Makalah Agresivitas Dalam Olahraga

Pendahuluan

Agresifitas adalah istilah umum yang di kaitkan dengan adanya perasaan –perasaan marah atau permusuhan atau tindakan melukai orang lain baik dengan tindakan kekerasan secara fisik, verbal maupun menggunakan ekpresi wajah dan gerakan tubuh yang mengancam atau merendahkan. Tindakan agresif pada umumnya merupakan tindakan yang di sengaja oleh pelaku untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Ada 2 tujuan utama agresif yang saling bertentangan satu dengan yang lain, yakni untuk membela diri di satu pihak dan di pihak lain adalah untuk meraih keunggulan dengan cara membuat lawan tidak berdaya. 

Agresifitas yang wajar.  T idak setiap tindakan agresif merupakan perilaku yang bermasalah. Agresif mungkin muncul sebagai pelampiasan perasaan marah dan frustasi. Bila agresifitas muncul karena kondisi psikologis yang bersifat temporer dan dipahami berdasarkan konteks situasi yang dihadapi anak maka itu merupakan tindakan yang masih bisa diterima. Justru ketidakmampuan seorang anak untuk mengekspresika dorongan agresif pada situasi-situasi tertentu merupakan indikasi adanya permasalahan perkembangan pada dirinya. Mungkin itu merupakan akibat dari mekanisme hambatan yang berlebihan yang secara psikologis tidak terlalu sehat untuk perkembangan selanjutnya.  Agresifitas yang tidak wajar. Namun ada kecenderungan agresifitas yang bersifat menetap pada anak tertentu. Secara umum kecenderungan ini menandakan kepribadian yang agresif. Ini menandakan kepribadian yang agresif merupakan perkembangan kepribadian. Dampak negatif pada diri sendiri dan pada lingkungan cukup serius. 

Individu yang memiliki emotional instability yang tidak mudah marah, mudah benci, mudah kecewa, mudah bingung, mudah kesal, dsb. Karena emosinya mudah terombang ambing, maka gejala emosional tersebut akan mengganggu fungsi jiwa yang lain. Sebagaimana diketahui bahwa jiwa kita merupakan kesatuan yang organis, dimana sumber kemampuan jiwa yang satu dapat mempengaruhi sumber kemampuan jiwa yang lain. Karena itu goncangan emosional akan mempengaruhi pertimbangan akal, sehingga individu tersebut akan bertindak tidak sesuai dengan akal sehat.

Individu yang menunjukkan gejala kematangan emosional atau “emotional maturity ” dapat meredam goncangan-goncangan emosional sehingga dapat tenang, dan dapat menjalankan fungsi akalnya dengan baik.Secara umum, individu yang memiliki kemarahan tinggi tiga kali lebih mungkin untuk mengembangkan angina atau serangan jantung dibandingkan orang yang memiliki kemarahan rendah, bahkan setelah pengaruh berisiko seperti faktor genetik, alkohol, berat badan, kolesterol, hipertensi dan merokok diperhitungkan pada rendah -kemarahan individu. Hal ini mencerminkan pengalaman banyak psikolog dan dokter yang menemukan korelasi langsung antara risiko kesehatan secara keseluruhan dan kemarahan intens. Secara umum, individu yang memiliki sikap bermusuhan berisiko tinggi menderita penyakit lain juga. Hal ini terjadi karena alasan seperti kesenangan untuk perilaku berisiko dan peningkatan aktivitas biologis ketika sangat marah dan mengalami dukungan sosial yang rendah.

Suasana kompetisi dan kelas pendidikan jasmani dan olahraga kerap kali menjadi media potensial yang mendorong perilaku terjadinya perilaku agresif. Perilaku ini dalam kadar yang sesuai sangat perlu dimiliki oleh para pemain untuk dapat memenangkan pertandaingan misalnya pertnadingan sepak bola, tinju dan lain-lain. Tetapi jika berlebihan dan tidak terkendali dapat menjurus pada tindakan-tindakan yang tidak diinginkan, berbahaya, mencederai lawan, melanggar peraturan, tidak fair play, bahkan dapat berakibat fatal. Tindakan agresif tidak sama peluangnya pada setiap cabang olahraga dan setiap atlet.

