaknya zat terlarut (konsentrasi zat terlarut). Banyaknya partikel dalam larutan ditentukan oleh konsentrasi larutan dan sifat Larutan itu sendiri. Jumlah partikel dalam larutan non elektrolit tidak sama dengan jumlah partikel dalam larutan elektrolit, walaupun konsentrasi keduanya sama. Hal ini dikarenakan larutan elektrolit terurai menjadi ion-ionnya, sedangkan larutan non elektrolit tidak terurai menjadi ion-ion (Oxtoby, 2001).

    Sifat koligatif larutan non elektrolit lebih rendah dari pada sifat koligatif larutan elektrolitUntuk memaksimumkan kepekaan dalam pengukuran larutan dengan hantaran tinggi diperlukan suatu sel dengan tetapan sel yang tinggi. Suatu larutan dengan konsentrasi yang berbeda akan mempunyai hantaran jenis yang berbeda, karena volume larutan dengan konsentrasi berbeda mengandung ion yang berbeda. Karena itu, untuk memperoleh ukuran kemampuan mengangkut listrik dari sejumlah tertentu elektrolit, disebut hantaran molar. Dalam hal ini hantaran dinyatakan dalam bentuk jumlah muatan individual yang diangkut (Oxtoby, 2001).

    1.2.5 Penurunan Tekanan Uap Jenuh

    Pada setiap suhu, zat cair selalu mempunyai tekanan tertentu. Tekanan ini adalah tekanan uap jenuhnya pada suhu tertentu. Penambahan suatu zat ke dalam zat cair menyebabkan penurunan tekanan uapnya. Hal ini disebabkan karena zat terlarut itu mengurangi bagian atau fraksi dari pelarut, sehingga kecepatan penguapan berkurang (Sulaiman, 1990).

    Hukum Raoult adalah larutan yang data tarik menarik antara molekul-molekul yang tidak sejenis sama dengan gaya tarik menarik antara molekul-molekul yang sejenis. Tekanan uap dari masing-masing kompoen penyusunnya sebanding dengan fraksi mol komponen-komponen tersebut dan sebanding pula dengan tekanan uap murni komponen penyusunnya (Petrucci, 1987).

    Suatu zat cair pada setiap temperatur mempunyai tekanan uap yang berbeda. Semakin tinggi temperatur, semakin besar tekanan uap zat cair itu. Berikut ini dapat dilihat tekanan uap jenuh pelarut air pada berbagai temoperatur .Hukum Raoult suatu larutan yang sangat encer, yaitu larutan yang memiliki mol fraksi pelarut jauh lebih besar dari mol fraksi zat terlarut (Petrucci, 1987).

    Apabila sebuah larutan mempunyai tekanan uap yang tinggi pada sebuah suhu, ini berarti bahwa molekul-molekul yang berada dalam larutan tersebut sedang melepaskan diri dari permukaan larutan dengan mudahnya. Apabila pada suhu yang sama, sebuah larutan lain mempunyai tekanan uap yang rendah, ini berarti bahwa molekul-molekul dalam larutan tersebut tidak dapat dengan mudah melepaskan diri. Ada dua cara untuk melihat hal ini, yaitu (Oxtoby, 2001):

    1.      Apabila molekul-molekul dalam larutan sedang melepaskan diri dengan mudahnya dari permukaan larutan, ini berarti bahwa daya tarik intermolekuler relatif lemah. Dengan demikian,  tidak perlu memanaskannya dengan suhu terlalu tinggi untuk memutuskan semua daya tarik intermolekuler tersebut dan membuat larutan ini mendidih. Larutan dengan tekanan uap yang lebih tinggi pada suatu suhu tertentu adalah larutan yang titik didihnya lebih rendah.

    2.      Larutan akan mendidih ketika tekanan uapnya menjadi sama dengan tekanan udara luar. Apabila sebuah larutan mempunyai tekanan uap yang tinggi pada suhu tertentu,  tidak perlu menambah tekanan uapnya supaya menjadi sama dengan tekanan udara luar. Di lain pihak, apabila tekanan uapnya rendah,  harus meningkatkan tekanan uapnya setinggi-tingginya sampai besarnya menjadi sama dengan tekanan udara luar.

    BAB II

    METODOLOGI PERCOBAAN

    2.1       Alat

    1.   Corong Kaca                                4.  Statif  dan klem

    2.   Termometer                                  5.  Gelas ukur 10ml

    3.   Pipet Tetes                                    6.  Alat Refluk ( Labu leher dua 250ml,

                                                                   kondensor, pemanas)

    2.2       Bahan

    1.   Etil Asetat

    2.   Toluene

    2.3       Prosedur percobaan

    1.     Alat refluk yang terdiri dari labu leher dua 250 ml. pemanas dan kondensor dirangkai dan termometer dicelupkan ditengah larutan tanpa menyentuh labu dan setiap kali larutan ditambah, pemanas dimatikan.

    2.     10 ml etil asetat dimasukkan ke dalam labu dan dipanaskan hingga memdidih. Titik didih dicatat.

    3.     Toluene ditambahkan sebanyak 2 ml hingga 10 ml dan dipanaskan. Titik didih nya dicatat.

    4.     Campuran larutan dipindahkan ke wadah kosong dan ditutup.

    5.     10 ml toluene dimasukkan ke dalam labu dan dipanaskan hingga mendidih. Titik didih dicatat.

    6.     Etil asetat ditambahkan sebanyak 2 ml hingga 10 ml dan dipanaskan. Titik didih nya dicatat.

    BAB III

    HASIL DAN DISKUSI

    3.1       Hasil

    Tabel 3.1 Pengamatan Komposisi Etil Asetat terhadap Titik Didih

    CampuranFraksi Mol Etil AsetatTitik Didih (oC)
    Jumlah Volume
    Etil Asetat (ml)Toluen (ml)
    100176
    1020,84779
    1040,72982
    1060,64185
    1080,57189
    10100,51593
    8100,46280
    6100,39383
    4100,29887
    2100,17594
    0100110

    3.2       Diskusi

    Percobaan ini menggunakan etil asetat dan toluene. Sesuai dengan referensi yang ada, bahwa titik didih etil asetat sebesar 76 oC sementara titik didih toluene sebesar 110 oC. Berdasarkan titik didih yang dijadikan sebagai referensi atau pembanding, maka percobaan ini mengamati titik didih larutan etil asetat terhadap penambahan toluene atau pengamatan titik didih toluene terhadap komposisi etil asetat yang lebih banyak.

                Pencampuran kedua larutan tersebut tetap memperhatikan sifat-sifat larutan masing – masing, maksudnya apakah kedua larutan tersebut dapat membentuk campuran ideal atau tidak. Campuran ideal adalah campuran yang menaati Hukum Raoult. Campuran ideal memiliki gaya tarik menarik yang sangat kuat antara larutan yang dicampurkan daripada gaya tarik menarik larutan sejenis. Gaya antar molekul yang berikatan mempengaruhi tekanan uap dari larutan tersebut.

    Titik didih larutan dipengaruhi oleh fraksi mol. Perubahan fraksi mol zat terlarut mengakibatkan perubahan titik didih campuran.Semakin tinggi titik didih campuran maka semakin tinggi atau besar pula jumlah fraksi mol zat tersebut, namun apabila titik didih larutan menurun maka menandakan pula bahwa fraksi mol juga kecil. Dapat dikatakan bahwa antara komposisi dengan titik didihnya berbanding lurus.

    Larutan ideal yang dalam keadaan seimbang antara larutan dan uapnya, maka perbandingan antara tekanan uap salah satu komponennya (misal A) PA/PA°  sebanding dengan fraksi mol komponen (XA)   yang   menguap dalam larutan pada suhu   yang   sama. Dalam sebuah larutan, beberapa molekul yang berenergi besar dapat menggunakan energinya untuk mengalahkan daya tarik intermolekuler permukaan cairan dan melepaskan diri untuk kemudian menjadi uap. Semakin kecil daya intermolekuler, semakin banyak molekul yang dapat melepaskan diri pada suhu tertentu. Pada suhu tertentu, sebagian dari molekul – molekul yang ada akan mempunyai energi yang cukup untuk melepaskan diri dari permukaan larutan.

    Gambar 3.1 Grafik Antara Fraksi Mol Vs Titik Didih Campuran

    Dari grafik diatas ini maka dapat dilihat dengan meningkatnya fraksi mol etil asetat dan toluene juga meningkat. Pada saat fraksi etil asetat sama dengan 0, itu menunjukkan bahwa hanya toluene yang dipanaskan mencapai titik didihnya atau bisa dikatakan volume etil asetat sama dengan 0. Selanjutnya saat fraksi mol etil asetat sama dengan 1 itu menunjukkan bahwa hanya etil asetat yang dipanaskan hingga mencapai titik didihnya atau bisa dikatakan bahwa volume toluene sama dengan 0.

    Selain itu dari grafik juga dapat dilihat bahwa pada pencampuran larutan di dapat titik didih campuran meningkat seiring dengan meningkatnya fraksi mol etil asetat. Pada saat penambahan toluene kedalam etil asetat atau komposisi etil asetat dipertahankan konstan sebanyak 10 ml sementara komposisi toluene divariasikan jumlah volumenya, titikdidihetilasetatsemakin lama semakin meningkat dari suhu sebesar 76oC. Namun pada saat volume toluene yang dijaga konstan namun volume etil asetat divariasikan maka titik didih campuran turun dari suhu 110 oC.

    Penurunan titik didih hanya terjadi apabila fraksi mol yang didapat juga kecil , sebaliknya apabila terjadi kenaikan titikdidih yang signifikan itu menandakan fraksi mol larutan tersebut besar atau tinggi. Sesuai grafik yang dibuat, penyimpangan Hukum Raoult yang terjadi adalah penyimpangan positif. Penyimpangan positif Hukum Raoult terjadi apabila interaksi dalam masing – masing zat lebih kuat daripada interaksi dalam campuran zat ( A – A, B – B > A – B). Penyimpangan ini menghasilkan entalpi campuran (ΔHmix) positif (endotermik) dan mengakibatkan terjadinya penambahan volume campuran (ΔVmix > 0). Dari penyimpangan tersebut dapat diketahui bahwa pencampuran antara etil asetat dan toluene bukan campuran yang ideal. Gaya antar molekul yang terjadi pada etil asetat sendiri adalah gaya London, sementara gaya antar molekul yang terjadi pada toluene sendiri adalah gaya Van der waals. Perbedaan gaya antar molekul tersebut dapat mempengaruhi ikatan antar molekul campuran. Hal inilah yang menyebabkan bahwa ikatan antar molekul campuran antar etil asetat dan toluene sangat lemah atau kecil, namun ikatan antar molekul sejenisnya sangat besar dan kuat.

    Campuran yang non ideal mempunyai sifat fisika   yang   berubah dari keadaan idealnya. Sifat ini disebut sebagai sifat koligatif larutan yang hanya tergantung pada jumlah partikel zat terlarut dan tidak tergantung pada sifat dan keadaan partikel. Larutan yang memiliki sifat koligatif harus memenuhi dua asumsi yaitu zat terlarut tidak mudah menguap sehingga tidak memberikan konstribusi pada uapnya. Asumsi yang kedua adalah zat terlarut tidak larut dalam pelarutnya. Sifat koligatif larutan meliputi juga penurunan tekanan uap dan kenaikan titik didih. Dapat diambil kesimpulan bahwa tekanan uap dipengaruhi oleh gaya antar molekul, semakin besar gaya antar molekulnya maka semakin kecil tekanan uap campurannya, namun apabila semakin kecil gaya antar molekulnya maka semakin besar tekanan uapnya.

    Berdasarkan teori yang ada bahwa titik didih etil asetat adalah 77 oC, namun saat percobaan didapat titik didih etil asetat hanya sebesar 76 oC. Penurunan titik didih etil asetat ini tidak sesuai dengan literaturatu referensi dikarenakan pada saat praktikum kemungkinan rangkaian alat tidak benar, artinya masi ada larutan etil asetan yang menguap. Hal ini mengingatkan juga bahwa larutan etil asetat merupakan larutan yang sangat mudah menguap.

    Penguapan bisa terjadi melalui celah – celah penghubung antara tempat pemasukan pada mulut labu atau sambungan labu ke kondensor yang tidak tertutup rapat dan tidak pula ditutup dengan aluminium foil. Penurunan titik didih yang terjadi seharusnya terlihat signifikan sesuai dengan teori yang ada, namun pada percobaan penurunan titik didih yang terjadi tidak terlalu jauh selisihnya dengan titik didih sebelumnya, hal ini dapat terjadi karena adanya kesalahan pengamatan dalam proses pengukuran suhu melalui termometer atau dikarenakan pada saat untuk mengukur titik didih selanjutnya larutan tersebut tidak didinginkan terlebih dahulu sehingga suhunya pun mendekati titik didih yang sebelumnya, begitu pula pada saat terjadinya kenaikan titik didih.

    BAB IV

    PENUTUP

    5.1       Kesimpulan

    1.  Hubungan antara titik didih berbanding lurus, semakin besar titik didih maka semakin besar pula fraksi molnya atau semakin kecil titik didih maka semakin kecil pula fraksi mol larutan.

    2.  Tekanan uap campuran dipengaruhi gaya antar molekul campuran tersebut. Gaya antar molekul berbanding terbalik dengan tekanan uap campuran. Dimana ikatan antar molekul sejenis lebih kuat daripada ikatan antar molekul campuran.

    5.2       Saran

    1.  Diharapkan praktikan menggunakan masker dan sarung tangan karena larutan etil asetat dan toluene merupakan bahan beracun dan mudah terbakar.

    DAFTAR PUSTAKA

    Dogra, S.K. 1990. Kimia Fisika dan Soal-soal. Jakarta: UI-Press.

    Fessenden. 1982.  Kimia Organik Jilid I.  Jakarta: Erlangga.

    Hedricson. 1988.  Kimia Organik. Bandung:  ITB.

    Oxtoby. 2001. Prinsip-prinsip Kimia Modern jilid 1. Jakarta: Erlangga.

    Petrucci, R. H. 1987. Kimia Dasar Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

    Sulaiman, A. 1990.  Kimia Dasar Untuk Universitas. Medan: USU.

    Syukri. 1999. Kimia Dasar. Bandung: ITB.

  • Laporan Praktikum Viskositas Berbagai Cairan

    Laporan Praktikum Viskositas Berbagai Cairan

    Praktikum viskositas berbagai cairan bertujuan untuk mengukur viskositas () dari fluida dengan mengukur waktu flux dari fluida itu sendiri. Variable utama dalam variable ini adalah viskositas dan massa jenis ().

    Praktikum Viskositas Berbagai Cairan

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Fluida adalah zat yang dapat mengalir seperti cairan dan gas. Hal ini karena gaya-gaya yang bekerja pada partikel gas tersebut lemah sehingga membuat keadaan antar partikel sangat dinamis.

    Pergerakan ini akan menimbulkan gaya gesek antar partikel ketika terjadi pergerakan baik itu antar partikel fluida sendiri maupun benda asing yang masuk ke dalam fluida. Gaya gesek yang timbul ini menjadi faktor yang menetukan kecepatan aliran fluida tersebut ketika mendapat gaya dan juga kecepatan benda yang bergerak dalam fluida.


    Viskositas dapat dinyatakan sebagai tahanan aliaran fluida yang merupakan gesekan antara molekul – molekul cairan satu dengan yang lain. Suatu jenis cairan yang mudah mengalir, dapat dikatakan memiliki viskositas yang rendah, dan sebaliknya bahan-bahan yang sulit mengalir dikatakan memiliki viskositas yang tinggi.

    Koefisien viskositas secara umum diukur dengan dua metode, yaitu viskometer Oswald : waktu yang dibutuhkan untuk mengalirnya sejumlah tertentucairan dicatat, dan h dihitung dengan hubungan. Umumnya koefisien viskositas dihitung dengan membandingkan laju cairan dengan laju aliran yang koefisien viskositasnya diketahui. 

    Nilai viscositas Lehman didasarkan pada waktu kecepatan alir cairan yang akan diuji atau dihitung nilai viscositasnya berbanding terbalik dengan waktu kecepatan alir cairan pembanding, dimana cairan pembanding yang digunakan adalah air.

    Viscometer bola jatuh–Stokes. Terhadap sebuah benda yang bergerak jatuh didalam fluida bekerja tiga macam gaya, yaitu :

    1. Gaya gravitasi atau gaya berat (W). gaya inilah yang menyebabkan benda bergerak ke bawah dengan suatu percepatan.
    2. Gaya apung (buoyant force) atau gaya Archimedes (B). arah gaya ini keatas dan besarnya sama dengan berat fluida yang dipindahkan oleh benda itu.
    3. Gaya gesek (Frictional force) Fg, arahnya keatas dan besarnya.

    (Triyana, 2011).

    B. Tujuan Percobaan

    1. Menerangkan arti viskositas suatu cairan
    2. Menggunakan alat penentuan viskositas dan berat jenis untuk menentukan viskositas berbagai macam cairan.
    3. Mempelajari pengaruh suhu terhadap viskositas cairan.

    Bab II. Pendahuluan

    A. Viskositas

    Viskositas suatu zat cairan murni atau larutan merupakan indeks hambatan aliran cairan. Viskositas dapat diukur dengan mengukur laju aliran cairan yang melalui tabung berbentuk silinder. Cara ini merupakan salah satu cara yang paling mudah dan dapat digunakan baik untuk cairan maupun gas

    Viskositas merupakan pengukuran dari ketahanan fluida yang diubah baik dengan tekanan maupun tegangan. Semakin rendah viskositas suatu fluida, semakin besar juga pergerakan dari fluida tersebut. Viskositas menjelaskan ketahanan internal fluida untuk mengalir dan mungkin dapat dipikirkan sebagai pengukuran dari pergeseran fluida. (Bird, 1993).

    Viskositas (kekentalan) dapat diartikan sebagai suatu gesekan didalam cairan zat cai. Kekentalan itulah maka diperlukan gaya untuk menggerakkan suatu permukaan untuk melampaui suatu permukaan lainnya, jika diantaranya ada larutan baik cairan maupun gas mempunyai kekentalan air lebih besar daripada gas, sehingga zat cair dikatakan lebih kental daripada gas.

    Viskositas adalah indeks hambatan aliran cairan. Viskositas dapat diukur dengan mengukur laju aliran cairan yang melalui tabung berbentuk silinder. Viskositas ini juga disebut sebagai kekentalan  suatu zat. Jumlah volume cairan yang mengalir melalui pipa per satuan waktu. (Dudgale, 1986)

    Makin kental suatu cairan, makin besar gaya yang dibutuhkan untuk membuatnya mengalir pada kecepatan tertentu. Viskositas disperse koloid dipengaruhi oleh bentuk partikel dari fase disperse dengan viskositas rendah, sedang sistem dispersi yang mengandung koloid-koloid linier viskositasnya lebih tinggi. Hubungan antara bentuk dan viskositas merupakan refleksi derajat solvasi dari partikel (Respati, 1981).

    Bila viskositas gas meningkat dengan naiknya temperature, maka viskositas cairan justru akan menurun jika temperature dinaikkan. Fluiditas dari suatu cairan yang merupakan kelebihan dari viskositas akan meningkat dengan makin tingginya suhu (Bird,1993).

    Viskositas suatu zat dipengaruhi oleh suhu. Untuk gas, viskositas meningkat dengan bertambahnya suhu. Sementara viskositas zat cair akan menurun dengan naiknya suhu. Hubungan antara viskositas dan suhu tampak pada persamaan Arrhenius.

    Viskometer kapiler yang paling banyak digunakan adalah viskometer oswald. Viskositas cairan yang mengalir melalui kapiler dihitung berdasarkan hukum poiseuille, yaitu:

    Dalam praktek seringkali viskositas ditentukan secara relatif yaitu dengan membandingkan viskositas cairan yang belum diketahui dengan viskositas absolut cairan baku pembanding (Yelmida, 2015).

    Cairan mempunyai gaya gesek yang lebih besar untuk mengalir daripada gas. Sehingga cairan mempunyai koefisien viskositas yang lebih besar daripada gas. Viskositas gas bertamabah dengan naiknya suhu. Koefisien gas pada tekanan tidak terlalu besar, tidak tergantung tekanan, tetapi untuk cairan naik dengan naiknya tegangan.

    Sifat dari fluida sejati adalah kom persibel, artinya volume dan massa jenisnya akan berubah bila diberikan tekanan. Selain itu juga fluida sejati mempunyai viskositas yaitu gesekan didalam fluida, sedangkan dandalam anggapan fluida ideal semua sifat – sifat ini diabaikan. (Victol, 1996).

    Viskositas didalam zat cair disebabkan oleh gaya kohesi antar molekul dan didalam gas disebabkan oleh pelanggaran-pelanggaran antar molekul yang bergerak dengan cepat. Terutama dalam arus turbulent. Viskositas ini naik dengan cepat sekali hampir berbanding lurus dengan pangkat tiga kecepatannya. Makin besar kecepatannya, makin besar viskositasnya.

    Viskositas zat cair lebih besar daripada gas. Viskositas gas sedemikian kecilnya sehingga sering diabaikan. Viskositas fluida bergantung kepada suhunya. Viskositas ini pada umumnya yaitu zat cair yang umunya berkurang jika suhunya naik. Tetapi sebaliknya, viskositas gas lebih besar jika suhunya naik. Lapisan – lapisan gas atau zat cair yang mengalir saling berdesakan. Karena itu terdapat gaya gesek yang bersifat menahan aliran yang besarnya tergantung dari kekentalan zat cair tersebut (Frank, 1988).

    B. Cara-cara penentuan viskositas

    a. Viskometer Ostwald

    Pada viscometer Ostwald yang diukur adalah waktu yang dibutuhkan oleh sejumlah tertentu cairan untuk mengalir melalui pipa kapiler dengan gaya yang disebabkan oleh berat cairan itu sendiri. Pada percobaan sebenarnya, sejumlah tertentu cairan (misalnya 10 cm3, bergantung pada ukuran viscometer) dipipet kedalam viscometer.

    Cairan kemudian dihisap melalui labu pengukur dari viscometer sampai permukaan cairan lebih tinggi daripada batas a. cairan kemudian dibiarkan turun ketika permukaan cairan turun melewati batas a, stopwatch mulai dinyalakan dan ketika cairan melewati tanda batas b, stopwatch dimatikan. Jadi waktu yang dibutuhkan cairan untuk melalui jarak antara a dan b dapat ditentukan. Tekanan ρ merupakan perbedaan antara kedua ujung pipa U dan besarnya disesuaikan sebanding dengan berat jenis cairan (Respati,1981).

    b. Viskometer hoppler

    Pada viskometer ini yang diukur adalah waktu yang dibutuhkan oleh sebuah bola logam untuk melewati cairan setinggi tertentu. Suatu benda karena adanya gravitasi akan jatuh melalui medium yang berviskositas (seperti cairan misalnya), dengan kecepatan yang semakin besar sampai mencapai kecepatan maksimum. Kecepatanmaksimumakantercapaibilagravitasisamadenganfictional resistance medium (Frank, 1988)

    c. Viskometer cupand Bob

    Prinsipkerjanyasampeldigeserdalamruanganantaradindingluar.Bobdandindingdalamdari cup dimana bob masuk persis ditengan-tengah. Kelemahan viscometer ini adalah terjadinya aliran sumbat yang disebabkan gesekan yang tinggi disepanjang keliling bagian tube sehingga menyebabkan penemuan konsentrasi. Penurunan konsentrasi ini menyebebkan bagian tengah zat yang ditekan keluar memadat. Hal ini disebut aliran sumbat (Victol, 1996).

    d.    ViskometerCone and Plate

    Cara pemakaiannya adalah sampel yang ditempatkan di tengah-tengah papan, kemudian dinaikkan hingga posisi di bawah kerucut. Kerucut digerakkan oleh motor dengan bermacam kecepatan dan sampelnya digeser di dalam ruang sempitan tarapapan yang diamdan kemudian kerucut yang berputar (Bird, 1993).

    C. Konsep Viskositas

    Fluida, baikzatcairmaupunzat gas yang jenisnya berbeda memiliki tingkat kekentalan yang berbeda. Viskositas alias kekentalan sebenarnya merupakan gaya gesekan antara molekul-molekul yang menyusun suatu fluida. Jadi molekul-molekul yang membentuk suatu fluida saling gesek-menggesek ke tika fluida fluida tersebut mengalir. Pada zat cair, viskositas disebabkan karena adanya gaya kohesi (gaya tarik menarikan tara molekul sejenis). Sedangkan dalam zat gas, viskositas disebabkan oleh tumbukanantaramolekul (Bird, 1993).

    Fluida yang lebih cair biasanya lebih mudah mengalir, contohnya air. Sebaliknya, fluida yang lebih kental biasanya lebih sulit mengalir, contohnya minyak goreng, oli, madu, dan lain-lain. Hal ini bias dibuktikan dengan menuangkan air dan minyak goring diatas lantai yang permukaannya miring. Pasti hasilnya air lebih cepat mengalir dari pada minyak goreng atau oli. Tingkat kekentalan suatu fluida  juga bergantung pada suhu. Semakin tinggi suhu zat cair, semakin kurang kental zat cair tersebut. Misalnya ketika ibu menggoreng ikan di dapur, minyak goreng yang awalnya kental, berubah menjadi lebih cair ketika dipanaskan. Sebaliknya, semakin tinggi suhu suatu zat gas, semakin kental zat gas tersebut.

    Perlu diketahui bahwa viskositas atau kekentalan hanya ada pada fluida rill (rill = nyata). Fluida rill / nyata adalah fluida yang kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, seperti air sirup, oli, asap knalpot, dan lainnya. Fluida rill berbeda dengan fluida ideal. Fluida ideal sebenarnya tidak ada dalam kehidupan sehari-hari. Fluida ideal hanya model yang digunakan untuk membantu kita dalam menganalisis aliran fluida (Victol, 1996).

    Satuan system internasional (SI) untukkoefisienviskositasadalah Ns/m= Pa.S (pascalsekon). Satuan CGS (centimeter gram sekon) untuk SI koifisienviskositasadalahdyn.s/cm2 = poise (p). Viskositas juga sering dinyatakan dalam sentipolse (cp). 1 cp = 1/1000 p. satuan poise digunakan untuk mengenang seorang Ilmuwan Prancis, almarhum Jean Louis Marie Poiseuille.

    1 poise = 1 dyn.s/cm2 = 10-1 N.s/m2

    Fluida adalah gugusan molukel yang jarak pisahnya besar, dan kecil untuk zat cair. Jarak antar molukelnya itu besar jika dibandingkan dengan garis tengah molukel itu. Molekul-molekul itu tidak  terikat pada suatu kisi, melainkan saling bergerak bebas terhadap satu sama lain. Jadi kecepatan fluida atau massanya kecapatan volume tidak mempunyai makna yang tepat sebab jumlah molekul yang menempati volume tertentu terus menerus berubah (While, 1988).

    Viskositas merupakan besaran yang harganya tergantung terhadap suhu. Pada kebanyakan fluida cair, bila suhu naik maka viskositas akan turun dan sebaliknya bila suhu turun maka viskositas akan naik (Victol, 1996).

    Fluida dapat digolongkan ke dalam cairan atau gas. Perbedaan-perbedaan utama antara cair dan gas adalah :

    1. Cairan praktis tidak kompersible, sedangkan gas kompersible dan seringkali harus diperlakukan demikian.
    2. Cairan mengisi volume tertentu dan mempunyai permukaan-permukaan bebas, sedangkan agar dengan massa tertentu mengembang sampai mengisi seluruh bagian wadah tempatnya (Frank, 1988).

    D. Piknometer

    Piknometer adalah alat yang digunakan untuk mengukur nilai massa jenis atau densitas dari fluida. Berbagai macam fluida yang diukur massa jenisnya, biasanya dalam praktikum yang diukur adalah massa jenis oli, minyak goreng, dan lain-lain. Piknometer itu terdiri dari 3 bagian, yaitu tutup pikno, lubang, gelas atau tabung ukur. Cara menghitung massa fluida yaitu dengan mengurangkan massa pikno berisi fluida dengan massa pikno kosong. Kemudian di dapat data massa dan volume fluida, sehingga tinggal menentukan nilai cho/massa jenis (ρ) fluida dengan persamaan = cho (ρ) = m/v (Whille, 1988).

    Faktor-faktor yang mempengaruhi viskositas :

    1. Suhu

    Viskositas berbanding terbalik dengan suhu. Jika suhu naik maka viskositas akan turun, dan begitu sebaliknya. Hal ini disebabkan karena adanya gerakan partikel-partikel cairan yang semakin cepat apabila suhu ditingkatkan dan menurun kekentalannya.

