Makalah Asal Usul Suku Bugis

Asal Usul Suku Bugis

Bab I. Pendahuluan

A. Latar Belakang

Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling tinggi dibanding makhluk Tuhan lainnya. Manusia di anugerahi kemampuan untuk berpikir, kemampuan untuk memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan kelebihan itulah manusia seharusnya mampu mengelola lingkungan dengan baik. Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri.Manusia selalu berinteraksi dengan lingkungan, dan hidup berkelompok.

Dalam kehidupan sosial manusia, ada istilah adat istiadat dimana setiap kelompok/suku memiliki adat istiadat dn aturan yang berbeda-beda. Baik dari segi tata cara pernikahaan, keagamaan, dan tata cara menjalani kehidupan sehari-hari. Dengan banyaknya suku yang berbeda, tidak membuat terciptanya permusuhan antar sesama manusia, karena sikap saling menghormati dan menghargai menjadi salah satu sikap yang di tanamkan sejak dini.

Salah satu suku yang terkenal dalam penyebarannya yaitu suku Bugis. Salah satu suku yang terkenal karena jiwa perantauannya yang hingga ke mancanegara. Bahakan adat istiadatnya menjadi salah satu bahan ketertarikan para wisatawan baik dalam negeri maupun luar negeri.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah yang diuraikan, banyak permasalahan yang didapatkan. Permasalahan tersebut adalah :

  1. Bagaimana awal mula suku bugis?
  2. Apa kepercayaan asli masyarakat Sulawesi Selatan?
  3. Apa mata pencaharian suku bugis?
  4. Bagaima bahasa, literature dan kesenian suku bugis?

C. Tujuan Penulisan

  1. Untuk mengetahui awal mula dari suku bugis
  2. Untuk mengetahui secara rinci kepercayaan asli yang dianut masyarakat suku bugis
  3. Untuk mengetahui mata pencaharian suku bugis dalam memenuhi kebutuhan hidupnya
  4. Untuk mengetahui bahasa, literature dan keseniaan suku bugis.

Bab II. Pembahasan

A. Asal Usul Suku Bugis

Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Deutero Melayu. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan.

Kata “Bugis” berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan “ugi” merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayahanda dari Sawerigading.

Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti ButoN.

B. Kepercayaan Asli Masyarakat Sulawesi Selatan

1. Kepercayaan Towani Tolotang 

Towani Tolotang merupakan salah satu kelompok social di Kelurahan Amparita. kepercayaan Towani Lotang merupakan kebudayaan yang didirikan oleh La Panaungi, system ini juga banyak di anut oleh masyarakat suku bugis, hingga saat ini sudah sekitar 16 ribu masyarakat suku bugis yang menganut system kepercayaan ini. Towani Tolotang juga merupakan sebutan bagi agama yang mereka anut, kepercayaan Towani Tolotang bersumber dari Kepercayaan yang didirikan oleh La Panaungi karena mendapat wahyu dari Sawerigading untuk melanjutkan ajarannya dan melakukan pemujaan terhadap dewata sawwae. kitab suci dari ajaran ini adalah La Galigo. Kitab suci ini disimpan dan dilafalkan oleh pemimpin mereka yang disebut “uwak” dan kemudian akan diwariskan secara turun menurun kepada penerusnya secara lisan. 

Dalam masyarakat Towani Tolotang dikenal adanya pemimipin agama yang mereka sebut Uwa dan Uwatta yang sekaligus sebagai semacam kepala suku. Kelompok Uwa dan Uwatta menempati posisi tertinggi dalam system pelapisan social dikalangan masyarakat Towani Tolotang. Sebagai pemimpin agama para Uwa dan Uwatta dijadikan sebagai panutan dalam masyarakat, juga sebagai perantara manusia dengan Dewata Sewwae. Dalam masyarakat terdapat tujuh orang uwak yang salah satunya di angkat menjadi emimpin dan dinamakan “uwak battoa” atau disebut juga pemimpin besar. Sementara uwak lainnya memiliki garis tugas masing-masing diantara mengurusi daerah persawahan, upacara adat, kehidupan social, penyelenggaraan upacara ritual dan lain sebagainya.

