Daftar isi
Gender di Dalam Dunia Olahraga
Bab I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Isu tentang gender telah menjadi bahasan analisis sosial, menjadi pokok bahasan dalam wacana perdebatan mengenai perubahan sosial dan juga menjadi topik utama dalam perbincangan mengenai pembangunan dan perubahan sosial. Bahkan, beberapa waktu terakhir ini, berbagai tulisan, baik di media massa maupun buku-buku, seminar, diskusi dan sebagainya banyak membahas tentang protes dan gugatan yang terkait dengan ketidakadilan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan.
Ketidakadilan dan diskriminasi itu terjadi hampir di semua bidang, mulai dari tingkat internasional, negara, keagamaan, sosial, budaya, ekonomi, bahkan sampai tingkatan rumah tangga. Gender dipersoalkan karena secara sosial telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, hak dan fungsi serta ruang aktivitas laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Perbedaan tersebut akhirnya membuat masyarakat cenderung diskriminatif dan pilih-pilih perlakuan akan akses, partisipasi, serta kontrol dalam hasil pembangunan laki-laki dan perempuan, begitupun juga di dalam olahraga, kebanyakan masyarakat selalu memandang sebelah mata kaum perempuan terhadap perannya di dalam dunia olahraga, karena mungkin ada beberapa faktor yg memihak kepada laki-laki dari pada wanita.
B. Rumusan Masalah
- Apa itu gender dan olahraga?
- Bagaimana perbedaan gender di dalam dunia olahraga?
- Bagaimana permasalahan mengenai gender di dalam olahraga dan penyetaraan gender?
- Bagaimana hubungan perempuan dengan olahraga?
C. Tujuan
- Mengetahui apa itu gender dan olahraga.
- Mengetahui perbedaan gender dlam dunia olahraga.
- Memahami permasalahan gender dan penyetaraan gender.
- Mengetahui hubungan perempuan dengan olahraga.
Bab II. Pembahasan
A. Pengertian Gender dan Olaharaga
Gender bisa diartikan sebagai ide dan harapan dalam arti yang luas yang bisa ditukarkan antara laki-laki dan perempua, ide tentang karakter feminim dan makulin, kemampuan dan harapan tentang bagaimana seharusya laki-laki dan perempuan berperilaku dalam berbagai situasi. Ide-ide ini disosialisasikan lewat perantara keluarga, teman, agama dan media. Lewat perantara-perantara ini, gender terefleksikan ke dalam peran-peran, status sosial, kekuasaan politik dan ekonomi antara laki-laki- dan peempuan. (Bruynde, jackson, Wijermans, Knought & Berkven, 1997 : 7).
Kata Gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin (John M. echols dan Hassan Sadhily, 1983: 256). Secara umum, pengertian Gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Dalam Women Studies Ensiklopedia dijelaskan bahwa Gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Dalam buku Sex and Gender yang ditulis oleh Hilary M. Lips mengartikan Gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Misalnya; perempuan dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri-ciridari sifat itu merupakan sifat yang dapat dipertukarkan, misalnya ada laki-laki yang lemah lembut, ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain (Mansour Fakih 1999: 8-9).
Heddy Shri Ahimsha Putra (2000) menegasakan bahwa istilah Gender dapat dibedakan ke dalam beberapa pengertian berikut ini: Gender sebagai suatu istilah asing dengan makna tertentu, Gender sebagai suatu fenomena sosial budaya, Gender sebagai suatu kesadaran sosial, Gender sebagai suatu persoalan sosial budaya, Gender sebagai sebuah konsep untuk analisis, Gender sebagai sebuah perspektif untuk memandang kenyataan.
Dapat disebutkan bahwa gender merupakan perbedaan tingkah laku, peran dan sifat yang dimiliki oleh seorang laki-laki dengan perempuan yang berkemban di dalam masyarakat. Gender merupakan sebuah hal yang tumbuh di dalam masyarakat untuk membedakan perempuan dengan laki-laki baik dalam segi sifat maupun tingkah laku.
Olahraga merupakan sebuah kegiatan fisik yang sistematis dan teratur yang dilakukan manusia untuk meningkatkankebugaran jasmaninya serta untuk menjaga kesehatan tubuhnya. Semua manusia dapat melakukan aktivitas olahraga baik perempuan maupun laki-laki.
Tidak ada perbedaan gender di dalam olahraga. Karena semua orang boleh berolahraga dengan kemauan yang dimiliki serta kebutuhan hidup yang menuntut manusia untuk menjaga kesehatan dan kebugaran tubuhnya. Di dalam olahraga sendiri gender hanya di gunakan untuk mengelompokkan prempuan dan laki-laki di golangan pertandingan yang berbeda seperti halnya sepakbola putri dan sepakbola putra yang berbeda turnamen serta pertauran yang di berikan. Perbedaan ini tidak lain karena definisi gender diatas yang menekankan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki peran sifat dan tingkah laku yang berbeda.
