Makalah Pemerataan Pendidikan di Indonesia

12 min read

Pemerataan Pendidikan di Indonesia

Bab I. Pendahuluan

A. Latar Belakang

Era global ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan industri, kompetisi dalam semua aspek kehidupan ekonomi, serta perubahan kebutuhan yang cepat didorong oleh kemajuan ilmu dan teknologi. Untuk memenuhi perkembangan ilmu dan teknologi, diperlukan SDM yang berkualitas. Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia perlu ditingkatkan hingga ke pelosok negeri dan bagi masyarakat menengah ke bawah. Mereka yang paling memerlukan layanan pendidikan dalam mengantisipasi persaingan global di samping penyandang buta huruf adalah masyarakat miskin di tempat-tempat yang jauh dan tersebar.

Pembangunan pendidikan merupakan salah satu prioritas utama dalam agenda pembangunan nasional. Pembangunan pendidikan sangat penting karena perannya yang signifikan dalam mencapai kemajuan di berbagai bidang kehidupan: sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Karena itu, Pemerintah berkewajiban untuk memenuhi hak setiap warga negara dalam memperoleh layanan pendidikan guna meningkatkan kualitas hidup bangsa Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945, yang mewajibkan Pemerintah bertanggung jawab dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan kesejahteraan umum. Kurang meratanya pendidikan di Indonesia menjadi suatu masalah klasik yang hingga kini belum ada langkahlangkah strategis dari pemerintan untuk menanganinya.

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana kondisi pemerataan pendidikan di Indonesia?

2.      Bagaimana upaya pemerintah dalam melakukan pemerataan pendidikan di Indonesia?

C.    Tujuan Penulisan

1.      Untuk mengetahui bagaimana kondisi pemerataan pendidikan di Indonesia.

2.      Untuk mengetahui bagaimana upaya pemerintah dalam melakukan pemerataan pendidikan di Indonesia.

D.    Manfaat Penulisan

1.      Dapat mengetahui bagaimana kondisi pemerataan pendidikan di Indonesia.

2.      Dapat mengetahui bagaimana upaya pemerintah dalam melakukan pemerataan pendidikan di Indonesia.

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Kondisi Pemerataan Pendidikan Di Indonesia

Di Indonesia, yang paling memerlukan pendidikan adalah mereka yang berada di daerah miskin dan terpencil. Untuk mengatasi kebutuhan pendidikan bagi mereka adalah upaya penerapan cara non konvensional. Cara lain itu adalah memanfaatkan potensi, kemajuan serta keluwesan teknologi baru. Sekalipun teknologi baru seperti teknologi komunikasi, informasi dan adi-marga menawarkan pemerataan pendidikan dengan biaya yang relatif rendah, penggunaannya masih merupakan jurang pemisah antara ‘yang kaya’ dan ‘yang miskin’. Di samping itu, sekalipun teknologi dapat menjangkau yang tak terjangkau serta dapat menghadirkan pendidikan kepada warga belajar, mereka yang terlupakan tetap dirugikan karena bukan hanya tetap buta teknologi tetapi tertinggal dalam hal ilmu pengetahuan.

Mayoritas kaum miskin di Indonesia tinggal di tempat-tempat jauh yang terpencil. Mereka praktis kekurangan segalanya; fasilitas, alat-alat transportasi dan komunikasi di samping rendahnya pengetahuan mereka terhadap teknologi. Bila pendidikan ingin menjangkau mereka yang kurang beruntung ini kondisi yang proporsional harus diciptakan dengan memobilasasi sumber-sumber lokal dan nasional. Ketimpangan pemerataan pendidikan juga terjadi antarwilayah geografis yaitu antara perkotaan dan perdesaan, serta antara kawasan timur Indonesia (KTI) dan kawasan barat Indonesia (KBI), dan antartingkat pendapatan penduduk ataupun antargender.

Kurangnya pemerataan dan carut-marut pendidikan kita selama ini disebabkan pendidikan dikelola tidak secara profesional. Terjadi bongkar pasang kebijakan secara tidak konsisten, misalnya; penerapan kurikulum CBSA, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan kurikulum KTSP. Penggantian nama dari SMA ke SMU kembali lagi ke SMA, sebelum diadakan evaluasi hasil pelaksanaannya.

