Makalah Prostitusi Dikalangan Remaja dan Mahasiswa

6 min read

Wanita Tuna Susila PSK di Sidrap Tertangkap

Prostitusi dikalangan remaja mahasiswa adalah fenomena yang sudah sangat banyak dijumpai. Besarnya gaya hidup remaja di kota dan kemajuan teknologi membuat fenomena Prostitusi semakin menjamur.

Prostitusi dan Upaya Penanggulannya

Bab I. Pendahuluan

A. Latar Belakang

Prostitusi di Indonesia dianggap sebagai kejahatan terhadap moral/kesusilaan dan kegiatan prostitusi adalah sebuah kegiatan yang ilegal dan bersifat melawan hukum. Dalam ratifikasi perundang-undangan RI Nomor 7 Tahun 1984, perdagangan perempuan dan prostitusi dimasukan sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan.

Kata prostitusi berasal dari kata latin ‘prostitution (em)’, kemudian diintrodusir ke bahasa Inggris menjadi ‘prostitution’, dan menjadi prostitusi dalam bahasa Indonesia. Dalam ‘Kamus Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris’, oleh John M. Echols dan Hassan Shadili prostitusi diartikan ‘pelacuran, persundalan, ketuna-susilaan’, sedang dalam tulisan ‘Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Kehidupan Prostitusi di Indonesia’, oleh Syamsudin, diartikan bahwa menurut isthlah prostitusi diartikan sebagai pekerja yang bersifat menyerahkan diri atau menjual jasa kepada umum untuk melakukan perbuatan-perbuatan seksual dengan mendapatkan upah sesuai apa yang diperjanjikan sebelumnya. Prostitusi atau Pelacuran adalah penjualan jasa seksual, seperti seks oral atau berhubungan seks. Seseorang yang menjual jasa seksual disebut pelacur atau biasa disebut pekerja seks komersial (PSK). Kegiatan prostitusi adalah sebuah kegiatan yang patut ditabukan karena secara moral di anggap bertentangan dengan nilai agama dan kesusilaan.

Tumbuh suburnya kegiatan prostitusi di Indonesia merupakan bukti bahwa kegiatan prostitusi masih menjadi momok untuk moral masyarakat bangsa Indonesia, sehingga sulit untuk pemerintah dalam menghapus kegiatan prostitusi. Bahkan kegiatan prostitusi di tempatkan dalam satu tempat yang biasa disebut lokalisasi.

Sikap para penegak hukum pun di nilai kurang berani untuk mengurangi kegiatana pelacuran atau prostitusi, bahkan kegiatan ini telah banyak menjarah mental generasi bangsa, seperti baru-baru ini di temukan arisan seks di jawa timur dan tak tanggung-tanggung para pelakunya adalah anak yang masih duduk di bangku SMA.

Banyak daerah yang mengeluarkan peraturan daerah (perda) mengenai kegiatan prostitusi. seperti perda kota tanggerang, perda probolinggo, perda kota malang, perda bantul, perda lamongan, dan masih banyak perda di daerah-daerah lainya seakan hanya sebuah ambal-ambal, karena tidak konsistenya beberapa daerah mengenai perda yang telah disepakati sendiri.

Pelacuran atau kegiatan prostitusi yang tidak hanya wanita dewasa yang melakukan, akan tetapi banyak wanita yang masih di bawah umur atau biasa di sebut ABG yang ikut peran serta. Tidak hanya anak-anak Mahasiswi bahkan anak-anak SMA ikut ambil bagian, alasan ekonomilah yang selalu menjadi alasan. Lilitan ekonomi yang semakin menjerat memaksa untuk mau terjun kedalam tempat-tempat prostitusi.
Pemerintah sendiri kurang serius dalam mengurangi pelacuran, terbukti dengan razia-razia yang dilakukan tidak menunjukan pengurangan terhadap pelacuran, bahkan banyak PSK kembali lagi ke tempat-tempat prostistusi. Seharusnya pemerintah juga ikut menghukum para pelanggan-pelanggan PSK karena ketika tidak ada lagi pelanggan PSK dengan sendirinya tempat-tempat prostitusi akan gulung tikar. Hal ini tidak akan berhasil tanpa ada dukungan dari setiap pihak. Berdasarkan prinsip universal tentang hak asasi manusia, sebenarnya setiap orang dewasa memiliki hak melakukan apa saja yang dianggap “menyenangkan” bagi badan mereka. Meski demikian, sebagai bangsa yang “bermoral” dan “beragama”, perlulah kita memiliki upaya mengatasi masalah prostitusi. Langkah pertama yang harus dilakukan pemerintah adalah mengubah pandangan orang tentang kegiatan seksual dengan cara menggeser paradigma prostitusi sebagai “perbuatan asusial” kepada “kesenangan seksual”
Makalah ini di fokuskan untuk pengurangan tempat-tempat prostitusi dan juga jumlah para pelanggan PSK. Intinya, Indonesia tidak perlu mengatur isu seksual dengan hukum. Mungkin yang menjadi masalah besar bagi kita adalah adanya pikiran yang memaksakan kehendak agar prostitusi diberantas di Indonesia. Upaya ini yang selama ini sulit dilakukan siapa pun dan di mana pun.

