Blog

  • Persamaa dan Perbedaan Zakat, Infaq, Pajak, dan Shadaqoh

    Perbedaan Zakat, Infaq, Pajak, dan Shadaqoh

    ·         Zakat adalah sejumlah harta yang wajib dikeluarkan untuk diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya (mustahiq zakat)  sesuai dengan ukuran tertentu yang ditetapkan oleh syariah.

    ·         Pajak adalah iyuran yang dipungut oleh pemerintah dari masyarakat (wajib pajak) untuk menutupi pengeluaran rutin negara dan biaya pembangunan tanpa balas jasa yang dapat ditunjuk secara langsung. Dan hukumnya wajib.

    ·         Infaq adalah mengeluarkan sebagian dari harta atau pendapatan untuk satu kepentingan yang diperintahkan ajaran islam. Infaq dikeluarkan oleh setiap orang yang beriman, baik yang berpenghasilan tinggi maupun rendah, apakh ia dlam kondisi lapang maupun sempit, dan infaq bisa diberikan kesiapa saja, misalnya kedua orang tua, anak yatim dan lain sebagainya

    ·         Shodaqoh dapat dirtikan mengeluarkan harta di jalan Allah SWT, sebagai bukti kejujuran atau kebenaran iman seseorang.

    Zakat kalau disebut dalam Al-Qu’ran dan Hadist berarti zakat wajib yang dikenal kaum muslimin sebagai rukun Islam ketiga. Sedangkan infaq kadang dipakai untuk menyebut infaq wajib (zakat), kadang dipakai untuk menyebut infaq yang tidak wajib. Begitu juga shodaqoh (sedekah), kadang berarti zakat wajib, kadang untuk sesuatu yang wajib. (Wallahu A’lam)

    Persamaan dan Perbedaan Zakat, Pajak, Infaq Dan Shodaqoh

    a)      Persamaan dari ke-empatnya yaitu sama-sama mengeluarkan sebagian harta kita baik materi maupun non materi,untuk menjalankan aturan agama maupun negara yang sifatnya wajib/sunnah,yang nantinya kan mendatangkan kebaikan untuk kita sendiri maupun orang banyak.

    b)      Perbedaannya :

    KETERANGANZAKATPAJAKINFAQSHODAQOH
    Status hukumWajib menurut agamaWajib menurut negaraSunah bagi ummat islamSunah bagi ummat islam
    Pengeluaran berupaMateri dan non materiMaterimateriMateri/non materi
    Kadar pengeluaranDitentukan nisabnyaDitentukan oleh pemerintahSeikhlasnya/sukarelaSeihklasnya/sukarela
    Diberikan kpdaMustahikNegaraSiapapun siapapun
    Dilakukan untukMemetuhi perintah allahMematuhhu perintah negaraMenjalankan anjuran agamaMenjalankan anjuran agama

    Pertanyaan

    v  Cara ikhlas melaksanakan zakat, pajak, infaq dan shodaqoh ?

    Jawab : Cara agar kita ikhlas yaitu tergantung pada pribadi masing-masing. Akan tetapi, zakat dan pajak hukumnya wajib mau ikhlas atau tidak ikhlas itu harus dilakukan sedangkan infaq dan shodaqoh hukumnya sunnnah.

    v  Apa ada infaq yang buruk ? sebutkan contohnya juga!

    Jawab : Ada, contohnya : orang-orang yang menahan infaq; mereka akan mendapatkan kehancuran dari Allah.

    v  Apa sanksi bagi pelanggar pajak ?

    Jawab : 1. Sanksi Administrasi : dikenai denda, bunga, kenaikan (bisa jadi membayarnya menjadi berlipat ganda), 2. Sanksi Pidana : denda pidana, pidana kurungan, pidana penjara.

    v  Kenapa zakat bisa menggantikan pajak, begitu sebaliknya ?

    Jawab : Tidak bisa, karena pajak dengan zakat itu berbeda, zakat hanya untuk orang muslim, sedangkan pajak untuk semuanya yang berada di Negara tersebut.

    v  Seorang koruptor membayar zakat, apa hartanya juga suci ? kan zakat mensucikan harta!

    Jawab : Tidak, karena harta yang dihasilkan dengan cara yang tidak halal. Akan tetapi, kalau si koruptor tersebut benar-benar tobatan nasukha dan dia mengikhlaskan hartanya untuk zakat wallahualam bisa jadi Allah menerimanya.

    v  Sistem zakat bisa menggantikan pajak apa agama lain tidak iri ?

    Jawab : Pajak dan zakat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kegiatan pemenuh kewajiban baik dalam kehidupan bernegara maupun beragama. Agama lain pasti tidak iri karena zakat sendiri hanya untuk orang islam sedangkan pajak untuk semuanya yang ada dinegara tersebut. Orang islam juga tidak iri dengan agama lain, harus melakukan keduanya karena itu sudah menjadi kewajiban masyarakat muslim yang ada di Indonesia.

  • Makalah Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam Kedua Setelah Al-Qur’an

    Makalah Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam Kedua Setelah Al-Qur’an

    Sunnah sebagai sumber hukum Islam kedua adalah warisan dari Rasulullah SAW. Hukum ini dianggap berada pada laposan ke dua setelah hukum yang turun melalui Al-Qur’an.

    Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam Kedua

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Sunnah merupakan salah satu sumber Hukum Islam yang sangat penting dalam mengatur syariat islam baik dalam hal ibadah maupun muamalah. Hukum-hukum yang disampaikan melalui sunnah berada pada posisi kedua yang memiliki peran penting seperti menjadi petunjuk teknis dalam implementasi Al-Qur’an ataupun menjadi sumber hukum yang berdiri sendiri.

    Hanya saja terdapat masalah dalam menilik keabsahan Sunnah krena proses pencatatan As Sunnah baru dulakukan ratusan tahun setelah Rasulullah Muhammad SAW wafat. Hal ini bertambah rumit ketika dihadapakan dengan kenyataan bahwa ada banyak hadist yang dipalsukan di masa lalu untuk kepentingan kelompok tertentu. Dampaknya dibutuhkan kajian yang dalam untuk memastikan keabsahan dari hadist-hadist yang beredar dikalangan umat Muslim.

    Upaya dalam menjaga keabsahan/Sahih dari setiap hadis sudah mulai dilakukan oleh banyak ulama dari zaman islam klasik. Periode tersebut mulai dari tahun 650 M sampai 1250 M. Penelitian dan pengujian hadist dilakukan dengan sangat ketat dan berhati-hati. Mulai dari beberapa pengelompokan seperti Hadist yang benar-benar diucapakan dan dilakukan oleh Rasulullah hingga yang bentuknya hanya dalam bentuk persetujuan. Proses penilikan Hadist dilakukan dengan berbagai metode hingga akhirnya menjadi bidang kajian ilmu tersendiri yang disebut sebagai Ilmu Hadist.

    Berdasarkan masalah yang telah diuraikan di atas maka disusunlah makalah ini dengan judul Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam Kedua Setelah Al-Qur’an. Tujuan dari makalah ini adalah membahas pengertian As-Sunnah, Jenis-Jenis, Peran dan Kedudukannya sebagai sumber hukum Islam.

    B. Rumusan Masalah

    1. Apa pengertian dari sunnah?
    2. Apa saja macam-macam sunnah?
    3. Apa saja fungi dari sunnah?
    4. Bagaimana kedudukan sunnah sebagai sumber hukum islam?

    Bab II. Pembahasan

    A. Pengertian Sunnah

    Berdasarkan etimologinya, Sunnah dapat diartikan sebagai perbuatan yang sebelumnya belum pernah dilakukan kemudian diajarkan dan diikuti oleh orang lain. Sunnah dalam Etimologi menyangkut seluruh perbuatan baik dan buruk. Defenisi sunnah menurut terminologi jauh lebih khusus yakni :

    1. Menurut para ahli hadis sunnah sama dengan hadist, yaitu: suatu yang di nisbahkan oleh rosullullah saw, baik perkataan, perbuatan maupun sikap beliou tentang suatu peristiwa.
    2. Menurut ahli fiqh makna sunnah mengandung pengertian: suatu perbuatan yang jika dikerjakan mendapat pahala, tetapi jika ditinggalkan tidak mendapat dosa. Dalam pengertian ini sunnah merupakan salah satu dari ahkam al-takhlifi yang lima, yaitu wajib, sunah, haram, makruh, mubah.

    B. Pembagian sunnah

    1. Pembagian sunnah dalam segi bentuknya

    1. Sunnah qauliyah

    Yang dikmaksud dengan sunnah qauliyyah yaitu sesuatu yang di ucapkan oleh rosullullah saw melalui lisan beliau yang di dengar dan di pahami oleh para sahabat beliau, kemudian deberitakan dan riwayatkan kepada sahabat yang lain, dan periwayatan itu dilanjutkan dari satu generasi kepada generasi lainnya.

    Contoh sunnah qaulillah:

    Yang artinya: “dari annas ra. Dari nabi, beliau bersabda: belum beriman salah seorang dari kamu sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya”

    2. Sunnah fi’liyyah

    Sunnah fi’liyyah ialah, semua perbuatan dan tingkah laku rosullallah saw yang dilihat dan diperhatikan oleh para sahabat beliau, yang kemudian diberitakan dan diriwayatkan kepada para sahabat lainnya secara berkelanjutan dari satu generasi kepada generasi lainnya.

    Contohnya:

    “dari ubbad bin tamim, dari pamannya, ia berkata: saya  melihat rosullullah saw pada hari beliau keluar untuk melaksanakan shalat gerhana matahari, katanya: maka beliau membalikan tubuhnya membelakangi jamaah dan menghadap kiblat dan berdoa, kemudian beliau membalikan selendangnya, kemudian beliau shalat besama kami dua rakaat dengan menjaharkan bacaannya pada kedua rakaat itu”

    Sunnah fi’liyyah dibagi menjadi tiga bagian sebagai berikut:

    1. Gerak gerik, perbuatan, dan tingkah laku rosullullah saw yang berkaitan dengan hukum. Misalnya tatacara shalat, haji dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah ibadah dan muamalah pada umumnya.
    2. Perbuata yang khusus berlaku bagi rosullullah saw, seperti beristri lebih dari empat orang, wajib melaksanakan shalat tahajud, shalat dhuha dan berqurban.
    3. Perbuatan dan tingkahlaku rosullullah sebagai manusia biasa. Misalnya cara makan, cara berpakaian, berdiri, berjalan dan sebagainya.

    3. Sunnah taqririyyah

    Sunnah taqririyyah adalah, sikap persetujuan rosullullah saw mengenai suatu peristiwa yang terjadi atau dilakukan sahabat beliau, dimana terdapatpetunjuk yang menggambarkan bahwa beliau menyutujui perbuatan tersebut.

    Contoh sunnah taqririyyah: dari khalid bin walid ra. Katanya:

    “kepada nabi saw. dihidangkan makanan dhabb (sejenis biawak) yang dipanggang untuk dimakan beliau. Kemudian ada yang berkata pada beliau : “itu adalah dhabb”, maka beliau menahan tangannya, maka khalid berkata: “apakah haram memakannya?” beliau menjawab: ”tidak, tetapi binatang jenis itu tidak biasa ditemukan di daerah saya, maka saya tidak suka dan menghindarinya”. Maka khalid memakannya, sedang rasulullah saw memandanginya”.

    b. Pembagian sunnah dari segi kualitasnya

    Ditinjau dari segi jumlah perawi yang meriwayatkan suatu sunnah, para ulama membagi kalitas suatu sunnah pada tiga tingkatan yaitu:

    1. Mutawatir: yaitu sunnah yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi secara berkesinambungan dari satu generasi ke generasi lainnya, banyaknya jumlah perawi pada masingmasing generasi tidak memungkinkan mereka bersepakat untuk berbohong.
    2. Masyhur: yaitu sunnah yang diriwayatkan pada generasi-generasi secara berkesinambungan dimana pada generasi awal jumlah perawinya hanya beberapa orang, tetapi pada generasi berikutnya jumlah perawi menjadi banyak hingga mencapai tingkat mutawatir.
    3. Ahad: yaitu sunnah yang diriwayatkan secara berkesinambungan dari generasi awal sampai generasi akhir, tetapi sejak generasi awal, jumlah perawinya hanya beberapa orang saja sehingga tidak mencapai tingkat masyhur apalagi mutawatir

    Ditinjau dari keterpercayaan pada perawinya, kualitas suatu sunnah dapat dibedakan menjadi empat tingkatan yaitu:

    1. Shahih yaitu, sunnah yang diriwayatkan secara kesinambungan dari satu perawi kepada perawi lainnya, dimana setiap perawi memiliki sifat adil (al-adil) dan kuat ingatannya (ad-dhabith).
    2. Hasan yaitu suatu sunnah yang diriwayatkan oleh perawi yang adildan kuat ingatan, tetapi tingkat kekuatan ingatan rawi lebih rendah dari pada tingkat kekuatan  ingatannya perawi sunnah shahih.
    3. Dhaif yaitu, sunnah yang diriwayatkan oleh perawi yang tidak memenuhi keriteria perawi sunnah yang shahih dan hasan. Sunnah dhaifadalah sunnah yang tidak memenuhi salah satu syarat untuk dapat diterima. Dengan demikian sebuah sunnah dinilai dhaif karena disebabkan tidak terpenuhinya syarat ittishal (sanadnya tidak bersambung), atau perawinya tidak dhabit, atau karena tidak memenuhi syarat mu’allil (cacat).
    4. Maudhu’ yaitu, khabar yang direkayasa dan dipalsukan oleh pemalsu sunnah, sehingga seolah-olah berasal dari rasulullah saw, baik dengan iktikad baik maupun karena sengaja hendak merusak ajaran islam dari dalam. Mengingat bahaya yang ditimbulkan sebagian ulama tidak mengelompokkan kedalam tingkatan sunnah atau hadits atau khabar.

    C. Fungsi Sunnah

    Fungsi sunnah yang utama adalah untuk menjelaskan Al-Qur’an. Dengan demikian, bila Al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka sunnah disebut sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani dalam hubungannya dengan Al-qur’an, ia menjalankan fungsi sebagai berikut:

    1. Menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang disebut dalam Al-Qur’an atau disebut fungsi ta’kid dan takrir. Dalam bentuk ini sunnah hanya sebagai mengulangi apa-apa yang tersebuut dalam Al-Qur’an.
    2. Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an dalam hal:
      1. Menjelaskan arti yang masih samar dalam Al-Qur’an
      2. Merinci apa-apa yang dalamAl-Qur’an disebutkan secara garis besar.
      3. Membatasi apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara umum.
      4. Memperluasmaksud dari suatu yang tersebut dalam A-Qur’an
    3. Menetapkan suatu hukum dalam sunnah yang secara jelastidak terdapat dalam Al-Qur’an. Dengan demkian kelihatan bahwa sunnah menetapkan sendiri hukum yang tidak ditetapkan dalam al-qur’an.

    D. Kedudukan Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam

    Sunnah berfungsi sebagai penjelas terhadap­ hukum-hukum yang terdapat dalam al-qur’an, sebagaimana disebutkan sebelumnya. Dalam kedudukannya sebagai penjelas, sunnah kadang-kadang memperluas hukum dalam al-qur’anatau menetapkan sendiri hukum diluar apa yang ditentukan Allah dalam al-qur’an.

    Kedudukan sunnah sebagai bayani atau menjalankan fungsi yang menjelaskan hukum al-qur’an, tidak diragukan lagi dan dapat diterima semua pihak, karena memang untuk itulah nabi ditugaskan Allah SWT. Namun dalam kedudukan sunnah sebagai dalil yang berdiri sendiri dan sebagai sumber hukum kedua setelah al-qur’an, menjadi bahan perbincangan dikalangan ulama.

    Bab III. Penutup

    A. Kesimpulan

    Berdasarkan hasil pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan :

    1. Sunnah merupakan seluruh hal yang dinisbatkan oleh Rasulullah Muhammad SAW yang terkait dengan hukum baik dalam bentuk perkataan, perbuatan dan persetujuan akan suatu peristiwa.
    2. Pembagian jenis sunnah dibagi berdasarkan tiga hal yakni bentuk sunnah, kualitas dan tingkatan sunnah.
      • Berdasarkan bentuk terdiri dari qauliyyah, sunnah fi’liyyah, dan sunnah takririyah
      • Berdasarkan kualitasnya terdiri dari mutawatir, masyhur dan Ahad.
      • Berdasarkan tingkatannya terdiri dari shahih, hasan, dhaif, dan maudhu’.
    3. Fungsi sunnah merupakan sumber hukum sendiri dan penjelas dari hukum yang berasal dari Al-Qur’an.
    4. Sunnah memiliki kedudukan sebagai hukum kedua setelah Al-Qur’an.

    B. Kritik dan Saran

    Demikianlah makalah yang dapat kami buat, kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan, semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan bagi pemakalah pada khususnya.

    DAFTAR PUSTAKA

    Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Kencana, Jakarta : 2008

    Dahlan, Abd Rahman, Ushul Fiqh, Amzah, Jakarta : 2014

    Suparta,Munzier, Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta :       1993

  • Makalah Pancasila dan Pembangunan Karakter Bangsa

    Pancasila dan Pembangunan Karakter Bangsa

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Pancasila dianggap sebagai sesuatu yang sacral yang setiap arga negaranya harus mematuhi segala isi dalam Pancasila tersebut. Namun sebagian besar warga Negara Indonesia hanya menganggap Pancasila sebagai dasar Negara dan ideologi Negara semata tanpa memperdulikan makna dan manfaatnya dalam kehidupan.

    Dapat dilihat sekarang ini banyaknya perilaku yang menyimpang dari nilai-nilai yang diajarkan Pancasila. Maka dari itu pentingnya memahami Pancasila tidak hanya mengerti namun juga mengamalkan dan melaksanakan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dalam kehidupan sehari-hari yang menjadi kebiasaan dan akan menjadi karakter bangsa yang terpupuk secara perlahan.

    Harus kita sadari bahwa pembangunan karakter bangsa bukan merupakan tindakan sederhana dan mudah dilaksanakan. Keterbukaan informasi tidak hanya membawa nilai positif bagi kehidupan bangsa, tetapi juga negative. Simak saja perilaku seksual yang dilakukan oleh sejumlah anak di bawah umur, dikatakan karena dipengaruhi oleh meniru perilaku seksual artis tertentu yang beredar luas dan mudah diakses telepon seluler. Perilaku penyimpangan tidak akan terjadi apabila seseorang memiliki kepribadian dan karakter kuat yang mampu menjadi penyaring (filter) terhadap stimulant nilai-nilai negative yang tidak atau kurang sesui dengan nilai luhur yang didukung oleh masyarakat Indonesia.

    Dari permasalahan tersebut banyak pihak yang mulai sadar tentang pentingnya penddikan karakter, agar mendidik anak bangsa menjadi pribadi yang berkarakter baik. Dari pemerintah pun mulai menata kembali kehidupan bangsa ini dengan dikeluarkannya kurikulum 2013. Kuriulum 2013 ini menitikberatkan kepada pengembangan karakter peserta didik. Diharapkan dengan pembelajaran karakter yang bertahap mulai dari bangku sekolah menjadikan peserta didik mempunyai karakter yang baik, karakter yang dapat membangun negeri ini menjadi lebih baik, dan tidak dapat secara mudah terpengaruh oleh kebudayaan asing yang bukan merupakan jati diri bangsa Indonesia.

    B. Rumusan Masalah

    1. Apa pengertian karakter?
    2. Bagaimana hubungan antar Pancasila dan Karakter Bangsa?
    3. Bagimana terhapusnya mata kuliah Pendidikan Pancasila?
    4. Bagaimana kondisi jatidiri bangsa Indonesia?
    5. Mengapa empat pilar dicabut oleh Mahkamah Konstitusi?
    6. Bagaimana desain pendidikan karakter di sekolah?

    C. Tujuan

    1. Untuk mengetahui pengertian karakter
    2. Untuk mengetahui hubungan Pancasila dan Karakter Bangsa
    3. Untuk mengetahui terhapusnya mata kuliah Pendidikan Pancasila
    4. Untuk mengetahui kondisi jatidiri bangsa Indonesia
    5. Untuk mengetahui empat pilar yang dicabut oleh Mahkamah Konstitusi
    6. Untuk mengetahui desain pendidikan karakter di sekolah.

    Bab II. Pembahasan

    A. Pengertian Karakter

    Menurut bahasa, karakter adalah tabiat atau kebiasaan. Sedangkan menurut ahli psikologi, karakter adalah sebuah sistem keyakinan dan kebiasaan yang mengarahkan tindakan seorang individu. Karena itu, jika pengetahuan mengenaikarakter seseorang itu dapat diketahui, maka dapat diketahui pula bagaimana individu tersebut akan bersikap untuk kondisi-kondisi tertentu. Dilihat dari sudut pengertian, ternyata karakter dan akhlak tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Keduanya didefinisikan sebagai suatu tindakan yang terjadi tanpa ada lagi pemikiran lagi karena sudah tertanam dalam pikiran, dan dengan kata lain, keduanya dapat disebut dengan kebiasaan.

    Karakter menurut para ahli yaitu :

    1. W.B. Saunders, (1977: 126) karakter adalah sifat nyata dan berbeda yang ditunjukkan oleh individu, sejumlah atribut yang dapat diamati pada individu.
    2. Gulo W, (1982: 29) karakter adalah kepribadian ditinjau  dari titik  tolak etis  atau  moral,  misalnya kejujuran seseorang, biasanya mempunyai kaitan dengan sifat-sifat yang relatif tetap.
    3. Kamisa, (1997: 281) “karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain, tabiat, watak. Berkarakter artinya mempunyai watak, mempunyai kepribadian”.
    4. Alwisol menjelaskan “pengertian karakter sebagai penggambaran tingkah laku dengan menonjolkan nilai (benar-salah, baik-buruk) baik secara eksplisit maupun implisit. Karakter berbeda dengan kepribadian kerena pengertian kepribadian dibebaskan dari nilai. Meskipun demikian, baik kepribadian (personality) maupun karakter berwujud tingkah laku yang ditujukan kelingkungan sosial, keduanya relatif permanen serta menuntun, mengerahkan dan mengorganisasikan aktifitas individu”.
    5. Wyne memaparkan definisi karakter dari sisi literalnya. Beliau menjelaskan bahwa istilah karakter bersumber dari bahasa Yunani “karasso” yang berarti “to mark” yaitu menandai atau mengukir, yang memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. Oleh sebab itu seseorang yang berperilaku tidak jujur, kejam atau rakus dikatakan sebagai orang yang berkarakter jelek, sementara orang yang berperilaku jujur, suka menolong dikatakan sebagai orang yang berkarakter mulia. Jadi istilah karakter erat kaitannya dengan personality (kepribadian) seseorang.

    B. Hubungan Pancasila Dengan Karakter Bangsa

    Jatidiri merupakan fitrah manusia yang merupakan potensi dan bertumbuh kembang selama mata hati manusia bersih, sehat, dan tidak tertutup. Jati diri yang dipengaruhi lingkungan akan tumbuh menjadi karakter dan selanjutnya karakter akan melandasi pemikiran, sikap dan perilaku manusia. Oleh karena itu, tugas kita adalah menyiapkan lingkungan yang dapat mempengaruhi jati diri menjadi karakter yang baik, sehingga perilaku yang dihasilkan juga baik.

    Jatidiri bangsa akan nampak dalam karakter bangsa yang merupakan perwujudan dari nilai-nilai luhur bangsa. Bagi bangsa Indonesia nilai-nilai luhur bangsa terdapat dalam dasar negara Negara Kesatuan Republik Indonesia yakni Pancasila, yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Membangun jatidiri bangsa Indonesia berarti membangun jatidiri setiap manusia Indonesia, yang tiada lain adalah membangun Manusia Pancasila.

    Karakter pribadi-pribadi akan berakumulasi menjadi karakter masyarakat dan pada akhirnya menjadi karakter bangsa. Untuk kemajuan Negara Republik Indonesia, diperlukan karakter yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, patriotik, dinamis, berbudaya, dan berorientasi Ipteks berdasarkan Pancasila dan dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karakter yang berlandaskan falsafah Pancasila artinya setiap aspek karakter harus dijiwai ke lima sila Pancasila secara utuh dan komprehensif yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

    • Bangsa yang Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, adalah bentuk kesadaran dan perilaku iman dan takwa serta akhlak mulia sebagai karakteristik pribadi bangsa Indonesia. Karakter Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa seseorang tercermin antara lain hormat dan bekerja sama antara pemeluk agama dan penganut kepercayaan, saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu; tidak memaksakan agama dan kepercayaannya kepada orang lain.
    • Bangsa yang Menjunjung Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, yaitu sikap dan perilaku menjunjung tinggi kemanusian yang adil dan beradab diwujudkan dalam perilaku hormat menghormati antarwarga negara sebagai karakteristik pribadi bangsa Indonesia. Karakter kemanusiaan seseorang tercermin antara lain dalam pengakuan atas persamaan derajat, hak, dan kewajiban; saling mencintai; tenggang rasa; tidak semena-mena terhadap orang lain; gemar melakukan kegiatan kemanusiaan; menjunjung tinggi nilai kemanusiaan; berani membela kebenaran dan keadilan; merasakan dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia serta mengembangkan sikap hormat-menghormati.
    • Bangsa yang Mengedepankan Persatuan dan Kesatuan Bangsa, adalah bangsa yang memiliki komitmen dan sikap yang selalu mengutamakan persatuan dan kesatuan Indonesia di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan merupakan karakteristik pribadi bangsa Indonesia. Karakter kebangsaan seseorang tecermin dalam sikap menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan, dan keselamatan bangsa di atas kepentingan pribadi atau golongan; rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara; bangga sebagai bangsa Indonesia yang bertanah air Indonesia serta menunjung tinggi bahasa Indonesia; memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
    • Bangsa yang Demokratis dan Menjunjung Tinggi Hukum dan Hak Asasi Manusia, yaitu sikap dan perilaku demokratis yang dilandasi nilai dan semangat kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan merupakan karakteristik pribadi warga negara Indonesia. Karakter kerakyatan seseorang tecermin dalam perilaku yang mengutamakan kepentingan masyarakat dan negara; tidak memaksakan kehendak kepada orang lain; mengutamakan musyawarah untuk mufakat dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama; beritikad baik dan bertanggung jawab dalam melaksanakan keputusan bersama; menggunakan akal sehat dan nurani luhur dalam melakukan musyawarah; berani mengambil keputusan yang secara moral dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
    • Bangsa yang Mengedepankan Keadilan dan Kesejahteraan, yaitu bangsa yang memiliki komitmen dan sikap untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan merupakan karakteristik pribadi bangsa Indonesia. Karakter berkeadilan sosial seseorang tecermin antara lain dalam perbuatan yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan; sikap adil; menjaga keharmonisan antara hak dan kewajiban; hormat terhadap hak-hak orang lain; suka menolong orang lain; menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain; tidak boros; tidak bergaya hidup mewah; suka bekerja keras; menghargai karya orang lain.

    Jadi, antara karakter bangsa dengan pancasila tidak dapat terpisahkan. Karena sebagai warga negara Indonesia yang berpedoman kepada pancasila dan setiap kegiatan harus memuat nilai-nilai yang ada dalam pancasila dari itulah diharuskan pula tumbuh nilai-nilai pancasila dalam pribadi setiap masyarakat dan dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Pancasila adalah harga mati bagi setiap warga negara Indonesia, yang harus dipatuhi dan tidak boleh bertentangan dengan pancasila.

    C. Terhapusnya Mata Kuliah Pendidikan Pancasila

    Pendidikan tinggi sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional memiliki peran strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora serta pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Indonesia yang berkelanjutan. Untuk meningkatkan daya saing bangsa dalam menghadapi globalisasi di segala bidang, diperlukan pendidikan tinggi yang mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta menghasilkan intelektual, ilmuwan, dan/atau profesional yang berbudaya dan kreatif, toleran, demokratis, berkarakter tangguh, serta berani membela kebenaran untuk kepentingan bangsa.

    Wacana penghapusan pendidikan Pancasila memang bersifat responsif sehingga perlu dihargai. Responsif, antara lain, karena masalah toleransi beragama, kekerasan, dan terorisme kini mengemuka. Juga responsif karena pendidikan Pancasila menggugat ingatan kita pada Orde Baru, sebuah orde yang menggunakan Pancasila sebagai penguatan dan pelanggengan hegemoni para penguasa waktu itu. Penataran P4 sebagai kepanjangan tangan pendidikan Pancasila, dengan alasan sama, juga menghidupkan kembali trauma masa lalu. Dalam jangka panjang (beberapa generasi mendatang), penghapusan tersebut dapat menyebabkan Indonesia menjadi sebuah negara tanpa orientasi kebangsaan. Hal itu disebabkan para anggota masyarakatnya tidak lagi memahami jati dirinya sebagai sebuah bangsa yang setiap anggotanya memanggul tanggung jawab untuk membangun komunitas peradaban dalam skala kebangsaan. Mengacu tengara John Gardner sebagaimana dikemukakan, keroposnya pijakan moral kebangsaan dalam setiap individu warganya akan menyebabkan Indonesia menjadi bangsa yang gagal atau bahkan secara fisik akan mengalami disintegrasi.

    Kementerian Pendidikan Nasional tidak akan memasukkan Pendidikan Pancasila menjadi kurikulum baru. Menurut Kepala Pusat Kurikulum dan Buku Kementerian Pendidikan Nasional, Diah Harianti, Pendidikan Pancasila sudah ada dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Kata dia, dalam Pendidikan Kewarganegaraan itu disisipkan persoalan tentang kesatuan dan persatuan bangsa, norma hukum, hak asasi manusia, dan Pancasila. Ia juga menambahkan, jika pendidikan pancasila dijadikan kurikulum baru justru malah menyulitkan siswa. (KBR68H, Jakarta. Tuesday, 10 May 2011 08:02)

    Penghapusan pendidikan Pancasila bermula sejak Sidang Umum MPR tahun 1999 pencabutan Tap 4/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila(P4). Kemudian, keputusan ini lebih diformalkan dalam UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

    Didalam UU No. 20 Tahun 2003 pasal 37 ayat 2 menyebutkan bahwa Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat:

    1. pendidikan agama;
    2. pendidikan kewarganegaraan; dan
    3. bahasa.

    Yang berarti bahwa Pendidikan Pancasiala di Perguruan Tinggi sudah tidak ada, melainkan digabung dengan Pendidikan Kewarganegaraan. Pendidikan Kewarganegaraan yang dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Selain itu, dalam surat Edaran Dikti No 43 Tahun 2006 dan Edaran Dikti No. 44 Tahun 2006 disebutkan bahwa mata kuliah Pancasila dimasukan pada mata kuliah Kewarganegaraan sebanyak 3 SKS.

    Namun, dengan adanya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012, Pendidikan Pancasila muncul lagi dalam mata kuliah di perguruan tinggi. Sesuai dengan pasal 35 UU No. 12 Tahun 2012 yang berbunyi :

    1. Kurikulum pendidikan tinggi merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan ajar serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan Pendidikan Tinggi.
    2. Kurikulum Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembangkan oleh setiap Perguruan Tinggi dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Tinggi untuk setiap Program Studi yang mencakup pengembangan kecerdasan intelektual, akhlak mulia, dan keterampilan.
    3. Kurikulum Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memuat mata kuliah:
      1. agama; 
      2. Pancasila; 
      3. kewarganegaraan; dan 
      4. bahasa Indonesia.
    4. Kurikulum Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui kegiatan kurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler.
    5. Mata kuliah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan untuk program sarjana dan program diploma.

    Pendidikan Pancasila di perguruan tinggi itu sangatlah penting meskipun sejak masih dibangku sekolah dasar hingga SMA selalu ada mata pelajaran Pendidikan  Pancasila dan Kewarganegaraan. Pancasila adalah sebagai sumber nilai dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi bangsa Indonesia. Sesuai dengan penjelasan pasal 35 ayat 3 huruf c UU No. 12 Tahun  2012, bahwa mata kuliah Pancasila adalah Pendidikan untuk memberikan pemahaman dan penghayatan kepada Mahasiswa mengenai ideologi bangsa Indonesia. Sedangkan Yang dimaksud dengan “mata kuliah kewarganegaraan” adalah pendidikan yang mencakup Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika untuk membentuk Mahasiswa menjadi warga negara yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Sebab itu seluruh tatanan kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara menggunakan Pancasila sebagai dasar moral atau norma dan tolak ukur tentang baik buruk dan benar salahnya sikap, perubahan dan tingkah laku sebagai bangsa Indonesia.

    D. Jati diri Bangsa Indonesia

    Dulu bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang santun dan bermoral, namun saat ini bangsa Indonesia menjadi bangsa yang kehilangan jati diri karena pengaruh globalisasi dan modernisasi. Walaupun demikian, hendaknya warga Indonesia tetap melestarikan kebudayaan ketimuran yang beretika sopan santun (Sukarto, Mantan anggota DPRD Provinsi Jawa Tengah  tahun 1999).

    kondisi jati diri bangsa Indonesia saat ini dapat kita kaji dan kita identifikasi dengan melihat prilaku dan kepribadian masyarakat Indonesia pada umumnya yang tercermin pada tingkah laku masyarakat Indonesia sehari-hari. Perilaku masyarakat Indonesia pada umumnya saat ini yaitu:

    Banyaknya generasi muda yang saat ini telah berprilaku tidak sesuai dengan butir-butir pancasila. Contohnya tanpa disadari sekarang ini moral para pemuda bangsa indonesia juga dijajah melalui beredarnya vidio-vidio porno diinternet yang dapat diakses dengan mudah sehingga banyak diantara pemuda Indonesia yang melihat dan bahkan menirukan aksi dari video porno tersebut. Selain itu, model-model pakaian para generasi muda saat ini kebanyakan telah meniru bangsa barat yang dikenal modis dan trend masa kini. Mereka lebih bangga mengenakan pakaian-pakaian tersebut dari pada pakaian asli budaya Indonesia.

    Keadaan jati diri bangsa Indonesia saat ini yang berhubungan dengan sila kedua sebagai  jati diri bangsa indonesia. Sekarang ini banyak diantara pemuda indonesia yang tidak memanusiakan manusia lain sebagai mana mestinya. Maksutnya yaitu mereka tidak menganggap manusia berhakekat sebagai manusia yang mempunyai hak dan kewajiban yang harus dihargai seperti dirinya. Segai contoh yaitu sekarang ini banyak kasus-kasus perkelahian antar pelajar yang disertai dengan penyiksaan salah satu pihak yang kalah.

    Fakta-fakta lain yang terjadi dan mencerminkan terjadinya krisis jati diri pada generasi muda sesuai sila ke-3 yaitu seperti memudarnya rasa persatuan dan kesatuan yang terjadi pada generasi penerus bangsa Indonesia saat ini. Hal tersebut dapat kita lihat dari kasus-kasus bentrok antar pelajar atau mahasiswa, bentrok antar seporter sepakbola, bentrok antar genk, dan lain sebagainya. Dari kasus diatas dapat kita ketahui bahwa rasa persatuan kita sebagai warga negara indonesia sudah mulai luntur dan mudah dipengaruhi atau diprovokasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Keadaan seperti inilah yang menjadi bibit-bibit terjadinya konflik yang lebih besar seperti konflik antar agama, ras, maupun suku. Selain itu fenomena-fenomena yang terjadi yang mencerminkan tidak tertanamkannya rasa persatuan indonesia yaitu terjadinya perpecahan disetiap kelompok sosial.

    Selanjutnya yaitu mengenai kepemimpinan yang demokratis. Maksudnya pemimpin di negara kita ini harus bersifat demokratis baik dalam hal pemilihannya maupun ketika telah membuat keputusan/kebijakan umum yang terkait dengan masyarakat karena kekuasaan tertinggi di negara kita ini sebenarnya berada di tangan rakyat, dan para pemimpin hanya sebagai wakil/pelayan bagi rakyat untuk mengatur dan mengambil kebijakan dalam negara demi tercapainya kemakmuran bersama. Sekarang ini fenomena-fenomena pemimpin yang tidak demokratis sudah banyak terjadi pada generasi muda saat ini, dan apabila hal itu dibiarka saja berlanjut maka kelak ketika mereka menjadi pemimpin bangsa ini, mereka akan bertindak seperti apa yang mereka biasakan sejak dini. Contoh nyata yaitu ketua dalam kelas PKn misalnya. Dia dalam mengambil kebijakan untuk urusan kelas seperti hendak mengadakan acara pentas seni dan lain sebagainya, dia hanya mendiskusikan/memilih pengurus dalam acara tersebut secara sepihak.

    Selanjutnya mengenai keadilan, banyak fakta-fakta mengenai ketidakadilan yang di lakukan oleh generasi muda bangsa Inonesia saat ini. Tidak perlu jauh-jauh, saat ini dapat kita lihat pada kelompok belajar kita saja sebagai faktanya. Dalam kelompok belajar PPKN misalnya, tugas PPKN membuat makalah secara kelompok ketidak adilan selalu kita rasakan. Hal tersebut karena sebenarnya yang mengerjakan tugas kelompok dari 8 anggota kelompok, hanya 3 orang saja dan yang lainnya tinggal nitip nama. Padahal ia menginginkan mendapatkan nilai yang sama. Sungguh ini adalah contoh kecil yang berada pada kehidupan para pelajar sehari-hari.

    Dari uraian kasus dan fakta diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa JatiDiri Bangsa Indonesia saat ini sedang mengalami krisis. Hal itu dapat dilihat dari Ideologi Pancasila sebagai salah satu ciri khas bangsa Indonesia yang merupakan landasan dalam bertindak dan berperilaku sebagai masyarakat Indonesia, sudah tidak dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat Indonesia sebagai kepribadiannya.

    E. Munculnya Pendidikan Karakter

    Dengan kondisi sosial budaya dan kekayaan alam yang melimpah, rakyat Indonesia dapat merasakan kehidupan yang makmur dan sejahtera dari waktu ke waktu. Kenyataan yang dialami oleh bangsa ini menunjukkan kondisi yang berbeda dengan logika kekayaan sosial, budaya, dan alam. Kondisi yang dialami menunjukkan bahwa kekayaan alam tereksploitasi besar-besaran, pembangunan industri terjadi terus-menerus, dan pergantian pemerintah terus berlangsung dari waktu ke waktu secara damai, tetapi kebanyakan rakyat Indonesia belum mendapatkan dan mengalami kehidupan yang makmur dan sejahtera.

    Berbagai pengalaman ini menunjukkan bahwa bangsa ini merupakan bangsa yang unik. Unik merujuk pada kondisi yang dialami bangsa sampai saat ini. Banyak orang dan pihak yang bertanya “Apa yang salah dengan bangsa ini?”

    Sejenak kita melihat beberapa indikasi tentang “Apa yang salah dengan bangsa ini?”

    1. Kondisi moral/akhlak generasi muda yang hancur. Hal ini ditandai dengan maraknya seks bebas di kalangan remaja, peredaran narkoba di kalangan remaja, tawuran pelajar, peredaran foto dan video porno pada kalangan pelajar, dan sebagainya.
    2. Pengangguran terdidik yang mengkhawatirkan (Lulusan SMA, SMK, dan perguruan tinggi)
    3. Rusaknya moral bangsa dan menjadi akut (korupsi, asusila, kejahatan, tindakan kriminalitas pada semua sektor pembangunan, dll)

    Selanjutnya kagan (2003) mengutip sejumlah angka statistic terkait kenakalan remaja sebagai berikut:

    1. 180.000 siswa membolos setiap hari karena takut pada kekerasan dan pemalakan
    2. 83% siswa perempuan dan 60% siswa lelaki telah mengalami pelecehan seksual di sekolah beripa disentuh, dicubit, dan digerayangi
    3. 54% siswa sekolah menengah pertama dan 70% siswa sokolah menengah atas mengaku telah berbuat curang pada saat ujian tahun sebelumnya
    4. 47% siswa sekolah menengah atas mengaku mereka mencuri di tko swalayan selama 12 bulan terakhir

    Fenomena nyata yang dialami dan terjadi pada bangsa ini sebagaimana tergambar dalam paparan diatas menunjukkan bahwa “sungguh unik bangsa ini.” Pandangan tentang keunikan ini harus mengarahkan pandangan dan pikiran untuk menelaah lebih jauh mengenai apa penyebabnya bagaimana memecahkannya, dan bagaimana bangsa ini dibangun untuk masa depan yang lebih baik, serta sukses di dunia dan bahagia di akherat.

    Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karater pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkat peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.

    Salah satu bapak pendiri bangsa, presiden pertama Republik Indonesia, Bung Karno, bahkan menegaskan: “Bangsa ini harus dibangun dengan mendahulukan pembangunan karakter (character building) karena character building inilah yang akan membuat Indonesia menjadi bangsa yang besar, maju, serta bermatabat. Kalau character building ini tidak dilakukan, maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa kuli.

    Sejalan dengan kerinduan terhadap pancasila, dunia pendidikan hari ini pun sedang merindukan dan mengelu-elukan pendidikan karakter. Pemerintah melalui kementerian pendidikan nasional, sedang mencanangkan program pendidikan karakter secara besar-besaran. Pendidikan karakter dianggap sebagai solusi terbaik terhadap berbagai bencana moral yang melilit bangsa ini, yakni; hilangnya nilai-nilai Ketuhanan YME, lemahnya nilai-nilai peri-kemanusiaan yang adil dan beradab, lunturnya persatuan dan lemahnya prinsip musyawarah untuk mufakat, serta semakin terpinggirkannya nilai-nilai keadilan.

    Dalam kebijakan nasional ditegaskan, antara lain bahwa pembangunan karakter bangsa merupakan kebutuhan asasi dalam proses berbangsa dan bernegara. Sejak awal kemerdekaan, bangsa Indonesia sudah bertekad untuk menjadikan pembangunan karakter bangsa sebagai bahan penting dan tidak dipisahkan dari pembangunan nasional.

    Secara ekplisit pendidikan karakter (watak) adalah amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang pada pasal 3 menegaskan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

    Dalam arah dan kebijakan dan prioritas pendidikan karakter ditegaskan bahwa pendidikan karakter sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari upaya pencapaian visi pembangunan nasional yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Tahun 2005-2025. Bahwa pendidikan karakter sejalan dengan prioritas pendidikan nasional, dapat dicermati dari Standar Kompetensi Lulusan (SKL) pada setiap jenjang pendidikan. Sebagaimana diketahui untuk memantau pelaksanaan pendidikan dan mengukur ketercapaian kompentensi yang ingin diraih pada setiap jenjang pendidikan telah diterbitkan peemendiknas nomor 23 tahun 2006 tentang SKL. Jika  dicermati secara mendalam, sesungguhnya hampir pada setiap rumusan SKL tersebut secara implisit maupun eksplisit baik pada SKL SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA dan SMK, memuat subtansi nilai/karakter.

    Potensi peserta didik yang akan dikembangkan seperti beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab pada hakikatnya dekat dengan makna karakter. Senada dengan sembilan pilar pendidikan karakter yang telah dilansir oleh Kementrian Pendidikan Nasional antara lain. (1). Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya, (2). Kemandirian dan Tanggung jawab, (3). Kejujuran dan Diplomatis, (4). Hormat dan Santun, (5). Dermawan, Suka tolong menolong, dan Gotong royong, (6). Percaya diri dan Kerja keras, (7). Kepemimpinan dan Keadilan, (8). Baik dan Rendah hati, dan (9). Toleransi, Perdamaian, dan Kesatuan.

    Tidak dapat disangkal bahwa, sekolah memiliki dampak dan pengaruh terhadap karakter siswa, baik disengaja maupun tidak. Kenyataan ini menjadi entry point untuk menyatakan bahwa sekolah mempunyai tugas dan tanggugjawab untuk melakukan pendidikan moral dan pembentukan karakter. Tidak perlu disangsikan lagi, bahwa pendidikan karakter merupakan upaya yang harus melibatkan semua pihak baik rumah tangga, sekolah dan lingkungan sekolah, masyarakat luas. Oleh karena itu, pendidikan  harus terus didorong untuk mengembangkan karakter bangsa Indonesia menjadi bangsa yang kuat sehingga pada gilirannya bangsa Indonesia akan mampu membangun peradaban yang lebih maju dan modern.

    F. Empat Pilar Dicabut Oleh Mahkamah Konstitusi

    Sejak runtuhnya kekuasaan rezim otoritarian Orde Baru oleh gerakan reformasi yang memuncak di pertengahan Mei 1998 lalu, Pancasila memang nyaris dilupakan dan secara sadar mulai dikubur dalam-dalam dari ingatan. Seiring dengan perkembangan kehidupan global dan tuntutan sebagai akibat dari adanya kemajuan dalam segala bidang, kemerdekaan bangsa harus kita terjemahkan dalam format pembentukan kedaulatan ekonomi, demokratisasi, serta pembebasan seluruh rakyat Indonesia dari segala bentuk belenggu kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan (MPR dalam Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, 2013:xix).

    Dalam artikel opininya di harian KOMPAS (1/6) , guru besar UI Prof. Sri-Edi Swasono, kembali mengulas gugatannya, ia menegaskan sebaiknya MPR RI yang bekerja berdasarkan amanat UU No. 27 Tahun 2009 tersebut harus lebih bijaksana dan berani mengoreksi kesalahan sekecil apapun termasuk pada gagasan sosialisasi 4 pilar yang justru kembali mengkebiri peranan Pancasila, menurutnya Pancasila tak boleh diganggu gugat sebagai dasar negara.

    Empat pilar yang terkandung di dalam Pasal 34 ayat (3) huruf b UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (UU Parpol) yang menempatkan Pancasila sebagai salah satu pilar kebangsaan. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi frasa “empat pilar kebangsaan dan bernegara” dalam pasal itu dihapus, sehingga Pancasila, NKRI, Bhineka Tunggal Ika, dan UUD 1945 bukan lagi dianggap sebagai pilar kebangsaan. “Frasa ‘empat pilar kebangsaan dan bernegara’ dalam Pasal 34 ayat (3b) UU Parpol bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujar Ketua Majelis MK, Hamdan Zoelva saat membacakan putusan bernomor 100/PUU-XI/2013 di ruang pleno MK, Kamis (3/4).

    Pengujian Pasal 34 ayat (3b) UU Parpol ini diajukan sejumlah warga negara yang tergabung dalam Masyarakat Pengawal Pancasila Jogya, Solo, dan Semarang (MPP Joglosemar). Mereka keberatan masuknya Pancasila sebagai salah satu pilar kebangsaan. Pasal yang diuji, parpol wajib mensosialisasikan Empat Pilar Kebangsaan yaitu Pancasila, NKRI, Bhineka Tunggal Ika, dan UUD 1945.

    Pasal itu dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum karena menempatkan Pancasila sebagai salah satu pilar kebangsaan yang sejajar dengan ketiga pilar lainnya. Penempatan Pancasila sebagai pilar merupakan kesalahan fatal karena Pancasila telah disepakati para pendiri bangsa sebagai dasar negara (philosophie groundslaag) dalam Pembukaan UUD 1945. Sedangkan kata ”dasar” dan ”pilar” memiliki makna yang berbeda yang menimbulkan kebingungan dosen di perguruan tinggi saat menjelaskan kepada mahasiswanya. Karena itu, ”proyek” sosialisasi oleh MPR mengenai empat pilar yang salah satunya Pancasila harus dihentikan karena menyesatkan bangsa ini. Dalam Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, 2012:5, disebutkan bahwa penyebutan Empat Pilar kehidupan berbangsa dan bernegara tidaklah dimaksudkan bahwa keempat pilar tersebut memiliki kedudukan yang sederajat. Setiap pilar memiliki tingkat, fungsi dan konteks yang berbeda. Pada prinsipnya Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara kedudukannya berada di atas tiga pilar yang lain.

    Namun, pasal itu tetap diminta dinyatakan inkonstitusional atau sekurang-kurangnya kata “Pancasila” dalam pasal itu dicabut dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat. Pendidikan politik berbangsa dan bernegara bukan hanya terbatas pada keempat pilar itu, melainkan masih banyak aspek lain yang penting antara lain negara hukum, kedaulatan rakyat, wawasan nusantara, ketahanan nasional. Karenanya, partai politik juga harus melakukan pendidikan politik terhadap aspek-aspek itu.

    Hakim konstitusi Arief Hidayat menyatakan concurring opinion (alasan berbeda), dan hakim Patrialis Akbar mengajukan dissenting opinion (pendapat berbeda). Arief mengatakan istilah empat pilar yang memasukkan Pancasila sebagai salah satu pilarnya tidak dapat dimaknai Pancasila memiliki kedudukan yang sama dengan pilar lainnya. Sebab, masing-masing pilar memiliki kedudukan beragam sesuai karakter dan fungsinya.

    Namun, penyebutan pilar terhadap Pancasila bertentangan dengan alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Karenanya, frasa “empat pilar berbangsa dan bernegara” dalam Pasal 34 ayat (3b) UU Parpol bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai Pancasila merupakan dasar dan ideologi negara. Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara harus menjadi jiwa yang menginspirasi  seluruh pengaturan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Nilai-nilai Pancasila baik sebagai ideologi dan dasar negara sampai hari ini tetap kokoh menjadi landasan dalam bernegara. Pancasila juga  tetap tercantum dalam konstitusi negara kita meskipun beberapa kali mengalami pergantian dan perubahan konstitusi. Ini menunjukkan bahwa  Pancasila merupakan  konsensus nasional dan dapat diterima oleh semua kelompok masyarakat Indonesia. Pancasila terbukti mampu memberi  kekuatan kepada bangsa Indonesia, sehingga  perlu dimaknai, direnungkan, dan diingat oleh seluruh komponen bangsa.

    G. Desain Pendidikan Karakter di Sekolah

    Dinamika perubahan jaman selalu diikuti pula oleh dinamika penyempurnaan desain pendidikan, yaitu kurikulum. Kurikulum adalah sebuah alat untuk mencapai tujuan pendidikan sekaligus sebagai pedoman  pelaksanaan pendidikan. Falsafah hidup bangsa, tujuan ke arah mana bentuk tujuan hidup bangsa kelak itu ditentukan semuanya tergantung pada kurikulum yang digunakan. Dalam kehidupan sosial kebutuhan dan tuntutan masyarakat cenderung mengalami perubahan, dan kurikulum lah yang mengantisipasi  perubahan tersebut. Karena bagaimanapun juga pendidikan dianggap sebagai langkah yang paling strategis untuk mengimbangi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.  Pendidikan jualah yang mengantarkan sebuah bangsa mencapai peradaban kebudayaan tinggi. Dan dalam sejarah perjalanannya sejak bangsa Indonesia merdeka desain pendidikan mengalami perubahan, yaitu kurikulum Rencana Pelajaran tahun 1948-1968, Kurikulum Berbasis Tujuan tahun 1975-1984, serta KBK dan KTSP tahun 2004-2006. Sedangkan kurikulum yang diberlakukan pada saat ini adalah kurikulum 2013.

    Disdik, Abd Kadir, M. Pd. , menyatakan bahwa  perubahan yang paling mendasar dan riil dari kurikulum 2013 adalah lebih menitikberatkan pada pembentukan karakter, “ Penguatan fondasi ettitut dari bawah yaitu di pendidikan dasar, penanaman nilai-nilai etika, etiket, moral dan norma mendapatkan porsi yang besar dan diintegralkan dalam mata pelajaran yang diajarkan. Semakin ke atas yaitu tingkat SMP maka porsi tersebut semakin berkurang dan semakin ke atas lagi  tingkat SMA semakin berkurang. Yang kedua adalah penguatan pada skill (Ketrampilan) dan baru kemudian pada ilmu pengetahuan dan teknologinya. Semakin jenjang pendidikan ke atas maka semakin banyak dan luas pengetahuan diberikan. (Lilik Rosida Irmawati)

    Untuk memahami makna belajar dalam pendidikan karakter pengajar harus bisa membawa suasana agar peserta didik dapat mengikuti pelajaran tersebut dan tidak menyebabkan jenuh. Untuk hal tesebut dibutuhkan model pembelajaran pendidikan karakter yang sesuai dengan keadaan peserta didik.

    Sebagai kerangka kerja, dalam pendidikan karakter penting sekali dikembangkan nilai-nilai etika inti, seperti keimanan, kejujuran, rasa hormat, kepedulian, dan nilai-nilai kinerja pendukungnya, seperti komitmen, kesungguhan, ketekunan dan kegigihan sebagai basis karakter yang baik.

    1. Sekolah berkomitmen untuk mengembangkan karakter peserta didik berdasarkan nilai-nilai dimaksud.
    2. mendefinisikan karakter dalam bentuk perilaku yang dapat diamati dalam kehidupan sekolah sehari-hari.
    3. mencontohkan nilai-nilai karakter, mengkaji dan mendiskusikannya, menggunakannya sebagai dasar dalam hubungan antar warga sekolah.
    4. mengapresiasi manifestasi nilai-nilai tersebut di sekolah dan masyarakat. Hal terpenting, semua komponen sekolah bertanggung jawab terhadap standar-standar perilaku yang konsisten sesuai dengan nilai-nilai inti.

    Siswa memahami nilai-nilai inti dengan mempelajari dan mendiskusikannya, mengamati perilaku model dan mempraktekkan pemecahan masalah yang melibatkan nilai-nilai. Siswa belajar peduli terhadap nilai-nilai inti dengan mengembangkan keterampilan empati, membentuk hubungan yang penuh perhatian, membantu menciptakan komunitas bermoral, mendengar cerita ilustratif dan inspiratif, dan merefleksikan pengalaman hidup. Dalam konteks seperti itu diperlukan pembelajaran yang dialogis antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, dan siswa dengan semua warga sekolah. Untuk pembelajaran di kelas dapat diterapkan pembelajaran kooperatif dengan memberikan penguatan pada kegiatan kelompok.

    Implementasi strategi pendidikan karakter di sekolah dapat dilakukan melalui model pendidikan terintegrasi. Model pendidikan terintegrasidilakukan dengan mengintegasikan nilai-nilai karakter pada kompetensi-kompetensi mata pelajaran. Implementasinya melalui kegiatan pembelajaran/KBM, pengembangan budaya sekolah, dan ekstra kurikuler. Misalnya:

    • Kegiatan Pembelajaran/Belajar Mengajar (KBM). Untuk menumbuhkan nilai karakter rasa ingin tahu melalui kegiatan observasi, meningkatkan keterampilan berkomunikasi yang efektif dengan kegiatan diskusi dan presentasi, mengembangkan berfikir kritis dengan kegiatan penelitian sederhana, dsb.
    • Budaya Sekolah. Untuk menumbuhkan karakter keimanan melalaui doa awal dan akhir pelajaran, dan/atau sholat berjamaah, meningkatkan sikap dan perilaku rasa hormat/respek dengan membiasakan berjabatan tangan dan mengucap salam secara santun,  untuk karakter peduli lingkungan dengan membiasakan menjaga kebersihan kelas dan membuang sampah di tempatnya. Dapat juga melalui kegiatan yang bersifat spontan, misalnya mengumpulkan sumbangan bagi korban bencana alam, mengunjungi teman yang sakit atau tertimpa musibah.
    • Kegaiatan Ekstra Kurikuler: Pramuka, Olah raga, Karya Ilmiah, Seni, PMR, dsb. Untuk mengembangkan kecakapan kerjasama dan jiwa sportif melalui bermain olah raga, mengembangkan rasa percaya diri melalui PENSI, peduli kemanusiaan dengan PMR donor darah, peduli sosial dengan bahti sosial bantuan bencana. Melalui kegiatan luar ruang akan terbentuk karakter keberanian, kerja sama, partiotisme, memahami dan menghargai alam, saling menolong, dengan demikian juga memupuk sikap peduli dan empati.

