Blog

  • Nama Marga, Fam, Gelar Adat, Gelar Bangsawan di NTT

    Marga, Fam, Gelar Adat Bangsawan NTT

    Nusa Tenggara Timur atau NTT adalah sebuah provinsi yang pada jaman dahulu menjadi bagian dari wilayah kepulauan Sunda Kecil. Provinsi tersebut terdiri dari banyak pulau, antara lain : Pulau Flores, Sumba, Timor, Alor, Lembata, Rote, Sabu, Adonara, Solor, Komodo, dan Pulau Palue.

    Masyarakat Nusa Tenggara Timur terdiri atas etnis : Sabu, Sumba, Rote, Kedang, Helong, Dawan, Tatum, Melus, Bima, Alor, Lie, Kemak, Lamaholot, Sikka, Manggarai, Krowe, Ende, Bajawa, Nage, Riung, dan Flores. 

    Nama pada etnis di wilayah Nusa Tenggara Timur memiliki ciri pengenal kolekstif yang diesebut nama marga/fam yang dipengaruhi nama Portugal. 

    Nama ini tersebar dalam di beberapa Kabupaten. 

    Nama Klan/marga/fam pada umumnya adalah :

    • 1) Adoe 2) Amalo 3) Atamang 4) Betti 5) Dhakidae 6) Fukun 7) Hurek 8) Kabisu 9) Keraf 10) Kleiden 11) Lala 12) Lalang 13) Lelang 14) Lenggu 15) Leo 16) Lewar 17) Longginus 18) Lonwah 19) Mambait 20) Mandalangi 21) Mauboi 22) Mesak 23) Mesakh 24) Mitang 25) Moa 26) Mooy 27) Ngala Ducat 28) Nome 29) Nonot 30) Nope 31) Pani 32) Pello 33) Puu 34) Seda 35) Seda 36) Sepimawa 37) Sila 38) Sukun 39) Takaeb 40) Taopan 41) Udu 42) Usu 43)Wala 44)Wau/Gedang 45)Woe 46)Woe/Sao mere, tende dewa 47)Wungu, dll

    Sumber Referensi:

    Buku PERPUSTAKAAN NASIONAL RI JAKARTA 2012 Daftar Nama Marga/Fam, Gelar Adat dan Gelar Kebangsawanan Di Indonesia ISBN 978-979-008-495-7

  • Religiusitas dan Kepercayaan Masyarakat Bugis dan Makassar

    Religiusitas dan Kepercayaan Masyarakat Bugis dan Makassar

    Religiusitas dan kepercayaan masyarakat Bugis dan Makassar masih sangat kental. Konsep kepercayaan berasimilasi dengan agama dan bertahan hingga era modern.

    Hal yang paling unik mungkin paling unik adalah kepercayaan kembar Binatang seperti buaya, kadal dan sejenisnya. Ini hanya salah satu yang masih melekat dan paling mudah diamati namun hampir setiap sendi dari kehidupan suku Bugis dan Makassar berisi kepercayaan baik itu asli dari leluhur mereka maupun yang sudah menyatu dengan aturan agama khusunya Agama Islam dan Protestan.

    Kepercayaan Masyarakat Bugis dan Makassar

    Suku Bugis dan Makassar memiliki kepercayaan dan budaya lama yang sangat kuat. Manifestasi kecepercayaan tersebut masih terlihat hingga saat ini dan tumbuh bersama dengan agama yang masuk ke wilayah Sulawesi Selatan. Salah satu bentuk yang paling sering ditemukan adalah konsep ketuhanan yang masih dapat dijumpai hari dalam istilah daannya, sampai sekarang dalam konsep ketuhanan, misalnya, istilah Dewata Seuwa (Bugis) dan Tau ri A’rana (Makassar) masih sering diengar dan diyakini eksistensinya.


    Demikian pula dalam kehidupan sehari-hari, acara-acara seperti “mappangre galung” dan “maccera tasi” masih sering dilakukan dalam masyarakat petani dan nelayan. Tulisan ini, juga, mengeksplorasi keyakinan masyarakat di Sulawesi Selatan ini, baik sebelum maupun sesudah masuknya Islam. Begitu pula pengaruh agama lokal dan agama baru (Islam) dalam kehidupan sehari-sehari. Dialog yang dinamis antara agama lokal dengan Islam manjadi instisari tulisan ini.

    Suku bangsa Bugis dan Makassar yang lebih banyak mendiami sona bagian tengah Sulawesi Selatan. dua suku bangsa ini, hampir tidak dapat dibedakan, karena keduanya penganut agama Islam yang patuh, di samping itu sudah terjadi pembauran lewat perkawinan.

    Perbedaan utama yang tampak hanya pada bahasa dan aspek budaya tertentu yang khas dimiliki oleh komunitas di daerah pedalaman. Orang Makassar lebih dominan mendiami sisi selatan, sedangkan orang Bugis banyak bermukim di sisi barat wilayah propinsi Sulawesi Selatan. Pada umumnya orang Bugis-Makassar telah mengenal suatu kepercayaan sebelum mengenal agama Islam. Kepercayaan mereka itu disebut dengan Attorioloang, dan beberapa tempat, mereka menyebut dengan istilah Attaurioloang

    Kepercayaan ini adalah religi asli masayarakat yang merupakan gelombang migrasi yang tertua suku bangsa protomelayu (Toala dan Tokea) di Sulawesi yang untuk beberapa kurun waktu bercampur dengan kepercayaan suku bangsa gelombang kedua Deutromelayu yang bergerak dalam lingkungan agama yang universal kemudian.

    Akan tetapi unsur-unsur rohani dari kedua kepercayaan itu tetap lestari dalam keadaan yang menyamar, ia bergerak bersama dengan agama resmi namun ia tak diperkenankan menjalankan suatu organisasi atau melaksanakan secara terang-terangan. Contoh yang masih lestari dengan istilah mappanre galung artinya memberikan makan sawah/tanahmaccera tasi’, yaitu memberi korban kepada laut , mattammu bulung adalah salah satu dari rangkaian ritual pertanian masyarakat yang lahir karena didasari mitos Sangiang Serri dalam I La Galigo, dilakukan untuk menyambut dan merayakan akan keluarnya biji padi pertama, dan lain-lain.

    Sistem Kepercayaan

    Sistem kepercayaan dimaksudkan adalah bayangan manusia terhadap berbagai perwujudan yang berada di luar jangkauan akal dan pikiran manusia. Wujud-wujud tersebut tidak terjangkau oleh kemampuan akal dan pikiran sehingga perwujudan tersebut harus dipercaya dan diterima sebagai dogma, yang berpangkal kepada keyakinan dan kepercayaan. 

    Bayangan dan gambaran tersebut antara lain tentang alam gaib yang mencakup sejumlah perwujudan seperti dewa-dewa, mahkluk halus, roh-roh dan sejumlah perwujudan lainnya yang mengandung kesaktian. Termasuk rangkaian dari sistem kepercayaan tersebut adalah bayangan manusia tentang kejadiannya serangkaian peristiwa terhadap orang-orang yang sudah meninggal dunia dan peristiwa-peristiwa lainnya yang terjadi pada alam ini.

    Demikian pula sikap orang Bugis-Makassar terhadap “Yang Ilahi”, yang “Adikodrati” bertumbuh dari pengalaman hidup dengan masa-masa yang penuh dengan sukacita dan hari-hari sedih yang diawali dengan suatu perasaan gaib yang menaungi insani dan segala aspek kehidupan, sehingga rasa “keilahian” yang terpendam dalam batin sukar untuk diungkapkan, baik pernyataan yang berupa transenden (mempesona) maupun yang tremendum (menakutkan).

    Sebab itu untuk kurun waktu yang cukup lama sejarah kepercayaan manusia tidak menyebutkan nama TUHAN . Tuhan pencipta lalu dianggap oleh mereka tersembunyi jauh di atas ciptaannya, Dia telah menjadi serba gaib atau mereka jadi cenderung untuk mendekatkan diri kepada yang gaib dan menghayalkannya sebagai penjelmaan kepada leluhur (animisme) mereka, penghuni pohon/benda-benda tertentu (dinamisme). Serta dapat mewujudkan diri kedalam diri manusia terutama dalam diri seorang raja (dewa, dewaraja dsb.)

    Mereka juga mempercayai adanya dewa-dewa disamping Dewata Seuwae dalam Bugis (Tuhan Yang Maha Esa), To rie A’ra’na dalam Makassar (Yang Maha Berkehendak). Konsepsi Dewata Seuwae atau To rie A’ra’na mengisyaratkan bahwa jauh sebelum Islam masuk ke Sulawesi Selatan, konsep pemikiran tantang ketuhanan telah melembaga. 

    Manusia Bugis-Makassar sudah menanam kepercayaan dalam diri mereka terhadap Dewata Seuwae sebagai dewa tunggal. Tidak terwujud (de’ watangna), tidak makan dan tidak minum, tidak diketahui tempatnya, tidak berayah dan tidak beribu, tapi mempunyai banyak pembantu.

    Hal serupa dikemukakan pula Mattulada, bahwa religi orang Bugis-Makassar pada masa pra-Islam seperti tergambar dalam kitab I La Galigo, sebenarnya sudah mengandung suatu kepercayaan kepada suatu dewa yang tunggal, yang disebut dengan beberapa nama, seperti: 

    • PatotoE (Dia penentu Nasib), 
    • Dewata SeuwaE (Tuhan yang Maha Esa), dan 
    • Turie A’ra’na (Yang memiliki kehendak mutlak). 

    Sisa-sisa kepercayaan tersebut masih tampak jelas hingga kini di beberapa daerah, seperti Tolotang di Sidenreng Rappang, dan Kajang di Bulukumba.

    Konsepsi pemikiran tentang Tuhan tunggal sebagai bentuk agama tertua, juga dikemukakan oleh Andrew Lang. Menurut A. Lang beberapa hal membuktikan bahwa kepercayaan pada satu Tuhan bukan karena adanya pengaruh agama Kristen dan Islam, Lang berpendapat bahwa pada bangsa yang tingkat budayanya sudah maju ternyata kepercayaannya terhadap satu Tuhan terdesak oleh pengaruh kepercayaan terhadap mahkluk-mahkluk halus, dewa-dewa alam, hantu-hantu dan sebagainya. 

    Jadi kata Lang, sebenarnya kepercayaan terhadap dewa tertinggi itu sudah sangat tua dan mungkin merupakan bentuk agama yang tertua. Pendapat ini diramu oleh Lang dari folklore berbagai bangsa di dunia berupa dongeng yang melukiskan adanya tokoh Dewa Tunggal. Bahwa di berbagai suku bangsa bersangkutan sudah ada kepercayaan terhadap adanya satu Dewa yang merupakan dan dianggap Dewa tertinggi yang yang mencipta alam semesta dan seluruh isinya, serta sebagai penjaga ketertiban alam dan kesusilaan.

    Pendapat Andrew Lang itu disokong kemudian diperluas lagi oleh P. Wilhelm Schmitd SVD, yang mengemukakan bahwa agama itu berasal dari titah Tuhan yang diturunkan kepada umat manusia ketika muncul di bumi. Jadi sejak masyarakat manusia masih rendah tingkat budayanya memang sudah ada ‘Uroffenbarung’ atau Titah Tuhan yang murni, sehingga kepercayaan ‘Urmonotheisnus’ yaitu kepercayaan yang asli dan bersih dari khurafat, memang sudah ada sejak Zaman purba di mana tingkat budaya masyarakat masih sangat sederhana. 

    Hanya karena tangan-tangan manusialah yang menyebabkan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa itu menjadi rusak, dipengaruhi oleh berbagai bentuk pemujaan kepada mahkluk-mahkluk halus, kepada roh-roh dan dewa-dewa, yang diciptakan oleh akal pikiran manusia sendiri.

    Sedangkan menurut Schmidt, monotheism, kepercayaan terhadap satu tuhan, sesungguhnya bukan penemuan baru tetapi sudah tua. Bahwa agama itu berasal dari perintah Tuhan terhadap manusia pertama di dunia. Maka adanya gejala kepercayaan terhadap dewadewa, roh-roh nenek moyang dan sebagainya adalah merupakan suatu kepercayaan pada manusia dalam tingkat teknologi sederhana.

    Selanjutnya Schmidt menegemukakan istilah ‘urmonotheismus’ sebagai tingkat kepercayaan manusia yang masih hidup dalam tingkat tekhnologi sederhana. 

    Dalam kaitannya dengan kepercayaan yang tua pada masyarakat orang Bugis-Makassar, menurut Aminah adalah kepercayaan animisme dan dinamisme. 

    Sedangkan Kepercayaan pra-Islam, seperti yang dikemukakan oleh Abu Hamid, pada dasarnya dapat

    dilihat dalam tiga aspek, yaitu:

    • Kepercayaan terhadap arwah nenek moyang,
    • Kepercayaan terhadap dewa-dewa Patuntung,
    • Kepercayaan terhadap pesona-pesona jahat.

    Kepercayaan semacam ini oleh E.B Tylor dinamakan animisme, yaitu berasal dari kata anima, berarti soul atau jiwa. Menurut Tylor, animisme adalah suatu kepercayaan tentang realitas jiwa. Menurut animisme seperti yang dikemukakan Tylor, setelah manusia meninggal dunia, jiwa tau roh akan meninggalkan jasmaninya dan selanjutnya bisa berpindah dan menempati makhlukmahkluk hidup ataupun benda-benda material. Karena itu, agar roh tadi tidak mengganggu, maka perlu dilakukan pemujaan pada arwah leluhur atau benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan magis.

    Kepercayaan ini ialah anggapan mereka terhadap adanya roh pada batu atau pohon, gunung dan sebagainya yang melahirkan berbagai cara penyembahan yang dinamakan Attoriolong (Agama leluhur). Attoriolong dalam proses perkembangannya telah mendapatkan pengaruh Konfusius dan Hindu. Oleh karena itu mereka percaya pada tiap-tiap tempat yang dianggap keramat, tempat bersemayam diatas atau di dalamnya roh-roh terutama pohon yang rindang daunnya seperti pohon beringin yang disebut dalam bahasa Bugis Ajuara.

    Kepercayaan animisme mengalami perkembangan sejalan dengan perkembangan masyarakat. Menurut faham animisme, arwah leluhur juga mempunyai struktur sosial sebagaimana halnya masyarakat manusia. Para leluhur mempunyai kedudukan yang berstruktur, mulai dari yang terendah sampai kepada yang tertinggi.

    Arwah yang menempati lapisan atas memiliki pengaruh yang paling menentukan pada kehidupan manusia. Dengan demikian, pemujaan terhadapnya juga dilakukan lebih serius dibanding dengan yang lainnya. Arwah yang menempati lapisan teratas tadi, mereka menamakannya sebagai dewa.

    Kepercayaan orang Bugis-Makassar terhadap arwah nenek moyang, dinyatakan dalam bentuk pemujaan terhadap kuburan dan tempat-temapt tertentu. Pemujaan diberikan terhadap kuburan orangorang tertentu yang mereka anggap berjasa pada masyarakat, baik karena mereka pernah memeberi sumbangan dalam pemukiman atau karena semasa hidup mereka dianggap sebagai tokoh rohaniawan dalam masyarakat. Kepercayaan semacam ini berlanjut pada masamasa pasca-Islam dan masih dapat ditemukan dalam masyarakat Gowa sampai sekarang. 

    Selain itu, mereka juga melaksanakan pemujaan terhadap tempat dan benda-benda tertentu yang dianggap sacral, seperti: batu naparak (batu datar), pohon kayu besar, gunung, sungai dan posi butta (tiang tengah sebuah rumah).

    Ritual-ritual yang berkaitan dengan kepercayaan pada kuburan, tempat, dan benda-benda tertentu, dipimpin oleh seorang pinati. Fungsi pinati adalah untuk menjaga tempat-tempat sakral serta melayani upacara sesajen. 

    Upacara sosial yang dilakukan oleh masyarakat setelah panen disebut upacara saukang. Tempat upacara biasa dilaksanakan di posi butta di kayuara (jenis pohon kayu besar).

    Dalam rumah tangga bangsawan atau kepala-kepala adat, disimpan suatu benda sakral, seperti keris, kalewang dan Panji. Benda-benda itu disebut pantasak dan merupakan simbol status keluarga dalam masyarakat. Mereka juga mempercayai terhadap fenomena-fenomena alam yang dianggap bisa mempengaruhi kehidupan manusia. Seperti contoh, dapat dilihat dalam kepercayaan mereka terhadap gerhana bulan atau gerhana matahari. 

    Dalam Lontara Pangisengeng disebutkan:

    Rekko muharrang ngi na siamek uleng nge/ ma ega jak na paturung Allah Taala ri tana e/ Ma ega to sara ininnawa na arung nge/ Enreng nge tau tebbek na/ Ma deceng ngik massidekka ro to namase-mase.

    Jika terjadi gerhana bulan pada bulan muharram, banyak kejahatan yang diturunkan Allah Ta’ala (didalam negeri banyak. Banyak kesusahan hati yang menimpa pada raja dan rakyatnya. Sebaiknya, (untuk menghindari itu) kita banyak bersedekah kepada orang miskin.

    Lontara pangissengeng di atas menyinggung nama bulan dalam kalender Islam, yakni bulan Muharram. Hal ini menunjukkan bahwa lontara tersebut ditulis setelah Islam diterima di Sulawesi Selatan.

    Selain itu, dapat diartikan bahwa kepercayaan lama masih tetap berlangsung setelah Islam diterima baik oleh masyarakat. yaitu kepercayaan kepada dewa-dewa disamping Dewata Seuwwae, karena mempunyai tingkatan-tingkatan dalam pemujaan dan persajian, sehingga membaginya menjadi tiga tingkatan sesuai dengan tempat dimana dewa-dewa itu bersemayam dan bertugas, yaitu:

    Dewata Langie, 

    yaitu suatu dewa yang menghuni langit. Dewa ini diharapakan mendatangkan hujan yang sekaligus kemkmuran. Disamping itu dewata langie dapat memebawa kerusakan pada ummat manusia dengan jalan menurunkan petir yang dalam bahasa Bugis nakenna uling, atau dengan mendatangkan kemarau yang panjang. 

    Dalam persajian, maka rakyat/penduduk menyajika makanan berupa empat macam warna ketan yang dalam bahasa Bugis disebut massorong sokko patanrupa di dalam sebuah balasuji di atas loteng rumah. Dewa ini rupanya pernah hidup di antara manusia, akan tetapi kini sudah gaib yang dalam bahasa Bugis disebut mallajang.

    Dewata Mallinoe, 

    yaitu suatu dewa yang banyak menempati tempat-tempat tetentu, tikungan-tikungan jalan, posi tana (pusat bumi), pohon yang rindang daunnya, batu-batu besar atau belukar. 

    Mereka melakukan persajian dengan meletakkan telur dua kali Sembilan biji dan beberapa sisir pisang, manuk mallebu (ayam masak yang tak ada bulunya), meletakkan sokko patanrupa dalam sebuah anca yang terbuat pucuk ijuk yang disebut daung bompong, dan diletakkan atau digantung pada pohon dalam hutan atau tempat-tempat persajian lainnya. 

    Persajian eperti ini disebut dalam bahasa Bugis mattoana tautenrita, maksudnya mempersembahkan korban kepada dewata yang tak tampak.

    Dewata Uwae, 

    yaitu yang tinggal di air biasanya dilakukan dengan iringan gendang dimana sebuah balasuji berisi bendabenda tertentu, seperti sejumlah telur yang belum masak, sokko patanrupa, daun sirih yang dianyam bersilang dan bermacam-macam daun tertentu serta daun paru yang diatasnya diletakkan beras yang sudah diberi kunyit dan sebagainya. 

    Pada beberapa tempat upacara pelaksanaan serupa ini dilakukan sebelum subuh, yang dalam bahasa Bugis disebut denniari. Menurut kepercayaan orang Bugis-Makassar dahulu, bahwa dewata/dewa dahulu kala itu mempunyai tempat bersemayam tertentu, akan tetapi tidak selalu disuatu tempat. Para dewata itu baru berada di tempat bersemayam jika sedang ada upacara atau persajian, seperti upacara minta hujan, minta berkah dewata, tulak bala, massorong sokko patanrupa, mappanre galung, mattoana, manre sipulung, dan sebagainya.

    Menurut pandangan antropologi, kaum animisme mempersonifikasikan tenaga-tenaga alam gaib yang di luar kontrol manusia, menjadi dewa-dewa. Segala sesuatu yang di luar kekuasaan manusia, diserahkan kepada dewa. Mereka menjadi sasaran kultus, ritus, sesajen, da permohonan. 

    Untuk keperluan tertentu dipuja dewa tertentu pula, yang dinyatakan memlebihi dewa-dewa lain. demikian halnya dalam masyarakt Bugis-Makassar pra-Islam juga mempercayai banyak dewa, salah satu diantaranya adalah:

    • Tokammaya Kanana yang dianggap sebagai dewa tertinggi. Dialah yang menciptakan sekalian alam dan segala isinya. 
    • Sedang dewa pengawas dan pemelihara ciptaan, mereka sebut Ampatana
    • Dewa khusus yang menjaga manusia disebut Patanna Lino

    Mereka memiliki pandangan kosmologi yang dapat dilihat dalam kepercayaan mereka bahwa alam ini terdiri atas tiga lapisan banua, yaitu 

    • botting langik (dunia atas), 
    • kale lino (dunia tengah), dan 
    • paratiki atau pertiwi (dunia bawah). 

    Untuk menghindari malapetaka tertentu, seperti penyakit menular, hama tanaman, kekeringan, dan sebagainya, mereka melakukan upacara pemujaan terhadap dewa. Pemujaan dipimpin oleh seorang tokoh yang mereka namakan anrongguru (Makassar), anreguru (Bugis). 

    Mereka juga mempercayai dewa-dewa bawahan yang disebut puang lohate. Ia bertugas untuk menggerakkan peristiwa alam, dewa-dewa bawahan ini berada disemua tempat. Oleh karena itu, masyarakat Bugis-Makassar dapat melakukan penyembahan di kampung sendiri. Walaupun mereka mempercayai bahwa pusat dewa terdapat di Gunung Bawakaraeng.

    Mengacu pada uraian diatas, maka sikap manusia terhadap Tuhan dalam kepercayaan Bugis Makassar adalah massoma (menyembah) atau makkasiwiyang (mengabdi) kepada-Nya. Manusia mengharapkan dari tuhan, cahaya budi untuk memahami kondisinya sendiri dan bagaimana ia harus bertindak. Cahaya budi itu dalam kepercayaan Bugis disebut pabbiritta atau pammase

    Manusia yang mendapat pammase mampu mengatur hidupnya secara wajar, mereka disebut Tau Tongeng-tongeng (manusia seutuhnya) atau sederajat lebih tinggi lagi disebut Tau Bettu (manusia transenden).

    Berbagai ritual dilakukan untuk memohon dan menyembah para dewata tersebut. Ritual penyembahan massompa antara lain : 

    • tulakbala, 
    • massorong, 
    • mappaenre, 
    • mattoana, 
    • millau bosi, 
    • mattedduk arajang, 
    • mappedaung arajang, 
    • manre sipulung, 
    • maddoja bine, 
    • mapaplili dan 
    • mappalettuk. 

    Ritual semacam ini dihadiri oleh sebagian komunitas dan biasa jg dihadiri oleh semua masyarakat setempat. Jika disederhanakan, maka massompa kepada Dewata dalam kepercayaan Bugis-Makassar akan digolongkan menjadi empat kategori beradasarkan penggolongan Dewata. 

    • Massompa kepada Dewata LangiE (Dewa Langit) yang bermukim di Bottinglangik, dicandera dengan nama mappaenrek (persembahan naik ke atas).
    • Massompa kepada Dewata Mallinoe (Dewa yang Membumi) yang bermukim di Alekawa, dicandera dengan nama mappangolo (menghadapkan). 
    • Massompa kepada Dewata TanaE (Dewa Tanah) yang bermukim di Peretiwi atau Posiktana, dicandera dengan nama massorong (menyodorkan atau mendorong persembahan turun).
    • Massompa kepada Dewata UwaE (Dewa Air) yang bermukim di Burikliuk, di candera dengan nama Mappanok (persembahan ke bawah). 
    • Massompa kepada Dewata PatotoE, Dewata tertinggi, dicandera dengan nama makkasuwiyang atau mengabdikan diri.

    Jumlah Dewa-dewa orang Bugis-Makassar pra Islam amat banyak. Kebanyakan diantara Dewa menempati tempat-tempat yang dianggap keramat. Dewa-dewa tersebut datang pada tempat tersebut apabila diadakan upacara/ritual. 

    Dewi padi atau sangiasseri yang hidup diantara para kaum tani akan datang pada upacara mappalili atau maddoja bine.

    Pranata-pranata keagamaan yang menghubungkan dengan sistem-sistem kepercayaan orang Bugis-Makassar sebelum agama Islam dapat kita lihat dari segi kepercayaan yang meliputi :

    • Pammasareng,
    • Dewata-dewata,
    • Tau Tenrita, 
    • Barilaya,
    • Makerre’ (mempunyai kekuatan sakti),
    • Lasa Namateng,
    • Atuwong Lino na esso rimonri, 
    • dan sebagainya. (Nyompa, 1992 :40).12

    Demikianlah sistem kepercayaan orang Bugis-Makassar menurut kepercayaan animisme, dinamisme, dan kepercayaan kepada dewa-dewa. Seperti kita ketahui bahwa masa tersebut di atas tidak diketahui pasti kapan dimulai, oleh karena keprcayaan ini berlangsung hingga kini dalam bentuk religi/agama kerakyatan yang lokal. 

    Di kalangan orang Bugis-Makassar yang telah melaksanakan syariat secara konsekwen menurut ajaran Islam, khususnya di desa-desa, pegunungan dan pedalaman masih dapat dijumpai tanggapantanggapan mereka terhadap dunia gaib yang berasal dari konsepkonsep kepercayaan lama. 

    Tanggapan demikian dinyatakan dalam berbagai upacara yang dilakukan sehubungan dengan kegiatan hidup sehari-hari, seperti upacara atau ritual naik ke Gunung dan turun ke sawah yang disebut mappalili, maccera, manre sipulung, massmpo, mattoana dan sebagainya.

    Islamisasi Bugis-Makassar

    Islamisasi orang Bugis-Makassar berlangsung secara damai dan dimulai dari lapisan elit ke lapisan massa bawah (top down). Terdapat beberapa versi proses masuknya Islam di Sulawesi Selatan, misalnya  proses islamisasi dalam sejarah kerajaan Gowa dan Tallo. Raja Tallo VI bernama I Mallikang Daeng Nyonri Karaeng Katangka mulai memeluk agama Islam pada tanggal 22 september 1605. Raja Tallo yang juga Mangkubumi Kerajaan Gowa ini diberi gelar Arab: Sultan Abdullah Awwalul Islam. 

    Peristiwa ini disusul dengan pengislaman raja Gowa XIV bernama I Mangarangi Daeng Manrabia, yang mendapat nama Arab Sultan Awaluddin. Dua tahun kemudian seluruh rakyat Gowa dan Tallo telah memeluk agama Islam.Abdurazak Dg. Patunru, Sejarah Gowa, (Makassar: Yayasan Kebudayaan

    Sulawesi Selatan Tenggara, 1967), h. 22

    Bila raja telah memeluk agama Islam, maka rakyat dipandang juga telah memeluk agama tersebut. Agama raja serta merta menjadi agama Negara. Pola pengislaman “dari atas kebawah ini memanfaatkan tradisi lokal Bugis-Makassar yang menganggap raja sebagai pemilik kekuatan gaib yang diperoleh melalui penitisan dewa-dewa, yang memiliki kekutan fisik dan metafisik. Pemimpin dari penitisan dewa itulah yang dipercayai sebagai representasi kekuasaan bumi dan langit yang berkelanjutan dari dunia sampai pada hidup setelah mati.

    Kekuasaan dalam kelompok masyarakat diserhakn kepada orangorang yang memiliki kekuatan adikodrati (gaib) dianggap sebagai hal yang menentukan dalam kehidupan, sekaligus menjadi sumber segala kekuasaan dan kepemimpinan.

    Islam sendiri sampai ke Makassar diperkirakan sekitar tahun 1546-1565, karena pada saat itu raja Gowa ke XVI. Raja tonijallo sudah mendirikan mesjid untuk kalangan orang melayu di Mangalekana, sekalipun demikian, menurut Mattulada, dua kerajaan beasar yang kembar ini secara resmi memeluk agama Islam pada abad ke-16, tepatnya pada tanggal 9 November 1607. 

    Kita kemudian mengenal kerajaan Gowa dan Tallo ini lah sebagai sumber dari penyebaran Islam. Memang terdapat beberapa pendapat tentang kapan pastinya Islam masuk ke Makassar secara resmi. Spelman memperkirakan waktu itu terjadi sekitar tahun 1603 (Notitie van Speelman/ catatan Speelman; 1669). Ini disepakati oleh F.W. Stapel (Het Bongais verdrag, 1922), Matthes ( Machassarche Cherosmatic, 1883) dan Crawfurd (Historian of the Indian Archipelago, 1820) yang menunjuk angka tahun 1605. 

    Seorang peneliti lain Rouffaer dengan bersandar pada Makassarche Historien menunjuk tahun 1607, itu sebagai tahun masuknya Islam. Perbedaan ini dilukiskan dengan cukup detil oleh Noorduyn dalam bukunya Islamisasi di Makassar. Noorduyn. J. 1956. Islamisasi Makassar dari judul asli De Islamisereing van Makassar, (t.tp : B.K.I., 1956), h. 247-266

    Sebagaimana telah diuraikan di atas bisa disimpulkan, bahwa dalam versi sejarah resmi, proses Islamisasi orang Bugis-Makassar di Sulawesi Selatan awalnya memang awalnya dari kekuasaan (top down), yakni melalui kekuasaan para raja kemudian diikuti oleh rakyatnya. Kenyatan seperti ini pun digunakan oleh kolonial Belanda, yang menyebabkan agama asli menjadi korban penjajahan dan diskriminasi. Orang-orangnya dimasukkan ke kategori ‘kafir’ heidenen sebagai barang yang tersisa a residual factor. Karena pemerintah colonial tidak berkontak dengan rakyat jelata yang mayoritasnya beragama asli, tetapi hanya dengan pengusahapengusaha feodal yang kurang lebih kehinduan atau keislaman. Oleh sebab itu peraturan-peraturan kolonial berpedoman pada agama minoritas lapisan atas.

    Sebagai contoh, peraturan tahun 1895, No. 198, misalnya, mewajibkan agar semua perkawinan dari orang yang bukan Kristen dan bukan Hindu dilakukan menurut Islam. Demi penyederhanaan administrasi perkawinan, maka massa rakyat masuk statistik di bawah rubrik Islam dan menyebut diri selleng (bugis) sallang (Makassar).

    Untuk mempertahankan rust en orde buku-buku polemis dilarang; subsidi diberikan kepada pusat-pusat agama Islam, naik haji ke Mekkah diselenggarakan secara besar-besaran, dan keseluruhan hukum adat asli yang amat berlainan dengan syariat, diadopsi dalam hokum resmi menurut teori receptio in complex.

    Dari pihak Islam kurang ada usaha untuk mengubah ‘orang Islam surat-kawin’, yang dengan mendadak dalam jumlah berjuta-juta digabungan dengan umat itu, agar menjadi orang mukmin yang taat kepada syariat. Sampai tahun 1895, agama asli meskipun tidak mulus lagi, tetap menjadi dominant religious pattern. Tanpa perbedaan mutu, dogma asli dan asing hidup berdampingan. 

    Konfrontasi kaum santri dengan agama asli baru mulai sejak teejadinya kontak dengan pusat Islam di Mekkah, setelah terusan Suez dibuka pada 1869. Timbullah usaha untuk membersihkan tubuh Islam dari takhayul, adat kejawen, attoriolong dan adat kehinduan dan pra-Islam. 

    Proses pemurnian ini berlanjut hingga masa kemerdekaan, bahkan hingga masa reformasi sekarang ini. Gerakan Gerombolan Kahar Muzakkar, Gerakan Operasi Tobak saat pemebrantasan ateisme di Sulawesi Selatan, dan gerakan dimassa pada masa-masa reformasi akhir-akhir ini; adalah beberapa contoh kasus di Sulawesi Selatan.

    Di satu sisi ada juga sebagian kalangan yang menduga bahwa Islam masuk ke wilayah Sulawesi Selatan jauh sebelum tahun-tahun dalam versi sejarah resmi yang diuraikan sebelumnya. K.H. S. Jamaluddin Aseegaf Puang Ramma, misalnya, dalam bukunya Kafaa dalam Perkawinan dan Dimensi masyarakat Sul-sel (tanpa tahun penerbit, menyebutkan bahwa masuknya Islam ke Sulawesi-Selatan diperkirakan berlangsung sekitar tahun 1320. 

    Yang pertama datang adalah seorang sayyid yang bernama Sayyid Jamaluddin Akbar al-Husaini. Ia adalah kakek dari Maulana Malik Ibrahim, Sunan Giri dan Gunung Jati. Sayyid jamaluddin datang dari aceh lewat pajajaran Majapahit, yang saat itu diperintah oleh Raden Wijaya. Dari sini Sayyed Jamaluddin lalu melanjtkan perjalanannya ke Sulawesi Selatan. Ia mendarat di pantai Bojo Nepo kabupaten Barru, dan masuk ke Bugis Tosara (Wajo). Sayyid Jamaluddin meninggal sekitar tahun 1320 M. versi ini kemudian menjelaskan bahwa raja yang pertama memeluk agama Islam adalah La- Maddusila. Ini juga ditemukan dalam kitab Hadiqatul Azhar yang ditulis oleh Ahmadi bin Muhammad Zain al-Fattany, Mufti kerajaan Fattani di Malaysia.

    Cerita lain yang tidak ditulis dalam sejarah resmi adalah Islamisasi di Sulawesi Selatan itu dilakukan oleh sayyid Jalaluddin di Mangara Bombang, yang sekarang dikenal dengan Cikoang. Sayyid Jalaluddin tidak diterima baik dalam lingkungan kerajaan Gowa. Karena penyebaran ajarannya tidak melalui kekuasaan dan legitimasi para raja, dia pun kurang dikenang dalam sejarah Islamisasi, malah keturunan dan pengikutnya saat ini mendapat cap pelaku bid’ah dalam Islam. Padahal proses Islamisasi yang dilakukannya tidak dengan nuansa syariat yang kaku, melainkan melalui proses dialog dengan budaya setempat. Salah satu contohnya, ia mengganti rebbana yang terkesan Arab dengan ganrang sebagai alat musik saat memperingati kelahiran nabi (maulid), bahkan mengganti nama Maulid Nabi dengan kaddo minyak.

    Cover buku ISLAMISASI BUGIS:
    KAJIAN SASTRA ATAS LA GALIGO
    VERSI BOTTINNA I LA DEWATA SIBAWA I WE ATTAWEQ 

    Demikian pula halnya dengan para penganjur Islam lokal seperti Latola Pallipa Putewe. Ia tidak mendapatkan tempat dalam sejarah Islamisasi di Sulawesi Selatan. Padahal bagi keturunan Latola, puang Barakka dan Peno, Latola adalah seorang wali yang sangat berjasa menyebarkan Islam di Langnga, dan Katteong bahkan Pinrang pada umumnya. “Latola adalah penganjur Islam di daerha ini, dialah yang mengajarkan kepada masyarakat pada masa itu bagaimana seharusnya seorang Muslim mengamalkan ajaran agamanya”., ujar Puang Barakka dengan tegas. Seorang peneliti dari UIN Makassar, justru mengambil kesimpulan bahwa Latola ini adalah seorang wali penganjur Islam di Mattirosompe kabupaten Pinrang. Hal ini juag didukung oleh peneliti lain yang juga dari UIN Alauddin Makassar tentang cara-cara Latola dalam mengembangkan ajaran Islam yang masih ada unsur-unsur keprcayaan lokal ia berpendapat bahwa “Islam datang ke satu tempat tidak boleh hitam putih, tapi harus bisa saling mengisi dengan budaya ditempat mana ia akan menapak. Samiang Katu, Pasang ri Kajang, (Makassar: Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat PPIM IAIN Alauddin Makassar, 2000), h. 28

    Penulisan sejarah tentang proses Islamisasi yang cenderung bersifat elitis semacam itu, telah mengakibatkan cerita-cerita keberislaman yang lain, yang lokal, yang bernuansa sufistik, yang berdialog dengan budaya setempat, justru menjadi sesuatu yang aneh bagi masyarakat banyak di Sulawesi Selatan. 

    Praktek keberislaman yang muncul seperti di Cikoang, Bissu, Karampuang, Cerekang, Tanah Toa, Tolotang dan Bawakaraeng tidaklah mendapat apresiasi. Sebalikya, mereka malah dianggap sebagai penganut Islam yang belum sempurna bahkan sesat, sehingga perlu diluruskan bahkan ditumpas.

    Demikian halnya pada masa pergerakan kemerdekaan Nasional Indonesia, gerakan islamisasi belum ada dampak signifikan di wilayah Sulawesi Selatan. Periode islamisasi berikutnya baru terjadi dampak yang cukup signifikan terhadap agama dan komunitas lokal, yaitu pada masa pemberontakan Kahar Muzakkar sekitar Tahun 1950- 1957. 

    Dibandingkan dengan periode sebelumnya, periode ini memiliki riwayat yang berbeda, terutama karena Islamisasi oleh kelompok Kahar Muzakkar cenderung dilakukan dengan cara-cara kekerasan Islamisasi menjadi bagian dari gerakan Kahar, dia menonjolkan pemurnian Islam yang tidak kompromis terhadap tradisi bahkan termasuk mazhab. Lebih lanjut lihat Barbara Harvey, Tradition, Islam, and Rebellion: South Sulawesi.. 

    Saat itu hampir semua Komunitas dan agama lokal yang berada di Sulawesi Selatan merasakan akibat dari gerakan Islamisasi ini. Komunitas Bissu, misalnya, pada masa itu diburu-buru, ditangkap, sebagian besar dibunuh, dan peralatan ritualnya dihancurkan Saat ini yang masih tersisa adalah sisa-sisa dari mereka yang masih bertahan hidup akibat gerakan DI/TII Kahar Muzakkar. Lihat Halilintar Latief, Bissu. Pergulatan dan Peranannya dalam Masyarakt Bugis (Depok: Desantara, 2003). Juga Halilintar Latief, ”Bissu Para Imam yang Menghibur”. Makalah pada Seminar Internasional Lagaligo di Pancana baru, 2001.  Yang tertangkap dipaksa bekerja dan dipaksa menjadi laki-laki tulen. Tak kalah memprihatinkannya adalah apa yang dialami oleh komunitas Bawakaraeng. Komunitas ini juga diburu-buru, dicegat keberangkatannya ke puncak gunung Bawakaraeng, kemudian komunitas lokal Ammatoa di Kajang juga mendapat penetrasi dari islamisasi ini, banyak pengikut dan pendukung Ammatoa dibunuh oleh gerombolan DI/TII yang dipimpin oleh Kahar Muzakkar dengan alasan pemurnian ajaran Islam, dan banyak diantara mereka yang terbunuh karena tetap bertahan pada keyakinannya. 

    Cerita serupa juga dialami oleh komunitas Cikoang di Takalar, Karampuang di Sinjai dan beberapa komunitas lain yang ada di Sulawesi Selatan. Konstruk sejarah Islamisasi seperti inilah yang menjadi salah satu faktor penjelas relasi antara agama dan kebudayaan lokal terlihat problematis hingga saat ini. Di sisi lain, konstruk sejarah yang sama juga seolah memberi legitimasi bahwa kekuasaan Negara atau pemimpin berhak mengatur kehidupan beragama masyarakatnya.

    Tidaklah mengherankan bila saat ini sejarah resmi Islamisasi juga menjadi acuan yang dipakai oleh para penganjur formalisasi Syariat Islam di wilayah ini untuk mengabsahkan gagasan mereka.

    Islam dan Budaya Lokal

    Kedatangan Islam tentunya amat mempengaruhi kepercayaan dan tradisi masyarakat setempat. Kedatangan Islam di Sulawesi Selatan sebagaimana telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya, agak terlambat jika dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia, seperti Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan Maluku. Hal ini disebabkan kerajaan Gowa barulah dikenal sebagai kerajaan yang berpengaruh dan menjadi kerajaan dagang pada akhir abad XVI atau awal XVII. Dalam kurun waktu tersebut para pedagang muslim dari berbagai daerah Nusantara dan para pedagang asing dari Eropa mulai ramai mendatangi daerah ini.

    Gambar cover buku: Islam dan Budaya Lokal
    Kajian Antropologi Agama
    sumber daonlontarbooks

    Menurut teori yang telah dikembangkan ole Noorduyn, proses islamisasi di Sulawesi Selatan tidak jauh berbeda dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia, yaitu melalui tiga tahap: 

    • kedangan Islam,
    • penerimaan Islam, dan
    • penyebaran

    lebih lanjut dari teori islamisasi tersebut, menurut Noorduyn, Islamisasi dalam pengertian penerimaan Islam, dapat berarti konversi dan juga bisa berarti perubahan sosial-budaya. Konversi adalah perpindahan agama atau kepercayaan yang dianut sebelumnya kepada Islam.

    Sedang Islamisasi dalam penegertian perubahan sosial-budaya, yaitu perubahan yang terjadi secara adaptasi atau penyesuaian secara bertahap dari budaya pra-Islam atau budaya lokal kepada budaya Islam. 

    Dalam pengertian yang terakhir ini, para mubalig Islam tidak melakukan perombakan pada pranata sosial-budaya yang sudah ada, akan tetapi mereka memberi nilai-nilai Islam pada pranata lama atau menambahkannya dengan pranata baru yang berasal dari budaya Islam.

    Ini signifikan dengan teori yang dikembangkan oleh antropologi agama Clifford Geertz, menurutnya, bahwa agama merupakan sistem budaya, yang dipengaruhi oleh berbagai perubahan sosial dan dengan sendirinya berbagai proses perubahan sosial itu mampu mempengaruhi sistem budaya. 

    Ditambahkan lagi oleh Geertz bahwa religi adalah sebuah pengalaman unik yang bermakna, memuat iedentitas diri, dan kekuatan tertentu. Dengan kata lain, agama akan berhubungan dengan rasa, tindakan, dan pengalaman nyata yang berbeda-beda satu sama lain. Setiap orang memiliki perasaan dan pengalaman yang berbeda dalam menjalankan agama masing-masing. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya agama sering dipengaruhi oleh hal ihwal diluar dirinya. Seperti aktivitas politik, birokrasi, budaya, modernisasi dan perubahan dunia amat berpengaruh terhadap fenomena agama.

    Disini kita dapat melihat dimana fenomena agama (Islam) di Sulawesi Selatan dapat mempengaruhi fenomena budaya. Dimana kedatangan Islam di Sulawesi Selatan sangat mempengaruhi kepercayaan masyarakat lokal. Karena keterkaitan keduanya sehingga terjadi dialektik dan sinkretisme kemudian melahirkan identitas yang di adopsi dari ajaran Islam.

    Agama dilihatnya sebagai produk kehidupan kolektif; kepercayaan dan ritus agama memperkuat ikatan-ikatan social dimana kehidupan kolektif itu bersandar. Dengan kata lain, hubungan antara agama dan masyarakat memperlihatkan saling ketergantungan yang erat. Inilah salah satu sumbangan Durkheim terhadap perspektif consensus dengan penjelasannya terhadap agama secara fungsional. Ia melihat bahwa aktivitas keagamaan ditemukan didalam masyrakat karena agama memiliki fungsi positif; yaitu membantu mempertahankan kesatuan moral masyarakat.

    Kedatangan Islam di Sulawesi Selatan tidak lepas dari pengaruh budaya lokal. Sebab awal kedatangan Islam, para penganjur dan mubalig mendialogkan antara budaya Bugis-Makassar dengan budaya Islam. 

    Menurut Abu Hamid, tradisi keagamaan yang pada umumnyaberkembang dalam masyarakat Bugis-Makassar dapat dibagi ke dalam dua azas, yaitu

    • kepercayaan lama yang bersumber dari tradisi keagamaan nenek moyang, dan
    • kepercayaan yang bersumber dari ajara Islam. 

    Kedua azas kepercayaan ini berbaur dalam praktekpraktek ritual dan upacara.Penuilisan sejarah tentang proses Islamisasi yang cenderung ”istana sentris”, telah mengakibatkan cerita-cerita keberislaman yang lain, yang lokal, yang bernuansa sufistik, yang berdilaog dengan kultur setempat, justru menjadi sesuatu yang aneh bagi masyarakat banyak. 

    Praktek keberislaman yang muncul seperti di Cikoang, Bissu, Karampuang, cerekang, Kajang di Tanah Toa dan Bawakaraeng, tidaklah mendapatkan apresiasi. Sebaliknya, mereka malah dianggap sebagai penganut Islam yang belum sempurna bahkan sesat, sehingga perlu diluruskan atau bahkan ditumpas.

    Konstruk sejarah Islamisasi seperti inilah yang menjadi salah satu faktor penjelas relasi antara agama dan kebudayaan lokal niscaya problematis hingga saat ini. Di sisi lain, konstruk sejarah yang sama juga seolah memberi legitimasi bahwa kekuasaan negara atau pemimpin berhak mengatur kehidupan beragama masyarakatnya.

    Tidaklah mengherankan bila saat ini sejarah resmi Islamisasi juga menjadi acuan yang dipakai oleh para penganjur formalisasi Syariat Islam di wilayah ini untuk mengabsahkan gagasan mereka.

    Keberagamaan Orang Bugis-Makassar

    Agama merupakan unsur penting yang menentukan identitas suatu masyarakat. Oleh karena itu, diterimanya Islam sebagai agama orang Bugis-Makassar merupakan peristiwa yang sangat penting.

