Blog

  • Pancasila Masa Orde Lama

    Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa sebenarnya merupakan perwujudan dari nilai-nilai budaya milik bangsa Indonesia sendiri yang diyakini kebaikan dan kebenarannya. Pancasila digali dari budaya bangsa sendiri yang sudah ada, tumbuh, dan berkembang berabad-abad lamanya. Oleh karena itu, Pancasila adalah khas milik bangsa Indonesia sejak keberadaannya sebagai sebuah bangsa. Pancasila merangkum nilai-nilai yang sama yang terkandung dalam adat-istiadat, kebudayaan, dan agama-agama yang ada di Indonesia. Dengan demikian, Pancasila sebagai pandangan hidup mencerminkan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia.

    Pancasila mulai dibicarakan sebagai dasar negara mulai tanggal 1 Juni 1945 dalam sidang BPPK oleh Ir. Soekarno dan pada tanggal 18 Agustus 1945 Pancasila resmi dan sah menurut hukum menjadi dasar negara Republik Indonesia. Kemudian mulai Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 berhubungan dengan Ketetapan No. I/MPR/1988 No. I/MPR/1993, Pancasila tetap menjadi dasar falsafah Negara Indonesia hingga sekarang.

    Akibat hukum dari disahkannya Pancasila sebagai dasar negara, maka seluruh kehidupan bernegara dan bermasyarakat haruslah didasari oleh Pancasila. Landasan hukum Pancasila sebagai dasar negara memberi akibat hukum dan filosofis; yaitu kehidupan negara dari bangsa ini haruslah berpedoman kepada Pancasila. Bagaimana sebetulnya implementasi Pancasila dalam sejarah Indonesia selama ini dan pentingnya upaya untuk mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila yang setelah reformasi mulai ditinggalkan demi tegaknya persatuan dan kesatuan NKRI.

    Penetapan Pancasila sebagai dasar negara dapat dikatakan mulai pada masa orde lama, tanggal 18 Agustus 1945 sehari setelah Indonesia baru memproklamirkan diri kemerdekaannya. Apalagi Soekarno akhirnya menjadi presiden yang pertama Republik Indonesia.

    Walaupun baru ditetapkan pada tahun 1945, sesungguhnya nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila disarikan dan digali dari nilai-nilai budaya yang telah ada dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pencetus dan penggali Pancasila yang pertama adalah Soekarno sendiri. Sebagai tokoh nasional yang paling berpengaruh pada saat itu, memilih sila-sila yang berjumlah 5 (lima) yang kemudian dinamakan Pancasila dengan pertimbangan utama demi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke.

    Pancasila yang merupakan dasar dan ideologi negara dan bangsa wajib diimplementasikan dalam seluruh aspek kehidupan bernegara. Dalam mewujudkan Pancasila melalui kebijakan ternyata tidaklah mulus, karena sangat dipengaruhi oleh pimpinan yang menguasai negara, sehingga pengisian kemerdekaan dengan nilai-nilai Pancasila menampilkan bentuk dan diri tertentu.

    Keberadaan Pancasila Pada Masa Orde lama

    Pada masa Orde lama, Pancasila dipahami berdasarkan paradigma yang berkembang pada situasi dunia yang diliputi oleh tajamnya konflik ideologi. Pada saat itu kondisi politik dan keamanan dalam negeri diliputi oleh kekacauan dan kondisi sosial-budaya berada dalam suasana transisional dari masyarakat terjajah (inlander) menjadi masyarakat merdeka. Masa orde lama adalah masa pencarian bentuk implementasi Pancasila terutama dalam sistem kenegaraan. Pancasila diimplementasikan dalam bentuk yang berbeda-beda pada masa orde lama. Terdapat 3 periode implementasi Pancasila yang berbeda, yaitu periode 1945-1950, periode 1950-1959, dan periode 1959-1966.

    Pada periode 1945-1950, implementasi Pancasila bukan saja menjadi masalah, tetapi lebih dari itu ada upaya-upaya untuk mengganti Pancasila sebagai dasar negara dengan faham komunis oleh PKI melalui pemberontakan di Madiun tahun 1948 dan oleh DI/TII yang akan mendirikan negara dengan dasar islam. Pada periode ini, nilai persatuan dan kesatuan masih tinggi ketika menghadapi Belanda yang masih ingin mempertahankan penjajahannya di bumi Indonesia. Namun setelah penjajah dapat diusir, persatuan mulai mendapat tantangan. Dalam kehidupan politik, sila keempat yang mengutamakan musyawarah dan mufakat tidak dapat dilaksanakan, sebab demokrasi yang diterapkan adalah demokrasi parlementer, dimana presiden hanya berfungsi sebagai kepala negara, sedang kepala pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri. Sistem ini menyebabkan tidak adanya stabilitas pemerintahan. Kesimpulannya walaupun konstitusi yang digunakan adalah Pancasila dan UUD 1945 yang presidensiil, namun dalam praktek kenegaraan system presidensiil tak dapat diwujudkan.

    Pada periode 1950-1959, walaupun dasar negara tetap Pancasila, tetapi rumusan sila keempat bukan berjiwakan musyawarah mufakat, melainkan suara terbanyak (voting). Sistem pemerintahannya yang liberal sehingga lebih menekankan hak-hak individual. Pada periode ini persatuan dan kesatuan mendapat tantangan yang berat dengan munculnya pemberontakan RMS, PRRI, dan Permesta yang ingin melepaskan diri dari NKRI. Dalam bidang politik, demokrasi berjalan lebih baik dengan terlaksananya pemilu 1955 yang dianggap paling demokratis. Tetapi anggota Konstituante hasil pemilu tidak dapat menyusun UUD seperti yang diharapkan. Hal ini menimbulkan krisis politik, ekonomi, dan keamanan, yang menyebabkan pemerintah mengeluarkan Dekrit Presiden 1959 untuk membubarkan Konstituante, UUD 1950 tidak berlaku, dan kembali kepada UUD 1945. Kesimpulan yang ditarik dari penerapan Pancasila selama periode ini adalah Pancasila diarahkan sebagai ideology liberal yang ternyata tidak menjamin stabilitas pemerintahan.

