Makalah Teori Belajar Asosiasi

7 min read

Teori Belajar Asosiasi

Bab I. Pendahuluan

A. Latar Belakang

Dari beragam pengertian tentang pendidikan, pendidikan dapat juga dipandang sebagai proses mereproduksi dan mengelaborasi sistim nilai dan budaya ke arah yang lebih baik, antara lain dalam hal pembentukan wawasan, kepribadian, keterampilan dan kematangan intelektual peserta didik. Dalam lembaga formal proses reproduksi sistim nilai dan budaya ini dilakukan terutama dengan mediasi proses belajar mengajar sejumlah mata pelajaran dalam kelas.

Melalui berbagai strategi pembelajaran dan pengembangan potensi diri, peserta didik memperoleh bekal pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperlukan untuk memahami dan menyesuaikan diri terhadap fenomena dan perubahan-perubahan di lingkungan sekitar dirinya, disamping memenuhi keperluan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Pembelajaran dan pengembangan potensi ini merupakan salah satu kunci keberhasilan peningkatan kompetensi sumber daya manusia dalam memasuki dunia teknologi, termasuk teknologi informasi pada era globalisasi.

Pembelajaran, baik dalam konteks pendidikan di sekolah maupun pendidikan luar sekolah, pada jenjang dan dengan menggunakan pendekatan, strategi serta model apa pun harus benar-benar efektif. Pembelajaran yang efektif dicirikan antara lain oleh tingginya kemampuan pembelajaran tersebut dalam menyajikan secara optimal tiga dimensi pembelajaran sebagai proses, produk dan sikap. Dimensi proses pembelajaran menuntut guru untuk melibatkan peserta didik secara aktif kedalam kegiatan-kegiatan dalam upaya memperoleh hasil belajar. Kegiatan ini sering kali berhubungan metode ilmiah (Scienctific Method) dan keterampilan proses.

Dimensi produk pendidikan sains berhubungan dengan sejumlah fakta, data, konsep, hukum, atau teori dan sejumlah keterampilan yang harus dikuasai peserta didik sebagaimana tertuang dalam kurikulum atau silabus pembelajaran. Dimensi sikap merupakan hasil internalisasi dari akumulasi pengetahuan dan pengalaman peserta didik dalam mengikuti proses pembelajaran. Dalam penjelasan sederhana, dimensi sikap adalah cara pandang dan tindakan peserta didik terhadap sesuatu yang dilandasi oleh wawasan dan pengalaman yang diperolehnya dalam pembelajaran. Dimensi sikap ini sering disebut sebagai sikap ilmiah (Scientific Attitude) dan moralitas.
Pembelajaran yang efektif juga dicirikan oleh tingginya kadar on-task (aktivitas edukatif) dan rendahnya kadar off-task (aktivitas non-edukatif) peserta didik dalam pembelajaran. Menurut Horsley (1990:42) salah satu upaya untuk meningkatkan kadar on-task peserta didik adalah dengan mengembangkan kegiatan hands-on (psikomotor) dan minds-on (kognitif-afektif) melalui sejumlah keterampilan (skill) yang dilakukan peserta didik dalam kelas. Menurutnya ada empat jenis keterampilan: keterampilan laboratorium (laboratory skills), keterampilan intelektual (intellectual skills), keterampilan berpikir dasar (generic thinking skills) dan keterampilan berkomunikasi (communications skills).

Dalam menyelenggarakan pembelajaran dengan pendekatan dan model apa pun guru harus tetap pro aktif sebagai fasilitator; mau memonitor seberapa besar kadar on-task peserta didik, seberapa banyak keterampilan dan sikap ilmiah peserta didik yang dapat dikembangkan, dan sejauh mana materi pembelajaran dikuasai peserta didik.

Untuk dapat menyelenggarakan pembelajaran yang efektif salah satu faktor yang turut berpengaruh adalah ketepatan guru dalam memilih pendekatan dan model pembelajaran yang digunakan. Pemilihan model ini dapat didasarkan pada pertimbangan karakteristik materi pembelajaran, dasar filsafat dan psikologi tentang peserta didik, tujuan dan kebutuhan praktis serta tipe kegiatan belajar yang ditetapkan. Berkenaan dengan tipe kegiatan belajar, masing-masing tipe menunjukkan tingkatan pengorganisasian mulai dari sangat mekanistis (seperti Signal Learning, Stimulus Response Learning, Chaining Learning) hingga kegiatan belajar yang lebih bersifat organik (misalnya Multiple Discrimination Learning, Concept Learning, Principle Learning, dan Problem-solving). Klasifikasi lain yang lebih sederhana tentang tipe kegiatan belajar adalah: tipe kegiatan belajar mengajar keterampilan, tipe kegitan belajar pengetahuan, tipe kegiatan belajar sikap, dan tipe kegiatan belajar pemecahan masalah (H.D Sudjana, 2000:117-120).