    2.  Konsentrasi larutan

    Viskositas berbanding lurus dengan konsentrasi larutan. Suatu larutan dengan konsentrasi tinggi akan memiliki viskositas yang tinggi pula, karena konsentrasi larutan menyatakan banyaknya partikel zat yang terlarut tiap satuan volume. Semakin banyak partikel yang terlarut, gesekan antar partikrl semakin tinggi dan viskositasnya semakin tinggi pula.

    3. Berat molekul solute

    Viskositas berbanding lurus dengan berat molekul solute. Karena dengan adanya solute yang berat akan menghambat atau member beban yang berat pada cairan sehingga manaikkan viskositas.

    4.  Tekanan

    Semakin tinggi tekanan maka semakin besar viskositas suatu caira

    E. Etanol

    Etanol disebut juga etil alkohol, alkohol murni atau alkohol absolute. Etanol adalah sejenis cairan yang mudah menguap, mudah terbakar dan tak berwarna. Etanol termasuk ke dalam alkohol rantai tunggal dengan rumus kimia C2H5OH dan rumu sempiris C2H6O. Etanol banyak digunakan sebagai pelarut berbahan bahan – bahan kimia dan juga larutan organic lainnya seperti asam asetat, aseton, benzene, karbon tetraklorida, kloroform, dietileter, etilenaglikol, gliserol, nitrometana, piridinadan toluene. Etanol memiliki densitas 0,789 g/cm3 dan viskositasnya 1,200 cP pada suhu 20oC dan titik didihnya 78,4oC (Fessenden, 1982).

    F. Etil Asetat

    Etila setat adalah senyawa organik dengan rumus kimia C4H8O2 yang memiliki den sitas sebesar 0,897 g/cm3 dan titik didih 77,1oC. Senyawa ini merupakan ester dari etanol dan asam asetat. Senyawa ini berbentuk cairan tak berwarna dengan aroma yang khas. Etil asetat merupakan pelarut polar yang mudah menguap, tidak beracun dan tidak higroskopis. Kelarutannya meningkat pada suhu yang lebih tinggi, namun senyawa ini tidak stabil dalam air yannng mengandung asam atau basa.

    Bab III. Metode Praktikum

    A. Alat

    1. Viskometer Oswald                 
    2. Piknometer 5 ml                     
    3. Corong kaca
    4. Water bath
    5. Termometer
    6. Gelaspiala 50 ml
    7. Pipettetes
    8. Penyedot pipet volume
    9. Stop watch
    10. Neracaanalitik

    B. Bahan

    1. Aquades
    2. Etanol
    3. Etil Asetat

    C. Prosedur Percobaan

    2.3.1 Menentukan Viskositas Berbagai Jenis Cairan

    1. Cairan yang akan ditentukan viskositasnya harus bebas dari partikel – partikel yang nantinya akan menyumbat kapiler alat.
    2. Ambil cairan yang akan ditentukan viskositasnyas ebanyak yang diperlukan.
    3. Tuang cairan yang akan ditentukan viskositasnya kedalam kapiler alat (viskometer)  sampai volume cairannya mencapai setengah dari volume silinder (dalam alat viskometer).
    4. Kemudian cairan tersebut disedot dengan menggun akan penyedot pipet volume sampai batas atas kapiler alat, dan tutup bagian atas dari viskometer agar cairannya tidak kembali ke bawah lagi.
    5. Lepaskan penutup dari tabung viskometer sampai cairannya turun melewati batas dan memasuki kapiler alat yang berbentuk bola.
    6. Sambil dilakukan penghitungan efflux time dengan stop watch dan membiarkan cairan turun melalui kapiler alat.
    7. Perhitungan efflux time dimulai ketika cairan tersebut turu nmelewati batas pada viskometer yang ditandai dengan garis.
    8. Kemudian hitung kinematic viscosity sampel dengan mengalirkan efflux time dengan konstanta viskosimeter (0,000953 mm2/detik2)
    9. Ukur suhu berbagai jenis cairan yang akan ditentukan viskositasnya dengan termometer. Kemudian lakukan pengujian viskositas berbagai jenis cairan dengan suhu 28oC, 40o C, dan 60oC
    10. Kemudian tentukan berat jenis setiap cairan sampel pada suhu tertentu menggunakan piknometer.

    2.3.2    Penentuan Berat Jenis (ρ) Berbagai Macam Cairan

    1. Pertama timbang berat piknometer yang kosongdan bersih pada neraca analitik. Volume piknometer diketahui : 10 ml.
    2. Kemudian isi cairan yang akan ditentukan berat jenisnya ke dalam piknometer sampai penuh. Pasang tutup kapiler dengan hati-hati, jangan ada rongga udara dalam piknometer. Bersihkan bagian luar piknometer sampai benar-benar bersih dan kering.
    3. Timbang kembali piknometer yang telah berisi cairan yang akan ditentukan berat jenisnya pada neraca analitik.

    Bab IV. Hasil dan Pembahasan

    A. Hasil Pengamatan

    3.1.1 Menentukan Viskositas Berbagai Jenis Cairan

    Tabel 3.1 Menentukan viskositas berbagai jenis cairan

    No.LarutanEfflux TimeKinematik Viscosity
    1Air Kran5.8 s5.52 × 10-3
    2Etanol6.75 s5.11 × 10-3
    3EtilAsetat2.8 s2.37 × 10-3

    3.1.2    PenentuanBeratJenis (ρ) BerbagaiJeniscairan

    Volume piknometer : 5 ml
    Berat piknometer kosong : 12.06 gram

    Tabel 3.2 penentuanberat(ρ) berbagaimacamcairan

    NoLarutan
    1Air Kran1.027 gr/ ml
    2Etanol0.854 gr/ ml
    3EtilAsetat0.954 gr/ ml

    B. Pembahasan

    3.2.1    MenentukanViskositasBerbagaiJenisCairan

    Viskositas suatu bahan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu suhu, viskositas berbanding terbalik dengan suhu. Jika suhu naik maka viskositas akan turun dan begitu pula sebaliknya. Hal ini disebabkan karena adanya gerakan partikel-partikel cairan yang semakin cepat apabila suhu ditingkatkan dan menurunkan kekentalannya.

    Konsentrasi larutan, viskositas berbanding lurus dengan konsentrasi larutan. Suatu larutan dengan konsentrasi tinggi akan memiliki viskositas yang tinggi pula, karena konsentrasi larutan menyatakan banyaknya partikel zat yang terlarut tiap satuan volume. Semakin banyak partikel yang terlarut, gesekan antar partikel semakin tinggi dan viskositasnya semakin tinggi pula. Berat molekul solute, viskositas berbanding lurus dengan berat molukel solute, karena dengan adanya solute yang berat akan menghambat atau memberi beban yang berat pada cairan sehingga menaikkan viskositasnya. Tekanan, akan bertambah jika nilai dari viskositas itu bertambah. Semakin tinggi tekanan maka semakin besar viskositas suatu zat cair.

    Pada viscometer Ostwald yang diukur adalah waktu yang dibutuhkan oleh sejumlah tertentu cairan untuk mengalir melalui pipa kapiler dengan gaya yang disebabkan oleh berat cairan itu sendiri. Berdasarkan hokum Heagen Poiseuille : ŋ = cpr4t/(8VL) pgh = πpr4pgh/(8VL). Dimana p = tekanan hidrostatis, r = jari-jari kapiler, t= waktu alir zat cair sebanyak volume V dengan beda tinggi h, L = panjang kapiler. Untuk air :ŋair = πpr4 ta. Pa.g.h / (8VL) secara umum berlakuŋx = πpr4txpxgh / (8VL). Jika air digunakan sebagai pembanding maka ŋx/ ŋair = txpx/tapa (Tim Kimia Fisik, 2010 ).

    Secara teoritis bila mengikuti literatur, viskositas Etanol akan lebih besar dari pada viskositas Air kran dan Etil Asetat. Dari hasil percobaan, viskositas Air kran lebih besar dari pada etanol dan etil asetat, seharusnya viskositas air kran lebih kecil dari pada etanol. Hal dikarenakan terdapat beberapa factor kesalahan pada percobaanya itu alat- alat yang kurang bersih sehingga didapat hasil yang kurang maksimal begitu juga pada penggunaan stopwatch yang kurang tepat sehingga hasilpun kurang maksimal.

    3.2.2    PenentuanBeratJenis (ρ) berbagai Macam Cairan

    Pada percobaan yang dilakukan dengan menggunakan tiga larutan yaitu Air kran, Etanol, Etil Asetat. Didalam piknometer  volume masing- masing larutan 5 ml maka didapatkan berat jenis masing- masing larutan tersebut. Air kran 1.072 gr/ ml, Etanol 0.854 gr/ ml, Etil Asetat 0.954 gr/ ml. dari tiga larutan tersebut terlihat jelas bahwa berat jenis tertinggi adalah air kranada yang paling rendah etanol. Ketiga den sitas hasil dari percobaan memiliki nilai densitas yang lebih besar dari pada densitas literature yaitu

    Densitas Air kran 1.05 gr/ ml, Etanol 0.789 gr/ ml, etil asetat 0.89 gr/ ml. tetapi perbedaan densitas literatur dengan hasil percobaan tidak jauh berbeda. Hal yang menyebabkan perbedaan hasil yang diperoleh dengan literatur, dapat disebabkan beberapa faktor yaitu kurang akuratnya pada saat penimbangan dengan neraca analitik, karena pada tingkat ketelitian neraca analitik tidak terlalu tinggi hal ini disebabkan oleh ketika penimbangan, neraca analitik tidak menunjukkan berat yang konstan karena dipengaruhi oleh udara sehingga menimbulkan perbedaan hasil yang diperoleh dari hasil percobaan bila dibandingkan dengan literatur.

    Bab V. Penutup

    A. Kesimpulan

    1. Dari percobaan didapat kinematik viscosity air kran 5.52 × 10-3, Etanol 5.11 × 10-3, Etil Asetat 2.37 × 10-3 .
    2. Berat jenis (ρ) Air kran 1.072 gr/ ml, Etanol 0.854gr/ ml, EtilAsetat 0.954 gr/ ml.

    B. Saran

    1. Penggunaan stopwatch harusteliti agar hasil yang didapat lebih akurat.
    2. Kebersihan alat diperhatikan, karna kebersihan alat berpengaruh dalam percobaan.

    DAFTAR PUSTAKA

    Bird, Tony. 1993. Kimia FisikUntukUniversitas. Jakarta : PT Gramedia.

    Dudgale. 1986. Mekanika Fluida Edisi 3. Jakarta : Erlangga.

    Fessenden. 1982. Kimia Organik. Jakarta : Erlangga.

    Frank, M. 1988. Mekanika Fluida edisi ke-2 jilid I. Jakarta : Erlangga.

    Respati, H. 1981. Kimia Dasar Terapan Modern. Jakarta : Erlangga.

    Victol, L. 1996. Mekanika Fluida Edisi Delapan jilid I. Jakarta : Erlangga.

    Yelmida. 2015. Penuntun Praktikum Kimia Fisika. Pekanbaru : Universitas Riau.

  • Laporan Praktikum Kimia Fisika – Kecepatan Disolusi

    Kecepatan Disolusi

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    B. Tujuan Percobaan

    1. Menentukan kecepatan disolusi zat.
    2. Mempelajari pengaruh suhu dan kecepatan pengadukan terhadap kecepatan disolusi suatu zat.

    Bab II. Landasan Teori

    A. Disolusi

    Pelepasan zat aktif sangat dipengaruhi oleh sifat fisikokimia zat aktif dan bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif biasanya ditetapkan oleh kecepatan pelepasan zat aktif dari bentuk ditentukan oleh kecepatan melarutnya dalam media sekelilingnya (Amir, 2007).

    Disolusi didefinisikan sebagai zat proses dimana suatu zat padat dapat masuk ke dalam pelarut menghasilkan suatu larutan. Secara sederhana, disolusi merupakan proses dimana zat padat melarut secara prinsip dikendalikan oleh afinitas antara zat padat dan pelarut (Amir, 2007).

    Karakteristik fisik sediaan, proses pembasahan sediaan kemapuan penetrasi media disolusi ke dalam sediaan, proses pengembang, proses integrasi dan degradasi. Sediaan merupakan sebagian dari faktor yang mempengaruhi karakteristik disolusi zat. Setelah pemberian secara insitu dapat timbul endapan zat aktif yang biasanya berbentuk amorf sebagai akibat perubahan pH dan endapan tersebut selanjutnya akan melarut lagi. Dengan demikian, pemberian sediaan larutan tidak selalu dapat mengakibatkan penyerapan yang segera (Amir, 2007).

    Disolusi adalah suatu jenis khusu dari suatu reaksi heterogen yang menghasilkan transfer massa karena adanya pelepasan dan pemidahan menyeluruh ke pelarut dari permukaan padat. Di dalam pembahasan untuk memahami mekanisme disolusi, kadang-kadang digunakan salah satu model atau gabungan dari beberapa model antara lain:

    1. Model Lapisan Difusi (Diffusion Layer Model)

    Model ini pertama kali diusulkan oleh Nerst dan Brunner. Pada permukaan padat terdapat satu lapisan tipis cairan dengan ketebalan ℓ, merupakan komponen kecepatan negatif dengan arah yang berlawanan dengan permukaan padat. Reaksi pada permukaan padat – cair berlangsung cepat.

    Begitu model solut melewati antar muka liquid film – bulk film, pencampuran secara cepat akan terjadi dan gradien konsentrasi akan hilang. Karena itu kecepatan disolusi ditentukan oleh difusi gerakan Brown dari molekul dalam liquid film.

    2. Model Barrier Antar Muka (Interfacial Barrier Model)

    Model ini menggambarkan reaksi yang terjadi pada permukaan padat dan dalam hal ini terjadi difusi sepanjang lapisan tipis cairan. Sebagai hasilnya, tidak dianggap adanya kesetimbangan padatan – larutan, dan hal ini harus dijadikan pegangan dalam membahas model ini. Proses pada antar muka padat – cair sekarang menjadi pembatas kecepatan ditinjau dari proses transpor. Transpor yang relatif cepat terjadi secara difusi melewati lapisan tipis statis (stagnant).

    3. Model Dankwert (Dankwert Model)

    Model ini beranggapan bahwa transpor solut menjauhi permukaan padat terjadi melalui cara paket makroskopik pelarut mencapai antar muka – cair karena terjadi pusaran difusi secara acak. Paket pelarut terlihat pada permukaan padatan. Selama berada pada antar muka, paket mampu mengabsorpsi solut menurut hukum difusi biasa, dan kemudian digantikan oleh paket pelarut segar. Jika dianggap reaksi pada permukaan padat terjadi segera, prosex pembaharuan permukaan tersebut terkait dengan kecepatan transpor solut ataudengan kata lain disolusi (Underwood dan Day, 1981).

    Menurut Diki (2006) kecepatan disolusi dapat ditentukan menurut beberapa metoda sebagai berikut:

    1. Metoda Suspensi

    Serbuk zat padat ditambahkan ke dalan pelarut tanpa pengontrolan eksak terhadap luas permukaan partikelnya. Sampel diambil pada waktu-waktu tertentu dan jumlah zat yang larut ditentukan dengan cara yang sesuai.

    2. Metoda Permukaan Konstan

    Zat ditempatkan dalan suatu wadah yang diketahui luasnya sehingga variable perbedaan luas permukaan efektif dapat diabaikan. Penentuan denga metoda suspensi dapat dilakukan dengan alat uji disolusi tipe dayung seperti yang terccantum di USP. Sedangkan untuk metoda permukaan tetap digunakan alat seperti diusulkan oleh Simonelli dkk.

    Gambar 1.1 Alat Uji Disolusi

    Menurut Martin (2008), faktor yang mempengaruhi disolusi sebagai berikut: 

    1. Suhu

    Suhu akan mempengaruhi kecepatan melarut zat. Perbedaan sejauh lima persen akan disebabkan oleh adanya perbedaan suhu satu derajat.

    2. Medium

    Medium yang paling aman adalah air, buffer dan 0,1 N HCl. Dalam beberapa hal zat tidak larut dalam larutan air, maka zat organik yang dapat merubah sifat ini atau surfaktan digunakan untuk menambah kelarutan zat di dalam  medium bukan merupakan faktor penentu dalam poses disolusi. Untuk mencapai keadaan “sink” maka perbandingan zat aktif dalam volume medium harus dijaga tetap pada kadar 3-10 kali lebih besar daripada jumlah yang diperlukan bagi satuan larutan jenuh. Masalah yang mungkin mengganggu adalah adanya gas dari medium sebelum digunakan gelembung udara yang terjadi dalam medium karena suhu naik dapat mengganggu zat, sehingga dapat menaikkan kecepatan melarutnya.

    3. Kecepatan Perputaran

    Kenaikan dalam pengadukan akan mempercepat kelarutan. Umumnya kecepatan pengadukan 50 rpm atau 100 rpm. Perputaran di atas 100 rpm tidak menghasilkan data yang dapat dipakai untuk membeda- bedakan hasil kecepatan melarut. Bilamana ternyata bahwa kecepatan pengadukan perlu lebih dari 100 rpm maka lebih baik untuk mengubah medium daripada menaikkan rpm. Walaupun 4% penyimpangan masih diperbolehkan, sebaiknya dihindarkan.

    4. Ketepatan Letak Vertikal Poros

    Disini termasuk tegak lurusnya poros perputaran dayung atau wadah, tinggi dan ketepatan posisi dayung atau wadah yang harus sentris. Letak yang kurang sentral dapat menimbulkan hasil yang tinggi, karena hal ini akan mengakibatkan pengadukan yang lebih hebat di dalam wadah.

    5. Goyangnya Poros

    Goyangnya poros dapat mengakibatkan hasil yang lebih tinggi karena dapat menimbulkan pengadukan yang lebih besar di dalam medium. Sebaiknya digunakan poros dan bagian yang sama dalam posisi sama bagi setiap percobaan karena masalah yang timbul karena adanya poros yang goyang akan dapat lebih mudah dideteksi.

    6. Vibrasi

    Bilamana vibrasi timbul, hasil yang diperoleh akan lebih tinggi. Hampir semua masalah vibrasi berasal dari poros motor, pemanas penangas air atau adanya penyebab dari luar. Alas dari busa mungkin dapat membantu, tetapi kita harus hati- hati akibatnya yaitu letak dan keseluruhan harus dicek.

    7. Gangguan Pola Aliran

    Setiap hal yang mempengaruhi pola aliran di dalam bejana disolusi dapat mengakibatkan hasil disolusi yang tinggi. Alat pengambil aplikan serta adanya filter pada ujung pipet selama percobaan berlangsung dapat menjadi penyebabnya.

    1.2.2   Asam Salisilat

    Asam salisilat memiliki rumus molekul C6H4COOHOH berbentuk Kristal berwarna merah muda terang hingga kecokelatan yang memiliki berat molekul sebesar 138,123 g/mol dengan titik leleh sebesar 1560C dan densitas pada 250C sebesar 1,443 g/mL. Mudah larut dalam air dingin tetapi dapat melarutkan dalam keadaan panas. Asam salisilat dapat menyublim tetapi dapat terdekomposisi dengan mudah menjadi karbon dioksida dan phenol bila dipanaskan secara cepat pada suhu sekitar 2000C (Wikipedia, 2011).

    Asam salisilat memiliki struktur bangun seperti yang disajikan pada gambar 2.1 berikut ini:

    Gambar 1.2 Struktur Asam Salisilat

    Bahan baku utama dalam pembuatan asam salisilat adalah phenol, NaOH,  karbon dioksida dan asam sulfat. Asam salisilat kebanyakan digunakan sebagai obat- obatan dan sebagai bahan intermediet pada pabrik obat dan pabrik farmasi seperti aspirin dan beberapa turunannya. Sebagai antiseptic, asam salisilat zat yang mengiritasi kulit dan selaput lendir. Asam salisilat tidak diserap oleh kulit, tetapi membunuh sel epidermis dengan sangat cepat tanpa memberikan efek langsung pada sel epidermis. Setelah pemakaian beberapa hari akan menyebabkan terbentuknya  lapisan-lapisan kulit yang baru. Obat ini sangat spesifik untuk rematik akut yang  dapat mencegah kerusakan jantung yang biasanya terjadi akibat rematik, menghilangkan sakit secara keseluruhan, dan beberapa saat setelah pemakaiannya akan menurunkan temperatur suhu tubuh kembali normal (Perry, 2009).

    Asam salisilat (10-20%) dalam larutan yang terdiri dari asam nitrat selulosa dalam eter dan alkohol digunakan sebagai penghilang kutil dan katimumul pada kaki. Dalam hal ini asam salisilat menyebabkan pelunakan lapisan kulit sehingga katimumul dan kutil akan terlepas bersama kulit mati. Selain digunakan sebagai bahan utama pembuatan aspirin, asam salisilat juga dapat digunakan sebagai bahan baku obat yang menjadi turunan asam salisilat. Misalnya sodium salisilat yang dapat digunakan sebagai analgesik dan antipyretic serta untuk terapi bagi penderita rematik akut. Alumunium salisilat yang berupa bubuk sehalus debu digunakan untuk mengatasi efek catarrhal pada hidung dan tekak. Ammonium salisilat digunakan sebagai obat penghilang kuman penyakit dan bakteri. Kalsium salisilat dapat digunakan untuk mengatasi diare (Perry, 2009)

    Turunan lain selain diatas adalah asam p-aminosalisilat yang dapat mengatasi tubercolosis pada manusia. Asam metilendisalisilat sering digunakan sebagai zat aditif minyak pelumas serta sebagai formulasi resin alkil. Salisilamide digunakan secara farmasi sebagai antipyretic, zat seudatif dan anti rematik (Anonim, 2011).

    Menurut Amri (2009), sifat fisika dan Kimia asam salisilat sebagai berikut:

    Tabel 1.1 Sifat Fisika Asam Salisilat

    Rumus MolekulC7H6O3
    Titik Lebur1590C
    Titik Didih2110C
    Tekanan Uap1 mmHg pada 330C
    Densitas1,44 gram/cm3
    Massa Molar138,2 gram/mol

    Tabel 1.2 Sifat Kimia Asam Salisilat

    KelarutanLarut dalam 550 bagian air dan dalam 4 bagian etanol (195%) mudah larut dalam kloroform dan ester.
    Sifat Larutannya–   Tidak cepat menguap –   Tidak mudah terbakara

    Bab III. Metode Praktikum

    A. Alat-alat yang Digunakan   

    1. Mechanical stirrer
    2. waterbath
    3. gelas kimia 500 ml
    4. termometer
    5. gelas ukur 100 ml
    6. pipet ukur 20 ml         
    7. erlenmeyer 100 ml
    8. buret
    9. statip dan klem
    10. stopwatch
    11. neraca/timbangan

    B. Bahan-bahan yang Digunakan

    1. asam salisilat
    2. NaOH 0,05 N
    3. Indikator pp
    4. akuades

    C. Prosedur Kerja

    pengaruh kecepatan pengadukan terhadap kecepatan disolusi zat

    1. gelas kimia diisi dengan 400 ml akuades
    2. thermometer dipasang pada bejana, untuk mengamati suhu larutan
    3. bejana ditempatkan dalam waterbath pada suhu ruang, dimasukkan 1 gram asam salisilat ke dalam bejana, motor pengaduk dihidupkan pada kecepatan 100 rpm
    4. 20 ml larutan diambil dari bejana setiap selang waktu 1,5,10,15 dan 20 menit setelah pengadukan. Setiap selesai pengambilan sampel, segera gantikan dengan 20 ml akuades.
    5. Kadar asam salisilat terlarut ditentukan dari setiap sampel dengan cara titrasi asam basa menggunakan NaOH 0,05N dan indicator pp. lakukan koreksi perhitungan kadar yang diperoleh setiap waktu terhadap pengenceran yang dilakukan karena penggantian larutan dengan akuades.
    6. Percobaan yang sama dilakukan untuk kecepatan pengadukan 200 dan 300 rpm.
    7. Hasil yang diperoleh ditabelkan.

    Pengaruh suhu terhaadap kecepatan disolusi zat

    1. gelas kimia diisi dengan 400 ml akuades
    2. Thermometer dipasang pada bejana, untuk mengamati suhu larutan
    3. bejana ditempatkan dalam waterbath pada suhu ruang, dimasukkan 1 gram asam salisilat ke dalam bejana, motor pengaduk dihidupkan pada kecepatan 100 rpm
    4. 20 ml larutan diambil dari bejana setiap selang waktu 1,5,10,15 dan 20 menit setelah pengadukan. Setiap selesai pengambilan sampel, segera gantikan dengan 20 ml akuades.
    5. Kadar asam salisilat terlarut ditentukan dari setiap sampel dengan cara titrasi asam basa menggunakan NaOH 0,05N dan indicator pp. lakukan koreksi perhitungan kadar yang diperoleh setiap waktu terhadap pengenceran yang dilakukan karena penggantian larutan dengan akuades.
    6. Percobaan yang sama dilakukan untuk suhu 40 dan 500C
    7. Hasil yang diperoleh ditabelkan.

    A. Pengamatan

    1. Pengaruh kecepatan pengadukan terhadap kecepatan disolusi

    Waktu (menit)Volume NaOH terpakai
    100 rpm200 rpm300 rpm
    10,4 ml0,5 ml1,2 ml
    50,6 ml1 ml3,5 ml
    101,2 ml1,8 ml4,55 ml
    151,8 ml2,95 ml5,05 ml
    202,1 ml3,25 ml5,5 ml

    B. Pengaruh suhu terhadap kecepatan disolusi

    Waktu ( menit)Volume NaOH terpakai
    260C400C500C
    10,4 ml2,1 ml2,7 ml
    50,6 ml2,7 ml5 ml
    101,2 ml4,1 ml6,4 ml
    151,8 ml4,75 ml7,45 ml
    202,1 ml5,15 ml7,65 ml

    C. Perubahan warna

    bahanperlakuanHasil pengamatan
    Asam salisilat + akuadesdiadukbening
    Diambil 20 mlDiganti 20 ml akuades bening
    Ditambahkan indicator ppbening
    Titrasi dengan NaOH 0,05 NMerah muda

    Bab IV. Hasil dan Pembahasan

    A. Hasil Pengamatan

    3.1.1 Pengaruh kecepatan pengadukan terhadap kecepatan disolusi zat

    Tabel 3.1 Pengaruh kecepatan pengadukan terhadap kecepatan disolusi zat

    Kecepatan (rpm)
    Waktu (s)100200300
    N asam salisilatN asam salisilatN asam salisilat
    10,0010,001250,003
    50,00150,00250,00875
    100,0030,00450,01125
    150,00450,007350,012625
    200,005250,0081250,01375

    3.1.2 Pengaruh suhu terhadap kecepatan disolusi zat

    Tabel 3.2 Pengaruh suhu terhadap kecepatan disolusi zat

    Suhu (⁰C)
    Waktu (s)264050
    N asam salisilatN asam salisilatN asam salisilat
    10,0010,005250,00625
    50,00150,006750,0125
    100,0030,0010250,016
    150,00450,00118750,018625
    200,005250,00138750,019125

    B. Pembahasan

    Pada pratikum ini,di lakukan uji kecepatan disolusi yang bertujuan untuk menentukan kecepatan disolusi suatu zat, dengan menerapkan faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusisuatu zat yaitu kecepatan pengadukan dan suhu.

    Kecepatan disolusi adalah suatu ukuran yang menyatakan banyaknya suatu zat terlarut pada pelarut tertentu pada setiap satuan waktu. Pengujian kecepatan disolusi  dilakukan terhadap asam salisilat dalam air. Rumus molekulnya C7H6Odan rumus strukturnya sebagai berikut (Anonim, 2009).

    Gambar 3.1 rumus struktur asam salisilat

    Dari rumus di atas asam salisilat memiliki gugus polar dan nonpolar. Gugus polar dari asam salisilat adalah OH dan gugus nonpolarnya adalah gugus cincin benzene. Struktur tersebut menyebabkan asam salisilat larut pada sebagian pelarut polar dan sebagian pada pelarut nonpolar. Namun karena asam salisilat memiliki gugus polar  dan gugus nonpolar dalam satu gugus menyebabkan asam salisilat sukar larut pada pelarut polar saja atau nonpolar saja (Anonim, 2005).