    Terdapat dua masalah yang perlu diketahui berkaitan dengan pengenalan pertama antara orang Bugis-Makassar dan orang-orang Muslim sebelum mereka menganut Islam secara resmi pada awal abad XVII. 

    • Pertama, kontak yang dilakukan oleh para pedagang Bugis-Makassar dengan penduduk muslim ketika merantau. 
    • Kedua, kontak yang berlangsung di dalam wilayah Sulawesi Selatan melalui para pedagang muslim yang sudah bermukim di Makassar sejak pertengahan abad XVI. 

    Ini diperlukan menyelidiki adanya orang Bugis- Makassar yang menganut Islam sebelum Islam diterima secara resmi oleh Raja pada tahun 1605.

    Orang Bugis-Makassar terhitung 97% lebih menganut agama Islam. Mereka menganut Islam secara taat dalam artian kepercayaan.

    Walaupun orang Bugis-Makassar dalam praktiknya belum sepenuhnya menjalankan syariat Islam, namun mereka tidak mau dikatakan bukan Islam. Mereka yang seperti itu lebih banyak menjadikan Islam dalam hatinya dan pikirannya. 

    Mungkin karena itu pula, masih ada sebagian diantara mereka yang masih menjalankan praktik kepercayaan dulu attoriolong. Mereka senantiasa memikirkan Islam, tetapi praktik-praktik dalam rukun Islam masih sukar dilakukannya secara sempurna. 

    Berbagai gejala tentang tanggapan mereka terhadap sekitar alam lingkungannya dan sistem kepercayaannya menunjukkan adanya campur-baur dalam praktek keagamaan. Keadaan masyarakat seperti ini, dalam istilah Chabot menyebutnya komunitas keagamaan (worship community), yaitu komunitas dibentuk berdasarkan obyek penyembahan tertentu oleh orang yang tinggal dalam satu wilayah.

    Sedangkan Para penganut agama Islam biasanya dipersatukan oleh satu ikatan persaudaraan sesama muslim (ukhuwah Islamiyah) yang menjadikan muslim yang satu bersaudara dengan muslim lainnya. Kemungkinan besar hal inilah yang mendasari kecenderungan orang Bugis-Makassar untuk memebntuk semacam entitas supra-etnis Bugis-Makassar yang semakin kuat sebagai sesama Islam di Sulawesi Selatan. 

    Berbagai etnis berbeda tersebut akan dengan senang hati memperkenalkan diri mereka kepada orang luar sebagai “orang Bugis-Makassar”. Meskipun penetrasi ajaran Islam sudah berlangsung lama di Sulawesi Selatan sesuai dengan penelusuran di atas, namun kepercayaan tradisional masih bertahan pada sebagian besar masyarakat tradisional Bugis-Makassar. 

    Kepercayaan tradisional yang mereka percayai. Dengan demikian, realitas keagamaan orang Bugis-Makassar sebenarnya jauh lebih kompleks dari gambaran diatas.

    Disatu sisi, agama Islam memang telah menjadi bagian dan hadir dalam begitu banyak dalam aspek kehidupan orang Bugis-Makassar. Ini dapat dilihat dalam praktek peribadatannya, nama-nama muslim yang mereka sandang, terdapatnya banyak mesjid dan lembaga pendidikan Islam seperti madrasah, pesantren, universitas-universitas Islam, dan sebagainya, serta berbagai bentuk institusi lainnya. 

    Akan tetapi, disisi lain, dalam praktek peribadatan mereka masih banyak terdapat unsur kepercayaan pra-Islam yang masih tersisa. Misalnya, ritual-ritual masyarakat, kepercayaan mereka terhadap mitos pra-Islam, persembahan kepada benda-benda pusaka dan tempat-tempat keramat, serta kehadiran sejumlah pendeta bissu yang masih tetap berperan aktif. Padahal, semua unsure tersebut sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang mereka anut.

    Jadi keberagamaan dan kepercayaan orang Bugis-Makassar yang identik dengan Islam masih sarat dengan praktik sinkretisme antara ajaran Islam dan pra-Islam. Menurut Pelras, digolongkan menjadi dua jenis:

    • sinkretisme esoteric dan 
    • sinkretisme praktis. 

    Yang dapat dimasukkan ke dalam kategori sinkretisme esoteric adalah ajaran aliran kepercayaan yang berasal dari periode awal Islamisasi, yang disebarkan melalui teks-teks yang sebagian besar lisan (meskipun ada beberapa yang tertulis) oleh para pengikut ajaran tersebut yang antara lain terdapat di kalangan bangsawan Luwu’ atau dalam tradisi Tolotang di Sidenreng dan tradisi Ammatoa di Kajang. Aliran kepercayaan ini kadang-kadang dikaitkan dengan tempat-tempat keramat sepertiGunung Bawakaraeng di Gowa atau bulu’ lowa di Amparita (Sidrap).

    Sejumlah naskah esoterik, yang sangat dikeramatkan oleh para penganutnya, berisi ajaran yang megawinkan sufisme Islam dengan konsep ketuhanan (teologi) dan konsep mengenai alam semesta (kosmologi) pra-Islam Bugis-Makassar.

    Sedangkan dalam singkretisme praktis, orang Bugis-Makassar menjalankannya secara terbuka, walaupun banyak ditentang oleh penganut ajaran Islam fundamentalis. Singkretisme praktis tidak memiliki rumusan konsep tertentu. Orang hanya dapat menarik kesimpulan mengenai konsep yang mendasarinya dengan mengamati berbagai praktik orang Bugis-Makassar, misalnya ritus siklus hidup, ritus yang berhubungan dengan pertanian, pembangunan rumah, pembuatan perahu, penangkapan ikan, serta ritus pengobatan. 

    Praktikpraktik bertentangan dengan ajaran Islam, karena cenderung memperlakukan entitas spiritual (to alusu’) maupun entitas gaib (to tenrita) sebagai perantara hubungan manusia dengan Tuhan.

    Implikasi kemusyrikan dari prakti-praktik tersebut tidak selalu disadari oleh mereka yang melaksanakannya. Sebagian penganut sinkretisme praktis menganggap to’ alusu dan to tenrita sebagai dewata atau roh-roh paa leluhur, sebagian lagi menganggap mereka sebagai jin dan malaikat. Walaupun ajaran Islam mempercayai adanya jin dan malaikat, tetapi tujuannya bukab untuk disembah. 

    Sisa-sisa kebiasaan menyembah nenek moyang atau melanjutkan penyembahan nenek moyang, masih dapat kita lihat praktiknya hingga saat ini. Seperti, persembahan nasi pada ritus pembangunan rumah baru dan persembahan bubur pada perayaan Asyura, tetapi dalam upacarakematian tidak nampak lagi sisa-sisa praktik pra-Islam. Hanya saja, ziarah ke kubur tokoh-tokoh tertentu yang dipercayai sebagai perantara manusia dengan tuhan masih banyak dilakukan.

    Mungkin dengan dasar itu pula, sehingga Pelras mendefinisikan singkretisme keberagamaan orang Bugis-Makassar dengan “singkretisme praktis agama campuran” (practical religion). Suatu sikap keberagamaan sebagian orang Bugis-Makassar di samping memegang kuat ajaran agamanya (Islam) atau ushuluddin, tetapi mereka juga mencampur dengan kepercayaan pra-Islam yang Tidak sepenuhnya sesuai dengan ajaran para ulama. 

    Namun, kedua unsur tersebut terdapat pula kepercayaan mereka dengan kadar yang berbeda-beda, ditambah warisan kebudayaan Austronesia yang jauh lebih tua. Sebagai wujud praktik singkretisme tersebut, lanjut Pelras, dalam ritual tradisi keberagamaan orang Bugis-Makassar merupakan campuran dari unsur-unsur Islam dan pra-Islam. Proporsi unsur tersebut dalam ritual yang satu berbeda dengan ritual lainnya karena tidak ada standar baku yang mengaturnya. 

    Setiap sanro (dukun), pinati, setiap orang yang melakukan ritus tertentu, mendasarkan praktik mereka menurut tat cara yang diciptakan sendiri. Keistimewaan yang dimiliki seseorang mungkin merupakan warisan dari seorang guru, mungkin pula hasil temuan sendiri lewat ilham, atau diterima melalui mimpi, sehingga seolah-olah bukan hasil temuan, namun hal tersebut hanya merupakan merupakan variasi dari polapola umum. 

    Berdasarkan pengamatan selama ini yang tersebar luas dalam kalangan orang Bugis-Makassar, terdapat perbedaan utama antara ritus tradisional Bugis-Makassar dengan ritus Islam. Ritus Bugis-Makassar melakukan penyembahan melalui sesajen, sedangkan ritus Islam melalui shalat. Meskipun tehnik pelaksanaan dan tempatnya yang berbeda, namun kedua praktik tersebut menurut mereka dapat menghasilkan sesuatu yang sama.

    Sumber: Mustaqim Pabbajah

    Universitas Teknologi Yogyakarta

    DAFTAR PUSTAKA

    Chabot, H. Th. 1956, Verwanscap Stand en Sexe in Zuid Celebes. Groningen: Groningen University Press.

    Dg. Patunru, Abdurazak. 1967, Sejarah Gowa. Makassar: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan Tenggara

    Fadillah, Moh. Ali dan Iwan Sumantri (ed), 2000. Kedatuan Luwu: Perspektif Arkeologi, Sejarah dan Antropologi

    Geertz, Clifford. 2000, Negara Teater. Yogyakarta: Bentang Budaya

    Hamid, Abu, 2005, Syeikh Yusuf Makassar: Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

    Katu, Samiang, 2000. Pasang ri Kajang. Makassar: Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat PPIM IAIN Alauddin Makassar

    Noorduyn. J., 1956. Islamisasi Makassar dari judul asli De Islamisereing van Makassar dalam B.K.I., jilid 112

    Noorduyn. J., 1964. Sedjarah Agama Islam di Sulawesi Selatan. Dalam W.B. Sidjabat

    Nyompa, Johan, 1992. Mula Tau (Satu Studi Tentang Mitologi Orang Bugis). Makassar: Universitas Hasanuddin

  • Makalah Geografi Kependudukan

    Geografi Kependudukan

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Di era modern ini, banyak masalah yang terjadi pada kuantitas dan kualitas penduduknya.Terutama masalah kualitasnya. Kualitas penduduk sangat diperhitungkan dalam kinerja di setiap bidang.Di Negara Indonesia, kualitas penduduknya hanya beberapa orang yang dapat di perhitungkan di dunia internasional. Semua itu karena adanya permasalahan pendidikan, kesehatan dan ekonomi.

    Kuantitas di Negara Indonesia juga sangat berkembang pesat, hal ini menyebabkan banyak terjadinya pengangguran dan masalah kemiskinan karena kurangnya kesempatan kerja bagi para generasi muda.

    B. Rumusan Masalah

    1. Apa pengertian dari kuantitas dan kualitas penduduk ?
    2. Apa permasalahan kuantitas dan kualitas penduduk dan dampaknya dalam pembangunan ?
    3. Bagaimana uantitas dan kualitas kependudukan di indonesia ?
    4. Bagaimana cara mengatasi masalah kuantitas dan kualitas di indonesia

    C. Tujuan Penulisan

    Dapat mengetahui permasalahan yang terjadi dalam masalah kuantitas dan kualitas serta cara mengatasi permasalahan yang terjadi.

    Bab II. Pembahasan

    A. Pengeritan Kuantitas dan Kualitas Penduduk

    1. Pengertian Kuantitas Penduduk

    Jumlah / kuantitas penduduk adalah banyaknyapenduduk yang menempati suatu wilayah pada waktutertentu. Berdasarkan ketentuan berlaku di Indonesia, penduduk Indonesia adalah semua orang sekurang-kuranngnya 6 bulan bertempat tinggal di wilayahIndonesia. Penduduk Indonesia terdiri atas warganegara dan warga negara asing, kecuali para diplomat/perwakilan negara asing di IndonesiaUntuk mengetahui jumlah penduduk suatu negara dengan cara melakukan :

    1. Sensus pendududuk sebagai perhitungan penduduk suatu negara dengan cara mengumpulkan, menghimpun, dan menyusun data penduduk di wilayah tertentu.
    2. Registrasi merupakan kumpulan ketentuan mengenai kelahiran, kematian, dan segala kejadian penting manusia lainnya, seperti perkawinan, perceraian, pengangkatan anak, dan perpindahan penduduk.
    3. Survei dilakukan dengan cara mengambil sampel. Di Indonesia, kegiatan survei dilaksanakan, antara lain Survei Antarsensus (Supas), Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), dan Survei Ekonomi Nasional (Susenas). Kegiatan survei dan sensus dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
    2. Pengertian Kualitas Penduduk

    Kualitas penduduk sangat terkait dengan kemampuan penduduk untuk mengolah dan memanfaatkan sumber daya alam yang ada, guna memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraannya.Indikator kualitas atau mutu sumber daya manusia dapat dilihat dari beberapa aspek seperti; pendapatan, tingkat pendidikan, dan tingkat kesehatan.

    Indikator dari tingkat kesehatan penduduk dapat dilihat dari angka kematian dan angka harapan hidup.Angka kematian yang tinggi menunjukkan tingkat kesehatan penduduk yang rendah dan angka harapan hidup yang tinggi menunjukkan tingkat kesehatan penduduk yang baik.Tingkat kesehatan penduduk juga tidak dapat dilepaskan dari pendapatan penduduk. Semakin tinggi pendapatan penduduk, maka pengeluaran untuk memperoleh pelayanan kesehatan akan semakin tinggi. Penduduk yang pendapatannya tinggi dapat menikmati makanan yang berkualitas yang memenuhi standar kesehatan.Sementara orang yang tingkat pendidikannya tinggi diharapkan memiliki produktivitas yang tinggi pula bila dibandingkan dengan orang yang berpendidikan rendah.

    Kualitas penduduk adalah kunci keberhasilan pembangunan.Jumlah penduduk yang besar belum tentu berhasil membawa kemajuan. Tetapi penduduk yang berkualitas pasti akan mampu membawa kemajuan bangsa dan negara. Oleh karena itu kalian harus selalu berusaha menjadi penduduk yang berkualitas.Bagaimana caranya? Belajar giat di sekolah dan di luar sekolah merupakan cara untuk meningkatkan kualitas diri. Belajar tidak hanya mata pelajaran di sekolah, tetapi juga belajar berwirausaha, belajar kepemimpinan, belajar budaya masyarakatmu, dan sebagainya.

    B. Permsalahan Kuantitas dan Kualitas

    1. Permasalahan Kuantitas Penduduk

    Jumlah penduduk yang besar berdampak langsung terhadap pembangunan berupa tersedianya tenaga kerja yang sangat diperlukan dalam pelaksanaan pembangunan. Akan tetapi kuantitas penduduk tersebut juga memicu munculnya permasalahan yang berdampak terhadap pembangunan. Permasalahan-permasalahan tersebut di antaranya:

    1. Pesatnya pertumbuhan penduduk yang tidak diimbangi dengan kemampuan produksi menyebabkan tingginya beban pembangunan berkaitan dengan penyediaan pangan, sandang, dan papan.
    2. Kepadatan penduduk yang tidak merata menyebabkan pembangunan hanya terpusat pada daerah-daerah tertentu yang padat penduduknya saja. Hal ini menyebabkan hasil pembangunan tidak bisa dinikmati secara merata, sehingga menimbulkan kesenjangan sosial antara daerah yang padat dan daerah yang jarang penduduknya.
    3. Tingginya angka urbanisasi menyebabkan munculnya kawasan kumuh di kota-kota besar, sehingga menimbulkan kesenjangan sosial antara kelompok kaya dan kelompok miskin kota.
    4. Pesatnya pertumbuhan penduduk yang tidak seimbang dengan volume pekerjaan menyebabkan terjadinya pengangguran yang berdampak pada kerawanan sosial.
    2. Permasalahan Kualitas Penduduk

    Berbagai permasalahan yang berkaitan dengan kualitas penduduk dan dampaknya terhadap pembangunan adalah sebagai berikut:

    a)      Masalah tingkat pendidikan

    Keadaan penduduk di negara-negara yang sedang berkembang tingkat pendidikannya relatif lebih rendah dibandingkan penduduk di negara-negara maju, demikian juga dengan tingkat pendidikan penduduk Indonesia.Rendahnya tingkat pendidikan penduduk Indonesia disebabkan oleh:

    1. Tingkat kesadaran masyarakat untuk bersekolah rendah.
    2. Besarnya anak usia sekolah yang tidak seimbang dengan penyediaan sarana pendidikan.
    3. Pendapatan perkapita penduduk di Indonesia rendah.

    Dampak yang ditimbulkan dari rendahnya tingkat pendidikan terhadap pembangunan adalah:

    1. Rendahnya penguasaan teknologi maju, sehingga harus mendatangkan tenaga ahli dari negara maju. Keadaan ini sungguh ironis, di mana keadaan jumlah penduduk Indonesia besar, tetapi tidak mampu mencukupi kebutuhan tenaga ahli yang sangat diperlukan dalam pembangunan.
    2. Rendahnya tingkat pendidikan mengakibatkan sulitnya masyarakat menerima hal-hal yang baru. Hal ini nampak dengan ketidakmampuan masyarakat merawat hasil pembangunan secara benar, sehingga banyak fasilitas umum yang rusak karena ketidakmampuan masyarakat memperlakukan secara tepat. Kenyataan seperti ini apabila terus dibiarkan akan menghambat jalannya pembangunan. Oleh karena itu, pemerintah mengambil beberapa kebijakan yang dapat meningkatkan mutu pendidikan masyarakat.

    Usaha-usaha tersebut di antaranya:

    • Pencanangan wajib belajar 9 tahun.
    • Mengadakan proyek belajar jarak jauh seperti SMP Terbuka dan Universitas Terbuka.
    • Meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan (gedung sekolah, perpustakaan, laboratorium, dan lain-lain).
    • Meningkatkan mutu guru melalui penataran-penataran.
    • Menyempurnakan kurikulum sesuai perkembangan zaman.
    • Mencanangkan gerakan orang tua asuh.
    • Memberikan beasiswa bagi siswa yang berprestasI.

    b) Masalah kesehatan

    Tingkat kesehatan suatu negara umumnya dilihat dari besar kecilnya angka kematian, karena kematian erat kaitannya dengan kualitas kesehatan.

    Kualitas kesehatan yang rendah umumnya disebabkan:

    1)      Kurangnya sarana dan pelayanan kesehatan.

    2)      Kurangnya air bersih untuk kebutuhan sehari-hari.

    3)      Kurangnya pengetahuan tentang kesehatan.

    4)      Gizi yang rendah.

    5)      Penyakit menular.

    6)      Lingkungan yang tidak sehat (lingkungan kumuh).

    Dampak rendahnya tingkat kesehatan terhadap pembangunan adalah terhambatnya pembangunan fisik karena perhatian tercurah pada perbaikan kesehatan yang lebih utama karena menyangkut jiwa manusia. Selain itu, jika tingkat kesehatan manusia sebagai objek dan subjek pembangunan rendah, maka dalam melakukan apa pun khususnya pada saat bekerja, hasilnya pun akan tidak optimal.

    Untuk menanggulangi masalah kesehatan ini, pemerintah mengambil beberapa tindakan untuk meningkatkan mutu kesehatan masyarakat, sehingga dapat mendukung lancarnya pelaksanaan pembangunan. Upaya-upaya tersebut di antarnya:

    1)      Mengadakan perbaikan gizi masyarakat.

    2)      Pencegahan dan pemberantasan penyakit menular.

    3)      Penyediaan air bersih dan sanitasi lingkungan.

    4)      Membangun sarana-sarana kesehatan, seperti puskesmas, rumah sakit, dan lain-lain.

    5)      Mengadakan program pengadaan dan pengawasan obat dan makanan.

    6)      Mengadakan penyuluhan tentang kesehatan gizi dan kebersihan lingkungan.

    c)      Masalah tingkat penghasilan/pendapatan

    Tingkat penghasilan/pendapatan suatu negara biasanya diukur dari pendapatan per kapita, yaitu jumlah pendapatan rata-rata penduduk dalam suatu negara.

    Negara-negara berkembang umumnya mempunyai pendapatan per kapita rendah, hal ini disebabkan oleh:

    1)      Pendidikan masyarakat rendah, tidak banyak tenaga ahli, dan lain-lain.

    2)      Jumlah penduduk banyak.

    3)      Besarnya angka ketergantungan.

    Berdasarkan pendapatan per kapitanya, negara digolongkan menjadi 3, yaitu:

    1)      Negara kaya, pendapatan per kapitanya > US$ 1.000.

    2)      Negara sedang, pendapatan per kapitanya = US$ 300 – 1.00.

    3)      Negara miskin, pendapatan per kapitanya < US$ 300.

    Adapun dampak rendahnya tingkat pendapatan penduduk terhadap pembangunan adalah:

    1)      Rendahnya daya beli masyarakat menyebabkan pembangunan bidang ekonomi kurang berkembang baik.

    2)      Tingkat kesejahteraan masyarakat rendah menyebabkan hasil pembangunan hanya banyak dinikmati kelompok masyarakat kelas sosial menengah ke atas.

    Untuk meningkatkan pendapatan masyarakat (kesejahteraan masyarakat), sehingga dapat mendukung lancarnya pelaksanaan pembangunan pemerintah melakukan upaya dalam bentuk:

    1. Menekan laju pertumbuhan penduduk.
    2. Merangsang kemauan berwiraswasta.
    3. Menggiatkan usaha kerajinan rumah tangga/industrialisasi.
    4. Memperluas kesempatan kerja.
    5. Meningkatkan GNP dengan cara meningkatkan barang dan jasa.

    C. Kuantitas dan Kualitas Kependudukan di Indonesia

    Indonesia adalah Negara dengan jumlah penduduk terbesar ke-4 di dunia, pada publikasi hasil sensus Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan Agustus 2010 dipaparkan bahwa jumlah penduduk Indonesia berdasarkan hasil sensus ini adalah sebanyak 237.556.363 orang, yang terdiri dari 119.507.580 laki-laki dan 118.048.783 perempuan, dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,49 persen per tahun.

    Menurut Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Bapak Fasli Jalal, diperkirakan pada tahun 2013 ini jumlah penduduk Indonesia akan bertambah menjadi sekitar 250 juta jiwa dan hal tersebut tidak hanya perlu diperhatikan tetapi harus diberi tindakan, karena melihat pertumbuhan penduduk terus meningkat dari tahun ketahun.

    v  Mengapa Perlu diperhatikan?

    Dalam menentukan Maju/Tidak nya sebuah Negara pasti tidak akan terlepas berdasarkan penduduk yang ada pada suatu Negara tersebut, termasuk kuantitas serta kualitas penduduk yang ada di dalamnya. Karena, penduduk merupakan subjek yang paling penting dalam sebuah Negara, sehingga perlu menjadi perhatian untuk kedepannya dalam mengawal sebuah Negara menjadi lebih baik.

    v  Mengapa Perlu diberi tindakan?

    Negara Indonesia sudah sangat memadai dalam segi kuantitas, yaitu dengan bermodalkan jumlah penduduk hampir berkisar 250 juta jiwa.Yang jadi permasalahan adalah bagaimana dengan kualitas dari semua penduduk di Indonesia?  Apakah baik atau buruk? Sungguh sangat susah mengatur sedemikian banyaknya orang yang ada di Negara Indonesia ini agar bisa bermanfaat bagi kemajuan Negara, maka dari itulah sangat perlu diberi tindakan yang berdampak positif untuk merubah kualitas penduduk Indonesia menjadi lebih baik, yaitu tidak lain dengan menggunakan wewenang dan kebijakan pemerintah Indonesia dalam mengatur penduduknya.

    Berbagai tindakan sudah banyak dilakukan oleh pemerintah dalam mengatur kependudukan di Indonesia.Dari segi dan bidang bermacam-macam.Memang ada perubahan dari tahun ke tahun.Tetapi tetap saja masih jauh dari harapan yang diinginkan oleh setiap individu penduduk Indonesia.

    Ada banyak sekali masalah-masalah yang terjadi dalam kependudukan di Indonesia diantaranya :

    a. Dilihat dari segi Kuantitas :
    1. Jumlah penduduk yang besar (Overcapacity)

    Indonesia merupakan penduduk terbanyak ke-4 di dunia dan merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dimana terdapat 17.504 pulau yang 9.634 pulau diantaranya belum diberi nama. Walaupun, disatu sisi membanggakan namun perlu diperhatikan permasalahan penduduk yang timbul dari jumlah penduduk yang terlalu besar, yaitu diantaranya:

    • Jumlah lapangan pekerjaan yang minim sehingga tidak sebanding dengan jumlah penduduk di Indonesia. Hal ini mengakibatkan banyaknya pengangguran tersebar luas di Indonesia.
    • Kebutuhan hidup yang semakin tinggi sementara kemampuan pemerintah dalam penanggulangan masalah masih terbatas mengakibatkan adanya pemukiman kumuh dan penduduk yang kekurangan gizi.

    2. Persebaran Penduduk yang tidak Merata

    Perlu diketahui, bahwa saat ini persebaran penduduk di Indonesia tidak merata. Hal ini  dibuktikan dengan fakta bahwa 60% penduduk Indonesia menempati area Pulau Jawa dan Madura yang luasnya kurang lebih 7% dari seluruh wilayah di Indonesia. Persebaran penduduk yang tidak merata ini pun menimbulkan masalah-masalah lainnya yaitu:

    • Lahan pertanian di pulau Jawa dan Madura semakin sempit karena banyak beralih fungsi menjadi perumahan dan industri.
    • Banyak lahan dan area di luar pulau Jawa dan Madura yang belum dapat dimanfaatkan secara maksimal karena minimnya sumber daya manusia yang mumpuni untuk mengelola lahan tersebut.
    • Ketimpangan dalam pembangunan infrastruktur, karena orientasi pembangunan lebih terpusat di wilayah yang lebih banyak penduduknya, sehingga satu wilayah semakin maju sedangkan wilayah lainnya semakin terbelakang.
    b. Dilihat dari segi kualitas :
    1. Tingkat Kesehatan yang Rendah

    Indonesia menempati peringkat tiga  tertinggi di kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara untuk jumlah Angka Kematian Ibu (AKI) dan berdasarkan data dari Survey Demografi dan Kesehata Indonesia (SDKI) tahun 2007, banyaknya AKI berjumlah 228 orang dari 100.000 kelahiran. Tingginya tingkat kematian menunjukkan rendahnya tingkat kesehatan yang tentu akan berdampak pula pada kualitas sumber daya manusia.

    2.      Tingkat Pendidikan yang Rendah

    Kualitas suatu penduduk dibuktikan dengan tingginya kualitas sumber daya manusia dimana pendidikan adalah salah satu indikator tercapainya sumber daya manusia yang terampil dan mumpuni. Namun faktanya, Indonesia berada di peringkat 69 dari 127 negara dalam Education Development Index. Sementara, laporan Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, setiap menit ada empat anak yang putus sekolah. Data pendidikan tahun 2010 menyebutkan 1,3 juta anak usia 7-15 tahun terancam putus sekolah. Ini membuktikan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih rendah sehingga mengakibatkan indeks pembangunan manusia yang rendah.

    c. Solusi

    Seperti kutipan dari Adlai Stevenson “ Daripada mengutuki kegelapan lebih baik menyalakan lilin”. Daripada terus menerus menyalahkan lebiih baik membangun solusi.Oleh karena itu, serumit apapun masalah yang sedang dihadapi di Indonesia pasti ada solusinya. Selanjutnya yang menjadi pertanyaan adalah apakah kita semua mau berdiri bersama di garis depan menjadi solusi bagi permasalahan yang timbul.

    Dari permasalahan yang diungkapkan di atas, berikut adalah solusi yang diharapkan mampu mengatasi permasalahan yang ada :

    • Solusi dari sisi Kuantitas
      • Keluarga Berencana (KB)
      • Transmigrasi
      • Pembangunan yang lebih intensif di kawasan luar pulau Jawa
    • Solusi dari sisi Kualitas
      • Peningkatan kualitas tenaga pengajar di bidang pendidikan
      • Pembangunan sekolah gratis di wilayah dengan tingkat pendidikan yang rendah
      • Membangun pusat riset dan melatih calon SDM unggul
      • Pembangunan fasiltas kesehatan seperti Puskesmas di daerah dengan tingkat kesehatan yang rendah
      • Fasilitas kesehatan gratis bagi masyarakat miskin

    D. Cara Mengatasi Masalah Kuantitas dan Kualitas di Indonesia

    1. Cara mengatasi masalah kuantitas penduduk di Indonesia

    Upaya pemerintah mengatasi permasalahan kuantitas penduduk antara lain, dengan pengendalian jumlah dan pertumbuhan penduduk serta pemerataan persebaran penduduk.

    • Pengendalian jumlah danpertumbuhan penduduk Dilakukan dengan cara menekan angka kelahiran melalui pembatasan jumlah kelahiran, menunda usia perkawinan muda, dan meningkatkan pendidikan.
    • Pemerataan Persebaran Penduduk Dilakukan dengan cara transmigrasi dan pembangunan industri di wilayah yang jarang penduduknya. Untuk mencegah migrasi penduduk dari desa kekota, pemerintah mengupayakan berbagai program berupa pemerataan pembangunan hingga ke pelosok, perbaikan sarana dan prasarana pedesaan, dan pemberdayaan ekonomi di pedesaan.
    2. Cara mengatasi masalah kualitas penduduk di Indonesia

    Untuk mengatasi rendahnya kualitas penduduk di Indonesia, pemerintah telah melakukan beberapa langkah, antara lain meliputi hal-hal berikut ini.

    • Memberikan subsidi keluarga miskin melalui berbagai program sosial.
    • Memberi keringanan biaya pendidikan dan kesehatan untuk masyarakat kurang mampu.
    • Meningkatkan standar upah buruh atau upah minimum kota.
    • Memberikan modal atau pinjaman lunak dan pelatihan kepada para pengusaha mikro dan pengusaha kecil agar dapat bertahan atau dapat lebih berkembang.
    • Melaksanakan pembangunan sarana dan prasarana sosial, misalnya penyediaan air bersih, WC umum, perbaikan lingkungan, ataupun sarana sanitasi lainnya.
    3. Cara mengatasi persebaran persebaran penduduk yang tidak merata
    • Pemerataan pembangunan.
    • Penciptaan lapangan kerja di daerah-daerah yang jarang penduduknya dan daerah pedesaan.
    • Pemberian penyuluhan terhadap masyarakat tentang pengelolaan lingkungan alamnya

    Bab III. Penutup

    A.  Kesimpulan

    1. Pengertian Kuantitas dan Kualitas pendudu
      • Kuantitas penduduk ialah Jumlah / kuantitas penduduk adalah banyaknyapenduduk yang menempati suatu wilayah pada waktutertentu.
      • Kualitas penduduk sangat terkait dengan kemampuan penduduk untuk mengolah dan memanfaatkan sumber daya alam yang ada, guna memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraannya.
    2. Permasalahan kuantitas dan kualitas penduduk dan dampaknya dalam pembangunan
      • Permasalahan kuantitas penduduk
        • Pesatnya pertumbuhan penduduk yang tidak diimbangi dengan kemampuanproduksi
        • Kepadatan penduduk yang tidak merata
        • Tingginya angka urbanisasi
        • Pertumbuhan penduduk yang tidak seimbang dengan volume pekerjaan
      • Permasalahan kualitas penduduk
        • Masalah tingkat pendidikan
        • Masalah kesehatan
        • Masalah tingkat penghasilan/pendapatan
    3. Kuantitas dan kualitas penduduk Indonesia :
      • Kuantitas penduduk Indonesia
        • Jumlah penduduk yang besar
        • Perbesaran penduduk yang tidak merata
      • Kualitas penduduk Indonesia
        • Tingkat kesehatan yang rendah
        • Tingkat pendidikan yang rendah
    4. Cara mengatasi masalah kuantitas dan kualitas di Indonesia
      • Kuantitas penduduk Indonesia
        • Menekan angka kelahiran
        • Pemerataan persebaran penduduk dengan cara transmigrasi
    5. Kualitas penduduk Indonesia
      • Program social
      • Keringanan biaya pendidikan bagi yang kurang mampu
      • Upah minimum kota
      • Memberikan modal bagi usaha kecil
      • Melaksanakan pembangunan sarana dan prasarana sosial

    B.       SARAN

    Kualitas penduduk di Indonesia sangat harus di perhatikan dan di tingkatkan oleh pemerintah agar kualitas kinerja para penduduknya dapat ikut bersaing di dunia internasional.

    DAFTAR PUSTAKA

    http://ipsgampang.blogspot.com/2014/08/pengertian-istilah-kualitas-penduduk.html

    http://www.alwanku.com/2010/01/02/permasalahan-kuantitas-dan-kualitas-penduduk-dan-dampaknya-dalam-pembangunan/

    http://kmkb2012.wordpress.com/2013/08/01/kuantitas-dan-kualitas-kependudukan-di-indonesia/

    http://sp2010.bps.go.id

  • Makalah Asal Usul Suku Bugis

    Asal Usul Suku Bugis

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling tinggi dibanding makhluk Tuhan lainnya. Manusia di anugerahi kemampuan untuk berpikir, kemampuan untuk memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan kelebihan itulah manusia seharusnya mampu mengelola lingkungan dengan baik. Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri.Manusia selalu berinteraksi dengan lingkungan, dan hidup berkelompok.

    Dalam kehidupan sosial manusia, ada istilah adat istiadat dimana setiap kelompok/suku memiliki adat istiadat dn aturan yang berbeda-beda. Baik dari segi tata cara pernikahaan, keagamaan, dan tata cara menjalani kehidupan sehari-hari. Dengan banyaknya suku yang berbeda, tidak membuat terciptanya permusuhan antar sesama manusia, karena sikap saling menghormati dan menghargai menjadi salah satu sikap yang di tanamkan sejak dini.

    Salah satu suku yang terkenal dalam penyebarannya yaitu suku Bugis. Salah satu suku yang terkenal karena jiwa perantauannya yang hingga ke mancanegara. Bahakan adat istiadatnya menjadi salah satu bahan ketertarikan para wisatawan baik dalam negeri maupun luar negeri.

    B. Rumusan Masalah

    Dari latar belakang masalah yang diuraikan, banyak permasalahan yang didapatkan. Permasalahan tersebut adalah :

    1. Bagaimana awal mula suku bugis?
    2. Apa kepercayaan asli masyarakat Sulawesi Selatan?
    3. Apa mata pencaharian suku bugis?
    4. Bagaima bahasa, literature dan kesenian suku bugis?

    C. Tujuan Penulisan

    1. Untuk mengetahui awal mula dari suku bugis
    2. Untuk mengetahui secara rinci kepercayaan asli yang dianut masyarakat suku bugis
    3. Untuk mengetahui mata pencaharian suku bugis dalam memenuhi kebutuhan hidupnya
    4. Untuk mengetahui bahasa, literature dan keseniaan suku bugis.

    Bab II. Pembahasan

    A. Asal Usul Suku Bugis

    Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Deutero Melayu. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan.

    Kata “Bugis” berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan “ugi” merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayahanda dari Sawerigading.

    Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti ButoN.

    B. Kepercayaan Asli Masyarakat Sulawesi Selatan

    1. Kepercayaan Towani Tolotang 

    Towani Tolotang merupakan salah satu kelompok social di Kelurahan Amparita. kepercayaan Towani Lotang merupakan kebudayaan yang didirikan oleh La Panaungi, system ini juga banyak di anut oleh masyarakat suku bugis, hingga saat ini sudah sekitar 16 ribu masyarakat suku bugis yang menganut system kepercayaan ini. Towani Tolotang juga merupakan sebutan bagi agama yang mereka anut, kepercayaan Towani Tolotang bersumber dari Kepercayaan yang didirikan oleh La Panaungi karena mendapat wahyu dari Sawerigading untuk melanjutkan ajarannya dan melakukan pemujaan terhadap dewata sawwae. kitab suci dari ajaran ini adalah La Galigo. Kitab suci ini disimpan dan dilafalkan oleh pemimpin mereka yang disebut “uwak” dan kemudian akan diwariskan secara turun menurun kepada penerusnya secara lisan. 

    Dalam masyarakat Towani Tolotang dikenal adanya pemimipin agama yang mereka sebut Uwa dan Uwatta yang sekaligus sebagai semacam kepala suku. Kelompok Uwa dan Uwatta menempati posisi tertinggi dalam system pelapisan social dikalangan masyarakat Towani Tolotang. Sebagai pemimpin agama para Uwa dan Uwatta dijadikan sebagai panutan dalam masyarakat, juga sebagai perantara manusia dengan Dewata Sewwae. Dalam masyarakat terdapat tujuh orang uwak yang salah satunya di angkat menjadi emimpin dan dinamakan “uwak battoa” atau disebut juga pemimpin besar. Sementara uwak lainnya memiliki garis tugas masing-masing diantara mengurusi daerah persawahan, upacara adat, kehidupan social, penyelenggaraan upacara ritual dan lain sebagainya.

    Menurut pengakuan uwak languga setti sebagai salah satu tokoh masyarakat Towani Lotang yang bertindak sebagai juru bicara, nama tersebut bukanlah nama kepercayaan kami ( towani lotang). Karena nama tersebut pada mulanya adalah nama raja yang pernah memimpin di sedenreng sejak 1609-1910 terhadap kelompok atau komunitas Towani Lotang

    Kehidupan sosial Towani Tolotang yang nampak dalam kesehariannya merupakan cerminan dari ajaran agama yang ada. Pola perilaku terjadi tentu tidak terlepas dari konsep-konsep agama yang ada, hal ini dapat disaksikan pada setiap sesi kehidupan, dimana setiap akan memulai suatu pekerjaan diperlukan serangkaian acara serimonial keagamaan. Towani Tolotang meyakini bahwa setiap kegiatan yang dilaksanakan haruslah dilakukan upacara atau ritual tertentu agar mendapat restu dari Dewata Sewwae, karena tanpa restu dari Nya, sulit untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

    Pada mulanya masyarakat Towani Lotang adalah masyarakat penggungsi dan dari daerah asalnya yang bernama Wani di Kerajaan (Kabupaten Wajo). Daerah di sebelah barat dan tempatnya sekarang. Ketika masa pengislaman kerajaan di sulsel yang dibawa oleh ulama dari melayu dan dibantu oleh kerajaan gowa pada mula abad 17 tahun 1610.

    2. Aluk Tudolo

    Di daerah Tana Toraja sekarang ini masih hidup sebuah kepercayaan purba yang bernama Aluk Todolo yang lazim juga di sebut Alukta. Kepercayaan ini merupakan kepercayaan asli masyarakat Toraja walaupun sekarang ini mayoritas penduduknya telah beragama terutama agama Kristen Protestan dan agama Kristen Katholik. Inti ajaran Alukta menyatakan bahwa manusia harus menyembah kapada 3 oknum yaitu: 

    • Puang Matua sebagai pencipta segala isi bumi 
    • Deata-deata yang jumlahnya banyak sebagai pemelihara seluruh ciptaan Puang Matua. 
    • Tomembali Puang/todolo sebagai pengawas yang memperlihatkan gerak-gerik serta berkat kepada manusia keturunannya 

    Menyimak hal di atas khususnya point ke-3, maka jelaslah bahwa menurut kepercayaan mereka, manusia yang masih hidup tidak akan terlepas dari pengawasan arwah leluhurnya yang disebut Tomembali Puang/Todolo. Dengan kata lain arwah-arwah seseorang yang telah meninggal tidak akan melupakan keturunannya begitu saja akan tetapi tetap memperhatikannya. Hal itu berarti antara orang yang telah meninggal dengan orang yang masih hidup tetap ada hubungan. Mereka juga meyakini bahwa apabila mereka tidak memberikan berkat, nenek moyang juga bisa murka yang kemudian mendatangkan banjir, penyakit atau gagal panen.

    Oleh karena itu keselarasan dan keharmonisan harus tetap dijaga. Maka untuk itu sebelum di lepas ke alam arwah, keluarga mengadakan serangkaian upacara sakral dengan harapan dapat diterima disana nantinya (alam puya) dan tidak mendatangkan bencana. Selain itu pada waktu-waktu tertentu dilaksanakan upacara untuk memperingati mereka yang biasa dilaksanakan setelah panen yang berhasil atau suatu kondisi yang baik sebagai ucapan syukur sebagai berkat dari leluhur mereka. Adapun fungsi hewan kurban pada upacara Rambu Solo’ bagi orang Toraja yaitu; 

    • Akan menentukan kedudukan arwah orang yang telah meninggal, karena diyakini bahwa seseorang yang datang ke dunia dan pada saat meninggalnya apabila dia tidak membawa bekal dari dunia, arwahnya tidak akan diterima Puang Matua (Tuhan) 
    • Sebagai suatu hal yang menentukan martabat keturunannya dalam mesyarakat yang tetap memiliki status sosial sesuai dengan kastanya semula 
    • Akan menjadi patokan dalam membagi warisan si mati
    3. Kepercayaan Dewata Seuwae. 

    Sebelum masuknya Islam di Sulawesi Selatan, masyarakat Bugis Makassar sudah mempunyai “kepercayaan asli” (ancestor belief) dan menyebut Tuhan dengan sebutan ‘Dewata Seuwae’, yang berarti Tuhan kita yang satu. Bahasa yang digunakan untuk menyebut nama ‘Tuhan’ itu menunjukkan bahwa orang Bugis Makassar memiliki kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa secara monoteistis. Menurut Mattulada, religi orang Bugis – Makassar masa Pra-Islam seperti tergambar dalam Sure’ La Galigo, sejak awal telah memiliki suatu kepercayaan kepada suatu Dewa (Tuhan) yang tunggal, yang disebut dengan beberapa nama : PatotoE (Dia yang menentukan Nasib), Dewata Seuwae (Dewa yang tunggal), dan Turie A’rana (kehendak yang tertinggi). 

    Kepercayaan dengan konsep dewa tertinggi To-Palanroe atau PatotoE, diyakini pula mempunyai anggota keluarga dewata lain dengan beragam tugas. Untuk memuja dewa-dewa ini tidak bisa langsung, melainkan lewat dewa pembantunya. Konsep deisme ini disebut dalam attoriolong, yang secara harfiah berarti mengikuti tata cara leluhur. Lewat atturiolong juga diwariskan petunjuk-petunjuk normatif dalam kehidupan bermasyarakat. Raja atau penguasa seluruh negeri Bugis Makassar mengklaim dirinya mempunyai garis keturunan dengan Dewa-dewa ini melalui Tomanurung (orang yang dianggap turun dari langit / kayangan), yang menjadi penguasa pertama seluruh dinasti kerajaan yang ada. 

     Istilah Dewata Seuwae itu dalam aksara lontaraq, dibaca dengan berbagai macam ucapan, misalnya : Dewata, Dewangta, dan Dewatangna yang mana mencerminkan sifat dan esensi Tuhan dalam pandangan teologi orang Bugis Makassar. De’watangna berarti “yang tidak punya wujud”, “De’watangna” atau “De’batang” berarti yang tidak bertubuh atau yang tidak mempunyai wujud. De’ artinya tidak, sedangkan watang (batang) berarti tubuh atau wujud. “Naiyya Dewata SeuwaE Tekkeinnang”, artinya “Adapun Tuhan Yang Maha Esa itu tidak beribu dan tidak berayah”. Sedang dalam Lontarak Sangkuru’ Patau’ Mulajaji sering juga digunakan istilah “Puang SeuwaE To PalanroE”, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, Sang Pencipta. Istilah lain, “Puang MappancajiE”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Konsep “Dewata SeuwaE” merupakan nama Tuhan yang dikenal etnik Bugis – Makassar. 

    Kepercayaan orang Bugis kepada “Dewata SeuwaE” dan “PatotoE” serta kepercayaan “Patuntung” orang Makassar sampai saat ini masih ada saja bekas-bekasnya dalam bentuk tradisi dan upacara adat. Kedua kepercayaan asli tersebut mempunyai konsep tentang alam semesta yang diyakini oleh masyarakat pendukungnya terdiri atas tiga dunia, yaitu dunia atas (boting langi), dunia tengah (lino atau ale kawa) yang didiami manusia, dan dunia bawah (peretiwi). Tiap-tiap dunia mempunyai penghuni masing-masing yang satu sama lain saling mempengaruhi dan pengaruh itu berakibat pula terhadap kelangsungan kehidupan manusia. 

    Selain itu, orang Bugis Makassar pra-Islam juga melakukan pemujaan terhadap kalompoang atau arajang. Kata “Arajang” bagi orang Bugis atau “Kalompoang” atau “Gaukang” bagi orang Makassar berarti kebesaran. Yang dimaksudkan ialah benda-benda yang dianggap sakti, keramat dan memiliki nilai magis. Benda-benda tersebut adalah milik raja yang berkuasa atau yang memerintah dalam negeri. Benda-benda tersebut berwujud tombak, keris, badik, perisai, payung, patung dari emas dan perak, kalung, piring, jala ikan, gulungan rambut, dan lain sebagainya. 

    4. Sistem kepercayaan agama islam

    Masyarakat bugis dengan segala dan kebudayaan  menganut agama islam. kepercayaan yang banyak di anut suku bugis ini telah masuk sejak abad ke 17. Kepercayaan islam di suku bugis ini sendiri awal mulanya dibawa oleh pesyiar dari daerah minangkabau. Kemudian oleh para pesyiar tersebut penyebaran agama islam dilakukan ke tiga wilayah. Penyiar abdul makmur di tugaskan untuk menyebarkan agama islam di daerah gowa dan tallo, sementara di daerah luwu yang di tugaskan adalah penyiar Suleiman, dan terakhir penyiar nurdin ariyani di tugaskan di daerah terakhir yaitu daerah bulukumba. Awal mulanya hanya merekalah yang menyiarkan dan mengembangkan ajaran islam di tanah bugis.

    C. Mata Pencaharian

    Karena masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain itu masyarakat Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan.