    Pada periode 1956-1965, dikenal sebagai periode demokrasi terpimpin. Demokrasi bukan berada pada kekuasaan rakyat sehingga yang memimpin adalah nilai-nilai Pancasila tetapi berada pada kekuasaan pribadi presiden Soekarno. Terjadilah berbagai penyimpangan penafsiran terhadap Pancasila dalam konstitusi. Akibatnya Soekarno menjadi otoriter, diangkat menjadi presiden seumur hidup, politik konfrontasi, menggabungkan Nasionalis, Agama, dan Komunis, yang ternyata tidak cocok bagi NKRI. Terbukti adanya kemerosotan moral di sebagian masyarakat yang tidak lagi hidup bersendikan nilai-nilai Pancasila, dan berusaha untuk menggantikan Pancasila dengan ideologi lain. Untuk memberi arah perjalanan bangsa, beliau menekankan pentingnya memegang teguh UUD 45, sosialisme ala Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin dan kepribadian nasional. Hasilnya terjadi kudeta PKI dan kondisi ekonomi yang memprihatinkan. Walaupun posisi Indonesia tetap dihormati di dunia internasional dan integritas wilayah serta semangat kebangsaan dapat ditegakkan. Kesimpulan yang ditarik adalah Pancasila telah diarahkan sebagai ideology otoriter, konfrotatif dan tidak member ruang pada demokrasi bagi rakyat.

    Dinamika Perdebatan Ideologis Islam dan Pancasila di Masa Orde Lama

    Dinamika perdebatan ideologi antara kelompok Islam dengan Pancasila adalah wajah dominan perpolitikan nasional dari tahun 1945-1965. Bahkan pertikaian itu dilanjutkan pada masa Orde Baru sampai Orde Reformasi ini. Pada dasarnya hal ini dilatarbelakangi oleh kekecewaan kalangan Islam atas penghapusan Piagam Jakarta dari Pembukaan UUD 1945, apalagi ketika penguasa (negara) menggunakan Pancasila sebagai alat untuk menekan kalangan Islam tersebut.

    Hal ini tampak ketika akhir tahun 1950-an, Pancasila sudah tidak lagi merupakan kompromi atau titik pertemuan bagi semua ideologi sebagaimana yang dimaksud Sukarno. Ini karena Pancasila telah dimanfaatkan sebagai senjata ideologis untuk mendelegitimasi tuntutan Islam bagi pengakuan negara atas Islam. Bahkan secara terang-terangan Sukarno tahun 1953 mengungkapkan kekhawatirannya tentang implikasi-implikasi negatif terhadap kesatuan nasional jika orang-orang Islam Indonesia masih memaksakan tuntutan mereka untuk sebuah negara Islam, atau untuk pasal-pasal konstitusional atau legal, yang akan merupakan pengakuan formal atas Islam oleh negara.

    Kekhawatiran Sukarno memang beralasan, apalagi ketika rentang tahun 1948 dan tahun 1962 terjadi pemberontakan Darul Islam melawan pemerintah pusat. Serangan pemberontakan bersenjata yang berideologi Islam di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh meski akhirnya dapat ditumpas oleh Tentara Nasional Indonesia, tetap saja menjadi bukti kongkret dari ‘ancaman Islam’. Bahkan atas desakan AH. Nasution, kepala staf AD, tahun 1959, Sukarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 untuk kembali kepada UUD 1945 dan menjadikannya sebagai satu-satunya konstitusi legal Republik Indonesia. Perdebatan persoalan ideologi tahun-tahun 1959-an dianggap telah menyita energi, sementara masalah lain belum dapat diselesaikan. Apalagi periode 1959 sampai peristiwa 30 September 1965 merupakan masa paling membingungkan pemerintah, dengan munculnya kekuatan PKI yang berusaha menggulingkan pemerintahan.

    Era ini disebut sebagai Demokrasi terpimpin, sebuah periode paling labil dalam struktur politik yang justru diciptakan oleh Sukarno. Pada era ini juga Sukarno membubarkan partai Islam terbesar, Masyumi, karena dituduh terlibat dalam pemberontakan regional berideologi Islam. Dalam periode Demokrasi Terpimpin ini, Sukarno juga mencoba membatasi kekuasaan semua partai politik, bahkan pertengahan 1950-an, Sukarno mengusulkan agar rakyat menolak partai-partai politik karena mereka menentang konsep musyawarah dan mufakat yang terkandung dalam Pancasila. Dalam rangka menyeimbangkan secara ideologis kekuatan-kekuatan Islam, nasionalisme dan komunisme, Sukarno bukan saja menganjurkan Pancasila melainkan juga sebuah konsep yang dikenal sebagai NASAKOM, yang berarti persatuan antara nasionalisme, agama dan komunisme. Kepentingan-kepentingan politis dan ideologis yang saling berlawanan antara PKI, militer dan Sukarno serta agama (Islam) menimbulkan struktur politik yang sangat labil pada awal tahun 1960-an, sampai akhirnya melahirkan Gerakan 30 S/PKI yang berakhir pada runtuhnya kekuasaan Orde Lama.

  • Dimensi Literasi Sains

    Dimensi dalam literasi sains

    Literasi sains merupakan salah satu ranah studi PISA. Dalam konteks PISA, literasi sains didefinisikan sebagai kemampuan menggunakan pengetahuan sains, mengidentifikasi pertanyaaan dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti, dalam rangka memahami serta membuat keputusan berkenaan dengan alam dan perubahan yang dilakukan terhadap alam melalui aktivitas manusia (Firman, 2007)

    Definisi literasi sains ini memandang literasi sains bersifat multidimensional, bukan hanya pemahaman terhadap pengetahuan sains, melainkan lebih luas dari itu. PISA 2000 dan 2003 menetapkan tiga dimensi besar literasi sains dalam pengukurannya, yakni kompetensi/proses sains, konten/pengetahuan sains dan konteks aplikasi sains. Pada PISA 2006 dimensi literasi sains dikembangkan menjadi empat dimensi, tambahannya yaitu aspek sikap siswa akan sains (OECD, 2007).