B. Perumusan Masalah

  1. Bagaimanakah defenisi dari Porstitusi di kalangan remaja dan mahasiswa?
  2. Apakah penyebab remaja dan mahasiswi terjun ke dunia porstitusi?
  3. Bagaimanakah upaya pencegahannya?

Bab II. Pembahasan

A. Landasan Hukum

Dalam menanggapi prostitusi ini hukum diberbagai Negara berbeda-beda, ada yang mengkategorikan sebagai tindak pidana, namun ada pula yang bersikap diam dengan beberapa pengecualian, Indonesia termasuk yang bersikap diam dengan pengecualian.

Pangkal hukum pidana Indonesia adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai apa yang disebut hukum pidana umum. Di samping itu terdapat pula hukum pidana khusus sebagaimana yang tersebar di berbagai perundang-undangan lainnya.

Berkaitan dengan prostitusi KUHP mengaturnya dalam dua pasal, yaitu pasal 296 dan pasal 506. Pasal 296 menyatakan ‘barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain, dan menjadikannya sebagai pencaharian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak lima belas ribu rupiah’. Sedangkan pasal 506 menyatakan ‘barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seseorang wanita dan menjadikannya sebagai pelacur, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun.

Dari situlah kita dapat tahu bahwa hukum pidana kita hanya mengkategorikan prostitusi sebagai suatu tindak pidana terhadap pihak perantaranya. Dalam hal ini Kepolisian hanya mempunyai ruang gerak untuk melakukan tindakan hukum terhadap perantara, bilamana terdapat perantara. Sehingga kegiatan prostitusi akan tetap berjalan selama masih banyak pelanggan.

Ketentuan lain yang mungkin dapat digunakan dalam menjerat praktek prostitusi adalah Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007, tent`ng Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan/atau Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002, tentang Perlindungan Anak, yaitu manakala melibatkan anak, atau perundangan lain yang terkait dengan perundangan pidana. Adapun yang dikategorikan anak adalah mereka yang berumur di bawah delapan belas tahun.

Berkaitan dengan anak ini dalam pasal 287 KUHP terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa ‘barang siapa yang bersetubuh dengan seorang wanita di luar pernikahan, padahal diketahuinya atau sepetutnya harus diduga bahwa umurnya lima belas tahun, atau kalau tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun. Namun dengan keluarnya antara lain Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 serta Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007, maka batas umur dalam pasal 287 KUHP harus ditafsir dengan didasarkan pada undang-undang yang baru, yaitu di bawah umur delapan belas tahun, penafsiran semacam ini masuk dalam kategori penafsiran sistematik.

Manakala kita menilik Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007, dari judulnya saja sudah dapat tahu, bahwa undang-undang ini mengacu pada pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, yang di dalamnya termasuk juga dalam hal prostitusi. Membicarakan undang-undang ini tentu memerlukan bahasan yang panjang, namun demikian dapatlah kita coba menarik pangkal konteksnya saja.

B. Faktor Maraknya Prostitusi

Di kalangan masyarakat Indonesia, pelacuran dipandang negatif, dan mereka yang menyewakan atau menjual tubuhnya sering dianggap sebagai sampah masyarakat. Menilik ke belakang bahwa makin maraknya tempat-tempat prostitusi tak lepas dari lilitan ekonomi, sehingga banyaknya wanita yang memilih dengan melacurkan diri. Dalam pandangan agama prostitusi sama saja dengan perbuatan perzinaan. Perlunya penanaman pandangan agama sangat diperlukan dalam hal ini, dan mampu menjadi pembatas diri untuk melakukan hal-hal yang tidak sejalan dengan agama, moral maupun etika masyarakat.

Semakin mendesaknya kebutuhan-kebutuhan menjadi alasan rasional bukan moral. Misalnya, mundurnya usia perkawinan, tingginya angka perceraian, meningkatnya mobilitas penduduk, gaya hidup, pendapatan masyarakat, broken home,  dan tantangan yang dihadapi. Belakangan ini, berita di media massa membukakan mata bahwa globalisasi juga berdampak pada penyebaran dan perluasan ruang lingkup operasi perempuan penghibur.

elain beberapa faktor-faktor di atas ada satu faktor yang jangan di kesampingkan, yaitu akses yang masih mudah di jumpai, bahkan beberapa tempat lokalisasi secara terang-terangan menawarkan jasa pelacuran. Berikut beberapa Fakta yang terjadi di Indonesia.

JAKARTA, JUMAT — Sekurangnya 150.000 anak Indonesia menjadi korban pelacuran anak dan pornografi tiap tahun. Angka itu meningkat 100 persen lebih dari statistik badan PBB, Unicef tahun 1998 yang mencatat sekitar 70.000 anak Indonesia menjadi korban pelacuran dan pornografi.
Koordinator Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) Ahmad Sofian yang ditemui hari Kamis (13/11) menjelaskan, 70 persen anak yang jadi korban berusia antara 14 tahun dan 16 tahun.