B. Perbedaan Gender di dalam Olahraga
Seperti yang telah di jelaskan diatas bahwa gender di dalam olaharaga dibedakan pada kegiatan olahraga yang lebih spesifik seperti olaharaga wushu, sepakbola, bulutangkis dan lain sebagainya. Perbedaaan ini juga disebabkan karena kemampuan yang dimliki perempuan dan laki-laki berbeda. Perbedaan inilah yang menimbulkan anggapan atau bahkan pemikiran yang salah.
Perbedaan perlakuan terhadap atlet perempuan dan laki-laki pertama kali dapat dilihat atau ditampilkan di publik pada tahun 1970-an. Di mana tim olahraga wanita menerima dana yang lebih rendah dari tim pria. Tahun 1974 budget program olahraga pria lima kali lipat budget untuk wanita. Bahkan pada tingkat Universitas perbedaannya sampai 100 kali lipat (Women Sport, 1974).
Diskriminasi terlihat dalam hal fasilitas dan peralatan. Wanita menggunakan gedung olahraga yang usang di mana pria dibuatkan gedung yang baru. Wanita memakai peralatan bekas tim pria, jika tidak ada yang bekas terkadang tim wanita tidak mempunyai apa-apa. Dalam menggunakan fasilitas yang sama, wanita mendapatkan giliran jadual yang tidak fair.
Perempuan tidak mendapatkan perhatian yang cukup mengenai latihan seperti halnya pria. Sering kali untuk menuju ke pertandingannya, tim wanita harus menggunakan bis padahal tim pria mendapatkan pelayanan pesawat. Liputan media untuk berita tentang olahlraga wanita juga kurang, padahal olahraga pria selalu mendapatkan perhatian media surat kabar, radio bahkan televisi. Sampai adanya persamaan pada setiap bidang di atas, maka wanita tidak bisa dikatakan mendapatkan peluang yang sama dengan pria dalam program sekolah. Perbedaan seks dan gender dapat dilihat dalam Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Perbedaan Seks dan Gender
Seks (Jenis Kelamin) | Gender |
Tidak bisa berubah | Bisa berubah |
Tidak bisa dipertukarkan | Bisa dipertukarkan |
Berlaku sepanjang masa | Bergantung masa |
Berlaku dimana saja | Bergantung budaya masing-masing |
Berlaku bagi kelas dan warna kulit apa saja | Berbeda antara satu kelas dengan kelas yang lain |
Pada tingkat masyarakat, meski partisipasi olahraga perempuan telah meningkat, diskriminasi masih kentara. Misalnya pada penggunaan fasilitas, program yang tersedia dan pengurus yang ditugaskan untuk kegiatan olahraga wanita. Hal ini juga terjadi untuk tingkat olahraga amatir nasional. Adanya kepercayaan bahwa partisipasi olahraga menyebabkan efek fisik yang berbahaya bagi wanita. Mitos ini meliputi hal-hal sebagai berikut:
- Partisipasi yang keras dalam olahraga dapat mengganggu kemampuan untuk melahirkan, Hal ini disebabkan bahwa latihan fisik akan memperkeras otot pelvis, sehingga tidak akan cukup fieksibel untuk melahirkan secara normal.
- Aktivitas pada beberapa cabang olahraga dapat merusak organ reproduksi dan payudara wanita. Mitos ini tetap ada meskipun uterus adalah organ internal yang sangat anti getaran dan lebih terlindung dibanding organ vital pria.
- Struktur tulang wanita lebih lemah, sehingga akan memudahkan terjadinya cedera. Meski ukuran tubuh wanita umumnya lebih kecil dari pada pria, namun tulang mereka tidak lebih lemah. Bahkan, karena berat badan dan berat otot wanita lebih ringan, maka tulang mereka menghadapi bahaya yang lebih sedikit dibanding pria.
- Keterlibatan yang aktif membuat masalah pada menstruasi. Menurut para ginekolog, “aktivitas olahraga tidak mempengaruhi menstruasi.” (Wyrick, 1974). Memang bagi atlet dalam periode latihan yang keras, sering mengalami keterlambatan menstruasi. Namun hal ini disebabkan oleh kurangnya persentasi lemak tubuh, Jadi masalah ini akan hilang jika latihan ketat ini berakhir. Penari balet professional sering mengalami perubahan siklus menstruasi, namun hal ini juga berakhir jika latihan ketat mereka dihentikan.
- Keterlibatan dalam olahraga mengakibatkan timbulnya otot yang menonjol dan tidak menarik. Padahal suatu tubuh yang dikondisikan dengan baik akan menjadi menarik. Kondisi fisik yang baik ini juga akan meningkatkan image tubuh dan meningkatnya sifat responsif fisik. Otot yang menonjol dihasilkan oleh hormon androgen yang lebih banyak terdapat pada kaum pada. Namun hal ini bervariasi antar individu.
Kelima mitos tersebut, jelas sangat tidak beralasan bagi wanita untuk tidak berpartisipasi dalam olahraga, sehingga upaya untuk menghindari orang yang masih menganut mitos tersebut di atas, adalah melalui pendidikan. Jadi pendidikan adalah penting untuk menghilangkan mitos yang tidak berdasarkan ilmu pengetahuan ini.