    Kepiawaian suku Bugis-Makasar dalam mengarungi samudrapun cukup dikenal luas, dan wilayah perantauan mereka pun hingga Malaysia, Filipina, Brunei, Thailand, Australia, Madagaskar dan Afrika Selatan. Bahkan, di pinggiran kota Cape Town, Afrika Selatan terdapat sebuah suburb yang bernama Maccassar, sebagai tanda penduduk setempat mengingat tanah asal nenek moyang mereka.

    Penyebab dari merantauny suku Bugis-Makassar ialah konflik antara kerajaan Bugis dan Makassar serta konflik sesama kerajaan Bugis pada abad ke-16, 17, 18 dan 19, menyebabkan tidak tenangnya daerah Sulawesi Selatan. Hal ini menyebabkan banyaknya orang Bugis bermigrasi terutama di daerah pesisir. Selain itu budaya merantau juga didorong oleh keinginan akan kemerdekaan. Kebahagiaan dalam tradisi Bugis hanya dapat diraih melalui kemerdekaan.

    D. Bahasa dan Literatur

    Dalam kesehariannya hingga saat ini orang bugis masih menggunakan bahasa “Ugi” yang merupakan bahasa keluarga besar dari bahasa Austronesia Barat. Selain itu, orang Bugis juga memiliki aksara sendiri yakni aksara lontara yang berasal dari huruf Sansekerta. Bahkan uniknya, logat bahasa Bugis berbeda di setiap wilayahnya; ada yang kasar dan ada yang halus. Bahasa, yang dimiliki Suku Bugis menandakan satu hal: Suku Bugis pada masanya memiliki peradaban yang luar biasa hebatnya. Nenek moyang Suku Bugis adalah orang-orang pintar yang mampu menciptakan dan mewariskan ilmu pengetahuan.

    E. Kesenian

    1. Alat musik
    1. Kacapi (kecapi) Salah satu alat musik petik tradisional Sulawesi Selatan khususnya sukuBugis, Bugis Makassar dan Bugis Mandar. Menurut sejarahnya kecapi ditemukan atau diciptakan oleh seorang pelaut, sehingga bentuknya menyerupai perahu yang memiliki dua dawai, diambil karena penemuannya dari tali layar perahu.
    2. Sinrili, Alat musik yang mernyerupai biola tetapi biola di mainkan dengan membaringkan di pundak sedangkan Singrili di mainkan dalam keedaanpemain duduk dan alat diletakkan tegak di depan pemainnya.
    3. Gendang Musik , perkusi yang mempunyai dua bentuk dasar yakni bulat panjang danbundarseperti rebana.
    4. SulingSuling bambu/buluh, terdiri dari tiga jenis, yaitu:
      • Suling panjang (suling lampe), memiliki 5 lubang nada. Suling jenis ini telahpunah
      • Suling calabai (Suling ponco),sering dipadukan dengan piola (biola) kecapidan dimainkan bersama penyanyi
      • Suling dupa samping (musik bambu), musik bambu masih terplihara didaerahKecamatan Lembang. Biasanya digunakan pada acara karnaval (barisberbaris) atau acara penjemputan tamu.
    2. Seni Tari
    1. Tari pelangi; tarian pabbakkanna lajina atau biasa disebut tari meminta hujan.
    2. Tari Paduppa Bosara; tarian yang mengambarkan bahwa orang Bugis jika kedatangan tamu senantiasa menghidangkan bosara, sebagai tanda kesyukuran dan kehormatan
    3. Tari Pattennung; tarian adat yang menggambarkan perempuan-perempuan yang sedang menenun benang menjadi kain. Melambangkan kesabaran danketekunan perempuan-perempuan Bugis.
    4. Tari Pajoge’ dan Tari Anak Masari; tarian ini dilakukan oleh calabai(waria), namun jenis tarian ini sulit sekali ditemukan bahkan dikategorikan telahpunah.
    5. Jenis tarian yang lain adalah tari Pangayo, tari Passassa ,tari Pa’galung, dan Tari Pabbatte (biasanya di gelar padasaat Pesta Panen)

    Bab III. Penutup

    A. Kesimpulan

    Pada dasarnya Indonesia kaya akan kebudayaan yang berada di pulau-pulau. Di setiap pulau mempunyai suku yang beraneka ragam pula, contohnya Suku Bugis yang terdapat di Sulawesi Selatan. Penyebaran Suku Bugis sudah banyak di Indonesia hingga ke Pulau Kalimantan bahkan Pulau Sumatera akibat sifat manusia Suku Bugis yang suka merantau, penyebarannya melalui perdagangan dan pernikahan, jadi tak heran jika kita dapat menemukan Suku Bugis selain di Provinsi Sulawesi.

    Kekayaan keseniannya pun menyebar luas dan harus di lestarikan dan di paten kan hak ciptanya agar tidak dapat di klaim oleh Negara lain, karena itu merupakan bagian dari kesenian Negara Indonesia.

    B. Saran

    Pada era teknologi seperti saat ini, kebudayaan dan kesenian tradisional semakin tergeser. Sebaiknya pada anak usia dini di ajarkan tentang kesenian tradisional, baik dari segi bahasa, tari, alat music maupun adat isitiadat lainnya. Itu semua demi kelestarian kebudayaan dan kesenian tradisional.

    DAFTAR PUSTAKA

    Abu Hamid, 1982, Selayang Pandang, Uraian Tentang Islam dan Kebudayaan (dalam buku Bugis Makassar Dalam Peta Islamisasi Indoensia), Ujung Pandang, IAIN.

    Abd. Kadir Ahmad, 2004, Masuknya Islam di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Ternggara, Makassar, Balai Litbang Agama Makassar.

    Mattuladda, 1974. Bugis Makassar, Manusia dan Kebudayaan. Makassar. Berita Antropologi No. 16 Fakultas Sastra UNHAS.

    http://www.mahasiswa-indonesia.com/2014/02/adat-dan-kebudayaan-suku-bugis.html

    http://www.anneahira.com/kebudayaan-bugis.htm

    http://www.kabarkami.com/to-ugi-orang-bugis.html

    http://www.kabarkami.com/rumah-panggung-bugis-dan-konstruksi-sakral.html

    http://www.rappang.com/2010/02/ciri-khas-musik-tradisional-sulawesi.html

    http://id.scribd.com/doc/94533757/5-MAKALAH-SUKU-BUGIS

    ————, 1975. Latoa, Suatu Lukisan Analitis Antropologi Politik Orang Bugis., Makassar: Disertasi.

    http://ismailblogger02.blogspot.co.id/2012/06/mata-pencaharian-suku-bugis.html

    http://unj-pariwisata.blogspot.co.id/2012/05/sistem-religi-dan-kepercayaan-suku.html

  • Makalah Dialek Bahasa Makassar

    Dialek Bahasa Makassar

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Bahasa merupakan alat komunikasi yang dilakukan oleh masyarakat dalam berintraksi dengan tujuan untuk menyampaikan ide, gagasan, pesan, ataupun informasi. Salah satu ciri bahasa yakni unik. Hal ini dikarenakan antara suatu negara, bangsa, bahkan daerah memiliki bahasa yang berbeda.

    Kita yang berkewarganegaraan Indonesia memiliki bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional sekaligus bahasa negara. Indonesia yang merupakan negara kepulauan, yang terdiri dari berbagai daerah, maka Indonesia memiliki berbagai kebudayaan yang beragam termasuk bahasanya. Setiap daerah di Indonesia memiliki sebuah bahasa yang menjadi ciri khas daerah tersebut yang umumnya disebut bahasa daerah.

    Salah satu daerah atau wilayah bagian Indonesia yang memiliki bahasa daerah adalah Sulawesi Selatan. Bahasa daerah di Sulawesi Selatan secara umum ada dua yakni bahasa Bugis dan bahasa Makassar. Kedua bahasa itu hampir sama dan juga memiliki beberapa dialek.

    Pembahasan mengenai bahasa daerah sangat luas mengingat kita berada di Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang terdiri dari berbagai daerah. Oleh karena itu, kami sebagai penulis makalah ini hanya akan membahas tentang salah satu bahasa daerah di Sulawesi Selatan yakni bahasa Makassar. Adapun makalah ini hanya berisi pengantar terhadap bahasa Makassar  atau lebih tepatnya pengenalan tentang bahasa Makassar.

    Bab II. Pembahasan

    A. Pengertian Makassar

    Makassar merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Gowa pada masa lampau dan sekarang menjadi ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan. Penamaan Makassar dapat ditinjau dari beberapa segi, yaitu:

    1.      Segi Etimologi

    Dari segi etimologi kata “Makassar” berasal dari kata “Mangkasarak” yang terdiri atas dua morfem, yaitu morfem ikat “mang” dan mofem bebas “kasarak”.

    Morfem terikat “mang” mengandung arti:

    1. Memiliki sifat seperti yang terkandung dalam kata dasarnya.
    2. Menjadi atau menjelmakan diri seperti yang dinyatakan oleh kata dasarnya.
    3. Namun, (bila diikuti kata ganti persona)

    Morfem bebas “kasarak” mengandung arti:

    1. Terang, nyata, jelas, tegas.
    2. Tampak (dari penjelman)
    3. Besar (lawan kecil atau halus).

    Perhatikan pemakaian morfem bebas “kasarak” dalam kalimat berikut!

    ·      Akkasarakmi angkanaya…

    Artinya: jelaslah (nyatalah) bahwa…

    ·      Akkasaraki  jinga = aknyatai jinga

    Artinya: jin menjelma (menampakkan dirinya dari tak kelihatan menjadi kelihatan)

    ·      Kasarakna ngaseng jukuk boluna.

    Artinya: besar-besar semua ikan bandengnya.

    Berdasarkan tinjauan etimologi, kata “Mangkasarak” mengandung arti memiliki sifat besar (mulia) dan berterus terang.

    Sebagai nama, berartilah tempat atau orang yang memiliki sifat atau karakter tersebut, yaitu orang besar (mulia, baik-baik), orang berterus terang (jujur) sebagaimana di bibir begitu pula di hati.

    Dalam arti nyata, jelas atau terus terang ini terkandung pula arti tegas dan berani. Kalau seorang berkata “sikasa-kasariang” atau “sikasarrang” maksudnya, dia mengatakan saja terus terang dengan penuh tanggung jawab, bersedia memikul segala konsekuensinya. Ia konsekuen dan tidak mempedulikan atau memperhitungkan apa yang akan terjadi padanya, baik atau buruk, untung atau rugi, mati atau hidup. Kalau kesabaran dan kebijaksanaan serta toleransi yang ada padanya telah habis, maka ia berpegang saja pada “sekre-sekrea” (nasib).

    Dalam ungkapan “akkana Mangkasarak” maksudnya, berkata terus terang, namun pahit dengan penuh keberanian dan rasa tanggung jawab.

    Berdasarkan pengertian di atas dapatlah dikenal bahwa orang Makassar itu kalau ia diperlakukan baik, ia lebih baik; kalau ia diperlakukan dengan halus, ia lebih halus, dan kalau dihormati, ia lebih hormat, dan tahu membalas budi. Kalau orang menunjukkan padanya hati yang baik, kejujuran, kehalusan budi, dan hormat, maka ia membalas lebih dari itu. Tetapi, kalau dihadapi dengan kecongkakan atau kekejaman, ia lebih congkak atau lebih kejam.

    Sesungguhnya suku bangsa Mangkasarak itu mempunyai karakter tegas dan berani serta bersedia memikul segala konsekuensi dari setiap kata dan perbuatannya. Hal ini dapat dijumpai pula dalam kelong, antara lain :

    Takunjungak bangung turuk
    Na kugincirik gulingku
    Kualleanna
    Tallanga na toalia.

    Secara harfiah, terjemahannya adalah :

    Tak begitu saja aku mengikut angin
    Dan aku putar kemudiku
    Lebih baik aku pilih
    Tenggelam daripada kembali

    Kubantunna sombalakku
    Kutantang baya-bayaku
    Takminasayak
    Towali tannga dolangang.

    Secara harfiah, terjemahannya adalah :

    Bila layar (ku) telah kupasang
    Temali (ku) telah kurentang
    Aku tak berharap
    Kembali dari tengah lautan.

    Secara bebas kelong di atas diterjemahkan oleh sastrawan sebagai berikut :

    Bila layar telah terbentang
    Dan kemudi telah terpasang
    Biarkan topan dan badai menghantam
    Pantang biduk surut ke pantai.

    Selanjutnya, kelong berikut menggambarkan bahwa karakter suku Makassar yang suka berterus terang.

    Sampang tea kana teak
    Kanako talaerokak
    Na kubiluki
    Tumakkana sikalia

    ‘Kalau tidak mau katakan aku tidak mau
    Katakanlah bahwa aku memang tidak mau
    Supaya aku mencari
    Orang hanya sekali berkata’

    Secara bebas dapat diterjemahkan :

    Jika Anda menolak atau tidak setuju terhadap sesuatu,
    Katakanlah secara jujur dan terus terang
    Supaya aku mencari yang lain

    Dalam paruntuk kana (peribahasa) banyak sekali sifat yang demikian ini diungkapkan diantaranya, kontunna passok kala lempeka, artinya biarlah pesuk (lekuk-lekuk, ronyok) daripada membengkok (yang memungkinkan patah).

    2. Segi Terminologi

    Dari segi terminologi kata “Mangkasarak” mengandung arti :

    1. Nama suku bangsa bersama semagat dan kebudayaan yang dimilikinya termasuk bahasa yang dipakainya dalam pergaulan sehari-hari beserta daerah yang didiaminya yang terletak di bagian selatan jazirah Sulawesi Selatan.
    2. Nama kerajaan yang terdapat di Indonesia Bagian Timur yang puncak kejayaannya diletakkan oleh pahlawan nasional Sultan Hasanuddin, juga dinamai Kerajaan Gowa.
    3. Nama selat yang terletak di antara pulau Kalimantan dan pulau Sulawesi.
    4. Nama kota yang letaknya kena persimpangan 5 1/8° LS dan 119 ½° BT yang sejak permulaan abad ke-16 telah dikenal oleh dunia Internasional sebagai ibu negeri Kerajaan Gowa dan sampai sekarang merupakan kota terbesar di Indonesia Bagian Timur.

    3.      Segi Mitos

    Dari sejumlah informan penulis mendapat penjelasan bahwa pengkhususan atau terpaterinya dalam hati rakyat nama Makassar (Mangkasarak) sebagai ibu negeri kerajaan Gowa ini (namun sebelumnya telah dipakai orang), berhubungan erat dengan peristiwa yang dialami oleh seorang raja di Tallo. Peristiwa tersebut adalah sebagai berikut.

    Pada suatu hari, petugas istana melaporkan kepada Raja Tallo bahwa di tepi pantai sebelah barat ada orang memakai baju panjang (jubah). Ia melakukan gerakan-gerakan tertentu, tegak, bungkuk, duduk, dan lain-lain. Diceritakan oleh petugas istana itu semua yang dilihatnya.

    Setelah mendengar berita itu, raja pun bersiap-siap kemudian keluar dari istana hendak menyaksikan orang itu, beliau sangat khawatir akan keberadaan orang itu. Tidak jauh dari istana, raja pun bertemu dengan seorang orang tua. Orang tua itu menyapa raja dan menanyakan maksudnya. Setelah raja memberitahukannya, berkatalah orang tua itu: “Wahai raja, orang yang di tepi pantai itu orang sakti, kalau raja hendak menundukkan dia, marilah saya beri ilmu lebih dahulu. Tangan raja akan saya tulisi, perlihatkanlah kepadanya, niscaya tundukklah ia.”

    Orang itu berjabat dengan raja. Sesudah itu, tampaklah tulisan kalimat syahadat (ada yang mengatakan Fatihah) di tangan raja, dan orang tua itu pun lenyap. Raja melanjutkan perjalanannya. Setelah sampai di pantai, raja memperlihatkan tulisan yang ada di tangannya kepada orang tua itu. Orang tua itu menjabat tangan raja sambil mengatakan “Selamatlah dan berbahagialah Engkau wahai raja, karena Engkau telah memegang agama Allah dan kedatangan saya ke mari ialah untuk mengajarkan agama Allah.”

    Kemudian raja pun mengambil kesimpulan dan mengatakan “Nakbia akkasara” artinya nabi yang menjelma atau menampakkan diri (yang dimaksudkan ialah orang tua yang lenyap tadi). Tempat nabi “akkasarak” ini dinamai Mangkasarak (Makassar).

    4.      Segi Sejarah

    Berdasarkan bahan-bahan tertulis yang dijumpai oleh penulis dan masih banyak lagi yang belum dijumpai dapatlah diketahui bahwa nama “Makassar” baik sebagai nama suku bangsa, kerajaan, dan selat, maupun sebagai nama kota, telah dikenal oleh dunia internasional sejak dahulu.

    Hal ini dapat disaksikan dari serpihan sejarah antara lain sebagai berikut:

    a.    Dalam syair ke-14 Negara Kertagama karangan Mpu Prapanca (1364) nama ‘Makassar’ telah tercantum.

    “…Ikang saka sanusanusa Makassar Buton Banggawi Kunir Ggliyago mwang i (ng) Salaya Symba Solot Unar mwah tikang i wandan Ambwa Maloko Wwanin ri Seran i Timur Makandinin angeka nusatutur” 1)

    b.    Dalam sejarah Melayu, Kissa XIX, tersebut pula nama ‘Makassar’.

    c.    Mulai abad ke-16, Makassar sebagai ibu kota Kerajaan Gowa menjadi pusat perdagangan rempah-rempah yang penting di bagian timur kepulauan Indonesia tempat bangsa Portugis, Belanda, Inggris, dan Denmark berdagang.

    d.   Pada abad ke-17, Makassar sebagai ibu negeri Kerajaan Goa memberi bahan makanan yang melimpah terutama padi. Karena letaknya begitu baik sehingga menjadi tempat perdagangan rempah-rempah dari Maluku yang diangkut oleh pelaut Bugis dan dibeli oleh bangsa Portugis.

    e.    Sesudah melakukan perjalanan selama 26 hari, tepatnya tanggal 19 Desember 1666, Makassar pada waktu itu mulai kelihatan jauh lebih milita daripada sebelumnya.

    Di sebelah utara terletak Fort Rotterdam yang sekarang bernama Benteng Ujung Pandang (Jumpandang). Di sebelah selatannya, di pesisir pada jarak ± 2 1/2 mil, di antara kedua muara sungai Gowa (Jeneberang), terdapat keraton raja Gowa yang sangat diperkuat, Somba Opu namanya; lebih ke selatan dari keraton itu terdapat benteng Panakukkang. Sebuah tembok yang menghubungkan, baik ke utara dengan Ujung Pandang, maupun ke selatan dengan Panakukkang.

    Ibu kota Makassar merupakan sekumpulan (kompleks) ratusan kampung yang diduga diberi nama Makassar oleh orang-orang asing. Oleh karena itu, pada abad ke-17 jauh lebih luas lagi dari tempat kedudukan gubernur dan daerah taklukannya.

    f.     Inilah perjanjian-perjanjian Karaeng Matoaya dengan Inggris dan Belanda. Pada waktu Inggris dan Belanda mulai berdiam di Makassar, maka raja berkata:

    “Engkau tidak boleh menginginkan kecilku (mungkin maksudnya ‘rakyatku’). Engkau tak boleh mengambil ‘sesuatu’ dari pelabuhanku, walaupun bedilmu. Engkau tak ‘boleh’ hadapkan kepadaku senjatamu.

    Aku ambil kepala neracamu, cukaimu kalau pergi.

    Kalau ada kapalmu dari Inggris, dari Belanda memberi bedil besar dan mesin. Kalau Karaeng datang ke rumahmu, upacarai. Kalau syahbandar datang ke rumahmu beri persalin.

    Kalau datang kapalmu, membawalah (memberilah) antara kepada raja. Dan kalau berselisih paham aku minta diri, dan Engkau pergi. Engkau tak boleh menaikkan (menyimpan) meriam di rumahmu. Engkau tak boleh memuat kota, gedung. Engkau datang dari (benua) Barat, Engkau pergi ke (benua) Timur (Ada orang menafsirkan maksudnya: Engkau datang di musim hujan, kembalilah di musim kemarau (Basang, 1985)).

    B. Wilayah Pemakaian dan Dialek Bahasa Makassar

    Bahasa Makassar adalah salah satu bahasa daerah yang dipakai oleh suku bangsa Makassar yang mendiami bagian selatan jazirah Sulawesi Selatan. Menurut Kaseng (1978:13) wilayah pemakaian bahasa Makassar meliputi:

    1. Sebagian Kabupaten Pangkep
    2. Sebagian Kabupaten Maros
    3. Kota Madya Ujung Pandang
    4. Kabupaten Gowa
    5. Kabupaten Takalar
    6. Kabupaten jeneponto
    7. Kabupaten Bantaeng
    8. Sebagian Kabupaten Bulukumba
    9. Sebagian Kabupaten Sinjai
    10. Kabupaten Selayar
    11. Sebagian Kabupaten Bone.

    Mengingat pemakaian bahasa Makassar yang cukup luas maka terdapat perbedaan tuturan antara daerah yang satu dengan daerah lainnya. Perbedaan tuturan yang disebabkan oleh perbedaan letak geografis disebuat dialek. Menurut Pelenkahu (1974) bahasa Makassar terdiri dari lima dialek, yaitu bahasa Makassar dialek (BMDL).

    1. Lakiung

    Dialek bahasa Makassar yang digunakan oleh masyarakat penutur bahasa Makassar yang berdomisili di Kabupaten Gowa, Kota Makassa, Maros, dan Pangkajeknek Kepulauan. Menurut masyarakat Makassar, dialek ini diaggap dialek yang baku atau standar karena dialek ini digunakan sebagai alat komunikasi resmi pada masa pemerintahan Kerajaan Gowa. Lakiung adalah tempat yang menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Gowa pada masa lampau.

    2. Duri

    Dialek bahasa Makassar yang digunakan oleh masyarakat penutur bahasa Makassar yang berdomisili di Kabupaten Enrekang.

    3. Turatea

    Dialek bahasa Makassar yang digunakan oleh masyarakat penutur bahasa Makassar yang berdomisili di Kabupaten Jeneponto.

    4. Bantaeng

    Dialek bahasa Makassar yang digunakan oleh masyarakat penutur bahasa Makassar yang berdomisili di Kabupaten Bantaeng.

    5. Konjo

    Dialek bahasa Makassar yang digunakan oleh masyarakat penutur bahasa Makassar yang berdomisili di Kabupaten Bulukumba dan sebagian Kabupaten Gowa.

    6. Selayar

    Dialek bahasa Makassar yang digunakan oleh masyarakat penutur bahasa Makassar yang berdomisili di Kabupaten Selayar.

    Bab III. Penutup

    Makassar merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Gowa pada masa lampau dan sekarang menjadi ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan. Penamaan Makassar dapat ditinjau dari beberapa segi, yaitu etimologi, terminologi, mitos, dan sejarah. Penamaan Makassar dari segi etimologi, Makassar berasal dari kata ‘Mangkasarak’ yang terdiri dari morfem ‘mang’ dan morfem ‘kasarak’. Sementara dari segi terminologi, kata ‘Mangkasarak’ terdapat pada nama suku bangsa, nama kerajaan, nama selat, dan nama kota. Dari segi mitos, nama ‘Mangkasarak’ memiliki hubungan erat dengan peristiwa yang dialami oleh seorang raja di Tallo. Sementara dari segi sejarahnya, nama ‘Mangkasarak’ telah dikenal sejak dahulu ditingkat nasioal ataupun internasional dalam syair, sejarah Melayu, puncak perdagangan di Indonesia Timur,  dan lain-lain. Adapun bahasa Makassar memiliki beberapa dialek, yakni dialek lakiung, dialek duri, dialek turatea, dialek bantaeng, dialek konjo, dan dialek selayar.

    DAFTAR PUSTAKA

    Daeng, Kembong dan Muh. Bachtiar Syamsuddin. 2013. Bahan Ajar Bahasa dan Sastra Makassar. Makassar: UNM

  • Makalah Kearifan Lokal Suku Bugis Di Sulawesi

    Kearifan Lokal Suku Bugis Di Sulawesi

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Masyarakat Indonesia memiliki kebudayaan yang multi dimensi, begitu pula dengan aspek bahasa, agama, ras dan warna kulit sehingga aspek pluralitas menjadi karakter dari bangsa ini. Dimensi keragaman di atas adalah perwujudan dari integritas bangsa itu sendiri. Hal ini merupakan konsekuensi dari aspek pluralitas dan multi dimensi masyarakat Indonesia, untuk itu transformasi kearifan lokal melalui wadah pendidikan menjadi sebuah alternatif untuk kembali membangun kemandirian bangsa di era global sekarang ini.  Kearifan lokal sering dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat (local wisdom), pengetahuan setempat (local knowledge) atau kecerdasan setempat (local genious). Kearifan lokal adalah sikap, pandangan, dan kemampuan suatu komunitas di dalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya, yang memberikan kepada komunitas itu daya-tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah dimana komunitas itu berada. Dengan kata lain kearifan lokal adalah jawaban kreatif terhadap situasi geografis-geopolitis, historis, dan situasional yang bersifat lokal.  

    Menggali dan menanamkan kembali kearifan lokal secara inheren melalui pendidikan dapat dikatakan sebagai gerakan kembali pada basis nilai budaya daerahnya sendiri sebagai bagian upaya membangun identitas bangsa, dan sebagai semacam filter dalam menyeleksi pengaruh budaya lain. Nilai-nilai kearifan lokal itu meniscayakan fungsi yang strategis bagi pembentukan karakter dan identitas bangsa.

    Peran pendidikan yang secara esensi mengandung upaya “memanusiakan manusia” merupakan sebuah perwujudan pembentukan karakter masyarakat yang lebih mandiri dengan berangkat dari kearifan lokal masing-masing daerah.

    Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Kearifan lokal pada dasarnya dapat dipandang sebagai landasan bagi pembentukan jati diri bangsa secara nasional. Pendidikan dalam arti luas tidak hanya terjebak pada terminologi pendidikan formal, yang memiliki acuan perjenjangan yang jelas. Namun lebih dari itu pendidikan baik formal maupun non-formal harus mampu melakukan transformasi local wisdom dalam aktifitas pendidikan itu sendiri. Kerangka sederhana ini memungkinkan adanya hubungan relasional antara pendidikan dan kebudayaan. Dengan pendidikan orang dapat berbudaya, dan melalui budaya persaingan di era global menjadi lebih berarti.

    B. Rumusan Masalah

    Dari uraian latar belakang diatas, dapat dirumuskan beberapa pertanyaan yang nantinya akan menjadi obyek kajian dalam perumusan makalah ini, yang mencakup:

    1. Memaknai kearifan lokal sebagai intisari dari kekayaan budaya yang ada di Indonesia. Mampukah kekuatan local wisdom menjadi kekuatan dalam persaingan di era global?
    2. Bisakah Indonesia bersaing di dunia Internasional? Membaca ulang peran masyarakat lokal dalam melestarikan pendidikan dan kebudayaan. 

    C. Tujuan

    Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa kearifan lokal yang ada di Indonesia akan menemukan eksistensinya jika ditopang oleh usaha mengintegrasikan antara pendidikan dan kebudayaan, sehinggandiharapkan mampu memberi kontribusi kepada masyarakat guna melestarikan dan mengembangkan local wisdom masing-masing untuk bersaing di era globalisasi.  

    Berangkat dari kerangka di atas maka tujuan penulisan makalah ini adalah:

    1. Memaknai intisari kearifan lokal sebagai khasanah kekayaan bangsa, sehingga kekuatan itu harus terus digali untuk membentuk kebudayaan yang mampu bersaing.
    2. Mengetahui konsistensi masyarakat Indonesia dalam melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional melalui aspek pendidikan.

    D. Manfaat Penulisan

    Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah:

    1. Memberikan gambaran akan kekayaan budaya yang seharusnya menjadi kekuatan untuk bersaing di dunia Internasional.
    2. Menjadikan kekuatan menulis sebagai kultur intelektual untuk membangun peradaban masyarakat Indonesia.  
    3. Memposisikan peranan penting pendidikan dalam membangun kekuatan kebudayaan.

    E. Metode Penulisan

    Proses penulisan makalah ini berangkat dari minat untuk melakukan riset secara sederhana dalam lingkup literatur kepustakaan yang selanjutnya membentuk gagasan, konsep maupun teori. Proses ini dilakukan melalui penelusuran dan menelaah referensi-referensi yang ada kaitannya dengan tema yang penulis angkat. Sebagai layaknya studi kualitatif yang sederhana proses bimbingan dan dialog secara intensif juga kami lakukan dalam perumusan naskah ini kepada dosen pembimbing yang bersangkutan.

    Karena proses penulisan ini menggunakan pola riset yang sederhana maka pola pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan membaca serta mempelajari buku atau karya yang telah dikelompokkan menjadi sumber primer dan sekunder. Sumber primer merupakan buku-buku pendidikan dan kebudayaan yang kemudian dikorelasikan dengan tema yang diangkat.

    Sedangkan sumber sekunder adalah buku penopang yang lain. Begitu juga dengan jurnal, dan data-data yang bisa dipertanggung jawabkan.

    Dalam pengolahan data penulis menggunakan metode deskriptif-analitis. Deskriptif dalam artian metode yang digunakan memakai pencarian data yang berkaitan dengan tema yang diangkat dengan interpretasi yang jelas, tepat, akurat dan sistematis. Sedangkan analitis dimaksudkan untuk menguraikan data secara kritis, cermat dan terarah.  

    Untuk memperoleh analisis yang komprehensif, berikut akan diurai komposisi penyusunan makalah ini yakni terdiri atas tiga bab yang terdiri dari:  Bab Pertama, merupakan bab pendahuluan yang memuat tentang latar belakang, rumusan maslah, tujuan penulisan dan manfaat penulisan. Bab Kedua, menjelaskan tentang pembahasan dari tema yang sedang diangkat. Sedangkan Bab Ketiga, merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

    Bab II. Pembahasan

    A. Definisi Kearifan Lokal

    Kearifan lokal berasal dari dua kata yaitu kearifan (wisdom), dan lokal (local). Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal. 

    Kearifan lingkungan atau kearifan lokal masyarakat sudah ada di dalam kehidupan masyarakat semenjak zaman dahulu mulai dari zaman prasejarah hingga saat ini, kearifan lingkungan merupakan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya yang dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya. Wietoler dalam Akbar (2006)

    Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Sistem pemenuhan kebutuhan masyarakat tersebut meliputi seluruh unsur-unsur kehidupan Agama/Kepercayaan, Ilmu Pengetahuan, Teknologi, Ekonomi, Organisasi Sosial (Hukum, Politik), Bahasa/Komunikasi serta Kesenian. Mereka mempunyai pemahaman, program, kegiatan, pelaksanaan terkait untuk mempertahankan, memperbaiki, mengembangkan unsur kebutuhan mereka itu dengan memperhatikan ekosistem (flora, fauna dan mineral) serta sumberdaya manusia yang terdapat pada warga mareka sendiri.

    Kearifan lokal sesungguhnya mengandung banyak sekali keteladanan dan kebijaksanaan hidup. Pentingnya kearifan lokal dalam pendidikan kita secara luas adalah bagian dari upaya meningkatkan ketahanan nasional kita sebagai sebuah bangsa. Budaya nusantara yang plural dan dinamis merupakan sumber kearifan lokal yang tidak akan mati, karena semuanya merupakan kenyataan  hidup (living reality) yang tidak dapat dihindari. 

    a) Landasan Historis

    Kearifan lokal dapat bersumber dari kebudayaan masyarakat dalam suatu lokalitas tertentu. Dalam perspektif historis, kearifan lokal dapat membentuk suatu sejarah lokal. Sebab kajian sejarah lokal yaitu studi tentang kehidupan masyarakat atau khususnya komunitas dari suatu lingkungan sekitar tertentu dalam dinamika perkembangannya dalam berbagai aspek kehidupan. Wijda dalam (Koentjaraningrat, 1986).

    Awal pembentukan kearifan lokal dalam suatu masyarakat umumnya tidak diketahui secara pasti kapan kearifan lokal tersebut muncul. Pada umumnya terbentuk mulai sejak masyarakat belum mengenal tulisan (praaksara). Tradisi praaksara ini yang kemudian melahirkan tradisi lisan.

    Secara historis tradisi lisan banyak menjelaskan tentang masa lalu suatu masyarakat atau asal-usul suatu komunitas. Perkembangan tradisi lisan ini dapat menjadi kepercayaan atau keyakinan masyarakat. Dalam masyarakat yang belum mengenal tulisan terdapat upaya untuk mengabadikan pengalaman masa lalunya melalui cerita yang disampaikan secara lisan dan terus menerus diwariskan dari generasi ke genarasi. Pewarisan ini dilakukan dengan tujuan masyarakat yang menjadi generasi berikutnya memiliki rasa kepemilikan atau mencintai cerita masa lalunya. Tradisi lisan merupakan cara mewariskan sejarah pada masyarakat yang belum mengenal tulisan, dalam bentuk pesan verbal yang berupa pernyataan yang pernah dibuat di masa lampau oleh generasi yang hidup sebelum generasi yang sekarang ini. 

    b) Landasan Psikologis

    Secara psikologis pembelajaran berbasis kearifan lokal memberikan sebuah pengalaman psikologis kepada siswa selaku pengamat dan pelaksana kegiatan. Dampak psikologis bisa terlihat dari keberanian siswa dalam bertanya tentang ketidaktahuannya, mengajukan pendapat, persentasi di depan kelas, dan berkomunikasi dengan masyarakat. Dengan pemanfaatan lingkungan maka kebutuhan siswa tentang perkembangan psikologisnya akan diperoleh. Karena lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pembentukan dan perkembangan perilaku individu, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosio-psikologis, termasuk didalamnya adalah belajar. Terhadap faktor lingkungan ini ada pula yang menyebutnya sebagai empirik yang berarti pengalaman.

    c) Landasan Politik dan Ekonomi

    Secara politik dan ekonomi pembelajaran berbasis kearifan lokal ini memberikan sumbangan kompetensi untuk mengenal persaingan dunia kerja. Dari segi ekonomi pembelajaran ini memberikan contoh nyata kehidupan sebenarnya kepada siswa untuk mengetahui kegiatan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Karena pada akhirnya siswa dididik dan disiapkan untuk menghadapi persaingan global yang menuntut memiliki ketrampilan dan kompetensi yang tinggi di lingkungan sosial.

    d) Landasan Yuridis

    Secara yuridis pembelajaran berbasis kearifan lokal mengarahkan peserta didik untuk lebih menghargai warisan budaya Indonesia. Sekolah Dasar tidak hanya memiliki peran membentuk peserta didik menjadi generasi yang berkualitas dari sisi kognitif, tetapi juga harus membentuk sikap dan perilaku peserta didik sesuai dengan tuntutan yang berlaku. Apa jadinya jika di sekolah peserta didik hanya dikembangkan ranah kognitifnya, tetapi diabaikan afektifnya. Tentunya akan banyak generasi penerus bangsa yang pandai secara akademik, tapi lemah pada tataran sikap dan perilaku. Hal demikian tidak boleh terjadi, karena akan membahayakan peran generasi muda dalam menjaaga keutuhan bangsa dan Negara Indonesia. Nilai-nilai kearifan lokal yang ada di sekitar sekolah dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran di Sekolah Dasar. Tak terkecuali dalam pembelajaran untuk menanamkan nilai-nilai nasionalisme. Dengan diintegrasikannya nilai-nilai kearifan lokal dalam pembelajaran di Sekolah Dasar diharapkan siswa akan memiliki pemahaman tentang kerifan lokalnya sendiri, sehingga menimbulkan kecintaan terhadap budayanya sendiri.

    B. Pulau Sulawesi

    Secara Etimologi, Sulawesi atau Pulau Sulawesi (atau sebutan lama dalam bahasa Inggris: Celebes) adalah sebuah pulau dalam wilayah Indonesia yang terletak di antara PulauKalimantan disebelah barat dan Kepulauan Maluku disebelah timur. Dengan luas wilayah sebesar 174.600 km², Sulawesi merupakan pulau terbesar ke-11di dunia. Di Indonesia hanya luas pulau Sumatera, Kalimantan, dan pulau Papuasajalah yang lebih luas wilayahnya daripada pulau Sulawesi, sementara dari segi populasi hanya pulau Jawa dan Sumatera sajalah yang lebih besar populasinya daripada Sulawesi.

    Nama Sulawesi diperkirakan berasal dari kata dalam bahasa-bahasa di Sulawesi Tengah yaitu kata sula yang berarti nusa (pulau) dan kata mesi yang berarti besi (logam), yang mungkin merujuk pada praktik perdagangan bijih besi hasil produksi tambang-tambang yang terdapat di sekitar Danau Matano, dekat Sorowako, Luwu Timur. Sedangkan bangsa/orang-orang Portugis yang datang sekitar abad 14-15 masehi adalah bangsa asing pertama yang menggunakan nama Celebes untuk menyebut pulau Sulawesi secara keseluruhan.

    Sedangkan berdasarkan letak geografisnya Sulawesi merupakan pulau terbesar keempat di Indonesia setelah Papua, Kalimantan dan Sumatera dengan luas daratan 174.600 kilometer persegi. Bentuknya yang unik menyerupai bunga mawar laba-laba atau huruf K besar yang membujur dari utara ke selatan dan tiga semenanjung yang membujur ke timur laut, timur dan tenggara. Pulau ini dibatasi oleh Selat Makasar di bagian barat dan terpisah dari Kalimantan serta dipisahkan juga dari Kepulauan Maluku oleh Laut Maluku. Sulawesi berbatasan dengan Borneo di sebelah barat,Filipina di utara, Flores di selatan, Timor di tenggara dan Maluku di sebelah timur.

    Pada saat kemerdekaan Indonesia, Sulawesi berstatus sebagai propinsi dengan bentuk pemerintahan otonom di bawah pimpinan seorang Gubernur. Propinsi Sulawesi ketika itu beribukota di Makassar, dengan GubernurDR.G.S.S.J. Ratulangi. Bentuk sistem pemerintahan propinsi ini merupakan perintis bagi perkembangan selanjutnya, hingga dapat melampaui masa-masa di saat Sulawesi berada dalamNegara Indonesia Timur (NIT) dan kemudian NIT menjadi negara bagian dari negara federasi Republik Indonesia Serikat (RIS). Saat RIS dibubarkan dan kembali kepadaNegara Kesatuan Republik Indonesia, Sulawesi statusnya dipertegas kembali menjadi propinsi.Status Propinsi Sulawesi ini kemudian terus berlanjut sampai pada tahun 1960.

    1. Sistem Pemerintahan

    Pemerintahan di Sulawesi dibagi menjadi enam provinsi berdasarkan urutan pembentukannya yaitu provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara,Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, dan Sulawesi Barat. Sulawesi Tengah merupakan provinsi terbesar dengan luas wilayah daratan 68,033 kilometer persegi dan luas laut mencapai 189,480 kilometer persegi yang mencakup semenanjung bagian timur dan sebagian semenanjung bagian utara serta Kepulauan Togean di Teluk Tomini dan pulau-pulau di Banggai Kepulauan di Teluk Tolo. Sebagian besar daratan di provinsi ini bergunung-gunung (42.80% berada di atas ketinggian 500 meter dari permukaan laut) dan Katopasa adalah gunung tertinggi dengan ketinggian 2.835 meter dari permukaan laut.

    2. Suku – Suku di Pulau Sulawesi

    Pulau Sulawesi, berada di Indonesia Bagian Tengah, dan memiliki bermacam-macam suku bangsa dengan corak budaya dan adat-istiadat yang memiliki keunikan masing-masing. Beberapa suku di pulau Sulawesi memiliki keterkaitan sejarah asal-usul dengan Formosa Taiwan, Filipina, Kalimantan dan Sumatra.

    1. Sulawesi Utara

    • Minahasa 
    • Tombulu
    • Tonsea
    • Tontemboan
    • Toulour
    • Tondano 
    • Kakas
    • Tonsawang
    • Tombatu
    • Bantik
    • Babontehu
    • Pasan
    • Ratahan (Bentenan)
    • Ponosakan
    • Borgo

    §  Mongondow

    §  Sangir 

    §  Talaud

    §  Bolango

    §  Gorontalo

    §  Gorontalo

    §  Atinggola

    §  Suwawa

    §  Polahi

    §   

    2.  Sulawesi Tengah

    §  Ampana

    §  Balantak

    §  Banggai:

    –          Banggai Kepulauan

    –          Sea-sea (Banggai Pegunungan)

    §  Bobongko 

    §  Bungku:

    –          Ulumanda

    §  Buol

    §  Bajau (pulau Papan, pulau Milok dll)

    §  Dampeles

    §  Dampal 

    §  Daya di Buol Tolitoli (pegunungan)

    §  Dondo 

    §  Kahumamahon

    §  Kaili:

    –          Ado (daerah Sibalaya, Sibovi dan Pandere)

    –          Baras

    –          Bare’e (daerah Touna, Tojo, Unauna dan Poso)

    –          Bunggu (di Sulawesi Barat)

    –          Da’a

    –          Doi (daerah Pantoloan dan Kayumalue)

    –          Edo (daerah Pakuli dan Tuva)

    –          Ija (daerah Bora dan Vatunonju)

    –          Ledo

    –          Lindu (To Lindu)

    –          Moma (Ngata Toro)

    –          Pamona

    o   Bada

    o   Benggaulu

    o   Besoa (Behoa)

    ü  Orang Katu

    o   Napu

    o   Rampi (Leboni)

    o   Topoiyo

    o   Uma Pipikoro

    ü  Bana

    o   Onda’e

    o   Wingkendano

    o   Lage

    o   Pebato

    o   Lamusu

    –          Pekurehua (Napu)

    –          Rai

    –          Sarudu

    –          Sedoa

    –          Tado

    –          Tara (daerah Talise, Lasoani, Kavatuna dan Parigi)

    –          Tohulu

    –          Tolare

    –          Unde

    §  Kulawi (To Kulawi)

    –          Peana (To Peana)

    –          Kalamanta

    –          Winatu (To Winatu).

    –          Kantewu (To Kantewu)

    –          Siwongi

    §  Lore (To Lore)

    §  Mori (To Mori)

    –          Moleta (Mori atas)

    –          Petasia (Mori bawah)

    –          Lembo (Mori bawah)

    –          Murungkuni

    –          Tovatu (Towatu)

    –          Musimbat

    –          Tomoki

    –          Toroda

    –          Molongkuni

    –          Mobahono

    –          Uluowoi

    –          Padoe (To Padoe)

    –          Karunsie (To Karunsi’e)

    –          Tambee (To Tambe’e)

    §  Mamasa 

    §  Marena (To Marena)

    §  Pakawa (To Pakava)

    §  Pendau (kabupaten Tolitoli)

    §  Saluan (Loinang)

    §  Sinduru (Tuva)

    §  Ta’a Uwemea Toili

    §  Tau Ta’a Wana (To Wana)

    –          Burangas

    –          Kasiala

    –          Posangke

    –          Untunu Ue

    §  Togean

    §  Tojo (Tajio)

    §  Tolaki

    §  Tolitoli (kabupaten Tolitoli)

    §  Tomini

    –          Tialo

    –          Lauje

    §  Orang Tompu

    §  Toro

    §  To Rompoe

    3.      Sulawesi Selatan

    §  Bentong

    §  Bugis

    §  Duri

    §  Enrekang

    §  Kalekaju (To Kalekaju)

    §  Konjo, terdiri dari:

    –          Konjo Pesisir

    –          Konjo Gunung

    –          Konjo Hitam (Kajang)

    §  Maiwa

    §  Makassar

    §  Mandar

    §  Maroangin (Marowangin) 

    §  Massenrempulu 

    §  Rampi (To Rampi)

    §  Pattinjo

    §  Seko (To Seko, To Lemo)

    §  Selayar (To Silajara)

    §  Toala (Pannei)

    §  To Balo

    §  Tolotang (Towani Tolotang)

    §  Toraja (To Raja, To Raya)

    §  Wotu (suku Luwu)

    §  distrik Nuha Luwu Timur:

    –          Weula (To Weula)

    –          Kondre (To Kondre)

    –          Taipa (To Taipa)

    –          Padoe (To Padoe)

    –          Karunsie (To Karunsi’e)

    –          Tambee (To Tambe’e)

    –          Tokinadu

    –          Routa (To Routa), pindah ke Sulawesi Tenggara

    –          Lamundre (To Lamundre), pindah ke Sulawesi Tenggara

    4.      Sulawesi Barat

    §  Bunggu

    §  Campalagian

    §  Mamasa (To Mamasa)

    §  Mamuju

    §  Mandar

    §  Pattae

    §  Toraja

    5.      Sulawesi Tenggara

    §  Cia-Cia

    §  Kabaena

    §  Moronene

    §  Muna 

    §  Mekongga

    §  Pancana

    §  Tolaiwiw

    §  Tolaki

    §  Tukang Besi

    §  Wakatobi

    §  Wawonii

    §  Wolio

    §  Wosai

    §  pulau Buton:

    –          Buton

    –          Wolio

    –          Kalisusu

    –          Katobengke

    §  Proto Buton (penghuni pertama pulau Buton)

    –          Wambolebole

    –          Kombilo

    –          Wakarorondo (Wakaokili)

    §  Proto Sulawesi Tenggara:

    –          Tokira

    –          Towuna

    –          Toala

    –          Towana

    –          Katobengke

    –          Moronene

    –          To Aere (Toaere)

    –          To Laiwoi (To Laiwuri)

    –          To Kudiho, (orang kerdil yang mendiami daerah Wundulako di kawasan lembah pegunungan Tamosi, jauh sebelum kehadiran suku-suku di atas)

    §  Kelompok Bajo:

    –    Bajo Kabaena

    –     Bajo Wakatobi

    2.3  Suku Bugis

    Suku Bugis, adalah salah satu suku bangsa yang terdapat di Sulawesi Selatan. Populasi suku Bugis ini adalah yang terbesar di Sulawesi Selatan, dan diperkirakan mencapai 6 juta orang pada sensus tahun 2000.

