Pemberontakan Petani Unra 1943 – Gerakan Sosial di Sulawesi Selatan

18 min read

Gerakan sosial, lahir pada mulanya sebagai suatu kelompok orang yang tidak puas terhadap suatu kondisi atau keadaaan. Kelompok itu semula tidak terorganisasi, dan tidak terarah, serta tidak memiliki perencanaan yang matang. Menurut Sartono Kartodirjo, gerakan sosial adalah gerakan perjuangan yang dilakukan oleh golongan sosial tertentu melawan eksploitasi ekonomi, sosial, politik, agama dan kultural oleh kelompok penekan termasuk itu penguasa atau Negara. Inilah termasuk dalam gerakan seperti kaum petani dan buruh.

Pemberontakan Petani Unra

Pemerintah kolonial Hindia Belanda, terusir dengan masuknya bala tentara pendudukan Jepang di Indonesia. Organisasi-organisasi pedesaan secara langsung dihubungkan dengan kepentingan perang dalam pengertian politik, ekonomi dan sosial budaya. Untuk tujuan ini, pemerintah pendudukan Jepang memperkenalkan lembaga-lembaga sosial baru kepada masyarakat Indonesia, khususnya kepada penduduk desa.

Kebijakan mobilisasi massa oleh pemerintah penduduk Jepang juga dilakukan dalam rangka memperlancar pelaksanaan politik perang di wilayah penduduk untuk mendukung upaya Jepang dalam memenangkan Perang Asia Timur Raya. Upaya pemerintah penduduk  Jepang ini ialah bagaimana untuk menarik simpati rakyat, dan mengindoktrinasi, mereka sehingga menjadi lebih bersimpati dan mendukung upaya Jepang untuk memobilisasi rakyat Indonesia menuju kesesuaian pandangan tentang “cita-cita menuju lingkungan kemakmuran Asia Timur Raya”.

Kerangka kebijakan politik perang pemerintah pendudukan Jepang, telah memberikan beberapa implikasi positif, seperti di bidang pendidikan, mengingat pada masa akhir pemerintah colonial Belanda, sebagian besar sekolah yang ada di tutup. Namun, ketika pendudukan Jepang masuk, sekolah-sekolah dibuka kembali, dan bendera Merah Putih dikibarkan, serta lagu kebangsaan Indonesia Raya diperdengarkan. Selain implikasi positif, pemerintah pendudukan Jepang juga mengandung implikasi negative dan merugikan rakyat Indonesia, terutama bagi rakyat di pedesaan, yang terdiri dari petani. Kebijakan yang sangat merugikan dan membawa penderitaan itu ialah diterapkannya sistem “ politik beras” atau wajib serah padi secara paksa terhadap petani di desa, yang bertujuan untuk kepentingan logistic bala tentara pendudukan Jepang dalam menghadapi Perang Asia Timur Raya, sebagaimana yang terjadi di desa Unra Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan pada tahun 1943. Faktor-faktor inilah yang memicu terjadinya perlawanan rakyat di pedesaan, terutama di daerah-daerah lumbung beras, seperti yang terjadi di daerah Desa Unra.

Selain faktor “wajib serah padi” yang menjadi faktor lain dalam memicu terjadinya pemberontakan petani ialah, perubahan struktur otoritas tradisional di pedesaan. Selama pemerintahan pendudukan Jepang, hubungan antara pemerintahan lokal, seperti kepala desa, lurah, dengan rakyatnya semakin melemah. Tidak lagi terjadi hubungan “melindungi dan dilindungi”, tetapi justru yang terjadi adalah para kepala desa atau lurah dijadikan wakil pemerintah pendudukan Jepang.

Maka dengan ini pemakalah mengambil judul mengenai tentang “ Pemberontakan Petani Unra  tahun 1943: Gerakan Sosial di Sulawesi Selatan Pada Massa Pendudukan Jepang”.

