Blog

  • Media Pembelajaran – Kelebihan dan Kekurangan Media Gambar

    Menurut Daryanto (2011: 100) kelebihan media gambar sebagai berikut:

    1. Mudah dimanfaatkan di dalam kegiatan belajar mengajar karena praktis tanpa memerlukan perlengkapan apa-apa.
    2. Harganya relatif murah dari pada jenis-jenis media pengajaran lainnya.
    3. Gambar dapat dipergunakan dalam banyak hal, untuk berbagai jenjang pengajaran dan berbagai disiplin ilmu.
    4. Gambar dapat menerjemahkan konsep atau gagasan yang abstrak menjadi lebih realistik.

    Menurut Daryanto (2011: 101) kekurangan media gambar antara lain:

    1. Beberapa gambarnya sudah cukup memadai, tetapi tidak cukup besar  ukurannya jika digunakan untuk tujuan pengajaran kelompok besar, kecuali jika diproyeksikan melalui proyektor.
    2. Gambar adalah berdimensi dua sehingga sukar untuk melukiskan bentuk sebenarnya yang berdimensi tiga. 
    3. Gambar tetap tidak memperlihatkan gerak seperti halnya gambar hidup.

    Daftar Pustaka:

    [1] Daryanto. 2011. Media Pembelajaran. Bandung: PT. Sarana Tutorial Nurani Sejahtera.

  • Teori Belajar Kognitif

    A. Teori Belajar Kognitif

    Belajar menurut teori kognitif, suatu aktivitas pembelajaran yang berkaitan dengan penerimaan informasi, re-organisasi perseptual dan proses internal.Teori belajar kognitif sudah banyak digunakan pada kegiatan pembelajaran yaitu dalam merumuskan tujuan pembelajaran, mengembangkan strategi, dan tujuan pembelajaran. Kebebasan, keaktifan, kemandirian,dan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran amat diperhitungkan, agar belajar lebih bermakna bagi siswa.

    Menurut C. Asri Budininngsih (Belajar dan Pembelajaran:48-49) kegiatan belajar mengikuti prinsip-prinsip berikut:

    1. Siswa bukan sebagai orang dewasa yang mudah dalam proses berpikirnya. Mereka mengalami perkembangan kognitif melalui tahap tertentu.
    2. Anak usia play group dan awal sekolah dasar akan belajar dengan baik, terutama jika menggunakan benda yang nyata.
    3. Keaktifan siswa dalam proses belajar amat penting, karena hanya dengan keaktifan siswa maka proses asimilasi dan akomodasi pengetahuan dan pengalaman dapat terjadi dengan baik.
    4. Agar dapat menarik minat dan meningkatkan prestasi belajar perlu mengaitkan pengalaman/ masa lalu, informasi baru dengan struktur kognitif yang dimiliki.
    5. Pemahaman akan meningkat jika materi pembelajaran disusun dengan menggunakan pola atau logika tertentu dari sederhana menuju komplek.
    6. Perbedaan individu pada diri siswa perlu diperhatikan, karena faktor ini sangat mempengaruhi keberhasilan belajar siswa. Perbedaan tersebut contohnya motivasi, persepsi, kemampuan berpikir, pengetahuan awal, dsb.

    Teori belajar kognitif dianggap teori yang paling baik untuk mengembangkan potensi belajar anak, hal ini disebabkan teori ini menekankan keaktifan anak. Teori ini merubah pandangan anak yang dulu hanya berpandangan subyektif terhadap apa yang diamatinya akan berubah menjadi pandangan objektif melalui pertukaran ide-ide dengan orang lain, karena anak diberikan kebebasan dalam berpikir dan mengutamakan perkembangan kognitif melalui tahapan-tahapan tertentu

    B. Teori Belajar Kognitif Menurut Para Ahli

    1. Teori Kognitif  Jean Piaget (1896-1980)

    Perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik, yaitu proses yang didasari mekanisme biologis perkembangan sistem syaraf. Piaget mengembangkan teori perkembangan kognitif yang cukup dominan selama beberapa abad.  Dalam teorinya, Piaget membahas tentang bagaimana anak belajar,  menurutnya dasar belajar adalah aktivitas anak bila ia berinteraksi dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik. Anak tidak berinteraksi dengan lingkungan fisiknya sebagai suatu individu terikat, tetapi sebagai bagian dari kelompok sosial.Interaksi anak dengan masyarakat merupakan peran penting dalam mengembangkan pandangannya terhadap alam. Semakin bertambahnya usia seseorang maka susunan sel syaraf mereka akan semakin kompleks dan kemampuannya akan meningkat

    Menurut Piaget, masyarakat menyesuaikan diri dengan dua cara:

    a. Asimilasi

    Asimilasi terjadi ketika individu menggabungkan informasi baru ke dalam pengetahuan mereka yang sudah ada.

    b. Akomodasi

    Akomodasi terjadi ketika individu menyesuaikan diri dengan informasi baru.

    c.  Disequilibrium dan Equilibrium

    Penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi. Disequilibrium terjadi apabila proses akomodasi dimulai ketika pengetahuan baru yang dikenalkan tidak cocok dengan struktur kognitif ada. Sedangkan equilibrium terjadi apabila struktur kognitif ditata kembali dan disesuaikan dengan pengetahuan baru.Sehingga pengetahuan baru dapat diakomodasi dan selanjutnya diasimilasi menjadi urutan dari umum kerinci yang baru.

    Menurut Piaget, anak secara aktif membangun pengetahuan dengan cara berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Berdasarkan hasil interaksi anak, Piaget mengembangkan empat skemayaitu:

    a.       Sensory Motor Stage (0-2 tahun)

    Pada tahap ini, perkembangan mental ditandai dengan kemajuan besar dalam kemampuan bayi untuk mengatur eskpresi (melihat dan mendengar) dan memanipulasi serta memindahkan objek pada tempat yang ia kehendaki melalui gerakan dan tindakan fisik.

    b. Pra-Operational Stage (2-7 tahun)

    Pada tahap ini anak mulai melukiskan dunia dengan kata-kata dan gambar. Pada tahap ini anak sudah mampu mengetahui objek beserta isinya, akan tetapi anak lebih cenderung memusatkan perhatiannya melalui objek tersebut.

    c. Concrete Operational Stage (7-11 tahun)

    Pada tahap ini anak melakukan penalaran logika menggantikan pemikiran intuisi sejauh pemikiran yang dapat diterapkan ke dalam contoh-contohnya yang spesifik dan nyata. Anak sudah menggunakan konsep kemungkinan

    d.      FormalOperationalStage (11-15 tahun)

    Pada tahap ini individu melampui dunia nyata, pengalaman-pengalaman nyata dan berpikir secara abstrak dan logis.

    Perlu diingat selalu bahwa setiap tahap tidak bisa berpindah ke tahap berikutnya apabila tahap sebelumnya belum bisa diselesaikan, di setiap selesainya tahapan, umur tidak bisa menjadi patokan utama seseorang berada pada tahap tertentu, hal ini disebabkan perbedaan perkembangan individu satu dengan yang lain.https://googleads.g.doubleclick.net/pagead/ads?client=ca-pub-1710703744597401&output=html&h=280&slotname=9864189725&adk=1801149279&adf=1544099855&pi=t.ma~as.9864189725&w=807&fwrn=4&fwrnh=100&lmt=1677756340&rafmt=1&format=807×280&url=https%3A%2F%2Fiwanlukman.blogspot.com%2F2019%2F02%2Fteori-belajar-kognitif.html&host=ca-host-pub-1556223355139109&fwr=0&rpe=1&resp_fmts=3&wgl=1&uach=WyJtYWNPUyIsIjEyLjYuMCIsImFybSIsIiIsIjExMC4wLjU0ODEuMTc3IixbXSxmYWxzZSxudWxsLCI2NCIsW1siQ2hyb21pdW0iLCIxMTAuMC41NDgxLjE3NyJdLFsiTm90IEEoQnJhbmQiLCIyNC4wLjAuMCJdLFsiR29vZ2xlIENocm9tZSIsIjExMC4wLjU0ODEuMTc3Il1dLGZhbHNlXQ..&dt=1677840409338&bpp=1&bdt=66&idt=29&shv=r20230301&mjsv=m202302280101&ptt=9&saldr=aa&abxe=1&prev_fmts=1200×280%2C728x250&correlator=5812415111443&frm=20&pv=1&ga_vid=1849508429.1677840409&ga_sid=1677840409&ga_hid=1153412328&ga_fc=0&u_tz=480&u_his=5&u_h=900&u_w=1440&u_ah=900&u_aw=1440&u_cd=30&u_sd=2&dmc=8&adx=139&ady=3096&biw=1440&bih=789&scr_x=0&scr_y=0&eid=44759837%2C44759926%2C44759875%2C44777876%2C31072727%2C31072742&oid=2&pvsid=1502409668165392&tmod=1474332388&uas=0&nvt=1&ref=https%3A%2F%2Fiwanlukman.blogspot.com%2F2019%2F01%2Fperbedaan-penelitian-kualitatif-dan.html&fc=640&brdim=0%2C0%2C0%2C0%2C1440%2C0%2C1440%2C900%2C1440%2C789&vis=1&rsz=%7C%7CoeEbr%7C&abl=CS&pfx=0&fu=128&bc=31&ifi=3&uci=a!3&btvi=1&fsb=1&xpc=XrXr3LW3YN&p=https%3A//iwanlukman.blogspot.com&dtd=30https://googleads.g.doubleclick.net/pagead/ads?client=ca-pub-1710703744597401&output=html&h=280&slotname=2269424671&adk=1807526661&adf=1274045582&pi=t.ma~as.2269424671&w=807&fwrn=4&fwrnh=100&lmt=1677756340&rafmt=1&format=807×280&url=https%3A%2F%2Fiwanlukman.blogspot.com%2F2019%2F02%2Fteori-belajar-kognitif.html&host=ca-host-pub-1556223355139109&fwr=0&rpe=1&resp_fmts=3&wgl=1&adsid=ChEIgNKGoAYQ3pjdl7Do-8n9ARI9AMl40zLaMm0VPeqtiC5V4oalBkA5ARU-z-_l5mUa4hE57xZ8C_8pi1BJo134Ozqc6jVuMthh_hssrYZMOQ&uach=WyJtYWNPUyIsIjEyLjYuMCIsImFybSIsIiIsIjExMC4wLjU0ODEuMTc3IixbXSxmYWxzZSxudWxsLCI2NCIsW1siQ2hyb21pdW0iLCIxMTAuMC41NDgxLjE3NyJdLFsiTm90IEEoQnJhbmQiLCIyNC4wLjAuMCJdLFsiR29vZ2xlIENocm9tZSIsIjExMC4wLjU0ODEuMTc3Il1dLGZhbHNlXQ..&dt=1677840409338&bpp=1&bdt=66&idt=32&shv=r20230301&mjsv=m202302280101&ptt=9&saldr=aa&abxe=1&prev_fmts=1200×280%2C728x250%2C807x280%2C298x600%2C300x250%2C0x0&nras=1&correlator=5812415111443&frm=20&pv=1&ga_vid=1849508429.1677840409&ga_sid=1677840409&ga_hid=1153412328&ga_fc=0&u_tz=480&u_his=5&u_h=900&u_w=1440&u_ah=900&u_aw=1440&u_cd=30&u_sd=2&dmc=8&adx=139&ady=3095&biw=1440&bih=789&scr_x=0&scr_y=0&eid=44759837%2C44759926%2C44759875%2C44777876%2C31072727%2C31072742&oid=2&pvsid=1502409668165392&tmod=1474332388&uas=0&nvt=1&ref=https%3A%2F%2Fiwanlukman.blogspot.com%2F2019%2F01%2Fperbedaan-penelitian-kualitatif-dan.html&fc=896&brdim=0%2C0%2C0%2C0%2C1440%2C0%2C1440%2C900%2C1440%2C789&vis=1&rsz=%7Cm%7CpoeEbr%7Cp&abl=XS&pfx=0&fu=128&bc=31&ifi=4&uci=a!4&btvi=3&fsb=1&xpc=KiShxwBr2M&p=https%3A//iwanlukman.blogspot.com&dtd=517

    2.   Teori Kognitif Jerome Bruner (1966)

    Bruner melihat perkembangan kognitif manusia berkaitan dengan kebudayaan, terutama bahasa. Dalam bukunya Toward Theory of Instruction, menyatakan anak belajar melalui tiga tahap:

    a.      Enactive

    Tahap dimana individu melakukan aktivitas yang berhubungan dengan usahanya memahami lingkungan dengan menggunakan pengetahuan motorik atau gerak

    b.      Iconic

    Tahap dimana individu memahami lingkungannya melalui gambar dan visualisasi verbal atau berbicara.

    c.       Symbolic

    Tahap individu memahami lingkungannya melalui gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika.

    Dalam konteks lain Teori Burner juga menyatakan bahwa anak harus berperan aktif dalam belajar. Menurut “DiscoveryLearning” yaitu siswa mengorganisasi metode penyajian bahwa dengan cara dimana anak dapat mempelajari bahan, sesuai tingkat kemampuan anak.

    The Act of Discovery (Bruner)

    a.       Adanya suatu kenaikan dari dalam potensi intelektual

    b.      Ganjaran intrinsik lebih ditekankan daripada ekstrensik

    c.       Murid mempelajari ‘Bagaiman menemukan sistem belajar baru?”

    d.      Murid lebih senang mengingat informasi

    3. Teori Kognitif David Ausubel

    Teori belajar dari David Ausubel dikenal dengan “Belajar Bermakna” atau MeaningfullLearning, Artinya, bahwa yang dipelajari anak memiliki fungsi bagi kehidupannya. Menurut Ausubell, seseorang belajar dengan mengasosiasikan fenomena baru ke dalam bayangan yang telah dimiliki. Dalam proses itu seseorang dapat mengembangkan bayangannya yang ada atau mengubahnya. Dalam proses belajar, siswa membangun apa yang dia pelajari sendiri.

    a.       Langkah – langkah pembelajaran menurut Ausubel:

    1)      Menentukan tujuan pembelajaran

    2)      Melakukan indentifikasi karakteristik siswa (kemampuan awal, motivasi,

    gaya belajar)

    3)      Memilih materi pelajaran yang sesuia dengan karateristik siswa dan mengaturnya dalam bentuk konsep

    4)      Menentukan topic-topik dan menampilkannya dalam bentuk AdvanceOrganizer yang akan dipelajari siswa

    5)      Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa

    b.      Dua hal yang perlu diperhatikan agar belajar menjadi lebih bermakna:

    1)      Materi yang dipelajari haruslah merupakan materi yang bermakna, sesuai dengan struktur kognitif siswa

    2)      Aktivitas belajar semestinya berlangsung dalam kondisi belajar yang bermakna

    Dalam konteks demikian aspek motivasional menjadi sangat penting, sebab tidak akan terjadi asimilasi pengetahuan baru jika siswa tidak memiliki pengetahuan bagaimana melakukannya? Meskipun kedua syarat tersebut telah terpenuhi, namun dalam belajar belum bermakna, karena masih diperlukan adanya advanceorginizer, yaitu kerangka abstraksi atau ringkasan konseptual dari apa yang dipelajari.

    Bagi Ausubel advanceorganizer dapat memberikan tiga manfaat penting:

    a.       Dapat menyediakan suatu kerangka konsep untuk materi yang akan dipelajari

    b.      Berfungsi sebagai mnemonic (jembatan penghubung) anatara apa yang sedang dipelajari saat ini dengan apa yang akan dipelajari siswa

    c.      Mampu membahas siswa untuk memahami bahan belajar secara lebih mudah

    C.   Aplikasi Teori Kognitif dalam Kegiatan Pembelajaran

    Metode belajar yang dapat digunakan dalam kegiatan pembelajaran yaitu SQ3R, rumus ini bersifat praktis dan dapat diaplikasikan dalam berbagai pendekatan belajar. SQ3R diartikan sebagai berikut:

    1.      Survey diartikan meneliti atau mengidentifikasi seluruh teks

    2.      Question diartikan menyusun daftar pertanyaan

    3.      Read diartikan membaca berbagai referensi untuk mencari jawaban

    4.      Recite diartikan menghafal setiap jawaban

    5.      Review diarikan sebagai mengulang kembali seluruh jawaban

    Proses belajar akan berjalan baik bila materi – materi belajar yang baru beradaptasi secara klop dengan struktur kognitif yang dimiliki oleh siswa. Materi pembelajaran sangat penting dan harus dipersiapkan agar pelakasanaan pembelajaran saaat mencapai sasaran.Mulai dari materi fakta, konsep, prinsip, prosedur dan sikap.

    Komponen yang diperlukan yakni sumber belajar yang dapat dimanfaatkan oleh guru maupun murid dalam mempelajari materi pelajaran sehingga memudahkan murid dalam memahami materi.

    Secara umum sumber belajar dapat berupa media cetak berupa buku, majalah, koran yang sesuai dengan materi yang sedang dibahas di kelas. Media elektronik seperti komputer, TV, radio yang berhubungan dengan dunia pendidikan. Prakteknya adalah sebagai berikut

    a)    Guru menyusun materi dengan menggunakan pola dn logika tertentu dari sederhana ke kompleks

    b)   Belajar dengan memahami akan jauh lebih baik daripada hanya sekadar menghafal.

    c)    Memperhatikan perbedaan individual siswa untuk mencapai keberhasilan siswa

    D.   Kelebihan dan Kekurangan Teori Belajar Kognitif

    1.  Kelebihan Teori Belajar Kognitif :

    a.  Dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk memecahkan masalah (problem solving).

    b.  Dapat meningkatkan motivasi.

    2.  Kekurangan Teori Belajar Kognitif:

    Karena guru bukan sumber belajar utama dan bukan kepatuhan siswa yang dituntut dalam refleksi atas apa yang telah di perintahkan dan dilakukan oleh guru. Maka dalam hal ini kewibawaan guru akan berkurang yang berdampak pada penghormatan seorang siswa kepada seorang guru juga akan berkurang.

  • Perbedaan Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif

    Berikut ini perbedaan penelitian kualitatif dan penelitian kuantitatif ditinjau dari beberapa hal:

    1.  Teori

    Penelitian kuantitatif merupakan penganut aliran positivisme, yang perhatiannya ditujukan pada fakta-fakta tersebut. Artinya, pendekatan ini berpijak pada apa yang disebut dengan fungsionalisme struktural, realisme, positivisme, behaviourisme dan empirisme yang intinya menekankan pada hal-hal yang bersifat kongkrit, uji empiris dan fakta-fakta yang nyata.

    Adapun penelitian kualitatif menganut aliran femnomenologis, yang menitik beratkan kegiatan penelitian ilmiah dengan jalan penguraian dan pemahaman atas gejala sosial yang diamatinya. Artinya, jika kita menggunakan pendekatan kualitatif, maka dasar teori sebagai pijakan ialah adanya interaksi simbolik dari suatu gejala dengan gejala lain yang ditafsir berdasarkan pada budaya yang bersangkutan dengan cara mencari makna semantis universal dari gejala yang sedang diteliti.

    2.  Pendekatan

    Pendekatan kualitatif menekankan pada makna, penalaran, definisi suatu situasi tertentu (dalam konteks tertentu), lebih banyak meneliti hal-hal yang berhubungan dengan  kehidupan sehari-hari. Pendekatan kualitatif, lebih lanjut, mementingkan pada proses dibandingkan dengan hasil akhir; oleh karena itu urut-urutan kegiatan dapat berubah-ubah tergantung pada kondisi dan banyaknya gejala-gejala yang ditemukan. Tujuan penelitian biasanya berkaitan dengan hal-hal yang bersifat praktis.

    Pendekatan kuantitatif mementingkan adanya variabel-variabel sebagai obyek penelitian dan variabel-variabel tersebut harus didefenisikan dalam bentuk operasionalisasi variable masing-masing.  Reliabilitas dan validitas merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam menggunakan pendekatan ini karena kedua elemen tersebut akan menentukan kualitas hasil penelitian dan kemampuan replikasi serta generalisasi penggunaan model penelitian sejenis. Selanjutnya, penelitian kuantitatif memerlukan adanya hipotesa dan pengujiannya yang kemudian akan menentukan tahapan-tahapan berikutnya, seperti penentuan teknik analisa dan formula statistik yang akan digunakan. Juga, pendekatan ini lebih memberikan makna dalam hubungannya dengan penafsiran angka statistik bukan makna secara kebahasaan dan kulturalnya.

    3.  Tujuan

    Tujuan utama penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif ialah mengembangkan pengertian, konsep-konsep, yang pada akhirnya menjadi teori, tahap ini dikenal sebagai “grounded theory research”. Maksudnya, penelitian ini betujuan untuk menemukan ciri-ciri sifat dari fenomena, kemudian dicari hubungan yang mendasarinya hingga menjadi sebuah teori yang terbentuk.
    Sebaliknya pendekatan kuantitatif bertujuan untuk menguji teori, membangun fakta, menunjukkan hubungan antar variable, memberikan deskripsi statistik, menaksir dan meramalkan  hasilnya. Artinya, penelitian ini betujuan untuk verifikasi teori dengan cara perantara pengujian hipotesis dengan teknik statistik,

    4.  Desain

    Melihat sifatnya, pendekatan kualitatif desainnya bersifat umum, dan berubah-ubah/ berkembang sesuai dengan situasi di lapangan. Kesimpulannya, desain hanya digunakan sebagai asumsi untuk melakukan penelitan, oleh karena itu  desain harus bersifat fleksibel dan terbuka.

    Adapun penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif, desainnya harus terstruktur, baku, formal dan dirancang sematang mungkin sebelumnya. Desainnya bersifat spesifik dan detil karena desain merupakan suatu rancangan penelitian yang akan dilaksanakan sebenarnya. Oleh karena itu, jika desainnya salah, hasilnya akan menyesatkan. Contoh desain kuantitatif: ex post facto dan desain experimental yang mencakup diantaranya one short case study, one group pretest, posttest design, Solomon four group design dan lain-lain.

    5.  Analisis Data

    Analisa data dalam penelitian kualitatif bersifat induktif dan berkelanjutan yang tujuan akhirnya menghasilkan pengertian-pengertian, konsep-konsep dan pembangunan suatu teori baru, contoh dari model analisa kualitatif ialah analisa domain, analisa taksonomi, analisa komponensial, analisa tema kultural, dan analisa komparasi konstan (grounded theory research).

    Analisa dalam penelitian kuantitatif bersifat deduktif, uji empiris teori yang dipakai dan dilakukan setelah selesai pengumpulan data secara tuntas dengan menggunakan sarana statistik, seperti korelasi, uji t, analisa varian dan covarian, analisa faktor, regresi linear dll.nya.