Selain mitos yang menganggap olahraga mampu menghambat fisik seorang perempuan ada pula pola diskriminasi. Hal ini terllihat dengan adanya argumentasi bahwa wanita tidak bisa tampil lebih baik dari pria. Hal ini sangat menghambat karena akan membatasi peluang, sehingga membatasi wanita untuk membangun kemampuannya.
Sebelum masa puber, perbedaan performansi antara anak laki-laki dan perempuan disebabkan oleh pengalaman bukan oleh faktor fisik ataupun potensi performansinya. Bahkan wanita rnempunyai keuntungan yang lebih baik karena mereka lebih cepat dewasa. Setelah masa puber, keuntungan ada di pihak pria karena hormon dan perbedaan pertumbuhan yang menyebabkan rata-rata pria lebih besar dan lebih kuat dari rata-rata wanita. Hal ini bisa digunakan sebagai dasar untuk membagi-bagi olahraga, namun bukan alasan untuk menutup peluang bagi wanita.
Jika pengalaman dan peluang bagi wanita dan pria sama, maka perbedaan ini akan hilang secara bertahap. Pada beberapa cabang olahraga perbedaan ini mungkin akan tetap ada, namun pada cabang-cabang lainnya perbedaan ini malah bisa terjadi sebaliknya. Misalnya pelari marathon wanita, Grete Waitz dari Norwegia mencatat waktu 2 jam 25 menit 41 detik pada New York City Marathon, waktu yang lebih baik dari pemenang pria saat itu. Pada cabang olahraga yang membutuhkan daya tahan dan bukan kekuatan, maka wanita akan lebih baik daripada pria. Karena itu tidak masuk akal jika mencegah peluang pria pada cabang ini, dan juga tidak masuk akal untuk mencegah wanita pada cabang lain hanya karena ada kemungkinan bahwa pria akan mengunggulinya.
Mitos performansi diperkuat oleh sejarah pembatasan dan diskriminasi. Mitos ini mulai berkurang, tapi jika individu dan kelompok yang berpengaruh (seperti IOC) masih menganut hal ini, maka diskriminasi akan terus berlanjut.
C. Permasalahan Mengenai Gender di dalam Olahraga dan Munculnya Penyetaraan Gender
Perbedaan gender juga dapat menimbulkan berbagai masalah dan juga perdebatan mengenai posisi laki-lakin dan juga perempuan. Akan tetapi banyak timbul permasalahan mengenai gender perempuan di olahraga. Karena perempuan lebih rapuh apa lebih lemah kemampuan fisiknya untuk melakukan olaharaga yang dilakukan oleh kalangan laki-laki. Oleh sebab itu wanita sering dirremehkan untuk melakukan aktifitas olahraga yang berat seperti kontak fisik dan ketahanan.
Bagi Anda yang mengikuti berita mengenai SEA Games 2015 di Singapura akhir-akhir ini, pasti tidak asing dengan berita yang satu ini. Sebuah headline dari portal media online memaparkan sebuah judul tulisan SEA Games 2015;Filipina Minta Panitia Periksa Gender Pemain Voli Putri Indonesia (Tribunnews.com, Rabu 10 Juni 2015). Dari berita tersebut saya menyimpulkan bahwa pada intinya Filipina mengajukan protes kepada panitia pelaksana SEA Games 2015 Singapura atas gender pemain tim bola putri Indonesia, Aprilia Santini Manganang.
Filipina menuntut dan meminta mereka memeriksa karakteristik gender pevoli putri tersebut. Menurut Inquirer.net, Roger Gorayeb sebagai pelatih voli tim putri Filipina meragukan Aprilia karena penampilan fisiknya yang tampak berotot, sangat kuat, seperti memasukkan pemain putra dalam tim putri.
Kasus yang menjadi sorotan dalam headline tersebut adalah mengenai ‘tes gender’. Tes gender di dalam ajang olahraga ini ternyata bukanlah yang pertama kali. Sebelum kasus Aprilia, ajang olahraga Internasional lain pernah mengalami hal ini. Diantaranya adalah kasus Santhi Soundarajan, pelari putri India dan Caster Semenya, pelari putri Afrika Selatan. Tes gender dalam ajang olahraga merupakan hal yang sangat kontroversial dan sensitif. Tes gender diyakini dapat menimbulkan dampak psikologis pada si atlet (tribunnews.com). Bukan hanya itu, tes gender sendiri memiliki proses yang sangat kompleks dan melibatkan banyak ahli di dalam dunia kesehatan.