Penyebab Terjadinya Pemberontakan Petani Unra

Desa Unra yang terletak di bagian utara Kabupaten Bone, masuk dalam wilayah pemerintahan Kecamatan Awangpone. Letaknya 15 kilometer dari ibukota Kabupaten Bone, 185 kilometer dari Makassar, ibukota Provinsi Sulawesi Selatan. Desa ini berpenduduk sekitar 7000 Jiwa.

Kata Unra berasal dari kata “Unrainna Bone” yang artinya “benang pada jarum”. Jarum yang dimaksud adalah Bone, sedangkan yang dimakasud benang adalah Unra sendiri; sehingga antara Unra dan Bone tidak dapatt dipisahkan.

Rakyat Unra hidup dari bertani. Hal ini karena faktor geografis yang mendukung, yakni terdiri dari tanah persawahan yang subur dan luas. Dengan keadaan fisik dan kondisi daerah yang demikian itulah, Unra sangat menarik bagi pemerintah pendudukan Jepang untuk memobilisasi rakyat yang terdiri dari petani untuk memenuhi ambisi politiknya dalam hal pengumpulan padi atau beras.

Adanya faktor penghasilan penduduk yang rendah, dan panen yang gagal sebagai akibat dari musim kemarau yang panjang, atau cuaca hujan yang menyebabkan banjir dan rusaknya hasil panen telah membawa efek yang gawat pada kelangsungan hidup penduduk Unra, yang terdiri dari kaum petani. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau di daerah daerah yang demikian timbul pemberontakan dan perlawanan terhadap pemerintah jajahan. Dalam kategori inilah, ketika pemerintah pendudukan Jepang berkuasa di Sulawesi Selatan, Unra yang waktu itu gagal panen, karena musim kemarau yang panjang, dipaksa oleh pemerintah untuk menyetor hasil  padinya, melalui elite penguasa lokal. Akibat tekanan hidup yang mencekik leher ini, terjadilah keresahan sosial yang berujung pada pemberontakan.

Selain faktor ekologis, juga secara geografis letak Unra yang terpencil dalam wilayah kekuasaan kerajaan Bone, mungkin merupakan faktor lain yang dapat menjelaskan tradisi-tradisi mereka, sebagai masyarakat dengan watak yang keras, dan pembangkang. Apalagi ketika pemerintah kerajaan Bone tidak lagi memperhatikan rakyat Unra, karena adanya intervensi pemerintah pendudukan Jepang sebagai penguasa pusat, rakyat Unra justru menjadi lebih menderita karean hanya menjadi  pelayan pemerintah dalam memenuhi kepentinganya. Ini patut menjadi perhatian, sekaligus berkaitan dengan kecenderungan untuk memberontak.

Relung ekologis yang khas, yang ditempati oleh kaum petani menyebabkan mereka sangat rawan terhadap resiko, subtensi, yang mengakibatkan runtuhnya kedaulatan pangan petani. Petani Unra yang senantiasa hanya tergantung pada belas kasihan hujan, meskipun sawah menghampar luas, telah mengalami krisis subsistensi, yang disebabkan kemarau panjang, sehingga banyak penduduk Unra yang hanya mengkonsumsi bonggol pisang.

Kondisi subsistensi pada masa paceklik, sebagaimana yang terjadi di Unra pada masa pedudukan Jepang, telah menyebabkam rakyat sangat sulit memenuhi kebutuhan pangannya, ditambah dengan adanya kewajiban secara paksa untuk menyetor beras kepada pemerintah sebanyak 500 liter tiap rumah tangga petani.