    1. Aspek konteks

    PISA menilai pengetahuan sains relevan dengan kurikulum pendidikan sains di negara partisipan tanpa membatasi diri pada aspek-aspek umum kurikulum nasional tiap negara. Penilaian PISA dibingkai dalam situasi kehidupan umum yang lebih luas dan tidak terbatas pada kehidupan di sekolah saja. Butir-butir soal pada penilaian PISA berfokus pada situasi yang terkait pada diri individu, keluarga dan kelompok individu (personal), terkait pada komunitas (social), serta terkait pada kehidupan lintas negara (global). Konteks PISA mencakup bidang-bidang aplikasi sains dalam seting personal, sosial dan global, yaitu: (1) Kesehatan; (2) sumber daya alam; (3) mutu lingkungan; (4) bahaya; (5) perkembangan mutakhir sains dan teknologi.

    2. Aspek konten

    Konten sains merujuk pada konsep-konsep kunci dari sains yang diperlukan untuk memahami fenomena alam dan perubahan yang dilakukan terhadap alam melalui aktivitas manusia. Dalam kaitan ini PISA tidak secara khusus membatasi cakupan konten sains hanya pada pengetahuan yang menjadi kurikulum sains sekolah, namun termasuk pula pengetahuan yang diperoleh melalui sumber-sumber informasi lain yang tersedia. Kriteria pemilihan konten sains adalah sebagai berikut:

    1) Relevan dengan situasi nyata,

    2) merupakan pengetahuan penting sehingga penggunaannya berjangka panjang,

    3) sesuai untuk tingkat perkembangan anak usia 15 tahun.

    Berdasarkan kriteria tersebut, maka dipilih pengetahuan yang sesuai untuk memahami alam dan memaknai pengalaman dalam konteks personal, sosial dan global, yang diambil dari bidang studi biologi, fisika, kimia serta ilmu pengetahuan bumi dan antariksa.

    3. Aspek Kompetensi/Proses

    PISA memandang pendidikan sains berfungsi untuk mempersiapkan warganegara masa depan, yakni warganegara yang mampu berpartisipasi dalam masyarakat yang semakin terpengaruh oleh kemajuan sains dan teknologi. Oleh karenanya pendidikan sains perlu mengembangkan kemampuan siswa memahami hakekat sains, prosedur sains, serta kekuatan

    dan limitasi sains. Siswa perlu memahami bagaimana ilmuwan sains mengambil data dan mengusulkan eksplanasi-eksplanasi terhadap fenomena alam, mengenal karakteristik utama penyelidikan ilmiah, serta tipe jawaban yang dapat diharapkan dari sains.

    PISA menetapkan tiga aspek dari komponen kompetensi/proses sains berikut dalam penilaian literasi sains, yakni mengidentifikasi pertanyaan ilmiah, menjelaskan fenomena secara ilmiah dan menggunakan bukti ilmiah. Proses kognitif yang terlibat dalam kompetensi sains antara lain penalaran induktif/deduktif, berfikir kritis dan terpadu, pengubahan representasi, mengkonstruksi eksplanasi berdasarkan data, berfikir dengan menggunakan model dan menggunakan matematika. 

    Untuk membangun kemampuan inkuiri ilmiah pada diri peserta didik, yang berlandaskan pada logika, penalaran dan analisis kritis, maka kompetensi sains dalam PISA dibagi menjadi tiga aspek berikut:

    1) Mengidentifikasi pertanyaan ilmiah

    Pertanyaan ilmiah adalah pertanyaan yang meminta jawaban berlandaskan bukti ilmiah, yang didalamnya mencakup juga mengenal pertanyaan yang mungkin diselidiki secara ilmiah dalam situasi yang diberikan, mencari informasi dan mengidentifikasi kata kunci serta mengenal fitur penyelidikan ilmiah, misalnya hal-hal apa yang harus dibandingkan, variabel apa yang harus diubah-ubah dan dikendalikan, informasi tambahan apa yang diperlukan atau tindakan apa yang harus dilakukan agar data relevan dapat dikumpulkan.

    2) Menjelaskan fenomena secara ilmiah

    Kompetensi ini mencakup pengaplikasikan pengetahuan sains dalam situasi yang diberikan, mendeskripsikan fenomena, memprediksi perubahan, pengenalan dan identifikasi deskripsi, eksplanasi dan prediksi yang sesuai.

    3) Menggunakan bukti ilmiah

    Kompetensi ini menuntut peserta didik memaknai temuan ilmiah sebagai bukti untuk suatu kesimpulan. Selain itu juga menyatakan bukti dan keputusan dengan kata-kata, diagram atau bentuk representasi lainnya. Dengan kata lain, peserta didik harus mampu menggambarkan hubungan yang jelas dan logis antara bukti dan kesimpulan atau keputusan.

    4. Aspek Sikap

    Untuk membantu siswa mendapatkan pengetahuan teknik dan sains, tujuan utam dari pendidikan sains adalah untuk membantu siswa mengembangkan minat siswa dalam sains dan mendukung penyelidikan ilmiah. Sikap-sikap akan sains berperan penting dalam keputusan siswa untuk mengembangkan pengetahuan sains lebih lanjut, mngejar karir dalam

    sains, dan menggunakan konsep dan metode ilmiah dalam kehidupan mereka. Dengan begitu, pandangan PISA akan kemampuan sains tidak hanya kecakapan dalam sains, juga bagaimana sifat mereka akan sains. Kemampuan sains seseorang di dalamnya memuat sikap-sikap tertentu, seperti kepercayaan, termotivasi, pemahaman diri, dan nilai-nilai.

  • Membangun Literasi Sains

    Literasi sains merupakan salah satu dari literasi dasar yang sedang digalakkan oleh pemerintah. Literasi dasar ada 6 yaitu literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, dan literasi budaya dan kewargaan.

    Dalam buku Materi Pendukung Literasi Sains yang dikeluarkan  Kemendikbud dijelaskan bahwa literasi sains dapat diartikan sebagai pengetahuan dan kecakapan ilmiah untuk mampu mengidentifikasi pertanyaan, memperoleh pengetahuan baru, menjelaskan fenomena ilmiah, serta mengambil simpulan berdasar fakta, memahami karakteristik sains, kesadaran bagaimana sains dan teknologi membentuk lingkungan alam, intelektual, dan budaya, serta kemauan untuk terlibat dan peduli terhadap isu-isu yang terkait sains (OECD, 2016). National Research Council (2012) menyatakan bahwa rangkaian kompetensi ilmiah yang dibutuhkan pada literasi sains mencerminkan pandangan bahwa sains adalah ansambel dari praktik sosial dan epistemik yang umum pada semua ilmu pengetahuan, yang membingkai semua kompetensi sebagai tindakan.