    Metode yang di gunakan pada kecepatan disolusi ini adalah metode suspensi,dimana serbuk asam salisilat di masukkan ke dalam air tanpa pengontrolan eksak pada terhadap luas permukaan partikelnya. Sampai di ambil pada waktu tertentu dan kadar zat yang larut di tentukan. Proses penentuan kecepatan disolusi asam salisilat dalam air di awali dengan menimbang kemudian di masukkan ke gelas piala dan di tambah akuades 400 ml. Kemudian dimasukkkan ke waterbatch dan di mulai dengan kecepatan 100 rpm,pada 200 rpm dan 300 rpm pada suhu kamar,selanjutnya dengan suhu 40⁰C dan 50⁰C  dengan kecepatan 100 rpm. Larutan di ambil 20 ml  setiap selang waktu 1, 5, 10, 15 dan 20 menit dengan penggantian akuades 20 ml setiap pengambilan. Kadar asam salisilat  yang larut di tentukan dengan titrasi dengan NaOH 0,05 dan PP sebagai indikator.

    Pada tabel 3.1 dapat dilihat bahwa kecepatan pengadukan mempengaruhi konsentrasi asam salisilat. Terlihat bahwa konsentrasi asam salisilat semakin bertambah seiring cepatnya proses pengadukan dalam selang waktu 1, 5, 10, 15 dan 20 menit. Semakin lama pengadukan,konsentrasi asam salisilat semakin besar. Pada kecepatan 200 rpm,konsentrasi asam salisilat juga semakin besar dengan semakin lamanya proses pengadukan.

    Begitu juga dengan kecepatan 300 rpm, ini di karenakan kecepatan pengadukan mampu mengurangi tebalnya lapisan difusi dengan cepat. Lapisan difusi merupakan lapisan molekul air yang tidak dapat bergerak oleh danya kekuatan adhesi dengan lapisan padatan sehingga semakin tebal lapisan difusi, suatu zat  akan lebih sukar larut. Kosentrasi asam salisilat pada 100 rpm mengalami peningkatan yang konstan karena waktu menjenuhkan larutan lebih lambat namun pada 300 rpm konsentrasinya pada menit 10 ke 15 mulai mengalami peningkatan yang sedikit, ini di sebabkan laju disolusi yang besar sehingga untuk mencapai titik jenuhnya lebih cepat (Anonim, 2005).

    Pada tabel 3.2 dapat dilihat konsentrasi asam salisilat lebih besar pada suhu 50⁰C . pada suhu kamar (26⁰C),konsentrasi asam salisilat mengalami peningkatan yang konstan, sedikit demi sedikit dari menit pertama,kelima dan seterusnya. Pada suhu 40⁰C konsentrasi asam salisilat lebih cepat mengalami peningkatan di bandingkan dengan suhu 26⁰C. Sedangkan pada suhu 50⁰C, konsentrasi asam salisilat meningkat dengan cepat dan saat menuju menit ke 20 konsentrasi asam salisilat mengalami sedikit peningkatan karena hampir pada titik jenuhnya yang kemudian konsentrasi asam salisilat akan konstan. Suhu yang lebih tinggi di bandingkan dengan suhu 26⁰C dan 40⁰C. Ini di sebabkan karena suhu akan memperbesar kelarutan zat yanag bersifat endotermik dan memperbesar koefisien suatu zat. Dan juga dengan meningkatnya suhu,dapat menurunkan vishasitas suatu larutan dan menambah kecepatan disolusi suatu zat (Anonim, 2005).

    Bab V. Penutup

    A. Kesimpulan

    1. Semakin tinggi suhu, maka kadar asam salisilat di dalam larutan bertambah.
    2. Semakin cepat pengadukan, maka kecepatan disolusinya juga bertambah.

    B. Saran

    1. Persiapan alat sebelum praktikum merupakan hal utama dalam praktikum kimia fisika ini, mengingat jumlah alat yang tersedia di laboratorium kurang sehingga harus digunakan secara bergantian. Proses titrasi yang kami lakukan terpaksa menggunakan pipet tetes, karena buret yang ada di lab hanya ada satu dan telah digunakan kelompok lain.
    2. Proses titrasi yang dilakukan kurang efektif, karena harus memperkirakan jumlah volume yang digunakan.
  • Laporan Praktikum Kimia Organik – Pembuatan Asetanilida

    Pembuatan Asetanilida

    Bab I. Pendahuluan

    I. Latar Belakang

    Asetanilida merupakan senyawa turunan asetil amina aromatis yang digolongkan sebagai amida primer, dimana satu atom hidrogen pada anilin digantikan dengan satu gugus asetil. Perkembangan industri di indonesia khususnya industri kimia berkembang pesat. Hal ini menyebabkan kebutuhan asetanilida yang merupakan bahan baku serta bahan penunjang industri kimia juga semakin meningkat. Kebutuhan asetanilida di Indonesia yang masih mengandalkan impor dari luar. Ini disebabkan karena minimnya teknologi yang dibutuhkan untuk industri pembuatan asetanilida.

    Nilai impor asetanilida tiap tahun terus meningkat. Sehingga dalam menyongsong era industrialisasi yang merupakan program pemerintah yang sangat penting dalam rangka proses alih teknologi dan membuka lapangan pekerjaan yang baru serta untuk penghematan devisa negara dan untuk merangsang pertumbuhan industri kimia yang lain, maka perlu dibangun pabrik asetanilida untuk mencukupi kebutuhan asetanilida dalam negeri (Hartanti, 2011).

    Pendirian pabrik asetanilida di indonesia dapat dilakukan karena didukung oleh beberapa alasan yaitu: pabrik – pabrik industri kimia seperti pabrik cat, pabrik karet dan pabrik farmasi semakin berkembang yang memungkinkan kebutuhan akan asetanilida semakin meningkat. Dapat memberikan lapangan pekerjaan sehingga dapat banyak menyerap banyak tenaga kerja.

    B. Tujuan Percobaan

    1. Mempelajari dan memahami pembuatan asetanilida skala labor
    2. Mempelajari reaksi asilasi
    3. Menghitung berat asetanilida yang dihasilkan, persentase rendemen kadar air.

    Bab II. Landasan Teori

    A. Asam Karboksilat

    Suatu asam karboksilat adalah suatu senyawa organik yang mengandung gugus karboksil, –COOH. Gugus karboksil mengandung gugus karbonil dan sebuah gugus hidroksil; antar aksi dari kedua gugus ini mengakibatkan suatu kereaktifan kimia yang unik dan untuk asam karboksilat (Fessenden, 1997).

    Asam format terdapat pada semut merah (asal dari nama), lebah, jelatang dan sebagainya (juga sedikit dalam urine dan peluh). Sifat fisika: cairan, tak berwarna, merusak kulit, berbau tajam, larut dalam H2O dengan sempurna. Sifat kimia: asam paling kuat dari asam-asam karboksilat, mempunyai gugus asam dan aldehida (Riawan, 1990).

    Asam asetat (CH3COOH) sejauh ini merupakan asam karboksilat yang paling penting diperdagangan, industri dan laboratorium. Bentuk murninya disebut asam asetat glasial karena senyawa ini menjadi padat seperti es bila didinginkan. Asam asetat glasial tidak berwarna, cairan mudah terbakar (titik leleh 7ºC, titik didih 80ºC), dengan bau pedas menggigit. Dapat bercampur dengan air dan banyak pelarut organik (Fessenden, 1997).

    Adapun sifat-sifat yang dimiliki oleh asam karboksilat menurut Fessenden (1997) adalah:

    1. Reaksi Pembentukan Garam

    Garam organik yang membentuk dan memiliki sifat fisik dari garam anorganik padatannya, NaCl dan KNO3 adalah garam organik yang meleleh pada temperatur tinggi, larut dalam air dan tidak berbau. Reaksi yang terjadi adalah:

    HCOOH + Na+ → HCOONa + H2O …(1)

    2. Reaksi Esterifikasi

    Ester asam karboksilat ialah senyawa yang mengandung gugus –COOR dengan R dapat berbentuk alkil. Ester dapat dibentuk berkat reaksi langsung antara asam karboksilat dengan alkohol. Secara umum reaksinya adalah:

    RCOOH + R’OH → RCOOR + H2O …(2)

    3. Reaksi Oksidasi

    Reaksi terjadi pada pembakaran atau oleh reagen yang sangat kokoh dan kuat seperti asam sulfat, CrO3, panas. Gugus asam karboksilat teroksidasi sangat lambat.

    4. Pembentukan Asam Karboksilat

    Beberapa cara pembentukan asam karboksilat dengan jalan sintesa dapat dikelompokkan dalam 3 cara yaitu: reaksi hidrolisis turunan asam karboksilat, reaksi oksidasi, reaksi Grignat.

    Asam karboksilat, dengan basa akan membentuk garam dan dengan alkohol menghasilkan eter. Banyak dijumpai dalam lemak dan minyak, sehingga sering juga disebut asam lemak. Pembuatannya antara lain melalui oksidasi alkohol primer, sekunder atau aldehida, oksidasi alkena, oksidasi alkuna hidrolisa alkil sianida (suatu nitril) dengan HCl encer, hidrolisa ester dengan asam, hidroilisa asil halida, dan reagen organolitium (Wilbraham, 1992).

    Asam karboksilat mempunyai gugus fungsi –COOH yang merupakan produk oksidasi aldehida, sama seperti aldehida yang merupakan produk oksidasi alkohol primer. Perubahan anggur menjadi cuka ialah oksidasi dua langkah yang dimulai dari etanol berubah menjadi asetaldehida kemudian menjadi asam asetat. Dalam industri, asam asetat dapat diproduksi melalui oksidasi udara dari asetaldehida dengan katalis mangan asetat pada suhu 55°C – 80°C.

    Gambar 2.1 Pembentukan Asam Karboksilat (Oxtoby, 2003)

    Reaksi yang sekarang disukai untuk produksi asam asetat, karena alasan ekonomi ialah kombinasi dari metanol dengan karbon monoksida keduanya diturunkan dari gas alam dengan katalis yang mengandung rodium dan iodin (Oxtoby, 2003).

    2.2       Asam Asetat Glasial

    2.2.1   Pengertian Asam Asetat Glasial

    Asam asetat, asam etanoat atau asam cuka adalah senyawa kimia asam organik yang dikenal sebagai pemberi rasa asam dan aroma dalam makanan. Asam cuka memiliki rumus empiris C2H4O2. Asam asetat murni (disebut asam asetat glasial) adalah cairan higroskopis tak berwarna dan memiliki titik beku 16,7°C (Abduh, 2010).

    Gambar 2.2 Rumus molekul asam asetat glasial (Daintith ,2005)

    Asam asetat termasuk ke dalam golongan asam karboksilat dengan rumus molekul CH3COOH, berwujud cairan kental jernih atau padatan mengkilap, dengan bau tajam khas cuka, titik leburnya 16,7oC, dan titik didihnya 118,5oC. Senyawa murninya dinamakan asam etanoat glasial. Dibuat dengan mengoksidasi etanol atau dengan mengoksidasi butana dengan bantuan mangan (II) atau kobalt (II) etanoat larut pada suhu 200oC. Asam asetat digunakan dalam pembuatan anhidrida etanoat untuk menghasilkan selulosa etanoat (untuk polivinil asetat). Senyawa ini juga dapat dibuat dari fermentasi alkohol, dijumpai dalam cuka makan yang dibuat dari hasil fermentasi bir, anggur atau air kelapa. Beberapa jenis cuka makan dibuat dengan menambahkan zat warna (Daintith, 2005).

    2.2.2    Sifat Fisika dan Kimia Asetat Glasial

    1.    Sifat Fisika Asam Asetat Glasial

    Tabel 2.1 Sifat fisika asam asetat glasial

    Rumus MolekulCH3COOH
    Massa Molar60,05 gram/mol
    Densitas1,05 gram/cm3
    Titik Lebur16,5oC
    Titik Didih118,1oC

    Sumber: Amri (2009).

    2. Sifat Kimia Asam Asetat Glasial

    Menurut Austin (2008), adapun sifat kimia asam asetat glasial:

    1. Atom hidrogen (H) pada guguskarboksil (−COOH) dalam asam karboksilat seperti asam asetat dapat dilepaskan sebagai ion H+ (proton), sehingga memberikan sifat asam. Asam asetat adalah asam lemah monoprotik dengan nilai pKa=4.8. Basa konjugasinya adalah asetat ((CH3COO). Sebuah larutan 1,0 M asam asetat (kira-kira sama dengan konsentrasi pada cuka rumah) memiliki pH sekitar 2,4
    2. Asam asetat cair adalah pelarut protik hidrofilik (polar), mirip seperti air dan etanol. Asam asetat memiliki konstanta dielektrik yang sedang yaitu 6,2, sehingga ia bisa melarutkan baik senyawa polar seperi garamanorganik dan gula maupun senyawa non-polar seperti minyak dan unsur-unsur seperti sulfur dan iodin.     
    3. Bersifat korosif terhadap banyak logam seperti besi, magnesium, dan seng membentuk gas hidrogen dan garam-garam asetat.
    4. Baunya khas

    2.2.3   Proses Pembuatan Asam Asetat Glasial

    1.    Karbonilasi metanol

    Kebanyakan asam asetat murni dihasilkan melalui karbonilasi. Dalam reaksi ini, metanol dan karbon monoksida bereaksi menghasilkan asam asetat.

    CH3OH + CO → CH3COOH … (3)

    Proses ini melibatkan iodometana sebagai zat antara, dimana reaksi itu sendiri terjadi dalam tiga tahap dengan katalis logam kompleks pada tahap kedua.

    1. CH3OH + HI → CH3I + H2O… (4)
    2. CH3I + CO → CH3COI … (5)
    3. CH3COI + H2O → CH3COOH + HI… (6)

    Jika kondisi reaksi diatas diatur sedemikian rupa, proses tersebut juga dapat menghasilkan anhidrida asetat sebagai hasil tambahan (Austin, 2008).

    2. Oksidasi asetaldehida

    Sekarang oksidasi asetaldehida merupakan metoda produksi asam asetat kedua terpenting, sekalipun tidak kompetitif bila dibandingkan dengan metode karbonilasi metanol.Asetaldehida yang digunakan dihasilkan melalui oksidasi butana atau nafta ringan, atau hidrasi dari etilena. Saat butena atau nafta ringan dipanaskan bersama udara disertai dengan beberapa ion logam, termasuk ion mangan, kobalt dan kromium, terbentuk peroksida yang selanjutnya terurai menjadi asam asetat sesuai dengan persamaan reaksi dibawah ini.

    2 C4H10 + 5 O2 → 4 CH3COOH + 2 H2O … (8)

    Umumnya reaksi ini dijalankan pada temperatur dan tekanan sedemikian rupa sehingga tercapai suhu setinggi mungkin namun butana masih berwujud cair. Kondisi reaksi pada umumnya sekitar 150°C and 55 atm. Produk sampingan seperti butanon, etil asetat, asam format dan asam propionat juga mungkin terbentuk. Produk sampingan ini bernilai komersial dan jika diinginkan kondisi reaksi dapat diubah untuk menghasilkan lebih banyak produk samping, namun pemisahannya dari asam asetat menjadi kendala karena membutuhkan biaya lebih banyak lagi. Melalui kondisi dan katalis yang sama asetaldehida dapat dioksidasi oleh oksigenudara menghasilkan asam asetat.

    2 CH3CHO + O2 → 2 CH3COOH………………………………………………….. (7)

    Dengan menggunakan katalis modern, reaksi ini dapat memiliki rasio hasil (yield) lebih besar dari 95%. Produk samping utamanya adalah etil asetat, asam format dan formaldehida, semuanya memiliki titik didih yang lebih rendah daripada asam asetat sehingga dapat dipisahkan dengan mudah melalui distilasi (Austin, 2008).

    2.2.4 Kegunaan Asam Asetat Glasial

    Menurut Austin (2008), adapun kegunaan dari asam asetat glasial sebagai berikut:

    1. Dalam industri makanan asam asetat digunakan sebagai pengatur keasaman, pemberi rasa asam dan aroma dalam makanan, serta untuk menambah rasa sedap pada masakan.
    2. Asam asetat digunakan sebagai pereaksi kimia untuk menghasilkan berbagai senyawa kimia. Sebagian besar (40-45%) dari asam asetat dunia digunakan sebagai bahan untuk memproduksi monomer vinil asetat (vinyl acetate monomer, VAM).
    3. Selain itu asam asetat juga digunakan dalam produksi anhidrida asetat dan juga ester. Penggunaan asam asetat lainnya, termasuk penggunaan dalam cuka relatif kecil. Sekitar larutan 12,5% untuk makanan.
    4. Reagen untuk analisa.

    5. Untuk membuat putih timbal, dll.

    2.3 Amina

    Gambar 2.3 Struktur Kimia Amina  (Oxtoby, 2003)

    Amina adalah turunan dari amonia dengan rumus umum R3N, R dapat berupa gugus hidrokarbon atau hidrogen. Jika hanya  satu atom hidrogen dari amonia digantikan oleh satu gugus hidrokarbon, hasilnya ialah amina primer. Contohnya ialah etilamina dan anilin. Jika dua gugus hidrokarbon menggantikan atom-atom hidrogen dalam molekul amonia, senyawa ini ialah amina sekunder seperti dimetilamina dan tiga penggantian menghasilkan amina tersier (trimetilamina) amina bersifat basa sebab ada pasangan elektron menyendiri pada atom nitrogen yang dapat menerima satu ion hidrogen, sama seperti pasangan menyendiri pada nitrogen dalam amonia.

    Amina primer atau sekunder dapat bereaksi dengan asam karboksilat membentuk amida. Reaksi kondensasi yang lain dan analog dengan pembentukan ester dari reaksi alkohol dengan asam karboksilat. Contoh pembentukan asetamida ialah :

    Gambar 2.4 Pembentukan Asetanilida (Oxtoby, 2003)

    Jika amonia adalah reaktan, suka gugus –NH2 menggantikan gugus –OH dalam asam karboksilat dan amida terbentuk:

    Gambar 2.5 Pembentukan Amida (Oxtoby, 2003)

    Ikatan amida ada dalam tulang punggung setiap molekul protein dan oleh karena itu, sangat penting dalam biokimia (Oxtoby, 2003).

    Semakin banyak amina yang tersubsitusi oleh gugus alkil pelepas elektron, makin basa amina tersebut. Gugus pelepas elektron dapat menstabilkan muatan positif ion amonium yang digantikan . jadi trimetil amina merupakan basa yang lebih kuat daripada amonia. Trimetil amina yaitu terdapat tiga gugus amina dalam suatu senyawa. Secara umum amina aromatik merupakan basa ynag lebih lemah daripada amonia akibat stabilitas resonansi yang dimiliki senyawa aromatik (Bresnick, 2003).

    2.4. Anilin

    2.4.1. Pengertian anilin

    Gambar 2.6 Struktur Kimia Anilin (Ahmad, 2011)

    Anilin pertama kali diisolasi dari distilasi destruktif indigo pada tahun 1826 oleh Otto Unverdorben, yang menamainya kristal. Pada tahun 1834, Friedrich Runge terisolasi dari tar batubara zat yang menghasilkan warna biru yang indah pada pengobatan dengan klorida kapur, yang bernama kyanol atau cyanol Pada tahun 1841, CJ Fritzsche menunjukkan bahwa, dengan memperlakukan indigo dengan potas api, itu menghasilkan minyak, yang ia beri nama anilina, dari nama spesifik dari salah satu-menghasilkan tanaman nila, dari Portugis anil “yang semak indigo” dari bahasa Arab an- nihil “nila” asimilasi dari al-nihil, dari nila Persia, dari nili “indigo” dengan Indigofera anil, anil yang berasal dari Sansekerta nila, biru tua, nila, dan pabrik nila (Ahmad, 2011).

    Anilin merupakan senyawa turunan benzene yang dihasilkan dari reduksi nitrobenzene.Anilin memiliki rumus molekul C6H5NH2. Anilin merupakan cairan minyak tak berwarna yang mudah menjadi coklat karena oksidasi atau terkena cahaya, bau dan cita rasa khas, basa organik penting karena merupakan dasar bagi banyak zat warna dan obat toksik bila terkena, terhirup, atau terserap kulit. Senyawa ini merupakan dasar untuk pembuatan zat warna diazo.Anilin dapat diubah menjadi garam diazoinum dengan bantuan asam nitrit dan asam klorida (Groggins, 1958).

    2.4.2   Sifat Fisika dan Kimia Anilin

    1. Sifat Fisika Anilin

    Tabel 2.2 Sifat fisika anilin

    WujudCair
    BauKhas
    WarnaCoklat bening
    Densitas1,022 gram/ml pada 20oC
    Titik didih184oC (1 atm) ; 221,793oC (2,5 atm)

    Sumber: Priyatmono (2008)

    2.             Sifat Kimia Anilin

    Menurut Ahmad (2011), sifat kimia dari anilin yaitu:

    1. Halogenasi senyawa anilin dengan brom dalam larutan sangat encer menghasilkan endapan 2, 4, 6 tribromo anilin. Pemanasan anilin hipoklorid dengan senyawa anilin sedikit berlebih pada tekanan sampai 6 atm menghasilkan senyawa diphenilamine.
    2. Hidrogenasi katalitik pada fase cair pada suhu 135°C – 170oC dan tekana 50 – 500 atm menghasilkan 80% cyclohexamine ( C6H11NH2 ). Sedangkan hidrogenasi anilin pada fase uap dengan menggunakan katalis nikel menghasilkan 95% cyclohexamine.
    3. Nitrasi anilin dengan asam nitrat pada suhu -20oC menghasilkan mononitroanilin, dan nitrasi anilin dengan nitrogen oksida cair pada suhu 0oC menghasilkan 2, 4 dinitrophenol. Aniline merupakan senyawa yang bersifat basa, dengan titik didih 180oC dan indeks bias 158 . jika kontak dengan cahaya matahari aniline akan mengalami reaksi oksidasi dilaboratorium aniline digunakan untuk dan dalam kehidupan sehari hari digunakan untuk zat warna.
    4. Aniline dibuat melalui reaksi reduksi dengan bahan baku nitrobenzene. Anilin merupakan cairan minyak tak berwarna yang mudah menjadi coklat karena oksidasi atau terkena cahaya, bau dan cita rasa khas, basa organic penting karena merupakan dasr bagi banyak zat warna dan obat toksik bila terkena, terhirup, atau terserap kulit.
    5. Anilin dapat disintetis melalui dua cara yaitu reduksi senyawa nitrobenzena dengan logam Fe granul bersama dengan HCl pekat dan isolasi anilin dari hasil reaksi. Dalam hal ini langkah awal yang dilakukan adalah reaksi reduksi nitrobenzena dimana dalam reduksi ini digunakan 20 ml nitrobenzena yang dmasukkan dalam labu alas bulat (berleher panjang), kemudian ditambahkan dengan 25 gram serbuk Fe, sehingga larutan berwana hitam pekat. Labu dihubungkan dengan kondensor liebig, dan ditambahkan 100 ml HCl pekat dengan hati – hati dan sedikit-sedikit lewat kondensor. Setelah itu dapat diamati dalam larutan terdapat endapan berwarna hitam (pada bagian bawah). Pada saat penambahan HCl labu dimasukkan dalam wadah yang berisi air es. Sebab saat penambahan akan timbul panas Penambahan HCl berfungsi untuk membantu proses mereduksi nitrobenzena. Proses ini dilakukan dalam lemari asam, setelah semua HCl ditambahkan, labu diletakkan di atas kasa dan direfluks selama 20 menit (dengan menggunakan kondensor air), pada saat direfluks dapat diamati adanya uap yang keluar dari labu. Tujuan merefluks yaitu untuk mencampurkan larutan. Hasil dari refluks berupa padatan yang berwarna cokelat (Ahmad, 2011).

    2.4.3   Proses Pembuatan Anilin

    1. Aminasi Chlorobenzene

    Pada proses aminasi chlorobenzene menggunakan zat pereaksi amoniak cair, dalam fasa cair dengan katalis tembaga oxide dipanaskan akan menghasilkan  85 – 90% anilin. Sedangkan katalis yang aktif untuk reaksi ini adalah tembaga khlorid yang terbentuk dari hasil reaksi samping ammonium khlorid dengan tembaga oxide. Mula – mula amoniak cair dimasukkan ke dalam mixer dan pada saat bersamaan chlorobenzen dimasukkan pula, tekanan di dalam mixer adalah 200 atm. Dari mixer campuran chlorobenzen dengan amoniak dilewatkan ke pre-heater kemudian masuk ke reaktor dengan suhu reaksi 235°C dan tekanan 200 atm. Pada reaksi ini ammonia cair yang digunakan adalah berlebihan. Dengan menggunakan katalis tertentu, reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut :

    C6H5Cl + 2 NH3 → C6H5NH2+  NH4Cl …(8)

    Pada proses aminasi chlorobenzen, hasil yang diperoleh berupa nitro anilin dengan yield yang dihasilkan adalah 96%.

    2.             Reduksi Nitrobenzen

    a.              Reduksi fasa cair

    Untuk fasa cair,  nitrobenzen direduksi dengan hidrogen dalam suasana asam (HCl) serta adanya ironboring, dengan suhu sekitar 135°C – 170°C dan tekanan antara 50 – 500 atm, dimana asam ini akan mengikat oksigen sehingga akan terbentuk air.

    Dengan bantuan katalis Fe2O3 reaksinya sebagai berikut :

    4C6H5NO2  +  11 H2     ===>       4 C6H5NH2 +  8 H2O……………………….. (9)

    Proses reduksi dalam fasa cair sudah tidak digunakan lagi karena tekanan yang digunakan tinggi sehingga kurang efisien dari segi ekonomis dan teknis. Yield yang dihasilkan adalah 95% (Mawarni, 2013).

    b.       Reduksi fasa gas

    Proses pembuatan anilin dari reduksi nitrobenzen dalam fasa gas, sebagai pereduksi adalah gas hidrogen dan untuk mempercepat reaksi dibantu dengan katalisator nikel oksida, reaksinya sebagai berikut :

    4C6H5NO2  +  3 H2         ===>          C6H5NH2 + 2H2O……………………… (10)

    Pada proses reduksi fasa gas dengan suhu didalam reaktor sekitar 275°C – 350°C dan tekanan 1,4 atm, reaksi yang terjadi adalah reaksi eksotermis karena mengeluarkan panas. Yield yang dihasilkan pada proses ini adalah 98% dan kemurnian dari hasil (anilin) yang tinggi ini (99%) mengakibatkan anilin dari segi komersial dapat digunakan (Mawarni, 2013).

    2.4.4   Kegunaan Anilin

    Menurut Mawarni (2013), adapun kegunaan dari anilin:

    a. Bahan bakar roket.

    b. Pembuatan zat warna diazo.

    c. Obat-obatan

    d. Bahan peledak.

    2.5         Etanol

    2.5.1   Pengertian Etanol

    Etanol adalah alkohol 2-karbon dengan rumus molekul CH3CH2OH.Rumus molekul dari etanol itu sendiri adalah C2H5OH dengan rumus empirisnya C2H6O. Sebuah notasi alternatif adalah CH3-CH2-OH, yang mengindikasikan bahwa karbon dari gugus metil (CH3-) melekat pada karbon dari gugus metilen (-CH2 -), yang melekat pada oksigen dari gugus hidroksil (OH-). Etanol sering disingkat sebagai EtOH, menggunakan notasi kimia organik umum mewakili gugus etil (C2H5) (Sri, 2013).

    Etanol termasuk dalam alkohol primer, yang berarti bahwa karbon yang berikatan dengan gugus hidroksil paling tidak memiliki dua hidrogen atom yang terikat dengannya juga.Reaksi kimia yang dijalankan oleh etanol kebanyakan berkutat pada gugus hidroksilnya.

    Rumus kimia  adalah rumus yang melambangkan jumlah atom unsur yang menyusun senyawa beserta nama atomnya. Rumus kimia juga dikenal dengan nama rumus molekul, karena penggambaran yang nyata dari jenis dan jumlah atom unsur penyusun senyawa yang bersangkutan (Sri, 2013).

     Gambar 2.7 Rumus molekul etanol (Sri, 2013)

    2.5.2   Sifat Fisika dan Kimia Etanol

    1.             Sifat Fisika Etanol

    Tabel 2.3 Sifat fisika etanol

    Massa Molekul Relatif46,07 gram/mol
    Titik Didih Normal78,32oC
    Titik Beku−144,1oC

    Sumber: Sri (2013)

    2.             Sifat Kimia Etanol

    Menurut Sri (2013), adapun sifat kimia etanol:

    1.         sebagai pelarut berbagai bahan-bahan kimia yang ditujukan untuk konsumsi dan kegunaan manusia.

