Asas Kepastian dan Keadilan hukum

10 min read

Kepastian hukum adalah salah tujuan utama dari sistem peradilan hukum di Indonesia. Kepastian hukum sangat erat kaitannya dengan keadilan, bahkan sebagian orang beranggapan bahwa keadilan itu adalah kepastian hukum. Dan kepastian hukum dapat tercapai setelah proses peradilan telah selesai (adanya putusan pengadilan).

Dalam prakteknya di lapangan ternyata dapat kita lihat banyak sekali masyarakat pencari keadilan khususnya ekonomi lemah yang merasa tidak mendapatkan kepastian hukum. Hal ini disebabkan karena proses peradilan di Indonesia yang tergolong lama, dan biaya yang cukup mahal, padahal tujuan dibentuknya pengadilan itu salah satunya adalah untuk memperoleh kepastian hukum.

Secara teoritis penegakan hukum baik litigasi maupun non litigasi di Indonesia telah cukup baik sesuai dengan amanat Undang-undang, Namun pada perakteknya dapat kita saksikan bersama bahwa pada umumnya masyarakat di Indonesia masih banyak yang belum mendapatkan tujuan yang diharapkan seperti keadilan dan kepastian hukum. Hal ini adalah masalah yang signifikan dalam masalah hukum di Negara ini, salah satu penyebabnya adalah proses peradilan yang biayanya mahal, waktu yang panjang, serta proses yang tidak sederhana.

Dalam makalah ini penulis akan menguraikan masalah asas kepastian hukum di Indonesia yang kemudian dikaitkan dengan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.

Asas Kepastian Hukum

Asas secara bahasa artinya dasar hukum, dasar (sesuatu yang menjadi tumpuan berfikir atau berpendapat, dasar cita-cita (perkumpulan atau organisasi). Dalam Penjelasan Pasal 3 angka 1 Undang-undang No. 28 tahun 1999 , yang dimaksud dengan “Asas Kepastian Hukum” adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara.

Kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti, ketentuan atau ketetapan. Kepastian hukum merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna karena tidak lagi dapat dijadikan pedoman perilaku bagi semua orang. Ubi jus incertum, ibi jus nullum yang bermakna di mana tiada kepastian hukum, di situ tidak ada hukum.

Kepastian hukum adalah “sicherkeit des Rechts selbst” yang bermakna kepastian tentang hukum itu sendiri. Ada empat hal yang berhubungan dengan makna kepastian hukum. Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa hukum itu adalah perundang-undangan (gesetzliches Recht). Kedua, bahwa hukum itu didasarkan pada fakta (Tatsachen), bukan suatu rumusan tentang penilaian yang nanti akan dilakukan oleh hakim, seperti “kemauan baik”, ”kesopanan”. Ketiga, bahwa fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping juga mudah dijalankan. Keempat, hukum positif itu tidak boleh sering diubah-ubah. Berbicara mengenai kepastian, maka seperti dikatakan Radbruch, yang lebih tepat adalah kepastian dari adanya peraturan itu sendiri atau kepastian peraturan (sicherkeit des Rechts).

Ketidakpastian hukum, akan menimbulkan kekacauan dalam kehidupan masyarakat, dan akan saling berbuat sesuka hati serta bertindak main hakim sendiri. Keadaan seperti ini menjadikan kehidupan berada dalam suasana social disorganization atau kekacauan sosial.

Dalam menjaga kepastian hukum, peran pemerintah dan pengadilan sangat penting. Pemerintah tidak boleh menerbitkan aturan pelaksanaan yang diatur oleh undang-undang atau bertentangan dengan undang-undang. Apabila hal itu terjadi, pengadilan harus menyatakan bahwa peraturan demikian batal demi hukum, artinya tidak pernah ada sehingga akibat yang terjadi karena adanya peraturan itu harus dipulihkan seperti sediakala.

Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan

Sebagai suatu sistem, peradilan mempunyai mekanisme yang bergerak menuju kearah pencapaian misi dari hakikat keberadaan peradilan. Sistem peradilan menuntut adanya visi yang jelas agar aktivitas atau pelaksanaan peran peradilan berproses secara efektif dan efisien. Juga sebagai suatu sistem sosial peradilan merupakan salah satu penopang utama bagi masyarakat yang beradab dalam melakukan kehidupan sehari-harinya pada dunia modern dewasa ini. Karena itu, persepsi masyarakat terhadap pengadilan dan peradilan yang baik adalah kalau proses perkara pengadilan yang dilalui mulai dari pendaftaran sampai keluar putusan tidak berbelit-belit, efisien dan biaya ringan.

Makna “sederhana” mengacu pada complicated atau tidaknya penyelesaian perkara. Asas sederhana artinya caranya yang jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit. Yang penting disini ialah agar para pihak dapat mengemukakan kehendaknya dengan jelas dan pasti (tidak berubah-ubah) dan penyelesaiannya dilakukan dengan jelas, terbuka runtut dan pasti, dengan penerapan hukum acara yang fleksibel demi kepentingan para pihak yang menghendaki acara yang sederhana. Apa yang sudah sederhana, jangan sengaja dipersulit oleh hakim kearah proses pemeriksaan yang berbelit-belit dan tersendat-sendat.

Terkait dengan “cepat” ialah suatu proses pemeriksaan yang relatif tidak memakan jangka waktu yang lama sampai bertahun-tahun sesuai dengan kesederhanaan hukum acara itu sendiri. Sedangkan “ringan” disini mengacu pada banyak atau sedikitnya biaya yang harus dikeluarkan oleh pencari keadilan dalam menyelesaikan sengketanya di depan pengadilan. Biaya ringan dalam hal ini berarti tidak dibutuhkan biaya lain kecuali benar-benar diperlukan secara riil untuk penyelesaian perkara. Biaya harus ada tarif yang jelas dan seringan-ringannya. Segala pembayaran di pengadilan harus jelas kegunaanya dan diberi tanda terima uang. Pengadilan harus mempertanggung jawabkan uang tersebut kepada yang bersangkutan dengan mencatatkannya dalam jurnal keuangan perkara sehingga yang bersangkutan dapat melihatnya sewaktu-waktu.

Asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan ini pada dasarnya telah lama ada di pengadilan dan peradilan di Indonesia, antara lain dalam UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang kekuasaan kehakiman (pasal 4 ayat 2) dan penjelasan umum KUHAP angka 3 huruf e. Namun, kedua undang-undang tersebut dan UU Nomor 48 Tahun 29 (yang menggantikan UU Nomor 4 Tahun 2004) tidak menetapkan ukuran, norma atau nilai-nilai yang digunakan dalam menentukan bagaimana suatu peradilan dapat dikategorikan sebagai sederhana, cepat dan biaya ringan. Dalam penjelasan umum KUHAP angka 3 huruf e hanya menyebutkan “peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan.

Dalam surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1982, telah memberikan pedoman yang mengharuskan setiap perkara dapat diputus dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan dan bila batas waktu tersebut dilampaui, Ketua Pengadilan Negeri atau Ketua Pengadilan Tinggi yang bersangkutan harus melaporkan hal tersebut beserta alasan-alasannya kepada ketua Pengadilan Tinggi atau Ketua Mahkamah Agung.

Selanjutnya, sebagai suatu sistem kinerja peradilan diarahkan untuk terciptanya peradilan yang bersih, transparan dan mengedepankan nilai-nilai keadilan. Asas penyelenggaraan peradilan sederhana, cepat, biaya ringan dan transparan dimaksudkan antara lain agar akses masyarakat terhadap keadilan dapat terus-menerus dikembangkan.

Secara konkrit apabila dijabarkan bahwa dengan dilakukan peradilan secara sederhana cepat dan biaya ringan dimaksudkan supaya terdakwa (misalnya dalam perkara pidana) tidak diperlakukan dan diperiksa sampai berlarut-larut, dan terdakwa memperoleh kepastian prosedural hukum serta proses administrasi biaya perkara yang ringan dan tidak terlalu membebani. Terhadap penerapan asas ini dalam praktik peradilan dapatlah diberikan nuansa bahwa peradilan cepat dan sederhana tampak dengan adanya pembatasan waktu penanganan perkara baik perdata maupun pidana pada tingkat judex factie di pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tingkat Banding.