    Pendidikan Karakter merupakan bagian dari pembelajaran secara keseluruhan. Nilai-nilai dari pendidikan karakter merupakan bagian dari kompetensi yang ingin dicapai dalam kegiatan pembelajaran. Karena itu, penilaiannya tirintegrasi dengan dengan penilaian pembelajaran untuk mencapai kompetensi yang dimaksud. Hal penting yang perlu disadari adalah kepastian untuk menilai aspek karakter yang telah diintegrasikan tersebut. Agar tidak memberatkan tugas, sebaiknya dipilih karakter yang esensial saja yang dinilai. Misalnya menilai kemampuan berkomunikasi dengan penilaian kinerja, menilai nilai keuletan dengan penilaian sikap, dsb.

    Hasil penilaian pendidikan karakter, selanjutnya diformulasikan untuk di masukkan ke dalam buku rapor siswa. Misalnya nilai ini untuk mengsisi hasil belajar aspek ahklak dan kepribadian. Bentuk nilai sebaiknya tidak berupa angka, tetapi  kualifikasi kata:  Baik, Sedang, dan Kurang. Jika ingin lebih baik baik lagi dengan deskripsi kalimat pernyataan. Misalnya keimanan, rasa hormat, cinta tanah air baik, tetapi kepeduliaan lingkungan kurang.

    Dengan desain yang dipaparkan diatas diharapkan dapat menambah pengetahuan peserta didik mengenai karakter yang baik, selain itu diharapkan dapat mampu diwujudkan dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Jika hal tersebut dapat berjalan dengan baik maka akan mencetak anak bangsa yang luar biasa yang  dapat meneruskan bangsa ini dengan tidak melupakan karate luruh bangsa Indonesia yang tercermin dalam nilai-nilai Pancasila.

    Bab III. Penutup

    A. Kesimpulan

    Karakter bangsa Indonesia harus tercerminkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Di era arus globalisasi yang semakin maju akan menjadi tantangan tersendiri untuk membentuk karakter bangsa ini, harus dengan bertahap dan di dukung oleh semua elemen agar pembentukan karakter dapat berjalan dengan baik. Salah satunya dapat dilakukan dengan pendidikan.

    Saat ini banyak pihak yang menuntut untuk meningkatkan pelaksanaan dan intensitas pendidikan karakter. Karena kenyataanya banyak anak muda sekarang ini mulai melupakan karakter yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia, mereka terseret oleh kebudayaan asing yang semakin merajalela. Jika perkembangan budaya asing yang terus memasuki Indonesia tanpa didampingi perkembangan karakter budaya Indonesia, maka secara perlahan budaya Indonesia itu sendiri akan tergeserakan dan dilupakan.

    Pemerintah kini juga sudah mulai mengembangkan kurikulum 2013, kurikulum yang menekankan pada perkembangan karakter bangsa. Peserta didik dituntut aktif serta dapat memiliki karakter yang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

    DAFTAR PUSTAKA

    Aqib, Zainal; Sujak. Panduan dan Aplikasi Pendidikan Karakter. 2011. Bandung: Yrama Widya.

    Galih Manunggal Putra. Pancasila sebagai karakter dan jati diri bangsa

    KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 44/DIKTI/Kep/2006  TENTANG  RAMBU-RAMBU PELAKSANAAN KELOMPOK MATAKULIAH BERKEHIDUPAN BERMASYARAKAT DI PERGURUAN TINGGI

    Kesuma, Dharma; Cepi, Triatna; Johar, Permana. 2011. Pendidikan Karakte Kajian Teori dan Praktik di Sekolah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

    Narwanti, Sri. 2011. Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Familia.

    Samani, Muchlas; Hariyanto. 2014. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

    Soegito AT dkk. 2013. Pendidikan Pancasila. Semarang:Pusat Pengembangan MKU/MKDK Universitas Negeri Semarang.

    UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG PENDIDIKAN TINGGI

     undang-undang-no-20-tentang-sisdiknas

    Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara.2012. http://sida.lanri.info/sida/attachment/Pilar%20Kehidupan%20Berbangsa%20dan%20Bernegara.pdf

    Finaldi, Zulkarnain. 2013. “Mahasiswa Unigal Demo Lagi”. http://www.kabar-priangan.com/news/detail/7838 (Diunduh 7 Mei 2015)

    http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail-42607-Makalah-Cara%20Mengembalikan%20Jati%20Diri%20Bangsa%20Indonesia.html

    http://definisimu.blogspot.com/2012/09/definisi-karakter.html

    http://lidawati.com/penerapan-kurikulum-2013-menuju-pembentukan-karakter/ (26 April 2015, 13:45)

    http://www.academia.edu/9112705/PEMBANGUNAN_KARAKTER_BANGSA_INDONESIA_BERDASARKAN_PANCASILA_MENUJU_BANGSA_MANDIRI_DI_ERA_GLOBALISASI_Oleh

    http://www.jatengtime.com/2012/sospol/saat-ini-generasi-muda-kehilangan-jati-diri/#.VW8YPlJ0PIU

    https://abiechuenk.wordpress.com/2012/01/17/pendidikan-dan-pembentukan-karakter/ (26 April 2015, 13:12)

    https://hangeo.wordpress.com/2012/03/15/kendala-kendala-implementasi-pendidikan-karakter-di-sekolah/ (5 Mei 2015, 21:31)

    https://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20121106212218AA6bcNq

    PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA BERBASIS PANCASILA.I Nyoman Yoga Segara. http://bdkjakarta.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=924 (23 April 2015, 22:30)

    www.fokusjabar.com. “Mata Kuliah Pancasila Dihapus, Mahasiswa Demo”. (diunduh pada 7 Mei 2015, 23:06)

  • Bagaimana Proses Pembuatan Hujan Buatan

    Bagaimana Proses Pembuatan Hujan Buatan

    Hujan buatan merupakan teknologi untuk meningkatkan dan mempercepat jatuhnya air hujan. Agar terbentuk hujan buatan diperlukan ketersediaan awan yang mempunyai kandungan uap air mencukupi dan kecepatan angin yang rendah. Hujan buatan dibuat dengan cara menyemai awan menggunakan bahan kimia yang menyerap air sehingga jumlah uap air didalam awan meningkat. Awan yang digunakan untuk membuat hujan buatan adalah jenis awan Cumulus (Cu) yang bentuknya seperti bunuhga kol. Setelah lokasi awan diketahui, pesawat terbang yang membawa bubuk khusus (perak oksida), NaCl, CaCl2, dan urea akan menuju ke sana. Untuk bisa membuat hujan deras, biasanya dibutuhkan bubuk khusus sebanyak 3 ton yang disemai ke awan Cumulus selama 30 hari.

    Sifat awan yang menyebabkan hujan oleh manusia digunakan untuk membuat hujan buatan. Dalam mempercepat hujan, orang memberi zat higroskopis sebagai inti kondensasi (perak dioksida, kristal es, es kering atau CO2 padat). Zat-zat tersebut ditaburkan ke udara dengan menggunakan pesawat terbang. Pembuatan hujan buatan disebut sebagai suatu proses pemodifikasian awan dengan menggunakan bahan-bahan kimia, terutama NaCl (garam dapur).

    Kemarau panjang seperti yang kita alami sekarang memerlukan usaha untuk menghadapi tantangan iklim. Kemarau panjang menyebabkan tanah kering, air sulit diperoleh, sungai mengering sedangkan angin menerbangkan debu-debuan. Tantangan iklim berupa kelangkaan hujan akibat kemarau panjang dapat dilakukan dengan teknologi tinggi berupa hujan buatan. Cara ini tak bisa terus dilakukan sembarangan karena biayanya terlalu mahal. Hujan buatan hanya ditempuh bila keadaan memang keadaan demikian kritis. Apalagi usaha untuk melakukan hujan buatan ini terkadang hasilnya tepat dan terkadang meleset atau tak sesuai dengan yang diharapkan.

    Para ahli yang mengetahui terbentuknya awan, terjadinya kondensasi, presipitasi dan lainnya sangat membantu untuk melakukan usaha dan percobaan dalam memodifikasi cuaca untuk mempercepat turunnya hujan. Dalam pembuatan hujan buatan mereka hanya melakukan usaha untuk mendorong dan mempercepat turunnya hujan atau berusaha agar uap air yang telah ada di udara berkondensasi dengan cepat sehingga pembentukan butir-butir air dapat segera berlangsung di awan. Pembentukan butir-butir air tersebut merupakan titik awalnya terjadi hujan.

    Usaha ini dilakukan dengan menyebarkan zat kimia atau garam halus ke udara dengan bantuan pesawat terbang. Untuk tahap ini hujan yang diharapkan belum tentu akan turun, karena dilakukan proses lanjutan dengan menyebarkan butir-butiran besar di awan. Butiran tersebut akan bertumbukan dan bergantung dengan butir-butir air ini akan menjadi berat dan akan meninggalkan awan jatuh sebagai hujan.
     Di daerah yang beriklim tropis, awannya dapat digolongkan dalam awan panas. Untuk mempercepat timbulnya hujan hanya dapat dilakukan melalui proses pembentukan awan panas secara alami.

    Bahan-bahan kimia yang diperlukan
    Untuk mempercepat turunnya hujan buatan dengan memberi zat higroskopis sebagai inti kondensasi. Garam-garaman seperti NaCl dan CaCl2 dalam bentuk bubuk dengan diameter 10-50 mikron, ternyata cukup higroskopis jika disebarkan di udara. Garam-garam itu di udara akan berperan sebagai titik pangkal pembentukan uap-uap air pada awan. Pembentukan butir-butir air juga dapat dilakukan dengan penyebaran garam-garaman tersebut.

    Tindakan selanjutnya dapat digunakan bubuk urea. Penyebaran bubuk urea dilakukan beberapa jam setelah penyebaran garam-garaman tadi atau setelah tumbuh awan-awan kecil secara berkelompok pada beberapa beberapa tempat. Bubuk urea selain dapat membentuk awan lebih lanjut, juga bersifat endotermi (menyerap panas) yang sangat baik bila bereaksi dengan air atau uap air. Penyebaran bubuk urea di siang hari dapat mendinginkan lingkungan sekitarnya sehingga kelompok-kelompok kecil awan segera bergabung menjadi kelompok-kelompok besar.

    Kelompok awan besar biasanya segera terlihat agak kehitam-hitaman artinya awan hujan telah terbentuk. Tindakan berikutnya adalah penyebaran larutan yang berkomposisi air, urea serta amonium nitrat dengan perbandingan 4 : 3 : 1 ke dalam kelompok-kelompok besar awan yang tampaknya hitam. Besarnya larutan yang disebarkan antara 50 u – 100 u dengan menggunakan peralatan mikron air yang dipasang di pesawat. Larutan ini cukup dingin yaitu sekitar 4° C, yang akan mengikat awan dan mudah meresap ke dalam awan, sehingga dapat mendorong pembentukan butir-butir air yang lebih besar karena berat butir-butir air tersebut akan turun dan menimbulkan hujan.

    Garam-garaman yang telah disebarkan di udara punya sifat-sifat fisis tertentu, seperti NaCl dan CaCl2 bila bereaksi dengan air dapat mengeluarkan panas, sedangkan urea dapat menyerap panas. Karena itu waktu disebar di udara akan timbul reaksi sebagai berikut:\

    NaCl + H2O —-> ion-ion + 910 K Cal (eksoterm)
    CaCl2 + H2O —> ion-ion + 915 K Cal (eksoterm)
    Urea + H2O —-> ion-ion – 425 K Cal (endoterm)

    Sifat garam-garam tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
    Sifat NaCl (garam dapur): berbentuk kristal, mudah larut dalam air (36 g/100 ml air daripada 20°C), dalam bentuk bubuk bersifat higroskopis, banyak terdapat di udara (dari air laut), campuran NaCl dengan es cair mencapai -20°C. Sedangkan CaCl2 adalah berbentuk kristal.
     Garam dapur yang dimaksud bukanlah garam meja, tetapi adalah garam yang mempunyai sifat higroskopis yang jauh lebih besar daripada garam meja, sehingga garam meja tak dapat digunakan.

    Perhitungan waktu yang tepat
    Sebelum menyebarkan garam-garaman faktor-faktor klimatologi di daerah itu harus diperhitungkan. Penyebaran dilakukan pada ketinggian 4000-7000 kaki, dengan perhitungan faktor arah angin dan kecepatannya yang akan membawa awan ke daerah sasaran. Penyebaran NaCl dan CaCl2 hendaknya dilakukan pada pagi hari sekitar 07.30, dengan perhitungan karena pembentukan awan berlangsung pada pagi hari (dengan memperhatikan terjadinya penguapan).

    Penyebaran bubuk urea biasanya dilakukan sekitar pukul 12.00, dengan perhitungan awan dalam kelompok-kelompok kecil telah terbentuk, sehingga memungkinkan penggabungan awan dalam kelompok besar. Kelompok awan besar yang dimaksud yang dasarnya tampak kehitam-hitaman.
     Saat awan besar dengan dasar yang kehitam-hitaman terbentuk, sekitar pukul 15.00 dilakukan penyebaran larutan campuran yang telah dikemukakan di atas. Perhitungannya pada jam-jam tersebut awan telah terbentuk.

    Perhitungan lainnya yang harus diperhatikan adalah faktor cuaca yang memenuhi persyaratan, yaitu yang mengandung uap air dengan kelembapan minimal 70%. Kelembapan harus memadai sehingga waktu inti kondensasi (NaCl dan CaCl2) disebarkan akan segera terjadi kondensasi. Kecepatan angin juga di daerah itu sekitar 10 knots dan tak terdapat lapisan inversi di udara.
     Jadi kesimpulannya untuk mempercepat turunnya hujan buatan dengan memberi zat higroskopis sebagai inti kondensasi (garam-garaman NaCl dan CaCl2) pada waktu yang tepat.

    Daftar Pustaka
    Priyono. (2012). 265++ Pertanyaan Sains Paling Seru dan Norak. Jakarta : Media Pusindo
    http://www.bumn.go.id/ptpn5/berita/0-SEKILAS-TENTANG-HUJAN-BUATAN

  • Makalah Remedial

    Remedial

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Dalam proses belajar mengajar di suatu institusi pendidikan, masing-masing individu memiliki caranya masing-masing untuk memperoleh hasil yang maksimal dalam belajar. Beberapa ketrampilan belajar pun dipakai guna memenuhi tujuan dari pendidikan tersebut. Namun tidak jarang seorang siswa mengalami kesulitan belajar yang dipengaruhi oleh beberapa factor yang mengganggu dirinya dalam belajar. Banyak peserta didik yang mengalami kesulitan dalam belajar misalnya tidak mampu menyerap bahan pembelajaran dengan baik, tidak dapat konsentrasi dalam belajar, tidak mampu mengerjakan tes dan sebagainya.

    Siswa yang mengalami kesulitan belajar seperti itu akan memiliki resiko hasil yang didapatkan dari proses belajar kurang maksimal. Dalam rangka membantu peserta didik mencapai standar isi dan standar kompetensi lulusan, pelaksanaan atau proses pembelajaran perlu diusahakan agar interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan kesempatan yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Untuk mengatasi masalah-masalahbelajar tersebut, setiap satuan pendidikan perlu menyelenggarakan program pembelajaran remedial atau perbaikan. Mengingat pentingnya pemahaman menyeluruh konsep dasar dari kurikulum ini, maka penulis tergerak untuk menyusunnya menjadi sebuah makalah yang khusus mengungkap mengenai hal tersebut.

    B. Rumusan Makalah

    1. Apakah pengertian dari model pengajaran remedial dan KKM?
    2. Apa saja langkah dalam evaluasi belajar dan hasil penilaian?
    3. Apa saja tujuan dan fungsi model pengajaran remedial?
    4. Apa saja bentuk dan aspek pengajaran remedial?
    5. Apa saja prinsip dasar pengajaran remedial?
    6. Apa saja pendekatan dalam pengajaran remedial di Sekolah?
    7. Bagaimana proses pengajaran remedial?
    8. Apa saja keterbatasan dalam pengajaran remedial?

    C. Tujuan

    Mengacu pada rumusan masalah tersebut, maka yang menjadi tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

    1. Untuk mengetahui pengertian dari model pengajaran remedial.
    2. Untuk mengetahui tujuan dan fungsi model pengajaran remedial.
    3. Untuk mengetahui bentuk dan aspek pengajaran remedial.
    4. Untuk memahami prinsip dasar pengajaran remedial.
    5. Untuk mengetahui pendekatan dalam pengajaran remedial di Sekolah.
    6. Untuk memahami proses pengajaran remedial.
    7. Untuk mengetahui keterbatasan dalam pengajaran remedial.

    Bab II. Pembahasan

    A. Pengertian Model Pengajaran Remedial

    According to Sharma (2009: 22), remedial teaching as the name suggest, is the teaching that is undertaken for providing remedial education to those who are in need of such education for overcoming their deficiencies, weakness and difficulties related with the learning activities pertaining to some area or aspects of a particular subject.

    Menurut Sharma (2009: 22), pengajaran remedial seperti namanya, adalah pengajaran yang dilakukan untuk memberikan pendidikan remedial kepada mereka yang membutuhkan pendidikan semacam itu untuk mengatasi kekurangan mereka, kelemahan dan kesulitan terkait dengan kegiatan pembelajaran. berkaitan dengan beberapa area atau aspek dari subjek tertentu.

    According to Jangid and Inda (2016: 98), remedial teaching methods are innovative teaching strategy designed to improve the storage and retrieval of information from long-term memory. Remedial education is education which is designed to bring students who are lagging behind up to the level of achievement realized by their peers. Remedial Teaching means that help is offered to students who need pedagogical or didactic assistance. These are often children who function at a lower than average level because of a certain learning- or behavioral problem/disorder. However, remedial teaching can also be offered to pupils who accomplish at a higher than average level, they also can do with the extra attention and care.

    Menurut Jangid dan Inda (2016: 98), metode pengajaran remedial adalah strategi pengajaran yang inovatif yang dirancang untuk meningkatkan penyimpanan dan pengambilan informasi dari memori jangka panjang. Pendidikan remedial adalah pendidikan yang dirancang untuk membawa siswa yang tertinggal ke tingkat pencapaian yang direalisasikan oleh rekan-rekan mereka. Pengajaran remedial berarti bahwa bantuan ditawarkan kepada siswa yang membutuhkan bantuan pedagogis atau didaktik. Ini sering anak-anak yang berfungsi pada tingkat yang lebih rendah daripada rata-rata karena masalah / gangguan belajar-atau perilaku tertentu. Namun, pengajaran remedial juga dapat ditawarkan kepada siswa yang mencapai tingkat di atas rata-rata, mereka juga dapat melakukan dengan perhatian dan perhatian ekstra.

    According to Kumar (2016: 36-38), the term remedial is employed in a broader sense to connote teaching which is developmental in its scope. Though our schools possess pupils who do not have any particular defects or faults which need correction, there are a group of students who urgently need assistance in developing increased competence in reading and the other fundamental processes. In their case, it is not primarily a problem of re-teaching or the remedying of errors, but it is rather teaching them for the first time those basic skills which are solely needed and are apparently lacking. Remedial teaching involves taking a pupil where one is and starting from that point leading one to greater achievement. It is just effective teaching in which the learner and his/her needs occupy the focal point. Remedial teaching is an integral part ofall good teaching. It takes the pupil at his own level and by intrinsic methods of motivation leads him to increased standards of competence. It is based upon careful diagnosis of defects and in general to the needs and interest of pupils.

    Menurut Kumar (2016: 36-38), istilah perbaikan digunakan dalam arti yang lebih luas untuk berkonotasi pengajaran yang berkembang dalam lingkupnya. Meskipun sekolah kami memiliki murid yang tidak memiliki cacat atau kesalahan tertentu yang perlu diperbaiki, ada sekelompok siswa yang sangat membutuhkan bantuan dalam mengembangkan peningkatan kompetensi dalam membaca dan proses mendasar lainnya. Dalam kasus mereka, ini bukan masalah utama pengajaran ulang atau perbaikan kesalahan, tetapi lebih kepada mengajarkan mereka untuk pertama kalinya ketrampilan dasar yang hanya dibutuhkan dan kelihatannya kurang. Pengajaran remedial melibatkan mengambil murid di mana satu dan mulai dari titik itu mengarah satu ke prestasi yang lebih besar. Ini hanya pengajaran yang efektif di mana pembelajar dan kebutuhannya menempati titik fokus. Pengajaran remedial adalah bagian integral dari semua pengajaran yang baik. Dibutuhkan murid di tingkat sendiri dan dengan metode motivasi intrinsik membawanya ke peningkatan standar kompetensi. Hal ini didasarkan pada diagnosis defek yang cermat dan secara umum terhadap kebutuhan dan minat siswa.

    Menurut Masbur (2012: 348-361), Pengajaran remedial (remedial teaching) secara etimologis berasal dari kata remedy (Inggris) yang artinya menyembuhkan, membetulkan, perbaikan, pengulangan. Sedangkan teaching adalah mengajar, cara mengajar atau mengajarkan. Pengajaran remedial secara terminologis adalah suatu kegiatan belajar mengajar yang bersifat menyembuhkan atau perbaikan ke arah pencapaian hasil yang diharapkan.

    Pengajaran remedial menurut Abd. Rachmat Abror adalah bentuk pengajaran perbaikan yang diberikan kepada seseorang siswa untuk membantu memecahkan kesulitan belajar yang dihadapinya. Menurut Abin Syamsuddin, pengajaran remedial adalah sebagai upaya guru untuk menciptakan suatu situasi yang memungkinkan individu atau kelompok siswa (dengan kerakter) tertentu lebih mampu meningkatkan prestasi seoptimal mungkin sehingga dapat memenuhi kriteria keberhasilan minimal yang diharapkan. Menurut Abu Ahmadi dan Widodo Supriono, pengajaran remedial adalah suatu bentuk khusus pengajaran yang bersifat menyembuhkan, membetulkan atau membuat menjadi baik.

    Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa, pengajaran remedial adalah suatu layanan pendidikan atau suatu bentuk program pembelajaran yang dilaksanakan dengan perlakuan khusus yang diberikan guru pada siswa yang mengalami kesulitan dan hambatan dalam kegiatan belajar mengajar, sehingga siswa tersebut mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan.

    Menurut Malawi dan Kardawati (2018: 230-231), remedial merupakan program pembelajaran yang diperuntukkan bagi peserta didik yang belum mencapai KKM dalam satu KD tertentu. Pembelajaran remedial diberikan segera setelah peserta didik diketahui belum mencapai KKM. Pembelajaran remedial dilakukan untuk memenuhi kebutuhan/ hak peserta didik. Dalam pembelajaran remedial, pendidik membantu peserta didik untuk memahami kesulitan belajar yang dihadapi secara mandiri, mengatasi kesulitan dengan memperbaiki sendiri cara belajar dan sikap belajarnya yang optimal. Dalam hal ini, penilaian merupakan assessment as learning.

    Menurut al-Taubany dan Suseno (2017: 362-367), Program remedial adalah progam pembelajaran yang diberikan kepada peserta didik yang belum mencapai kompetensi minimalnya dalam suatu kompetensi dasar tertentu.

    Menurut Slamet (2015: 100-103), remedial teaching atau pengajaran remedial adalah suatu bentuk pengajaran yang bersifat penyembahan atau membetulkan atau dengan singkat pengajaran yang membuat menjadi baik. Dalam memberikan pengajaran remedial kepada siswa berkesulitan belajar, harus dengan menggunakan metode dan pendekatan yang tepat sehingga bantuan yang diberikan dapat diterima dengan jelas. Pengajaran remedial merupakan salah satu wujud pengajaran khusus yang sifatnya memperbaiki prestasi belajar siswa dalam proses belajar mengajar. Pembelajaran remedial digunakan bagi siswa yang mengalami kesulitan belajar, pengajaran remedial secara umum dapat diartikan sebagai upaya yang berkaitan dengan perbaikan pada diri orang atau suatu pemberian pada anak sekolah yang terutama ditujukan kepada anak-anak yang mengalami hambatan dalam proses belajar mengajar.

    Dari kedua pendapat di atas jelaslah bahwa pembelajaran remedial ditujukan kepada siswa yang mengalami hambatan dalam proses belajar mengajar dan bersifat menyembuhkan dan membetulkan anak yang mengalami berkesulitan belajar menjadi lebih baik. Dalam penelitian ini yang dimaksud pembelajaran remedial adalah pengajaran yang diberikan kepada siswa yang mengalami kesulitan dalam pembelajaran dan bersifat penyembahan dan pembetulan siswa agar hasil belajarnya menjadi lebih baik.

    Menurut Sukinahiska (2016: 59), Re-teaching, yaitu pengajaran remedial yang dilaksanakan dengan mengajarkan kembali bahan yang sama kepada para siswa yang memerlukan bantuan dengan cara penyajian yang berbeda.Menyuruh siswa mempelajari bahan yang sama dari buku pelajaran, buku paket atau sumber-sumber bacaan yang lain.Memberikan pekerjaan rumah yang harus dikerjakan oleh siswa.Bimbingan yang diberikan secara individu maupun kelompok kecil oleh guru atau pembimbing (siswa yang telah tuntas dan dapat dipercaya untuk menerangkan atau membantu temannya yang belum tuntas).

    Menurut Darmadi (2017: 384-385), pembelajaran remedial merupakan layanan pendidikan yang diberikan kepada peserta didik untuk memperbaiki prestasi belajarnya sehingga mencapai kriteria ketuntasan yang ditetapkan. Pada prinsipnya, pembelajaran remedial merupakan pemberian perlakuan hkusus terhadap peserta didik yang mengalami hambatan. Hambatan yang terjadi dapat berupa kurangnya pengetahuan atau lambat mencapai kompettensi.

    According to Munene (2017: 47), remedial education is a part of education which is concerned with the prevention, investigation and treatment of learning difficulties from whatever source they may emanate and which hinder normal development of pupils (Eldah, 2005). Remedial education is given to children who function at a lower than average level because of certain learning or behavioral problem, but it can also be offered to pupils who achieve at higher than average level.

    Menurut Munene (2017: 47), pembelajaran remedial adalah bagian dari pendidikan yang berkaitan dengan pencegahan, penyelidikan dan perawatan kesulitan belajar dari sumber apa pun yang mungkin mereka berasal dan yang menghambat perkembangan normal siswa (Eldah, 2005). Pendidikan remedial diberikan kepada anak-anak yang berfungsi pada tingkat yang lebih rendah dari rata-rata karena masalah belajar atau perilaku tertentu, tetapi juga dapat ditawarkan kepada siswa yang mencapai pada tingkat lebih tinggi dari rata-rata.

    According to Singh (2004: 16-17), remedial teaching organized in various ways has a potentially important role. There has been quite a rapid expansion of remedial teaching servicesince the late 1940s when public concern grew about the large number of backward readers in schools. Some remedial teachers work in schools with groups and individuals who need extra help, especially early in the junior school. In a few cases they work in centres which children attend several times a week. More frequently they are peripatetic teachers visiting a numberof schools to teach groups and in some well organized services giving advice on materials and methods, undertaking surveys and other services. Their work should be closely integrated with the school pshychological services. Sometimes they work in and from child guidance centres.

    Menurut Singh (2004: 16-17), pengajaran remedial yang diselenggarakan dengan berbagai cara memiliki peran yang berpotensi penting. Sudah ada ekspansi yang cepat dari layanan pengajaran perbaikan sejak akhir 1940-an ketika perhatian publik tumbuh tentang banyaknya pembaca terbelakang di sekolah. Beberapa guru remedi bekerja di sekolah dengan kelompok dan individu yang membutuhkan bantuan tambahan, terutama di awal sekolah menengah pertama. Dalam beberapa kasus mereka bekerja di pusat-pusat yang anak-anak menghadiri beberapa kali seminggu. Lebih sering mereka adalah guru-guru yang bergerak mengunjungi sejumlah sekolah untuk mengajar kelompok-kelompok dan dalam beberapa layanan yang terorganisasi dengan baik memberikan nasihat tentang bahan dan metode, melakukan survei dan layanan lainnya. Pekerjaan mereka harus terintegrasi erat dengan layanan psikologi sekolah. Terkadang mereka bekerja di dan dari pusat bimbingan anak.

    According to Jangid and Inda (2016: 98-99), there are a unit variety of reasons why a student would possibly would like remedial education. Some students attend schools of poor quality and do not receive adequate grounding in mathematics and language to organize them for school or life. Other students might have transferred in and out faculties’ of colleges or missed school plenty, making gaps in their education that contribute to the lack of information in core subjects. Students can also have learning disorders and other problems that have impaired their ability to find out. In remedial education, people are usually given assessments to determine their level of competency. Based on test results, the pupils are placed in classes which are most likely to provide benefits. Classes are often little, with a spotlight on high teacher-student interaction, and that they will occur at the hours of darkness or throughout the day to accommodate various needs. Within the course of the category, the teacher can bring students up to hurry in order that they need skills comparable to those of their peers.

    Menurut Jangid dan Inda (2016: 98-99), ada berbagai macam alasan mengapa seorang siswa mungkin ingin mendapatkan pendidikan perbaikan. Beberapa siswa menghadiri sekolah dengan kualitas buruk dan tidak menerima landasan yang cukup dalam matematika dan bahasa untuk mengatur mereka untuk sekolah atau kehidupan. Siswa lain mungkin telah mentransfer masuk dan keluar fakultas ‘perguruan tinggi atau melewatkan banyak sekolah, membuat kesenjangan dalam pendidikan mereka yang berkontribusi pada kurangnya informasi dalam mata pelajaran inti. Siswa juga dapat memiliki gangguan belajar dan masalah lain yang mengganggu kemampuan mereka untuk mencari tahu. Dalam pendidikan remedi, orang biasanya diberikan penilaian untuk menentukan tingkat kompetensi mereka. Berdasarkan hasil tes, siswa ditempatkan di kelas yang paling mungkin memberikan manfaat. Kelas sering sedikit, dengan sorotan pada interaksi guru-siswa yang tinggi, dan bahwa mereka akan terjadi pada jam kegelapan atau sepanjang hari untuk mengakomodasi berbagai kebutuhan. Dalam kursus kategori, guru dapat membawa siswa ke atas terburu-buru agar mereka membutuhkan keterampilan yang sebanding dengan rekan-rekan mereka.

    Menurut al-Taubany dan Suseno (2017: 362-367), setiap guru berharap peserta didiknya dapat mencapai penguasaan kompetensi yang telah ditentukan. Berdasarkan Permendikbud  No.65 tentang Standar Proses, No.66 Tahun 2013 tentang standar penilaian, setiap pendidik hendaknya memperhatikan prinsip perbedaan individu ( kemampuan awal, ecerdasan, kepribadian, bakat, potensi, minat, motivasi belajar , gaya belajar), maka progam pembelajaran remedial dilakukan untuk memenuhi kebutuhan/hak anak. Dalam program pembelajaran remedial guru akan membantu peserta didik, untuk memehami kesulitan belajar yang dihadapinya, mengatasi kesulitannya tersebut dengan memperbaiki cara belaja dan sikap belajar yang dapat mendorong tercapainya hasil belajar yang optimal.

    Mengacu pada Permendikbud No.65 dan No.66 Tahun 2013: “Hasil penilaian autentik dapat diguanakan oleh guru untuk merencanakan program perbaikan (remedial), pengayaan atau pelayanan konseling. Penilaian yang dimaksud tidak tepaku pada hasil tes pada KD tertentu. Penilaian juga bias dilakukan ketika proses pembelajaran berlangsung.

    Pembelajaran remedial dilakukan ketika peserta didik teridentifikasi oleh guru mengalami kesulitan pada penguasaan materi pada KD tertentu sedang berlangsung. Guru dapat langsung melakukan perbaikan pembelajaran sesuai dengan kesulitan perseta didik tersebut, tanpa menunggu hasil tes. Program pembelajaran remedial dilaksanakan di luar jam pelajaran efektif atau ketika proses pembelajara berlangsung.

    Program pembelajaran remedial dilaksanakann sampai peserta didk menguasai kompetensi dasar yang diharapkan. Ketika peserta didik telah mencapai kompetensi minimalnya, maka pembelajaran remedial tidak perlu dilanjutkan.

    According to Chou (2016: 1061), stated that remedial instruction helps students overcome learning 3difficulties, and this learning theory is grown from the cognitive revolution. Immediate and adaptive remedial instruction system helps student’s learning, and the greatest advantage is that it provides immediate feedbacks for the errors (Hsiao et al., 2016). Through the quasi experimental research and design, Dai and Huang (2015) applied three different types of teaching model of remedial teaching on vocational high school students with bad mathematics grades. It has been found that these three methods can improve students’ mathematics grades; e-learning instruction model helps the most, followed by blended learning model, and the least helpful is the traditional instruction model.

    Menurut Chou (2016: 2106), menyatakan bahwa instruksi remedial membantu siswa mengatasi pembelajaran kesulitan, dan teori belajar ini tumbuh dari revolusi kognitif. Sistem pembelajaran remedi adaptif membantu pembelajaran siswa, dan keuntungan terbesarnya adalah bahwa ia menyediakan umpan balik langsung untuk kesalahan (Hsiao et al., 2016). Melalui quasiexperimental penelitian dan desain, Dai dan Huang (2015) menerapkan tiga jenis model pengajaran pengajaran remedial pada siswa sekolah menengah kejuruan. Telah ditemukan bahwa ketiga metode ini dapat meningkatkan nilai matematika siswa; Model pembelajaran e-learning sangat membantu, diikuti oleh model pembelajaran campuran, dan paling tidak membantu adalah model instruksi tradisional.

    B. Pengertian KKM

    Menurut Malawi dan Kardawati (2018: 230-231), kriteria ketuntasan minimal yang selajutnya disebut KKM adalah kriteria ketuntasan belajar yang ditentukan oleh satuan pendidikan dengan mengacu pada standar kopentensi lulusan. Dalam menetapkan KKM, satuan pendidikan harus merumuskannya secara bersama antara kepala sekolah, pendidik, dan tenaga kependidikan lainnya. KKM dirumuskan setidaknya dengan memperhatikan 3(tiga) aspek: karakteristik peserta didik, karakteristik mata pembelajaran, dan kondisi satuan pendidikan pada proses pencapaian kompetensi.

    Menurut Prayitno (2009: 418-419), Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) merupakan acuan untuk menetapkan seorang peserta didik/siswa secara minimal memenuhi persyaratan penguasaan atas materi pelajaran tertentu. Misalnya, untuk mata pelajaran IPS di suatu SMP KKM-nya adalah 70. Hal ini berarti bahwa seorang siswa di SMP tersebut dinyatakan tuntas dalam mata pelajaran IPS apabila ia menguasai 70% dari seluruh materi IPS yang dibelajarkan; penguasaan di bawah 70% berarti belum tuntas. Pertanyaannya adalah: apa artinya tuntas dan belum tuntas itu? Mengapa 70% dianggap tuntas, padahal tuntas maknanya adalah habis-habisan tanpa tersisa? Dalam perngertia habis-habisan, tanpa tersisa itu, tuntas berkonotasi 100%. Dengan demikian, ketuntasan penguasaan materi IPS di satuan pendidikan (SMP) itu semestinya adalah 100%. Penguasaan di bawah 100% adalah penguasaan yang belum tuntas. Dengan demikian, KKM dengan nilai atau 70 itu sebenarnya belum tuntas.

    Agaknya, latar belakang disusun dan ditetapkannya KKM dengan nilai atau harga tertentu (yang setiap kali dapat berubah) adalah karena anggapan bahwa tidak semua siswa mampu mencapai penguasaan 100% atas materi pelajaran; oleh karenanya, perlu diambil patokan untuk menetapkan siswa yang lulus dan tidak lulus dalm mata pelajaran tertentu. Patokan yang dimaksudkan itu biasanya diambil dari penguasaan rata-rata semua siswa yang mengikuti mata pelajaran tersebut pada akhir mata pelajaran (biasanya dalam satuan waktu satu semester). Pengusaan rata-rata itu tidak sama untuk berbagai kondisi yang berbeda; oleh karenanya KKM itupun dapat tidak sama, terutama berkaitan dengan kompleksitas dan kesulitan materi pelajaran, kualitas intake (yaitu tingkat kemampuan dasar atua potensi siswa yang mengikuti mata pelajaran), dan kualitas prasaran dan sarana. Makin kompleks dan sulit materi pelajaran, makin rendah kualitas intake, serta makin rendah kualitas prasaran dan sarana, maka patokan berupa KKM makin diturunkan.

    Memperhatikan bberapa pertimbangan dalam penetapn KKM di atas, beberapa catatan dapat diberikan, sebagai berikut. Pertama, dalam penetapan KKM, matapelajaran-matapelajaran yang ada diklasifikasikan ke dalam kategori tertentu, misalnya mata pelajaran yang sulit, sedang, dan mudah. Misalnya, pelajaran Matematika dan IPA diklasifikasikan sulit, Bahahsa sedang, IPS mudah. Pertanyaannya: atas dasar apa klasifikasi itu ditetapkan ? Padahal, sukar dan mudah-nya materi pelajaran tidak semata-mata terletak pada kondisi inheren materi itu sendiri, melainkan terutama sekali ditentukan oleh kondisi operasional pembelajaran yang melibatkan peranan peserta didik dan kondisi lingkungan. Peranan guru sangan dominan untuk menjadikan suatu materi pelajaran menjadi mudah atau sulit dipelaraji siswa.

    C. Langkah-Langkah Evaluasi Proses dan hasil Penilaian:

    Menurut Astiti (2017: 17-18), langkah-langkah evaluasi proses dan hasil penilaian dapat dilakukan dengan beberapa tahap antara lain:

    1. Menyusun rencana penilaian atau evaluasi hasil belajar. Hal ini dilakukan dengan merumuskan tujuan dilakukannya penilaian hasil belajar, menetapkan aspek-aspek yang akan dinilai (kognitif, afektif, psikomotor), memilih dan menentukan Teknik yang akan digunakan.
    2. Menghimpun data. Tahap ini dilakukuan dengan melakukan pengukuran yaitu menggunakan instrument penilaian yang telah disusun untuk memperoleh data terkait.
    3. Melakukan verifikasi data. Verifikasi data perlu dilakukan agar kita dapat memisahkan data yang “baik” yaitu data yang akan memperjelas gambaran mengenai peserta didik yang sedang dievaluasi dari data yang “kurang baik” yaitu data yang akan mengaburkan gambaran mengenai peserta didik.
    4. Mengolah dan menganalisis data. Tujuan dari langkah ini adalah memberikan makna terhadap data yang telah dihimpun.
    5. Melakukan penafsiran atau interpretasi dan menarik kesimpulan. Tahap ini merupakan proses verbalisasi terhadap makna yang terkandung pada data yang telah diolah dan dianalisis.
    6. Menindaklanjuti hasil evaluasi berdasarkan data yang telah dihumpun, diolah, dianalisis dan disimpulkan maka dapat dilakukan pengambilan keputusan atau merumuskan kebijakan sebagai tindak lanjut yang konkret dari seluruh kegiatan penilaian.

    D. Tujuan dan Fungsi Model Pengajaran Remedial

    According to Singh (2004: 16-17), remedial teaching organized in various ways has a potentially important role. There has been quite a rapid expansion of remedial teaching servicesince the late 1940s when public concern grew about the large number of backward readers in schools. Some remedial teachers work in schools with groups and individuals who need extra help, especially early in the junior school. In a few cases they work in centres which children attend several times a week. More frequently they are peripatetic teachers visiting a numberof schools to teach groups and in some well organized services giving advice on materials and methods, undertaking surveys and other services. Their work should be closely integrated with the school pshychological services. Sometimes they work in and from child guidance centres.

    As Sampson (1968) points out in reporting the result of a survey of remedial teaching, the original aim of remedial teaching was to remedy education retardation, i.e., children who were failing educationally but normal in ability. It soon became apparent the remedial teachers could not concentrate on ‘und‘r-functioning’ children and, as Sampson’s survey shows, remedial teachers have been trying to help schools cope with children who are backward because of social and cultural limitations, lowish ability and emotional difficulties. Some of these children need special education rather than remedial teaching. The remedy for junir high school children who are show to acquire basic educational skills is not twice-weekly sessions with a remedial teacher but the provision of good teaching, smaller classes, an active child-centred approach emphasizing language development an experience. Remedial teaching has sometimes been used as a palliative, whereas more radical remedies are needed. This is not to say that remedial teaching, especially when it includes an advisory element, does not provide a very useful service. But the training and experience of remedial theachers should perhaps be focused increasing on the children who have specific and severe learning disabilities-children for whom something more than good teaching seems to be needed.

    Menurut Singh (2004: 16-17), pengajaran remedial yang diselenggarakan dengan berbagai cara memiliki peran yang berpotensi penting. Sudah ada ekspansi yang cepat dari layanan pengajaran perbaikan sejak akhir 1940-an ketika perhatian publik tumbuh tentang banyaknya pembaca terbelakang di sekolah. Beberapa guru remedi bekerja di sekolah dengan kelompok dan individu yang membutuhkan bantuan tambahan, terutama di awal sekolah menengah pertama. Dalam beberapa kasus mereka bekerja di pusat-pusat yang anak-anak menghadiri beberapa kali seminggu. Lebih sering mereka adalah guru-guru yang bergerak mengunjungi sejumlah sekolah untuk mengajar kelompok-kelompok dan dalam beberapa layanan yang terorganisasi dengan baik memberikan nasihat tentang bahan dan metode, melakukan survei dan layanan lainnya. Pekerjaan mereka harus terintegrasi erat dengan layanan psikologi sekolah. Terkadang mereka bekerja di dan dari pusat bimbingan anak.

    Sebagai Sampson (1968) menunjukkan dalam melaporkan hasil survei pengajaran remedial, tujuan asli dari pengajaran remedial adalah untuk memperbaiki retardasi pendidikan, yaitu, anak-anak yang gagal dalam pendidikan tetapi normal dalam kemampuan. Segera menjadi jelas bahwa guru-guru perbaikan tidak dapat berkonsentrasi pada anak-anak yang ‘tidak berfungsi’ dan, seperti yang ditunjukkan survei Sampson, guru-guru remedial telah berusaha membantu sekolah mengatasi anak-anak yang terbelakang karena keterbatasan sosial dan budaya, kemampuan rendah dan kesulitan emosional. Beberapa dari anak-anak ini membutuhkan pendidikan khusus daripada pengajaran remedial.

    Obat untuk anak-anak junir sekolah menengah yang menunjukkan untuk memperoleh keterampilan pendidikan dasar bukanlah sesi dua kali seminggu dengan guru remedial tetapi penyediaan pengajaran yang baik, kelas yang lebih kecil, pendekatan yang berpusat pada anak yang aktif menekankan perkembangan bahasa sebuah pengalaman. Pengajaran remedial terkadang digunakan sebagai paliatif, sedangkan pengobatan yang lebih radikal dibutuhkan. Ini bukan untuk mengatakan bahwa pengajaran remedial, terutama ketika itu termasuk elemen penasehat, tidak memberikan layanan yang sangat berguna. Tetapi pelatihan dan pengalaman guru-guru perbaikan mungkin harus difokuskan pada peningkatan anak-anak yang memiliki ketidakmampuan belajar yang spesifik dan berat – anak-anak yang membutuhkan sesuatu yang lebih dari pengajaran yang baik.

    According to Jangid and Inda (2016: 98-99), there are a unit variety of reasons why a student would possibly would like remedial education. Some students attend schools of poor quality and do not receive adequate grounding in mathematics and language to organize them for school or life. Other students might have transferred in and out faculties’ of colleges or missed school plenty, making gaps in their education that contribute to the lack of information in core subjects. Students can also have learning disorders and other problems that have impaired their ability to find out. In remedial education, people are usually given assessments to determine their level of competency. Based on test results, the pupils are placed in classes which are most likely to provide benefits. Classes are often little, with a spotlight on high teacher-student interaction, and that they will occur at the hours of darkness or throughout the day to accommodate various needs. Within the course of the category, the teacher can bring students up to hurry in order that they need skills comparable to those of their peers.

    Menurut Jangid dan Inda (2016: 98-99), ada berbagai macam alasan mengapa seorang siswa mungkin ingin mendapatkan pendidikan perbaikan. Beberapa siswa menghadiri sekolah dengan kualitas buruk dan tidak menerima landasan yang cukup dalam matematika dan bahasa untuk mengatur mereka untuk sekolah atau kehidupan. Siswa lain mungkin telah mentransfer masuk dan keluar fakultas ‘perguruan tinggi atau melewatkan banyak sekolah, membuat kesenjangan dalam pendidikan mereka yang berkontribusi pada kurangnya informasi dalam mata pelajaran inti. Siswa juga dapat memiliki gangguan belajar dan masalah lain yang mengganggu kemampuan mereka untuk mencari tahu. Dalam pendidikan remedi, orang biasanya diberikan penilaian untuk menentukan tingkat kompetensi mereka. Berdasarkan hasil tes, siswa ditempatkan di kelas yang paling mungkin memberikan manfaat. Kelas sering sedikit, dengan sorotan pada interaksi guru-siswa yang tinggi, dan bahwa mereka akan terjadi pada jam kegelapan atau sepanjang hari untuk mengakomodasi berbagai kebutuhan. Dalam kursus kategori, guru dapat membawa siswa ke atas terburu-buru agar mereka membutuhkan keterampilan yang sebanding dengan rekan-rekan mereka.

    Menurut Masbur (2012: 348-361), tujuan pengajaran remedial tidak berbeda dengan pengajaran dalam rangka mencapai tujuan belajar yang telah ditetapkan. Secara khusus pengajaran perbaikan bertujuan agar siswa yang mengalami kesulitan belajar dapat mencapai prestasi belajar yang diharapkan melalui proses perbaikan. Tujuan pembelajaran remedial adalah untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan belajar dengan memperbaiki prestasi belajarnya.

    Adapun fungsi pengajaran remedial antara lain:

    1. Fungsi korektif

    Fungsi korektif adalah dapat dilakukan pembetulan atau perbaikan terhadap hal-hal yang dipandang belum memenuhi apa yang diharapkan dalam proses pembelajaran. Sebelum proses belajar mengajar dimulai, guru membuat perencanaan pembelajaran agar memperoleh hasil yang diharapkan. Dengan demikian, guru dapat mengetahui perbedaan individual siswa dan kesulitan belajar siswa tersebut.

    2. Fungsi pemahaman

    Fungsi pemahaman yaitu memungkinkan guru, siswa dan pihak lain dapat memperoleh pemahaman yang lebih baik terhadap pribadi siswa. Kepribadian siswa sangat mempengaruhi hasil belajarnya. Oleh karena itu, guru atau pihak lain dapat memahami kepribadian pada diri siswa atau perbedaan pada masing-masing siswa.

    3. Fungsi penyesuaian

    Fungsi penyesuaian yaitu pengajaran remedial dapat membentuk siswa untuk bisa beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Siswa dapat belajar sesuai dengan kemampuannya sehingga peluang untuk mencapai hasil lebih baik lebih besar. Tuntutan disesuaikan dengan jenis, sifat, dan latar belakang kesulitan sehingga termotivasi untuk belajar.

    Adapun pelaksanaan program ini dapat dilakukan secara relevan dengan tingkat yang dimiliki siswa dikarenakan faktor individual siswa dalam memahami suatu bidang studi. Maka fungsi penyesuaian ini memungkinkan individual siswa dengan karakter tertentu dapat termotivasi untuk belajar.

    4. Fungsi pengayaan

    Fungsi pengayaan yaitu dapat memperkaya proses belajar mengajar. Pengayaan dapat melalui atau terletak dalam segi metode yang dipergunakan dalam pengajaran remedial sehingga hasil yang diperoleh lebih banyak, lebih dalam atau dengan singkat prestasi belajarnya lebih kaya. Adanya daya dukung fasilitas teknis, serta sarana penunjang yang diperlukan. Sasaran pokok fungsi ini ialah agar hasil remedial itu lebih sempurna dengan diadakannya pengayaan.

    Semakin banyak hasil belajar yang diperoleh dan semakin dalam ilmu yang didapat, maka prestasi belajarnya pun semakin meningkat.

    5. Fungsi terapetik

    Fungsi terapetik yaitu secara langsung ataupun tidak, pengajaran perbaikan dapat memperbaiki atau menyembuhkan kondisi kepribadian yang menyimpang. Penyembuhan ini dapat menunjang penyampaian prestasi belajar dan pencapaian prestasi yang baik dapat mempengaruhi pribadi.

    Menurut Abujundi dan Setiawati (2018: 55-56), pengajaran remedial, bertujuan agar siswa dapat mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan, sekurang-kurangnya sesuai dengan derajat ketuntasan minimum. Pengajaran remedial memiliki beberapa fungsi, yaitu:

    1. Fungsi korektif yang memungkinkan terjadinya perbaikan hasil belajar dan perbaikan segi-segi kepribadian siswa.
    2. Fungsi pemahaman yang memungkinkan siswa memahami kemampuan dan kelemahannya serta memungkinkan guru menyesuaikan strategi pembelajaran sesuai dengan kondisi siswa.
    3. Fungsi penyesuaian yang memungkinkan siswa menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan memungkinkan guru menyesuaikan strategi pembelajaran sesuai dengan kemampuannya.
    4. Fungsi pengayaan yang memungkinkan siswa menguasai materi lebih banyak dan mendalam. Sememungkinkan guru mengembangkan berbagai metode yang sesuai dengan karakteristik siswa.
    5. Fungsi akseleratif yang memungkinkan siswa mempercepat proses belajarnya dalam menguasai materi yang disajikan dan yang terakhir.
    6. Fungsi terapeutik yang memungkinkan terjadinya perbaikan segi-segi kepribadian yang menunjang keberhasilan belajar.

    Menurut Slamet (100-103), tujuan pembelajaran remedial adalah agar siswa dapat:

    1. Memahami dirinya, khususnya yang menyangkut prestasi dan kesulitannya.
    2. Mengubah dan memperbaiki cara-cara belajar yang lebih baik sesuai dengan jenis kesulitannya.
    3. Memilih materi dan fasilitas belajar secara tepat untuk mengatasi kesulitan belajar.
    4. Mengatasi hambatan-hambatan belajar yang menjadi latar belakang kesulitannya.
    5. Mengembangkan sikap dan   kebiasaan baru yang dapat mendorong tercapainya hasil belajar yang baik.
    6. Melaksanakan tugas-tugas belajar yang diberikan


    Sedangkan, fungsi pembelajaran remedial, yaitu:

    1. Fungsi korektif yakni mengadakan perbaikan atau pembetulan terhadap kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh siswa.
    2. Fungsi Penyesuaian yakni membuat siswa mampu memahami diri dalam kemampuan dan keterampilannya.
    3. Fungsi pengayaan yakni pengajuan perbaikan yang diharapkan mampu memperkaya pengetahuan.
    4. Fungsi percepatan yakni perbaikan diharapkan  akan  dapat mempercepat penguasaan siswa terhadap bahan pelajaran

    According to Sharma (2005: 218-221), if the goal of developmental and of remedial teaching is  the same, the background and attributes of the teachers involved ought to be similar. In fact, more often that not, the same classroom teacher handles, whatever, remedial teaching is done as well as the developmental teaching in a given classroom. Yet as the notion of differentiated roles for teacher becomes more widely accepted an implemented, discussion of differences between developmental and remedial teachers ca be more than academic.

    Menurut Sharma (2005: 218-221), jika tujuan pengembangan dan pengajaran remedial adalah sama, latar belakang dan atribut para guru yang terlibat haruslah serupa. Bahkan, lebih sering bahwa tidak, guru kelas yang sama menangani, apa pun, pengajaran remedial dilakukan serta pengajaran perkembangan di kelas yang diberikan. Namun karena gagasan peran yang berbeda untuk guru menjadi lebih diterima secara luas, diskusi tentang perbedaan antara guru pengembangan dan remedial lebih dari sekadar akademik.

    E. Bentuk dan Aspek Pengajaran Remedial

    Menurut Malawi dan Kardawati (2018: 231), Pelaksanaan pembelajaran remedial disesuaikan dengan jenis dan tingkat kesulitan peserta didik yang dapat dilakukan dengan cara:

    1. Pemberian bimbingan secara individu
    2. Pemberian bimbingan secara kelompok
    3. Pemberian pembelajaran ulang dengan metode dan media yang berbeda
    4. Pemanfaatan tutor sebaya

    According to Sharma (2009: 22-25), remedial teaching as the name suggest, is the teaching that is undertaken for providing remedial education to those who are in need of such education for overcoming their deficiencies, weakness and difficulties related with the learning activities pertaining to some area or aspects of a particular subject.

    Organisation of Remedial Teaching. Remedial teaching in the subject physical or life sciences can take various forms like below

    1. Class teaching
    2. Group tutorial teaching
    3. Individual tutorial teaching
    4. Supervised tutorial teaching
    5. Auto-instructional teaching
    6. Informal teaching

    Let us discuss now all these forms and aspects of remedial teaching.

    1. Class Teaching. In this system or schedule of remedial teaching, the usual composition and structure of the class is not disturbed. The teacher here teaches a particular lesson/ unit, emphasizes a point again and again, repeats the experiments or uses some specific teaching aid in order to remove the difficulties and deficiencies of the learners in terms of the acquisition of the desired learning experiences. The class as a whole is benefitted through such type of remedial teaching It proves particularly useful in the removal of the weakness and learning difficulties of the general nature.
    2. Group Tutorial Teaching. Here the students of the class are divided into some homogeneous groups called turorial groups on the basis of their common learning difficulties and identical weakness or deficiencies in the acquisition of the learning experiences in some or the other areas or aspects of the subject. These groups are then taught separately by the same teacher or different teachers according to the nature of the difficulties and deficiencies. The tutor incharge of a tutorial group then tries to solve the difficulties of the learners, hovewer, collectively on a group basis. The weak areas or aspects of the curriculum identified through diagnostic testing are properly attended by the teacher according to the needs and requirement of the pupils of the group. In case, it is related to particular work, due care and proper attention is now paid by the teacher over his own demonstration work as well as on the practical and project work done by the students in their respective groups.

    The group tutorial teaching proves advantageous over the class teaching in mnay aspects. Here the students who heve common problems and difficulties in their learning are more helped in overcoming their difficulties and deficiencis. It makes the task of teaching-learning quite interested and goal oriented. In class  teaching there remains a lot of chances that the time ang energy of many of the students who do not suffer with a certain learning deficiency or difficulty will go in vain by attending to the remedial teaching not at all needed by them. Moreover, the number of students in group turorial teaching is comparatively reduced. It results in making the task of the teaching more convenient, and effective for providing better coaching and practice in terms of the needed remedial education.

    3. Individual Tutorial Teaching. In this schedule every learner, who feels learning difficulty of one or the other nature, is attended individually for overcoming his deficiencies or weakness. It is one to one coaching, help and guidance that is rendered by the teacher to the learner as and when needed by him in oerder to actualize his potentialities to the maximum. Therefore in this type of remedial teaching, maximum consideration may be provided to the principle of individual difference in the direction of the best results in the task of teaching and learning. Here the students may progress according to their own pace, abilities and capacities and get adequate help, individual attention and reinforcement for coping up with their deficiencies and difficulties on the path of learning.