Orang awam pada umumnya mengartikan ‘gender’ dengan pengertian yang sama dengan ‘jenis kelamin’ (seks). Namun, secara ilmiah keduanya memiliki pengertian yang berbeda. Seks mengacu kepada hal-hal yang berkaitan dengan ciri-ciri biologis seperti jenis kelamin dan penentuan jumlah kromosom seseorang (Beauvoir, 1975). Karena seks mengacu pada ciri-ciri biologis seseorang, maka seks menjadi penentu perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki yang dibawa sejak lahir. Seks atau jenis kelamin juga dinilai sebagai sesuatu yang mengacu pada perbedaan psikis dan psikologis antara perempuan dengan laki-laki, termasuk karakteristik primer seks (sistem reproduksi) dan karakteristik sekunder seperti ukuran tubuh dan massa otot (Little and McGivern, 2012).
Berdasarkan kasus tes gender yang pernah terjadi, semua yang harus menjalani tes ini adalah atlet perempuan. Menurut sebuah berita dalam tempo.co, atlet perempuan tidak lagi dapat bertanding sebagai wanita jika mereka memiliki kadar testosterone alami dalam kisaran pria.
Terdapat pedoman baru tentang hiperandrogenisme pada perempuan yang direkomendasikan olehInternational Olympic Comission (IOC) pada 5 April 2011 dan diterima oleh Asosiasi Federasi Atletik Internasional (IAAF) pada 12 April 2011(dikutip dari portal berita Tempo.co, Kamis 5 Mei 2011 oleh Tjandra Dewi). Hiperandrogenisme sendiri adalah sebuah kelainan hormon dan ovarium dan kelenjar adrenal (American Association of Clinical Endocrinologists, 2001). Menurut tempo.co, kasus hiperandrogenisme yang paling umum adalah sindrom insensitivitas androgen (AIS). Dalam kasus AIS janin sebenarnya dikategorikan dengan jenis kelamin laki-laki (secara genetik). Namun, reseptor testosteronnya tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, janin tidak menanggapi sinyal hormonal untuk berkembang seutuhnya dengan karakteristik biologis laki-laki. Dalam kasus ini, biasanya janin akan berkembang sebagai perempuan akan tetapi ia tak punya ovarium, melainkan testis (dikutip dari portal berita Tempo.co, Kamis 5 Mei 2011oleh Tjandra Dewi).
Menurut Malcolm Collins seorang ahli biokimia medis yang mengambil spesialisasi kedokteran olahraga si University of Cape Town, tes gender dalam ajang olahraga ini adalah bentuk aturan main yang fair. Peraturan ini berlaku untuk perempuan yang memproduksi hormon androgen, terutama testosterone melebihi level normal. Ini berefek samping pada postur dan karakteristik biologis perempuan tersebut seperti karakteristik biologis laki-laki. Tubuh akan berekembang memiliki massa otot lebih besar. Di sisi lain, seorang ahli endokrinologi di Yale School of Medicine di New Haven, Connecticut, Myron Genel menyatakan bahwa pedoman itu seharusnya mengeliminasi stigmatisasi terhadap perempuan yang dianggap banyak orang tidak terlihat ‘sebagaimana mestinya’.
Dari penjelasan tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa ‘tes gender’ ini bisa memperlihatkan kepada masyarakat luas bahwa terdapat variasi seks dalam tubuh manusia. Bukan seks yang berarti jenis kelamin, melainkan komponen-komponen biologis seperti kapasitas kromosom dan hormon seseorang. Satu hal yang menjadi sangat penting, ‘tes gender’ ini hadir karena peraturan dan ketentuan dalam ajang olahraga yang jelas-jelas bersifat sangat biner. Sehingga, orang-orang dengan karakteristik seks yang spesial dan pilihan gender yang tidak mainstream (transgender), diragukan untuk ikut serta dalam ajang olahraga umum seperti ini. Seks dan gender itu sangat cair dan bervariasi. Mungkin di satu sisi pedoman peraturan ajang olahraga ini terkesan diskriminatif. Namun, semua ini ada karena efek domino dari pandangan yang biner dan heteronormativitas. Yang sudah terpatri dalam benak orang awam adalah “perempuan memiliki karakteristik tubuh dan sifat X” sedangkan “laki-laki memiliki karakteristik tubuh dan sifat Y”. Sehingga saat “perempuan itu Y” dan “laki-laki itu X” maka akan dianggap ‘di luar normal’.
Dari permaslahan tersebut muncullah pemikiran mengenai penyetaraan gender. Pemikiran ini muncul karena perempuan dianggap mampu menorehkan prestasi yang bagus dalam olahraga. Dari beberapa permaslahan yang ada mengenai gender membuat penyetaraan gender ini diperlukan. Ada sebuah contoh mengenai munculnya penyetaraan gender yang dikutip dari CNN Kamis, 22/01/2015 13:07 WIB
Satu sosok perempuan dengan rambut pirang yang dibiarkan tergerai di balik topi hangatnya mengangkat papan ski dengan puas. Lindsey Vonn, perempuan asal Amerika Serikat yang tahun ini berusia 31 tahun itu telah mencetak rekor baru di dunia atlet perempuan.
Kekasih dari Tiger Wolf itu menjadi perempuan yang paling banyak memenangkan gelar Piala Dunia Ski pada pekan lalu. Ia berhasil mencetak kemenangan ke-63 di kawasan pegununang Alpen yang berada di Cortina d’Appezzo, Italia.