Peristiwa dan Peran Tokoh Petani

A. Insiden di Rumah Ibanna sebagai Prolog

Pada tahun 1943, diawali dengan sebuah insiden di rumah Ibanna, tepatnya 10 September 1943. Ibanna adalah salah seorang petani penduduk Unra yang belum menyetor semua tunggakan yang diwajibkan oleh pemerintah kepad setiap penduduk Unra. Hal ini disebabkan karena yang bersangkutan tidak mampu lagi menumbuk padi karena usianya telah lanjut, sehingga tidak dapat memenuhi keinginan pemerintah. Waktu itu, Ibanna masih mendapat konsesi dari utusan“onderdistrik” Jaling. Yang dimaksud “onderdistrik” dalam tulisan ini ialah daerahkecamatan. Jadi, yang dimaksud utusan onderdistrik Jaling ialah utusan atau wakil pemerintah kecamatan yang berjanji suatu saat akan kembali lagi untuk menagih tunggakan setoran padinya. Tiga hari sebelum pemberontakan berkecamuk, kepala onderdistrik Jaling Andi Mannuhung dan para pengawalnya mendatangi lagi rumah Ibanna untuk mengambil beras. Tetapi, Andi Mannuhung bersama pengawalnya kecewa, sebab mereka hanya mendapatkan tiga bakul kecil beras yang sudah ditumbuk, sehingga utusan tersebut langsung naik ke loteng rumah (Bugis: rakkiang) untuk mengambil padi.

Menurut saksi mata, sebelum mereka mengambil padi, terlebih dahulu mereka membuka bubungan rumah Ibanna (Bugis: timpa’ laja) sebelah selatan, agar mudah mengambil padi yang ada di atas loteng. Kemudian, padi-padi itu diambil, dan dibuang ke tanah. Kejadian ini disaksikan sendiri oleh Ibanna, yang langsung melaporkannya kepada salah seorang keluarganya yang bernama Ipagga, dan berkata “tegapo melomate”, yang artinya” di mana lagi kau akan mati”. Mendengar perkataan seperti itu, Ipagga kemudian pergi ke tempat kejadian; akan tetapi, kedatangannya membuat suasana semakin panas, dan dia sendiri menjadi sasaran

kemarahan Andi Mannuhung dan para pengawalnya. Salah seorang pengawal, yakni Andi Dambu, langsung memukul Ipagga dengan pedang. Diperlakukan seperti itu, Ipagga melakukan perlawanan, tetapi tidak berdaya, dan ditangkap.

            Berita terkini tentang insiden tersebut segera tersebar Desa  Unra,  dan  perkampungan-perkampungan di sekitarnya. Tidak lama berselang, sejumlah  penduduk datang dan  berteriak   dalam bahasa Bugis, “lappessangngi’ annyarang’na, artinya: lepaskan kudanya. Yang dimaksud di sini ialah kuda-kuda yang dikendarai oleh Andi Mannuhung beserta pengawalnya, supaya  mereka  tidak  dapat  melarikan  diri.  Di  antara para penduduk  yang  datang  ke  tempat  kejadian,  ialah Hajji  Temmale,  seorang  tokoh  masyarakat  Unra  yang juga  menjabat  sebagai  Sekretaris  Desa  atau  jurutulis desa (Bugis: Sariang). Berkat bantuan Hajji Temmale, rombongan  Andi  Mannuhung  dapat  meninggalkan tempat kejadian tanpa menimbulkan korban jiwa. 

B. Aksi Protes di Rumah Sullewatang Unra (Kepala Desa Unra) dan Situasi Politik yang Memanas.

            Pada malam  harinya,  setelah  terjadinya  insiden  di  rumah Ibanna, rakyat Unra berkumpul di sekitar rumah Ibanna, untuk berjaga-jaga agar jangan sampai Andi Mannuhung beserta pengawalnya datang untuk mengambil kembali padi  yang  telah  dibuang  dari  loteng  rumah  Ibanna, sehingga padi-padi itu berserakan di tanah. Untuk itu, penduduk  secara  bersama-sama  mendatangi  rumah Guru Imante untuk meminta pertimbangan tentang apa yang  harus  dilakukan  dalam  mengahadapi  pemerintah yang semakin memberatkan penderitaan rakyat. Menurut  seorang  informan,  Guru  Imante  hanya memberikan saran kepada penduduk Unra, agar pergi ke perbatasan  desa  antara  Unra  dan  Jaling,  dan  juga disarankan agar semua penduduk membuka baju, serta sarungnya, sehingga hanya memakai celana kolor saja (Bugis: sulara’ pappuru). Maksudnya adalah agar Andi Mannuhung  beserta  pengawalnya  tidak  berani  lagi kembali; atau siap dihadang di perbatasan desa. Setelah itu,  banyak  penduduk  siap  siaga  di  perbatasan  desa, untuk menunggu kedatangan Andi Mannuhung beserta pengawalnya,  namun  sampai  menjelang  pagi  yang ditunggu tidak muncul, sehingga penduduk kembali ke rumah  masing-masing.  Paginya,  penduduk  Unra dibawah  pimpinan  Guru  Imante  bersepakat  untuk mendatangi rumah kepala desa Unra Andi Satinja, untuk melakukan  aksi  protes,  sehubungan  dengan  tindakan aparat pemerintah terhadap rakyat Unra. Aksi ini terjadi pada 21 September 1943. Tujuan utama aksi ini ialah untuk  menangkap  Andi  Dambu  yang  telah  memukul Ipagga  pada  waktu  insiden  di  rumah  Ibanna.