    Gerakan literasi sains ini bukan hanya dilaksanakan di sekolah tetapi juga di level keluarga dan masyarakat. Literasi sains merupakan bagian dari sains, bersifat praktis, berkaitan dengan isu-isu tentang sains dan ide-ide sains. Warga negara harus memiliki kepekaan terhadap kesehatan, sumber daya alam, kualitas lingkungan, dan bencana alam dalam konteks personal, lokal, nasional, dan global. Dari sini kita bisa melihat bahwa cakupan literasi sains sangat luas, tidak hanya dalam mata pelajaran sains, tetapi juga beririsan dengan literasi lainnya.

    Bagaimana membangun literasi sains, khususnya di sekolah?
    PISA menetapkan 3 dimensi besar literasi sains, yaitu konten sains, peoses sains, dan konteks aplikasi sains. Dalam konten sains ini peserta didik dapat memahami konsep kunci mengenai fenomena alam maupun perubahan-perubahan yang terjadi akibat aktivitas manusia. Proses literasi sains meliputi kemampuan untuk mencari, menafsirkan, dan mencari bukti-bukti berdasarkan pengetahuan dan pemahaman ilmiah yang dikuasai peserta didik. Sedangkan dalam konteks literasi, lebih banyak mengkaji permasalahan keseharian seperti bidang kehidupan dan kesehatan, bumi dan lingkungan serta teknologi.

    Dalam proses pembelajarannya, membangun literasi sains pada peserta didik khususnya bersesuaian dengan pendekatan saintifik dalam kurikulum 2013. Meskipun demikian membangun literasi sains ini bukan merupakan hal yang baru. Pendekatan filosofisnya pun menggunakan teori konstrukstivisme yaitu bagaimana peserta didik membangun sendiri pengetahuannya dengan mengorganisasi pengalamannya yang kemudian menghasilkan konsep yang benar. Pada tahap ini sangat mungkin peserta didik mengalami miskonsepsi. Tugas gurulah agar bisa mengubah konsep yang salah ini menjadi konsep yang benar.

    Model pembelajaran yang bisa dilakukan untuk membangun literasi sains dapat melalui pendekatan sains terpadu, pendekatan STM, pembelajaran kontekstual, pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran tuntas, menyusun RPP sains, dan melaksanakan pembelajaran berdasar RPP tersebut (Uus Toharudin, 2014 : 79 – 138).

    Agar pembelajaran sesuai target, diperlukan adanya bahan ajar khusus yang telah ada maupun dirancang sendiri yang khusus  untuk menyiapkan literasi sains bagi peserta didik.  Bahan ajar maupun lembar kerja yang mengintegrasikan literasi sains juga dapat dipadukan dengan pembelajaran HOTS, ppk, 4c dan lainnya. Selamat mencoba.

  • Kemampuan Awal – Prior Knowledge

    Kemampuan awal merupakan hasil belajar yang didapat sebelum mendapat kemampuan yang lebih tinggi. Kemampuan awal siswa merupakan prasyarat untuk mengikuti pembelajaran sehingga dapat melaksanakan proses pembelajaran dengan baik. Kemampuan seseorang yang diperoleh dari pelatihan selama hidupnya, dan apa yang dibawa untuk menghadapi suatu pengalaman baru. Menurut Rebber (1988) dalam Muhibbin Syah (2006: 121) yang mengatakan bahwa “kemampuan awal prasyarat awal untuk mengetahui adanya perubahan”

    Gerlach dan Ely dalam Harjanto (2006:128) “Kemampuan awal siswa ditentukan dengan memberikan tes awal”. Kemampuan awal siswa ini penting bagi pengajar agar dapat memberikan dosis pelajaran yang tepat, tidak terlalu sukar dan tidak terlalu mudah. Kemampuan awal juga berguna untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan.

    Senada disampaikan Gagne dalam Nana Sudjana (1996:158) menyatakan bahwa “kemampuan awal lebih rendah dari pada kemampuan baru dalam pembelajaran, kemampuan awal merupakan prasyarat yang harus dimiliki siswa sebelum memasuki pembelajaran materi pelajaran berikutnya yang lebih tinggi.” Jadi seorang siswa yang mempunyai kemampuan awal yang baik akan lebih cepat memahami materi dibandingkan dengan siswa yang tidak mempunyai kemampuan awal dalam proses pembelajaran.

    Kemampuan awal juga bisa disebut dengan prior knowledge (PK). PK merupakan langkah penting di dalam proses belajar, dengan demikian setiap guru perlu mengetahui tingkat PK yang dimiliki para peserta didik. Dalam proses pemahaman, PK merupakan faktor utama yang akan mempengaruhi pengalaman belajar bagi para peserta didik. Dari berbagai penelitian terungkap bahwa lingkungan belajar memerlukan suasana stabil, nyaman dan familiar atau menyenangkan. Lingkungan belajar, dalam konteks PK, harus memberikan suasana yang mendukung keingintahuan peserta didik, semangat untuk meneliti atau mencari sesuatu yang baru, bermakna, dan menantang. Menciptakan kesempatan yang menantang para peserta didik untuk ”memanggil kembali” PK merupakan upaya yang esensial. Dengan cara-cara tersebut maka pengajar/instruktur/fasilitator mendorong peserta didik untuk mengubah pola pikir, dari mengingat informasi yang pernah dimilikinya menjadi proses belajar yang penuh makna dan memulai perjalanan untuk menghubungkan berbagai jenis kejadian/peristiwa dan bukan lagi mengingat-ingat pengalaman yang ada secara terpisah-pisah. Dalam seluruh proses tadi, PK merupakan elemen esensial untuk menciptakan proses belajar menjadi sesuatu yang bermakna.

    Dalam proses belajar, PK merupakan kerangka di mana peserta didik menyaring informasi baru dan mencari makna tentang apa yang sedang dipelajari olehnya. Proses membentuk makna melalui membaca didasarkan atas PK di mana peserta didik akan mencapai tujuan belajarnya.