Bab II. Pembahasan

A. Teori Belajar Asosiasi

Menurut teori Asosiasi, kegiatan pembelajaran akan efektif apabila interaksi antara pendidik dengan peserta didik dilakukan melalui stimulus dan respons (S-R). Kegiatan pembelajaran adalah proses menghubungkan stimulus (S) dengan respons (R). Berdasarkan teori ini, pembelajaran makin efektif apabila peserta didik makin giat belajar dan makin tinggi kemampuannya dalam meng- hubungkan simulus dan respons. Prinsip-prinsip yang digunakan dalam teori ini adalah: kesiapan (readiness) berkaitan dengan motivasi peserta didik, latihan (exercise) yaitu kegiatan berulang peserta didik dalam menghubungkan stimulus-respons, dan pengaruh (effect) yang berhubungan dengan hasil kegiatan dan manfaat yang dirasakan langsung oleh peserta didik dalam dunia kehidupannya. Prinsip ‘pengaruh’ berkaitan pula dengan penciptaan suasana, penghargaan, celaan, hukuman, dan ganjaran.

Jika kita telaah lebih lanjut, di samping hal-hal positif dari teori Asosiasi, kita menemukan adanya hal-hal yang negatif dari teori ini. Di antaranya, teori ini mengenyampingkan peranan minat, kreativitas, dan apirasi peserta didik. Selain itu teori ini juga lebih menekankan peluang belajar individual, dominasi kemampuan pendidik atau sumber belajar lainnya dalam menciptakan stimulus (Sudjana, 2000:178).
Karena tidak semua perilaku belajar dapat dijelaskan dengan pelaziman, teori Asosiasi biasnya menambahkan konsep belajar sosial (social learning) dari Bandura. Menurut Bandura, belajar terjadi karena peniruan (imitation). Kemampuan meniru respons adalah penyebab utama belajar.

Teori belajar sosial memiliki beberapa konsep dasar. Konsep konsep tersebut adalah:

  1. Pemodelan (modelling), seseorang belajar dengan cara meniru perilaku orang lain dan pengalaman vicarious yaitu belajar dari keberhasilan dan kegagalan orang lain;
  2. Fase Belajar, terdiri dari fase perhatian terhadap model (attentional phase), fase mengendapkan hasil memperhatikan model dalam pikiran pebelajar (retention phase), fase menampilkan ulang perilaku model oleh pebelajar (reproduction phase) dan fase motivasi (motivation phase) ketika peserta didik berkeinginan mengulang-ulang perilaku model yang mendatangkan konsekuensi-konsekuensi positif dari lingkungan;
  3. Belajar Vicarious, seseorang belajar dengan melihat apakah orang lain diberi ganjaran atau hukuman waktu terlibat dalam perilaku-perilaku tertentu;
  4. Pengaturan-sendiri (self-regulation), manusia mengamati, mempertimbangkan, memberi ganjaran atau hukuman terhadap perilakunya sendiri.

Pengertian Asosiasi:

Menghubungkan antara satu peristiwa dengan peristiwa lain, antara seseorang dengan orang lain yang dipandang sebagai rangkaian yang saling berhubungan dan keterkaitan satu sama lain.
Banyak teori dalam metodologi pembelajaran dilatarbelakangi oleh konsepsi-konsepsi psikologi tentang manusia. Sekurang-kurangnya ada empat pendekatan psikologi yang sangat dominan dalam melahirkan teori-teori tentang manusia: psikoanalisa, behaviorisme, psikologi kognitif, dan psikologi humanistis. Tindakan-tindakan persuasif dalam kegiatan pendidikan luar sekolah yang berorientasi untuk membentuk citra tertentu dalam masyarakat sangat dipengaruhi oleh Psikoanalisa yang melukiskan manusia sebagai makhluk yang digerakkan oleh keinginan-keinginan terpendam (Homo Volens). Behaviorisme memandang manusia sebagai makhluk yang dikendalikan dan digerakkan sepenuhnya oleh lingkungan (Homo Mechanicus), dari psikologi ini muncul definisi belajar sebagai perubahan perilaku. Pengertian belajar sebagai proses pengolahan informasi seperti pada teori Gestalt dan teori Medan didasarkan pada psikologi koginitif yang melihat manusia sebagai makhluk yang aktif mengorganisasikan dan mengolah stimuli yang diterimanya (Homo Sapiens). Adapun teknik pembelajaran transaksional dan pembelajaran terpadu, dan pendekatan STS (Science – Technology and Society) banyak dilandasi oleh konsepsi psikologi humanisme yang menggambarkan manusia sebagai pelaku aktif dalam merumuskan strategi transaksional dengan lingkungan (Homo Ludens). Konsepsi-konsepsi dasar yang terdapat dalam keempat psikologi tersebut semestinya dipahami dengan sungguh-sungguh oleh para pendidik sehingga ia mampu dengan tepat mengimplementasi-kannya sesuai dengan karakteristik peserta didik, program, dan model pembelajaran yang dipilihnya.

1. Pandangan Penulis terhadap Teori Asosiasi dalam Pembelajaran Partisipatif
Teori Asosiasi, sebagaimana nampak dari tokoh-tokoh pencetusnya (Thorndike, James Watson dan Wiliams James) adalah teori belajar yang didasarkan pada psikologi Behavioristik. Penggunaan teori ini dalam pendidikan akan memperlakukan manusia sesuai dengan pandangan kaum Behaviorisme tentang manusia.

Para penganut Behaviorisme hanya menganalisa perilaku belajar yang nampak saja, yang dapat diukur, dilukiskan, dan diramalkan. Menurut mereka seluruh perilku manusia -kecuali instink- adalah hasil belajar. Belajar artinya perubahan perilaku organisme sebagai pengaruh lingkungan. Behaviorisme tidak mempersoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional atau emosional; behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunya dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan (stimulus). Dari sinilah timbul konsep “manusia mesin” (Homo Mechanicus). Dalam pandangan behaviorisme – sebagaimana pandangan pendahulunya: Aristoteles dan John Locke – manusia adalah binatang tingkat tinggi dengan “jiwa” berupa tabularasa. Menurut mereka manusia lahir dengan tidak memiliki sifat-sifat sosial dan atau psikologis (J Rakhmat, 1998:24). Oleh karenanya teori belajar bagi manusia dapat dikembangkan dari cara belajar berbagai jenis organisme (binatang) lainnya, karena kaum behaviorisme adalah juga penganut faham Darwinisme yang meyakini bahwa manusia merupakan hasil evolusi dari organisme yang lebih rendah.

Dalam teori Asosiasi biasanya digunakan sejumlah konsep belajar yang dikembangkan oleh kaum behavioris untuk mengefektifkan pengaruh lingkungan terhadap hasil belajar. Metode yang paling primitif adalah metode pelaziman klasik (classical conditioning). Diambil dari Sechenov (1829-1905) dan Pavlov (1849-1936), pelaziman klasik adalah memasangkan stimuli yang netral atau stimuli terkondisi (conditioned stimulus) dengan stimuli tertentu yang tak terkondisikan (unconditioned stimulus) yang melahirkan perilaku tertentu. Setelah pemasangan ini terjadi berulang-ulang, stimuli yang netral menghasilkan perilaku tertentu yang terkondisikan. Sejalan dengan Pavlov adalah Hukum Pengaruh (Law of Effect) dari E.L. Thorndike. Hukum pengaruh mengemukakan bahwa jika suatu tindakan diikuti oleh suatu perubahan yang memuaskan dalam lingkungan, kemungkinan bahwa tindakan itu diulangi dalam situasi yang mirip, akan meningkat. Sebaliknya jika suatu tindakan diikuti oleh suatu perubahan yang tidak memuaskan dalam lingkungan, kemungkinan bahwa tindakan itu diulangi dalam situasi yang mirip, akan menurun. Jadi, konsekuensi-konsekuensi dari perilaku seseorang pada suatu saat, memegang peranan penting dalam menentukan perilaku orang itu selanjutnya.