Asas sederhana dan cepat merupakan salah satu hal yang dituntut dalam proses pengadilan, bahwa publik menuntut agar mereka mendapatkan kemudahan yang didukung dengan sistem. Proses yang berbelit-belit akan menimbulkan frustasi dan ketidak adilan, tetapi tindakan yang prosedural harus pula dapat menjamin pemberian keadilan, dan proses yang sederhana harus pula menjamin adanya ketelitian dalam pengambilan keputusan.

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa tidak dibenarkan penegak hukum (terutama Hakim) menangani sesuatu perkara menghabiskan waktu yang berlarut-larut, sehingga tidak didapatkan kepastian hukum. Melainkan semakin cepat proses pengadilan semakin jelas kepastian hukum yang diterima.

D. Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan Dalam Pandangan Islam

Setelah Islam datang dan Allah SWT memerintahkan Nabi Muhammad Saw agar menyampaikan risalah, Allah pun memerintahkan juga agar Nabi Muhammad SAW menyelesaikan segala sengketa yang timbul. Kemudian setelah Nabi Muhammad SAW mendapatkan wahyu berupa al-Qur’an maka ditangan Nabi Muhammad tergenggam kekuasaan. Ketika ada berbagai perkara yang diajukan kepadannya maka perkara tersebut diputuskan hukumnya, sebagaimana halnya beliau memberikan fatwa apabila diajukan permohonan fatwa kepadannya.

Seperti kasus yang diriwayatkan dari Abi Hurairah dan Zaid bin Chalid bahwasannya keduannya berkata : saya mendatangi Rasulullah SAW dan ia berkata : Sesungguhnya anak laki-laki telah berbuat jahat kepada orang ini, dengan menzinai isterinya, dan bahwasannya saya di beri khamar bahwa saya terhadap anak laki-laki saya hukum rajam. Maka saya telah membayar ganti rugi kepadanya dengan seratus biri-biri dan seorang budak perempuan (walidah), maka Rasulallah SAW berkata maka saya akan sungguh-sungguh membuat keputusan diantara kamu berdua dengan kitab Allah SWT, budak perempuan dan biri-biri itu kembalikan, dan terhadap anak laki-laki anda seratus kali dera dan dibuang setahun : dan pergilah pagi-pagi kepadanya perempuan orang ini, apabila ia mengakui maka rajamlah dia. Maka berkata ia mengakui dan oleh karenanya Rasulullah SAW memerintahkan dan ia pun dirajam.

Pada zaman Rasulullah SAW, proses peradilan berlangsung dengan sangat sederhana. Dari contoh hadis diatas menunjukkan bahwa ketika ada orang memiliki permasalahan, maka orang tersebut menemui Rasulullah guna mendapatkan jalan keluar dari permasalahan tersebut. Tanpa harus menunggu waktu lama dan mencari tempat tertentu lagi (mesjid menjadi tempat penyelesaian perkara), putusan atau berupa fatwa langsung disampaikan Rasulullah setelah mendengar kesaksian dan pembuktian yang berperkara. Artinya asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan sudah berlangsung terlebih dahulu dijaman Rasulullah. Beda dengan saat ini yang seakan asas tersebut tidak berjalan dengan baik dan merata.

E. Asas Kepastian Hukum Dalam Pandangan Islam

Seperti kasus yang diriwayatkan dari Abi Hurairah dan Zaid bin Chalid diatas menunjukkan pula bahwa adanya kepastian hukum bagi siapa saja yang terlibat dalam permasalahan tersebut. Rasulullah dengan cepat dan tegas memberikan hukum yang pasti pada siapa saja yang jelas-jelas terbukti melakukan kesalahan dan pantas menerima hukum sesuai aturan yang berlaku dari Allah. Namun setelah Rasul wafat maka sahabat selaku penerus pun dapat menjadikan ijtihad sebagai pemberi kepastian hukum.