Namun, tujuan  itu  tidak  tercapai,  karena  Andi  Dambu  tidak berada  di  tempat  itu.  Oleh  sebab  itu,  penduduk  Unra semakin marah, dan beteriak-teriak memanggil orang-orang  yang  ada  di  dalam  rumah  kepala  desa  Unra, namun tidak ada yang menanggapi. Akhirnya, sebagian penduduk  berinisiatif  masuk  ke  dalam  rumah,  namun dicegah  oleh  Hajji  Temmale,  yang  sedang  berada  di halaman  rumah,  bersama  Kulasse,  dan  Mejje.  Suasana yang tegang itu, hampir mencapai puncaknya, seandainya  tidak  dicegah oleh  Hajji  Temmale.  Dalam kesempatan  itu,  Hajji  Temmale  menyampaikan  pidato singkat,  bahwa”  tindakan  aparat  desa  yang  telah melakukan pemaksaan penyetoran padi terhadap rakyat kepada pemerintah Jepang, akan segera diatasi”, dan ia juga menyampaikan nasihat kepada Tipu, menantunya ”sadarlah  kamu  itu  adalah  menantu  saya,  dan  juga keponakanku, kalau ingin membunuh salah seorang dari mereka, lebih baik kau membunuh saya”. Inilah yang kemudian dalam    analisis    peristiwa    sejarah pemberontakan  petani  Unra,  menyebabkan  Hajji Temmale dicap sebagai orang yang melindungi aparat yang  berlaku  kejam  terhadap  rakyat.  Hajji  Temmale kemudian  mendapatkan hukuman  adat dikucilkan dari penduduk Unra, setelah pemerintah pendudukan Jepang menyerah  dan  tidak  berkuasa  lagi  Setelah  menyampaikan  himbauan,  dan  ajakannya kepada  penduduk  Unra,  Guru  Imante  kemudian berpaling kepada Sullewatang Unra (Kepala Desa Unra). Andi Satinja, dan Sullewatang Jaling, Andi Mannuhung untuk bertemu besok pagi di alun-alun Abbolang’Nge, sebagai  penentu  siapa  yang  laki-laki,  dan  siapa  yang berada di pihak yang benar.  Sullewatang   Unra,   Andi   Satinja   yang   merasa keselamatan  dirinya  terancam,  memutuskan  untuk menyingkir  ke  rumah  orang  tuanya  di  desa  Jaling. Tujuannya  untuk  meminta  perlindungan  dari  ayahnya Andi Mannuhung, dan pemerintah Jepang. Jadi, antara Kepala Desa Unra (Sullewatang Unra) Andi Satinja, dan Andi Mannuhung ada hubungan antara anak dan Bapak. Andi Satinja adalah anak Andi Mannuhung. Kepergian Andi Satinja ke Jaling, di kawal oleh Hajji Temmale, Dullah,  dan  Mejje.  Kepergian  mereka  tidak  diketahui oleh penduduk desa Unra. Sesampainya di desa Jaling, Dullah  dan  Mejje,  diperintahkan  oleh  Hajji  Temmale untuk kembali ke Unra untuk mengantisipasi situasi dan kondisi,  serta  segala  kemungkinan  yang  terjadi. Sementara  itu,  Hajji  Temmale,  dan  Andi  Satinja berangkat ke Watampone, ibukota pemerintahan Bone, untuk  melaporkan  kepada  kepolisian  dan  urusan pemerintahan,  yaitu  Arung  Ponceng  Andi  Abdullah, bahwa situasi keamanan semakin panas di Unra. Pada waktu itu juga, Arung Ponceng Andi Abdullah, beserta pengawalnya  satu  regu  kepolisian  bersenjata  api berangkat  ke  Unra.  Di  antara  rombongan  Arung Ponceng,  terdapat  Andi  Patarai  selaku  Mantri  Polisi, Marsuki, Andi Ukkase, Tume Daeng Pawawo, Beddu, Nara,  Pabittei,  dan  Sangka,  masing-masing  sebagai polisi.  Rombongan itu tidak langsung menuju desa Unra, tetapi mereka  singgah  dahulu  di  rumah  kepala  desa  Jaling untuk beristirahat. Pada dini hari, Rabu, 22 September 1943, baru rombongan tersebut berangkat menuju desa Unra.  Dalam  rombongan  ini,  kepala  desa  Jaling (Sulleawatang  Jaling)  Andi  Mannuhung  turut  serta. Dalam perjalanan, Hajji Temmale bersama kepala desa Unra Andi Satinja, tidak langsung menuju desa Unra, tetapi  keduanya  menuju  desa  Cempa  untuk  menemui Mado  Cempa  (Kepala  Kampung)  Cempa.  Tujuannya adalah  untuk  meminta  bantuan,  karena  Mado  Cempa diduga  berpihak  kepadanya,  dan  kepada  pemerintah pusat  pendudukan  Jepang  di  Watampone.  Namun, maksud  mereka  sia-sia,  karena  orang  yang  akan ditemuinya  tidak  berada  di  tempat.