Menurut pengakuan uwak languga setti sebagai salah satu tokoh masyarakat Towani Lotang yang bertindak sebagai juru bicara, nama tersebut bukanlah nama kepercayaan kami ( towani lotang). Karena nama tersebut pada mulanya adalah nama raja yang pernah memimpin di sedenreng sejak 1609-1910 terhadap kelompok atau komunitas Towani Lotang

Kehidupan sosial Towani Tolotang yang nampak dalam kesehariannya merupakan cerminan dari ajaran agama yang ada. Pola perilaku terjadi tentu tidak terlepas dari konsep-konsep agama yang ada, hal ini dapat disaksikan pada setiap sesi kehidupan, dimana setiap akan memulai suatu pekerjaan diperlukan serangkaian acara serimonial keagamaan. Towani Tolotang meyakini bahwa setiap kegiatan yang dilaksanakan haruslah dilakukan upacara atau ritual tertentu agar mendapat restu dari Dewata Sewwae, karena tanpa restu dari Nya, sulit untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

Pada mulanya masyarakat Towani Lotang adalah masyarakat penggungsi dan dari daerah asalnya yang bernama Wani di Kerajaan (Kabupaten Wajo). Daerah di sebelah barat dan tempatnya sekarang. Ketika masa pengislaman kerajaan di sulsel yang dibawa oleh ulama dari melayu dan dibantu oleh kerajaan gowa pada mula abad 17 tahun 1610.

2. Aluk Tudolo

Di daerah Tana Toraja sekarang ini masih hidup sebuah kepercayaan purba yang bernama Aluk Todolo yang lazim juga di sebut Alukta. Kepercayaan ini merupakan kepercayaan asli masyarakat Toraja walaupun sekarang ini mayoritas penduduknya telah beragama terutama agama Kristen Protestan dan agama Kristen Katholik. Inti ajaran Alukta menyatakan bahwa manusia harus menyembah kapada 3 oknum yaitu: 

  • Puang Matua sebagai pencipta segala isi bumi 
  • Deata-deata yang jumlahnya banyak sebagai pemelihara seluruh ciptaan Puang Matua. 
  • Tomembali Puang/todolo sebagai pengawas yang memperlihatkan gerak-gerik serta berkat kepada manusia keturunannya 

Menyimak hal di atas khususnya point ke-3, maka jelaslah bahwa menurut kepercayaan mereka, manusia yang masih hidup tidak akan terlepas dari pengawasan arwah leluhurnya yang disebut Tomembali Puang/Todolo. Dengan kata lain arwah-arwah seseorang yang telah meninggal tidak akan melupakan keturunannya begitu saja akan tetapi tetap memperhatikannya. Hal itu berarti antara orang yang telah meninggal dengan orang yang masih hidup tetap ada hubungan. Mereka juga meyakini bahwa apabila mereka tidak memberikan berkat, nenek moyang juga bisa murka yang kemudian mendatangkan banjir, penyakit atau gagal panen.

Oleh karena itu keselarasan dan keharmonisan harus tetap dijaga. Maka untuk itu sebelum di lepas ke alam arwah, keluarga mengadakan serangkaian upacara sakral dengan harapan dapat diterima disana nantinya (alam puya) dan tidak mendatangkan bencana. Selain itu pada waktu-waktu tertentu dilaksanakan upacara untuk memperingati mereka yang biasa dilaksanakan setelah panen yang berhasil atau suatu kondisi yang baik sebagai ucapan syukur sebagai berkat dari leluhur mereka. Adapun fungsi hewan kurban pada upacara Rambu Solo’ bagi orang Toraja yaitu; 

  • Akan menentukan kedudukan arwah orang yang telah meninggal, karena diyakini bahwa seseorang yang datang ke dunia dan pada saat meninggalnya apabila dia tidak membawa bekal dari dunia, arwahnya tidak akan diterima Puang Matua (Tuhan) 
  • Sebagai suatu hal yang menentukan martabat keturunannya dalam mesyarakat yang tetap memiliki status sosial sesuai dengan kastanya semula 
  • Akan menjadi patokan dalam membagi warisan si mati
3. Kepercayaan Dewata Seuwae. 