Pakar hukum Islam Indonesia menyatakan bahwa hingga sekarang masih ada yang memakai kata syari’at sebagai sinonim kata “din” dan “milat”. Ada pula yang membedakan syariat dengan fiqih. Syari’at adalah hukum-hukum yang telah jelas nash-nya, sedang fiqih adalah hukum-hukum yang zhanni, yang dapat masuk di dalamnya paham-paham manusia (ijtihad).

Seperti pada masa pemerintahan Umar bin Khatab r.a bahwasannya ada seseorang yang ditangkap karena ia kedapatan telah mencuri. Dalam kasus ini seorang pencuri tersebut telah mencapai nisob. Dalam hal ini Umar bin Khatab r.a langsung menyelesaikan perkara ini dengan mempertimbangkan kondisi sosial pada masa itu tanpa harus motong tangan pencuri tersebut tetapi melainkan hanya di ganti dengan memenjarakannya. Hal ini menunjukkan bahwa melihat kondisi sosial pada masa itu maka hukum memotong tangan dapat digantikan dengan memenjarakan pencuri dan hal itu merupakan ijtihad Umar bin Khatab r.a.

Dalam Islam objek peradilan adalah peradilan yang menyangkut semua hak, baik itu hak Allah SWT atupun hak manusia. Dalam perkembangannya setelah Rasullulah wafat, ketika pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Khatab beliau meletakkan undang dasar yang kukuh bagi peradilan yang kemudian dikirimkan kepada Abu Musa Al-Asy’ari. Sebagimana bunyi suratnya yakni:

“Sesungguhnya peradilan itu adalah fardhu yang dikukuhkan dan sunnah yang di ikuti. Maka fahamilah bila peradilan dibebankan kepadamu, karena sesungguhnya tiada bermanfaat membicarakan kebenaran tanpa melaksanakannya. Samakan hak semua orang dihadapanmu, di dalam pengadilanmu dan di dalam majelismu sehingga orang yang terpandang tidak mengiginkan kecenderunganmu kepadannya, dan orang yang lemah tidak menginginkan kecenderunganmu kepadannya, dan orang yang lemah tidak putus asas dari keadilanmu. Pembuktian itu wajib bagi orang mendakwa, dan sumpah itu wajib bagi orang yang menolak dakwaan. Perdamaian itu diperbolehkan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang menghalalkan yang haram atau mengharankan yang halal. Tidak ada halangan bagimu untuk memeriksa dengan akalmu dan mempertimbngkan dengan petunjukmu keputusan yang engkau telah putuskan pada hari ini agar engkau sampai pada kebenaran, karena sesungguhnya kebenaran itu harus dilaksanakan, dan kembali pada kebenaran itu lebih baik dari pada berkepanjangan dalam kebathilan. Fahamilah, fahamilah apa yang terasa ragu di dalam hatimu dari hal-hal yang tidak terdapat di dalam Kitab dan Sunnah. Kemudian ketahuilah hal-hal yang serupa dan semisal. Lalu kiaskanlah apa yang paling mendekatkan kepada Allah SWT dan mendekati kebenaran. Jadikanlah hak orang yang menuduh seolah-olah tiada atau jika berupa bukti berikanlah tenggang waktu yang secukupnya, bila dia mendatangkan buktinya maka berikanlah hak itu kepadannya. Akan tetapi bila dia tidak mendatangkan buktinya maka perkara itu berarti engkau anggap hahal ; cara yang demikian ini bertujuan menghilangkan keraguan dan menjelaskan kegelapan. Kaum muslimin itu sebanding sebagiannya dengan sebagian yang lain kecuali, orang yang didera karena melanggar had atau orang yang dikenal kesaksian palsunya atau orang yang dicurigai karena adanya hubungan erat atau nasab; karena sesungguhnya Allah SWT mengurusi urusan batinmu dan membuktikan dengan bukti-bukti dan sumpah-sumpah. Jauhilah olehmu kecemasan, ketidak sabaran, menyakiti lawan dan terombang ambing dalam permusuhan, karena kebenaran yang dilaksanakan pada tempatnya itu termasuk perbuatan yang dibesarkan oleh Allah pahalannya dan diabaikan simpanannya. Barang siapa yang benar niatnya dan menghadapi hawa nafsu maka urusannya yang ada antara dia sedang manusia akan tercukupkan oleh Allah. Barang siapa yang berupa-pura kepada manusia dengan perbuatan yang diketahui oleh Allah SWT dia sebenarnya tidak demikian, maka Allah akan membukakan aibnya. Bagimana pendapatmu tentang balasan dari orang di banding dengan kesegaran riski Allah SWT.dan perbendaaharaan rahmatnya.