    4. Supervised Tutorial Teaching. In this schedule of remedial teaching the responsibility of overcoming the learning difficulties and removing deficiencies in some learning areas is handed over to the learners  themselves. They have to work at their own for removing their difficulties and deficiencies. The role of the teacher is confined to observe and supervise the learning activities and provide as much help as necessary to carry on them on their path of self learning and self correction. This type of supervision can be made on the individual as well as tutuorial group levels. The students may opt to work in the group or individually for solving their difficulties and overcoming their learning deficiencies.

    5. Auto-Instructional Teaching. This type of remedial teaching consists of auto-instructional programmes and activities. Here the learner is provided with basic auto-instructinal and self learning material and equipments like programmed learning text books and packages, auto-learning modules, teaching machines and computer assisted programmed instuctions etc. This material helps the pupil to gain sufficient practice and drill work in the areas of his weakness and acquire necessary confidence in overcoming his difficulties and deficiencies through the well programmed self-instructional material.

    6. Informal Teaching. Informal science education and teaching suitably planned and assimilated with the formal science education of the scholl may go in a big way to act as a source and means of remedial education to the needy students. The activities connected with such informal education in the form of excurcions or trips, collecting material for the science museum, improvising science apparatus, working on useful scientific projects, engaging in the scientific  hobbies, establishing acquarium, vivarium, terrarium, botanical garden, zoo and nature study corner in the school campus and participating in the science club activities, etc. Make the study of science a joyful event. These activities suit the diversified interest of the students and provide unique and special opportunities to learn and practise the facts and principles of science. The learning difficulties arised out of the lack of interest, non-availability of direct and first hand learning experience, deficiencies in the methodology of teaching, psychological needs and problems of the learners and host of pother reasons may be easily overcome through the organisation of useful non-formal activities of scientific interest in the schools.

                Menurut Sharma (2009: 22-25), pengajaran remedial seperti namanya, adalah pengajaran yang dilakukan untuk memberikan pendidikan remedial kepada mereka yang membutuhkan pendidikan semacam itu untuk mengatasi kekurangan mereka, kelemahan dan kesulitan terkait dengan kegiatan pembelajaran. berkaitan dengan beberapa area atau aspek dari subjek tertentu.

    Organisasi Pengajaran Remedial. Pembelajaran remedial dalam subjek ilmu fisik atau kehidupan dapat mengambil berbagai bentuk seperti di bawah ini

    1. Pengajaran kelas

    2. Mengajar tutorial kelompok

    3. Pengajaran tutorial individu

    4. Mengawasi pengajaran tutorial

    5. Ajaran otomatis instruksional

    6. Mengajar informal

    Mari kita diskusikan sekarang semua bentuk dan aspek pengajaran remedial ini.

    1. Pengajaran Kelas. Dalam sistem atau jadwal pengajaran remedial ini, komposisi dan struktur kelas yang biasa tidak terganggu. Guru di sini mengajarkan pelajaran / unit tertentu, menekankan satu titik lagi dan lagi, mengulangi percobaan atau menggunakan beberapa alat bantu mengajar khusus untuk menghilangkan kesulitan dan kekurangan peserta didik dalam hal perolehan pengalaman belajar yang diinginkan. Kelas secara keseluruhan diuntungkan melalui jenis pengajaran remedial. Hal ini terbukti sangat berguna dalam menghilangkan kelemahan dan kesulitan belajar secara umum.

    2. Pengajaran Tutorial Kelompok. Di sini para siswa kelas dibagi menjadi beberapa kelompok homogen yang disebut kelompok turorial atas dasar kesulitan belajar bersama mereka dan kelemahan atau kekurangan yang sama dalam perolehan pengalaman belajar di beberapa atau area lain atau aspek dari subjek. Kelompok-kelompok ini kemudian diajarkan secara terpisah oleh guru yang sama atau guru yang berbeda sesuai dengan sifat kesulitan dan kekurangannya. Tutor yang lebih besar dari kelompok tutorial kemudian mencoba untuk memecahkan kesulitan peserta didik, hovewer, secara kolektif atas dasar kelompok. Area lemah atau aspek kurikulum yang diidentifikasi melalui tes diagnostik dihadiri oleh guru sesuai dengan kebutuhan dan kebutuhan murid kelompok. Dalam hal, itu terkait dengan pekerjaan tertentu, perhatian dan perhatian yang tepat sekarang dibayar oleh guru atas pekerjaan demonstrasi sendiri serta pada kerja praktis dan proyek yang dilakukan oleh siswa dalam kelompok masing-masing.

    Pengajaran tutorial kelompok terbukti menguntungkan atas pengajaran kelas dalam aspek mnay. Di sini para siswa yang memiliki masalah umum dan kesulitan dalam belajar mereka lebih terbantu dalam mengatasi kesulitan dan kekurangan mereka. Itu membuat tugas belajar mengajar cukup tertarik dan berorientasi pada tujuan. Di kelas mengajar tetap ada banyak peluang bahwa waktu dan energi dari banyak siswa yang tidak menderita dengan kekurangan belajar tertentu atau kesulitan akan sia-sia dengan menghadiri pengajaran remedial yang tidak dibutuhkan sama sekali oleh mereka. Selain itu, jumlah siswa dalam pengajaran turorial kelompok relatif berkurang. Ini menghasilkan tugas mengajar menjadi lebih nyaman, dan efektif untuk memberikan pelatihan dan praktik yang lebih baik dalam hal pendidikan remedial yang dibutuhkan.

    3. Pengajaran Tutorial Individu. Dalam jadwal ini setiap pelajar, yang merasa kesulitan belajar dari satu atau yang lain, dihadiri secara individu untuk mengatasi kekurangan atau kelemahannya. Ini adalah 1-1 pelatihan, bantuan dan bimbingan yang diberikan oleh guru kepada pelajar sebagai dan ketika diperlukan oleh dia di oerder untuk mengaktualisasikan potensi ke maksimum. Oleh karena itu dalam jenis pengajaran remedial, pertimbangan maksimum dapat diberikan kepada prinsip perbedaan individu dalam arah hasil terbaik dalam tugas mengajar dan belajar. Di sini para siswa dapat maju sesuai dengan kecepatan, kemampuan, dan kemampuan mereka sendiri dan mendapatkan bantuan yang memadai, perhatian dan penguatan individu untuk mengatasi kekurangan dan kesulitan mereka pada jalur pembelajaran.

    4. Pengajaran Tutorial yang diawasi. Dalam jadwal pengajaran remedial tanggung jawab mengatasi kesulitan belajar dan menghilangkan kekurangan di beberapa area pembelajaran diserahkan kepada peserta didik itu sendiri. Mereka harus bekerja sendiri untuk menghilangkan kesulitan dan kekurangan mereka. Peran guru dibatasi untuk mengamati dan mengawasi kegiatan pembelajaran dan memberikan bantuan sebanyak yang diperlukan untuk meneruskannya pada jalur belajar mandiri dan koreksi diri. Jenis pengawasan ini dapat dilakukan pada individu maupun tingkat kelompok tutuorial. Para siswa dapat memilih untuk bekerja dalam kelompok atau secara individu untuk memecahkan kesulitan mereka dan mengatasi kekurangan belajar mereka.

    5. Pengajaran Instruksional Otomatis. Jenis pengajaran remedial ini terdiri dari program dan aktivitas instruksi otomatis. Di sini peserta didik diberikan materi dan peralatan pembelajaran otomatis dasar dan belajar mandiri seperti buku teks dan paket belajar yang diprogram, modul pembelajaran otomatis, mesin pengajar dan komputer yang diprogram dengan panduan, dll. Materi ini membantu siswa mendapatkan latihan yang cukup dan melatih kerja. di area kelemahannya dan mendapatkan kepercayaan yang diperlukan dalam mengatasi kesulitan dan kekurangannya melalui materi pembelajaran mandiri yang terprogram dengan baik.

    6. Pengajaran Informal. Pendidikan sains informal dan pengajaran yang direncanakan sesuai dan diasimilasikan dengan pendidikan sains formal dari scholl dapat berjalan dengan cara besar untuk bertindak sebagai sumber dan sarana pendidikan remedial bagi siswa yang membutuhkan. Kegiatan yang terkait dengan pendidikan nonformal dalam bentuk excurcions atau perjalanan, mengumpulkan materi untuk museum sains, improvisasi aparatur sains, bekerja pada proyek ilmiah yang berguna, terlibat dalam hobi ilmiah, mendirikan acquarium, vivarium, terarium, kebun raya, kebun binatang dan sudut belajar alam di kampus sekolah dan berpartisipasi dalam kegiatan klub sains, dll. Jadikan pelajaran sains sebagai acara yang menyenangkan. Kegiatan-kegiatan ini sesuai dengan minat yang beragam dari para siswa dan memberikan kesempatan unik dan khusus untuk belajar dan mempraktekkan fakta-fakta dan prinsip-prinsip sains. Kesulitan belajar timbul karena kurangnya minat, tidak tersedianya pengalaman pembelajaran langsung dan langsung, kekurangan dalam metodologi pengajaran, kebutuhan psikologis dan masalah peserta didik dan tuan rumah alasan pother dapat dengan mudah diatasi melalui organisasi yang bermanfaat. kegiatan non-formal dari minat ilmiah di sekolah-sekolah.

    2.1.5 Prinsip Dasar Model Pengajaran Remedial

    According to Kumar (2016: 36-38), remedial teaching consists of remedial activities taking place along with the regular teaching outside the regular class teaching and usually conducted by a special teacher. The type of remedial treatment given to the students depends on the character of the diagnosis made. If physical factors are responsible, remedial attention should be provided.

    The following are the general principles of remedial teaching:

    1.            Individual consideration of the backward pupil with recognition of his mental, physical and educational characteristics.

    2.            Thorough diagnosis with a pretest.

    3.            Early success for the pupil in his backward subject or subjects by use of suitable methods and materials.

    4.            Dissipation of emotional barriers through early success, praise, continuous help, sympathetic consideration of his difficulties and sustained interest.

    5.            The need for a new orientation towards the backward subject through new methods involving play way approaches, activities and appropriately graded materials.

    6.            Frequent planned remedial lessons.

    7.            Co-operation with the parents.

    Menurut Kumar (2016, 36-38), pengajaran remedial terdiri dari aktivitas-aktivitas perbaikan yang terjadi bersamaan dengan pengajaran reguler di luar pengajaran kelas reguler dan biasanya dilakukan oleh seorang guru khusus. Jenis perawatan remedial yang diberikan kepada siswa tergantung pada karakter diagnosis yang dibuat. Jika faktor fisik bertanggung jawab, perhatian perbaikan harus diberikan.

    Berikut ini adalah prinsip-prinsip umum pengajaran remedial:

    1.            Pertimbangan individu dari murid terbelakang dengan pengakuan mentalnya, fisik dan karakteristik pendidikan.

    2.            Diagnosis menyeluruh dengan pretest.

    3.            Keberhasilan awal untuk murid dalam subjek terbelakang atau subjek dengan menggunakan yang sesuai metode dan materi.

    4.            Disipasi hambatan emosional melalui keberhasilan awal, pujian, bantuan berkelanjutan, pertimbangan simpatik atas kesulitan dan minatnya yang berkelanjutan.

    5.            Kebutuhan akan orientasi baru terhadap subjek yang terbelakang melalui metode-metode baru melibatkan pendekatan cara bermain, kegiatan dan materi yang dinilai secara tepat.

    6.            Pelajaran remedial yang sering direncanakan.

    7.            Bekerjasama dengan orang tua.

    Menurut al-Taubany dan Suseno (2017: 362-367), beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran remedial sesuai dengan sifatnya sebagai pelayanan khusus, yaitu:

    1.            Adaptif. Pembelajaran remedial hendaknya memungkinkan peserta didik untuk belajar sesuai denga daya tangkap, kesempatan dan gaya masing-masing

    2.            Interaktif. Pembelajaran remedial hendaknya melibatkat keaktifan guru untuk secara intensif berinteraksi dengan pesrta didk dan selalu memberikan monitoring dan pengawasan agar mengetahui kemajuan belajar peserta didiknya.

    3.            Fleksibilitas dalam metode pembelajaran dan penilaian. Pembelajaran remedial perlu menggunakan berbagai metode pembelajaran dan metode penilaian yang sesuai dengan karakteristik peserta didik.

    4.            Pemberian umpan balik sesegera mungkin. Umpan balik berupa informasi yang diberikan terhadap kepada peserta didk mengenai kemajuan belajarnya perlu diberikan sesegera mungkin agar dapat menghindari kekeliruan yang berlarut-larut.

    5.            Pelayanan sepanjang waktu. Pembelajaran remedial harus berkesinambungan dan programnya selalu tersedia agar setiap saat peserta didik dapat mengaksesnya sesuai dengan kesempatan masing- masing.

    Menurut Darmadi (2017: 384-385), berdasarkan pembelajaran dalam KTSP (Depdiknas 2008). Bahwa sesuai dengan sifatnya sebagai pelayan khusus pembelajaran remedial memiliki beberapa prinsip sebagai berikut:

    1.            Adaptif. Program pembelajaran remedial hendaknya memungkin peserta di didik untuk belajar sesuai kecepatan, kesempatan, dan gaya belajar masing-masing. Dengan kata lain, pembelajaran remedial harus mengakomodasi perbedaan individual pesrta didik.

    2.            Interaktif. Pembelajaran remedial hendaknya memungkinkan pesrta didik untuk secara intensif berinteraksi dengan pendidik dan sumber belajar yang tersedia. Hal ini didasarkan kegiatan peserta didik  yang bersifat perbaikan perlu selalu mendapat monitoring dan pengawasan agar diketahui kemajuan belajarnya.

    3.            Flesibelitas dalam Metode Pembelajaran dan Penilaian. Bahwa dalam pembelajaran remedial perlu digunakan sebagai metode mengajar dan metode penilaian yang sesuai dengan karakteristik peserta didik.

    4.            Pemberian Umpan Balik Segera Mungkin. Umpan balik dapat bersifat korektif maupun konfirmatif. Dengan sesegera mungkin memberikan umpan balik dapat dihindari kekeliruan belajar yang berlarut-larut yang dialami peserta didik.

    5.            Kesinambungan dan Ketersediaan Pemberian Pelayanan. Program pembelajaran reguler dengan pembelajaran remedial adalah satu kesatuan, dengan demikian program pembelajaran reguler dengan remedial harus berkesinambungan.

    2.1.6 Pendekatan Dalam Pelaksanaan Remedial di Sekolah

    Menurut Masbur (2012: 348-361), ada beberapa pendekatan belajar dalam pelaksanaan remedial dengan harapan dapat membantu siswa dalam memecahkan berbagai masalah. Menurut Saiful Bahri Djamarah adalah baik pendekatan yang bersifat umum maupun pendekatan yang bersifat keagamaan (khusus). Antara lain yaitu:

    1. Pendekatan individual

    Pendekatan individual merupakan interaksi antara guru-siswa secara individual dalam proses belajar mengajar. Pendekatan individual adalah suatu upaya untuk memberikan kesempatan kepada siswa agar dapat belajar sesuai dengan kebutuhan, kecepatan, dan caranya. Jadi pendekatan individual adalah pendekatan bersifat perorang, yaitu dikarenakan perbedaan individual siswa atau mempunyai karakteristik tersendiri yang berbeda dari satu siswa dengan siswa lain baik dari cara mengemukakan pendapat, daya serap maupun tingkat kecerdasan dan sebagainya. Persoalan kesulitan belajar lebih mudah dipecahkan dengan menggunakan pendekatan individual, walaupun suatu saat pendekatan kelompok dibutuhkan.

    2. Pendekatan kelompok

    Pendekatan kelompok adalah adanya interaksi diantara anggota kelompok dengan harapan terjadi perbaikan pada diri siswa yang mengalami kesulitan belajar. Dalam kegiatan belajar-mengajar di kelas adanya guru membentuk kelompok kecil. Kelompok tersebut umumnya terdiri dari 3-8 orang siswa. Dalam pembelajaran kelompok kecil, guru memberikan bantuan atau bimbingan kepada tiap kelompok lebih intensif. Pendekatan kelompok bertujuan membina dan menumbuhkan sikap sosial anak didik, hal ini disadari bahwa anak didik adalah sejenis makhluk homo socius, yakni makhluk yang cenderung hidup bersama.

    Siswa dibiasakan hidup bersama, bekerja sama dalam kelompok, akan menyadari bahwa dirinya ada kekurangan dan kelebihan. Yang mempunyai kelebihan mau membantu mereka yang mempunyai kekuranga.

    3. Pendekatan bervariasi

    Pendekatan bervariasi adalah bermacam-macam pendekatan yang dilakukan dalam kegiatan belajar agar terlaksananya proses belajar mengajar yang efektif. Pendekatan ini terjadi karena siswa mempunyai tingkat motivasi yang berbeda, pada satu sisi siswa memiliki motivasi yang rendah, tetapi pada sisi yang lain mempunyai motivasi yang tinggi. Maka pendekatan bervariasi ini sebagai alat yang dapat guru gunakan untuk kepentingan pengajaran.

    4. Pendekatan edukatif

    Edukatif adalah sesuatu yang bersifat mendidik dan segala hal yang berkenaan dengan pendidikan. Pendekatan edukatif yaitu pendekatan yang dilakukan oleh guru, baik dari setiap tindakan, sikap, dan perbuatan yang guru lakukan harus bernilai pendidikan, dengan tujuan untuk mendidik siswa agar menghargai norma hukum, norma susila, norma moral, norma sosial dan norma agama.

    Adapun yang penting untuk diingat adalah bahwa pendekatan individual, pendekatan kelompok, dan pendekatan bervariasi harus berdampingan dengan pendekatan edukatif, dengan tujuan untuk mendidik siswa.

    5. Pendekatan pengalaman

    Pengalaman merupakan suatu kejadian atau perbuatan yang pernah terjadi pada masa dahulu dan mempunyai nilai atau manfaat untuk masa depan. Pendekatan pengalaman yaitu suatu pendekatan yang pembelajarannya harus dilandaskan pada pengalaman siswa sebelumnya. Belajar dari pengalaman adalah lebih baik daripada sekadar bicara, dan tidak pernah berbuat sama sekali.

    6. Pendekatan pembiasaan

    Pembiasaan adalah suatu proses pembentukan kebiasaan-kebiasaan baru atau perbaikan kebiasaan-kebiasaan yang telah ada. Tujuannya agar siswa memperoleh sikap-sikap dan kebiasaan-kebiasaan perbuatan baru yang lebih tepat dan relatif menetap. Pendekatan dengan proses pembentukan kebiasaan-kebiasaan baru atau perbaikan kebiasaan-kebiasaan yang telah ada. Tujuannya agar siswa memperoleh sikap-sikap dan kebiasaan-kebiasaan perbuatan baru yang lebih tepat dan positif.

    7. Pendekatan emosional

    Emosi adalah gejala kejiwaan yang ada di dalam diri seseorang. Emosi berhubungan dengan masalah perasaan. Emosi atau perasaan adalah sesuatu yang peka. Emosi seperti halnya juga perasaan merupakan suatu suasana hati yang membentuk suatu kontinum atau garis. Kontinum ini bergerak dari ujung yang paling positif yaitu sangat senang sampai dengan ujung yang paling negatif yaitu sangat tiadak senang. Emosi akan memberi tanggapan (respons) bila ada rangsangan (stimulus) dari luar diri seseorang. Rangsangan itu misalnya ceramah, sindiran, pujian, ejekan, anjuran, perintah, sikap dan perbuatan.

    Emosi mempunyai peranan yang penting dalam pembentukan kepribadian seseorang. Pendekatan emosional dimaksud di sini adalah suatu usaha untuk menggugah perasaan dan emosi siswa dalam meyakini, memahami, dan menghayati ajaran agamanya. Maka metode mengajar yang perlu dipertimbangkan adalah metode ceramah, bercerita, sosiodrama.

    8. Pendekatan rasional

    Pendekatan rasional ialah pembelajaran yang berpotensi untuk menumbuhkan daya pikir sendiri pada siswa guna memahami, mengamalkan, dan meyakini konsep-konsep dalam pembelajaran remedial. Pendekatan rasional yaitu kemampuan memecahkan masalah dengan menggunakan pertimbangan dan strategi akal sehat, logis dan sistematis.

    Pendekatan dengan menggunakan kemampuan berfikir secara logis dan sistematis. Dengan kekuatan akalnya manusia dapat membedakan mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang buruk. Untuk mendukung pemakaian pendekatan ini, maka metode mengajar yang perlu diberikan adalah metode ceramah, tanya jawab, diskusi, kerja kelompok, latihan dan pemberian tugas.

    9. Pendekatan fungsional

    Pendekatan fungsional adalah suatu pendekatan atau suatu ilmu pengetahuan yang dipelajari bukan hanya untuk mengisi kekosongan intelektual, tetapi diharapkan berguna untuk diimplementasikan ke dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan ini bahwa ia relatif menetap dan setiap saat apabila dibutuhkan, perubahan tersebut dapat direduksi dan dimanfaatkan. Perubahan fungsional dapat diharapkan memberi manfaat yang luas, misalnya ketika siswa menempuh ujian dan menyesuaikan diri dengan lingkungan dalam mempertahankan kelangsungan hidup.

    Dalam hal ini diperlukan penggunaan metode mengajar, antara lain metode latihan, pemberian tugas, ceramah, tanya jawab dan demonstrasi.

    10. Pendekatan keagamaan

    Pendekatan keagamaan adalah suatu pendekatan yang dilakukan dalam setiap bidang studi atau mata pelajaran umum dapat menyatu dengan nilai-nilai agama. Hal ini dimaksud agar nilai budaya ilmu tidak sekuler, seperti mata pelajaran biologi dapat dihubungkan dengan masalah agama dalam surat Yasin ayat 34, bahwa pelajaran biologi tidak dapat dipisahkan dari ajaran agama.

    11. Pendekatan kebermaknaan

    Pendekatan kebermaknaan adalah suatu pendekatan dalam pembelajaran yang mempunyai arti atau dapat lebih berarti bagi siswa. Bahan pelajaran dan kegiatan pembelajaran, menjadi lebih bermakna bagi siswa jika berhubungan dengan kebutuhan siswa yang berkaitan dengan pengalaman, minat, tata nilai dan masa depan yang harus dijadikan pertimbangan dalam mengambil keputusan pengajaran dan pembelajaran untuk membuat pelajaran lebih bermakna bagi siswa.

    Menurut Abujundi dan Setiawati (2018: 55-56), beberapa pendekatan dalam pengajaran remedial pada akhirnya dikembangkan oleh guru ke dalam berbagai strategi pelayanan pengajaran remedial, yaitu:

    1.            Pendekatan kuratif, pendekatan yang dilakukan setelah diketahui adanya siswa yang gagal mencapai tujuan pembelajaran. Tiga strategi yang dapat dikembangkan oleh guru, yaitu strategi pengulangan, pengayaan dan pengukuhan serta strategi percepatan.

    2.            Pendekatan preventif, pendekatan yang ditujukan kepada siswa yang pada awal kegiatan belajar telah diduga akan mengalami kesulitan belajar. Strategi pengajaran yang dapat dilakukan, yaitu kelompok homogen, individual, kelas khusus.

    3.            Pendekatan yang bersifat pengembangan, pendekatan yang didasarkan pada pemikiran bahwa kesulitan siswa harus diketahui guru sedini mungkin agar dapat diberikan bantuan untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien.

    Metode yang dipakai dalam pengajaran remedial harus disesuaikan dengan karakteristik siswa yang mengalami kesulitan belajar. Beberapa metode yang dapat dipergunakan adalah metode pemberian tugas, diskusi, tanya jawab, kerja kelompok, tutor sebaya, dan pengajaran individual (Chrisnajanti, 2002: 83).

    2.1.7        Langkah Pembelajaran Remedial

    2.1.7.1  Hal yang Dibutuhkan Untuk Pengajaran Remedial

    According to Kumar (2016: 36-38) Teaching involves communication. That is, messages are being sent at one end and received at the other. When the messages are received as they are transmitted, then effective communication is believed to have taken place. Sometimes the message may not get across at all or may reach the other end in a garbled, distorted and unrecognizable version. In such instances a ‘gap’ develops between ‘teaching’ and ‘learning’. Frequently the learner has not learnt what the teacher intended him to learn. In this case, a message is received, but it is not the one which was sent out Several problems arise in dealing with this situation. First of all, the teacher has to find out if the message received by the student IS the one sent out. For that, the teacher has to rely on the feedback from the student what he has received. Usually the student finds it hard to express what he has received and this give the teacher the impression that learning has not taken place at all. So the teacher tries to get the message across through repetition. But if the message received is a wrong one, it has to be ‘cancelled’ before the correct one can be ‘written in’ in order not to create problems of interference. This is one of the functions of remediation.

    It can be inferred that diagnosis is an important factor in imparting teaching .Teaching will be incomplete without diagnosis and remedial teaching. Individuals differ in abilities. Pupils of different levels of ability are likely to be present in a class of forty or fifty. Slow learners, fast learners and average learners — all have to be catered to in different ways. The highly talented should be provided with additional work which requires higher intelligence level and whereas the slow learners have to be specially cared for in order to bring them to the level of the average student. It is valid to consider insight-formation, application, consolidation and revision.

    Ideally, new learning should not be permitted until wrong learning has been cancelled and corrected. This is, however, impractical since remediation is a slow and laborious process. A thing once learnt is difficult to cancel, whether correct or incorrect. Remediation, hence, has to go on simultaneously with the other teaching functions. The more teaching a learner has had, the more he may be in need of remediation.

    The possible causes of failure in learning can be due to interference from concepts previously learnt or over generalization on the basis of previous learning. These errors of learning are caused by the learner taking an active part in the process of learning They tend to adopt a particular learning strategy .Here; the learner tries to simplify the task of learning or transfers hisprecious learning to a new situation. The teacher is in no way responsible for these errors. He can probably do nothing to prevent them.

    The appropriate strategy of remediation can be determined by the types of errors which have to be dealt with. ‘They need classifying into groups and types as all the individual errors cannot be dealt with practically. Remedial teaching is basically cognitive. The aim is to make the learner conscious about the rules; of concept attainment and his own use of it. A teacher cannot consider remediation as a ‘follow-up’ or an optimal activity.

    Yang Diperlukan Untuk Pengajaran Remedial:

    Mengajar melibatkan komunikasi. Artinya, pesan sedang dikirim di satu ujung dan diterima di ujung yang lain. Ketika pesan diterima saat dikirimkan, maka komunikasi yang efektif diyakini telah terjadi. Kadang-kadang, pesan itu mungkin tidak akan tersebar sama sekali atau mungkin mencapai ujung yang lain dalam versi yang kacau, terdistorsi dan tidak dapat dikenali. Dalam hal-hal semacam itu, ‘celah’ berkembang di antara ‘pengajaran’ dan ‘pembelajaran’. Seringkali pembelajar tidak belajar apa yang diinginkan guru untuk dipelajari. Dalam hal ini, pesan diterima, tetapi bukan pesan yang dikirim. Beberapa masalah muncul dalam menangani situasi ini. Pertama-tama, guru harus mencari tahu apakah pesan yang diterima oleh siswa IS yang dikirim. Untuk itu, guru harus bergantung pada umpan balik dari siswa apa yang telah diterimanya. Biasanya siswa sulit mengungkapkan apa yang telah diterimanya dan ini memberi kesan pada guru bahwa pembelajaran tidak terjadi sama sekali. Jadi, guru mencoba menyampaikan pesan melalui pengulangan. Tetapi jika pesan yang diterima salah, itu harus ‘dibatalkan’ sebelum yang benar dapat ‘ditulis dalam’ agar tidak menimbulkan masalah gangguan. Ini adalah salah satu fungsi remediasi.

    Dapat disimpulkan bahwa diagnosis merupakan faktor penting dalam menanamkan pengajaran. Pengajaran akan tidak lengkap tanpa diagnosis dan pengajaran remedial. Individu berbeda dalam hal kemampuan. Murid tingkat kemampuan yang berbeda cenderung hadir di kelas empat puluh atau lima puluh. Pelajar lambat, cepat belajar dan rata-rata peserta didik – semua harus dilayani dengan cara yang berbeda. Yang sangat berbakat harus diberikan pekerjaan tambahan yang membutuhkan tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dan sedangkan pelajar yang lambat harus dirawat secara khusus untuk membawa mereka ke tingkat rata-rata siswa. Ini sah untuk mempertimbangkan pembentukan wawasan, aplikasi, konsolidasi dan revisi.

    Idealnya, pembelajaran baru tidak boleh diizinkan sampai pembelajaran yang salah telah dibatalkan dan diperbaiki. Hal ini, bagaimanapun, tidak praktis karena remediasi adalah proses yang lambat dan melelahkan. Suatu hal yang pernah dipelajari sulit untuk dibatalkan, apakah benar atau salah. Remediasi, karenanya, harus berjalan bersamaan dengan fungsi pengajaran lainnya. Semakin banyak pengajaran yang dimiliki seorang pembelajar, semakin dia membutuhkan perbaikan.

    Kemungkinan penyebab kegagalan dalam belajar dapat disebabkan oleh interferensi dari konsep yang sebelumnya dipelajari atau generalisasi berlebihan atas dasar pembelajaran sebelumnya. Kesalahan pembelajaran ini disebabkan oleh peserta didik yang mengambil bagian aktif dalam proses pembelajaran. Mereka cenderung mengadopsi strategi pembelajaran tertentu. pembelajar mencoba menyederhanakan tugas belajar atau mentransfer pembelajarannya yang penuh kesungguhan ke situasi baru. Guru sama sekali tidak bertanggung jawab atas kesalahan ini. Dia mungkin tidak bisa melakukan apa pun untuk mencegahnya.

    Strategi remediasi yang tepat dapat ditentukan oleh jenis kesalahan yang harus ditangani. “Mereka perlu mengklasifikasikan ke dalam kelompok dan jenis karena semua kesalahan individu tidak dapat ditangani secara praktis. Pengajaran remedial pada dasarnya bersifat kognitif. Tujuannya adalah untuk membuat pelajar sadar tentang aturan; pencapaian konsep dan penggunaannya sendiri. Seorang guru tidak dapat menganggap remediasi sebagai ‘tindak lanjut’ atau kegiatan yang optimal.

    2.1.7.2  Persiapan Materi Pengajaran Remedial

    According to Kumar (2016: 36-38) Preparation of remedial materials for a child is a crucial aspect of corrective teaching. Remedial materials prepared should meet the following criteria:

    1.            The difficulty of the remedial material should be geared to the child’s readiness and maturity in the subject or skill to be improved. A set of remedial materials should provide a  wide range of difficulty, covering several grades.

    2.            The remedial measures should be designed to correct the pupils’ individual difficulties. Through the use of observation, interview and diagnostic testing materials, the teacher would have analyzed the work of the backward children in order to locate the specific retaining needs. An adequate amount of remedial materials must be provided which is designed to correct the specific difficulties identified.

    3.            The remedial materials should be self-directive. Children may differ widely as to the teaching al materials needed to correct their difficulties. The remedial measures must permit individual rates of progress.

    4.            A method should be provided for recording individual progress.

    5.            When the child has an opportunity to record his 1 her successes on a progress record, he I she is given an additional incentive to achieve.

    Persiapan Bahan Remedial:

    Persiapan bahan-bahan perbaikan untuk anak adalah aspek yang sangat penting dari pengajaran korektif. Bahan remedial yang disiapkan harus memenuhi kriteria berikut:

    a.             Kesulitan bahan remedial harus disesuaikan dengan kesiapan anak dan kedewasaan dalam subjek atau keterampilan yang harus ditingkatkan. Satu set bahan perbaikan harus menyediakan berbagai kesulitan, mencakup beberapa kelas.

    b.            Langkah-langkah perbaikan harus dirancang untuk memperbaiki kesulitan individu murid. Melalui penggunaan observasi, wawancara dan materi pengujian diagnostik, guru akan  menganalisis pekerjaan anak-anak yang terbelakang untuk menemukan yang spesifik  mempertahankan kebutuhan. Sejumlah bahan perbaikan yang memadai harus disediakan dirancang untuk memperbaiki kesulitan spesifik yang diidentifikasi.

    c.             Bahan-bahan perbaikan harus direktif sendiri. Anak-anak mungkin berbeda secara luas dengan mengajarkan materi yang diperlukan untuk memperbaiki kesulitan mereka.

    d.            Langkah-langkah perbaikan harus memungkinkan tingkat kemajuan individu.

    e.             Suatu metode harus disediakan untuk merekam kemajuan individu. Ketika anak itu memiliki kesempatan untuk merekam 1 kesuksesannya pada catatan kemajuan, dia saya dia diberi insentif tambahan untuk mencapainya.

    2.1.7.3  Langkah-Langkah Pembelajaran Remedial

    Al-Taubany & Hadi Suseno. (2017: 362-367) Langkah-langkah pembelajaran remedial secara umum dimulai dari identifikasi permasalahan, melakukan perencanaan, melaksanakan program remedial, dan diakhiri dengan penilaian autentik. Uraian langkah-langkah tersebut akan dipaparkan berikut ini.

    1.                  Identifikasi Permasalahan Pembelajaran

    Penting untuk memahami bahwa “tidak ada dua individu yang persis sama di dunia ini,” begitu juga penting untuk memahami bahwa peserta didik pun memiliki beragam variasi baik kemampuan, kepribadian, tipe dan gaya belajar maupun latar belakang social budaya. Oleh karenanya guru perlu melakukan identifikasi terhadap keseluruhan permasalahan pembelajaran.

    Secara umum identifikasi awal bias dilakukan melalui: (a) observasi (selama proses pembelajaran): (b) penilaian autentik (bisa melalui tes/ulangan harian atau penilaian proses).

    Permasalahan pembelajaran dapat dikategorikan kedalam tiga focus perhatian sebagai berikut:

    a.             Permasalahan pada keunikan peserta didik.

    b.            Permasalahan pada materi ajar.

    c.             Permaslahan pada strategi belajar.

    2.                   Perencanaan

    Setelah melakukan identifikasi awal terhadap permasalahan belajar anak, guru telah memperoleh pengetahuan yang utuh tentang peserta didik dan mulai untuk membuat perencanaan.

    Dengan melihat bentuk kebutuhan dan tingkat kesulitan yang dialami peserta didik, guru bias merencanakan kapan waktu dan cara yang tepat untuk melakukan pembelajaran remedial. Pada prinsipnya pembelajaran remedial bias dilakukan:

    a.             Segera setelah guru mengidentifikasi kesulitan peserta didik dalam proses pembelajaran.

    b.            Menetapkan waktu khusus di luar jam belajar efektif.

    Dalam perencanaan guru perlu menyiapkan hal-hal yang mungkin diperlukan dalam pelaksanaan pembelajaran remedial, seperti:

    a.             Menyiapkan media pembelajaran.

    b.            Menyiapkan contoh-contoh dan alternative aktifitas.

    c.             Menyiapkan materi-materi dan alat pendukung.

    3.            Pelaksanaan

    Setelah perencanaan disusun, langkah selanjutnya adalah melaksanakan program pembelajaran remedial. Ada tiga focus penekanan:

    a.             Penekanan pada keunikan peserta didik.

    b.            Penekanan pada alternative contoh dan aktivitas terkait materi ajar.

    c.             Penekanan pada strategi/metode pembelajaran.

    4.                  Penilaian Autentik

    Penilaian autentik dilakukan setelah pembelajaran remedial selesai dilakukan. Berdasarkan hasil penilaian, bila peserta didk belum mencapai kompetensi minimal yang diterapkan guru, maka guru perlu meninjau kembali strategi pembelajaran remedial yang diterapkannya atau melakukan identifikasi terhadap peserta didik dengan lebih seksama. Apabola peserta didik berhasil mencapai atau melampaui tujuan yang ditetapkan, guru berhasil memberikan pengajaran remedial yang kaya dan bermakna bagi peserta didik, hal ini bias diterapkan sebagai rujukan bagi rekan guru lainnya atau bisa diperkaya lagi. Apabila ditemukan kasus khusus di luar kompetensi guru, guru dapat mengkonsultasikan dengan orangtua untuk selanjutnya dilakukan konsultasi dengan ahli.

    Menurut kadarwati dan malawi (2017:230) Adapun langkah-langkah pengajaran remedial menurut diknas, sebagai berikut :

    1.            Menandai anak yang mengalami kelemahan.

    2.            Meneliti tentang prestasi hasil belajar yang lain.

    3.            Mencari latar belakang penyebab kesulitan anak dalam memahami pelajaran.

    4.            Memberi pertanyaan-pertanyaan atau soal-soal latihan.

    5.            Bila langkah no 4 tidak maksimal maka anak tersebut harus dibiasakan memberi beberapa soal agar terbiasa.

    6.            Memberikan pengajaran remedial atau pengulangan pada bahan ajar tertentu yang belum dikuasai siswa.

     Menurut Malawi, dkk (2018: 164-165). Langkah pelaksanaan pembelajaran remedial yaitu:

    1.            Identifikasi permasalahan pembelajaran, yang dilakukan berdasarkan hasil analisis penilaian harian, tugas, Permasalahan pembelajaran dapat dikategorikan menjadi permasalan pada peserta didik, materi pembelajaran, dan strategi pembelajaran.

    2.            Penyusun perencanaan berdasarkan permasalahan (keunikan peserta didik, materi pembelajaran, dan strategi pembelajaran).

    3.            Hasil penilaian melalui penilaian harian, penguasaan dapat digunakan oleh guru untuk merencanakan perbaikan (remedial) dan pengayaan (enrichment). Penilaian yang dimaksud tidak dapat terpaku pada hasil tes (penilaian harian) pada KD tertentu.

    4.            Pembelajaran remedial dilaksanakan sampai peserta didik mengusaia KD yang ditentukan.

    5.            Teknik pembelajaran remedial bisa diberikan secara individual, kelompok, atau kelasikal. Beberapa metode pembelajaran yang dapat digunakan dalam pelaksanaan pembelajaran remedial yitu: pembelajaran individual, pemberian tugas, diskusi, tanyajawab, kerja kelompok, dan tutor sebaya.

    6.            Aktivitas guru dalam pembelajaran remedial, diantara lain: memberikan tambahan penjelasan atau cintoh, menggunakan strategi pembelajaran yang berbeda dari sebelumnya, mengkaji ulang pembelajaran yang telah lalu, menggunakan berbagai jenis media. Setelah peserta didik mendapatkan perbaikan pembelajaran dilakukan penilaian, untuk mengetahui apakah peserta didik sudah menguasai KD yamg ditetapkan.

    7.            Guru kelas melakukan identifikasi terhadap kesulitan peserta didik, kemudian membuat perencanaan pembelajaran remedial meliputi penentuan materi ajar, penetapan metode, pemilihan media, dan penilaian.

    Menurut Masbur (2012: 348-361), Untuk memperlancar pengajaran remedial dengan sempurna sehingga hasil yang diinginkan tercapai lebih baik, maka pelaksanaan harus melalui langkah-langkah yang tepat dan sistematis. Adapun prosedur pengajaran remedial yaitu:

    1. Meneliti kembali kasus

    Meneliti kembali kasus adalah mendiagnosis kasus kesulitan belajar dengan kriteria di bawah minimal yang dicapai dari hasil belajarnya. Meneliti kembali kasus dengan permasalahannya merupakan tahapan paling fundamental dalam pengajaran remedial karena merupakan landasan titik tolak langkah-langkah berikutnya.

    Adapun tujuan penelitian kembali kasus ini adalah agar memperoleh gambaran yang jelas mengenai kasus tersebut, serta cara dan kemungkinan pemecahannya. Berdasarkan atas penelitian kasus akan dapat ditentukan siswa-siswa yang perlu mendapatkan pengajaran remedial. Kemudian ditentukan besarnya kelemahan yang dialami dan dalam bidang studi apa saja mengalami kelemahan.

    2. Menentukan tindakan yang harus dilakukan

    Menentukan tindakan yang harus dilakukan yaitu menentukan alternatif pilihan yang relevan dengan karakteristik kasus yang ditangani. Langkah ini merupakan lanjutan dari langkah pertama. Dari hasil penelaah dan penelitian kembali kasus yang dilakukan pada langkah pertama itu akan diperoleh karakteristik kasus yang ditangani tersebut, yaitu dapat diklasifikasikan ke dalam tiga golongan yaitu berat, cukup, dan ringan. Dikatakan kasus berat jika siswa belum memiliki cara belajar yang baik, juga memiliki hambatan emosional. Kasus yang cukup adalah jika siswa telah mampu menemukan pola belajar tetapi belum dapat berhasil karena ada hambatan psikologis. Sedangkan pada kasus ringan jika siswa belum menemukan cara belajar yang baik.

    Setelah karakteristik harus ditentukan, maka tindakan pemecahan perlu dipikirkan, yaitu sebagai berikut:

    a.       Kalau kasusnya ringan, tindakan yang ditentukan adalah memberikan pengajaran remedial.

    b.      Kalau kasusnya cukup dan berat, maka sebelum diberikan pengajaran remedial harus diberi layanan konseling lebih dahulu, yaitu untuk mengatasi hambatan-hambatan emosional yang mempengaruhi cara belajarnya.

    3. Pemberian layanan bimbingan dan konseling.

    Layanan bimbingan dan konseling adalah proses bantuan atau pertolongan yang diberikan oleh guru/ konselor kepada siswa melalui pertemuan tatap muka atau hubungan timbal balik antara keduanya, agar siswa memiliki kemampuan atau kecakapan dalam melihat dan menemukan masalahnya serta mampu menyelasaikan masalahnya sendiri. Memberikan arahan atau interaksi antara guru dan siswa dalam memecahkan suatu masalah yang menjadi hambatan mental emosional dalam menghadapi kegiatan belajar.

    Pelayanan bimbingan dan konseling yaitu untuk memberikan jasa, manfaat atau kegunaan, ataupun keuntungan-keuntungan tertentu kepada individu-individu yang menggunakan pelayanan tersebut. Tujuan dari layanan ini adalah mengusahakan terciptanya kesehatan agar siswa yang menjadi kasus itu terbebas dari hambatan mental emosional dan ketegangan batinnya, kemudian siap sedia kembali menghadapi kegiatan belajar secara wajar dan realistis.

    4. Pelaksanaan pembelajaran remedial

    Pelaksanaan pembelajaran remedial merupakan suatu program yang diberikan guru untuk memperbaiki prestasi belajar siswa yang dibawah kriteria ketuntasan minimal. Program ini sebagai upaya guru untuk menciptakan suatu situasi yang memungkinkan individu atau kelompok siswa (dengan karakter) tertentu lebih mampu meningkatkan prestasi seoptimal mungkin sehingga dapat memenuhi kriteria keberhasilan minimal yang diharapkan.

    Sasaran pokok pada langkah ini adalah peningkatan prestasi maupun kemampuan menyesuaikan diri sesuai dengan ketentuan keberhasilan yang telah ditetapkan.

    5. Melakukan pengukuran kembali terhadap prestasi belajar

    Melakukan pengukuran kembali terhadap prestasi adalah dengan mengadakan tes terhadap perubahan pribadi siswa untuk mengetahui proses pengajaran remedial secara menyeluruh.

    Langkah ini adalah melakukan pengukuran terhadap perubahan pada diri siswa yang diberikan pengajaran remedial. Apakah ia sudah mencapai apa yang direncanakan pada kegiatan pelaksanaan remedial atau belum. Maka untuk mengetahui hal itu perlu dilakukan pengukuran terhadap prestasinya kembali dengan alat post-tes atau tes sumatif yang seperti dipergunakan pada proses belajar mengajar yang sesungguhnya.

    6. Melakukan re-evaluasi dan re-diagnostik

    Melakukan re-evaluasi dan re-diagnostik adalah menafsirkan dengan membandingkan kriteria seperti pada proses belajar mengajar yang sesungguhnya. Adapun dari hasil penafsiran itu dapat terjadi 3 kemungkinan dan rekomendasi yang dapat diberikan yaitu:

    a.             Kasus menunjukkan peningkatan prestasi yang dihasilkan sesuai dengan kriteria yang diharapkan, maka selanjutnya diteruskan ke program berikutnya.

    b.            Kasus menunjukkan peningkatkan prestasi, namun belum memenuhi kriteria yang
    diharapkan, maka diserahkan pada pembimbing untuk diadakan pengayaan.

    c.             Kasus belum menunjukkan perubahan yang berarti dalam hal prestasi, maka perlu didiagnosis lagi untuk mengetahui letak kelemahan pengajaran remedial untuk selanjutnya diadakan ulangan dengan alternatif yang sama.

    7. Pengayaan (Tugas Tambahan)

    Pengayaan adalah memperkaya ilmu pengetahuan atau memperluas ilmu pengetahuan siswa dengan memberi tugas tambahan, baik tugas yang dikerjakan di rumah maupun tugas yang dikerjakan di kelas. Langkah ini sama dengan langkah ketiga dan bersifat pilihan (optimal) yang kondisional. Sasaran pokok langkah ini ialah agar hasil remedial itu lebih sempurna dengan tindakan pengayaan. Adapun prosedur pelaksanaan remedial menurut Muhammad Entang adalah identifikasi kasus dan faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya kesulitan belajar tidak akan bermanfaat apabila tidak diikuti dengan tindakan-tindakan yang dapat membantu para siswa yang mengalami kesulitan belajar. Sebelum mengambil tindakan-tindakan tersebut seorang guru perlu merencanakan cara yang menurut pertimbangannya akan dapat membantu siswa. Rencana yang disusun hendaknya didasarkan pada hasil identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya kesulitan belajar.

    Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa melaksanakan pembelajaran remedial berdasarkan prosedur-prosedur yang telah ditentukan agar proses pembelajaran tersebut berjalan dengan lancar sehingga menemukan letak kesulitan belajar pada diri siswa dan melaksanakan pembelajaran remedial.

    Menurut Malawi, dkk (2018: 164-165). Langkah pelaksanaan pembelajaran remedial yaitu:

    1.            Identifikasi permasalahan pembelajaran, yang dilakukan berdasarkan hasil analisis penilaian harian, tugas,. Permasalahan pembelajaran dapat dikategorikan menjadi permasalan pada peserta didik, materi pembelajaran, dan strategi pembelajaran.

    2.            Penyusun perencanaan berdasarkan permasalahan (keunikan peserta didik, materi pembelajaran, dan strategi pembelajaran).

    3.            Hasil penilaian melalui penilaian harian, penguasaan dapat digunakan oleh guru untuk merencanakan perbaikan (remedial) dan pengayaan (enrichment). Penilaian yang dimaksud tidak dapat terpaku pada hasil tes (penilaian harian) pada KD tertentu.

    4.            Pembelajaran remedial dilaksanakan sampai peserta didik mengusaia KD yang ditentukan.

    5.            Teknik pembelajaran remedial bisa diberikan secara individual, kelompok, atau kelasikal. Beberapa metode pembelajaran yang dapat digunakan dalam pelaksanaan pembelajaran remedial yitu: pembelajaran individual, pemberian tugas, diskusi, tanyajawab, kerja kelompok, dan tutor sebaya.

    6.            Aktivitas guru dalam pembelajaran remedial, diantara lain: memberikan tambahan penjelasan atau cintoh, menggunakan strategi pembelajaran yang berbeda dari sebelumnya, mengkaji ulang pembelajaran yang telah lalu, menggunakan berbagai jenis media. Setelah peserta didik mendapatkan perbaikan pembelajaran dilakukan penilaian, untuk mengetahui apakah peserta didik sudah menguasai KD yamg ditetapkan.

    7.            Guru kelas melakukan identifikasi terhadap kesulitan peserta didik, kemudian membuat perencanaan pembelajaran remedial meliputi penentuan materi ajar,  penetapan metode, pemilihan media, dan penilaian.

    Perencanaan pengajaran remedial terdapat beberapa tindakan yang harus dilakukan oleh guru diantaranya yaitu diagnosis kesulitan belajar siswa, penelaahan kembali kasus, pemilihan alternatif tindakan, pemberian layanan khusus, dan menyusun program pengajaran remedial. Guru belum melakukan identifikasi siswa yang mengalami kesulitan belajar melalui analisis perilaku secara individual, namun guru telah melakukan  identifikasi siswa yang mengalami kesulitan belajar matematika melalui analisis prestasi yaitu dengan menggunakan  Penilaian Acuan Patokan (PAP) yaitu kriteria ketuntasan minimal (KKM).

    Langkah selanjutnya adalah melokalisasi letak kesulitan siswa, hal tersebut dilakukan guru dengan melihat hasil pekerjaan siswa. Siswa yang mendapatkan nilai tidak tuntas diperiksa hasil pekerjaannya untuk mencari tahu letak kesulitan. Kesulitan banyak dilakukan siswa pada soal pembagian dengan angka yang besar (Kurnia, 2016: 1.365-1.366).

    2.1.8        Kelemahan Pengajaran Remedial

    According to Kumar (2016: 36-38), In Remedial teaching, the teacher is constantly reminded of a principle, which is frequently overlooked in other teaching situations. To a remedial teacher, learning rather than teaching is the goal. The growth of each individual rather than the change in group averages is the criterion of success. Hence the teacher needs a rich background in child psychology and educational diagnosis in order to successfully tackle the variety of individual problems which the child presents themselves.

    A major problem in remedial teaching is the dearth of effective teaching al materials. Most of the published materials have been designed for group teaching. Only a small percentage can be adapted for individual teaching. If the material is graded carefully and provided for ample practice on each of the basic steps, the teacher can adapt it for individual use by providing self-directive teaching for pupils. The teacher who understands the objectives to be attained, the analysis of individual difficulties, the types of materials needed, and the techniques essential for correction can adapt some published materials and develop additional supplementary materials which will be appropriate for corrective teaching .

          Many teachers who attempt remedial teaching are faced ‘with unusually large classes or with a large percentage of children in the class who are educationally backward. A beginning teacher with a large number of pupils in need of remedial teaching has to limit one’s work to three or four pupils whose needs are greatest. As the teacher gains experience in this program he/she will be able to extend remedial teaching to all the children who need them.


    Keterbatasan Pengajaran Remedial:

    Dalam pengajaran Remedial, guru secara konstan diingatkan akan sebuah prinsip, yang sering diabaikan dalam situasi pengajaran lainnya. Bagi seorang guru remedial, belajar daripada mengajar adalah tujuannya. Pertumbuhan setiap individu daripada perubahan rata-rata kelompok adalah kriteria keberhasilan. Oleh karena itu, guru membutuhkan latar belakang yang kaya dalam psikologi anak dan diagnosis pendidikan agar berhasil mengatasi berbagai masalah individual yang dialami oleh anak itu sendiri.

    Masalah utama dalam pengajaran remedial adalah kurangnya bahan ajar yang efektif. Sebagian besar materi yang dipublikasikan telah dirancang untuk pengajaran kelompok. Hanya sebagian kecil yang dapat diadaptasi untuk pengajaran individual. Jika materi dinilai dengan hati-hati dan disediakan untuk latihan yang cukup pada masing-masing langkah dasar, guru dapat menyesuaikannya untuk penggunaan individu dengan memberikan pengajaran self-directive untuk siswa. Guru yang memahami tujuan yang akan dicapai, analisis kesulitan individu, jenis bahan yang diperlukan, dan teknik yang penting untuk koreksi dapat menyesuaikan beberapa materi yang diterbitkan dan mengembangkan bahan tambahan tambahan yang akan sesuai untuk pengajaran korektif.

    Banyak guru yang mencoba mengajar remedial dihadapkan ‘dengan kelas yang luar biasa besar atau dengan persentase besar anak-anak di kelas yang berpendidikan kebelakang. Seorang guru pemula dengan sejumlah besar murid yang membutuhkan pengajaran remedial harus membatasi pekerjaannya kepada tiga atau empat murid yang kebutuhannya paling besar. Ketika guru memperoleh pengalaman dalam program ini dia akan dapat memperpanjang pengajaran remedial untuk semua anak yang membutuhkannya.

    Remedial teahing is often left to part-tie teachers or volunteers with no training or knowledge in the field and the total time devoted to such teaching sometimes amounts to no more than thirty minutes each week. It is not surprising that for many children the outcomes are disappointing. This failure might need to be seen, however, as resulting from a lak of appropriate and sufficient instruction for the children at risk, rather than evidence that working with children induvidually


    The traditional withdrawal model of remedial teaching:

    1.      Often have a diet of worksheets or exercises rather than sustained reading practice and guide reading.

    2.      Have a fragramented kearning experience.

    3.      Engage in much less purposeful reading and writing activity.

    4.      Receive little or no instruction in using effective reading comprehension strategies because the focus is entirely on low-level skill development.

    Some school now proudly proclaim that they never remove children from the mainstream for remedial teaching. teacher provides everything with occasional advice from a visiting consultant or support teacher. The conclusion that effective intervention from children with reading difficulties requires:

    1.      Highly trained professionals.

    2.      A program in which children are taught the specific skills

    3.      An effective teaching approach that accelerates children acquisitin of skills

    4.      The main goal of leading children towards independences learning

    There is still an essential place for remedial tution in a withdrawal setting before adopting any doctrinaire policy that prohibits withdrawal of children from class, teachers expressed satisfaction with the system and children made significantly better progress in reading (Westwood, 2001: 95-97).

    Terjemahannya:

       Pengajaran remedial sering dibiarkan terpisah dengan guru atau sukarelawan tanpa pelatihan atau pengetahuan di lapangan dan total waktu yang dihabiskan untuk mengajar semacam itu, kadang-kadang jumlahnya tidak lebih dari tiga puluh menit setiap minggu. Tidak mengherankan bahwa bagi banyak anak, hasilnya mengecewakan. Kegagalan ini mungkin perlu dilihat, bagaimanapun  sebagai hasil dari sejumlah pembelajaran yang tepat dan memadai untuk anak-anak lebih berisiko, dari pada anak-anak yang bekerja secara induvidual.

    Model penarikan tradisional dari pengajaran remedial:

    1.      Seringkali memiliki kekurangan lembar kerja atau latihan dari pada praktik membaca yang berkelanjutan dan panduan membaca.

    2.      Memiliki pengalaman keingintahuan yang terbingkai.

    3.      Terlibat dalam kegiatan membaca dan menulis yang kurang bermanfaat.

    4.      Menerima sedikit atau tidak ada pembelajaran dalam menggunakan strategi pemahaman bacaan yang efektif  karena fokus sepenuhnya pada pengembangan keterampilan tingkat rendah.

       Beberapa sekolah sekarang menyatakan bahwa mereka tidak pernah membatasi anak-anak dari arus utama untuk pengajaran remedial. guru menyediakan segala sesuatunya dengan hasil saran sesekali mendatangkan kunjungan konsultan  atau dukungan yang membangun.

       Kesimpulan bahwa intervensi efektif dari anak-anak dengan kesulitan membaca membutuhkan:

    1.      Profesional yang sangat terlatih.

    2.      Program di mana anak-anak diajarkan keterampilan khusus

    3.      Sebuah pendekatan pengajaran yang efektif yang mempercepat anak-anak memperoleh keterampilan

    4.      Tujuan utama memimpin anak-anak menuju pembelajaran mandiri

       Masih ada tempat penting untuk memperbaiki dalam segi pengaturan penarikan sebelum mengadopsi kebijakan doktriner yang melarang pengulangan pembelajaran bagi anak-anak dari kelas, guru menyatakan puas dengan sistem dan anak-anak memiliki kemajuan yang jauh lebih baik dalam membaca (Westwood, 2001: 95-97).