    2.         Dalam sejarahnya etanol telah lama digunakan sebagai bahan bakar.

    3.         Etanol juga dapat membentuk senyawa ester dengan asam anorganik.

    4.         Etanol dapat dioksidasi menjadi asetaldehida, yang kemudian dapat dioksidasi lebih lanjut menjadi asam asetat. Dalam tubuh manusia, reaksi oksidasi ini dikatalisis oleh enzim tubuh. Pada laboratorium, larutan akuatik oksidator seperti asam kromat ataupun kalium permanganat digunakan untuk mengoksidasi etanol menjadi asam asetat.

    5.         Pembakaran etanol akan menghasilkan karbon dioksida dan air.

    2.5.3   Proses Pembuatan Etanol

    Etanol dapat diproduksi secara petrokimia melalui hidrasi etilena ataupun secara biologis melalaui fermentasi gula dengan ragi.

    1.    Hidrasi etilena

    Etanol yang digunakan untuk kebutuhan industri sering kali dibuat dari senyawa petrokimia, utamanya adalah melalui hidrasi etilena:

    C2H4(g) + H2O(g) → CH3CH2OH(l) ………………………………………………… (11)

    Katalisa yang digunakan umumnya adalah asam fosfat.Katalis ini digunakan pertama kali untuk produksi skala besar etanol oleh ShellOilCompany pada tahun 1947.Reaksi ini dijalankan dengan tekanan uap berlebih pada suhu 300°C. Proses lama yang pernah digunakan pada tahun 1930 oleh Union Carbide adalah dengan menghidrasi etilena secara tidak langsung dengan mereaksikannya dengan asam sulfat pekat untuk mendapatkan etil sulfat. Etil sulfat kemudian dihidrolisis dan menghasilkan etanol (Myers, 2007).

    C2H4 + H2SO4 → CH3CH2SO4H………………………………………………….. (12)

    CH3CH2SO4H + H2O → CH3CH2OH + H2SO4……………………………….. (13)

    2.    Fermentasi

    Etanol untuk kegunaan konsumsi manusia (seperti minuman beralkohol) dan kegunaan bahan bakar diproduksi dengan cara fermentasi. Spesies ragi tertentu (misalnya Saccharomycescerevisiae) mencerna gula dan menghasilkan etanol dan karbon dioksida:

    C6H12O6 → 2 CH3CH2OH + 2 CO2………………………………………………. (14)

    Proses membiakkan ragi untuk mendapatkan alkohol disebut sebagai fermentasi. Konsentrasi etanol yang tinggi akan beracun bagi ragi. Pada jenis ragi yang paling toleran terhadap etanol, ragi tersebut hanya dapat bertahan pada lingkungan 15% etanol berdasarkan volume (Myers, 2007).

    Untuk menghasilkan etanol dari bahan-bahan pati, misalnya serealiapati tersebut haruslah diubah terlebih dahulu menjadi gula. Dalam pembuatan bir, ini dapat dilakukan dengan merendam biji gandum dalam air dan membiarkannya berkecambah. Biji gandum yang beru berkecambah tersebut akan menghasilkan enzim amilase. Biji kecambah gandum ditumbuk, dan amilase yang ada akan mengubah pati menjadi gula.

    Untuk etanol bahan bakar, hidrolisis pati menjadi glukosa dapat dilakukan dengan lebih cepat menggunakan asam sulfat encer, menambahkan fungi penghasil amilase, atapun kombinasi dua cara tersebut (Myers, 2007).        

    2.5.4   Kegunaan Etanol

    Etanol digunakan untuk bahan baku industri atau pelarut (kadang-kadang disebut sebagai etanol sintetis) yang terbuat dari petrokimia saham pakan, terutama oleh asam – katalis hidrasi etilena, diwakili oleh persamaan kimia:

    C2H4 + H2O → CH3CH2OH………………………………………………………… (15)

       Etanol terbentuk dari 3 senyawa yaitu karbon, hidrogen dan oksigen, etanol juga merupakan cairan yang mudah menguap dengan aroma yang khas dan tak berwarna. Dapat juga terbakar tanpa adanya asap dengan timbulnya lidah api berwarna biru yang kadang-kadang tidak dapat terlihat pada cahaya biasa. Etanol diartikan sebagai cairan yang sangat mudah terbakar, mudah menguap, alkohol yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari, etanol juga tidak berwarna. Sifat gugus hidroksil yang polar menyebabkan dapat larut dalam banyak senyawa ion, utamanya natrium hidroksida, kalium hidroksida, magnesium klorida, kalsium klorida, amonium klorida, amonium bromida, dan natrium bromida.Natrium klorida dan kalium klorida sedikit larut dalam etanol. Oleh karena itu, etanol juga memiliki rantai karbon nonpolar, ia juga larut dalam senyawa nonpolar, meliput kebanyakan minyak atsiri dan banyak perasa, pewarna, dan obat. Ikatan hidrogen menyebabkan etanol murni sangat higroskopis, sehinggaakan menyerap air dari udara (Fessenden, 1997).

    Selain etanol orang mengenalnya dengan alkohol atau minuman yang beralkohol, ini disebabkan karena adanya etanol sebagai bahan utama atau zat utama dari etanol tersebut bukan metanol ataupun yang lainnya.Dalam segala apapun yang terikat pada atom karbon, dan yang memiliki gugus hidroksil (-OH) di dalam kimia alkohol juga dikenal dengan senyawa organik.

    Etanol sering digunakan dalam ilmu farmasi dan ilmu kimia, sehingga jika dihubungkan dengan ilmu farmasi akan memiliki arti tersendiri yang lebih luas. Dalam kimia, etanol adalah pelarut penting dan digunakan untuk stok senyawa sintetis lainnya dan etanol juga dapat digunakan sebagai bahan bakar. Etanol digunakan sebagai pelarut karena untuk konsumsi dan penggunaan pada manusia.Contohnya, penggunaan pada pemakaian pewarna makanan, perasa, obat-obatan serta dapat digunakan juga sebagai parfum (Fessenden, 1997).

    Etanol adalah salah satu pelarut yang sangat serbaguna, dia dapat larut dalam air dan pelarut organik lainnya, meliputi asam asetat, aseton, benzena, karbon tetraklorida, kloroform, dietil eter, etilena glikol, gliserol,nitrometana, piridina, dan toluena. Selain dapat larut dalam pelarut organik dan dalam air aetanol juga larut dalam hidrokarbon alifatik yang ringan, seperti pentana dan heksana, dan juga larut dalam senyawa kloridapada suhu 20°C nilai kalor 7077 kal/g, panas laten penguapan 204 kal/g dan mempunyai angka oktan 91-105 (Fessenden, 1997).

    2.6         Reaksi Asilasi

    2.6.1   Pengertian Asilasi

    Sebuah asil merupakan alkil yang terikat pada ikatan rangkap oksigen dan karbon. Jika R mewakili alkil, maka asil mempunyai formula.

    Gambar 2.8 Gugus asil (Pudjaatmaka, 1992)

    Asil yang umum dipakai adalah CH3CO-. Ini disebut sebagai etanoil. Dalam kimia, asilasi (secara formal, namun jarang digunakanalkanoilasi) adalah proses adisi gugus asil ke sebuah senyawa. Senyawa yang menyediakan gugus asil disebut sebagai agen pengasil.Asil halida sering digunakan sebagai agen pengasil karena dapat membentuk elektrofil yang kuat ketika diberikan beberapa logam katalis. Sebagai contoh pada asilasi Friedel-Crafts menggunakan asetil kloridaCH3COCl, sebagai agen dan aluminium klorida (AlCl3) sebagai katalis untuk adisi gugus asetil ke benzena.

    Gambar 2.Contoh reaksi asilasi (Pudjaatmaka, 1992)

    Asil halida dan anhidrida asam karboksilat juga sering digunakan sebagai agen penghasil untuk mengasilasi amina menjadi amida atau mengasilasi alkohol menjadi ester. Dalam hal ini, amina dan alkohol adalah nukleofil, mekanismenya adalah adisi-eliminasi nukleofilikAsam suksinat juga umumnya digunakan pada beberapa tipe asilasi yang secara khusus disebut suksinasi. Oversuksinasi terjadi ketika lebih dari satu suksinat diadisi ke sebuah senyawa tunggal.Contoh industri asilasi adalah sintesis aspirin, di mana asam salisilat diasilasi oleh asetat anhidrida.

    2.6.2   Mekanisme Anilin dan Asam Asetat Glasial

    Gambar 2.10 Reaksi anilin dan asam asetat glasial

    Sintesis asetanilida sebagai suatu amida adalah merupakan suatu reaksi substitusi nukleofilik (SN) asil (additionelimination) diantara anilin.Anilin bersifat sebagai nukleofil, dan gugus asil dari asam asetat bersifat elektrofil.Mula-mula anilin bereaksi dengan asam asetat membentuk suatu amida dalam keadaan transisi, kemudian diikuti dengan reduksi H2O membentuk asetanilida.Substitusi aromatik elektrofilik adalah reaksi organik dimana sebuak atom, biasanya hidrogen, yang terikat pada sistem aromatis diganti dengan elektrofil.Reaksi terpenting di kelas ini adalah nitrasi aromatik, halogenasi aromatik, sulfonasi aromatik dan asilasi dan alkilasi reaksi Friedel-Craft (Fessenden, 1999).

    2.7         Asetanilida

    Asetanilida merupakan senyawa turunan asetil amina aromatis yang digolongkan sebagai amida primer, dimana satu atom hidrogen pada anilin digantikan dengan satu gugus asetil. Asetinilida berbentuk butiran berwarna putih tidak larut dalam minyak parafin dan larut dalam air dengan bantuan kloral anhidrat. Asetanilida atau sering disebut phenilasetamida mempunyai rumus molekul C6H5NHCOCH3 dan berat molekul 135,16.

    Asetanilida pertama kali ditemukan oleh Friedel Kraft pada tahun 1872 dengan cara mereaksikan asethopenon dengan NH2OH sehingga terbentuk asetophenon oxime yang kemudian dengan bantuan katalis dapat diubah menjadi asetanilida. Pada tahun 1899 Beckmand menemukan asetanilida dari reaksi antara benzilsianida dan H2O dengan katalis HCl. Pada tahun 1905 Weaker menemukan asetanilida dari anilin dan asam asetat (Arsyad, 2001).

    2.7.1   Macam – Macam Proses

    Menurut Arsyad (2001), ada beberapa proses pembuatan asetanilida, yaitu:

    a.             Pembuatan asetanilida dari asam asetat anhidrid dan anilin

    Larutan benzene dalam satu bagian anilin dan 1,4 bagian asam asetat anhidrad direfluk dalam sebuah kolom yang dilengkapi dengan jaket sampai tidak ada anilin yang tersisa.

    2 C6H5NH2 + ( CH2CO )2O 2C6H5NHCOCH3 + H2O…………………………….. (16)

    Campuran reaksi disaring, kemudian kristal dipisahkan dari air panasnya dngan pendinginan, sdan filtratnya direcycle kembali. Pemakaian asam asetatanhidrad dapat diganti dengan asetil klorida.

    b.            Pembuatan asetanilida dari asam asetat dan anilin

    Metode ini merupakan metode awal yang masih digunakan karena lebih ekonomis. Anilin dan asam asetat berlebih 100% direaksikan dalam sebuah tangki yang dilengkapi dengan pengaduk.

    C6H5NH2 + CH3COOH C6H5NHCOCH3 + H2O……………………………………. (17)

    Reaksi berlangsung selama 6 jam pada suhu 150oC – 160oC. Produk dalam keadaan panas dikristalisasi dengan menggunakan kristalizer.

    c.             Pembuatan asetanilida dari ketene dan anilin

    Ketene ( gas ) dicampur kedalam anilin di bawah kondisi yang diperkenankan akan menghasilkan asetanilida.

    C6H5NH2 + H2C=C=O C6H5NHCOCH3……………………………………………….. (18)

    d.            Pembuatan asetanilida dari asam thioasetat dan anilin

    Asam thioasetat direaksikan dengan anilin dalam keadaan dingin akan menghasilkan asetanilida dengan membebaskan H2S.

    C6H5NH2 + CH3COSH C6H5NHCOCH3 + H2S……………………………………… (19)

    Menurut Arsyad (2001), dalam pembuatan asetanilida digunakan proses antara asam asetat dengan anilin. Pertimbangan dari pemilihan proses ini adalah:

    1.   Reaksinya sederhana

    2.   Tidak menggunakan katalis sehingga tidak memerlukan alat untuk regenerasi katalis dan tidak perlu menambah biaya yang digunakan untuk membeli katalis sehingga biaya produksi lebih murah.

    2.7.2  Manfaat Asetanilida

    Menurut Kirk (1981), asetanilida banyak digunakan dalam industri kimia, misalnya:

    1. Sebagai bahan intermediet dalam sintesis obat-obatan.

    2. Sebagai zat awal dalam sintesa penicillin.

    3. Bahan pembantu pada industri cat, karet dan kapur barus.

    4. Sebagai inhibitor hidrogen peroksida.

    5. Stabiliser untuk pernis dari ester selulosa.

    2.8         Rekristalisasi

    Rekristalisasi merupakan salah satu cara pemurnian zat padat dimana zat-zat tersebut tersebut dilarutkan dalam suatu pelarut kemudian dikristalkan kembali. Cara ini bergantung pada kelarutan zat dalam pelarut tertentu di kala suhu diperbesar. Konsentrasi total impuriti biasanya lebih kecil dari konsentrasi zat yang dimurnikan, bila dingin, maka konsentrasi impuriti yang rendah tetapi dalam larutan sementara produk yang berkonsentrasi tinggi akan mengendap (Arsyad, 2001).

    Rekristalisasi merupakan metode yang sangat penting untuk pemurnian komponen larutan organik. Ada tujuh metode dalam rekristalisasi yaitu: memilih pelarut, melarutkan zat terlarut, menghilangkan warna larutan, memindahkan zat padat, mengkristalkan larutan, mengumpul dan mencuci kristal, serta mengeringkan produknya (hasil) (Williamson, 1999).

    Kemudahan suatu endapan dapat disaring dan dicuci tergantung sebagian besar pada struktur morfologi endapan, yaitu bentuk dan ukuran-ukuran kristalnya. Semakin besar kristal-kristal yang terbentuk selama berlangsungnya pengendapan, makin mudah mereka dapat disaring dan mungkin sekali (meski tak harus) makin cepat kristal-kristal itu akan turun keluar dari larutan, yang lagi-lagi akan membantu penyaringan. Bentuk kristal juga penting. Struktur yang sederhana seperti kubus, oktahedron, atau jarum-jarum, sangat menguntungkan, karena mudah dicuci setelah disaring. Kristal dengan struktur yang lebih kompleks, yang mengandung lekuk-lekuk dan lubang-lubang, akan menahan cairan induk (mother liquid), bahkan setelah dicuci dengan seksama. Endapan yang terdiri dari kristal-kristal, pemisahan kuantitatif lebih kecil kemungkinannya bisa tercapai (Svehla, 1979).

    Ukuran kristal yang terbentuk selama pengendapan, tergantung pada dua faktor penting yaitu laju pembentukan inti (nukleasi) dan laju pertumbuhan kristal. Jika laju pembentukan inti tinggi, banyak sekali kristal akan terbentuk, tetapi tak satupun dari ini akan tumbuh menjadi terlalu besar, jadi terbentuk endapan yang terdiri dari partikel-partikel kecil. Laju pembentukan inti tergantung pada derajat lewat jenuh dari larutan. Makin tinggi derajat lewat jenuh, makin besarlah kemungkinan untuk membentuk inti baru, jadi makin besarlah laju pembentukan inti. Laju pertumbuhan kristal merupakan faktor lain yang mempengaruhi ukuran kristal yang terbentuk selama pengendapan berlangsung. Jika laju ini tinggi, kristal-kristal yang besar akan terbentuk yang dipengaruhi oleh derajat lewat jenuh (Svehla, 1979).

    Kristal adalah benda padat yang mempunyai permukaan-permukaan datar. Banyak zat padat seperti garam, kuarsa, dan salju ada dalam bentuk-bentuk yang jelas simetris, telah lama para ilmuwan menduga bahwa atom, ion ataupun molekul zat padat ini juga tersusun secara simetris. Penampilan luar suatu partikel kristal besar tidak menentukan penataan partikel. Bila suatu zat dalam keadaan cair atau larutan mengkristal, kristal dapat terbentuk dengan tumbuh lebih ke satu arah daripada ke lain arah. Kristal-kristal itu akan turun keluar dari larutan yang berfungsi membantu penyaringan (Syabatini, 2010).

    Material padatan terlarut dalam pelarut yang cocok pada suhu tinggi (padat atau dekat titik didih pelarutnya) untuk mendapatkan jumlah larutan jenuh atau dekat jenuh. Ketika larutan panas perlahan didinginkan, kristal akan mengendap karena kelarutan padatan biasanya menurun bila suhu diturunkan. Diharapkan bahwa pengotor tidak akan mengkristal karena konsentrasinya dalam larutan tidak terlalu tinggi untuk mencapai jenuh (Fary, 2009).

    Menurut Fessenden (1989), saran-saran yang dibutuhkan untuk melakukan metoda kristalisasi adalah sebagai berikut:

    1.             Kelarutan material yang akan dimurnikan harus memiliki ketergantungan yang besar pada suhu. Misalnya, ketergantungan pada suhu NaCl hampir dapat diabaikan. Jadi, pemurnian NaCl dengan rekristalisasi tidak dapat dilakukan. Kristal tidak harus mengendap dari larutan jenuh dengan pendinginan karena mungkin terbentuk super jenuh. Dalam kasus semacam ini penambahan Kristal bibit, mungkin akan efektif.

    2.             Untuk mencegah reaksi kimia antara pelarut dan zat terlarut, penggunaan pelarut non polar lebih disarankan. Namun, pelarut non polar cenderung merupakan pelarut yang buruk untuk senyawa polar.

    3.             Umumnya, pelarut dengan titik didih rendah lebih diinginkan. Namun, sekali lagi pelarut dengan titik didih lebih rendah biasanya non polar. Jadi, pemilihan pelarut biasanya bukan masalah sederhana.

    Menurut Fessenden (1989), tahap-tahap yang dilakukan pada proses rekristalisasi pada umumnya, yaitu:

    1.             Memilih pelarut yang cocok

    Pelarut yang umum digunakan jika dilarutkan sesuai dengan kenaikan kepolarannya adalah petroleum eter (n-heksana), toluene, kloroform, aseton, etil asetat, etanol, metanol, dan air. Pelarut yang cocok untuk merekristalisasi suatu sampel zat tertentu adalah pelarut yang dapat melarutkan secara baik zat tersebut dalam keadaan panas, tetapi sedikit melarutkan dalam keadaan dingin.

    2.             Melarutkan senyawa ke dalam pelarut panas sedikit mungkin

    Zat yang akan dilarutkan hendaknya dilarutkan dalam pelarut panas dengan volume sedikit mungkin, sehingga diperkirakan tepat sekitar titik jenuhnya. Jika terlalu encer, uapkan pelarutnya sehingga tepat jenuh. Apabila digunakan kombinasi dua pelarut, mula-mula zat itu dilarutkan dalam pelarut yang baik dalam keadaan panas sampai larut, kemudian ditambahkan pelarut yang kurang baik tetes demi tetes sampai timbul kekeruhan. Tambahkan beberapa tetes pelarut yang baik agar kekeruhannya hilang, kemudian disaring.

    3.             Pendinginan filtrat

    Filtrat didinginkan pada suhu kamar sampai terbentuk kristal. Sering pendinginan ini dilakukan dalam air es. Penambahan umpan (feed) yang berupa kristal murni ke dalam larutan atau penggoresan dinding wadah dengan batang pengaduk dapat mempercepat rekristalisasi.

    4.             Penyaringan dan pendinginan kristal

    Apabila proses kristalisasi telah berlangsung sempurna, kristal yang diperoleh perlu disaring dengan cepat menggunakan corong Buchner. Kemudian, kristal yang diperoleh dikeringkan dalam eksikator. Asetanilida adalah suatu Amina dari asam asetat dengan anilin. Oleh karena itu, senyawa ini dapat dibuat dengan mereaksikan asam salisilat dengan anhidrida asam asetat menggunakan asam sulfat pekat sebagai katalisator (Fessenden, 1989).

    2.9         Penyaringan

    Larutan disaring dalam keadaan panas untuk menghilangkan pengotor yang tidak larut. Penyaringan larutan dalam keadaan panas dimaksudkan untuk memisahkan zat-zat pengotor yang tidak larut atau tersuspensi dalam larutan, seperti debu, pasir, dan lainnya. Agar penyaringan berjalan cepat, biasanya digunakan corong Buchner. Jika larutannya mengandung zat warna pengotor, maka sebelum disaring ditambahkan sedikit ( ± 2% berat ) arang aktif untuk mengadsorbsi zat warna tersebut. Penambahan arang aktif tidak boleh terlalu banyak karena dapat mengadsorbsi senyawa yang dimurnikan (Fessenden, 1989).

    2.10. Perhitungan Kadar Air

    Pengukuran kadar air dalam suatu bahan sangat diperlukan dalam berbagai bidang. Salah satu bidang yang memerlukan pengukuran kadar air adalah bidang industri bahan kimia. Prinsip dari metode oven pengering  adalah bahwa air yang terkandung dalam suatu bahan akan menguap bila bahan tersebut dipanaskan pada suhu 105oC selama waktu tertentu. Perbedaan antara berat sebelum dan sesudah dipanaskan adalah kadar air (Astuti, 2010).

    Penentuan kadar air dapat dilakukan dengan cara pemanasan yaitu pengeringan sample dengan menggunakan oven. Metode penentuan kadar air dengan cara pemanasan ini adalah yang paling sering dilakukan dan paling sederhana.

    Menurut Astuti (2010), cara menentukan kadar air dengan pemanasan oven:

    1.             Timbang sampel bahan dalam wadah yang terbuat dari gelas atau alumuniun foil yang telah diketahui beratnya.

    2.             Set suhu oven pada temperatur 1000C-1050C

    3.             Masukan sampel kedalam oven sampai kering dan beratnya menjadi konstan

    4.             Setelah itu, keluarkan sampel dari oven dan dinginkan dalam eksikator lalu timbang. Ulangi langkah 3 dan 4 berkali-kali selama saja untuk mengetahui berat konstan sampel.

    5.             Setelah didapat berat yang konstan lalukan perhitungan kadar air. Caranya:

    % Berat Kadar Air : Berat basah – Berat kering X 100%…………………….. (15)

                                                Berat basah

    Cara penentuan kadar air dengan metode pemanasan oven ini biasanya di lakukan untuk sampel yang berupa biji-bijian, bubuk, atau padatan lainnya yang tidak mengandung kadar gula tinggi dan juga tidak mengandung zat-zat volatil yang mudah menguap.

    2.11.   Perhitungan Rendemen

    Dalam kimia, rendemen kimia, rendemen reaksi, atau hanya rendemen merujuk pada jumlah produk reaksi yang dihasilkan pada reaksi kimia. Rendemen absolut dapat ditulis sebagai berat dalam gram atau dalam mol (rendemen molar). Rendemen relatif yang digunakan sebagai perhitungan efektivitas prosedur, dihitung dengan membagi jumlah produk yang didapatkan dalam mol dengan rendemen teoritis dalam mol:

    % Rendemen =          Berat sampel praktikum         X 100%…………….. (16)

                              Berat sampel secara stoikiometri

    Untuk mendapatkan rendemen persentase, kalikan rendemen fraksional dengan 100%. Satu atau lebih reaktan dalam reaksi kimia sering digunakan berlebihan. Rendemen teoritisnya dihitung berdasarkan jumlah mol pereaksi pembatas. Untuk perhitungan ini, biasanya diasumsikan hanya terdapat satu reaksi yang terlibat.

    Nilai rendemen kimia yang ideal (rendemen stoikiometri) adalah 100%, sebuah nilai yang sangat tidak mungkin dicapai pada preakteknya (Vogel, 1996).

    BAB III

    METODOLOGI PERCOBAAN

    3.1         Bahan-Bahan yang Digunakan

    1.        Anilin

    2.        Asam asetat glasial

    3.        Aquades

    4.        Etanol

    3.2    Alat-Alat yang Digunakan

    1.        Labu didih dasar datar

    2.        Gelas ukur 100 ml

    3.        Gelas ukur 10 ml

    4.        Gelas piala 100 ml

    5.        Erlenmeyer 100 ml

    6.        Pipet tetes

    7.        Corong buchner

    8.        Waterbatch

    9.        Pompa vakum

    10.    Batang pengaduk

    11.    Kertas saring

    12.    Termometer

    13.    Oven

    14.    Cawan penguap

    3.3       Prosedur Praktikum

    1.      Sebanyak 20 ml asam asetat glasial dimasukkan ke dalam labu didih dasar datar.

    2.      Kemudian 10 ml anilin ditambahkan ke dalam labu didih, hati-hati reaksi eksoterm.

    3.      Larutan diaduk dengan sempurna dan dibiarkan pada suhu kamar selama 5 menit.

    4.      Larutan yang ada di dalam labu didih ditutup rapat, kemudian dipanaskan di dalam air dengan suhu 85oC–95oC sambil digoyangkan selama 2 jam.

    5.      Larutan didinginkan dan diencerkan dengan 75 ml aquades.

    6.      Kemudian larutan didinginkan lagi di dalam air es sampai terbentuk kristal.

    7.      Kristal yang terbentuk disaring dengan pompa vakum, kemudian kristal ditimbang.

    8.      Selanjutnya dilakukan rekristalisasi dengan pemanasan 40 ml aquades dan 25 ml etanol terlebih dahulu.

    9.      Kristal yang sudah terbesntuk dimasukkan ke dalam labu didih dan ditambahkan dengan aquades dan etanol yang telah dipanaskan.

    10.    Larutan diaduk dan didinginkan kembali di dalam air es sampai terbentuk kristal yang murni.

    11.    Kemudian kristal yang terbentuk disaring lagi dengan pompa vakum dan dikeringkan di dalam oven.

    12.    Dihitung rendemen dan kadar air yang diperoleh.

    3.4 Rangkaian Alat                                                    

                                       Gambar 3.1 Rangkaian alat pemanas

    Keterangan:                          

    1.    Waterbatch

    2.    Labu didih dasar datar

    3.    Termometer

    4.    Statip

    5.    Klem

     Gambar 3.2 Rangkaian alat vakum

    Keterangan:

    1.    Selang pembuangan gas

    2.    Pompa vakum

    3.    Erlenmeyer

    4.    Saklar

    5.    Corong Buchner

    BAB IV

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    4.1         Hasil Praktikum

    a.       Berat                       : 1,279 gram

    b.      Bentuk                    : Kristal 

    c.       Warna                     : Coklat Keabu – abuan

    d.      Rendemen               : 8,69%

    e.       Kadar Air                : 53,66%

    4.2         Pembahasan

    Reaksi asilasi merupakan suatu reaksi memasukkan gugus asil kedalam suatu substrat yang sesuai. Sebuah asil merupakan alkil yang terikat pada ikatan rangkap oksigen dan karbon. Asetanilida dapat dihasilkan dari reaksi antara asam asetat glasial dan anilin. Asetanilida berbentuk butiran berwarna putih, sering disebut phenilasetamida mempunyai rumus molekul C6H5NHCOCH3 (Priyatmono, 2008). 

              Menurut Priyatmono (2008), pada reaksi pembuatan asetanilida ini anilin sebanyak 10 ml berfungsi sebagai reaktan, asam asetat glasial sebanyak 19 ml berfungsi sebagai pelarut asam (melepas H+), mempengaruhi agar reaksi membentuk garam amina, dan untuk menetralkan. Proses ini dilakukan di lemari asam karena reaksi yang terjadi adalah reaksi eksoterm dan juga untuk menghindari tumpahan reaksi terjadi di ruangan terbuka karena senyawa yang direaksikan yaitu asam asetat murni yang sangat berbahaya jika terkena tubuh. Dan larutan yang terbentuk berwarna coklat.

       Larutan anilin dan asam asetat glasial tersebut dipanaskan selama 2 jam agar larutan benar-benar homogen pada suhu 85-950C. Setelah larutan homogen (dipanaskan selama 2 jam), larutan tersebut dibiarkan pada suhu kamar. Kemudian dimasukkan 75 ml aquades hingga terbentuk endapan, endapan itulah yang disebut asetanillida.  Kemudian larutan didinginkan selama 1,5 jam dengan menggunakan es batu agar semua asetanilida benar-benar mengendap. Hasil dari kristalisasi ini berupa kristal yang berwarna kekuning-kuningan, yang berarti masih ada pengotor di dalamnya, yaitu sisa reaktan ataupun hasil samping reaksi. Oleh karena itu perlu dilakukan pemurnian kembali. Kemudian larutan  tersebut disaring dengan penyaring Buchner. Proses penyaringan ini menggunakan prinsip sedimentasi, dan dibantu menggunakan vacuum pump, yaitu alat untuk menyedot udara, sehingga proses penyaringan dan pengeringan cepat selesai. Vacuum pump di sini dapat menggunakan alat tersendiri ataupun dengan mengalirkan air pada akhir selang penghubung secara terus menerus sehingga terjadi perbedaan tekanan udara yang akan menimbulkan sedotan. Berat dari hasil kristalisasi yaitu 5,238 gram.