    Orang Bugis adalah termasuk bangsa perantau dan pengembara. Populasi suku Bugis tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, selain di Sulawesi Selatan, suku Bugis juga tersebar di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Papua, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Komunitas suku Bugis juga ditemukan ada di provinsi Riau, tapi pada umumnya sudah mengikuti adat-istiadat suku Melayu Riau, walaupun begitu mereka tetap mengaku sebagai orang Bugis. Keturunan orang Bugis juga ditemukan di Malaysia dan Brunei.

     Agama Islam masuk ke kalangan orang Bugis pada abad 17, yang berkembang dengan cepat, sehingga saat ini menjadi agama rakyat bagi masyarakat Bugis. Orang Bugis mayoritas adalah pemeluk agama Islam.

     Asal-usul suku Bugis pertama kali diperkirakan berasal dari daratan China Selatan, menurut para peneliti dikatakan dari Yunnan, China Selatan, sekitar awal abad Masehi, bersama kelompok deutro malayan, yang masuk dengan kelompok yang besar- ke wilayah kepulauan Asia Tenggara ini. Menurut dugaan lain, bahwa orang Bugis ini adalah penduduk penghuni daerah pesisir Indochina, di sekitar Burma dan Thailand, yang terdesak oleh bangsa Arya yang menginvasi daerah pesisir Indochina. Mereka sempat bertahan dan berperang melawan bangsa Arya ini, tapi karena mereka hanya terdiri dari para petani dan nelayan dan kalah dalam persenjataan, akhirnya mereka pun terpecah-pecah dan tersebar ke daerah kepulauan di Asia Tenggara dan salah satunya mendarat ke daerah Sulawesi Selatan sekarang ini.

     Di daerah baru ini, mereka berbaur dengan penduduk asli yang terlebih dahulu berada di daerah ini. Tapi karena pertumbuhan mereka sangat pesat dengan budaya yang mereka bawa, akhirnya penduduk asli terdesak masuk lebih ke pedalaman dan menyingkir ke daerah lain.

    Orang Bugis menyebut dirinya sebagai “To Ugi” yang berarti “orang Bugis”. Nama “ugi” merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayah dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.

    Seiring waktu berjalan, masyarakat Bugis purba ini tumbuh dan berkembang selama beberapa abad, dan menjadi beberapa kelompok-kelompok kecil yang tersebar ke segala penjuru pulau Sulawesi. Setelah beberapa abad berjalan, dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan. Masyarakat ini kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, dan pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng dan Rappang. Meski tersebar dan membentuk suku Bugis, tapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah dengan Makassar dan Mandar. Saat ini orang Bugis tersebar dalam beberapa kabupaten yaitu Luwu, Bone,Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Barru. Daerah peralihan antara Bugis dengan Makassar adalah Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang. Kerajaan Luwu adalah kerajaan yang dianggap tertua bersama kerajaan Cina (yang kelak menjadi Pammana), Mario (kelak menjadi bagian Soppeng) dan Siang (daerah di Pangkajene Kepulauan).

    Secara sejarah asal-usul orang Bugis masih satu rumpun dengan orang Makassar dan orang Mandar. Banyak terdapat kemiripan dari segi adat-istiadat, budaya dan bahasa antara ketiga suku bangsa ini. Selain banyak terlibat hubungan kekerabatan di antara mereka.

    Pemukiman masyarakat suku Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, kebanyakan masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain itu masyarakat Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan.

    2.4  Kearifan Lokal Suku Bugis

    Pada masyarakat Bugis, kearifan lokal ternyata terdokumntasi dengan baik dalamkarya sastra mereka dan tertuang dalam karya sastra Bugis klasik.

    1.      Bawaan Hati yang Baik (Ati Mapaccing)

    Dalam bahasa Bugis, Ati Mapaccing (bawaan hati yang baik) berarti nia’ madeceng (niat baik), nawa-nawa madeceng (niat atau pikiran yang baik) sebagai lawan dari kata nia’ maja’ (niat jahat), nawa-nawa masala (niat atau pikiran bengkok). Dalam berbagai konteks, kata bawaan hati, niat atau itikad baik juga berarti ikhlas, baik hati, bersih hati atau angan-angan dan pikiran yang baik.

    Tindakan bawaan hati yang baik dari seseorang dimulai dari suatu niat atau itikad baik (nia mapaccing), yaitu suatu niat yang baik dan ikhlas untuk melakukan sesuatu demi tegaknya harkat dan martabat manusia. Bawaan hati yang baik mengandung tiga makna, yaitu a) menyucikan hati, b) bermaksud lurus, dan c) mengatur emosi-emosi. Pertama, manusia menyucikan dan memurnikan hatinya dari segala nafsu- nafsu kotor, dengki, iri hati, dan kepalsuan-kepalsuan. Niat suci atau bawaan hati yang baik diasosiasikan dengan tameng (pagar) yang dapat menjaga manusia dari serangan sifat-sifat tercela. Ia bagai permata bercahaya yang dapat menerangi dan menjadi hiasan yang sangat berharga. Ia bagai air jernih yang belum tercemar oleh noda-noda atau polusi. Segala macam hal yang dapat menodai kesucian itu harus dihindarkan dari hati, sehingga baik perkataan maupun perbuatan dapat terkendali dengan baik.

    2.      Konsep Pemerintahan yang Baik (good governance)

    Istilah good governance tak bisa dilepaskan dari konteks perbincangan mengenai politik dan paradigma pembangunan yang berkembang di dunia. Bila dilacak agak teliti, penggunaan istilah ini belum lebih dari dua dekade. Diduga, good governance pertama kali diperkenalkan sekitar tahun 1991 dalam sebuah resolusi The Council of the European Community yang membahas Hak Asasi Manusia, Demokrasi, dan Pembangunan.. Di dalam resolusi itu disebutkan, diperlukan empat prasyarat lain untuk dapat mewujudkan Pembangunan yang berkelanjutan, yaitu mendorong penghormatan atas hak asasi manusia, mempromosikan nilai demokrasi, mereduksi budget pengeluaran militer yang berlebihan dan mewujudkan good governance. Sejak saat itu, good governance mulai diperbincangkan dan diakomodasi dalam berbagai konvensi dan resolusi yang berkaitan dengan pembangunan, baik dalam perbincangan pembangunan di UNDP maupun di Lome Convention, Bantuan Pembangunan yang bersifat Multilateral dan Bilateral.

    Istilah good governance telah diterjemahkan menjadi penyelenggaraan pemerintahan yang amanah (Bintoro Tjokroamidjojo), tata pemerintahan yang baik (UNDP), pengelolaan pemerintahan yang baik dan bertanggunjawab (LAN), dan ada juga yang mengartikan secara sempit sebagai pemerintahan yang bersih (Effendi, 2005).

    Dalam kepustakaan Bugis, untuk terwujudnya permerintahan yang baik, seorang pemimpin dituntut memiliki 4 kualitas yang tak terpisahkan antara satu dengan lainnya. Keempat kualitas itu terungkap dalam ungkapan Bugis.

    Maccai na Malempu;

    Waraniwi na Magetteng

    (Cendekia lagi Jujur, Berani lagi Teguh dalam Pendirian.)

    Bila ungkapan di atas diurai maka ada empat karakteristik seorang pemimpin yang diangap dapat memimpin suatu negeri, yaitu: cendekia, jujur, berani, dan teguh dalam pendirian. Ungkapan itu bermakna bahwa kepandaian saja tidak cukup. Kepandaian haruslah disertai dengan kejujuran, karena banyak orang pandai menggunakan kepandaiannya membodohi orang lain. Karerna itu, kepandaian haruslah disertai dengan kejujuran. Selanjutnya, keberanian saja tidak cukup. Keberanian haruslah disertai dengan keteguhan dalam pendirian. Orang yang berani tetapi tidak cendekia dan teguh dalam pendirian dapat terjerumus dalam kenekadan.

    Syarat terselenggaranya pemerintahan negeri dengan baik terungkap dalam Lontarak bahwa pemimpin negeri haruslah:

    1.      Jujur terhadap Dewata Seuwae (Tuhan YME) dan sesamanya manusia.

    2.      Takut kepada Dewata Seuwae (Tuhan YME) dan menghormati rakyatnya dan orang asing serta tidak membeda-bedakan rakyatnya.

    3.      Mampu memperjuangkan kebaikan negerinya agar berkembang biak rakyatnya, dan mampu menjamin tidak terjadinya perselisihan antara pejabat kerajaan dan rakyat.

    4.      Mampu menjamin kesejahteraan rakyatnya.

    5.      Berani dan tegas, tidak gentar hatinya mendapat berita buruk (kritikan) dan berita baik (tidak mudah terbuai oleh sanjungan).

    6.      Mampu mempersatukan rakyatnya beserta para pejabat kerajaan.

    7.      Berwibawa terhadap para pejabat dan pembantu-pembantunya.

    8.      Jujur dalam segala keputusannya.

    Kemudian, I Mangada’cina Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang membuat pesan yang isinya bahwa ada lima sebab yang menyebabkan negeri itu rusak, yaitu:

    1.      Kalau raja yang memerintah tidak mau diperingati.

    2.      Kalau tidak ada cendekiawan dalam suatu negara besar.

    3.      Kalau para hakim dan para pejabat kerajaan makan sogok.

    4.      Kalau terlampau banyak kejadian-kejadian besar dalam suatu negara.

    5.      Kalau raja tidak menyayangi rakyatnya.

    3.      Demokrasi (Amaradekangeng)

    Kata amaradekangeng berasal dari kata maradeka yang berarti merdeka atau bebas. Pengertian tentang kemerdekaan ditegaskan dalam Lontarak sebagai berikut:

    Niaa riasennge maradeka, tellumi pannessai:

    Seuani, tenrilawai ri olona.

    Maduanna, tenriangkai’ riada-adanna.

    Matellunna, tenri atteanngi lao ma-niang, lao manorang, lao orai, lao alau, lao ri ase, lao ri awa

    Demokrasi sebagai bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara terungkap dalam sastra Bugis sebagai berikut: 

    Yang disebut merdeka (bebas) hanya tiga hal yang menentukannya:

    pertama, tidak dihalangi kehendaknya; 

    kedua, tidak dilarang mengeluarkan pendapat; 

    ketiga tidak dilarang ke Selatan, ke Utara, Ke Barat, ke Timur, ke atas dan ke bawah. Itulah hak-hak kebebasan.

    Rusa taro arung, tenrusa taro ade,

    Rusa taro ade, tenrusa taro anang,

    Rusa taro anang, tenrusa taro tomaega.

    (Batal ketetapan raja, tidak batal ketetapan adat, Batal ketetapan adat, tidak batal ketetapan kaum Batal ketetapan kaum, tidak batal ketetapan orang banyak).

    Keamanaan, dan pelaksanaan pemerintahan negara (Said, 1998). Konsep di atas sejalan dengan konsep demokrasi yang dianut saat ini yang mana kedaulatan ada di tangan rakyat. Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

    Dalam ungkapan itu, jelas tergambar bahwa kedudukan rakyat amat besar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Rakyat berarti segala-galanya bagi negara. Raja atau penguasa hanyalah merupakan segelintir manusia yang diberi kepercayaan untuk mengurus administrasi.

    Dari kutipan itu, jelas tergambar bahwa kekuatan berada di tangan rakyat, bukan di tangan raja. Jika hal ini dihubungkan dengan teori demokrasi Rousseau tentang volonte generale atau kehendak umum dan volonte de tous atau kehendak khusus, jelas tergambar bahwa teori Rousseau berkesesuaian dengan sistem pemerintahan yang dikembangkan di Tanah Bugis yaitu apabila dua kepentingan (antara penguasa dan rakyat) bertabrakan, kepentingan yang harus dimenangkan adalah kepentingan rakyat (umum).

    Dalam menjalankan pemerintahan, raja selalu berusaha untuk bertindak secara ekstra hati-hati. Sesuatu yang akan dibebankan kepada rakyat haruslah terlebih dahulu dipertimbangkan. Artinya, acuan utama dari setiap tindakan adalah rakyat. Hal tersebut tertuang dalam Getteng Bicara (undang-undang) sebagai berikut. “Takaranku kupakai menakar, timbanganku kupakai menimbang, yang rendah saya tempatkan di bawah, yang tengah saya tempatkan di tengah, yang tinggi saya tempatkan di atas.”

    Ketetapan hukum yang tergambar dalam getteng bicara di tanah Bugis menunjukkan bahwa raja tidak akan memutuskan suatu kebijakan bila raja itu sendiri tidak merasa nyaman. Raja menjadikan dirinya sebagai ukuran dan selalu berusaha berbuat sepatutnya. Dari argumentasi itu, jelas tergambar bahwa negara adalah sepenuhnya milik rakyat dan bukan milik raja. Raja tidak dapat berbuat sekehendak hatinya kepada negara yang menjadi milik dari rakyat itu. Raja sama sekali tidak dapat membuat peraturan dengan seenaknya, terutama menyangkut kepentingan dirinya atau keluarganya. Semua peraturan yang akan ditetapkan oleh raja harus melalui persetujuan dari kalangan wakil rakyat yang telah mendapatkan kepercayaan dari rakyat. Jika raja melanggar ketentuan itu, berarti raja telah melanggar kedaulatan rakyat.

    Adat menjamin hak dan protes rakyat dengan lima cara sebagai berikut:

    1.      Mannganro ri ade’, memohon petisi atau mengajukan permohonan kepada raja untuk mengadakan suatu pertemuan tentang hal-hal yang mengganggu, seperti kemarau panjang karena dimungkinkan sebagai akibat kesalahan pemerintah.

    2.      Mapputane’, menyampaikan keberatan atau protes atas perintah-perintah yang memberatkan rakyat dengan menghadap raja. Jika itu menyangkut kelompok, maka mereka diwakili oleh kelompok kaumnya untuk menghadap raja, tetapi jika perseorangan, langsung menghadap raja.

    3.      Mallimpo-ade’, protes yang mendesak adat karena perbuatan sewenang-wenang raja, dan karena usaha melalui mapputane’ gagal. Orang banyak, tetapi tanpa perlengkapan senjata mengadakan pertemuan dengan para pejabat negara dan tidak meninggalkan tempat itu kecuali permasalahannya selesai.

    4.      Mabbarata, protes keras rakyat atau kaum terhadap raja, karena secara prinsipial masyarakat merasa telah diperlakukan tidak sesuai dengan panngadereng oleh raja, keluarga raja, atau pejabat kerajaan. Masyarakat atau kaum berkumpul di balai pertemuan (baruga) dan mendesak agar masalahnya segera ditangani. Kalau tidak, rakyat atau kaum bisa mengamuk yang bisa berakibat sangat fatal pada keadaan negara.

    5.      Mallekke’ dapureng, tindakan protes rakyat dengan berpindah ke negeri lain. Hal ini dilakukan karena sudah tidak mampu melihat kesewenang-wenangan di dalam negerinya dan protes-protes lain tidak ampuh. Mereka berkata: “Kamilah yang memecat raja atau adat, karena kami sekarang melepaskan diri dari kekuasaannya”.(Mattulada, 1985)

    4.      Kesetiakawanan Sosial (assimellereng)

    Konsep assimellereng mengandung makna kesehatian, kerukunan, kesatupaduan antara satu anggota keluarga dengan anggota keluarga lain, antara seorang sahabat dengan sahabat yang lain. Memiliki rasa kekeluargaan yang tinggi, setia kawan, cepat merasakan penderitaan orang lain, tidak tega membiarkan saudaranya berada dalam keadaan menderita, dan cepat mengambil tindakan penyelamatan atas musibah yang menimpa seseorang, dikenal dengan konsep “sipa’depu-repu” (saling memelihara). Sebaliknya, orang yang tidak mempedulikan kesulitan sanak keluarganya, tetangganya, atau orang lain sekali pun disebut bette’ perru. Dalam kehidupan sehari-hari, manifestasi kesehatian dan kerukunan itu disebutkan dalam sebuah ungkapan Bugis:

    “tejjali tettappere , banna mase-mase”.

    Ungkapan tersebut biasanya diucapkan ketika seorang tuan rumah kedatangan tamu. Maksunya adalah “kami tidak mempunyai apa-apa untuk kami suguhkan kepada tuan. Kami tidak mempunyai permadani atau sofa yang empuk untuk tuan duduki. Yang kami miliki adalah kasih sayang.

    Lontarak sangat menganjurkan manusia memiliki perasaan kemanusiaan yang tinggi, rela berkorban menghormati hak-hak kemanusiaan seseorang, demi kesetiakawanan atau solidaritas antara sesama manusia, berusaha membantu orang, suka menolong orang menderita, berkorban demi meringankan penderitaan dan kepedihan orang lain dan berusaha pula untuk membagi kepedihan itu ke dalam dirinya. Dalam Lontarak disebutkan:

    Iya padecengi assiajingeng:

    – Sianrasa-rasannge nasiammase-maseie;

    – Sipakario-rio;

    – Tessicirinnaiannge ri sitinajae;

    – Sipakainge’ ri gau’ patujue;

    – Siaddappengeng pulanae.

    Yang memperbaiki hubungan kekeluargaan yaitu:

    – Sependeritaan dan kasih-mengasihi;

    – Gembira menggembirakan;

    – Rela merelakan harta benda dalam batas-batas yang wajar;

    – Ingat memperingati dalam hal-hal yang benar;

    – Selalu memaafkan.

    Dorongan perasaan solidaritas untuk membela, menegakkan, memperjuangkan harkat kemanusiaan orang lain atau perasaan senasib sepenanggungan di antara keluarga, kerabat, dan masyarakat dilukiskan dalam ungkapan-ungkapan Lontarak sebagai berikut:

    Eppai rupanna padecengi asseajingeng:

    –          Sialurusennge’ siamaseng masseajing.

    –          Siadampengeng pulanae masseajing.

    –          Tessicirinnaiannge warangparang masseajing, ri sesena gau’ sitinajae.

    –          Sipakainge’ pulannae masseajing ri sesena gau’ patujue sibawa winru’ madeceng.

    Empat hal yang mengeratkan hubungan kekeluargaan:

    –          Senantiasa kasih mengasihi sekeluarga.

    –          Maaf memaafkan sekeluarga.

    –          Rela merelakan sebagian harta benda sekeluarga dalam batas-batas yang layak.

    –          Ingat memperingati sekeluarga demi kebenaran dan tujuan yang baik.

    5.      Kepatutan (Mappasitinaja)

    Mappasitinaja berasal dari kata sitinaja yang berarti pantas, wajar atau patut. Mappasitinaja berarti berkata atau berbuat patut atau memperlakukan seseorang secara wajar.

    Bahwa seseorang dikatakan bertindak patut atau wajar bila ia mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya. Seseorang yang bertindak wajar berarti ia mampu menempatkan dirinya sesuai dengan kedudukannya. Ia tidak menyerakahi hak-hak orang lain, melainkan memahami hak-haknya sendiri. Di samping itu, ia pula dapat memperlakukan orang lain pada tempatnya. Ia sadar bahwa orang lain mempunyai hak-hak yang patut dihormati.

    Perbuatan wajar atau patut, dalam bahasa Bugis biasa juga disebut mappasikoa. Seorang yang berbuat wajar dalam arti mappasikoa berarti ia merasa cukup atas sesuatu yang dimilikinya. Ia bertindak sederhana. Dicontohkan oleh Rahim (1985), tentang sikap wajar Puang Rimaggalatung. Puang Rimaggalatung pernah berkali-kali menolak tawaran rakyat Wajo untuk diangkat menjadi Arung Matoa Wajo atas kematian Batara Wajo III yang bernama La Pateddungi Tosamallangi. Bukannya beliau tidak mampu memangku jabatan yang ditawarkan kepadanya, tetapi ia sadar bahwa jabatan itu sungguh sulit untuk diembannya. Namun, karena Adat (para wakil rakyat) dan rakyat Wajo sendiri merasa bahwa beliau pantas memimpin mereka, akhirnya tawaran itu diterima.

    Dua hal saling mencari lalu bersua, yakni perbuatan baik dan yang pantas. Barulah baik bila keduanya berpadu. Cara memadukannya ialah:

    1.      Membiasakan diri berbuat baik meskipun sulit dilakukan.

    2.      Rendahkanlah dirimu sepantasnya.

    3.      Ambillah hati orang sepantasnya

    4.      Menghadapi semak-semak ia surut langkah

    5.      Melalui jalan ia berhati-hati dan menyandarkan diri kepada Tuhan

    6.      Berusahalah dengan benar.

    Sebaliknya, lawan dari kata patut adalah berlebih-lebihan dan serakah. Watak serakah diawali keinginan untuk menang sendiri. Keinginan untuk menang sendiri dapat menghasilkan pertentangan-pertentangan dan menutup kemungkinan untuk mendapatkan restu dari pihak lain. Manusia yang berbuat serakah, justru akan menghancurkan dirinya sendiri karena orang lain akan menjauhinya. Dan apabila hati manusia dipenuhi sifat serakah, maka tiada lagi kebaikan yang bisa diharapkan dari manusia itu.

    BAB III

    PENUTUP

    3.1  Kesimpulan

    Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Kearifan Lokal dalam kepustakaan Bugis masih sangat relevan dengan perkembangan zaman. Karena itu, Kearifan Lokal sebagai jati diri bangsa perlu direvitalisasi, khususnya bagi generasi muda dalam percaturan global saat dan di masa datang. Dengan demikian, identitas sebagai bangsa baik secara fisik maupun non fisik akan tetap terjaga.

    3.2  Saran

    Mengingat aspek kebudayaan yang ada di Indonesia begitu beragam, maka perlu kiranya Perguruan Tinggi sebagai representasi dari dunia pendidikan yang ada dimasing-masing daerah untuk lebih serius dalam melakukan eksperimen ilmiah mengenai kekayaan etnisitas daerah masing-masing. Kemudian perhatian secara serius dapat dilakukan dan dikampanyekan guna kembali menjadi kearifan lokal sebagai pilar kemajuan bangsa Indonesia. Sehingga aspek kebudayaan yang beragam tersebut mampu diketahui, dikembangkan serta menjadi karakter masyarakat Indonesia yang terdiri dari beragam etnis dan latar belakang budaya.

    DAFTAR PUSTAKA

    Kementerian Penerangan, Republik Indonesia: Propinsi sulawesi, 1953, hal. 176-177

    “Indonesia: Provinces, Cities & Municipalities”. City Population. Diakses pada  30 november 2016.

    “           “.2010. Kearifan lokal dalam sastra bugis klasik. Diakses pada 30 november 2016 pada situs http://lafinus.filsafat.ugm.ac.id/

    “      “. Ceritaku. Diakses pada 1 Desember 2016 pada situshttp://www.ahmadmaulana.com/tag/cerita-ku/

    “      “. 2011. Makalah peran pendidikan. Diakses pada 1 Desember 2016 pada situs http://hardysengawang.blogspot.com/

    “      “.2012. Suku di Sulawesi. Diakses pada 1  2016 pada situs http://protomalayans.blogspot.com/

    “      “.2012. Makalah Kearifan Lokal. Diakses pada 12 Januari 2013 pada situs http://erwinblog-erwinpermana12.blogspot.com/

  • Laporan Studi Kasus Observasi Wanita Tuna Susila dan Open BO – WTS

    Observasi Wanita Tuna Susila

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Masalah prostitusi di Indonesia saat ini merupakan isu yang selalu menjadi sorotan tajam masyarakat. Praktik prostitusi  membawa dampak yng merugikan orang banyak yang merugikan orang banyak dengan penularan penyakit seksual termasuk HIV/AIDS dan tumbuhnya tindak kekerasan, walaupun dilain pihak ada kelompok orang yang diuntungkan dengan tindak prostitusi tersebut. Laporan CAWT (Coalition Against Woman Trafficking) dalam trafficking in woman and prostitution in Asia Pacific 1998, menyebutkan bahwa tujuan perdagangan perempuan untuk kepentingan industri prostitusi, meskipun dalam perekrutan sering disamarkan lewat iming-iming pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga, pelayanan restoran, karaoke dan salon. Ratusan Tenaga kerja Wanita Indonesia (TKWI) terjun dalam prostitusi di Taiwan, Malaysia, Singapura,  Australia, Brunei Darussalam, Korea Selatan, dan Jepang  (anonym, 2001). Pada tahun 2000 menurut catatan Kepolisian RI, telah terungkap 1400 kasus pengirimn perempuan secara  illegal dari Indonesia keluar negeri (Harian Kompas, 9 Oktober 2001: 10).

    Kegiatan prostitusi apabila sudah terjadi disuatu tempat, maka akan sulit dihilangkan, meskipun keberadaan kegiatan prostitusi pada masyarakat Indonesia tidak dapat ditolerir karena bertentangan dengan norma-norma kehidupan masyarakat terutama norma agama yang sudah melembaga. Di Kota Bandung, kegiatan prostitusi antara lain terkonsentrasi di daerah Dewi Sartika, Pungkur, Tegallega, Alun-alun, dan Braga yang di perkirakan berjumlah 188 orang, sedangkan dirumah bordir berjumlah 227 orang, di hotel-hotel sebanyak 20 orang, warung remang-remang sebanyak 9 orang, lain-lain sebanyak 73 orang.

    Visi kota Bandung sebagai kota jasa dan wisata memberi dampak pada maraknya industri hiburan yang identik dengan prostitusi. Berdasarkan data dari Dinas Sosial Kota Bandung tahun 2004, pelaku prostitusi berjumlah 507 orang yang bagi dalam kelompok usia antara 19 – 29 tahun sebanyak 49 orang dan usia 30 – 40 tahun sebanyak 458 orang. Terobosan yang dilakukan Pemerintah Kota Bandung dalam penanganan masalah prostitusi diantaranya dengan pembangunan masjid dan pondok pesantren seperti halnya yang dilakukan di daerah Saritem yang dipandang masyarakat sebagai lokalisasi prostitusi.

    Penanganan masalah prostitusi merupakan salah satu orientasi pembangunan kesejahteraan sosial. Pembangunan kesejahteraan social sebagai usaha yang terancang dan terarah dengan berbagai bentuk intervensi sosial dan pelayanan sosial untuk memenuhi kebutuhan manusia, mencegah dan mengatasi masalah sosial dan memperkuat institusi-institusi sosial. Ciri utama pembangunan kesejahteraan sosial adalah holistik-komprehensif dalam arti setiap pelayanan sosial yang diberikan senantiasa menempatkan penerima pelayanan sebagai manusia, baik sebagai individu maupun kolektivitas yang tidak terlepas dari sistem lingkungan sosio-kulturalnya. Berkaitan dengan permasalahan prostitusi di Kota Bandung, maka kami melakukan observasi pada pekerja seks komersil atau sering disebut Wanita Tuna Susila di seputaran Alun-alun Kota Bandung.

    B. Permasalahan Penelitian

    Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka penulis merumuskan problem Quetion sebagai berikut  “Bagaimanakah Kondisi WTS ( Wanita Tuna Susila ) serta Pemahaman Tentang Penyakit HIV/AIDS di Seputaran Alun-alun Kota Bandung, Jawa Barat.”

    Agar dalam Observasi ini tidak terjadi  pemahaman yang melebar, maka penulis memfokuskan permasalahan penelitian ini dengan sub-sub problematik sebagai berikut :

    1. Bagaimana karakteristik WTS ?
    2. Bagaimana latar belakang dan masalah yang dihadapi ketika bekerja sebagai PSK ?
    3. Bagaimana pemahan tentang pondemik, trasmisi dan rawatan HIV/AIDS?
    4. Keperluan dalam menangani HIV/AIDS ?
    5. Implikasi psiko-sosial responden jika pendidikan HIV/AIDS tidak di berikan?

    C. Tujuan Observasi

    Tujuan dari Observasi ini adalah untuk menggali dan mengetahui pemahaman serta bahaya penyakit HIV/AIDS bagi WTS (Wanita Tuna Susila).

    Bab II. Kajian Pustaka

    A. Tinjauan Tentang Pelacuran

    Menurut Kartini Kartono ( 1992 : 207), mendefinisikan pelacuran sebagai berikut :

    “Prostitusi adalah bentuk penyimpangan seksual, dengan pola-pola organisasi impuls/dorongan seks yang tidak wajar dan tidak terintegrasi, dalam bentuk pelampiasan nafsu-nafsu seks tanpa kendali dengan banyak orang (promiskuitas), disertai eksploitasi dan komersialisasi seks, yang impersonal tanpa afeksi sifatnya”.

    Sementara pengertian mengenai eksploitasi seks, oleh Kartini Kartono (1992 : 208) dijelaskan sebagai berikut :

    “Eksploitasi seks berarti penghisapan atau penggunaan serta pemanfaatan relasi seks semaksimal mungkin  oleh pihak pria. Sedangkan komersialisasi seks berarti perdagangan seks, dalam bentuk penukaran  kenikmatan seksual dengan benda-benda materi dan uang.”

    1. Faktor Penyebab Prostitusi

    Sebelum kita membahas hasil observasi, perlu kita tinjau dahulu factor – factor penyebab prostitusi. Praktek prostitusi atau Pornografi dan Pornoaksi merupakan fenomena penghancuran nilai moral yang dijalankan secara terorganisir. Nilai – nilai agama yang diharapkan menjadi benteng terakhir dalam mengantisipasi fenomena ini, malah tidak ada artinya lagi.

    Berikut ini identifikasi masalah dengan mengungkapkan berbagai faktor penyebab internal dan eksternal dari masalah Prostitusi yang terjadi

    1.    Faktor Internal

    a.    Frustrasi

    Frustrasi merupakan pencapaian tujuan yang terhambat. Orang akan mengembangkan mekanisme petahanan diri untuk mengatasi frustrasi yang dialamnya. Salah satu mekanisme adalah rasionalisasi, yaitu suatu kondisi dimana seseorang menciptakan alasan  untuk membenarkan perilakunya. Contoh alasan yang sering dikemukakan seseorang sampai menjadi Wanita Tuna Susila (WTS) antara lain kegagalannya dalam membina rumah tangga. Mereka merasa impiannya untuk menciptakan keluarga yang harmonis tidak terwujud, dan sebagai bentuk pelariannya mereka menjual diri untuk mendapatkan kepuasan.

    b.    Kelainan Seksual

    Suatu kondisi kejiwaan seseorang terkait dengan seksualitas seperti hypersex yaitu orang yang tidak pernah puas dalam melakukan hubungan intim diukur dari intensitas hubungan. Kondisi kejiwaan ini menyebabkan dia memiliki keinginan berlebihan diluar kemampuan orang pada umumnya dalam berhubungan intim, sehingga harus mencari orang diluar untuk memenuhi kebutuhannya.

    c.    Dekadensi Moral

    Modernisasi dan informasi yang berkembang pesat pada satu sisi menyebabkan perubahan nilai dan norma dalam masyarakat. Pada sisi lain, perubahan nilai dan norma, relative mengalami penurunan, dari sesuatu yang dianggap tabu atau tidak layak dipublikasikan menjadi sesuatu yang biasa.

    d.    Latar belakang pendidikan yang rendah

    Rendahnya tingkat pendidikan berimplikasi pada keterbatasan ruang untuk mencari nafkah. Masalah ketidak mampuan  ini dipecahkan dengan mencari sumber penghidupan yang tidak mengenal status pendidikan dan social yaitu dengan “menjual diri” yang dianggap tidak merugikan  lain.

    e.    Pengendalian diri yang kurang

    Setiap manusia memiliki kemampuan fisik, kognitif (berpikir) dan mental untuk mengendalikan diri maupun lingkungannnya dalam mencapai tujuan hidupnya. Ketidak mampuan orang dalam mengndalikan diri menyebabkan orang cenderung mengambil sikap mencari jalan pintas unuk mencapai tujuan tanpa mempertimbangkan resiko.

    f.    Potensi Fisik

    Kecantikan dan kemolekan tubuh kadang dapat menjadi modal dan pendorong wanita dengan pengendalian diri yang rendah untuk memanfaatkannya menjadi pelacur.

    g.    Orientasi Materialisme

    Modernisasi membutuhkan sumberdaya manusia yang berkualitas tinggi, sehingga orang-orang yang dibutuhkan dan mampu untuk eksis adalah orang-orang yang berpendidikan tinggi disertai dengan kualitas keterampilan dan pengetahuan yang memadai. Kondisi ini menyebabkan orang yang tidak memiliki pendidikan, keterampilan dan pengetahuan yang tinggi akan tersingkir, sehingga cara yang mereka tempuh untuk mempertahankan hidup melalui bisnis prostitusi.

    2.    Faktor Eksternal

    a.    Konflik Keluarga (Perceraian)

    Terjadinya perceraian dapat menjadi pendorong seseorang  melakukan prostitusi, karena tuntutan kebutuhan hidup dan kebutuhan seksual.

    b.    Sumber pendapatan keluarga/tuntutan ekonomi

    Tuntutan ekonomi keluarga menjadi alasan orang melakukan kegiatan prostitusi. Hamper  seluruh WTS mengirimkan uang kepada orang tua dan keluarganya. Karena keuntungan dapat dirasakan keluarga, maka prostitusi tetap berlangsung

    c.    Kontrol masyarakat rendah

    Praktik pornoaksi-pornografi akan tetap ada dan berkembang bila control masyakat rendah, karena orang menjalani pornoaksi-pornografi tidak merasa ada tekanan dari masyarakat, sehingga dapat dengan melakukan tindakan prostitusi.

    d.    Industrialisasi/modernisasi

    Industrilisasi mendorong timbulnya budaya pornoaksi-pornografi.

    e.    Migrasi

    Motif ekonomi (uang) menarik banyak peempuan dari pedesaan untuk menjadi pelaku pornoaksi-pornografi diperkotaan.

    f.    Perubahan nilai-nilai (moral) masyarakat

    Rasionalisasi yang terbentuk dalam masyarakat tertentu terhadap pornoaksi-pornografi bahwa pornoaksi-pornografi secara signifikan merubah pola nilai dan norma masyarakat, sehingga kondisi tersebut cenderung dipelihara.

    g.    Perubahan nilai-nilai tentang pernikahan

    Lembaga perkawinan sebagai ikatan kesetiaan yang sah antara laki-laki dan perempuan dalam kurun waktu telah mengalami penurunan nilai, seperti perselingkuhan.

    h.    Lingkungan sosial yang tidak sehat

    Lingkungan tempat tinggal sangat berpengaruh, baik secara positif dan negative terhadap individu yang bermukim. Apabila lingkungan tempat tinggal kurang sehat, maka secara psikis mempengaruhi perilaku dan pola piker masyarakat, terutama anak-anak.

    i.    Korban penyalahgunaan sekssual, baik didalam maupun diluar keluarga.

    Korban penyalahgunaan seksual seringkali memilih praktek pornoaksi-pornografi sebagai perilaku lanjutannya (termasuk kekerasan seksual).

    j.    Modelling

    Pelaku postitusi menjadi model yang signifikan bagi orang disekitarnya. Meskipun mereka tidak lagi berprofesi sebagai pelaku pornoaksi-pornografi, namun karena mereka telah sukses, maka ex pelaku prostitusi ini kemudian menjadi agen bagi pelaku prostitusi yang baru.

    k.    Akulturasi yang di dominasi budaya barat

    Masuknya budaya barat yng menjunjung tinggi kebebasan menjadi pemicu maraknya pornoaksi-pornografi dikalangan masyarakat modernis.

    l.    Ekspresi seni

    Adanya anggapan bahwa pornoaksi-pornografi merupakan suatu kemerdekaan dalam mengekspresikan bentuk lain dari seni. Adanya pose-pose bugil, tarian erotis, atau peran-peran dalam film yang didominasi peran eksploitasi seksual, dianggap sebagai kebebasan untuk berekspresi.

    Wanita Tuna Susila adalah seseorang yang mempunyai mata pencaharian dengan cara memberikan pelayanan seksual di luar perkawinan kepada siapa saja dari jenis kelamin berbeda yang tujuannya adalah untuk mendapatkan imbalan berupa uang.

    Para WTS umumnya bekerja di tempat pelacuran yang terorganisir maupun yang tidak terorganisir. Berikut ini tempat pelacuran berdasarkan jenisnya.

    Pelacuran yang terorganisir :

    •    WTS berada di bawah pengawasan langsung mediatornya seperti germo, mucikari, mami.

    •    Termasuk di dalamnya: lokalisasi WTS, panti pijat plus dan tempat-tempat yang mengusahakan wanita panggilan.

    •    Aktivitasnya tergantung pada mucikari, penjaga keamanan atau agen lainnya yang membantu mereka untuk berhubungan dengan calon pelanggan serta melindungi dalam kondisi bahaya.

    •    Berbagi hasil dengan mediator.

    Pelacuran yang tidak terorganisir :

    •    WTS mencari pelanggannya sendiri tanpa melalui mediator. Langsung transaksi dengan pelanggan.

    •    Termasuk di dalamnya: perempuan jalanan, perempuan lainnya yang beroperasi secara gelap di tempat umum, wanita panggilan yang bekerja mandiri, ayam kampus, wanita simpanan.

    •    Tempat: mal, diskotik, pub, café, dsb

    •    Posisinya lemah saat menghadapi pelecehan baik dari pelanggan atau perazia

    •    Tidak perlu berbagi hasil dengan mediator

    B.    PRO DAN KONTRA PENANGANAN PROSTITUSI

    Dari pengalaman empiris dapat diketahui berbagai masalah yang timbul dengan adanya prostitusi adalah :

    1.    Adanya pertentangan masyarakat yang data memicu kerusuhan dengna adanya aksi-aksi pembakaran tepat-tempat kegitan tindak tuna susila. Hal ini terjadi karena di satu pihak masyarakat tidak mentolerir kegiatan prostitusi karena dianggap maksimal

    2.    Adanya pemerasan bahkan pembunuhan terhadap PSK oleh pelanggraannya.

    3.    Kegiatan prostitusi rawan penularan penyakit kelamin termasuk HIV/AIDS.

    4.    Kegiatan Prostitusi yang berbaur dengan permukiman mempunyai dampak negative terhadap generasi muda sebagai penerus bangsa karena dapat mempengaruhi sikap dan  perilaku mereka melalui proses sosialisasi dan enkulturasi dari lingkungannya.

    Penanganan masalah prostitusi merupakan dilema antara pelembagaan norma social dan norma agama dengan kebutuhan hidup sehari-hari para PSK serta oknum pebisnis seksual yang ingin mencari keuntugan.  Kritik dari komunitas terhadap penanganan prostitusi yang dilaksanakan disuatu lokalisasi tertentu dianggap sebagai legalisasi kegiatan prostitusi. Di lain pihak, penanganan PSK melalui system rehablitasi social, mental, kesehatan dan keterampilan yang dilaksanakan dipanti, dikonotasikan sebagai penjara, karena ketidak mampuan untuk mengikuti peraturan panti dan tidak dapat mencari nafkah selama mengikuti program rehabilitasi social.

    Berbagai aksi protes oleh komunitas yang tidak menghendaki adanya kegiatan prostitusi baik kepada para PSK maupun kepada pihak-pihak terkait dengan urusan penertiban prostitusi.

    Sebagai jawaban terhadap aksi protes masyarakat terhadap lokalisasi prostitusi,maka dibeberapa daerah provinsi lokalisasi tersebut ditutup secara resmi yang dikukuhkan melalui surat keputusan pemerintah daerah setempat. Namun demikian upaya tersebut juga mendapat tantangan  dari berbagai pihak antara lain dari kelompok pembelaan perempuan yang terwujud dalam suatu yayasan/organisasi, yang mengklaim bahwa :

    1.    Ada atau tidak lokalisasi, masalah pelacuran tidak akan terhapus.

    2.    Dengan pembubaran lokalisasi membuat perempuan semakin terpuruk dan menyulitkan pemberdayaan para PSK yang mengklaim dirinya tidak ada penghasilan.

    3.    Tidak realitas bilamana penutupan lokalisasi tidak menyelesaikan permasalahan

    4.    Masalah lokalisasi, masih banyak pandangan masyarakat dari segi moralitas, oleh karena itu  harus diadakan perubahan pandangan sebagai suatu proses yang berat yang harus dipahami.

    5.    Penanggulangan merupakan bentuk-bentuk bersama dengan “para  pekerja seks” yang dalam hal ini ada dua hal penting yang perlu dilakukan secara bersama-sama. Pertama dalam hal pemberdayaan mereka yang tidak hanya ekonomi, tetapi aspek lainya.yang kedua agar ada pendidikan terhadap masyarakat agar tidak mempertajam masalah pelacuran.

    6.    Bagaimana system lokalisasi  adalah suatu pilihan yang baik bukan hanya pengendalian penyebaran penyakit menular sesual (PMS), akan timbul banyak perkosaan, tetapi hal lainya seperti banyak orang kehilangan usaha ekonomi disekitar lokalisasi

    7.    Pertumbuhan pelacuran anak-anak menjadi semakin besar.

    8.    Belum ada ke jelasan dari pemerintah tentang masalah pelacuran selama ada undang-undang pelacuran.

    9.    Perlu pemahaman data tentang penyebaran PMS. (Nina.K, 2001,hlm.32)

    C.    Apa itu HIV/AIDS?

    Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (disingkat AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (atau: sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV; atau infeksi virus-virus lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya (SIV, FIV, dan lain-lain).

    Virusnya sendiri bernama Human Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV) yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.

    HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu.[2][3] Penularan dapat terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah, jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin, atau menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut.

    Para ilmuwan umumnya berpendapat bahwa AIDS berasal dari Afrika Sub-Sahara. Kini AIDS telah menjadi wabah penyakit. AIDS diperkiraan telah menginfeksi 38,6 juta orang di seluruh dunia.Pada Januari 2006, UNAIDS bekerja sama dengan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah menyebabkan kematian lebih dari 25 juta orang sejak pertama kali diakui pada tanggal 5 Juni 1981. Dengan demikian, penyakit ini merupakan salah satu wabah paling mematikan dalam sejarah. AIDS diklaim telah menyebabkan kematian sebanyak 2,4 hingga 3,3 juta jiwa pada tahun 2005 saja, dan lebih dari 570.000 jiwa di antaranya adalah anak-anak. Sepertiga dari jumlah kematian ini terjadi di Afrika Sub-Sahara, sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menghancurkan kekuatan sumber daya manusia di sana. Perawatan antiretrovirus sesungguhnya dapat mengurangi tingkat kematian dan parahnya infeksi HIV, namun akses terhadap pengobatan tersebut tidak tersedia di semua negara.

    Hukuman sosial bagi penderita HIV/AIDS, umumnya lebih berat bila dibandingkan dengan penderita penyakit mematikan lainnya. Kadang-kadang hukuman sosial tersebut juga turut tertimpakan kepada petugas kesehatan atau sukarelawan, yang terlibat dalam merawat orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA).

    D.    Gejala-gejala utama AIDS.

    Berbagai gejala AIDS umumnya tidak akan terjadi pada orang-orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang baik. Kebanyakan kondisi tersebut akibat infeksi oleh bakteri, virus, fungi dan parasit, yang biasanya dikendalikan oleh unsur-unsur sistem kekebalan tubuh yang dirusak HIV. Infeksi oportunistik umum didapati pada penderita AIDS. HIV memengaruhi hampir semua organ tubuh. Penderita AIDS juga berisiko lebih besar menderita kanker seperti sarkoma Kaposi, kanker leher rahim, dan kanker sistem kekebalan yang disebut limfoma.

    Biasanya penderita AIDS memiliki gejala infeksi sistemik; seperti demam, berkeringat (terutama pada malam hari), pembengkakan kelenjar, kedinginan, merasa lemah, serta penurunan berat badan. Infeksi oportunistik tertentu yang diderita pasien AIDS, juga tergantung pada tingkat kekerapan terjadinya infeksi tersebut di wilayah geografis tempat hidup pasien.

    E.    Penularan HIV

    1.    Penularan seksual

    Penularan (transmisi) HIV secara seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi cairan vagina atau cairan preseminal seseorang dengan rektum, alat kelamin, atau membran mukosa mulut pasangannya. Hubungan seksual reseptif tanpa pelindung lebih berisiko daripada hubungan seksual insertif tanpa pelindung, dan risiko hubungan seks anal lebih besar daripada risiko hubungan seks biasa dan seks oral. Seks oral tidak berarti tak berisiko karena HIV dapat masuk melalui seks oral reseptif maupun insertif. Kekerasan seksual secara umum meningkatkan risiko penularan HIV karena pelindung umumnya tidak digunakan dan sering terjadi trauma fisik terhadap rongga vagina yang memudahkan transmisi HIV.

    Penyakit menular seksual meningkatkan risiko penularan HIV karena dapat menyebabkan gangguan pertahanan jaringan epitel normal akibat adanya borok alat kelamin, dan juga karena adanya penumpukan sel yang terinfeksi HIV (limfosit dan makrofaga) pada semen dan sekresi vaginal. Penelitian epidemiologis dari Afrika Sub-Sahara, Eropa, dan Amerika Utara menunjukkan bahwa terdapat sekitar empat kali lebih besar risiko terinfeksi AIDS akibat adanya borok alat kelamin seperti yang disebabkan oleh sifilis dan/atau chancroid. Resiko tersebut juga meningkat secara nyata, walaupun lebih kecil, oleh adanya penyakit menular seksual seperti kencing nanah, infeksi chlamydia, dan trikomoniasis yang menyebabkan pengumpulan lokal limfosit dan makrofaga.

    Transmisi HIV bergantung pada tingkat kemudahan penularan dari pengidap dan kerentanan pasangan seksual yang belum terinfeksi. Kemudahan penularan bervariasi pada berbagai tahap penyakit ini dan tidak konstan antarorang. Beban virus plasma yang tidak dapat dideteksi tidak selalu berarti bahwa beban virus kecil pada air mani atau sekresi alat kelamin. Setiap 10 kali penambahan jumlah RNA HIV plasma darah sebanding dengan 81% peningkatan laju transmisi HIV. Wanita lebih rentan terhadap infeksi HIV-1 karena perubahan hormon, ekologi serta fisiologi mikroba vaginal, dan kerentanan yang lebih besar terhadap penyakit seksual. Orang yang terinfeksi dengan HIV masih dapat terinfeksi jenis virus lain yang lebih mematikan.