Terbatasnya ketersediaan buku juga merupakan salah satu faktor terpenting penyelenggaraan pembelajaran yang berkualitas. Namun demikian berbagai sumber data termasuk SUSENAS 2004 mengungkapkan bahwa tidak semua peserta didik dapat mengakses buku pelajaran baik dengan membeli sendiri maupun disediakan oleh sekolah.

1.      Pemarataan pendidikan formal

a.       Pendidikan prasekolah dan sekolah dasar

Pendidikan prasekolah merupakan pendidikan pada anak usia dini, misal : playgroup dan taman kanak-kanak. Pada daerah perkotaan pendidikan prasekolah secara formal sudah sering ditemukan, tetapi untuk daerah terpencil seperti di pedesaan, masih sangat jarang dan mutunya sangat berbeda dengan pendidikan prasekolah yang ada di daerah perkotaan.

Pendidikan sekolah dasar memang sudah cukup dirasakan pemerataannya di berbagai daerah, hal ini sejalan dengan program wajib belajar 9 tahun, tetapi mutu dari pendidikan tersebut masih sangat berbeda antara daerah perkotaan dengan pedesaan.

Ketersediaan buku juga merupakan salah satu faktor sangat penting dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang berkualitas, namun buku pelajaran yang diperlukan itu belum tersedia secara memadai, terutama dalam pendidikan dasar. Data Susenas 2004 dan sumber-sumber yang lain mengungkapkan bahwa tidak semua peserta didik dalam pendidikan dasar dapat mengakses buku pelajaran, baik dengan membeli sendiri maupun mendapat pinjaman dari sekolah. Adanya sekolah-sekolah yang membolehkan guru mata pelajaran menjual buku yang berharga tinggi juga menjadi permasalahan tersendiri. Penjualan buku-buku dengan harga yang cukup tinggi membuat masyarakat yang kurang mampu merasa terbebani.

b.      Pendidikan menengah

Pada pendidikan menengah, saat ini banyak bermunculan sekolah-sekolah unggul. Dalam pelaksanaannya model sekolah ini hanya diperuntukkan untuk kalangan borjuis, elit, dan berduit yang ingin mempertahankan eksistensinya sebagai kalangan atas. Kalaupun ada peserta didik yang masuk ke sekolah dengan sistem subsidi silang itu hanya akal-akalan saja dari pihak sekolah untuk menghindari “image” di masyarakat sebagai sekolah mahal dan berkualitas,  sekolah plus, sekolah unggulan, sekolah alam, sekolah terpadu, sekolah eksperimen (laboratorium), sekolah full day, dan label-label lain yang melekat pada sekolah yang diasumsikan dengan “unggul”.

c.       Pendidikan tinggi

Untuk pendidikan tinggi persoalannya menyangkut pemerataan kesempatan dalam memperoleh pendidikan tinggi bagi warga negara dalam kelompok usia 19-24 tahun. Biaya yang diperlukan untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi memang sangat besar, sehingga hanya anak-anak yang berasal dari keluarga mampu saja yang memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan tinggi. Kebutuhan biaya baik langsung maupun tak langsung yang cukup besar inilah yang menyebabkan rendahnya partisipasi pendidikan pada jenjang perguruan tinggi.

Penyebaran geografis lembaga pendidikan tinggi unggulan di Indonesia juga tidak merata. Berbagai universitas terkemuka dipusatkan berada di pulau Jawa, sehingga masyarakat yang berada di pulau lain harus meninggalkan kampung halamannya demi melanjutkan pendidikan tinggi.

Kritik kini mulai bermunculan atas pelaksanaan Badan Hukum Milik Negara (BHMN) bagi beberapa universitas dan institut, seperti: UI, UGM, USU, UPI, ITB, dan IPB. BHMN dinilai telah mengarah ke komersialisasi pendidikan, yang bertentangan dengan misi utama sebuah lembaga pendidikan tinggi. Untuk bisa kuliah di universitas dan institut terpandang itu, orangtua mahasiswa harus mengeluarkan uang puluhan juta rupiah.