Beberapa rekomendasi untuk upaya mengendalikan agresifitas antara lain :

a)        Teknik time out.

b)        Memberikan pemahaman dan contoh perilaku non agresif sebagai metode konstruktif untuk memecahkan masalah.

c)        Menciptakan atau mendesain lingkungan belajar atau lingkungan latihan yang kondusif.

d)       Memberikan latihan empati.

Pembahasan

Perilaku Agresif dalam Olahraga

Orang yang agresivitasnya kurang terkontrol kemungkinan lebih besar melakukan tindakan kriminal kekerasan, karena ia tidak bimbang melakukan kekerasan pada waktu marah. Dalam upaya memahami agresivitas, Worchel dan Cooper (1970) mengemukakan kasus Charles J. Whitman pada usia 12 tahun ia adalah pandu garuda, kemudian menjadi pitcher time base ball disekolah gereja dimana dia bergabung. Ia dikenal sebagai pemuda yang menyukai anak-anak kemudian menjadi mahasiswa jurusan teknik arsitektur. Dilaporkan oleh majalah Newsweek, pada tanggal 5 Agustus 1966. Ia telah membantai 13 orang dan melukai 31 orang di menara Universitas Texas dengan senjata revolver sebelum ditembak oleh polisi. Whitman sebelumnya telah membunuh isteri dan ibu kandungnya.

 Perlu diketahui bahwa Whitman dibesarkan dalam keluarga yang diliputi situasi penuh ketegangan, Ayahnya seorang perfeksionis, dan berdisiplin serta selalu menuntut anaknya mengerjakan sesuatu yang besar, serta tidak jarang member hukuman apabila anaknya tidak menurut. Dari kasus diatas bias dilihat bahwa Whitman memiliki kepribadian yang agresivitasnya selalu dikontrol dengan ketat, dapat diduga bahwa ia selalu mengontrol tingkah laku namun selama itu rasa marah dan kecewa terus berkembang dalam dirinya sehingga tidak terkendali dan akhirnya meledak yaitu dalam bentuk tindakan ekstrim berupa kekerasan.

Lebih lanjut Worchel dan Cooper membedakan dua tipe kepribadian yaitu (1) yang agresifitasnya kurang terkontrol dan (2) yang agresivitasnya selalu dikontrol dengan ketet.ipe kepribadian yang agresivitasnya kurang terkontrol menunjukkan kurangnya larangan terhadap pengungkapan tingkah laku agresif dan kecenderungan untuk mengadakan respons terhadap frustasi dan tindakan agresif. Tipe kepribadian yang agresivitasnya selalu dikontrol ketat, menunjukkan adanya kontrol yang ekstrim kuat terhadap pengungkapan agresivitas dalam berbagai kondisi.  

Tindakan agresif cenderung terjadi pada situasi yang tidak seimbang atau berlawanan. Pada atlet umumnya terikat pada beberapa kelompok social, seperti keluarga, sekolah, teman latihan, teman bergaul dan sebagainya. Tindakan agresif akan tertuju pada orang yang tidak disenangi atau yang berlawanan. Misalnya atlet dimarahi oleh pelatihnya dia tidak berani melawan pelatihnya tetapi dia akan bertindak agresif dengan menyerang temannaya atau lawannya.

Pemain yang agresif pada situasi tertentu sangat diperlukan untuk dapat memenangkan pertandingan. Seperti dalam sepak bola, bela diri dan sebagainya. Tetapi sifat-sifat agresif tersebut apabila tidak terkendali justru dapat menjerumuskan dan mengarah pada tindakan-tindakan berbahaya misalnya melukai lawan, melanggar peraturan serta mengabaikan sportivitas.Niat untuk menyerang secara agresif tidak disertai rasa marah. Tindakan agresif demikian jelas bukan disebabkan oleh karena frustasi. Tindakan agresif yang bukan karena frustasi diantaranya dapat terjadi berupa gejala-gejala :

1.        Tindakan agresif instrumental ialah Tindakan agresif yang tidak disertai rasa marah.

2.        Tindakan agresif karena meniru, misalnya tindkan agresif karena meniru tokoh gangster yang suka menyerang dan melukai orang lain.