    Menurut Sugiyarto (2009) dalam makalahnya tentang peningkatan kualitas pembelajaran dalam bidang ekologi di perguruan tinggi melalui penerapan praktikum mandiri yang disampaikan pada semiloka nasional menyatakan bahwa “kunci utama tutorial adalah pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang atau yang disebut dengan prior knowledge. PK akan keluar dari simpanan para peserta didik apabila ada trigger atau pemicu.” Dalam proses inkuiri terbimbing siswa dipacu dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada jawaban dari permasalahan yang dihadapi sehingga siswa dapat dengan mandiri bisa menyimpulkan dan menmukan konsep-konsep dalam materi yang sedang dipelajari.

    Dari uraian tersebut, maka kemampuan awal dapat diambil dari nilai yang sudah didapat sebelum materi baru diperoleh. kemampuan awal merupakan prasyarat yang harus dimiliki siswa sebelum memasuki pembelajaran materi pelajaran berikutnya yang lebih tinggi. Kemampuan awal dalam penelitian ini diambil dari nilai tes perkembangan manusia sebelum memasuki materi yang baru yaitu materi sistem gerak manusia.

  • Literasi Dains dan PISA

    PISA (Programme for International Student Assessment) adalah studi literasi yang bertujuan untuk meneliti secara berkala tentang kemampuan siswa usia 15 tahun (kelas III SMP dan Kelas I SMA) dalam membaca (reading literacy), matematika (mathematics literacy), dan sains (scientific literacy). Penelitian yang dilakukan PISA meliputi tiga periode, yaitu tahun 2000, 2003, dan 2006.

    Pada tahun 2000 penelitian PISA difokuskan kepada kemampuan membaca, sementara dua aspek lainnya menjadi pendamping. Pada tahun 2003 aspek matematika menjadi fokus utama kemudian diteruskan aspek sains pada tahun 2006. Studi PISA yang dilaksanakan oleh OECD (Organisation for Economic Co-operation & Development) dan Unesco Institute for Statistics bertujuan untuk mengukur kemampuan siswa pada akhir usia wajib belajar untuk mengetahui kesiapan siswa menghadapi tantangan pengetahuan dimasyarakat (knowledge society). Penilaian yang dilakukan dalam PISA berorientasi ke masa depan, yaitu menguji kemampuan anak muda itu untuk menggunakan keterampilan dan pengetahuan mereka dalam menghadapi tantangan kehidupan nyata, tidak semata-mata mengukur kemampuan yang dicantumkan dalam kurikulum sekolah.

    Literasi sains menurut PISA diartikan sebagai “ the capacity to use scientific knowledge, to identify questions and to draw evidence-based conclusions in order to understand and help make decisions about the natural world and the changes made to it through human activity”. Literasi sains didefinisikan sebagai kemampuan menggunakan pengetahuan sains, mengidentifikasi pertanyaan, dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti, dalam rangka memahami serta membuat keputusan berkenaan dengan alam dan perubahan yang dilakukan terhadap alam melalui aktivitas manusia. Definisi literasi sains ini memandang literasi sains bersifat multidimensional, bukan hanya pemahaman terhadap pengetahuan sains, melainkan lebih dari itu. PISA juga menilai pemahaman peserta didik terhadap karakteristik sains sebagai penyelidikan ilmiah, kesadaran akan pentingnya sains dan teknologi membentuk lingkungan material, intelektual dan budaya, serta keinginan untuk terlibat dalam isu-isu terkait sains, sebagai manusia  yang reflektif. Literasi sains dianggap suatu hasil belajar kunci dalam pendidikan pada usia 15 tahun bagi semua siswa, apakah meneruskan belajar sains atau tidak setelah itu. Berpikir ilmiah merupakan tuntutan warga negara, bukan hanya ilmuwan. 

  • Aspek-Aspek Literasi Sains

    Proses sains merujuk pada proses mental yang terlibat ketika menjawab suatu pertanyaan atau memecahkan masalah, seperti mengidentifikasi dan menginterpretasi bukti serta menerangkan kesimpulan (Rustaman et al., 2004). PISA (2000) menetapkan lima komponen proses sains dalam penilaian literasi sains, yaitu:

    1. Mengenal pertanyaan ilmiah, yaitu pertanyaan yang dapat diselidiki secara ilmiah, seperti mengidentifikasi pertanyaan yang dapat dijawab oleh sains.
    2. Mengidentifikasi bukti yang diperlukan dalam penyelidikan ilmiah. Proses ini melibatkan identifikasi atau pengajuan bukti yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan dalam suatu penyelidikan sains, atau prosedur yang diperlukan untuk memperoleh bukti itu.
    3. Menarik dan mengevaluasi kesimpulan. Proses ini melibatkan kemampuan menghubungkan kesimpulan dengan bukti yang mendasari atau seharusnya mendasari kesimpulan itu.
    4. Mengkomunikasikan kesimpulan yang valid, yakni mengungkapkan secara tepat kesimpulan yang dapat ditarik dari bukti yang tersedia.
    5. Mendemonstrasikan pemahaman terhadap konsep-konsep sains, yakni kemampuan menggunakan konsep-konsep dalam situasi yang berbeda dari apa yang telah dipelajarinya.

    Dari hasil akhir proses sains ini, siswa diharapkan dapat menggunakan konsep-konsep sains dalam konteks yang berbeda dari yang telah dipelajarinya. PISA memandang pendidikan sains untuk mempersiapkan warganegara masa depan, yang mampu berpartisipasi dalam masyarakat yang akan semakin terpengaruh oleh kemajuan sains dan teknologi, perlu mengembangkan kemampuan anak untuk memahami hakekat sains, prosedur sains, serta kekuatan dan keterbatasan sains. Termasuk di dalamnya kemampuan untuk menggunakan pengetahuan sains, kemampuan untuk memperoleh pemahaman sains dan kemampuan untuk menginterpretasikan dan mematuhi fakta. 

    Alasan ini yang menyebabkan PISA tahun 2003  menetapkan 3 komponen proses sains berikut ini dalam penilaian literasi sains.

    1. Mendiskripsikan, menjelaskan, memprediksi gejala sains.
    2. Memahami penyelidikan sains
    3. Menginterpretasikan bukti dan kesimpulan sains.
  • Defenisi Literasi Sains

    Literasi sains (science literacy, LS) berasal dari gabungan dua kata Latin yaitu literatus artinya ditandai dengan huruf, melek huruf, atau berpendidikan dan scientia, yang artinya memiliki pengetahuan. menurutC.E de Boer (1991), orang yang pertama menggunakan istilah literasi sains adalah Paul de Hurt dari Stanford University. Menurut Hurt, science literacy berarti tindakan memahami sains dan mengaplikasikannya bagi kebutuhan masyarakat.