    2.    Kontaminasi patogen melalui darah

    Bahaya AIDS sehubungan dengan pemakaian narkoba. Jalur penularan ini terutama berhubungan dengan pengguna obat suntik, penderita hemofilia, dan resipien transfusi darah dan produk darah. Berbagi dan menggunakan kembali jarum suntik (syringe) yang mengandung darah yang terkontaminasi oleh organisme biologis penyebab penyakit (patogen), tidak hanya merupakan risiko utama atas infeksi HIV, tetapi juga hepatitis B dan hepatitis C. Berbagi penggunaan jarum suntik merupakan penyebab sepertiga dari semua infeksi baru HIV dan 50% infeksi hepatitis C di Amerika Utara, Republik Rakyat Cina, dan Eropa Timur. Resiko terinfeksi dengan HIV dari satu tusukan dengan jarum yang digunakan orang yang terinfeksi HIV diduga sekitar 1 banding 150. Post-exposure prophylaxis dengan obat anti-HIV dapat lebih jauh mengurangi risiko itu. Pekerja fasilitas kesehatan (perawat, pekerja laboratorium, dokter, dan lain-lain) juga dikhawatirkan walaupun lebih jarang. Jalur penularan ini dapat juga terjadi pada orang yang memberi dan menerima rajah dan tindik tubuh. Kewaspadaan universal sering kali tidak dipatuhi baik di Afrika Sub Sahara maupun Asia karena sedikitnya sumber daya dan pelatihan yang tidak mencukupi. WHO memperkirakan 2,5% dari semua infeksi HIV di Afrika Sub Sahara ditransmisikan melalui suntikan pada fasilitas kesehatan yang tidak aman. Oleh sebab itu, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, didukung oleh opini medis umum dalam masalah ini, mendorong negara-negara di dunia menerapkan kewaspadaan universal untuk mencegah penularan HIV melalui fasilitas kesehatan

    Resiko penularan HIV pada penerima transfusi darah sangat kecil di negara maju. Di negara maju, pemilihan donor bertambah baik dan pengamatan HIV dilakukan. Namun demikian, menurut WHO, mayoritas populasi dunia tidak memiliki akses terhadap darah yang aman dan “antara 5% dan 10% infeksi HIV dunia terjadi melalui transfusi darah yang terinfeksi”.

    3.    Penularan masa perinatal

    Transmisi HIV dari ibu ke anak dapat terjadi melalui rahim (in utero) selama masa perinatal, yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat persalinan. Bila tidak ditangani, tingkat penularan dari ibu ke anak selama kehamilan dan persalinan adalah sebesar 25%. Namun demikian, jika sang ibu memiliki akses terhadap terapi antiretrovirus dan melahirkan dengan cara bedah caesar, tingkat penularannya hanya sebesar 1%. Sejumlah faktor dapat memengaruhi risiko infeksi, terutama beban virus pada ibu saat persalinan (semakin tinggi beban virus, semakin tinggi risikonya). Menyusui meningkatkan risiko penularan sebesar 4%.

    F.    Diagnosis

    Sejak tanggal 5 Juni 1981, banyak definisi yang muncul untuk pengawasan epidemiologi AIDS, seperti definisi Bangui dan definisi World Health Organization tentang AIDS tahun 1994. Namun demikian, kedua sistem tersebut sebenarnya ditujukan untuk pemantauan epidemi dan bukan untuk penentuan tahapan klinis pasien, karena definisi yang digunakan tidak sensitif ataupun spesifik. Di negara-negara berkembang, sistem World Health Organization untuk infeksi HIV digunakan dengan memakai data klinis dan laboratorium; sementara di negara-negara maju digunakan sistem klasifikasi Centers for Disease Control (CDC) Amerika Serikat.

    G.    Sistem tahapan infeksi WHO

    Pada tahun 1990, World Health Organization (WHO) mengelompokkan berbagai infeksi dan kondisi AIDS dengan memperkenalkan sistem tahapan untuk pasien yang terinfeksi dengan HIV-1. Sistem ini diperbarui pada bulan September tahun 2005. Kebanyakan kondisi ini adalah infeksi oportunistik yang dengan mudah ditangani pada orang sehat.

    •    Stadium I: infeksi HIV asimtomatik dan tidak dikategorikan sebagai AIDS

    •    Stadium II: termasuk manifestasi membran mukosa kecil dan radang saluran pernapasan atas yang berulang

    •    Stadium III: termasuk diare kronik yang tidak dapat dijelaskan selama lebih dari sebulan, infeksi bakteri parah, dan tuberkulosis.

    •    Stadium IV: termasuk toksoplasmosis otak, kandidiasis esofagus, trakea, bronkus atau paru-paru, dan sarkoma kaposi. Semua penyakit ini adalah indikator AIDS.

    H.    Sistem klasifikasi CDC

    Terdapat dua definisi tentang AIDS, yang keduanya dikeluarkan oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Awalnya CDC tidak memiliki nama resmi untuk penyakit ini; sehingga AIDS dirujuk dengan nama penyakit yang berhubungan dengannya, contohnya ialah limfadenopati. Para penemu HIV bahkan pada mulanya menamai AIDS dengan nama virus tersebut. CDC mulai menggunakan kata AIDS pada bulan September tahun 1982, dan mendefinisikan penyakit ini. Tahun 1993, CDC memperluas definisi AIDS mereka dengan memasukkan semua orang yang jumlah sel T CD4+ di bawah 200 per µL darah atau 14% dari seluruh limfositnya sebagai pengidap positif HIV. Mayoritas kasus AIDS di negara maju menggunakan kedua definisi tersebut, baik definisi CDC terakhir maupun pra-1993. Diagnosis terhadap AIDS tetap dipertahankan, walaupun jumlah sel T CD4+ meningkat di atas 200 per µL darah setelah perawatan ataupun penyakit-penyakit tanda AIDS yang ada telah sembuh.

    I.    Tes HIV

    Banyak orang tidak menyadari bahwa mereka terinfeksi virus HIV. Kurang dari 1% penduduk perkotaan di Afrika yang aktif secara seksual telah menjalani tes HIV, dan persentasenya bahkan lebih sedikit lagi di pedesaan. Selain itu, hanya 0,5% wanita mengandung di perkotaan yang mendatangi fasilitas kesehatan umum memperoleh bimbingan tentang AIDS, menjalani pemeriksaan, atau menerima hasil tes mereka. Angka ini bahkan lebih kecil lagi di fasilitas kesehatan umum pedesaan. Dengan demikian, darah dari para pendonor dan produk darah yang digunakan untuk pengobatan dan penelitian medis, harus selalu diperiksa kontaminasi HIV-nya.

    Tes HIV umum, termasuk imunoasai enzim HIV dan pengujian Western blot, dilakukan untuk mendeteksi antibodi HIV pada serum, plasma, cairan mulut, darah kering, atau urin pasien. Namun demikian, periode antara infeksi dan berkembangnya antibodi pelawan infeksi yang dapat dideteksi (window period) bagi setiap orang dapat bervariasi. Inilah sebabnya mengapa dibutuhkan waktu 3-6 bulan untuk mengetahui serokonversi dan hasil positif tes. Terdapat pula tes-tes komersial untuk mendeteksi antigen HIV lainnya, HIV-RNA, dan HIV-DNA, yang dapat digunakan untuk mendeteksi infeksi HIV meskipun perkembangan antibodinya belum dapat terdeteksi. Meskipun metode-metode tersebut tidak disetujui secara khusus untuk diagnosis infeksi HIV, tetapi telah digunakan secara rutin di negara-negara maju.

    J.    Pencegahan

    Perkiraan risiko masuknya HIV per aksi,

    menurut rute paparan

    Rute paparan    Perkiraan infeksi

    per 10.000 paparan

    dengan sumber yang terinfeksi

    Transfusi darah    9.000

    Persalinan    2.500

    Penggunaan jarum suntik bersama-sama    67

    Hubungan seks anal reseptif*    50

    Jarum pada kulit    30

    Hubungan seksual reseptif*    10

    Hubungan seks anal insertif*    6,5

    Hubungan seksual insertif*    5

    Seks oral reseptif*    1

    Seks oral insertif*    0,5

    * tanpa penggunaan kondom

    § sumber merujuk kepada seks oral

    yang dilakukan kepada laki-laki

    Tiga jalur utama (rute) masuknya virus HIV ke dalam tubuh ialah melalui hubungan seksual, persentuhan (paparan) dengan cairan atau jaringan tubuh yang terinfeksi, serta dari ibu ke janin atau bayi selama periode sekitar kelahiran (periode perinatal). Walaupun HIV dapat ditemukan pada air liur, air mata dan urin orang yang terinfeksi, namun tidak terdapat catatan kasus infeksi dikarenakan cairan-cairan tersebut, dengan demikian risiko infeksinya secara umum dapat diabaikan.

    a.    Hubungan seksual

    Mayoritas infeksi HIV berasal dari hubungan seksual tanpa pelindung antarindividu yang salah satunya terkena HIV. Hubungan heteroseksual adalah modus utama infeksi HIV di dunia. Selama hubungan seksual, hanya kondom pria atau kondom wanita yang dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi HIV dan penyakit seksual lainnya serta kemungkinan hamil. Bukti terbaik saat ini menunjukan bahwa penggunaan kondom yang lazim mengurangi risiko penularan HIV sampai kira-kira 80% dalam jangka panjang, walaupun manfaat ini lebih besar jika kondom digunakan dengan benar dalam setiap kesempatan. Kondom laki-laki berbahan lateks, jika digunakan dengan benar tanpa pelumas berbahan dasar minyak, adalah satu-satunya teknologi yang paling efektif saat ini untuk mengurangi transmisi HIV secara seksual dan penyakit menular seksual lainnya. Pihak produsen kondom menganjurkan bahwa pelumas berbahan minyak seperti vaselin, mentega, dan lemak babi tidak digunakan dengan kondom lateks karena bahan-bahan tersebut dapat melarutkan lateks dan membuat kondom berlubang. Jika diperlukan, pihak produsen menyarankan menggunakan pelumas berbahan dasar air. Pelumas berbahan dasar minyak digunakan dengan kondom poliuretan.

    Kondom wanita adalah alternatif selain kondom laki-laki dan terbuat dari poliuretan, yang memungkinkannya untuk digunakan dengan pelumas berbahan dasar minyak. Kondom wanita lebih besar daripada kondom laki-laki dan memiliki sebuah ujung terbuka keras berbentuk cincin, dan didesain untuk dimasukkan ke dalam vagina. Kondom wanita memiliki cincin bagian dalam yang membuat kondom tetap di dalam vagina — untuk memasukkan kondom wanita, cincin ini harus ditekan. Kendalanya ialah bahwa kini kondom wanita masih jarang tersedia dan harganya tidak terjangkau untuk sejumlah besar wanita. Penelitian awal menunjukkan bahwa dengan tersedianya kondom wanita, hubungan seksual dengan pelindung secara keseluruhan meningkat relatif terhadap hubungan seksual tanpa pelindung sehingga kondom wanita merupakan strategi pencegahan HIV yang penting.

    Penelitian terhadap pasangan yang salah satunya terinfeksi menunjukkan bahwa dengan penggunaan kondom yang konsisten, laju infeksi HIV terhadap pasangan yang belum terinfeksi adalah di bawah 1% per tahun. Strategi pencegahan telah dikenal dengan baik di negara-negara maju. Namun, penelitian atas perilaku dan epidemiologis di Eropa dan Amerika Utara menunjukkan keberadaan kelompok minoritas anak muda yang tetap melakukan kegiatan berisiko tinggi meskipun telah mengetahui tentang HIV/AIDS, sehingga mengabaikan risiko yang mereka hadapi atas infeksi HIV. Namun demikian, transmisi HIV antarpengguna narkoba telah menurun, dan transmisi HIV oleh transfusi darah menjadi cukup langka di negara-negara maju.

    Pada bulan Desember tahun 2006, penelitian yang menggunakan uji acak terkendali mengkonfirmasi bahwa sunat laki-laki menurunkan risiko infeksi HIV pada pria heteroseksual Afrika sampai sekitar 50%. Diharapkan pendekatan ini akan digalakkan di banyak negara yang terinfeksi HIV paling parah, walaupun penerapannya akan berhadapan dengan sejumlah isu sehubungan masalah kepraktisan, budaya, dan perilaku masyarakat. Beberapa ahli mengkhawatirkan bahwa persepsi kurangnya kerentanan HIV pada laki-laki bersunat, dapat meningkatkan perilaku seksual berisiko sehingga mengurangi dampak dari usaha pencegahan ini.

    b.    Penularan dari ibu ke anak

    Penelitian menunjukkan bahwa obat antiretrovirus, bedah caesar, dan pemberian makanan formula mengurangi peluang penularan HIV dari ibu ke anak (mother-to-child transmission, MTCT). Jika pemberian makanan pengganti dapat diterima, dapat dikerjakan dengan mudah, terjangkau, berkelanjutan, dan aman, ibu yang terinfeksi HIV disarankan tidak menyusui anak mereka. Namun demikian, jika hal-hal tersebut tidak dapat terpenuhi, pemberian ASI eksklusif disarankan dilakukan selama bulan-bulan pertama dan selanjutnya dihentikan sesegera mungkin. Pada tahun 2005, sekitar 700.000 anak di bawah umur 15 tahun terkena HIV, terutama melalui penularan ibu ke anak; 630.000 infeksi di antaranya terjadi di Afrika. Dari semua anak yang diduga kini hidup dengan HIV, 2 juta anak (hampir 90%) tinggal di Afrika Sub Sahara.

    K.    Penanganan

    Sampai saat ini tidak ada vaksin atau obat untuk HIV atau AIDS. Metode satu-satunya yang diketahui untuk pencegahan didasarkan pada penghindaran kontak dengan virus atau, jika gagal, perawatan antiretrovirus secara langsung setelah kontak dengan virus secara signifikan, disebut post-exposure prophylaxis (PEP). PEP memiliki jadwal empat minggu takaran yang menuntut banyak waktu. PEP juga memiliki efek samping yang tidak menyenangkan seperti diare, tidak enak badan, mual, dan lelah.

    a.    Terapi antivirus

    Penanganan infeksi HIV terkini adalah terapi antiretrovirus yang sangat aktif (highly active antiretroviral therapy, disingkat HAART). Terapi ini telah sangat bermanfaat bagi orang-orang yang terinfeksi HIV sejak tahun 1996, yaitu setelah ditemukannya HAART yang menggunakan protease inhibitor. Pilihan terbaik HAART saat ini, berupa kombinasi dari setidaknya tiga obat (disebut “koktail) yang terdiri dari paling sedikit dua macam (atau “kelas”) bahan antiretrovirus. Kombinasi yang umum digunakan adalah nucleoside analogue reverse transcriptase inhibitor (atau NRTI) dengan protease inhibitor, atau dengan non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI). Karena penyakit HIV lebih cepat perkembangannya pada anak-anak daripada pada orang dewasa, maka rekomendasi perawatannya pun lebih agresif untuk anak-anak daripada untuk orang dewasa.Di negara-negara berkembang yang menyediakan perawatan HAART, seorang dokter akan mempertimbangkan kuantitas beban virus, kecepatan berkurangnya CD4, serta kesiapan mental pasien, saat memilih waktu memulai perawatan awal.

    Perawatan HAART memungkinkan stabilnya gejala dan viremia (banyaknya jumlah virus dalam darah) pada pasien, tetapi ia tidak menyembuhkannya dari HIV ataupun menghilangkan gejalanya. HIV-1 dalam tingkat yang tinggi sering resisten terhadap HAART dan gejalanya kembali setelah perawatan dihentikan. Lagi pula, dibutuhkan waktu lebih dari seumur hidup seseorang untuk membersihkan infeksi HIV dengan menggunakan HAART. Meskipun demikian, banyak pengidap HIV mengalami perbaikan yang hebat pada kesehatan umum dan kualitas hidup mereka, sehingga terjadi adanya penurunan drastis atas tingkat kesakitan (morbiditas) dan tingkat kematian (mortalitas) karena HIV. Tanpa perawatan HAART, berubahnya infeksi HIV menjadi AIDS terjadi dengan kecepatan rata-rata (median) antara sembilan sampai sepuluh tahun, dan selanjutnya waktu bertahan setelah terjangkit AIDS hanyalah 9.2 bulan. Penerapan HAART dianggap meningkatkan waktu bertahan pasien selama 4 sampai 12 tahun. Bagi beberapa pasien lainnya, yang jumlahnya mungkin lebih dari lima puluh persen, perawatan HAART memberikan hasil jauh dari optimal. Hal ini karena adanya efek samping/dampak pengobatan tidak bisa ditolerir, terapi antiretrovirus sebelumnya yang tidak efektif, dan infeksi HIV tertentu yang resisten obat. Ketidaktaatan dan ketidakteraturan dalam menerapkan terapi antiretrovirus adalah alasan utama mengapa kebanyakan individu gagal memperoleh manfaat dari penerapan HAART.Terdapat bermacam-macam alasan atas sikap tidak taat dan tidak teratur untuk penerapan HAART tersebut. Isyu-isyu psikososial yang utama ialah kurangnya akses atas fasilitas kesehatan, kurangnya dukungan sosial, penyakit kejiwaan, serta penyalahgunaan obat. Perawatan HAART juga kompleks, karena adanya beragam kombinasi jumlah pil, frekuensi dosis, pembatasan makan, dan lain-lain yang harus dijalankan secara rutin . Berbagai efek samping yang juga menimbulkan keengganan untuk teratur dalam penerapan HAART, antara lain lipodistrofi, dislipidaemia, penolakan insulin, peningkatan risiko sistem kardiovaskular, dan kelainan bawaan pada bayi yang dilahirkan.

    Obat anti-retrovirus berharga mahal, dan mayoritas individu terinfeksi di dunia tidaklah memiliki akses terhadap pengobatan dan perawatan untuk HIV dan AIDS tersebut.

    b.    Penanganan eksperimental dan saran

    Telah terdapat pendapat bahwa hanya vaksin lah yang sesuai untuk menahan epidemik global (pandemik) karena biaya vaksin lebih murah dari biaya pengobatan lainnya, sehingga negara-negara berkembang mampu mengadakannya dan pasien tidak membutuhkan perawatan harian. Namun setelah lebih dari 20 tahun penelitian, HIV-1 tetap merupakan target yang sulit bagi vaksin.

    Beragam penelitian untuk meningkatkan perawatan termasuk usaha mengurangi efek samping obat, penyederhanaan kombinasi obat-obatan untuk memudahkan pemakaian, dan penentuan urutan kombinasi pengobatan terbaik untuk menghadapi adanya resistensi obat. Beberapa penelitian menunjukan bahwa langkah-langkah pencegahan infeksi oportunistik dapat menjadi bermanfaat ketika menangani pasien dengan infeksi HIV atau AIDS. Vaksinasi atas hepatitis A dan B disarankan untuk pasien yang belum terinfeksi virus ini dan dalam berisiko terinfeksi. Pasien yang mengalami penekanan daya tahan tubuh yang besar juga disarankan mendapatkan terapi pencegahan (propilaktik) untuk pneumonia pneumosistis, demikian juga pasien toksoplasmosis dan kriptokokus meningitis yang akan banyak pula mendapatkan manfaat dari terapi propilaktik tersebut.

    c.    Pengobatan alternatif

    Berbagai bentuk pengobatan alternatif digunakan untuk menangani gejala atau mengubah arah perkembangan penyakit.Akupunktur telah digunakan untuk mengatasi beberapa gejala, misalnya kelainan syaraf tepi (peripheral neuropathy) seperti kaki kram, kesemutan atau nyeri; namun tidak menyembuhkan infeksi HIV. Tes-tes uji acak klinis terhadap efek obat-obatan jamu menunjukkan bahwa tidak terdapat bukti bahwa tanaman-tanaman obat tersebut memiliki dampak pada perkembangan penyakit ini, tetapi malah kemungkinan memberi beragam efek samping negatif yang serius.

    Beberapa data memperlihatkan bahwa suplemen multivitamin dan mineral kemungkinan mengurangi perkembangan penyakit HIV pada orang dewasa, meskipun tidak ada bukti yang menyakinkan bahwa tingkat kematian (mortalitas) akan berkurang pada orang-orang yang memiliki status nutrisi yang baik. Suplemen vitamin A pada anak-anak kemungkinan juga memiliki beberapa manfaat. Pemakaian selenium dengan dosis rutin harian dapat menurunkan beban tekanan virus HIV melalui terjadinya peningkatan pada jumlah CD4. Selenium dapat digunakan sebagai terapi pendamping terhadap berbagai penanganan antivirus yang standar, tetapi tidak dapat digunakan sendiri untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas.

    Penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa terapi pengobatan alteratif memiliki hanya sedikit efek terhadap mortalitas dan morbiditas penyakit ini, namun dapat meningkatkan kualitas hidup individu yang mengidap AIDS. Manfaat-manfaat psikologis dari beragam terapi alternatif tersebut sesungguhnya adalah manfaat paling penting dari pemakaiannya.

    Namun oleh penelitian yang mengungkapkan adanya simtoma hipotiroksinemia pada penderita AIDS yang terjangkit virus HIV-1, beberapa pakar menyarankan terapi dengan asupan hormon tiroksin.Hormon tiroksin dikenal dapat meningkatkan laju metabolisme basal sel eukariota dan memperbaiki gradien pH pada mitokondria.

    L.    Sejarah

    AIDS pertama kali dilaporkan pada tanggal 5 Juni 1981, ketika Centers for Disease Control and Prevention Amerika Serikat mencatat adanya Pneumonia pneumosistis (sekarang masih diklasifikasikan sebagai PCP tetapi diketahui disebabkan oleh Pneumocystis jirovecii) pada lima laki-laki homoseksual di Los Angeles.

    Dua spesies HIV yang diketahui menginfeksi manusia adalah HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 lebih mematikan dan lebih mudah masuk kedalam tubuh. HIV-1 adalah sumber dari mayoritas infeksi HIV di dunia, sementara HIV-2 sulit dimasukan dan kebanyakan berada di Afrika Barat. Baik HIV-1 dan HIV-2 berasal dari primata. Asal HIV-1 berasal dari simpanse Pan troglodytes troglodytes yang ditemukan di Kamerun selatan. HIV-2 berasal dari Sooty Mangabey (Cercocebus atys), monyet dari Guinea Bissau, Gabon, dan Kamerun.

    Banyak ahli berpendapat bahwa HIV masuk ke dalam tubuh manusia akibat kontak dengan primata lainnya, contohnya selama berburu atau pemotongan daging. Teori yang lebih kontroversial yang dikenal dengan nama hipotesis OPV AIDS, menyatakan bahwa epidemik AIDS dimulai pada akhir tahun 1950-an di Kongo Belgia sebagai akibat dari penelitian Hilary Koprowski terhadap vaksin polio. Namun demikian, komunitas ilmiah umumnya berpendapat bahwa skenario tersebut tidak didukung oleh bukti-bukti yang ada.

    M.    Sosial dan budaya

    Hukuman sosial atau stigma oleh masyarakat di berbagai belahan dunia terhadap pengidap AIDS terdapat dalam berbagai cara, antara lain tindakan-tindakan pengasingan, penolakan, diskriminasi, dan penghindaran atas orang yang diduga terinfeksi HIV; diwajibkannya uji coba HIV tanpa mendapat persetujuan terlebih dahulu atau perlindungan kerahasiaannya; dan penerapan karantina terhadap orang-orang yang terinfeksi HIV. Kekerasan atau ketakutan atas kekerasan, telah mencegah banyak orang untuk melakukan tes HIV, memeriksa bagaimana hasil tes mereka, atau berusaha untuk memperoleh perawatan; sehingga mungkin mengubah suatu sakit kronis yang dapat dikendalikan menjadi “hukuman mati” dan menjadikan meluasnya penyebaran HIV.

    Stigma AIDS lebih jauh dapat dibagi menjadi tiga kategori:

    •    Stigma instrumental AIDS – yaitu refleksi ketakutan dan keprihatinan atas hal-hal yang berhubungan dengan penyakit mematikan dan menular.

    •    Stigma simbolis AIDS – yaitu penggunaan HIV/AIDS untuk mengekspresikan sikap terhadap kelompok sosial atau gaya hidup tertentu yang dianggap berhubungan dengan penyakit tersebut.

    •    Stigma kesopanan AIDS – yaitu hukuman sosial atas orang yang berhubungan dengan isu HIV/AIDS atau orang yang positif HIV.

    Stigma AIDS sering diekspresikan dalam satu atau lebih stigma, terutama yang berhubungan dengan homoseksualitas, biseksualitas, pelacuran, dan penggunaan narkoba melalui suntikan.

    Di banyak negara maju, terdapat penghubungan antara AIDS dengan homoseksualitas atau biseksualitas, yang berkorelasi dengan tingkat prasangka seksual yang lebih tinggi, misalnya sikap-sikap anti homoseksual. Demikian pula terdapat anggapan adanya hubungan antara AIDS dengan hubungan seksual antar laki-laki, termasuk bila hubungan terjadi antara pasangan yang belum terinfeksi.

    N.    Dampak ekonomi

    HIV dan AIDS memperlambat pertumbuhan ekonomi dengan menghancurkan jumlah manusia dengan kemampuan produksi (human capital). Tanpa nutrisi yang baik, fasilitas kesehatan dan obat yang ada di negara-negara berkembang, orang di negara-negara tersebut menjadi korban AIDS. Mereka tidak hanya tidak dapat bekerja, tetapi juga akan membutuhkan fasilitas kesehatan yang memadai. Ramalan bahwa hal ini akan menyebabkan runtuhnya ekonomi dan hubungan di daerah. Di daerah yang terinfeksi berat, epidemik telah meninggalkan banyak anak yatim piatu yang dirawat oleh kakek dan neneknya yang telah tua.

    Semakin tingginya tingkat kematian (mortalitas) di suatu daerah akan menyebabkan mengecilnya populasi pekerja dan mereka yang berketerampilan. Para pekerja yang lebih sedikit ini akan didominasi anak muda, dengan pengetahuan dan pengalaman kerja yang lebih sedikit sehingga produktivitas akan berkurang. Meningkatnya cuti pekerja untuk melihat anggota keluarga yang sakit atau cuti karena sakit juga akan mengurangi produktivitas. Mortalitas yang meningkat juga akan melemahkan mekanisme produksi dan investasi sumberdaya manusia (human capital) pada masyarakat, yaitu akibat hilangnya pendapatan dan meninggalnya para orang tua. Karena AIDS menyebabkan meninggalnya banyak orang dewasa muda, ia melemahkan populasi pembayar pajak, mengurangi dana publik seperti pendidikan dan fasilitas kesehatan lain yang tidak berhubungan dengan AIDS. Ini memberikan tekanan pada keuangan negara dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Efek melambatnya pertumbuhan jumlah wajib pajak akan semakin terasakan bila terjadi peningkatan pengeluaran untuk penanganan orang sakit, pelatihan (untuk menggantikan pekerja yang sakit), penggantian biaya sakit, serta perawatan yatim piatu korban AIDS. Hal ini terutama mungkin sekali terjadi jika peningkatan tajam mortalitas orang dewasa menyebabkan berpindahnya tanggung-jawab dan penyalahan, dari keluarga kepada pemerintah, untuk menangani para anak yatim piatu tersebut.

    Pada tingkat rumah tangga, AIDS menyebabkan hilangnya pendapatan dan meningkatkan pengeluaran kesehatan oleh suatu rumah tangga. Berkurangnya pendapatan menyebabkan berkurangnya pengeluaran, dan terdapat juga efek pengalihan dari pengeluaran pendidikan menuju pengeluaran kesehatan dan penguburan. Penelitian di Pantai Gading menunjukkan bahwa rumah tanggal dengan pasien HIV/AIDS mengeluarkan biaya dua kali lebih banyak untuk perawatan medis daripada untuk pengeluaran rumah tangga lainnya.

    O.    Gaya Hidup Positif

    Tidak ada pengobatan untuk HIV atau AIDS akan tetapi hidup berdampingan dengan kedua penyakit tersebut menjadi semakin dapat diatur. Sangatlah mungkin bagi pengidap HIV/AIDS dalam menjalani suatu hidup yang produktif dengan mengikuti suatu diet tinggi akan protein dan kilojoule yang sehat, mengatur tingkat–tingkat stress, mempraktekan seks yang aman dengan mengunakan kondom, tidak minum air yang belum dimasak, moderasi dalam mengkonsumsi alkohol dan merokok, mencuci tangan, memastikan kesejahteraan spiritual dan emosional serta memperhatikan infeksi oportunistik sedini mungkin. Orang yang memiliki hewan piaraan harus mengikuti tindakan pencegahan yang normal dengan menjamin bahwa makanan,

    kotoran dan tempat tidur mereka selalu segar dan memenuhi norma kesehatan sepanjang waktu. Perawatan harus dilakukan untuk menghindari pukulan, goresan dan gigitan serta binatang tersebut.

    BAB III

    HASIL OBSERVASI DI SEPUTARAN ALUN-ALUN KOTA BANDUNG

    Dalam kasus prostitusi yang terjadi di Kota Bandung, ada sebagian kecil kasus yang di ambil dari hasil observasi di lapangan. Di dalam kasus ini peranan – peranan yang berada di sekitar lingkungan kita bisa menjadi akar dalam kasus prostitusi di Kota Bandung. Peranan – peranan tersebut mencangkup peran keluarga atau orang tua, peran teman, peran pacar, peran calo dalam prostitusi, dan peran germo. Dari macam – macam peran tersebut saya membahas tentang peran pacar dan peran orangtua atau keluarga karena sesuai dengan hasil obervasi saya di lapangan.

    Peran keluarga atau orangtua, dalam terlibatnya salah satu anggota keluarga mereka bukan hanya karena kemauan maupun kesadaran sendiri. Orang tua juga memiliki andil terhadap keterlibatan atau mengakibatkan bisa terlibat dalam dunia prostitusi. Peran orang tua dalam mendukung seorang dari mereka terlibat dalam pelacuran, dapat dilihat ketika mulanya keberadaannya tidak diketahui orangtuanya. Namun setelah anggota keluarga tau atau orangtua, justru bukan langsung melarangnya akan tetapi  malah menggantungkan hidupnya di dalam pelacuran untuk menghidupi keluarganya.

    Kondisi demikian menyebabkan timbulnya perasaan beban tanggung jawab kepada keluarga bagi anak yang dilacurkan. Ketika pulang ke rumah orang tuanya muncul semacam tuntutan dan kewajiban untuk memberikan oleh-oleh atau uang kepada orangtuanya.Peran pacar dalam proses pasangannya menjadi masuk ke dalam dunia pelacuran di lapangan ditemukan dengan penipuan.

    •    Responden    :  Hesti ( Nama Inisial )

    A.     Karakteristik Responden

    •    Responden berumur 28 tahun, memiliki berat badan 50 kg dan tinggi 150 cm, berambut hitam lurus dengan panjang rambut sampai punggung, berwarna kulit sawo matang, cantik dan berhidung mancung. Hesty sudah pernah berkahwin namun ia cerai dengan suaminya dan berstatus janda memiliki satu orang anak hasil hubungan di luar perkahwinan dengan pacarnya yang sudah menjadi suaminya setelah disetubuhi lalu ia hamil dan menikah dengan pacarnya tersebut, dari hasil perkawinannya dia mempunyai dua orang anak yang berumur 3 tahun dan 2 tahun. 

    •    Hesty awalnya mempunyai pekerjaan di salah satu toko di daerah kopo. Pendapatannya saat berkerja tidak menentu. Lalu setelah itu dia cerai dengan suaminya dan dipecat dari pekerjaannya karena masalah dengan suaminya dia tak pernah masuk kerja. Kemudian Hesty (nama samaran) merasa sudah tidak berharga lagi maka ia melacurkan diri setelah cerai dari suaminya dan ditinggal pergi.

    B.    Latar Belakang dan Masalah yang Dihadapi Ketika Bekerja Sebagai PSK

    Responden bekerja sebagai PSK kerana keadaan ekonomi dan harus membiayai anaknya. Selain itu juga, responden merasa sudah tidak mempunyai harga diri lagi maka ia melacurkan diri setelah cerai dari suaminya dan ditinggal pergi. Responden turun kedunia pelacuran juga dikarenakan oleh kekecewaannya kepada sang suami  yang diharapkan dapat membantu perekonomian keluarganya justru meninggalkannya beserta anaknya.

    Responden beranggapan bahawa dengan menjadi PSK, ia dapat memperolehi penghasilan yang mencukupi keperluannya. Responden mendapatkan wang setiap semalam bisa menerima 3 tamu, setiap tamu tarifnya bisa sekitar Rp. 150.000 sampai Rp. 250.000 permalam. Jadi ia bisa menghasilkan uang sekitar Rp. 900.000/hari. Wilayah yang sering hesty (nama samaran) pakai untuk mencari tamu tidak menetap, dia berpindah-pindah tempat untuk mencari atau menunggu tamu dan juga menghindari razia, misalnya di daerah Alun-alun, Jln. ABC, dan wilayah Pasar Baru dan sekitarnya.

    Responden sentiasa dihantui oleh perasaan dosa. Dia juga seringkali teringat kepada anak-anaknya dan takut apabila dewasa nanti, anaknya akan mendapati akibat dari perbuatan ibunya. Seringkali muncul keinginan dalam diri responden untuk berhenti sebagai PSK namun perasaan itu hilang semula, apabila sedar tidak mungkin ia akan memperolehi kerja lain dengan penghasilan yang besar seperti sekarang ini. Responden merasa tidak mempunyai masalah dalam menjalankan aktiviti memberi khidmat seks.

    C.    Pemahaman Responden tentang Pandemik, Transmisi dan Rawatan HIV/AIDS

    Responden memahami pekerjaannya sebagai PSK sangat berisiko tinggi dijangkiti HIV/AIDS. Responden mengetahui bahawa HIV/AIDS akan dijangkiti melalui hubungan seks. namun setiap melayani pelanggannya, pelanggannya tidak menggunakan kondom dikarenakan pelanggannya tidak mau menggunakannya. Lebih lanjut responden mengatakan seperti berikut:

    “Saya tau kalau pekerjaan saya sangat rentang terinfeksi penyakit Hiv apalagi dengan cara saya melayanin lelaki 3 orang dalam semalam namun ketika melayani mereka, saya kadang meminta mereka untuk menggenakan kondom namun mereka tidak mau, saya juga merasa takut dan hawatir akan tertular penyakit yang berbahaya itu”.

    Responden menilai bahawa penyakit HIV/AIDS berbahaya karena sukar disembuhkan dan belum ada obatnya. Seseorang yang telah dijangkiti virus HIV hanya boleh memperpanjang jangka hayat dengan mengkonsumsi obat secara berterusan, manakala virus HIV masih wujud didalam badannya. Lebih lanjut responden mengatakan seperti berikut:

    “Saya sering mendengar bahawa HIV atau AIDS merupakan penyakit berbahaya dan mematikan serta belum ada obatnya. tetapi saya tak tahu seperti apa proses jangkitannya dan rawatannya sehingga saya tidak  tahu cara untuk mencegahnya.”

    D.    Keperluan Responden dalam Menangani HIV/AIDS

    Responden mengungkapkan bahawa ia memerlukan pengetahuan dan penyuluhan yang benar  tentang HIV/AIDS sama ada jangkitan mahupun rawatan. Responden mengungkapkan hal tersebut seperti berikut:

    Saya kadang-kadang mempunyai keinginan untuk berhenti sebagai PSK di karnakan saya takut akan penyakit HIV/AIDS apa lagi menggingat anak-anak saya yang masih kecil dan sangat membutuhkan saya, saya tidak bisah membayangkan jika saya terkena penyakit tersebut bgai mana nasip anak-anak saya, tetapi saya tak ada kemampuan untuk cari kerja lain.  Karena hanya pekerjaan ini yang mampu memenuhi kebutuhan ekonomi saya dan anak-anak saya. Saat ini saya hanya perlu ada pihak lain yang memberi penjelasan yang benar mengenai cara pencegahan tentang HIV/AIDS.

    Selanjutnya, responden juga mengatakan bahawa ia malu dan takut melakukan tes antobodi . Responden mengatakan seperti berikut: “ saya malu melakukan tes antibodi. ”

    E.    Implikasi Psiko-Sosial Responden Jika Pendidikan HIV/AIDS Tidak Diberikan

    Berkaitan dengan implikasi psikososial responden jika pendidikan HIV/AIDS tidak diberikan, responden mengungkapkan bahawa ia merasa takut, tidak tenang dalam menjalankan pekerjaannya. Responden juga mengungkapkan akan cemas dan tidak nyaman dalam hidupnya. Lebih lanjut responden mengatakan seperti berikut:

    Setiap saya melakukan hubungan seks saya selalu merasa takut dan tidak tenang. Jika saya terjangkit sayatidak bisah membayangkan nasip anak-anak saya kelak dan saya tidak tega jika saya menulari pelanggan saya

    Seterusnya responden berharap ada pihak lain memberikan pendidikan atau maklumat  tentang HIV/AIDS. Lebih lanjut responden mengatakan seperti berikut:

     Saya berharap ada pihak lain untuk memberikan maklumat yang benar tentang HIV/AIDS termasuk jangkitan dan rawatannya.  Jika ada pendidikan HIV/AIDS saya akan faham dan mengetahui cara mencegah terjangkitnya virus tersebut.

    F.    Rangkuman Kasus

    •    Usia    : 28 th

    •    Alamat    : Kebon Kelapa

    •    Status    : Janda

    •    Suku    : Sunda

    •    Pekerjaan    : pelayan warung + WTS

    •    Pendidikan    : Tamat SMP

    •    Pekerjaan ayah    : pedagang es (tidak tetap)

    •    Pekerjaan ibu    : Ibu Rumah Tangga

    G.    Rangkuman Biografi

    Anak-anak :

    •    Tidak pernah mendapatkan pemenuhan kebutuhan kasih sayang dan diabaikan orang tua

    •    Tidak diajarkan nilai-nilai oleh orang tua

    •    Sering dipukul dan mendapat hukuman

    •    Tidak lanjut sekolah

    •    Mengalami sakit parah karena sering menahan lapar

    •    Dilarang orang tua bermain bersama teman-temannya

    Remaja:

    •    Bekerja demi membantu orang tua

    •    Menikah di usia 15 tahun

    •    Bekerja di warung minuman

    Dewasa :

    •    Bekerja bersama paman dan bibinya

    •    Diperkosa pacarnya

    •    Berkenalan dengan laki-laki yang akhirnya membuatnya jadi WTS

    BAB IV

    UPAYA UNTUK MEMINIMALISIR WTS (Wanita Tuna Susila)

    A.    Upaya dari Pemerintah

    1.    Adanya alokasi anggaran dari pemerintah untuk perlindungan bagi para WTS, alokasi anggaran ini nantinya dapat digunakan untuk membiayai semua kegiatan pembangunan yang digunakan untuk membiayai semua kegiatan pembangunan yang ditunjukan bagi WTS. Alokasi jangan digunakan untuk kegiatan dalam merazia para WTS karena percuma, banyak juga menimbulkan oknum dan anggota meminta jatah pada para WTS tersebut jika tidak ingin di razia .Pihak-pihak yang paling berkompeten dalam menangani hal ini adalah DPRD dan Bapeda.

    2.    Adanya peraturan daerah yang melindungi anak-anak, terutama anak-anak yang dilacurkan. Peraturan daerah ini diharapkan dapat memberikan perlindungan kepada anak dalam bentuk kepastian hokum. Selama ini dalam kehidupan masyarakat sehari-hari  banyak terjadi pelanggaran hak-hak anak, namun pelakunya belum mendapatkan tindakan hukum yang tegas dan dirasakan adil bagi anak.

    3.    Mengadakan pusat kegiatan, selama ini para WTS kurang mendapatkan tempat bagi penyaluran aspirasi dan keinginan mereka. Sebagai contoh ruang public yang dapat di akses langsung secara bebas pun saat ini sudah sulit ditemukan. Pengadaan pusat kegiatan ini menjadi sangat penting akan mendapatkan tempat dari teman-teman atau keluarga yang mendukung berkembangnya potensi dan kreativitas mereka.

    4.    Penanggulangan penyakit menular seksual dan HIV/AIDS melalui pelayanan kesehatan pendampingan, konseling, dan advokasi. Pergaulan bebas dan prostitusi sangat rawan akan penyebaran penyakit menular seksual HIV/AIDS. Untuk itu perlu sekali mendapatkan pengetahuan mengenai bahaya penyakit tersebut. Sebab dalam penelitian bahwa pengetahuan mereka rendah, cara pengobatan yang mereka tempuh pun sangat sederhana dan kurang tepat. Dalam hal ini menjadi tugas dari Dinas Kesehatan, LSM, Perguruan Tinggi, Profesional.

    5.    Pendidikan dan pelatihan bagi yang membutuhkan perlindungan khusus, Dinas Pendidikan dan LSM dapat berkerja sama untuk memberikan pendidikan dan pelatihan ini. Pendidikan dan pelatihan tersebut berguna bagi anak sebagai bekal kembali kepada masyarakat dan untuk menunjang kemandirian mereka nantinya.

    6.    Pendidikan kesehatan reproduksi serta bahaya narkoba, Dinas Kesehatan dan pihak kepolisian dapat berkerja sama untuk melaksanakan hal tersebut. Beberapa WTS bahakan tidak menggunakan pengaman apa pun saat mlayani konsumennya. Di samping itu pergaulan bebas dan sindikasi peredaran narkoba telah menyebabkan pengguna dan peredaran narkoba meningkat. Untuk itu pendidikan kesehatan reproduksi dan bahaya narkoba menjadi suatu hal yang sangat penting dan mendesak untuk dilaksanakan.

    B.    Upaya dari Masyarakat

    1.    Menerima kembali di dalam masyarakat, agar bisa berkembang dalam berpastispasi terhadap masyarakat dan tidak merasa di kucilkan.

    2.    Memberikan rasa nyaman, agar tidak timbul stigma negative diantara kedua belah pihak, dan merasa membutuhkan satu sama lain dalam berinteraksi.

    3.    Membantu dalam memngembangkan keahlian di dalam masyarakat, agar jasanya untuk masyarakat bisa dirasakan manfaatnya bersama dan saling bertukar ilmu yang berguna dan bermanfaat.

    BAB V

    DOKUMENTASI HASIL OBSERFASI

    BAB VI

    PENUTUP

    Prostitusi adalah salah satu bentuk deviasi social yang dapat menimbulkan berbagai dampak social dalam kehidupan warga masyarakat. Oleh karena itu, ruang geraknya perlu dibatasi agar tidak meluas dimasyarakat. Prostitusi dilate  belakangi oleh berbagai factor yang bersifat internal dan eksternal, yang meliputi berbagai aspek yang saling terkait antara factor yang bersifat budaya, kondisi ekonomi, kurangnya pemahaman agama, dan factor biologis.

     Ilmuwan dibidang pengetahuan social termasuk penelitian mempunyai peran yang sangat penting dalam perumusan kebijaksanaan dan program-program kesejahteraan social antara lan yang terkait dengan masalah pencegahan penyebarluasan prostitusi. Banyak masalah yang timbul dalam upaya perubahan cara hidup WTS, khususnya yang berkaitan dengan teknis penyantunan dan rehabilitasi  mereka. Dengan demikian masalah-masalah tersebut perlu dipelajari.

    Isu utama dalam lingkup penelitian pencegahan prostitusi adalah menemukan bagaimana penyandang masalah WTS segera merubah prilaku, memberi kesempatan-kesempatan pekerjaan normative, apa hambatan, dan reaksi terhadap kebiasaan masa lalu.

    Ada 3 macam model Penanggulangan dalam rangka menekan perluasan kegiatan prostitusi yang meliputi 3 macam pencegahan yang pelaksanaanya diperlukan kerjasama antara penyandang masalah WTS, pemerintah daerah, dan masyarakat setempat. Model pencegahan pertama yang merupakan upaya pencegahan agar seseorang tidak menjadi WTS. Model pencegahan kedua merupakan upaya merehabilitasi WTS untuk meninggalkan pekerjaan dibidang prostitusi yang secara hukum dianggap pekerjaan yang tidak layak bagi manusia dan pelanggaran norma agama. Model pencegahan yang ketiga adalah alih pekerjaan mucikari/germo menjadi pengusaha ekonomi produktif sesuai dengan potensi geografis daerah dimana mereka bertempat tinggal.

  • Makalah Budaya Pammali’ dalam Pola Asuh Suku Bugis

    Pammali’ (ᨄᨆᨒᨗ) atau Pemali merupakan budaya khas Nusantara dalam bentuk pantangan atau larangan yang telah disampaikan secara turun temurun dan kebenaran diterima apa adanya. Demikian pula Suku Bugis sebagai salah satu suku asli Nusantara, tentu saja memiliki Budaya Pammali’.

    Budaya Pammali

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Pengasuhan orang tua adalah pendidikan yang pertama dan utama. Dalam lingkungan keluarga merupakan proses interaksi antara anak dengan orang-orang disekitarnya terutama ibu, dan ayah. Terjadinya interaksi antara anak, dan orang tua dalam disebut juga dengan pola pengasuhan orang tua.
    Dalam negara kita Indonesia, berbagai suku-suku, yang tentunya berbagai corak ragam sosial budaya berbeda pula. Keluarga sebagai unit terkecil dalam lingkungan suku-bangsa, termasuk suku bugis tidak lepas dari pengaruh positif dan negatif akibat dari pengaruh lingkungan sekitar di mana bertempat tinggal, akibat dari pengaruh budaya asing atau barat. Tentunya sadar atau tidak sadar berpengaruh terhadap keluarga dalam rangka mengasuh anak sebagai generasi penerus.