Dalam Piala Dunia di Italia itu, Vonn juga berhasil berdiri di atas podium nomor satu super-G. “Setiap kali saya memulai di garis awal, saya akan mencoba untuk menang, tak peduli itu 60, 61, 62, atau apapun itu, saya hanya mencoba untuk mengeluarkan kemampuan ski yang terbaik,” kata Vonn seperti dilansirCNN. Torehan yang diperoleh Vonn itu mengingatkan para penggemar olahraga bahwa perempuan pun mampu mengejar prestasi di dunia olahraga.
Untuk mewujudkan kesetaraan gender dalam dunia olahraga bahkan Komite Olimpiade Internasional memiliki komisi khusus untuk perempuan. Komisi itu memfasilitasi konferensi dunia tentang perempuan dalam olahraga. Tahun lalu adalah ajang yang ke enam dari konferensi perempuan dan olahraga. Konferensi itu berlangsung di Helsinki, Finlandia, 12-15 Juni 2014. Prestasi Vonn itu seolah melengkapi andil perempuan dalam olahraga yang dicapai pesepak bola perempuan asal Irlandia, Stephanie Roche. Pada perhelatan FIFA Ballon d’Or 2014, Roche berhasil menembus tiga besar kandidat penghargaan pencetak gol terbaik, Puskas Award.
AKhirnya, Roche gagal mendapat penghargaan Puskas itu. Namun, perempuan berusia 25 tahun itu menjadirunner-uppencetak gol terbaik 2014–di bawah James Rodriguez dan di atas Robin van Persie. Namun, terlepas dari prestasi yang ditorehkan Roche dan Vonn, stigma mengenai posisi perempuan sebagai atlet masih belum juga hilang.
Di beberapa negara konservatif, perempuan masih belum mendapat tempat setara. Salah satunya Arab Saudi yang dikritik tidak mengikutsertakan atlet dalam Asian Games di Incheon, Korea Selatan tahun lalu. Saat itu otoritas olahraga Arab sendiri berkilah mereka tak mengikutsertakan atlet karena tak ada yang kompeten untuk berkompetisi.
Di sisi lain, Jepang mencoba menghilangkan diskriminasi gender dalam dunia olahraga lewat aksi menunjuk atlet perempuan, Hiromi Miyake, sebagai kapten kontingen dan Kaori Kawanaka sebagai pemegang bendera dalam Asian Games 2014. Kala itu adalah yang pertama bagi Jepang menunjuk atlet perempuan untuk memimpin para atlet mereka dalam ajang olahraga internasional. Masih adanya diskriminasi gender dalam dunia olahraga juga diakui Presiden IOC, Thomas Bach. Seperti dikutip dari situs IOC, Bach mengatakan pihaknya telah berupaya untuk memperjuangkan partisipasi perempuan dalam olahraga selama lebih dari dua dekade.
“Hasilnya terlihat. Sebanyak 23 persen atlet pada Olimpiade 1984 di Los Angels adalah perempuan dan lebih dari 44 persen perempuan lagi pada Olimpiade 2012 di London.Selain itu, jika semula hanya ada dua perempuan yang jadi bagian anggota komisi IOC pada 1981, kini menjadi 24 pada 2014,” tuturnya saat konferensi di Helsinki. hal tersebut yang memunculkan deklarasi mengenai kesetaraan gender.Kesepakatan internasional yang menyokong kesetaraan gender dalam dunia olahraga ditandatangani di Brighton, Inggris pada 1994. Deklarasi itu ditujukan kepada setiap pihak, pemerintah, otoritas, organisasi, dan sebagainya terlibat dalam advokasi perempuan dalam olahraga. Organisasi olahraga yang pertama kali menandatangani itu adalah IOC. Sejak saat itu sampai dengan saat ini sudah lebih dari 400 entitas yang menyokong deklarasi tersebut.
D. Perempuan dengan Olahraga
Dalam penjelasan-penjelasan yang sebelumnya banyak menyinggung mengenai perempuan dalam olahraga. Hal tersebut dikarenakan olahraga masih dipandang tidak mampu dilakukan oleh perempuan karena kemampuan fisik perempuan sedikit lemah dibandingkan degan laki-laki.
Setiap perempuan tidak semuanya mendapat status atlet atau olahragawan sejak mereka lahir.. Status partisipan olahraga hanya diperoleh melalui tindakan yang ditunjukkan dengan perbuatannya pada aktivitas olahraga. Dapat dikatakan bahwa status atlet, yang dimiliki wanita, merupakan achieved-status yaitu kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan usaha-usaha yang disengaja. Kedudukan ini tidak diperoleh atas dasar kelahiran (ascribe-status). Achieved status bersifat terbuka bagi siapa saja tergantung dari kemampuan masing-masing dalam mengejar serta mencapai tujuan-tujuannya. Dari konsep ini stratifikasi sosial akan terjadi.