    6.  Data

    https://googleads.g.doubleclick.net/pagead/ads?client=ca-pub-1710703744597401&output=html&h=280&adk=3459918577&adf=802447185&pi=t.aa~a.4133538503~i.5~rp.4&w=807&fwrn=4&fwrnh=100&lmt=1677756340&num_ads=1&rafmt=1&armr=3&sem=mc&pwprc=7176601593&ad_type=text_image&format=807×280&url=https%3A%2F%2Fiwanlukman.blogspot.com%2F2019%2F01%2Fperbedaan-penelitian-kualitatif-dan.html&host=ca-host-pub-1556223355139109&fwr=0&pra=3&rh=200&rw=807&rpe=1&resp_fmts=3&wgl=1&fa=27&adsid=ChEIgNKGoAYQ3pjdl7Do-8n9ARI9AMl40zJayHzM8mZ7_Mx0boDIRgo8LTLjXbQtxiDkGYyYiHcgya-H2xrMQzwxYO-YXyVbIt6oysxEKHnRfQ&uach=WyJtYWNPUyIsIjEyLjYuMCIsImFybSIsIiIsIjExMC4wLjU0ODEuMTc3IixbXSxmYWxzZSxudWxsLCI2NCIsW1siQ2hyb21pdW0iLCIxMTAuMC41NDgxLjE3NyJdLFsiTm90IEEoQnJhbmQiLCIyNC4wLjAuMCJdLFsiR29vZ2xlIENocm9tZSIsIjExMC4wLjU0ODEuMTc3Il1dLGZhbHNlXQ..&dt=1677839831116&bpp=1&bdt=1932&idt=1&shv=r20230301&mjsv=m202302280101&ptt=9&saldr=aa&abxe=1&prev_fmts=1200×280%2C728x250%2C807x280%2C807x280%2C298x600%2C300x250%2C0x0&nras=2&correlator=2697637664624&frm=20&pv=1&ga_vid=604159697.1677839829&ga_sid=1677839829&ga_hid=1335465355&ga_fc=0&u_tz=480&u_his=4&u_h=900&u_w=1440&u_ah=900&u_aw=1440&u_cd=30&u_sd=2&dmc=8&adx=139&ady=2609&biw=1440&bih=789&scr_x=0&scr_y=0&eid=44759837%2C44759926%2C44759875%2C44777876%2C31072730%2C31072742&oid=2&pvsid=1092587056676543&tmod=1474332388&uas=0&nvt=1&ref=https%3A%2F%2Fiwanlukman.blogspot.com%2F2018%2F03%2Fteori-belajar-dave-meier.html&fc=384&brdim=0%2C0%2C0%2C0%2C1440%2C0%2C1440%2C900%2C1440%2C789&vis=1&rsz=%7C%7Cs%7C&abl=NS&fu=128&bc=31&jar=2023-03-03-10&ifi=9&uci=a!9&btvi=4&fsb=1&xpc=lV64KFijML&p=https%3A//iwanlukman.blogspot.com&dtd=4

    Pada pendekatan kualitatif, data bersifat deskriptif, maksudnya data dapat berupa gejala-gejala yang dikategorikan ataupun dalam bentuk lainnya, seperti foto, dokumen, artefak dan catatan-catatan lapangan pada saat penelitian dilakukan.

    Sebaliknya penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif datanya bersifat kuantitatif/ angka-angka statistik ataupun koding-koding yang dapat dikuantifikasi. Data tersebut berbentuk variable-variabel dan operasionalisasinya dengan skala ukuran tertentu, misalnya skala nominal, ordinal, interval dan ratio.

    7.  Sampel

    Sampel kecil merupakan ciri pendekatan kualitatif karena pada pendekatan kualitatif penekanan pemilihan sample didasarkan pada kualitasnya bukan jumlahnya. Oleh karena itu, ketepatan dalam memilih sample merupakan salah satu kunci keberhasilan utama untuk menghasilkan penelitian yang baik. Sampel juga dipandang sebagai sample  teoritis dan tidak representatif.

    Sedang pada pendekatan kuantitatif, jumlah sample  besar, karena aturan statistik mengatakan bahwa semakin sample besar akan semakin merepresentasikan kondisi riil. Karena pada umumnya pendekatan kuantitatif membutuhkan sample yang besar, maka stratafikasi sample diperlukan . Sampel biasanya diseleksi secara random. Dalam melakukan penelitian, bila perlu diadakan kelompok pengontrol untuk pembanding sample yang sedang diteliti. Ciri lain ialah penentuan jenis variable yang akan diteliti, contoh, penentuan variable yang mana yang ditentukan sebagai variable bebas, variable tergantung, varaibel moderat, variable antara, dan variabel kontrol. Hal ini dilakukan agar peneliti dapat melakukan pengontrolan  terhadap variable pengganggu.

    8.  Teknik

    Jika peneliti menggunakan pendekatan kualitatif, maka yang bersangkutan akan menggunakan teknik observasi atau dengan melakukan observasi terlibat langsung, seperti yang dilakukan oleh para peneliti bidang antropologi dan etnologi sehingga peneliti terlibat langsung dengan yang diteliti. Dalam praktiknya, peneliti akan melakukan review terhadap berbagai dokumen, foto-foto dan artefak yang ada. Interview yang digunakan ialah interview tertutup.

    Jika pendekatan kuantitatif digunakan maka teknik yang dipakai akan berbentuk observasi terstruktur, survei dengan menggunakan kuesioner, eksperimen dan eksperimen semu. Dalam melakukan interview, biasanya diberlakukan interview terstruktur untuk mendapatkan seperangkat data yang dibutuhkan. Teknik mengacu pada tujuan penelitian dan jenis data yang diperlukan.

    9.  Hubungan Peneliti

    Dalam penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif, peneliti tidak mengambil jarak dengan yang diteliti. Hubungan yang dibangun didasarkan pada saling kepercayaan. Dalam praktiknya, peneliti melakukan hubungan dengan yang diteliti secara intensif. Apabila sample itu manusia, maka yang menjadi responden diperlakukan sebagai partner bukan obyek penelitian.

    Dalam penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif peneliti mengambil jarak dengan yang diteliti. Hubungan ini seperti hubungan antara subyek dan obyek. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan tingkat objektivitas yang tinggi. Pada umumnya penelitiannya  berjangka waktu pendek.

    10.  Kelebihan Dan Kekurangan

    Pendekatan kualitatif banyak memakan waktu, reliabiltasnya dipertanyakan, prosedurnya tidak baku, desainnya tidak terstruktur dan tidak dapat dipakai untuk penelitian yang berskala besar dan pada akhirnya hasil penelitian dapat terkontaminasi dengan subyektifitas peneliti.

    Pendekatan kuantitatif memunculkan kesulitan dalam mengontrol variable-variabel lain yang dapat berpengaruh terhadap proses penelitian baik secara langsung ataupun tidak langsung. Untuk menciptakan validitas yang tinggi juga diperlukan kecermatan dalam proses penentuan sample, pengambilan data dan penentuan alat analisanya.

  • Teori Belajar Dave Meier

    Teori Belajar Dave Meier

    Teori Belajar Dave Meier dikenal juga sebagai teori belajar siswa aktif. Teroi ini menjadi landasan prinsip pembelajaran berpusat pada peserta didik.

    Teori Belajar Aktif Dave Meier

    Belajar merupakan sebuah proses aktif peserta didik dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Peserta didik yang lebih aktif akan mendapatkan hasil belajar yang lebih baik daripada yang pasif. Teori ini diilhami dari filsuf China, Konfusius yang menyatakan bahwa :

    “Apa yang saya denga, saya lupa; Apa yang saya lihat, saya ingat dan apa yang saya lakukan saya paham”.

    Hal ini diperkuar oleh Silberman (2006) yang menyatakab bahwa cara belajar dengan mendengan akan mudah untuk dilupakan, dengan mendengarkan dan melihat akan membuat peserta didik mengingat sedikit lebih banyak. Belajar dengan mendengarkan, melihat dan mendiskusikan akan membuat siswa lain paham. Belajar disertai dengan proses mendengar, melihat, diskusi dan melakukan akan menghasilkan pengetahuan dan keterampilan yang holistik dalam menguasai topik yang sedang di pelajari.

    Zaini (2008) menyatakan bahwa pembelajran aktif adalah pembelajaran yang melibatkan peserta didik dalam akitvitas belajar secara aktif. Aktif dalam hal ini, porses pembelajaran didominiasi oleh peserta didik. Hal ini membuat pebelajar aktif akan mendapatkan hasil belajar yang lebih daripada pebelajar pasif.

    Implikasi dari teori belajar ini tidak merekomendasikan Metode Ceramah dalam proses pembelajaran namun metode ceramah juga tidak boleh ditinggalkan. Indra pendengaran peserta didik merupakan indera pertama yang digunakan peserta didik dalam belajar. Hanya saja indera ini tidak cukup baik untuk peserta gunakan dalam menghasilkan keterampilan yang sifatnya permanen.

    Dave Meier kemudian mengemukakan empat dimensi yang aktif dalam proses pembelajaran yakni

    1. Tubuh atau somatis (S)
    2. Audiotori (A)
    3. Visual (V)
    4. Intelektual (I)

    Model pembelajaran ini selanjutnya disebut metode pembelajran SAVI. SAVI memiliki sejumlah prinsip pokok pembelajaran yakni :

    1. Belajar melibatkan seluruh tubuh dan pikiran. Belajar tidak hanya melibatkan otak tetapi juga melibatkan seluruh tubuh atau pikiran dengan segala emosi, indra, dan sarafnya.
    2. Belajar adalah bereaksi, bukan mengkonsumsi. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang diserap oleh pembelajar, melainkan sesuatu yang diciptakan pembelajar.
    3. Kerjasama membantu proses belajar. Semua usaha belajar yang baik mempunyai landasan sosial. Sebagaimana yang dikemukakan Huda (2011: 65) bahwa pemecahan masalah yang dilakukan melalui kerja kooperatif umumnya juga memberikan kecenderungan dan hasil yang lebih baik daripada melalui kerja kompetitif atau individualistik.
    4. Pembelajaran berlangsung pada banyak tingkatan secara simultan. Belajar bukan hanya menyerap suatu hal yang kecil pada satu waktu linear melainkan menyerap suatu hal banyak sekaligus.
    5. Belajar berasal dari mengerjakan pekerjaan itu sendiri (dengan umpan balik). Belajar palin baik adalah belajar dengan konteks. 
    6. Emosi positif sangat membantu pembelajaran. Perasaan menentukan kualitas dan kuantitas seseorang.
    7. Otak citra menyerap informasi secara langsung dan otomatis.

    Menurut Meier (2002: 100) mengemukakan bahwa belajar bisa optimal jika keempat unsur SAVI ada dalam satu peristiwa pembelajaran karena  pembelajaran tidak otomatis meningkat dengan menyuruh orang berdiri dengan bergerak ke sana kemari. Akan tetapi, menggabungkan gerakan fisik dengan aktivitas intelektual dan penggunaan semua indra dapat berpengaruh besar pada pembelajaran. Dave Meier menamakan pembelajaran ini dengan pembelajaran SAVI, unsur-unsurnya sebagai berikut:

    1. Somatis, yaitu belajar dengan bergerak dan berbuat.
    2. Auditori, yaitu belajar dengan berbicara dan mendengar.
    3. Visual, yaitu belajar dengan mengamati dan menggambarkan.
    4. Intelektual, yaitu belajar dengan memecahkan masalah dan merenung.

    Keempat cara belajar tersbut harus ada agar pembelajaran berlangsung optimal.  Sesuai dengan singkatan dari SAVI yaitu Somatis, Auditori, Visual dan Intelektual, maka karakteristiknya ada empat bagian yaitu:

    1. Somatis

    Somatis berasal dari bahasa Yunani yaitu “soma” yang artinya tubuh. Jika dikaitkan dengan belajar maka dapat diartikan bahwa belajar dengan bergerak dan berbuat. Sehingga pembelajaran somatis adalah pembelajaran yang melibatkan tubuh (indra peraba, kinestetik, melibatkan fisik, dan menggerakkan tubuh sewaktu pembelajaran berlangsung).

    2. Auditori

    Auditori yaitu belajar yang melibatkan kemampuan pendengaran yang meliputi kegiatan berbicara dan mendengar. Menurut Meier (2002: 95) mengemukakan bahwa pikiran auditori lebih kuat daripada yang kita sadari dan telinga terus menerus menangkap  dan menyimpan informasi auditori. Dengan demikian, membuat suara sendiri (berbicara sendiri), beberapa area penting di otak menjadi aktif. Oleh karena itu, pembelajaran sebaiknya mengajak peserta didik membicarakan apa yang sedang mereka pelajari, mengajak mereka memecahkan masalah, dan mengumpulkan informasi. Sebagaimana filosofi seorang Bangsa Yunani Kuno yang mengatakan bahwa “jika kita mau belajar lebih banyak tentang apa saja, bicarakanlah tanpa henti”.

    3. Visual

    Visual melibatkan kemampuan penglihatan yang meliputi kegiatan mengamati dan menggambarkan. Otak manusia seperti komputer yang mampu memproses informasi visual. Peserta didik yang melibatkan visualnya lebih mudah belajar jika dapat melihat apa yang sedang dibicarakan penceramah atau sebuah buku. Pembelajar visual belajar paling baik jika mereka dapat melihat contoh dari dunia nyata, diagram dan gambaran dari segala hal ketika belajar. 

    4. Intelektual

    Intelektual melibatkan kegiatan memecahkan masalah dan merenung. Pembelajar tipe intelektual melakukan sesuatu dengan pikiran mereka secara internal, menggunakan kecerdasan untuk merenungkan suatu pengalaman dan menciptakan hubungan, makna dan nilai dari pengalaman tersebut. Ini diperkuat dengan makna intelektual sebagai bagian dari merenung, mencipta dan memecahkan masalah. Meier (2002: 100) mengemukakan bahwa:

    “Belajar bisa optimal jika keempat unsur SAVI (Somatis, Auditori, Visual, Intelektual) ada dalam suatu peristiwa pembelajaran. Orang dapat belajar sedikit dengan menyaksikan presentasi (V), tetapi mereka dapat belajar jauh lebih banyak jika mareka dapat melakukan sesuatu ketika presentasi sedang berlangsung (S), membicarakan apa yang sedang mereka (A) dan memikirkan cara menerapkan informasi dalam presentasi tersebut pada pekerjaan mereka (I)”.

    B.   Tahap-Tahap Teori Belajar Dave Meier

    Teori belajar Dave Meier atau dikenal dengan pembelajaran SAVI (Somatis, Auditori, Visual, Intelektual) dapat dilaksanakan dalam siklus pembelajaran melalui empat tahap, yaitu:

    1.     Tahap Persiapan

    Pada tahap ini guru membangkitkan minat peserta didik, memberikan perasaan positif mengenai pengalaman belajar yang akan datang, dan menetapkan mereka dalam situasi optimal untuk belajar. Adapun hal-hal yang dapat dilakukan antara lain:

    1. Memberikan pernyataan yang bermanfaat kepada peserta didik.
    2. Memberi tujuan yang jelas dan bermakna.
    3. Membangkitkan rasa ingin tahu.
    4. Menenangkan rasa takut.
    5. Menyingkirkan hambatan-hambatan belajar.
    6. Mengajak pembelajar terlibat penuh sejak awal.

    2.     Tahap Penyampaian

    Pada tahap ini guru membantu peserta didik menemukan materi belajar yang baru dengan cara menarik, menyenangkan, relevan, melibatkan panca indra dan cocok untuk semua gaya belajar. Hal yang dapat dilakukan guru antara lain:

    a.     Berbagi pengetahuan.

    b.     Latihan menemukan (sendiri, berpasangan atau kelompok)

    c.     Pelatihan memecahkan masalah.

    d.     Presentasi interaktif.

    e.     Pengalaman belajar di dunia nyata yang kontekstual.

    3.     Tahap Pelatihan

    Pada tahap ini guru membantu peserta didik mengintegrasikan dan menyerap pengetahuan dan keterampilan baru dengan berbagai cara. Hal yang dapat dilakukan guru antara lain:

    a.     Aktivitas pemrosesan peserta didik.

    b.     Usaha aktif atau umpan balik atau renungan atau usaha kembali.

    c.     Aktivitas pemecahan masalah.

    d.     Dialog berpasangan atau kelompok.

    e.     Mengajar balik.

    4. Tahap Penampilan Hasil

    Pada tahap ini, guru membantu peserta didik menerapkan dan memperluas pengetahuan atau keterampilan baru mereka pada pekerjaan sehingga hasil belajar akan melekat dan penampilan hasil akan terus meningkat. Hal yang dapat dilakukan guru antara lain:

    a.     Aktivitas penguatan penerapan.

    b.     Materi penguatan persepsi.

    c.     Pelatihan terus menerus.

    d.     Umpan balik dan evaluasi kinerja.

  • Pendekatan Pembelajaran Berbasis Problem Solving

    Problem Solving

    Pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, didalamnya mewadahi,menginspirasi, menguatkan dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoritis tertentu . Menurut Erman Suherman (2001 : 70) pendekatan pembelajaran ialah cara yang ditempuh guru dalam pelaksanaan pembelajaran agar konsep yang disajikan bias beradaptasi dengan siswa. Menurut Asmani (2010:31) pendekatan pembelajaran dapat dibedakan menjadi dua yaitu pendekatan yang berpusat pada guru dan pendekatan yang berpusat pada siswa.

    Pendekatan pemecahan masalah merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang memungkinkan siwa memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang sudah dimiliki untuk diterapkan pada pemecahan masalah yang tidak rutin.

    Pendekatan problem  solving member kesempatan kepada siswa untuk menemukan penyelesaian dari masalah tersebut, maka mereka akan memperoleh kepuasan tertentu. Sehinggah siswa akan lebuh termotivasi mempelajari prisip-prinsip atu konsep yang diberikan. Dalam menyelesaiakan masalh siswa perlu dilatih utnuk mendapatkan langkah-langkah penyelesaian secara teratur,sistimatis dan penarikan kesimpulan secarah sah berdasarkan kaidah yang telah ditetapkan.
    Pendekatan Problem solving dalam pembelajaran menekankan pada pemahaman terhadap permasalahan, kemudian mencari penyelesaian dan menyelesaikan permasalahan serta melakukan evaluasi kembali penyelesaian yang di lakukan.
    Berdasarkan uraian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa pendekatan problem solving merupakan pencarian solusi dari suatu permasalahan dengan menggunakan identifikasi, mengeksplorasi, mencari langkah-langkah pemecahan dan akhirnya menemukan solusi tersebut serta mengevaluasi solusi dari permasalahan tersebut.

    Teori-teori yang Mendukung pendekatan Problem Solving 
    Beberapa teori-teori belajaar yang berkaitan dengan mendukung pedekatn pemecahan masalah antara lain:
    Teori beljar yang dikemukakan Gagne (Suherman, 2001:83) bahwa keterampilan intelektual tingkat tinggi dapat dikembangkan melalui pemecahan masalah, hal ii dapt di pahami sebab pemecahan masalah merupakan tipe belajar palin tinggi dari delapan tipe yang dikemukakan Gagne. Pemecahan masalah banyak disenangi oleh para ahli-ahli pendidikan. Proses pemecahan masalah menghasilkan lebih banyak prinsip yang dapat membantu dalam pemecahan masalah selanjutnya. Pelajaran matematika yang pernah kita hadapi pada umumnya dterdiri dari masalah. Untuk menemukan pemecahan terdapat masalah biasa dilengkapi dengan belajar prinsip-prinsip kemudian mennggunkan untuk memecahkan apa yang dinamakan masalah
    Teori belajar konstriktivisme yang menekankan bagaimana siwa harus mebangun sendiri pengetahuannya serta menerapakan ide-ide mereka dalam memecahkan masalah.
    Teori belajar bermakna David Ausebel . belajar bermakna merupakan suatu proes dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kongitif seseorang.
    Teori penemuan   Jerome Bruner. Bruner (Trianti, 2007 : 26) menyarankan agar siswa-siwa hendaknya belajar melalui konsep-konsep dan prinsip-prinsip, agar meraka dianjurkan untuk memperoleh pengalaman dan melakukan eksperiment yang mengizinkan mereka untuk menemukan prinsip-prinsip itu sendiri
    Hasil penelitian Capper (Suherman, 2001: 84) menunjukkan bahwa pengalaman siswa sebelumnya, perkembangan kognitif, serta minat terhadap matematika merupakan faktor-faktor yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan dalam pemecahan masalah. Suryadi (Marwati, 2010:  63) dalam surveinya menemukan pemecahan masalah matematika merupakan salah satu kegiatan matematika yang dianggap penting baik oleh guru maupun siswa. 
    Kelebihan dan kelemahan pendekatan problem solving

    Para ahli pendidikan mengemukakan bahwa sampai pada saat sekarang ini belum ada strategi pembelajaran yang sempurna. Dengan kata lain setiap strategi pembelajaran pasti mempunyai kelebihan dan kekurangan.
    Adapun kelebihan dan kekurangan dari pendekatan problem solving yaitu:

    Kelebihan pendekatan problem solving antara lain: 

    1. Merupakan teknik yang bagus untuk memahami isi pelajaran. 
    2. Belajar dengan pendekatan problem solving  adalah belajar penuh makna. 
    3. Dapat menimbulkan motivasi belajar bagi siswa. 
    4. Siswa belajar transfer konsep dan prinsip matematika ke situasi baru
    5.  Mengajar siswa berpikir rasional dan lebih aktif.

    Sedangkan kekurangan pendekatan problem solving antara lain:

    1. Memerlukan waktu lama. 
    2. Dapat menimbulkan frustasi jika penyajiannya terlalu cepat. 
    3. Manakah siswa yang tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan merasa enggan untuk mencoba.

    Langkah-langkah pembelajaran pendekatan problem solving 
    Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan problem solving membimbing siswa untuk menyelesaikan permasalahan matematika yang membentuk langkah-langkah yang jelas untuk mendapatkan hasilnya, sehingga siswa dapat menyusun pengetahuannya sendiri, lebih aktif dalam kegiatan pembelajaran, menumbuhkembangkan keterampilan yang tinggi dan meningkatkan kepercayaan dirinya. Mengajar dengan menggunakan pendekatan problem solving adalah cara mengajar dengan membimbing siswa untuk menyelesaikan soal yang diberikan dengan tidak didahului dengan adanya contoh yang relevan dan mengarahkan unutk mendapatkan hasilnya. Dalam arti bahwa belajar dengan pendekatan problem solving  materi yang disampaikan masih merupakan masalah diserahkan kepada siswa untuk menyelesaiaknnya.Guru dan siswa harus selalu berinteraksi bila terdapat kesulitan dalam menyelesaikan masalah matematika. Guru juga harus mengetahui kemampuan siswanya, bila memberikan soal harus mengetahui bobotnya. Bila bobot soal tidak melebihi kemampuan siswa, maka siswa akan terbiasa dengan soal – soal matematika kemampuan siswa dalam menyelesaikan permasalahan matematika sedikit demi sedikti akan semakin meningkat. Masalah kemampuan siswa dalam menyelesaikan permasalahan matematika selain kemampuan siswa dalam memahami soal tersebut juga peran serta guru selalu aktif dalam membimbing anak didiknya.
    Dalam menyelesaikan masalah siswa perlu dilatih untuk mendapatkan langkah-langkah penyelesaian secara teratur, sistematis dan penariakn kesimpulan secara sah berrdasarkan kaidah yang telah ditetapkan. Adapun langkah-langkah dalam menyelesaikan masalah matematika dalam penelitian menurut Polya (Suherman, 2001:  84) adalah sebagai berikut:

    1. Memahami masalah 
    2. Memahami masalah disini yaitu menyatakan dengan rinci tentang apa yang diketahui, dinyatakan atau dan syarat-syarat yang harus dipenuhi. 
    3. Membuat rencana penyelesaian 
    4. Membuat rencana penyelesaian yaitu mencari hubungan antara apa yang dinyatakan dengan apa yang diketahui serta memilih strategi pemecahan masalah. 
    5. Melaksanakan rencana penyelesaian 
    6. Melaksankan rencana penyelesaian di sini yaitu menyelesaikan masalah sesuai dengan strategi pemecahan masalah yang telah dipilih dalam pembuatan rencana penyelesaian di atas. 
    7. Meliahat kembali penyelesaian 
    8. Melihat kembali penyelesaian berate mengecek hasil yang diperoleh. Apakah ada cara lain untuk mendapatkan penyelesaian yang sama? Dan apakah hasil yang diperoleh sudah cocok dengan permasalahan semula?