    Sementara itu, Notional Science Teacher Assosiation (1971) mengemukakan bahwa seseorang yang memiliki literasi sains adalah orang yang menggunakan konsep sains, mempunyai keterampilan proses sains untuk dapat menilai dalam membuat keputusan sehari-hari kalau ia berhubungan dengan orang lain, lingkungannya, serta memahami interaksi antara sains, teknologi dan masyarakat, termasuk perkembangan sosial dan ekonomi. Litersai sains didefinisikan pula sebagai kapasitas untuk menggunkan pengetahuan ilmiah, mengidentifikasi pertanyaan dan menarik kesimpulan berdasarkan fakta dan data untuk memahami alam semesta dan membuat keputusan dari perubahan yang terjadi karena aktivitas manusia (OECD, 2003).

    Literasi sains merupakan kemampuan seseorang dalam menggunakan pengetahuan ilmiah dan prosesnya, tetapi ia tidak sekadar memahami alam semesta, tetapi juga ikut berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan menggunakannya (OECD, 1999). Literasi sains diartikan pula sebagai pengetahuan tentang apa yang termasuk sains (Kyle, 1995 a, 1995 b; H Urd, 1998; De Boer, 2000), kandungan isi sains, dan kemampuan untuk membedakan sains dari nonsains (Shortland, 1988; NRC, 1996 ; CMEC, 1997 ; Mayer, 1997).

    Literasi sains juga merupakan pengetahuan tentang manfaat dan kerugian sains (Shamos, 1995). Pengertian lain literasi sains adalah sikap pemahaman terhadap sains dan aplikasinya (Shortland, 1988; Eisenhart, Finkel & Marion, 1996; Hurd, 1998; De Boer, 2000), kemampuan untuk menggunakan pengetahuan sains dalam upaya memecahkan masalah (NRC, 1996), kemampuan untuk berfikir secara ilmiah (De Boer, 2000), kemampuan untuk berfikir kritis tentang sains untuk berurusan dengan keahlian sains (Shamos, 1995; Korpan, et al., 1997), kebebasan dalam mempelajari sains (Sutman, 1996), pemahaman terhadap hakikat sains; termasuk hubungannya dengan budaya (Norma, 1998; Hanrahan, 1999; De Boer, 2000), serta penghargaan dan kesukaan terhadap sains; termasuk rasa ingin tahu (CMEC, 1997; Milllar & Osborn, 1998; Shamos, 1995).

    Pudjiadi (1987) mengatakan bahwa:

    “sains merupakan sekelompok pengetahuan tentang obyek dan fenomena alam yang diperoleh dari pemikiran dan penelitian para ilmuwan yang dilakukan dengan keterampilan bereksperimen menggunakan metode ilmiah”.

    PISA mendefinisikan literasi sains sebagai kapasitas untuk menggunakan pengetahuan dan kemampuan ilmiah, mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan dan menarik kesimpulan berdasarkan  bukti-bukti dan data-data yang ada agar dapat memahami dan membantu peneliti untuk membuat keputusan tentang dunia alami dan interaksi manusia dengan alamnya (Rustaman, et.al, 2000:2).

    Literasi sains menurut National Science Education Standards (1995) adalah Scientific literacy is knowledge and understanding of scientific concepts and processes required for personal decision making, participation in civic and cultural affairs, and economic productivity. It also includes specific types of abilities.

    Literasi sains yaitu suatu ilmu pengetahuan dan pemahaman mengenai konsep dan proses sains yang akan memungkinkan seseorang untuk membuat suatu keputusan dengan pengetahuan yang dimilikinya, serta turut terlibat dalam hal kenegaraan, budaya dan pertumbuhan ekonomi, termasuk di dalamnya kemampuan spesifik yang dimilikinya.

    Literasi sains dapat diartikan sebagai pemahaman atas sains dan aplikasinya bagi kebutuhan masyarakat (Widyatiningtyas, 2008). Literasi berarti kemampuan membaca dan menulis atau melek aksara. Dalam konteks sekarang, literasi memiliki makna yang luas, yaitu melek teknologi, politik, berfikir kritis dan peka terhadap lingkungan sekitar (Bukhori, 2005), sedangkan kata sains merupakan serapan dari Bahasa Inggris, yaitu science yang diambil dari bahasa latin sciencia dan berarti pengetahuan.

    Sains dapat berarti ilmu pada umumnya, tetapi juga berarti ilmu pengetahuan alam (Poedjiadi, 2005). Literasi Sains didefinisikan sebagai kemampuan menggunakan pengetahuan sains, mengidentifikasi pertanyaan, dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti bukti dalam rangka memahami serta membuat keputusan berkenaan dengan alam dan perubahan yang dilakukan terhadap alam melalui aktivitas manusia (Firman, 2007:2). Literasi IPA (scientific literacy) didefinisikan sebagai kapasitas untuk menggunakan pengetahuan ilmiah, mengidentifikasi pertanyaan dan menarik kesimpulan berdasarkan fakta untuk memahami alam semesta dan membuat keputuan dari perubahan yang terjadi karena aktivitas manusia (OECD, 2003). Menurut Suhendra Yusuf (2003), literasi sains penting untuk dikuasai oleh siswa dalam kaitannya dengan bagaimana siswa dapat memahami lingkungan hidup, kesehatan, ekonomi, dan masalah-masalah lain yang dihadapi oleh masyarakat moderen yang sangat bergantung pada teknologi dan kemajuan serta perkembangan ilmu pengetahuan.

  • Prinsip Penilaian yang Wajib Diketahui oleh Guru

    Prinsip Penilaian yang Wajib Diketahui oleh Guru

    Prinsip penilaian merupakan faktor penting harus dipertimbangkan oleh guru dalam melakukan proses asesmen. Prinsip ini meberikan jaminan kualitas dari proses penilaian tersebut memiliki makna atau tidak.