C. Persiapan Pemberontakan.

            Kedatangan Arung Ponceng, yang juga anggota “adat tujuh” (ade’ pitu’e), yang  menangani  masalah  keamanan  dan  urusan pemerintahan di Bone, tidak diketahui oleh penduduk Unra. Mereka hanya mengetahui, bahwa Hajji Temmale bersama Andi Satinja berangkat ke Watampone untuk melaporkan  bahwa  rakyat  Unra  akan  mengadakan pemberontakan.  Sejak  itulah  Guru  Mante  beserta seluruh  penduduk  Unra  yang  bergabung  dengannya siap-siaga menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi.  Hal  ini  mengingatkan  mereka  pada  ramalan Guru Mante, bahwa suatu saat akan datang kegelapan beberapa  hari  lamanya.  Pada  waktu  itu,  bulan  tidak menunjukkan  cahayanya,  yang  menandakan  sebentar lagi kegelapan akan menyelimuti desa Unra. Sementara  itu,  Guru  Mante  sejak  sore  harinya  telah mencoba mengontak beberapa sahabatnya, juga murid-muridnya,   beserta   seluruh   penduduk,   untuk membicarakan  langkah-langkah  yang  harus  diambil dalam menghadapi situasi yang akan terjadi, termasuk persiapan pemberontakan. Oleh karena itu, pada malam harinya,  Rabu  23  September  1943,  segera  dilakukan pertemuan  kilat  di  rumah  Itipu,  untuk  menghadapi segala kemungkinan yang terjadi. Dalam pertemuan ini, banyak  murid,  dan  sahabat  Guru  Mante  yang  datang dari  luar  desa  Unra,  seperti  dari  desa  Ulaweng,  desa Kacimpang,  dan  desa  Maroanging,  dengan  maksud bergabung dengan penduduk Unra dalam satu gerakan pemberontakan   melawan   pemerintah   pendudukan Jepang di bawah pimpinan Guru Mante.