Sebelum masuknya Islam di Sulawesi Selatan, masyarakat Bugis Makassar sudah mempunyai “kepercayaan asli” (ancestor belief) dan menyebut Tuhan dengan sebutan ‘Dewata Seuwae’, yang berarti Tuhan kita yang satu. Bahasa yang digunakan untuk menyebut nama ‘Tuhan’ itu menunjukkan bahwa orang Bugis Makassar memiliki kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa secara monoteistis. Menurut Mattulada, religi orang Bugis – Makassar masa Pra-Islam seperti tergambar dalam Sure’ La Galigo, sejak awal telah memiliki suatu kepercayaan kepada suatu Dewa (Tuhan) yang tunggal, yang disebut dengan beberapa nama : PatotoE (Dia yang menentukan Nasib), Dewata Seuwae (Dewa yang tunggal), dan Turie A’rana (kehendak yang tertinggi). 

Kepercayaan dengan konsep dewa tertinggi To-Palanroe atau PatotoE, diyakini pula mempunyai anggota keluarga dewata lain dengan beragam tugas. Untuk memuja dewa-dewa ini tidak bisa langsung, melainkan lewat dewa pembantunya. Konsep deisme ini disebut dalam attoriolong, yang secara harfiah berarti mengikuti tata cara leluhur. Lewat atturiolong juga diwariskan petunjuk-petunjuk normatif dalam kehidupan bermasyarakat. Raja atau penguasa seluruh negeri Bugis Makassar mengklaim dirinya mempunyai garis keturunan dengan Dewa-dewa ini melalui Tomanurung (orang yang dianggap turun dari langit / kayangan), yang menjadi penguasa pertama seluruh dinasti kerajaan yang ada. 

 Istilah Dewata Seuwae itu dalam aksara lontaraq, dibaca dengan berbagai macam ucapan, misalnya : Dewata, Dewangta, dan Dewatangna yang mana mencerminkan sifat dan esensi Tuhan dalam pandangan teologi orang Bugis Makassar. De’watangna berarti “yang tidak punya wujud”, “De’watangna” atau “De’batang” berarti yang tidak bertubuh atau yang tidak mempunyai wujud. De’ artinya tidak, sedangkan watang (batang) berarti tubuh atau wujud. “Naiyya Dewata SeuwaE Tekkeinnang”, artinya “Adapun Tuhan Yang Maha Esa itu tidak beribu dan tidak berayah”. Sedang dalam Lontarak Sangkuru’ Patau’ Mulajaji sering juga digunakan istilah “Puang SeuwaE To PalanroE”, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, Sang Pencipta. Istilah lain, “Puang MappancajiE”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Konsep “Dewata SeuwaE” merupakan nama Tuhan yang dikenal etnik Bugis – Makassar. 

Kepercayaan orang Bugis kepada “Dewata SeuwaE” dan “PatotoE” serta kepercayaan “Patuntung” orang Makassar sampai saat ini masih ada saja bekas-bekasnya dalam bentuk tradisi dan upacara adat. Kedua kepercayaan asli tersebut mempunyai konsep tentang alam semesta yang diyakini oleh masyarakat pendukungnya terdiri atas tiga dunia, yaitu dunia atas (boting langi), dunia tengah (lino atau ale kawa) yang didiami manusia, dan dunia bawah (peretiwi). Tiap-tiap dunia mempunyai penghuni masing-masing yang satu sama lain saling mempengaruhi dan pengaruh itu berakibat pula terhadap kelangsungan kehidupan manusia. 