Semua wanita memiliki kesempatan sama untuk memperoleh status tertentu di masyarakat, tetapi karena kemampuan dan pengalaman berbeda berdampak pada lahirnya tingkatan-tingkatan status yang akan diperoleh wanita dalam partisipasinya di olahraga.
Bagaimanapun juga setiap wanita berolahraga menginginkan prestise dan derajat sosial dalam kehidupan di masyarakatnya. Bukan sebagai pengakuan atas keberadaannya oleh anggota kelompok, melainkan sebgai salah satu tuntutan kebutuhan untuk harga diri dan atau self-esteem (Teori kebutuhan menurut Maslow). Peningkatan status sosial wanita berolahraga memaksakannya untuk terus memobilisasi setiap tindakan. Mobilitas sebagai salah satu peningkatan status sosial menurut Ralph H. Turner memiliki dua bentuk yaitu yang pertamaContest mobility (mobilitas sosial berdasarkan persaingan pribadi), dan yang kedua Sponsored mobility (mobilitas sosial berdasarkan dukungan).
Seorang perempuan di dalam olahraga juga meiliki peranan. Peranan (role) merupakan dinamika dari status atau penggunaan dari hak dan kewajiban (Susanto, 1985), aspek dinamis kedudukan (status) (Soekanto, 1990). Sehingga apabila perempuan melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka dia menjalankan suatu peranan. Peranan mungkin mencakup tiga hal yaitu :
- Meliputi norma-normayang dihubungkan dengan posisi seseorang, serangkaian peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan.
- Konsep tentang apa yang dapat dilakukanoleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi.
- Perilaku individuyang penting bagi struktur sosial masyarakat.
Peranan dengan status keduanya tak dapat dipisah-pisahkan, karena yang satu tergantung kepada yang lain dan sebaliknya. Tak ada peranan tanpa kedudukan atau kedudukan tanpa peranan. Maka sudah selayaknya seorang wanita partisipan olahraga yang telah berbuat sesuai norma di masyarakat, berperilaku di masyarakat sebagai organisasi (resmi dan tidaknya, olahraga adalah sebuah organisasi), dan merupakan struktur sosial masyarakat mendapat peranan sosial dari kedudukannya sebagai perempuan yang berolahraga.
Hanya saja sering dilupakan bahwa dalam interaksi sosial yang paling penting adalah melaksanakan peranan. Tidak jarang terjadi bahwa kedudukan lebih diutamakan sehingga terjadi hubungan-hubungan timpang yang tidak seharusnya terjadi. Contoh dalam dunia olahraga, peranan manajer yang melebihi kekuasaan pelatih dalam menentukan siapa atlet yang harus bertanding, peranan atlet profesional yang tidak mencerminkan jati dirinya sebagai olahragawan yang menjunjung sportivitas (fair play). Sehingga lebih cenderung mementingkan bahwa suatu pihak hanya mempunyai hak saja, sedang pihak lainnya hanyalah mempunyai kewajiban belaka.
Dalam dunia olahraga ketimpangan ini menyebabkan terjadinya ketidakmerataan kesempatan. Perempuan hanya dijadikan sebagai faktor pendukung yang keberadaannya bukan prioritas, bukan yang utama. Misalnya dalam beberapa kasus olahraga profesional, perempuan a hanya sebagai objek pelengkap seperti umbrella girls di otomotif sports, atau pemandu sorak dalam beberapa olahraga.
Permainan. Hingga status dan peranannya bukan sebagai “bintang”, tidak pula sebagai pemain utama. Ketimpangan-ketimpangan yang lebih luas terjadi pada masyarakat partisipan aktivitas tertentu, termasuk aktivitas olahraga, akibat ketidaksesuaian harapan (dalam konteks olahraga Indonesia rasanya lebih tepat dikatakan tuntutan) dengan peranan terhadap peranan yang tepat dalam menduduki suatu status (Davis, 1948) terjadi karena :
- Harapan masyarakat kurang memperhatikan tindakan sebenarnya atau sebaliknya,
- Apabila harapan masyarakat akan tindakannya diketahui, akan tetapi waktu dan situasi tidak memungkinkan bagi individu yang bersangkutan,
- Apabila pemenuhan harapan masyarakat di luar kemampuan individu.
Masyarakat olahraga Indonesia masih kuat dengan konsep kalah menang, bahwa suatu pertandingan hanya sebatas pemenang dan pecundang. Sehingga identik dengan menyamaratakan status tanpa memahami peranan yang diemban. Kita menyamakan status atlet kita dengan atlet dunia, tanpa mengerti proses untuk memperoleh status terlebih peranannya seperti apa. Dunia olahraga wanita lebih memperoleh “kesialan” dari konsep ini. Kita lebih tahu bahwa tim putri kita adalah pecundang tanpa mengerti siapa lawannya dan proses untuk menjadi pecundang (karena kita memang kalah start dalam proses pembinaan olahraga wanita).