D. Pemberontakan di Mulai.

            Tepat  pada  Kamis,  23 September 1943, bertepatan dengan 8 Syawal 1364 H, atau  seminggu  setelah  hari  Raya  Idul  Fitri,  Arung Ponceng  beserta  rombongan  tiba  di  Unra  untuk mengadakan   pemeriksaan   sesuai   laporan   yang diterimanya.  Pertama  diperiksa  adalah  rumah-rumah penduduk, namun rata-rata rumah penduduk sudah pada kosong ditinggalkan penghuninya. Tujuan pemeriksaan adalah untuk mengetahui sampai sejauh mana persiapan penduduk  untuk  melakukan  pemberontakan,  dan menghadapi  kekuatan  militer  Jepang.  Selain  itu,  juga untuk  mengetahui  di  mana  rakyat  dan  pimpinan memusatkan  pertemuan-pertemuannya dalam  menyusun  kekuatan.  Para  petani  berprinsip bahwa  lebih  baik  mati  berdarah  daripada  mati kelaparan. Manusia tidak akan mati sebelum ajal tiba. Setelah  mendengar,  bahwa  rakyat  Unra  memusatkan kekuatannya  di  alun-alun  Abbolang’Nge  di  bawah pimpinan  Guru  Mante,  aparat  kepolisian  dan  utusan pemerintah  menuju  ke  tempat  itu.  Suasana  makin mencekam, dan dua kekuatan berhadap-hadapan, yakni kekuatan rakyat Unra dan kekuatan aparat kepolisian.  Sebelum  terjadi  kontak  senjata  di  antara  kedua  belah pihak,  datanglah  Arung  Awangpone  Andi  Pananrangi ke  tempat  kejadian.  Kedatangan  Andi  Pananrangi adalah  untuk  menjadi  penengah;  agar  rakyat  Unra mengurungkan  niatnya  untuk  memberontak. 

Dalam kesempatan itu, beliau menyampaikan himbauan dalam bahasa  Bugis,  ”talingekko iko maneng rak’yatku, engkaka mai, nasaba adecengeng’mu maelo ritakko”, yang   artinya:   sadarlah   wahai   rakyatku,   bahwa kedatanganku  kemari  hanyalah  untuk  kebaikanmu semua.  Namun,  nasihat  atau  himbauan  itu  tidak mempan lagi.  Rakyat  diperintahkan  untuk  meletakkan senjatanya secara sukarela, yang berupa badik, pedang, dan  keris,  serta  tombak.  Namun,  imbauan  itu  tidak diindahkan oleh rakyat. Seketika itu juga, muncul Andi Mannuhung,  menerobos  ke  tengah-tengah  kerumunan penduduk;  dan  berkata  “berikan  saya jalan,  saya  mau melihat  tampang  orang  yang  pernah  menantang  saya (maksudnya  adalah  Guru  Mante),  kalau  dia  laki-laki seperti  yang  pernah  diucapkannya,  maka  saya  siap sekarang  untuk  menghadapinya”.  Selanjutnya,  Andi Mannuhung  berkata  kepada  anaknya  Andi  Dambu “mana  orangnya”?  Andi  Dambu  kemudian  menunjuk Ikepo,  dan  langsung  menendangnya.  Orang  ini  diberi gelar Ikepo, karena kakinya pincang sebelah.

Melihat  perlakuan  Andi  Mannuhung  terhadap  Ikepo, rakyat kemudian serentak melakukan serangan terhadap aparat  kepolisian  beserta  rombongan  pemerintah  yang datang,  di  bawah  pimpinan  komando  Guru  Mante. Terjadilah  pertempuran  antara  kedua  belah  pihak, sehingga korbanpun berjatuhan. Menyadari situasi yang tidak menguntungkan itu, Arung Awangpone dan Arung Ponceng   bermaksud   melarikan   diri   dari   arena pertempuran,  namun  karena  sudah  terkepung  oleh pemberontak, mereka terjepit dalam arena pertempuran. Malang  tak  dapat  ditolak,  untung  tak  dapat  diraih, mautpun  menjemput  Arung  Ponceng  Andi  Abdullah, yang  tewas  dalam  pertempuran  itu,  disusul  kemudian oleh kepala desa Unra Andi Satinja, Kepala desa Jaling Andi  Mannuhung,  dan  anaknya  sendiri  Andi  Dambu, yang  tewas  secara  bersama-sama.  Para  pemberontak belum puas sampai di situ, dan mereka terus melakukan perlawanan  secara  gencar  terhadap  aparat  kepolisian pemerintah. Hanya sebagian kecil saja dari pihak polisi dan  wakil  pemerintah  yang  tersisa  dan  melarikan  diri dari  kejaran. Menjelang  dhuhur,  pertempuran  berakhir,  dengan kemenangan di pihak pemberontak. Tetapi, kemenangan itu,  dirasakan  oleh  pemberontak  hanya  bersifat sementara, karena mereka menyadari, bahwa pasti akan datang  serangan  balik  dari  pihak  pemerintah,  karena banyaknya  wakil  pemerintah  dan  aparat  polisi  yang tewas  dalam  pertempuran  itu.