    This study proposed and developed a Remedial-Instruction Decisive path (RID path) to diagnose individual student learning situation. The RID path systematically guides study activities. The system analyses the current learning status of each student and then determines their study processes. Student learns concepts under the planned process. Study outcomes are stored in an evaluated conceptual graph, and the evaluated conceptual graph representing the learning patterns, which include the concepts of learning failure and success held by each student.

    SPRT is extremely suitable for the proposed system, since the concepts involved are not complicated, and the testing items are all associated to certain concepts. SPRT can be used to determine whether a learner has mastered a concept by asking a few questions, and increases the accuracy of the test results of the conceptual graph. In analysing student learning outcomes, this study attempts to identify and transfer the numerical score to the labelled score. Traditional examinations include only two results, correct and incorrect. This arrangement is insufficient for remedial instruction. The main focus of the diagnosis in the proposed system is on student learning status, and test score is unimportant.Thus, the dichotomy method is unsuitable.

    From the SPRT test outcome, this study classifies the numerical score into three levels: pass concept node, fail concept node, and partial concept node.

    1.      Pass node: the student has mastered the concept represented by the node, that is the student is proficient in the concept.

    2.      Fail node: the student has not mastered the concept represented by the node, that is the student is not proficient in the concept. The concept is assumed to be a concept that the student is missing.

    3.      Partial node: The limited questions cannot judge the proficiency of the student. The student may have partially understood the teaching material. Thus, the student should continue learning.

    Three main components of this system are described as follows:

    1.      User interface: For convenience, teachers do not need to handle student learning progress in diagnostic and remedial instructionTeachers only need to set the parameters of the conceptual graph and select the learning material and items.

    2.      Learning-related database: The proposed system includes four main databases: item bank, teaching material, the conceptual graph of a specialist and evaluated conceptual graphs. A specialist conceptual graph presents the structure and learning sequence of a single course topic.

    3.      Remedial instruction module: Student learning outcomes are identified using the item bank database and SPRT. This study presents a ‘RID path’ strategy to identify the missing concepts of students and guiding their learning.

    Student learning situations can be diagnosed using the conceptual graph. The evaluated conceptual graph representing student knowledge structure can be obtained from the data in the conceptual graph and the student SPRT results. Each student has a unique evaluated conceptual graph indicating their learning outcomes (Jong, etc; 2004: 380-383).

    Terjemahannya:

       Penelitian ini mengusulkan dan mengembangkan jalur Tuntas Perbaikan-Instruksi (jalur RID) untuk mendiagnosis situasi belajar siswa secara individual. Jalur RID secara sistematis memandu kegiatan belajar. Sistem ini menganalisis status pembelajaran saat ini dari setiap siswa dan kemudian menentukan proses belajar mereka. Siswa belajar konsep di bawah proses yang direncanakan. Hasil belajar disimpan dalam grafik konseptual yang dievaluasi, dan grafik konseptual yang dievaluasi mewakili pola pembelajaran, yang mencakup konsep kegagalan belajar dan keberhasilan yang dipegang oleh setiap siswa.
       SPRT sangat cocok untuk sistem yang diusulkan, karena konsep yang terlibat tidak rumit, dan item pengujian semuanya terkait dengan konsep tertentu. SPRT dapat digunakan untuk menentukan apakah seorang pembelajar telah menguasai konsep dengan mengajukan beberapa pertanyaan, dan meningkatkan keakuratan hasil tes dari grafik konseptual. Dalam menganalisis hasil belajar siswa, penelitian ini mencoba untuk mengidentifikasi dan mentransfer skor numerik ke skor berlabel. Ujian tradisional hanya mencakup dua hasil, benar dan salah. Pengaturan ini tidak cukup untuk instruksi perbaikan. Fokus utama diagnosis dalam sistem yang diusulkan adalah aktif
    Status belajar siswa, dan nilai tes tidak penting. Jadi, metode dikotomi tidak sesuai. Dari hasil tes SPRT, penelitian ini mengklasifikasikan skor numerik menjadi tiga tingkatan: simpul konsep lulus, simpul konsep gagal, dan simpul konsep parsial.
    1.      Pass node: siswa telah menguasai konsep yang diwakili oleh node, yaitu siswa yang mahir dalam konsep.
    2.      Konsep gagal simpul: siswa belum menguasai konsep yang diwakili oleh node, yaitu siswa tidak mahir dalam konsep. Konsep ini diasumsikan sebagai konsep bahwa siswa tersebut hilang. 
    3.      Simpul parsial: Pertanyaan terbatas tidak dapat menilai kemahiran siswa. Murid mungkin memahami materi pengajaran secara parsial. Dengan demikian, siswa harus terus belajar.
    Tiga komponen utama dari sistem ini dijelaskan sebagai berikut:
    1.      Antarmuka pengguna: Untuk kenyamanan, guru tidak perlu menangani kemajuan belajar siswa dalam diagnostik dan instruksi perbaikan Para guru hanya perlu mengatur parameter grafik konseptual dan memilih bahan dan item pembelajaran.
    2.      Database yang berhubungan dengan pembelajaran: Sistem yang diusulkan mencakup empat database utama: bank item, bahan ajar, grafik konsep spesialis dan grafik konseptual yang dievaluasi. Grafik konseptual khusus menyajikan struktur dan urutan pembelajaran dari satu topik saja.
    3.      Modul instruksi remedial: Hasil belajar siswa diidentifikasi menggunakan database bank item dan SPRT. Penelitian ini menyajikan strategi ‘jalur RID’ untuk mengidentifikasi konsep siswa yang hilang dan memandu pembelajaran mereka.
    Situasi belajar siswa dapat didiagnosis menggunakan grafik konseptual. Grafik konseptual yang dievaluasi yang mewakili struktur pengetahuan siswa dapat diperoleh dari data dalam grafik konseptual dan hasil SPRT siswa. Setiap siswa memiliki grafik konseptual yang dievaluasi unik yang menunjukkan hasil belajar mereka (Jong, dkk. 2004: 380-383).
     
    2.2        Kajian Kritis

    2.2.1 Pengertian

    2.2.1.1 Pengertian Model Pengajaran Remedial

    Pengajaran remedial adalah bentuk pengajaran perbaikan yang diberikan kepada seseorang siswa untuk membantu memecahkan kesulitan belajar yang dihadapinya. Menurut Abin Syamsuddin, pengajaran remedial adalah sebagai upaya guru untuk menciptakan suatu situasi yang memungkinkan individu atau kelompok siswa (dengan kerakter) tertentu lebih mampu meningkatkan prestasi seoptimal mungkin sehingga dapat memenuhi kriteria keberhasilan minimal yang diharapkan.

    2.2.1.2 Pengertian KKM

    Kriteria ketuntasan minimal yang selajutnya disebut KKM adalah kriteria ketuntasan belajar yang ditentukan oleh satuan pendidikan dengan mengacu pada standar kopentensi lulusan. KKM dirumuskan setidaknya dengan memperhatikan 3(tiga) aspek: karakteristik peserta didik, karakteristik mata pembelajaran, dan kondisi satuan pendidikan pada proses pencapaian kompetensi

    2.2.2 Langkah-Langkah Evaluasi Proses dan Hasil Penilaian

    Langkah-langkah evaluasi proses dan hasil penilaian dapat dilakukan dengan beberapa tahap antara lain:

    1.      Menyusun rencana penilaian atau evaluasi hasil belajar.

    2.      Menghimpun data.

    3.      Melakukan verifikasi data.

    4.      Mengolah dan menganalisis data.

    5.      Melakukan penafsiran atau interpretasi dan menarik kesimpulan.

    6.      Menindaklanjuti hasil evaluasi.

    2.2.3 Tujuan dan Fungsi Model Pengajaran Remedial

    Tujuan pembelajaran remedial adalah untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan belajar dengan memperbaiki prestasi belajarnya.

    Pengajaran remedial memiliki beberapa fungsi, yaitu:

    1.      Fungsi korektif yang memungkinkan terjadinya perbaikan hasil belajar dan perbaikan segi-segi kepribadian siswa.

    2.      Fungsi pemahaman yang memungkinkan siswa memahami kemampuan dan kelemahannya serta memungkinkan guru menyesuaikan strategi pembelajaran sesuai dengan kondisi siswa.

    3.      Fungsi penyesuaian yang memungkinkan siswa menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan memungkinkan guru menyesuaikan strategi pembelajaran sesuai dengan kemampuannya.

    4.      Fungsi pengayaan yang memungkinkan siswa menguasai materi lebih banyak dan mendalam. Sememungkinkan guru mengembangkan berbagai metode yang sesuai dengan karakteristik siswa.

    5.      Fungsi akseleratif yang memungkinkan siswa mempercepat proses belajarnya dalam menguasai materi yang disajikan dan yang terakhir.

    6.      Fungsi terapeutik yang memungkinkan terjadinya perbaikan segi-segi kepribadian yang menunjang keberhasilan belajar.

    2.2.4 Bentuk dan Aspek Pengajaran Remedial

    Bentuk dan aspek pengajaran remedial ini.

    1. Pengajaran Kelas. Dalam sistem atau jadwal pengajaran remedial ini, komposisi dan struktur kelas yang biasa tidak terganggu. Kelas secara keseluruhan diuntungkan melalui jenis pengajaran remedial. Hal ini terbukti sangat berguna dalam menghilangkan kelemahan dan kesulitan belajar secara umum.

    2. Pengajaran Tutorial Kelompok. Di sini para siswa kelas dibagi menjadi beberapa kelompok homogen yang disebut kelompok turorial atas dasar kesulitan belajar bersama mereka dan kelemahan atau kekurangan yang sama dalam perolehan pengalaman belajar di beberapa atau area lain atau aspek dari subjek.

    3. Pengajaran Tutorial Individu. Dalam jadwal ini setiap pelajar, yang merasa kesulitan belajar dari satu atau yang lain, dihadiri secara individu untuk mengatasi kekurangan atau kelemahannya. Ini adalah 1-1 pelatihan, bantuan dan bimbingan yang diberikan oleh guru kepada pelajar sebagai dan ketika diperlukan oleh dia di oerder untuk mengaktualisasikan potensi ke maksimum.

    4. Pengajaran Tutorial yang diawasi. Dalam jadwal pengajaran remedial tanggung jawab mengatasi kesulitan belajar dan menghilangkan kekurangan di beberapa area pembelajaran diserahkan kepada peserta didik itu sendiri.

    5. Pengajaran Instruksional Otomatis. Jenis pengajaran remedial ini terdiri dari program dan aktivitas instruksi otomatis. Di sini peserta didik diberikan materi dan peralatan pembelajaran otomatis dasar dan belajar mandiri seperti buku teks dan paket belajar yang diprogram.

    6. Pengajaran Informal. Pendidikan sains informal dan pengajaran yang direncanakan sesuai dan diasimilasikan dengan pendidikan sains formal dari scholl dapat berjalan dengan cara besar untuk bertindak sebagai sumber dan sarana pendidikan remedial bagi siswa yang membutuhkan.

    2.2.5 Prinsip Dasar Model Pengajaran Remedial

                Beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam pengajaran remedilal:

    a.       Adaptif.

    b.      Interaktif.

    c.       Berbagai metode pembelajaran dan penilaian.

    d.      Pemberian umpan balik sesegera mungkin.

    e.       Berkesinambungan.

    2.2.6 Pendekatan Dalam Pelaksanaan Remedial di Sekolah

    Pendekatan yang bersifat umum maupun pendekatan yang bersifat keagamaan (khusus). Antara lain yaitu:

    1.      Pendekatan individual suatu upaya untuk memberikan kesempatan kepada siswa agar dapat belajar sesuai dengan kebutuhan, kecepatan, dan caranya.

    2.      Pendekatan kelompok adanya interaksi diantara anggota kelompok dengan harapan terjadi perbaikan pada diri siswa yang mengalami kesulitan belajar.

    3.      Pendekatan bervariasi bermacam-macam pendekatan yang dilakukan dalam kegiatan belajar agar terlaksananya proses belajar mengajar yang efektif. Pendekatan ini terjadi karena siswa mempunyai tingkat motivasi yang berbeda.

    4.      Pendekatan edukatif sesuatu yang bersifat mendidik dan segala hal yang berkenaan dengan pendidikan.

    5.      Pendekatan pengalaman suatu kejadian atau perbuatan yang pernah terjadi pada masa dahulu dan mempunyai nilai atau manfaat untuk masa depan.

    6.      Pendekatan pembiasaan suatu proses pembentukan kebiasaan-kebiasaan baru atau perbaikan kebiasaan-kebiasaan yang telah ada. Tujuannya agar siswa memperoleh sikap-sikap dan kebiasaan-kebiasaan perbuatan baru yang lebih tepat dan relatif menetap.

    7.      Pendekatan emosional suatu usaha untuk menggugah perasaan dan emosi siswa dalam meyakini, memahami, dan menghayati ajaran agamanya. Maka metode mengajar yang perlu dipertimbangkan adalah metode ceramah, bercerita, sosiodrama.

    8.      Pendekatan rasional pembelajaran yang berpotensi untuk menumbuhkan daya pikir sendiri pada siswa guna memahami, mengamalkan, dan meyakini konsep-konsep dalam pembelajaran remedial.

    9.      Pendekatan fungsional suatu pendekatan atau suatu ilmu pengetahuan yang dipelajari bukan hanya untuk mengisi kekosongan intelektual, tetapi diharapkan berguna untuk diimplementasikan ke dalam kehidupan sehari-hari.

    10.  Pendekatan keagamaan suatu pendekatan yang dilakukan dalam setiap bidang studi atau mata pelajaran umum dapat menyatu dengan nilai-nilai agama.

    11.  Pendekatan kebermaknaan pendekatan dalam pembelajaran yang mempunyai arti atau dapat lebih berarti bagi siswa. Bahan pelajaran dan kegiatan pembelajaran, menjadi lebih bermakna bagi siswa jika berhubungan dengan kebutuhan siswa yang berkaitan dengan pengalaman, minat, tata nilai dan masa depan.

    2.2.7 Langkah Pembelajaran Remedial

    1.      Identifikasi permasalahan pembelajaran.

    2.      Penyusun perencanaan berdasarkan permasalahan (keunikan peserta didik, materi pembelajaran, dan strategi pembelajaran).

    3.      Hasil penilaian melalui penilaian harian, penguasaan dapat digunakan oleh guru untuk merencanakan perbaikan (remedial) dan pengayaan (enrichment).

    4.      Pembelajaran remedial dilaksanakan sampai peserta didik mengusaia KD yang ditentukan.

    5.      Teknik pembelajaran remedial bisa diberikan secara individual, kelompok, atau kelasikal.

    6.      Aktivitas guru dalam pembelajaran remedial, diantara lain: memberikan tambahan penjelasan atau cintoh, menggunakan strategi pembelajaran yang berbeda dari sebelumnya, mengkaji ulang pembelajaran yang telah lalu, menggunakan berbagai jenis media.

    7.      Guru kelas melakukan identifikasi terhadap kesulitan peserta didik, kemudian membuat perencanaan pembelajaran remedial meliputi penentuan materi ajar, penetapan metode, pemilihan media, dan penilaian.

    2.2.8 Kelemahan Pengajaran Remedial

    Dalam pengajaran Remedial, guru secara konstan diingatkan akan sebuah prinsip, yang sering diabaikan dalam situasi pengajaran lainnya. Bagi seorang guru remedial, belajar daripada mengajar adalah tujuannya. Pertumbuhan setiap individu daripada perubahan rata-rata kelompok adalah kriteria keberhasilan. Oleh karena itu, guru membutuhkan latar belakang yang kaya dalam psikologi anak dan diagnosis pendidikan agar berhasil mengatasi berbagai masalah individual yang dialami oleh anak itu sendiri.

    BAB III

    PENUTUP

    3.1 Kesimpulan

    1.      Pengajaran remedial adalah bentuk pengajaran perbaikan yang diberikan kepada seseorang siswa untuk membantu memecahkan kesulitan belajar yang dihadapinya.

    2.      Tujuan pembelajaran remedial adalah untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan belajar dengan memperbaiki prestasi belajarnya.

    3.      Pengajaran remedial memiliki beberapa fungsi, yaitu: a) fungsi korektif, b) fungsi pemahaman, c) fungsi penyesuaian, d) fungsi pengayaan, e) fungsi akseleratif, f) fungsi terapeutik

    4.      Bentuk dan aspek pengajaran remedial ini yaitu pengajaran kelas, pengajaran tutorial kelompok, pengajaran tutorial individu, pengajaran tutorial yang diawasi, pengajaran instruksional otomatis, dan pengajaran informal.

    5.      Beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam pengajaran remedilal yaitu adaptif, interaktif, berbagai metode pembelajaran dan penilaian, pemberian umpan balik sesegera mungkin, dan berkesinambungan.

     3.2 Saran

    Semoga dengan adanya makalah ini, para pembaca bisa lebih mengetahui tentang Pengajaran Model Remedial. Terlebih khusus lagi kepada mereka calon guru, semoga bisa menjadi bahan pelajaran yang baik, dan semoga bisa diterapkan nanti ketika kita sudah bekerja menjadi seorang guru.

  • Makalah Model Pembelajaran Problem Based Learning

    Model Pembelajaran PBL

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Pada proses pembelajaran di kelas hingga saat ini masih juga ditemukan pengajar yang memposisikan peserta didik sebagai objek belajar, bukan sebagai individu yang harus dikembangkan potensi yang dimilikinya. Hal ini dapat mematikan potensi peserta didik. Dan dalam keadaan tersebut peserta didik hanya mendengarkan pidato guru di depan kelas, sehingga mudah sekali peserta didik merasa bosan dengan materi yang diberikan. Akibatnya, peserta didik tidak paham dengan apa yang baru saja disampaikan oleh guru.

    Pada model pembelajaran berbasis masalah berbeda dengan model pembelajaran yang lainnya, Dalam model pembelajaran ini, peranan guru adalah menyodorkan berbagai masalah, memberikan pertanyaan, dan memfasilitasi investigasi dan dialog. Guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menetapkan topik masalah yang akan dibahas, walaupun sebenarnya guru telah menetapkan topik masalah apa yang harus dibahas. Hal yang paling utama adalah guru menyediakan perancah atau kerangka pendukung yang dapat meningkatkan kemampuan penyelidikan dan intelegensi peserta didik dalam berpikir. Proses pembelajaran diarahkan agar peserta didik mampu menyelesaikan masalah secara sistematis dan logis. Model pembelajaran ini dapat terjadi jika guru dapat menciptakan lingkungan kelas yang terbuka dan jujur, karena kelas itu sendiri merupakan tempat pertukaran ide-ide peserta didik dalam menanggapi berbagai masalah.

    Jika dilihat dari sudut pandang psikologi belajar, model pembelajaran ini berdasarkan pada psikologi kognitif yang berakar dari asumsi bahwa belajar adalah proses perubahan tingkah laku berkat adanya pengalaman. Melalui model pembelajaran ini peserta didik dapat berkembang secara utuh, artinya bukan hanya perkembangan kognitif, tetapi peserta didik juga akan berkembang dalam bidang affektif dan psikomotorik secara otomatis melalui masalah yang dihadapi.

    B. Tujuan

    Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:

    1. Untuk mengetahui pengertian dari pembelajaran.
    2. Untuk mengetahui pengertian dari model berbasis PBL (Problem-Based Learning).
    3. Untuk mengetahui tujuan dari model PBL.
    4. Untuk mengetahui karakteristik dari model pembelajaran berbasis PBL.
    5. Untuk mengetahui langkah-langkah dari model pembelajaran berbasis PBL.
    6. Untuk mengetahui kelebihan dari model pembelajaran berbasis PBL.
    7. Untuk mengetahui kekurangan dari model pembelajaran bebasis PBL.
    8. Untuk mengetahui keterkaiatan hasil belajar dengan model pembelajaran berbasis PBL.
    9. Untuk mengetahui peran partisipan di dalam PBL
    10. Untuk mengetahui cara mengevaluasi dalam PBL
    11. Untuk mengetahui komponen-komponen dalam PBL

    Bab II. Pembahasan          

    A. Pengertian Pembelajaran

    Sebagai unsur terpenting dari pendidikan, pembelajaran merupakan upaya untuk menciptakan suatu kondisi bagi terciptanya suatu kegiatan belajar yang memungkinkan peserta didik memperoleh pengalaman belajar yang memadai. Dalam proses mengajar dan pembelajran, metode mempunyai andil yang cukup besar dalam mencapai tujuan. Kemampuan yang diharapkan dapat dimiliki peserta didik, akan ditentukan oleh tingkat kerelevansian penggunaan suatu metode yang sesuai dengan tujuan. Karena metode menjadi sarana dan salah satu cara untuk mencapai tujuan. 

    Adapun tujuan pembelajaran adalah kemampuam ( kompetensi ) atau ketrampilan peserta didik yang diharapkan dapat dimiliki oleh peserta didik setelah mereka melakukan proses pembelajaran tertentu. Pembelajaran yang hanya berorientasi pada penguasaan materi memang terbukti berhasil dalam kompetisi mengingat jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang. Dalam praktik pendidikan modern, menjejali pikiran para mahasiswa dengan berbagai konsep dan teori saja tanpa disertai pengalaman di lapangan terbukti kurang  efektif ( Saleh, 2013: 191- 192 ).

    Pembelajaran merupakan suatu proses interaksi antara guru dan siswa beserta unsur yang ada di dalamnya. Guru merupakan faktor yang paling dominan yang menentukan kua-litas pembelajaran. Kualitas pembelajaran yang baik, tentu akan menghasilkan hasil belajar yang baik pula. Menurut Rusman (2012: 148 ). dalam sistem pembelajaran guru dituntut untuk mampu memilih metode pembelajaran yang tepat, mampu memilih dan mengguna-kan fasilitas pembelajaran, mampu memilih dan menggunakan alat evaluasi, mampu me-ngelola pembel-ajaran di kelas maupun di la-boratorium, menguasai materi, dan memahami karakter siswa.

    Salah satu tuntutan guru ter-sebut adalah mampu memilih metode pem-belajaran yang tepat untuk mengajar. Apabila metode pembelajaran yang digunakan guru itu tepat maka pencapaian tujuan pembelajaran akan lebih mudah tercapai, sehingga nilai ke-tuntasan belajar siswa akan meningkat, minat dan motivasi belajar siswa juga akan mening-kat dan akan tercipta suasana pembelajaran yang menyenangkan ( Surjono dan Wulandari, 2013: 179 ).

    Menurut Khosim ( 2017 : 5 ), metode pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran. Terdapat beberapa metode pembelajaran yang digunakan untuk mengimplementasikan strategi pembelajaran. Model pembelajaran mempunyai makna yang lebih luas dari pada strategi, metode atau prosedur pembelajaran. Istilah model pembelajaran mempunyai 4 ciri khusus yang tidak dipunyai oleh strategi atau metode pembelajaran :

    1. Rasional teoritis yang logis yang disusun oleh pendidik.
    2. Tujuan pembelajaran yang akan dicapai.
    3. Langkah-langkah mengajar yang diperlukan agar model pembelajaran dapat dilaksanakan secara optimal.
    4. Lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran dapat dicapai.

    B. Pengertian Model PBL ( Problem Based Learning )

    Menurut Efendi (2008 : 124- 125), problem based learning adalah lingkungan belajar yang didalamnya menggunakan masalah untuk belajar, yaitu sebelum pembelajar mempelajari suatu hal, meraka diharuskan mengidentifikasikan suatu masalah, baik yang dihadapi secara nyata maupun telaah kasus. Masalah diajukan sedemikian rupa sehingga para pelajar menemukan kebutuhan belajar yang diperlukan agar mereka dapat memecahkan masalah tersebut. PBL dapat juga di definisikan sebagai sebuah metode pembelajaran yang didasarkan pada prinsip bahwa masalah (problem) dapat digunakan sebagai titik awal untuk mendapatkan atau mengintegrasikan ilmu (knowledge) baru. Dengan demikian, masalah yang ada digunakan sebagai sarana agar anak didik dapat belajar sesuatu yang dapat menyokong keilmuan.

    Menurut Nata ( 2009 : 243),problem base learning yang selanjutnya disebut PBL, adalah salah satu model pembelajaran yang berpusat pada peserta didik dengan cara menghadapkan para peserta didik tersebut dengan berbagi masalah yang dihadapi dalam kehidupannya. Dengan model  pembelajaran ini, peserta didik dari awal sudah dihadapkan berbagai masalah kehidupan yang mungkin akan ditemuinya kelak pada saat mereka sudah lulus dari bangku sekolah.

    Alder dan Milne (1997) dalam buku Efendi (2008 : 124-125), mendefinisikan PBL dengan metode yang berfokus kepada identifikasi permasalahan serat penyusunan kerangk analisis dan pemecahan. Metode ini dilakukan dengan membentuk kelompok-kelompok kecil, banyak kerja sama dan interaksi, mendiskusikan hal-hal yang tidak atau kurang dipahami, serta berbagi peran untuk melaksanakan tugas dan saling melaporkan.

    PBL is a methodology that can ignite that kind of sparke in today’s students. When students are given inadequately constructed problems to solve, they learn to think the way real world professionals such as architerls, archaeologists, engineers, scientists, and historyans think. Such thinking reguires that missing (for example, which learning issues are missing). PBL teaches students that they must first discern exactly what the problem is instead of immediately what they already know about it by constructing hypotheses based upon prior knowledge. They can than identify the learning issues involved, decide what new information is needed. And determine how they must thest this new information to refine their original theirues (Ronis, 2008 : 34).

    Menurut Peterson (2004) dalam buku Efendi (2008 : 124-125), metode ini memberikan mahasiswa permasalahan yang tidak terstruktur dengan baik dan pemecahan masalah tidak satu saja karena berfokus pada pembelaran sendiri (self-learning) serat sangat jauh dari penjelasan yang langsung ke inti/jawaban/isi dan atau penjelasan yang langsung diberikan oleh pengajaran.

    Sikap dan ketrampilan umum yang perlu dikembangkan dalam PBL diantaranya :.

    1. Kerja sama tim.
    2. Ketua kelompok.
    3. Mendengarkan.
    4. Menghargai pendapat teman.
    5. Berpikir kritis.
    6. Belajar mandiri dan penggunaan berbagai macam sumber.
    7. Kemampuan berpresentasi.

    Menurut Nata ( 2009 : 243-244), model pembelajaran problem base learning adalah dengan cara penyajian bahan pelajaran dengan menjadikan masalah sebagai titik tolak pembahasan untuk analisis dan disintesis dalam usaha mencari pemecahan atau jawabannya oleh siswa. Permasalahan itu dapat diajukan atau diberikan guru kepada siswa, dari siswa bersama guru, atau dari siswa sendiri, yang kemudian dijadikan pembahasan dan dicari pemecahannya sebagai kegiata-kegiatan belajar siswa. Dengan demikian, PBL adalah sebuah metode pembelajaran yang memfokuskan pada pelacakan akar masalah dan memecahkan masalah tersebut.

    Menurut Huriah ( 2018 : 9- 10), pembelajaran berbasis masalah masalah merupakan suatu metode untuk membangun dan melatih seseorang belajar dengan menggunakan masalah sebagai stimulus di dalam berpikir dan kegiatan ini focus pada aktivitas mahasiswa. Model problem based learning merupakan pembelajaran dimana masalah digunakan untuk menstimulus kemampuan berpikir mahasiswa. PBL adalah lingkungan belajar yang di dalamnya menggunakan masalah untuk belajar, yaitu sebelum pembelajar mempelajari suatu hal, mereka diharuskan mengidentifikasi suatu masalah, baik yang dihadapi secara nyata maupun telaah kasus.

    Menurut Nursalam (2008) di dalam Huriah ( 2018 : 10), memberikan definisi terkait PBL, yaitu lingkungan belajar yang di dalamnya menggunakan masalah untuk belajar, yaitu sebelum pembelajar mempelajari suatu hal,mereka diharuskan mengidentifikasi suatu masalah, baik yang dihadapi secara nyata maupun telaah kasus. PBL memiliki ciri yaitu pembelajaran dimulai dengan pemberian masalah yang memiliki konteks dengan dunia nyata. Pembelajar secara berkelompok aktif mendiskusikan dan merumuskan masalah dan mengidentifikasi tujuan pembelajaran yang harus mereka capai dari masalah tersebut.

    Sage (1946:15). Problem-based Learning is focused, experiental learning (minds-on, hands-on) organized around the investigation and resolution of messy, real-world problems. PBL- which incorporates two complementary processes, curriculum organization and instructional strategy-includes three main characteristics:

    1. Engages students as stakeholders in a problem situation.
    2. Organizes curriculum around a given holistic problem, enabling student learning in relevant and connected ways.
    3. Creates a learning environment  in which teachers coach student thingking and guide student inquiry, facilitating deeper levels of understanding.

    Problem Based Learning (PBL) adalah kurikulum dan proses pembelajaran. Dalam kurikulumnya, dirancang masalah-masalah yang menuntut peserta didik mendapat pengetahuan penting, yang membuat mereka mahir dalam memecahkan masalah, dan memiliki model belajar sendiri serta memiliki kecakapan berpartisipasi dalam tim. Proses pembelajarannay menggunakan pendekatan yang sistemik untuk memecahkan masalah atau menghadapi tantangan yang nanti diperlukan dalam kehidupan sehari-hari (Harmadi, 2017 : 117).

    Ivor K. Davis, seperti dikutip Rusman, mengemukakan bahwa, “Salah satu kecenderungan yang sering dilupakan ialah melupakan bahwa hakikat pembelajaran adalah belajarnya mahasiswa dan bukan mengajarnya dosen.” Dosen dituntut dapat memilih model pembelajaran yang dapat memacu semangat setiap mahasiswa untuk secara aktif ikut terlibat dalam pengalaman belajarnya. Salah satu model pembelajaran yang memungkinkan dikembangkannya keterampilan berpikir mahasiswa (penalaran, komunikasi dan koneksi) dalam memecahkan masalah adalah Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM).

    Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) atau Problem Based Learning (PBL) adalah suatu model pembelajaran yang didasarkan pada prinsip menggunakan masalah sebagai titik awal akuisisi dan integrasi pengetahuan baru. PBL adalah salah satu model pembelajaran yang berpusat pada peserta didik dengan cara menghadapkan para peserta didik tersebut dengan berbagai masalah yang dihadapi dalam kehidupannya. Dengan pembelajaran model ini, peserta didik dari sejak awal sudah dihadapkan kepada berbagai masalah kehidupan yang mungkin akan ditemuinya kelak pada saat mereka sudah lulus dari bangku sekolah. Problem Based Learning (PBL) dapat dimaknai sebagai metode pendidikan yang mendorong mahasiswa untuk mengenal cara belajar dan bekerjasama dalam kelompok untuk mencari penyelesaian masalah-masalah di dunia nyata. Simulasi masalah digunakan untuk mengaktifkan keingintahuan mahasiswa sebelum mulai mempelajari suatu subyek. PBL menyiapkan mahasiswa untuk berpikir secara kritis dan analitis, serta mampu untuk mendapatkan dan menggunakan secara tepat sumber-sumber pembelajaran ( saleh, 2013 :  203 – 204 ).

    Istilah PBL atau PBM, disinyalir telah dikenal pada masa John Dewey. Pembelajaran ini didasarkan pada kajian Dewey yang menekankan pentingnya pembelajaran melalui pengalaman. Menurut Dewey belajar berdasarkan masalah adalah interaksi antara stimulus dan respon yang merupakan hubungan antara dua arah, belajar dan lingkungan. Lingkungan menyajikan masalah, sedangkan sistem saraf otak berfungsi menafsirkan masalah itu, menyelidiki, menganalisis, dan mencari pemecahannya dengan baik ( Saleh, 2013 : 204 ).

    PBL is a student approach that is widely used as a method of instructions. PBL, which focuses on guiding studenta to build self-directed learning skills, is derived from seminal learning theories such as constructivism (Piaget) and constructionism ( papert ) where the learners actively construct new knowledge based on their current knowledge ( Awang and Ramly,2008 ). PBL also helps students develop creative thinking, problem solving, and communication skills ( Awang & Ramly, 2008; Major & Palmer, 2001 ) ( in Blikstein & Chan, 2018 : 2 ).

    Model pembelajaran PBL merupakan cara penyajian bahan pelajaran dengan menjadikan masalah sebagai titik tolak pembahasan untuk dianalisi dan didintesis dalam usaha mencari pemecahan atau jawabannya oleh mahasiswa. Permasalahan itu dapat diajukan atau diberikan dosen kepada mahasiswa, dari mahasiswa bersama dosen, atau dari mahasiswa sendiri, yang kemudian dijadikan pembahasan dan dicari pemecahannya sebagai kegiatan- kegiatan belajar mahasiswa ( Saleh, 2013 : 204 ).

    PBL is defined by Ross (1991) as … the learning which results from the process of working towards the understanding of, or resolution of, a problem (Barrows and Tamblyn 1980, as cited in Ross 1991: 34)in Hilman ( 2003 : 2 ).

    PBL is a learner-centered pedagogical approach that affords learners (incluiding prospective and certified  teachers) oppor tunites to engage in goal-directed inquiry. Learners work collaboratively with others as they analyze complex and ill-defined problems (Barrows, 200: Hmelo-Silver,2004). Learners also work independently tocollect information they then bring cak to the group’s functioning. The teacher’s role changes from one of primarily “telling” information to one that facilitates thingking, reflecting and collaborative inquiry, while content decisions are left up to the student. This PBL’sgoals consist of conceptual and pedagogical content knowledge construction, and selfdirected, lifelong learning. These goals are brought to fruition throughlearners’ engagement in the PBL tutorial process and three of the process’s features: the proble-case, learning issues, and the facilitator (Simone, 2014 : 18).

    PBL is a methodology that can ignite that kind of sparke in today’s students. When students are given inadequately constructed problems to solve, they learn to think the way real world professionals such as architerls, archaeologists, engineers, scientists, and historyans think. Such thinking reguires that missing (for example, which learning issues are missing). PBL teaches students that they must first discern exactly what the problem is instead of immediately what they already know about it by constructing hypotheses based upon prior knowledge. They can than identify the learning issues involved, decide what new information is needed. And determine how they must thest this new information to refine their original theirues (Ronis,D.L, 2008 : 34).

    Barrows dalam Saleh ( 2013 : 204 ). mendefinisikan PBM sebagai sebuah strategi pembelajaran yang hasil maupun proses belajar-mengajarnya diarahkan kepada pengetahuan dan penyelesaian suatu masalah. PBM merupakan strategi belajar yang membelajarkan mahasiswa untuk memecahkan masalah dan merefleksikannya  dengan  pengalaman mereka.

    Problem Based Learning (PBL) atau pembelajaran berbasis masalah. Menurut Glazer (2001) menyatakan bahwa PBL menekankan belajar sebagai proses yang melibatkan pem- ecahan masalah dan berpikir kritis dalam konteks yang sebenarnya. Glazer selanjutnya mengemukakan bahwa PBL memberikan ke- sempatan kepada siswa untuk mempelajari hal lebih luas yang berfokus pada mempersiapkan siswa untuk menjadi warga negara yang aktif dan bertanggung jawab. Melalui PBL siswa memperoleh pengalaman dalam menangani masalah-masalah yang realistis, dan menekan- an pada penggunaan komunikasi, kerjasama, dan sumber-sumber yang ada untuk meru- muskan ide dan mengembangkan keterampi- lan penalaran. Hasil penelitian Abdullah dan Ridwan (2008) menyatakan model PBL dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Penelitian Hasrul Bakri (2009), menyatakan bahwa PBL mampu meningkatkan minat belajar praktek menggulung trafo. Hasil penelitian Oon-Seng Tan (2008) menyatakan PBL dapat mengantar kan siswa untuk menyelesaikan permasalahan hidup melalui proses menemukan, belajar dan berpikir secara independen . Melihat karakter- istik dari PBL, model pembelajaran tersebut sesuai jika diterapkan pada pembelajaran ma- teri perbaikan dan setting ulang PC ( Suyanto dan Nafiah, 2014: 127- 128).

    Problem Based Learning adalah seoerangkat model mengajar yang menggunakan masalah sebagai focus untuk mengembangkan keterampilan pemecahan masalah, materi dan pengaturan diri ( Hmelo- Silver, 2004: Serafino dan Cicchelli, 2005 Egen dan Kaucak, 2012 : 307 ) dalam Suyanto dan Nafiah. PBL merupakan suatu pendekatan yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi peserta didik untuk belajar tentng cara berpikir kritis dan  keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dankonsep yang esensial dari materi pelajaran. PBL merupakan pembelajaran berdasarkan Teori Kognitif  yang didalamnya termasuk teori belajar konstruktivisme. Menurut teori konstruktivisme keterampilan berpikir dan memecahkan masalah dapat dikembangkan jika peserta didik melakukan sendiri, menemukan, dan memindahkan kekomplekan pengetahuan yang ada ( Suyanto dan Nafiah, 2014 : 129-130 ).

    Model PBL merupakanmodel pembelajaran yang berorientasi pada siswa. Dalam PBL atau pembelajaran berbasis masalah ini siswa memegang peran yang dominan dalam pembentukkan pengetahuan mereka dalam pelaksanaan pembelajaran dibandingkan dengan guru ( Abdurrozak,dkk. 2016 : 873 ).

    Menurut Barrow ( dalam Huda, 2013, hlm 271 ) ( dalam Abdurrozak, dkk, 2016: 873). Mendefiniskan Problem Based Learning atau PBL  sebagai “ pembelajaran yang diperoleh melalui proses menuju pemahaman atau resolusisuatu masalah”. Sementara itu menurut Sujana (2014, hlm. 134 dalam Abdurrozak, dkk, 2016 : 873 ).“PBL adalah suatu pembelajaran yang menyuguhkan berbagai situasi bermasalah yang autentik dan berfungsi bagi siswa, sehingga masalah tersebut dapat dijadikan batu loncatan untuk melakukan investigasi dan penelitian”. Maka dari itu PBL merupakan sebuah pembelajaran yang menuntut siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri melalui permasalahan.

    Menurut Arends (2008:41 dalam Surjono dan Wulandari, 2013 :180). PBL merupakan pembelajaran yang memilikiesensi berupa menyuguhkan berbagai situasi bermasalah yang autentik dan bermakna ke-pada siswa. Sebagai tambahan, dalam PBL peran guru adalah menyodorkan berbagai ma-salah autentik sehingga jelas bahwa dituntut keaktifan siswa untuk dapat menyelesaikan masalah tersebut. Setelah masalah diperoleh maka selanjutnya melakukan perumusan ma-salah, dari masalah masalah tersebut kemu-dian dipecahkan secara bersama sama dengan didiskusikan. Saat pemecahan masalah ter-sebut akan terjadi pertukaran informasi antara siswa yang satu dengan yang lainnya sehingga permasalahan yang telah dirumuskan dapat terpecahkan. Sumber informasi tidak hanya dari guru akan tetapi dapat dari berbagai sumber. Guru disini berperan sebagai fasili-tator untuk mengarahkan permasalahan se-hingga saat diskusi tetap fokus pada tujuan pencapaian kompetensi.

    C. Tujuan Problem Based Learning

    Tujuan PBL menurut penelitian yang dikembangkan oleh Hmelo-silver (2004) dalamHuriah ( 2018 : 12- 13),  yaitu :

    1. Mengkontruksi luas dan fleksibilitas pengetahuan dasar.
    2. Dalam PBL, mahasiswa termotivasi untuk memperluaskan pengetahuan dasar yang dimiliki dengan memecahkan masalah. Mahasiswa yang mengikuti kegiatan PBL dapat mencapai pengetahuan seluas-luasnya terkait topik pembelajaran yang terdapat dalam kasus.
    3. Mengembangkan efektivitas ketrampilan pemecahan masalah.
    4. Proses diskusi PBL, menjadi mahasiswa belajar bagaimana memecahkan masalah dengan cara berdiskusi dengan anggota lain. Mahasiswa dapat belajar secara efektif ketrampilan  pemecahan masalah.
    5. Mengembangkan pengarahkan diri dan ketrampilan belajar sepanjang hayat.
    6. Pada proses diskusi PBL terjadi interaksi antar anggota. Proses ini menjadikan mahasiswa belajar berkomonikasi yang efektif dan toleransi sesama anggota.
    7. Mahasiswa menjadi kaloborator yang efektif.
    8. Pada saat diskusi PBL, mahasiswa akan belajar bagaiamana menyakinkan anggota lain agar dapat menerima ide-ide yang disampaikan.
    9. Menjadikan motivasi intriksi dalam belajar.
    10. Masalah yang menarik dapat meningkatkan motivasi mahasiswa dalam belajar, dibandingkan dengan metode kuliah kelas dimana mereka hanya duduk mendengarkan (pembelajaran pasif).

    D. Karakteristik Model Problem Based Learning ( PBL )

    Menurut Saleh (2013:205). Didalam strategi PBM ( pembelajaran berbasis masalah ) terdapat tiga ciri utama:

    Pertama, strategi PBM (Pembelajaran berbasis masalah) merupakan rangkaian aktivitas pembelajaran, artinya dalam pembelajaran ini tidak mengharapkan mahasiswa hanya sekedar mendengarkan, mencatat kemudian menghafal materi pelajaran, akan  tetapi melalui strategi PBM mahasiswa aktif berpikir, berkomunikasi, mencari dan mengolah data dan akhirnya menyimpulkannya.

    Kedua, aktivitas pembelajaran diarahkan untuk menyelesaikan masalah. Strategi PBM menempatkan masalah sebagai kata kunci dari proses pembelajaran. Artinya, tanpa masalah tidak mungkin ada proses pembelajaran.

    Ketiga, pemecahan masalah dilakukan dengan menggunakan pendekatan berpikir secara ilmiah. Berpikir dengan menggunakan metode ilmiah adalah proses berpikir deduktif dan induktif. Proses berpikir ini dilakukan secara sistematis dan empiris, sistematis artinya berpikir ilmiah dilakukan melalui tahapan-tahapan tertentu, sedangkan empiris artinya proses penyelesaian masalah didasarkan pada data dan fakta yang jelas.

    Ciri lainnya dalam model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning), dosen lebih banyak berperan sebagai fasilitator, pembimbing dan motivator. Dosen mengajukan masalah otentik/mengorientasikan mahasiswa kepada permasalahan nyata (real world), memfasilitasi/ membimbing dalam proses penyelidikan, menfasilitasi dialog antara mahasiswa, menyediakan bahan ajar mahasiswa serta memberikan dukungan dalam upaya meningkatkan temuan dan perkembangan intektual mahasiswa.

    Keberhasilan model PBM sangat tergantung pada ketersediaan sumber belajar bagi mahasiswa, alat-alat untuk menguji jawaban atau dugaan, menuntut adanya perlengkapan praktikum, memerlukan waktu yang cukup apalagi  data  harus diperoleh dari lapangan, serta kemampuan dosen dalam mengangkat dan merumuskan masalah.

    Huinchun (2013 : 15-18). lays out eight characteristics  PBL:

    1. An knowledgement of the base of experience of the learners.
    2. An emphasis on students taking responsibility for their own learning
    3. A crossing of boundaries between disciplines
    4. An interwining of theory and practice.
    5. A focus on the process of knowledge acquisition rather than the products of such a process.
    6. A change in staff role from that of instructor to that of facilitator.
    7. A change in focus from staff assement of learning outcomes to students self-and peer assessement.
    8. A focus on communication and interpersonal skills which help students understand that in order to pass on their knowledge, communication skills are necessary and go beyond their area of tecnical expertise.

    Berdasarkan teori yang dikembangkan Barrow, Min Liu (publikasi tahun 2005) ( dalam Saleh, 2013 : 206). menjelaskan karakteristik dari PBL, yaitu :

    1. Learning is student-centered

    Proses pembelajaran dalam PBL lebih menitikberatkan kepada mahasiswa sebagai orang belajar. Oleh karena itu, PBL didukung juga oleh teori konstruktivisme dimana mahasiswa didorong untuk dapat mengembangkan pengetahuannya sendiri.

    2. Authentic problems from the organizing focus for learning

    Masalah yang disajikan kepada mahasiswa adalah masalah yang otentik sehingga mahasiswa mampu dengan mudah memahami masalah tersebut serta dapat menerapkannya dalam kehidupan profesionalnya nanti.

    3. New information is acquired through self-directed learning

    Dalam proses pemecahan masalah mungkin saja mahasiswa belum mengetahui dan memahami semua pengetahuan prasyaratnya, sehingga mahasiswa berusaha untuk mencari sendiri melalui sumbernya, baik  dari  buku atau informasi lainnya.

    4. Learning occurs in small groups

    Agar terjadi interaksi ilmiah dan tukar pemikiran dalam usaha membangun pengetahuan secara kolaboratif, maka PBL dilaksakan dalam kelompok kecil. Kelompok yang dibuat menuntut pembagian tugas yang jelas dan penetapan tujuan yang jelas.

    5. Teachers act as facilitators.

    Pada pelaksanaan PBL, dosen hanya berperan sebagai fasilitator. Namun, dosen harus selalu memantau perkembangan aktivitas mahasiswa dan mendorong mahasiswa agar mencapai target yang hendak dicapai.

    Selain itu, Menurut Saleh ( 2013: 206 – 207 ). karakteristik Pembelajaran Berbasis Masalah dapat dirinci sebagai berikut:

    1. Permasalahan menjadi starting point dalam belajar.
    2. Permasalahan yang diangkat adalah permasalahan yang ada di dunia nyata yang tidak terstruktur.
    3. Permasalahan membutuhkan perspektif ganda (multiple perspective).
    4. Permasalahan menantang pengetahuan yang dimiliki oleh mahasiswa, sikap dan kompetensi yang kemudian membutuhkan identifikasi kebutuhan belajar dan bidang baru dalam belajar.
    5. Belajar pengarahan diri menjadi hal yang utama.
    6. Pemanfaatan sumber pengetahuan yang beragam, penggunaanya da evaluasi sumber informasi merupakan proses yang esensial dalam PBL.
    7. Belajar adalah kolaboratif, komunikasi, dan kooperatif.
    8. Pengembangan ketrampilan inquiry ( menemukan) dan pemecahan masalah sama pentingnya dengan penguasaan isi pengetahuan untuk mencari solusi dari sebuah permasalahan.
    9. Keterbuakaan proses dalam PBL meliputi sintesis dan integrasi dari sebuah proses belajar.
    10. PBL melibatkan evaluasi dan review pengalaman mahasiswa dan proses belajar.

    Menurut Huriah ( 2018 : 13-14), sejumlah karakteristik mengenai problem based learning, yaitu :

    1. Setiap mahasiswa memiliki tanggung jawab terhadap sasaran capaian pembelajaran mereka sendiri.
    2. Triger masalah yang dipakai di dalam problem based learning memberikan gambaran situasi nyata dan memberikan kebebasan pada mahasiswa dalam mencari pemecahannya.
    3. Permasalahan membutuhkan  perspektif ganda memantang  pengetahuan yang dimiliki mahasiswa.
    4. Apa yang terjadi selama belajar mandiri, mahasiswa menerapkan kembali dengan cara menganalisi ulang penyelesaiannya.
    5. Analisis akhir dari kegiatan pemecahan masalah dan diskusi tentang konsep dan prinsip yang dipelajari merupakan hal yang terpenting.
    6. Penilaian individu dan penilaian peer dilakukan setiap akhir kegiatan.
    7. Model pembelajaran yang mencakup keseluruhan, berbagai disiplin ilmu dan subjek belajar.
    8. Hakikat pembelajaran ini adalah kalobarasi, komunikasi dan kooperatif.
    9. Pemanfaatan sumber pengetahuan yang beragam, penggunaannya, dan evaluasi sumber informasi merupakan proses PBL.
    10. Pengembangan inquiry dan pemecahan masalah sama pentingnya dengan isi pengetahuan untuk mencari solusi dari sebuah permasalahan.
    11. Kegiatan PBL membawa kearah nilau pada situasi nyata.
    12. Ujian mahasiswa harus mengukur kemajuan mahasiswa terhadap tujuan belajarnya.
    13. Kurikulum PBL harus berdasarkan pedagogic dan bukan bagian dari kurikulum didaktik.

    Savery (2006: 12-14 ). Each of these essential characteristics has been extended brienfly to provide additional information and resource:.

    1. Student must have the responsibility for their own learning

    PBL is a learner-centered approach – students engage with the problem with whatever their current knowledge/experience affods. Learner motivation increases when reponbility for the solution to the problem and the process rests with the learner (Savery & Duffy, 1995) and as student ownership for learning increases (Savery,1998;1999). Inherent in the design of PBL is a public articulation by the learners of what they know and about what they need to learn more. Individuas accept responbility for seeking relevant information and bringing that back to the group to help inform the development of a vible solution.

    2)        The problem simulation used in problem-based Learning must be ill-structures and allow for free inquiry.

    Problems in the real world are ill-structured (or they would not be problems). A critical skill developed through is the ability to identify the problem and set parameters on the development of a solution. When a problem is well-structured learners are less motivated and less invested in the development of the solution.

    3)        Learning should be integrated from a wide range of disciplines or subjects.

           Barrows notes that during self directed learning, students should be ableto access, study and integrate information from all the disciplines that might be related to understanding and resolving a particular problem-just as people in the real world must recall and aplly information integrated from diverse sources in their work. The rapid expansion of information has encouranged a cross-fertilization of ideas and led to the development of new disciplines. Multiple perspectives lead to a more through understanding of the issues and the development of a robust solution.

    4)        Collaboration is essential

           In the world after most learners will find themselves in jobs where they need to share information and work productively with others. PBL provides a format for the development of these essential skills. During a PBL session the tutor will ask question of any and all members to ensure that information has been shared between members in relation to the group’s problem.

    5)        What student learn during ther self- directed learning must be applied back to the problem with reanalysis and resolution.

           The point of self-firected research for individuals to collect information that will inform the group’s decision-making process in relation to the problem. Is is essential that each individual share coherently what he or she has learned and how that information might impact on developing a solution to the problem.

    6)        A closing analysis of what has been learned from work with the problem and a discussion of what concepts and principles have been learned are essential.

           Given that PBL is very enganging, motivating and involving form of experiential learning, learners are often very close to the immediate details of the problem and the proposed solution. The purpose of the post-experience debriefing process (see Steinwachs, 1992; Thiagarajan, 1993 for details on debriefing) is to consolidate the learning and ensure that the experience all facets of the PBL process to better understand what they know, what they learned, and how they perfomed.

    7)        Self and peer assessment should be carried out at the completion of each problem and at the end of every curricular unit.

           These assessment activities related to the PBL process are closely related to the previous essential characteristic of refecation on knowledge gains. The significance of this activity is to reinforce the self-reflective nature of learing and sharpen a range of metacognitive processing skills.

    8)        The activities carried out in problem-based learning must be those valued in the real world.

           A relation and guidelines for the selection of authentic problems in PBL is discussed extensively in savery & Duffy.

    9)        Students examinations must measure student progress towards the goals of problem-based learning.

           The goals of PBL are both knowledge-based and process-based. Students need to be assessed on both dimensions at regular intervals to ensure that they are benefiting as intended from the PBL approach. Students are responsible for the content in the they have “convered” through engagement with problems. They need to be able to recognize and articulate what they know and what they have learned.

    10)    problem-based learning must be the pedagogical base in the curriculum and not part of a didactic curriculum.

    PBL is based on the principles of adult learning. Knowles, the father os adult learning theory, proposed that a learning environment which is characterized by physical comfort, mutual respect and freedom of expression is accepted, the learners perceive learning goals as their own and accept partial responbility for planning amd conducting the learning sessions and their active participation in the learning process is encouranged. PBL is usually carried out in small groups of 5 to 10 students each, who meet two or three times a week for PBL tutorials. The groups are presented with a clinical problem and in a series of steps, they disuss the possible mechanisms and causes, develop hypotheses and methods to test them, are presented with further information, use this new information to refine their hypotheses and finally, reach a conclusion (Shankar, 2010 : 3249-3250).

    Later and Huinchun (1985 : 15-18) lays out eight characteristics  PBL:

    1. An knowledgement of the base of experience of the learners.
    2. An emphasis on students taking responsibility for their own learning
    3. A crossing of boundaries between disciplines
    4. An interwining of theory and practice.
    5. A focus on the process of knowledge acquisition rather than the products of such a process.
    6. A change in staff role from that of instructor to that of facilitator.
    7. A change in focus from staff assement of learning outcomes to students self-and peer assessement.
    8. A focus on communication and interpersonal skills which help students understand that in order to pass on their knowledge, communication skills are necessary and go beyond their area of tecnical expertise.

    E. Langkah – Langkah Model PBL

    Terdapat beberapa langkah, protokol dan prosedur PBM. Barret (2005 dalam Saleh, 2013 : 210 – 211) menjelaskan langkah-langkah pelaksanaan PBL sebagai berikut:

    1. Mahasiswa diberi permasalahan oleh dosen ( atau permasalhan diungkap dari pengalama mahasiswa ).
    2. Mahasiswa melakukan diskusi dalam kelomok kecil melakukan  hal-hal berikut:
      1. Mengklarifikasi kasus permasalahan yang diberikan
      2. Mendefinisikan masalah
      3. Melakukan tukar pikiran berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki.
      4. Menetapkan hal-hal yang diperlukan untuk enyelesaikan masalah.
    3. Mahasiswa melakukan kajian secara independen berkaitan dengan masalah yang harus diselesaikan. Mereka dapat melakukannya dengan cara mencari  sumber di perpustakaan, database, internet, sumber personal atau melakukan observasi
    4. Mahasiswa kembali kepada kelompok PBL untuk melakukan tukar informasi, pembelajaran teman sejawat, dan bekerjasama dalam menyelesaikan masalah.
    5. Mahasiswa menyajikan solusi yang mereka temukan
    6. Mahasiswa dibantu oleh dosen melakukan evaluasi berkaitan dengan seluruh kegiatan pembelajaran. Hal ini meliputi sejauhmana pengetahuan yang sudah diperoleh oleh mahasiswa serta bagaimana peran masing-masing mahasiswa dalam kelompok.

    Sedangkan Menurut Arends (2008:55 dalam Suyanto dan Nafiah, 2014: 130). langkah-langkah dalam melaksanakan PBL ada 5 fase yaitu:

    1. Mengorientasi siswa pada masalah.
    2. Mengorganisasi siswa untuk meneliti
    3. Membantu investigasi mandiri dan berkelom­pok
    4. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya.
    5. Menganalisis dan mengevalu­asi proses pemecahan masalah.

    Permasalahan yang digunakan dalam PBL adalah permasala­han yang dihadapi di dunia nyata. Meskipun kemampuan individual dituntut bagi setiap siswa, tetapi dalam proses belajar dalam PBL siswa belajar dalam kelompok untuk memaha­mi persoalan yang dihadapi. Kemudian siswa belajar secara individu untuk memperoleh in­formasi tambahan yang berhubungan dengan pemecahan masalah. Peran guru dalam PBL yaitu sebagai fasilitator dalam proses pembe­lajaran.

    Tabel 1. Langkah-langkah PBL menurut Abdurrozak, dkk (2016 : 874).