              Proses selanjutnya adalah rekristalisasi untuk mendapatkan asetanilida yang lebih murni. Rekristalisasi dilakukan dengan penambahan etanol-air panas. Menurut Mawarni (2013), etanol dan aquades dipanaskan bertujuan untuk meningkatkan kelarutan, jika kelarutan berbeda maka Ksp akan berbeda, perbedaan Ksp inilah yang membuat asetanilida jadi  mengendap didasar labu didih. Menurut Synyster (2006), air panas berguna untuk mempercepat pelarutan asetanilida tersebut sedangkan etanol akan mengikat pengotor-pengotor yang masih terdapat pada asetanilida pada hasil kristalisasi. Larutan disaring kembali dengan penyaring Buchner. Hasil penyaringan ini kemudian didinginkan dengan menggunakan es batu selama 1,5 jam agar semua asetanilida benar-benar mengendap. Kemudian kristal yang tercampur dengan larutan berair tersebut disaring dengan penyaring Buchner dan dicuci dengan aquades dingin agar kristal yang tertinggal di labu didih dasar datar ikut tersaring. Kristal selanjutnya dikeringkan dengan oven untuk menghilangkan uap air yang masih terdapat pada kristal. Dari hasil reklistalisasi ini diperoleh kristal asetanilida coklat keabu-abuan dari sebelumnya, karena itu untuk memperoleh asetanilida yang putih dan murni tidak cukup hanya satu kali rekristalisasi, tetapi dapat dilakukan berkali-kali.

    Hasil kristalisasi disaring, dan didapat asetanilida basah sebanyak 2,76 gram, sedangkan asetanilida kering setelah dilakukan pengovenan adalah 1,279 gram, dengan rendemen 8,69% dan kadar air 53,66%. Rendemen yang didapatkan dipengaruhi oleh waktu pemanasan kurang lama, menyebabkan berkurangnya nilai rendemen sedangkan besarnya kadar air dipengaruhi oleh lamanya penyaringan dengan menggunakan bantuan vacuum pump.

    BAB V

    KESIMPULAN DAN SARAN

    5.1         Kesimpulan

    1.    Asetanilida dibuat dengan mereaksikan anilin dengan asam asetat glasial secara asilasi.

    2.    Reaksi asilasi yaitu memasukkan gugus asil kedalam suatu substrat yang sesuai.

    3.    Berat asetanilida yang didapatkan dari percobaan yaitu 1,279 gram, dengan rendemen sebesar 8,69% dan kadar air dari asetanilida yang didapat yaitu 53,66%.

    5.2         Saran

    1.    Untuk pratikum selanjutnya sebaiknya volume anilin dan asetat glasial di variasikan.

    2.    Sebaiknya pencampuran zat-zat untuk membuat asetinilida dilakukan di dalam lemari asam dengan hati-hati.

    3.    Gunakan pelindung yang disarankan, seperti masker dan sarung tangan.

    4.    Saat pemanasan, suhu harus selalu diperhatikan.

    DAFTAR PUSTAKA

    Abduh. 2010.  Aspirinhttp://library.USU.ac.id/download/ft/tkimia-Abduh.pdf.Diakses pada 2Mei 2015.

    Ahmad, F., dkk.. 2011. Perancangan dan Pembuatan Modul ECG dan EMG Dalam Satu Unit PC Sub Judul: Pembuatan Rangkaian ECG dan Software ECG Pada PC. Jurnal Generic, 1-6.

    Austin. 2008. Shreve’s Chemical Process Industries, 5th ed. Singapura: McGraw-  Hill Book Co..   

    Amri. 2009. Asam Salisilat. http://library.USU.ac.id/download/ft/tkimia-Amri.pdf. Diakses pada 12 April 2015.

    Arsyad, 2001. Kamus Kimia Arti dan Penjelasan Istilah. Jakarta: Gramedia.

    Bresnick, S.D.. 2003. Intisari Kimia Organik. Jakarta: Hipokrates.

    Fary. 2009. Rekristalisasi, Pembuatan Aspirin dan Penentuan Titik Leleh Aspirin. http://faryjackazz.blogspot.com/2009/03/rekristalisasi-pembuatan-aspirin-dan.html. Diakses pada 12 April 2015.

    Fessenden, R.J., dan Fessenden, J.S.. 1997. Dasar-dasar Kimia Organik. Jakarta: Bina Aksara.

    Fessenden. 1989. Kimia Organik, edisi ke 3. Jakarta: Erlangga.

    Kirk and Othmer. 1982. Kirk-Othmer Encyclopedia of Chemical Technology. Vol. 17. Canada: John Wiley and Sons, Inc.

    Oxtoby, Gillis, dan  Nachtrieb. 2003. Prinsip-prinsip Kimia Modern. Jakarta: Erlangga.

    Priyatmono, A. 2008.  Asetanilida, kimiadotcom.wordpress.com, 7 may 2015.

    Pudjaatmaka, A.H.. 1992. Kimia Untuk Universitas Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

    Riawan, S. 1990. Kimia Organik Edisi 1. Jakarta: Binarupa Aksara.

    Svehla. 1979. Buku Ajar Vogel : Analisi Anorganik Kuntitatif Makro dan Semimikro. Jakarta: PT Kalman Media Pusaka.

    Syabatini, A.. 2010. Pemurnian Bahan secara Rekristalisasi. Banjarmasin: Universitas Lambung Mangkurat.

    Wilbraham, A.C.. 1992. Pengantar Kimia Organik 1. Bandung: ITB.

    Williamson. 1999. Macroscale and Microscale Organic Experiment. USA: Houghton Mifflin Company.

  • Laporan Praktikum Kimia Koloid

    Praktikum Kimia Koloid

    A. Tujuan

    Tujuan dari praktikum ini adalah :

    1. Mempelajari sifat koloid.
    2. Mengamati perubahan NaCl dan air susu dengan penyinaran senter.
    3. Mengamati perubahan NaCl dan susu dengan perlakuan sentrifuge.
    4. Mengamati perubahan NaCl dan susu dengan penambahan HCl pekat.
    5. Mengamati perubahan NaCl dan susu dengan penambahan tawas.

    B. Teori Dasar

    1. Pengertian koloid.

    Koloid adalah suatu bentuk campuran yang keadaannya terletak antara larutan dan campuran kasar. Meskipun secara makrokopis koloid tampak homogen, tetapi koloid digolongkan ke dalam campuran heterogen. Campuran koloid pada umumnya bersifat stabl dan tidak dapat disaring. Ukuran partikel koloid terletak antara 1 nm – 100 nm. Sistem koloid terdiri atas terdispersi dengan ukuran tertentu dalam medium pendispersi. Zat yang didispersikan disebut fase terdispersi, sedangkan medium yang digunakan untuk mendispersikan disebut medium dispersi. Fase terdispersi bersifat diskontinu (terputus-putus), sedangkan medium dispersi bersifat kontinu. (Keenan, 1984)

    Dalam campuran homogen dan stabil yang disebut larutan, molekul, atom, ataupun ion disebarkan dalam suatu zat kedua. Dengan cara yang agak mirip, materi koloid dapat dihamburkan atau disebarkan dalam suatu medium sinambung, sehingga dihasilkan suatu disperse ( sebaran ) koloid atau sistem koloid. Selai, mayones, tinta cina, susu dan kabut merupakan contoh yang dikenal. Dalam sistem-sistem semacam itu, partikel koloid dirujuk sebagai zat terdispersi( tersebar ) dan materi kontinu dalam mana partikel itu tersebar disebut zat pendispersi atau medium pendispersi. (Arsyad, 2001)

    Sistem koloid terdiri atas fase terdispersi dengan ukuran tertentu dalam medium pendispersi.  Zat yang didispersikan disebut fase terdispersi, sedangkan medium yang digunakan untuk mendispersikan disebut medium pendispersi. Sol adalah system koloid yang fase tedispersinya berupa zat padat dan medium pendispersinya berupa zat cair atau zat padat. Bila medium pendispersinya berupa zat padat disebut sol padat. Sedangkan emulsi adalah system koloid yang fase terdispersinya berupa zat cair dan medium pendispersinya berupa zat cair atau zat padat. Bila medium pendispersinya berupa zat padat dikenal dengan emulsi padat. Beberapa emulsi (fase terdispersi cair dan medium pendispersi cair) membentuk campuran yang kurang stabil. Misalnya minyak dengan air, setelah dikocok akan diperoleh campuran yang segera memisah jika didiamkan. Emulsi yang semacam itu memerlukan suatu zat pengemulsi (emulgator) untuk membentuk suatu campuran yang stabil.

    2. Sifat – Sifat Koloid

    1. Efek Tyndall

    Partikel debu, banyak diantaranya terlalu kecil untuk dilihat, akan nampak sebagai titik-titik terang dalam suatu berkas cahaya. Bila partikel itu memang berukuran koloid, partikel itu sendiri tidak nampak; yang terlihat ialah cahaya yang dihamburkan oleh mereka. Hamburan cahaya itu disebut efek tyndall. Ini disebabkan  oleh fakta bahwa partikel kecil menghamburkan cahaya dalam segala arah.

    Efek tyndall dapat digunakan untuk membedakan dispersi koloid dan suatu larutan biasa, karena atom, molekul, ataupun muaatan yang berbeda dalam suatu larutan tidak menghamburkan cahaya secara jelas dalam contoh-contoh yang tebalnya tak seberapa. Penghamburan cahaya tyndall dapat menjelaskan betapa buramnya dispersi koloid. Misalnya, meskipun baik minyak zaitun maupun air itu tembus cahaya, dispersi koloid dari kedua zat ini nampak seperti susu.

    2. Gerak Brown

    Jika suatu mikroskop optis difokuska pada suatu dispersi koloid pada arah yang tegak lurus pada berkas cahaya dan dengan latar belakang gelap, akan nampak partikel-partikel koloid, bukan sebagai partikel dengan batas yang jelas, melainkan sebagai bintik yang berkilauan. Dengan mengikuti bintik-bintik cahaya yang dipantulkan ini, orang dapat melihat bahwa partikel koloid yang terdispersi ini bergerak terus-menerus secara acak menurut jalan yang berliku-liku. Gerakan acak partikel koloid dalam suatu medium pendispersi ini disebut gerakan brown, menurut nama seorang ahli botani Inggris, Robert Brown, yang mempelajarinya dalam tahun 1827.

    3. Adsorpsi

     Adsorpsi  adalah peristiwa di mana suatu zat menempel pada permukaan zat lain, seperti ion H+ dan OH- dari medium pendispersi. Untuk berlangsungnya adsorpsi, minimum harus ada dua macam zat, yaitu zat yang tertarik disebut adsorbat, dan zat yang menarik disebut  adsorban. Apabila terjadi penyerapan ion ada permukaan partikel koloid maka partikel koloid dapat bermuatan listrik yang muatannya ditentukan oleh muatan ion-ion yang mengelilinginya.

    Partikel koloid mempunyai kemampuan menyerap ion atau muatan listrik pada permukaannya.Oleh karena itu partikel koloid bermuatan listrik.Penyerapan pada permukaan ini disebut dengan adsorpsi. Contohnya sol Fe(OH)3 dalam air mengadsorpsi ion positif sehingga bermuatan positif dan sol As2S3 mengadsorpsi ion negatif sehingga bermuatan negatif. Pemanfaatan sifat adsorpsi koloid dalam kehidupan antara lain dalam proses pemutihan gula tebu, dalam pembuatan norit (tablet yang terbuat dari karbon aktif) dan dalam proses penjernihan air dengan penambahan tawas.

    4. Koagulasi

    Koagulasi adalah peristiwa pengendapan atau penggumpalan koloid.Koloid distabilkan oleh muatannya. Jika muatan koloid dilucuti atau dihilangkan, maka kestabilannya akan berkurang sehingga dapat menyebabkan koagulasi atau penggumpalan. Pelucutan muatan koloid dapat terjadi pada sel elektroforesis atau jika elektrolit ditambahakan ke dalam system koloid. Apabila arus listrik dialirkan cukup lama kedalam sel elektroforesis, maka partikel koloid akan digumpalkan ketika mencapai electrode. Koagulasi koloid karena penambahan elektrolit terjadi karena koloid bermuatan positif menarik ion negative dan koloid bermuatan negative menarik ion positif. Ion-ion tersebut akan membentuk selubung lapisan kedua. Jika selubung itu terlalu dekat, maka selubung itu akan menetralkan koloid sehingga terjadi koagulasi.

    System koloid dapat dibuat dengan menggabungkan ukuran partikel-partikel larutan sejati menjadi berukuran partikel koloid atau dinamakan kondensasi. Selain itu juga dapat dibuat dengan cara menghaluskan ukuran partikel suspense kasar menjadi berukuran partikel koloid, cara ini dinamakan dispersi.

    1. Cara Kondensasi

    Dengan cara kondensasi, partikel-partikel fase terdispersi dalam larutan sejati yang berupa molekul atom atau ion diubah menjadi partikel-partikel berukuran koloid. Pembuatan koloid dengan cara kondensasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu cara kimia dan cara fisika.

    Cara ini juga dapat dilakukan melalui reaksi – reaksi kimia, seperti reaksi redoks, hidrolisis, dan dekomposisi rangkap atau dengan pergantian pelarut.

    2. Cara Dispersi

    Dengan cara dispersi, partikel kasar dipecah menjadi partikel koloid. Cara dispersi dapat dilakukan secara mekanik, peptisasi atau dengan loncatan bunga listrik (cara busur bredig).

    a. Cara Mekanik

    Menurut cara ini butir – butir kasar digerus dengan lumping atau penggiling koloid sampai diperoleh tingkat kehalusan tertentu, kemudian diaduk dengan medium dispersi.

    Contoh: sol belerang dapat dibuat dengan menggerus serbuk belerang bersama-sama dengan suatu zat inert (seperti gula pasir), kemudian mencampur serbuk halus itu dengan air.

    b. Cara Peptisasi

    Cara peptisasi adalah pembuatan koloid dari butir-butir kasar atau dari suatu endapan dengan bantuan suatu zat pemeptasi (pemecah).Zat pemeptasi memecahkan butir-butir kasar menjadi butir-butir koloid.

    Contoh: agar-agar dipeptisasi oleh air, nitroselulosa oleh aseton, karet oleh bensin, dan lain-lain.

    c.  Cara Busur Bredig

    Cara busur Bredig digunakan untuk membuat sol – sol logam.

    5. Koloid Pelindung

    Pada beberapa proses, suatu koloid harus dipecahkan. Misalnya, koagulasi lateks. Dilain pihak, koloid perlu dijaga supaya tidak rusak. Suatu koloid dapat distabilkan dengan mmenambahkan koloid lain yang disebut koloid pelindung. Koloid pelindung akan membungkus partikel zat terdispersi sehingga tidak dapat lagi mengelompok.

    6. Dialisis

    Pemisahan muatan dari koloid dengan difusi lewat pori-pori suatu selaput semipermeabel disebut dialisis. Pori-pori itu biasanya berdiameterkurang dari 10 Å dan membiarkan lewatnya molekul air dan muatan-muatan kecil. Selaput hewani alamiah, kertas perkamen, selofan dan beberapa plastic sintetik merupakan bahan selaput yang sesuai. Partikel-partikel yang melewati membran agaknya berlaku demikian tidak sekedar berdasarkan difusi acak. Mereka teradsorpsi pada permukaan membran dan bergerak dari letak ( site ) adsorben yang satu ke yang lain pada waktu mereka bergerak melewati pori-pori itu. ( Oxtoby, 2001)

    D. Cara Pembuatan Koloid

    1. Kondensasi

    Kondensasi adalah penggabungan partikel – partikel halus ( molekuler ) menjadi partikel yang lebih besar. Pembuatan koloid dengan cara ini dilakukan melalui :

    a.Cara Kimia

    Partikel koloid dibentuk melalui reaksi – reaksi kimia, seperti reaksi hidrolisis, reaksi reduksi oksidasi, atau reaksi subtitusi.

    –  Hidrolisis : Merupakan reaksi suatu zat dengan air

    –  Reaksi Redoks : Merupakan reaksi yang disertai perubahan biloks

    –  Reaksi Subtitusi : Merupakan reaksi penggantian

    b. Cara Fisika

    Dilakukan dengan jalan menurutkan kelarutan dari zat terlarut, yaitu dengan jalan pendinginan atau mengubah pelarut sehingga terbentuk satu sol koloid.

    2. Dispersi

    Pembuatan koloid dengan cara dispersi merupakan pemecahan partikel – partikel kasar menjadi partikel yang lebih halus/lebih kecil dapat dilakukan secara mekanik, peptisasi atau dengan loncatan bunga listrik ( listrik busur breding ).

    a.Cara Mekanik

    Dengan cara ini butir – butir kasar digerus dengan lumpang atau penggiling koloid sampai diperoleh tingkat kehalusan tertentu kemudian diaduk dengan medium dispersi.Contoh : Sol belerang dibuat dengan menggerus serbuk belerang bersama – sama dengan suatu zat inert (seperti gula pasir ) kemudian mencampur serbuk halus dengan air

    b. Peptisasi

    Pembuatan koloid dengan cara peptisasi adalah membuat koloid dari butir – butir kasar atau dari suatu endapan dengan bantuan suatu zat pemeptisasi ( pemecahan ). Contoh : Agar – agar dipeptisasi oleh air, nitroselulosa oleh aseton, karet oleh bensin dan lain – lain. (Oxtoby, 2001)

     7. Elektroforesis

    Partikel koloid dapat bergerak dalam medan listrik karena partikel koloid bermuatan listrik. Pergerakan partikel koloid dalam medan listrik ini disebut elektroforesis. Jika dua batang elektrode dimasukkan kedalam sistem koloid dan kemudian dihubungkan dengan sumber arus searah, maka partikel koloid akan bergerak kesalah satu elektrode tergantung pada jenis muatannya. Koloid bermuatan negatif akan bergerak ke anode (elektrode positif) sedang koloid bermuatan positif akan bergerak ke katode (elektrode negatif).

    Elektroforesis dapat digunakan untuk mendeteksi muatan partikel koloid.Jika partikel koloid berkumpul dielektrode positif berarti koloid bermuatan negatif, jika partikel koloid berkumpul dielektrode negatif bearti koloid bermuatan positif. Peristiwa elektroforesis ini sering dimanfaatkan kepolisian dalam identifikasi/tes DNA pada jenazah korban pembunuhan/ jenazah tak dikenal

    C. Alat dan bahan

    Alat

    NoNamaUkuranJumlah
    1.Gelas Kimia500 ml1 buah
    2.Gelas Kimia200 ml2 buah
    3.Tabung Sentrifuge1 buah
    4.Alat sentrifuge1 buah
    5.Kertas saringsecukupnya
    6.Lampu senter1 buah
    7.Corong1 buah
    8.Gelas ukur20 ml1 buah
    9.Batang pengaduk1 buah
    10.pH meter4 lembar

    Bahan

    No.NamaJumlah
    1.Garam dapur10 gr
    2.HCl pekatSecukupnya
    3.Tawar2 gr
    4.Air susu100 mL
    5.Aquades100 mL
    6.Kertas saringSecukupnya

    D. Metode Prakikum

    Larutkan 10 gram garam dapur dengan 100 mL aquades yang telah disiapkan terlebih dahulu. Campuran ini di misalkan sebagai campuran (A). Sinari campuran (A) dengan senter perhatikan jalan sinar yang terjadi. Masukan 20 mL campuran(A) kedalam gelas ukur dan saring dengan kertas saring yang telah disiapkan. Amati fitrat yang diperoleh. Masukan campurn(A) kedalam tabung sentrifuge hingga terisi dua pertiganya. Sentrifuge selama 15 menit dengan kecepatan 2000 rpm. Amati perubahan yang terjadi pada campuran. Ukur pH campuran(A) sebanyak dua satuan dengan cara menmbahkan HCl pekat. Amati hinggga terjadi perubahan. Masukan Campuran (A) awal sebanyak 20 mL kedalam gelas kimia 200 mL dan tambahkan tawas satu gram diamkan selama 20 menit. Amati perubahan yang terjadi

    Siapkan 100 mL susu cair, campuran ini disebut sebagai campuran (B). Sinari campuran(B) dengan lampu senter kemudian amati jalannya sinar. Masukan 20 mL campuran(B) kedalam gelas ukur dan saring dengan kertas saring yang telah disiapkan. Amati fitrat yang diperoleh. Masukan campurn(B) kedalam tabung sentrifuge hingga terisi dua pertiganya. Sentrifuge selama 15 menit dengan kecepatan 2000 rpm. Amati perubahan yang terjadi pada campuran. Ukur pH campuran(B) sebanyak dua satuan dengan cara menmbahkan HCl pekat. Amati hinggga terjadi perubahan. Masukan Campuran (B) awal sebanyak 20 mL kedalam gelas kimia 200 mL dan tambahkan tawas satu gram diamkan selama 20 menit. Amati perubahan yang terjadi. Bandingkan campuran (A) dan campuran (B) dalam setiap percobaan yang dilakukan.

    E. Hasil pengamatan

    PerlakuanCampuran (A)Campuran (B)
    Penyinaran dengan senterPartikel di teruskanAir sedikit keruhPartikel di hamburkanSusu berwarna putih kental
    Penyaringan (kertas saring)Filtrat larutan jernihTerdapat residu pada kertas saringFiltrat larutan putih cairResidu menempel pada kertas
    SentrifugeTerdapat sedikit gumpalanGumpalan berwarna keruhTerdapat sedikit gumpalanGumpalan berwarna putih pekat
    Penambahan HCl pekatpH awal yaitu 6pH setelah penambahan 1pH awal yaitu 6pH setelah penambahan 5
    Penambahan tawasSedikit lebih jernihTerdapat gumpalan susuTawas tidak larut sebagian

    F. Pembahasan

    Pada praktikum ini membahas beberapa sifat koloid. Percobaan pertama pada campuran A partikel cahaya diteruskan sedangkan pada campuran B partikel di hamburkan, hal ini dikarenakan campuran B merupakan larutan koloid yang partikelnya lebih besar sehingga sinarnya memantulkan kesegala arah peristiwa ini dinamakan dengan efek tyndall.

    Percobaan berikutnya yaitu pada campuran A terdapat sedikit residu warna filtrasi lebih jernih dan pada campuran B terdapat residu yang lebih terlihat oleh kasat mata, filtrasi menjadi lebih. Hal ini dikarenakan partikel campuran lebih cair dari sebelumnya dan volume pun lebih sedikit. Pada penyaringan yang dilakukan, terlihat jelas bahwa campuran A lebih cepat tersaring dari pada campuran B. Hal ini disebabkan karena adanya gaya berat partikel –partikel koloid yang terdapat pada larutan susu tersebut. Pada larutan garam, terdapat sedikit residu ketika larutan tersebut disaring dengan kertas saring. Hal ini disebabkan karena garam telah bercampur secara homogen dengan pelarutnya yaitu aquades.

    Selanjutnya percobaan dengan sentrifuge.Untuk campuran A tidak mengalami perubahan. Sedangkan pada campuran B mengalami sedikit perubahan, supernatan terpisah dengan residu, supernatan permukaannya diatas,  residu dibawah. Dalam pecobaan ini tidak terlalu baik karena perubahan sangat kecil sehingga tidak dapat dinyatakan berhasil.

    Kemudian percobaan dengan penambahan HCl pekat. Campuran A sebelum ditambah HCl mempunyai kadar PH 6 setelah ditambah HCl pH campuran A menjadi 1. Sedangkan campuran B sebelum ditambah HCl mempunyai kadar pH 6 juga setelah ditambah HCl pH menjadi 5.

    Percobaan terakhir yaitu penambahan tawas. Untuk campuran A tidak terlalu banyak mengalami perubahan, sedangkan untuk campuran B  terdapat gumpalan-gumpalan di dinding gelas kimia dan campuran menjadi lebih kental. Hal ini disebabkan karena terjadinya sifat koagulasi atau penggumpalan karena tawas menggumpalkan partikel dari susu.

    G. Kesimpulan

    Dari semua percobaan yang telah dicoba dapat diketahui bahwa campuran B (susu cair) merupakan koloid sedangkan campuran A (garam dapur) bukan koloid. Kimia koloid / system koloid adalah suatu bentuk campuran dua atau lebih zat yang bersifat homogen namun memiliki ukuran partikel terdispersi yang cukup besar. Adapun koloid mempunyai banyak sifat diantaranya efek tyndall, gerak brown, adsorpsi, elektroforesis, koagulasi, koloid pelindung dan dialysis. Hasil dari percobaan yang telah diuji ada beberapa yang mengalami perubaan sifat koloid dan dari sampel percobaan susu merupakan koloid sedangkan garam dapur bukan koloid.

    Daftar Pustaka

    Tim.Lab Kimia DasarII. 2016. ModulPraktikum Kimia DasarII. Bandung :UIN SGD

    Syukri.S. 1999.Kimia dasar 2. Bandung. ITB.

    Keenan.C.W. 1984. Kimia UntukUniversitas. Jakarta. Erlangga.

    www.academia.edu (akses 28 Februari 2016)

    https://sifat-sifat-kimia-koloid.html?m=1 (akses 03 Maret 2016)

  • Laporan Praktikum Entalpi Pelarutan

    Praktikum Entalpi Pelarutan

    Bab I. Pendahulaun

    A. Latar Belakang

    Senyawa-senyawa yang terdapat dialam dapat dibagi dua berdasarkan kelarutannya yaitu senyawa yang dapat larut dan senyawa yang tidak dapat larut. Proses pelarutan biasanya didalamnya terdapat komponen yang dapat dihitung atau dicari dengan metode tertentu, misalnya entalpi. Entalpi adalah jumlah total dari semua bentuk energi. Entalpi pelarutan menyatakan jumlah kalor yang diperlukan atau dibebaskan untuk melarutkan 1 mol zat terlarut pada keadaan standar (Atkins,1999).

    Percobaan ini penting untuk dilakukan karena proses pelarutan banyak ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Proses pelarutan dalam kehidupan sehari-hari misalnya pelarutan gula, umumnya saat membuat minuman, gula biasanya dilarutkan terlebih dahulu dengan air panas, kemudian baru ditambahkan dengan air dingin. Proses tersebut menunjukkan bagaimana kelarutan gula dengan mempertimbangkan suhu yang digunakan.

    Percobaan ini akan dilakukan penentuan besarnya entalpi pelarutan dan pengaruh temperatur terhadap kelarutan suatu zat. Pada percobaan ini akan diberikan beberapa titik temperatur yang nantinya akan dicari kelarutannya pada setiap temperatur. Dengan demikian dapat diketahui bagaimana pengaruh temperatur pada kelarutan suatu zat.

    B. Rumusan Masalah

    Rumusan masalah pada percobaan ini adalah sebagai berikut.

    1. Bagaimana pengaruh temperatur terhadap kelarutan suatu zat?
    2. Bagaimana cara menentukan harga entalpi pelarutan suatu zat?

    C.  Tujuan

    Tujuan percobaan ini adalah sebagai berikut.

    1. Mengetahui pengaruh temperatur terhadap kelarutan suatu zat?
    2. Mengetahui cara menentukan harga entalpi pelarutan suatu zat?

    Bab II. Kajian Pustaka

    A. Material Safety Data Sheet (MSDS)

    2.1.1  Akuades (H2O)

    Akuades meupakan distilat cair dari distilasi air sehingga tidak terkandung mineral didalamnya. Akuades memiliki berat molekul sebesar 18,0153 g/mol yang berwujud cair dalam keadaan ruang dan mendidih pada suhu 100℃. Akuades tidak berbahaya jika terjadi suatu tumpahan ataupun kontak dengan tubuh sehingga tidak memerlukan penyimpana dan penanganan khusus (Sciencelab,2013).

    2.1.2    Natrium Hidroksida (NaOH)

    Rumus molekul natrium hidroksida adalah NaOH. NaOH berwujud padat, berwarna putih, berbau, memiliki titik didih dan titik leleh sebesar 13388℃ dan 327℃. NaOH mudah larut dalam air dingin, bersifat reaktif dengan alkali dan logam. NaOH berbahaya apabila terjadi kontak dengan mata, kulit, terhirup dan tertelan. Penanganan yang dapat dilakukab apabila tertelan adalah segera minta bantuan medis dan lakukan intruksi dari tenaga medis (Sciencelab, 2016).