Ada beberapa argument yang menyebabkan muncul gerakan protes atas gejala komersialisasi pendidikan tinggi. Pertama, pendidikan tinggi yang selama ini bersifat elitis akan semakin bertambah elitis. Perguruan tinggi bertarif mahal akan makin mengentalkan watak elitisme dan kian mereduksi jiwa egalitarianisme. Gejala ini jelas bertentangan dengan prinsip pemerataan pendidikan seperti diamanatkan di dalam UU Sistem Pendidikan Nasional. Prinsip dasar pemerataan ini sangat penting guna memberikan kesempatan bagi semua golongan masyarakat, untuk memperoleh pelayanan pendidikan yang baik. Kedua, ada alasan ideologis di balik gerakan protes itu. Selama ini, yang bisa menikmati pendidikan tinggi adalah orang-orang yang berasal dari keluarga kelas menengah. Bagi orang-orang yang berasal dari kelas bawah (keluarga miskin) mengalami kesulitan mendapatkan akses pendidikan tinggi dengan biaya yang mahal itu. (Eka, R. 2007).

2.      Pemerataan pendidikan nonformal

Di samping menghadapi permasalahan dalam meningkatkan akses dan pemerataan pendidikan di jalur formal, pembangunan pendidikan juga menghadapi permasalahan dalam peningkatan akses dan pemerataan pendidikan non formal.

Pada jalur pendidikan non formal juga menghadapi permasalahan dalam hal perluasan dan pemerataan akses pendidikan bagi setiap warga masyarakat. Sampai dengan tahun 2006, pendidikan non formal yang berfungsi baik sebagai transisi dari dunia sekolah ke dunia kerja (transition from school to work) maupun sebagai bentuk pendidikan sepanjang hayat belum dapat diakses secara luas oleh masyarakat. Pada saat yang sama, kesadaran masyarakat khususnya yang berusia dewasa untuk terus-menerus meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya masih sangat rendah. Apalagi pendidikan non formal, pada umumnya membutuhkan biaya yang cukup mahal sehingga tidak dapat terangkau oleh masyarakat menengah ke bawah.

3.      Permasalahan pemerataan pendidikan di Indonesia

Pemerataan pendidikan dalam arti pemerataan kesempatan untuk memperoleh  pendidikan telah lama menjadi masalah yang mendapat perhatian, terutama di negara sedang berkembang. Peningkatan pemerataan pendidikan, diutamakan bagi kelompok masyarakat miskin yang berjumlah sekitar 38,4 juta atau 17,6 persen dari total penduduk. Kemiskinan menjadi hambatan utama dalam mendapatkan akses pendidikan. Selain itu, daerah-daerah di luar Jawa yang masih tertinggal juga harus mendapat perhatian gunamencegah munculnya kecemburuan sosial. Pemerataan pendidikan di Indonesia merupakan masalah yang sangat rumit. Ketidakmerataan pendidikan di Indonesia ini terjadi pada lapisan masyarakat miskin. Faktor yang mempengaruhi ketidakmerataan ini disebabkan oleh faktor finansial atau keuangan Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin mahal biaya yang dikeluarkan oleh individu. Indonesia merupakan negara berkembang yang sebagian besar masyarakatnya hidup pada taraf yang tidak berkecukupan.

Masalah pemerataan pendidikan juga dipengaruhi oleh sarana dan prasarana. Di beberapa daerah di Indonesia terdapat banyak sekolah yang kurang terawat. Pada tahun 2006 sekitar 57,2 persen gedung SD/MI dan sekitar 27,3 persen gedung SMP/MTs mengalami rusak ringan dan rusak berat. Gedung SD/MI yang dibangun secara besar-besaran pada saat dimulainya Program Inpres SD tahun 1970-an dan Program Wajib Belajar Enam Tahun pada tahun 1980-an sudah banyak yang rusak berat yang diperburuk dengan terbatasnya biaya perawatan dan perbaikan. Di bebrapa daerah terpencil sebagian gedung sekolah hanya terbuat dari kayu dan berlantaikan tanah. Hal ini diakibatkan oleh buruknya akses jalan menuju daerah tersebut dan kurangnya perhatian dari pemerintah.

Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54,8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut. Berbagai permasalahan dan tantangan yang masih dihadapi dalam penyelenggaraan pemerataaan peendidikan.

a.       Pendidikan prasekolah,

Beberapa permasalahan yang masih dihadapi dewasa ini adalah sebagai berikut:

a)      Sebagian besar pendirian lembaga-lembaga pendidikan prasekolah yang diprakarsai oleh masyarakat masih berorientsi di wilayah perkotaan, sedangkan untuk wilayah-wilayah di pedesaan atau daerah terpencil dirasakan masih sangat kurang. Hal ini berakibat pada kurang adanya pemerataan kesempatan untuk pendidikan prasekolah.

b)      Masih terdapat pendirian/penyelenggaraan pendidikan prasekolah tidak memenuhi standar minimal baik dari segi sarana dan prasarana maupun mutu dan profesionalisme guru.

c)      Kondisi sosial ekonomi masyarakat di pedesaan dan daerah terpencil yang sebagian besar miskin telah menyebabkan kualitas gizi anak kurang dapat mendukung aktivitas anak didik dalam bermain sambil belajar.

d)     Banyak penyelenggaraan pendidikan prasekolah terutama dikota-kota besar, kurang memperhatikan kurikulum dengan mempraktekkan pola pendekatan terhadap anak didik terlalu berorientasi akademik dan memperlakukannya sebagai “orang dewasa kecil” yang dapat menyebabkan terjadinya proses pematangan emosi anak menjadi kurang seimbang.

b.      Pendidikan dasar

Dalam kaitannya dengan perluasan dan pemerataan program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, wajib belajar belum memiliki makna “compulsory” karena ketidakmampuan subsidi pemerintah untuk menjangkau masyarakat menengah ke bawah yang jumlahnya cukup besar dan secara ekonomi tidak mampu.

B.     Upaya Pemerintah dalam Melakukan Pemerataan Pendidikan Di Indonesia.

Untuk meningkatkan kualitas dan pemerataan pendidikan berbagai langkah akan diambil seperti peningkatan jumlah anak yang ikut merasakan pendidikan, akses terhadap pendidikan ini dihitung berdasarkan angka partisipasi mulai tingkat Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Umum. Dewasa ini, pemerintah telah melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan tingkat pendidikan masyarakatnya, hal itu dapat dilihat sejak tahun 1984, Indonesia telah berupaya untuk memeratakan pendidikan formal Sekolah Dasar, kemudian dilanjutkan dengan Wajib Belajar Sembilan Tahun pada tahun1994. Selain itu, pemerintah semakin intensif untuk memberikan bantuan berupa beasiswa, seperti Gerakan Orang Tua Asuh, Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

Di dalam Propenas 1999 dalamnya memuat program-program baik untuk Pendidikan Dasar dan Prasekolah, Pendidikan Menengah, Pendidikan Tinggi, maupun pendidikan luas sekolah. Di antara program-program tersebut terdapat Dasar dan Prasekolah, maupun Pendidikan Menengah penuntasan wajib belajar 9 tahun sebagai Program pembinaan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) bertujuan untuk menyediakan pelayanan kepada masyrakat yang tidak atau belum sempat memperoleh pendidikan formal untuk mengembangkan diri, sikap, pengetahuan dan keterampilan, potensi mengembangkan usaha produktif guna meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Untuk melaksanakan ini maka dilakukan usaha berupa: meningkatkan sosialisasi dan     jangkauan pelayanan pendidikan dan kualitas serta kuantitas warga belajar Kejar Paket B setara SLTP untuk mendukung wajib belajar 9 tahun, dan mengembangkan berbagai jenis pendidikan luar sekolah yang berorientasi pada kondisi dan potensi lingkungan dengan mendayagunakan prasarana dan kelembagaan.

Di samping itu terdapat pula upaya pemerataan pendidikan adalah menerapkan pada masyarakat yang kurang beruntung (masyarakat miskin, berpindah terasing, minoritas dan di daerah bermasalah, termasuk anak jalanan), seperti menempatkan satu guru, guru kunjung dan sistem tutorial, SD Pamong dan SD/Mts, SLTP/MTs terbuka. Untuk meningkatkan kulaitas pendidikan dasar dan prasekolah dilakukan dengan cara meningkatkan penyediaan, penggunaan, perawatan sarana dan prasarana pendidikan berupa buku pelajaran pokok, buku bacaan, alat peraga Spesial (IPS), IPA dan matematika, perpustakaan, laboratorium, serta ruang lain yang diperlukan.