Tim sepakbola kita lebih banyak kalahnya, tim bulutangkis semakin terpuruk, berpindahnya pebulutangkis putri harapan kita ke negara lain, ketidakmampuan induk olahraga dalam proses regenerasi atlet wanita. Ini semua adalah trend yang semakin memperburuk persepsi masyarakat terhadap aktivitas wanita berolahraga. Salah satu penyebabnya adalah perbedaan kesempatan. Menururt Coakley (1990) dari beberapa kasus bahwa wanita masih memiliki sedikit kesempatan dibandingkan pria, terutama di kota-kota kecil dan wilayah pedesaan. Yang lebih sering terjadi adalah kekurangan, diantaranya dalam hal :
- Persediaan dan pemeliharaan peralatan dan penyebarannya,
- Penjadwalan pertandingan dan waktu latihan,
- Kesempatan memperoleh pelatihan dan tutor akademik,
- Penugasan dan kompensasi pelatih dan tutor
- Ketersediaan obat-obatan dan pelayanan latihan serta fasilitas
- Publisitas bagi secara individu, team, dan event.
Harusnya Indonesia memiliki keuntungan dalam hal kesempatan perempuan berolahraga, karena negara ini dipimpin oleh seorang perempuan juga, yang secara karakter psikis lebih menonjolkan perasaan. Perempuan pun berkeinginan sama untuk mendapat penghargaan selayaknya pria. Hanya proses ke arah itu tidak berkesempatan sama dengan yang dimiliki pria karena terkait kebijakan yang dihasilkan adalah kesepakatan dominasi pria yang duduk di lembaga legislatif dan eksekutif. Seandainya presiden negara ini berprioritas pada peningkatan sumber daya perempuan (bukan sebatas retorika) denga tegas memberikan ascribe status dan achieved status sebagai individu yang berhak mendapatkan kesempatan dan penghargaan yang sama dengan lawan jenisnya. Dengan pertimbangan perspektif sosiologis sebagai acuan dalam membicarakan kedudukan dan peran atlet di masyarakat seperti yang dikemukakan Dr. Vassiliki Avgerinou dari Swiss dalam makalahnya Kedudukan dan Peran Atlet di Masyarakat , yaitu :
- Keberadaan atlet di masyarakat serta pribadi atlet sebagai individu dipandang sebagai bagian dari pola-pola sosial; dan perasaan-perasaan mereka didasari oleh peraturan-peraturan yang berlaku.
- Individu yang hidup dalam suatu pranata sosial dan lingkungan masyarakat akan terlibat kegiatan dan tindakan di dalam kehidupan sehari-harinya.
- Sebagai individu yang rasional, seseorang mampu mengevaluasi tindakannya secara intelektual.
Hal inilah yang setidaknya memberikan kontribusi bagi pemikiran agar status dan peranan perempuan dalam olahraga memperoleh porsi yang lebih luas lagi menyerupai kesempatan yang diperoleh pria. Perempuan tidak lagi berada di belakang dalam startnya untuk memperoleh status dan peranan sosial di masyarakat dibandingkan kaum pria. Faktor pendukung ke hal itu adalah kesadaran seluruh masyarakat. Bahwa bagaimanapun juga suatu keberhasilan yang meningkatkan status bangsa di dunia internasional adalah buah kerja sama antara pria dengan perempuan. Andai saja bangsa ini adalah negara yang menghormati sejarah serta terus mengenangnya, kita diingatkan pada prestasi tertinggi yang diperoleh duta-duta bangsa dalam olimpiade 1996 saat pertama kalinya lagu kebangsaan Indonesia Raya berkumandang adalah buah kerja keras seorang perempuan bernama Susi Susanti.
Perempuanlah sebenarnya yang menjadi perintis bagi KONI untuk terus mencanangkan upaya mendulang medali pada olimpiade-olimpiade berikutnya. Hanya saya kita adalah masyarakat hedonis yang bersuka cita sesaat tanpa mampu mengambil makna dari setiap peristiwa yang mampu menorehkan prestasi spektakuler. Yang pada akhirnya kita tetap lupa (atau mungkin mengabaikan) akan “kemashuran” atlet wanita yang berhasil mencetak prestasi melebihi kaum pria. Sehingga status dan peranan wanita dalam olahraga masih terus berada di belakang kaum pria.
Coakley (1990) mengungkapkan pula bahwa masih adanya mitos yang keliru dan masih dipegang oleh masyarakat, terutama terjadi pada negara-negara yang tingkat pendidikan dan informasi medik masih rendah :
- Keikutsertaan yang berat dalam olahraga mungkin menjadi penyebab utama masalah kemampuan menghasilkan keturunan.
- Aktivitas pada beberapa event olahraga dapat merusak organ reproduksi atau payudara wanita.
- Wanita memiliki struktur tulang yang lebih rapuh dibandingkan pria sehingga lebih mudah mengalami cedera.
- Keterlibatan intens dalam olahraga menyebabkan masalah pada menstruasi.
- Keterlibatan dalam olahraga membawa ke arah perkembangan yang kurang menarik, menonjolkan otot.