3.        Tindakan agresif atas dasar perintah, sering terjadi dalam olahraga bela diri misalnya karena inisiatif menyerang akan mendapat penilaian lebih dari wasit.

4.        Tindakan agresif dalam hubungannya dengan peran sosial, dapat dilihat pada tindakan agresif yang dilakukan penjaga keamanan yang harus bertindak tegas  dan jika perlu dengan kekerasan.

5.        Tinddakan agresif karena pengaruh kelompok, pengaruh penonton atau tim juga dapat merangsang dan menimbulkan gejala agresif. Tindakan agresif pemain karena pengaruh penonton sering terjadi. Hal ni dapat dilihat bagaimana tindakan dia sebagai bagian dari kelompok dan tindakan dia manakala dia bertindak sendiri.

Dari uraian tersebut maka dapat dikemukakan bahwa tindakan agresif seseorang atau atlet tidak harus dihubungkan dengan gejala frustasi. Kita membutuhkan pemain yang agresif untuk dapat memenangkan suatu pertandingan. Oleh karena itu, menjadi kewajiban pembina dan pelatih untuk memanfaatkan sifat-sifat agresif dari atletnya sehingga dapat tersalur dan terarah sesuai dengan aktivitas olahraga yang diikutinya.

Pengendalian Agresivitas dalam Olahraga 

Sifat agresif yang dimiliki pemain yang juga memiliki kesetabilan emosional, disiplin, rasa tanggung jawab yang besar, tidak akan menjadi masalah dalam pengarahannya. Pelatih dapat menyiapkan atlet tersebut untuk bermain agresif dengan tidak perlu khawatir bahwa ia akan melukai lawan dan bertindak desttruktif dalam upaya untuk mencaoai tujuan atau memenangkan pertandingan. Dengan memberikan dorongan, pemberian stimulus yang positif dan sebagainya. Atlit akan bermain agresif tanpa mengalami frustasi.

Bertitik tolak dari “social-learning Theory”yaitu pemain akan meniru dan belajar dari pengalaman pemain lainnya maka pelatih harus menyiapkan pemain dengan petunjuk dan langkah praktis sebagai berikut :

1.        Anjuran untuk bermain agresif harus terarah, kapan da bagaimana cara yang tepat agar tidak menimbulkan hal-hal negative dan melukai lawan.

2.        Bermain agresif harus disertai peningkatan penguasaan diri agar dapat selalu mengontrol diri sendiri.

3.        Bermain agresif harus disertai disiplin dan rasa tanggung jawab, yaitu selalu mematuhi peraturan dan tunduk pada keputusan wasit serta dapat mempertanggungjawabkan tindakannya.

4.        Perlu adanya pemberian penghargaan bagi mereka yang bertindak agresif tetapi tidak melukai lawan, memelihara sportivitas dan sebaliknya berikan hukuman apabila berusaha melukai lawan atau tindakan tercela dan melanggar peraturan.

Dalam upaya mengendalikan tindakan kekerasan atau agresivitas yang menyimpang, dikemukakan Richard H. Cok sebagai berikut :

1.        Atlet-atlet mudah harus sudah diberi pengetahuan tentang contoh tingkah laku non agresif, penguasaan diri, dan penampilan yang benar.

2.        Atlet yang terlibat tindakan agresif harus dihukum. Harus disadarkan bahwa tindakan agresif dengan melukai lawan adalah tindakan yang tidak dibenarkan.

3.        Pelatih yang memberi kemungkinan para atlet terlibat dengan kekerasan harus ditelitih dan harus dipecat dari tugasnya sebagai pelatih.

4.        Pengaruh dari luar yang memungkinkan terjadinya tindakan agresif dengan kekerasan dilapangan pertandingan harus dihindari.

5.        Para pelatih dan wasit didorong dan dianjurkan untuk menghindari lokakarya-lokakrya yang membahas tindakan agresif dn kekerasan.