”Kejahatan yang menimpa mereka bervariasi, dari sindikat pelacuran, paedofilia, pornografi dan sebagainya. Perangkat hukum yang ada belum menjaring para konsumen yang terlibat eksploitasi seksual anak. Pria hidung belang paruh baya kini memburu pelacur anak karena dianggap bersih dan polos,” kata Sofian.

Jumlah pelacur anak di kota besar Indonesia mencapai angka ribuan orang. Di Jakarta diperkirakan sekurangnya ada 10.000 pelacur anak dan di Kota Medan, Sumatera Utara, ada setidaknya 2.000 pelacur anak. Jumlah lebih kecil dari kenyataan karena pelacuran anak merupakan fenomena gunung es.
Tarif kencan pelacur anak lebih tinggi ketimbang pelacur dewasa bahkan mahasiswi. Sofian menjelaskan, tarif kencan pelacur anak Rp 400.000 hingga Rp 1,5 juta. Mereka terjun ke pelacuran karena materialisme dan mengikuti gaya hidup mewah.

Para pelacur anak sangat rentan terhadap penularan penyakit kelamin hingga terjangkit virus HIV.”Berdasar survei di Medan, kurang dari 10 persen pelacur anak yang menggunakan pengaman dalam berhubungan seksual. Kini sejumlah pelacur anak menggunakan jasa perawatan medis resmi untuk mencegah kehamilan dengan disuntik ataupun pil kontrasepsi,” kata Sofian.

Jaringan pelacuran anak di kalangan siswi sekolah memiliki database dan daftar nomor telepon pelacur anak. Kondisi itu terjadi merata di kota-kota besar. Kota-kota yang menjadi pusat ESKA adalah Batam, Bali, Jakarta, Surabaya, Medan, dan tiga kota berdekatan, yakni Yogyakarta, Semarang, dan Solo. Anak-anak itu juga kerap diselundupkan ke luar negeri seperti Malaysia, Singapura, dan Jepang dengan berbagai modus.

C. Upaya Pengurangan Prostitusi

Berbagai upaya telah dilakukan untuk menghapuskan prostitusi, tetapi tetap saja ada dan tidak dapat dihilangkan, mengingat praktek prostitusi itu telah sama tuanya dengan kehidupan manusia sendiri. pandangan bahwa prostitusi merupakan perilaku kotor dan tidak bermoral serta salah satu penyakit sosial adalah fakta yang tidak dapat terbantahkan pula. “Tapi tidak mungkin pula untuk menghapuskan prostitusi adalah juga fakta tidak terbantahkan. Karena itu, penanganan prostitusi tidak dapat dilakukan secara sembarangan dan tidak hanya melihat berdasarkan aspek moral semata.

Prostitusi adalah persoalan yang rumit dan terkait aspek sosial, budaya, ekonomi, politik serta moral dan agama. Dalam hal ini Pemerintah bersama seluruh masyarakat disarankan untuk menggunakan pendekatan sosial, budaya, ekonomi, politik selain moral dan agama untuk mencari penyelesaian

Bab III. Penutup

A. Kesimpulan

Dalam kehidupan manusia, ekonomi adalah satu hal penting dalam keberlangsungan hidup, sehingga banyak orang melakukan apapun termasuk melacurkan diri. Padahal kegiatan prostitusi adalah sebuah kegiatan dimana masyarakat memandang hal tersebut melanggar nilai-nilai moral (perbuatan tercela), di sisi lain kegiatan tersebut dapat di tolerir demi nilai ekonomi, karena hampir sebagian besar kegiatan ini bersumber dari kemiskinan.

Rendahya pendidikan iman, takwa dan moral bisa di jadikan alasan semakin menjamurnya kegiatan prostitusi. Dan tidak selalu perempuan terus di salahkan karena dalam hal ini selalu di persalahkan, karena sebagai pelaku prostitusi, padahal banyak lelaki yang menfaatkanya.

B. Saran

Perlunya mencari pendekatan secara manusiawi dengan tidak selalu menyalahkan mereka yang terjun kedalam pelacuran karena pada dasarnya mereka (para wanita) adalah korban baik dari kekerasan, pemerkosaan dll. Dan selayaknya kita memperlakukan mereka secara manusiawi.
Janganlah kita melihat, menilai, apalagi menghakimi hitam-putih, baik-buruknya seseorang dari apa yang ia lakukan. Urusan benar-salah, dosa-tidak dosa, adalah urusan manusia dengan Tuhan-nya. Bagaimanapun, niat bertobat dalam hati para perempuan yang dilacurkan lebih patut dihargai jika dibandingkan dengan para koruptor berdasi dan dihormati yang diam-diam memakan uang rakyat banyak.
masyarakat bila digerakkan, dan bekerja sama dengan pihak-pihak terkait akan mampu melakukan tindak pencegahan dan penanggulanggan prilaku prostitusi di lingkungnya.

Leave a Reply