Pada jenjang perguruan tinggi ada kegiatan pokok untuk memperluas memperoleh pendidikan tinggi bagi masyarakat. Kapasitas pendidikan tinggi secara geografis untuk memberikan kesempatan bagi kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah termasuk kelompok masyarakat dari daerah bermasalah, dengan menyelengarakan beasiswa perguruan tinggi sebagai pusat pertumbuhan di kawasan serta menyelenggarakan pembinaan program unggul di wilayah kedudukan perguruan tinggi. Salah satu upaya alternatif layanan pendidikan, khususnya bagi yang berpindah-pindah, terisolasi, SD dan MI kecil MI terpadu kelas jauh. Dari uraian di atas tampak jelas keinginan pemerintah untuk memajukan pendidikan baik pendidikan dasar dan prasekolah, pendidikan menengah, pendidikan luar sekolah dan pendidikan tinggi. Kegiatan yang sangat menonjol adalah upaya pemerataan pendidikan, wajib belajar 9 tahun serta pembinaan perguruan tinggi.

Pemerataan pendidikan dilakukan dengan mengupayakan agar semua lapisan masyarakat dapat menikmati pendidikan tanpa mengenal usia dan waktu. Untuk itu dilakukan pembinaan ke semua jenjang pendidikan baik pendidikan reguler ataupun terbuka seperti SD kecil, guru kunjung, SD Pamong, SLTP terbuka, pendidikan penyetaraan SD, SLTP dan SMU (paket A, B, C), dan pendidikan tinggi terbuka yang lebih dikenal pendidikan jarak jauh. Suatu bukti bahwa pemerintah serius mengelola pemerataan pendidikan dan penuntasan Wajib Belajar 9 tahun adalah kualitas dan jumlah SMP Terbuka. Program SMP Terbuka seudah berjalan 25 tahun sejaktahun 1979 yang telah menamatkan 245 ribu siswa dengan jumlah sekolah 2.870 unit sekolah, 12.871 Tempat Kegiatan Belajar (TKB ) dikan dianggarkannya Rp 90 miliar untuk meningkatkan(TKB), dan itu baru menjangkau 18% kebutuhan.

Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk menanggulangi ketidakmerataan pendidikan ini dengan cara Wajib Belajar Sembilan Tahun, pemberian beasiswa-beasiswa bagi masyarakat yang kurang mampu atau miskin, kemudian memberikan Bantuan Dana Operasional (BOS). Walaupun sudah diadakan sekolah gratis, Bantuan Dana Operasional (BOS), ataupun alokasi dana BBM, namun bantuan yang diberikan belum merata. Masih banyak masyarakat miskin yang tidak mendapatkan apa yang seharusnya mereka dapatkan, padahal seluruh rakyat berhak mendapatkan pendidikan yang layak.

1.      Wajib Belajar

Dalam sektor pendidikan, kewajiban belajar tingkat dasar perlu diperluas dari 6 ke 9 tahun, yaitu dengan tambahan 3 tahun pendidikan setingkat SLTP seperti dimandatkan oleh Peraturan Pemerintah 2 Mei 1994. Hal ini segaris dengan semangat “Pendidikan untuk Semua” yang dideklarasikan di konferensi Jomtien di Muangthai tahun 1990 dan Deklarasi Hak-Hak Azasi Manusia Sedunia Artikel 29 yang berbunyi: “Tujuan pendidikan yang benar bukanlah mempertahankan ‘sistem’ tetapi memperkaya kehidupan manusia dengan memberikan pendidikan lebih berkualitas, lebih efektif, lebih cepat dan dengan dukungan biaya negara yang menanggungnya”.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh bangsa Indonesia untuk meningkatkan taraf pendidikan penduduk Indonesia termasuk pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun yang diharapkan tuntas pada tahun 2008 yang dapat diukur antara lain dengan peningkatan angka partisipasi kasar jenjang pendidikan sekolah menengah pertama dan yang sederajat menjadi 95 persen. Namun demikian sampai dengan tahun 2006 belum seluruh rakyat dapat menyelesaikan jenjang pendidikan dasar.