    Kaitan Antara Pembelajaran Matematika Dengan Pendekatan Problem Solving

    Kemampuan pemecahan merupakan salah satu tujuan pendidikan. Kemampuan pemecahan masalah adalah bagian yang tidak dapat ditinggalkan dalam pembelajaran matematika karena melalui pemecahan masalah, konsep yang telah dimiliki peserta didikan dapat diaplikasikan. Menurut Slameto (dalam Marwati, 2010:64) mengemukakan bahwa dalam proses belajar matematika, penyelesaian masalah merupakan peruses dan keterampilan intelektual dasar penting yang harus diperkatikan oleh para guru matematika. Mengingant pentingnya kemampuan pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika maka peserta didik membutuhakan banyak kesempatan untuk memecahkan masalah dalam bidang matematika dan dalam kontes kehidupan nyata. Untuk itu dalam proses pembelajaran diperlukan suatu strategi pembelajaran yang dapat mengembangkan kemapuan penyesalan masalah yakni pendekatan problem sdlving.

    Pendekatan problem solving merupakan pencarian solusi dari suatu permasalahan dengan mengunakan identifikasi, mengesplorasi, mencari langkah-langkah pemecahan dan akhir menemukan solusi tersebut serta mengepaluasi solusi dari permasalahan tersebut.

    Denagan demikian dalam mengembangkan dan meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dalam proses pembelajaran ialah dengan penerapan pendekatan problem solving pendekatan problem solving membimbing siswa untuk menyelesaikan permasalahan matematika yang membentuk langkah-langkah yang jelas untuk mendapatkan hasilnya, sehingga siswa dapatt menyusun pengetahuannya sendiri, lebih aktif dalam kegiatan pembelajaran, menumbuh kembangkan keterampilan yang tinggi dan meningkatkan kepercayaan dirinya.

    Penerapan Pendekatan Problem solving.

    Fase 1 : Guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan mempersiapkan siswa

    guru mengecek kehadiran siswa

    guru menyampaikan topic pembelajaran

    guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang  ingin dicapai

    guru mengingatkan kembali materi pada pertemuan sebelumnya.

    Fase 2 : guru mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilan

    guru menjelaskan pengertian jarak

    guru menjelaskan jarak antara dua titik.

    Guru memberikan contoh soal

    Memberikan kesempatan kepada siswa untuk menanyakan hal-hal yang masih kurang dipahami.

    Guru menjelaskan jarak antara titik dan garis

    Fase 3 : Guru menyediakan latihan terbimbing

    Guru memberikan contoh soal

    Fase 4 : Guru mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik

    Menberikan kesempatan kepada siswa untuk menanyakan hal-hal yang masih kurang dipahami.

    Fase 5 : Guru memberikan kesempatan untuk pelatihanlanjutan dan penerapan.

    Guru memberikan latihan

    Guru membimbing dan mengarahkan siswa menyelesaikan masalah ( soal latihan ) sesuai dengan penerapan problem solving.

  • Keterampilan Berpikir Kritis Menurut Ahli

    Keterampilan Berpikir Kritis Menurut Ahli

    Berikut ini beberapa Defenisi Keterampilan Berfikir Kritis Menurut Para Ahli dan disertai dengan Daftar Pustaka. Keterampilan berfikir kritis sendiri adalah salah satu keterampilan yang menjadi fokus utama dalam keterampilan abad 21.

    Definisi Berpikir Kritis

    Keterampilan berfikir kritis (Critical Thingking Skill) dapat diartikan sebagai kemampaun dalam menganalisi, mengevaluasi dan mengambil keputusan berdasarkan data dan informasi yang ada. CT Skill adalah kompetensi penting yang harus dimiliki peserta didik di abad 21 ini sebagaimana yang tertuang pada 21 Centiry Learning Skill dari ESDG.

    Berikut ini beberapa defenisi Keterampilan Berfikir Kritis menurut pendapat ahli

    1. Beyer (1985)

    Beyer, B.K. (1995). Critical Thinking. Bloomington IN: Phi Delta Kappa Educational Foundation.

    Beyer (1985) menyatakan bahwa Keterampilan berfikiri kritis adalah kemampaun untuk (1) menentukan kredibilitas suatu sumber, (2) membedakan antara yang relevan dari yang tidak relevan, (3) membedakan fakta dari penilaian, (4) mengidentifikasi dan mengevaluasi asumsi yang tidak terucapkan, (5) mengidentifikasi bias yang ada, (6) mengidentifikasi sudut pandang, dan (7) mengevaluasi bukti yang ditawarkan untuk mendukung pengakuan.

    2. Ennis (1962)

    Ennis, Robert H. 1962. A concept of critical thinking. Harvard Educational Review, Vol 32 (1),

    Berfikir kritis adalah keterampilan berfikir yang ditunjukkan dalam kemampaun memilih alasan dalam bentuk data dan informasi sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan.

    Aspek Keterampilan Berpikir Kritis menurut Ennis

    Keterampilan Berpikir KritisSub Keterampilan Berpikir KritisAspek
    1. Memberikan Penjelasan dasar1. Memfokuskan pertanyaana. Mengidentifikasi atau memformulasikan suatu pertanyaan 
    b. Mengidentifikasi atau memformulasikan kriteria jawaban yang mungkin 
    c. Menjaga pikiran terhadap situasi yang sedang dihadapi
    2. Menganalisis argumena. Mengidentifikasi kesimpulan
    b. Mengidentifikasi alasan yang dinyatakan
    c. Mengidentifikasi alasan yang tidak dinyatakan
    d. Mencari persamaan dan perbedaan
    e. Mengidentifikasi dan menangani ketidakrelevanan
    f. Mencari struktur dari sebuah pendapat/argumen
    g. Meringkas
    3. Bertanya dan menjawab pertanyaan klarifikasi dan pertanyaan yang menantanga. Mengapa? 
    b. Apa yang menjadi alasan utama? 
    c. Apa yang kamu maksud dengan?
    d. Apa yang menjadi contoh? 
    e. Apa yang bukan contoh? 
    f. Bagaiamana mengaplikasikan kasus tersebut?
    g. Apa yang menjadikan perbedaannya? 
    h. Apa faktanya? 
    i. Apakah ini yang kamu katakan?
    j. Apalagi yang akan kamu katakan tentang itu?
    2. Membangun Keterampilandasar4. Mempertimbangkan apakah sumber dapat dipercaya atau tidak?a. Keahlian 
    b. Mengurangi konflik interest 
    c. Kesepakatan antar sumber 
    d. Reputasi 
    e. Menggunakan prosedur yang ada 
    f. Mengetahui resiko 
    g. Keterampilan memberikan alasan 
    h.Kebiasaan berhati-hati
    5. Mengobservasi dan mempertimbangkan hasil observasia.Mengurangi praduga/menyangka 
    b.mempersingkat waktu antara observasi dengan laporan 
    c.Laporan dilakukan oleh pengamat sendiri 
    d.Mencatat hal-hal yang sangat diperlukan 
    e.penguatan 
    f.Kemungkinan dalam penguatan 
    g.Kondisi akses yang baik 
    h.Kompeten dalam menggunakan teknologi 
    i.Kepuasan pengamat atas kredibilitas kriteria
    3. Menyimpulkan6. Mendeduksi dan mempertimbangkan deduksia.Kelas logika 
    b.Mengkondisikan logika 
    c.Menginterpretasikan pernyataan
    7. Menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksia.Menggeneralisasi 
    b.Berhipotesis
    8. Membuat dan mengkaji nilai-nilai hasil pertimbangana.Latar belakang fakta 
    b.Konsekuensi 
    c.Mengaplikasikan konsep ( prinsip-prinsip, hukum dan asas) 
    d.Mempertimbangkan alternatif 
    e.Menyeimbangkan, menimbang dan memutuskan
    4. Membuat penjelasan lebih lanjut9. Mendefinisikan istilah dan mempertimbangkan definisiAda 3 dimensi:a.Bentuk : sinonim, klarifikasi, rentang, ekspresi yang sama, operasional, contoh dan noncontoh 
    b. Strategi definisi 
    c. Konten (isi)
    10 . Mengidentifikasi asumsia.Alasan yang tidak dinyatakan
    b.Asumsi yang diperlukan: rekonstruksi argumen   
    5. Strategi dan taktik11. Memutuskan suatu tindakana.Mendefisikan masalah 
    b.Memilih kriteria yang mungkin sebagai solusi permasalahan 
    c.Merumuskan alternatif-alternatif untuk solusi 
    d.Memutuskan hal-hal yang akan dilakukan 
    e.Merivew 
    f.Memonitor implementasi
    12. Berinteraksi dengan orang laina.Memberi label 
    b.Strategi logis 
    c.Srtrategi retorik 
    d.Mempresentasikan suatu posisi, baik lisan atau tulisan

    2) Halpern (1985). Berpikir kritis adalah pemberdayaan kognitif dalam mencapai tujuan.

    3) Chance (1986). Berpikir kritis adalah kemampuan untuk menganalisis fakta, mencetuskan dan menata gagasan, mempertahankan pendapat, membuat perbandingan, menarik kesimpulan, mengevaluasi argumen dan memecahkan masalah.

    4) Mertes (1991). Berpikir kritis adalah sebuah proses yang sadar dan sengaja yang digunakan untuk menafsirkan dan mengevaluasi informasi dan pengalaman dengan sejumlah sikap reflektif dan kemampuan yang memandu keyakinan dan tindakan.

    5)      Paul (1993). Berpikir kritis adalah mode berpikir – mengenai hal, substansi atau masalah apa saja – di mana si pemikir meningkatkan kualitas pemikirannya dengan menangani secara terampil struktur-struktur yang melekat dalam pemikiran dan menerapkan standar-standar intelektual padanya.

    6)      Angelo (1995). Berpikir kritis adalah mengaplikasikan rasional, kegiatan berpikir yang tinggi, meliputi kegiatan menganalisis, mensintesis, mengenali permasalahan dan pemecahannya, menyimpulkan serta mengevaluasi.

    7)      Sedangkan menurut Ennis (1996). Berpikir kritis adalah sebuah proses yang dalam mengungkapakan tujuan yang dilengkapi alasan yang tegas tentang suatu kepercayaan dan kegiatan yang telah dilakukan.

    8)      Walker (2006). Berpikir kritis adalah suatu proses intelektual dalam pembuatan konsep, mengaplikasikan, menganalisis, mensintesis, dan atau mengevaluasi berbagai informasi yang didapat dari hasil observasi, pengalaman, refleksi, di mana hasil proses ini diguanakan sebagai dasar saat mengambil tindakan.

    9)      Hassoubah (2007). Berpikir kritis adalah kemampuan memberi alasan secara terorganisasi dan  mengevaluasi kualitas suatu alasan secara sistematis.

    10)  Mustaji (2012). Berpikir kristis adalah berpikir secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pembuatan keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau dilakukan. Berikut adalah contoh-contoh kemampuan berpikir kritis, misalnya (1) membanding dan membedakan, (2) membuat kategori, (2) meneliti bagian-bagian kecil dan keseluruhan, (3) menerangkan sebab, (4) membuat sekuen / urutan, (5) menentukan sumber yang dipercayai, dan (6) membuat ramalan.

    Berdasarkan pengertian-pengertian keterampilan berpikir kritis di atas maka dapat dikatakan bahwa keterampilan berpikir kritis merupakan keterampilan berpikir yang melibatkan proses kognitif dan mengajak siswa untuk berpikir reflektif terhadap permasalahan.

    2 Ciri-Ciri Berpikir Kritis

    Siswa yang memiliki kemampuan berpikir kritis akan terpatri dalam watak dan kepribadiannya dan terimplementasi dalam segala aspek kehidupannya. Kemampuan berpikir kritis tiada lain adalah kemampuan siswa dalam menghimpun berbagai informasi lalu membuat sebuah kesimpulan evaluatif dari berbagai informasi tersebut (Dede Rosyada, 2004).

    Beyer menegaskan bahwa ada seperangkat keterampilan berpikir kritis yang dapat digunakan dalam studi sosial atau untuk pembelajaran disiplin ilmu-ilmu sosial. Keterampilan-keterampilan tersebut adalah: 1). Membedakan antara fakta dan nilai dari suatu pendapat; 2). Menentukan reliabilitas sumber; 3). Menentukan akurasi fakta dari suatu pernyataan; 4). Membedakan informasi yang relevan dari yang tidak relevan; 5). Mendeteksi penyimpangan; 6). Mengidentifikasi asumsi yang tidak dinyatakan; 7). Mengidentifikasi tuntutan dan argument yang tidak jelas atau samar-samar; 8). Mengakui perbuatan yang keliru dan tidak konsisten; 9). Membedakan antara pendapat yang tidak dan dapat dipertanggungjawabkan; 10). Menentukan kekuatan argumen.

                Alec Fisher (2009: 7) menyebutkan ciri-ciri kemampuan berpikir kritis sebagai berikut:

    1)      Mengenal masalah

    2)      Menemukan cara-cara yang dapat dipakai untuk menangani masalah-masalah itu

    3)      Mengumpulkan dan menyusun informasi yang diperlukan.

    4)      Mengenal asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang tidak dinyatakan.

    5)      Memahami dan menggunakan bahasa yang tepat, jelas, dan khas

    6)      Menilai fakta dan mengevalusai pernyataan-pernyataan

    7)      Mengenal adanya hubungn yang logis antara masalah-masalah

    8)      Menarik kesimpulan-kesimpulan  dan  kesamaaan-kesamaan yang diperlukan

    9)      Menguji   kesamaan-kesamaan  dan  kesimpulan-kesimpulan  yang seeorang ambil

    10)  Menyusun  kembali  pola-pola keyakinan  seseorang berdasarkan pengalaman yang lebih luas k) Membuat penilaian yang tepat tentang hal-hal dan kualitas-kualitas tertentu dalam kehidupan sehari-hari.

    Ciri-ciri berpikir kritis menurut Cece Wijaya   (1996: 72) adalah:

    1)      Pandai mendeteksi masalah

    2)      Mampu membedakan ide yang relevan dengan yang tidak relevan

    3)      Mampu membedakan fakta dengan fiksi atau pendapat

    4)      Mampu  mengidentifikasi  perbedaan-perbedaan  atau kesenjangan-kesenjangan informasi

    5)      Dapat membedakan argumentasi logis dan tidak logis

    6)      Dapat membedakan di antara kritik membangun dan merusak

    7)      Mampu menarik kesimpulan generalisasi dari data yang telah tersedia dengan data yang diperoleh dari lapangan

    8)      Mampu menarik kesimpulan dari data yang telah ada dan terseleksi.

               Dasar-dasar ini yang pada prinsipnya perlu dikembangkan untuk melatih kemampuan berpikir kritis kita. Jadi, berpikir kritis adalah bagaimana menyeimbangkan aspek-aspek pemikiran yang ada di atas menjadi sesuatu yang sistemik dan mempunyai dasar atau nilai ilmiah yang kuat. Selain itu, kita juga perlu memperhitungkan aspek alamiah yang terdapat dalam diri manusia karena hasil pemikiran kita tidak lepas dari hal-hal yang kita pikirkan.

    3 Karakteristik Berfikir Kritis

               Wade (1995) mengidentifikasi delapan karakteristik berpikir kritis, yakni meliputi:

    1)      Kegiatan merumuskan pertanyaan,

    2)      Membatasi permasalahan,

    3)      Menguji data-data,

    4)      Menganalisis berbagai pendapat dan bias,

    5)      Menghindari pertimbangan yang sangat emosional,

    6)      Menghindari penyederhanaan berlebihan,

    7)      Mempertimbangkan berbagai interpretasi, dan

    8)      Mentoleransi ambiguitas.

               Empat karakteristik utama  berpikir kritis menurut Nosich (dalam Swarma, 2009: 6), adalah:

    1)      Berpikir kritis adalah reflektif dan metakognitif.

    2)      Berpikir kritis mesti mengukur standar atau kriteria tertentu.

    3)      Berpikir kritis memuat persoalan autentik, dan

    4)      Berpikir kritis melibatkan pemikiran, fleksibilitas, dan penalaran.

               Karakteristik lain yang berhubungan dengan berpikir kritis, dijelaskan Beyer (1995) Yaitu:

    a.       Watak

                Seseorang yang mempunyai keterampilan berpikir kritis mempunyai sikap skeptis, sangat terbuka, menghargai sebuah kejujuran, respek terhadap berbagai data dan pendapat, respek terhadap kejelasan dan ketelitian, mencari pandangan-pandangan lain yang berbeda, dan akan berubah sikap ketika terdapat sebuah pendapat yang dianggapnya baik.

    b.      Kriteria

                Dalam berpikir kritis harus mempunyai sebuah kriteria atau patokan. Untuk sampai ke arah sana maka harus menemukan sesuatu untuk diputuskan atau dipercayai. Meskipun sebuah argumen dapat disusun dari beberapa sumber pelajaran, namun akan mempunyai kriteria yang berbeda. Apabila kita akan menerapkan standarisasi maka haruslah berdasarkan kepada relevansi, keakuratan fakta-fakta, berlandaskan sumber yang kredibel, teliti, tidak bias, bebas dari logika yang keliru, logika yang konsisten, dan pertimbangan yang matang.

    c.       Argumen

                Argumen adalah pernyataan atau proposisi yang dilandasi oleh data-data. Keterampilan berpikir kritis akan meliputi kegiatan pengenalan, penilaian, dan menyusun argumen.

    d.      Pertimbangan atau pemikiran

                Yaitu kemampuan untuk merangkum kesimpulan dari satu atau beberapa premis. Prosesnya akan meliputi kegiatan menguji hubungan antara beberapa pernyataan atau data.

    e.       Sudut pandang (point of view)

                Sudut pandang adalah cara memandang atau menafsirkan dunia ini, yang akan menentukan konstruksi makna. Seseorang yang berpikir dengan kritis akan memandang sebuah fenomena dari berbagai sudut pandang yang berbeda.

    f.       Prosedur penerapan kriteria (procedures for applying criteria)

               Prosedur penerapan berpikir kritis sangat kompleks dan prosedural. Prosedur tersebut akan meliputi merumuskan permasalahan, menentukan keputusan yang akan diambil, dan mengidentifikasi perkiraan-perkiraan.

               Pada dasarnya keterampilan berpikir kritis (abilities) Ennis (Costa, 1985) dikembangkan menjadi indikator-indikator keterampilan berpikir kritis yang terdiri dari lima kelompok besar yaitu:

    1.      Memberikan penjelasan sederhana (elementary clarification).

    2.      Membangun keterampilandasar (basic support).

    3.      Menyimpulkan (interference).

    4.      Memberikan penjelasan lebih lanjut (advanced clarification).

    5.      Mengatur strategi dan taktik (strategy and tactics).

    4 Tahapan Berfikir Kritis

    1.      Keterampilan Menganalisis

               Keterampilan menganalisis merupakan suatu keterampilan menguraikan sebuah struktur ke dalam komponen-komponen agar mengetahui pengorganisasian struktur tersebut . Dalam keterampilan tersebut tujuan pokoknya adalah memahami sebuah konsep global dengan cara menguraikan atau merinci globalitas tersebut ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil dan terperinci. Pertanyaan analisis, menghendaki agar pembaca mengindentifikasi langkah-langkah logis yang digunakan dalam proses berpikir hingga sampai pada sudut kesimpulan (Harjasujana, 1987).

               Kata-kata operasional yang mengindikasikan keterampilan berpikir analitis, diantaranya: menguraikan, membuat diagram, mengidentifikasi, menggambarkan, menghubungkan, memerinci, dan sebagainya.

    2.      Keterampilan Mensintesis

               Keterampilan mensintesis merupakan keterampilan yang berlawanan dengan keteramplian menganallsis. Keterampilan mensintesis adalah keterampilan menggabungkan bagian-bagian menjadi sebuah bentukan atau susunan yang baru. Pertanyaan sintesis menuntut pembaca untuk menyatupadukan semua informasi yang diperoleh dari materi bacaannya, sehingga dapat menciptakan ide-ide baru yang tidak dinyatakan secara eksplisit di dalam bacaannya. Pertanyaan sintesis ini memberi kesempatan untuk berpikir bebas terkontrol (Harjasujana, 1987).

    3.      Keterampilan Mengenal dan Memecahkan Masalah

               Keterampilan ini merupakan keterampilan aplikatif konsep kepada beberapa pengertian baru. Keterampilan ini menuntut pembaca untuk memahami bacaan dengan kritis sehinga setelah kegiatan membaca selesai siswa mampu menangkap beberapa pikiran pokok bacaan, sehingga mampu mempola sebuah konsep. Tujuan keterampilan ini bertujuan agar pembaca mampu memahami dan menerapkan konsep-konsep ke dalam permasalahan atau ruang lingkup baru (Walker, 2001).

    4.      Keterampilan Menyimpulkan

               Keterampilan menyimpulkan ialah kegiatan akal pikiran manusia berdasarkan pengertian/pengetahuan (kebenaran) yang dimilikinya, dapat beranjak mencapai pengertian/pengetahuan (kebenaran) yang baru yang lain (Salam, 1988: 68). Berdasarkan pendapat tersebut dapat dipahami bahwa keterampilan ini menuntut pembaca untuk mampu menguraikan dan memahami berbagai aspek secara bertahap agar sampai kepada suatu formula baru yaitu sebuah simpulan. Proses pemikiran manusia itu sendiri, dapat menempuh dua cara, yaitu : deduksi dan induksi. Jadi, kesimpulan merupakan sebuah proses berpikir yang memberdayakan pengetahuannya sedemikian rupa untuk menghasilkan sebuah pemikiran atau pengetahuan yang baru.

    5.      Keterampilan Mengevaluasi atau Menilai

               Keterampilan ini menuntut pemikiran yang matang dalam menentukan nilai sesuatu dengan berbagai kriteria yang ada. Keterampilan menilai menghendaki pembaca agar memberikan penilaian tentang nilai yang diukur dengan menggunakan standar tertentu (Harjasujana, 1987).