Selain itu, orang Bugis Makassar pra-Islam juga melakukan pemujaan terhadap kalompoang atau arajang. Kata “Arajang” bagi orang Bugis atau “Kalompoang” atau “Gaukang” bagi orang Makassar berarti kebesaran. Yang dimaksudkan ialah benda-benda yang dianggap sakti, keramat dan memiliki nilai magis. Benda-benda tersebut adalah milik raja yang berkuasa atau yang memerintah dalam negeri. Benda-benda tersebut berwujud tombak, keris, badik, perisai, payung, patung dari emas dan perak, kalung, piring, jala ikan, gulungan rambut, dan lain sebagainya. 

4. Sistem kepercayaan agama islam

Masyarakat bugis dengan segala dan kebudayaan  menganut agama islam. kepercayaan yang banyak di anut suku bugis ini telah masuk sejak abad ke 17. Kepercayaan islam di suku bugis ini sendiri awal mulanya dibawa oleh pesyiar dari daerah minangkabau. Kemudian oleh para pesyiar tersebut penyebaran agama islam dilakukan ke tiga wilayah. Penyiar abdul makmur di tugaskan untuk menyebarkan agama islam di daerah gowa dan tallo, sementara di daerah luwu yang di tugaskan adalah penyiar Suleiman, dan terakhir penyiar nurdin ariyani di tugaskan di daerah terakhir yaitu daerah bulukumba. Awal mulanya hanya merekalah yang menyiarkan dan mengembangkan ajaran islam di tanah bugis.

C. Mata Pencaharian

Karena masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain itu masyarakat Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan.

Kepiawaian suku Bugis-Makasar dalam mengarungi samudrapun cukup dikenal luas, dan wilayah perantauan mereka pun hingga Malaysia, Filipina, Brunei, Thailand, Australia, Madagaskar dan Afrika Selatan. Bahkan, di pinggiran kota Cape Town, Afrika Selatan terdapat sebuah suburb yang bernama Maccassar, sebagai tanda penduduk setempat mengingat tanah asal nenek moyang mereka.

Penyebab dari merantauny suku Bugis-Makassar ialah konflik antara kerajaan Bugis dan Makassar serta konflik sesama kerajaan Bugis pada abad ke-16, 17, 18 dan 19, menyebabkan tidak tenangnya daerah Sulawesi Selatan. Hal ini menyebabkan banyaknya orang Bugis bermigrasi terutama di daerah pesisir. Selain itu budaya merantau juga didorong oleh keinginan akan kemerdekaan. Kebahagiaan dalam tradisi Bugis hanya dapat diraih melalui kemerdekaan.

D. Bahasa dan Literatur

Dalam kesehariannya hingga saat ini orang bugis masih menggunakan bahasa “Ugi” yang merupakan bahasa keluarga besar dari bahasa Austronesia Barat. Selain itu, orang Bugis juga memiliki aksara sendiri yakni aksara lontara yang berasal dari huruf Sansekerta. Bahkan uniknya, logat bahasa Bugis berbeda di setiap wilayahnya; ada yang kasar dan ada yang halus. Bahasa, yang dimiliki Suku Bugis menandakan satu hal: Suku Bugis pada masanya memiliki peradaban yang luar biasa hebatnya. Nenek moyang Suku Bugis adalah orang-orang pintar yang mampu menciptakan dan mewariskan ilmu pengetahuan.