    No.FasePerilaku Guru
    1Fase 1:a.Membahas tujuan pembelajaran.
    Memberikan orientasi mengenai permasalahan kepada siswab.Mendeskripsikan berbagai kebutuhan penting.
    c.Memotivasi siswa agar dapat terlibat dalam kegiatan mengatasi masalah.
    2Fase 2:
    Mengorganisasikan siswa agar dapat melakukan penelitiand.Membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas-tugas belajar yang terkait dengan permasalahan yang dihadapi
    3Fase 3:
    Membantu siswa melakukan investigasi secara mandiri dan Kelompoke.Mendorong siswa untuk mendapatkan informasi yang tepat, melaksanakan eksperimen, serta mencari penjelasan dan solusi.
    4Fase 4:
    Mengembangkan dan mempresentasikan artefak dan exhibitf.Membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan artefak-artefak yagn tepat seperti laporan, rekaman video, serta model-model.
    .g.Membantu siswa untuk menyampaikannya kepada orang lain.
    5Fase 5:
    Menganalisis dan mengevaluasi proses-proses dalam mengatasi masalahh.Membantu siswa untuk melakukan refleksi terhadap investigasinya serta proses-proses yang mereka gunakan.

    Menurut Efendi (2008 : 125- 126), problem based learning merupakan metode belajar yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru. Dalam metode ini, peserta didik diberikan suatu permasalahan. Selanjutnya secara berkelompok (disarankan kelompok kecil : 8-10 orang) mencari solusi atas permasalahan tersebut. Untuk mendapatkan solusi, mereka diharapkan secara katif mencari informasi yang dibutuhkan dari berbagai sumber. Informasi dapat diperoleh dari bahan bacaan (literature), narasumber, dan sebagainya.

    Untuk dapat memperoleh hasil yang diharapkan, maka terdapat langkah-langkah yang dilakukan dalam metode PBL.

    1. Identifikasi masalah

    Mahasiswa membaca masalah yang diberikan dan mendiskusikannya. Mereka dapat terstimulus untuk “mendiagnosis” masalah tersebut dengan segera. Mereka harus didorong untuk berpikirkan lebih dalam pertanyaan “apa”, “mengapa”, “bagaimana”,”kapan”, dan sebagainya.

    2. Ekplorasi pengetahuan yang telah dimiliki

    Klarifikasi istilah yang digunakan dalam masalah beserta maknanya. Mahasiswa datang dengan pengetahuan yang mereka miliki sebelumnya, termasuk dari pengalam hidup. Kita tahu bahwa seseorang dapat memahami materi atau pengetahuan baru jika telah pernah tahu tentang topik tersebut.

    3. Menetapkan hipotesis

    Pada tahap ini diharapkan mahasiswa dapat membangun hipotesis dari permasalahan yang diberikan.

    4. Identifikasi isu-isu yang dipelajari

    Isu pembelajaran dapat didefinisikan sebagai pertanyaan yang tak dapat dijawab dengan pengetahuan yang masih dimiliki mahasiswa. Pada tahap ini mahasiswa harus menyadari apa yang menjadi isu pembelajaran, baik bagi kelompok maupun tiap individu.

    5. Belajar mandiri

    Pada tahap ini harus jelas isu pembelajaran yang menjadi tujuan bagi tiap mahasiswa. Pada area tertentu, perlu ditentukan bagian yang merupakan bagian dari belajar mandiri mahasiswa. Hal ini bermanfaat sebelum masuk pertemuan (tutorial) berikutnya.

    6. Re-evaluasi dan penerapan pengetahuan bary terhadap masalah

    Mahasiswa berkumpul kembali setelah membahas isu pembelajaran pada tahap sebelumnya. Pada tahap inilah ilmu atau pengetahuan yang beru diterapkan pada permasalahan yang diberikan diawal.

    7. Pengkajian dan refleksi

    Hal ini termasuk melakukan review terhadap pembelajaran yang telah diraih, sekaligus kesempatan bagi kelompok untuk memberikan umpan balik mengenai proses yang telah berlangsung.

    Jensen And Mostrom (2002: 21)Steps in the based learning tutorial process

    1. Step one: identify and elarify terms in the case scenario that are unfamiliar
    2. Step two: define the problem or problems to be discussed (all views should be considered)
    3. Step three: discuss the problem at brainstroming sesions suggest possible explanations based on prior knowledge students draw on etch others knowledge, identify areas of incomplete knowledge
    4. Step four: review move expanations to tentative solutions, record explanations and restructure if needed
    5. Step five: formulate learning objectives group works toword consensusof learning objectives tutor make sure learning abjectives are focused, achievable, comprehensive, and appropriate.
    6. Step six: private (all students gather information related to each learning objective)
    7. Group shares results of private study (students identify their learning resources and share their results) tutor checks learning and assesses group (scribe records key findings during each of the process).

    F. Kelebihan Model Pembelajaran Berbasis PBL

    Menurut Huriah ( 2018 : 22-23),  problem based learning merupakan bagian dari strategi pembelajaran student center. Terdapat beberapa kelebihan dalam metode PBL, yaitu :

    Kelebihan Problem Based learning

    1. PBL berpusat pada mahasiswa : memotivasi pembelajaran aktif, meningkatkan pemahaman, dan stimulus seseorang untuk terus belajar selama hidupnya.
    2. Kompentensi umum : PBL memfasilitasi mahasiswa untuk mengembangkan sikap dan ketrampilan umum yang dikehendaki di masa mendatang.
    3. Intgrasi : PBL memfasilitasi integrasi kurikulum inti.
    4. Motivasi : PBL menyenangkan bagi tutor dan mahasiswa dalam proses melibatkan mahasiswa dalam proses pembelajaran.
    5. Pembelajaran mendalam : PBL meningkatkan kemampuan pemahaman mendalam bagi mahasiswa.
    6. Pendekatan konstruktif : mahasiswa aktif berdasarkan pengetahuan dan membangun kerangka konseptual dari pengetahuan tersebut.

    Menurut Saleh (2013 : 209–210). Sebagai suatu strategi pembelajaran, metode PBL memiliki beberapa keunggulan di antaranya:

    1. Pemecahan masalah ( problem solving ) merupakan teori teknik yang cukup bagus untuk memahami suatu pelajaran.
    2. Pemecahan masalah dapat menantang kemampuan mahasiswa serta memberikan kepuasan untuk menemukan pengetahuan baru bagi mahasiswa.
    3. Pemecahan masalah dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran mahasiswa.
    4. Pemecahan masalah dapat membantu mahasiswa bagaimana mentransfer pengetahuan mereka untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata.
    5. Pemecahan masalah dapat membantu mahasiswa untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggung jawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan. Disamping itu pemecahan masalah itu juga dapat mendorong mahasiswa untuk melakukan evaluasi baik terhadap hasil maupun proses belajarnya.
    6. Melalui pemecahan masalah bisa memperlihatkan kepada mahasiswa bahwa setiap mata pelajaran (matematika, IPA, sejarah dan sebagainya), pada dasarnya merupakan cara berpikir, dan sesuatu yang harus dimengerti oleh mahasiswa, bukan hanya  sekedar beajar dari dosen atau dari buku-buku saja.
    7. Pemecahan masalah dianggap lebih menyenangkan dan disukai mahasiswa.
    8. Pemecahan maslah dapat mengembangka kemampuan mereka untuk menyesuaikan dengan pengetahuan baru.
    9. Pemecahan masalah dapat memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata
    10. Pemecahan masalah dapat mengembangkan minat mahasiswa untuk secara terus-menerus belajar sekalipun belajar pada pendidikan formal telah  berakhir.

    Menurut Wasonowati, dkk (2014: 68). Model PBL dipilih karena mempunyai beberapa kelebihan, antara lain adalah:

    1. Pemecahan masalah yang diberikan dapat menantang dan membangkitkan kemampuan berpikir kritis siswa serta memberikan kepuasan untuk menemukan suatu pengetahuan baru.
    2. Pembelajaran dengan model PBL dianggap lebih menyenangkan dan lebih disukai siswa.
    3. Model PBL dapat meningkatkan aktivitas siswa dalam proses pembelajaran, dan
    4. Model PBL dapat memberikan kesempatan siswa untuk menerapkan pengetahuan yang mereka miliki ke dalam dunia nyata.

    G. Kelemahan Model Berbasis PBL

    Menurut Huriah ( 2018 : 22-23),  problem based learning merupakan bagian dari strategi pembelajaran student center. Terdapat beberapa kekurangan dalam metode PBL, yaitu :

    Kekurangan Problem based learning :

    1. Tutor tidak dapat mengajar : tutor merasa nyaman dengan metode tradisional sehingga kemungkinan PBL akan terasa membosankan dan sulit.
    2. Sumber daya manusia :  lebih banyak staf yang terlibat dalam proses tutorial.
    3. Model peran : kemungkinan mahasiswa mengalami kekurangan akses pada dosen yang berkualitas di mana dalam kurikulum tradisional memberikan kuliah dalam kelompok besar.
    4. Sumber-sumber lain : sebagaian  besar mahasiswa memerlukan akses pada perpustakaan yang sama dan internet secara bersamaan pula.
    5. Informasi berlebihan : mahasiswa kemungkinan tidak yakin dengan seberapa banyak belajar mandiri yang diperlukan dan informasi apa yang relavan dan berguna.

    Menurut Saleh ( 2013: 209-210 ) Beberapa kelemahan strategi pembelajaran berbasis masalah antara lain:

    1. Manakala mahasiswa tidak memilikiminat atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan measa enggan untuk mencoba.
    2. Keberhasilan strategi pembelajaran melalui problem solving membutuhkan cukup waktu untuk persiapan tanpa pemahaman mengapa mereka berusaha untuk memcahkan masalah yang sedang dipelajari, maka mereka tidak akan belajar apa yang ingin mereka pelajari.
    3. PBL tidak dapat diterapkan untuk setaiap materi pelaran ada bagian dosen berperan aktif dalam menyajikan materi. PBL lebih cocok untuk pembelajaran yang menuntu kemampuan tertentu yang kaitannya dengan pemecahan masalah.
    4. Dalam suatu kelas yang memiliki tingkat keragaman mahasiswa yang tinggi akan terjadi kesulitan dalam pembangian tugas.
    5. Kurang cocok untuk diterapka di Sekolah Dasae Karena masalah kemampuan bekerja dalam kelompok PBL sangat cocok untuk mahasiswa perguruan tinggi atau paling tidak untuk sekolah menengah.
    6. PBL biasanya membutuhkan waktuyang tidak sedikit sehingga dikhawatirkan tidak dapat menjangkau seluruh konten yang diharapkan walaupun PBL berfokus pada masalah bukan konten materi.
    7. Membutuhkan kemampuan dosen yang mampu mendorong kerja mahasiswa dalam kelompok secara efektif, artinya dosen harus memiliki kemampuan memotivasi mahasiswa dengan baik.
    8. Adakalanya sumber yang dibutuhkan tidak tersedia dengan lengkap.

    H. Keterkaitan PBL dan Hasil Belajar

    Menurut Orhan & Ruhan (2007 dalam Suyanto dan Nafiah, 2014 : 130-131). Menyatakan bahwa model PBL memberikan dampak posi­tif pada prestasi akademik siswa dan sikap siswa terhadap sains. Dalam pelaksanaan PBL di sekolah kesehatan, PBL memberi dampak positif terhadap kompetensi dokter dalam di- mensi sosial dan kognitif (Gerald Choon-Huat Koh, Hoon Eng Khoo, Mee Lian Wong & David Koh,2008). Dalam penelitian yang di- laksanakan oleh Hasrul Bakri (2009), menun- jukkan bahwa penerapan PBL di SMK dalam pembelajaran praktek dapat meningkatkan minat dan kemampuan praktek siswa dalam praktek menggulung trafo. Penelitian Ade Gafar Abdullah dan Taufik Ridwan (2008), menyatakan bahwa dalam penerapan PBL ter- dapat peningkatan hasil belajar siswa.

    I. Peran Partisipan Dalam Problem Based Learning

    Menurut Suradijono (2009) di dalam Efendi (2008 : 127- 128), selama berlangsungnya proses belajar dalam PBL, mahasiswa akan mendapatkan bimbingan dari  narasumber atau fasilitator, bergantung pada tahapan kegiatan yang dijalankan. Tiap tiap elemen dalam PBL memiliki peran spesifik sebagai berikut :

    1. Narasumber

    Peran narasumber dalam proses pembelajaran adalah sebagai berikut.

    1. Menyusun kasus pemicu (trigger problems)
    2. Sebagai sumber pembelajaran untuk informasi yang tidak ditemukan dalam sumber pembelajarab berupa bahan cetak atau elektronik.
    3. Melakukan evaluasi hasil pembelajaran.
    2. Tutor/ fasilitator

    Secara umum peran fasilitator adalah memantau dan memastikan kelancaran kerja kelompok serta melakukan evaluasi terhadap efektivitas proses belajar kelompok. Secara lebih rinci peran fasilitator adalah sebagi berikut :

    1. Pada pertemuan pertama, mengatur kelompok dan menciptakan suasana yang nyaman.
    2. Memastikan bahwa sebelum proses pembelajaran dimulai setiap kelompok telah memiliki seorang anggota yang bertugas membaca materi dengan suara dikeraskan. Sementara itu teman-teman yang lain mendengarkan da nada seorang anggota yang mencatat informasi yang penting sepanjang jalannya diskusi.
    3. Memberikan materi atau informasi pada saat yang tepat, sesuai dengan perkembangan kelompok.
    4. Memastikan bahwa setiap sesi diskusi kelompok diakhiri dengan self-evaluation.
    5. Menjaga agar kelompok terus memusatkan perhatian  pada pencapaian tujuan.
    6. Memantau jalannya diskusi dan membuat  catatan tentang berbagi masalah yang muncul dalam proses belajar, serta menjaga agar proses belajar terus berlangsung, agar tidak ada fase dalam proses pembelajaran yang terlewati atau terabaikan dan agar setiap fase dilakukan dalam urutan yang tepat.
    7. Menjaga motivasi mahasiswa dengan mempertahankan unsur tantangan dalam penyelesaian tugas.
    8. Memberikan pengarahan agar dapat membantu mahasiswa keluar dari kesulitannya.
    9. Membimbingan proses belajar mahasiswa dengan mengajukan pertanyaan yang tepat pada saat yang tepat. Pertanyaan-pertanyaan ini hendaknya merupakan pertanyaan tentang berbagai konsep, ide, penjelasan, dan sudut pandang.
    10. Mengevaluasi kegiatan belajar mahasiswa, termasuk pertisipasinya dalam proses kelompok. Pengajar perlu memastikan bahwa setiap mahasiswa terlibat dalam proses kelompok serta berbagi pemikiran dan pandangan.
    11. Mengevaluasi penerapan PBL yang telah dilakukan.

    J. Evaluasi Dalam Problem Based Learning

    Menurut Efendi (2008 : 127- 128), tidak selamanya proses belajar dengan metode PBL berjalan dengan lancar. Ada beberapa hambatan yang dapat muncul. Hal yang paling sering terjadi adalah kurang terbiasanya peserta didik dan pengajajar dengan metode ini. Peserta didik dan pengajar masih terbawa kebiasaan materi konvensional, di mana pemberian materi hanya terjadi satu arah saja. Faktor penghambat lain adalah kurangnya waktu. Proses PBL terkadang membutuhkan waktu yang lebih banyak. Peserta didik terkadang memerlukan waktu untuk menghadapi persoalan yang diberikan. Sementara itu, waktu pelaksanaan PBL harus disesuaikan dengan beban kurikulum. Untuk mengetahui apakah metode PBL berhasil atau tidak, maka dilakukan proses evaluasi/penilaian. Dalam pembelajaran yang berorientasi pada proses, terdapat dua komponen pokok yang perlu diperhatikan dalam proses evaluasi.

    1.      Pengetahuan yang diperoleh mahasiswa

    2.      Proses belajar yang dilakukan oleh mahasiswa

    2.1.11 Komponen – Komponen Model PBL

    1. Sintaks Model PBL.

    Syntac pembelajaran merupakan langkah- langkah operasional pembelajaran yang sifatnya baku. Langkah langkah ini dipilihb sesuai dengan modek yang di kembangkan. Syntax diperlukan dalam pengembangan sebuah model pembelajaran supaya langkah-langkah yang dirancang tersebut dapat dijadikan pedoman bagi guru yang akan menerapkannya (Andayani, 2015 :136).

    Menurut Japar ( 2015:16 ).Sintaks model PBMSK yang dikembangkan terdiri atas tujuh fase, yaitu:

    1. fase-1 menyampaikan tujuan dan orientasi siswa pada masalah,
    2. fase-2 mengorganisasikan siswa dalam kelompok belajar,
    3. fase-3 membimbing penyelidikan individual maupun kelompok,
    4. fase- 4 mengembangkan dan menyajikan hasil karya,
    5. fase-5 menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah,
    6. fase-6 evaluasi, dan
    7. fase-7 memberi penghargaan,
    8. Sistem Sosial Model PBL.

    Social system atau sistem sosial ialah proses belajar mengenali, menganalisis dan mempertibangkan eksistensi dan perilaku siswa dan guru sebagai sebuah istitusi sosial dalam berbagai ranah dan pebelajaran. Peran guru dn siswa disini lebih dilihat sebagai makhluk sosial dan bagian dari kelompok kepentingan, bukan sebagai idividu (Andayani, 2015 :136).

    Menurut Suradi (2005: 39-40) dalam Japar (2015: 16). Komunikasi antara guru dengan siswa dapat dibagi dalam lima pola, yaitu:

    1. pola ”Guru (G) – Siswa (S)”,
    2. pola ” Guru (G) – Siswa (S) – Guru (G),
    3. pola ”Guru (G) – Siswa (S) – Siswa (S)”,
    4. pola ”Guru (G) – Siswa (S), Siswa (S) – Guru (G), Siswa (S) – Siswa (S), dan
    5. pola melingkar,
    6. Sistem Reaksi Model PBL

    Principles of reaction atau prinsip reaksi adalah suatu prinsip yang menggambarkan bagaimana reaksi siswa terhadap aktivitas pembelajaran yang diterapkan guru. Dalam penerapan sebuah model pembelajaran, reaksis siswa menjadi aktivitas yang terencana, tidak terjadi secara serta merta. Karena itu guru di tuntut agar mampu merencanakan dan melaksanakan pembelajaran  sehingga tercapai secara tuntas perilaku-perilaku, sikap-sikap yang akan diperoleh pada saat dan setelah pembelajaran berlangsung. Demikian pula sebaliknya, guru harus bereaksi terhadapa aksi siswa dalam semua peristiwa serta tidak mengrahkan aspek yang sempit melainkan ke suau kesatuan yang utuh dan bermakna (Andayani,2015 : 137).

    Prinsip reaksi model PBMSK. Menurut Joyce, Weil, & Shower (2009) dalam japar (2015:16). bahwa prinsip reaksi merupakan pedoman bagi guru dalam menghargai dan merespons stimulus berupa prilaku-prilaku siswa dalam proses pembelajaran.

    4.      Sistem pendukung model PBL.

    Support System atau sistem pendukung adalah komponen-komponen yang menjadi pendukung dalan penerapan sebuah model pembelajaran. Sistem pendukung ini merupakan sebuah sistem yang menyediakan kemampuan untuk penyelesaian masalah dan menjamin terjadinya interaksi guru siswa untuk menyelesaikan permasalahan pembelajaran. Bentuk sistem pendukung dapat berupa sekumpulan prosedur berbasis model untuk membantu guru dalam mengambil keputusan dalam pembelajaran (Andayani,2015 : 137-138).

    Menurut Joyce & Weil (2009) dalam Japar (2015:16). bahwa yang dimaksud sistem pendukung adalah segala sarana, bahan, dan alat yang diperlukan untuk melaksanakan model tersebut (Japar,2015:16).

    1. Dampak instruksional dan dampak pengiring.

    Menurut Joyce & Weil (2009) dalam Japar (2015:16). Bahwa dampak instruksional adalah tujuan utama yang bersifat segera/mendesak untuk dicapai (instructional effect) yaitu hasil belajar yang dicapai langsung dengan cara mengarahkan para siswa pada tujuan yang diharapkan sedangkan dampak pengikut/pengiring yaitu hasil belajar lainnya yang dihasilkan oleh suatu proses pembelajaran,  sebagai akibat terciptanya suasana belajar yang dialami langsung oleh para siswa tanpa pengarahan langsung dari guru.

    Menurut Huriah (2018 : 19-20),di dalam aktivitas diskusi tutorial problem based learning terdapat tutor dan mahasiswa, juga dibutuhkan beberapa sarana dan prasarana untuk mendukung kegiatan pembelajaran. Beberapa fasilitas yang diperlukan, diantaranya :

    1.             Ruang diskusi tutor yang berfungsi  sebagai tempat transit  dan apersepsi antara penanggung jawab  mata kuliah/blok dan tutor. Ruang tutor dilengkapi meja, kursi dan perlengakapan lainnya yang menunjang kegiatan persiapan tutorial bagi tutor.

    2.             Buku penilaian kegiatan tutorial yang berfungsi mengevaluasi kesiapan dan keaktifan dalam pelaksanaan diskusi. Selesai proses diskusi, tutor harus  selesai menilai setiap mahasiswa di buku penilaian tutorial sehingga admin dapat langsung menginput nilai.

    3.             Sesorang petugas yang bertugas untuk mempersiapkan kebutuhan terkait pelaksanaan tutorial dan bertugas menginput nilai kegiatan tutorial.

    4.             Ruang kecil yang cukup nyaman untuk 8 sampai 10 orang, lengkap dengan meja, kursi, papan tulis, dan penerangan yang cukup. Kondisi ruangan 

    5.             Seperangkat komputer untuk petugas admin yang akan melakukan input nilai kegiatan tutorial.

    6.             Perpustakaan mini yang harus dilengkapi dengan referensi baru, sesuai  dengan materi yang dibahas dalam diskusi kelompok. Referensi dapat berupa buku, jurnal, CD-ROM, kaset video, akses internet. Setelah selesai diskusi kelompok mahasiswa diberi kesempatan untuk penelusuran pustaka guna mencari informasi terkait dengan modul.

    7.             Ruang diskusi diluar gedung akan sangat membantu, misalnya taman yang rindang, sejuk, tidak bising dan dilengkapi dengan tempat duduk melingkar, akan sangat mendukung tugas mahasiswa dalam upaya self directed learning.

    8.             Fasilitas wifi atau internet di dalam ruang diskusi yang memungkinkan mahasiswa maupun dosen untuk mengakses jurnal.

    9.             E-learning system untuk mengupload kuis atau mini kuis pada pertemuan kedua. E-Learning juga digunakan untuk mengupload laporan tutorial mahasiswa. Hal ini sangat penting dalam meningkatkan keaktifan mahasiswa terkait keterlibatab dalam e-learning.

    2.2 KAJIAN KRITIS

    Siswa dapat dikatakan belajar apabila terjadi proses perubahan tingkah laku. Pembelajaran dikatakan berhasil apabila tujuan dari pembelajaran tersebut tercapai dengan baik. Untuk mengetahui  tercapainya tujuan dari sebuah proses pembelajaran maka perlu dilakukan evaluasi atau penilaian pada akhir proses pembelajaran. Dalam mencapai tujuan tersebut maka diperlukan sebuah model pembelajaran yang tepat dan efektif.

    Model PBL (Problem-Based Learning) adalah model pembelajaran yang melatih dan mengembangkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang berorientasi pada masalah otentik dari kehidupan aktual siswa, untuk merangsang kemampuan berpikir tingkat tinggi. Dalam model pembelajaran ini, peranan guru adalah menyodorkan berbagai masalah, memberikan pertanyaan, dan memfasilitasi investigasi dan dialog. Guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menetapkan topik masalah yang akan dibahas, walaupun sebenarnya guru telah menetapkan topik masalah apa yang harus dibahas. Hal yang paling utama adalah guru menyediakan perancah atau kerangka pendukung yang dapat meningkatkan kemampuan penyelidikan dan intelegensi peserta didik dalam berpikir. Kondisi yang tetap harus dipelihara dalam model pembelajaran PBL (Problem-Based Learning) ini adalah suasana kondusif, terbuka, negosiasi, demokrasi, suasana nyaman dan menyenangkan agar siswa dapat berpikir optimal.

    Tidak selamanya proses belajar dengan metode PBL berjalan dengan lancer. Ada beberapa hambatan yang dapat muncul. Hal yang paling sering terjadi adalah kurang terbiasanya peserta didik dan pengajajar dengan metode ini. Peserta didik dan pengajar masih terbawa kebiasaan materi konvensional, di mana pemberian materi hanya terjadi satu arah saja. Faktor penghambat lain adalah kurangnya waktu. Proses PBL terkadang membutuhkan waktu yang lebih banyak. Peserta didik terkadang memerlukan waktu untuk menghadapi persoalan yang diberikan. Sementara itu, waktu pelaksanaan PBL harus disesuaikan dengan beban kurikulum. Untuk mengetahui apakah metode PBL berhasil atau tidak, maka dilakukan proses evaluasi/penilaian.

    BAB III

    PENUTUP

    3.1 Kesimpulan

    Pembelajaran merupakan upaya untuk menciptakan suatu kondisi bagi terciptanya suatu kegiatan belajar yang memungkinkan peserta didik memperoleh pengalaman belajar yang memadai. Untuk mengetahui  tercapainya tujuan dari sebuah proses pembelajaran maka perlu dilakukan evaluasi atau penilaian pada akhir proses pembelajaran. Dalam mencapai tujuan tersebut maka diperlukan sebuah model pembelajaran yang tepat dan efektif.

    Model PBL (Problem-Based Learning) adalah model pembelajaran yang melatih dan mengembangkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang berorientasi pada masalah otentik dari kehidupan aktual siswa, untuk merangsang kemampuan berpikir tingkat tinggi. Dalam model pembelajaran ini, peranan guru adalah menyodorkan berbagai masalah, memberikan pertanyaan, dan memfasilitasi investigasi dan dialog. Model pembelajaran berbasis  masalah adalah pembelajaran yang menekankan padaproses penyelesaian masalah.

    Ciri- ciri dari model pembelajaran berbasis PBL ini anatar lain: aktivitas pembelajaran diarahkan untuk menyelesaikan masalah. Strategi PBM menempatkan masalah sebagai kata kunci dari proses pembelajaran. strategi PBM (Pembelajaran berbasis masalah) merupakan rangkaian aktivitas pembelajaran, artinya dalam pembelajaran ini tidak mengharapkan mahasiswa hanya sekedar mendengarkan, mencatat kemudian menghafal materi pelajaran, akan  tetapi melalui strategi PBM mahasiswa aktif berpikir, berkomunikasi, mencari dan mengolah data dan akhirnya menyimpulkannya. pemecahan masalah dilakukan dengan menggunakan pendekatan berpikir secara ilmiah.

    Pembelajaran berbasis masala melibatkan peserta didik dalam proses pembelajaran yang aktif, kolaboratif, berpusat kepada peserta didik, yang mengembangkan kemampuan belajar mandiri yang diperlukan untuk menghadapi tantangan dalam kehidupan dan karir, dalam lingkungan yang bertambah kompleks sekarang ini.

    3.2 Saran

    Adapun beberapa saran dari penulis adalah sebagai berikut:

    1)      Bagi guru mata pelajaran Fisika, penerapan model pembelajaran Fisika berdasarkan masalah pada proses pembelajaran di kelas, dapat ditrapkan  untuk membantu siswa dalam memahami materi secara lebih mudah dengan cara berdiskusi dan bekerja sama dalam kelompok.

    2)      Guru dapat menerapkan model-model pembelajaran yang inovatif yang disesuaikan dengan materi pembelajaran Fisika.

    DAFTAR PUSTAKA

    Abdurrozak, dkk. 2016. Pengaruh Model Problem Based Learning Terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa. Jurnal pena ilmiah. Vol. 1, No. 1.

    Andayani. 2015. Problema dan Aksioma : Dalam Metodologi Pembelajaran Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Deepublish.

    Blikstein, Paulo and Chan, Monica M. 2018. Exploring Problem- Based Learning for Middle School Design and Engiineering Education in Digital Fabrication Laboratories. Interdisciplinary Journal of Problem- Based Learning. Volume 12, issue 2.

    Dwi,A.Gunawan,R.Sadirman.2014. Sejarah Indonesia. Jakarta : Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

    Efendi, F. N. 2008. Pendidikan Dalam Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.

    Harmadi.2017. pengembangan model dan metode pembelajran dalam dinamika belajar siswa. Yogyakarta : Deepublish.

    Hilman, Wendy. 2003. Learning How To Learn: Problem Based Learning. Australian Journal of Teacher Education. Volume 28. Issue 2.

    Huriah, T. 2018. Metode Student Center Learning. Jakarta : Prenada Media Group.

    Japar. 2015. Model Pmbelajaran Berbasis Masalah Setting Kooperatif Untuk Meningkatkan Daya Matematis Dan Keterampilan Sosial. Journal of EST. ISSN : 2460-1497. Vol.1. No.1.

    Jensen, G. M. And Mostrom, E. 2002. Handbook of Teaching and Learning for Physical Therapists. United states: Gayle May.

    Khosim, N. 2017. Model model pembelajaran. Bandung : Sang Surya.

    Li, Huinchun. 2003. Educational Change Towards Problem Based Learning: An Organizational Perspective. Denmark: River Publishers.

    Nafiah, Yunin Nurun dan Suyanto, Wardan. 2014. Penerapan model problem-based learning untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan hasil belajar siswa. Jurnal pendidikan vokasi. Vol 4, nomor 1.

    Nata,A. 2009. Perspektif islam tentang starategi pembelajaran. Jakarta : Kencana.

    Ronis, D. L. 2008. Problem-Based Learning For Math & Science Integrating Inquiry and the Internet. California: Corwin Press A Sage Publications Company.

    Sage, S. T. S. 2002. Problems As Possibilities Problem-Based Learning for K-16 Education. Virginia USA: Association for Supervicion and Curriculum Development.

    Saleh, Marhamah. 2013. Strategi pembelajaran Fiqh dengan Problem- Based Learning. Jurnal ilmiah didaktika. Vol XIV. No,1.

    Savery, John R. 2006. Overview of Problem-based Learning: Definitions and Distinctions. Journal of Problem-based Learning. Volume 1, no.1.

    Shankar, P R. 2010. Problem-based Learning: A Review. Journal of Clinical and Diagnostic Research. ISSN: 3249-3254.

    Simone, Chistina De. 2014. Problem-Based Learning in Teacher Education: Trajectories of Change. International Journal of Humanities and Social Science. Vol. 4, No. 12.

    Surjono, Herman dwi dan Wulandari, Bekti.. 2013. Pengaruh Problem-Based Learning Terhadap Hasil Belajar Ditinjau Dari Motivasi Belajar Plc Di Smk. Jurnal penidikan vokasi. Vol 3, Nomor 2.

    Wasonowati, R.R.T, Dkk. 2014. Penerapan Model Problem Based Learning (PBL) Pada Pembelajaran Hukum – Hukum Dasar Kimia Ditinjau Dari Aktivitas Dan Hasil Belajar Siswa Kelas X Ipa Sma Negeri 2 Surakarta Tahun Pelajaran 2013/2014. Jurnal Pendidikan Kimia (JPK), Vol. 3 No. 3.

  • Makalah Model Pembelajaran Inquiry

    Makalah Model Pembelajaran Inquiry

    Model Pembelajaran Inkuiri

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Perkembangan zaman menuntut berbagai kemajuan di semua bidang. Oleh karena itu, bidang pendidikan pun harus ikut berbenah. Salah satu bagian di bidang pendidikan yang harus berbenah adalah kelas. Kelas merupakan entitas kecil dalam bidang pendidikan yang justru menjadi ujung tombak. Di dalam kelaslah terjadi proses transfer pengetahuan dari pendidik kepada peserta didik.

    Namun, proses transfer pengetahuan tersebut dapat terganggu jika model penyampaian yang digunakan tidak pas, bahkan monoton. Model yang tidak pas dan monoton akan menyebabkan ilmu yang disampaikan tidak dapat dipahami dengan baik. Bahkan, peserta didik akan merasa bosan di dalam kelas. Jika hal ini tidak segera dicarikan jalan keluar, prestasi dan penyerapan ilmu peserta didik pun akan menurun. Keadaan ini tentu bukan hal yang diharapkan oleh pendidik maupun para peserta didik. Oleh karena itu, upaya perbaikan dalam pembelajaran bukan lagi sebuah keharusan, melainkan sebuah kebutuhan.

    Metode Pembelajaran inquiry merupakan satu komponen penting dalam pendekatan konstruktifistik yang telah memiliki sejarah panjang dalam inovasi atau pembaruan pendidikan. Dalam pembelajaran dengan penemuan atau inkuiri, siswa didorong untuk belajar sebagian besar melalui keterlibatan aktif mereka sendiri dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa untuk memiliki pengalaman dan melakukan percobaan yang memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri. Piaget memberikan definisi pendekatan Inquiry sebagai pendidikan yang mempersiapkan situasi bagi siswa untuk melakukan eksperimen sendiri. Mengajukan pertayaan-pertayaan dan mencari sendiri jawaban atas pertayaan yang mereka ajukan. Metode inkuiri yang didefinisikan sebagai suatu rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, dan analisis sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuan dengan penuh percaya diri.

    Dalam makalah ini, model pembalajaran yang pemakalah bahas adalah model pembelajaran inkuiri. Menurut pemakalah sendiri model pembelajaran inkuiri adalah model pembelajaran yang sangat menarik, karena dapat memacu pemikiran anak didik, sehingga anak didik dapat menemukan sendiri jawaban dari pertanyaan yang muncul dibenaknya, dan sepertinya dengan cara ini pengetahuan yang didapat tidak gampang hilang dalam ingatan anak didik karena proses penemuan jawaban tersebut.

    B. Rumusan Masalah

    1. Apakah pengertian dari model pembelajaran inquiry ?
    2. Apakah tujuan dari model pembelajaran inquiry ?
    3. Apa sajakah karakteristik model pembelajaran inquiry ?
    4. Apa saja Sistem Sosial dalam model inquiry ?
    5. Apa saja Sistem Pendukung dalam model inquiry ?        
    6. Apa saja Aplikasi dalam model inquiry ?
    7. Apa sajakah Prinsip Reaksi dalam model inquiry ?         
    8. Apa sajakah prinsip model pembelajaran inquiry ?
    9. Bagaimanakah langkah-langkah pelaksanaan model pembelajaran inquiry ?
    10. Apa sajakah kelebihan dan kekurangan dari model pembelajaran inquiry ?

    1.3 Tujuan

    1. Untuk mengetahui pengertian dari model pembelajaran inquiry
    2. Untuk mengetahui tujuan dari model pembelajaran inquiry
    3. Untuk mengetahui karakteristik model pembelajaran inquiry
    4. Untuk mengetahui Sistem Sosial dalam model inquiry
    5. Untuk mengetahui Sistem Pendukung dalam model inquiry
    6. Untuk mengetahui Aplikasi dalam model inquiry           
    7. Untuk mengetahui Prinsip Reaksi dalam model inquiry
    8. Untuk mengetahui prinsip model pembelajaran inquiry
    9. Untuk mengetahui langkah-langkah pelaksanaan model pembelajaran inquiry
    10. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan dari model pembelajaran inquiry

    Bab II. Pembahasan

    A. Kajian Pustaka

    Menurut Trianto (2007) dalam Djuanda (2015 : 46-47), menyatakan bahwa discovery merupakan bagian dari inquiry. atau inquiry merupakan perluasan proses discovery yang digunakan lebih mendalam. lnkuiri yang dalam bahasa lnggris inquiry berarti pertanyaan. atau pemeriksaan, penyelidikan. lnkuiri sebagai suatu proses umum yang dilakukan manusia untuk mencari atau memahami informasi.

    Model inkuiri merupakan model pembelaiaran yang penyajiannya memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan informasi dengan atau tanpa bantuan guru. Model inkuiri adalah rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan.

    Inquiry adalah kata yang memiliki banyak makna bagi banyak orang dalamberbagai konteks yang berbeda. Dalam bidang sains, inquiry berarti seni atau ilmu bertanya tentang alam dan menemukan jawaban atas pertanyaan tersebut. Inquiry dilakukan melalui langkah-langkah seperti observasi dan pengukuran, hipotesis, interpretasi, dan penyusunan teori. Inquiry memerlukan eksperimentasi, refleksi, dan pengenalan terhadap kekuatan dan kelemahan metode yang digunakan (Hebrank dalam Kusmayono dan setiawati, 2013:135).

    Dalam bidang pembelajaraan, dikenal pendekatan pembelajaran yang disebut Inquiry-Based Learning (IBL) dan pendekatan pengajaran yang disebut Inquiry-Based Teaching (IBT). IBL adalah cara memperoleh pengetahuan melalui proses inquiry .Sementara itu, IBT adalah sebuah pendekatan pengajaran yang memandatkan guru untuk menciptakan situasi yang memposisikan pemelajar sebagai ilmuwan. Pembelajar mengambil inisiatif untuk mempertanyakan suatu fenomena, mengajukan hipotesis, melakukan observasi di lapangan, menganalisis data, dan menarik simpulan, serta menjelaskan temuannya itu kepada orang lain. Jawaban yang diharapkan atas pertanyaan tersebut tidak bersifat tunggal tetapi jamak. Yang penting adalah bahwa dalam mencari jawaban, pemelajar bekerja dengan menggunakan standar tertentu yang jelas sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, dimungkinkan pemelajar mengintegrasikan dan mensinergikan berbagai disiplin ilmu dan/atau metode yang berbeda (Budnitz dalam Kusmayono dan setiawati. 2013:135).

    According to Wallace dan Husid (2017: 10), IBL is structured and guided yet open to allow students to assume personal roles in their learning. there is fluidity . The more students work with the process, the less they will rely on which step they are attaining. Their infoemation literacy skills, use of Bloom’s taxonomy and progress with IBL merge into self-actualized coursesosof action.

    Menurut Wallace dan Husid (2017: 10), IBL disusun dan dibimbing namun terbuka untuk memungkinkan siswa untuk mengambil peran pribadi dalam pembelajaran mereka. Ada fluiditas. Semakin banyak siswa bekerja dengan proses, semakin sedikit mereka bergantung pada langkah mana yang mereka capai. ketrampilan literasi informasi mereka, penggunaan taksonomi Bloom dan kemajuan dengan IBL bergabung ke dalam program-program tindakan yang diaktualisasikan sendiri.

    IBL is an instructional practice where students explore content by posing, investigating, and answering questions. Students are at the center of the learning experience and take ownership of their own learning (Wells dalam Caswel dan LaBrie, 2017). They often work independently and in small collaborative groups. As Mahavier et al. state, in an IBL classroom, “the instructor plays the role of coach, mentor, collaborator, guide, and occasional cheerleader” More specifically, the teacher’s role in IBL is to guide students and promote thinking and curiosity. This takes purposeful planning to manage multiple student investigations simultaneously. Teachers monitor the progress of each student and provide immediate feedback (Jones dalam Caswel dan LaBrie, 2017). IBL does not indicate less guidance from the teacher, but rather delivers instruction in such a way that the student constructs their own meaning (Pitma dalam Caswel dan LaBrie,2017) . The teacher serves as the facilitator who plans, instigates, and observes the student learning process. Currently, there are many definitions of IBL and a variety of approaches. The Academy of Inquiry-Based Learning states that IBL engages students and requires them to: solve problems, conjecture, experiment, explore, create, and communicate .(Ernst dalam Caswel dan LaBrie, 2017).

    IBL adalah praktik pembelajaran di mana siswa mengeksplorasi konten dengan berpose, menyelidiki, dan menjawab pertanyaan. Siswa berada di pusat pengalaman belajar dan mengambil kepemilikan pembelajaran mereka sendiri (Wells dalam Caswel dan LaBrie, 2017). Mereka sering bekerja secara mandiri dan dalam kelompok kolaboratif kecil. Sebagai Mahavier dkk. negara, dalam sebuah kelas IBL, “Instruktur memainkan peran pelatih, Mentor, kolaborator, panduan, dan pemandu sorak sesekali” Lebih spesifik Cally yang terlibat, Peran Guru dalam panduan jurang IBL US Mahasiswa dan mempromosikan pemikiran dan rasa ingin tahu. Ini mengambil perencanaan terencana untuk mengelola banyak penyelidikan siswa secara bersamaan. Guru memantau perkembangan setiap siswa dan memberikan umpan balik langsung. IBL tidak menunjukkan bimbingan kurang dari guru, tetapi memberikan instruksi sedemikian rupa bahwa siswa membangun makna mereka sendiri. Guru berfungsi sebagai fasilitator yang merencanakan, menghasut, dan mengamati proses belajar siswa. Saat ini, ada banyak definisi IBL dan berbagai pendekatan. Akademi Pembelajaran Berbasis Inkuiri menyatakan bahwa IBL melibatkan siswa dan mengharuskan mereka untuk: memecahkan masalah, berspekulasi, bereksperimen, mengeksplorasi, membuat, dan berkomunikasi (Wells dalam Caswel dan LaBrie, 2017).

    Menurut national research council (1996) dalam Ismail (2005 : 22-23), Inkuari secara umumnya bermaksud mencari maklumat, menyoal, dan menyiasat fenomena yang berlaku disekeliling. Melalui inkuiri, pelajaran menerangkan objek ataupun proses menyoal, menjalankan eksperimen bagi berkongsi penemuan atau penyelesaian. Inkuiri saintifik merujuk pada berbagai cara yang digunakan oleh ahli sains bagi mengkaji alam semula jadi dan mencadangkan penjelasan berdasarkan bukti hasil dari pada daya usaha mereka. Inkuiri didalam kelaas sains merujuk pada aktiviti-aktiviti pelajar membolehkan mereka meluaskan pengetahuan dan memahami ide-ide saintifik serta kepahaman tentang bagaimana ahli sain mengkaji alam semesta. Jadi, inkuiri pelajar melibatkan pemerhatian, mengemukakan persoalan, menyimak buku dan sumber-sumber maklumat lain tentang perekara yang sudah diketahui berasaskan bukti eksperimen, menggunakan alat untuk mengumpul, analisis dan interprestasi data, mencadangkan jawaban, penjelasan, dan berkongsi keputusan atau pendapat. Inkuiri memerlukan semacam andaian, penggunaan pemikiran kritikal dan logical dan pertimnbangan penjelasan alternative.

    Menurut DoBoer (1991), jika beliau disuruh memilih satu perkataan lagi menerangkan matlamat pelajarean sains dalam tempoh 30 tahun yang bermula lewat tahun 1950-an maka perkataan itu adalah “inkuiri”. Inkuiri adalah teras kepada usaha sains. Proses inkuiri dimodelkan melalui kaedah yang digunakan oleh ahli sains dalam membuat penemuan. Sains dilihat sebagai himpunan teori dan idea yang dibina berdasarkan dunia fisikal, dan bukan satu koleksi fakta yang tidak bersangkutan dan tidak dapat dissanggah, inkuiri adalah suatu proses yang kompleks dan pelajaran inkuiri akan membawa pengajar mengalami sendiri inkiri saintifik.

    Inkuiri juga dapat diartikan sebagai berikut :

    1. Inkuiri adalah suatu proses mencari dan menyiasat masalah, membina hipotesis, mereka bentuk eksperimen, mengumpulkan data dan membuat eksperimen dan membuat kesimpulan bagi penyelesaian masalah.
    2. Inkuiri didefinisikan sebagai proses mencari kebenaran, maklumat ataupun pengetahuan melalui kaidah penyoalan. Proses inkuiri bermula pengumpulan maklumat melalui indera penglihatan, pendengaran, sentuhan , rasa bau (wheat school dan Disney learning 2000).
    3. Inkuiri didefinisikasebagai teknik penyoalan mengenai suatu perkara dan mencari jawaban kepada penyoalan yang dituturkan. Ia melibatkan pemerhatian dan pengukuran yang teliti, membuat hipotesis, menterjemahkan dan membina teori. Inkuiri memerlukan kemahiran mengeksperimen, refleksi dan mengambil kira kekuatan dan kelemahan kaedah yang digunakan (herank, 2000).

    Dalam inkuiri saintifik pengajar menggunakan pengetahuan, imaginasi, taakulan dan kemahiran proses untuk membina secara aktif kepahaman saintifik. Inkuiri saintifik menggunakan pemikiran dan kemahiran proses untuk membina kepahaman tentang pengetahuan sains secara aktif. Melalui inkuiri, pelajar berlatih kemahiran yang diperlukan dalam kehidupan sahari-hari. Kemahiran adalah kepercayaan yang dipelajari untuk melakukan sesuatu dengan baik. Kemahiran hidup ditarifkan sebagai kemahiran yang membantu individu untuk Berjaya dan melaui kehidupan yang produktif dan memuaskan, seperti berfikir, mengurus, prihatin dan sebagainya (hendrick, 1996).

    Era pembelajaran abad 21 menuntut guru untuk mengajarkan kepada siswa mengenai bagaimana belajar dan bagaimana memproses informasi. Lebih lanjut, hal ini dapat dirinci menjadi apa yang akan diajarkan, bagaimana hal tersebut diajarkan, bagaimana kondisi siswa dan pandangan baru apa yang dapat diberikan. Salah satu model pembelajaran yang dimaksud adalah pembelajaran inkuiri. Inkuiri berasal dari bahasa Inggris inquiry. yang berarti pertanyaan atau penyelidikan. Dalam arti yang lebih luas inkuiri dipandang sebagai suatu proses umum yang dilakukan seseorang untuk mencari atau memahami informasi. Pembelajaran inkuiri dirancang untuk mengajak siswa secara langsung ke dalam proses ilmiah dalam waktu yang relatif singkat. Dengan model ini diharapkan siswa dapat meningkatkan pemahamannya mengenai sains, dapat berpikir kreatif serta dapt mencari serta mengelola informasi.

    Gulo (2002) menyatakan model pembelajaran inkuiri merupakan suatu rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis. analitis sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri.

    Menurut Majir (2017, 121-122), Model Inquiry Based Learing adalah sebuah teknik mengajar di mana guru melibatkan siswa di dalam proses belajar melalui penggunaan cara cara bertanya, aktivitas problem solving, dan berpikir kritis. Hal ini akan memerlukan banyak waktu dalam persiapannya. Inquiry based learning biasanya berupa kerja kolaboratif. Kelas dibagi ke dalam kelompok kelompok kecil. Setiap kelompok diberi sebuah pertanyaan atau permasalahan yang akan mengarahkan semua anggota kelompok bekerja bersama mengembangkan proyek berdasarkan pertanyaan tersebut untuk menemukan jawabannya. Karena inquiry based learning berbasis pertanyaan, maka guru harus menyiapkan pertanyaan yang bersifat terbuka sehingga siswa dapat mengembangkan pikirannya. Siswa harus diberi kesempatan untuk mencoba menemukan sendiri konsep yang diajarkan. Lebih dari itu, jika siswa juga diberi kesempatan untuk mengukur kemajuan belajarnya sendiri, maka ha] ini akan membantu mereka belajar. Model pembelajaran Inkuiri biasanya lebih cocok digunakan pada pembelaiaran matematika, tetapi mata pelajaran lainpun dapat menggunakan model tersebut asal sesuai dengan karakteristik Kompetensi Dasar (KB) atau materi pembelajarannya.

    Menurut syarifuddin (2018 : 65), Model Inquiry Learning Inkuiri artinya proses pembelujaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berfikir secara sistematis (lstarani, 2016). Sedangkan Basyiruddin Usman (2005) mengatakan bahwa inkuiri adalah suatu cara penyampuian pelajaran dengan penelauhan sesuatu yang bersifat mencari secara kritis, analisis, dun argumentatif (ilmiuh) dengun menggunukan langkah lungkah tertentu menuju suutu kesimpulan.

    Menurut Sirait (2012 : 22-23) Inkuiri adalah proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Pengetahuan bukanlah sejumlah fakta hasil dari mengingat, akan tetapi hasil dari proses menemukan sendiri. Dengan demikian dalam proses perencanaan, guru bukanlah memper-siapkan sejumlah materi yang harus di hafal, akan tetapi merancang pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat menemukan sendiri materi yang harus di pahaminya. Belajar pada dasarnya merupakan proses mental seseorang yang tidak terjadi secara mekanis. Gulo dalam Trianto (2009) menyatakan bahwa inkuiri tidak hanya mengembangkan kemampuan intelektual tetapi seluruh potensi yang ada, termasuk pengembangan emosional dan keterampilan inkuiri merupakan suatu proses yang bermula dari merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, mengumpulkan data, menganalisis data, dan membuat kesimpulan.

    According to Hutchings (2007) in Hepworth dan Walton (2009: 82-83), Inquiry or problem based learning requires information literacy and is also a way to increase the learner’s motivation. The two terms seem to be used to describe similar learning context although advocates of inquiry bsed learning tend to place more emphasis on the learning motivates and is more likey to engage lerners because they are more actively involved and have to take responsibility for the investigation.

    Inquiry based learning tends to take the following form:

    1. Establishment of the area of investigation, a stimuus to questionng usually in the form of a scenario, a task or a problem
    2. Identification by the student group of key issues and appropriate quetions: the absences of a specified reading list means that resources are discovered by students. Decisions about which resources are appropriate are take by the students, thus following a full research method.
    3. Investigation of sources and evidence by individuals or sub groups .
    4. Reporting outcomes to the whole group.
    5. Group reflection on the process far, identifying remaining gaps and analying the scenario afresh in the light of new learning
    6. A process reiterated , re-circling until a provisional halt is called by the exigencies of assessment deadlines.

    Menurut Hutchings (2007) dalam Hepworth dan Walton (2009: 82-83), Inkuiri berbasis masalah atau masalah membutuhkan literasi informasi dan juga merupakan cara untuk meningkatkan motivasi peserta didik. Kedua istilah tersebut tampaknya digunakan untuk menggambarkan konteks pembelajaran yang serupa meskipun para pendukung penyelidikan belajar berinspeksi cenderung lebih menekankan motivasi belajar dan lebih suka melibatkan para lerner karena mereka lebih aktif terlibat dan harus bertanggung jawab atas penyelidikan.

    Pembelajaran berbasis pertanyaan cenderung mengambil bentuk sebagai berikut:

    1. Pembentukan area investigasi, suatu rangsangan untuk questionng biasanya dalam bentuk skenario, tugas atau masalah.
    2. Identifikasi oleh kelompok mahasiswa dari isu-isu kunci dan quetions yang sesuai: absen dari daftar bacaan yang ditentukan berarti bahwa sumber daya ditemukan oleh siswa. Keputusan tentang sumber daya mana yang tepat diambil oleh siswa, sehingga mengikuti metode penelitian lengkap.
    3. Investigasi sumber dan bukti oleh individu atau sub kelompok.
    4. Melaporkan hasil ke seluruh kelompok.
    5. Refleksi kelompok pada proses yang jauh, mengidentifikasi kesenjangan yang tersisa dan menganalisa skenario baru dalam terang pembelajaran baru
    6. Suatu proses diulang kembali, berputar-putar sampai penghentian sementara disebut oleh urgensi tenggat waktu penilaian

    Structured inquiry model is a model that promotes the involvement of learners actively and creatively in the search for, examine, formulate concepts and principles of geometry and to encourage students to develop intellectually and skill in solving the problem. In the structured inquiry model student-centered learning, so that students can actively participating in the learning process. According to Sanjaya (2009) in salim and tiawa (2015) , the main objective of the strategy is the development of inquiry structured thinking skills-oriented learning process. Criteria for success of the learning process by using the inquiry model structure is not determined by the understanding of the learning material but the extent to which students are active search for and find something. Structured inquiry model emphasizes on the development of cognitive, affective and psychomotor balanced manner so that through this model of learning more meaningful. 

    Model inquiry terstruktur adalah model yang mempromosikan keterlibatan pembelajar secara aktif dan kreatif dalam mencari, meneliti, merumuskan konsep dan prinsip geometri dan mendorong siswa untuk mengembangkan intelektual dan keterampilan dalam memecahkan masalah. Dalam model inkuiri terstruktur pembelajaran berpusat pada siswa, sehingga siswa dapat berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran. Menurut Sanjaya (2009) dalam Salim dan Tiawa(2015), tujuan utama dari strategi ini adalah pengembangan proses belajar berpikir terstruktur yang berorientasi pada keterampilan. Kriteria keberhasilan proses pembelajaran dengan menggunakan struktur model inkuiri tidak ditentukan oleh pemahaman materi pembelajaran tetapi sejauh mana siswa aktif mencari dan menemukan sesuatu. Model inkuiri terstruktur menekankan pengembangan cara-cara kognitif, emosional dan psikomotorik sehingga melalui model pembelajaran ini lebih bermakna.

    According joice and weil (1996 : 193), Inquiry training is designed to bring students directly into the scientific process through exercises that compress the scientific process into small periods of time. What are the effects? Schlenker(1976) reported that inquiry training resulted in increased understanding of science, productivity in creative thinking, and skills for obtaining and analyzing information. He reported that it was not more effective than conventional methods of teaching in the acquisition of information, but tha it was as efficient as recitation or lectures accompanied by laboratory experiences.

    Menurut joice and weil (1996 : 193), Pelatihan inquiry dirancang untuk membawa siswa langsung ke dalam proses ilmiah melalui latihan yang memampatkan proses ilmiah ke dalam periode waktu yang singkat. Apa saja efeknya? Schlenker (1976) melaporkan bahwa pelatihan in-quiry menghasilkan peningkatan pemahaman sains, produktivitas dalam pemikiran kreatif, dan keterampilan untuk memperoleh dan menganalisis informasi. Dia melaporkan bahwa itu tidak lebih efektif daripada metode pengajaran konvensional dalam perolehan informasi, tetapi itu seefisien riwayat atau ceramah disertai dengan pengalaman laboratorium.

    2.1.2 Tujuan Model Inquiry

    Menurut Trianto (2007) dalam Djuanda (2015 : 47), Tujuan utama model inkuiri adalah menolong siswa untuk dapat mengembangkan disiplin intelektual dan keterampilan berpikir dengan memberikan pertanyaan pertanyaan dan mendapatkan jawaban atas dasar rasa ingin tahu mereka. Model inkuiri merupakan bentuk pembelalajaran yang berorientasi kepada siswa (student centered approach), sebab siswa memegang peran yang sangat dominan dalam proses pcmbelajaran.

    Menurut Trianto (2007) dalam Djuanda (2015 : 47), peran guru dalam pembelalaran inkuiri yaitu :

    1. Motivator, memberikan rangsangan agar siswa aktif dan bergairah berpikir.
    2. Fasilitator, menunjukkan jalan keluar iika siswa mengalami kesulitan.
    3. Penanya, menyadarkan siswa dari kekeliruan yang mereka buat
    4. Administrator, bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan kelas.
    5. Pengarah, memimpin kegiatan siswa untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
    6. Manajer, mcngelola sumber belajar, waktu, dan organisasi kelas.
    7. Rewarder, memberi penghargaan pada prestasi yang dicapai siswa.

    Menurut Setiawam (2006) dalam Djuanda (2015 : 48) Adapun tujuan model inkuri adalah:

    1. Mengembangkan sikap, keterampilan, kepercayaan siswa dalam memecahkan masalah atau memutuskan sesuatu secara tepat (objektif).
    2. Mengembangkan kemampuan berpikir siswa agar lebih tanggap, cermat. dan nalar (kritis. analitis, dan logis).
    3. Membina dan mengembangkan sikap ingin tahu lebih jauh (curiousity).
    4. Mengungkap aspek pengetahuan (kognitif)  maupun sikap (afektif).