               Berdasarkan taksonomi belajar, menurut Bloom, keterampilan mengevaluasi merupakan tahap berpikir kognitif yang paling tinggi. Pada tahap ini siswa ituntut agar ia mampu mensinergikan aspek-aspek kognitif lainnya dalam menilai sebuah fakta atau konsep.

               Pengukuran indikator-indikator yang dikemukan oleh beberapa ahli di atas dapat dilakukan dengan menggunakan universal intellectual standars. Pernyataan ini diperkuat oleh pendapat Paul (2000: 1) dan Scriven (2000: 1) yang menyatakan, bahwa pengukuran keterampilan berpikir kritis dapat dilakukan dengan menjawab pertanyaan: “Sejauh manakah siswa mampu menerapkan standar intelektual dalam kegiatan berpikirnya”. Universal inlellectual standars adalah standardisasi yang harus diaplikasikan dalam berpikir yang digunakan untuk mengecek kualitas pemikiran dalam merumuskan permasalahan, isu-isu, atau situasi-situasi tertentu. Berpikir kritis harus selalu mengacu dan berdasar kepada standar tersebut (Eider dan Paul, 2001: 1). Berikut ini akan dijelaskan aspek-aspek tersebut:

    a.       Clarity (Kejelasan)

               Kejelasan merujuk kepada pertanyaan: “Dapatkah permasalahan yang rumit dirinci sampai tuntas?”; “Dapatkah dijelaskan permasalahan itu dengan cara yang lain?”; “Berikanlah ilustrasi dan contoh-contoh!”. Kejelasan merupakan pondasi standardisasi. Jika pernyataan tidak jelas, kita tidak dapat membedakan apakah sesuatu itu akurat atau relevan. Apabila terdapat pernyataan yang demikian, maka kita tidak akan dapat berbicara apapun, sebab kita tidak memahami pernyataan tersebut. Contoh, pertanyaan berikut tidak jelas: “Apa yang harus dikerjakan pendidik dalam sistem pendidikan di Indonesia?” Agar pertanyaan itu menjadi jelas, maka kita harus memahami betul apa yang dipikirkan dalam masalah itu. Agar menjadi jelas, pertanyaan itu harus diubah menjadi, “Apa yang harus dikerjakan oleh pendidik untuk memastikan bahwa siswanya benar-benar telah mempelajari berbagai keterampilan dan kemampuan untuk membantu berbagai hal agar mereka berhasil dalam pekerjaannya dan mampu membuat keputusan dalam kehidupan sehari-hari?”.

    b.      Accuracy (keakuratan, ketelitian, kesaksamaan)

               Ketelitian atau kesaksamaan sebuah pernyataan dapat ditelusuri melalui pertanyaan: “Apakah pernyataan itu kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan?”; “Bagaimana cara mengecek kebenarannya?”; “Bagaimana menemukan kebenaran tersebut?” Pernyataan dapat saja jelas, tetapi tidak akurat, seperti dalam penyataan berikut, “Pada umumnya anjing berbobot lebih dari 300 pon”.

    c.       Precision (ketepatan)

               Ketepatan mengacu kepada perincian data-data pendukung yang sangat mendetail. Pertanyaan ini dapat dijadikan panduan untuk mengecek ketepatan sebuah pernyataan. “Apakah pernyataan yang diungkapkan sudah sangat terurai?”; “Apakah pernyataan itu telah cukup spesifik?”. Sebuah pernyataan dapat saja mempunyai kejelasan dan ketelitian, tetapi tidak tepat, misalnya “Aming sangat berat” (kita tidak mengetahui berapa berat Aming, apakah satu pon atau 500 pon!)

    d.      Relevance (relevansi, keterkaitan)

               Relevansi bermakna bahwa pernyataan atau jawaban yang dikemukakan berhubungan dengan pertanyaan yang diajukan. Penelusuran keterkaitan dapat diungkap dengan mengajukan pertanyaan berikut: “Bagaimana menghubungkan pernyataan atau respon dengan pertanyaan?”; “Bagaimana hal yang diungkapkan itu menunjang permasalahan?”. Permasalahan dapat saja jelas, teliti, dan tepat, tetapi tidak relevan dengan permasalahan. Contohnya: siswa sering berpikir, usaha apa yang harus dilakukan dalam belajar untuk meningkatkan kemampuannya. Bagaimana pun usaha tidak dapat mengukur kualitas belajar siswa dan kapan hal tersebut terjadi, usaha tidak relevan dengan ketepatan mereka dalam meningkatkan kemampuannya.

    e.       Depth (kedalaman)

               Makna kedalaman diartikan sebagai jawaban yang dirumuskan tertuju kepada pertanyaan dengan kompleks, Apakah permasalahan dalam pertanyaan diuraikan sedemikian rupa? Apakah telah dihubungkan dengan faktor-faktor yang signifikan terhadap pemecahan masalah? Sebuah pernyatan dapat saja memenuhi persyaratan kejelasan, ketelitian, ketepatan, relevansi, tetapi jawaban sangat dangkal (kebalikan dari dalam). Misalnya terdapat ungkapan, “Katakan tidak”. Ungkapan tersebut biasa digunakan para remaja dalam rangka penolakan terhadap obat-obatan terlarang (narkoba). Pernyataan tersebut cukup jelas, akurat, tepat, relevan, tetapi sangat dangkal, sebab ungkapan tersebut dapat ditafsirkan dengan bermacam-macam.

    f.       Breadth (keluasaan)

               Keluasan sebuah pernyataan dapat ditelusuri dengan pertanyaan berikut ini. Apakah pernyataan itu telah ditinjau dari berbagai sudut pandang?; Apakah memerlukan tinjauan atau teori lain dalam merespon pernyataan yang dirumuskan?; Menurut pandangan..; Seperti apakah pernyataan tersebut menurut… Pernyataan yang diungkapkan dapat memenuhi persyaratan kejelasan, ketelitian, ketepatan, relevansi, kedalaman, tetapi tidak cukup luas. Seperti halnya kita mengajukan sebuah pendapat atau argumen menurut pandangan seseorang tetapi hanya menyinggung salah satu saja dalam pertanyaan yang diajukan.

    g.      Logic (logika)

               Logika bertemali dengan hal-hal berikut: Apakah pengertian telah disusun dengan konsep yang benar?; Apakah pernyataan yang diungkapkan mempunyai tindak lanjutnya? Bagaimana tindak lanjutnya? Sebelum apa yang dikatakan dan sesudahnya, bagaimana kedua hal tersebut benar adanya? Ketika kita berpikir, kita akan dibawa kepada bermacam-macam pemikiran satu sama lain. Ketika kita berpikir dengan berbagai kombinasi, satu sama lain saling menunjang dan mendukung perumusan pernyataan dengan benar, maka kita berpikir logis. Ketika berpikir dengan berbagai kombinasi dan satu sama lain tidak saling mendukung atau bertolak belakang, maka hal tersebut tidak logis.

    5 Keterampilan Berfikir Kritis

                Beyer (1988) mengidentifikasi 10 keterampilan berpikir kritis yang dapat dipakai siswa untuk menilai kebenaran pernyataan atau argumen, memahami iklan, dan sebagainya, yaitu sebagai berikut:

    1)      Membedakan mana fakta variabel dan pernyataan nilai.

    2)      Membedakan informasi, pernyataan, atau alasan yang relevan, dari pernyataan atau alasan yang tidak relevan.

    3)      Menentukan apakah suatu fakta pernyataan itu tepat atau tidak.

    4)      Menentukan apakah suatu sumber kredibel atau tidak.

    5)      Mengidentifikasi argumen atau pernyataan yang ambigu (menyesatkan dan bermakna ganda).

    6)      Mengidentifikasi asumsi-asumsi yang tidak secara langsung dinyatakan (tersirat).

    7)      Mendeteksi adanya prasangka.

    8)      Mengidentifikasi kesalahan logika.

    9)      Mengidentifikasi tidak adanya konsistensi logika dalam suatu garis pemikiran atau ide.

    10)  Menentukan kekuatan argumen atau pernyataan.

    Perlu diperhatikan bahwa ke-10 keterampilan di atas bukanlah suatu urutan atau tahapan, tetapi lebih pada kemungkinan-kemungkinan cara yang dapat dipakai siswa untuk melakukan pendekatan terhadap suatu informasi untuk mengevaluasi apakah informasi tersebut betul atau dapat dipercaya, atau sebaliknya.

    Sumber:

    Faiq, Muhammad.2012.Definisi Berpikir Kritis. http://penelitiantindakankelas.blogspot.com/2012/12/10-definisi-berpikir-kritis.html. [8 Oktober 2014].

    Faiq, Muhammad. 2012. Keterampilan Berpikir Kritis Menurut Beyer (1988)http://penelitiantindakankelas.blogspot.com/2012/12/10-keterampilan-berpikir-kritis-menurut.html. [8 Oktober 2014].

    Kate13.2012. Ciri-ciri Kemampuan Berpikir Kritishttp://www.kajianteori.com/2014/02/ciri-ciri-kemampuan-berpikir-kritis.html. [8 Oktober 2014].

    Suwarma, Dina Mayadiana. 2009. Suatu Alternatif Pembelajaran Kemampuan Berpikir Kritis Matematika. Jakarta: Cakrawala Maha Karya.

    Turmuzi, Ahmad. 2013. Mengajarkan Keterampilan Berpikir Kritis Pada Siswa. http://edukasi.kompasiana.com/2013/03/02/mengajarkan-keterampilan-berpikir-kritis-pada-siswa-538481.html

  • Model Siklus Belajar 5E

    Menurut teori Piaget tentang perkembangan manusia memberikan banyak kontribusi dalam elaborasi model-model instruksional (Piaget, Piaget dan Inhelder dalam Olson & Susan, 1995). Dalam pandangannya, belajar dimulai ketika pengalaman-pengalaman individual mengalami ketidaksetimbangan: sebuah ketidaksesuaian antara gagasan-gagasan mereka dengan gagasan-gagasan yang dihadapi di lingkungannya. Untuk mengembalikan pemahaman mereka pada kesetimbangan, mereka harus menyesuaikan atau mengubah struktur kognitif melalui interaksi dengan lingkungan.

    Kerja Piaget menjadi dasar siklus belajar dan model-model instruksional yang diajukan oleh Atkin dan Karplus (1962) dan digunakan dalam kurikulum dasar SCIS (Olson & Susan, 2000).Nur et,al (2013) menyatakan bahwa tidak semua proses pembelajaran (menggunakan model) secara otomatis akan meningkatkan keterampilan berpikir kritis peserta didik, hanya proses pembelajaran yang mendorong diskusi, melibatkat peserta didik secara langsung, dan banyak memberikan kesempatan pada peserta didik berpendapat, menggunakan gagasan-gagasan dan mendorong kerjasama dalam mengkaji dan menemukan pengetahuannya sendiri, berdasarkan pernyataan Nur et,al (2013) di atas, sesuai dengan karakteristik model siklus belajar (5E) yaitu lebih memanfaatkan keaktifan peserta didik dalam proses pembelajaran.

    Model siklus belajar (5E) adalah model siklus belajar yaang didasarkan pada pandangan konstruktivis pembelajaran. Konstruktivis memencakup gagasan bahwa peserta didik membawa ide-ideyang terbentuk sebelumnya tentang bagaimana dunia bekerja (BSCS, 2009). Tujuan dari model konstruktivis, adalah untuk memberikan mahasiswa dengan pengalaman yang membuat mereka kembali konsepsi mereka. Kemudian, mahasiswa mendefinisikan kembali, mengorganisasikan kembali, menggabungkan, dan mengubah konsep awal mereka melalui refleksi diri dan interaksi dengan teman-teman mereka dan lingkungan mereka (Bybee dalam BSCS, 2009). Model siklus belajar (5E) memberikan pedoman khusus untuk apa yang guru harus lakukan untuk menerapkan pelajaran berbasis penyelidikan. Model siklus belajar (5E) adalah konstruktivis berbasis student centered, dan konsisten dengan visi pengajaran dan standar pembelajaran sains nasional (Lederman, 2009).

    Model siklus belajar (5E) merupakan perwujudan dari filosopi konstruktivisme tentang belajar dan pembelajaran dengan asumsi “bahwa pengetahuan dibangun dalam pikiran peserta didik”, model pembelajaran ini kemudian dielaborasi ke dalam inkuiri (suastra dalam Rai, 2001). Dengan demikian secara tidak langsung keuntungan dari pendekata inkuiri dalam pembelajaran akan dapat diperoleh melalui penerapan model siklus belajar (5E). Adapun keuntungan dari model siklus belajar (5E) ini, yaitu: 1) pengajaran menjadi berpusat pada mahasiswa (student-centered), 2) proses belajar melalui model siklus belajar (5E) dapat membentuk dan mengembangkan konsep diri, 3) belajar dengan model siklus belajar (5E) dapat mengembangkan bakat kemampuan individu, 4) menghindarkan peserta didik dari cara-cara belajar yang tradisional yang cenderung menghafal, dan 5) memberikan waktu bagi peserta didik untuk mengasimilasi dan mengakomodasi informasi (Rai, 2001), hal ini sesuai dengan pernyataan Gordin & Pea (1999), bahwa pembelajaran model siklus belajar (5E) sebagai model pembelajaran, tidak hanya membantu mahasiswa untuk meningkatkan pemahamannya terhadap  materi atau konsep yang diajarkan/dipelajarinya, tetapi juga membantu mahasiswa untuk mengembangkan keterampilan melakukan praktik/inkuiri.

    Adam et.al (1999), berdasarkan kajiannya  mengenai siklus belajar 5E, menyatakan bahwa model belajar siklus 5E dapat meningkatkan proses berpikir peserta didik, sedangkanpada tahun 1980, Biology Science Curiculum Study (BSCS) mendesain pembelajaran yang khusus untuk mengajarkan sains dan perancangan kurikulum yaitu BSCS 5E, yang selanjutnya dikenal dengan model siklus belajar 5E/Ephase, yakni engagementeksplorasi, eksplanasi, elaborasi, dan evaluasi (BSCS, 2009).

    Engagement pada fase ini, peserta didik disajikan fenomena-fenomena yang asing berupa peristiwa-peristiwa, objek maupun pertanyaan-pertanyaan yang dapat memotivasi mereka dan membantu mereka dalam menghubungkan pengetahuan yang telah mereka ketahui. Pada fase ini peserta didik diminta untuk menyampaikan pertanyaan-pertanyaan, mengidentifikasi masalah yang akan mereka selesaikan, dan membuat rencana untuk menemukan jawaban dari masalah yang akan mereka selesaikan. Dalam fase ini guru dapat memunculkan pengetahuan awal peserta didik dan miskonsepsi peserta didik.

    Eksplorasi, pada fase ini, peserta didik menggunakan pengetahuan sebagai dasar untuk melakukan percobaan mereka secara aktif memeriksa dan memanipulasi objek, fenomena-fenomena melalui penyelidikan yang dibimbing oleh dosen.

    Eksplanasi, pada fase ini, peserta didik menjelaskan pemahaman mereka tentang konsep-konsep dan proses yang telah mereka lakukan. Peserta didik memiliki kesempatan secara verbal untuk menjelaskan konsep-konsep baru, menunjukkan keterampilan baru dan kemampuan mereka.

    Elaborasi, pada fase ini, peserta didik diberi kesempatan untuk menerapkan konsep-konsep dalam konteks atau situasi baru dalam mengembangkan pemahaman yang lebih dalam. Peserta didik didik ambil bagian dalam kegiatan yang memperluas pemahaman konseptual dan yang memungkinkan mereka untuk berlatih keterampilan baru. Peserta didik terlibat secara langsung dalam penyelidikan, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Dalam fase ini peserta didik dapat merancang dan melakukan penyelidikan mereka sendiri

    Evaluasi, pada fase terakhir dari model siklus belajar (5E) ini, yaitu fase evaluation (evaluasi), peserta didik berupaya mengakses pemahaman dan kemampuan mereka. Selain itu pada fase ini guru juga mempunyai kesempatan untuk mengevaluasi kemajuan peserta didik dalam mencapai tujuan-tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan (Lederman, 2009).

    Berikut adalah deskripsi setiap tahapan model siklus belajar 5E.

    Tabel 2.4.Deskripsi Tahapan Model Siklus Belajar 5E

    TahapanDeskripsi
    EngagementTahap ini bertujuan untuk memusatkan pikiran atau perhatian mahasiswa terhadap topik/konsep dan atau materi yang dipelajari. Tahap ini dapat dimulai dengan pengajuan suatu pertanyaan atau permasalahan oleh dosen untuk memunculkan rasa ingin tahu mahasiswa. Tahap ini merupakan tahap stimulasi mahasiswa untuk melakukan investigasi atau pengamatan dan atau percobaan.
    EksplorasiTahap ini menekankan pada keaktifan mahasiswa dalam berinteraksi dengan topik atau materi, fenomena ataupun situasi yang dipelajrinya. Pada tahap ini, dosen memfasilitasi mahasiswa untuk melakukan investigasi, pengamatan dan atau percobaan untuk memperoleh informasi (data).
    EksplanasiTahap ini, dosen memfasilitasi mahasiswa untuk menjawab pertanyaan atau permasalahan yang telah diajukan pada tahap engagement, menguji hipotesis, menganalisis, memberikan interpretasi, menyimpulkan, dan memberikan atau membuat penjelasan sesuai dengan idenya berdasarkan hasil pengamatan atau percobaan yang telah dilakukan, Pada tahap ini guru  melengkapi penjelasan dan kesimpulan yang dibuat mahasiswa.
    Elaborasi Tahap ini memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk mengaplikasikan pengetahuan atau keterampilan yang dimiliki pada berbagai situasi, seperti menghubungkan suatu topik/materi dengan topik/materi yang lain, sehingga pembelajaran menjadi bermakna. Koopratif atau individual merupakan strategi yang dapat dilakukan pada tahap ini, tahap ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman mahasiswa terhadap topik/materi yang dipelajari.
    EvaluasiTahap ini mahasiswa mendemonstrasikan atau mempresentasikan pengetahuan atau pemahaman yang telah diperolehnya. Penilaian, yang dapat dilakukan pada tahap ini, dapat berupa penilaian kognitif (kemampuan membuat rangkuman dan/atau kemampuan membuat pertanyaan) dan psikomotorik (keterampilan berkomunikasi atau keterampilan menggunakan suatu alat/prosedur). Tahap ini bertujuan untuk mengecek pemahaman mahasiswa mengenai materi/konsep yang telah diajarkan/dipelajari.

    (Sumber: Collette & Chiappetta, 1994)

    Setiap fase model siklus belajar (5E) merupakan fase yang memuat kegiatan yang kreatif dan kritis, kegiatan (proses) dalam menemukan gagasan, strategi-strategi yang cocok, menemukan ide merupakan kegiatan yang kreatif. Strategi yang cocok, gagasan utama, ide utama, pengetahuan baru yang ditemukan merupakan hasil yang kritis. Hal ini sesuai pernyataan Woolfolk (2009), bahwa proses dalam menemukan suatu masalah dan mencari strategi-strategi yang cocok untuk memecahkan maslaah (langkah kreatif), dan menemukan suatu masalah dan menemukan strategi yang cocok untuk memecahkan masalah (lkritis). Pernyataan ini diperkuat oleh Ibrahim (2014), bahwa proses yang dilakukan dalam setiap kegiatan merupakan proses yang kreatif, dan hasil yang ditemukan merupakan bentuk kritis.

    Sementara itu ada beberapa teori-teori yang mendukung tentang model siklus belajar (5E) diantaranya: Teori belajar konstruktivis adalah teori yang menyatakan bahwa peserta didik itu sendiri yang harus bekerja secara pribadi menemukan dan menerapkan informasi kompleks, mengecek informasi baru dibandingkan dengan aturan lama, dan memperbaiki aturan lama itu apabila tidak sesuai lagi (Slavin dalam Risdiana, 2014), sementara itu Piaget menyatakan bahwa pengetahuan diperoleh dari tindakan (Langer & Killen, Wadsworth dalam Risdiana, 2014), teori piaget dikenal dengan adaptasi dan ketidakseimbangan, untuk mengatasi ketidakseimbangan dan untuk mengembalikan pemahaman harus menyesuaikan diri dengan lingkungan, dalam fase siklus belajar (5E) diperlukan keaktifan peserta didik dalam mencari penyelesaian masalah dan memfasilitasi proses adaptasi peserta didik dalam belajar (Piaget dalam Olson & Susan, 2000).

    Ide-ide konstruktivis modern banyak berlandaskan pada teori Vygotsky (Woolfolk, 2008), yang telah digunakan sebagai penunjang metode pengajaran di kelas dengan menekankan pada empat prinsip yang mempunyai peranan penting dalam pembelajaran. 1) menekankan pada hakikat pembelajaran sosial, bahwa peserta didik belajar dengan berinteraksi dengan orang dewasa dan teman sebaya yang kemampuannya lebih tinggi, 2) bahwa pserta didik belajar pada zona perkembangan proksimal, peserta didik dapat menguasai suatu tugas bila diberi bantuan dan dukungan yang tepat, 3) pemagangan kognitif yaitu mengacu pada proses dengan mana peserta didik yang sedang belajar tahap demi tahap untuk memproleh skills dalam interaksinya dengan seorang pakar, 4) scaffolding dukungan tahap demi tahap untuk belajar dan memecahkan masalah.

    Keempat prinsip dari teori Vygotsky dapat disimpilkan bahwa peserta didik belajar melalui interaksi dengan orang lain dalam meyelesaikan tugas-tugas dan dalam memecahkan suatu masalah melalui bantuan dan dukungan dari orang lain. Teori Vygotsky tercermin dalam fase-fase model siklus belajar (5E) tentang bagaimana peserta didik berinteraksi dengan anggota kelompok dan kelompok lain dalam meyelesaikan kegiatan praktikum dan meyelesaikan tugasnya.

  • Karakteristik Perangkat Pembelajaran

    Perangkat pembelajaran merupakan piranti untuk membantu dan memudahkan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan yang  ditentukan (Ibrahim, 2002). Perangkat pembelajaran diperlukan dalam mengelola pembelajaran berupa rencana pelaksanaan pembelajaran, lembar kegiatan siswa, instrumen evaluasi atau tes hasil belajar (berpikir kritis), serta buku ajar. Perangkat pembelajaran yang baik memenuhi beberapa kriteria:

    1. Valid, yaitu sifat benar menurut bahan bukti, logika berpikir, atau kekuatan hukum. Perangkat pembelajaran dikatakan valid jika perangkat tersebut sesuai dengan subjek ilmu dan semua komponen dalam perangkat tesebut saling berkaitan.
    2. Praktis, yaitu jika perangkat tersebut dapat digunakan dengan mudah bagi dosen dan mahasiswa sesuai dengan keinginan pengembang perangkat. Nilai praktis ini berkaitan dengan mudah atau tidaknya perangkat tersebut diimplementasikan.
    3. Efektif, yaitu mahasiswa memberi respon yang baik (positif) terhadap program pembelajaran dan pembelajaran berlangsung sesuai dengan yang diinginkan pengembang dan hasil belajar mahasiswa (berpikir kritis) meningkat (Nieveen, 2007).
  • Teori Pembelajaran Sosial

    Pembelajaran sosial

    Akhir-akhir ini para ahli psikologi perilaku telah menemukan bahwa operant conditioning  keterbatasan dalam menjelaskan belajar. Banyak di antara para ahli tersebut telah memperluas wawasan mereka tentang belajar yang mencakup kajian tentang proses-proses kognitif yang tidak dapat diamati secara langsung, seperti harapan, berpikir, dan keyakinan. Contoh utama dari perluasan wawsan ini adalah teori kognitif social dari Albert Bandura (1986). Bandura yakin bahwa pandangan behavoristik tradisional tentang belajar merupakan teori yang akurat, namun sekaligus juga tidak lengkap. Teori-teori behavoristik ini hanya memberikan penjelasan sebagian tentang belajar dan mengabaaikan berbagai aspek situasi yang penting, khususnya pengaruh aspek social yang penting terhadap belajar.