    Menjadi  permasalahan sekarang antara orang tua dan kalangan pendidik sekarang adalah  budaya asing atau budaya barat begitu gampangnya masuk sebagai akibat kecanggihan tekhnologi komunikasi seperti: televisi, hand phone (HP), internet. Akibatnya film-film forno dan kekerasan, gambar-gambar vulgar, begitu cepat dan gampang tersaji dihadapan anak-anak kita, akhirnya budaya barat  seperti pergaulan bebas, narkoba, hidup individualis, budaya komsumtif, dan lain-lain sebagainya dapat mempengaruhi kehidupan anak kelak, maka terlahirlah generasi yang tidak mempunyai jati diri bangsa, generasi yang kasar tak kenal sopan santun, tidak bisa menghargai sesama, pembangkang, berkata dan bertindak kasar, suka mementingkan diri sendiri, dan lain-lain sebagainya.

    Agar tidak terjadi demikian, pola pengasuhan yang diberikan kepada anak seharusnya berakar dari budaya bangsa kita sendiri. Disinilah peran orang tua atau pendidik  mmeberikan  pola pengasuhan yang tepat sesuai akar budaya atau kultur bangsa Indonesia.

    Suku bugis  kaya akan budaya tersebut dalam rangka bagaimana mengasuh anaknya, Budaya pemmali  adalah  pola pengasuhan suku bugis yang selama ini dipegang teguh orang bugis untuk mengasuh anaknya.
    Oleh karena itu dalam penulisan makalah ini akan mengkaji  bagaimana pola pengasuhan anak  suku bugis dari aspek budaya Pemmali

    B. Rumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah adalah: Pemmali sebagai bentuk  pengasuhan anak  suku bugis.

    C. Tujuan Penulisan

    Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini untuk mendeskripsikan pemmali sebagai bentuk pengasuhan anak suku bugis.

    Bab II. Pembahasan

    A. Pengertian Pengasuhan Orang Tua

    Dalam Kamus  Bahasa Indonesi, edisi 2008 pengasuhan berasal dari kata Asuh, yang arinya mengasuh. Sedangkan pengasuhan berarti orang yang mengasuh (orang tua, wali). Dari pengertian Kamus Bahasa Indonesia tersebut pengasuhan adalah cara mengasuh yang dilakukan oleh orang tua, wali terhadap anak-anaknya.

    Pengasuhan disini dapat diartikan suatu cara yang dilakukan oleh pengasuh(orang tua, wali, guru)  kepada anak, siswa (oleh guru).Pengasuhan orang tua sebagai suatu mekanisme yang secara langsung membantu anak mencapai tujuan sosialisasi dan secara tidak langsung mempengaruhi internalisasi nilai-nilai sehingga anak lebih terbuka  terhadap upaya sosialisasi melalui berbagai bentuk kompetensi interaksi sosial. (Syamsul Bachri Thalib., 2009)

    Berdasar pada perbedaan individual dan orientasi budaya, Reis dan Wheeler (dalam Taylor et al.,1994) mempredeksi bahwa siswa-siswa yang berasal dari lingkungan individualistik seperti AS, kurang menunjukkan interaksi kelompok  dibanding dengan siswa-siswa yang berasal dari keluarga kolektif seperti Hongkong, Jordan, dan Indonesia.

    Budaya individualistik lebih menekankan lebih menekankan pada kebutuhan, tujuan atau keinginan pribadi dan individu, sedangkan budaya kolektif lebih menekankan tujuan kelompok dan keharmonisan, kohesi, dan kerjasama (Matsumoto, 1996 dalam Syamsul Bahri Thalib., 2009)

    Berdasarkan uraian  tentang pengertian pengasuhan, secara singkat dapat dikemukakan bahwa pengasuhan orang tua mengacu pada peran orang tua dalam upaya mempengaruhi, membimbing dan mengontrol anak dalam mengembangkan pengetahuan, nilai-nilai, sikap dan prilaku anak menuju kedewasaan sehingga dapat memberikan konstribusi produktif terhadap diri sendiri, keluarga, dan masyarakat pada umumnya. (Syamsul Bachri Thalib., 2009)

    B. Pola Pengasuhan Suku Bugis

    Menurut Ancok, 1996; Garbarino et al. 1997; Goodnow, 1997 pengasuhani  terjadi dalam konteks yang lebih luas dari pada unit keluarga termasuk lingkungan geografis dan faktor sosial budaya seperti kepercayaan, nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat sehingga terdapat berbagai variasi bentuk transmisi dan internalisasi nilai-nilai.

    Dari konteks pengertian yang di atas terjadinya pola pengasuhan anak bukan  hanya terjadi dalam  unit keluarga akan tetapi aspek geografis, lingkungan sosial budaya sangat berpengaruh pada pola pengasuhan anak. 
    Berdasar dari perbedaan individu dan orientasi budaya, Reis dan Whiler (dalam Taylor et al., 1994)

    Salah satu aspek yang mempengaruhi pola pengasuhan anak adalah budaya berupa  kebiasaan, adat-istiadat, yang dipelihara dan dijunjung tinggi oleh keluarga maupau  suku tersebut. Yang melahirkan budaya pada kelompok-kelompok, suku-suku, atau bangsa.

    Dalam Kamus Bahasa Indonesia tahun 2008 kata budaya  berarti  pikiran; akal budi. Dari pengertian tersebut budaya dapat diartikan suatu  hasil pikiran dan akal budi manusia dalam mengatur kehidupannya.

    Budaya terdiri dari cara hidup orang menciptakan dalam suatu kelompok tertentu atau masyarakat. Cara hidup ini sangat kompleks. Mereka  menjadi ada dan akan berubah sebagai orang berjuang atas apa yang penting dalam kehidupan mereka, bagaimana melakukan sesuatu, dan bagaimana memahami pengalaman mereka. Budaya bukanlah sesuatu yang dipaksakan oleh beberapa orang pada orang lain; lebih tepatnya, itu adalah ciptaan orang-orang berinteraksi dengan satu sama lain. Ini mencakup semua diciptakan secara sosial cara berpikir, merasa, dan bertindak yang muncul dalam kelompok-kelompok tertentu saat masyarakat mencoba untuk bertahan hidup, memenuhi kebutuhan mereka, dan mencapai rasa signifikansi dalam proses.

    Sebagaimana suku-suku yang ada di nusantara ini, suku bugis atau to Ugi adalah suku yang tergolong ke dalam suku suku Deutero-Melayu, atau Melayu muda. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Kata ‘Bugis’ berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan “ugi” merujuk pada raja pertama kerajaan Tiongkok (bukan negara Tiongkok, tapi yang terdapat di jazirah Sulawesi Selatan tepatnya Kecamatan Pammana Kabupaten Wajo saat ini) yaitu La Sattumpugi.

    Suku Bugis adalah suku terbesar ketiga di Indonesia setelah suku Jawa dan Sunda. Berasal dari Sulawesi Selatan dan menyebar pula di propinsi-propinsi Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Papua, Irian Jaya Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Riau dan Riau Kepulauan, dan bahkan sampai ke Malaysia dan Brunei Darussalam.

    Suku Bugis Jumlah populasi saat ini kurang lebih 4 juta jiwa. Yang tersebar  di seluruh wilayah Indonesia.Karena masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain itu masyarakat Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan. Suku Bugis juga dalam mengarungi samudra cukup dikenal luas, dan wilayah perantauan mereka pun hingga Malaysia, Filipina, Brunei, Thailand, Australia, Madagaskar dan Afrika Selatan.

    Dalam suku bugis dikenal adanya Pangaderreng, pangaderreng adalah sistem norma dan aturan-aturan adat. Dalam keseharian suku bugis pangaderreng sudah menjadi kebiasaan dalam berinteraksi dengan orang lain yang harus dijunjung tinggi. Contoh pangaderreng dalam sehari-hari; seperti minta permisi untuk melewati arah orang lain, dengan kata-kata “tabe”kata tabe tersebut diikuti gerakan tangan kanan turun kebawah mengarah ketanah atau ketanah.makna dari perilaku orang bugis seperti demikian adalah bahwa kata tabe  simbol dari upaya menghargai dan menghormati siapapun orang dihadapan kita, kita tidak boleh berbuat sekehendak hati berbuat. Dan makna berikut adalah bahwa tangan kanan yang mengarah kelantai atau ketanah sebagai simbol kerendahan hati  dengan status apa yang dimiliki oleh seseorang. Yang kemudian makna lain dari contoh tersebut satunya kata dan perbuatan (Taro Ada Taro Gau), bahwa orang bugis dalam kehidupan sehari-hari harus berbuat sesuai dengan perkataan. Antara kata tabe dan gerakan tubuh(tangan kanan) harus seiring dan sejalan.sehingga suatu pemaknaan yang dalam orang bugis jauh lebih dalam lagi.

    Dalam Pangaderreng  ada konsep Siri”. siri dalam  Kamus Bahasa Indonesia  edisi tahun 2008 adalah keadaan tertimpa malu atau terhina dimasyarakat Bugis dan Makassar. Dalam konteks pengasuhan bagaimana orang bugis menegakkan budaya siri agar tidak tertimpa rasa malu dan terhina akibat dari perbuatannya.

    Orang bugis memuliakan hal-hal yang menyangkut soal keagamaan, kesetiaan memegang janji dan persahabatan, saling memaafkan, saling mengingatkan untuk berbuat kebajikan, tak segan saling memberi pertolongan/pengorbanan, dan memelihara ketertiban adat perkawinan (Mattulada, 1985).

    Menurut A. Rahman Rahim memandang bahwa ”siri” merupakan salah satu dari enan nilai utama kebudayaan bugis, lima nilai utama kebudayaan bugis lainnya adalah: allempurang(kejujuran), amaccang (kecendekiaan), asitinajang (kepatutan), ggetengeng (keteguhan), serta reso (usaha). (H.M. Laica Marzuki. 1995)

    Konsep “siri” dalam pengasuhan terungkap  dalam paseng(petuah,  nasehat, amanat yaitu roloi naptiroang, ritenggai naparaga-raga, rimunriwi napa ampiri  (dari depan menjadi suri tauladan, ditengah aktif memberikan bantuan dan dari belakang aktif memberikan dukungan dan dorongan.

    Menurut Abdullah(1997) nilai-nilai fundamental siri yang relevan dengan pengasuhan dan kepembimbingan di sekolah, mencakup semangat sipakatau, pesse, parakai sirimu, cappa lila, rupannamitaue dek naullei ripinra, sipatuo sipatokkong, sipamali ssiparapppe. Semangat  Sipakatau    bermakna saling menghargai dan menghormati sesama manusia. Nilai budaya ini memancarkan penghargaan dan keserasian hubugan dengan hubungan dengan orang lain. Pesse bermakna kesetiakawanan terhadap manusia.  Parakai sirimu merefleksikan perasaan tanggung jawab dan pengendalian diri. Siri berfungsi mengontrol diri dari perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai moral dan agama.

    Falsafah cappa lila (ujung lidah) bermakna  keterampilan berkomunkasi dan berdialog dengan penuh keterbukaan dan tutur kata yang santun yang berimpliksi pada keharmonisan sosial. Rupamnamitaue’ dek naulle’ ripinra (hanya wajah manusia yang tidak bisa diubah) bermakna percaya diri dan sikap optimisme terhadap peluang terjadinya perubahan pada diri manusia ke arah yang lebih baik. Sipatuo sipatokkong , sipamali siparappe (saling mengembangkan dan saling menghidupkan)yang berimplikasi kepada saling membantu  dan memahami orang lain. Pajjama (usaha dan kerja keras)mengandung  makna kemandirian, sikap optomis dan dinamis menghadapi masa depan disertai ketekunan dan kerja keras. Getteng (ketegasan prinsip) mengandung makna kepercayaan diri, keberanian menanggung  resiko dan adanya kesesuaian antara perkataan dan perbuatan.

    Nilai malu dalam kandungan siri’ menurut Marzuki (1995) menggugah seseorang agar tidak melakukan pelanggaran Ade’ sementara nilai-nilai harga diri atau martabat menuntut seseorang untuk selalu patuh dan hormat pada kaidah-kaidah ade’ (hukum). Hal ini terungkap dalam petuah-petuah atau (pasen-pasen).

    Dari konsep pangaderreng  yang melahirkan budaya siri, suku bugis dalam kehidupan sehariannya dalam mengasuh anak-anak mereka melahirkan sebuah kebiasaan atau budaya dalam bertutur kata atau berbuat yang disebut Pemmali. Pemmali  bentuk pengasuhan  keluarga baik yang berdiam di Sulawesi Selatan maupun di perantauan yang masih dipegang erat dalam  suku bugis dalam sehari-hari.

    Pemmali merupakan istilah dalam masyarakat Bugis yang digunakan untuk menyatakan larangan kepada seseorang yang berbuat dan mengatakan sesuatu yang tidak sesuai. Pemmali dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi “pemali” yang memiliki makna pantangan, larangan berdasarkan adat dan kebiasaan.

    Masyarakat Bugis meyakini bahwa pelanggaran terhadap pemmali akan mengakibatkan ganjaran atau kutukan. Kepercayaan masyarakat Bugis terhadap pemmali selalu dipegang teguh. Fungsi utama pemmali adalah sebagai pegangan untuk membentuk pribadi luhur. Dalam hal ini pemmali memegang peranan sebagai media pendidikan budi pekerti.

    Pemmali merupakan istilah dalam masyarakat Bugis yang digunakan untuk menyatakan larangan kepada seseorang yang berbuat dan mengatakan sesuatu yang tidak sesuai. Pemmali dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi “pemali” yang memiliki makna pantangan, larangan berdasarkan adat dan kebiasaan.

    C. Bentuk-bentuk Pemmali

    Pemmali dalam masyarakat Bugis dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu pemmali dalam bentuk perkataan dan pemmali dalam bentuk perbuatan.

    1. Pemmali Bentuk Perkataan

    Pemmali bentuk ini berupa tuturan atau ujaran. Biasanya berupa kata-kata yang dilarang atau pantang untuk diucapkan. Kata-kata yang pantang untuk diucapkan disebut kata tabu. Contoh kata tabu yang merupakan bagian pemmali berbentuk perkataan misalnya balawo â˜tikusâ, buaja â˜buayaâ, guttu â˜gunturâ. Kata-kata tabu seperti di atas jika diucapkan diyakini akan menghadirkan bencana atau kerugian. Misalnya, menyebut kata balawo (tikus) dipercaya masyarakat akan mengakibatkan gagal panen karena serangan hama tikus. Begitu pula menyebut kata buaja â˜buayaâ dapat mengakibatkan Sang Makhluk marah sehingga akan meminta korban manusia.

    Untuk menghindari penggunaan kata-kata tabu dalam berkomunikasi, masyarakat Bugis menggunakan eufemisme sebagai padanan kata yang lebih halus. Misalnya, kata punna tanah â penguasa tanah â digunakan untuk menggantikan kata balawo, punna uwae â˜penguasa airâ digunakan untuk menggantikan kata buaja.

    2. Pemmali Bentuk Perbuatan atau Tindakan

    Pemmali bentuk perbuatan atau tindakan merupakan tingkah laku yang dilarang untuk dilakukan guna menghindari datangnya bahaya, karma, atau berkurangnya rezeki.

    Beberapa contoh pemmali dan maknanya:

    “Riappemmalianggi anaâ daraE makkelong ri dapurennge narekko    mannasui”

    (Pantangan bagi seorang gadis menyanyi di dapur apabila sedang memasak atau menyiapkan makanan).

    Masyarakat Bugis menjadikan pantangan menyanyi pada saat sedang memasak bagi seorang gadis. Akibat yang dapat ditimbulkan dari pelanggaran terhadap larangan ini adalah kemungkinan sang gadis akan mendapatkan jodoh yang sudah tua. Secara logika, tidak ada hubungan secara langsung antara menyanyi di dapur dengan jodoh seseorang. Memasak merupakan aktivitas manusia, sedangkan jodoh merupakan faktor nasib, takdir, dan kehendak Tuhan.Jika dimaknai lebih lanjut, pemmali di atas sebenarnya memiliki hubungan erat dengan masalah kesehatan. Menyanyi di dapur dapat mengakibatkan keluarnya ludah kemudian terpercik ke makanan. Dengan demikian perilaku menyanyi pada saat memasak dapat mendatangkan penyakit. Namun, ungkapan atau larangan yang bernilai bagi kesehatan ini tidak dilakukan secara langsung, melainkan diungkapkan dalam bentuk pemmali.

    “Deq nawedding anaq daraE matinro lettu tengga esso nasabaq labewi dalleqna”

    (Gadis tidak boleh tidur sampai tengah hari sebab rezeki akan berlalu).

    Bangun tengah hari melambangkan sikap malas. Apabila dilakukan oleh gadis, hal ini dianggap sangat tidak baik. Jika seseorang terlambat bangun, maka pekerjaannya akan terbengkalai sehingga rezeki yang bisa diperoleh lewat begitu saja. Terlambat bangun bagi gadis juga dihubungkan dengan kemungkinan mendapatkan jodoh. Karena dianggap malas, lelaki bujangan tidak akan memilih gadis seperti ini menjadi istri. Jodoh ini merupakan salah satu rezeki yang melayang karena terlambat bangun.

    Dari tinjauan kesehatan, bangun tengah hari dapat mengakibatkan kondisi fisik menjadi lemah. Kondisi yang lemah menyebabkan perempuan (gadis) tidak dapat beraktivitas menyelesaikan kebutuhan rumah tangga.

    Masyarakat Bugis menempatkan perempuan sebagai pemegang kunci dalam mengurus rumah tangga. Perempuan memiliki jangkauan tugas yang luas, misalnya mengurus kebutuhan suami dan anak.

    “Riappemmalianggi matinro esso taue ri sese denapa natabbawa ujuna taumate engkae ri bali bolata”

    (Pantangan orang tidur siang jika jenazah yang ada di tetangga kita belum diberangkatkan ke kuburan).

    Pemmali ini menggambarkan betapa tingginya penghargaan masyarakat Bugis terhadap sesamanya. Jika ada tetangga yang meninggal, masyarakat diharapkan ikut mengurus. Masyarakat biasanya berdatangan ke tempat jenazah disemayamkan untuk memberikan penghormatan terakhir dan sebagai ungkapan turut berduka cita bagi keluarga yang ditinggalkan. Masyarakat yang tidak dapat melayat jenazah karena memiliki halangan dilarang untuk tidur sebelum jenazah dikuburkan. Mereka dilarang tidur untuk menunjukkan perasaan berduka atau berempati dengan suasana duka yang dialami keluarga orang yang meninggal.

    “Pemmali mattula bangi tauwe nasabaq macilakai”

    (Pantangan bertopang dagu sebab akan sial).

    Bertopang dagu menunjukkan sikap seseorang yang tidak melakukan sesuatu. Pekerjaannya hanya berpangku tangan. Perbuatan ini mencerminkan sikap malas. Tidak ada hasil yang bisa didapatkan karena tidak ada pekerjaan yang dilakukan. Orang yang demikian biasanya hidup menderita. Ia dianggap sial karena tidak mampu melakukan pekerjaan yang mendatangkan hasil untuk memenuhi kebutuhannya. Ketidakmampuan tersebut mengakibatkan hidupnya menderita.

    “Pemmali lewu moppang ananaE nasabaq magatti mate indoqna”

    (Pemali anak-anak berbaring tengkurap sebab ibunya akan cepat meninggal).

    Tidur tengkurap merupakan cara tidur yang tidak biasa. Cara tidur seperti ini dapat mengakibatkan ganguan terhadap kesehatan, misalnya sakit di dada atau sakit perut. Pemali ini berfungsi mendidik anak untuk menjadi orang memegang teguh etika, memahami sopan santun, dan menjaga budaya. Anak merupakan generasi yang harus dibina agar tumbuh sehingga ketika besar ia tidak memalukan keluarga.

    “Pemmali kalloloe manrewi passampo nasabaq iyaro nasabaq ipancajiwi passampo siri”

    (Pemali bagi remaja laki-laki menggunakan penutup sebagai alat makan sebab ia akan dijadikan penutup malu).

    Laki-laki yang menggunakan penutup benda tertentu (penutup rantangan, panci, dan lainnya) sebagai alat makan akan menjadi penutup malu. Penutup malu maksudnya menikahi gadis yang hamil di luar nikah akibat perbuatan orang lain. Meski pun bukan dia yang menghamili, namun dia yang ditunjuk untuk mengawini atau bertanggung jawab. Inti pemali ini adalah memanfaatkan sesuatu sesuai fungsinya.

    Menggunakan penutup (penutup benda tertentu) sebagai alat makan tidak sesuai dengan etika makan. Penutup bukan alat makan. Orang yang makan dengan penutup merupakan orang yang tidak menaati sopan santun dan etika makan. Akibat lain yang ditimbulkan jika menggunakan penutup sebagai alai makan adalah debu akan terbang masuk ke makanan. Akhirnya, makanan yang ada di wadah tertentu menjadi kotor karena tidak memiliki penutup. Hal ini sangat tidak baik bagi kesehatan karena dapat mendatangkan penyakit.

    “Pemmali saleiwi inanre iyarega uwae pella iya puraE ipatala nasabaq mabisai nakenna abalaq”

    (Pemali meninggalkan makanan atau minuman yang sudah dihidangkan karena biasa terkena bencana).

    Pemali ini memuat ajaran untuk tidak meninggalkan makanan atau minuman yang telah dihidangkan. Meninggalkan makanan atau minuman yang sengaja dibuatkan tanpa mencicipinya adalah pemborosan. Makanan atau minuman yang disiapkan itu menjadi mubazir. Makanan bagi masyarakat Bugis merupakan rezeki besar. Orang yang meninggalkan makanan atau minuman tanpa mencicipi merupakan wujud penolakan terhadap rezeki. Selain itu, menikmati makanan atau minuman yang dihidangkan tuan rumah merupakan bentuk penghoramatan seorang tamu terhadap tuan rumah. Meninggalkan makanan dapat membuat tuan rumah tersinggung.

    Bab III. Penutup

    A. Kesimpulan

    1. Pola pengasuhan anak yang diberikan oleh orang tua, pendidik, hendaknya berpola pada kebudayaan nasional yang bersumber dari kebudayaan lokal.
    2. pangaderreng, adalah budaya suku bugis sebagai salah satu konsep dasarnya adalah siri’ sebagai wujud manusia bugis yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, kehormatan, persaudaraan, harkat dan martabat manusia.
    3. Pemmali dalam masyarakat Bugis merupakan nilai budaya yang sarat dengan muatan pendidikan. Pemmali umumnya memiliki makna yang berisi anjuran untuk berbuat baik, baik perbuatan yang dilakukan terhadap sesama maupun perbuatan untuk kebaikan diri sendiri. Pemmali sangat kaya nilai luhur dalam pergaulan, etika, kepribadian, dan sopan santun. Melihat tujuannya yang begitu luhur, pemmali merupakan nilai budaya Bugis yang mutlak untuk terus dipertahankan.

    B.  Saran

    1. Pelestarian budaya lokal bukan hanya pemaknaaan membangun bangunan  masa lalu, tetapi tak kalah pentingnya membangun budaya lokal yang penuh kearifan untuk kemaslahatan ummat manusia.
    2. Budaya bugis pemmali  hendaknya digali dan dikembangkan agar dapat lebih bermamfaat untuk pengembangan pengasuhan anak, khususnya pada suku bugis, umumnya Bangsa Indonesia.
  • Makalah Adat dan Budaya Suku Bugis – Sistem Sosial, Strata dan Ritual

    Makalah Adat dan Budaya Suku Bugis – Sistem Sosial, Strata dan Ritual

    Adat dan Budaya Suku Bugis

    Suku bugis merupakan kelompok masyarakat yang berasal dari Sulawesi Selatan. Suku ini menjadi salah satu suku tertua yang masih eksis dan diperkirakan berjumlah sekitar 10 juta orang tahun 2024. Suku ini memiliki ragam budaya yang kental yang terlihat dari sosial kultur dan ritual-ritual yang masih dijalankan hingga saat ini.

    Bab I. Pendahuluan

    I. Latar Belakang

    To Ugie (ᨈᨚ ᨕᨘᨁᨗ) atau Suku Bugis merupakan suku terbanyak ke 5 di Indonesia dengan total anggotas uku mencapai 6.3 Juta Per tahun 2025. Keberadaan suku bugis hampir dapat ditemui di seluruh wilayah Indonesia meskipun tidak dalam jumlah mayorita. Suku ini terkenal sebagai salah satu suku perantau yang kehadiran kampung bugis bahkan bisa ditemukan di Singapura.

    Suku Bugis di Sulawesi Selatan sendiri terdiri dari beberapa etnis sub suku yang lebih kecil. Secara umum Suku Bugis terbagi dua yakni Bugis Barat dan Bugis Timur. Bugis Timur adalah sekumpulan etnis sub suku bugis di daerah yang berbatasan dengan teluk bone yakni Wajo, Bone, Soppeng, dan Sinjai sedangkan Bugis Barat di dominasi suku Bugis Barru dan Pare-Pare. Sebagian kecil etnis Bugis juga menempati daerah Pangkaje’ne, dan Maros yang berasimilasi dengan suku Makassar Lakiung dan Daerah Pinrang, dan Enrekang.

    To Ugi’ memiliki sebuah nilai yang sifatnya universal yang disebut Siri’ (ᨔᨗᨑᨗ). Nilai Siri’ ini setara dengan saudara jauh Suku Bugis yakni suku Makassar meskipun penerapan terdapat sedikit perbedaanya. Siri’ adalah nilai yang mewakili martabat to Ugi’ secara universal sehingga tindakan yang melukai nilai Siri’. Nilai siri’ yang paling kecil biasanya adalah pengusiran dari kampung atau dibuang oleh keluarga sedangkan nilai yang paling setara adalah nyawa.

    Beberapa nilai yang melekat pada Suku bugis mungkin masih dapat ditemui di tatanan kehidupan mereka. Hanya saja tidak semua dari nilai-nilai tersebut. Makalah ini bertujuan untuk mengakji nilai-nilai dalam sosial kultur yang ada di Suku Bugis.

    B. Rumusan Masalah

    1. Bagaimana Sistem Kekerabatan, Gender, dan Perkawinan dalam masyarakat Bugis?
    2. Bagaimana Stratifikasi Sosial dalam masyarakat Bugis?
    3. Bagaimana Penguasa, Wilayah Kekuasaan, dan Kerajaan dalam masyarakat Bugis?
    4. Bagaimana Proses Pengelompokkan Dan Struktur Internal Wanua?
    5. Bagaimana Hubungan Patron-Klien dalam masyarakat Bugis?

    Bab II. Pembahasan

    A. Masyarakat Dari Tradisional ke Modern

    Pembahasan pada bab-bab sebelumnya menunjukkan bahwa upaya memasukkan budaya dan masyarakat Bugis ke dalam suatu tataran tradisional tertentu merupakan suatu hal yang sia-sia belaka, jika istilah “tradisional” yang dimaksud adalah “belum tersentuh pengaruh-pengaruh luar”. Setiap budaya, pada masa tertentu, selain memiliki unsur-unsur kebudayaan yang diwarisi dari masa lampau dan dipertahankan, juga memiliki unsur-unsur baru hasil ciptaan sendiri dan unsure-unsur baru yang dipinjam dari luar. Di antara sejumlah masyarakat yang mudah tertarik kepada hal-hal baru, orang Bugis tampaknya termasuk salah satu yang reseptif, terhadap unsure luar yang mereka anggap bermanfaat. Dengan demikian, hubungan dengan dunia luar dan hubungan perdagangan termasuk di antara faktor-faktor utama yang berperan penting membentuk kepribadian orang Bugis. Meskipun,pada aspek-aspek tertentu, jelas terlihat adanya unsure-unsur yang berkesinambungan selama berabad-abad, namun, disisi lain, budaya dan masyarakat Bugis juga tidak pernah lepas dari perubahan yang terus menerus berlangsung hingga dewasa ini (Pelras, Tradition of Modernity).

    Dengan demikian, gambaran para lmwuan asing tentang masyarakat tradisional Bugis pada pertengahan abad ke-19 hingga awal abad ke-20—seperti B.F Matthes, orientalis berkebangsaan belanda; atau pengunjng berikurnya termasuk penjelajah dari inggris, James brooke; pelancong dari Austria, Ida Pfeiffer, serta ahli ilmu alam swiss, Paul dan Fritz Sarasin—bukan gambaran suatu masyarakat tradisional dalam arti statis, kolot “membantu”, dan tidak pernah berubah. Potret yang mereka sodorkan justru mengindikasikan suatu masyarakat yang lentur dan mampu menjalani proses perubahan terus-menerus sesuai zaman. Banyak unsure luar yang telah diserap kedalam hampir seluruh aspek kehidupan orang Bugis selama ini yang memperkaya hukum adat, tatanan sosial politik, adat-istiadat, ritual dan kepercayaan, tingkah laku, pekerjaan sehari-hari, teknologi, pengetahuan, cerita rakyat, hiburan, dan sastra. Akan tetapi, unsure-unsur serapan tersebut diolah dengan begitu apik, sehingga baik orang luar maupun orang Bugis sendiri menganggapnya sebagai suatu entitas budaya yang sudah menyatu, atau merupakan tradisi yang utuh dan padu.

    Dalam perspektif seperti itu, interaksi awal orang Bugis dengan Barat tidak jauh berbeda dengan interaksi mereka dengan orang Melayu, Jawa atau Cina. Bahkan, penaklukan Belanda terhadap Makassar hanyalah satu babak dari pergaulan panjang sejumlah kekuatan untuk menguasai dan mendalikan aktivitas perdagangan di Sulawesi Selatan. Pada mulanya peran yang dimainkan kekuatan asing—yang berpangkalan di Jawa itu—terhadap Goa yang disamakan dengan yang pernah dilakukan Goa terhadap Bone, atau Bone terhadap Luwu’.

    Namun, sejak awal abad ke-19, kesinambungan pola hubungan dengan dunia luar seperti itu terputus, karena seluruh wilayah tersebut, terutama para pedagang yang hidup didalamnya, mulai terlibat dalam era baru perekonomian global yang sarat semangat kapitalisme industri Barat. Era baru tersebut banyak menyediakan barang-barang murah, yang diimpor dan diproduksi secara missal. Pada gilirannya, produk ini menggeser posisi industry rakyat dan domestik. Sementara itu, makin berkembang tanaman-tanaman baru seperti jagung, kopi, kopra dan coklat, yang pada umumnya diperuntukkan pada pasar Eropa. Akibatnya, dasar perekonomian setempat menjadi goyah. Hal itu juga berimbas kepada struktur sosial masyarakat Bugis. Ruang sosial menjadi semakin lapang dan wawasan mereka pun terbuka menghadapi cakrawala baru “globalisasi”. Itulah salah satu ciri yang paling membedakan sikap modern dengan sikap kolot. Seiring dengan itu, perkembangan di bidang transportasi dan komunikasi, serta meningkatnya kemampuan baca tulis dan pendidikan, pada gilirannya berpengaruh pula terhadap bidang keagamaan dan pengetahuan umum.

    Momen penting yang menandai masa transisi masyarakat Bugis menuju modernisasi adalah berdirinya Singapura pada 1819—dimana mereka terlibat khusus di dalam proses pembentukannya. Pintu keluar-masuk barang di Asia Tenggara tersebut tetap merupakan poros aktivitas perdagangan meraka di Nusantara hingga decade 1950-an, karena merupakan batu loncatan usaha mereka di Tanah Melayu, Sumatera, dan Kalimantan, tempat persinggahan dalam perjalanan naik haji ke Mekah, serta pusat penyebaran pengetahuan dan informasi penting. Pada 1824, lima tahun setelah Singapura berdiri, Inggris dan Belanda menandatangani perjanjian pembagian kegiatan dagang dan pengaruh politik masing-masing di “Asia Tenggara Maritim”. Perjanjian itu membuahkan perkembangan politik baru yang dampaknya masih terasa hingga hari ini. Timbullah konsep “Malaya” (British Malaya. Yang mencakup Straits Settlements, Federated dan Unfederated Malay States) serta konsep “Hindia Belanda” (Netherlandsch Indie) dimana kekuasaan inggris dan Belanda kian melebar dan merupakan cikal bakal Negara Indonesia dan Malaysia dewasa ini.

    Orang Bugis yang hidup di tengah-tengah kedua wilayah itu, tentu saja, terkena pula imbas arus perubahannya. Sejak 1824 hingga awal abad ke-20, Belanda berusaha keras untuk memperkuat pengaruh di Sulawesi Selatan,baik pada daerah yang betul-betul berada dibawah kekuasaan mereka (yang masih bisa dihitung jari), maupun pada daerah-daerah lain yang relative masih bebas. Pada periode colonial selanjutnya, antara 1906-1942, Belanda kemudian berhasil mengadakan perubahan radikal dalam organisasi politik masyarakat Sulawesi Selatan seluruhnya melalui konsep yang disebut “penguasaan tidak langsung”.

    Pada pertengahan abad ke-20, ketika perubahan besar-besaran terjadi di seluruh penjuru dunia, banyak cendekiawan pribumi serta antropolog Barat cenderung membayangkan tradisi masa kilam sebagai cerminan ideal mengenai bagaimana suatu warisan budaya berhasil bertahan selama-lama berabad-abad tanpa berubah dan menyayangkan apabila hal itu tidak dipertahankan terus menerus. Orang Bugis sendiri memang selamanya merupakan orang yang sangat sadar akan sejarah mereka, dan menjunjung tinggi naskah-naskah yang membicarakan “orang dulu” (to-riolo), serta “adat yang telah ditetapkan” (ade’ pura onro-e). Itu sebabnya, dalam konteks zaman pancaroba ini, para cendekiawan Bugis makin cenderung mengkampanyekan nilai-nilai tradisional kepada generasi muda. Sementara itu, para pembesar makin cenderung menyelenggarakan pesta perkawinan adat besar-besaran yang seolah-olah menghidupkan kembali perkawinan kerajaan pada masa lalu. Atau, pemerintah setempat mengusahakan pembangunan museum etnografi dan museum terbuka. Sedangkan para antropolog, arkeolog, dan sejarawan, dihimbau untuk menggali khazanah budaya masa lampau mereka. Transisi masyarakat Bugis dari era tradisional ke era modern sebenarnya melewati proses panjang dan kompleks. Banyak unsure kebudayaan warisan masa lalu yang masih tetap hidup. Ada pula yang perlahan-lahan mengalami proses transformasi yang lambat sejak abad sebelumnya lalu menjelma menjadi sesuatu yang baru—meskipun tetap ada jejak kesinambungannya dengan masa silam—dan kini menjadi bagian dari kebudayaan Bugis modern. Namun, ada pula unsure-unsur budaya zaman masa lampau yang sudah lenyap sama sekali. Selanjutnya, objek-objek, norma, pola-pola perilaku yang sama sekali baru telah dan masih terus muncul menggantikannya. Sebagian besar diantaranya tidak lagi berkaitan dengan cirri khas orang Bugis dan hanya merupakan pengaruh dari suatu budaya dunia dalam wujud ke-sulawesi-selatan-an, ke-indonesia-an, dan ke-asia-tenggara-an. Benang-benang budaya aneka warna tersebut kemudian tersulam menjadi layar pancawarna yang melatarbelakangi budaya Bugis masyarakat Bugis dewasa ini.

    Dalam bagian ini, saya akan menyajikan suatu gambaran tentang keadaan yang pernah berlaku disekitar akhir abad ke-19 dengan memaparkan aspek-aspek utama kehidupan sosial, spiritual, mental, dan material, dengan mencatat apa yang masih tersisa daripadanya hingga hari ini, meski sejak itu telah terjadi banyak perubahan. Istilah “tradisional” yang digunakan pada bab-bab berikut ini hanya mengacu pada realitas itu. Pada bagian akhir buku ini, saya akan menbahas transformasi dan inovasi kontemporer yang telah terjadi dan yang menjadi pijakan untuk membangun dunia Bugis masa depan.

    B. Kekerabatan, Gender, dan Perkawinan

    Dalam masyarakat mana pun, hubungan kekerabatan merupakan aspek utama, baik karena dinilai penting oleh anggotanya maupun karena fungsinya sebagai struktur dasar yang akan membentuk suatu tatanan masyarakat. Pengetahuan mendalam tentang prinsip-prinsip kekerabatan sangat diperlukan guna memahami apa yang mendasari berbagai aspek kehidupan masyarakan yang dianggap paling penting oleh orang Bugis dan yang saling berkaitan dalam membentuk tatanan sosial mereka. Aspek tersebut antara lain adalah perkawinan, hirarki sosial, kekuasaan, pengaruh pribadi.

    1. Sistem Kekerabatan

    Sebagaimana umumnya masyarakat Austronesia, khususnya orang-orang Nusantara seperti orang Melayu, Jawa, Kalimantan, dan Filipina, orang Bugispun menganut sistem kekerabatan bilateral atau dalam bahasa Inggris desebut juga cognatic. Kelompok kekerabatan bilateral seseorang ditelusuri melalui garis keturunan dari pihak ayah maupun ibu. Suatu hal yang umum pula berlaku dikalangan masyarakat Eropa, meskipun tidak berlaku universal. Sebaliknya, sistem kekerabatan kebanyakan masyarakat non-Eropa, yang banyak diteliti ahli-ahli antrpologi, pada umumnya menganut prinsip patrilineal atau matrilineal.

    Terminology kekerabatan masyarkat Bugis cukup sederhana dan tergolong sistem kekerabatan “angkatan”. Seluruh kerabat yang berasal dari garis generasi yang sama, baik laki-laki maupun perempuan, saudara laki-laki, saudara perempuan, atau sepupu, dimasukkan ke dalam kategori “saudara” (sumpung lolo,disebut juga silessureng atau seajing ‘satu asal’). Yang paling penting adalah apakah dia lebih tua (kaka’) atau lebih muda (anri’). Begitu pula halnya dengan generasi dibawahnya, panggilan untuk mereka sama, yakni ana’ (anak), termasuk untuk anak kandung, kemenakan laki-laki dan perempuan, anak dari sepupu laki dan perempuan, meskipun ada istilah anaure’(ana’ure) untuk kemenakan laki-laki dan perempuan. Selanjutnya, baik keturunan ana’ maupun keturunan anaure’ akan disapa sebagai eppo (cucu). Sementara itu, semua kerabat yang seangkatan dengan ayah atau ibunya, akan disapa paman (ama-ure atau amure) atau bibi (ina-ure). Sedangkan orangtua dari bapak, ibu, paman dan bibi akan disapa nene’ (yang berarti kakek ataupun nenek).

    Sementara itu, biasanya akan sulit menentukan apakah orang yang disapa dengan sapaan-sapaan tersebut diatas benar-benar memiliki hubungan kekerabatan dengan mereka. Hal itu disebabkan adanya kecenderungan untuk secara otomatis menyapa orang-orang dekat, meskipun tidak memiliki hubungan kekerabatan, dengan sapaan sesuai generasi mereka masing-masing. Misalnya, seorang bapak akan otomatis menyapa putra sahabatnya dengan sapaan ana’, bukan karena adanya hubungan darah dengannya, akan tetapi karena dia berasal dari generasi satu tingkat dibawahnya (satu generasi dengan ana’nya). Tentu saja ada juga sapaan untuk menentukan secara pasti hubungan kekerabatan satu sama lain, yakni dengan menambahkan istilah khusus. Misalnya: silessureng ri aleku’ ‘saudara saya sendiri’ atau anri’ ipa’ku’ ‘adik ipar saya’, atau, dalam sastra kuno ina teng-ncajiangnga-a’, ‘ibu yang tidak melahirkan saya’ sebagai pengganti inaure’ yaitu ‘bibi’.

    Dalam sistem bilateral, dimana baik garis keturunan ibu maupun ayah diperhitungkan, konsep terpenting bukanlah marga—yang tidak dikenal oleh masyarakat Bugis—akan tetapi “percabangan” dari kedua sisi. Dengan kata lain, setiap orang memiliki dua garis nenek-moyang, yakni garis nenek-moyang dari bapak dan ibu. Dari kedua garis tersebut akan terbentuk jaringan sepupu dari kedua belah pihak yang memiliki dua pasang kakek-nenek, yakni orang tua bapak dan orangtua ibu mereka yang disebut nene’ wakkang ‘kakek-nenek pangkuan’. Kemudian kedua pasang kakek-nenek itu memiliki pula orangtua yang berjumlah empat pasang (nene’ uttu’ ‘kakek-nenek lutut’). Lalu keempat pasang orangtua kakek nenek itu memiliki pula orangtua yang berjumlah delapan pasang (nene’ watang mpiti’, ‘kakek-nenek betis). Seterusnya delapan pasang orangtua dari orangtua kakek-nenek itu juga memiliki orang tua yang jumlahnya enam belas pasang (nene’ palakaje’ ‘kakek-nenek telapak kaki’).

    Dua pasang kakek-nenek menurunkan sepupu pertama. Empat pasng orang tua dari kakek-nenek menurunkan sepupu kedua. Delapan pasang orang tua dari orang tua kakek-nenek menurunkan sepupu ketiga. Dan, akhirnya enam belas pasang orang tua dari orang tuanya orang tua kakek-nenek menurunkan sepupu empat kali. Secara berturut-turut, sepupu pertama, kedua, ketiga, dan keempat dalam bahasa Bugis disebut sappo siseng, sappo wekka duasappo wekka tellu, dan sappo wekka eppa’.

    Jadi, setiap orang dikelilingi oleh kerabat yang berasal dari dua cabang, garis bapak maupun garis ibu, mulai dari yang paling dekat, misalnya dari cabang kedua orang tuanya (saudara, kemenakan, cucu-kemenakan), hingga kerabat jauh yang berasal dari lima lapis nenek moyang yang menurunkan berbagai lapis sepupu mereka. Hubungan kekerabatan tersebut biasanya disebut dengan istilah a’seajingeng (memiliki asal-usul sama). Jauh dekatnya hubungan kekerabatan ditentukan oleh lapisan leluhur keberapa yang menghubungkan mereka. Hubungan berdasarkan nenek moyang tersebut, baik dari pihak bapak maupun ibu, menyatukan mereka dalam suatu sistem kekerabatan dan memisahkan mereka dengan “orang lain” (tau laeng). Masyarakat Bugis tidak memiliki suatu kelompok kerabatan bilateral yang mengutamakan salah satu pasangan nenek-moyang saja, sebagimaa halnya orang Toraja tetangga mereka yang hanya memusatkan inti kelompok keluarga masing-masing pada sebuah rumah keluarga (tongkonan). Yang terpenting bagis masyarakat Bugis adalah dicapainya derajat yang tinggi dalam sistem stratifikasi sosial.

    2. Perkawinan

    Bagi masyarakat Bugis, perkawinan berarti siala ‘saling mengambil  satu sama lain’. Jadi, perkawinan adalah ikatan timbal-balik. Walaupun mereka berasal dari status social berbeda, setelah menjadi suami-isteri mereka merupakan mitra. Hanya saja, perkawinan bukan sekedar penyatuan dua mempelai semata., akan tetapi suatu upacara penyatuan dan persekutuan dua keluarga yang biasanya telah memiliki hubungan sebelumnya dengan maksud kian mempereratnya (ma’pasideppe’ mabela-e atau ‘mendekatkan yang sudah jauh’). Dikalangan masyarakat biasa,  perkawinan umumnya berlangsung antarkeluarga dekat atau antarkelompok patronasi yang sama (masalaj “Patron-Klien” akan dibahas lebih lanjut), sehingga merea sudah saling memahami sebelumnya. Oleh karena itu, mereka yag berasal dari daerah lain, cenderung menjalin jalur perkawinan. Dengan kata lain, perkawinan adalah cara terbaik membuat orang lain menjadi “bukan orang lain” (tennia tau laeng). Hal ini juga sering ditempuh dua sahabat atau mitra usaha yang bersepakat menikahkan turunan mereka, atau menjodohkan anak mereka sejak kecil.

    Idealnya, perkawinan dilangsungkan dengan keluarga sendiri. Perkawinan antarsepupu, sepupu paralel (yaitu keduanya melalui sisi ibu atau melalui sisi bapak) atau pun sepupu silang yaitu satu dari sisi ibu dan satunya lagi dari bapak, dianggap sebagai perjodohan terbaik. Ada silang pendapat di kalangan masyarakat Bugis tentang lapisan sepupu keberapa yang boleh dan yang tidak boleh dikawini. Banyak yang menggap bahwa perkawinan dengan sepupu satu kali (perkawinan semacam ini disebut siala marola) “terlalu panas”, sehingga hubungan seperti itu jarang terjadi, kecuali dikalangan bangsawan tertinggi. “Darah Putih” yang mengalir dalam tubuh mereka dan harus dipelihara membuat mereka melakukan hal itu, sebagaimana halnya tokoh-tokoh dalam cerita La Galigo. Sementara masyarakat biasa lebih menyukai perkawinan dengan sepupu kedua (siala me’meng), lalu sepupu ketiga dan keempat.

    Hal penting lainnya adalah pasangan yang hendak menikah tidak boleh berasal dari generasi atau angkatan yang berbeda. Pasangan yang hendak menikah sebaiknya berasal daru generasi atau “angkatan” yang sama. Perkawinan antara paman dan kemenakan perempuan, atau bibi dan kemenakan laki-laki dilarang, dan hubungan badan diantara mereka akan dianggap sebagai salimara’(hubungan sumbang, inses). Sementara itu, perkawinan dengan anak dari sepupu keberapapun sebaiknya dihindari. Naskah silsilah yang ada, menunjukkan bahwa aturan ini ditegakkan dengan sangat ketat, dan jarang sekali terjadi pelanggaran. Mengingat seringnya para bangsawan, begitu pula anak-anak mereka, kawin dengan perempuan yang jauh lebih muda dari mereka, menyebabkan banyak putra bangsawan yang sebaya usianya dengan kemenakan mereka. Namun, tidak ada paman/bibi yang kawin dengan kemenakan mereka walaupun usia mereka sebaya.