    According to Wallace dan Husid (2017: 10), IBL aim to cultivate factual conceptual, and procedural cognition, ideally, classroom teachers and school librarians do more than simply cover the material. Students are more than information receivers, they are knowledge creators. Classroom teachers and school librarians facilitate students participation in setting units’ goals. IBL requires transformation of student, classroom teachers and schoo; librarians perception and use of school libraries. IBL within school libraries is an effective design for research, organization, improvement,evaluation, and innovation. Ultimately, IBL involves students in cognitions describe in Bloom’s Taxonomy.

    Menurut Wallace dan Husid (2017: 10), IBL bertujuan untuk menumbuhkan konseptual faktual, dan kognisi prosedural, idealnya, guru kelas dan pustakawan sekolah melakukan lebih dari sekadar mencakup materi. Siswa lebih dari penerima informasi, mereka adalah pencipta pengetahuan. guru kelas dan pustakawan sekolah memfasilitasi siswa berpartisipasi dalam menetapkan tujuan unit. IBL membutuhkan transformasi siswa, guru kelas dan sekolah dasar; persepsi pustakawan dan penggunaan perpustakaan sekolah. IBL dalam perpustakaan sekolah adalah desain yang efektif untuk penelitian, organisasi, peningkatan, evaluasi, dan inovasi. Akhirnya, ibl melibatkan siswa dalam kognisi yang dijelaskan dalam Taksonomi Bloom.

    Menurut Sirait (2012 : 23) Tujuan umum model pembelajaran inquiry training adalah membantu siswa mengembangkan disiplin intelektual dan keterampilan untuk meningkatkan pertanyaan-pertanyaan dan pencarian jawaban yang terpendam dari rasa keingintahuan siswa. Untuk itulah, Suchman tertarik untuk membantu siswa meneliti secara mandiri, tetapi dalam cara yang disiplin. Suchman ingin siswa-siswanya bertanya mengapa sesuatu peristiwa tertentu harus terjadi seperti itu, ada apa sebenarnya, bagaimana saya bisa menyelidikinya. Suchman juga ingin siswanya memperoleh dan memproses data secara logis dengan mengembangkan strategi-strategi intelektual umum yang dapat siswa gunakan untuk mencari tahu terjadinya fenomena atau peristiwa tertentu.

    Menurut (Moh. Uzer Usman. dkk, 1993) dalam Syarifuddin (2018 : 66), Tujuan dan Manfaat Inkuiri adalah sebagai berikut

    1. Mengembungkan kemampuan dun keterampilun dalam memecahkan masalah dan mengambil keputusan secara objektif dan mandiri;
    2. Mengembangkan kemumpuan berfikir kritis dan analitis;
    3. Mengembangkun rasa ingin tahu dun cara berfikir objektif baik secara individual maupun kelompok.

    Model pembelajaran Inkuiri terbimbing merupakan kegiatan pembelajaran yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa umuk mencari dan menyelidiki sesumu secara sistematis kritis dan logis sehingga mereka dapat merumuskun sendiri temuannya dari sesuatu yang dipertanyakan. Sedangkun inkuiri Sains esensinya adalah melibatkan siswa puda kasus yang nyata di dalam penyelidikan dengan cara mengkonfomasi dengan area yang diselidiki, dengun cara membantu mereka mengidentifikasi konsep atau metodologi puda area investigasi serta mendorong dalam cara-cara mengatasi masalah. Tujuun Pembelajaran Inquiry umuk mengembangkun kemampuan berfikir secara sistimatis, logis dan kritis sebagai bagian dari proses mental.

    Menurut Simatupang dan Tiarmaida (2015 : 35), Penerapan model pembelajaran inkuiri dapat melatih siswa untuk berpikir secara logis dan sistematis serta lebih percaya diri mengemukakan apa yang ditemukan melalui proses inkuiri. Dalam model pembelajaran inkuiri, guru berperan sebagai :

    1. Motivator, artinya guru mendorong siswa agar dapat berpikir kritis melalui penyajian masalah
    2. Fasilitator, artinya guru membantu siswa dalam mengalami kesulitan
    3. Pengarah, artinya guru memimpin siswa agar mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan

    Accroding Coffman (2017 : 2), When designing an inquiry lesson. The goal is to find contructive ways to promote higher level thinking around course content by incorporating both structured and purposeful activities. These activities are often centered around an essential question and subsequent and subquestions to guide student thinking and learning.

    The goal in using inquiry is for students to learn the skill needed to think creatively in developing solutions and to come a new understanding of information, data, and concepts that can then be shared with others to both luarn from and build upon.

    Ketika merancang pelajaran inkuiri. Tujuannya adalah menemukan cara-cara yang kontradiktif untuk mempromosikan pemikiran tingkat yang lebih tinggi di sekitar konten kursus dengan menggabungkan kegiatan yang terstruktur dan terarah. Kegiatan-kegiatan ini sering berpusat di sekitar pertanyaan penting dan selanjutnya dan subpertanyaan untuk memandu pemikiran dan pembelajaran siswa.

    Tujuan dalam menggunakan inkuiri adalah agar siswa belajar keterampilan yang dibutuhkan untuk berpikir kreatif dalam mengembangkan solusi dan untuk mendapatkan pemahaman baru tentang informasi, data, dan konsep yang kemudian dapat dibagi dengan orang lain untuk masuk dan membangun.

    According Walker (2015 : 10), There are to main advantges of teaching science through inquiry. Firstly by using the process of inquiry student remember and understand scientific knowladge better. Secondly while using inquiry student learn how scientists generate knowladge ang how the current body of scientific knowledge was developed and produced (schwab, 1962). Once student have learnt how scientific knowledge is produced thay can than go on to use the same skill and processes to generate new knowladge for themselves.

    Menurut Walker (2015 : 10), Ada manfaat utama mengajar sains melalui inkuiri. Pertama dengan menggunakan proses inkuiri siswa mengingat dan memahami pengetahuan ilmiah dengan lebih baik. Kedua, saat menggunakan siswa inkuiri, pelajari bagaimana para ilmuwan menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana tubuh pengetahuan ilmiah saat ini dikembangkan dan diproduksi (schwab, 1962). Setelah siswa telah belajar bagaimana pengetahuan ilmiah yang dihasilkan dapat dari pergi untuk menggunakan keterampilan dan proses yang sama untuk menghasilkan pengetahuan baru untuk diri mereka sendiri.

    2.1.3 Ciri-ciri dan Karakteristik Model Inquiry

    Ada beberapa hal yang menjadi ciri utama model inkuiri (Sanjaya, 2006: 194), yaitu:

    1. Inkuiri  menekankan kepada aktivitas siswa secara maksimal umuk mencari dan menemukan, artinya model mkulri menempatkan siswa sebagai subjek belajar. Dalam proses pcmbelajaran, siswa tidak hanya berperan sebagai penerima pelajaran melalui penjelasan guru secara verbal, tetapi mereka berperan untuk menemukan sendiri inti dari materi pelajaran itu sendiri.
    2. Seluruh aktivitas yang dilakukan siswa diarahkan untuk mencari dan menemukan jawaban sendiri dari sesuatu yang dipertanyakan, sehingga diharapkan dapat menumbuhkan sikap percaya diri (self belief). Dengan demikian model pembelajaran inkuiri menempatkan guru bukan sebagai sumber belajar, akan tetapi sebagai fasilitator dan motivator belajar siswa.
    3. Dapat mengembangkan kemampuan berpikir secara sistematis, logis, dan kritis. atau mengembangkan kemampuan intelektual sebagai bagian dari proses mental. Dengan demikian dalam model mkuxri siswa tak hanya dituntut agar menguasai materi pelajaran, akan tetapi bagaimana mereka dapat menggunakan potensi yang dimilikinya.

    Menurut Ibnu Badar ( 2015) dalam Mariyaningsih (2018 : 60). Pembelajarn inkuiri memiliki beberapa ciri di antaranya:

    1. menekankan kepada aktivitas siswa secara maksimal untuk mencapai dan menemukan,
    2. seluruh aktivitas yang dilakukan siswa diarahkan untuk mencari dan menemukan jawaban sendiri dari sesuatu yang dipertanyakan sehingga diharapkan dapat menumbuhkan sikap percaya diri,
    3. tujuan dari pembelajarn inkuiri yaitu mengembangkan kemampuan berpikir secara Sistematis, logis dan kritis

    Menurut syarifuddin (2018 : 65), Ciri-ciri Pembelajaran Inkuiri:

    1. Strategi inkuiri menekankan kepada aktivitus siswa secara maksimal untuk mencari dan menemukan, artinya strategi inkuiri menempatkan ssiwa sebagai subjek belajar;
    2. Seluruh aktivitas yang dilakukan siswa diarahkan untuk mencari dan menemukan jawaban sendiri dari sesuutu yang diperlanyukan. Dengun demikian slrategi pembelujaran inkuiri menempalkun guru bukan sebagai semuber belujar, akan telapi sebagai fasililalor dun motivator belajar siswa;
    3. Tujuan dari pengunaan strategi pembelajaran inkuiri adalah mengembangkan kemampuan berf’lkir secara sistematis, logis dan kritis.

    According Coffman (2017 : 2-3), Question should motivate or hook students and gain their interest. they also provide opportunities for students to investigate phenomenon from multiple perspectives and garner viewpoints individually. In small group, and as a class.

    The teacher scaffolds the learning process to engage students around curricular goals and authentic yet meaningful tasks so that connection can be made to essential questions.

    Menurut Coffman (2017 : 2-3), Pertanyaan harus memotivasi atau mengaitkan siswa dan mendapatkan minat mereka. mereka juga memberikan kesempatan bagi siswa untuk menyelidiki fenomena dari berbagai perspektif dan mengumpulkan sudut pandang secara individual. Dalam kelompok kecil, dan sebagai kelas.

    Guru merancangkan proses pembelajaran untuk melibatkan siswa di sekitar tujuan kurikuler dan tugas-tugas yang autentik namun bermakna sehingga koneksi dapat dilakukan untuk pertanyaan-pertanyaan penting.

    The inquiry-based teaching approach is supported on knowledge about the learning process that has emerged from research (Bransford, Brown, & Cocking, 2000 in Abdi 2014). In inquiry-based science education, children become engaged in many of the activities and thinking processes that scientists use to produce new knowledge. Science educators encourage teachers to replace traditional teacher-centered instructional practices, such as emphasis on textbooks, lectures, and scientific facts, with inquiry-oriented approaches that (a) engage student interest in science, (b) provide opportunities for students to use appropriate laboratory techniques to collect evidence, (c) require students to solve problems using logic and evidence, (d) encourage students to conduct further study to develop more elaborate explanations, and (e) emphasize the importance of writing scientific explanations on the basis of evidence(secker,2002 inAbdi 2014). Sandoval & Reiser (2004) in abdi (2014) pointed out in order to build the inquiry-based classroom environment must construct a community of practice like the scientists work. In authentic inquiry-based activities, the students take action as scientists did, experiencing the process of knowing and the justification of knowledge.

    Pendekatan pengajaran berbasis inkuiri didukung oleh pengetahuan tentang proses pembelajaran yang muncul dari penelitian (Bransford, Brown, & Cocking, 2000 dalam Abdi 2014)). Dalam pendidikan sains berbasis inkuiri, anak-anak terlibat dalam banyak kegiatan dan proses berpikir yang digunakan para ilmuwan untuk menghasilkan pengetahuan baru. Pendidik sains mendorong guru untuk menggantikan praktik pembelajaran tradisional yang berpusat pada guru, seperti penekanan pada buku teks, kuliah, dan fakta ilmiah, dengan pendekatan berorientasi penyelidikan yang (a) melibatkan minat siswa dalam sains, (b) memberikan kesempatan bagi siswa untuk menggunakan yang sesuai teknik laboratorium untuk mengumpulkan bukti, (c) meminta siswa untuk memecahkan masalah menggunakan logika dan bukti, (d) mendorong siswa untuk melakukan studi lebih lanjut untuk mengembangkan penjelasan yang lebih terperinci, dan (e) menekankan pentingnya menulis penjelasan ilmiah berdasarkan bukti (Secker, 2002 dalam Abdi 2014). Sandoval & Reiser (2004) dalam Abdi (2104), menunjukkan dalam rangka membangun lingkungan kelas berbasis inkuiri harus membangunsebuah komunitas praktik seperti para ilmuwan bekerja. Dalam kegiatan berbasis inkuiri yang otentik, para siswa mengambil tindakan seperti yang dilakukan para ilmuwan, mengalami proses mengetahui dan pembenaran pengetahuan.

    2.1.4 Sistem Sosial

    According joice and weil (1996 : 199-200), Suchman’s intention is that the social system be cooperative and rigorous. Although the inquiry training model can be quite highly structured, with the social system controlled largely by the teacher, the intellectual environment is open to all relevant ideas; teachers and students participate as equals where ideas are concerned. Moreover, the teacher should encourage students to initiate inquiry as m principles of inquiry, the structure can expand to include the use of resource material, dialogue with other students, experimentation, and discussion with the teacher uch as possible. As the students learn the principles of inquiry, the structure can expland to include the use of resource material, dialogue with other students, experimentation, and discussion with the techer.

    After a period of practice in teacher-structured inquiry sessions, stu- dents can undertake inquiry in more student-controlled settings. A stimu- lating event can be set up in the room, and students can inquire on their own or in informal groups, alternating between open-ended inquiry ses- sions and data gathering with the aid of resource materials. In this way, the students can move back and forth between inquiry sessions and indepen- dent study. This utilization of the inquiry training model is especially suited to the open-classroom setting, where the teacher’s role is that of instruc- tional manager and monitor. In the initial stages of inquiry the teacher’s role is to select (or construct) the problem situation, to referee the inquiry according to inquiry proce- dures, to respond to students’ inquiry probes with the necessary informa- tion, to help beginning inquirers establish a focus in their inquiry, and to facilitate discussion of the problem situation among the students.

    In the initial stages of inquiry the teacher’s role is to select(or construct) the problem situation, to referee the inquiry according to inquiry procedures, to respond to students’ inquiry probes with the necessary information, to help beginning inquirers establish a focus in their inquiry, and to facilitate discussion of the problem situation among the students.

    Menurut joice and weil (1996 : 199-200), Maksud Suchman adalah bahwa sistem sosial harus kooperatif dan ketat. Meskipun model pelatihan inkuiri dapat sangat terstruktur, dengan sistem sosial yang dikendalikan sebagian besar oleh guru, lingkungan intelektual terbuka untuk semua ide yang relevan; guru dan siswa berpartisipasi sebagai sederajat di mana ide-ide diperhatikan. Selain itu, guru harus mendorong siswa untuk memulai penyelidikan sebagai prinsip-prinsip penyelidikan, struktur dapat diperluas untuk memasukkan penggunaan bahan sumber daya, dialog dengan siswa lain, eksperimen, dan diskusi dengan guru uch mungkin. Ketika siswa belajar prinsip-prinsip penyelidikan, struktur dapat diperluas untuk memasukkan penggunaan bahan sumber, dialog dengan siswa lain, eksperimen, dan diskusi dengan guru.

    Setelah periode praktik dalam sesi inkuiri yang terstruktur guru, siswa dapat melakukan penyelidikan di lebih banyak pengaturan yang dikendalikan siswa. Peristiwa stimulasi dapat diatur di dalam ruangan, dan siswa dapat bertanya sendiri atau dalam kelompok informal, bergantian antara sesi tanya jawab terbuka dan pengumpulan data dengan bantuan bahan sumber daya. Dengan cara ini, siswa dapat bergerak bolak-balik antara sesi inkuiri dan studi independen. Penggunaan model pelatihan inkuiri ini sangat cocok untuk pengaturan ruang kelas terbuka, di mana peran guru adalah manajer instruksional dan monitor. Pada tahap awal penyelidikan, peran guru adalah untuk memilih (atau membangun) situasi masalah, untuk wasit penyelidikan sesuai dengan prosedur penyelidikan, untuk menanggapi penyelidikan pertanyaan siswa dengan informasi yang diperlukan, untuk membantu memulai penyelidikan. fokus dalam penyelidikan mereka, dan untuk memfasilitasi diskusi tentang situasi masalah di antara para siswa.

    Pada tahap awal penyelidikan, peran guru adalah untuk memilih (atau membangun) situasi masalah, untuk wasit penyelidikan sesuai dengan prosedur penyelidikan, untuk menanggapi penyelidikan pertanyaan siswa dengan informasi yang diperlukan, untuk membantu memulai penyelidikan. fokus dalam penyelidikan mereka, dan untuk memfasilitasi diskusi tentang situasi masalah di antara para siswa.

    2.1.5 Sistem Pendukung

    According joice and weil (1996 : 201), The optimal support is a set of confronting materials, a teacher who understands the intellectual processes and strategies of inquiry, and resource materials bearing on the problem.

    Menurut joice and weil (1996 : 201), Dukungan optimal adalah seperangkat materi yang dihadapi, seorang guru yang memahami proses intelektual dan strategi penyelidikan, dan materi sumber daya yang terkait dengan masalah.

    2.1.6 Aplikasi

    According joice and weil (1996 : 201), Although inquiry training was originally developed for the natural sciences, its procedures are usable in all subject areas; any topic that can be formulated as a puzzling situation is a candidate for inquiry training. In literature, murder mysteries and science fiction stories or plots make excellent puzzling situations. Newspaper articles about bizarre or improbable situations may be used to construct stimulus events. One of the authors was at a Chinese restaurant not too long ago and puzzled over the question, “How is the fortune put into the fortune cookie, since it does not appear burned or cooked in any way?” It occurred to us that this would make an excellent inquiry-training topic for young children. The social sciences also offer numerous possibilities for inquiry training.

    Menurut joice and weil (1996 : 201), The construction of puzzling situations is the critical task, because it transforms curriculum content into problems to be explored. When objects and other materials are not available or appropriate to the problem situation, we recommend that teachers make up a problem statement for students and a fact sheet for themselves. The problem statement describes the discrepant event and provides the information that is shared initially with the students. The fact sheet gives the teacher further information about the problem, and the teacher draws on it to respond to the students questions. Two examples of this process follow.

    Meskipun pelatihan inkuiri awalnya dikembangkan untuk ilmu alam, prosedurnya dapat digunakan di semua bidang subjek; setiap topik yang dapat dirumuskan sebagai situasi yang membingungkan adalah kandidat untuk pelatihan inkuiri. Dalam literatur, misteri pembunuhan dan cerita fiksi ilmiah atau plot membuat situasi yang sangat membingungkan. Artikel surat kabar tentang situasi ganjil atau mustahil dapat digunakan untuk membangun peristiwa stimulus. Salah satu penulis berada di sebuah restoran Cina belum lama ini dan bingung atas pertanyaan, “Bagaimana keberuntungan dimasukkan ke dalam kue keberuntungan, karena itu tidak tampak terbakar atau dimasak dengan cara apa pun? “Kami sadar bahwa ini akan menjadi topik pelatihan penyelidikan yang sangat baik bagi anak-anak. Ilmu sosial juga menawarkan banyak kemungkinan untuk pelatihan penyelidikan.

    Konstruksi situasi yang membingungkan adalah tugas penting, karena mengubah konten kurikulum menjadi masalah untuk dieksplorasi.Ketika objek dan materi lain tidak tersedia atau sesuai dengan situasi masalah, kami menyarankan agar guru membuat pernyataan masalah untuk siswa dan fakta. lembar untuk diri mereka sendiri.Pernyataan masalah menggambarkan kejadian discrepant dan memberikan informasi yang dibagikan pada awalnya dengan siswa. Lembar fakta memberikan informasi lebih lanjut kepada guru tentang masalah, dan guru menggambar di atasnya untuk menjawab pertanyaan siswa. dari proses ini ikuti.

    2.1.7 Prinsip Reaksi

    According joice and weil (1996 : 200), The most important reactions of the teacher take place during the second and third phases. During the second phase the teachers task is to help he students to inquire but not to do the inquiry for them. If the teacher is asked questions that cannot be answered by a yes or no, he or she must ask the students to rephrase the questions so as to further their own attempts to collect data and relate them to the problem situation. The teacher can, if necessary, keep the inquiry moving by making new information available to the group and by focusing on particular problem events or by raising ques- tions. During the last phase, the teachers task is to keep the inquiry directed toward the process of investigation itself.

    Menurut joice and weil (1996 : 200), Reaksi yang paling penting dari guru terjadi selama fase kedua dan ketiga. Selama fase kedua tugas guru adalah membantu siswa untuk bertanya tetapi tidak melakukan penyelidikan untuk mereka. Jika guru ditanya pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh ya atau tidak, dia harus meminta siswa untuk ulang kata-kata pertanyaan sehingga untuk lebih lanjut upaya mereka sendiri untuk mengumpulkan data dan menghubungkannya dengan situasi masalah. Guru dapat, jika perlu, menjaga penyelidikan bergerak dengan membuat informasi baru tersedia untuk kelompok dan dengan berfokus pada peristiwa masalah tertentu atau dengan mengajukan pertanyaan. Selama fase terakhir, tugas guru adalah untuk menjaga penyelidikan yang diarahkan pada proses penyelidikan itu sendiri.

    2.1.8 Prinsip Model Inquiry

    Menurut Sanjaya (2006) dalam Djuanda (2015: 47-48), Dalam penggunaan model Inkuiri terdapat beberapa prinsip yang harus diperhatikan oleh guru yaitu:

    a. Berorietasi pada Pengembangan Intelektual

    Tujuan utama model inkulri adalah pengembangan kemampuan berpikir. Dengan demikian selain berorientasi kepada hasil belajar juga berorientasi pada proses belajar. Maka kriteria keberhasilan dari proses pcmbelajaran bukan ditentukan oleh sejauhmana siswa dapat menguasai materi pelajaran, tetapi sejauhmana siswa beraktivitas mencari dan menemukan sesuatu.

    b. Prinsip Interaksi

    Proses pembelajaran pada dasarnya adalah proses interaksi. baik interaksi antara siswa maupun interaksi siswa dengan guru, bahkan interaksi antara siswa dengan lingkungan. Pembelajaran sebagai proses interaksi berarti menempatkan guru bukan sebagai sumber belaiar, tetapi sebagai pengatur lingkungan atau pengatur interaksi itu sendiri. Guru perlu mengarahkan (directing) agar siswa bisa mengembangkan kemampuan berpikirnya melalui interaksi mereka.

    c. Prinsip Bertanya

    Peran guru yang harus dilakukan dalam model lnkuiri adalah guru sebagai penanya. Sehab, kemampuan siswa untuk menjawab setiap pertanyaan pada dasarnya sudah merupakan sebagian dari proses berpikir.

    d. Prinsip Belajar untuk Berpikir Belajar bukan hanya mengingat sejumlah fakta, akan tetapi belajar adalah proses berpiknr (learning how to think), yaitu proses mengcmbangkan potensi seluruh otak. Pcmbclajaran bcrpikir adalah pemanfaatan dan penggunaan otak secara maksimal.

    e. Prinsip Keterbukaan

    Belajar adalah suatu proses mencoba berbagai kemungkinan, oleh sehab itu siswa perlu diberikan kebebasan untuk mencoba sesuai dengan perkembangan kemampuan logika dan nalarnya. Pembelajaran yang bermakna adalah pembelajaran yang menyediakan berbagai kemungkinan sebagai hipotesis yang harus dibuktikan kebenarannya. Tugas guru adalah menyediakan ruang untuk memberikan kesempatan kepada siswa mengembangkan hipotesis dan secara terbuka membuktikan kebenaran hipotesis yang diajukannya.

    2.1.9Langkah-langkah Model Inquiry

    According joice and weil (1996 : 197-199), Inquiry training has five phases, The first phase is the student’s confrontation with the puzzling situation. Phases two and three are the data-gathering operations of verification and experimentation. In these two phases, students ask a series of questions to which the teacher replies yes or no and they conduct a series of experiments on the environment of the problem situation. In the fourth phase, students organize the information they obtained during the data gathering and try to explain the discrepancy. Finally, in phase five, students analyze the problem-solving strategies they used during the inquiry.             

    Phase one requires that the teacher present the problem situation and explain the inquiry procedures to the students(the objectives and the procedure of the yes/no question). The formulation of a discrepant event such as the bimetallic strip problem requires some thought,  although the strategy can be based on relatively simple problems-a puzzle, riddle, or magic trick-that do not require much background knowledge. Of course, the ultimate goal is to have students, especially older students, experience the cre-  ation of new knowledge, much as scholars do. However, beginning inquiries can be based on very simple ideas.

    The distinguishing feature of the discrepancy is that it involves events that conflict with our notions of reality. In this sense, not every puzzling situation is a discrepant event. It may be puzzling because we do not know the answer, but we do not need new concepts to understand it, and therefore we do not need to conduct an inquiry. We mention this because occasionally teachers do not pick problems that are truly puzzling to the student. In these cases, the learning activity does not progress beyond a”20-questions” format. Even though the questioning activity has value for its own sake, it should not be confused with the notion of scefcinquiry. Phase two, verification, is the process whereby students gather information about an event they see or experience. In experimentation, phase three, students introduce new elements into the situation to see if the event happens differently. Although verification and experimentation described as separate phases of the model, the students’ thinking and the types of questions they generate usually alternate between these two aspects of data gathering. Experiments serve two functions: exploration and direct testing. Exploration-changing things to see what will happen-is not necessarily guided by a theory or hypothesis, but it may suggest ideas for a theory Direct test ing occurs when students try out a theory or hypothesis. The process of con verting a hypothesis into an experiment is not easy and takes practice.  Many verification and experimentation questions are required just to investigate one theory We have found that even sophisticated adulis find it easier to say, “I think it has something to do with. ” than to think of a series of questions that will test the theory. Also, few theories can be discarded on the basis of one experiment. Although it is tempting to throw away” a variable if the first experiment does not support it, it can be very misleading to do so.  One of the teacher’s roles is to restrain students whenever they assume that a variable has been disproven when it has not.                

    A second function of the teacher is to broaden the students’  inquiry by expanding the type of information they obtain. During verification they may ask questions about objects, properties, conditions, and events. Object questions are intended to determine the nature or identity of objects. (Is the knife made of steel? Is the liquid water?)  Event questions attempt to verify the occurrence or nature of an action. (Did the knife bend upward the second time?) Condition questions relate to the state of objects or systems at a particular time. (Was the blade hotter than room temperature when the teacher held it up and showed that it was bent? Did the color change when the liquid was added?) Property questions aim to verify the behavior of objects under certain conditions as a way of gaining new information to help build a theory. (Does copper always bend when it is heated?)  Because students tend not to verify all aspects of the problem, teachers can be aware of the type of information needed and work to change the questioning pattern.

    In phase four, the teacher calls on the students to organize the data and to formulate an explanation. Some students have difficulty making the intellectual leap between comprehending the information they have gathered and constructing a clear explanation of it. They may give inadequate explanations, omitting essential details. Sometimes several theories or explanations are possible based on the same data. In such cases, it is often useful to ask students to state their explanations so that the range of possible hypotheses becomes obvious. Together the group can shape the explanation that fully responds to the problem situation. Finally, in phase five, the students are asked to analyze their pattern of inquiry. They may determine the questions that were most effective, the lines of questioning that were productive and those that were not, or the type of information hey needed and did not obtain. This phase is essential if we are to make the inquiry process a conscious one and systematically try to improve it.

    Menurut joice and weil (1996 : 197-199), Pelatihan Inquiry memiliki lima fase, Fase pertama adalah konfrontasi siswa dengan situasi yang membingungkan. Fase dua dan tiga adalah operasi pengumpulan data verifikasi dan eksperimen. Dalam dua fase ini, siswa mengajukan serangkaian pertanyaan yang guru jawab ya atau tidak dan mereka melakukan serangkaian percobaan pada lingkungan situasi masalah. Pada fase keempat, siswa mengatur informasi yang mereka peroleh selama pengumpulan data dan mencoba untuk menjelaskan perbedaan tersebut. Akhirnya, pada fase lima, siswa menganalisis strategi pemecahan masalah yang mereka gunakan selama penyelidikan.

    Tahap pertama mengharuskan guru menyajikan situasi masalah dan menjelaskan prosedur permintaan kepada siswa (tujuan dan prosedur pertanyaan ya / tidak). Perumusan acara discrepant seperti masalah bimetal strip membutuhkan beberapa pemikiran, meskipun strategi dapat didasarkan pada masalah yang relatif sederhana – teka-teki, teka-teki, atau trik sulap yang tidak memerlukan banyak latar belakang pengetahuan. Tentu saja, tujuan akhir adalah untuk memiliki siswa, terutama siswa yang lebih tua, mengalami penciptaan pengetahuan baru, seperti yang dilakukan oleh para sarjana. Namun, pertanyaan awal dapat didasarkan pada ide-ide yang sangat sederhana.

    Ciri yang membedakan dari ketidaksesuaian adalah bahwa ia melibatkan peristiwa-peristiwa yang bertentangan dengan pengertian kita tentang realitas. Dalam pengertian ini, tidak setiap situasi yang membingungkan adalah kejadian yang tidak selaras. Mungkin membingungkan karena kita tidak tahu jawabannya, tetapi kita tidak membutuhkan konsep baru untuk memahaminya, dan oleh karena itu kita tidak perlu melakukan penyelidikan. Kami menyebutkan ini karena terkadang guru tidak memilih masalah yang benar-benar membingungkan siswa. Dalam kasus ini, aktivitas pembelajaran tidak berkembang melampaui format “20-pertanyaan”. Meskipun aktivitas bertanya memiliki nilai untuk kepentingannya sendiri, seharusnya tidak dibingungkan dengan gagasan scefcinquiry. Tahap dua, verifikasi, adalah proses di mana para siswa mengumpulkan informasi tentang suatu peristiwa yang mereka lihat atau alami. Dalam eksperimen, tahap ketiga, siswa memperkenalkan elemen baru ke dalam situasi untuk melihat apakah peristiwa tersebut terjadi secara berbeda. Meskipun verifikasi dan eksperimen dijelaskan sebagai fase terpisah dari model, pemikiran siswa dan jenis pertanyaan yang mereka hasilkan biasanya bergantian antara dua aspek pengumpulan data ini. Eksperimen melayani dua fungsi: eksplorasi dan pengujian langsung.

    Eksplorasi-mengubah hal-hal untuk melihat apa yang akan terjadi-tidak selalu dipandu oleh teori atau hipotesis, tetapi mungkin menyarankan ide untuk teori. Uji langsung terjadi ketika siswa mencoba teori atau hipotesis. Proses mengkonstruksikan hipotesis ke dalam eksperimen tidak mudah dan membutuhkan latihan. Banyak pertanyaan verifikasi dan eksperimentasi diperlukan hanya untuk menyelidiki satu teori Kami telah menemukan bahwa adulis yang canggih pun merasa lebih mudah untuk mengatakan, “Saya pikir itu ada hubungannya dengan.” Daripada memikirkan serangkaian pertanyaan yang akan menguji teori. Juga, beberapa teori dapat dibuang atas dasar satu eksperimen. Meskipun tergoda untuk membuang “sebuah variabel jika percobaan pertama tidak mendukungnya, itu bisa sangat menyesatkan untuk melakukannya.

    Salah satu peran guru adalah untuk menahan siswa kapan pun mereka menganggap bahwa variabel telah terbukti salah ketika tidak, fungsi kedua dari guru adalah untuk memperluas pertanyaan siswa dengan memperluas jenis informasi yang mereka dapatkan, selama verifikasi mereka dapat mengajukan pertanyaan tentang objek, properti, kondisi, dan acara. Obyek pertanyaan tions dimaksudkan untuk menentukan sifat atau identitas benda. (Apakah pisau terbuat dari baja? Apakah air cair?) Pertanyaan acara mencoba untuk memverifikasi kejadian atau sifat dari suatu tindakan. (Apakah pisau menekuk ke atas waktu kedua?) Pertanyaan kondisi berhubungan dengan keadaan benda atau sistem pada waktu tertentu. (Apakah pisau lebih panas dari suhu kamar ketika guru mengangkatnya dan menunjukkan bahwa itu bengkok? Apakah warna berubah ketika cairan ditambahkan?) Stion bertujuan untuk memverifikasi perilaku objek dalam kondisi tertentu sebagai cara mendapatkan informasi baru untuk membantu membangun teori. (Apakah tembaga selalu membengkok ketika dipanaskan?) Karena siswa cenderung tidak memverifikasi semua aspek masalah, guru dapat menyadari jenis informasi yang dibutuhkan dan bekerja untuk mengubah pola pertanyaan.

    Pada fase empat, guru memanggil siswa untuk mengatur data dan merumuskan penjelasan. Beberapa siswa mengalami kesulitan membuat lompatan intelektual antara memahami informasi yang telah mereka kumpulkan dan menyusun penjelasan yang jelas tentangnya. Mereka mungkin memberikan penjelasan yang tidak memadai, mengabaikan detail-detail penting. Terkadang beberapa teori atau penjelasan dimungkinkan berdasarkan data yang sama. Dalam kasus seperti itu, sering kali berguna untuk meminta siswa menyatakan penjelasan mereka sehingga rentang kemungkinan hipnotis menjadi jelas. Bersama-sama, kelompok dapat membentuk penjelasan yang sepenuhnya menanggapi situasi masalah. Akhirnya, di fase lima, para siswa diminta untuk menganalisis pola pertanyaan mereka. Mereka dapat menentukan pertanyaan-pertanyaan yang paling efektif, garis-garis pertanyaan yang produktif dan yang tidak, atau jenis informasi yang diperlukan dan tidak didapatkan. Fase ini penting jika kita ingin membuat proses penyelidikan secara sadar dan secara sistematis mencoba memperbaikinya.

    Menurut Sanjaya (2006) dalam Djuanda (2015 : 49-50), Langkah langkah pembelajaran model inkuiri sebagaimana yang dikemukakan adalah sebagai berlkut:

    a. Orientasi

    Langkah orientasi adalah langkah untuk membina suasana atau iklim pembelajaran yang responsif. Pada langkah ini guru mengondisikan agar siswa Siap melaksanakan proses pembealaran. Beberapa hal yang perlu dilakukan dalam tahapan orientasi adalah:

    1. Menlelaskan topik, tujuan, dan hasil belajar yang diharapkan dapat dicapai olch siswa.
    2. Munjelaskan pokok-pukok kegiatan yang harus dilakukan oleh siswa untuk mencapai tujuan. Pada tahap ini dijelaskan langkah langkah inkuiri serta tujuan setiap langkah, mulal dari langkah merumuskan masalah sampai dengan merumuskan kesimpulan.
    3. Menjelaskan pentingnya topik dan kegiatan belajar. Hal ini dilakukan dalam rangka memberikan motivasi belajar siswa.

    b. Merumuskan Masalah

    1. Merumuskan masalah merupakan langkah memhawa siswa pada suatu persoalan. Beberapa Masalah dapat dirumuskan sendiri oleh siswa ataupun dengan bantuan guru.
    2. Masalah yang dikaji adalah masalah yang mengandung teka-teki yang jawabannya pasti. Artinya, guru perlu mendorong agar siswa dapat merumuskan masalah yang menurut guru jawaban sebenarnya sudah ada, tinggal siswa mencari dan mendapatkan jawabannya secara pasti.
    3. Konsep konsep dalam masalah adalah konsep konsep yang telah diketahui terlebih dahulu oleh siswa. Artinya. sebelum masalah itu dikaji lebih jauh melalui proses inkuiri guru perlu yakin terlehih dahulu bahwa siswa sudah memiliki pemahaman tentang konsep-konsep yang ada dalam rumusan masalah.

    c. Merumuskan Hipotesis

    Hipotesis adalah jawahan sementara dari suatu permasalahan yang sedang dikaji. Sebagai jawaban sementara hipotesis perlu diuji kebendrannya. Salah satu cara yang dapat dilakukan guru untuk mcngembangkan kemampuan berhipotesis pada setiap siswa adalah dengan mengajukan berbagai pertanyaan yang dapat mendorong siswa untuk dapat merumuskan jawaban sementara atau dapat merumuskan berbagai perkiraan kemungkinan jawaban dari suatu permasalahan yang dikaji.

    d. Mengumpulkan Data

    Mengumpulkan data adalah aktivitas menjaring informasi yang dibutuhkan untuk menguji hipotesis yang diajukan. Dalam inkuiri, mengumpulkan data merupakan proses mental yang sangat penting daldm pengembangan intelektual. Oleh sebab itu tugas dan peran guru dalam tahapan ini adalah mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dapat mendorong siswa untuk berpikir mcncari informasi yang dibutuhkan.

    e. Menguji Hipotesis

    Menguji hipotesis adalah proses menentukan jawaban yang dianggap diterima sesuai dengan data atau informasi yang diproleh berdasarkan pengumpulan data.

    f. Merumuskan Kesimpulan

    Merumuskan kesimpulan adalah proses mendeskripsikan temuan yang diperoleh berdasarkan hasil pengujian hipotesis, untuk mencapai kesimpulan yang akurat sebaiknya guru mampu menunjukkan pada siswa data mana yang relevan.

    Menurut Gulo (2002) dalam Mariyaningsih (2018 : 62-63)menyatakan bahwa model pembelajam inkuiri tidak hanya mengembangkan kemampuan intelektual tetapi juga mengambangkan seluruh potensi yang ada. Berikut dijelaskan langkah langkah dalam implementasi model pembelajaran inkuiri.

    Berikut akan dijelaskan lebih rinci langkah-Iangkah tersebut:

    a) Mengajukan pertanyaan atau permasalahan

    Pembelajaran inkuiri dimulai dari penanyaan atau permasalahan yang diajukan, di mana ada tiga kemampuan yang dituntut dari siswa, yakni: kemampuan untuk menyadari adanya masalah, melihat pentingnya masalah dan kemampuan dalam merumuskan masalah.

    b) Merumuskan hipotesis

    Guru menanyakan kepada siswa mengenai hipotesis atau jawaban sementara yang mungkin sebagai solusi permasalahan yang dapat diuji dengan data. Adapun kemampuan yang dituntut dalam mengembangkan hipotesis adalah: kemampuan menguji dan menggolongkan data yang dapat diperoleh, melihat dan merumuskan hubungan yang ada secara logis serta kemampuan merumuskan hipotesis.

    c) Mengumpulkan data

    Hipotesis yang dibuat dapat digunakan untuk menuntun proses pengumpulan data, baik berupa data tabel, matriks ataupun graHk. Dalam hal ini kemampuan yang dikembangkan adalah kemampuan dalam mengaitkan peristiwa. menyusun data dan menganalisis data.

    d) Analisis data

    Hipotesa yang disusun harus dibuktikan kebenarannya melalui analisis data yang diperoleh. Setelah melakukan percobaan siswa dapat menguji hipotesis yang dirumuskan. Siswa dapat menjelaskan sesuai dengan proses inkuiri yang telah dilakukannya.

    e) Membuat kesimpulan

    Langkah ini merupakan langkah terakhir setelah langkah pertama sampai keempat telah selesai dilakukan. Kesimpulan dapat dibuat oleh siswa dengan dipandu guru.

    Menurut Majir (2017, 122), Adapun Langkah-langkah dalam model inkuiri sebagai berikut:

    1. Observasi/Mengamati berbagi fenomena alam. Kegiatan ini memberikan pengalaman belaiar kepada peserta didik bagaimana mengamati berbagai fakta atau fenomena dalam mata pelajaran tertentu.
    2. Mengajukan pertanyaan tentang fenomana yang dihadapi. Tahapan ini melatih peserta didik untuk mengeksplorasi fenomena melalui kegiatan menanya baik terhadap guru, teman, atau melalui sumber yang lain.
    3. Mengajukan dugaan atau kemungkinan jawaban. Pada tahapan ini peserta didik dapat mengasosiasi atau melakukan penalaran terhadap kemungkinan jawaban dari pertanyaan yang diajukan.
    4. Mengumpulkan data yang terakait dengandugaan atau pertanyaan yang diajukan, sehingga pada kegiatan tersebut peserta didik dapat memprediksi dugaan atau yang paling tepat sebagai dasar untuk merumuskan suatu kesimpulan.
    5. Merumuskan kesimpulan kesimpulan berdasarkan data yang telah diolah atau dianah‘sis, sehingga peserta didik dapat mempresentasikan atau menyajikan hasil temuannya.

    Menurut Sirait (2012) Model pembelajaran inquiry training memiliki lima tahap pembelajaran, yaitu:

    1. Fase I: Menghadapkan pada masalah. Menghadapkan siswa dengan situasi yang membingungkan (masalah).
    2. Fase II: Merumuskan hipotesis. Mengajukan pertanyaan dimana pertanyaan tersebut sudah mengandung jawaban.
    3. Fase III: Pengumpulan data-eksperimentasi. Memisahkan variabel yang relevan. Menghipotesiskan (serta menguji) hubungan kausal.
    4. Fase IV: Mengolah, memformulasikan suatu penjelasan. Memfor-mulasikan aturan dan penjelasan.
    5. Fase V: Analisis proses penelitian. Menganalisis strategi penelitian dan mengembangkan yang paling efektif.

    Menurut Tiarmaida (2015), Model pembelajaran inkuiri dapat membantu siswa mengkonstruksi langsung pengetahuan melalui setiap kegiatan yang telah dirancang pada fase inkuiri. Adapun fase tersebut adalah sebagai berikut :

    1. Penyajian masalah, guru menyajikan masalah dan menyampaikan informasi dengan bantuan peta konsep tentang materi listrik dinamis agar siswa dapat meningkatkan pokok-pokok materi listrik dinamis yang diajarkan.
    2. Membuat hipotesisi, setiap siswa diberikan kesempatan untuk mengajukan pendapat dalam membentuk hipotesis, sehingga siswa belajar menyelesaikan masalah,berpikir logis dan kritis yakni dengan mengemukakan hipotesis, bertanya kepada guru, serta mengemukakan pendapat mengenai permasalahan yang disajikan
    3. Melakukan percobaan untuk memperoleh imformasi, siswa melakukan percobaan untuk memperoleh jawaban dari hipotesis yang diajukan. Dalam hal ini, siswa didorong untuk belajar sendiri dan belajar aktif melalui proses penemuan konsep dalam percobaan
    4. Membuat kesimpulan, siswa dibimbing untuk membuat kesimpulan dari percobaan yang dilakukan.

    According Maniotes (2017 : 7), The guided inquiry design process begins with open, to eatch student attention, get the thinking, and help them make connections with the word outside of school. Next is immerse, which is designed to build enough background knowledge to generate some intersiting ideas to investigate.The explore those ideas for an importent, authentic, engaging inquiry question. Next, pause to identify and clearly rticulate the inquiry question before moving on the gather imformation. Afther gathering, create and sharewhat student have learned, guided inquiry is designed to encourage collaborative construction of knowledge with reflection and assassment of learning occurring throughout the process

    Menurut Maniotes (2017 : 7), Proses desain inkuiri terbimbing dimulai dengan membuka, untuk menarik perhatian siswa, mendapatkan pemikiran, dan membantu mereka membuat hubungan dengan kata di luar sekolah. Selanjutnya adalah immerse, yang dirancang untuk membangun pengetahuan latar belakang yang cukup untuk menghasilkan beberapa ide yang bersinggungan untuk diselidiki. Gali ide-ide tersebut untuk pertanyaan pertanyaan yang relevan, otentik, dan menarik. Selanjutnya, jeda untuk mengidentifikasi dan dengan jelas mengolah pertanyaan pertanyaan sebelum bergerak pada pengumpulan imformasi. Setelah pertemuan, membuat dan berbagi siswa telah belajar, inkuiri terbimbing dirancang untuk mendorong konstruksi kolaboratif pengetahuan dengan refleksi dan pembunuhan pembelajaran yang terjadi selama proses berlangsung.

    Inquiry has been described as a teaching method which combines student-centred, hands-on activities with discovery (Uno, 1990). . Inquiry-based learning fosters the development of independent learners, by encouraging students to take responsibility for their own learning. Based on the principles of the scientific method, in inquiry-based learning students observe a phenomenon, synthesise research questions, test these questions in a repeatable manner and finally analyse and communicate their findings (Uno, 1990; Weaver, Russell, & Wink, 2008 dalam Smalhorn dkk 2015). The learning is directed by the student with the educator providing a supportive role. The level of input from the educator depends on the level of inquiry. In open-inquiry students independently formulate a question to research while in guided-inquiry the educator provides guidance with the construction of a question (Weaver et al., 2008 dalam smalhorn dkk,2015). Although based on the scientific method, inquiry-based learning is a teaching method which should be considered in other disciplines as it supports the development of students who are responsible for their own learning.

    Inquiry telah digambarkan sebagai metode pengajaran yang menggabungkan aktivitas-aktivitas yang berpusat pada siswa, kegiatan langsung dengan penemuan (Uno, 1990). Pembelajaran berbasis pertanyaan mendorong perkembangan pembelajar mandiri, dengan mendorong siswa untuk bertanggung jawab atas pembelajaran mereka sendiri. Berdasarkan prinsip-prinsip metode ilmiah, siswa pembelajaran berbasis inkuiri mengamati suatu fenomena, menyintesis pertanyaan penelitian, menguji pertanyaan-pertanyaan ini secara berulang dan akhirnya menganalisis dan mengkomunikasikan temuan mereka (Uno, 1990; Weaver, Russell, & Wink, 2008 dalam Smalhorn dkk 2015). Pembelajaran ini diarahkan oleh siswa dengan pendidik memberikan peran yang mendukung. Tingkat masukan dari pendidik tergantung pada tingkat penyelidikan. Dalam pertanyaan terbuka, siswa secara mandiri merumuskan pertanyaan untuk diteliti sementara dalam inkuiri terbimbing pendidik memberikan panduan dengan konstruksi pertanyaan (Weaver dkk., 2008 dalam smalhorn dkk, 2015). Meskipun berdasarkan metode ilmiah, pembelajaran berbasis inkuiri adalah metode pengajaran yang harus dipertimbangkan dalam disiplin lain karena mendukung pengembangan siswa yang bertanggung jawab untuk pembelajaran mereka sendiri.

    The scientific inquiry learning model is designed to bring students directly into the inquiry process. Through scientific inquiry model the student is expected to actively ask the question why something happened then search and collect and process the data to determine the answer of the question. The application of scientific inquiry instructional model in teaching and learning activities aims to develop a deeper understanding of science concepts and shape students’ scientific knowledge. Through experimental activities students can try various ways to complete experiments conducted so as to develop the ability to think it has. Students are expected to be responsible for conducting investigations in identifying problems, hypotheses, designing methods to prove hypotheses, analyzing them and making final conclusions. The scientific inquiry learning model is a learning model that involves students in truly original research problems by confronting students in the field of investigation, helping to identify conceptual or methodological problems. The phases in this model are (1) the students presented a field of research, (2) the students make the problem, (3) the students identify problems in the study, (4) the students speculate to clarify the problem (Well dan Calhoun dalam Hutahean, dkk. 2017). The nature of the scientific inquiry approach is to teach students to process information with techniques once used by biological researchers, for example, identifying problems and using methods to solve the problem. The following explanation of the syntax of scientific inquiry learning model according to are: 1) In the first stage students presented the field of research, which includes the methodologies used in the study. 2) In the second stage, the problem begins to be organized so that the student can identify the problem in the research. 3) In the third stage, students are asked to speculate about the problem, so that students can identify the difficulties involved in the research. 4) In stage four, students are asked to speculate on ways to clarify the difficulty, by designing Re-test, process data in different ways, generate data, develop constructs and so on. Teacher’s job is to guide, train, and educate research by emphasizing the research process and persuading students to reflect on the process. Teachers should be careful that identifying facts is not the main issue that should be emphasized in research. Furthermore, the most important thing in this regard is how teachers can encourage students to deal with complex and well-researched research questions. Teacher’s job is to guide, train, and educate research by emphasizing the research process and persuading students to reflect on the process. Teachers should be careful that identifying facts is not the main issue that should be emphasized in research. Furthermore, the most important thing in this regard is how teachers can encourage students to deal with complex and well-researched research questions.

    Model pembelajaran inkuiri ilmiah dirancang untuk membawa siswa langsung ke dalam proses penyelidikan. Melalui model inkuiri ilmiah siswa diharapkan untuk secara aktif mengajukan pertanyaan mengapa sesuatu terjadi kemudian mencari dan mengumpulkan dan mengolah data untuk menentukan jawaban dari pertanyaan tersebut. Penerapan model pembelajaran inkuiri ilmiah dalam kegiatan belajar mengajar bertujuan untuk mengembangkan pemahaman konsep sains yang lebih mendalam dan membentuk pengetahuan ilmiah siswa. Melalui kegiatan eksperimental siswa dapat mencoba berbagai cara untuk menyelesaikan eksperimen yang dilakukan sehingga dapat mengembangkan kemampuan berpikirnya. Siswa diharapkan bertanggung jawab untuk melakukan investigasi dalam mengidentifikasi masalah, hipotesis, merancang metode untuk membuktikan hipotesis, menganalisa mereka dan membuat kesimpulan akhir. Model pembelajaran inkuiri ilmiah adalah model pembelajaran yang melibatkan siswa dalam masalah penelitian yang benar-benar asli dengan menghadapi siswa di bidang investigasi, membantu untuk mengidentifikasi masalah konseptual atau metodologis. Fase dalam model ini adalah (1) siswa mempresentasikan bidang penelitian, (2) siswa membuat masalah, (3) siswa mengidentifikasi masalah dalam penelitian, (4) siswa berspekulasi untuk memperjelas masalah (Well dan Calhoun dalam Hutahean, dkk. 2017). Sifat dari pendekatan inkuiri ilmiah adalah mengajarkan siswa untuk memproses informasi dengan teknik yang pernah digunakan oleh peneliti biologi, misalnya, mengidentifikasi masalah dan menggunakan metode untuk memecahkan masalah.

    Penjelasan berikut dari sintaks model pembelajaran inkuiri ilmiah yang sesuai adalah: 1) Pada tahap pertama siswa mempresentasikan bidang penelitian, yang mencakup metodologi yang digunakan dalam penelitian. 2) Pada tahap kedua, masalah mulai diatur sehingga siswa dapat mengidentifikasi masalah dalam penelitian. 3) Pada tahap ketiga, siswa diminta untuk berspekulasi tentang masalah, sehingga siswa dapat mengidentifikasi kesulitan yang terlibat dalam penelitian. 4) Pada tahap empat, siswa diminta untuk berspekulasi tentang cara-cara untuk memperjelas kesulitan, dengan merancang Re-test, memproses data dengan cara yang berbeda, menghasilkan data, mengembangkan konstruksi dan sebagainya.

    Tugas guru adalah membimbing, melatih, dan mendidik penelitian dengan menekankan proses penelitian dan membujuk siswa untuk merefleksikan prosesnya. Guru harus berhati-hati bahwa mengidentifikasi fakta bukanlah masalah utama yang harus ditekankan dalam penelitian. Selanjutnya, hal yang paling penting dalam hal ini adalah bagaimana guru dapat mendorong siswa untuk menghadapi pertanyaan penelitian yang kompleks dan diteliti dengan baik. Tugas guru adalah membimbing, melatih, dan mendidik penelitian dengan menekankan proses penelitian dan membujuk siswa untuk merefleksikan prosesnya. Guru harus berhati-hati bahwa mengidentifikasi fakta bukanlah masalah utama yang harus ditekankan dalam penelitian. Selanjutnya, hal yang paling penting dalam hal ini adalah bagaimana guru dapat mendorong siswa untuk menghadapi pertanyaan penelitian yang kompleks dan diteliti dengan baik.

    2.1.10 Kelebihan dan Kekurangan Model Inquiry

    2.1.10.1 Kelebihan Model Inquiry

    Menurut Sanjaya (2006) dalam Djuanda (2015 : 50-51), Model inkuiri memiliki keunggulan-keunggulan sehingga dapat membantu siswa memahami konsep pada pembelajaran luas trapesium dan laying-layang. Keunggulan yang dimiliki modei inkuiridi antaranya adalah sebagai berikut:

    1. Model inkuiri merupakan model pembelajaran yang menekankan kepada pengemhangan aspek kognitif, efektif, dan psikomotor secara seimbang, sehingga pembelajaran melalui strategi ini lehih bermakna.
    2. Model inkuiri dapat memberikan ruang kepada siswa untuk belajar sesuai dengan gaya belaiar mereka.
    3. Model inkuiri merupakan model yang sesuai dengan perkembangan psikologi belaiar modern yang menganggap belajar adalah proses perubahan tingkah laku berkat adanya pengalaman.
    4. Dapat melayani kebutuhan siswa yang memiliki kemampuan di atas rata rata. Artinya. siswa yang memlllki kemampuan belaiar bagus tidak akan terhambat oleh siswa yang lemah dalam belalar.

    Menurut Sumantri (1999) dalam Djuanda (2015 : 51), Keunggulan lain yang dimiliki model inkulri adalah:

    1. Menekankan pada proses pengolahan informasi oleh siswa.
    2. Membuat konsep diri siswa bertambah dengan penemuan-penemuan yang diperolehnya.
    3. Memlliki kemungkinan besar untuk memperbaiki dan memperluas persediaan dan penguasaan keterampilan dalam proses kognitif para siswa.
    4. Tidak menjadikan guru sebagai satu-satunya sumber bclajar, karena siswa belajar dengan memanfaatkan berbagai jenis sumber belajar.
    5. Penemuan-penemuan yang diperoleh siswa dapat menjadi kepemilikannya dan sangat sulit melupakannya.

    Menurut Ismail (2005 : 29-30),Pendekatan inkuiri membolehkan pelajar menggabungkan kemahiran proses sains, takala saitifik dan pemikiran kritikal bagi membina kepahaman berkaitan konsep-konsep saintifik. Pelajar yang terlibat dalam pembelajara sains secara inkuiri berupaya membina kepahaman yang mendalam termasuk menghargai pengetahuan dan proses penemuan dalam sains. Antara kelebihan pendekatan inkuiri dalam pembelajaran-pembelajaran sains adalah

    1. Meningkatkan prestasi belajar, terutama berkaitan dengan kemahiran melakar graf dan menafsir data.
    2. Memupuk literasi saintifik dan pemahaman tentang proses sains, kosa kata dan pemahaman konseptual, pemikiran kritikal, sikap posirtif terhadap sains, meningkatkan prestasi dalam ujian pengetahuan prrosedural dan membina pengetahuan logico-mathematical.

    Menurut Mariyaningsih (2018 : 63-64), Adapun kelebihan dari metode inkuiri adalah :

    1. Tercipta pembelajaran yang bermakna karena model pembelaiaran inkuiri menekankan kepada pengembangan tiga aspek yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik secara seimbang.
    2. Sesuai dengan psikologi pembelaiaran modern yang menekankan pada proses perubahan tingkah laku dan adanya interaksi.
    3. Dapat melejitkan potensi Siswa.
    4. Memberikan kesempatan kepada Siswa untuk belajar sesuai dengan gaya belaiar yang diinginkan.
    5. Siswa yang memliki kemampuan di atas rata rata tidak akan terhambat oleh Siswa yang lemah dalam belajar.

    Menurut prasetyo dan Widjanarko (2015: 83), Pada model pembelajaran inkuiri siswa lebih dilibatkan pada proses pembelajarannya. Siswa akan lebih aktif dalam proses pembelajaran sehingga tingkat kejenuhan siswa dapat diminimalisir. Bukan hanya itu saja, menghafal materi yang disampaikan saja tapi juga melakukan pengamatan sehingga siswa dapat memahami secara mendalam materi yang dipelajari. Berdasarkan penjelasan tersebut model pembelajaraan inkuiri dapat dijadikan solusi sebagai upaya untuk meningkatkan hasil belajar siswa.