Skiner menambahkan jenis pelaziman yang lain. Ia menyebutnya operant conditioning. Pelaziman jenis ini berkaitan dengan proses memperteguh respon yang baru dengan mengasosiasikannya pada stimuli tertentu berkali-kali. Oleh karenya pelaziman operant sering menggunakan peneguhan (reinforcement) untuk memperkuat hasil belajar yang diharapkan. Pada operant conditioning inilah dikenal prinsip ganjaran (reward) dan hukuman (punishment).Teori belajar Bandura dapat dijadikan landasan tentang

pentingnya penggunaan metode demonstrasi oleh guru atau kerja kelompok peserta didik dalam pembelajaran partisipatif. Teori ini juga sangat efektif untuk dijadikan landasan dalam menanamkan sikap ilmiah dan motivasi pada peserta didik berkenaan dengan nilai-nilai instrinsik dari pembelajaran partisipatif, terutama dengan penerapan teori Modelling. Melalui ini peserta didik akan melakukan peniruan terhadap apa yang diamatinya nampak pada kinerja guru dan teman sebaya di kelas.
Dengan mencermati karakteristik psikologi belajar Behavioristik yang melandasi teori belajar Asosiasi serta dihubungkan dengan prinsip-prinsip pembelajaran partisipatif, penulis tidak begitu setuju jika teori Asosiasi dijadikan salah satu landasan utama pembelajaran partisipatif. Kalau pun teori ini digunakan, hanya sebatas unsur penunjang pada fase-fase pembelajaran tertentu. Hal ini didasarkan pada sejumlah alasan sebagai berikut.Alasan pertama adalah, teori Asosiasi dikembangkan dari psikologi Behavioristik,

suatu pandangan psikologi yang kurang komprehensif memandang dan mendeskripsikan karakteristik perilaku belajar manusia, dan hanya menekankan aktivitas penginderaan terhadap leingkungan dan unsur pengalaman sebagai mekanisme memperoleh hasil belajar yang benar. Penulis setuju dengan kritik kaum rasionalis terhadap kaum Behavioris yang mempertanyakan apakah betul bahwa penginderaan manusia, melalui pengalaman langsung, sanggup memberikan kebenaran. Dalam banyak hal alat indera sering tidak akurat dalam memberikan informasi. Bukankah mata Anda mengatakan bahwa kedua rel kereta api yang sejajar itu bertemu di ujung sana? Bukankah mata Anda memberikan stimuli bahwa pada batas permukaan air-udara sebatang tongkat yang tercelup sebagian jika diamati secara horizontal nampak patah? Sudah barangtentu Anda tidak menerima stimulus tersebut sebagai pengalaman belajar yang benar! Jika manusia tunduk sepenuhnya pada perlakuan lingkungan maka manusia akan memperoleh banyak hasil belajar yang superfisial (dangkal) dalam hal kebenaran.

Alasan kedua, teori Asosiasi sebagaimana psikologi Behavioristik tidak mempersoalkan motivasi terutama perilaku yang ‘self-motivated’. Hal ini bertentangan dengan prinsip pembelajaran partisipatif terutama yang berhubungan dengan prinsip Berdasarkan Kebutuhan Belajar (Learning Needs Based), Berorientasi pada Tujuan Kegiatan Pembelajaran (Learning Goals and Objectives Oriented), prinsip Berpusat pada Peserta didik (Participant Centered) yang berkaitan dengan latar belakang kehidupan peserta didik

Penerapan Teori Asosiasi Terhadap Pembelajaran Siswa
1. Guru menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap sehingga tujuan pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru
2. Guru tidak banyak memberikan ceramah, tetapi instruksi singkat yang diikuti contoh-contoh baik dilakukan sendiri maupun simulasi
3. Bahan pelajaran disusun secara hierarki dari yang sederhana sampai pada yang kompleks
4. Pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati
5. Kesalahan harus segera diperbaiki
6. Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan
7. Evaulasi atau penilaian didasari atas perilaku yang tampak.

Bab III. Penutup

A. Kesimpulan

Dari paparan terdahulu terutama yang berkaitan dengan pembelajaran asosiasi dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut.