6.        Disamping hukuman terhadap tindakan agresif dengan kekerasan atlet harus didorong secara positif meningkatkan kemampuan bertindak tenang menghadapi situasi-situasi emosional.

7.        Penguasaan emosi menghadapi tindakan agresif dengan kekerasan harus dilatih secara praktis antara lain melalui layihan mental

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Agresivitas

1.        Sosial

Frustasi, terhambatnya atau tercegahnya upaya pencapaian tujuan kerap menjadi penyebab agresi. Tetapi agresi tidak selalu muncul karena frustasi. Manusia, misalnya petinju dan tentara, dapat melakukan agresi karena alasan lain. ( Miller dalam Sarlito, 2009:152) Provokasi verbal atau fisik adalah salah satu penyebab egresi. Contohnya, kasus Zinedine. Manusia cenderung untuk membalas denga derajat yang sama atau sedikit lebih tinggi daripada yang diterimanya ( balas dendam ). Menyepelekan dan sombong adalah prediktor yang kuat bagi munculnya agresi (Sarlito, 2009).

Faktor sosial lainnya adalah alkohol (Baron dan Byrne, 2003). Kebanyakan hasil penelitian yang terkait dengan konsumsi alkohol menunjukkan agresivitas. Misalnya, kawasan Timur Indonesia mencatat banyak kekerasan, khususnya di Manado. Mengungkapkan bahwa masyarakat menehag ke atas yang emngkonsumsi alkohol tidak selalu menunjukkan agresivitas, tetapi pada masyarakat ekonomi rendah sebaliknya. Mereka melakukan tindakan kekerasan, menghadang mobil, memalak, melempari rumah dengan betu, dan sebagainya. Akan tetapi dilakukan secara kolektif, karena bentuk kebudayaan mereka yang berkumpul-kumpul.

2.        Personal

Pola tingkah laku berdasarkan kepribadian ada dua pola agresi berdasarkan kepribadian (Sarlito, 2009):

a.    Hostile aggression merupakan agresi yang bertujuan untuk melukai atau menyakiti korban, yang melakukan pola ini biasanya adalah orang-orang dengan karakter terburu-buru dan kompetitif.

b.    Instrumental aggressionyaitu tingkah laku agresif yang dilakukan karena ada tujuan utama dan tidak di tujukan untuk melukai atau menyakiti korban. Yaitu mereka yang mempunyai karakter sabar, kooperati, nonkompetisi, dan nonagresif, cenderung melakukan.

Hal dasar lain yang harus diperhatikan adalah narsissm, bahwa orang narsis memiliki tingkat agresif yang lebih tinggi (Bushman, dalam Sarlito, 2009:153). Demikian juga dengan  perbedaan pada jenis kelamin. Diungkapkan bahwa lelaki lebih agresif daripada perempuan (Haris dalam Sarlito, 2009:154). Sedangkan pada anak perempuan agresivitas diwujudkan secara tidak langsung.

3.        Kebudayaan

Lingkungan geografis, seperti pesisisr/pantai, menunjukkan karakter lebih keras dari pada masyarakat yang hidup di pedalaman. Nilai dan norma yang mendasari tingkah laku masyarakat juga berpengaruh terhadap agresivitas suatu kelompok.

4.        Situasional

Penelitian terkait dengan cuaca dan tingkah laku menyebutkan bahwa ketidaknyamanan akibat panas menyebabkan kerusuhan dan bentuk agresi lainnya (Harries dalam Sarlito, 2009:155).

5.        Sumber Daya

Manusia senantiasa ingin memenuhi kebutuhannya. Daya dukung alam terhadap kebutuhan manusia tak selamanya mencukupi, sehingga perlu upaya lebih untuk memnuhi kebutuhan. Dua kemungkinan besar yang dapat dilakukan adalah mencari sumber pemenuhan kebutuhan lain dan mengambil paksa dari pihak yang memiliknya (Sarlito, 2009)

6.        Media Massa

Khusus untuk media massa televisi yang merupakan media tontonan dan secara alami mempunya kesempatan lebih bagi pemirsanya untuk mengamati apa yang disampaikan dengan jelas. Sesuai dengan teori bandura, pemirsa melakukan pengamatan atas kekerasan dan meningkatkan agresifitas setelah itu (Sarlito, 2009)

Penelitian oleh Tiffany, dkk (2008)  juga menyimpulkan bahwa orang yang menonton sebagian besar program dengan gambar pertempuran atau yang kekerasan juga akan mendapatkan kesulitan di sekolah lebih dari tiga kali dalam setahun. Hal ini menunjukkan bahwa anak yang menyaksikan kekerasan di televisi sebagai dapat mempengaruhi tindakan agresif dalam cara yang negatif.