    2.1.3  Asam Oksalat (H2C2O4)

    Asam Oksalat berwujud padatan kristal, berwarna putih dan memiliki berat molekul sebesar 90,04 g/mol. Bahan ini dapat larut dalam air dingin, dietil eter, alcohol, gliserol, benzene, dan air panas. Asam oksalat bersifat reaktif terhadap oksidator, logam dan alkali. Asam oksalat berbahaya dan dapat menyebabkan kerusakan ginjal, jantung, selaput lender, dan mata. Penanganan yang dapat dilakukan jika terkena mata yaitu dibilas dengan air mengalir minimal selama 15 menit (Sciencelab, 2016).

    2.1.4  Indikator Phenolphtalein (C20H14O4)

    Indikator phenolphthalein (Indikator PP) adalah salah satu indikator yang digunakan untuk mengindikas larutan asam atau basa. Indikator ini berwujud cair, tidak berwarna/ jernih, dan berbau. Indikator PP memiliki rentang pH mulai dari 8 (basa). Titik didih indikator PP adalah -83,21℃, sedangkan titik lelehnya sebesar -88,5℃. Indikator ini larut dalam air dingin, air panas, dietil eter, dan aseton. Bahan ini iritan terhadap mata dan kulit, serta dapat menyebabkan gangguan pernafasan dan pencernaan.

    Penanganan jika bahan terkena mata adalah segera bilas demgan air selama 15 menit. Kulit yang terkenan indikator PP segera dibilas dan disabun hingga bersih. Korban yang menghirup bahan ini segera dipindahkan ke tempat yang segar. Indikator PP jika tertelan tidak boleh dimuntahkan dan tidak boleh memasukkan apapun ke dalam mult. Segera hubungi ti medis untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut. Indikator PP disimpan alam wadah yang kering, tertutup rapat dan tidak terkena cahaya matahari langsung (Sciencelab, 2016).

    B. Dasar Teori

    Larutan adalah campuran homogen yang terdiri dari dua komponen punyusun yaitu zat terlarut (solut) dan zat pelarut (solvent). Larutan yang mengandung zat terlarut dalam jumlah yang banyak dinamakan larutan pekat, sengkan larutan yang mengandung zat terlarut dalam jumlah yang kecil dinamakan larutan encer. Kelarutan  merupakan salah  satu sifat dari suatu zat yang larut. Kelarutan adalah jumlah maksimum suatu zat yang dapat larut dalam sejumlah tertentu suatu pelarut pada kondisi kesetimbangan (Chang, 2004).

     Larutan berdasarkan jumlah zat terlarut didalamnya dibedakan menjadi larutan jenuh, larutan lewat jenuh, larutan tidak jenuh dan hampir jenuh. Larutan jenuh adalah suatu larutan dimana zat terlarut berada dalam keadaan yang setimbang dengan zat terlarut sehingga larutan ini jika ditambah sedikit zat terlarut maka akan terbentuk endapan. Endapan yang terbentuk menunjukkan larutan tersebut berada dalam keadaan lewat jenuh, larutan lewat jenuh dipengaruhi oleh temperatur, dimana pada temperatur tertentu terdapat juga zat terlarut yang tidak larut. Larutan tidak jenuh atau hampir jenuh adalah larutan yang mengandung zat terlarut lebih sedikit daripada zat terlarutnya, sehingga zat larut sempurna dalam pelarut tanpa adanya endapan (Martin dkk, 1993).

    Panas yang menyertai reaksi kimia pada pelarutan mol zat terlarut dalam n mol pelarut pada tekanan dan temperatur yang sama adalah panas pelarutan. Hal ini disebabkan adanya ikatan kimia dari atom-atom. Panas pelarutan dibagi menjadi dua yaitu panas pelarutan integral dan panas pelarutan diferensial. Panas pelarutan didefinisikan sebagai perubahan entalpi yang terjadi bila dua zat atau lebih zat murni dalam keadaan standar dicampur pada tekanan dan temperatur yang tetap untuk membuat larutann (Alberty, 1992).

    Zat terlarut dilarutkan dalam pelarut apabila kalor dapat diserap atau dilepaskan. Secara umum kalor reaksi bergantung pada konsentrasi larutan akhir. Kalor pelarutan integral adalah perubahan entalpi untuk larutan dari 1 mol zat terlarut dalam n mol pelarut. Zat terlarut yang larut dalam pelarut secara kimia sama dengan tidak ada komplikasi mengenai ionisasi atau solvasi. Kalor pelarutan dapat hamper sama dengan kalor pelelehan zat terlarut. Kalor pelarutan, kalor pengenceran dan kalor reaksi dalam larutan dapat dihitung dari nilai kalor pembentukan dalam larutan yang ditabelkan (Alberty, 1992). Panas pelarutan diferensial didefinisikan sebagai perubahan entalpi jika suatu mol zat terlarut dilarutkan dalam jumlah larutan tak terhingga, sehingga konsentrasinya tidak berubah dalam penambahan 1 mol zat terlarut (Dogra, 1990).

    Perubahan entalpi pada sistem mengalami perubahan fisika atau kimia biasanya disajikan untuk proses yang terjadi pada sekumpulan kondisi standar, yang disebut entalpi standar (ΔHo). Perubahan entalpi standar yang menyertai perubahan keadaan fisik disebut entalpi transisi standar, contohnya entalpi pelaruan standar. Entalpi pelarutan standar suatu zat adalah perubahan entalpi standar jika zat itu melarut didalam pelarut dengan sejumlah tertentu (Atkins, 1999).

    Faktor-faktor penting yang dapat mempengaruhi kelarutan zat padat adalah temperatur, sifat dari pelarut, dan juga kehadiran ion-ion lainnya dalam larutan tersebut. Pengaruh kenaikan suhu pada kelarutan zat berbeda satu sama lain. Kebanyakkan garam-aram anorganik lebih dapat larut dalam air daripada dalam larutan-larutan organik. Air mempunyai momen dipol besar dan ditarik ke kation dan anion untuk membentuk ion-ion hidrat. Semua ion tanpa diragukan lagi terhidrasi pada suhu tingkat dalam larutan air, dan energi yang dilepaskan oleh interaksi ion-ion dengan pelarut mengatasi gaya tarik-menarik yang cenderung untuk menahan ion-ion dalam kristal tidak mempunyai gaya yang cukup besar bagi pelarut-pelarut organik, untuk itu kelarutannya biasanya kecil daripada dalam air (Day & Underwood, 1999).

    Pengaruh temperatur bergantung dari panas pelarutan. Nilai panas pelarutan (ΔH) yang negatif atau sistem eksotermis, maka kelarutan turun dengan naiknya temperatur. Nilai panas pelarutan (ΔH) positif atau sistem endotermis, maka kelarutan naik dengan naiknya temperatur. Tekanan tidak begitu berpengaruh terhadap kelarutan zat padat dan zat cair, tetapi berpengaruh pada kelarutan gas (Sukardjo, 1997).

    Kesetimbangan sistem yang terganggu dengan adanya perubahan temperatur maka konsentrasi larutannya akan berubah. Pengaruh temperatur terhadap kelarutan menurut Van’t Hoff dapat dinyatakan sebagai berikut:

    \frac{d\ln S}{dT}=\frac{ΔH}{RT^2} \ \ \ \ \ _{...(1)}

    dengan mengintegralkan dari T1 ke T2, maka akan diperoleh

    d \ln S = \frac{ΔH}{R}\frac{dT}{T^2}
    \ln \frac{S_2}{S_1}=-\frac{ΔH}{RT}

    ln S2/S1 = (ΔH/R)(T1-1 T2-1)                                        (2.2)

    ln S = (ΔH)/RT + konstan                                         (2.3)

    dimana :

     S1,S2 = kelarutan masing-masing zat pada suhu T1 dan T2

    ΔH = entalpi pelarutan

    R = konstanta gas umum

    (Tim Penyusun, 2018).

    Bab III. Metode Praktikum

    A. Alat dan Bahan

    1. Alat
    1. Erlenmeyer
    2. Pipet Mohr
    3. Pipet tetes
    4. Beaker glass 100 mL
    5. Corong gelas
    6. Ball pipet
    7. Termometer
    8. Buret
    9. Statif
    10. Batang pengaduk
    11. Icebath
    12. Botol semprot
    2. Bahan
    1. Akuades
    2. NaOH 0,5 M
    3. Asam Oksalat
    4. Indikator phenophtalein
    5. NaCl

    B. Diagram Kerja

    1. dilarutkan dalam 100 mL akuades (ρ air diketahui) pada suhu kamar, sedikit demi sedikit sampai keadaan jenuh
    2. dilengkapi dengan termometer dan batang pengadung pada gelas beaker berisi larutan jenuh
    3. dimasukkan ke dalam waterbath pada temperatur yang dikehendaki, larutan selalu diaduk agar temperatur dalam sistem menjadi homogen
    4. diambil 5 mL larutan saat sudah mencapai kesetimbangan (sekitar 30 menit), kemudian dititrasi dengan larutan NaOH 0,5 M dengan indicator pp secara duplo
    5. dilakukan kembali percobaan  pada temperatur 5℃, 10℃, 15℃, 20℃ dan 25℃.

    Bab IV. Hasil dan Pembahasan

    A. Hasil

    Tabel 1. perhitungan percobaan entalpi pelarutan pada pengulangan 1

    NoSuhu (K)Volume (mL)Konsentrasi (M)Kelarutan (g/L)1/TLn SΔHº (kJ/mol)
    129826,71,335168,680,003385,12823,479
    229325,91,295163,390,003415,096
    328822,51,125141,700,003474,964
    428316,70,835105,140,003534,655
    527815,70,78598,8390,003594,593

    4.1.2 Perhitungan percobaan entalpi pelarutan pada pengulangan 2

    NoSuhu (K)Volume (mL)Konsentrasi (M)Kelarutan (g/L)1/TLn SΔHº (kJ/mol)
    129826,10,823164,3950,003385,10223,429
    229325,71,285161,8740,003415,087
    328818,80,940118,2540,003474,773
    428317,00,850107,1590,003534,674
    527815,00,7594,5520,003594,549

    4.2     Pembahasan

    Praktikum entalpi pelarutan ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh temperatur terhadap kelarutan asam oksalat dan menentukan entalpi kelarutan asam oksalat. Percobaan ini dilakukan dengan melarutkan asam oksalat pada 100 mL akuades. Asam oksalat ditambahkan secara perlahan-lahan ke dalam akuades sambil diaduk hingga larutan asam oksalat jenuh. Penambahan asam oksalat dihentikan ketika asam oksalat yang ditambahkan tidak dapat larut lagi dalam larutan, hal itulah yang menunjukkan bahwa larutan tersebut sudah jenuh. Pelarutan asam oksalat dalam akuades teramati bahwa pelarutan tersebut berjalan secara endotermis, hal ini ditunjukkan saat setiap pelarutan asam oksalat terjadi penurunan suhu yaitu semakin dinginnya larutan asam oksalat dibanding akuades sebelumnya.

    Asam oksalat yang telah jenuh kemudian dipipet sebanyak 5 mL dan dititrasi dengan NaOH 0,5 M dengan indikator phenolphtalein. Titrasi dilakukan dengan beberapa variasi suhu larutan, yakni suhu ruang 24℃, 20℃, 15℃, 10℃, dan 5℃. Percobaan dengan variasi suhu ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh suhu pada kelarutan asam oksalat. Variasi suhu diperoleh dengan mendinginkan larutan dalam icebath yang berisi es batu ditambah garam dapur sehingga secara berturut-turut titrasi dilakukan dimulai dari suhu yang paling tinggi. Penambahan garam dapur bertujuan untuk menurunkan titik beku es batu sehingga tidak mudah meleleh. Titrasi masing-masing suhu dilakukan secara duplo agar mendapatkan data yang akurat. Titrasi pengulangan pertama dan kedua dilakukan pada erlenmeyer yang berbeda, sehingga massa masing-masing erlenmeyer perlu diketahui dengan menimbang erlenmeyer kosong masing-masing erlenmeyer. Titrasi dengan NaOH 0,5 M hingga larutan berubah menjadi warna pink yang menunjukkan bahwa titrasi telah mencapai titik akhir dan harus dihentikan. Larutan yang telah dititrasi kemudian ditimbang massanya untuk masing-masing pengulangan pada erlenmeyer berbeda. Data massa erlenmeyer tersebut digunakan untuk mengetahui massa larutan dari selisih massa erlenmeyer berisi larutan dengan massa erlenmeyer kosong pada masing-masing pengulangan. Percobaan tersebut dilakukan pada semua variasi suhu dengan dua kali pengulangan.

    Hasil percobaan menunjukkan konsentrasi asam oksalat dalam larutan akuades cenderung menurun dengan menurunnya suhu, hal ini menunjukkan semakin berkurangnya massa asam oksalat yang terlarut dalam akuades dengan menurunnya suhu. Namun ada beberapa data yang tidak sesuai seperti pada tabel 4.1.2 nomor 1, nilai konsentrasi tersebut lebih kecil dibanding dengan konsentrasi pada suhu dibawahnya. Hal ini dikarenakan pada saat melakukan percobaan, setelah pengulangan 1 larutan diturunkan suhunya dalam icebath kemudian suhunya dinaikkan kembali karena pengulangan 2 belum dilakukan. Penurunan suhu itulah yang menyebabkan jumlah zat terlarut menjadi lebih sedikit, karena penurunan suhu menyebabkan penurunan kelarutan, saat penurunan suhu tersebut sebagian asam oksalat mengendap karena kelarutan yang menurun. Oleh karena itu, saat dilakukan titrasi, konsentrasi asam oksalat diperoleh lebih kecil dari pengulangan 1.

    Nilai kelarutan hasil percobaan menunjukkan pada setiap pengulangan, kelarutan cenderung menurun dengan menurunnya suhu. Hal ini terjadi karena sistem berjalan secara endotermis. Hal ini sesuai dengan pernyataan menurut Sukardjo (1997) jika larutan bersifat endotermis maka kelarutan akan semakin tidak larut pada penurunan temperatur sehingga volume yang dibutuhkan akan berkurang. Hubungan kelarutan dengan suhu dapat dilihat pada gambar 4.1 untuk pengulangan pertama dan 4.2 untuk pengulangan kedua.

    Gambar 4.1 Grafik Hubungan ln S dengan 1/T Pengulangan 1

    Gambar 4.2 Grafik Hubungan ln S dengan 1/T Pengulangan 2

    Nilai entalpi yang diperoleh pada kedua percobaan memiliki nilai yang hampir sama yaitu 23,479 kJ/mol dan 23,429 kJ/mol. Nilai entalpi diperoleh dari slope grafik hubungan antara ln S dengan 1/T. Nilai entalpi tersebut bernilai positif yang menunjukkan bahwa reaksi berjalan endotermis yakni dalam berjalannya reaksi, membutuhkan energi 23,479 kJ/mol untuk percobaan 1 dan 23,429 kJ/mol untuk percobaan 2.

    Bab V. Penutup

    A. Kesimpulan

    1. Suhu mempengaruhi kelarutan suatu zat, dalam hal ini reaksi yang berjalan secara endotermis dengan meningkatnya suhhu maka meningkat pula kelarutan suatu zat
    2. Harga entalpi pelarutan suatu zat ditentukan dari slope grafik hubungan lnS dengan 1/T, harga entalpi bernilai positif untuk reaksi endotermis.

    B. Saran

    Saran yang dapat disampaikan dari percobaan ini yaitu praktikan harus lebih teliti dan telaten dalam pelarutan asam oksalat dan penentuan titik jenuh, agar asam oksalat yang digunakan tidak terlalu banyak yang mengendap dan terbuang. Praktikan juga harus teliti dalam penentuan suhu larutan, agar data yang diperoleh dapat akurat.

    Percobaan yang dilakukan pada variasi suhu secara duplo, tidak dilakukan dengan menaik-turunkan suhu, karena akan berakibat pada jumlah zat terlarut yang telah berkurang saat penurunan suhu. Pengukuran tersebut tidak tepat jika dilakukan kembali titrasi untuk suhu yang lebih tinggi dari larutan yang telah diturunkan suhunya.

    DAFTAR PUSTAKA

    Alberty, R.A. 1992. Kimia Fisik. Jakarta: Erlangga.

    Atkins, P.W. 1999. Kimia Fisik Jilid 1 Edisi Keempat. Jakarta: Erlangga.

    Chang, Raymond. 2004. Kimia Dasar: Konsep-Konsep Inti Edisi Ketiga Jilid 1. Jakarta: Erlangga

    Day, R.A. & A.L. Underwood. 1999. Kimia Analisa Kuantitatif. Jakarta: Erlangga.

    Dogra, S.K. 1990. Kimia Fisika dan Soal-Soal. Jakarta: Universitas Indonesia.

    Martin, A., Swarbick, J., dan A. Cammarata. 1993. Farmasi Fisik 2. Edisi III. Jakarta: UI Press. Pp. 940-1010, 1162, 1163, 1170.

    Sciencelab. 2016. MSDS Aquadest [Serial Online]. www.sciencelab.com/msds.php?msdsid=9927593. [diakses 25 November 2018].

    Sciencelab. 2016. MSDS Asam Oksalat [Serial Online]. www.sciencelab.com/msds.php?msdsid=9926346 [diakses 17 September 2018].

    Sciencelab. 2016. MSDS Natrium Hidroksida [Serial Online]. www.sciencelab.com/msds.php?msdsid=9924998 [diakses 17 September 2018].

    Sciencelab. 2016. MSDS Phenolptalein [Serial Online]. www.sciencelab.com/msds.php?msdsid=9926477 [diakses 17 September 2018].

    Sukardjo. 1997. Kimia Fisika. Yogyakarta: Rineka Cipta

    Tim Penyusun Kimia Fisik. 2018. Penuntun Praktikum Termodinamika Kimia. Jember: Universitas Jember

    LAMPIRAN PERHITUNGAN

    Vasam oksalat = 5 mL = 0,005 L

    MNaOH = 0,5 M

    Mr asam oksalat = 126,07 g/mol

    ·        Suhu 24°C

    Pengulangan 1

    1.      Normalitas asam oksalat

    n . M H2C2O4 . V H2C2O4 = n . M NaOH . V NaOH

    M H2C2O=  

    2.      Mol H2C2O4

    n H2C2O= MV = 1,335 M . 0,005 L = 0,0067 mol

    3.      Massa H2C2O4

    m H2C2O= n.Mr = 0,0067 mol . 126,07 g/mol = 0,845 g

    4.      Masssa larutan

    m larutan = (m H2C2O+ erlenmeyer) – (m erlenmeyer kosong)

    = 41,147 g – 34,781 g =  6,366 g

    5.      Massa H2O

    m H2O = m larutan – m H2C2O4

    = 6,366 g – 0,845 g = 5,521 g = 0,005521 kg

    6.      M solute = =

    7.      n solute = M solute . m H2O

    = 1,213 mol/kg . 0,005521 kg = 6,69 × 10-3 mol

    8.      kelarutan H2C2O4

    S H2C2O=

    =  =

    ln S = 5,128

    Pengulangan 2

    1.     Normalitas asam oksalat

    n . M H2C2O4 . V H2C2O4 = n . M NaOH . V NaOH

    M H2C2O=  

    2.     Mol H2C2O4

    n H2C2O= MV = 1,305 M . 0,005 L = 0,006525 mol

    3.     Massa H2C2O4

    m H2C2O= n.Mr = 0,006525 mol . 126,07 g/mol = 0,823 g

    4.     Masssa larutan

    m larutan = (m H2C2O+ erlenmeyer) – (m erlenmeyer kosong)

    = 41,193 g – 34,865 g =  6,328 g

    5.     Massa H2O

    m H2O = m larutan – m H2C2O4

    = 6,328 g – 0,823 g = 5,505 g = 0,005505 kg

    6.     M solute =  

    7.     n solute = M solute . m H2O

    = 1,185 mol/kg . 0,005505 kg = 6,52 × 10-3 mol

    8.     kelarutan H2C2O4

    S H2C2O=

    =

    ln S = 5,102

    ·        Suhu 20°C

    Pengulangan 1

    1.      Normalitas asam oksalat

    n . M H2C2O4 . V H2C2O4 = n . M NaOH . V NaOH

    M H2C2O=  

    2.      Mol H2C2O4

    n H2C2O= MV = 1,295 M . 0,005 L = 0,006475 mol

    3.      Massa H2C2O4

    m H2C2O= n.Mr = 0,006475 mol . 126,07 g/mol = 0,816 g

    4.      Masssa larutan

    m larutan = (m H2C2O+ erlenmeyer) – (m erlenmeyer kosong)

    = 41,314 g – 34,781 g =  6,533 g

    5.      Massa H2O

    m H2O = m larutan – m H2C2O4

    = 6,533 g – 0,816 g = 5,717 g = 0,005717 kg

    6.      M solute =  

    7.      n solute = M solute . m H2O

    = 1,133 mol/kg . 0,005717 kg = 6,48 × 10-3 mol

    8.      kelarutan H2C2O4

    S H2C2O=

    =  

    ln S = 5,096

    Pengulangan 2

    1.     Normalitas asam oksalat

    n . M H2C2O4 . V H2C2O4 = n . M NaOH . V NaOH

    M H2C2O=  

    2.     Mol H2C2O4

    n H2C2O= MV = 1,285 M . 0,005 L = 0,006425 mol

    3.     Massa H2C2O4

    m H2C2O= n.Mr = 0,006425 mol . 126,07 g/mol = 0,810 g

    4.     Masssa larutan

    m larutan = (m H2C2O+ erlenmeyer) – (m erlenmeyer kosong)

    = 41,365 g – 34,865 g =  6,500 g

    5.     Massa H2O

    m H2O = m larutan – m H2C2O4

    = 6,500 g – 0,810 g = 5,690 g = 0,005690 kg

    6.     M solute =  

    7.     n solute = M solute . m H2O

    = 1,129 mol/kg . 0,005690 kg = 6,42 × 10-3 mol

    8.     kelarutan H2C2O4

    S H2C2O=

    =  

    ln S = 5,087

    ·        Suhu 15°C

    Pengulangan 1

    1.      Normalitas asam oksalat

    n . M H2C2O4 . V H2C2O4 = n . M NaOH . V NaOH

    M H2C2O=  

    2.      Mol H2C2O4

    n H2C2O= MV = 1,125 M . 0,005 L = 0,005625 mol

    3.      Massa H2C2O4

    m H2C2O= n.Mr = 0,005625 mol . 126,07 g/mol = 0,709 g

    4.      Masssa larutan

    m larutan = (m H2C2O+ erlenmeyer) – (m erlenmeyer kosong)

    = 41,258 g – 34,781 g =  6,477 g

    5.      Massa H2O

    m H2O = m larutan – m H2C2O4

    = 6,477 g – 0,709 g = 5,768 g = 0,005768 kg

    6.      M solute =  

    7.      n solute = M solute . m H2O

    = 0,975 mol/kg . 0,005768 kg = 5,62 × 10-3 mol

    8.      kelarutan H2C2O4

    S H2C2O=

    =  

    ln S = 4,954

    Pengulangan 2

    1.     Normalitas asam oksalat

    n . M H2C2O4 . V H2C2O4 = n . M NaOH . V NaOH

    M H2C2O=  

    2.     Mol H2C2O4

    n H2C2O= MV = 0,940 M . 0,005 L = 0,0047 mol

    3.     Massa H2C2O4

    m H2C2O= n.Mr = 0,0047 mol . 126,07 g/mol = 0,592 g

    4.     Masssa larutan

    m larutan = (m H2C2O+ erlenmeyer) – (m erlenmeyer kosong)

    = 41,316 g – 34,865 g =  6,451 g

    5.     Massa H2O

    m H2O = m larutan – m H2C2O4

    = 6,451 g – 0,592 g = 5,859 g = 0,005859 kg

    6.     M solute =  

    7.     n solute = M solute . m H2O

    = 0,802 mol/kg . 0,005859 kg = 4,69 × 10-3 mol

    8.     kelarutan H2C2O4

    S H2C2O=

    =  

    ln S = 4,773

    ·        Suhu 10°C

    Pengulangan 1

    1.      Normalitas asam oksalat

    n . M H2C2O4 . V H2C2O4 = n . M NaOH . V NaOH

    M H2C2O=  

    2.      Mol H2C2O4

    n H2C2O= MV = 0,835 M . 0,005 L = 0,004175 mol

    3.      Massa H2C2O4

    m H2C2O= n.Mr = 0,004175 mol . 126,07 g/mol = 0,526 g

    4.      Masssa larutan

    m larutan = (m H2C2O+ erlenmeyer) – (m erlenmeyer kosong)

    = 41,193 g – 34,781 g =  6,412 g

    5.      Massa H2O

    m H2O = m larutan – m H2C2O4

    = 6,412 g – 0,526 g = 5,886 g = 0,005886 kg

    6.      M solute =  

    7.      n solute = M solute . m H2O

    = 0,709 mol/kg . 0,005886 kg = 4,17 × 10-3 mol

    8.      kelarutan H2C2O4

    S H2C2O=

    =  

    ln S = 4,655

    Pengulangan 2

    1.     Normalitas asam oksalat

    n . M H2C2O4 . V H2C2O4 = n . M NaOH . V NaOH

    M H2C2O=   

    2.     Mol H2C2O4

    n H2C2O= MV = 0,850 M . 0,005 L = 0,00425 mol

    3.     Massa H2C2O4

    m H2C2O= n.Mr = 0,00425 mol . 126,07 g/mol = 0,536 g

    4.     Masssa larutan

    m larutan = (m H2C2O+ erlenmeyer) – (m erlenmeyer kosong)

    = 41,125 g – 34,865 g =  6,26 g

    5.     Massa H2O

    m H2O = m larutan – m H2C2O4

    = 6,26 g – 0,536 g = 5,724 g = 0,005724 kg

    6.     M solute =  

    7.     n solute = M solute . m H2O

    = 0,742 mol/kg . 0,005724 kg = 4,25 × 10-3 mol

    8.     kelarutan H2C2O4

    S H2C2O=

    =  

    ln S = 4,674

    ·        Suhu 5°C

    Pengulangan 1

    1.      Normalitas asam oksalat

    n . M H2C2O4 . V H2C2O4 = n . M NaOH . V NaOH

    M H2C2O=  

    2.      Mol H2C2O4

    n H2C2O= MV = 0,785 M . 0,005 L = 0,003925 mol

    3.      Massa H2C2O4

    m H2C2O= n.Mr = 0,003925 mol . 126,07 g/mol = 0,495 g

    4.      Masssa larutan

    m larutan = (m H2C2O+ erlenmeyer) – (m erlenmeyer kosong)

    = 41,166 g – 34,781 g =  6,385 g

    5.      Massa H2O

    m H2O = m larutan – m H2C2O4

    = 6,385 g – 0,495 g = 5,89 g = 0,00589 kg

    6.      M solute =  

    7.      n solute = M solute . m H2O

    = 0,666 mol/kg . 0,00589 kg = 3,92 × 10-3 mol

    8.      kelarutan H2C2O4

    S H2C2O=

    =  

    ln S = 4,593

    Pengulangan 2

    1.     Normalitas asam oksalat

    n . M H2C2O4 . V H2C2O4 = n . M NaOH . V NaOH

    M H2C2O=  

    2.     Mol H2C2O4

    n H2C2O= MV = 0,75 M . 0,005 L = 0,00375 mol

    3.     Massa H2C2O4

    m H2C2O= n.Mr = 0,00375 mol . 126,07 g/mol = 0,473 g

    4.     Masssa larutan

    m larutan = (m H2C2O+ erlenmeyer) – (m erlenmeyer kosong)

    = 41,298 g – 34,865 g =  6,433 g

    5.     Massa H2O

    m H2O = m larutan – m H2C2O4

    = 6,433 g – 0,473 g = 5,960 g = 0,00596 kg

    6.     M solute =  

    7.     n solute = M solute . m H2O

    = 0,629 mol/kg . 0,00596 kg = 3,75 × 10-3 mol

    8.     kelarutan H2C2O4

    S H2C2O=

    =  

    ln S = 4,549

    Grafik

    Pengulangan 1

    ln ST (°C)1/T (K)
    4,59350,00359
    4,655100,00353
    4,954150,00347
    5,096200,00341
    5,128240,00338

    y = – 2824x + 14,70

    ΔH = m R

    = (- 2824) × 8,314 J/mol K

    = – 23478,74 J/mol K

    ΔH = 23478,74 J/mol K

    ΔH = 23,479 kJ/mol K

    Pengulangan 2

    ln ST (°C)1/T (K)
    4,54950,00359
    4,674100,00353
    4,773150,00347
    5,087200,00341
    5,102240,00338

    y = – 2818x + 14,63

    ΔH = m R

    = (- 2818) × 8,314 J/mol K

    = – 23428,85 J/mol K

    ΔH = 23428,85 J/mol K

    ΔH = 23,429 kJ/mol K

  • Laporan Praktikum Pembuatan n-Butil Asetat

    Praktikum Pembuatan n-Butil Asetat

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Ester merupakan suatu senyawa yang dapat disintesis dari reaksi antara asam karboksilat dan alkohol. Ester memiliki sifat fisik yang khas yaitu memberikan aroma atau bau yang wangi. Beberapa ester dapat menghasilkan wangi buah buahan. Namun selain itu ester dapat pula menghasilkan aroma selain buah buahan (Fessenden dan Fessenden, 1992).