2.      Alokasi subsidi BBM

Pengalihan alokasi subsidi bahan bakar minyak (BBM) oleh pemerintah yang sebagian diperuntukkan bagi sektor pendidikan dan kesehatan mungkin bisa menjadi penghibur. Dari dana kompensasi bidang pendidikan direncanakan terdistribusi dalam bentuk beasiswa. Sekitar 9,6 juta anak kurang mampu usia sekolah menjadi sasaran dari program alokasi ini.

Pada tahun 2003, setidaknya 1 dari 4 penduduk Indonesia termasuk miskin. Jika total penduduk Indonesia adalah sekitar 220 juta jiwa, maka berarti ada sekitar 60 juta jiwa saudara kita yang dalam kategori miskin. Artinya, apa yang sekarang sedang direncanakan pemerintah sangat mungkin belum dapat menjangkau semua rakyat miskin. Memang dibutuhkan cukup waktu untuk sampai ke situ. Yang jelas awal menuju ke arah itutelah dimulai. Dalam konteks ini sebaiknya dibuat suatu kriteria siapa yang bisa mendapatkan bantuan, dan siapa saja yang bisa menunggu giliran berikutnya. Kriteria itu penting agar bantuan yang diberikan kepada rakyat miskin tepat sasaran. Oleh karena itu, proses seleksi seharusnya benar didasarkan oleh data lapangan yang seakurat mungkin.

3.      Bidang Teknologi

Kemajuan teknologi menawarakan solusi untuk menyediakan akses pendidikan dan pemerataan pendidikan kepada masyarakat belajar yang tinggal di daerah terpencil. Pendidikan harus dapat memenuhi kebutuhan belajar orang-orang yang kurang beruntung ini secara ekonomi ketimbang menyediakan akses yang tak terjangkau oleh daya beli mereka.

Televisi saat ini digunakan sebagai sarana pemerataan pendidikan di Indonesia karena fungsinya yang dapat menginformasikan suatu pesan dari satu daerah ke daerah lain dalam waktu yang bersamaan. Eksistensi televisi sebagai media komunikasi pada prinsipnya, bertujuan untuk dapat menginformasikan segala bentuk acaranya kepada masyarakat luas. Hendaknya, televisi mempunyai kewajiban moral untuk ikut serta berpartisipasi dalam menginformasikan, mendidik, dan menghibur masyarakat yang pada gilirannya berdampak pada perkembangan pendidikan masyarakat melalui tayangan-tayangan yang disiarkannya.

Sebagai media yang memanfaatkan luasnya daerah liputan satelit, televisi menjadi sarana pemersatu wilayah yang efektif bagi pemerintah. Pemerintah melalui TVRI menyampaikan program-program pembangunan dan kebijaksanaan ke seluruh pelosok tanpa hambatan geografis yang berarti. Saat ini juga telah dirintis Televisi Edukasi (TV-E), media elektronik untuk pendidikan itu dirintis oleh Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi Pendidikan (Pustekkom), lembaga yang berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Ini untuk memberikan layanan siaran pendidikan berkualitas yang dapat menunjang tujuan pendidikan nasional. Tugasnya mengkaji, merancang, mengembangkan, menyebarluaskan, mengevaluasi, dan membina kegiatan pendayagunaan teknologi informasi dan komunikasi untuk pendidikan jarak jauh/terbuka. Ini dalam rangka peningkatan kualitas dan pemerataan pendidikan di semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan sesuai dengan prinsip teknologi pendidikan berdasarkan kebijakan yang ditetapkan Menteri Pendidikan Nasional.

Siaran Radio Pendidikan untuk Murid Sekolah Dasar (SRPM-SD) adalah suatu sistem atau model pemanfaatan program media audio interaktif untuk siswa SD yang dikembangkan oleh Pustekkom sejak tahun 1991/1992. SRPM-SD lahir dimaksudkan untuk meningkatkan mutu pendidikan dasar. Produk media audio lain yang dihasilkan oleh Pustekkom antara lain Radio Pelangi, audio integrated, dan audio SLTP Terbuka. Tentu saja, itu tadi, termasuk TV-E yang akan berfungsi sebagai media pembelajaran bagi peserta didik, termasuk mereka yang tinggal di daerah terpencil dalam rangka pemerataan kesempatan dan peningkatan mutu pendidikan (Eka, R. 2007).

4.      Pemanfaatan APBN untuk pendidikan

Dalam UU Nomor 20/2003 tentang sistem pendidikan nasional disebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Untuk memenuhi hak warga negara, pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.