    Bagi kaum bangsawan, faktor lain yang harus diperhatikan yang paling penting, makah adalah  kesesuaian derajat antara pihak laki-laki dan perempuan. Berbeda dengan bangsawan laki-laki yang diperbolehkan kawin dengan pasangan berstatus lebih rendah, bangsawan sama sekali tidak diperbolehkan menikah dengan orang yang lebih rendah derajatnya. Semakin tinggi status kebangsawan seseorang, semakin ketat pula aturan yang diberlakukan. Hal itu masih tetap berlaku hingga kini. Namun, dikalangan bangsawan rendah, kompromi kian hari kian cenderung terjadi. Istri utama pria bangsawan tinggi (yang tidak mesti istri pertama) biasanya memiliki derajat kebangsawanyang sama dengan suaminya. Sementara istri-istri lainnya bisa berasal dari kalangan lebih renda, atau bahkan orang biasa.

    Selama system politik Bugis tradisional berlaku, prinsip ini tetap dipegang teguh, karena akan berdampak pada status keturunan mereka dan hak pewarisan tahta (hal ini akan dibahas pada bagian lain bab ini). Namun demikian, pertimbangan hrta kekayaan sewaktu-waktu bisa menyebabkan diabaikannnya prinsip tersebut. Dahulu, khususnya dikalangan orang Wajo’, laki-laki dari keluarga kaya acapkali diizinkan mengawini perempuan berstatus lebih tinggi, setelah melalui proses mang’elli dara atau ‘membeli darah’, yakni membeli derajat (kebangsawan).

    Dalam proses perkawinan, pihak laki-laki harus memberikan mas kawin kepada perempuan. Mas kawin terdiri atas dua bagian. Pertama sompa (secarah harfiah berarti “persembahan” dan sebetulnya berbeda dengan mahar dalam islam) yang sekarang disimbolkan dengan sejumlah uang rella’(yakni rial, mata uang Portugis yang sebelumnya berlak, antara lain di Malaka). Rella ditetapkan sesuai status perempuan dan akan menjadi hak miliknya. Kedua, dui’ menre’(secara harfiah berarti ‘uang naik’) adalah “uang antaran” pihak pria kepada keluarga pihak perempuan untuk digunakan melaksanakan pesta perkawinan. Besarnya dui’ menre’ ditentukan oleh keluarga perempuan. Selain itu ditambahkan pula lise’ kawing (hadiah perkawinan), dalam Islam disebut mahr atau hadiah kepada mempelai perempuan, biasanya dalam bentuk uang. Akhir-akhir ini mahar kadang-kadang diganti dengan mushaf Alquran. Sebelum masa penjajahan Belanda, laki-laki dari luar wilayah tempat tinggal perempuan harus membayar pajak pa’lawa tana (secara harfiah ‘panghalang tanah’) kepada penguasa setempat yang besarnya sesuai sompa.

    3. Pesta pernikahan

    Banyak tahapan pendahuluan yang harus dilewati sebelum pesta pernikahan (ma’pabotting) dilangsungkan. Jika lelaki belum dijodohkan sejak kecil (atau sebelum dia lahir), maka keluarganya akan mulai mencari-cari pasangan yang kira-kira dianggap sesuai untuknya. Bagi kaum bangsawan, garis keturunan 1istilah <<harga perempuan>> (bride price) yang sering digunakan antropolog Barat kurang tepat, karena memberi konotasi jual beli perempuan yang berbeda dengan kenyataan sebenarnya. Perempuan dan laki-laki diteliti secara seksama untuk mengetahui apakah status kebangsawan sesuai atau tidak. Jangan sampai tingkat sipelamar lebih rendah dari tingkat perempuan yang akan dilamar.

    Langkah pendahuluan ini ditugaskan kepada para perempuan paruh baya, yang akan melakukan kunjungan biasa kerumah pihak perempuan untuk mencari tahu seluk-beluknya. Tahap ini disebut ma’manu-manu’ yaitu ‘berbuat seperti burung-burung’ (yang terbang kian kemari untuk mencari makan). Stelah itu, baru dilakukan kunjungan resmi pertama, untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara tidak langsung dan halus (“ada yang ingin mendekati anda… sudah adakah yang berbicara dengan anda?… sudah adakah yang punya?… apakah pintu masih terbuka?…), agar kedua belah pihak tidak kehilangan muka seandainya pendekatan itu tidak membuahkan hasil. Jika keluarga pihak perempuan memberi lampu hijau, kedua pihak kemudian menentukn hari untuk mengajukan lamaran (ma’duta) secara resmi. Selama proses pelamaran berlangsung, garis keturunan, status, kekerabatan, dan harta kedua calon mempelai diteliti lebih jauh, sambil membicarakan sompadan jumlah uang antaran (dui’ menre’) yang harus diberikan oleh pihak laki-laki untuk biaya pesta pernikahan pasangannya, serta hadiah persembahan kepada calon mempelai perempuan dan keluarganya. Setelah semua persyaratan ini dise-pakati, ditentukan lagi hari pertemuan guna mengukuhkan (ma’pasiarekkeng ‘saling menyimpilkan’) kesepakatan tersebut. Pada kesempatan itu hadiah pertunganan kepada mempelai perempuan (pa’sio’ ‘pengikat’) dibawa, antara lain berupa sebuah cincin, beserta sejumlah pemberian simbolis lainnya, misalnya tebu, sebagai simbolis sesuatu yang manis, buah nangka (panasa)diibaratkan harapan (minasa) dan lain-lain sebagainya. Pihak laki-laki diwakili kerabat dekat atau kenalan yang dihormati orang tuanya, tetapi kedua orang tua dan calon pengantin sendiri tidak ikut hadir. Juru bicara pihak laki-laki kemudian kembali membahas hal-hal yang telah disepakati, kemudian dijawab oleh wakil pihak perempuan, lalu ditentukanlah hari pesta pernikahan. Setelah itu, hadiah-hadiah yang telah dibawah diedarkan kepada wakil pihak perempuan, selanjutnya dibawa ke kamar calon mempelai perempuan.

    Pesta pernikahan berlangsung dua tahap. Pertama acara pernikahan (ma’pabotting atau me’nre’ botting ‘naiknya mempelai’), dilaksanakan dirumah mempelai perempuan tanpa dihadiri kedua orang tua mempelai laki-laki. Kedua ma’parola (membawa pengantin perempuan kerumah mertuanya) yang kadang-kadang dilakukan beberapa hari kemudian. Pada hari pernikahan, mempelai pria datang ke acara pesta bersama para pengiringnya, dan didahului penyerahan sompa. Pada zaman dahulu pengantin pria harus melewati sejumlah rintangan simbolik (lawa botting), seperti melewati pasukan kuda berlapis atau pertunjukan silat, dan baru bisa lewat setelah menyerahkan hadiah kepada pengawal. Untuk pria bangsawan tertinggi ada lagi upacara khusus, yang bagian utamanya disebut ma’lawolo, suatu dialog antara pihak pengantin pria dengan seorang bissu yang mewakili keluarga perempuan. Jika sang bissu sudah yakin bahwa pengantin pria benar-benar turunan kerajaan Toppo Tikka, Wewang Nriwu’, dan Luwu’, mewakili arah timur, barat, dan tengah dunia, maka dia perlahan-lahan kan menarik lawolo, menuntun mempelai pria naik ke atas rumah di bawah siraman butiran bertitih (bug. Benno). Upacara ini sangat menyerupai upacara pengukuhan seorang raja (Hamonic, “Mallawolo”).

    Setelah mempelai pria berada dalam rumah mempelai perempuan, masih ada beberapa ritual serta halangan fisik dan simbolik yang harus dia lewati sebelum perkawinan dianggap rampung. Pertama-tama dia harus menjalankan tata cara pernikahan yang dalam tradisi Bugis mengikuti ajaran Islam mazhab Syafi’I (yang dalam beberapa aspek berbeda dari tata cara yang diikuti Muhammadiyah). Kecuali mempelai laki-laki, yang harus ada supaya nikah itu sah adalah wali (wakil) mempelai perempuan serta sekurang-kurangnya dua saksi. Yang diprioritaskan menjadi wali adalah ayah pengantin perempuan. Jika ayahnya tidak ada, barulah kakeknya, kemudian saudara lelaki seayah-seibu, atau seayah saja, lalu putra saudara laki-lakinya. Sesudah itu baru kerabat-kerabat terdekat lainnya atau hakim. Sedangkan para saksi dipilih dari lelaki yang patut dihormati. Sebenarnya, wali perempuan yang menikahkannya dengan mempelai lelaki, tetapi biasanya seorang alim (imam, khatib, ustaz, dan sebagainya) bertindak sebagai “juru nikah” atau juru bicara si wali.

    Sesudah mempelai laki-laki mengucapkan kalimat syahadat, juru nikah mengemukakan (ijab) kepada calon suami kesediaan sang wali untuk menikahkan dengannya perempuan yang diwakilinya, dengan ucapan “aku menikahkan kamu dengan Si Anu, dengan mahar sekian”. Lalu lelaki itu menyatakan diri menerima (qabul) dengan ucapan “Aku terima nikahnya Si Anu dengan mahar sekian”. Ucapan itu harus jelas di dengar oleh para saksi, dan, jika perlu, mereka bisa minta supaya diulangi lagi. Setelah itu, bru sah nikahnya menurut ajaran islam.

    Selanjutnya, mempeli juga harus menjalankan ritul-ritual adat sebelum sebelum di sahkan oleh masyarakat sebagai pasangn suami-istri. Misalnya, mempelai laki-laki harus membayar secara simbolis perempuan penjaga pintu kamar mempelai perempuan, harus menyentuh tangan atau pergelangan tangn istrinya (ma’dusa’ jenne’ atau ‘membatalkan air sembahyang’), serta kadang-kadang kedua mempelai secara simbolis “dijahit” dalam satu sarung. Setelah ritual-ritual dijalankan, perkawinan diresmikan di hadapan publik dimn kedua mempelai duduk bersanding (tudang botting atau situdangeng) di pelminn selama beberpa jam sementara tamu yang menyertai laki-laki sertai pra tamu undangan pihak perempuan dijamu makan dan disuguhi bermcam-mcam hiburan. Dahulu, para perkawinan keluarga raja, kedua mempelai bisa duduk selama berhari-hari dihadapan ratusan bahkan ribuan tamu yang menghadiri pesta tersebut,seperti saat raja dan ratu dikukuhkan. Menarik untuk diperhatikan bahwa ritual-ritual adat (sejak saat mempelai lelaki dinikahkan sampai dengan bersanding) dikuasai oleh kaum perempuan, khususnya indo’ botting yang secarah harfiah berarti ‘inang pegantin’ (Melayu, mak andam). Tahap kedua pesta perkawinan, yaituma’parola, dimana pengantin perempuan disambut oleh orang tua suaminya, tidak kalah meriahnya, walau ritual nikah islam dan ritual-ritual adat tentu saja tidak di ulangi lagi.

    Selama duduk bersanding, pasangan ini hanya bisa beristirahat sejenak sekedar untuk makan dan berganti pakaian. Kemudian, sang laki-laki harus melewati sejumlah tahap pada malam pesta dan malam-mlam berikutnya untuk membujuk pasangan barunya. Pertama, agar sang istri memperbolehkannya tidur dikamar yang sama, membuka selubung dan berbincang dengan sang istri, mengijinkannyamendekat, hingga akhirnya bersedia untuk tidur bersama. Proses panjang ini, mengingatkan pada usaha Sawerigading mendekati We Cudai’ dalam La Galigo. Hal itu bisa berlangsung selama berbulan-bulan sebelum kedua mempelai betul-betul berhubungan sebagai pasangan suami-istri. Adakalanya sang perempuan bersikukuh menolak pasangannya, sehingga perkawinan terpaksa kandas dan berakhir dengan perceraian. Bahkan hingga sekarang, proses pendekatan ini bisa menghabiskan waktu berminggu-minggu, dan jika tidak berhasil mereka pun akan bercerai.

    Upacara pesta perkawinan merupakan media utama bagi orang Bugis untuk menunjukan posisinya dalam masyarakat. Misalnya, dengan menjalankan ritual-ritual, mengenakan pakaian, perhiasan, dan pernak-pernik lain tertentu sesuai dengan tingkat kebangsawanan dan status social mereka. Selain itu, identitas, status dan jumlah tamu hadir juga merupakan gambaran luasnya hubungan dan pengaruh social seseorang. Pesta perkawinan juga merupakan ajang bagi pihak keluarga mempelai laki-laki dan mempelai perempuan untuk mempertontonkan kekayaan mereka. Kekayaan keluarga mempelai laki-laki dapat dilihat dari besarnya jumlah dui’ menre’ yang mereka persembahkan kepada mempelai perempuan (Millar, Bungis Wedding: 105-8). 

    Pada akhir abad ke-19, besarnya mas kawin (sompa) di tetapkan sesuai status seseorang. Setiap satuan mas kawin disebut kati (mata uang “kuno”), satu kati bernilai 66 ringgit, sama dengan 88 rial, 8 uang (8/20 rial) dan 8 duit (8/12 uang), dan setiap kati harus ditambah satu orang budak yang bernilai 40 rial dan eekor kerbau yang berharga 25 rial. Sompa bagi perempuan bangsawan kelas tinggi sompa bocco’ atau ‘sompa puncak’ bisa mencapai 14 kati, sedangkan perempuan bangsawan tingkat rendah hanya satu kati, “orang baik” (tau deceng). System perhitungan ini masih digunakan hingga sekarang, tetapi sejak masa Kemerdekaan Indonesia mata uang ringgit (dulu senilai 2,5 gulden Belanda) yang dijadikan satuan perhitungan, jadi satu kati, yang bernilai 66 ringgit, sama dengan 165 rupiah. Mengingat kadar infilasi Indonesia sejak tahun 1960-an dan turunnya nilai rupiah, sudah jelas uang sompa tidak lagi berharga. Namun sompa itu masih penting artinya, khususnya bagi keluarga yang berstatus tinggi karena hadiah-hadiah tambahannya, termasuk di dalamnya hadiah simbolis (batang tebu, labu, buah nangka, anyaman-anyaman, dan bermacam-macam kue tradisional) yang pada pesta kawin besar diarak bersama mempelai laki-laki ke rumah mepelai perempuan oleh pengantar adat. Disamping itu, jumlah uang antaran (dui’ menre’) makin cenderung naik. Angka yang dicatat oleh Sunan Millar, dalam studinya tentang perkawinan suku Bugis pada tahun 1975 menunjukkan bahwa besarnya mas kawin sebenarnya dibulat-kan, sementara dui’ menre’ berkisar antara Rp 2.000 sampai Rp 500.000 (Millar, Bugis, Wedding : 105-7). Sejak memudarnya kekuasaan politik tradisional, tak ada lagi berwenang menegakkan aturan adat, sehingga banyak orang kaya dari kalangan biasa, yang cukup “tebal muka” menghadapi gunjingan masyarakat, mulai memakai simbol-simbol social dalam perkawinan yang dahulu hanya berlaku bagi kalangan bangsawan.

    4. Gender dan Peran Gender 

    Dalam masyarakat Bugis, sebagaimana lazimnya masyarakat lain di dunia, lelaki dan perempuan memiliki wilayah aktivitas masing-masing. Namun, pada hakekatnya orang Bugis tidak menganggap laki-laki maupun perempuan lebih dominan satu sama lain. Kriteria pembedaan peran gender lebih berdasarkan kecenderungan social dalam perilaku individu umumnya (Hamzah, “femmes Bugis”). Orang bugis menerapkan prinsip kesetaraan gender dalam system kekerabatan bilateral mereka, dimana pihak ibu dan bapak memiliki peran setara guna menentukan garis kekerabatan, sehingga mereka menganggap laki-laki maupun perempuan mempunyai peran sejajar (walaupun berbeda) dalam kehidupan social. Perbedaan inilah yang menjadi dasar kemitraan mereka dalam menjalankan peran masing-masing.

    Meskipun masuknya islam telah memperkenalkan dan mendorong perilaku yang seolah-olah menempatkan laki-laki lebih menonjol daripada perempuan, tetapi tingkah laku tersebut tidak menggambarkan dominasi kaum pria atau marjinalisasi kaum perempuan (Millar, “Interpreting Gender”). Sebaliknya, kebebasan yang dialami perempuan bugis dan tanggung jawab yang mereka emban, mengundang rasa takjub para pengamat Barat abad ke-19. Sir Stamford Raffles, misalnya, pada 1817 menulis bahwa di Sulawesi selatan perempuan “tampil lebih terhormat dari yang bisa di harapkan dari tingkat kemajuan yang di capai peradaban Bugis secara umum, dan perempuan tidak mengalami kesulatan hidup yang keras, kemelaratan, atau kerja berat, yang telah ,menghambat kesuburan kaum mereka di bagian dunia lain”(Reffles, History of java, lampiran F, “Celebes” : CLXXIX). Sementara Crawfurd menulis, “perempuan tampil di muka umum adalah sesuatu yang wajar, mereka aktif dalam suatu bidang kehidupan, menjadi mitra diskusi pria dalam segenap urusan public, bahkan tak jarang menduduki tahta kerajaan, padahal menjadi raja di tentukan lewat proses pemilihan” (Crawfurd, History:74).

    Pada awal perkawinan, pasangan pengantin baru biasanya tinggal di rumah orang tua istri, sehingga tidak memberi ruang kepada suami untuk mendominasi istrinya. Sementara itu, ruang dalam rumah pada hakikatnya di bagi berdasarkan gender, bagian depan menjadi wilayah kaum pria, sedang ruang belakang milik kaum perempuan. Setiap bagian ada pintu masuknya sendiri. Hanya saja, jika perempuan dalam rumah, kerabat perempuan, dan perempuan lainnya sering masuk lewat pintu depan, maka laki-laki sangat jarang masuk rumah lewat pintu belakang, apalagi pria asing. Perempuan pun sering menghabiskan waktu di bagian depan rumah, kecuali jika ada tamu laki-laki bukan kerabat, sebaliknya, meskipun dapur di bagian belakang adalah wilayah perempuan, tetapi lelaki kadangkala masuk, khususnya waktu makan bila tidak ada tamu lelaki selain keluarga atau teman dekat. Daerah kekuasaan kaum perempuan lain adalah loteng, tempat menyimpan padai, yang pada zaman dahulu di gunakan sebagai tempat tidur anak gadis yang belum menikah, terutama jika ada tamu pria bermalam. Pembagian rumah berdasarkan gener paling tampak jika ada jamuan makan resmi atau saat laki-laki yang bhukan kerabat datang berkunjung. Biasanya jamuan yang hanya diikuti laki-laki dilangsungkan di bagian depan, dan perempuan hanya muncul membawa makanan atau penganan. Pemisahan ini tidak bersifat ketat dan permanen tetapi pengaturannya agak fleksibel. Tujuannya menjaga perempuan dari gangguan pria asing. Secara umum boleh dikatakan bahwa rumah sebenarnya adalah bagian perempuan, bukan bagian laki-laki, dan biasanya di wariskan kepada anak perempuan bungsu.

    Menurut pepatah orang Bugis, wilayah perempuan adalah sekitar rumah, sedangkan ruang gerak kaum pria “menjulang hingga ke langit”. Kata bijak tersebut juga di jelaskan peran laki-laki dan perempuan dalam kehidupan berumahtangga. Baik ia petani, nelayan, tukang kayu, atau pedagang, ruang aktivitas utama laki-laki adalah di luar rumah. Dialah tulang punggung penghasilan keluarga dan dialah yang bertugas mencari nafkah (sappa’ laleng atuong). Sementara perempuan sebagai ibu (indo’ ana’) menjalankan kewajibannya menjaga anak, menumbuk padi, memasak, mencuci, menyediakan lauk-pauk dan berbelanja keperluan keluarga. Pekerjaan utamanya dalam rumah dan sekitarnya serta mengatur dan membelanjakan pendapatan suami selaku “pengurus yang bijaksana” (pa’taro malampe’ nawa-nawa-e).

    Gambaran diats belum memperlihatkan potret utuh. Tidak jarang perempuan ikut mencari nafkah untuk menghidupi keluarga dengan membuat kerajinan rumah tangga seperti tetunan, sulam, tikar, atau keranjang, atau membuat penganan kemudian menjualnya di pasar atau menitipkannya di warung dekat rumah. Malah, istri para pelaut mengambil alih tanggung jawab suaminya menghidupi keluarganya saat suaminya pergi melaut. Terkadang pelayaran ini memerlukan waktu berbulan-bulan, dan selama pergi sang suami hanya menghidupi dirinya sendiri, setelah kembali kedarat barulah ia menyerahkan hasil yang diperoleh untuk keluarga-biasanya tidak dalam bentuk uang tunai, lebih sering dalam bentuk pakaian, perhiasan, perabot rumah tangga atau barang-barang mewah. Kaum perempun juga ikut beperan dalam pertanian, khususnya pekerjaan yang membutuhkan banyak orang, misalnya pada musim tanam atau panen, atau pekerjaan yang tidak terlalu berat seperti menyiangi rumput. Laki-laki kadang turun tangan pula melakukan tugas rumah tangga yang lazim dijalankan perempuan, misalnya memasak saat berada di gubuk lading, atau istrinya sakit, atau waktu ada pesta, dimana aktivitas masak-memasak dilakukan di luar rumah dan banyak sekali nasi atau daging dipersiapkan untuk menjamu para tamu.

    Ada pula pekerjaan yang biasanya hanya boleh dilakukan oleh perempuan atau sebaliknya. Pekerjaan khusu pria mencakup mengolah lahan, menabur benih, memancing di tengah laut (perempuan kadang memancing atau menjaring ikan di pinggir laut), mengembala ternak, mencari kayu di hutan, mengumpulkan air nira untuk di buat tuak, berburu, bertukang kayu, membangun rumah atau perahu dan mengolah besi, emas, atau perak. Tugas yang di bebankan kepada perempuan antara lain menumbuk padi, menenun dan sejenisnya serta membuat tembikar. Pembagian kerja ini tidak berarti bahwa perempuan hanya di beri pekerjaan yang ringan sedangkan laki-laki mendapat bagian yang berat, menumbuk padi menguras tenaga yang tidak sedikit, sedangkan pengrajin emas yang tergolong pekerjaan halus adalah pekerjaan khusu laki-laki. Yang penting, bukan perbedaan tugas melainkan saling melengkapiny, perbedaan itulah yang mendasari kemitraan suami-istri dalam saling menopang kepentingan mereka masing-masing (sibali perri) dan saling merepotkan (siporepo).

    Perbedaan gender memang berlaku pula dalam hal cara berpakaian, sikap dan gerak-gerik fisik, serta tingkah laku, walau batasannya kerap tumpang tindih Dan sangat fleksibel. Berbeda dengan penduduk Nusantara lainnya, di mana kaum laki-laki memakai sarung sementara perempuan mengenakan kain panjang, pakaian sehari-hari orang Bugis, laki-laki maupun perempuan adalah sarung; yang berbeda hanya cara ikatnya. Dalam acara resmi, perempuan Bugis berpakaian adat tidak mengikat sarung mereka, tetapi menyelempangkannya sebagian di atas lengan mereka, sehingga tampak elegan tetapi tidak begitu praktis untuk bergerak. Umumnya, kaum lelaki mengikatkan sarungnya di pinggang meski tidak memakai baju. Sedangkan, sejak masuknya Islam, perempuan biasanya mengikat sarung mereka di ketiak atau kadang-kadang pada salah satu bahu (meski hingga tahun 1960-an beberapa perempuan di kampung, tua maupun muda, masih bertelanjang dada jika berada dalam rumah) apabila mereka tidak berbaju. Mereka juga kadang-kadang memakai sarung kedua sebagai penutup kepala jika keluar rumah. Kebiasaan ini terlihat di daerah-daerah di mana pengaruh Islam cukup kuat, tetapi tampaknya hal itu bukan hanya karena pengaruh ajaran Islam semata, karena kebiasaan seperti itu sudah disebut-sebut dalam La Galigo.

    Sikap duduk juga berbeda. Di atas lantai atau tikar, laki-laki duduk bersila sementara perempuan biasanya duduk dengan kedua kaki ditekuk ke samping. Pada acara resmi, satu kaki ditekuk ke dalam dan satunya dengan lutut berdiri. Laki-laki umumnya mengangkat beban dengan cara memikul di bahu (Lempa), sementara perempuan menjunjungnya (‘jujjung) di atas kepala. Ada batasan tertentu bagi kaum hawa dalam berperilaku, meski sikap agresif sampai tingkat tertentu dianggap wajar bagi pria. Sebagian besar laki-laki menyelipkan badik, yang disebut kawali, di balik pakaian, sehingga pertengkaran mulut kerap berakhir dengan pertumpahan darah. Perempuan juga sering membawa kawali dalam perjalanan tetapi hanya untuk menjaga diri.

    Meski perbedaan perilaku berdasarkan gender di kalangan orang Bugis memang ada, namun fleksibilitasnya tergambar lewat ungkapan “Meskipun dia laki-laki, jika memiliki sifat keperempuanan, dia adalah perempuan; dan perempuan, yang memiliki sifat kelaki-lakian, adalah lelaki” (mau’ni naworoane-mua na makkunrai sipa’na, makkunrai-mui, mau’ni makkunrai na woroane sipa’na, woro ane-mui). Sebagian contoh penerapan prinsip ini terlihat dengan penunjukan perempuan sebagai pemimpin politik atau panglima perang. Figure semacam ini bukan hanya banyak ditemukan dalam sastra Bugis, tetapi dalam sejarah puntidak sedikit ditemukan tokoh perempuan pejuang. Contoh paling terkemuka seperti di kemukakan Crawfurd,tentang seseorang perempuan  makasar  (dalam hal ini dapat disamakan perempuan bugis) yang memerintah kerajaan kecil lipukasi tahun 1814:

    Tak lama sebelum saya betemu dengannya, dia bersama prajuritnya baru pulang, dari medan laga menghadapi musuh.dengan angkuh, ia mencela kelambanan mereka dalam berperang,dan meminta tombak, untuk member contoh semangat pasukan itu pun bangkit kembali, lalu mereka maju ke medan perang, dan meraih kemenangan

    Dalam perjuangan kemerdekaan melawan penjajah belanda, perempuan juga ikut berperang. Selain itu, mereka juga bisa di temukan dalam barisan pasukan pemberontak periode 1949-1965 baik dalam tentara islam Indonesia pimpinan kahar muzakkar maupun tentara keamanan rakyat di bawah pimpinan Utman Balo. Perempuan yamg menjadi penguasa kerajaan juga bukanlah hal baru dalam sejarah Bugis, sebuah fakta yang mengundang rasa takjub Crawfurd:

    Perempuan di mintai pendapat oleh kaum lelaki dalam semua urusan pemerintahan, dan kerap kali di angkat menjadi raja, padahal pengangkatan raja di lakukan melalui proses pemilihan .. pada acara-acara kerajaan, perempuan juga hadir di teengah kaum pria, duduk dalam siding yang membahas masalah-masalah keegaraan,bahkan berhak member pertimbangan. Saat ini, kerajaan luwu di Sulawesi selatan di pimpin istri raja soppeng, tetapi raja soppeng tidak berhak mencampuri uusan dalam kerajaan luwu, yang di perintah oleh istrinya, ratu kerajaan soppeng. (Crawfurd,history 74)

    Beberapa tahun kemudian, brooke menulis dngan nada serupa:

    Semua jabatan kerajaan, termasuk arung matoa terbuka bagi perempuan, dan mereka benr-benar mengisi posisi penting di dalam pemerintahan, empat dari enam pembesar utama Wajo’ adalah perempuan. Mereka tampil di muka umum layaknya seorang pria, menygang kuda, memerinntah, dan juga mengunjungi orang asig. Tanpa harus sepegetahuan atau memita izin suaminya. (brook, narrative of esener 75)

    Yang di maksud di sini oleh brooke adalah arung mathoa, ‘raja enam’ yang membentuk dewan pemerintahan karajaan Wajo’.

    Meskipun pada tingkat kampung pemimpin informal semuanya laki-laki, namun sebagai penghormatan atas sifat-sifat keibuan yang mereka tunjukkan kepada masyarakat kampung, maka mereka biasanya di sebut ina tau ‘ibu orang banyak’. Ada juga beberapa contoh perempuan bangsawan Bugis yang menjabat sebagai kepala desa bahkan camat. Alasan mengapa perempuan bangsawan diberi peluang untuk menduduki kursi pemerintahan mungkin berkaitan dengan prinsip-prinsip dasar interaksi social lelaki dengan perempuan, hasil perpaduan ajaran agama Islam dan adat pra-Islam. Jika seorang perempuan (muslimah) bisa diperkenankan tinggal seatap dengan lelaki muhrimnya, seperti kakek langsung, paman atau saudara laki-laki, maka perempuan bangsawan diijinkan membawahi laki-laki dari status lebih rendah yang tak boleh dinikahinya. Jika sampai terjadi hubungan hubungan badan, hukumnya baik menurut  aturan sosial maupun agama, sama beratnya dengan hukuman bagi para pelaku sumbang.

    5. Calabai ‘,calalai’ dan Bissu

    Mebicarakan gender orang Bugis tidak akan pernah lengkap tanpa membahas keberadaan dan peran penting “jenis kelamin ketiga” yakni calabai’ dan “jenis kelamin ke empat” yakni calali’ (yang paling kurang dikenal orang luar). Calabai’ secara etimologi berarti ‘perempuan palsu’ atau ‘hampir perempuan’ adalah laki-laki yang bertingkah laku seperti perempuan. Sedangkan calalai’ yang berarti ‘pria palsu’ atau ‘hampir pria’ adalah perempuan yang bertingkah laku seperti laki-laki. Tulisan yang mengangkat tema tema tersebut masih sangat terbatas, selain penjelasan singkat Matthes pada 1872 (Bissoei) serta sejumlah penelitian Hamonic (“Travessissement et besexualite)” : “Fausses femmes” : Laguage do dieux: 48) dan Pelras (Transvertiten). James Brooke juga menyinggungnya dalam jurnal perjalanannya ke Wajo’ pada 1840.

    Kabiasaan yang paling aneh yang saya temukan adalah adanya lelaki yang berpakaian seperti perempun, dan perempuan yang berpakaian seperti laki-laki, bukan hanya sementara waktu, tetapi seumur hidup berperilaku seperti jenis kelamin yang mereka tiru itu. Tampaknya, ada kecenderungan di kalangan orang tua anak laki-laki ketika melihat munculnya sifat-sifat keperempuanan tertentu dalam kebiasaan dan penampilan anak laki-lakinya, untuk menyerahkan anak terebut kepda salah seorang raja, dimana dia akan mengabdi. Biasanya anak laki-laki ini kemudian akan banyak berpengaruh dan menjadi orang kepercayaan tuan mereka. (Brooke, Narrative of Events: 88)

    Calabai’ ada dihampir semua kampung Bugis, tampil baik dalam pakaian perempuan penuh atau sebagian saja. Mereka juga akan terlibat disemua pekerjaan perempuan, seperti memasak, menumbuk padi atau mencuci pakaian. Meskipun, jika berbicara tentang mereka sebagian anak muda akan tersenyum simpul dan ulama aliran keras mengecam, tetapi dari sudut pandang umum betul-betul mengherankan betapa mereka sebenarnya diterima baik oleh masyarakat dan menjadi salah satu bagian dari mereka. Bahkan sebagian besar anggota masyarakat menaruh hormat kepada mereka. Kebanyak calabai’ tinggal bersama orang tuanya atau saudara perempuan yang sudah menikah, sebagian lagi hidup sendiri. Ada pula yang hidup satu atap dengan laki-laki muda, dan meski seks tabu dibicarakan secara terbuka dalam masyarakat Bugis, tetapi tampaknya tidak ada yang meragukan terjadinya praktik homoseksual pada pasangan tersebut. Biasanya pasangan si calabai’ adalah lelaki normal, bahkan sebagian diantaranya kawin dan beranak pinak. Calabai’ yang hidup sendiri biasanya di pandang impoten. Hidup sendiri, mungkin juga merupakan pilihan untuk berpantang seks guna menghindari perbuatan yang dianggap dosa dalam islam atau untuk menambah kekuatan, magis lewat jalan esketisme. Berpantang seks biasanya juga dijalankan oleh pria heteroseksual setengah baya untuk tujuan yang sama.

    Catatan pengamat Barat pertama tentang bissu, dibuat pada tahun 1545 oleh Paiva, seorang berkebangsaan Portugis (Jacobs, “First Christianity’). Paiva terang-terangan membeberkan hubungan homoseksual di kalangan mereka, yang menurutnya menjijikan. Dari gambaran paiva, tampaknya bissu melakukan praktik sodomi (seks anal) dan fellatio (seks oral). Pada periode yang sama, orang homoseksual yang dikeramatkan juga terdapat di Jawa, juga pada kaum shaman Bare’e di Sulawesi Tengah, Bali, Dayak dan penduduk asli Taiwan, serta Filipina, dan Polinesia (Kroef, “Transvestism in Indonesia”). Tidak semua bissu adalah calabai’, dan hanya sedikit calabai’ yang menjadi bissu. Mungkin kondisi ambevalen mereka yang menyebabkan calabai’ dikeramatkan. Berhubung dwasa ini bissu asli sudah hamper lenyap, maka kebanyakan calabai’ biasanya kembali menjalankan peran mereka sebelumnya dalam hal penyelenggaraan dan perayaan pesta perkawinan. Mereka disewa untuk mengurusi masalah-masalah praktis seperti dekorasi rumah, masak-memasak, dandan dan pakaian pasangan pengantin, serta sewa hiasan dan pernak-pernik kedua mempelai dan rombongannya. Sering kali mereka juga yang akan melaksanakan acara-acara ritual tradisional selaku indo’ botting. Aktivitas ini menjadi sumber penghasilan utama sebagian besar calabai’, dan membuat sebagian mereka hidup berkecukupan.

    Potensi ini menjelaskan mengapa ketika seorang anak lelaki mulai menunjukkan tanda-tanda sikap feminim seperti bermain permainan anak perempuan atau berpakaian seperti perempuan, banayak orang tua tidak menghalanginya. Calabai’ berkeras bahwa mereka bukan sekedar lelaki yang ingin berubah menjadi perempuan, dan setahu saya tidak ada yang berkeinginan untuk menjalani operasi perubahan kelamin. Mereka mengatakan bahwa mereka menikmati kemampuan mereka menggabungkan maskulinitas yang dibawa sejak lahir dengan feminitas yang baru disadari setelah beranjak remaja. Mereka pun menegaskan adanya kekuatan dan sifat agresif kaum lelaki sejalan dengan sifat feminim kaum perempuan yang mereka miliki. Mereka bebas bergaul, baik dengan laki-laki maupun perempuan, tetapi mereka harus mematuhi larangan hubungan seksual dengan perempuan. Pada abad ke-16, bissu calabai’ yang terbukti melakukan hubungan seks dengan perempuan akan dihukum mati dengan merebusnya hidup-hidup dalam gala atau minyak ter mendidih.. Mereka hanya memiliki status individual sebagai anggota masyarakat bias, dan tidak memperoleh peran sosial atau ritual, meskipun dalam perkembangannya juga ada penguasa dari kaum calalai’.

    C. Stratifikasi Sosial

    1. Prinsip-prinsip Hirarki Berdasarkan Keturunan

    Prinsip hirarki tradisional Bugis cukup sederhana. Berdasarkan La Galigo dan mitos tentang nenek moyang mereka, awalnya hanya ada dua jenis manusia: mereka yang “berdarah putih” yang keturunan dewata, serta mereka yang “berdarah merah”yang tergolong orang biasa, rakyat jelata, atau budak. Dalam naskah tersebut, pembagian kedua kategori bersifat mutlak dan tidak boleh saling dicampurkan. Dalam praktiknya, sepanjang sejarah, perkawinan antara kedua lapisan itu tidk hanya dibolehkan akan tetapi juga sering terjadi, sehingga mengangkat status kalangan lapisan menengah yang berada diantara bangsawan tertinggi dengan budak terendah. Menurut naskah La Galigo, dewataleluhur kaum bangsawan turun ke bumi menjelma jadi manusia semata karena “tidak ada Tuhan jika tidak ada manusia untuk menyembahnya”. Batara guru harus menjalani sejumlah ritual desakralisasi, termasuk upacara mandi guna mengubah aroma dewata menjadi bau tubuh manusia Namun, dalam tubuhnya dan tubuh to-manurung berikutnya, begitu pula turunan mereka yang berdarah murni, tetap saja mengalir “darah putih”. Sebelum perkawinan antar keluarga bangsawan La Galigo dilangsungkan, salah satu jari mempelai ditusuk utnuk membuktikan bahwa darah yang menetas benar-benar putih. Pada akhirabad ke-16 pengamat Portugis dengan penuh rasa heran melaporkan bahwa kerjadian seperti itu benar-benar terjadi di kalangan penguasa Luwu’ (Eredia, “Golden Khersonese” : 246).

    Dalam jurnal kunjungannya ke Sulawesi Selatan pada tahun 1845, James Brooke menulis hal berikut:

    “Tidak ada bangsa yang melebihi mereka dalam hal pengangungan terhadap status kebangsawanan,sehingga tidak ada orang melebihi mereka dalam mempertahankan kemurnian darah mereka. Mereka sangat hati-hati menjaga darah keturunan seperti kita menjaga kemurnian pada kuda pacu kita, karena sekali darah murni itu tercemar, tidak akan pernah bisa lagi dibersihkan dari noda. (…) keistimewaan yang di peroleh dari darah bangsawan murni banyak jumlahnya dan penting artinya…” ((Brooke narrative: 73,75)

    Dewasa ini, bahkan bangsawan yang masih mempercayai dirinya sebagai turunan dewa akan mengakui bahwa perkawinan antar golongan telah menyebabkan darah putih dalam tubuh bangsawan tertinggi sekalipun tidak murni lagi.

    2.  Status Dalam Masyarakat Bugis

    Sejak dahulu kala, satu-satunya aturan paling ketat dalam soal perkawinan adalah laki-laki bisa kawin dengan perempuan manapun yang memiliki status setara ataupun lebih rendah dari dirinya namun tidak boleh menikah dengan perempuan berstatus lebih tinggi. Dalam sisem kekerabatan bilateral pertanyaan kemudian timbul: jika lelaki “berdarah putih” kawin dengan perempuan “berdarah merah”, lalu bagaimana status keturunan mereka kelak? Adat istiadat bugis menjawabnya dengan membangun sistem status berdasarkan pencanpuran darah yang di analogikan seperti pencampuran logam mulia dengan logam biasa. Apa yang akan dipaparkan berikut ini merupakan suatu hal yang sudah umum disepakati oleh para ahli silsilah (Pelras, “Hierarchie et pouvoir”).

    Status tertinggi di sebut  ana’ ma’tola, yakni anak (ana’) yang berhak mewarisi (ma’tola) tahta orang tuanya  sebagai penguasa  tertinggi  kerajaan. Tingkatan itu terbagi lagi menjadi dua sub – bagian, yakni ana’ sengngeng dan ana’ rajeng. Lapisan kedua terpecah pula menjadi dua gelar. Status derajat seorang anak, hasil perkawinan sederajat tinggi seperti di atas dengan perempuan berstatus lebih muda, akan berada di lapisan tengah di antara status kedua orang tuanya. Jadi, jika ana’ ma’toola dari salah satu sub – status kawin dengan perempuan biasa, anaknnya akan menjadi ana’ ce’ra’ siseng (anak berdarah lapisan pertama). Pernikahan ce’ra’ siseng dengan perempuan biasa melahirkan ce’ra’ dua (berdaraah lapisan kedua); percampuran keturunan mereka dengan perempuan biasa menjadi ce’ra tellu (cera’ lapisan ketiga). Ketiga lapisan ana’ cera’ mengisi posisi bangsawan menengah. Selanjutnya perkawinan dari keturunan bangsawan terendah: ampo cinaga,anakarung ma’dara-dara, dan anang. Di bawah mereka terdapat orang biasa (tau sama’) atau orang bebas (tau marade’ka)- bahkan di kalangan mereka pun masih di bedakan antara yang leluhurnya masih terhitung bangsawan, berapa rendahpun lapisan dan betapa jauh pun pertautannya  (tau tongeng karaja) dan yang benar – benar turunan orang bisa (tau marade’ka ma’tane’te’ lampe’).

    Pola piramid dalam system seperti itu mengingatkan kepada pola piramid dalam system kekerabatan tingkatan sepupu di perhitungkan berdasarkan dekat tidaknya pertautan mereka dengan sseorang nenek moyang yang sama dan kepada pola relasi antara kerajaan atasan dan bawahan (yang akan di bahas  berikutnya). Jelas pula bahwa sistem hubungan kekerabatan dua sisi tersebut ikut menentukan status hirarki kebangsawan seseorang. Bangsawan yang beristri beberapa perempuan berstatus yang berbeda – beda akan memperoleh anak – anak yang berbeda – beda pul statusnya. Sementara itu, selain memiliki istri dari lapisan bangsawan sedderajat, yang keturunanannya kelak dapat menggantikan posisinya, para penguasa bugis sering mengawini perempuan lebih rendah guna memperoleh keturunan ganda. Keturunan dari perempuan lebih rendah tersebut kelak bisa mengisi jabatan senior kerajaan meskipun tidak akan sampai jadi ahli waris tahta. Selain itu, banggsawan tersebut juga akan  memperoleh dukungan dari mertuanya, entah dia orang biasa yang memiliki pengaruh atau bangsawan lapisan bawah. Sebaliknya, pihak mertua tertarik menikahkan anak perempuannya dengan penguasa karena adanya peluang bagi keturunan mereka untuk mendaki strata lebih tinggi. Namun, kecendrungan antar tingkat ini perlahan – lahan menyusutkan jumlah bangsawan tinggi, sehingga bahkan jabatan arung di beberapa tempat terpaksa diisi oleh bangsawan sederajat relatif rendah yang kemudian memamfaatkan posisi mereka di duduki itu untuk mengaku sabagai bangsawan yang lebih tinggi dari status mereka sebenarnya.

    3. Fleksibelitas dalam system yang  tampak kaku

    Gambaran system hirarki di atas hanya di ketahui sepenuhnya oleh mereka yang ahli tentang itu. Orang awam hanya mengetahui sebagian dari stuktur hirarki yang ada. Untuk menentukan status seseorang dengan pasti, semua leluhurnya seharusnya di lacak hingga ke to-manarung, dua puluh hingga dua puluh lima generasi ke belakang. Dalam system kekerabatan  bilateral hal itu praktis mustahil  dilahkukan,karna leluhur tiap generasi berjumlah ganda. Bangsawan kelas atas, yang paling mengagungkan status,hanya mementingkan cera tellu ke atas.di sisi lain, bangsawan rendah dan anggota masyarakat kebanyakan  menggunakan sistem klarifikasi berdasarkan gelar yangjauh lebih sederhana. Di tingkat kampung, semua orang berpengaruh, baik bangsawan rendah,orang biasa yang mempunyai sedikit pertalian darah bangsawan, maupun orang biasa yang memiliki kekayaan, pengaruh, atau pengetahuan, di sebut tua decceng (orang baik-baik). Sejak 1920 di gunakan gelar baru di kalangan bangsawan bugis atau makasar untuk lapisan di atas cera tellu, yakni gelar Andi dan Andi bau (hanya bangsawan sederajat paling tinggi saja yang di gelari Andi bau bahkan sebagian dari mereka ‘’harus puas’’ dengan gelar Andi saja). Adapun lapisan di bawahnya menggunakan ‘’nama bangsawan’’ mereka dengan dii dahuluinya sebutan Daeng. Jadi, masyarakat bias hanya membedakan antara Andi dan Daeng dengan mengabaikan hirarki status kebangsawanan mereka. Selain itu, belakangan terjadi semacam ‘’inflasi gelar’’ karena kebanyakan orang menyematkan gelar Andi dan Daaeng yang menurut peraturan adat tidak pantas mereka sandang.

    Singkatnya,strafikasi masyarakat bugis tidak menganut sistem yang kaku. Emigrasi juga bisa menjadi jalan miningkatkan status. Bangsawan rendah, yang memimpin kelompok kecil pengikutnya pindah ke daerah lain di mana tidak akan terjadi pemeriksaan silang leluhur kadang-kadang cenderung mengaku memiliki silsilah lebih tinggi dari sebenarnya. Para pengikutnya pun akan mendukung sikap mereka itu, karena hal tersebut akan mengangkat derajat semua anggota kelompok. Keberhasilan di bidang ekonomi, juga bisa mendongkrak derajat seseorang. Orang yang memiliki kekayaan melimpah, menguasai tanah luas, punya rumah besar dan indah, dengan mudah akan di anggap berdarah bangsawan hanya barangkali di lupakan (lineton,study of the bugis).

    4. Tanda- Tanda status

    Pentingnya hirarki dalam masyarakat tradisional bugis terlihat jelas dengan adanya sejumlah tanda-tanda dan symbol-simbol tertentu yang menunjukan status mereka, sehingga orang lain bisa menentukan cara berprilaku yang tepat terhadapnya. Tanda ini mencakup pernak pernik pakaian dan arsitektur rumah mereka. Sapaan penghormatan di tentukan secara seksama berdasarkan derajat bangsawan dan usia seseorang . selain itu, ada pula gerak gerik, posisi  badan tertentu ketika duduk atau lewat di depan atau dekat seseorang bangsawan, untuk menunjukan rasa hormat.  Perkawinan, di mana status di pertegas dan di wariskan secara turun temurun, tetap merupakan ajang utama bagi seorang bugis utuk menunjukan status sosial mereka.

    5. Asal Usul Stratifikasi Sosial

    Mitos tentang nenen moyang orang bugis menekankan dua unsure yang saling berkaitan: bangsawan sebagai keturunan dewata dan kerajaan luwu kuno sebagai pusat kekuasaan mereka. Jadi, sejak dahulu kala terdapat ikatan tak terpisah antara kesakralan, kekuasaan, dan kekayaan.