 Perlu  diuraikan  di  sini bahwa,  berdasarkan  data  yang  diperoleh,  dalam pertempuran  antara  pemberontak  dengan  pihak  aparat kepolisian dan wakil pemerintah di Abbolang’Nge, telah tewas  beberapa  orang,  di  antaranya:  Arung  Ponceng Andi Abdullah, Sullewatang Jaling (kepala desa Jaling) Andi   Mannuhung,   Andi   Dambu   (anak   Andi Mannuhung), Komandan Polisi Marzuki, Tume Daeng Pawawo,  dan  Sullewatang  Unra  (Kepala  Desa  Unra) Andi Satinja, yang kesemuanya dari unsur pemerintah. Selanjutnya,  terjadi  situasi  yang  tidak  menentu  pasca meletusnya  peristiwa  pertempuran  di  Abbolang’Nge, karena  tersebar  berita,  bahwa  akan  datang  pasukan tentara  Jepang  dari  Watampone  untuk  melakukan penangkapan, dan serangan militer terhadap penduduk Unra, untuk mencari pemimpin pemberontak. Berita ini disampaikan  oleh  Hajji  Kulasse,  yang  menyarankan agar  semua  penduduk  Unra  menyingkir  ke  luar  desa, untuk  menghindari  serangan  balik  tentara  Jepang. Namun, rakyat memilih untuk tetap bertahan, dan siap menghadapi segala kemungkinan terburuk. Berita  mengenai  meletusnya  pemberontakan  petani Unra, sampai kepada Raja Bone di Watampone, yang segera  memerintahkan  aparat  kerajaan,  yang  dikawal oleh  pasukan  Jepang  untuk  segera  menuju  desa  Unra. Sementara  itu,  pihak  pemberontak  dibawah  pimpinan Guru  Mante  memusatkan  kekuatan  penuh  dalam persiapan  menghadapi  kekuatan  tentara  Jepang  yang diperkirakan segera tiba. Tepat keesokan harinya, pada 24 september 1943, rombongan aparat pemerintah dan tentara  Jepang  tiba  di  Unra,  dan  langsung  menuju ke tempat   konsentrasi   kekuatan   pemberontak   di Abbolang’Nge. Melihat  pemberontak  dalam  keadaan siap  tempur,  tentara  Jepang  melepaskan  tembakan peringatan, agar para pemberontak menyerah. Namun, hal itu tidak membuat para pemberontak menghentikan perlawanannya,  bahkan  justeru  mereka  bergerak  maju secara  serentak  menyerang  tentara  Jepang.  Pada  saat itulah  pemimpin  pemberontak  Guru  Mante,  dan beberapa   pemberontak   lainnya   gugur   di   arena pertempuran.  Jadi,  Guru  Mante;  baru  tewas  setelah pasukan   Jepang   didatangkan   dari   Watampone. Sebelumnya,    ketika    pecah    pertempuran    di Abbolang’Nge, tidak ada satupun anggota pemberontak yang tewas. Dengan gugurnya pemimpin pemberontak Guru Mante, pimpinan  kemudian  diambil  alih  oleh  Itipu. Itipu sebagai pemimpin baru pemberontak tidak lama setelah kejadian itu, ditangkap oleh tentara pendudukan Jepang, dan  dibawa  ke  Watampone,  selanjutnya  dibawa  ke Makassar;   dan   dipenjarakan   oleh   pemerintah pendudukan  Jepang.  Berdasarkan  informasi  yang diperoleh,  sampai  pemerintah  Jepang  meninggalkan Indonesia;  dan  setelah  Indonesia  merdeka,  Itipu  tidak diketahui  di  mana  keberadaannya.