    Menurut Mustachfidoh (2013), Pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran inkuiri dapat membantu siswa untuk mengintegrasikan konsep-konsep yang telah mereka ketahui sebelumnya dengan peristiwa-peristiwa yang mereka amati di laboratorium. Pembelajaran inkuiri juga dapat mengubah miskonsepsi yang dialami siswa menjadi konsep ilmiah. Belajar dengan menggunakan pembelajaran inkuiri ini diharapkan siswa menjadi lebih kreatif, inovatif, dan belajarnya menjadi lebih bermakna sehingga prestasi belajar biologi dapat ditingkatkan. Hal ini dikarenakan proses belajar inkuiri mengandung proses-proses mental yang lebih tinggi tingkatannya, misalnya merumuskan masalah, merancang percobaan, melakukan eksperimen, mengumpulkan dan menganalisis data, menarik kesimpulan, memiliki sifat-sifat objektik, jujur, hasrat ingin tahu, dan keterbukaan. Danpak positif yang lain dari penerapan pembelajaran inkuiri adalah:

    1. Berkurangnya miskonsepsi yang dibawa siswa sebelum pembelajaran
    2. Peningkatan pada kemampuan siswa untuk mengintegrasikan konstruksi pengetahuannya di laboratorium dengan konstruksi pengetahuannya dalam kehidupan sehari-hari

    2.1.10.2 Kekurangan Model Inquiry

    Menurut Mariyaningsih (2018 : 64), Di samping memiliki kelebihan, pembelajaran inkulri juga dianggap memiliki kelemahan sebagai berikut:

    1. Memerlukan waktu yang relatiflebih panjang.
    2. Diperlukan usaha ekstra keras dari guru untuk mengubah kebiasaaan belajar siswa yang lebih banyak mengandalkan informasi dari guru.
    3. Kadang sulit dalam menentukan indikator keberhasilan pembelajaran.
    4. Sistim pendidikan di Indonesia yang dominan menetapkan kriteria keberhasilan belajar adalah menguasai materi, maka strategi ini akan mengalami tantangan dalam pengimplementasiannya.

    2.2 Kajian Kritis

    Model inkuiri merupakan model pembelaiaran yang penyajiannya memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan informasi dengan atau tanpa bantuan guru. Model inkuiri adalah rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan.

    Tujuan model inkuri antara lain : Mengembangkan sikap, keterampilan, kepercayaan siswa dalam memecahkan masalah atau memutuskan sesuatu secara tepat (objektif), Mengembangkan kemampuan berpikir siswa agar lebih tanggap, cermat. dan nalar (kritis. analitis, dan logis), Membina dan mengembangkan sikap ingin tahu lebih jauh (curiousity), Mengungkap aspek pengetahuan (kognitif)  maupun sikap (afektif).

    Inkuiri memiliki beberapa ciri di antaranya: menekankan kepada aktivitas siswa secara maksimal untuk mencapai dan menemukan, seluruh aktivitas yang dilakukan siswa diarahkan untuk mencari dan menemukan jawaban sendiri dari sesuatu yang dipertanyakan sehingga diharapkan dapat menumbuhkan sikap percaya diri, dan tujuan dari pembelajarn inkuiri yaitu mengembangkan kemampuan berpikir secara Sistematis, logis dan kritis

    Dalam penggunaan model Inkuiri terdapat beberapa prinsip yang harus diperhatikan oleh guru yaitu: Berorietasi pada Pengembangan Intelektual, prinsip interaksi, prinsip bertanya, prinsip belajar untuk berpikir belajar buakn hanya untuk mengigat sejumlah fakta dan prinsip keterbukaan

    Langkah-langkah dalam model inkuiri sebagai berikut :

    1. Observasi/Mengamati berbagi fenomena alam.
    2. Mengajukan pertanyaan tentang fenomana yang dihadapi.
    3. Mengajukan dugaan atau kemungkinan jawaban.
    4. Mengumpulkan data yang terakait dengandugaan atau pertanyaan yang diajukan
    5. Merumuskan kesimpulan

    Keunggulan yang dimiliki model inkulri adalah:

    1. Menekankan pada proses pengolahan informasi oleh siswa.
    2. Membuat konsep diri siswa bertambah dengan penemuan-penemuan yang diperolehnya.
    3. Memlliki kemungkinan besar untuk memperbaiki dan memperluas persediaan dan penguasaan keterampilan dalam proses kognitif para siswa.

    Kekurangan yang dimiliki oleh model Inquiri antara lain :

    1. Memerlukan waktu yang relatiflebih panjang.
    2. Diperlukan usaha ekstra keras dari guru untuk mengubah kebiasaaan belajar siswa yang lebih banyak mengandalkan informasi dari guru.
    3. Kadang sulit dalam menentukan indikator keberhasilan pembelajaran.

    Bab III. Penutup

    A. Kesimpulan

    Model inkuiri merupakan model pembelaiaran yang penyajiannya memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan informasi dengan atau tanpa bantuan guru. Model inkuiri adalah rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan.

    Tujuan model inkuri antara lain : Mengembangkan sikap, keterampilan, kepercayaan siswa dalam memecahkan masalah atau memutuskan sesuatu secara tepat (objektif), Mengembangkan kemampuan berpikir siswa agar lebih tanggap, cermat. dan nalar (kritis. analitis, dan logis), Membina dan mengembangkan sikap ingin tahu lebih jauh (curiousity), Mengungkap aspek pengetahuan (kognitif) maupun sikap (afektif).

    Langkah-langkah dalam model inkuiri sebagai berikut : Observasi, Mengajukan pertanyaan, Mengajukan dugaan, Mengumpulkan data dan Merumuskan kesimpulan.

    B. Saran

    Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, model pembelajaran inquiry adalah model pembelajran yang menuntut keaktifan peserta didik dalam menganalisis suatu permasalahan, sehingga peran guru dalam mengajukan pertanyaan juga sangat berperan penting. Sehingga disarankan kepada para pendidik agar menyiapakan dengan sedemikian rupa pertanyaan-pertanyaan yang efektif sebelum menerapkan model pembelajaran ini di kelas.

    DAFTAR PUSTAKA

    Abdi, A. 2014. The Effect Of Inquiry-Based Learning Method On Students’ Academic Achievement In Science Course. Universitas Journal Of Education. 2 (1): 37-41.

    Caswell, C. J. Dan Labrie, D. J. 2017. Inquiry Besedlearning From The Leaner’s Point Of View: A Teacher Candidate’s Story. Journal Of Humanistic Mathematics. Vol.7 Issue 2.

    Coffman. 2017. Inquiry Based-Learning: Designing Instruction to promote Higher level Thinking. USA: Rowman dan littlefield.

    Djuanda, D., Dan Maulana. 2015. Ragam Model Pembelajaran Di Sekolah Dasar. Bandung : UPI Sumedang Press

    Hepworth dan Walton. 2009. Teaching Information Literacy for Inquiry Based Learning. USA: Chandos.

    Hutahaean, R., Dkk. 2017. The Effect Of Scientific Inquiry Learning Model Using Macromedia Flash On Student’s Concept Understanding And Science Process Skills In Senior High School. IOSR Journal Of Research Dan Method In Eductiaon. Vol.7 Issue 4, Ver 1

    Ismail, Z., Dkk. 2005. Kaedah Mengajar Sains. Kuala Lumpur : PTS Professional.

    Joice and Weil. 1996. Models Of Teaching. Newdelhi : Asoke K.

    Kusmaryono, H. Dan Setiawati, R. 2013. Penerapan Inquiry Based Learning Untuk Mengetahui Respon Belajar Siswa Pada Materi Konsep Dan Pengelolaan Koperasi. Jurnal Pendidikan Ekonomi Dinamika Pendidikan. Vol. 8 No. 2.

    Lahadisi. 2014. Inkuiri: Sebuah Strategi Menuju Pembelajaran Bermakna. Jurusan Tarbiyah STAIN Sultan Qaimuddin Kendari. Vol 7. No 2.

    Majir, A. 2017. Dsar Pengembangan Kurikulum. Yogyakarta : Deepublish

    Maniotes, L., K. 2017. Guided Inquiry Design In Action. California : Santa Barbara

    Mariyaningsih, N. 2015. Bukan Kelas Biasa. Surakarta : Kekata Publisher

    Mustachfidoh, Dkk. 2013. Pengaruh Model Pembelajaran Inkuiri Terhadap Prestasi Belajar Biologi Diytinjau Dari Intelegensi Siswa SMA Negeri 1 Srono. E-Jurnal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha. Vol. 3.

    Prasetyo, D. A. Dan Widjanarko, D. 2015. Penerapan Model Pembelajaran Inkuiri Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Kompetensi Memelihara Komponensistem Bahan Bakar Bensin. Jurnal Pendidikan Teknik Mesin. Vol. 15 No. 2.

    Salim, K. Dan Tiawa, D. H. 2015. Implementation Of Structured Inquiry Based Model Learning Toward Student’s Understanding Of Geometry. International Jaournal Of Research In Education And Science (IJRES). I (1), 75-83.

    Smallhorn, et.al. 2015. Inquiry-Based Learning to Improve student engagement in a large First year Topic. Australia: Journal of Tertiary Education. ISSN: 2205-0795. Vol 6. Issue 2.

    Simatupang, S., Dan Tiarmaida. 2015. Pengaruh Model Pembelajaran Inkuiri Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Materi Pokok Listrik Dinamis Di Kelas X Semester II SMA Negeri 8 Medan T.P. 2013/2014. Jurnal Ikatan Alumni Fisika Universitas Negeri Medan. Vol. 1 No. 1 ISSN : 2461-1247.

    Sirait, R. 2012. Pengaruh Model Pembelajaran Inquiry Training Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Materi Pokok Usaha Dan Energy Kelas VIII Mts N-3 Medan. Jurnal Pendidikan Fisika. Vol. 1 No.1.

    Syarifuddin. 2018. Inovasi Baru Kurikulum 2013 Pendidikan Agama Islam Dan Budi Pekerti. Yogyakarta : Deepublish

    Wallace dan Husid. 2017. Collaborating for Inquiry Based-Learning. California : Santa Barbara

    Warkel, M. 2015. Teaching Besed-Inquiry Science. ISBN : 978-1-312-95562-2.

  • Makalah Model Pembelajaran Konsiderasi

    Model Pembelajaran Konsiderasi

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Pendidikan dalam arti luas dapat mencakup seluruh proses kehidupan dan segala bentuk interaksi individu dengan individu lain, individu dengan kelompok, individu dengan lingkungan yang terselenggara baik melalui pendidikan formal, informal dan nonformal. Pendidikan pada akhirnya adalah membentuk manusia menjadi seseorang yang mampu menyesuaikan diri dengan peranan yang akan dijalaninya. Untuk menjalankan sebuah peran tentunya manusia membutuhkan karakter. Karakter manusia sudah seyogyanya dapat terbentuk dan berkembang dari adanya pendidikan. Menurut Benyamin S. Bloom dalam pendidikan ada tiga ranah yang harus dikembangkan yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Inti proses dari pendidikan adalah proses pembelajaran.

    Pembelajaran afektif berbeda dengan pembelajaran kognitif dan psikomotor, karena pembelajaran afektif bersifat subjektif, mudah berubah dan tidak ada materi khusus. Secara konseptual maupun empirik diyakini bahwa aspek afektif memegang peranan yang sangat penting terhadap tingkat kesuksesan seseorang dalam bekerja maupun kehidupan secara keseluruhan. Meski demikian pembelajaran afektif justru lebih banyak dikembangkan diluar kurikulum pendidikan formal.

    Di dalam proses pembelajaran saat ini lebih menekankan pada pencapaian perubahan aspek kognitif, yang dikembangkan melalui berbagai bentuk pendekatan, strategi dan model pembelajaran tertentu. Adapun aspek afektif ini dilakukan hanya sebagai efek pengiring (nurturant effect) saja atau kurikulum tersembunyi (hidden curriculum) yang hanya disisipkan dalam kegiatan pembelajaran utama (Prianggita, 2016 : 72-73).

    In the era of increasingly demanding human resources able to compete, it turns out the people in it actually only busy filling emptiness only with intellectual or cognitive activity alone and forget about the affective aspects, including characters. Character is the personal attitude of the stable as a result of the integration process and action statements (Khan, 2010). Characters can also be interpreted as a character, character, character or personality that comes from the internalization of the various virtues and used as a basis to think, act, and act (MONE, 2010). Good character includes knowledge about the good that will bring the commitment (intentions) kindness, until finally doing good (Lickona, 2015). Hadiyanti, et al., (2016) suggested that the formation of student character can not be separated from the learning process that they receive at school. The learning process is said to be good if it can guides how students learn, how students can collaborate in the study group, how the students interact with the entire class, and how the students were able to develop all their potential in terms of cognitive, psychomotor, and affective thus indirectly can the empowerment aspect of the character of the students themselves (Armadani, et al, 2017 : 1585).

    Terjemahan :

    Di era semakin menuntut sumber daya manusia yang mampu bersaing, ternyata orang-orang di dalamnya sebenarnya hanya sibuk mengisi kekosongan hanya dengan aktivitas intelektual atau kognitif semata dan melupakan aspek afektif, termasuk karakter. Karakter adalah sikap pribadi stabil sebagai hasil dari proses integrasi dan pernyataan tindakan (Khan, 2010). Karakter juga dapat diartikan sebagai karakter, karakter, karakter atau kepribadian yang berasal dari internalisasi berbagai kebajikan dan digunakan sebagai dasar untuk berpikir, bertindak, dan bertindak (MONE, 2010). Karakter yang baik mencakup pengetahuan tentang kebaikan yang akan membawa komitmen (niat) kebaikan, sampai akhirnya berbuat baik (Lickona, 2015). Hadiyanti, dkk., (2016) mengemukakan bahwa pembentukan karakter siswa tidak dapat dipisahkan dari proses pembelajaran yang mereka terima di sekolah. Proses pembelajaran dikatakan baik jika dapat memandu bagaimana siswa belajar, bagaimana siswa dapat berkolaborasi dalam kelompok belajar, bagaimana siswa berinteraksi dengan seluruh kelas, dan bagaimana siswa mampu mengembangkan semua potensi mereka dalam hal kognitif, psikomotor, dan afektif sehingga secara tidak langsung dapat aspek pemberdayaan dari karakter siswa itu sendiri (Armadani, et al, 2017: 1585).

    B. Rumusan Masalah

    1. Apa pengertian dari model pembelajaran konsiderasi ?
    2. Apa tujuan dari model pembelajaran konsiderasi ?
    3. Apa fungsi model pembelajaran konsiderasi ?
    4. Bagaimana pengimplementasian atau tahap model pembelajaran konsiderasi ?
    5. Apa kelebihan dan kekurangan penggunaan model pembelajaran konsiderasi dalam pembelajaran ?

    1.3  Tujuan

    1.       Dapat mengetahui pengertian dari model pembelajaran konsiderasi.

    2.      Dapat mengetahui tujuan dari model pembelajaran konsiderasi.

    3.      Dapat mengetahui fungsi model pembelajaran konsiderasi.

    4.      Dapat mengetahui pengimplementasian atau tahap model pembelajaran konsiderasi.

    5.      Dapat mengetahui kelebihan dan kekurangan penggunaan model pembelajaran konsiderasi dalam pembelajaran.

    BAB II

    PEMBAHASAN

    2.1 Kajian Pustaka

    2.1.2 Pengertian Model Pembelajaran

                Menurut Lefudin (2014 : 171-172) model merupakan suatu konsepsi untuk mengajar suatu materi dalam mencapai tujuan tertentu. Dalam model mencakup strategi, pendekatan, metode maupun teknik. Contoh model pembelajaran kooperatif, model pembelajaran berbasis masalah atau model pembelajaran langsung. Istilah model pembelajaran dibedakan dari istilah strategi pemebelajaran, metode pembelajaran, atau prinsip pembelajaran. Istilah model pembelajaran memiliki makna yang lebih luas daripada suatu strategi, metode, atau prosedur. Istilah metode pelajaran memiliki empat ciri khusus yang tidak dimiliki oleh strategi atau metode tertentu yaitu : rasional teoritik yang logis yang disusun oleh penciptanya, tujuan pembelajaran yang akan dicapai, tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan secara berhasil, dan lingkungan belajar yang diperluka agar tujuan pembelajaran itu dapat tercapai.

    Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan kegiatan pembelajaran di kelas. Model tersebut merupkan pola umum perilaku pembelajaran untuk mencapai kompetensi dan tujuan pembelajaran yang di harapkan. Model pembelajaran adalah pola interaksi peserta didik dengan guru di dalam kelas yang menyangkut pendekatan, strategi, metode, teknik pembelajaran yang diterapkan dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran. Dalam suatu model pembelajaran yang ditentukan bukan hanya apa yang harus dilakukan oleh guru, tetapi menyangkut tahapan-tahapan , prinsip-prinsip reaksi gutu dengan peserta didik, serta penunjang yang disyaratkan (Putranta, 2018 : 3).

                Menurut Suprijono (2013 : 46) dalam Putranta (2018 : 3) model pembelajaran mengacu pada pendekatan yang digunaan termasuk di dalamnya tujuan-tujuan pembelajaran, tahap-tahap dalam kegiatan pembelajaran, lingkungan pembelajaran, dan pengelolaan kelas.

    Menurut Joice dan Weil (2003 : 11) dalam Putranta (2018 : 3) model pembelajaran adalah suatu pola atau rencana yang sudah direncanakan sedemikian rupa dan digunakan untuk menyusun kurikulum, mengatur materi pelajaran, dan memberi petunjuk kepada pengajar di kelasnya.

    Istarani (2001 : 1) dalam Putranta (2018 : 3-4) menyatakan bahwa model pembelajaran adalah seluruh rangkaian penyajian materi ajaran yang meliputi segala aspek sebelum, sedang dan sesudah pembelajaran yang dilakukan guru serta segala fasilitas yang terkait yang digunakan secara langsung atau tidak langsung dalam proses belajar.

    Menurut Putranta ( 2018 : 4-5) sebelum menentukan model pembelajaran yang akan digunakan dalam kegiatan pembelajaran, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan guru dalam memilihnya, yaitu :

    1.      Pertimbangkan terhadap tujuan yang hendak dicapai.

    Pertanyaan-pertanyaan yang dapat diajukan adalah :

    a)      Apakah tujuan pembelajaran yang ingin dicapai berkenaan dengan potensi akademik, kepribadian, sosial dan kompetensi tujuan pembelajaran yang dicapai ?

    b)      Bagaimana kompleksitas tujuan pembelajaran yang ingin dicapai ?

    c)      Apakah untuk mencapai tujuan memerlukan keterampilan akademik ?

    2.      Pertimbangan yang berhubungan dengan bahan atau materi pembelajaran.

    a)      Apakah materi pelajaran itu berupa fakta, konsep hukum, atau teori tertentu ?

    b)      Apakah untuk mempelajari pelajaran itu memerlukan persyaratan atau tidak ?

    c)      Apakah tersedia bahan atau sumber-sumber yang relevan untuk mempelajari materi itu ?

    3.      Pertimbangan dari sudut peserta didik atau peserta didik.

    a)      Apakah model pembelajaran sesuai dengna itngkat kematangn peserta didik ?

    b)      Apakah model pembelajaran sesuai dengan minat, bakat dan kondisi peserta didik ?

    c)      Apakah model pembelajaran sesuai dengan gaya belajar peserta didik ?

    4.      Pertimbnagan lainnya yang bersifat nonteknis.

    a)      Apakah untuk mencapai tujuan cukup dengan satu model saja ?

    b)      Apakah model pembelajaran yang kita tetapkan dianggap satu-satunya model yang dapat digunakan ?

    c)      Apakah model pembelajaran itu memiliki nilai efektivitas atau efisien ?

    Menurut Khosim (2017 : 5-6) model pembelajaran memiliki makna yang lebih luas dari pada strategi, metode,  atau prosedur pembelajaran. Langkah-langkah model pembelajaran adalah :

    1.      Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai.

    2.      Menyajikan materi sebagai pengantar.

    3.      Guru menunjukkan atau memperlihatkan gambar-gambar kegaitan berkaitan dengan materi.

    4.      Guru menunjuk atau memanggil siswa secara bergantian memangsang atau mengurutkan gambar-gambar menjadi urutan yang logis.

    5.      Guru menanyakan dasr atau landasan pemikiran gambar tersebut.

    6.      Dari alasan atau urutan gambar tersebut guna memulai menamakan konsep/materi sesuai dengan kompetensi yang inin dicapai

    7.      Kesimpulan atau rangkuman.

    Model pembelajaran kelompok behavioral system atau Model pembelajaran kelompok  sistem perilaku, memilki prinsip bahwa manusia merupakan sistem-sistemkomunikasi perbaikan diri yang dapat mengubah perilakunya saat merspon informasi tentang seberapa sukses tugs-tugas yang mereka kerjakan. Dengan demikian, membuat individu semaki mudah unuk mengoreksi sejauh mana kemampuan yang mereka miliki (Yulhendri, dan Syofyan. 2016 : 38).

    According to Spaniol (2009 : 226) Different learners have various preference and needs, so they learn in different ways. Some of them prefere theories an principles, while others fact and experimentation. Some learner tend to remember things which employe picture, diagrams or presentation whereas other learn better with written or spoke material such as text and auditoy material. Cosequently, it is vital to provide different type of learner with appropriate learning method and educational material which are more preferable and more effective to their individual needs. Learning styles can be defined as model which classify learners according to the different way in which receive, organize and process information.

    Terjemahan :

                   Pelajar yang berbeda memiliki berbagai preferensi dan kebutuhan, sehingga mereka belajar dengan cara yang berbeda. Beberapa dari mereka lebih suka teori sebagai prinsip, sementara yang lain fakta dan eksperimen. Beberapa pelajar cenderung mengingat hal-hal yang menggambarkan gambar, diagram atau presentasi sedangkan yang lainnya belajar lebih baik dengan bahan tertulis atau berbicara seperti teks dan materi auditoy. Sangat penting, sangat penting untuk menyediakan berbagai jenis pembelajar dengan metode pembelajaran yang sesuai dan materi pendidikan yang lebih disukai dan lebih efektif untuk kebutuhan individu mereka. Gaya belajar dapat didefinisikan sebagai model yang mengklasifikasikan pembelajar sesuai dengan cara yang berbeda di mana menerima, mengatur dan memproses informasi.

    According to Armadani (2017 : 1586) The learning model is part of the learning process as a guide teachers in implementing the learning process in the classroom.

    Terjemahan :

    Menurut Armadani (2017: 1586) Model pembelajaran merupakan bagian dari proses pembelajaran sebagai panduan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran di kelas.

    According to Reigeluth (1983) in Armadani (2017 : 1586) defines learning model as a complete set of components of the strategy are on the learning outcomes more riding under certain conditions.

    Terjemahan :

    Menurut Reigeluth (1983) dalam Armadani (2017: 1586) mendefinisikan model pembelajaran sebagai satu set lengkap komponen strategi ada pada hasil belajar yang lebih mengendarai dalam kondisi tertentu

    According to Joyce & Weil (1982) Armadani (2017 : 1586)  The learning model is also defined as a conceptual framework that is used as a guide in implementing learning.

    Terjemahan :

    Menurut Joyce & Weil (1982) dalam Armadani (2017: 1586) Model pembelajaran juga didefinisikan sebagai kerangka kerja konseptual yang digunakan sebagai panduan dalam melaksanakan pembelajaran.

    Additionally, According to Degeng (1997 in Armadani (2017 : 1586)  suggested that learning model provides flexibility and freedom for designers and developers to develop the idea and put it in the real work on product development. Degeng learning model (1989), developed the basis of the variables that affect learning. The learning model Degeng consists of seven steps, among others:

    1. Analysis of objectives

    2. The characteristics of the field of study

    3. Analysis of the characteristics of learners

    4. Establish learning objectives and learning content.

    5. Established the strategic delivery of learning content.

    6. Establishing learning management strategies, and

    7. Hold a measurement procedure development and learning outcomes.

    Terjemahan :

    Selain itu, Menurut Degeng (1997 dalam Armadani (2017: 1586) menyarankan bahwa model pembelajaran memberikan fleksibilitas dan kebebasan bagi para desainer dan pengembang untuk mengembangkan ide dan meletakkannya dalam kerja nyata pada pengembangan produk. Model pembelajaran Degeng (1989), mengembangkan dasar dari variabel-variabel yang mempengaruhi pembelajaran, Model pembelajaran Degeng terdiri dari tujuh langkah, antara lain:

    1.      Analisis tujuan
    2.      Karakteristik bidang studi
    3.      Analisis karakteristik peserta didik
    4.      Menetapkan tujuan pembelajaran dan konten pembelajaran.
    5.      Menetapkan pengiriman konten pembelajaran strategis.
    6.      Membangun strategi manajemen pembelajaran, dan
    7.      Mengadakan pengembangan prosedur pengukuran dan hasil pembelajaran.
                From the dictionary meaning the model is a pattern of something to be made or reproduced and means of transferring a relationship or process it actual setting to one in which it can be more conveniently studied. In the view of teaching, a model of teaching is a plan or pattern that can be used to shape curricula, to design instructional material and to guide instruction in the classroom and other setting. The most importan aim of any model of teaching is to improve the instructional effectiveness in an effective atmosphere and to improve or shape the curriculum. Joyce and Weil organised the alternative  model of teaching into four families, these are information prescessing, personal, social, and behavioral. They stress that different instuctinal goals would be realised by putting these modal of teaching into action (Siddiqui, and Khan, 2007 : 6-7).
    Terjemahan :
                Dari kamus yang berarti model adalah pola sesuatu yang harus dibuat atau direproduksi dan sarana mentransfer suatu hubungan atau proses itu pengaturan yang sebenarnya untuk satu di mana dapat lebih mudah dipelajari. Dalam pandangan mengajar, model pengajaran adalah rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum, untuk merancang materi instruksional dan untuk memandu instruksi di kelas dan pengaturan lainnya. Tujuan paling penting dari setiap model pengajaran adalah untuk meningkatkan efektivitas instruksional dalam suasana yang efektif dan untuk memperbaiki atau membentuk kurikulum. Joyce dan Weil mengatur model pengajaran alternatif ke dalam empat keluarga, ini adalah informasi prescessing, pribadi, sosial, dan perilaku. Mereka menekankan bahwa tujuan instuktural yang berbeda akan diwujudkan dengan menempatkan modal pengajaran ini ke dalam tindakan (Siddiqui, dan Khan, 2007: 6-7).
                Model of teaching, lake plans, patterns or blueprints, present sequential steps in teaching and learning experiences to bring a desired outcome in both teachers and pupils. A modelof teaching as we understand today is an instrumental design that describe the process of specifying and producing particular environmental situations that cause the students to interact in such a waythat specific change occur in their behaviour. The four concept for describe the structure and operation of the models are : (a) syntax, (b) social system, (c) principle of reaction, (d) Support system. They form the means of communicating the basic procedures involved in the implementation of any instructional model (Viswanath, 2006 : 113).

    Terjemahan :

                   Model pengajaran, rencana danau, pola atau cetak biru, menyajikan langkah-langkah berurutan dalam pengalaman mengajar dan belajar untuk membawa hasil yang diinginkan di kedua guru dan murid. Model pengajaran yang kita pahami saat ini adalah desain instrumental yang menggambarkan proses penentuan dan pembuatan situasi lingkungan tertentu yang menyebabkan siswa berinteraksi sedemikian rupa sehingga perubahan spesifik terjadi dalam perilaku mereka. Keempat konsep untuk menggambarkan struktur dan operasi model adalah: (a) sintaksis, (b) sistem sosial, (c) prinsip reaksi, (d) Sistem pendukung. Mereka membentuk sarana mengkomunikasikan prosedur dasar yang terlibat dalam pelaksanaan model pembelajaran (Viswanath, 2006: 155).
                   Duke (1990) in Prabhakaram (2006 : 7) state that a teaching model should be comprehesive in its approach. A teachingmodel is a comprehesive approach to teaching that tupically derives from a theory of education an encompasses key assumptions about what student should learn and how they learn. Some times instuctional models have been extensive researched, in the other cases relatively little is known about their effectiveness. Model stress certain instructional function an require teacher to be trained in particular ways.

    Terjemahan :

                   Duke (1990) dalam Prabhakaram (2006: 7) menyatakan bahwa model pengajaran harus komprehensif dalam pendekatannya. Model pengajaran adalah pendekatan komprehensif untuk mengajar yang secara tupis berasal dari teori pendidikan yang mencakup asumsi-asumsi utama tentang apa yang harus dipelajari siswa dan bagaimana mereka belajar. Beberapa kali model institusional telah diteliti secara luas, dalam kasus lain relatif sedikit yang diketahui tentang keefektifannya. Model menekankan fungsi instruksional tertentu dan membutuhkan guru untuk dilatih dengan cara-cara tertentu.

    Menurut Andayani (2015, 135-138) dalam pengembangan model pembelajaran terdapat usur dasar yang terlibat erat, yaitu:

    1)      Syntax (langkah-langkah)

    Syntax pembelajaran merupakan langkah-langkah operasional pembelajaran yang sifatnya baku.

    2)      social system(suasana dan norma yang berlaku dalam pembelajaran)

    Sistem sosial ialah proses mengenali, dan menganalisis prilaku siswa

    Sebagai instuisi sosial dalam pembelajaran, peran atau prilaku siswa dilihat sebagai makhluk sosial dan bagian dari kelompok, bukan sebagai individu.

    3)      Principles of reaction (prinsip reaksi)

    Suatu gambaran prinsip yang meggambarkan bagaimana reaksi siswa terhadap aktivitas pembeajaran yang diterapkan guru. Dalam penerapan sebuah model pembelajaran, reaksi siswa menjadi aktivitas yang terencana,  tidak terjadi secara serta merta. Karena itu guru dituntut untuk mampu merencanakan dan melaksasnakan pembelajaran sehingga tercapai secara tuntas prilaku-prilaku, sikap-sikap yang akank diperoleh pada saat dan setelah pembelajaran berlangsung. Demikian pula sebaliknya, guru harus bereaksi terhadap aksi siswa dalam semua peristiwa serta tidak mengarahkan aspek yang sempit melainkan ke suatu kesatuan yang utuh dan bermakna.

    4)      Support system (sistem pendukung)

    Komponen-komponen yang menjadi pendukung dalam penerapan sebuah model pembelajaran. Sistem pendukunng ini merupakan sebuah sistem yang menyediakan kemampuan untuk menyelessaikan masalah dan menjamin terjadinya interaksi antara guru dan siswa untuk menyelesaikan permasalahan pembelajaran. Bentuk sistem pendukung dapat berupa ssekkumpulan prosedur berbasis model untukmembantu guru dalam mengambil keputusan dalam pembelajaran.

    5)      Intructional dan nurran effets (hasil belajar yang diperoleh atau tujuan pembelajaran)

    Prilaku hasil belajar yang diharapkan terjadi, dimiliki,atau dikuasai oleh siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran tersebut. Dalam pengertian lain tujuan pembelajaran adalah pernyataan mengenai keterampilan atau konsep yang diharapkan dapat  dikuasai oleh siswa pada akhir periode pembelajaran. Tujuan pembelajaran merupakan arah yang hendak dituju dari rangkaian aktivitas yang dilakukan dalam proses pembelajaran

     

    2.2.2 Model Konsiderasi

                   According to Darling-Hammond (2000) in Parr and Timperley (2008 : 57) The key to better learning for students is better teaching. Effective teaching is underpinned by an evidence-informed and well-articulated knowledge about the content of what one is teaching, about how to teach and about one’s students. Alton-Lee (2003) in Parr and Timperley (2008 : 57) Effective practice is not something absolute but, rather, is achieved by knowledgeable, committed teachers who tailor and adapt their practices to the ongoing needs of their learners in order to achieve outcomes of a high standard across heterogeneous groups of students.

    Terjemahan :

                   Menurut Darling-Hammond (2000) dalam Parr dan Timperley (2008: 57) Kunci untuk belajar yang lebih baik bagi siswa adalah pengajaran yang lebih baik. Pengajaran yang efektif didukung oleh pengetahuan yang diinformasikan bukti dan diartikulasikan dengan baik tentang isi dari apa yang diajarkan seseorang, tentang cara mengajar dan tentang siswa seseorang. Alton-Lee (2003) dalam Parr dan Timperley (2008: 57) Praktik yang efektif bukanlah sesuatu yang absolut tetapi, lebih tepatnya, dicapai oleh para guru yang berpengetahuan dan berkomitmen yang menyesuaikan dan menyesuaikan praktik mereka dengan kebutuhan berkelanjutan para pembelajar mereka untuk mencapai hasil. dari standar yang tinggi di seluruh kelompok mahasiswa yang heterogen.
                   The affective domain refers to classificationof the different objective that educated set for student (learning objective). Bloom’s taxonomy divides educational objective into three “domains” : cognitive, affective, and psikomoto. The term “Affect” in this definition is derived from the science of psychology and directly refers to the individual experience of feeling or emotion as a result of some external stimull (Osler, 2013 : 36)
    Terjemahan : 
                   Ranah afektif mengacu pada klasifikasi dari tujuan yang berbeda yang dididik untuk siswa (tujuan pembelajaran). Taksonomi Bloom membagi tujuan pendidikan menjadi tiga "domain": kognitif, afektif, dan psikomoto. Istilah "Mempengaruhi" dalam definisi ini berasal dari ilmu psikologi dan langsung mengacu pada pengalaman individu perasaan atau emosi sebagai akibat dari beberapa rangsangan eksternal.

    Most Modern authors agree that there been a bias toward the cognitive in learning research, at the expense of affective. Moreover, it is nowa being recognised that emotion not be considered as seperate “realm” of human activity onto thenselves and that what is required is a perspective that integrates them with cognitive and social aspect of learning and development. Affect its not simple expression of biological reaction t a situation ; it is intimately bound up with culturally mediated conceptions of social action and its condition of appropriateness. Our affect in given situation depend on how we represent those situation (Baker, et al, 2013 : 13-14)

    Terjemahan :

                   Sebagian besar penulis modern setuju bahwa ada bias terhadap kognitif dalam belajar penelitian, dengan mengorbankan afektif. Selain itu, sekarang diakui bahwa emosi tidak dianggap sebagai “ranah” yang terpisah dari aktivitas manusia ke arah diri sendiri dan bahwa apa yang diperlukan adalah perspektif yang mengintegrasikan mereka dengan aspek kognitif dan sosial dari pembelajaran dan pengembangan. Pengaruhi ekspresi biologisnya yang tidak sederhana terhadap suatu situasi; ia sangat terikat dengan konsepsi aksi sosial yang dimediasi oleh budaya dan kondisi kesesuaiannya. Pengaruh kami dalam situasi tertentu bergantung pada bagaimana kami merepresentasikan situasi tersebut (Baker, et al, 2013 : 13-14).

    According to Atherton (2005) in Jagger (2014 : 2) Bloom’s widely acknowledged and researched taxonomy categorises learning levels by classifying them into three domains: cognitive, affective and psycho motor.

    According to Krathwohl (2002 : 212) Jagger (2014 : 2) His cognitive domain has been widely used as a common language for educators in determining learning objectives, and as a foundation for curriculum development and evaluation. The affective domain describes the emotional processes of learning, focusing on feelings, values, motivations, attitudes and dispositions (Bloom, 1964).

    According to Smith and Ragan (1999) in Jagger (2014 : 2) identify affective characteristics as expressed by statements of opinions, beliefs, or an assessment of worth It is made up of five categories in ascending order of learning depth.

    Terjemahan :

                   Menurut Atherton (2005) di Jagger (2014: 2) Bloom taksonomi yang diakui secara luas dan diteliti mengkategorikan tingkat pembelajaran dengan
    mengelompokkan mereka menjadi tiga domain: kognitif, afektif dan psiko motor.
                   Menurut Krathwohl (2002: 212) Jagger (2014: 2) Domain kognitifnya telah banyak digunakan sebagai bahasa umum bagi pendidik dalam menentukan tujuan pembelajaran, dan sebagai landasan untuk pengembangan kurikulum dan evaluasi. Domain afektif menggambarkan proses belajar emosional, berfokus pada perasaan, nilai, motivasi, sikap dan disposisi (Bloom, 1964).
                   Menurut Smith dan Ragan (1999) dalam Jagger (2014: 2) mengidentifikasi karakteristik afektif seperti yang diungkapkan oleh pernyataan pendapat, keyakinan, atau penilaian nilai. Ini terdiri dari lima kategori dalam urutan menaik dari kedalaman belajar.
                   Menurut Fauzi (2016 : 59-61) taksonomi untuk wilayah afektif mula-mula dikembangkan oleh David R. Krathwolhl dan kawan-kawan (1974) dalam buku yang berjudul Taxonomi of Educational Objective: Affective Domain. Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Beberapa pakar mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya bila seseorang memiliki kognitif tingkat tinggi. Ciri-ciri belajar afektif akan nampak pada peserta didik dalam berbagai tingkah laku seperti perhatiannya terhadap mata pelajaran, Kedisiplinannya dalam mengikuti mata pelajaran di sekolah, motivasinya yang tinggi untuk tahu lebih banyak mengenai pelajaran yang diterimanya, penghargaan atau rasa hormatnya terhadap guru dan sebagainya. Ranah afektif ini oleh Krathwolhl dibagi menjadi lebih rinci lagi ke dalam lima jenjang yaitu: (1) Recieving; (2) Responding; (3) Valuing; (4) Organizing; (5) Characterizing by Value or Value Complex.
                   Belajar afektif berbeda dengan belajar intelektual dan ketrampilan. Segi afekif sangat bersifat subjektif, lebih mudah berubah, dan tidak ada materi khusus yang harus dipelajari. Hal-hal di atas menuntut penggunaan metode mengajar dan evaluasi hasil belajar yang berbeda dari mengajar dan evaluasi hasil belajar yang berbeda dari mengajar segi kognitif dan keterampilan. Ada beberapa model belajar mengajar afektif yakni : Model konsiderasi, model pembentuk rasional, model nondirektif.

    Menurut Prianggita (2016 : 73-74) Model Konsiderasi dikembangkan oleh Mc. Paul seorang Humanis. Paul menganggap bahwa pembentukan moral tidak sama dengan pengembangan kognisi yang rasional. Pembelajaran moral siswa menurutnya adalah pembentukan kepribadian bukan pengembangan intelektual. Manusia seringkali bersidat egoistis, lebih memperhatikan, mementingkan dan sibuk mengurusi dirinya sendiri. Kebutuhan yang fundamnetal pada manusia adalah bergaul secara harmonis dengan orang lian, saling memberi dan saling menerima dengan penuh cinta kasih dan sayang. Oleh sebab itu, model ini menekankan kepada strategi pembelajaran yang dapat membentuk kepribadian. Tujuannya adalah agar siswa menjadi manusia yang memiliki kepedulian terhadap orang lain sehingga mereka dapat bergaul, bekerjasama, hidup secara harmonis dengan orang lain, dan dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain.

    Implementasi model konsiderasi dapat dilaksanakan melalui tahap-tahap pembelajaran sebagai berikut:

    1.      Menghadapkan siswa pada situasi yang mengndung masalah/konflik yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

    2.      Meminta siswa untuk menganalisis suatu masalah dengan melihat bukan hanya yang tampak tetapi juga menganalisis permasalahan yang tersirat (perasaan, kebutuhan, dan kepentingan orang lain).

    3.      Meminta siswa untuk menuliskan tanggapannya terhadap permasalahan yang dihadapi.

    4.      Mengajak siswa untuk menganalisis respon orang lain serta membuat kategori dari setiap respon yang diberikan.

    5.      Mengajak siswa untuk merumuskan konsekuensi dari pilihan yang siswa usulkan. Dalam tahapan ini siswa diajak berpikir tentang segala kemungkinan yang akan timbul sehubungan dengan pilihannya. Guru perlu untuk mendorong siswa dapat menjelaskan argumtasinya secara terbuka serta dapat saling menghargai pendapat orang lain. Diupayakan agar perbedaan pendapat tumbuh dengan baik sesuai dengan titik pandang yang berbeda.

    6.      Mengajak siswa untuk memandang permasalahan dari berbagai sudut pandang untuk menambah wawasan agar mereka dapat menimbang sikap tertentu sesuai dengan nilai yang dimilikinya.

    7.      Mendorong siswa agar merumuskan sendiri tindakan yang harus dilakukan sesuai dengan pilihannya berdasarkan pertimbangannya sendiri.

    Menurut Agustianingsih (2017 : 128) model pembelajaran konsiderasi ini menghadapkan siswa pada suatu masalah yang dilematis serta mengharuskan siswa untuk berpikir dan menganalisis masalah yang telah disajikan, kemudian siswa mengambil sebuah keputusan yang menurutnya paling baik dan benar.

    Menurut Mulyati (2005 : 182) dalam Agustiningsih (2017 : 132-133) model pembelajaran konsiderasi sesuai dengan teori belajar humanistik. Menurut Carl Rogers aplikasi teori humanistik terhadap pembelajaran siswa lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Jika diidentifikasi, penerapan model pembelajaran konsiderasi memenuhi proses pembelajaran sebagaimana menurut Carl Rogers yang diantaranya:

    1.      Merumuskan tujuan belajar yang jelas.

    2.      Mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui kontrak belajar yang bersifat jelas, jujur dan positif.

    3.      Mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk belajar atas inisiatif sendiri.

    4.      Mendorong siswa untuk peka berpikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara mandiri.

    5.      Siswa didorong untuk bebas mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri, melakukkan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dariperilaku yang ditunjukkan.

    6.      Guru menerima siswa apa adanya, berusaha memahami jalan pikiran siswa, tidak menilai secara normatif tetapi mendorong siswa untuk bertanggungjawab atas segala resiko perbuatan atau proses belajarnya

    7.      Memberikan kesempatan murid untuk maju sesuai dengan kecepatannya

    8.      Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestasi siswa

    Berdasarkan prinsip proses pembelajaran diatas, menunjukkan bahwa karakteristik tersebut sesuai dengan karakteristik proses pembelajaran dengan model konsiderasi.

    Dalam menerapkan model pembelajaran konsiderasi, guru sebagai fasilitator sebelumnya telah membentuk kelompok diskusi secara random dengan tujuan agar siswa bisa menerima anggota kelompoknya tanpa pilih-pilih. Kemudian guru memberikan suatu kasus yang problematis kepada siswa untuk selanjutnya dianalisis sesuai dengan pertanyaan yang diberikan. Dalam proses ini guru memberikan kebebasan kepada siswa untuk saling berpendapat dan menentukan setiap keputusan yang akan diambil siswa untuk menyelesaikan masalah yang sedang didiskusikan. Guru tidak menuntut siswa untuk menjawab sesuai dengan keinginan guru, akan tetapi guru hanya memberikan arahan dan bimbingan kepada siswa dalam berdiskusi, serta merespon pertanyaan siswa jika siswa bertanya terkait tugas diskusi. Setelah itu guru mendengarkan siswa yang menyampaikan hasil diskusinya mengungkapkan bagaimana perasaannya dan solusinya jika berada dalam maslah tersebut (Agustiningsih, dkk., 2017 : 133).

    Menurut Asnah (2016 : 96-97) Model Konsiderasi merupakan salah satu model pembelajaran afektif yang memiliki tujuan, fungsi dan konstribusi dalam membentuk kepribadian yang lebih baik. Model konsiderasi ini juga dapat menciptakan hubungan yang harmonis terhadap sesama siswa dan sekaligus membuat siswa lebih perduli dengan lingkungan sekitarnya.

    Djuwita (2001) in Armadani (2017 : 1586) suggested the assumptions underlying the model considerations, namely:

    1.      Moral behavior is strengthening (self-reinforcing).

    2.      The moral education should be directed to the personality as a whole (the total personality).

    3.      Students appreciate the adults who made himself a “role model concern” (consideration)

    4.      Students open to learning, but hated authoritarianism, domination, bondage.

    5.      A teenager is gradually evolving toward maturity in social relationships (the ability to care for and help others).

    On the basis of the above assumptions, the teacher must be a model in the class treats every student with respect, away from the authoritarian attitude. Teachers need to promote unity, mutual trust, mutual respect, and so forth.

    Terjemahan :

                   Djuwita (2001) dalam Armadani (2017: 1586) menyarankan asumsi yang mendasari pertimbangan model, yaitu:
    1.      Perilaku moral adalah penguatan (penguatan diri).
    2.      Pendidikan moral harus diarahkan pada kepribadian secara keseluruhan (kepribadian total).
    3.      Siswa menghargai orang dewasa yang menjadikan dirinya sebagai "panutan" (pertimbangan)
    4.      Siswa terbuka untuk belajar, tetapi membenci otoritarianisme, dominasi, perbudakan.
    5.      Seorang remaja berangsur-angsur berkembang menuju kedewasaan dalam hubungan sosial (kemampuan untuk merawat dan membantu orang lain).
    Atas dasar asumsi di atas, guru harus menjadi model dalam kelas memperlakukan setiap siswa dengan hormat, jauh dari sikap otoriter. Guru perlu mempromosikan persatuan, saling percaya, saling menghormati, dan sebagainya.

    Prianggita (2016) in Armadani (2017 : 1586) argued that prior to the application of the learning model consideration in the learning process is applied, there are some things that need to be prepared, including:

    1.      Provide information to students about learning model implementation plan and the establishment of rational considerations. In this information needs to be explained what the purpose and intended use of this affective learning model so that all understand why the learning model and the establishment of rational considerations are important.

    2.      Determining the time of implementation of the model and the establishment of rational consideration consistently.

    Terjemahan :

                   Prianggita (2016) di Armadani (2017: 1586) berpendapat bahwa sebelum penerapan model pembelajaran pertimbangan dalam proses pembelajaran diterapkan, ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan, diantaranya:
    1.      Berikan informasi kepada siswa tentang rencana implementasi model pembelajaran dan penetapan pertimbangan rasional. Dalam informasi ini perlu dijelaskan apa tujuan dan tujuan penggunaan model pembelajaran afektif ini sehingga semua memahami mengapa model pembelajaran dan pembentukan pertimbangan rasional adalah penting.
    2.      Menentukan waktu pelaksanaan model dan penetapan pertimbangan rasional secara konsisten.

    According to Armadani (2017 : 1590-1591) Mc. Phail and C. Rogers created a considerations learning model with the aim to develop the child’s personality and authentic human being creative, so that children become more concerned. This is consistent with the character education model Lickona (1997), which comprehensively support consists of several components, including:

    a.       Teachers as a nanny, a model of moral and moral mentor.

    The quality of a teacher with student relationship is the basis of everything that might be a teacher wants to do in character education. In their relationships with students, teachers give positive moral influence in three ways complementary.

    b.      Creating a classroom community that cares

    How teachers can build respect and consideration as operating in a peer group norms?. If teachers do not take the initiative to establish a culture of positive peer and support that they want to teach virtue, culture peers often develops in the opposite direction.

    c.       Creating a democratic classroom environment

    Create a democratic classroom is to involve students, regularly and in an appropriate manner; In a joint decision increases their responsibility to make the classroom a good place to be and learn. Democratic class contributed to the character because it provides a forum in which any needs or concerns can be addressed groups. It also provides a self-supporting structure that advises moral best students by making them responsible for the norms of respect and responsibility.

    Terjemahan :

    Menurt Armdani (2017 : 1590-1591) Mc. Phail dan C. Rogers menciptakan model pembelajaran pertimbangan dengan tujuan untuk mengembangkan kepribadian anak dan manusia otentik yang kreatif, sehingga anak menjadi lebih peduli. Ini konsisten dengan model pendidikan karakter Lickona (1997), yang didukung secara komprehensif terdiri dari beberapa komponen, termasuk:

    a.       Sebuah. Guru sebagai pengasuh, model mentor moral dan moral.
                   Kualitas seorang guru dengan hubungan siswa adalah dasar dari segala sesuatu yang mungkin seorang guru ingin lakukan dalam pendidikan karakter. Dalam hubungan mereka dengan siswa, guru memberi pengaruh moral positif dalam tiga cara yang saling melengkapi.
    b.      Menciptakan komunitas kelas yang peduli
                   Bagaimana guru dapat membangun rasa hormat dan pertimbangan sebagai operasi dalam norma kelompok teman sebaya ?. Jika guru tidak mengambil inisiatif untuk membangun budaya teman dan dukungan positif yang ingin mereka ajarkan kebajikan, rekan budaya sering berkembang ke arah yang berlawanan.
    c.       Menciptakan lingkungan kelas yang demokratis
                   Membuat ruang kelas yang demokratis adalah melibatkan siswa, secara teratur dan dengan cara yang tepat; Dalam keputusan bersama meningkatkan tanggung jawab mereka untuk menjadikan ruang kelas tempat yang baik untuk menjadi dan belajar. Kelas demokratis berkontribusi pada karakter karena menyediakan sebuah forum di mana setiap kebutuhan atau masalah dapat diatasi kelompok. Ini juga menyediakan struktur mandiri yang menasihati siswa terbaik moral dengan membuat mereka bertanggung jawab atas norma-norma rasa hormat dan tanggung jawab.
     

    2.2.3 Tujuan Model Konsiderasi

    Berdasarka pada penejlasan tentang pengertian model konsiderasi di atas di tarik kesimpulan bahwa tujuan dari model konsiderasi ini adalah :

    1. Untuk menumbuhkan rasa Perduli antar sesama siswa

    2. Dapat bekerja sama dengan teman dan Menciptakan hubungan yang harmonis

    3. Membentuk kepribadian siswa dan mengembangkan kemampuan siswa dalam  memecahkan masalah.

    2.2.4 Fungsi Model Konsiderasi

    Model konsiderasi adalah sebuah model pembelajaran yang menekankan moralitas, yaitu hidup bersama dalam sebuah keharmonisan dengan sesama masyarakat. Model ini dicetuskan oleh seorang hummanis bernama Paul, Mc Phails, dengan tujuannya yaitu agar peserta didik menjadi manusia yang memiliki kepedulian terhadap orang lain. Oleh karena itu model konsiderasi sangat diperlukan dalam pendidikan, selain itu fungsi dari model pembelajaran konsiderasi adalah:

    1)   Meningkatkan keterampilan sosial peserta didik

    Menurut Yulida, dkk (2017) dalam jurnalnya, Penulis menyadari bahwa pentingnya sebuah keterampilan sosial bagi individu, termasuk anak dengan hambatan emosi dan prilaku, terlebih melihat fakta rendahnya keterampilan sosial anak dengan hambatan emosi dan prilaku. Selain itu diduga metode pembelajaran konvensional yang selama ini digunakan, ceramah ataupun sebatas pemberian tugas belum tepat dalam melatih meningkatkan keterampilan sosial anak dengan hambatan emosi dan prilaku. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Hallahan:

    Children and youths with emotional or behavioral disorders aren’t typically good at making friends”.

    Terjemah:

    “ Anak dengan hambatan emosi dan prilaku mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan dengan orang lain”

    Oleh karena itu pengaruh model konsiderasi ini dapat menjadi salah satu solusi dalam meningkatkan keterampilan sosial anak dengan hambatan emosi dan prilaku (Yulida, 2017: 15-16).

    2)    Menanamkan sikap toleransi

    Menurut hasil penelitian Agustiningsih (2017), modifikasi langkah model pembelajaran konsiderasi mampu memberikan pengaruh lebih baik terhadap peningkatan nilai karakter kepedulian sosial pada mahasiswa, dibanding model pembelajaran tradisional. Sudah banyak ditemukan dikehidupan sehari-hari yaitu siswa sering mengolok-olok temannya sehingga menimbulkan perkelahian antar siswa tersebut, hal ini dikarenakan kurangnya sikap toleransi antar siswa tersebut. Berbagai permasalahan yang terjadi mungkin karena guru dalam mengajar atau menyampaikan materi pembelajaran lebih menekankan pada sisi pengetahuan (knowledge) siswa tanpa diimbangi bagaimana implementasinya di masyarakat.  

    Dengan demikian sangat diperlukan model pembelajaran yang mampu merangsang dan memotivasi peserta didik dalam proses pembelajaran sehingga materi yang diajarkan dapat diaplikasikan ke dalam kehidupan peserta didik sebagai bentuk perubahan sikap dan perilaku siswa. Penanaman sikap toleransi bisa dilakukan dengan menerapkan model pembelajaran afektif atau model pembelajaran berbasis karakter atau juga disebut dengan model pembelajaran konsiderasi. Menurut Suryani dan Leo Agung (2012: 122), “Model pembelajaran afektif merupakan sebuah strategi atau model yang bukan hanya bertujuan untuk mencapai pendidikan kognitif saja, melainkan juga sikap dan ketrampilan afektif” (Agustiningsih, 2017:127-128).

    Pembelajaran Konsiderasi yang dikembangkan menganggap bahwa pembentukan moral tidak sama dengan dengan pengem-bangan kognitif yang rasional. Pembelajaran moral adalah pembentukan kepribadian bukan pengembangan intelektual. Oleh sebab itu model konsiderasi menekankan pada pembelajaran yang dapat membentuk kepribadian, agar peserta didik menjadi manusia yang memiliki kepedulian terhadap orang lain. Kebutuhan yang fundamental pada manusia adalah bergaul secara harmonis dengan orang lain, saling memberi dan menerima dengan penuh cinta dan kasih sayang. Model konsiderasi berasumsi bahwa perilaku moral bersifat “self reinforcing”, artinya memperlakukan orang lain dengan penuh perhatian itu pada dasarnya menyenangkan dan bermanfaat. Kebutuhan yang fundamental pada manusia ialah bergaul secara harmonis dengan sesama manusia, saling memberi dan menerima cinta kasih, “to love and to be loved”. Penggunaan model pembelajaran konsiderasi, yang lebih mengutamakan kepedulian terhadap orang lain mengindahkan perasaan orang lain dan mengutamakan empati (Soenarko, 2015: 36).

    3)      Meningkatkan pola pikir yang positif

    Karakter adalah sikap pribadi orang yang stabil seperti hasil dari proses integrasi dan pernyataan tindakan. Karakter juga bisa diartikan sebagai kepribadian yang datang dari internalisasi berbagai keutamaan dan digunakan sebagai dasar untuk berpikir, dan bertindak. Karakter yang baik termasuk pengetahuan tentang kebaikan yang akan membawa komitmen (niat) kebaikan,  hingga akhirnya berbuat baik. Pola pikir positif juga akan membawa kepada komitmen yang baik dan pembuatan yang baik pula. Menurut Armadani (2015) dalam jurnalnya:

    Positive thinking is a way of thinking that is more emphasis on things that are positive, both to oneself, others and the situation at hand. Individuals who think positively are individuals who have hope and positive ideals, understand and be able to utilize the advantages and disadvantages that are owned and positively assess all the problems. The individual will direct his thoughts to positive things; will talk about success than failure, love instead of hatred, happiness rather than sadness, confidence rather than fear, satisfaction than disappointment that the individual will be positive in dealing with problems. Researchers assume that the Instructional Technology students explore learning model consideration. The consideration model was developed by Mc. Paul. Paul assumes that the moral formation is not the same as the development of rational cognition. Moral learning student thinks is not the intellectual development of personality formation (Armadani, 2015: 1585).