Peradilan Islam yang berkembang dalam sejarah hukum Islam merupakan pranata hukum Islam yang melaksanakan hukum Islam itu sendiri. Dari segi bahasa, peradilan Islam disebut pula mahkamah syar’iyyah atau islamic court, sedang di-Indonesiakan identik dengan Peradilan Agama. Peradilan agama adalah salah satu lembaga peradilan khusus di Indonesia. Dua peradilan khusus lainnya adalah peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Dikatakan khusus karena peradilan Agama mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu. Dan diharapkan Peradilan Agama di Indonesia mampu melaksanakan sistem peradilan dengan adanya kepastian hukum serta menjalankan proses peradilan dengan menerapkan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan, begitu pula dengan pengadilan lainnya di Indonesia.

F. Konsep Keadilan Restoratif Dihubungkan Dengan Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan

Tujuan pokok dari hukum adalah ketertiban (order), kebutuhan terhadap ketertiban ini merupakan syarat pokok bagi adanya suatu masyarakat yang teratur. Ketertiban sebagai tujuan utama hukum merupakan suatu fakta objektif yang berlaku bagi segala masyarakat dalam segala bentuknya. Disamping ketertiban, tujuan lain dari hukum adalah keadilan dan manfaat yang berbeda-beda isi dan dimensinya, menurut masyarakat pada zamannya. Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat, yang didukung oleh sistem termasuk peradilan yang bebas, sederhana, cepat dengan biaya ringan.

Dengan demikian, kepastian hukum, keadilan dan manfaat hukum adalah tiga istilah yang berkaitan dengan cita hukum (tujuan hukum) yang sering disebut dalam beberapa tahun terakhir ini di Indonesia. Namun, mungkin tidak semua paham dan sadar tentang makna dari kedua istilah tersebut. Bahkan, di tengah parade sidang-sidang peradilan kasus-kasus politik berkembang pendapat bahwa kepastian hukum dapat dikesampingkan untuk mengupayakan keadilan seseorang. Hal ini hakikatnya telah merupakan upaya untuk membuat dikotomi antara kepastian hukum dengan keadilan, dua dari tiga cita hukum yang didambakan dalam negara hukum. Untuk memperoleh keadilan, tentunya dibutuhkan peradilan yang sederhana yang tidak membedakan antara rakyat kecil dengan penguasa. Peradilan yang cepat atau tidak berlarut-larut sesuai dengan amanat undang-undang. Karena kalau sudah berlarut-larut dikhawatirkan hilangnya kepastian hukum dan adanya celah bagi penguasa untuk melakukan hal-hal yang dilarang hukum yang akibatnya dapat mempengaruhi putusan Hakim. Dan yang terakhir untuk mencapai keadilan yang restoratif dibutuhkan peradilan yang mengeluarkan biaya yang ringan untuk tidak membedakan rakyat kecil dengan para pejabat, dan membuka peluang besar bagi masyarakat pada umumnya dan masyarakat kecil pada khususnya untuk beracara di peradilan dengan biaya yang ringan tersebut.

Salah satu tujuan Negara Republik Indonesia adalah melindungi segenap warganya dan menjamin tercapainya cita-cita bangsa indonesia dengan tertib dan selamat. Ini berarti dalam pelaksanaannya, tertib hukum wajib senantiasa ditumbuhkan sesuai dengan perkembangan kepentingan dan aspirasi dalam masyarakat. Apabila hal ini dapat diwujudkan, hukum akan merupakan alat penting yang luwes guna mencapai suatu suasana yang menguntungkan bagi pertumbuhan, pembangunan dan keselamatan bangsa yang merdeka. Salah satu sarana penting dalam penegakan hukum adalah adanya sistem peradilan bebas yang sederhana, cepat dan biaya ringan.