    Bandura membedakan antara perolehan pengetahuan (belajar) dan kinerja teramati berdasarkan pengetahuan tersebut (perilaku). Dengan kata lain, Bandura berpendapat bahwa apa yang kita ketahui dapat lebih banyak daripada apa yang kita perlihatkan. Siswa dapat saja memahami bagaimana menyederhanakan pecahan namun menunjukkan kinerja yang jelek pada saat tes karena ia gugup atau sakit atau salah membaca soal. Sementara siswa dapat saja telah memami suatu materi, namun pemahaman ini dapat tidak terdemonstrasikan sampai situasinya memungkinkan. Oleh karena itu, dalam teori kognitif social, dua-duanya factor internal dan eksternal itu penting. Segala sesuatu yang terjadi di lingkungan sekitar, factor-faktor pribadi (seperti berpikir dan motivasi), dan perilaku dipandang saling berinteraksi, masing-masing factor saling mempengaruhi dalam proses pembelajaran. Bandura menanamkan interaksi ini sebagai kekuatan reciprocal determinism.

    Satu faktor terabaikan oleh teori perilaku tradisonal adalah fakta adanya pengaruh yang amat kuat yang dimiliki oleh pemodelan dan pengimitasian terhadap belajar. Orang dan binatang dapat belajar hanya dengan mengamati orang lain atau binatang lain belajar, dan fakta inilah yang menantang ide-ide behavoristik yang menayatakan bahwa factor-faktor kognitif tidak perlu dipertimbangkan dalam penjelasan belajar. Apabila orang belajar dengan cara memperhatikan, maka factor-faktor kognitif yang terlibat adalah orang itu harus memusatkan perhatian, mengkonstruksikan gambaran-gambaran, mengingat, menganalisis, dan membuat keputusan yang mempengaruhi belajar.

    1. Belajar dengan Mengamati Orang Lain

    Pada saat Bu Ani tertawa spontan setelah mendengar jawaban seorang siswa, ia secara tidak sadar menkomunikasikan bahwa tertawa dibenarkan dalam situasi ini. Segera seluruh siswa tertawa bersama-sama dengan Bu Ani. Seluruh siswa itu belajar melalui Pemodelan atau Pengalaman, meskipun hal ini bukan termasuk jenis belajar yang dikehendaki Bu Ani. Bu Ani, melaluio perilakunya, menyediakan suatu model bagi siswa untuk ditiru.

    Ada dua jenis pembelajaran memlalui pengamatan atau observational learning. Pertama, pembelajaran melalui pengamatan dapat terjadi melalui kondisi yang dialami orang lain atau vicarious conditioning. Ini terjadi apabila seorang siswa melihat siswa lain mendapat dipuji atau ditegur karena melakukan perbuatan tertentu dan kemudian siswa lain yang melihat hal itu memodifikasi perilakunya seolah-olah ia sendiri yang telah menerima pujian atau teguran itu, inilah yang dinamakan melalui pujian yang dialami oleh orang lain atau vicariosus reinforcement.

    2. Elemen-elemen Pembelajaran Melalui Pengamatan

    Menurut Bandura (1986) ada empat elemen penting yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran melalui pengamtan. keempat elemen itu adalah atensi, retensi, produksi, dan motivasi untuk mengulangi perilaku yang dipelajari itu.

    Atensi. Seseorang harus menaruh perhatian atau atensi agar dapat belajar melalui pengamatan. Seseorang khususnya menaruh perhatian kepada orang yang menarik, populer, kompeten, atau dikagumi (Sulzer-Azaroff & Mayer, 1986). Bagi anak kecil ini dapat berarti orang tua, kakak laki-laki atau perempuan, atau guru. Bagi remaja, ini dapat berarti teman sejawat yang populer, penyanyi rock, atau idola di TV.

    Retensi. Agar dapat meniru perilaku suatu model, seorang siswa harus mengingat perilaku itu. Mengingat itu termasuk menggambarkan tindakan-tindakan model itu dalam berbagai cara, boleh jadi sebagai langkah-langkah verbal.

    Produksi. Sekali siswa mengetahui bagaimana seharusnya suatu perilaku dilakukan dan ingat element-elemen atau langkah-langkahnya dengan lancar. Kadang-kadang siswa memerlukan banyak latihan, umpan-balik, dan latihan khusus untuk langkah-langkah yang sulit sebelum siswa itu dapat memproduksi perilaku model tersebut. Pada fase produksi ini, latihan yang berulang-ulang membuat perilaku itu dapat ditirukan secara lebih lancar dan lebih mahir. Keyakinan bahwa seorang siswa mampu melaksankan suatu tugas (self-efficacy), merupakan hal penting pada fase ini dan mempengaruhi motivasi tersebut untuk menunjukkan kinerjanya.

    Motivasi dan Penguatan. Seperti disebutkan terdahulu, teori kognitif social membedakan antara perolehan dan kinerja. Siswa dapat memperoleh suatu keterampilan atau perilaku pengamatan, namun siswa itu mungkin tidak melaksanakan perilaku itu sampai ada motivasi atau insentif untuk melaksanakannya. Penguatan dapat memainkan beberapa peran dalam pembelajaran melalui pengamatan. Apabila siswa itu mengantisipasi akan memproleh penguatan pada saat meniru tindakan-tindakan suatu model, siswa itu dapat lebih termotivasi untuk menaruh perhatian, mengingat dan memproduksi perilaku itu. Di samping itu, penguatan penting dalam mempertahankan pembelajaran. Seseorang yang mencoba suatu perilaku baru tidak mungkin untuk tetap melakukan tanpa ada penguatan (Barton, 1981; Ollendick, Dailey & Shapiro, 1983).

    Bandura mengidentifikasi tiga bentuk penguatan yang dapat mendorong pembelajaran melalui pengamatan. Pertama, sudah barang tentu pengamat itu dapat mereproduksi perilaku model dan menerima penguatan langsung, sebagai missal, seorang yang sedang berlatih tenis melakukan pukulah backhand dengan benar, pelatih memberikan pujian dengan berteriak,”bagus sekali!” Kedua, penguatan itu tidak mesti langsung seperti itu-penguatan itu juga dapat berwujud vicarious reinforcement. Bentuk yang ketiga adalah pengendalian penguatan yang datang dari dalam.

    Diri sendiri atau self-reinforcement. Jenis penguatan ini penting bagi siswa dan guru. Guru menginginkan siswanya berkembang bukan karena didorong oleh pujian eksternal tetapi karena siswa itu menghargai dan menikmati tumbuhnya kompetensi mereka.

    3. Pembelajaran Melalui Pengamatan Dalam Pengajaran

    Ada lima kemungkinan hasil yang diproleh dari pembelajaran melalui pengamatan, yaitu mengajarkan perilaku dan sikap baru, mendorong perilaku yang telah ada, mengubah perilaku yang menghambat, mengarahkan perhatian, dan menimbulkan emosi. Berikut ini diuraikan tiap-tiap hasil itu pada saat terjadi di kelas.

    Mengajarkan Perilaku Baru. Sesungguhnya pemodelan telah lama digunakan untuk melatih menari, olahraga, dan menukang, selain itu juga untuk melatihkan keterampilan dalam suatu mata pelajaran seperti ilmu kerumahtanggaan, kimia, dan kerja bengkel. Pemodelan juga dapat diterapkan di kelas untuk mengajarkan keterampilan mental dan untuk meluaskan cakrawala mengajarkan cara-cara baru dalam berpikir. Guru berperan sebagai model untuk rentang perilaku yang amat luas, mulai dari melafalkan kata-kata, reaksi terhadap siswa yang terkena serangan penyakit ayan, dan antusias dalam pembelajaran. Sebagai misal guru dapat memodelkan keterampilan berpikir kritis yang logis dengan cara mengucapkan dengan keras jalan pikirannya (thinking “out loud”) saat menjawab pertanyaan siswa.

    Pemodelan apabila diterapkan secara hati-hati dapat merupakan alat mengajar perilaku baru yang efektif dan efesien (Bandura, 1986; Schunk, 1987). Penelitian menunjukkan bahwa pemodelan dapat berfungsi paling efektif apabila guru menggunakan elemen-elemen pembelajaran melalui pengamatan yang diuraikan terdahulu, khususnya penguatan dan latihan.

    Model yang usianya sama dengan siswa yang cenderung efektif. Sebagai misal, Schunk dan Hanson (1985) membandingkan dua metode untuk mengajarkan pengurangan kepada kepada siswa kelas dua yang mengalami kesulitan mempelajari keterampilan ini. Satu kelompok siswa mengamati siswa kelas dua yang lain sedang belajar prosedur pengurangan, dan kemudian mengikuti program pengajaran yang sama. Di antara dua kelompok tersebut, siswa yang mengamati pemodelan oleh teman sebaya tidak hanya memproleh skor lebih tinggi tetapi juga menjadi lebih percaya terhadap diri mereka sendiri untuk belajar. Bagi siswa yang ragu terhadap kemampuan diri mereka sendiri, model yang baik adalah siswa yang hasil belajarnya rendah namun terus berusaha dan akhirnya siswa itu menguasai meteri pelajaran tersebut (Schunk, 1987).

    Pemantapan Perilaku yang Telah Dipelajari. Barangkali kita semua pernah berada dalam situasi mencari-cari petunjuk dari orang lain pada saat dihadapkan pada situasi yang belum kita kenali. Mengamati perilaku orang lain dapat memberitahukan kepada kita perilaku manakah yang telah kita pelajari yang seharusnya digunakan, misalnya garpu yang benar untuk makan salad, kapan saat yang tepat untuk meninggalkan kelompok bicara jenis bahasa apa yang sesuai, dan sebagainya. Pengadopsian gaya pakian dan pengantian dari idola TV adalah contoh lain dari pemantaban perilaku yang telah dipelajari.

    Penguatan dan Peredeman Perilaku yang Menghambat. Apabila anak-anak di kelas menyaksikan seorang siswa melanggar suatu peraturan kelas dan dibiarkan saja tanpa mendapatkan teguran dari guru, siswa lain dapat memproleh kesan bahwa konsekuensi yang tak diinginkan tidak selalu menyusul pelanggaran-aturan. Kelas itu di kemudian hari mungkin tidak lagi segan-segan melanggar peraturan ini. Apabila si pelanggar-aturan itu anak yang populer, anak yang menonjol yang memiliki status-tinggi, pengaruh pemodelan itu malah lebih besar lagi. Seorang ahli psikologi menyebut gejala ini sebagai efek ripel (kounin, 1970). Efek ripel ini dpat dimanfaatkan guru demi kebaikan. Apabila guru berhasil menangani secara efektif seorang pelanggar aturan, khususnya seorang siswa populer, ide pelanggaran aturan ini mungkin dapat dicegah agar tidak dilakukan oleh siswa lain yang menyaksikan kejadian ini. Hal ini tidak berarti bahwa guru  harus menegur tiap siswa yang melanggar suatu aturan; namun sekali guru telah melakukan tindakan tertentu, tindak lanjut merupakan bagian penting dalam menarik keuntungan dari efek ripel tersebut.

    Pengarahan Perhatian. Dengan mengamati orang lain, kita tidak hanya belajar bagaimana bertindak, kita juga memperhatikan bagaimana bertindak, kita juga memperhatikan objek-objek yang terlibat dalam tindakan tersebut. Sebagai misal, dalam suatu kelas taman kanak-kanak, apabila ada seorang anak bermain penuh semangat dengan sebuah robot-robotan yang telah diabaikan beberapa hari, banyak anak lain mungkin menginginkan untuk memiliki robot-robotan itu, meskipun apabila mereka bermain dengan cara lain atau hanya sekedar membawanya berkeliling. Hal ini terjadi sebagian, karena perhatian anak-anak itu telah tertarik pada robot-robotan itu.

    Menimbulkan Emosi. Akhirnya, melalui pembelajaaran melalui pengamatan, orang dapat mengembangkan reaksi emosional terhadap situasi yang mereka sendiri belum pernah mengalaminya.

    B.     Pengaturan-Diri Dan Modifikasi Prilaku Kognitif

    Penerapan teori pembelajaran perilaku yang terkini menekankan pada pengaturan-diri atau self-reulation membantu siswa mencapai pengendalian atas pembelajarannya sendiri. Peranan siswa dalam pembelajaran mereka sendiri merupakan kepedulian utama dari ahli psikologi dan pendidikan dewasa ini. Kepedulian ini tidak terbatas pada kelompok atau teori tertentu. Berbagai macam penelitian dan teori seluruhnya memusatkan pada satu ide penting bahwa tanggung jawab dan kemampuan untuk belajar terletak di pundak siswa. Tidak seorangpun dapat belajar untuk seseorang yang lain (Manning, 1991: Zimmerman, 1990: Zimmerman dan Schunk, 1989).

    Salah satu alasan mengapa para ahli psikologi perilaku menjadi tertarik dalam pengelolaan-diri sendiri adalah dengan teramatinya kecenderungan bahwa siswa yang diajar dengan metode-metode perilaku yang klasik jarang dapat menggeneralisasikan pembelajaran mereka ke situasi yang baru. Sebagai misal, dalam disertasi Woolfolk ditemukan bahwa siswa-siswa yang kurang menaruh perhatian dalam belajar dapat belajar menaruh perhatian pada pelajaran dengan amat baik pada saat mereka secara sistematik mendapatkan penguatan dalam kelompok kecil. Namun pada saat mereka kembali ke kelas biasa, mereka tidak menerapkan keterampilan baru itu dan kembali pada sikap semula (Woolfolk & Woolfolk, 1974). Banyak para ahli psikologi perilaku menarik kesimpulan bahwa generalisasi akan terdorong apabila para siswa menjadi mitra dalam prosedur pengubahan perilaku.

    1.      Pengelolaan-Diri

    Apabila salah satu tujuan pendidikan adalah menghasilkan orang-orang yang mampu mendidik dirinya sendiri, maka siswa harus belajar mengelola hidup mereka sendiri, menetapkan tujuan mereka sendiri, dan mampu melakukan penguatan atas diri mereka sendiri dan mampu melakukan penguatan atas diri mereka sendiri. Dalam kehidupan orang dewasa, ganjaran kadang-kadang kabur dan tujuan sering memerlukan waktu lama untuk mencapainya. Bayangkan betapa banyak langkah kecil yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu pendidikan dan mendapatkan pekerjaan pertama Anda. Kehidupan dipenuhi dengan tugas-tugas yang menuntut jenis pengelolaan-diri sendiri ini (Kanfer & Gaelick, 1986).

    Siswa dapat dilibatkan dalam setiap atau seluruh langkah dalam penerapan suatu program pengubahan perilaku dasar. Mereka dapat membantu menetapkan tujuan, mengamati pekerjaan mereka sendiri, membuat catatan tentang pekerjaan itu, dan mengevaluasi kinerja mereka sendiri. Akhirnya, mereka dapat memilih dan menghasilkan penguatan. Jenis keterlibatan ini dapat membantu siswa belajar melaksanakan perubahan itu atas kemauan diri mereka sendiri di masa yang akan dating (Kaplan, 1991).

    Penetapan Tujuan. Jelas bahwa fase penetapan-tujuan sangat penting dalam pengelolaan-diri sendiri. Dalam kenyataannya, sejumlah peneliti menekankan bahwa penetapan tujuan khusus dan mengkomunikasikan tujuan itu secara terbuka merupakan elemen penting dalam program pengelolaan-diri. Sebagai misal, S.C. Hayes dan koleganya mengidentifikasi mahasiswa yang memiliki masalah serius dalam belajar dan mengajarkan merekan bagaimana menetapkan tujuan khusus pembelajaran.  Mahasiswa yang menetapkan tujuan dan mengkomunikasikan tujuan itu kepada peneliti, kinerja mereka dalam tes yang meliputi materi yang sedang dipelajari secara signifikan lebih baik dari pada siswa yang menetapkan  tujuan secara tertutup dan tidak pernah mengungkapkan tujuan itu kepada orang lain (Hayes, Rosenfarb, Wulfert, Munt, Korn, & Zettle, 1985).

    Standar lebih tinggi cenderung menghasilkan kinerja lebig tinggi (McLaughlin & Gnagey, 1981). Patut disayangkan bahwa siswa yang menetapkan tujuan, standar tujuan itu berkecenderungan semakin lama menjadi semakin rendah. Guru dapat membantu siswa mempertahankan standar tinggi dengan memonitor tujuan yang ditetapkan dan memberikan penguatan untuk standar tinggi. Dalam suatu penelitian, seorang guru membantu siswa kelas satu setiap hari menaikkan jumlah soal metematika yang mereka tetapkan untuk mereka kerjakan sendiri dengan cara memberikan pujian kepada mereka apabila mereka menaikan tujuan mereka sebesar 10 persen. Siswa-siswa itu mempertahankan standar kerja mereka yang baru dan lebih tinggi, dan malah perbaikan itu diterapkan pada mata pelajaran lain (Price & O’Leary, 1974)..

    Pencatatan dan Pengevaluasian Kemajuan. Siswa juga dapat berperan serta dalam fase pencatatan dan pengevaluasian suatu program pengubahan perilaku. Beberapa contoh perilaku yang sesuai untuk pencatatan oleh siswa sendiri ini adalah jumlah tugas yang terselesaikan, waktu yang diperlukan untuk melatih suatu keterampilan, jumlah buku yang dibaca, dan berapa kali meninggalkan tempat duduk tanpa ijin. Tugas-tugas yang harus diselesaikan tanpa pengawasan guru, seperti pekerjaan rumah atau belajar sendiri, juga merupakan contoh yang baik untuk pemonitoran sendiri oleh siswa. Siswa memegang suatu instrument pengamatan, seperti catatan harian, atau ceklis untuk mencatatat frekuensi atau selang waktu teramatinya perilaku yang sedang dikembangkan.

    Suatu kartu catatan kemajuan dapat membantu siswa kelas-kelas atas memerinci suatu tugas ke dalam langkah-langkah kecil, menentukan urutan terbaik untuk menyelesaikan langkah-langkah tersebut, dan tetap mengikuti kemajuan harian dengan   menetapkan tujuan untuk tiap hari.

    Kartu catatan itu sendiri berfungsi sebagai suatu dorongan yang sedikit demi sedikit dapat dikurangi (Jenson, Sloane,  & Young, 1988). Dikarenakan berbohong pada catatan merupakan masalah serius, khususnya apabila siswa diberi ganjaran untuk perbaikan yang dicapai, sebentar-bentar pengecekkan oleh guru ditambah poin bonus untuk pencatatan yang akurat mungkin dapat membantu (Hundert & Bucher, 1978).

    Evaluasi-diri agak lebih sukar dibandingkan dengan pencatatan-diri, karena evalusi-diri melibatkan pemberian suatu pertimbangan tentang kualitas. Sangat sedikit penelitian dilakukan dalam daerah ini, namun jelas bahwa siswa dapat belajar mengevaluasi perilaku mereka dengan kecermatan yang masuk akal  (Rhode, Morgan, & Young, 1983). Salah satu kuncinya adalah secara periodic mengecek evaluasi-diri siswa dan memberikan penguatan untuk pertimbangan yang akurat. Siswa-siswa senior pada umumnya lebih siap melakukan evaluasi-diri yang akurat daripada  siswa yunior. Sekali lagi, poin bonus dapat diberikan apabila terjadi kesesuaian  antara evaluasi guru dan siswa (Kaplan, 1991).

    Suatu penelitian yang dilakukan oleh Mark Morgan (1985) mengkobinasikan penetapan tujuan, pencatatan-diri, dan evaluasi-diri. Morgan mengajarkan strategi monitoring-diri kepada seluruh mahasiswa pendidikan pada mata kuliah psikologi pendidikan di perguruan tingginya. Siswa yang merumuskan tujuan khusus jangka-pendek untuk tiap unit pelajaran dan memonitor kemajuan mereka ke arah tujuan tersebut mengungguli mahasiswa yang hanya memonitor belajar mereka, meskipun mahasiswa yang memonitor waktu mereka menghabiskan jam belajar lebih banyak!

    Penguatan-Diri. Langkah terakhir dari pengelolaan-diri adalah penguatan-diri. Meskipun demikian ada, ketidaksepakatan apakah langkah ini sesungguhnya perlu. Sejumlah ahli psikologi yakin bahwa penetapan tujuan dan pemonitoran kemajuan itu saja sudah cukup dan penguatan-diri tidak lagi memberikan tambahan pengaruh apa pun (Hays et al., 1985).

    TEORI-TEORI BELAJAR PERILAKU

    PENDAHULUAN

    Ibu Julia, seorang guru kelas satu di suatu sekolah dasar di Amerika, mengajar siswanya bagaimana seharusnya berperilaku di dalam kelas. Suatu hari ia berkata: “Anak-anak, kita mempunyai masalah di kelas ini, saya akan diskusikan masalah itu dengan kalian. Masalahnya, ketika saya mengajukan sebuah pertanyaan, banyak di antara kalian langsung meneriakan jawaban, tanpa mengacungkan tangan terlebih dahulu dan menunggu untuk ditunjuk. Dapatkah salah satu dari kalian mengatakan kepada saya apa yang seharusnya kalian lakukan apabila saya mengajukan pertanyaan di kelas?”. Rani, langsung mengacungkan tangannya ke atas sambil berkata, “saya tahu, saya tahu Bu!”;”Acungkan tangan ke atas dan tunggu dengan tenang!”. Ibu Julia melirik Rani. Ia berusaha mengabaikan perilaku Rani yang melakukan sesuatu yang baru saja diingatkan untuk tidak dilakukan; tetapi tangan Rani masih mengacung ke atas, dan semakin lama ibu Julia mengabaikan Rani, semakin menjadi-jadi Rani melambaikan tangan ke atas sambil meneriakkan jawabannya. Akhirnya ibu Julia berkata,” Baiklah, Rani. Apa yang seharusnya kamu lakukan?” Rani menjawab,”seharusnya kami mengacungkan tangan dan menunggu dengan tenang sampai ditunjuk.” “Jika kamu sudah mengetahui aturannya, mengapa tadi kamu meneriakkan jawabanmu sebelum saya menunjuk kamu?” “Saya lupa Bu.” Ibu Julia berkata lagi, “Baiklah. Dapatkah salah seorang dari kalian mengingatkan teman-teman di kelas ini tentang aturan menjawab pertanyaan guru?”. Empat anak secara tiba-tiba mengacungkan tangan dan berterik bersama-sama,

    “Satu orang tiap kali menjawab!”