    Prinsip Penilaian

    Prinsip penilaian merupakan pedoman atau panduan yang digunakan untuk memastikan bahwa proses penilaian dilakukan secara objektif, adil, dan dapat dipercaya. Prinsip-prinsip ini berlaku dalam berbagai konteks, baik itu dalam bidang pendidikan, pekerjaan, maupun evaluasi kinerja. Berikut adalah beberapa prinsip penilaian yang umum digunakan:

    Objektivitas

    Penilaian harus bebas dari bias dan subjektivitas. Kriteria penilaian harus jelas, spesifik, dan dapat diukur untuk memastikan bahwa semua peserta dinilai berdasarkan standar yang sama.

    Validitas

    Instrumen penilaian harus mengukur apa yang seharusnya diukur. Validitas memastikan bahwa penilaian tersebut relevan dengan tujuan yang ingin dicapai.

    Reliabilitas

    Penilaian harus konsisten dan dapat diandalkan. Hasil penilaian harus dapat direproduksi dengan kondisi yang sama pada waktu yang berbeda.

    Keadilan

    Semua peserta harus memiliki kesempatan yang sama untuk dinilai. Penilaian tidak boleh diskriminatif atau memihak.

    Transparansi

    Proses dan kriteria penilaian harus diketahui oleh semua pihak yang terlibat. Peserta harus memahami apa yang diharapkan dari mereka dan bagaimana mereka akan dinilai.

    Keterlibatan Peserta

    Peserta sebaiknya dilibatkan dalam proses penilaian, misalnya melalui umpan balik dan refleksi diri. Hal ini dapat meningkatkan motivasi dan pemahaman mereka terhadap proses penilaian.

    Penggunaan yang Tepat

    Hasil penilaian harus digunakan secara tepat sesuai dengan tujuannya. Penilaian sebaiknya digunakan untuk menginformasikan pengambilan keputusan, memberikan umpan balik, dan memperbaiki proses pembelajaran atau kinerja.

    Keberagaman Metode

    Menggunakan berbagai metode penilaian dapat memberikan gambaran yang lebih lengkap dan menyeluruh tentang kemampuan atau kinerja peserta. Kombinasi metode kualitatif dan kuantitatif seringkali lebih efektif.

    Berorientasi pada Perkembangan

    Penilaian harus tidak hanya melihat hasil akhir, tetapi juga proses dan perkembangan yang dicapai oleh peserta. Ini membantu dalam mendorong pembelajaran berkelanjutan dan peningkatan kinerja.

    Konfidensialitas

    Informasi yang diperoleh dari penilaian harus dijaga kerahasiaannya dan hanya digunakan untuk tujuan yang telah ditentukan.

    Dengan menerapkan prinsip-prinsip ini, proses penilaian dapat dilakukan dengan lebih efektif dan memberikan manfaat maksimal bagi semua pihak yang terlibat.

  • Langkah-Langkah Strategi Pembelajaran Ekspositori

    Langkah-Langkah Strategi Pembelajaran Ekspositori

    Strategi pembelajaran ekspositori adalah strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses penyampaian materi secara verbal dari seorang guru kepada kelompok siswa dengan maksud agar siswa dapat menguasai materi pelajaran secara optimal. Keberhasilan penggunaan strategi ekspositori sangat tergantung pada kemampuan guru untuk bertutur atau menyampaikan materi pelajaran. Berikut adalah prosedur (langkah-langkah) pelaksaan strategi pembelajaran ekspositori:

    Prosedur (Langkah-Langkah) Pelaksanaan Strategi Pembelajaran Ekspositori

    1. Persiapan

    Tahap persiapan berkaitan dengan mempersiapkan siswa untuk menerima pelajaran. Dalam strategi ekspositori, langkah persiapan merupakan langkah yang sangat penting. Keberhasilan pelaksnaan pembelajaran dengan menggunakan strategi ekspositori sangat tergantung pada langkah persiapan. Tujuan yang ingin dicapai dalam melakukan persiapan adalah:

    1. mengajak siswa keluar dari kondisi mental yang pasif
    2. membangkitkan motivasi dan minat siswa untuk belajar
    3. merangsang dan menggugah rasa ingin tahu siswa
    4. menciptakan suasana dan iklim pembelajaran yang terbuka.

    Beberapa hal yang harus dilakukan dalam langkah persiapan di antaranya adalah:

    1. berikan sugesti yang positif fan hindari sugesti yang negatif
    2. mulailah dengan mengemukakan tujuan yang harus dicapai
    3. bukalah file (wawasan) dalam otak siswa.

    2. Penyajian

    Langkah penyajian adalah langkah penyampaian materi pelajaran sesuai dengan persiapan yang telah dilakukan. Yang harus dipikirkan oleh setiap guru dalam penyajian ini adalah bagaimana agar materi pelajaran dapat dengan mudah ditangkap dan dipahami oleh siswa. Oleh sebab itu, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan langkah ini:

    1. Gunakan bahasa yang komunikatif dan sesuai dengan perkembangan siswa yang diajar
    2. Gunakan intonasi suara yang terkontrol dan sesuai dengan materi yang disampaikan
    3. Guru harus menjaga kontak mata dengan siswa
    4. Gunakan joke-joke yang menyegarkan

    3. Korelasi

    Langkah korelasi adalah langkah menghubungkan materi pelajaran dengan pengalaman siswa atau dengan hal-hal lain yang memungkinkan siswa dapat menangkap keterkaitannya dalam struktur pengetahuan yang telah dimilikinya. Langkah korelasi dilakukan tiada lain untuk memberikan makna terhadap materi pelajaran, baik makna untuk memperbaiki struktur pengetahuan yang telah dimilikinya maupun makna untuk meningkatkan kualitas kemampuan berpikir dan kemampuan motorik siswa.

    4. Menyimpulkan

    Menyimpulkan adalah tahapan untuk memahami inti (core) dari materi pelajaran yang telah disajikan. Langkah menyimpulkan merupakan langkah yang sangat penting dalam strategi ekspositori, sebab melalui langkah menyimpulkan siswa akan dapat mengambil inti sari dari proses penyajian. Menyimpulkan berarti pula memberikan keyakinan kepada siswa tentang kebenaran suatu paparan. Dengan demikian, siswa tidak merasa ragu lagi akan penjelasan guru.