    Dalam hipotesis saya yang semula, saya berpen dapat bahwa lahirnya kebangsawanan bugis terjadi pada masa bangkitnya kerajaan-kerajaan historis, yaitu sekitar abad ke 14. Saya berasumsi bahwa perubahan ekonomi (khususnya dalam bidang pertanian) merupakan pemicu terjadinya perubahan di dalam lingkup kerajaan luwu (pelras’ hierrchie et pouvior’’ 2:214-6). Orang-orang baru yang memiliki pengaruh dan kekayaan memperoleh status kebangsawanan yang belum pernah ada sebelumnya, dan ciri khasnya berbeda dengan  pemimpin biasa adalah  sifat keramat yang mereka miliki. Wibawa luwu’ mungkin penyebab persebaran kbangsawanan itu di wilayah yang berbeda di bawah kendalli atau pengaruhnya.

    Kini, saya berpendapat bahwa akar-akar stratifikasi sosial orang bugis telah aada jauh sebelum itu, bertetapan dengan kedatangan populasi luar yang terjadi pada abad-abad peartama masehi, yeng mungkin berasal dari Kalimantan bagian tenggara atau timur, di mana setiap kelompok mengikuti pemimpinnya masing-masing kemungkinn hipotesis lainya adalah bahwa komunitas orang pesisir bukan migran dalam kelompok-kelompok besar berkembang secara lokal di bawah pengaruh sejumlah kecil pemimpin pedagang yang juga datang dari bagian tenggara atau timur Kalimantan (yang bahasa dan budayanya kemudian meraeka adopsi).

    Hasil kedua hipotesis di atas adalah lahirnya komunitas-komunitas yang berorientasi ke peerdagangan antar pulau dan memiliki budaya yang berbeda dari sebelumnya. Komunitas-komunitas tersebut, yang terutama di dorong oleh motif untuk menguasai perekonomian, yakni penguasa atas hasil dan ekspor hasil-hasil alam dan biji logam, saat itu telah terorganisir lebih baik di banding pendahulu mereka, yakni populasi orang Austronesia asli yang belum padat, terlebih lagi sisa penduduk pra Austronesia yang bermukim baik di hutan-hutan maupun di pesisir pantai. Para pemimpin di komunitas itu sudah berhubungan dengan jaringan perdagangan antar pulau yang mencapai Sumatra dan semenanjung melayu yang pelabuhannya merupakan pintu lalu lintas perdagangan dengan india dan tempat-tempat lainnya di samudra Hindia dan tentu mereka memiliki kebudayaan lebih canggih dari pada penduduk asli. Kepercayaan mereka sudah menerima sedikit pengaruh Hindia, dan pendetanya adalah para bissu.

    Bersama dengan penyebaran mereka ke seluruh wilayah tersebut, secara bertap mereka pun mnduduki posisi dominan,  menerapkan tatanan sosial, dan bahasa mereka. Dengan lata lain, mereka mulai membentuk suatu aristrokasi, yang kebenaranya kelak di kemukakan sacara berlrbih-lebihan dalam teks-teks La Galig, pada periode setelah lahirnya kebudayaan bersama yang merupakan hasil perpaduan budaya penduduk asli dengan budaya benduduk pendatang, dan pada periode setelah terjadinya banyak perkawinan silang, walau kebenaranya sudah terdapat suatu ideoloi yang membedakan antara pendatang ‘’berdarrah putih’’ dengan penduduk ‘’berdarah merah’’ setempat.

    Proses serupa kemungkinan pula berlangsung, dengan latar belakang dan kondisi agak berbeda,di daerah-daerah yang di huni orang Makassar, toraja, dan mandar yeng menyebabkan adanya  persamaan dan perbedaan di antara kelompok-kelompok tersebut. akibatnya ada factor-faktor tertentu khususnya factor ekonomi, karena letak strategisnya dalam menguasai jalur menuju pedalaman penghasil emas dan bijih besi maka Luwu’ yang menjadi pusat kekuasaan ‘’peradaban awal Sulawesi selatan’’ , meski kerajaan itu tidak memiiki pusat-pusat kota dan hanya memiliki tempat seperti Ussu,wotu dan ware’ sebagai pusat-pusat budaya.

    Pergolakan yang saya perkirakan  terjadi sekitar abad ke -14 adalah suatu hal yang bersifat revolusioner, karena secara revolusioner, karena fundamental mengubah pola hubungan mereka yang ‘’berdarah putih’’ dengan yang ‘’berdarah merah’’. Walaupun mitos tenang hetorogenitas absolute leluhur tetap di pertahankan, tetapi sistem yang berlaku di dasarkan atas kontrak sosial antara para bengsawan, yang di wakili oleh to-manurung dan orang biasa, diwakili oleh matoa. Hal tersebut menggambarkan adanya prinsip saling membutuhkan sehingga hak dan kewajiban masing-masing harus di sepakati bersama. Hubungan baru itu mungkin berkaitan dengan konteks ekonomi baru, yang lebih menitik beratkan usaha pertanian, akibat kian luasnya pembukaan lahan dan banyaknya pemukiman dan kumunitas-komunitaas petani baru yang diprakarsai oleh pimpinan masyarakat (matoa).

    Belakangan, kronik sejarah menggambarkan periode itu sebagai masa anarki yang baru berakhir ketika kaum bangsawan berhasil mengendalikan kepemimpinan masyarakat yang kondisinya sudah berubah. Namun demikian, Luwu’ sabagai sumber mitos asal-usul bangsawan dan kebudayaan bugis, tetap di jadikan acuan. Masyarakat yang tampuk pemimpinnya hanya di isi oleh kalangan orang biasa bahkan ada yang berinisiatif sendiri minta di kirimi bangsawan dari Luwu’ untuk  memimpin mereka. Interpretasi ini bertalian dengan kepercayaan yang masiih tersebar luas bahwa semua bangsawan Bugis pasti terpaut dengan Luwu’, meski kepercayaan tersebut berlawanan dengan cerita to-manurung.

    D. Penguasa, Wilayah kekuasaan, dan Kerajaan

    Andai kata hipotesis yang di kemukakan di atas merefleksikan realitas sebenarnya sekalipun,tetap saja tidak dapat di pastikan apakah kerajaan-kerajaan Bugis betul-betul pernah mengalami bentuk monarki absolute seperti yang mendapat dalam teks-teks La-Galigo. sistem pemerintahan seperti itu pasti tidak di alami oleh Orang Bugis yang hidup dalam kurun waktu pra-islam dan masa colonial belanda, seperti di gambarkan Crawfurd;

    Orang orang berbahasa Bugis, saat ini, terbagi kedalam kerajaan-kerajaan kecil, dan tampaknya tidak pernah bersatu di bawah satu payung pemerintahan. Beberapa kerajaan kecil membentuk persekutuuan sekadar untuk menjaga kepentingan bersama. Setiap kerajaan memiliki raja sendiri, yang di pilih oleh pemuka-pemuka kerajaan dan  pemuka masyarakat turun temurun, dan kaum perempuan berhak ikut di dalam pemilihan. Raja terpilih kemudian menyusun sebuah dewan, yang harus mewakili semua semua komponen agar mampu menyerap semua kepentingan umum (Crawfurd, Descriptiv,Diktionary; 74,S.V.Bugis).

    E. Proses Pengelompokan dan Struktur Internal Wanua

    Crowfurd berhasil memahami dengan baik struktur piramid lembaga pemerintahan Bugis. Hanya saja, walau terdapat skema umum mengenai berbagai kerajaan bugis, namun hal itu tidak berarti adanya keseragaman bentuk. Salah satu contohnya adalah kerajaan Wajo’, yang pada abad ke-19 dapat di sebut persekutuan kerajaan yang luas dan pengaruhnya berbeda-beda. Setiap kerajaan di sebut wanua suatu istilah yang juga di temukan di sriwijaya dan kerajaan-kerajaan pertama jawa. Kerajaan tersebut sedangkan juga di sebut a’karungeng (wilayah yang di pimpin seorang arung ). Setiap kerajaan memiliki lembaga pemerintahan sendiri, wilayah bawahan, atau bahkan daerah jajahan (ana’wanua) yang di pimpin oleh arung masing-masing.

    Wanua tidak serta merta harus di anggap sebuah ‘’komunitas pedasaan’’. Setiap wanua adalah unit wilayah dan unit pemerintahan besarnya berbeda-beda. Ada yang kecil dan hanya terdiri atas satu pemukiman, ada pulla yang memiliki banyak pemukiman dan terbagi beberapa sub wilayah. Sebenarnya mereka merupakan unit sosial yang memiliki pemerintahan seandiri,tetapi lembaga pemerintahnya tidak berbentuk ‘’demokrasi kampung’’ (seperti di Bali) sebagaimana di gambarkan oleh ilmuan belanda.

    Hubungan yang terjalin di dalam persekutuan Wajo’ antara wanua inti (kelak di kenal dengan nama Tosora) dengan setiap wanua lain, di rumuskan melalui persetujuan bilateral seperti yang terdapat dalam berbagai catatan historis (Andaya, “Treaty Conceptions”). Persetujuan ini merupakan landasan hubungan antara Wajo’ dengan setiap daerah bawahannya, serta dengan wanuasekutunya. Pola hubungan tersebut, untuk daerah bawahan diibaratkan sebagai hubungan antara hamba dan majikan, pengikut dan pemimpin, atau bagikan seorang anak dan ibunya. Untuk sekutu, hubungannya di ibaratkan seperti saudara yang sama statusnya seperti kakak-adik. Setiap wanua menetapkan hukum (bicara) dan adat istiadat (ade’) sendiri. Mereka juga memperoleh perlindungan dan nasehat “pusat”, sebagai ganti sejumlah kewajiban yang harus mereka laksanakan sesuai kesepakatan, misalnya upeti yang setimpal, berbagai pelayanan khusus, atau menyediakan pasukan dalam jumlah tertentu jika terjadi perang. Dalam wilayah persekutuan Kerajaan Wajo’, setiap anggota wanua, yakni Tuwa, Bettempola, dan Talotenreng. Pengelompokkan ini disesuaikan dengan asal-usul Kerajaan Wajo’ yang berintikan tiga bagian, masing-masing dengan aktivitas perekonomian tertentu. Perikanan untuk Tuwa, pertanian untuk Bettempola, dan pengolahan nira untuk Talotenreng.

    Konfederasi Wajo’ bersekutu pula dengan kerajaan sederajatnya. Pada abad ke-16 persekutuan tersebut diwujudkan dalam penandatanganan perjanjian ‘Tiga Puncak’ (Tellung Mpocco’-e’), di mana Bone menjadi kakak Wajo’ dan soppeng sebagai adiknya. Dan, meskipun terdapat perbedaan pandangan politis, bahkan pernah terjadi perang di antara mereka, persekutuan tersebut tidak pernah dibuubarkan, walaupun Wajo’ kemudian bersekutu dengan Goa dan tetap setia kepadanya sejak periode masuknya Islam hingga masa penjajahan Belanda.

    1. Kerajaan

    Struktur pemerintahan di kerajaan-kerajaan besar, baik yang berbentuk federasi maupun konfederasi, hamper sama dengan struktur pemerintahan kerajaan yang lebih kecil. Di Wajo’, penguasa yang disebut Arung Matoa (raja para matoa) selalu laki-laki dibantu oleh suatu dewan sejumlah enam Arung (terdiri atas tiga ranreng [pendamping]) laki-laki atau perempuan dari ketiga limpo, dan setiap limpo memiliki pula seorang Bate Lompo (pemegang panji, yaitu panglima perang). Meski gelar mereka lebih rendah, kekuasaan keenam Arung (Arung enneng-e) anggota dewan tersebut hampir sama dengan Arung Matoa sendiri. Bersama-sama Arung Matoa mereka membentuk dewan penguasa tertinggi Kerajaan Wajo’ yang digelar Petta ri Wajo’ (Tuan kita di Wajo’). Selanjutnya setiap  limpomempunyai seorang Suro ri Bateng(duta negeri) yang bertugas menyampaikan pesan pemerintah pusat ke wanua bawahan, ditambah empat Arung Ma’bicara (dewan raja penasehat) untuk mendiskusikan kasus-kasus hukum dan adat yang tidak bisa diselesaikan di tingkat wanua, serta enam penasehat  lain dengan fungsi memberi pertimbangan. Keempat puluh pejabat ini (tiga Ranreng, tiga Bate Lompo, tiga Suro ri Bateng, dua belas Arung Ma’bicara, delapan belas penasehat), ditambah Arung Matoa, disebut Arung Patappul (Empat Puluh Raja) dan terbentuk menjadi lembaga pemerintahan utama yang menyerupai parlemen. Hal-hal tersebut ditambah penghargaan terhadap warga Wajo’ sebagai orang merdeka menyebabkan Kerajaan Wajo’ pada abad ke-19 dikenal sebagai sebuah “kerajaan aristokratis-demokratis”.

    Sebaliknya, struktur pemerintahan di Bone yang pada mulanay hampir sama dengan Wajo’, lambat laun berubah menjadi semakin sentralistik dan otorier, meskipun pemilihan raja (Arung Mangkaue, ‘Arung Berkuasa’) dan perdana menteri (To-marilaleng) tetap diputuskan oleh  sebuah dewan bernama Arung Pitu ‘Arung Tujuh’. Kerajaan Bone pada mulanya juga berbentuk konfederasi, akan tetapi meski wanua sudah memiliki arung, organisasi, serta hukum sendiri, namun kekuasaan pusat terhadap wanua bawahannya lebih besra jika dibandingkan dengan kerjaan Bugis mana pun, kecuali mungkin Kerajaan Luwu’. Dalam kunjungannya ke Bone, James Brooke melaporkan bahwa:

    …konstitusi lebih srbagai nama daripada kenyataan: sejauh pengamatan saya, kerajaan saat ini berada dubawah kekuasaan lalim dari pattamankowe (Petta Mangkau-e). Kekuasaan raja tampak tak terbatas: tak ada yang bisa menyainginya, kecuali Aru Matoah Wajo’ (sic.) dan Datu Soppeng. Wewenang yang didelegasikannya kepada menteri berubah-ubah dan aru (arung) itu pitu dewan agung jadi hanya alat kekuasaan belaka (Brooke, Narrative of Events. 133-4).

    2. Pejabat, Raja, dan Penguasa

    Tidak ada jabatan dalam kerajaan Bugis manapun yang dianggap sebagai warisan mutlak, meski tak sedikit putra atau putri raja yang mewarisi tahta orang tuanya. Banyak jabatan yang terbuka bagi kaum perempuan. Di Kerajaan Luwu’, Soppeng, dan Bone, jabatan raja sekalipun terbuka bagi perempuan. Jika ada jabatan yang lowong, pejabat baru dipilih oleh sebuah dewan pemilihan khusus berdasarkan berbagai kriteria seperti garis keturunan, hubungan dengan pejabat sebelumnya, kualitas pribadi dan pengaruh yang dinilai dari jumlah dan kualitas pengikutnya, tanpa memperhitungkan di daerah mana dia tinggal. Sementara itu, tidak ada jabatan, termasuk jabatan raja, yang dimasukkan kedalam kriteria jabatan seumur hidup. Bisa saja, setelah menjabat selama periode tertentu, seorang pejabat akan berhenti atau diberhentikan, dan seseorang bisa berpindah dari satu jabatan ke jabatan lainnya atau sekaligus merangkap berbagai jabatan.

    Walau mungkin agak berlebihan menyebut Wajo’ sebagai “kerajaan demokratis”, namun tidak dapat disangka bahwa kekuasaan di Wajo’ tidak diterapkan secara otoriter atau semena-mena. Brooke menulis:

    Yang mengherankan adalah maskipun diperintah oleh raja yang feodal dan seirng berubah-ubah; meskipun lamban, berbelit-belit, dan memihak dalam pergerakan hukum yang melibatkan orang per orang Wajo’ tetap patut diberi pengharagaan, serta memiliki persamaan yang menakjubkan dengan pemerintahan zaman feodal Eropa… Namun dengan berat hati, didorong oleh keinginan memberi penjelasan rinci, saya harus menerapkan bahwa hukum tertulis mereka sangat banyak menyimpang dalam praktik… Hanya saja, kritik atas kekurangan tersebut bukanlah kecaman, jika kita menyadari bahwa di antara semua negara di Timur…hanya orang Bugis yang telah sampai pada tingkat pengakuan hak-hak warga negara, dan satu-satunya yang telah membebaskan diri dari belenggu kelaliman. (Brooke, Narrative of Events. 65-6)

    Di setiap lapisan masyarakat, dari masyrakat biasa hingga penguasa tidak hanya di Wajo’ hak serta kewajiban setiap orang diatur dalam hukum adat, sebagaimana yang tertulis dalam lontara’ dan dalam pemahaman bersama. Dalam salah satu naskah termaktub prinsip berikut: “Bila keputusan raja bisa ditentang, maka keputusan dewan adat tidak boleh digugat; jika keputusan dewan adat bisa ditentang, maka keputusan pemimpin rakyat masih bisa ditentang, maka keputusan rakyat tetap tidak boleh digugat (rirusa’ taro arung, tenrirusa’ taro ade’; rirusa’ taro ade’, tenrirusa’ taro anang; rirusa’ taro anang, tenrirusa’ taro to-maega-e’). Brooke juga mengamati peran pemimpin rakyat.

    Ada dewan perwakilan rakyat, yang terdiri atas para tetua kampung dan orang biasa yang dihormati warga, yang bersidang dalam keadaan luar biasa, mengemukakan pendapat dan mendiskusikan masalah-masalah penting, walau mereka tidak berhak mengambil keputusan. (Brooke, Narrative of Events: 63)

    Hal tersebut sekali lagi menunjukkan kemampuan orang Bugis yang selalu bisa melongarkan kekakuan system pemerintahan dan mengimbanginya dengan sesuatu yang bersifat fleksibel dan pragmatis. Dan itu tidak hanya berlaku di Wajo’, tetapi juga dikerajaan-kerajaan lain. Struktur pyramid yang menghubungkan wanuadengan pemerintahan pusat melalui persetujuan bilateral dapat ditemukan pada semua kerajaan Bugis. Begitu pula dengan dewan bangsawan sebagai dewan penengah, aturan pemilihan pejabat dan supremasi hukuman adat. Perbedaan utama antar kerajaan terletak pada keinginan atau kemampuan masing-masing penguasa untuk menerapkan pendekatan otoriter dan sentralistik. Dalam hal ini Bone merupakan kebalikan dari Wajo’, yang menyebabkan kedua kerajaan ini berselisih selama berabad-abad.

    F. Hubungan Patron-Klien

    Sejalan dengan sistem stratifikasi social orang Bugis yan menetapkan status seseorang berdasarkan keturunan serta sistem pemerintahan yang membagi masyarakat ke dalam unit-unit wilayah dengan raja atau pengusanya masing-masing dua sistem yang menyebabkan tingginya tingkat stabilitas sosial karena mengalokasikan kepada setiap individu tempat yang permanen dalam suatu bagian masyarakat tertentu terdapat pula sebuah sistem yang selama berabad-abad memungkinkan terjadinya mobilitas sosial, persaingan di antara mereka yang sederajat, kerja sama antarstrata sosial, dan integrasi dalam berbagai kelompok, yang biasanya tak memperhitungkan batas wilayah. Sistem tersebut adalah sistem patron-klien (Pelras, “Patron-Client”).

    Beberapa penulis telah merujuk kepada sistem tersebut sejak permulaan abad ke-19 (Kooreman, “Feitelijke toestand”). Akan tetapi, keberadaan dan arti pentingnya bagi masyarakat Sulawesi Selatan belum memperoleh perhatian yang layak dari para ilmuwan sebelum Chabot menulis buku (Chabot, “Kinship”) tenetnag kekerabatan, status, dan gender dalam masyarakat Makassar. Penelitian lebih mutakhir tentang Bugis dan Makassar (Lineton, Study of the Bugis; Hasan Walinono, Tanete) membuktikan bahwa sistem patron-klien ternyata mampu bertahan di bawah kondisi politik dan historis yang relatif berbeda.

    1. Pola Dasar Hubungan Patron-Klien

    Dalam sistem patron-klien masyarakat lain, seperti orang Romawi kuno, Amerika Latin modern, dan berbagai komunitas di Nusantara, hubungan antara pemimpin dengan pengikutnya diikat oleh hak dan kewajiban masing-masing. Dalam masyarakat hirarkis Bugis dan Makassar sebelum masa penjajahan, setiap bangsawan terkemuka berada ditengah-tengah jaringan yang mengikatkan padanya sejumlah pengikut yang cukup besar. Jika seorang pengikut “mendaulat” seorang bangsawan sebagai tuannya, maka dia berarti menyatakan kesediaannya memenuhi semua perintah tuannya. Termasuk di antaranya perintah untuk pergi berperang, berburu atau menemaninya dalam suatu perjalanan, bekerja di sawah, serta mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti mengangkat air dan mencari kayu bakar. Jika sang majikan mengadakan pesta perkawinan, misalnya, pengikutnya akan segera datang meski tinggal di tempat jauh. Mereka akan merasa bangga jika dapat hadir dalam suatu acara yang bisa memperlihatkan status dan pentingnya sang patron. Mereka akan menyumbangkan uang atau hadiah, serta bantuan tenaga dalam persiapan pesta tersebut. Sebagai balasannya, mereka akan diberikan makan, tempat bermalam dan hiburan.

    Pengikut yang belum menikah dengan sukarela tinggal dirumah tuannya sebagai pembantu rumah tangga. Tempat tinggal, makanan dan pakaian ditanggung, tetapi mereka tidak diberi upah. Ketergantungan seperti itu, terutama pada pengikut yang sangat miskin menyebabkan mereka tidak jauh berbeda dengan budak biasa. Dan jika diamati sepintas, mereka mungkin akan disangka budak. Akan tetapi, terdapat perbedaan sangat besar antara mereka dan budak. Perbedaan utamanya terletak pada status hukum pengikut karena meski tergantung kepada tuannya, mereka tetap berstatus to-maradeka (orang bebas). Oleh karena itu, menurut hukum, mereka bebas memisahkan diri, tidak boleh diperlakukan semena-mena, dan hak-haknya dilindungi hukum adat (Pelras, “Patron-Client”)

    Bagi pengikut, manfaat hubungan patronasi tersebut tidaklah sedikit. Sang tuan harus “berbaik hati” dan melindungi para pengikutnya.Jika mereka diperlakukan semena-mena oleh orang lain, majikannya yang akan membela. Menyerang pengikut sama artinya dengan menyerang majikan, dan sang patron berkewajiban membalaskan dendam. Bila sapi atau kuda seorang pengikut dicuri, tuannya akan berusaha menemukan kembali ternak itu dan menghukum pencurinya.

    Banyak bangsawan yang bertanggung jawab atas kesejahteraan pengikutnya dengan menyediakan lahan, ternak atau alat yang dibutuhkan. Juga memberi bantuan saat mereka mengadakan pesta atau ketika mereka tertimpa musibah. Jika panen klien gagal, patronnya akan menyediakan padi dan komoditas lain. Bila seorang pengikut ingin menikah, maka pesta perkawinan biasanya diselenggarakan oleh patronnya, malah kadang-kadang dialah yang memilihkan jodoh dari para pengikutnya sendiri.

    2. Dasar-Dasar Sistem Patron-Klien

    Ada beberapa factor yang mungkin mendasari lahirnya ikatan patron-klien dalam masyarakat Bugis. Faktor pertama adalah sistem kekerabatan bilateral di mana sistem patronasi dalam batas tertentu merupakan kelompok kekerabatan yang terorganisisr, seperti  klan atau marga dalam masyarakat dengan sistem unilineal. Kelompok klien biasanya diperkuat melalui perkawinan antaranggota, sehingga dalam waktu singkat sistem tersebut sulit dibedakan lagi dengan kekerabatn bilateral. Faktor lain yang mendukung lahirnya ikatan patron-klien adalah adanya suatu sistem stratifikasi sosial yang mengizinkan kaum bangsawan terlibat dalam perdagangan dan redistribusi kekayaan. Selain itu, hubungan hirarkis yang terwujud pada zaman sejarah antara wilayah terkecil dengan kerajaan besar, dan kebutuhan kaum bangsawan akan dukungan orang banyak guna menduduki jabatan politik, juga merupakan dasar lahirnya sistem tersebut.

    Hubungan antar pemimpin dan pengikut, patron dan klien, terjalin secara sukarela dan hanya berdasarkan kontrak tak tertulis. Hubungan ini bisa berakhir kapan saja, dan sepanjang klien tidak memiiki hutang kepada patronnya, maka dia setiap saat dapat pindah kepatrol lain. Aspek inilah yang membuat pengamat dari Barat sangat takjub. Raffles, misalnya mencatat:

    Orang Bugis mengingatkan diri pada pemimpin sesuka hatinya, tetapi mereka menunjukan ketaatan dan kesetiaan tiada tara. Mereka kerap berganti pemimpin, tetapi jarang sekali mereka mengkhianati mantan pemimpinnya. Persekutuan mereka yang kecil pun dapat bertahan terus berkat keteguhan rasa kasih dan kehangatan jiwa mereka, sama seperti yang terdapat dalam klan Britania Utara (Raffles, History of Java, lampiran F, ‘Celebes’: CLXXXIII-CLXXXIV).

    Pemimpin juga dapat memberhentikan pengikutnya jika tidak memenuhi kewajiban namun kedua pihak selalu berusaha menjaga agar hubungan mereka tidak  berakhir dengan konflik.

    Jika seorang pengikut  merasa cukup kuat untuk mandiri tanpa perlindugan-perlindungan sang tuhan dia berhak memisahkan diri bahkan boleh menjadi pemimpin dari pengikutnya sendiri. Bukan hanya bangsawan kelas tinggi yang memiliki pengikut  tetapi juga bangsawan rendah, atau mala orang biasa yang kaya memiliki banyak pengikut daapat meningkatkan satatus sosial seorang bangsawsan beserta kerabatnya dan merupakan modal penting menghadapi persaingan bangsawan  lain untuk memperoleh kehormatan,jabatan,atau kekayaan sebaliknya semakin tinggi gelar atau jabatan , atau kian melimpa harta benda seseorang patron semakain besar pula kebangggan, atau manfaaat, dan keuntungan yang di peroleh klienya. Patron yang yang ingin menambah loyalitas dan julah pengikutnya harus menjalankanya perannya dengan baik dan memberikan jaminan keamanan penuh jika mereka tidak ingin ditinggalkan.

    Pada zaman dahulu, ada tiga cara memperoleh pengikut. Pertama sebagai warisan, ketika seorang ppatron meninggalkan dunia, pengikut kadang mengabdikan kesetiannya kepada salah seorang anak sang pemimpin, tetapi proses tersebut bukan hal yang bterjadi secara otomatis, cara kedua menarik klien adalah dengan memperliatkan karisma pribadi yang luhur.pada kedua cara itu. ada tiga faktor penting yang harus diperhtikan: status sang patron, jabatan yang ia pegang, dan kebribadiannya. Semakin tinggi derajat atau kedudukan seorang bangsawan, semakin besar peluang mendapat pengikut. Asalkan status itu didukung pula oleh kualitas pribadi yang layak yang dimilikioleh seorang pemimpin yang baik: berani,baik tutur katanya,memiliki inisiatif, mampu membangkitkan semangat, dan yang paling penting, berkepribadian simpatik. Cara ketiga untuk memperoleh pengikut adalah melalui perkawinan. Dalam hal ini, selain status dan tingkat hubungan kekerabatan, faktor lain yang menentukan pemilihan calon istri bangsawan adalah luasnya pengaruh bapak atau saudara laki lakinya, di ukur melalui sedikit banyaknya pengikut mereka. Kelak, secara tidak langsung, pengikut keluarga sang istri juga menjadi pengikut sang suami. Itulah sebabnya mengapa bangsawan kelas tinggi, selain mengawini perumpuan berstatus sederajat yang akan  memberinya anak sebagai pewari, juga menikah dengan perumpuan berstatus lebih rendah, sehingga, melalui bapak atau saudara laki -laki istrinya, ia bisa memperluas pengaruh kekelompok atau wilayah yang masih diluar jangkuanya.

    3. Hubungan Patron-Klien Sebagai Alat Politik

    Berhubungan jabatan politis dalam sistem pemerintahan bugis tidak berdasarkan pewarisan mutlak, dan satu satunya persayaratan sukses kekuasan adalah status kebangsawan dan keanggotannya dalam silsilnya yang longgar, malah kadang kadang dari garis keturunnan yang  sudah amat jauh, maka nilai lebih mereka yang bersaing untuk menduduki suatu jabatan akan ditentukan pula peluangnya oleh besarnya jumlah dan pengaruh pengikutnya. Ada dua jenis pengikut: dari kalangan  biasa, yang bisa langsung melayani tuannya, dan pengikut dari kalangan bangsawan, lebih tepat disebut pendukung, yang juga memiliki pengikut sendiri. Melalu mereka lah struktur piramida kekuasan terbangun; beberapa kelompok pengikut betsatu melalui pemimpin masing masing dibawah satu patron lebih tinggi.   

    Ada bukti jelas besar pengaruh pemimpin terkenal arung palakka di abad ke-17 berakar dalam sistem semacam itu. contoh lain adalah peran penting yang dimainkan pemimpin bugis yang merantau dengan pengikut mereka ditanah melayu dan tempat-tempat lain pada abad ke-18 dalam proses perubahan yang terjadi pada berbagai kolsultan melayu. Gejala yang sama tampaknya juga terjadi, tepat pada awal periode sejarah, pada wanua yang didirikan oleh pemimpin yang datang dari suatu tempat bersama sekelompok kecil pengikut guna mencari peluang usaha dan lahan baru. Akibat karisma pribadi dan keberhasilan dibidang ekonomi, mereka kemudian menarik hati pendatang baru untuk bergabung dalam sekelompok yang mereka pimpin. Proses seperti mungkin telah ada ketika nenek moyang orang sulawesi selatan dewasa ini datang dari seberang laut untuk menetap dipinggir sungai saddang. Oleh karna itu, agak mengherankan karna ternyata dalam la galigo hal-hal seperti itu sama sekali tidak pernah disinggung. Penyebabnya mungkin berkaitan dengan masalah ideologis: dalam sistem la galigo, raja harus dipatuhi karena memiliki darah dewata, bukan karena kualitas pribadinya.

    4. Aspek ekonomi hubungan patron-klien

    Selain kehormatan dan kekuasaan sebagai aspek yang mendasari hubungan patron-klien, faktor ekonomi juga tidak kalah pentingnya. Sebagaimana dibahs lineton (study of the bugis) Salah satu tugas utama pemimpin tradisional adalah mendistribusikan kembali harta kekayaan. Pada awal dekade 1950-an, sesaat sebelum sistem organisasi pemerintahan tradisional disulawesi selatan mulai pudar, peran tersebut masih menjadi landasan sistem pemerataan ekonomi.

    Barang yang diterima para bangsawan, baik sebagai penghasilan dari jabatan yang dipegang maupun pendapatan dari perayaan tertentu, jika tidak langsungdibagikan-bagikan, akan disimpan sebagai persediaan untuk kelak dibagikan pada saat diperlukan. Roda ekonomi itu berjalan sangat efisien pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan tua Sulawesi Selatan, ketika penghasilan yang diperoleh penguasa dari bidang pertanian ditambah lagi dengan pendapatan dari perdagangan antar pulau.

    Terdapat pula keterkaitan antara kekuatan politik dan penguasaan(yang tidak harus berarti kepemilikan) atas lahan. Dengan sedikit pengecualian, bangsawan Bugis pada umumnya bukanlah pemilik lahan yang sangat luas. Kekayaan mereka lebih diperoleh dari akses kolektif terhadap jabatan politik yang bias menjadi sumber penghasilan: seperti hasil dari lahan tertentu, areal hutan dan perikanan, presentase hasil lahan lain; pajak hasil panen, pasar dan penjudian, serta cukai barang-barang yang masuk melalui pelabuhan (Pelras, “Patron-Client”).

    Melalui system seperti itu, beban yang dipikul keluarga bangsawan kelas atas cukup berat. Mereka harus menghidupi banyak orang dalam rumah tangga mereka, termasuk budak, pembantu pengikut, pelayan, dayang-dayang, dan keluarga dekat maupun jauh. Mereka semua harus ditanggung pangan dan (kadang-kadang) sandangnya. Pemimpin dari kalangan bangsawan juga harus membantu kerabat bukan bangsawan yang akan membuatnya merasa malujika mereka hidup melarat. Tentu saja mereka harus membantu kebutuhan pengikutnya, baik klien miskin yang punya sedikit lahan atau budak yang benar-benar papa (meski kaum budak juga bisa punya lahan dan barang lainnya, sehingga perbudakan di Bugis, dan masyarakat Asia Tenggara pada umumnya, sangat berbeda dengan system yang berlaku di Mediterania kuno atau belakangan di kalangan orang Afrika Amerika di Amerika Utara atau Hindia Barat). Walau mereka berstatus sebagai budak yang sepenuhnya tergantung kepada majikan, tetapi mereka tidak boleh disuruh kerja paksa atau dihukum fisik. Yang Sebenarnya, posisi mereka sulit dibedakan dengan pengikut lainnya, kecuali bahwa mereka terikat seumur hidup pada majikannya, yang berhak menjual si budak dan anak-anaknya. Akan tetapi sang majikan juga mesti menjaga budaknya, bahkan kadang menyediakan rumah dan lahan pertanian.

    Bab III. Kesimpulan

    A. Kesimpulan

    Transisi masyarakat Bugis dari era tradisional ke era modern sebenarnya melewati proses panjang dan kompleks. Banyak unsure kebudayaan warisan masa lalu yang masih tetap hidup. Ada pula yang perlahan-lahan mengalami proses transformasi yang lambat sejak abad sebelumnya lalu menjelma menjadi sesuatu yang baru—meskipun tetap ada jejak kesinambungannya dengan masa silam—dan kini menjadi bagian dari kebudayaan Bugis modern. Namun, ada pula unsure-unsur budaya zaman masa lampau yang sudah lenyap sama sekali. Selanjutnya, objek-objek, norma, pola-pola perilaku yang sama sekali baru telah dan masih terus muncul menggantikannya. Sebagian besar diantaranya tidak lagi berkaitan dengan ciri khas orang Bugis dan hanya merupakan pengaruh dari suatu budaya dunia dalam wujud ke-sulawesi-selatan-an, ke-indonesia-an, dank e-asia-tenggara-an. Benang-benang budaya aneka warna tersebut kemudian tersulam menjadi layar pancawarna yang melatarbelakangi budaya Bugis masyarakat Bugis dewasa ini.

    B. Saran

    Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, maka dari itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat kami harapkan demi kesempurnaan penyusunan makalah kami selanjutnya.

  • Corak Budaya Masyarakat Muslim Bugis

    Masrarakat muslim bugis menjadi salah satu suku terbesar di Indonesia dengan populasi hampir 7 juta jiwa dengan 4 juta jiwa diantaranya tinggal di Sulawesi Selatan atau kampung halaman suku Bugis.

    Budaya Masyarakat Muslim Bugis

    Suku Bugis atau to Ugi‘ adalah salah satu suku di antara sekian banyak suku di Indonesia. Mereka bermukim di Pulau Sulawesi bagian selatan. Namun dalam perkembangannya, saat ini komunitas Bugis telah menyebar luas ke seluruh Nusantara.

    Penyebaran Suku Bugis di seluruh Tanah Air disebabkan mata pencaharian orang–orang bugis umumnya adalah nelayan dan pedagang. Sebagian dari mereka yang lebih suka merantau adalah berdagang dan berusaha (massompe‘) di negeri orang lain. Hal lain juga disebabkan adanya faktor historis orang-orang Bugis itu sendiri di masa lalu.

    Orang Bugis zaman dulu menganggap nenek moyang mereka adalah pribumi yang telah didatangi titisan langsung dari “dunia atas” yang “turun” (manurung) atau dari “dunia bawah” yang “naik” (tompo) untuk membawa norma dan aturan sosial ke bumi (Pelras, The Bugis, 2006).

    Umumnya orang-orang Bugis sangat meyakini akan hal to manurung, tidak terjadi banyak perbedaan pendapat tentang sejarah ini. Sehingga setiap orang yang merupakan etnis Bugis, tentu mengetahui asal-usul keberadaan komunitasnya.Kata “Bugis” berasal dari kata to ugi, yang berarti orang Bugis.

    Penamaan “ugi” merujuk pada raja pertama kerajaan Cina (bukan negara Cina, tapi yang terdapat di jazirah Sulawesi Selatan tepatnya Kecamatan Pammana Kabupaten Wajo saat ini) yaitu La Sattumpugi.Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, mereka merujuk pada raja mereka.Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang/pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We‘ Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu‘, ayahanda dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We‘ Cudai dan melahirkan beberapa anak, termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar. Sawerigading Opunna Ware‘ (Yang Dipertuan Di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk Banggai, Kaili, Gorontalo, dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton (Sumber : id.wikipedia.org/wiki/Suku_Bugis).

    Peradaban awal orang–orang Bugis banyak dipengaruhi juga oleh kehidupan tokoh-tokohnya yang hidup di masa itu, dan diceritakan dalam karya sastra terbesar di dunia yang termuat di dalam La Galigo atau sure‘ galigo dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio dan juga tulisan yang berkaitan dengan silsilah keluarga bangsawan, daerah kerajaan, catatan harian, dan catatan lain baik yang berhubungan adat (ade‘) dan kebudayaan–kebudayaan di masa itu yang tertuang dalam Lontara‘. Tokoh–tokoh yang diceritakan dalam La Galigo, di antaranya ialah Sawerigading, We‘ Opu Sengngeng (Ibu Sawerigading), We‘ Tenriabeng (Ibu We‘ Cudai), We‘ Cudai (Istri Sawerigading), dan La Galigo(Anak Sawerigading dan We‘ Cudai).
    Tokoh–tokoh inilah yang diceritakan dalam Sure‘ Galigo sebagai pembentukan awal peradaban Bugis pada umumnya. Sedangkan di dalam Lontara‘ itu berisi silsilah keluarga bangsawan dan keturunan–keturunannya, serta nasihat–nasihat bijak sebagai penuntun orang-orang bugis dalam mengarungi kehidupan ini. Isinya lebih cenderung pada pesan yang mengatur norma sosial, bagaimana berhubungan dengan sesama baik yang berlaku pada masyarakat setempat maupun bila orang Bugis pergi merantau di negeri orang.

    Konsep Ade‘ (Adat) dan Spiritualitas (Agama) Konsep ade‘ (adat) merupakan tema sentral dalam teks–teks hukum dan sejarah orang Bugis. Namun, istilah ade‘ itu hanyalah pengganti istilah–istilah lama yang terdapat di dalam teks-teks zaman pra-Islam, kontrak-kontrak sosial, serta perjanjian yang berasal dari zaman itu. Masyarakat tradisional Bugis mengacu kepada konsep pang‘ade‘reng atau “adat istiadat”, berupa serangkaian norma yang terkait satu sama lain.

    Selain konsep ade‘ secara umum yang terdapat di dalam konsep pang‘ade‘reng, terdapat pula bicara (norma hukum), rapang (norma keteladanan dalam kehidupan bermasyarakat), wari‘ (norma yang mengatur stratifikasi masyarakat), dan sara‘ (syariat Islam) (Mattulada, Kebudayaan Bugis Makassar : 275-7; La Toa). Tokoh-tokoh yang dikenal oleh masyarakat Bugis seperti Sawerigading, We‘ Cudai, La Galigo, We‘ Tenriabeng, We‘ Opu Sengngeng, dan lain-lain merupakan tokoh–tokoh yang hidup di zaman pra-Islam. Tokoh–tokoh tersebut diyakini memiliki hubungan yang sangat erat dengan dewa–dewa di kahyangan. Bahkan diceritakan dalam La Galigo bahwa saudara kembar dari Sawerigading yaitu We‘ Tenriabeng menjadi penguasa di kahyangan. Sehingga konsep ade‘ (adat) serta kontrak-kontrak sosial, serta spiritualitas yang terjadi di kala itu mengacu kepada kehidupan dewa-dewa yang diyakini. Adanya upacara-upacara penyajian kepada leluhur, sesaji pada penguasa laut, sesaji pada pohon yang dianggap keramat, dan kepada roh-roh setempat menunjukkan bahwa apa yang diyakini oleh masyarakat tradisional Bugis di masa itu memang masih menganut kepercayaan pendahulu-pendahulu mereka.

    Namun, setelah diterimanya Islam dalam masyarakat Bugis, banyak terjadi perubahan–perubahan terutama pada tingkat ade‘ (adat) dan spiritualitas. Upacara–upacara penyajian, kepercayaan akan roh-roh, pohon yang dikeramatkan hampir sebagian besar tidak lagi melaksanakannya karena bertentangan dengan pengamalan hukum Islam. Pengaruh Islam ini sangat kuat dalam budaya masyarakat bugis, bahkan turun-temurun orang–orang bugis hingga saat ini semua menganut agama Islam.Pengamalan ajaran Islam oleh mayoritas masyarakat Bugis menganut pada paham mazhab Syafi‘i, serta adat istiadat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syariat Islam itu sendiri. Budaya dan adat istiadat yang banyak dipengaruhi oleh budaya Islam tampak pada acara-acara pernikahan, ritual bayi yang baru lahir (aqiqah), pembacaan surat yasin dan tahlil kepada orang yang meninggal, serta menunaikan kewajiban haji bagi mereka yang berkemampuan untuk melaksanakannya.

    Faktor-faktor yang menyebabkan masuknya Islam pada masyarakat Bugis kala itu juga melalui jalur perdagangan dan pertarungan kekuasaan kerajaan-kerajaan besar kala itu.Setelah kalangan bangsawan Bugis banyak yang memeluk agama Islam, maka seiring dengan waktu akhirnya agama Islam bisa diterima seluruh masyarakat Bugis. Penerapan syariat Islam ini juga dilakukan oleh raja-raja Bone, di antaranya napatau‘ matanna‘ tikka‘ Sultan Alimuddin Idris Matindroe‘ Ri Naga Uléng, La Ma‘daremmeng, dan Andi Mappanyukki. Konsep–konsep ajaran Islam ini banyak ditemukan persamaannya dalam tulisan-tulisan Lontara‘. Konsep norma dan aturan yang mengatur hubungan sesama manusia, kasih sayang, dan saling menghargai, serta saling mengingatkan juga terdapat dalam Lontara‘. Hal ini juga memiliki kesamaan dalam prinsip hubungan sesama manusia pada ajaran agama Islam.

    Budaya–budaya Bugis sesungguhnya yang diterapkan dalam kehidupan sehari–hari mengajarkan hal–hal yang berhubungan dengan akhlak sesama, seperti mengucapkan tabe‘ (permisi) sambil berbungkuk setengah badan bila lewat di depan sekumpulan orang-orang tua yang sedang bercerita, mengucapkan iyé (dalam bahasa Jawa nggih), jika menjawab pertanyaan sebelum mengutarakan alasan, ramah, dan menghargai orang yang lebih tua serta menyayangi yang muda. Inilah di antaranya ajaran–ajaran suku Bugis sesungguhnya yang termuat dalam Lontara‘ yang harus direalisasikan dalam kehidupan sehari–hari oleh masyarakat Bugis.

    Sejarah orang–orang Bugis memang sangat panjang, di dalam teks–teks sejarah seperti karya sastra La Galigo dan Lontara‘ diceritakan baik awal mula peradaban orang–orang Bugis, masa kerajaan–kerajaan, budaya dan spritualitas, adat istiadat, serta silsilah keluarga bangsawan. Hal ini menunjukkan bahwa budaya dan adat istiadat ini harus selalu dipertahankan sebagai bentuk warisan dari nenek moyang orang–orang Bugis yang tentunya sarat nilai-nilai positif.

    Namun saat ini ditemukan juga banyak pergeseran nilai yang terjadi baik dalam memahami maupun melaksanakan konsep dan prinsip-prinsip ade‘ (adat) dan budaya masyarakat Bugis yang sesungguhnya. Budaya siri‘ yang seharusnya dipegang teguh dan ditegakkan dalam nilai–nilai positif, kini sudah pudar. Dalam kehidupan manusia Bugis–Makassar, siri‘ merupakan unsur yang prinsipil dalam diri mereka. Tidak ada satu nilai pun yang paling berharga untuk dibela dan dipertahankan di muka bumi selain siri‘.Bagi Manusia Bugis-Makassar, siri‘ adalah jiwa mereka, harga diri mereka, dan martabat mereka. Sebab itu, untuk menegakkan dan membela siri‘ yang dianggap tercemar atau dicemarkan oleh orang lain, maka manusia Bugis-Makassar bersedia mengorbankan apa saja, termasuk jiwanya yang paling berharga demi tegaknya siri‘ dalam kehidupan mereka.(Hamid Abdullah, Manusia Bugis-Makassar .37).

    Di zaman ini, siri‘ tidak lagi diartikan sebagai sesuatu yang berharga dan harus dipertahankan. Pada prakteknya siri‘ dijadikan suatu legitimasi dalam melakukan tindakan–tindakan yang anarkis, kekerasan, dan tidak bertanggung jawab. Padahal nilai siri‘ adalah nilai sakral masyarakat bugis, budaya siri‘ harus dipertahankan pada koridor ade‘ (adat) dan ajaran agama Islam dalam mengamalkannya. Karena itulah merupakan interpretasi manusia Bugis yang sesungguhnya. Sehingga jika dilihat secara utuh, sesungguhnya seorang manusia bugis ialah manusia yang sarat akan prinsip dan nilai–nilai ade‘ (adat) dan ajaran agama Islam di dalam menjalankan kehidupannya, serta sifat pang‘ade‘reng (adat istiadat) melekat pada pribadi mereka.

    Mereka yang mampu memegang teguh prinsip–prinsip tersebut adalah cerminan dari seorang manusia Bugis yang turun dari dunia atas (to manurung) untuk memberikan keteladan dalam membawa norma dan aturan sosial di bumi.

    Referensi :