    “Tunggu giliran!”

    “Jangan berbicara saat orang lain sedang menjawab!”

    Melihat perilaku siswanya seperti itu, ibu Julia agak kesal dan berkata,“Anak-anak, kalian membuat saya jadi kesal!””bukankah baru saja kita berbicara, pertama-tama harus mengacungkan tangan dan menunggu dengan tenang sampai ditunjuk?”

    “Akan tetapi, Bu…” Kata Yuni tanpa mengacungkan tangan.

    “Tadi Ibu menunjuk Rani, padahal dia mengacungkan tangan sambil berteriak!”

                Anak-anak adalah pelajar yang amat baik dan kritis. Apa yang mereka pelajari, mungkin tidak selalu sesuai dengan apa yang kita maksudkan. Misalnya, dalam scenario di atas, Ibu Julia mencoba mengajarkan siswa-siswanya bagaimana seharusnya berperilaku di dalam kelas, tetapi kenyataannya Ibu Julia telah mengajarkan mereka kebalikan dari apa yang ia inginkan; yaitu dapa saat memberikan perhatian pada teriakan Rani. Apa yang dilakukan Bu Julia itu tidak hanya memperbesar kemungkinan Rani akan meneriakkan lagi jawabannya, tetapi Rani sekarang juga menjadi contoh bagi teman-temannya untuk langsung meneriakkan jawabannya. Dengan demikian, respon Bu Julia terhadap perilaku siswanya jauh lebih penting dibandingkan dengan apa yang ia ucapkan.

                Maksud bab ini adalah untuk mendefenisikan belajar dan kemudian menyajikan beberapa teori belajar perilaku. Teori belajar perilaku, menjelaskan belajar dengan menekankan pada perilaku yang dapat diamati. Teori-teori perilaku menekankan kepada bagaimana konsekuensi yang menyenangkan atau tak menyenangkan dari perilaku dapat mengubah perilaku individu dari waktu ke waktu dan bagaimana perilaku individu mencontoh perilaku individu yang lain. Bab berikutnya akan meyajikan teori belajar kognitif. Teori belajar kognitif menekan pada proses-proses mental yang tidak dapat diamati yang digunakan seseorang untuk belajar dan mengingat informasi atau keterampilan baru. Para ahli teori perilaku mencoba menemukan  prinsip-prinsip perilaku yang berlaku untuk semua mahluk hidup (manusia maupun hewan); sedangkan para ahli teori kognitif secara eksklusif hanya tertarik dengan bagaimana manusia belajar. Sesungguhnya batas antara teori belajar perilaku dan kognitif telah menjadi semakin tidak jelas akhir-akhir ini karena teori itu telah saling memanfaatkan temuan-temuan mereka.

    A.      PENGERTIAN BELAJAR

    Apa belajar? Ini seperti pertanyaan sederhana, sampai Anda mulai sungguh-sungguh memikirkan tentang belajar. Pikirkan beberapa contoh berikut ini. Apakah empat contoh ini merupakan contoh belajar?

    1.      Seorang anak (bayi) melakukan langkah pertama di awal ia berjalan.

    2.      Seorang remaja pria merasa sangat tertarik dengan seorang remaja wanita.

    3.      Seorang anak kecil merasa takut ketika melihat seorang dokter dating sambil memegang jarum suntik.

    Belajar umumnya didefinisikan sebagai perubahan di dalam diri seseorang yang disebabkan oleh pengalaman (lihat: Mazur,1990; Rocklin,1987). Perubahan-perubahan yang disebabkan oleh perkembangan (seperti, badan tumbuh lebih tinggi) bukanlah contoh dari belajar. Begitu juga kaarakteristik yang dimiliki sesorang saat lahir (seperti gerak reflex dan respons terhadap rasa lapar atau sakit). Bagaimanapun juga, manusia banyak belajar semenjak dia dilahirkan (bahkan ada yang berpendapat sebelum lahir); behwa belajar dan berkembang merupakan hubungan yang tak terpisahkan. Belajar berjalan (contoh 1) pada dasarnya merupakan kemajuan perkembangan namun juga bergantung pada pengalaman dengan merangkak dan aktivitas lain. Dorongan seks seorang remaja (contoh 2) bukanlah belajar, namun belajar membentuk pilihan seseorang pada partner dikehendaki.

    Rasa takut seorang anak ketika melihat dokter membawa jarum suntik mendekatinya (contoh 3) adalh perilaku yang dipelajari. Anak telah belajar mengaitkan jarum suntik dengan rasa sakit, dan badannyapun bereaksi secara emosional ketika ia melihat jarum suntik. Reaksi ini mungkin tak disadari, tetapi bagaimanapun juga perilaku ini merupakan hasil belajar.

    Belajar dapat terjadi dengan banyak cara. Kadang-kadang terjadi karena disengaja, misalnya pada saat seorang anak memproleh informasi yang disajikan di kelas atau pada saat anak menemukan sesuatu di dalam ensiklopedia. Kadang-kadang belajar terjadi secara tak disengaja, seperti seorang anak bereaksi ketika melihat jarum suntik. Seluruh jenis belajar terjadi di sepanjeng waktu. Misalnya saat Anda sedang membaca bab ini, Anda sedang belajar sesuatu tentang belajar, bagaimanapun juga, Anda sedang belajar bahwa psikologi pendidikan menarik atau membosankan, berguna atau tidak berguna. Tanpa mengetahui hal tersebut, mungkin Anda belajar di halaman mana sepotong informasi dapat ditemukan. Anda belajar untuk menghubungkan isi bab ini dengan aspek-aspek yang tidak penting yang ada di sekeliling tempat Anda menbaca. Isi bab ini, penempatan kata-kata di halaman buku, bau-bauan, suara-suara dan suhu di sekeliling Anda adalah stimuli. Indera Anda biasanya terbuka luas untuk keseluruhan stimuli, namun Anda menyadari hanya sebagian stimuli-stimuli tersebut pada satu waktu tertentu.

    Masalah yang dihadapi para pendidik tidak terletak pada bagaimana membuat siswa belajar; siswa telah terlibat dalam setiap waktu. Melainkan yang lebih penting adalah membantu siswa belajar konsep, keterampilan dan informasi-informasi tertentu yang berguna untuk masa depannya. Bagaimana kita sebaiknya menyajikan kepada siswa stimulus-stimulus yang benar sedemikian rupa sehingga mereka memfokuskan perhatian dan upaya mental mereka agar mereka memiliki keterampilan-keterampilan yang bermanfaat? Hal inilah merupakan masalah sentral dalam pengajaran.

    B.      EVOLUSI TEORI BELAJAR PERILAKU

    Penelitian secara sistematik tentang teori belajar relative masih baru. Dalam tahun-tahun terakhir abad 19 teori belajar mulai dipelajari secara ilmiah. Menggunakan teknik-teknik yang diadopsi dari sains, para peneliti mulai melakukan eksperimen untuk memahami bagaimana manusia dan hewan belajar. Dua orang peneliti terkenal merintis penelitian tentang teori belajar perilaku adalah Ivan Pavlov dan Edward Thorndike. Di antara peneliti yang muncul belakangan, adalah B.F Skinner. Skinner mempelajari hubungan antara tingkah laku dan konsekuensinya. Berikut, diulas secara ringkas teori belajar perilaku dari ketiga tokoh ini.

    Ivan Pavlov : Classsical Conditioning (Pengkondisian Klasik)

    Dalam tahun-tahun terakhir abad 19 dan tahun-tahun permulaan abad 20, Pavlov dan kawan-kawan mempelajari proses pencernaan pada anjing. Selama penelitian, peneliti mengamati perubahan waktu dan tingkat (kecepatan) pengeluaran air liur dari binatang tersebut.

    Pavlov mengamati, jika seonggok daging diletakkan di sekitar mulut anjing yang kelaparan, maka anjing tersebut akan mengeluarkan air liur. Karena onggokan daging merangsang respon anjing secara otomatis (tanpa pengkondisian atau tanpa latihan terlebih dahulu), maka onggokan daging disebut stimulus tak terkondisi (unconditioned stimulus). Begitu pula, karena keluarnya air liur anjing secara otomatis (tanpa perlu latihan terlebih dahulu), respon pengeluaran air liur disebut respon tak terkondisi (unconditioned respond).

    Sementara daging mengakibatkan anjing mengeluarkan air liur tanpa perlu dilatih terlebih dahulu, stimuli lainnya, seperti misalnya suara bel, tidak akan membuat anjing mengeluarkan air liur. Karena stimuli ini tidak mempunyai efek pada respon, stimuli itu disebut stimuli netral (netral stimuli). Percobaan-percobaan yang dilakukan oleh Pavlov menunjukkan, jika stimulus yang pada mulanya netral dipasangkan dengan stimulus terkondisi dan memiliki kekuatan untuk membangkitkan respon serupa dengan yang dihasilkan oleh stimulus tak terkondisi. Artinya, suara bel saja, pada akhirnya, dapat merangsang anjing meneteskan air liur. Proses ini dikenal dengan istilah pengkondisian klasik (classical conditioning). Dalam pengkondisian klasik, suatu stimulus netral (misalnya suara bel) yang pada mulanya tidak memicu suatu respon dipasangkan dengan stimulus yang terkondisi (misalnya daging) dan memperoleh kemampuan sedemikian rupa sehingga stimulus netral itu memicu suatu respon (misalnya keluarnya air liur) ada dalam lingkungan, bukan oleh pikiran yang sadar atau tak sadar.

    Thonrdike : hukum pengaruh (the law of effect).

    Selanjutnya eksperimen Thorndike dengan menunjukkan bahwa stimuli yang diberikan setelah perilaku tertentu mempunyai pengaruh terhadap perilaku-perilaku selanjutnya. Dalam sejumlah eksperimennya, Thorndike menempatkan kucing di dalam kotak dan kucing tersebut harus keluar dari kotak itu untuk mendapatkan makanan. Ia mengamati bahwa dalam selang waktu tertentu, kucing tersebut belajar bagaimana keluar dari kotak lebih cepat dengan cara mengulangi perilaku-perilakunya yang dapat mengiringnya keluar dari kotak dan tidak mengulangi perilaku-perilakunya yang tidak efekktif. Dari eksperimen seperti ini, Thorndike, membangun teori yang dikenal dengan hukum pengaruh (the law of effect).

    Hukum Pengaruh Thorndike menyatakan bahwa :

    jika suatu tindakan diikuti oleh hal yang memuaskan (menyenangkan) dalam lingkungan, maka kemungkinan tindakan itu akan diulangi dalam suasana serupa, akan meningkat. Sebaliknya, jika suatu perilaku diikuti oleh hal yang tidak memuaskan (tidak menyenangkan) dalam lingkungan, maka kemungkinan tindakan diulangi, akan menurun.”Dengan demikian, konsekuensi-konsekuensi dari perilaku seseorang pada saat ini, memegang peranan penting dalam menentukan perilaku orang tersebut selanjutnya. Misalnya seorang siswa yang belajar sambil mendengarkan music, dapat belajar dengan nyaman dan mendapat nilai yang baik, maka perilaku belajar sambil mendengarkan music kemungkinan tindakan itu diulangi, akan meningkat.  Sebaliknya jika seorang siswa yang ribut di dalam kelas, dihukum pada akhir jam pelajaran untuk memungut sampah, maka perilaku siswa ribut didalam kelas kemungkinan tindakan itu diulangi, akan menurun.

    B.F. Skinner : Pengkondisian Operan (Operant Conditioning)

    Kiranya jelas bahwa beberapa perilaku manusia dipicu oleh stimuli tertentu. Seperti halnya anjing dalam eksperimen Pavlov, kita juga akan mengeluarkan air liur apabila kita dalam keadaan lapar dan melihat makanan yang merangsang selera.

    Kita juga mempercayai pendapat awal Thorndike tentang perilaku refleksif pada saat kita belajar sesuatu dengan baik, seperti bagaimana mengendarai sepeda, sepertinya otak merespon secara reflex. Sementara itu B.F. Skinner berpendapat bahwa perilaku yang demikian itu hanya merupakan sebagian kecil dari keseluruhan tindakan kita. Skinner mengajukan katagori perilaku lain yang disebut “perilaku operant” karena perilaku-perilaku ini berlaku (operated) pada lingkungan yang secara nyata tanpa kehadiran stimuli tak terkondisi, seperti misalnya makanan. Seperti hal Thorndike, studi Skinner berfokus pada hubungan antara perilaku dan konsekuensi-konsekuensinya. Misalnya, jika perilaku seseorang segera diikuti  oleh konsekuensi-konsekuensi yang mentenangkan, maka orang tersebut cenderung akan lebih sering mengulangi perilaku tersebut. Penggunaan konsekuensi-konsekuensi menyenangkan dan tak menyenangkan untuk mengubah perilaku sering disebut pengkondisian operant (operant conditioning).

    Studi Skinner berpusat pada penempatan subjek di dalam situasi terkontrol dan mengamati perubahan-perubahan perilaku yang diakibatkan oleh perubahan konsekuensi-konsekuensi secara sistematis dari perilaku sebelumnya. Skinner terkenal dikarenakan alat yang dipakai dalam eksperimennya. Alat ini dikenal dengan nama “Kotak Skinner” (Skinner Box). Kotak skinner berisi sebuah peralatan yang sangat sederhana untuk mempelajari perilaku binatang, biasanya tikut dan burung merpati. Sebuah kotak skinner untuk tikus, berisi: sebuah batangan yang dengan mudah dapat ditekan oleh tikus tersebut, tempat makanan yang dapat memberikan makanan pada tikus tersebut dan tempat minuman. Alat ini dirancang sedemikian sehingga tikus itu tidak dapat melihat ataupun mendengar sesuatu yang ada diluar kotak, dengan demikian ssuatu stilmuli terkontrol oleh peneliti.

    Dalam beberapa percobaan paling awal dengan menggunakan kotak Skinner, peralatan itu mula-mula dirakit sedemikian hingga, jika tikus menekan batangan itu secara tidak sengaja, maka tikus akan menerima makanan. Setelah menekan batangan beberapa kali secara kebetulan, selanjutnya tikus itu akan menekan batangan itu lebih sering dan setiap kali menekan, tikus itu mendapat makanan. Perilaku tikus itu telah terkondisi, menguatkan perilaku menekan batangan dan melemahkan semua perilaku lain (seperti misalnya, berkeliling-keliling dalam kotak). Pada tahap ini, para peneliti itu dapat melakukan beberapa hal. Alat-alat elektronika yang mengontrol batangan dan tempat makanan dapat dipasang sedemikian sehingga menekan batangan itu atau sedemikain rupa hingga sejumlah tekanan pada batangan menghasilkan makanan tetapi sejumlah tekanan yang lain tidak, atau sedemikian sehingga menekan batangan tidak lagi mendapat makanan. Dalam setiap kasus, perilaku tikus direkam secara otomatis. Salah satu keuntungan penting dari kotak Skinner ini, adalah kotak itu memungkinkan peneliti untuk melakukan studi ilmiah yang seksama dari perilaku dalam suatu lingkungan terkontrol, kontribusi Skinner, seperti halnya Pavlov, tidak hanya berupa apa yang dia temukan, tetapi juga metode yang digunakan. Percobaan Skinner dapat diulangi siapa saja dengan alat yang sama.

    BEBERAPA PRINSIP TEORI BELAJAR PERILAKU

    Peranan Konsekuensi

                Kerja rintisan Skinner dengan tikus dan merpati menghasilkan seperangkat prinsip perilaku yang telah ditunjang oleh ratusan penelitian baik yang melibatkan meanusia maupun binatang.

    Barangkali prinsip terpenting dari teori belajar perilaku adalah bahwa perilaku berubah  sesuai dengan konsekuensi-konsekuensi yang menyenangkan akan “memperkuat” perilaku, sedangkan konsekuensi-konsekuensi yang tidak menyenangkan akan “memperlemah” perilaku. Dengan kata lain, sedangkan konsekuensi-konsekuensi yang tidak menyenangkan akan menurunkan frekuensi seseorang melakukan perilaku serupa. Misalnya, jika seorang anak menikmati membaca buku,, maka kemungkinan besar ia akan membaca lebih sering. Sebaliknya, jika seorang anak mendapatkan ceritera-ceritera membosankan atau tidak dapat berkonsentrasi, anak itu dapat menjadi jarang membaca, dan sebagai gantinya memilih aktivitas lain.

    Konsekuensi-konsekuensi yang menyenangkan disebut penguat (reinforcer); sedangkan konsekuensi-konsekuensi yang tidak menyenangkan disebut hukuman (punisher).

    Penguat (reinforcerdidefinisikansebagai setiap konsekuensi yang menguatkan perilaku (yaitu, meningkatkan frekuensi perilaku). Perlu dicatat bahwa keefektipan suatu penguat harus terdemonstrasikan. Artinya, kita tidak bisa menganggap suatu konsekuensi tertentu benar-benar merupakan penguat simpai terbukti konsekuensi itu menguatkana perilaku seseorang. Sebagai contoh, permen secara umum dapat dianggap sebagai penguat untuk anak-anak, namun sesudah makan sampai kenyang mungkin saja bukan lagi merupakan penguat untuk anak-anak tersebut; bahkan, ada beberapa anak yang tidak menyukai permen sama sekali. Perlu dicatat, tidak ada ganjaran (hadiah) yang dapat diasumsikan sebagai penguat untuk setiap orang dalam segala kondisi.

    Penguat Primer dan Penguat Skunder

    Penguat dibedakan menjadi dua kategori: Penguat Primer (Primary Reinforcer) dan Penguat Skunder(Secondary Reinforcer). Penguat primer memuaskan kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, air, keamanan, kehangatan, dan seks. Sedangkan penguat skunder adalah penguat yang memperoleh nilai-nilainya setelah dikaitkan dengan penguat primer atau penguat lain yang lebih diakui. Misalnya, uang tidak mempunyai nilai bagi seorang anak sampai anak itu  mnegetahui bahwa uang itu dapat digunakan untuk membeli sesuatu yang merupakan penguat primer atau skunder. Nilai tes mempunyai nilai kecil bagi anak kecuali orang tuanya menghargai anak itu atas nilai yang dicapainya, dan penghargaan orang tua itu memiliki nilai karena berkaitan dengan rasa cinta, kehangatan, rasa aman dan penguat-penguat yang lain. Uang dan nilai merupakan contoh dari penguat skunder karena keduanya tidak memiliki nilai sampai keduanya dikaitkan dengan penguat primer atau penguat skunder lain yang diterima baik atau mapan sebagai penguat. Terdapat tiga katagori penguat skunder, yaitu : 1) penguat social, misalnya penghargaan, senyuman, pelukan, perhatian; 2) penguat aktivitas, misalnya diperbolehkan menonton TV, menonton bioskop, mengunjungi arena permainan, atau aktivitas-aktivitas yang menyenagkan; 3) penguat simbolik, misalnya uang, nilai, dan tanda penghargaan.

    Penguatan positif dan Penguatan negative. Penguatan yang paling sering digunakan di sekolah adalah berupa sesuatu yang diberikan kepada siswa. Penguatan ini disebut Penguatan Positif (Positive Reinforcement), termasuk pujian, nilai, dan tanda penghargaan. Cara lain untuk menguatkan suatu perilaku adalah memberikan konsekuensi perilaku yang berupa pembebanan dari situasi yang tidak menyengkan atau suatu cara pencegahan terjadinya sesuatu yang tidak menyengkan. Sebagai contoh, orang tua dapat membebaskan anaknya dari tugas mencuci piring, jika anak itu menyelesaikan  PR dengan baik. Jika pekerjaan mencuci piring dipandang sebagai tugas tidak menyenangkan bagi anak, pembebasan dari pekerjaan itu merupakan sesuatu penguatan. Penguatan yang membebaskan dari situasi-situasi yang tidak menyenangkan disebut Penguatan Negatif (Negative Reinforcement).

    Isitilah penguatan negative sering keliru diartikan sebagai hukuman. Satu cara untuk menghindari kekeliruan ini adalah dengan mengingat-ingat bahwa penguatan (positif atau negative) merupakan perilaku, sedangkan hukuman melemahkan perilaku (lihar table 1).

    TABEL 1

    KONSEKUENSI DALAM PEMBELAJARAN PERILAKU

    Memperkuat PerilakuMemperlemah Perilaku
    Penguatan PositifContoh : member hadiah atau pujian.Penguatan NegatifContoh: membebaskan dari tugas atau situasi yang tidak menyenagkanTidak ada penguatanContoh: pengabaianHukuman laranganContoh: melarang melakukan tugas atau yang tidak menyenangkan.Hukuman paksaanContoh: memaksa melakukan tugas atau situasi yang tidak menyenangkan.

    PRINSIP PREMACK salah satu prinsip perilaku yang penting adalah bahwa aktivitas-aktivitas yang kurang disukai dapat ditingkatkan dengan cara mengaitkan aktivitas-aktivitas tersebut dengan aktivitas-aktivitas  yang lebih disukai. Sebagai contoh, seorang guru dapat berkata: “Segera setelah kamu menyelesaikan pekerjaanmu, kamu dapat keluar,” atau “Bersihkan meja kerjamu dan setelah itu kamu boleh pulang.” Apa yang diucapkan guru ini merupakan contoh dari Prinsip Premack (Premack, 1965). Seorang guru dapat menggunakan Prinsip Premack dengan cara menukar aktivitas-aktivitas yang lebih menyenagkan dengan aktivitas yang kurang menyenangkan, dan dapat tidaknya ikut berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas yang menyenagkan itu tergantung pada keberhasilan  menyelesaikan aktivitas-aktivitas yang kurang menyenagkan tadi. Misalnya menjadwal pelajaran music (dianggap aktivitas yang menyenangkan bagi sebagian besar siswa), setelah menuntaskan suatu pelajaran yang sulit di Sekolah Dasar, sehingga para siswa mengetahui bahwa jika mereka bermain-main atau tidak serius dalam mengikuti pelajaran yang sulit tadi, mereka akan kehilangan sebagian waktunya untuk mengikuti pelajaran yang mereka sukai yaitu pelajaran music.

    Pelaksanaan Penguatan dalam Praktek di Kelas

                Prinsip yang paling berguna dari teori belajar perilaku dalam praktek di kelas juga yang paling sederhana: Memperkuat perilaku-perilaku yang Anda haarapkan berulang-ulang melihatnya lagi. Prinsip ini kelihatannya sederhana tetapi dalam pelaksanaannya tidaklah muda, atas dasar bahwa, “Mengapa saya harus memperkuat mereka? Mereka hanya mengerjakan apa yang seharusnya mereka kerjakan.”