    Dalam kimia, ester adalah suatu senyawa organik yang terbentuk melalui penggantian satu (atau lebih) atom hidrogen pada gugus hidroksil dengan suatu gugus organik (biasa dilambangkan dengan R’). Ester merupakan senyawa yang penting dalam industri dan secara biologis. Lemak adalah ester yang mempunyai rantai panjang asam karboksilat dengan trihidroksi alkohol (gliserol). Bau yang enak dan buah-buahan adalah campuran yang kompleks dari ester volatil.

    Bab III. Metode Praktikum

    A. Alat dan Bahan

    1. batang pengaduk
    2. botol semprot
    3. bulb
    4. corong kaca
    5. erlenmeyer
    6. corong pisah
    7. karet gabus
    8. magnetik stirer
    9. kondensor
    10. kondensor liebig
    11. gelas beaker
    12. cawan petri
    13. labu destilasi
    14. labu leher dua
    15. pipet ukur
    16. pompa air
    17. statif
    18. spatula
    19. termometer.

    2.1.2        Bahan

    Bahan-bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah akuades, asam asetat glasial, asam sulfat pekat, magnesium sulfat, natrium bikarbonat, dan n-butil alkohol.

    2.3      Prosedur Kerja

    Pembuatan n-butil asetat dilakukan dengan mencampurkan 23 mL n-butil alkohol dan 30 mL asam asetat glasial ke labu destilasi, lalu ditambahkan 0,5 mL H2SOpekat. Disiapkan peralatan refluks. Direfluks pada suhu 117˚C selama 2 jam diatas magnetik stirer. Disiapkan 250 mL H2O dalam corong pisah. Hasil refluks dituangkan ke dalam corong pisah. Campuran dikocok dan didiamkan sampai terbentuk 2 lapisan. Dipisahkan lapisan bawah dan ditampung dalam erlenmeyer. Lapisan atas didekantasi berturut-turut dengan 100 mL H2O, 25 mL Na2HCOjenuh dan 50 mL H2O. Ditambahkan 5-6 gram MgSOanhidrat ke crude ester dan didiamkan 5 menit. Disaring crude ester dengan vakum dan ditampung dalam labu destilasi. Ditambahkan beberapa batu didih ke crude ester. Didestilasi crude ester dan destilat ditampung pada suhu 90˚C.

    Bab IV. Hasil Pembahasan

    A. Tabel Pengamatan

    NoPerlakuanPengamatan
    1.Dicampur n-butanol dan asam asetatn-butanol = 23 mL, asam asetat 30 mL dalam 50 mL
    2.Ditambahkan H2SO4H2SO4 0,5 mL
    3.Direfluks kurang lebih 2 jamRefluks selama 2 jam
    4.Disiapkan akuades ke dalam corong pisahDiekstraksi dengan akuades 250 mL
    5.Dituangkan hasil refluks ke dalam corong pisah yang telah berisi akuades, lalu dikocok dan didiamkan sampai terbentuk dua lapisan
    6.Dipisahkan lapisan bawah dan ditampung dalam erlenmeyer
    7.Didekantasi lapisan atas (crude ester) berturut-turut dengan air, kemudian Na2HCOdan terakhir dengan akuades100 mL akuades,  Na2HCOjenuh 25 mL, dan 50 mL akuades
    8.Ditambahkan MgSOke dalam crude ester dan didiamkanMgSO= 5 gram
    9.Disaring crude ester dan ditampung dalam labu destilasi
    10.Didestilasi dan ditampung n-butil asetat pada suhu 124-125oCSuhu 90 oC destilat ditampung
    11.Diamati hasil destilasi melalui aromaAroma buah pisangWarna destilat bening

    3.2  Pembahasan

    Ester merupakan suatu senyawa yang dapat disintesis dari reaksi antara asam karboksilat dan alkohol. Rumus umum senyawa ester adalah RCOO-R. Ester memiliki sifat fisik yang khas yaitu memberikan aroma atau bau yang wangi. Beberapa ester dapat menghasilkan wangi buah buahan.

    Reaksi pembuatan ester dikenal sebagai esterifikasi. Esterifikasi adalah reaksi asam lemak bebas (asam karboksilat) dengan alkohol membentuk ester dan air. Dengan esterifikasi, kandungan asam lemak bebas dapat dihilangkan dan diperoleh tambahan ester. Reaksi ini dilaksanakan dengan menggunakan katalis padat atau katalis cair. Reaksi esterifikasi merupakan reaksi kesetimbangan. Pada suhu ruang, reaksi ini tidak berlangsung tuntas dan jumlah produknya sedikit (Sari, 2007; Oxtoby, dkk, 2001).

    Reaksi ini merupakan reaksi bolak balik (reversible) dimana Le Chatelie’s menjelaskan bahwa kesetimbangan akan bergerak ke arah produk (ester) ketika konsentrasi reaktan ditambah, oleh karena itu konsentrasi asam karboksilat yang digunakan berlebih. Jika konsentrasi alkohol dan asam karboksilat 1:1 maka konsentrasi ester yang dihasilkan akan menjadi lebih sedikit. Reaksi reversibel adalah reaksi yang berlangsung dua arah yaitu reaksi maju dan reaksi balik. Sedangkan reaksi irreversibel adalah reaksi yang berlansung satu arah. Pada sistem kesetimbangan reaksi bersifat reversibel.

    Refluks adalah pemisahan suatu komponen dari suatu zat. Pada dasarnya prinsip refluks sama dengan ekstraksi. Pada metode ini seluruh zat yang diinginkan akan berakhir dalam suatu pelarut dan semua zat-zat penggangu dalam pelarut lain (Day dan Underwood, 2002).

    Destilasi adalah suatu metode yang digunakan untuk pemisahan dan pemurnian cairan berdasarkan kecepatan atau kemudahan menguap (volatilitas) bahan.penguapan atau destilasi umumnya merupakan proses pemisahan satu tahap. Proses ini dapat dilakukan secara kontinyu pada tekanan normal (Hart, 2003).

    Dekantasi adalah suatu cara pemisahan antara larutan dan padatan yang paling sederhana yaitu dengan menuangkan cairan perahan-lahan sehingga endapan tertinggal dibagian dasar bejana. Cara ini dapat dilakukan jika endapan mempunyai ukuran partikel yang besar dan massa jenisnya pun besar, sehingga dapat terpisah dengan baik terhadap cairannya. Dekantasi merupakan proses pemisahan zat pada yang tidak ikut terlarut di dalam pelarutnya dengan cara dituangkan, sehingga akibatnya cairan tersebut akan terpisah dari zat padat yang tercampur. Dekantasi berkaitan dengan kristalisasi, filtrasi, ekstraksi, dan juga sublimasi.

    Ekstraksi adalah proses pemisahan suatu zat berdasarkan perbedaan kelarutannya terhadap dua cairan tidak saling larut yang berbeda, biasanya air dan pelarut organik yang lainnya. Ekstraksi cair-cair atau dikenal juga dengan nama ekstraksi solven. Ekstraksi jenis ini merupakan proses pemisahan kimia yang bertujuan untuk memisahkan suatu senyawa kimia dari matriks padatan ke dalam cairan.

    Berdasarkan percobaan yang dilakukan mula-mula dengan membuat campuran n-butanol, asam asetat glasial dan asam sulfat. Pembuatan campuran ini didasarkan pada reaksi esterifikasi antara n-butanol dan asam asetat glasial dengan menggunakan H2SOsebagai pemberi suasana asam dan sebagai katalis dari reaksi tersebut, dimana katalis ini berfungsi sebagai mempercepat reaksi, karena reaksi esterifikasi ini tergolong reaksi lambat yang memerlukan waktu yang begitu lama sehingga perlu ditambahkan dengan bantuan katalis, selain itu H2SOjuga mempercepat terjadinya kesetimbangan pada waktu yang cepat. Dalam reaksi esterifikasi, ion H+ dari H2SO4 berperan dalam pembentukan ester dan juga berperan dalam reaksi sebaliknya yakni hidrolisis ester. Percobaan ini melalui mekanisme reaksi SN2 karena menggunakan alkohol primer. Prinsip dari refluks adalah seluruh zat yang diinginkan akan berakhir dalam suatu pelarut dan semua zat-zat penggangu dalam pelarut lain. Pada percobaan ini asam sulfat pekat sebagai katalis, refluks bertujuan untuk menukarkan gugus alkohol primer dan menyempurnakan reaksi yakni dengan mendidihkan campuran, lalu mengkondensasi uap dengan pendingin  air dan kembali menguap ke labu, reaksi saat ini kesetimbangan belum tercapai. Untuk mempercepat reaksi juga bisa menggunakan magnetik stirer, magnetik stirer berfungsi untuk menghomogenkan larutan. Larutan direfluks selama kurang lebih 2 jam, selama proses refluks suhu dijaga agar tidak melebihi 117 ˚C, ini merupakan suhu maksimum dari larutan tersebut. Dikhawatirkan pada suhu yang lebih besar biasanya akan terjadi pemutusan ikatan pada gugus tersebut. Ketika pemanasan ditambahkan batu didih, dengan tujuan meratakan panas dan tidak terjadi bumping. Setelah 2 jam maka dihentikan proses refluksnya, didinginkan dan diambil desrilat yang didapat. Diperoleh n-butil asetat berwarna bening dan memiliki harum buah pisang. Reaksi esterifikasi fischer adalah reaksi pembentukan ester dengan cara merefluks sebuah asam karboksilat bersama sebuah alkohol dengan katalis asam.

    Tahap kedua yang dilakukan setelah refluks adalah pemisahan campuran yang berdasarkan atas perbedaan kelarutan atau berdasarkan tingkat kepolaran zatnya. Ekstraksi dilakukan karena dari hasil refluks belum didapatkan zat murni yang diinginkan, dimana n-butanol masih tercampur dengan senyawa-senyawa lain. Pada tahap ini larutan yang didapatkan  diekstraksi dengan menggunakan akuades 250 mL. Kemudian didekantasi dengan akuades sebanyak 100 mL, natrium bikarbonat jenuh 25 mL, dan akuades 50 mL. Fungsi akuades disini adalah untuk mencuci larutan, menghilangkan garam terlarut dan menghomogenkan larutan, sedangkan natrium bikarbonat berfungsi mengikat asam asetat dari larutan dan menetralkan larutannya.

    Ekstraksi dilakukan dengan mengocok corong pisah secara perlahan-lahan, kemudian didiamkan sehingga terbentuk dua lapisan yaitu lapisan atas dan lapisan bawah. Dimana lapisan atas ini disebut crude ester dan lapisan bawah adalah air, ekstraksi memiliki prinsip berdasarkan kepolaran maka senyawa polar atau pengotor lain yang bersifat polar akan mengikuti air. Alasan crude ester berada di atas dan air berada dibawah dikarenakan massa jenis air lebih besar dari pada massa jenis crude ester. Massa jenis air yaitu 1 gr/cm3 sedangkan massa jenis n-butil asetat yaitu 0,8825 gr/cm3. Selanjutnya crude ester ditambahkan dengan magnesium sulfat yang berfungsi menyerap atau mengikat zat pengotor dan air hasil ekstraksi ini selama 5 menit kelebihan alkohol dan asam dipisahkan dalam corong pisah karena n-butil asetat tidak larut dalam air. Tujuan penambahan air untuk mengikat H2O (polar) Tujuan penambahan natrium bikarbonat yaitu untuk mengikat asam dari H2SO4 kemudian dicuci dengan air untuk menghilangkan natrium bikarbonat dan mengikat pengotor. Untuk menghilangkan/mengikat air dalam ester dilakukan penambahan magnesium sulfat anhidrat, kemudian divakumkan, disaring crude ester dan dimasukkan dalam labu destilasi.

    Mekanisme reaksi yang terjadi merupakan reaksi SN2. –OH dari butanol merupakan nukleofilik yang baik yang menyerang asam asetat glasial. Tahap- tahap reaksinya adalah sebagai berikut:

    Protonasi oksigen pertama-tama asam asetat akan bereaksi dengan katalis asam. Oksigen yang berikatan rangkap dengan karbon pada senyawa asam asetat bermuatan parsial negatif sehingga H+ dari asam sulfat yang bermuatan parsial positif diserang. Asam asetat membentuk karbokation karena kelebihan elektron. Elektronegatifitas akan meningkat.

    Setelah terbentuk karbokation, gugus hidroksil dari butanol yang berperan sebagai nukleofilik menyerang karbokation, terbentuk ion oksonium. Oksigen dari karbonil berikatan  dengan hidrogen dari butanol sehingga terbentuk air dan melepaskan air tersebut(dehidrasi). Atom C bermuatan positif sehingga berikatan rangkap dengan O dan melepas kan H. H tersebut kembali ke katalis asam sulfat.

    Aplikasi pembentukan ester sangatlah banyak di industri. Misalnya dalam proses dasar saat pembuatan plastik, senyawa aroamatik dan lain-lain. Oleh karena itu perlu untuk mempelajari reaksi esterifikasi dalam skala laboratorium dan mengetahui aplikasinya di industri.

    Bab V. Penutup

    A. Simpulan

    Berdasarkan percobaan yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa pembuatan n-butil asetat dapat dilakukan dengan mereaksikan asam asetat glasial dengan n-butil alkohol dengan reaksi esterifikasi melalui mekanisme SN2. Mekanismenya melalui proses refluks selama 2 jam, ekstraksi, dekantasi dan destilasi sampai diperoleh cairan murni yang disebut dengan n-butil asetat. N-butil asetat menimbulkan aroma khas yaitu aroma pisang dan berwarna bening.

    4.2 Saran

    Adapun saran pada percobaan ini adalah dapat digunakan jenis asam karboksilat lainnya sebagai pengganti asam asetat glasial.

    DAFTAR PUSTAKA

    Day R, A., dan Underwood A,L., 2002. Analisis Kimia Kuantitatif. Alih Bahasa : A.H. Pudjaatmaka. Erlangga. Jakarta.

    Fessenden, R.J dan Fessenden J.S., 1992. Kimia Organik, Jilid I, Edisi 3, A.B : A.H Pudjaatmaka, Erlangga, Jakarta.

    Hart, H. Crame, J.E dan Hart, D.J, 2003. Kimia Organik. Jilid I. Edisi 3. AB : Suminar Achmadi, Erlangga, Jakarta.

    Oxtoby, dkk, 2001. Prinsip-Prinsip Kimia Modern. Edisi 4. Jilid 2. Erlangga. Jakarta.

    Sari, P., 2007. Konsep Dasar Kimia Analitik. UI-Press. Jakarta.

  • Laporan Praktikum Reaksi Pembuatan Asetamida

    Praktikum Reaksi Pembuatan Asetamida

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Amida merupakan suatu senyawa yang tersusun dari C, H, O, N. Terbentuk dari senyawa asam karboksilat dan NH3. Amida terbagi menjadi amida primer, sekunder dan tersier. Salah satu contoh amida primer adalah asetamida (Fessenden dan Fessenden, 1992).

    Asetamida merupakan suatu amida dari asam asetat yang memiliki formula C2H5NO, secara umum dikenal sebagai lipamida. Sesuai dengan kepolaran dan konstanta dielektriknya yang tinggi, asetamida digunakan sebagai pelarut pada larutan polar maupun non polar. Serta dapat membentuk larutan yang sangat stabil. Beberapa cara dapat dilakukan untuk mensintesis senyawa amida yaitu dehidrasi garam amonium dengan dengan destilasi, pemanasan asam dan urea, reaksi amonia pekat dengan metil ester, dan hidrolisis senyawa nitril (Hart, 2003).

    Dalam literatur, amina berbobot molekul rendah terkenal dengan baunya yang menyengat. Asetamida mempunyai bau yang seperti obat, hal ini disebabkan karena umumnya dalam kehidupan sehari-hari asetamida digunakan dalam tambahan  pembuatan obat-obatan.

    Bab III. Metode Praktikum

    A. Alat dan Bahan

    Alat-alat yang digunakan pada percobaan ini adalah batang pengaduk, botol semprot, bulb, corong kaca, erlenmeyer, erlenmeyer buchner, heat mantle, karet gabus, kondensor, kondensor liebig, gelas beaker, cawan petri, labu destilasi, labu leher dua, pipet ukur, pompa air, statif, spatula dan termometer.

    2.1.2        Bahan

    Bahan-bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah akuades, amonia, etil asetat, kalsium klorida, kloroform dan parafin.

    2.3      Prosedur Kerja

    Dicampurkan 49 ml etil asetat dengan 90 ml ammonia pekat, dibuat kedalam labu destilasi 250 ml. Setelah itu dipasang gabus atau karet dileher labu dan tutup lengan samping. Hasil campuran etil asetat dan ammonia dibiarkan dengan sesekali dikocok hingga homogen. Lalu dipasang labu destilasi dan dihubungkan dengan kondensor serta erlemeyer Buchner dipasang pada bagian ujung dan lengan samping kondensor. Kemudian dibawah labu destilasi diletakkan heat mantle untuk pemanasan sementara itu kondensor dialirkan pompa air.  Selanjutnya campuran tersebut didestilasi segera untuk mencegah kehilangan produk karena hidrolisis asetamida sampai temperatur mencapai 170 . Aliran ini dihentikan ke kondensor liebig ketika temperaturnya mencapai 120 . Kemudian setelah selesai dibiarkan cair kedalam labu sampai dingin lalu dituangkan saat masih cair kedalam erlenmeyer dan ditunggu cairan memadat menjadi kristal sehingga diperoleh asetamida yang murni.

    Bab IV. Hasil dan Pembahasan

    3.1 Tabel Pengamatan

    NoPerlakuanPengamatan
    1.Dicampurkan etil asetat dan amonia kedalam labu destilasiAmonia = 90 mLEtil asetat = 49 mLCaCl2 = 10 gr Etanol = 5 mL
    2.Dipasang gabus di leher labu dan tutup lengan sampingKloroform = 5 mL
    3.Dibiarkan campuran dengan sesekali dikocok
    4.Dipasang labu destilasi di lemari asamProses refluks 2 jam dengan suhu 120oC
    5.Didestilasi sampai suhu 170oC-180oC
    6.Dihentikan apabila mencapai 135oC
    7.Dibiarkan cairan dalam labu sampai dingin
    8.Dituangkan saat masih cair ke dalam labu destilasi
    9.Digunakan gelas beaker sebagai penerima
    10.Dibiarkan cairan memadat saat dingin
    11.Dibiarkan meleleh pada 79oC-80oC
    12.Diperoleh asetamida murniUji asetamidaDitotol kloroformDitotol pada garis bawah

    3.2  Pembahasan

    Amida merupakan suatu senyawa yang tersusun dari C, H, O, N. Amida dapat digolongkan menjadi 3 berdasarkan strukturnya, yaitu amida primer, amida sekunder dan amida tersier. Asetamida merupakan salah satu senyawa amida primer. Beberapa cara dapat dilakukan untuk mensintesis senyawa amida yaitu dehidrasi garam amonium dengan dengan destilasi, pemanasan asam dan urea, reaksi amonia pekat dengan metil ester, dan hidrolisis senyawa nitril.

    Asetamida merupakan senyawa yang larut dalam air dan etanol, tidak berwarna, mempunyai titik didih 223  dan titik leleh 820 . Lebih polar karena O-H lebih kuat dari pada N-H karena adanya perbedaan keelektronnegatifannya. Prinsip dasar dari percobaan ini adalah dengan mereaksikan larutan etil asetat dan ammonia melalui proses destilasi campuran pada temperatur 180 . Kemudian dialiri kondensor pada campuran hingga temperatur 135 .

    Asam amida alifatik dapt dibuat melalui 3 tahap, yaitu dehidrasi garam ammonium dengan cara destilasi, pemanasan asam atau garam ammoniumnya dengan urea dan dengan perlakuan larutan ammonia pekat terhadap ester. Proses ini dikenal dengan ammonolisis ester yang analog dengan hidrolisis pada reaksi yang mirip. Jika amidanya larut dalam air seperti asetamida, maka dapat diisolasi dengan proses destilasi. Pada percobaan ini menggunakan proses ammonolisis karena hasil yang ingin dibuat adalah asetamida yang dapat larut dalam air yang diisolasi menggunakan proses destilasi. Proses destilasi banyak digunakan dalam pemisahan salah satunya ekstraksi minyak atsiri menggunakan destilasi (Elvianto, 2011).

    Berdasarkan percobaan yang dilakukan mula-mula dengan membuat campuran etil asetat dan ammonia dengan perbandingan 1 : 2. Pada prosesnya menggunakan tehnik destilasi. Destilasi adalah suatu metode yang digunakan untuk pemisahan dan pemurnian cairan berdasarkan kecepatan atau kemudahan menguap (volatilitas) bahan.penguapan atau destilasi umumnya merupakan proses pemisahan satu tahap. Proses ini dapat dilakukan secara kontinyu pada tekanan normal (Hart, 2003).

    Prinsip percobaan adalah pembuatan asetamida dengan cara mereaksikan amonia pekat dengan etil asetat melalui proses refluks dan destilasi. Reaksi yang terjadi :

    Prosedur kerja yang dilakukan adalah dicampurkan 49 mL etil asetat dan 90 mL amonia pekat yang didiamkan semalaman dimasukkan dalam labu destilasi. Dipasang karet gabus dileher labu dan tutup lengan samping agar gas amonia yang menguap tidak keluar dari labu. Campuran sesekali dikocok agar homogen, lalu didiamkan semalaman karena reaksi antara etil asetat dan amonia berlangsung lama yang diakibatkan kestabilan termal amonia yang rendah. Kestabilan termal merupakan kestabilan suatu senyawa yang dipengaruhi oleh suhu. Titik didih amonia sebesar -33,34˚C, oleh karena itu NHdalam suhu kamar berubah fasa menjadi gas. Dalam labu destilasi yang telah terisolasi, NHsusah bereaksi sepenuhnya dengan etil asetat karena sebagian NHberubah menjadi gas. Sintesis senyawa organik dapat ditambahkan katalis agar reaksi dapa berjalan dengan cepat. Namun, pada percobaan ini tidak digunakan katalis, karena pemakaian katalis juga harus disertai dengan pemanasan atau pemberian kalor. Dengan adanya pemanasan, dikhawatirkan hanya sedikit NHyang bereaksi dengan etil asetat sehingga asetamida yang terbentuk tidak maksimal.

    Setelah dibiarkan selama satu malam, campuran etil asetat dan NHdidestilasi. Tujuan dibiarkan selama satu malam yaitu untuk Prinsip kerja destilasi didasarkan pada perbedaan titik didih dari dua zat cair yang bercampur. Sintesis amonolisis ester ini selain menghasilkan asetamida, juga menghasilkan etanol. Oleh karena itu, cara destilasi dipakai karena kedua senyawa tersebut memiliki perbedaan titik didih yang signifikan, yakni etanol 78,4˚C, sedangkan asetamida 221,23 ˚C (Sudjadi, 1998). Selanjutnya, proses destilasi dihentikan jika campuran  etil asetat dan ammonia pekat sudah setengah atau sepertiga dari volume awal. Reaksi juga dihentikan ketika tidak ada lagi campuran yang menguap sehingga tidak menetes ke erlenmeyer yang berisi destilat (etanol). Hasil asetamida yang dihasilkan larutan asetamida yang bewarna agak kekuningan. Pada percobaan ini menggunakan proses yang ke 3 yaitu proses ammonolisis karena hasil yang ingin dibuat adalah asetamida yang dapat larut dalam air yang diisolasi menggunakan proses destilasi.

    Refluks adalah pemisahan suatu komponen dari suatu zat. Pada dasarnya prinsip refluks sama dengan ekstraksi. Pada metode ini seluruh zat yang diinginkan akan berakhir dalam suatu pelarut dan semua zat-zat penggangu dalam pelarut lain (Day dan Underwood, 2002).

    Etil asetat merupakan pelarut non polar, yang memiliki titik didih 77,1  dan titik leleh -83,6 . Cairan yang tidak berwarna berbau khas.pada banyak penelitian minyak astiri adalah senyawa kimia yang dapat tersari dengaan baik menggunakan etil asetat (Daintith, 1994) sedangkan ammonia disini berfungsi sebagai basa yang akan membentuk amida pada etil asetat. Percobaan ini juga menggunakan CaCl2 sebagai penangkap uap dari kondensornya atau sebagai pengoksidasi larutannya atau sebagai penyerap gas NHberlebih

    Hasil destilat yang dihasilkan adalah asetamida berwarna kuning dan larut dalam air dan etanol, lebih polar dikarenakan adanya gugus OH lebih kuat dari pada N-H disebabkan adanya perbedaan keeelektronegatifan (Marlina, 2012). Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan hanya didapatkan sedikit asetamida. Hal ini dikarenakan pada awal percobaan tidak dilakukan proses pendiaman etil asetat dengan ammonia pekat selama 1 hari tetapi hanya semalaman, sehingga reaksi berjalan lambat yang mengakibatkan jumlah produk asetamida yang didapatkan hanya sedikit. Dimana seharusnya, pada awal percobaan harus dilakukan pendiaman etil asetat dengan ammonia agar reaksi berlangsung cepat sehingga didapatkan produk dalam jumlah yang banyak.

    Hasil destilat yang didapat dilakukan uji dengan KLT dengan tujuan untuk membuktikan bahwa destilat yang diperoleh adalah asetamida. KLT yang digunakan dengan tinggi 5 cm, lebar 2 cm dan jaraknya 0,3 cm. Uji yang dilakukan dengan eluen kloroform dan digunakan etanol untuk mengidentifikasi noda, setelah ditotol noda, untuk melihat noda dapat dilihat dari lampu sinar UV. Hasil yang diperoleh tidak terlihat noda/spot yang muncul dari KLT. Ini mengakibatkan terjadinya kesalahan atau destilat yang diperoleh bukan asetamida murni dan dengan demikian tidak dapat diukur nilai Rf pada percobaan ini.

    Mekanisme reaksinya adalah :

    Berdasarkan dari mekanisme dapat dijelas kan bahwa bahwa pada reaksi pertama terjadi pemutusan ikatan rangkap yaitu dari atom C ke atom O. atom O ini memiliki 2 elekton bebas dan 2 elektron yang berikatan kemudian pada reaksi kedua atom C menjadi positif yang artinya kekurangan elektron. Atom C yang elektropositif ini diserang oleh NH3 yang lebih elektronegatif. Kemudian pada reaksi ketiga dimana atom O menyerang H yang lebih elektropositif dan atom N juga menyerang H sehingga pada reaksi keempat didapatkan senyawa NH3 manjadi senyawa NHsedangkan O nya kelebihan elektron dan menyerang ikatan pada atom C. Namun O yang berikatan dengan C2H5 lebih bersifat kekurangan elektron. Reaksi keempat ini menyebabkan ikatan rangkap antara atom C dan atom O tetapi ikatan antara O dengan C2Hini lepas sehingga yang dihasilkan adalah senyawa asetamida atau CH3CONHsebagai destilat dan etanol atau C2H5OH sebagai larutan kedua, yang dipisah melelui proses destilasiberdasarkan titik didih masing-masing larutan . karena yang ingin dipakai adalah asetamida maka hanya asetamida yang diambil dan etanolnya tidak dipakai lagi.

    Penjelasan singkatnya dari mekanisme reaksi diatas, terjadi pelepasan ikatan rangkap pada etil asetat. Kemudian saat direaksikan dengan amonia, terlihat bahwa NH3 menyerang karbon positif dari etil asetat dan kedua pereaksi mengalami pengikatan. Lalu, reaksi yang ketiga terjadi penyerangan H dari NHoleh O, sehingga H lepas dan berikatan dengan O. Selanjutnya terjadi ikatan rangkap kembali, dimana membentuk senyawa asetamida yang berikatan dengan etanol. Setelah itu terjadi pelepasan etanol yang mudah menguap terlebih dahulu. Terbentuklah senyawa asetamida

    Bab V. Kesimpulan

    A. Simpulan

    Berdasarkan percobaan yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa pembuatan asetamida dilakukan dengan mereaksikan etil asetat dan ammonia. Dimana proses ini disebut dengan ammonolisis ester. Mekanismenya melalui proses destilasi sampai diperoleh cairan murni yang disebut asetamida.