G. Penutup

Keadilan dan kepastian hukum sangat erat kaitannya, dengan adanya suatu keadilan maka akan didapatkan kepastian hukum. Kepastian hukum didapatkan jika adanya peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Namun jika peradilan dilakukan dengan biaya mahal, waktu yang panjang, proses sidang yang berbelit-belit, dikhawatirkan akan hilangnya kepastian hukum bahkan dapat memunculkan suatu ketidak adilan.

Jika dilihat dari sistem peradilan di Indonesia, Indonesia menganut asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Hal ini telah dituangkan dalam UU No. 14 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman, Asas-asas Hukum acara peradilan Agama, surat edaran Mahkamah Agung No. 6/1982, Penjelasan KUHAP angka 3 huruf e. Semua aturan ini memerintahkan secara tegas kepada para penegak hukum (Hakim, Jaksa, advokad) dan pencari keadilan agar menerapkannya dalam peraktek persidangan sehari-hari.

Namun pada prakteknya sehari-hari penulis melihat asas-asas tersebut belum tercapai secara baik, hal ini dapat dibuktikan dengan proses persidangan yang sangat lama yaitu lebih dari enam bulan atau sampai bertahun-tahun bahkan para pihak telah meninggal dunia baru keluar putusan pengadilan, contohnya dalam proses banding dan kasasi. Masalah yang kedua pada prakteknya proses persidangan memerlukan biaya yang tergolong mahal yang membuat masyarakat yang ekonomi lemah sulit untuk memenuhinya. Menurut hemat penulis asas-asas tersebut di Indonesia masih sulit dilakukan karena jumlah penegak hukum di Indonesia masih sangat kurang menguasai prinsip dari asas-asas tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, M. Hatta Peradilan Sederhana Cepat dan Biaya Ringan. Bandung : Alumni Bandung. 2012.
Arto, A. Mukti Mencari Keadilan (Kritik Dan Solusi Terhadap Praktik Paradilan Perdata di Indonesia). Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset. 2001.
Djalil, H. A. Basiq. Peradilan Islam. Jakarta : Amzah. 2012.
Haliman. Hukum Pidana Syari’at Islam Menurut Ajaran Ahlusunnah. Jakarta: PT . Bulan Bintang. 1971.
Harahap, M. Yahya. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (Undang undang No 7 Tahun 1989. Jakarta : Sinar Grafika Offset. 2003.
Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHP Penyidikan dan Penuntutan . Jakarta: Sinar Grfika. 2002.
Kansil, Cst. dkk. Kamus Istilah Hukum. Jakarta : Jala Permata Kasara. 2009.
KUHAP Lengkap. (Jakarta: Sinar Grafika. 2008.
Kusnadi, Didi. Bantuan Hukum dalam Islam. Bandung : Pustaka setia. 2012.
Madzkur, Muhammad Salam. Peradilan dalam Islam diterjemahkan oleh Imron AM. Surabaya: Pt Bina Ilmu . 1990.
Marzuki, Peter Mahmud. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2009.
Mulyadi, Lilik. Hukum Acara Pidana : Normatif, Teoritis, Praktik dan masalahnya. Bandung : Alumni. 2007
Rahardjo, Satjipto. Hukum Dalam Jagat Ketertiban. Jakarta: UKI Press. 2006.
Saabiq, As-Sayyid. Fikih Sunnah Jilid 14 dieterjemahkan oleh Mudzakir Aaz. Bandung : al- Ma’arif . 1986
Salim, H. Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. 2010
Setiawan. Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata. Bandung: Alumni Bandung. 1992.
Sudarsono. Kamus Hukum. Jakarta : PT Rineka Cipta. 1992.
UU No. 14 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman

Makalah Gotong Royong

Gotong Royong Bab I. Pendahuluan A. Latar Belakang Gotong royong adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama dan bersifat suka rela agar kegiatan yang...
Ahmad Dahlan
12 min read

Subtansi Filsafat Sebagai Ilmu

Filsafat sebagai landasan pemikiran Menurut pengertian umum, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran. Filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang hakikat....
Ahmad Dahlan
2 min read

Leave a Reply