                Prinsip-prinsip utama dari penggunaan penguatan untuk meningkatkan perilaku yang diinginkan di dalam kelas, adalah sebagai berilut:

    a.       Tetapkan perilaku-perilaku apa yang Anda inginkan dari para siswa, dan perkuat perilaku-perilaku itu bila perilaku itu muncul. Misalnya, berilah pujian atau penghargaan bila seseorang siswa berhasil menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Jangan memuji atau member hadiah pekerjaan yang tidak sepadan dengan kemampuan siswa.

    b.      Beritahu siswa perilaku-perilaku apa yang Anda inginkan untuk dilakukan mereka, dan bila mereka melakukannya, dan Anda memperkuat perilaku mereka, katakana kepada mereka mengapa hal itu Anda lakukan.

    Banyak studi telah menunjukkan bahwa bila penguatan diberikan kepada siswa berdasarkan pada perilaku-perilaku mereka di kelas dan pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan sekolah, perilaku-perilaku mereka menjadi lebih baik.

    Hukuman

                Konsekuensi-konsekuensi yang tidak memperkuat, yaitu yang melemahkan perilaku disebut Hukuman. Sekali lagi perhatikan perbedaan antara penguatan negative (penguatan perilaku yang diiinginkan dengan mencabut konsekuensi tidak menyenangkan) dan hukuman, yang ditujukan pada pengurangan perilaku dengan memberikan konsekuensi yang tidak diinginkan. Perhatikan juga bahwa ada nuansa yang sama pada defenisi hukuman seperti pada defenisi penguatan: Jika suatu konsekuensi yang tidak menyenangkan nyata-nyata tidak mengurangi frekuensi dari perilaku yang tidak diinginkan, maka konsekuensi yang tidak menyenangkan tersebut belum dapat dipandang sebagai hukuman. Contohnya, terkadang beberapa siswa malah suka jika dia disuruh ke luar kelas karena dengan keluar kelas, mereka merasa terbebas dari situasi kelas yang menurut mereka tidak menyenangkan. Pengeluaran mereka dari kelas dalam hal ini tidak dapat dipandang sebagai hukuman. Beberapa siswa suka jika dia ditegur gurunya, sebab dia ingin mencari perhatian guru dan barangkali menaikan status di mata teman-temannya. Dalam hal ini teguran guru juga tidak dapat dipandang sebagai hukuman. Dengan demikian seperti halnya pada penguatan, keefektifan dari suatu hukuman tidak dapat diasumsikan, tetapi haruslah diperlihatkan.

    Hukuman Paksaan dan Hukuman Larangan hukuman dapat dibagi menjadi dua bentuk, yaitu hukuman paksaan dan hukuman larangan. Hukuman Paksaan (presentation punishment) adalah hukuman dengan menggunakan konsekuensi-konsekuensi yang tidak menyenangkan (aversive stimuli), seperti misalnya: seorang anak bercakap-cakap saat pelajaran berlangsung, lalu anak itu diperirintahkan untuk menulis 100 kali kalimat “saya tidak akan bercakap-cakap di dalam kelas”, atau anak tersebut dimarahi atau ditampar.  

  • Lebel Berpikir Metakognisi

    Metakognisi

    Pada beberapa tahun terakhir ini metakognisi telah cukup luas digunakan, khususnya dalam dunia pendidikan, metakognisi seringkali dikaitkan dengan usaha mengoptimalkan kemampuan seseorang dalam pemecahan masalah (Gartman dan Freiberg, 1993: De Corte, 2003), memahami isi dari suatu topic bacaan (Wellman, 2008), mengoptimalkan hasil belajar yang dapat dicapai oleh peserta didik (Gama, 2004) atau meningkatkan kemampuan seseorang menjadi pembelajar yang sukses (Livingston, 1997). Pada prinsipnya usaha melibatkan metakognisi dalam berbagai kegiatan belajar diharapkan memberi manfaat untuk meningkatkan kualitas belajar yang dilaksanakan.

    1. Pengertian metakognisi

    Sampai saat ini, belum tampak adanya kesamaan pendapat tentang definisi metakognisi (Panaoura dan Philippou, 2001). Namun secara umum terdapat kesamaan hakekat diantara pendapat-pendapat tentang metakognisi yang diberikan. Gambaran tentang perbedaan tersebut antara lain ditunjukkan oleh perbedaan pandangan antara dua orang pelopor studi tentang metakognisi yaitu Flavell dan Brown. Flavell cenderung memandang metakognisi dari aspek pengetahuan tentang kognisi seseorang, sementara Brown cenderung memandang metakognisi sebagai proses pengatur kognisi seseorang.

    Meskipun Flavell dan Brown memiliki kecenderungan pandangan berbeda tentang metakognisi, namun keduanya berpandangan bahwa metakognisi mencakup dua aspek yang saling berkaitan dan saling bergantung satu sama lain. Flavell mengemukakan bahwa metakognisi terdiri dari (1) pengetahuan metakognitif (metacognitive knowledge), dan (2) pengalaman atau pengaturan metakognitif (metacognitive experience or regulation)(Flavell, 1979; Livingston, 1997). Di sisi lain, Brown juga membagi metakognisi menjadi: (1) pengetahuan tentang kognisi (knowledge about cognition), dan (2) pengaturan kognisi (regulation of cognition) (Gay, 2002).

    Selanjutnya akan ditinjau definisi secara konseptual tentang metakognisi. Secara sederhana metakognisi didefinisi sebagai berpikir tentang berpikir atau kognisi tentang kognisi seseorang (Nelson, 1992; Livingston, 1997; Gama, 2004). Terdapat beberapa difinisi tentang metakognisi yang berkembang dalam bidang psikologi kognitif, diantaranya Flavell (Lee dan Baylor, 2006) mendefinisikan: metakognisi sebagai penggunaan kemampuan untuk memahami dan memantau berpikirnya sendiri dan asumsi serta implikasi kegiatan seseorang. Metacognition as the ability to understand and monitor one’s own thoughts and the assumptions and implications of one’s activities.. pendapat ini menekankan metakognisi sebagai kemampuan untuk memahami dan memantau kegiatan berpikir, sehingga proses metakognisi tiap-tiap orang akan berbeda menurut kemampuannya.

    Sementara itu, Brown (Lee dan Baylor, 2006) mendefinisikan metakognisi sebagai suatu kesadaran seseorang terhadap aktivitas kognitifnya; metode yang digunakan untuk mengatur proses kognitifnya dan suatu penguasaan terhadap bagaimana mengarahkan, merencanakan, dan memantau aktivitas kognitifnya. Metacognition as an awareness of one’s own cognitive activity; the methods employed to regulate one’s own cognitive processes; and a command of how one directs, plans, and monitors cognitive activity. Pendapat Brown ini menekankan metakognisi sebagai kesadaran terhadap aktivitas kognitif, dalam hal ini metakognisi berkaitan dengan bagaimana seseorang menyadari proses berpikirnya. Kesadaran tersebut akan terwujud pada cara seseorang mengatur dan mengelola aktivitas berpikir yang dilakukannya.

    Panaoura dan Philippou (2001) mengemukakan metakognisi berkaitan dengan kesadaran dan pemantauan system kognitif diri sendiri dan penggunaan system tersebut. “Metacognition” refers to awareness and monitoring of one’s own cognitive system and the functioning of this system. Defenisi ini tampaknya telah menggabungkan dua defenisi sebelumnya yakni definisi oleh Flavell dan Brown dengan menegaskan bahwa metakognisi berkaitan dengan kesadaran dan pemantauan system berpikir yang dilakukan, dan bagaimana system tersebut berfungsi sesuai yang diharapkan.

     Definisi metakognisi yang berbeda dikemukakan oleh Taylor dalam Pierce (2003), sebagai suatu penelitian tentang apa yang telah seseorang ketahui, bersamaan dengan suatu pengertian yang benar terhadap tugas belajar dan pengetahuan serta keterampilan apa yang dibutuhkan, dikombinasi dengan kelincahan membuat perhitungan yang benar tentang bagaimana menerapkan pengetahuan strategis seseorang pada situasi tertentu, dan melakukan secara efisien dan reliable, metacognition as an appreciation of what one already knows, together with a correct apprehension of the learning task and what knowledge and skills requires, combined with the agility to make correct inferences about how to apply one’s strategic knowledge to a particular situation, and to do so efficiently and realiably. Defenisi yang dikemukakan Taylor ini merupakan salah satu versi lain dari penggabungan defenisi oleh Flavell dan Brown, yakni metakognisi dipandang sebagai kesadaran seseorang terhadap pengetahuan yang dimilikinya berkaitan dengan suatu hal, dan bagaimana mengelola pengetahuan tersebut untuk diterapkan pada situasi tertentu.

    Gambaran lebih jelas tentang metakognisi dapat dipahami dalam pengertian yang dikemukakan oleh Flavell (1985) (dalam Nur, 2000: 73) sebagai berikut:

    metakognisi adalah penggunaan pengetahuan seseorang berkenaan dengan proses dan produk tersebut,….metakognitif berhubungan, salah satu diantaranya, dengan pemonitoran aktif dan pengendalian ini dalam hubungannya dengan tujuan kognitif, pada mana proses-proses tersebut menunjang, umumnya dalam mendukung sejumlah tujuan konkret.

    Pengetahuan metakognitif merujuk pada pengetahuan umum tentang bagaimana seseorang tentang proses belajarnya sendiri. Anderson dan Krathwohl (2001) mengemukakan bahwa pengetahuan metakognitif adalah pengetahuan tentang kognisi secara umum, seperti kesadaran-diri dan pengetahuan tentang kognisi diri sendiri, pengetahuan kognitif cenderung diterima sebagai pengetahuan tentang proses kognitif yang dapat digunakan untuk mengontrol proses kognitif. Sedangkan Nur (2000) mengemukakan bahwa pengetahuan tentang kognitif terdiri dari informasi dan pemahaman yang dimiliki seseorang siswa tentang proses berpikirnya sendiri disamping pengetahuan tentang berbagai strategi belajar untuk digunakan dalam situasi pembelajaran tertentu. Misalnya, seseorang dengan tipe belajar visual mengetahui bahwa membuat suatu peta konsep merupakan cara terbaik baginya untuk memahami dan mengingat sejumlah besar informasi baru.

    Sedangkan pengalaman metakognitif meliputi penggunaan strategi-strategi metakognitif atau regulasi metakognitif (Brown dalam Livington, 1997). Sejalan dengan itu, Nur (2000) menjelaskan bahwa pemonitoran strategi-strategi kemampuan siswa untuk memilih, menggunakan, dan memonitor strategi-strategi belajar yang cocok, cocok dengan gaya belajar mereka sendiri maupun dengan situasi tugas yang sedang dihadapi. Mengenai pentingnya kegiatan pemonitoran kognitif ini, Winkel (1996: 48) mengemukakan bahwa:

    Biarpun siswa diberikan berbagai strategi kognitif yang dapat digunakan dalam menyelesaikan problem tertentu, namun tidak berarti bahwa strategi-strategi itu dapat digunakan terhadap segala macam problem. Akhirnya siswa harus menyerap strategi-strategi itu, kemudian menentukan sendiri strategi mana yang cocok dengan masalah A dan mana yang cocok dengan B.  Dengan kata lain, fleksibelitas dalam berpikir di pihak siswa merupakan sasaran instruksional yang sangat ideal.”

    Berdasarkan pengertian-pengertian yang dikemukakan beberapa pakar di atas, maka dirumuskan pengertian metakognisi yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pengetahuan, kesadran dan control seseorang terhadap proses dan hasil berpikirnya, dalam mengembangkan perencanaan, memonitor pelaksanaan dan mengevaluasi proses berpikirnya dalam melakukan suatu tindakan, yang meliputi kesadaran tentang kognisi (awareness about cognitif) dan control atau pengaturan proses kognisi (control or regulation of cognition processes).

    2. Komponen Metakognisi

    Walaupun secara redaksional komponen-komponen metakognisi yang dikemukakan para pakar di atas sangat beragam, namun pada hakekatnya memberikan penekanan pada komponen-komponen yang hampir sama bahkan cenderung sama. Dua komponen utama dari metakognisi adalah: (a) pengetahuan seseorang tentang strategi-strategi kognitif serta bagaimana mengatur dan mengontrol strategi-strategi tersebut dalam belajar, berpikir, dan memecahkan masalah, dan (b) pengetahuan-diri dan bagaimana memilih serta menggunakan strategi belajar, berpikir, dan memecahkan masalah yang sesuai dengan keadaan dirinya

     Flavell dalam Livington (1997) mengemukakan bahwa metakognisi meliputi dua komponen, yaitu (a) pengetahuan metakognitif (metacognitive knowledge), dan (b) pengalaman atau regulasi metakognitif (metacognitive experiences or reguloation). Pendapat yang serupa dikemikakan oleh Barker dan Brown, 1984; Gagne, 1993 dalam Nur (2000) bahwa metakognisi memiliki dua komponen, yaitu (a) pengetahuan tentang kognisi dan (b) mekanisme pengendalian diri dan monitoring kognitif dan brown dalam Gama (2004) menyatakan bahwa komponen metakognisi terdiri dari: (a) pengetahuan tentang kognisi (knowledge of cognition) sebagai aktivitas yang mengandung kesadaran perekfleksian kemampuan dan, (b) regulasi kognisi (regulation of cognition) sebagai aktivitas yang berkaitan dengan mekanisme pengaturan diri (self-regulatory) selama berlangsungnya usaha belajar atau penyelesaian masalah. Sedangkan Hacker (2009), membagi komponen metakognisi menjadi tiga bagian yaitu, (a) knowledge and beliefs about cognition, (b) monitoring cognition, and (c) regulating cognition.

    Pada kesempatan ini, Flavell (1979) meyakini bahwa pemantauan keragaman yang luas dari kegiatan kognitif berkaitan dengan aksi dan interaksi dari empat komponen yaitu:

    a.       Pengetahuan metakognitif (metacognitive knowledge)

    b.      Pengalaman metakognitif(metacognitive experiences)

    c.       Tujuan atau tugas-tugas (goals or tasks),

    d.      Aksi atau strategi (actions or  strategies)

    Pengetahuan metakognitif adalah pengetahuan sesorang mengenai proses berpikir yang merupakan perspektif pribadi dari kemampuan kognitif yang dimiliki. Pengetahuan metakognitif merupakan bagian dari pengetahuan seseorang yang tersimpan yang merupakan hasil interaksi dengan orang lain sebagai mahluk berpikir dengan cara berpikir, tujuan, tindakan dan pengalaman merekan yang berbeda. Pengalaman mereka yang berbeda. Pengalaman metakognitif adalah pengalaman kognitif atau afektif yang menyertai dan berhubungan dengan semua kegiatan kognitif. Dengan kata lain, pengalaman metakognitif adalah pertimbangan secara sadar dari pengalaman intelektual yang menyertai kegagalan atau kesuksesan dalam pelajaran. Tujuan atau tugas mengacu pada tujuan berpikir, seperti membaca dan memahami suatu bagian untuk suatu tujuan pada masa mendatang, yang akan mencetuskan penggunaan pengetahuan metakognitif dan mendorong kepengalaman  metakognitif baru. Tindakan atau strategi menunjuk berpikir atau perilaku yang khusus yang digunakan untuk melaksanakannya, yang dapat membantu untuk mencapai tujuan. Sebagai contoh, suatu pengalaman metakognitif dapat mengingatkan bahwa menggambarkan gagasan utama dari suatu bagian  pada kesempatan sebelumnya dapat membantu meningkatkan pemahaman. Keterkaitan antara komponen-komponen tersebut adalah bahwa kemampuan seseorang untuk mengendalikan kognisinya tergantung pada tindakan dan interaksi antar komponen-komponen tersebut.

    Marzano dkk (1988) menjelaskan bahwa metakognisi mencakup dua komponen, yaitu: (a) pengetahuan dan control diri, dan (b) pengetahuan dan control proses. Siswa yang berhasil adalah siswa yang secara sadar dapat memonitor dan mengontrol belajar mereka. Pusat dari pengetahuan-diri dan regulasi-diri adalah komitmen, sikap, dan perhatian. Sedangkan elemen dari pengetahuan dan control proses adalah: (a) pengetahuan penting dalam metakognitif dan (b) control pelaksanaan dari perilaku.

    Terkait dengan penerapan kemampuan metakognitif pad ape,belajaran, Nur (2000) mengemukakan bahwa secara operasional kemampuan metakpognitif dapat diajarkan kepada peserta didik, seperti kemampuan-kemampuan untuk menilai pamahaman mereka sendiri, menghitung berapa waktu yang mereka butuhkan untuk mempelajari sesuatu, memilih rencana yang efektif untuk belajar atau memecahkan masalah, bagaimana cara memahami ketika ia tidak memahami sesuatu dan bagaimana cara memperbaiki diri sendiri, kemampuan untuk memprediksi apa yang cederung akan terjadi atau mengatakan mana yang dapat diterima oleh akal dan mana yang tidak.

    Sedangkan Schoenfeld (1987) mengemukakan secara lebih spesifik tiga cara untuk menjelaskan tentang metakognitif dalam pembelajaran matematika, yaitu: (a) keyakinan dan intuisi, (b) pengetahuan, dan (c) kesadaran-diri (regulasi-diri). Keyakinan dan intuisi menyangkur ide-ide tersebut membentuk jalan/cara untuk memcahkan masalah matematika. Pengetahuan tentang proses berpikir menyangkut seberapa akuratnya  seseorang dalam menggambarkan proses berpikirnya. Sedangkan kesadaran-diri atau regulasi diri menyangkut seberapa baiknya seseorang dalam menjaga dan mengatur apa yang harus dilakukan ketika memecahkan ,masalah dan seberapa baiknya seseorang menggunakan input dari pengamatan untuk mengarahkan aktivitas-aktivitas pemecahan masalah.

    Sedangkan indicator-indikator metakognisi menurut Hacker (1998) tergambar dari pengertian metakognitif yang dikemukakannya dalam artikel yang berjudul “Metacognition: Defenitions and Empirical Foundations” bahwa metakognitif adalah proses berpikir seseorang tentang berpikirnya sendiri. Wujud dari berpikir dalam pengertian ini adalah: apa yang diketahui (yaitu pengetahuan metakognitif), apa yang dilakukan seseorang (yaitu keterampilan metakognitif), dan bagaimana keadaan kognitif dan efektif seseorang (yaitu pengalam metakognitif).

    Huitt (1997) mengemukakan bahwa metekognitif mencakup kemampuan seseorang dalam bertanya dan menjawab beberapa tipe pertanyaan berkaitan dengan tugas yang dihadapi. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:

    a.       Apa yang saya ketahui tentang materi, topik, atau masalah ini?

    b.      Tahukah saya apa yang dibutuhkan untuk mengetahuinya?

    c.       Tahukah saya di mana dapat memperoleh informasi atau pengetahuan?

    d.      Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mempelajarinya?

    e.       Strategi-strategi atau taktik-taktik apa yang dapat digunakan untuk mempelajarinya?

    f.       Dapatkah saya pahami dengan hanya mendengar, membaca, atau melihat?

    g.      Akankah saya tahu jika saya mempelajarinya secara cepat?

    h.      Bagaimana saya dapat membuat sedikit kesalahan jika saya membuat sesuatu?

    Berdasarkan beberapa pendapat tentang komponen metakognisi yang dikemukakan, maka komponen metakognisi pada penelitian ini adalah (a) pengetahuan metakognitif (metacognitive knowledge) sebagai aktivitas yang mengandung kesadaran perefleksi kemampuan, dan (b) pengalaman atau pengaturan metakognitif (metacognitive experiences or regulation) sebagai aktivitas yang berkaitan dengan mekanisme pengaturan diri (self-regulatory) selama berlangsungnya kegiatan pemecahan masalah.

    a.      Pengetahuan metakognitif

    Berkaitan dengan pengetahuan metakognitif, Anderson & Krathwohl (2001) mengemukakan tiga aspek, yaitu: (a) pengetahuan strategik (strategic knowledge), (b) pengetahuan tentang tugas-tugas kognitif, termasuk pengetahuan kontekstual dan kondisional (knowledge about cognitive task), dan (c) pengetahuan (self-knowledge). Flavell dalam Livingston (1997) membagi pengetahuan metakognitif ke dalam tiga ketegori variable, yaitu variable pengetahuan-diri (individu), (b) variable tugas, dan (c) variable strategi.

    Pengetahuan metakognitif mengacu pada pengetahuan umum tentang bagaimana manusia belajar dan memproses pelajaran diri sendiri. Menurut Flavell pengetahuan metakognitif terdiri dari pengetahuan utama atau kepercayaan tentang variable atau factor apa yang berlaku dan saling berhubungan. Lebih lanjut Flavell membagi pengetahuan metakognitif menjadi tiga kategori: variable individu, variable tugas dan variable strategi yang rinciannya sebagai berikut:

    a.       Variable individu, yaitu pengetahuan yang terkait dengan manusia sebagai manusia sebagai organisme kognitif atau pemikir; yaitu segala tindak tanduk kita adalah akibat dari cara berpikir kita. Variable individu dibagi menjadi: variable intra individu, variable antar individu, dan variable universal. Variable intra individu terkait dengan pengetahuan metakognitif yang berlaku pada diri seseorang, seperti mengatahui bahwa dirinya lebih menguasai mata pelajaran matematika disbanding mata pelajaran kimia. Variable antar individu terkait dengan pengetahuan metakognitif yang berlaku pada orang lain, yaitu dapat membandingkan atau membedakan kemamapuan kognitif orang lain, sebagai contoh mengetahui bahwa guru lebih lebih pandai dibanding dengan diri sendiri. Variable universal adalah pengetahuan metakognitif yang diperoleh dari budaya sendiri, misal mengetahui bahwa sebagai manusia seseorang melakukan kekhilafan, mula-mula paham apa yang dikatakan, lama kelamaan sadar kalau dirinya tidak paham.

    b.      Variable tugas adalah pengetahuan tentang bagaimana manusia mengetahui isi dan pesan suatu tugas kognitif. Sebagai contoh pada saat informasi yang disampaikan oleh guru sukar dan tidak akan diulangi, tentunya penerima informasi akan member lebih perhatian dan mendengar dengan memproses informasi itu dengan lebih teliti.

    c.       Variable strategi adalah pengetahuan tentang bagaimana melakukan sesuatu atau mengatasi kesulitan yang timbul. Variable strategi berkaitan erat dengan pemantauan kognitif (cognitive monitoring0.

    Terkait dengan pengetahuan, Paris, Cross dan Lipson (1984) menyatakan bahwa ada tiga macam pengetahuan, yakni:

    ·         Pengetahuan deklaratif yang merupakan kemampuan untuk menggambarkan strategi berpikirnya. (declarative knowledge: the ability tp describe some thinking strategies).

    ·         Pengetahuan procedural yang merupakan pengetahuan tentang bagaimana menggunakan strategi terpilih (procedural knowledge: knowledge of how to use the selected strategy).

    ·         Pengetahuan kondisional yang merupakan pengetahuan mengenai kapan menggunakannya (conditional knowledge: knowledge of when to use it).