Untuk mengejar ketertinggalan dunia pendidikan baik dari segi mutu dan alokasi anggaran pendidikan dibandingkan dengan negara lain, UUD 1945 mengamanatkan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Dengan kenaikan jumlah alokasi anggaran pendidikan diharapkan terjadi pembaharuan sistem pendidikan nasional yaitu dengan memperbaharui visi, misi, dan strategi pembangunan pendidikan nasional. Pendidikan nasional mempunyai visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.

Persentase anggaran pendidikan adalah perbandingan alokasi anggaran pendidikan terhadap total anggaran belanja negara. Sehingga anggaran pendidikan dalam UU Nomor 41/2008 tentang APBN 2009 adalah sebesar Rp 207.413.531.763.000,00 yang merupakan perbandingan alokasi anggaran pendidikan terhadap total anggaran belanja negara sebesar Rp 1.037.067.338.120.000,00. Pemenuhan anggaran pendidikan sebesar 20 persen tersebut disamping untuk memenuhi amanat Pasal 31 Ayat (a) UUD 1945, juga dalam rangka memenuhi Putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 13 Agustus 2008 Nomor 13/PUU-VI I 2008.

Menurut putusan Mahkamah Konstitusi, selambat-lambatnya dalam UU APBN Tahun Anggaran 2009, Pemerintah dan DPR harus telah memenuhi kewajiban konstitusionalnya untuk menyediakan anggaran sekurang-kurangnya 20 persen untuk pendidikan. Selain itu, Pemerintah dan DPR memprioritaskan pengalokasian anggaran pendidikan 20 persen dari APBN Tahun Anggaran 2009 agar UU APBN Tahun Anggaran 2009 yang memuat anggaran pendidikan tersebut mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan sejalan dengan amanat UUD 1945.

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Pemerataan pendidikan merupakan sautu masalah yang sangat rumit dan takkunjung selesai. Banyak hal yang mempengaruhi masalah pemerataan pendidikan di Indonesia seperti pendidikan masih berorientasi di wilayah perkotaan, jumlah masyarakat miskin cukup besar, dan banyaknya daerah yang terpencil dan sulit dijangkau oleh kendaraan. Berbagai upayapun telah dilakukan oleh pemerintah dalam mengatasi masalah pemerataan pendidikan seperti program wajib belajar 9 tahun, dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), relokasi subsidi BBM, dan penggunaan APBD. Namun upaya tersebut masih belum merata.

B.     Saran

Sebaiknya pemerintah lebih meningkatkan upaya-upaya pemerataan pendidikan di Indonesia dan pengawasan terhadap penyaluran bantuan yang diberikan masyarakat miskin seperti biaya siswa lebih ditingkatkan agar bantuan tersebut tepet sasaran.

DAFTAR PUSTAKA

Dirga. 2013. Kualitas pendidikan di Indonesia. http://dirgamath29.wordpress.com. diakses 18 Juni 2013

Eka, R. 2007. Kondisi Pemerataan Pendidikan di Indonesia. http://edu-articles.com. diakses 18 Juni 2013

Sri Lestari. 2012. Pemerataan Pendidikan. http://srilestari59.blogspot.com. diakses 18 Juni 2013

Laporan Praktikum Efek Fotolistrik

Efek Fotolistrik Bab I. Pendahuluan A. Latar Belakang Efek fotolistrik adalah fenomena terlepasnya elektron logam akibat disinari cahaya. Ditinjau dari perspektif sejarah, penemuan efek...
Ananda Dwi Putri
9 min read

Laporan Praktikum Tetes Minyak Milikan

Tetes Minyak Milikan Bab I. Pendahuluan A. Latar Belakang Elektron merupakan suatu dasar penyusun atom. Inti atom terdiri dari elektron (bermuatan negatif) dan proton...
Ahmad Dahlan
7 min read

Makalah Sifat Fantasi Dalam Tinjauan Psikologi

Sifat Fantasi Bab I. Pendahuluan Pada dasarnya psikologi mempersoalkan masalah aktivitas manusia. Baik yang dapat diamati maupun tidak secara umum aktivitas-aktivitas (dan penghayatan) itu...
Wahidah Rahmah
4 min read

Leave a Reply