  1. Pembelajaran asosiasi yang biasa digunakan dalam pendidikan luar sekolah termasuk ke dalam jenis pembelajaran yang lebih bersifat organis dan sangat cocok untuk pembelajaran yang berorientasi kepada pengembangan kemampuan peserta didik dalam memecahkan masalah.\Sebagaimana pada model pembelajaran lainnya, penggunaan model pembelajaran asosiasi tidak bisa lepas dari implementasi psikologi belajar dan teori pembelajaran. Ada dua teori pembelajaran yang kerapkali digunakan pada pembelajaran teori Asosiasi dan teori Medan.
  2. Dengan mencermati karakteristik pembelajaran asosiasi, dapat juga digunakan pada ruang lingkup yang sangat terbatas dan seperlunya.

B. Saran

Dalam akhir makalah ini penulis mengajukan saran-saran sebagai berikut.
1. Para pendidik atau instrukur pendidikan luar sekolah yang hendak menggunakan pembelajaran partisipatif hendaknya memperluas dan memperdalam wawasannya tentang berbagai kajian psikologi dan teori belajar mutakhir, sehingga dapat dengan kritis dan tepat memilih teori, metode, dan teknik yang akan digunakan.
2. Untuk lebih meningkatkan kualitas pembelajaran partisipatif terutama dengan pendekatan ‘pendidikan adragogi’, di samping penggunaan teori Asosiasi dan teori Medan, sebaiknya digunakan juga teori atau pendekatan belajar konstruktivisme. Selain menggunakan psikologi behavioristik dan kognitif semestinya juga memasukkan unsure-unsur psikologi humanistik. Psikologi ini lebih mengangkat posisi manusia dalam proses pembelajaran terutama dalam hal motivasi, kreativitas, dan nilai.
3. Penulis mengajak pembaca untuk merenungkan tulisan Niemi (1997:244) ” . . . dalam pengembangan profesionalisme, guru bukanlah seorang teoritis melainkan harus berkemauan untuk aktif bertindak. Tetapi tanpa petunjuk teori kognitif yang dikembangkan secara sistemik, maka rancangan mengajar, pembelajaran, dan kegiatan asesmen menjadi tidak sistimatik dan tidak efektif dalam meningkatkan prestasi peserta didik.”

DAFTAR PUSTAKA
1. Dahar, R.W.(1988). “Konstruktivisme dalam Mengajar dan Belajar”. Teks Pidato pada Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada FPMIPA, IKIP Bandung: tidak diterbitkan.
2. _____.(1991). Teori Teori Belajar. Jakarta: Penerbit Erlangga.
3. Dahar, R. W. dkk.(1992). Dampak Pertanyaan dan Teknik Bertanya Guru Selama Proses Belajar Mengajar Ilmu Pengetahuan Alam Pada Berpikir Siswa. Laporan Penelitian, FPMIPA, IKIP Bandung: tidak diterbitkan.
4. Hewson, M. G. A’B. (1985). “The Role of Intellectual Environment in The Origin of Conceptions: an Exploratory Study”, dalam West, L.H.T. & Pines, A. L. (1985). Cognitive Structure and Conceptual Change. Orlando, Florida : Academic Press, Inc.
5. Jalaluddin Rakhmat. (1998). Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Karya
6. Sudjana s. (2000). Strategi Pembelajaran. Bandung: Penerbit Falah Production.
7. _______. (2001). Metode dan Teknik Pembelajaran Partisipatif. Bandung: Penerbit Falah Production.
Jangan Lupa berikan komentar Anda tentang blog ini, ataupun tentang posting ini.

Laporan Praktikum Efek Fotolistrik

Efek Fotolistrik Bab I. Pendahuluan A. Latar Belakang Efek fotolistrik adalah fenomena terlepasnya elektron logam akibat disinari cahaya. Ditinjau dari perspektif sejarah, penemuan efek...
Ananda Dwi Putri
9 min read

Laporan Praktikum Tetes Minyak Milikan

Tetes Minyak Milikan Bab I. Pendahuluan A. Latar Belakang Elektron merupakan suatu dasar penyusun atom. Inti atom terdiri dari elektron (bermuatan negatif) dan proton...
Ahmad Dahlan
7 min read

Makalah Sifat Fantasi Dalam Tinjauan Psikologi

Sifat Fantasi Bab I. Pendahuluan Pada dasarnya psikologi mempersoalkan masalah aktivitas manusia. Baik yang dapat diamati maupun tidak secara umum aktivitas-aktivitas (dan penghayatan) itu...
Wahidah Rahmah
4 min read

Leave a Reply