    Lebih lanjut dijelaskan bahwa, Declarative knowledge is the factual information that one knows; it can be declared-spoken or written. Procedural knowledge is knowledge of how to do something, of how to perform the steps in a process; for example, knowing the mass of an object and its rate of speed and how to do the calculation. Conditional knowledge is knowledgeabout when to use a procedure, skil, or strategy and when not to use it; why a procedure works and under what conditions; and why one procedure is better than another. For example, students need  to recognize that an exam word problem requires the calculation of momentum as part of is solution.

              Pengetahuan deklaratif mengacu kepada pengetahuan tentang fakta dan konsep-konsep yang dimiliki seseorang atau factor-faktor yang mempengaruhi pemikirnya dan perhatiannya dalam pembelajaran. Pengetahuan deklaratif adalah informasi factual (berdasarkan fakta-fakta yang sesungguhnya) yang dimengerti seseorang, yang dapat disebutkan atau ditulis.

              Pengetahuan procedural adalah pengetahuan bagaimana melakukan sesuatu, bagaimana melakukan langkah-langkah dalam suatu proses. Pengetahuan procedural mengacu kepada kesadaran seseorang tentang bagaimana cara menggunakan suatu strategi, yaitu: strategi kognitif atau strategi metakognitif dalam pembelajaran. Pengetahuan procedural adalah langkah-langkah mental, proses yang menggambarkan bagaimana kita sampai pada sebuah informasi atau detil tentang bagaimana sebuah operasi/langkah kognitif dilaksanakan.

                Sedangkan pengetahuan kondisional mengacu kepada kesadran seseorang akan kondisi yang mempengaruhi belajarnya, yaiotu: kapan suatu strategi (strategi kognitif atau strategi metakognitif) seharusnya diterapkan, mengapa menerapkan suatu strategi (strategi kognitif atau strategi metakognitif), dan kapan strategi (strategi kognitif atau strategi Metakognitif) yang diterapkan ini tepat dalam pembelajaran.

    Berdasarkan dimensi pengetahuan dan proses kognitif, menurut Anderson dan Krathwohl (2001), selain terdapat tiga katagori pengetahuan, yaitu pengetahuan faktual (factual knowledge), pengetahuan konseptual (conceptual knowledge), pengetahuan prosedural (procedural knowledge), dan ditambahkan yang keempat yaitu pengetahuan metakognitif (metakognitif knowledge).

    Pengetahuan factual berkaitan dengan hal-hal dasar yang harus diketahui siswa jika mereka menyelesaikan suatu masalah. Hal-hal dasar berupa symbol yang dihubungkan dengan kondisi yang nyata atau “string of symbol” yang menyampaikan informasi penting. Pengetahuan factual dapat dipisahkan sebagai elemen dari informasi yang dipercaya mempunyai nilai dalam dirinya sendiri. Pengetahuan factual memasukkan dua sub tipe pengetahuan yakni: pengetahuan mengenai istilah (knowledge of specific  details and elements).

    Pengetahuan konseptual adalah hubungan timbal balik antara elemen-elemen dasar dalam struktur yang lebih luas yang memungkinkan mereka untuk berfungsi bersama-sama. Pengetahuan konseptual memasukkan tiga subtipe pengetahuan yakni: pengetahuan klasifikasi dan katagori (knowledge of classification and category), pengetahuan prinsip dan generalisasi (knowledge of principles and generalizations) dan pengetahuan mengenai teori dan struktur (knowledge of theories, models and structures). Teori ini mewakili pengetahuan individu tentang bagaimana suatu bagian materi diorganisasikan dan disusun dalam suatu system.

    Pengetahuan procedural adalah pengetahuan mengenai bagaimana melakukan sesuatu, langkah-langkah dan kriteria untuk menggunakan keterampilan, algoritma, teknik dan metode-metode yang secara umum dikenal sebagai prosedur. Pengetahuan procedural memasukkan tiga subtipe pengetahuan yakni: pengetahuan mengenai keterampilan khusus dan algoritma (knowledge of subject specific skills and algoritma), pengetahuan mengenai teknik khusus dan metode (knowledge of subject specific techniques and method) dan pengetahuan mengenai kriteria untuk menentukan kapan prosedur yang sesuai digunakan (knowledge of criteria for determining when to use appropriate procedures).

    Pengetahuan metakognitif adalah pengetahuan mengenai kognisi secara umum seperti kesadaran dan pengetahuan seseorang mengenai kondisinya. Pengetahuan ini membuat siswa lebih teliti dan responsip terhadap pengetahuan dan pikiran mereka. Pengetahuan metakoknisi memasukkan tiga subtype pengetahuan yakni pengetahuan strategis (strategis knowledge), pengetahuan mengenai pengetahuan kontekstual dan kondisional (knowledge about approprote contextual and conditional knowledge), dan pengetahuan tentang diri sendiri mengenai kekuatan diri sendiri, kelemahannya dan kesadaran atas tingkat pengetahuannya sendiri (self knowledge).

    Aspek lain dari pengetahuan metakognisi adalah self afficacy atau pemikiran siswa mengenai dirinya sendiri. Diyakini bahwa tingkat harapan yang rendah merupakan sumbangan utama terhadap kegagalan sebab mereka merasa bahwa perilaku dan keadaan seperti itu adalah bawaan sejak lahir dan seseorang tidak mampu mengubahnya (Reutzel dalam Dantonio dan Beisenherz, 2001). Keyakinan seseorang dalam hal kemampuan diri dapat memberi dampak buruk bagi motivasinya untuk membangun strategi metakognitif. Jika seseorang ykin bahwa dia sangat tidak bias mengerjakan soal matematika cerita, ketika dihadapkan dengan soal cerita matematika, meraka cenderung akan ragu-ragu untuk bertindak maju. Sebab mereka percaya bahwa tidak mungkin bagi mereka memecahkan soal cerita matematika, merka kurang termotivasi untuk memonitor dan mengatur upaya-upaya mereka (Hacker, 1998).

    Gama (2004), menyatakan bahwa pengetahuan metakognitif adalah pengetahuan yang dimiliki seseorang dan tersimpan di dalam memori jangka panjang, berarti pengetahuan tersebut dapat diaktifkan/dipanggil kembali sebagai hasil dari suatu pencarian memori yang dilakukan secara sadar dan disengaja, atau diaktifkan tanpa disengaja/secara otomatis muncul ketika seseorang dihadapkan pada permasalahan tertentu. Pengetahuan metkognitif dapat digunakan tanpa disadari. Karena itu, pengetahuan yang muncul melalui kesadaran dan dilakukan secara berulang akan berubah menjadi suatu pengalaman, sehingga disebut pengalaman metakognitif.

    Berdasarkan beberapa pendapat tentang pengetahuan metakognitif yang dikemukakan, maka pengetahuan metakognitif dalam penelitian ini adalah kesadaran berpikir seseorang tentang proses berpikirnya sendiri yang terdiri dari pengetahuan deklaratif atau pengetahuan factual, pengetahuan procedural dan pengetahuan kondisional dalam pemecahan masalah matematika.

    b.    Pengalaman Metakognitif

    Flavell dalam Gamma (2004), menyatakan bahwa pengalaman metakognitif adalah suatu pengalaman kognitif atau pengalaman afektif yang menyertai tindakan kognitif. Dengan kata lain, pengalaman metakognitif adalah pertimbangan secara sadar pengalaman intelektual yang menyertai setiap kegagalan atau keberhasilan dalam belajar atau pengalaman kognitif yang lain. Flavell dalam Gama (2004), menegaskan bahwa kebanyakan dari pengalaman semacam ini berhubungan dengan dimana ketika berada dalam tugas dan mencatat kemajuan macam apa yang telah dicapai oleh seseorang. Lebih lanjut Flavell mengemukakan bahwa pengalaman metakognitif juga dapat terjadi pada setiap waktu sebelumnya, setelah, atau selama terjadinya pengalaman kognitif. Flavell menyimpulkan bahwa pengalaman metakognitif lebih mungkin untuk terjadi dalam situasi yang mememrlukan kehati-hatian dan dengan kesadaran yang tinggi, berfikir reflektif, sebagai contoh, dalam situasi yang memerlukan perencanaan sebelumnya, atau tindakan dan keputusan berat dan penuh resiko.

    Menurut Brown dalam Livingstone (1997), pengalaman-pengalaman metakognitif melibatkan strategi-strategi metakognitif atau pengaturan metakognitif. Strategi-strategi metakognitif merupakan proses-proses yang berurutan yang digunakan untuk mengontrol aktifitas-aktivitas kognitif dan memastikan bahwa tujuan kognitif telah tercapai. Proses ini terdiri dari perencanaan dan pemantauan aktivitas-aktivitas kognitif serta evaluasi terhadap hasil aktivitas-aktivitas ini. Aktivitas-aktivitas perencanaan seperti menentukan tujuan dan analisis tugas membantu mengaktivasi pengetahuan yang relevan sehingga mempermudah pengorganisasian dan pemahaman materi pelajaran. Aktivitas-aktivitas pemantauan meliputi perhatian seseorang ketika ia membaca, dan membuat pertanyaan atau pengujian diri. Aktivitas-aktivitas ini membantu dalam memahami materi dan mengintegrasikannya dalam pengetahuan awal. Aktivitas-aktivitas pengetahuan meliputi penyesuaian dan perbaikan aktivitas-aktivitas kognitif. Aktivitas-aktivitas ini membantu peningkatan prestasi dengan cara mengawasi dan mengoreksi perilakunya pada saat ia menyelesaikan tugas. Sebagai contoh, setelah membaca sebuah soal matematika, peserta didik menanyakan kepada dirinya sendiri tentang konsep-konsep yang mendasari, rumus yang cocok untuk menyelesaikan soal. Tujuan kognitifnya adalah untuk memahami soal tersebut. Kegiatan bertanya kepada diri sendiri tersebut merupakan strategi-strategi metakognitif.

    c.    Strategi Metakognitif

    Winkel (1996) mengemukakan bahwa strategi kognitif atau pengaturan kegiatan kognitif merupakan suatu cara seseorang dalam menangani aktivitas kognitifnya sendiri, khususnya dalam belajar dan berpikir. Lebih lanjut dijelaskan bahwa orang yang mampu mengatur dan mengarahkan aktivitas kognitifnya sendiri akan jauh lebih efisien dan efektif dalam mempergunakan semua konsep dan kaidah yang pernah dipelajari, disbanding dengan orang yang tidak memilikinya. Sedangkan Gagne (1975) mengemukakan bahwa strategi kognitif adalah kapabilitas-kapabilitas yang secara internal terorganisasi yang memungkinkan seseorang menggunakannya untuk mengatur cara ia belajar, mengingat, dan berpikir. Seseorang menggunakan strategi kognitif ketika dia mengikuti berbagai uraian dari apa yang sedang ia baca, apa yang ia pelajari, baik yang menyangkut keterampilan intelektual maupun yang menyangkut informasi.

    Dipihak lain, strategi metakognitif merujuk kepada cara meningkatkan kesadaran mengenai proses berpikir dan proses belajar yang terjadi. Apabila kesadaran ini ada, seseorang dapat mengontrol pikirannya dalam merancang, memantau dan menilai apa yang dipelajari. Oleh sebab itu dalam menggunakan strategi metakognitif seseorang akan dapat mengontrol belajarnya melalui proses berikut: (i) Merancang apa yang hendak dipelajari (ii) Memantau kemajuan pembelajaran diri (iii) Menilai apa yang dipelajari.

    Secara lebih rinci ketiga tahap dalam strategi metakognitif, dapat diuraikan sebagai berikut:

    a.    Proses Merancang

    Pada proses ini peserta didik perlu melakukan:

    1)   Menduga apakah yang dipelajari, bagaimana masalah itu dikuasai dan kesan dari masalah yang dipelajari;

    2)   Menyediakan diri secara fisik, mental dan psikologi;

    3)   Membuat perancang dari suatu cara ke cara yang terbaik untuk memperoleh jawaban dari suatu masalah.

    b.    Proses Memantau

    Dalam proses pmbelajaran, peserta didik perlu bertanya kepada diri sendiri dari suatu masalah ke masalah yang lain, seperti:

    1)   Apakah masalah yang dapat saya kerjakan?

    2)   Apakah ini membawa makna kepada saya?

    3)   Bagaimanakah masalah ini dapat dijelaskan?

    4)   Mengapakah saya tidak memahami cerita ini?

    c.    Proses Menilai

    Melalui proses ini, peserta didik perlu membuat refleksi untuk mengetahui:

    1)   Bagaimana sesuatu keterampilan, nilai dan pengetahuan ia kuasai?

    2)   Mengapakah saya mudah/sukar menguasainya?

    3)   Apakah tindakan yang harus saya ambil?

    Terkait dengan pemecahan masalah, North Central Regional Educational Laboratory (NCREL, 1995) mengemukakan tiga elemen dasar metakognisi secara khusus dalam menghadapi tugas, yaitu:

    a.    Developing a plan of action – mengembangkan rencana tindakan.

    b.    Maintaining/monitoring the action – memonitor tindakan.

    c.    Evaluating the action – mengevaluasi tindakan.

    Lebih jauh NCREL memberikan petunjuk pelaksanaan ketiga elemen metakognisi tersebut sebagai berikut:

    Aktivitas yang dilakukan sebelum melakukan kegiatan, ketika mengembangkan rencana tindakan, tanya pada diri sendiri:

    a.    Pengetahuan awal apa yang bias membantuku menyelesaikan tugas ini?

    b.    Ke arah mana pikiranku ini akan membawaku?

    c.    Apa yang pertama kali harus aku lakukan?

    d.   Mengapa aku membaca bagian ini?

    e.    Berapa lama aku harus menyelesaikan tugas ini?

    Aktifitas yang dilakukan selama melakukan kegiatan, ketika memonitor rencana tindakan, tanya pada diri sendiri:

    a.    Bagaimana aku melakukannya?

    b.    Apakah aku sudah berada di jalan yang benar?

    c.    Bagaimana seharusnya aku melanjutkannya?

    d.   Informasi apa yang penting untuk diingat?

    e.    Haruskah aku pindah ke cara yang berbeda?

    f.     Haruskah aku melakukan penyesuaian langkah berkaitan dengan kesulita?

    Aktivitas yang dilakukan sesudah melakukan kegiatan, ketika mengevaluasi tindakan, Tanya pada dirimu sendiri:

    a.    Seberapa baik yang telah aku lakukan?

    b.    Apakah wacana berpikir khusus ini akan menghasilkan hasil yang lebih atau kurang dari yang aku lakukan?

    c.    Apakah aku sudah dapat melakukan dengan cara yang berbeda?

    d.   Mungkinkah aku menerapkan cara ini untuk masalah yang lain?

    e.    Apakah aku perlu kembali ke tugas awal untuk memenuhi bagian pemahaman saya yang kurang?

    Sedangkan indicator-indikator  metakognisi menurut Hecker tergambar dari pengertian metakognitif yang dikemukannya dalam artikel yang berjudul “Metacognition: Definitions and Empirical Foundation” bahwa metakognitif adalah proses berpikir tentang tentang berpikirnya sendiri. Wujud dari berpikir dalam pengertian ini adalah: apa yang seseorang ketahui (yaitu pengetahuan metakognitif), apa yang dilakukan seseorang (yaitu keterampilan metakognitif), dan bagaimana keadaan kognitif dan afektif seseorang (yaitu pengalaman metakognitif).

    Huitt (1997) mengemukakan bahwa metakognisi mencakup kemampuan seseorang dalam bertanya dan menjawab beberapa tipe pertanyaan berkaitan dengan tugas yang dihadapi. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:

    a.    Apa yang saya ketahui tentang materi, topic, atau masalah ini?

    b.    Tahukah saya yang dibutuhkan untuk mengetahuinya?

    c.    Tahukah saya dimana dapat memperoleh informasi atau pengetahuan?

    d.   Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mempelajarinya?

    e.    Strategi-strategi atau taktik-taktik apa yang dapat digunakan untuk memelajarinya?

    f.     Dapatkah saya pahami dengan hanya mendengar, membaca, atau melihat?

    g.    Apakah sata tahu jika saya mempelajarinya secara cepat?

    h.    Bagaimana saya dapat membuat sedikit kesalahan jika saya membuat sesuatu?

    Mengenai peranan pengetahuan strategi kognitif dalam pembelajaran, Gagne (1975) mengemukakan bahwa para ahli pendidikan sepakat bahwa sangatlah besar manfaatnya jika pendidik memberikan kesempatan keada setiap peserta didik untuk mempelajari berbagai strategi kognitif. Semakin banyak strategi kognitif yang dipelajari siswa dalam mengikuti, mengkode, menyimpan, mentransfer, dan memecahkan masalah, maka semakin menjadikan siswa menjadi “self-learner” dan pemikir yang independen. Sedangkan Weinstein & Meyer dalam Nur (2000) menjelaskan bahwa: “pengajaran yang baik meliputi mengajarkan peserta didik tentang bagaimana belajar, bagaimana mengingat, bagaimana berpikir, dan bagaimana memotivasi diri mereka sendiri”. Bahkan lebih jauh dijelaskan bahwa mengajarkan peserta didik bagaimana belajar merupakan suatu tujuan utama pendidikan. Pendapat ini menunjukkan bahwa mengajarkan peserta didik tentang berbagai strategi belajar (strategi kognitif) merupakan suatu hal yang sangat penting dan mutlak.

    Anderson & Krathwohl (2001) mengemukakan tiga macam strategi kognitif yang sangat penting untuk diajarkan kepada siswa adalah (a) strategi mengulang (rehearsal), (b) strategi elaborasi (elaboration), dan (c) strategi organisasi (organizational). Strategi mengulang adalah cara menghafal bahan-bahan pelajaran ke dalam ingatan dengan cara mengulang-ulang bahan tersebut. Strategi mengulang ada dua macam, yaitu mengulang sederhana, misalnya menghafal nomor telepon dan mengulang kompleks, misalnya menggarisbawahi dan membuat catatan pinggir.

    Starategi elaborasi adalah proses menambahkan rincian pada informasi baru sehingga menjadi lebih bermakna. Strategi elaborasi membantu memindahkan informasi baru dari memori jangka pendek ke memori jangka panjang dengan menciptakan gabungan dan hubungan antara informasi baru dengan apa yang telah diketahui. Beberapa contoh strategi elaborasi yang penting antara lain: pembuatan catatan secara matriks, penggunaan analogi, menyeleksi ide utama dari buku teks, dan penggunaan metode PQ4R (preview, question, read, reflect, recite, & review) (Anderson &Krathwohl, 2001; Mohamad Nur, 2000).

    Strategi organisasi adalah mengenali atau mengambil ide-ide pokok dari kempulan banyak informasi (Mohamad Nur, 2000). Sedangkan bentuk dari strategi organisasi dapat berupa pengelompokan ulang ide-ide atau istilah-istilah atau membagi ide-ide atau istilah-istilah itu menjadi subset yang lebih kecil. Ada beberapa strategi organisasi yang penting untuk diajarkan kepada peserta didik antara lain membuat kerangka garis besar (outlining), dan menggambar peta konsep (mapping).

    Tugas kognitif lain yang berkaitan dengan pengetahuan strategi kognitif adalah pemecahan masalah. Anderson &Krathwohl (2001) menjelaskan bahwa pengetahuan strategi adalah pengetahuan tentang strategi umum untuk belajar, berpikir, dan pemecahan masalah. Lebih lanjut mereka kemukakan bahwa strategi pemecahan masalah antara lain meliputi berbagai heuristic yang dipergunakan oleh peserta didik dalam menyelesaikan masalah. Winkel (1996) menjelaskan bahwa penggunaan heuristic dalam menghadapi masalah akan menyalurkan pikiran peserta didik, sehingga dia tidak bekerja secara membabi buta atau mencoba-coba tanpa arah. Misalnya, dalam menghadapi soal-soal perhitungan yang disajikan dalam bentuk bahasa (soal cerita), maka membuat gambar merupakan salah satu heuristic yang dapat membantu untuk menemukan pemecahannya. Winkel (1996) mengemukakan beberapa cara atau strategi dalam menemukan pemecahan suatu masalah, antara lain (a) bekerja mundur dan (b) bekerja maju. Strategi bekerja mundur yaitu bertitik tolak dari tujuan yang telah diketahui dan menemukan jalan/sarana untuk menuju ke sana. Sedangkan strategi bekerja maju yaitu berangkat dari garis awal dan kemudian memikirkan berbagai jalan untuk sampai pada garis finis/tujuan, bahkan dengan jalan mencobanya. Strategi kognitif memang tidak dapat dipisahkan secara tajam dengan strategi metakognitif, bahkan seringkali strategi kognitif dan strategi metakognitif berhimpitan (overlap) dalam lingkup yang sama (Livingston, 1997).

    3.    Tingkat Metakognisi

    Berkenaan dengan tingkatan metakognisi seseorang, Swart dan Perkins dalam NCREL (1989), membedakan empat tingkatan metakognisi: tacit use, awere use, strategic use, dan reflective use yang merupakan pengembangan kemampuan metakognitif. Tingkat tacit use, adalah tingkatan metakognisi seseorang yang pada saat diminta alas an tentang proses yang dilakukan dinyatakan  bahwa keputusan yang diambil tanpa memikirkannya. Sebagai contoh, saat seseorang diminta memberi alas an mengapa ia memilih suatu langkah penyelesaian masalah, ia mengatakan bahwa memang seharusnya begitu seperti yang diajarkan oleh guru. Tingkat awere use, adalah tingkatan metakognisi seseorang yang menyadari tentang apa dan mengapa melakukan proses berpikir tertentu. Sebagai contoh, seseorang menyadari bahwa ia harus menggunakan suatu langkah penyelesaian masalah dengan memberikan penjelasan mengapa ia menggunakan masalah tersebut. Tingkat strategic use, adalah tingkatan metakognisi seseorang yang dapat mengatur pemikiran sendiri, secara sadar menggunakan strategi-strategi khusus yang meningkatkan ketepatan berpikirnya. Sebagai contoh, seseorang dapat memberikan argumen-argumen yang mendukung apa yang telah dipikirkannnya. Tingkat reflective use, adalah tingkatan metakognisi seseorang yang ditunjukkan dengan adanya kemampuan merfleksi berpikirnya sendiri, sebelum dan sesudah atau bahkan selama proses berlangsung, memikirkan bagaimana untuk melanjutkan dan bagaimana memperbaiki. Berdasarkan uraian di atas dapat disusun indikator tingkatan metakognisi sebagai berikut.

    Tabel 2.1. Indiator Tingkatan Metakognisi

    Tingkatan MetakognisiIndikator
    Tacit useAwere useStrategic useReflective useTidak memikirkan keputusan yang diambil atas proses berpikir yang dilakukan.Menyadari tentang apa dan mengapa melakukan pemikiran tertentu.Dapat mengatur pemikiran sendiri, secaara sadar menggunakan strategi-strategi khusus yang meningkatkan ketepatan berpikirnyaMemiliki kemampuan merefleksi berpikirnya sendiri baik sebelum, sesudah dan selama proses berlangsung serta memikirkan bagaimana untuk melanjutkan dan bagaimana untuk melajutkan dan bagaiman memperbaiki.

    Note: daftar pustaka menyusul