2.3 Dampak Pemberontakan Petani Unra Terhadap Situasi Kehidupan Rakyat Unra.

            Tewasnya pemimpin pemberontak (Guru Mante) mengejutkan semua orang, baik anak buahnya sendiri, maupun rakyat Unra yang turut dalam pemberontakan. Hal ini dikarenakan umum sudah mengetahui, bahwa Guru Mante mengajarkan tarekat “awaraningeng”atau ilmu kekebalan, dan mereka tidak yakin bahwa ia tewas tertembus peluru. Akhirnya, seiring dengan waktu, tidak ada lagi pemimpin yang karismatis seperti Guru Mante, dan  berakhirlah  pemberontakan  yang  dilakukan oleh penduduk Unra. Namun, perlu juga diuraikan bahwa, ketika terjadi  pemberontakan  di  Unra  pada  23 September 1943, ada beberapa orang murid Guru Mante dari kampung Kacimpang Desa Ulaweng yang ikut serta membantu petani Unra dalam pemberontakan. Banyak rakyat  Unra  yang  melarikan  diri bersama  Mappe  dari Desa  Ulaweng,  dan  di  sanalah  mereka  menyusun kekuatan  baru  untuk  mengadakan  perlawanan  yang lebih  terorganisir.  Namun,  belum  sempat  mereka menyusun  kekuatan,  gerakan  mereka  sudah  diketahui oleh Jepang. Berdasarkan  data  yang  diperoleh,  dalam  upaya penangkapan para pemberontak, telah ditangkap kurang lebih 300 orang. Mereka yang ditangkap terdiri dari Hajji Temmale, yaitu Sekretaris Desa Unra, dengan tuduhan tidak mampu mengatasi atau mencegah terjadinya  pemberontakan.  Hal  inilah  barangkali  yang menjadi  pertimbangan,  mengapa  ia  ditangkap  dan dimasukkan  ke  penjara  hingga  tewas.  Penangkapan massal,   dan   penyiksaan   oleh   tentara   Jepang, mengakibatkan terjadinya eksodus rakyat Unra ke luar desa   untuk   menghindari   penangkapan. Para pemberontak  yang  ditangkap,  pasca  pemberontakan ialah: Dullah, Mappiare, Hajji Temmale (meninggal di dalam penjara), sedangkan Itipu, Pagga, Bennu, Massi, dan  Ikepo,  tidak  diketahui  nasibnya  sampai  sekarang. Untuk menghindari penangkapan, banyak rakyat Unra yang  merantau  ke  negeri  seberang,  seperti  Malaysia, Sumatera, Kendari, Pomalaa, Brunai, dan Tawao. 

Teori-Teori Psikologi Sosil

Teori Dalam Psikologi Sosil A. Teori Genetik Teori ini menekankan kualitas pembawaan sejak lahir atas tingkah laku sosial. Bahwa “manusia adalah binatang sosial” menjadi...
Ahmad Dahlan
9 min read

Usaha Mengurangi Prasangka Sosial

Ada beberapa usaha untuk mengurangi prasangka sosial yaitu (dalam Gerungan, 2004:190-191; dalam Ahmadi, 2002:215-216; dalam Sears, 1985:254-256): Mengurangi prasangka bisa dilakukan melalui:
Wahidah Rahmah
55 sec read

Aliran-Aliran dalam Psikologi Fungsionalisme

Aliran fungsionalisme merupakan aliran psikologi yang pernah sangat dominan pada masanya, dan merupakan hal penting yang patut dibahas dalam mempelajari psikologi. Pendekata n fungsionalisme...
Wahidah Rahmah
2 min read

Leave a Reply