    B. Saran

    Adapun saran pada percobaan ini adalah dapat digunakan jenis asam karboksilat yang lainnya sebagai pengganti etil asetat.

    DAFTAR PUSTAKA

    Basri, S., 2003. Kamus Kimia. Rineka Cipta. Jakarta

    Daintith, J, 1994. Kamus Lengkap Kimia. Alih bahasa : Suminar Achmadi. Erlangga. Jakarta.

    Day R, A., dan Underwood A,L., 2002. Analisis Kimia Kuantitatif. Alih Bahasa : A.H. Pudjaatmaka. Erlangga. Jakarta

    Elvianto, D.W dan Muyasarroh. 2011. Ektraksi Minyak Atsiri Pada Tanaman Kemangi Dengan Proses Destilasi. ITN Malang. Malang.

    Fessenden, R.J dan Fessenden J.S., 1992. Kimia Organik, Jilid I, Edisi 3, A.B : A.H Pudjaatmaka, Erlangga, Jakarta.

    Hart, H. Crame, J.E dan Hart, D.J, 2003. Kimia Organik. Jilid I. Edisi 3. AB : Suminar Achmadi, Erlangga, Jakarta.

    Marlina, S., dkk. 2012. Pengaruh Konsentrasi Oksidator Pada Proses Hidroksilasi Minyak Jarak (Castor Oil) Dengan atau Tanpa Proteksi Gugus Hidroksi. Vol. 1 No.5 ISSN 2403-5672. ITB. Bandung.

    Sudjadi. 1998. Metode Pemisahan. Kanisius. Yogyakarta

  • Laporan Praktikum Termokimia

    Laporan Praktikum Termokimia

    Praktikum Termokimia adalah praktikum kimia yang bertujuan mempelejari perubahan energi panas yang terkait dengan reaksi kimia. Perunahan energi panas ini ditandai dengan perubahan suhu sebagai indikator terdapat perubahan energi.

    Praktikum Termokimia

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Termokimia merupakan cabang ilmu kimia yang merupakan bagian dari termodinamika yang mempelajari perubahan-perubahan panas yang mengikuti reaksi-reaksi kimia. Reaksi dalam termokimia terbagi menjadi reaksi eksoterm dan reaksi endoterm. Reaksi eksoterm adalah reaksi yang melepaskan kalor dari sistem ke lingkungan. Sedangkan reaksi endoterm adalah reaksi yang menyerap kalor dari lingkungan ke sistem (Petrucci, 1992).

    Jika kita melakukan reaksi kimia, ada dua kemungkinan, menghasilkan panas atau sebaliknya membutuhkan panas. Hal ini bergantung pada sistem dan lingkungannya. Ada sistem tertutup dan ada system terbuka. Sistem dan lingkungan ini saling berinteraksi satu sama lainnya.

    Jika kita membahas termokimia, maka kita akan mengenal entalpi. Perubahan entalpi adalah besarnya perubahan kalor yang menyertai reaksi kimia pada tekanan tetap. Entalpi dibedakan menjadi 5 yaitu : entalpi pembentukan, entalpi penguraian, entalpi pembakaran, entalpi netralisasi dan entalpi reaksi.

    Kebanyakan reaksi berlangsung dalam sistem terbuka dengan tekanan tetap (tekanan atmosfir). Jadi, kalor reaksi yang berlangsung pada tekanan tetap (dimana volume dapat berubah) dapat berbeda dari perubahan energi dalam (∆E). Untuk menyatakan kalor reaksi yang berlangsung pada tekanan tetap para ahli mendefinisikan suatu besaran termodinamika, yaitu entalpi (H). Entalpi menyatakkan kandungan kalor zat atau sistem. Perubahan entalpi (∆H) dari suatu reaksi sama dengan jumlah kalor yang diserap atau dibebaskan oleh reaksi itu (Chang, 2004).

    B. Tujuan Percobaan

    Tujuan dari percobaan ini adalah untuk mempelajari perubahan energi yang menyertai reaksi kimia.

    C. Prinsip Percobaan

    Penentuan kalor reaksi suatu campuran melalui pengamatan terhadap perubahan temperatur dalam selang waktu tertentu dengan menggunakan kalorimeter. Selain itu, kalorimeter juga dapat digunakan dalam penentuan tetapan kalorimeter, kalor reaksi, dan kalor pelarutan. Penentuan kalor reaksi Zn dengan CuSO4, penentuan kalor pelarutan etanol dalam air dengan mengamati perubahan suhu serta pada campuran air panas dan air dingin dapat ditentukan dengan tetapan kalorimeter.

    Zn + CuSO4 → ZnSO4 + Cu

    Bab II. Kajian Pustaka

    A. Termokimia

    Termokimia adalah ilmu yang mempelajari perubahan kalor yang menyertai suatu reaksi kimia. Termokimia mengenal sistem dan lingkungan, sistem adalah bagian tertentu dari alam yang menjadi pusat perhatian dan lingkungan adalah bagian diluar sistem atau yang berada di sekitar sistem (Chang, 2004).

    Didalam termokimia terdapat tiga jenis sistem anatara lain sistem terbuka, sistem tertutup, dan sistem terisolasi. Sistem terbuka yaitu sistem dimana dapat terjadi pertukaran energi dan massa dengan lingkungannya, sistem tertutup yaitu sistem dimana hanya terjadi pertukaran energi dengan lingkungannya, massa tidak berubah, sedangkan pada sistem terisolasi ialah keadaan yang tidak memungkinkan terjadinya pertukaran energi maupun massa dengan lingkungannya (Atkins, 1999).

    Hukum Hess

    Hukum Hess menyatakan bahwa “entalpi suatu reaksi tidak dipegaruhi oleh jalannya reaksi akan tetapi hanya tergantung pada keadaan akhir”. Artinya untuk menentukan entalpi suatu reaksi tunggal maka kita bisa mengkombinasikan berbagai reaksi sebagai jalan untuk menentukan entalpi reaksi tunggal tersebut (Oxtoby, dkk,2001).

    B. Kalorimeter

    Kalorimeter ialah suatu alat yang digunakan untuk mengukur perubahan kalor. Salah satu jenis kalorimeter adalah kalorimeter bom. Sistem termodinamika adalah isi dari kalorimeter tersebut, antara lain : reaktan dan produk bom itu sendiri, air tempat bom thermometer, dan pengaduk merupakan lingkungannya (Petrucci, 1987).

    Pada awalnya pengukuran termal dibatasi oleh ketersediaan instrumen kalorimetrik komersial yang dapat beroperasi pada tekanan tinggi. Namun dengan adanya perkembangan dan ketersediaan dari aliran panas  dan kekuatan yang  diimbangi dengan jenis kalorimeter pada tekanan tinggi (yaitu sampai 40 MPa), sifat termal pengukuran dapat dilakukan pada kondisi skala yang diperkecil dari sebenarnya (Gupta, 2008).

    C. Entalpi, Entropi dan Kapasitas Kalor

    Kalor pembentukan, sifat lain yang digunakan dalam mekanisme kinetik adalah entalpi (H), entropi (S), dan kapasitas kalor (Cp), sebagai fungsi temperatur. Sifat semacam ini diperoleh dengan menggunakan statistik mekanik. Energi internal (E), entropi (S) dan kapasitas kalor (Cp) dapat ditulis dalam bentuk fungsi partisi (Q) sebagai (Barreto, 2005):

    E = KBTV

    Terkadang beberapa orang  cenderung menilai reaksi termokimia dari segi entalpi (misalnya, panas reaksi), hal itu menyatakan bahwa  energi bebas dari sistem yang mendorong reaksi. Membagi spesies molekul ClH3N102 menjadi dua atau lebih spesies menurunkan energi bebas, terutama pada suhu yang lebih tinggi, contohnya  AG dari CH3 + NO2 lebih stabil dibandingkan CH3N02 sendiri. Dan pecahnya CH3NO2 menjadi molekul produk yang kecil, CO, H20, N2, dan Hz, membentuk tiga molekul dari satu molekul reaktan sangat eksotermis. Dengan demikian, perlu untuk memiliki lebih dari termostabilitas untuk melanggar ikatan yang ada untuk membuat bahan energik sensitif. Karena itu  perlu untuk memiliki jalur reaksi yang mencegah konversi langsung dari bahan energik untuk produk (Melius,C.F, 1995).

    2.2 Analisis Bahan

    2.2.1 Akuades (H2O)

    Akuades merupakan pelarut yang sangat baik, konstanta dielektriknya paling tinggi, tidak berwarna,tidak berbau, dan netral. Komposisi kalornya lebih tinggi dibandingkan dengan cairan lain. Memiliki titik beku 0oC dan titik didih 100oC dengan kerapatan sebesar 1,09 g/mol (Kusuma, 1983).

    2.2.2 Etanol (C2H5OH)

    Etanol atau yang biasa disebut etil alkohol merupakan zat yang mudah menguap, mudah terbakar, cairan ini tidak berwarna memiliki titik lebur sebesar -114oC dan titik didih sebesar 78,37oC serta memiliki nilai densitas sebesar 789 Kg/m3 (Daintith, 1994).

    2.2.3 Tembaga Sulfat (CuSO4)

    Tembaga sulfat merupakan senyawa berwarna biru dan bersifat higroskopis, digunakan sebagai fungisida, bahan pewarna, dan pengawet kayu. Garam ini ada sebagai rangkaian dari senyawa yang perbedaannya berdasarkan dari derajat hidrasi mereka, memiliki massa molar 159,62 g/mol serta memiliki titik lebur sebesar 110oC dengan nilai densitas sebesar 3,60 g/cm3 serta larut dalam air (Daintith, 1994).

    2.2.4 Zink (Zn)

    Zink merupakan logam putih kebiruan, cukup mudah di tempa dan di lunakkan pada suhu 110 – 150oC. Zink melebur pada suhu 410oC dan memdidih pada suhu 906oC. Logamnya yang murni sangat lambat melarut dalam asam dan alkali (Basri, 2003).

    Bab III. Metode Praktikum

    A. Alat dan Bahan

    3.1.1 Alat

    Alat-alat yang digunakan pada percobaan ini adalah bulb, batang pengaduk, botol semprot, erlenmeyer, gelas beaker, kaca arloji, kalorimeter, pemanas listrik, pipet ukur, pipet tetes, spatula, dan termometer.

    3.1.2 Bahan

    Bahan-bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah akuades, asam klorida (HCl), tembaga sulfat (CuSO4), etanol (C2H5OH), natrium hidroksida (NaOH), dan zink (Zn).

    B. Prosedur Kerja

    3.2.1 Penentuan Tetapan Kalorimeter

    Untuk menentukan tetapan kalorimeter, dimasukkan air sebanyak 20 ml kedalam kalorimeter, diamati dan dicatat temperaturnya. Kemudian dipanaskan 20 ml air dalam gelas kimia sampai kurang lebih 10oC diatas suhu kamar, dicatat temperaturnya. Setelah itu, dicampurkan air panas kedalam kalorimeter yang berisi air dingin tadi kemudian dikocok, diamati dan dicatat temperaturnya selama 10 menit dengan selang waktu 1 menit setelah pencampuran.

    3.2.2Penentuan Kalor Reaksi Zn + CuSO4

    Dimasukkan terlebih dahulu 40 ml larutan CuSO4 1M ke dalam kalorimeter, setelah itu dicatat temperaturenya selama 2 menit dengan selang waktu 1/2 menit. Kemudian ditimbang bubuk Zn seberat 3,00 g dan dimasukkan ke dalam larutan CuSO4 sambil dicatat temperatur pencampurannya selama 10 menit dengan selang waktu 1 menit.

    3.2.3 Penentuan Kalor Pelarutan Etanol dalam Air

    Dimasukkan air terlebih dahulu ke dalam kalorimeter, kemudian di catat suhunya selama 2 menit dengan selang waktu 1/2 menit. Setelah itu dimasukkan etanol yang sudah terlebih dahulu diukur temperaturenya ke dalam kalorimeter tersebut lalu dikocok dan dicatat temperature pencampurannya selama 4 menit dengan selang waktu 1/2& menit. Pada percobaan ini menggunakan 2 kalorimeter dan masing–masing kalorimeter digunakan sebanyak 2 kali, untuk kalorimeter A air yang dimasukkan sebanyak 27 ml dan 36 ml dengan etanol sebanyak 19,3 ml dan 11,6 ml. Sedangkan pada kalorimeter B digunakan air sebanyak 36 ml dan 45 ml serta etanol sebanyak 5,8 ml dan 4,8 ml.

    3.3 Rangkaian Alat

    Gambar 3.3 Kalorimeter

    Bab IV. Hasil dan Pembahasan

    A. Hasil Pengamatan

    4.1.1 Penentuan Tetapan Kalorimeter

    NoT (oC) air dinginT(oC) Air PanasTemperatur Pada menit
    T (Menit)T (0C)
    12742132
    2232
    3332
    4432
    5532
    6632
    7732
    8832
    9932
    101032

    4.1.2 Penentuan Kalor Reaksi Zn + CuSO4

    NoT(oC) (CuSO4)Temperatur pada Menit
    t (menit)T(oC)
    129o138
    2244
    3346
    4446
    5547
    6647
    7744
    8844
    9943
    101043

    4.1.3 Penentuan kalor pelarut etanol dalam air

    Volume airEtanol Temperatur
    AirEtanolt ( menit)T OCT OCT (menit)(TOC)
    27ml19,30,529260,535
    129135
    1,5291,535
    229235
    2,535
    335
    3,534
    434
    Volume(ml) AirEtanol Temperatur
    AirEtanolt (menit)T(oC)ToCt (menit)T(oC_
    361160,529280,534
    1291
    1,5291,5
    2292
    2,534
    334
    3,534
    433
    36580,529270,533
    1291
    1,5291,5
    2292
    2,533
    3
    3,5
    432
    454,80,529280,531
    4,8129281
    4,81,529281,5
    4,8229282
    2,531
    3
    3,5
    4

    4.2 Pembahasan

    Termokimia adalah kajian tentang kalor yang dihasilkan atau dibutuhkan oleh reaksi kimia. Termokimia merupakan cabang dari termodinamika karena tabung reaksi dan isinya membentuk sistem. Sebagian besar reaksi kimia yang terjadi, disertai dengan penyerapan atau perubahan energi. Ketika sistem bekerja/melepaskan kalor, kemampuan untuk melakukan kerja berkurang dengan kata lain energinya berkurang.

    4.2.1 Penentuan Tetapan Kalorimeter

    Kalorimeter adalah alat yang digunakan untuk mengukur jumlah kalor yang terlibat dalam suatu perubahan atau reaksi kimia. Kalorimeter secara umum dirancang agar sistem berada dalam keadaan tersekat agar tidak terjadi perpindahan energi maupun kalor antara sistem dan lingkungan. Prinsip kerja dari kalorimeter adalah mengalirkan arus listrik pada kumparan kawat penghantar  yang dimasukan ke dalam air suling.  Pada waktu bergerak dalam kawat penghantar  (akibat perbedaan potenial) pembawa muatan bertumbukan dengan atom logam dan kehilangan energi. Akibatnya pembawa muatan bertumbukan dengan kecepatan konstan yang sebanding dengan kuat medan listriknya. Tumbukan oleh pembawa muatan akan menyebabkan logam yang dialiri arus listrik memperoleh energi yaitu energi kalor / panas.

    Percobaaan ini bertujuan untuk mengetahui tetapan kalorimeter yang digunakan. Tetapan kalorimeter ini merupakan jumlah kalor yang dapat diserap oleh kalorimeter per satuan suhu. Tetapan kalorimeter harus diukur untuk mengetahui tetapan klorimeter itu sendiri atau banyaknya kalor yang diserap oleh kalorimeter karena setiap komponen kalorimeter maemiliki sifat khas dalam mengukur kalor. Hal ini terjadi karena komponen-komponen alat kalorimeter sendiri (wadah logam, pengaduk dan termometer) menyerap kalor, sehingga tidak semua kalor yang terjadi terukur. Maka dari itu, perlu untuk mengetahui tetapan kalorimeter terlebih dahulu. Untuk mengetahui tetapan kalorimeter, maka dilakukan pencampuran air dingin dan air panas yang telah diukur suhunya yang memiliki selisih 10oC di dalam kalorimeter. Setelah keduanya dicampurkan kedalam kalorimeter, kemudian di aduk dan diamati temperaturnya selama 10 menit dengan selang waktu 1 menit setelah pencampuran. Pengadukan dilakukan untuk mempercepat jalannya reaksi antara air panas dan air dingin. Tujuan digunakannya air dingin dan air panas karena air dingin dan kalorimeter akan menyerap kalor dan air panas akan melepaskan kalor. Pada percobaan ini, digunakan kalorimeter A. Suhu awal air dingin yang terukur pada kalorimeter A sebesar 27oC, suhu air panas sebesar 42oC dan suhu pencampuran sebesar 32oC

    Dalam percobaan ini diperoleh hasil perhitungan yaitu kalor yang diserap air dingin (q1) sebesar 420 J, kalor yang diserap air panas (q2) sebesar 840 J, dan kalor yang diserap kalorimeter (q3) sebesar 420 J.. Tetapan kalorimeter diperoleh dari membagi jumlah kalor yang diserap oleh kalorimeter (q3) dengan ΔT (suhu air panas/suhu air dingin) maka diperoleh tetapan kalorimeter sebesar 28 J/oC. Penentuan kalor reaksi secara kalorimetris didasarkan pada perubahan suhu larutan dan  kalorimeter dengan prinsip perpindahan kalor, yaitu kalor yang diberikan sama dengan jumlah kalor yang diserap.

    4.2.2 Penentuan Kalor Reaksi Zn + CuSO4

    Kalor reaksi adalah perubahan entalpi pada suatu reaksi atau kalor yang menyertai suatu reaksi. Reaksi endoterm adalah reaksi yang disertai dengan perpindahan kalor dari lingkungan ke sistem (kalor diserap oleh sistem dari lingkungannya), ditandai dengan adanya penurunan suhu lingkungan di sekitar sistem. Pada reaksi endoterm, entalpi sesudah reaksi menjadi lebih besar, sehingga ΔH positif. Sedangkan reaksi eksoterm adalah reaksi yang disertai dengan perpindahan kalor dari sistem ke lingkungan (kalor dibebaskan oleh sistem ke lingkungannya), ditandai dengan adanya kenaikan suhu lingkungan disekitar sistem. Pada reaksi eksoterm, entalpi sesudah reaksi menjadi lebih kecil, sehingga ΔH negatif.

    Pada percobaan ini digunakan larutan CuSO4 dan padatan Zn. Percobaan dimulai dengan dimasukkannya 40 ml larutan CuSO4 ke dalam kalorimeter dan diukur suhunya hingga konstan selama 2 menit dengan selang waktu ½ menit, hal ini bertujuan untuk mengetahui temperature awal dari larutan CuSO4. Hasil pengukuran menunjukkan suhu awal larutan adalah 29oC. Kemudian larutan tersebut ditambahkan dengan padatan Zn sebanyak 3 gram dan dilakukan pengamatan suhu kembali selama 10 menit dengan selang waktu 1 menit, tujuannya unutuk mengetahui nilai temperature konstan dari campuran tersebut. Setelah dilakukan pencampuran dengan 3 gram bubuk Zn, suhu larutan naik menjadi 38oC, naik lagi menjadi 44oC, dan pada menit ke 5 dan 6 suhunya meningkat menjadi 47oC. Pada menit ke 7 sampai 10, suhunya sedikit menurun menjadi 44oC dan 43oC. Suhunya semakin meningkat karena larutan bereaksi seutuhnya sehingga menghasilkan suhu maksimal, pada saat yang sama suhu larutan konstan. Adanya penurunan suhu pada menit ke 7 sampai 10 karena disebabkan kalor yang lepas dari sistem ke lingkungan akibat kalorimeter yang tidak tertutup sempurna pada saat pengocokan larutan dan menyebabkan ada kalor yang lepas ke lingkungan dan menyebabkan penurunan suhu pada larutan.

    Pada hasil percobaan menunjukkan penambahan logam Zn kedalam larutan CuSO4 mengakibatkan terjadinya kenaikan suhu yaitu dari 29 oC menjadi 47 0C. Hal ini menunjukkan terjadinya reaksi eksoterm antara logam Zn dengan CuSO4, dimana pada reaksi ini terjadi pelepasan kalor dari sistem ke lingkungan. Reaksi yang terjadi adalah reaksi autoredoks sebagai berikut:

    Zn (s) + CuSO4 (aq) → ZnSO4 (aq) + Cu (s)

    dimana logam Zn teroksidasi oleh larutan CuSO4 menjadi Zn2+ sedangkan Cu2+ pada CuSOtereduksi menjadi logam Cu. Cu lebih mudah mengalami reaksi reduksi dibandingkan dengan Zn karena memiliki potensial standar yang tinggi dari Zn.

    Pada percobaan ini diperoleh nilai perhitungan dari kalor yang diserap kalorimeter (q1) sebanyak 425,6 J serta kalor yang diserap larutan ZnSO4 (q2) sebesar 2439,6 J dengan nilai kalor reaksi Zn + CuSO4 (q3) yang diperoleh sebesar 2865,2 J. Nilai kalor reaksi ialah jumlah dari penambahan banyaknya kalor yang diserap kalorimeter dengan kalor yang diserap larutan ZnSO4, sehingga dapat disimpulkan bahwa nilai kalor reaksi adalah banyaknya kalor yang diperlukan suatu larutan untuk bereaksi dengan zat terlarutnya.

    4.2.3 Penentuan Kalor Pelarutan Etanol dalam Air

    Kalor pelarutan adalah panas yang dilepaskan atau diserap ketika satu mol senyawa dilarutkan dalam pelarut berlebih yaitu sampai suatu keadan dimana pada penambahan pelarut selanjutnya tidak ada panas yang diserap atau dilepaskan lagi. Pada percobaan penentuan kalor pelarutan ini menggunakan proses pelarutan campuran etanol dalam air.

    Ikatan hidrogen menyebabkan etanol murni sangat higroskopis, sedemikiannya ia akan menyerap air dari udara. Sifat gugus hidroksil yang polar menyebabkannya dapat larut dalam banyak senyawa ion, utamanya natrium hidroksida, kalium hidroksida, magnesium klorida, kalsium klorida, amonium klorida, amonium bromida, dan natrium bromida. Oleh karena etanol juga memiliki rantai karbon non polar, ia juga larut dalam senyawa nonpolar, meliput kebanyakan minyak atsiri dan banyak perasa, pewarna, dan obat.

    Pada percobaan ini pertama dimasukkan terlebih dahulu akuades kedalam kalorimeter,setelah itu diukur suhu awal air untuk menentukan temperature awal sebelum pencampuran selama 2 menit dengan selang waktu ½ menit. Kemudian diukur terlebih dahulu temperature awal etanol didalam gelas beker, setelah itu etanol tersebut dimasukkan ke dalam kalorimeter dan diaduk agar bercampur hingga homogen,kemudian temperature campuran diukur selama 4 menit dengan selang waktu ½ menit pengukuran semua temperature pada percobaan ini berguna unutuk menentukan ΔT yang digunakan pada proses perhitungan kalor pelarutan (ΔH).

    Ada dua kalor pelarutan yaitu kalor pelarutan integral dan kalor pelarutan deferensial. Kalor pelarutan integral didefenisikan sebagai perubahan entalpi jika suatu mol zat dilakukan dalam n mol pelarut. Kalor pelarutan diferensial didefenisikan sebagai perubahan entalpi jika suatu mol zat terlarut dilarutkan dalam jumlah larutan tak terhingga, sehingga konsentrasinya tidak berubah dalam penambahan 1 mol zat terlarut. Secara matematik didefenisikan sebagaimana ∆H, yaitu perubahan kalor dikatakan sebagai jumlah mol zat terlarut dan kalor pelarutan diferensial dapat diperoleh dengan menghitung kemiringan tergantung pada konsenterasi larutan.

    Percobaan pelarutan etanol dalam air menggunakan 4 sampel dengan perbedaan jumlah etanol dan jumlah air pada masing – masing sampel. Percobaan ini menggunakan 2 kalorimeter A dan B, untuk sampel pertama dan kedua menggunakan kalorimeter A sedangkan sampel ketiga dan keempat menggunakan kalorimeter B. ΔH dari sampel 1 dengan volume air sebanyak 27 ml dan volume etanol sebanyak 19,3 ml adalah 1153,56 J. Dengan besar kalor yang diserap air sebesar 680,4 J, kalor yang diserap etanol sebesar 263,16 J dan kalor yang diserap kalorimeter sebesar 210 J. Untuk sampel kedua dengan volume air 36 ml dan etanol sebesar 11,6 ml memiliki nilai ΔH sebesar 1015,42 J. Dengan besar kalor yang diserap air sebesar 756 J, kalor yang diserap etanol sebesar 105,42 J dan kalor yang diserap kalorimeter sebesar 154 J.

    Pada sampel ketiga dengan jumlah air 36 ml dan jumlah etanol 5,8 ml diperoleh ΔH sebesar 797,42 J. Dengan besar kalor yang diserap air sebesar 604,8 J, kalor yang diserap etanol sebesar 52,62 J dan kalor yang diserap kalorimeter sebesar 140 J. Pada ΔH sampel keempat atau sampel terakhir dengan volume air sebesar 45 ml dan volume etanol sebesar 4,8 ml diperoleh hasil sebesar 469,78 J. Dengan besar kalor yang diserap air sebesar 378 J, kalor yang diserap etanol sebesar 21,78 J dan kalor yang diserap kalorimeter sebesar 70 J. Dapat disimpulkan bahwa kalor pelarutan (ΔH) dari tiap-tiap variasi (mol air/mol etanol) semakin kecil dan dapat dilihat pada grafik. Grafik menunjukkan penurunan ΔH pada tiap-tiap mol air/mol etanol.

    Bab V. Penutup

    A. Kesimpulan

    Dari percobaan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam setiap reaksi kimia akan selalu disertai dengan perubahan energi.

    Perubahan energi ini dapat dilihat salah satunya dari perubahan suhu yang terjadi. Dari hasil grafik semakin besarnya mol air/mol etanol, maka semakin kecil pula kalor pelarutan (ΔH) nya.

    B. Saran

    Diharapkan pada praktikan, untuk praktikum yang selanjutnya bisa lebih baik mengocok larutan pada kalorimeter dan tertutup rapat agar kalor yang ada di dalam tidak keluar ke lingkungan, yang dapat mempengaruhi suhu pada saat percobaan.

    DAFTAR PUSTAKA

    Atkins, P.W, 1994. Kimia Fisika. Edisi 4. Jilid 1. Alih bahasa : Irma dan Kartahadiprodjo. Erlangga. Jakarta

    Barreto, Patricia R.P. Alessandra F.A. Vilela. Ricardo Gargano. 2005. Thermochemistry of Molecules in the B/F/H/N System. Laboratorio Associado De Plasma. Instituto Nacional De Pesquises Espaciais. Instituto Defisica. Univesidade Brasilia. Brasil

    Basri, 2003. Kamus Lengkap Kimia. Rineka Cipta. Jakarta

    Chang, R. 2004. Kimia Dasar Konsep-Konsep Inti. Edisi 3. Jilid 2. Pemerjemah : Sukminar. Erlangga. Jakarta

    Daintith, J, 1994. Kamus Lengkap Kimia. Alih bahasa : Suminar Achmadi. Erlangga. Jakarta

    Gupta, A. Jason Lachance. E.D Sloan Jr., Carolyn A. Koh. 2008. Measurements Of Methane Hydrate Heat Of Dissociation Using High Pressure Differential Scanning Calorimetry. Center Of Hydrate Research. Department Of Chemical Engineering Colorado School Of Mines. USA

    Kusuma, S, 1983. Bahan-Bahan Kimia. Edisi 7. Erlangga. Jakarta

    Melius, C.F. 1995. Thermochemistry and Reaction Mechanisms Of Nitromethane Ignition .Combustion Research Facility, Sandia National Laboratories. USA

    Oxtoby, D.W. Gillis. Norman H.Nachtrieb. 2001. Prinsip-prinsip Kimia Modern. Edisi 4. Jilid 1. Penerjemah : Suminar. Erlangga. Jakarta

    Petrucci, R.H, 1992. Kimia Dasar. Edisi 4. Jilid 1. Alih bahasa : Suminar. Erlangga. Jakarta