    Terjemahan:

    Berpikir positif adalah cara berpikir yang lebih menekankan pada hal – hal yang positif, baik untuk diri sendiri, orang lain dan situasi di tangan. Individu yang berpikir secara positif adalah individu yang memiliki harapan dan cita-cita positif, memahami dan dapat memanfaatkan kelebihan dan kerugian yang dimiliki dan menilai positif semua masalah. Individu akan mengarahkan pikirannya ke positif sesuatu; akan berbicara tentang kesuksesan daripada kegagalan, cinta bukannya kebencian, kebahagiaan daripada kesedihan, keyakinan daripada ketakutan, kepuasan daripada kekecewaan yang dimiliki individu bersikap positif dalam menangani masalah. Penelitian ini berasumsi pada siswa Teknologi Instruksional yang menggunakan model pembelajaran konsiderasi. Model pembelajaran konsiderasi dikembangkan oleh Mc. Paulus. Paulus berasumsi pada pembentukan  moral tidak sama dengan perkembangan rasional. Pembentukan karakter berpikir siswa bukanlah pembentukan kepribadian berdasarkan intelektual (Armadani, 2015: 1585).

    2.2.5 Sintaks Model Konsiderasi

                Menurut Trianto (2010 : 53) dalam Darmadi (2017 : 42-43)fungsi model pembelajaran adalah sebagai pedoman bagi perancang pengajaran dan para guru dalam melaksanakan pembelajaran. Untuk memilih oleh model ini sangat dipengaruhi oleh materi yang akan diajarkan, dan juga dipengaruhi oleh tujuan yang akan dicapai dalam pengajaran tersebut serta tingkat kemampuan peserta didik. Di samping itu pula, setiap model pembelajaran juga mempunyai tahap-tahap (sintaks) yang dapat dilakukan siswa dengan bimbingn guru. Antara sintaks yang satu dengan sintaks yang lain juga mempunyai perbedaan. Perbedaan-perbedaan ini di ataranya adalah pembukaan dan penutupan pembelajaran yang berbeda antara satu dengan yang lain. Oleh karena itu, guru perlu menguasai dan dapat menerapkan berbagai keterampilan mengajar, agar dapat mencapai tujuan pembelajaran yang beraneka ragam dan lingkungan belajar yang menjadi ciri sekolah pada dewasa ini.

    Manusia seringkali bersifat egoistik, lebih memperhatikan dan mementingkan dirinya sendiri. Melalui penggunaan model konsiderasi ini, siswa didorong untuk lebih peduli, lebih memperhatikan orang lain. Sehingga mereka dapat bergaul, berkerjasama, dan hidup secara harmonis dengan orang lain.

    Menurut Asriati (2012: 115) langkah-langkah model konsiderasai, yaitu:

    1.      Menghadapi siswa pada situasi yang mengandung konsiderasi

    2.      Meminta siswa menganalisis situasi berkenaan dengan perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain.

    3.      Siswa menuliskan responnya masing-masing

    4.      Mengajak siswa melilhat konsekuensi dari tiap tindakannya

    5.      Meminta siswa untuk menentukan pilihannya

    6.      Hidup untuk kepentigan orang lain

    7.      Hanya dengan memberikan “konsiderasi” kepada orang lain kita dapat mewujudkan diri kita sepenuhnya.

    Menurut Sanjaya dalam Soenarko (2015: 37), yang menegaskan implementasi model konsiderasi, guru dapat mengikuti tahapan pembelajaran seperti dibawah ini, yaitu:

    1.      Menghadapkan siswa pada suatu masalah yang mengandung konflik, yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari

    2.      Menyuruh siswa untuk menganalisis situasi masalah dengan tersirat dalam permasalahan tersebut

    3.      Menyuruh siswa untuk melukiskan tanggapannya terhadap permasalahan yang dihadapi

    4.      Mengajak siswa untuk menganalisis respon orang lain

    5.      Mendorong siswa untuk merumuskan akibat dan konsekuensi dari setiap tindakan

    6.      Mengajak siswa untuk memandang permasalahan dari berbagai sudut pandang

    7.      Mendorong siswa bertindak sesuai dengan pilihannya

    Menurut Somad dalam Soenarko (2015: 38) langkah-langkah pembelajaran konsiderasi, yaitu:

    1.      Menghadapkan siswa pada situasi yang mengandung konsiderasi

    2.      Meminta siswa menganalisis situasi untuk menemukan isyarat-isyarat yang tersembunyi berkenaan dengan perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain

    3.      Siswa menuliskan responsnya masing-masing

    4.      Siswa menganalisis respons siswa lain

    5.      Mengajak siswa melihat konsekuesi dari tiap tindakannya

    6.      Meminta siswa untuk menentukan pilihannya sendiri.

    2.2.6 Kelebihan dan Kelemahan model Konsiderasi

    Menurut Khadir (2015 : 147-148) hampir sama dengan kelebihan dan kelemahan pembelajaranafektif atau sikap, yaitu :

    1.      Kelebihan

    a.       Dalam pelaksanaan pembelajaran sikap akan dapat Membentuk watak serta peradaban Bangsa yang bermatabat.

    b.      Mengembangkan potensi peserta didik dalam hal nilai dan sikap.

    c.       Menjadi sarana pembentukan manusia yang beriman, dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.

    d.      Peserta didik akan lebih mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak baik, mana yang halal dan yang tidak halal.

    e.       Peserta didik akan mengetahui hal yang berguna atau berharga (sikap positif) dan tidak berharga atau tidak berguna (sikap negatif).

    f.       Dengan pelaksanaannya strategi pembelajaran sikapakan memperkuat karakter bangsa indonesia, apalagi apabila diterapkan pada anak sejak dini.

    g.      Dengan pelaksanaan pembelajaran sikap peserta didik dapat berperilaku sesuai dengan pandangan yang di anggap baik dan tidak bertentangan dengan norma- norma yang berlaku.

    2. Kelemahan

    a.    Kurikulum yang berlaku selama ini cendrung diarahkan untuk pembentukan intelektual (kemampuan kognitif) dimana anak diarahkan kepada menguasai materi tanpa memperhatikan pembentukan sikap dan moral.

    b.    Sulitnya melakukan kontrol karena banyaknya faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan sikap seseorang.

    c.    Keberhasilan pembentukan sikap tidak bisa dievaluasi dengan segera, karena perubahan sikap dilihat dalam rentang waktu yang cukup lama.

    d.   Pengaruh kemampuan teknologi, khususnya teknologi informasi yang menyuguhkan aneka pilihan program acara yang berdampak pada pembentukan karakter anak.

    2.2 Kajian Kritis

    2.2.1 Pengertian Model Pembelajaran

    Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan kegiatan pembelajaran di kelas. Model tersebut merupkan pola umum perilaku pembelajaran untuk mencapai kompetensi dan tujuan pembelajaran yang di harapkan. Model pembelajaran adalah pola interaksi peserta didik dengan guru di dalam kelas yang menyangkut pendekatan, strategi, metode, teknik pembelajaran yang diterapkan dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran. Dalam suatu model pembelajaran yang ditentukan bukan hanya apa yang harus dilakukan oleh guru, tetapi menyangkut tahapan-tahapan , prinsip-prinsip reaksi gutu dengan peserta didik, serta penunjang yang disyaratkan.

    2.2.2 Model Konsiderasi

    Model Konsiderasi dikembangkan oleh Mc. Paul seorang Humanis. Paul menganggap bahwa pembentukan moral tidak sama dengan pengembangan kognisi yang rasional. Pembelajaran moral siswa menurutnya adalah pembentukan kepribadian bukan pengembangan intelektual. Manusia seringkali bersidat egoistis, lebih memperhatikan, mementingkan dan sibuk mengurusi dirinya sendiri. Kebutuhan yang fundamnetal pada manusia adalah bergaul secara harmonis dengan orang lian, saling memberi dan saling menerima dengan penuh cinta kasih dan sayang. Oleh sebab itu, model ini menekankan kepada strategi pembelajaran yang dapat membentuk kepribadian. Tujuannya adalah agar siswa menjadi manusia yang memiliki kepedulian terhadap orang lain sehingga mereka dapat bergaul, bekerjasama, hidup secara harmonis dengan orang lain, dan dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain.

    2.2.3 Tujuan Model Konsiderasi

    Berdasarka pada penejlasan tentang pengertian model konsiderasi di atas di tarik kesimpulan bahwa tujuan dari model konsiderasi ini adalah :

    1. Untuk menumbuhkan rasa Perduli antar sesama siswa.

    2. Dapat bekerja sama dengan teman dan Menciptakan hubungan yang harmonis.

    3. Membentuk kepribadian siswa dan mengembangkan kemampuan siswa dalam  memecahkan masalah.

    2.2.4 Fungsi Model Konsiderasi

    1.      Meningkatkan keterampilan peserta didik.

    2.      Menanamkan sikap toleransi.

    3.      Meningkatkan pola pikir yang positif.

    2.2.5 Sintaks Model Konsiderasi

    Langkah-langkah atau sintaks model konsiderasai, yaitu:

    1.      Menghadapi siswa pada situasi yang mengandung konsiderasi

    2.      Meminta siswa menganalisis situasi berkenaan dengan perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain.

    3.      Siswa menuliskan responnya masing-masing

    4.      Mengajak siswa melilhat konsekuensi dari tiap tindakannya

    5.      Meminta siswa untuk menentukan pilihannya

    6.      Hidup untuk kepentigan orang lain

    7.      Hanya dengan memberikan “konsiderasi” kepada orang lain kita dapat mewujudkan diri kita sepenuhnya.

    2.2.6 Kelebihan dan Kekurangan Model Konsiderasi

                Model Konsiderasi lebih bertekan pada ranah afektif sehingga ditakutkanranah kognitif tidak terlalu dipentingkan, selain itu pengukuran hasil pada belajar model konsiderasi untuk ,engukur nilai afektif sisw terbilang sulit, harus dengan observasi dan bersifat objektif. Kelebihannya yaitu sangat baik untuk membentuk sikap siswa, misalnya agar lebih bisa bertoleransi terhadap teman dan sesamanya.

    BAB III

    PENUTUP

    3.1 Kesimpulan

    Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan kegiatan pembelajaran di kelas. Model tersebut merupkan pola umum perilaku pembelajaran untuk mencapai kompetensi dan tujuan pembelajaran yang di harapkan. Salah satu model pembelajaran adalah model Konsiderasi. model ini menekankan kepada strategi pembelajaran yang dapat membentuk kepribadian. Tujuannya adalah agar siswa menjadi manusia yang memiliki kepedulian terhadap orang lain sehingga mereka dapat bergaul, bekerjasama, hidup secara harmonis dengan orang lain, dan dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain.

    Langkah-langkah atau sintaks model konsiderasai, yaitu:

    1. Menghadapi siswa pada situasi yang mengandung konsiderasi

    2. Meminta siswa menganalisis situasi berkenaan dengan perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain.

    3. Siswa menuliskan responnya masing-masing.

    4. Mengajak siswa melilhat konsekuensi dari tiap tindakannya.

    5. Meminta siswa untuk menentukan pilihannya

    6. Hidup untuk kepentigan orang lain

    7. Hanya dengan memberikan “konsiderasi” kepada orang lain kita dapat mewujudkan diri kita sepenuhnya.

    3.2 Saran

                Penggunaan Model Konsiderasi memang baik untuk dilakukan, terutama untuk membentuk sikap dan karakter dari peserta didik. Namun selain aspek afektif yang diperhatikan, dalam menggunakan model ini juga harus memperhatikan aspek kognitif yang diperoleh peserta didik setelah pembelajarn. Dalam pengimplementasiannya, model konsiderasi boleh digunakan bersama model lainnya yang bisa mendukung pembelajaran, agar peserta didik tidak hanya mendapat hasil dalam ranah afektif tetapi juga dalam ranah kognitif dan sebaliknya.

    DAFTAR PUSTAKA

    Agustiningsi, Martha Yuliana. 2017. Pengaruh Model Pembelajaran Konsiderasi

    terhadap Sikap Toleransi Siswa pada Kompetensi Dasar Menghargai Keberagaman Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan dalam Bingkai Bhineka Tunggal Ika. Vol. 2, No.2.

    Andayani. 2015. Problema Dan Aksioma Dalam Metodologi Pembelajaran Bahasa

    Indonesia. Yogyakarta: Deepublish

    Armadani, Lina, et al. 2017. Consideration Learning Model in Character

    Education. Vol.6 Issue 7.

    Asnah (2016). Strategi Reflektif Dan Transinternal Sebagai Upaya Menumbuhkan

    Penghayatan Siswa Dalam Pembelajaran. Vol.2, No.2.

    Asriati, N. 2012. Mengembangkan Karakter Peserta Didik Berbasis Kearifan

    Lokal Melalui Pembelajaran Di Sekolah. Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora. Pontianak: Univrsitas Tanjungpura. Vol. 3 (2).

    Baker, Micheal, et al. 2013. Affective Learning Together. London : Routledge.

    Darmadi. 2017. Pengembangan Model dan Metode Pembelajaran dalam Dinamika

    Belajar Siswa. Yogyakarta : Deepublish.

    Fauzi, Ahmad. 2016. Daya Serap Siswa Terhadap Pembelajaran Taksonomi

    Pendidikan Agama. ISSN 2339-2215.

    Jagger, Suzy. 2014. Affective Learning and Classroom Debate. Education and

    Teaching International.

    Kadir, Fatimah. 2015. Strategi Pembelajaran Afektif untuk Investasi Pendidikan

    Masa Depan Anak. Vol.8, No.2.

    Khosim, Noer. 2017. Model-Model Pembelajaran. Suryamedia.

    Lefudin. 2017. Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta : Deepublish.

    Osler, James Edward. 2013. The Psylogical Effecacy Of Education as A science

    Trough Personal, Professional, and Contextual Inquiry Of The Affective Learning Domain .Vol.6, No.4.

    Parr, Judi M., dan and Helen S. Timperley. 2008. Teachers, Schools and Using

    Evidence : Considerations of Preparedness. Vol. 15, No. 1.

    Prabhakaram. 2006. Concept Attainment Model in Mathematics Teaching. Delhi :

    Arora Offser Press.

    Prianggita, Veny Agustini. 2016. Penerapan Model Konsiderasi dan Pembentukan

                Rasional dalam Pembelajaran. Vol.2, No.1.

    Putranta, Himawan. 2018. Model Pembelajaran Kelompok Sistem Perilaku :

                Behavior System Group Learning Model.

    Shidduqui,Majibul Hassan, and Mohd. Sharif Khan. 2007. Model Of Teaching

    Teory and Research. Delhi : Balaji Offset.

    Spaniol, Marc. 2009. Advance in Web Besade Learning – ICWL 2009. Berlin :

    Springer.

    Soenarko, mujiwati. 2015. Peningkatan Nilai Kepedulian Sosial Melalui

    Modifikasi Model Pembelajaran Konsiderasi Pada Mahasiswa Tingkat I Program Studi PGSD FKIP Universitar Nusantara PGRI Kediri. ISSN: 2355-7621.

    Viswanath. 2006. Model Of Teahing in Enviromental Education. Delhi : Arora

    Offset Press.

    Yulhendri, dan Rita syofyan. 2016. Pendidikan Ekonomi untuk Sekolah Menengah.

                Jakarta : Kencana.

    Yulida, dkk. 2017. Model Konsiderasi Untuk Melatih Keterampilan Sosial Anak

                Dengan Hambatan Emosi Dan Prilaku. Departemen Pendidikan Khusus:

                Unuversitas Pendidikan Indonesia. Vol. 18 (2).

  • Makalah Hasil Belajar dan Materi Ajar

    Hasil Belajar dan Materi Ajar

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Masalah penting yang sering dihadapi oleh guru dalam kegiatan pembelajaran adalah hasil belajar yang tidak sesuai harapan dan pemilihan atau penentuan bahan ajar yang tepat dalam rangka membantu siswa mencapai kompetensi. Dalam kegiatan proses belajar mengajar, memiliki pengaruh besar terhadap proses kegiatan belajar mengajar itu sendiri. Hal ini disebabkan karena kurikulum atau silabus, materi bahan ajar hanya dituliskan secara garis besar dalam bentuk materi pokok. 

    Sudah menjadi tugas guru untuk menjabarkan materi pokok tersebut sehingga menjadi bahan ajar yang lengkap agar hasil belajar yang diinginkan dapat tercapai. Selain itu, bagaimana cara memanfaatkan bahan ajar juga merupakan masalah yang penting. Pemanfaatan yang dimaksud adalah bagaimana cara mengajarkannya ditinjau dari pihak guru dan cara mempelajarinya ditinjau dari pihak siswa.

    Karena itulah guru dituntut peka terhadap situasi yang dihadapinya sehingga guru dapat menyesuaikan diri dalam mengajar. Guru harus mengetahui situasi siswa, situasi kelas dalam proses belajar mengajar. Sebab, tiap siswa mengalami keragaman dalama hal kecakapan potensi yang memungkinkan untuk berkembang. Misalnya, bakat, minat dan kecerdasan maupun kecakapan yang diperoleh dalam hasil pembelajaran. Situasi kelas juga dapat sangat menentukan terjadinya gairah yang memotivasi belajar siswa.

    Berbagai aspek tentang hasil belajar, faktor yang mempengaruhi hasil belajar, hubunga media pembelajaran dengan hasil belajar, bahan ajar (cara penulisan dan penyusunan bahan ajar), dan komponen utama bahan ajar merupakan pokok-pokok bahasan utama makalah ini.

    B. Rumusan Masalah

    1. Apa yang dimaksud dengan hasil belajar?
    2. Faktor apa saja yang mempengaruhi hasil belajar?
    3. Bagaimana hubungan media pembelajaran dengan hasil belajar?
    4. Bagaimana hakekat bahan ajar yang sebenarnya?
    5. Apa saja jenis atau bentuk dari bahan ajar?
    6. Bagaimana sistematika penulisan bahan ajar?

    Bab II. Pembahasan

    A. Hakikat Hasil Belajar

    Hasil belajar merupakan tujuan akhir dilaksanakannya kegiatan pembelajaran di sekolah. Hasil belajar dapat ditingkatkan melalui usaha sadar yang dilakukan secara sistematis mengarah kepada perubahan yang positif yang kemudian disebut dengan proses belajar. Akhir dari proses belajar adalah perolehan suatu hasil belajar siswa. Hasil belajar siswa di kelas terkumpul dalam himpunan hasil belajar kelas. Semua hasil belajar tersebut merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Dari sisi guru, tindak mengajar di akhiri dengan proses evaluasi hasil belajar, sedangkan dari sisi siswa, hasil belajar merupakan berakhirnya penggal dan puncak proses belajar (Dimyati dan Mudjiono, 2009: 3).

    Menurut Sudjana (2010: 22), hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajar. Selanjutnya Warsito (dalam Depdiknas, 2006: 125) mengemukakan bahwa hasil dari kegiatan belajar ditandai dengan adanya perubahan perilaku ke arah positif yang relatif permanen pada diri orang yang belajar. Sehubungan dengan pendapat itu, maka Wahidmurni, dkk. (2010: 18) menjelaskan bahwa sesorang dapat dikatakan telah berhasil dalam belajar jika ia mampu menunjukkan adanya perubahan dalam dirinya. Perubahan-perubahan tersebut di antaranya dari segi kemampuan berpikirnya, keterampilannya, atau sikapnya terhadap suatu objek.

    Jika dikaji lebih mendalam, maka hasil belajar dapat tertuang dalam taksonomi Bloom, yakni dikelompokkan dalam tiga ranah (domain) yaitu domain kognitif atau kemampuan berpikir, domain afektif atau sikap, dan domain psikomotor atau keterampilan. Sehubungan dengan itu, Gagne (dalam Sudjana, 2010: 22) mengembangkan kemampuan hasil belajar menjadi lima macam antara lain: (1) hasil belajar intelektual merupakan hasil belajar terpenting dari sistem lingsikolastik; (2) strategi kognitif yaitu mengatur cara belajar dan berfikir seseorang dalam arti seluas-luasnya termaksuk kemampuan memecahkan masalah; (3) sikap dan nilai, berhubungan dengan arah intensitas emosional dimiliki seseorang sebagaimana disimpulkan dari kecenderungan bertingkah laku terhadap orang dan kejadian; (4) informasi verbal, pengetahuan dalam arti informasi dan fakta; dan (5) keterampilan motorik yaitu kecakapan yang berfungsi untuk lingkungan hidup serta memprestasikan konsep dan lambang.

    Untuk mengetahui hasil belajar seseorang dapat dilakukan dengan melakukan tes dan pengukuran. Tes dan pengukuran memerlukan alat sebagai pengumpul data yang disebut dengan instrumen penilaian hasil belajar. Menurut Wahidmurni, dkk. (2010: 28), instrumen dibagi menjadi dua bagian besar, yakni tes dan non tes. Selanjutnya, menurut Hamalik (2006: 155), memberikan gambaran bahwa hasil belajar yang diperoleh dapat diukur melalui kemajuan yang diperoleh siswa setelah belajar dengan sungguh-sungguh. Hasil belajar tampak terjadinya perubahan tingkah laku pada diri siswa yang dapat diamati dan diukur melalui perubahan sikap dan keterampilan. Perubahan tersebut dapat diartikan terjadinya peningkatan dan pengembangan yang lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya.

    B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar

    Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar Menurut Munadi (Rusman, 2012:124) antara  lain meliputi faktor internal dan faktor eksternal:

    Faktor Internal
    1. Faktor Fisiologis. Secara umum kondisi fisiologis, seperti kesehatan yang prima, tidak dalam keadaan lelah dan capek, tidak dalam keadaan cacat jasmani dan sebagainya. Hal tersebut dapat mempengaruhi peserta didik dalam menerima materi pelajaran. 
    2. Faktor Psikologis. Setiap indivudu dalam hal ini peserta didik pada dasarnya memiliki kondisi psikologis yang berbeda-beda, tentunya hal ini turut mempengaruhi hasil belajarnya. Beberapa faktor psikologis meliputi intelegensi (IQ), perhatian, minat, bakat, motif, motivasi, kognitif dan daya nalar peserta didik.
    Faktor Eksternal
    1. Faktor Lingkungan. Faktor lingkungan dapat mempengurhi hasil belajar. Faktor lingkungan ini meliputi lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Lingkungan alam misalnya suhu, kelembaban dan lain-lain. Belajar pada tengah hari di ruangan yang kurang akan sirkulasi udara akan sangat berpengaruh dan akan sangat berbeda pada pembelajaran pada pagi hari yang kondisinya masih segar dan dengan ruangan yang cukup untuk bernafas lega.
    2. Faktor Instrumental. Faktor-faktor instrumental adalah faktor yang keberadaan dan penggunaannya dirancang sesuai dengan hasil belajar yang diharapkan. Faktor-faktor ini diharapkan dapat berfungsi sebagai sarana untuk tercapainya tujuan-tujuan belajar yang direncanakan. Faktor-faktor instrumental ini berupa kurikulum, sarana dan guru

    Menurut Sunarto (2009) faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar antara lain:

    • Faktor Internal

    Faktor internal adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam diri seseorang yang dapat mempengaruhi prestasi belajarnya. Diantara faktor-faktor intern yang dapat mempengaruhi prestasi belajar seseorang antara lain:

    1. Kecerdasan/intelegensi
    2. Bakat
    3. Minat
    4. Motivasi
    5. Faktor Eksternal

    Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang dapat mempengaruhi prestasi belajar seseorang yang sifatnya berasal dari luar diri seseorang tersebut. Yang termasuk faktor-faktor ekstern antara lain:

    a.    Keadaan lingkungan keluarga

    b.    Keadaan lingkungan sekolah

    c.    Keadaan lingkungan masyarakat 

    C. Hubungan Media Pembelajaran dengan Hasil Belajar

    Reigeluth dan Merril ( 1979 dan 1983 ) mengklasifikasikan variable pembelajaran menjadi tiga, yaitu:

    1.      Instructional conditions

    2.      Instructional methods

    3.      Instructional outcomes

    Instructional conditions, didefinisikan sebagai factor yang mempengaruhi metode pembelajaran dalam meningkatkan hasil pembelajaran. variable ini berinteraksi dengan metode pembelajaran, dan pada dasarnya tidak dapat dimanipulasi oleh perancang pembelajaran. variable ini harus diterima apa adanya, tetapi menjadi bahan pijakan dalam penetapan metode pembelajaran. contohnya seperti motivasi, minat, tingkat social siswa, bakat siswa, tingkat ekonomi dan sebagainya. Meskipun tidak dapat dimanipulasi, pada saat tertentu ia dapat pula dimanipulasi, jika pada saat posisinya berubah menjadi metode pembelajaran. contoh: siswa akan giat belajar, sebelum tes harian dilakukan, jika ada motivasi kepada siswa “Anak – anak, minggu depan tes harian! Bagi anak – anak yang memperoleh nilai 100, maka akan dapat hadiah berupa …”. Ini berarti kondisi sebelumnya siswa kurang berminat terhadap pelajaran tersebut. Oleh karena itu, guru menggunakan cara – cara agar memperoleh hasil tes meningkat.

    Instructional methods, didefinisikan sebagai cara – cara yang berbeda untuk mencapai instructional outcomes yang berbeda yang berada di bawah instructional conditions yang berbeda pula. Berarti strategi pembelajaran merupakan komponen variable dari instructional methods ( Degeng, 1997:10). Pada dasarnya semua variable yang diklarifikasikan ke dalam metode pembelajaran dimanipulasi oleh perancang pembelajaran untuk dilihat tingkat kefektifannya dalam mencapai hasil pembelajaran yang diinginkan.

    Instructional outcomes, mencakup semua kaibat yang muncul dari penggunaan suatu metode di bawah kondisi pembelajaran yang berbeda. Akibat-akibat inilah yang dapat dijadikan indicator ketercapaian kompetensi dasar. Oleh karea itu, indicator ketercapaian kompetensi dasar dapat berupa:

    1.      Hasil pembelajaran yang nyata (actual outcome)

    2.      Hasil pembelajaran yang diinginkan (desire outcomes) (Degeng, 1997:11)

    Berdasarkan uraian di atas, maka kedudukan strategi pembelajaran ada pada variable instructional methods dan ini sangat penting dikuasai oleh seorang guru ketika merancang pembelajaran. Ketika seorang guru akan melaksanakan pembelajaran dari rancangan yang telah disiapkan, maka bagaimana menata materi pembelajarannya, bagaimana menyajikannya, serta alat apa yang akan digunakannya, disitulah peran kedudukan strategi pembelajaran.

    Berdasarkan pola tersebut di atas, maka hubungan media pembelajaran audio visual dengan hasil belajar merupakan hubungan kualitas. Artinya hasil belajar sangat dipengaruhi oleh pemilihan media pembelajaran yang tepat, yang sesuai dengan materi yang ingin disampaikan, sebaliknya hasil belajar yang diinginkan juga menjadi perhatian yang serius dalam memilih media pembelajaran yang tepat.

    D.    Hakekat Bahan Ajar.

    Bahan ajar adalah segala bentuk materi yang digunakan untuk membantu guru/instruktor dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Materi yang dimaksud bisa berupa materi tertulis, maupun materi tidak tertulis. Bahan ajar atau materi pembelajaran (instructional materials) adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari siswa dalam rangka mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan. Secara terperinci, jenis-jenis materi pembelajaran terdiri dari pengetahuan (fakta, konsep, prinsip, prosedur), keterampilan, dan sikap atau nilai. Bahan ajar adalah materi yang harus dipelajari siswa sebagai sarana untuk mencapai standar kompetensi dan kompetensi dasar (Gafur, 2004).

    Bahan ajar mempunyai struktur dan urutan yang sistematis, menjelaskan tujuan instruksional yang akan dicapai, memotivasi peserta didik untuk belajar, mengantisipasi kesukaran belajar peserta didik sehingga menyediakan bimbingan bagi peserta didik untuk mempelajari bahan tersebut, memberikan latihan yang banyak, menyediakan rangkuman, dan secara umum berorientasi pada peserta didik secara individual (learner oriented)Biasanya, bahan ajar bersifat mandiri, artinya dapat dipelajari oleh peserta didik secara mandiri karena sistematis dan lengkap (Panen dan Purwanto, 1997).

    Menurut Gafur (2004) bahan ajar adalah pengetahuan, keterampilan dan sikap yang harus diajarkan oleh guru dan dipelajari oleh siswa. Bahan ajar tersebut berisi materi pelajaran yang harus dikuasai oleh guru dan disampaikan kepada siswa. Bahan ajar merupakan salah satu bagian dari sumber belajar yang dapat diartikan sesuatu yang mengandung pesan pembelajaran, baik yang diniati secara khusus maupun bersifat umum yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembelajaran (Mulyasa, 2006). Dengan kata lain bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang digunakan untuk membantu guru/instruktur dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran di kelas. Bahan yang dimaksud bisa berupa bahan tertulis maupun bahan tidak tertulis.

    Menurut Mulyasa (2006) menjelaskan bahan ajar atau materi pembelajaran (instructional materials) secara garis besar terdiri dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari siswa dalam rangka mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan. Secara terperinci, jenis-jenis materi pembelajaran terdiri dari pengetahuan (fakta, konsep, prinsip, dan prosedur), keterampilan, dan sikap atau nilai.

    Bahan ajar memiliki fungsi strategis bagi proses pembelajaran yang dapat membantu guru dan siswa dalam kegiatan pembelajaran, sehingga guru tidak terlalu banyak menyajikan materi. Disamping itu, bahan ajar dapat menggantikan sebagian peran guru dan mendukung pembelajaran individual. Hal ini akan memberi dampak positif bagi guru, karena sebagian waktunya dapat dicurahkan untuk membimbing belajar siswa. Dampak positifnya bagi siswa, dapat mengurangi ketergantungan pada guru dan membiasakan belajar mandiri. Hal ini juga mendukung prinsip belajar sepanjang hayat (life long education).

    Menurut Panen dan Purwanto (1997) bahan ajar berbeda dengan buku teks. Perbedaan antara bahan ajar dengan buku teks tidak hanya terletak pada format, tata letak dan perwajahannya, tetapi juga pada orientasi dan pendekatan yang digunakan dalam penyusunannya. Buku teks biasanya ditulis dengan orientasi pada struktur dan urutan berdasarkan bidang ilmu (content oriented) untuk dipergunakan oleh dosen atau guru dalam mengajar (teaching oriented). Sangat jarang buku teks dipergunakan untuk belajar mandiri, karena memang tidak dirancang untuk itu. Dengan demkian, penggunaan buku teks memerlukan dosen atau guru yang berfungsi sebagai penterjemah yang menyampaikan isi buku tersebut bagi peserta didik.

    Bahan ajar adalah segala bentuk bahan ajar yang digunakan untuk membantu guru/instruktur dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas. Bahan yang dimaksud bias berupa bahan tertulis maupun tidak tertulis.

    Bahan ajar adalah materi yang disusun secara sistematis. Struktur dan urutannya sistematis, menjelaskan tujuan instruksional yang akan dicapai, memotivasi siswa untuk belajar, mengantisipasi kesukaran siswa dengan meyediakan bimbingan belajar, memberi latihan yang cukup, menyediakan rangkuman, berorientasi kepada siswa secara individual.

    Bahan ajar yang baik dirancang sesuai dengan prinsip-prinsip instruksional. Guru dapat menulis sendiri bahan ajar yang ingin digunakan dalam kegiatan belajar mengajar (KBM). Namun, guru juga dapat memanfaatkan buku teks atau bahan dan informasi lainnya yang sudah ada di pasaran untuk dikemas kembali atau ditata sedemikian rupa sehingga dapat menjadi bahan ajar. Bahan ajar biasanya dilengkapi dengan pedoman untuk siswa dan guru. Pedoman berguna untuk mempermudah siswa dan guru mempergunakan.

    E.     Jenis Bahan Ajar.

    Menurut Mulyasa (2006) dalam bukunya menyebutkan bahwa bentuk bahan ajar atau materi pembelajaran antara lain:

    1. Bahan cetak seperti; modul, buku , LKS, brosur, hand outleafletwallchart,
    2. Audio Visual seperti; video/ film,VCD
    3. Audio seperti; radio, kaset, CD audio, PH
    4. Visual; foto, gambar, model/ maket
    5. Multi Media; CD interaktif, computer Based, Internet

    Komponen utama bahan ajar adalah : 1) tinjauan materi; 2) pendahuluan setiap bab; 3) penyajian setiap bab; 4) penutup setiap bab; 5) daftar pustaka, dan 6) senarai. Setiap komponen mempunyai sub-sub komponen yang saling berintegrasi satu sama lain. Susunan komponen-komponen dan sub-sub komponen bahan ajar sama dengan strategi pembelajaran yang lazim digunakan guru dalan kegiatan pembelajaran. Selain itu, bahan ajar biasanya dilengkapi dengan berbagai macam ilustrasi. Ilustrasi memegang peranan penting dalam bahan ajar, karena dapat memperjelas konsep, pesan, gagasan, atau ide yang disampaikan dalam bahan ajar. Selain itu Ilustrasi yang menarik ditambah tata letak yang tepat, dapat membuat bahan ajar menarik untuk dipelajari.

    Disamping komponen-komponen bahan ajar dan ilustrasi, bahan ajar yang baik dan menarik mempersyaratkan penulisan yang menggunakan ekspresi tulis yang efektif. Ekspresi tulis yang baik akan dapat mengkomunikasikan pesan, gagasan, ide, atau konsep yang disampaikan dalam bahan ajar kepada pembaca/pemakai dengan baik dan benar. Ekspresi tulis juga dapat menghindarkan salah tafsir atau pemahaman.

    Yang biasa terjadi dalam pembelajaran adalah guru menyajikan materi kepada siswa, selanjutnya guru membantu siswa memahami materi yang disajikan. Dalam hal ini guru berfungsi sebagai nara sumber. Namun dalam era kurikulum baru, pembelajaran dengan pendekatan siswa aktif atau pembelajaran berpusat pada siswa, peran guru lebih ditekankan sebagai fasilitator. Peran guru sebagai fasilitator lebih penting dari pada sebagai nara sumber.

    Peran guru membantu dan mengarahkan pembelajaran, dengan cara sebagai berikut : 1) Membangkitkan minat belajar; 2) Menjelaskan tujuan; 3) Menyajikan materi dengan struktur yang baik; 4) Memberi kesempatan siswa berlatih dan memberi balikan; 5) Memperhatikan dan menjelaskan hal-hal yang sukar atau tidak dipahami; dan 6) menciptakan komunikasi dua arah

    Beberapa permasalahan yang dihadapi guru, dalam memenuhi kebutuhan pembelajaran bermutu, kurang dapat dipenuhi karena masalah ekonomi, kurangnya buku teks, padatnya jadwal mengajar, dan target pencapaian kurikulum. Dengan demikian dalam pembelajaran sebagian besar waktunya habis untuk menyajikan materi pembelajaran. Sebagian besar siswa pasif mempersiapkan. Kesempatan siswa berlatih atau menyelesaikan tugas mandiri sering kali tidak pernah dibimbing guru dan tidak diberi umpan balik.

    Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan menyusun bahan ajar. Bahan ajar yang disusun berdasarkan prinsip-prinsip instruksional yang baik akan dapat membantu guru untuk mengurangi waktu penyajian materi dan memperbanyak waktu pembimbingan bagi siswa, membantu dalam menyelesaikan target kurikulum dan mencapai tujuan pembelajaran.

    F.      Sistematika Penulisan Bahan Ajar.

    Ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam penyusunan bahan ajar atau materi pembelajaran. Prinsip-prinsip dalam pemilihan materi pembelajaran meliputi prinsip relevansi, konsistensi, dan kecukupan (Panen dan Purwanto, 1997).

    1. Prinsip relevansi artinya keterkaitan. Materi pembelajaran hendaknya relevan atau ada kaitannya dengan pencapaian standar kompetensi dan kompetensi dasar. Misalnya, jika kompetensi yang diharapkan dikuasai siswa berupa menghafal fakta, maka materi pembelajaran yang diajarkan harus berupa fakta atau bahan hafalan.
    2. Prinsip konsistensi artinya keajegan. Jika kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa empat macam, maka bahan ajar yang harus diajarkan juga harus meliputi empat macam. Misalnya kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa adalah pengoperasian bilangan yang meliputi penambahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian, maka materi yang diajarkan juga harus meliputi teknik penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian.
    3. Prinsip kecukupan artinya materi yang diajarkan hendaknya cukup memadai dalam membantu siswa menguasai kompetensi dasar yang diajarkan. Materi tidak boleh terlalu sedikit, dan tidak boleh terlalu banyak. Jika terlalu sedikit akan kurang membantu mencapai standar kompetensi dan kompetensi dasar. Sebaliknya, jika terlalu banyak akan membuang-buang waktu dan tenaga yang tidak perlu untuk mempelajarinya.

    Cakupan Bahan Ajar Judul, MP, SK, KD, Indikator, Tempat Petunjuk belajar (Petunjuk siswa/guru) Tujuan yang akan dicapai Informasi pendukung Latihan-latihan Petunjuk kerja Penilaian

    Bahan ajar disusun berdasarkan tujuan atau sasaran instruksional yang hendak dicapai sesuai Rencana Pembelajaran dan Program Pembelajaran. Proses menyusun bahan ajar, meliputi langkah-langkah sbb : 1) Perumusan tujuan instruksional atau standar kompetensi; 2) Melakukan analisis instruksional/kurikulum; 3) Menentukan perilaku awal siswa atau indikator kompetensi; 4) Merumuskan kompetensi dasar; 5) Menyusun rencana kegiatan; 6) Menyusun silabus; 7) Menulis/ menyusun bahan ajar; 8) Evaluasi bahan ajar dan perbaikan; dan 8) Digunakan

    Menurut Panen dan Purwanto (1997), penyusunan bahan ajar dapat dilakukan melalui beragam cara, dari yang termurah sampai yang termahal, dari yang paling sederhana sampai yang tercanggih. Secara umum ada tiga cara yang dapat ditempuh dalam menyusun bahan ajar, yaitu:

    1. Menulis sendiri (Starting From Scratch)

    Bahan ajar dapat ditulis sendiri oleh guru sesuai dengan kebutuhan siswa. Selain ditulis sendiri guru dapat berkolaborasi dengan guru lain untuk menulis bahan ajar secara kelompok, dengan guru-guru bidang studi sejenis, baik dalam satu sekolah atau tidak. Penulisan juga dapat dilakukan bersama pakar, yang memiliki keahlian di bidang ilmu tertentu. Disamping penguasaan bidang ilmu, untuk dapat menulis sendiri bahan ajar, diperlukan kemampuan menulis sesuai dengn prinsip-prinsip instruksional. Penulisan bahan ajar selalu berlandaskan pada kebutuhan siswa, meliputi kebutuhan pengetahuan, keterampilan, bimbingan, latihan, dan umpan balik. Untuk itu dalam menulis bahan ajar didasarkan: (a) analisis materi pada kurikulum, (b) rencana atau program pengajaran, dan (c) silabus yang telah disusun.

    1. Pengemasan kembali informasi (Information Repackaging)

    Dalam pengemasan kembali informasi, penulis tidak menulis bahan ajar sendiri dari awal (from scratch), tetapi penulis memanfaatkan buku-buku teks dan informasi yang sudah ada untuk dikemas kembali sehingga berbentuk bahan ajar yang memenuhi karakteristik bahan ajar yang baik, dan dapat dipergunakan oleh guru dan peserta didik dalam proses instruksional. Bahan atau informasi yang sudah ada di pasaran dikumpulkan berdasarkan kebutuhan dan tujuan pembelajaran. Kemudian ditulis kembali/ulang dengan dengn gaya bahasa yang sesuai untuk menjadi bahan ajar (digubah), juga diberi tambahan kompetensi atau keterampilan yang akan dicapai, bimbingan belajar, latihan, tes, serta umpan balik agar mereka dapat mengukur sendiri kompetensinya yang telah dicapai. Keuntunganya, cara ini lebih cepat diselesaikan dibanding menulis sendiri. Sebaiknya memperoleh ijin dari pengarang buku aslinya.

    1. Penataan informasi (Compilation atau Wrap Around Text)

    Selain menulis sendiri bahan ajar juga dapat dilakukan melalui kompilasi seluruh materi yang diambil dari buku teks, jurnal, majalah, artikel, koran, dll. Proses ini disebut pengembangan bahan ajar melalui penataan informasi (kompilasi).

    Proses penataan informasi hampir mirip dengan proses pengemasan kembali informasi. Namun, dalam proses penataan informasi tidak ada perubahan yang dilakukan terhadap buku teks, materi audiovisual, dan informasi lain yang sudah ada di pasaran. Jadi buku teks, materi audiovisual dan informasi lain tersebut digunakan secara langsung, hanya ditambahkan dengan pedoman belajar untuk peserta didik tentang cara menggunakan materi tersebut, latihan-latihan dan tugas yang perlu dilakukan, umpan balik untuk peserta didik dan dari peserta didik.

    Disamping itu materi dilengkapi dengan pedoman belajar untuk siswa, yang berisi : petunjuk penggunaan materi, latihan-latihan, dan tugas yang perlu dilakukan siswa, umpan balik. Materi tambahan berupa pedoman belajar untuk siswa perlu disusun oleh guru berdasarkan tujuan/standar kompetensi, indikator kompetensi, dan silabus. Penataan berurutan berdasarkan standar kompetensi dan indikator atau tujuan pembelajaran. Setelah tersusun rapi, guru memberi halaman penyekat berisi: nomor pertemuan, Tujuan Pembelajaran (kompetensi), pokok bahasan dan diskripsi singkat, bahan bacaan yang dikompilasi, tugas, dan lain-lain yang perlu diketahui siswa.

    Contoh Format Bahan Ajar terdiri dari :

                             1.            Tinjauan materi.

                             2.            Pendahuluan

                             3.            Penyajian.

                             4.            Penutup.

                             5.            Daftar pustaka.

                             6.            Senarai.

    BAB III

    KESIMPULAN

    1.    Hasil belajar adalah tujuan akhir dilaksanakannya kegiatan pembelajaran di sekolah. Hasil belajar dapat ditingkatkan melalui usaha sadar yang dilakukan secara sistematis mengarah kepada perubahan yang positif yang kemudian disebut dengan proses belajar

    2.    Faktor yang mempengaruhi  hasil belajar dapat dibedakan menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam diri seseorang yang dapat mempengaruhi prestasi belajarnya.Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang dapat mempengaruhi prestasi belajar seseorang yang sifatnya berasal dari luar diri seseorang tersebut.

    3.    Hasil belajar sangat dipengaruhi oleh pemilihan media pembelajaran yang tepat, yang sesuai dengan materi yang ingin disampaikan, sebaliknya hasil belajar yang diinginkan juga menjadi perhatian yang serius dalam memilih media pembelajaran yang tepat.

    4.    Bahan ajar merupakan informasi, alat dan teks yang diperlukan guru/instruktur untuk perencanaan dan penelaahan implementasi pembelajaran.

    5.    Bentuk bahan ajar atau materi pembelajaran antara lain adalah bahan cetak, audio visual, audio, visual, multimedia.

    6.    Sistematika bahan ajar mencakup dua bahasan pokok yaitu prinsip da langkah-langkah penyusuna bahan ajar. Prinsip yang perlu diperhatikan dalam penyusunan bahan ajar atau materi pembelajaran. Yaitu prinsip relevansiprinsip konsistensiprinsip kecukupan. Langkah-lagkah peyusunan baha ajar, 1) perumusan tujuan instruksional atau standar kompetensi; 2) melakukan analisis instruksional/kurikulum; 3) menentukan perilaku awal siswa atau indikator kompetensi; 4) merumuskan kompetensi dasar; 5) menyusun rencana kegiatan; 6) menyusun silabus; 7) menulis/ menyusun bahan ajar; 8) evaluasi bahan ajar dan perbaikan; dan 8) digunakan

    DAFTAR RUJUKAN

    Ali Muhammad Syaikh Quthb, 2005. Amal Shaleh Pengantar ke Surga dan Penyelamat dari Neraka,  Jakarta Timur : Pustaka al-Kautsar.

    Degeng, I.S. (1997). Strategi Pembelajaran: Mengorganisasi isi dengan Model Elaborasi. Malang: IKIP dan Ikatan Profesi Teknologi Pendidikan Indonesia 

    Depdiknas. 2006. Bunga Rampai Keberhasilan Guru dalam Pembelajaran (SMA, SMK, dan SLB). Jakarta: Depdiknas.

    Dimyati dan Mudjiono. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta.

    Gafur A. 2004. Pedoman Penyusunan Materi Pembelajaran (Instructional Material. Jakarta:Depdiknas

    Hamalik, Oemar. 2006. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: PT Bumi Aksara

    Mulyasa E. 2006. Kurikulum Yang Disempurnakan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

    Panen, P & Purwanto, 1997. Penulisan Bahan Ajar. Jakarta: Ditjen Dikti Depdikbud.

    Reigeluth, C.M. Merril MD. 1979. Classes of Instructional Variables Educational Technology.

    Rusman. (2012). Belajar dan Pembelajaran Berbasis Komputer Mengembangkan Profesionalisme Guru Abad 21. Bandung: ALFABETA 

    Sudjana, Nana. 1989. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung : Sinar Baru Algensido Offset.

    Sudjana, Nana. 2010. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. (Cet. XV). Bandung: PT. Ramaja Rosdakarya.

  • Makalah Budaya Popular

    Budaya Popular

    Bab I. Pendahuluan

    A. Latar Belakang

    Dari waktu ke waktu zaman terus berubah, dari yang sederhana menuju kepada yang lebih kompleks. Globalisasi juga ikut berperan dalam melakukan perubahan-perubahan di dunia. Globalisasi juga menjadi alat kapitalisme dalam mendistribusikan sesuatu yang bersifat budaya, yakni budaya populer.

    Dulu sebelum munculnya android, hp yang masih dalam bentuk java dan symbian merupakan produk unggulan, namun setelah munculnya hp android, hp java dan symbian pun menjadi kurang diminati, semua beralih ke hp model android. Dalam perkembangannya, hp android lebih populer jikalau dibandingkan hp model keduanya. Selain itu dalam hp android juga lebih banyak menggunakan aplikasi-aplikasi, seperti WhatsApp, BBM, dll. dengan karakter emoji yang terlihat lebih hidup, hal demikian tidak bisa digunakan oleh hp model java dan symbian yang paling bisa dipakai untuk SMS-an.

    Fenomena artis idola juga merupakan bagian dari budaya populer, misalnya saja artis kelas dunia yang keberadaannya telah menggeser artis-artis lokal. Tidak jarang orang-orang rela berdesakkan ketika artis internasional mempunyai jadwal konser di tanah air. Berapapun harga tiketnya, mereka rela untuk memperjuangkannya, hanya karena demi melihat sosok artis yang diidolakannya. Padahal jikalau kita sadari, semua itu hanyalah kesadaran palsu, lagi pula siapakah mereka artis internasional itu?, kenalkah mereka kepada kita?, kontribusi apa yang telah mereka berikan kedalam hidup kita?.

    Suatu budaya bisa menjadi populer dan mengglobal melalui media massa, seperti televise dan surat kabar, sebagai bagian dari proses kapitalisme. Budaya-budaya yang populer tersebut tidak jarang pula menggerus budaya lokal yang ada. Selain itu produk budaya juga sangat berpengaruh terhadap masyarakat, seperti halnya permainan tradisional  yang kian hari kian habis peminatnya, dan beralih kepada permainan yang sifatnya online. Padahal hal tersebut bisa menghilangkan identitas budaya lokal tertentu yang sebenarnya.

    Namun, perlu kita ketahui pula bahwa budaya populer tidak selamanya berdampak negatif. Dibalik semua itu juga akan kita dapati dampak-dampak positifnya. Semua itu kembali lagi kepada kita bagaimana cara kita bisa menyikapinya.

    B. Rumusan Masalah

    1. Apa yang dimaksud dengan “Budaya Pop”?
    2. Apa saja macam-macam bentuk budaya pop?
    3. Apa dampak yang disebabkan oleh adanya budaya pop?

    C. Tujuan Penelitian

    1. Mengetahui arti dari “Budaya Populer”
    2. Mengetahui macam-macam bentuk budaya populer
    3. Mengetahui dampak yang disebabkan oleh adanya budaya populer

    Bab II. Pembahasan

    A. Pengertian Budaya Pop

    Budaya Pop berasal dari dua kata, yaitu kata “Budaya” dan “Pop”. Sebelum kita melangkah jauh untuk mengetahui arti dari kata budaya pop, maka perlu kita ketahui pula arti dari masing-masing kata tersebut. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Budaya adalah (1) pikiran; akal budi, (2) adat istiadat, (3) sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju), (4) sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah. Selain itu budaya juga diartikan sebagai cara manusia memberikan respons kepada lingkungannya, agar dia bisa survive dan menang. Sedangkan kata “Pop” sendiri berasal dari kata “Populer” yang dalam KBBI diartikan sebagai sesuatu yang dikenal dan disukai orang banyak (umum), sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada umumnya; mudah dipahami orang banyakdisukai dan dikagumi orang banyak. Maka budaya pop atau budaya popular dapat diartikan sebagai sesuatu yang sudah berkembang kemudian menjadi kebiasaan dan disukai oleh banyak orang.

    Stuart Hall menggambarkan budaya pop misalnya sebagai “sebuah arena konsensus dan resistensi. Budaya pop merupakan tempat dimana hegemoni muncul, dan wilayah dimana hegemoni berlangsung. Ia bukan ranah dimana sosialisme, sebuah kultur sosialis—yang telah terbentuk sepenuhnya—dapat sungguh-sungguh diperhatikan. Namun, ia adalah salah satu tempat dimana sosialisme boleh jadi diberi legalitas. Itulah mengapa ‘budaya pop’ menjadi sesuatu yang penting.”

    B. Macam-macam Bentuk Budaya Pop

    Budaya pop merupakan dialektika antara hegemonisasi (penyeragaman) dengan heterogenisasi (keragaman). Konsep keragaman (heterogenisasi) dalam budaya pop juga diungkapkan bahwa terdapat dua bagian terpisah dalam budaya popular, yakni: Pertama, budaya popular menawarkan keragaman ketika ia diinterpretasi ulang oleh masyarakat yang berbeda dilain tempat. Kedua, budaya pop itu sendiri dipandang sebagai sekumpulan genre, teks, citra yang bermacam-macam dan bervariasi yang dapat dijumpai dalam bebagai media, sehingga sukar kiranya sebuah budaya pop dapat dipahami dalam kriteria homogenitas dan standarisasi baku.

    Budaya merupakan suatu kajian yang sangat menarik sekali untuk dikaji. Kurang lebih ada empat ideologi budaya yang ada di Indonesia yaitu budaya agama, budaya lokal, budaya nasional maupun budaya populer. Akan tetapi dalam perkembangannya, keempat macam-macam budaya tersebut adakalanya saling berseberangan, dimana budaya agama yang cenderung berorientasi kepada pasca-duniawi seringkali berseberangan dengan budaya popular yang kebanyakan berorientasi kepada duniawi. Budaya lokal juga sering tergerus identitasnya oleh budaya popular, begitupula budaya nasional.

    Dari keempat ideologi budaya tersebut, budaya nasional bisa dibilang adalah yang paling lemah, terbukti dengan masih adanya kasus-kasus di Negara ini yang seringkali terjadi konflik dengan mengatasnamakan etnis dan agama. Namun diantara keempat budaya tersebut, sebagai anak kandung dari kapitalisme, budaya popular adalah yang paling bisa merasuk kepada ideologi-ideologi tersebut. Meskipun dalam perjalanannya hadangan dari budaya agama, budaya lokal, dan budaya nasional selalu ada.  Ada beberapa macam-macam bentuk budaya populer, diantaranya sebagai berikut:

    1. Televisi
    2. Fiksi
    3. Film
    4. Surat Kabar dan Majalah
    5. Musik Pop
    6. Konsumsi dalam Kehidupan Sehari-hari.

    C. Dampak yang Disebabkan oleh Adanya Budaya Pop

    Ada dua hal yang utama dalam budaya populer ini. Pertama, suatu budaya populer memiliki karakter negatif karena dia diproduksi secara massal hanya untuk memenuhi kepuasan si pendengar atau si peniru yang membayarnya. Hanya dengan alasan komersial atau mencari keuntungan materi, karakter negatif dari produk kebudayaan tidak disaring, malahan cenderung dilanggengkan. Bisnis adalah bisnis, begitulah yang mereka katakan.

    Kedua, budaya populer juga memiliki akibat dan pengaruh yang negatif. Contohnya, ketika kita menonton televisi atau pun video di youtube, terkadang kita seringkali terpengaruh oleh model-model yang ada pada film tersebut, intinya produk gaya hidup kita terpengaruhi atau diresapi oleh gaya hidup orang yang berbeda.

    Selain itu dampak negatif dari budaya pop juga cenderung membuat kita menjadi lebih hedonistik. Iklan menjadi sarana dalam melancarkan jalannya kapitalisme, tidak jarang pemuda di Indonesia menjadi korban iklan. Menurut Marcuse, pengiklanan mendorong kebutuhan palsu—misalnya, keinginan untuk menjadi jenis orang tertentu, mengenakan tipe pakaian tertentu, memakan macam makanan tertentu, meminum minuman khusus, menggunakan barang-barang khusus dan seterusnya.

    Perlu kita ketahui pula, bahwa dalam budaya pop juga ada dampak yang positif, seperti halnya dalam televisi yang didalamnya juga menayangkan acara-acara yang bermanfaat, dan dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Intinya, budaya pop meskipun dipandang mempunyai dampak yang negatif, tidak akan negative lagi apabila disikapi dengan baik. Semuanya kembali lagi kepada diri kita bagaimana cara untuk menyikapinya.

    Bab III. Penutup

    A. Kesimpulan

    budaya pop atau budaya popular dapat diartikan sebagai sesuatu yang sudah berkembang kemudian menjadi kebiasaan dan disukai oleh banyak orang. Ada beberapa macam-macam bentuk budaya populer, diantaranya sebagai berikut:

    7.      Televisi

    8.      Fiksi

    9.      Film

    10.  Surat Kabar dan Majalah

    11.  Musik Pop

    12.  Konsumsi dalam Kehidupan Sehari-hari.

    Ada dua hal yang utama dalam budaya populer ini , yaitu dampak positif dan dampak negatif. Semua itu kembali lagi kepada kita bagaimana cara kita bisa menyikapinya.

    2.      Saran

    Maka dengan adanya materi “Budaya Populer “. Marilah kita memahami mendalam tentang Makna Filosofi Budaya Populer (Filterisasi) menyaring budaya populer yang berkembang di Era Modernitas ini. Agar terciptanya masyarakat yang aman , tentram , dan damai.

    Penulis menyadari bahwa makalah ini banyak kekurangan baik dari segi materi maupun dari segi penulisan. Kami mengharap kritik dan saran dari pembaca yang membangun demi perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan umumnya bagi para pembaca. Amin

    DAFTAR PUSTAKA

    Djokosantoso Moeljono, Budaya Organisasi dalam Tantangan, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2006), hlm. 71.

    John Storey, Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop, (Yogyakarta: Jalastura, 2010), hlm. 3.

    KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)

    Hatib Abdul Kadir Olong, Tato, (Yogyakarta: LKiS, 2006), hlm. 16.

    Aprinus Salam, Kebudayaan Sebagai Tersangka, Hlm. 86

    Sukron Abdillah, Hidup Sehat ala Punk Hardcore, (___: DAR! Mizan, 2006),

     hlm. 105.

    John Storey, Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop, (Yogyakarta: Jalastura, 2010), hlm. 145.