Alasan-alasan inilah yang memperburuk persepsi masyarakat terhadap keterlibatan wanita dalam olahraga yang secara langsung berpengaruh pada pemberian status dan peranan sosial perempuan dalam kehidupannya secara khusus di bidang olahraga dan umumnya di kehidupan keseharian di masyarakat di mana pola-pola interaksi sosial berlaku di lingkungannya. Terlepas dari itu semua, bagaimanapun juga semakin banyak wanita yang menyukai kegiatan fisik dengan tingkat penampilannya yang terus meningkat. Walaupun terdapat masalah kesehatan khusus yang berhubungan dengan fungsi reproduksinya yang unik, tetapi manfaatnya bagi kesehatan dan pergaulan sosial, jauh melebihi pengaruh-pengaruh merugikan yang terjadi selama ini (Giriwijoyo, 2003 : 45).
Dengan mencermati bentuk mobilitas dan peranan perempuan dalam olahraga maka pemberian status sosial kepada perempuan berolahraga hendaknya mampu diberikan sesuai porsi proses yang telah dilakukannya. Hal ini mungkin berdampak kepada proses menghilangkan perbedaan pemberian penghargaan diantara atlet pria dan perempuan yang sama-sama menjadi juara di kelompoknya (gender). Misalnya sejumlah hadiah yang masih dibedakan diberikan antara kelompok putra dengan putri. Meski mungkin pertimbangannya adalah ketika pertandingan putra sering melahirkan tindakan yang lebih akrobatik, atraktif, skill tinggi (jika dibandingkan dengan kelompok putri), terlebih jika didramatisir oleh pers yang secara jumlah memang kaum pria di kalngan pers lebih banyak yang tentu saja akan selalu memberikan dukungan lebih pada sesamanya, yang berdampak pada semakin banyaknya jumlah penonton dan secara otomatis pemasukan keuntungan dari penjualan karcispun lebih besar.
Terlepas dari itu, status perempuan berolahraga memang masih menempati porsi lebih rendah dari kaum pria. Anekdotnya bisa dikatakan karena wanita kalah “start”. Semenjak zaman Yunani dan Romawi, sebagai perintis olahraga modern, wanita belum memperoleh kesempatan yang luas dibandingkan pria, bahkan dilarangnya berpartisipasi meski sebenarnya telah memiliki kemampuan yang sama dengan pria (dari beberapa mitolog Artemis dan Athena, Theseus, Hippolyta).
Bab III. Penutup
A. Kesimpulan
Dari penejelasan diatas dapata ditarik kesimpulan mengenai gender di dalam olahraga, antara lain:
- Gender merupakan perbedaan tingkah laku, peran dan sifat yang dimiliki oleh seorang laki-laki dengan perempuan yang berkemban di dalam masyarakat. Sedangkan olahraga sendiri adalah sebuah kegiatan fisik yang sistematis dan teratur yang dilakukan manusia untuk meningkatkankebugaran jasmaninya serta untuk menjaga kesehatan tubuhnya.
- Perbedaan gender di dalam olahraga sering kali dilihat dari perbedaan kemampuan baik fisik maupun mental yang dimiliki laki-laki dan perempuan.
- Permasalahan gender sering muncul ketika perempuan melakukan kegiatan olahraga yang lebih spesifik atau spesialisasi olahraga. Karena perempuan dianggap lemah dalam kemampuan fisik. Banyak kasus mengenai permasalahan mengenai gender misalnya mengenai kasus gender pemain tim bola putri Indonesia Aprilia Santini Manganangyang dianggap laki-laki dalam SEA GAMES 2015
- Perempuan sering dianggap sebelah mata di dalam bidang olahraga karena ketidak mampuan fisik yang dianggap lemah dibandingkan laki-laki. Perempuan memiliki kemampuan dan keinginan berolahraga. Permpuan sangat berperan dalam bidang olaharaga baik sebagai perintis maupun mengajukan pemikiran mengenai olaharaga.
B. Saran
Gender merupakan hal yang memiliki keterkaitan yang erat dengan olahraga. Baik perempuan maupun laki-laki mempunyai kesempatan yang sama untuk berolahraga. Sehingga perempuan dan laki-laki mempunyai kesetaraan yang sama dalam melakukan olahraga. jangan menganggap sebelah mata perempuan yang berolahraga karena perempuan mempunyai hak dan peran di dalam olahraga.
DAFTAR RUJUKAN
Perdebatan Gender di Dunia Olaharaga, (Online), (http://www.cnnindonesia.com/olahraga/20150122114209-178-26470/perdebatan-gender-di-dunia-olahraga/), diakses 21 November 2015
Menyorot Tes Gender di Ajang Olahraga,(Online),(http://www.suarakita.org/2015/06/), diakses 21 November 2015
Fakih, Mansour. 1996. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar: Yogyakarta
Komar Hidayat. 2004. Wanita Dalam Olahraga. Jakarta: Widyaiswara PPPG Tertulis Bidang Studi Olahraga
Coakley, Jay J. (1990). Sport in Society Issues and Controversies. Fourth Edition. Time Mirror/Mosby College Publishing – St. Louis-Toronto-Boston-Los Altos.
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.