    Menyimpulkan bisa dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya pertama, dengan cara mengulang kembali inti-inti materi yang menjadi pokok persoalan. Dengan cara demikian, diharapkan siswa dapat menangkap inti materi yang telah disajikan. Kedua, dengan cara memberikan beberapa pertanyaan yang relevan dengan materi yang telah disajikan. Dengan cara demikian, diharapkan siswa dapat mengingat kembali keseluruhan materi pelajaran yang telah dibahas, Ketiga, dengan cara maping melalui pemetaan keterkaitan antarmateri pokok-pokok materi.

    5. Mengaplikasikan

    Langkah aplikasi adalah langkah unjuk kemampuan siswa setelah mereka menyimak penjelasan guru. Langkah ini merupakan langkah yang sangat penting dalam proses pembelajaran ekspositori, sebab melalui langkah ini guru akan dapat mengumpulkan informasi tentang penguasaan dan pemahaman materi pelajaran oleh siswa. Teknik yang biasa dilakukan pada langkah ini di antaranya, pertama, dengan membuat tugas yang relevan dengan materi yang telah disajikan. Kedua, dengan memberikan tes yang sesuai dengan materi pelajaran yang telah disajikan.

  • Pengertian Dan Fungsi Standar Proses Pendidikan

    Standar proses pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan (Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Bab 1 Pasal 1 Ayat 6).

    Analisis Pengertian Standar Proses Pendidikan

    Dari pengertian di atas, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi. Pertama, standar proses pendidikan adalah standar nasional pendidikan, yang berarti standar proses pendidikan dimaksud berlaku untuk setiap lembaga pendidikan formal pada jenjang pendidikan tertentu di mana pun lembaga pendidikan itu berada secara nasional. Dengan demikian, seluruh sekolah seharusnya melaksanakan proses pembelajaran seperti yang dirumuskan dalam standar proses pendidikan ini.

    Kedua, standar proses pendidikan berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran, yang berarti dalam standar proses pendidikan berisi tentang bagaimana seharusnya proses pembelajaran berlangsung. Dengan demikian, standar proses pendidikan dimaksud dapat dijadikan pedoman bagi guru dalam pengelolaan pembelajaran.

    Ketiga, standar proses pendidikan diarahkan untuk mencapai standar kompetensi lulusan. Dengan demikian, standar kompetensi lulusan merupakan sumber atau rujukan utama dalam menentukan standar proses pendidikan. Karena itu, sebenarnya standar proses pendidikan bisa dirumuskan dan diterapkan manakala telah tersusun standar kompetensi lulusan.

    Fungsi Standar Proses Pendidikan

    Secara umum, standar proses pendidikan (SPP) sebagai standar minimal yang harus dilakukan memiliki fungsi sebagai pengendali proses pendidikan untuk memperoleh kualitas hasil dan proses pembelajaran. Berikut adalah fungsi standar proses pendidikan.

    1. Fungsi SPP dalam rangka mencapai standar kompetensi yang harus dicapai

    Proses pendidikan berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan, yakni kompetensi yang harus dicapai dalam ikhtiar pendidikan. Bagaimanapun bagus dan idealnya suatu rumusan kompetensi, pada akhirnya keberhasilannya sangat tergantung kepada pelaksanaan yang dilakukan oleh guru. Berkaitan dengan hal itu, SPP berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan serta program yang harus dilaksanakan oleh guru dan siswa dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.

    2. Fungsi SPP bagi guru

    Untuk mencapai tujuan pendidikan, yakni standar kompetensi yang harus dimiliki siswa, guru sebagai ujung tombak pelaksanaan pendidikan di lapangan sangat menentukan keberhasilannya. Bagaimanapun idealnya suatu kurikulum tanpa diikuti oleh kemampuan guru dalam mengimplementasikannya dalam kegiatan proses pendidikan, maka kurikulum itu tidak akan memiliki makna. Berkaitan dengan itu, standar proses pendidikan bagi guru berfungsi sebagai pedoman dalam membuat perencanaan program pembelajaran, baik program untuk perode tertentu maupun program pembelajaran harian, dan sebagai pedoman untuk implementasi program dalam kegiatan nyata di lapangan. Oleh sebab itu, guru perlu memahami dan menghayati prinsip-prinsip SPP.

    3. Fungsi SPP bagi kepala sekolah

    Kepala sekolah adalah orang yang secara struktural bertanggung jawab dalam pengendalian mutu pendidikan secara langsung. Dengan demikian, bagi kepala sekolah SPP berfungsi:

    1. sebagai barometer atau alat pengukur keberhasilan program pendidikan di sekolah yang dipimpinnya. Kepala sekolah dituntut untuk menguasai dan mengontrol apakah kegiatan-kegiatan proses pendidikan yang dilaksanakan itu berpijak pada standar proses yang telah ditentukan atau tidak.
    2. sebagai sumber utama dalam merumuskan berbagai kebijakan sekolah khususnya dalam menentukan dan mengusahakan ketersediaan berbagai keperluan sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk menunjang keberhasilan proses pendidikan.

    4. Fungsi SPP bagi para pengawas (supervisor)

    Bagi para pengawas, SPP berfungsi sebagai pedoman, patokan, atau ukuran dalam menetapkan bagian mana yang perlu disempurnakan atau diperbaiki oleh setiap guru dalam pengelolaan proses pembelajaran. Dengan demikian, para pengawas perlu memahami dengan benar hakikat SPP. Melalui pemahaman itu selanjutnya pengawas dapat memberikan masukan dan bimbingan kepada para guru untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran.

    5. Fungsi SPP bagi dewan sekolah dan dewan pendidikan

    Fungsi utama dewan sekolah dan dewan pendidikan adalah fungsi perencanaan dan pengawasan. Fungsi ini amat penting untuk menjaga kualitas pendidikan. Untuk melaksanakan fungsi tersebut baik dewan atau komite sekolah maupun dewan pendidikan perlu memahami SPP. Melalui pemahaman SPP, maka lembaga ini dapat melaksakan fungsinya dalam:

    1. Menyusun program dan memberikan bantuan khususnya yang berhubungan dengan penyediaan sarana dan prasarana yang diperlukan oleh sekolah atau guru untuk pengelolaan proses pembelajaran yang sesuai dengan standar minimal.
    2. Memberikan sran-saran, usul, atau ide kepada sekolah, khususnya guru, dalam pengelolaan pembelajaran yang sesuai dengan standal minimal.
    3. Melaksanakan pengawasan terhadap jalannya proses pembelajaran khususnya yang dilakukan oleh para guru.