E. Kesenian

1. Alat musik
  1. Kacapi (kecapi) Salah satu alat musik petik tradisional Sulawesi Selatan khususnya sukuBugis, Bugis Makassar dan Bugis Mandar. Menurut sejarahnya kecapi ditemukan atau diciptakan oleh seorang pelaut, sehingga bentuknya menyerupai perahu yang memiliki dua dawai, diambil karena penemuannya dari tali layar perahu.
  2. Sinrili, Alat musik yang mernyerupai biola tetapi biola di mainkan dengan membaringkan di pundak sedangkan Singrili di mainkan dalam keedaanpemain duduk dan alat diletakkan tegak di depan pemainnya.
  3. Gendang Musik , perkusi yang mempunyai dua bentuk dasar yakni bulat panjang danbundarseperti rebana.
  4. SulingSuling bambu/buluh, terdiri dari tiga jenis, yaitu:
    • Suling panjang (suling lampe), memiliki 5 lubang nada. Suling jenis ini telahpunah
    • Suling calabai (Suling ponco),sering dipadukan dengan piola (biola) kecapidan dimainkan bersama penyanyi
    • Suling dupa samping (musik bambu), musik bambu masih terplihara didaerahKecamatan Lembang. Biasanya digunakan pada acara karnaval (barisberbaris) atau acara penjemputan tamu.
2. Seni Tari
  1. Tari pelangi; tarian pabbakkanna lajina atau biasa disebut tari meminta hujan.
  2. Tari Paduppa Bosara; tarian yang mengambarkan bahwa orang Bugis jika kedatangan tamu senantiasa menghidangkan bosara, sebagai tanda kesyukuran dan kehormatan
  3. Tari Pattennung; tarian adat yang menggambarkan perempuan-perempuan yang sedang menenun benang menjadi kain. Melambangkan kesabaran danketekunan perempuan-perempuan Bugis.
  4. Tari Pajoge’ dan Tari Anak Masari; tarian ini dilakukan oleh calabai(waria), namun jenis tarian ini sulit sekali ditemukan bahkan dikategorikan telahpunah.
  5. Jenis tarian yang lain adalah tari Pangayo, tari Passassa ,tari Pa’galung, dan Tari Pabbatte (biasanya di gelar padasaat Pesta Panen)

Bab III. Penutup

A. Kesimpulan

Pada dasarnya Indonesia kaya akan kebudayaan yang berada di pulau-pulau. Di setiap pulau mempunyai suku yang beraneka ragam pula, contohnya Suku Bugis yang terdapat di Sulawesi Selatan. Penyebaran Suku Bugis sudah banyak di Indonesia hingga ke Pulau Kalimantan bahkan Pulau Sumatera akibat sifat manusia Suku Bugis yang suka merantau, penyebarannya melalui perdagangan dan pernikahan, jadi tak heran jika kita dapat menemukan Suku Bugis selain di Provinsi Sulawesi.

Kekayaan keseniannya pun menyebar luas dan harus di lestarikan dan di paten kan hak ciptanya agar tidak dapat di klaim oleh Negara lain, karena itu merupakan bagian dari kesenian Negara Indonesia.

B. Saran

Pada era teknologi seperti saat ini, kebudayaan dan kesenian tradisional semakin tergeser. Sebaiknya pada anak usia dini di ajarkan tentang kesenian tradisional, baik dari segi bahasa, tari, alat music maupun adat isitiadat lainnya. Itu semua demi kelestarian kebudayaan dan kesenian tradisional.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Hamid, 1982, Selayang Pandang, Uraian Tentang Islam dan Kebudayaan (dalam buku Bugis Makassar Dalam Peta Islamisasi Indoensia), Ujung Pandang, IAIN.

Abd. Kadir Ahmad, 2004, Masuknya Islam di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Ternggara, Makassar, Balai Litbang Agama Makassar.

Mattuladda, 1974. Bugis Makassar, Manusia dan Kebudayaan. Makassar. Berita Antropologi No. 16 Fakultas Sastra UNHAS.

http://www.mahasiswa-indonesia.com/2014/02/adat-dan-kebudayaan-suku-bugis.html

http://www.anneahira.com/kebudayaan-bugis.htm

http://www.kabarkami.com/to-ugi-orang-bugis.html

http://www.kabarkami.com/rumah-panggung-bugis-dan-konstruksi-sakral.html

http://www.rappang.com/2010/02/ciri-khas-musik-tradisional-sulawesi.html

http://id.scribd.com/doc/94533757/5-MAKALAH-SUKU-BUGIS

————, 1975. Latoa, Suatu Lukisan Analitis Antropologi Politik Orang Bugis., Makassar: Disertasi.

http://ismailblogger02.blogspot.co.id/2012/06/mata-pencaharian-suku-bugis.html

http://unj-pariwisata.blogspot.co.id/2012/05/sistem-religi-dan-kepercayaan-suku.html

Comments

Leave a Reply