7.        Kekerasan Rumah Tangga

Anak-anak menjadi rentan terhadap kekerasan karena posisi sosialnya dalam masyarakat yang tergantung pada orang tua. Kekerasan dalam rumah tangga banya kterjadi pada anak-anak dan perempuan. Setidaknya kekerasan pada perempuan dibagi menjadi tiga golongan, yaitu pelecehan seksual, kekerasan seksual, dan pemerkosaan (Sarlito, 2009) Dalam prespektif biologis, prilaku agresif didasarkan oleh kedua hal berikut ini:

a.        Hormon

Hormon yang dimaksud di sini adalah hormon androgen dan testosteron. Secara kebetulan hormon ini terdapat paling banyak pada laki-laki. Penilitian longitudinal baru-bari ini terhadap 96 remaja pria 12 hingga 21 tahun, menemukan bahwa mereka yang memiliki catatan kriminal lebih tinggi dalam kadar testosteronnya pada usia 16 tahun ( Bokhven dalam Laura, 2012:194).

Tingkat testosteron yang lebih tinggi juga dikaitkan dengan tingkat agresi yang lebih tinggi dan perilaku kenakalan yang dilaporkan sendiri. Tingkat testosteron dipengaruhi oleh prilaku dan pengalaman; dengan demikian, perilaku dengan cara yang agresif dapat meningkatkan testosteron seseorang (Sarlito,2009).

Dalam penelitian lain, subjek penelitian dapat dianggap agresif bahkan jika mereka tidak terlibat langsung. Misalnya, mereka tidak benar-benar memukul muka seseorang. Setiap individu mempunyai kesempatan untuk “ agresif “ terhadap orang lain, dengan memberikan seseorang ledakan suara yang keras, menyiapkan sengatan listrik yang ringan, atau memberi dosis saos cabe yang besar pada makanan seseorang ( Laura,2012).

b.        Otak 

Bagian dari otak disebut hipotalamus terkait dengan tingkah laku agresi. Hipotalamus adalah bagian kecil dari otak yang terletak di bawah otak. Berfungsi untuk menjaga homeostatis serta membentuk dan mengatur tingkah laku vital, seperti makan, minum, dan hasrat seksual. Sebuah penilitian oleh Albert ( dalam Sarlito,2009;150 ) menemukan bahwa tumor yang tumbuh di bagian hipotalamus memicunya.

Sebuah otopsi mengungkapkan sebuah tumor di dalam sistem limbik otak Withman, suatu wilayah yang dikaitkan dengan emosi, mendorong reaksi ia untuk memanjat ke puncak menara kampus, lalu membunuh 15 orang dan kemudian bunuh diri. Dalam situasi lainnya, sebuah elektroda ditanamkan pada amigdala seorang pasien kejiwaan yang lembut. Segera setelah arus listrik merangsang amigdala, perempuan tersebut menjadi kasar. Ia berteriak , menggeram, dan memukul-mukul ( King dalam Laura,2012:194 )

Mengurangi Agresivitas

Sebagai manusia, peluang utuk mengendalikan agresi sangatlah ada. Hal ini mungkin karena manusia memiliki fungsi-fungsi kognisi yang lebih baik dari hewan. Berikut beberapa cara mengatasi agresivitas menurut Sarlito (2009):

1.        Pengamatan tingkah laku yang baik

Keterpaparan seseorang dari agresivitas melalui televisi sangat banyak. Jika televisi banyak menampilkan teladan-teladan yang baik, maka dapat memberikan gambaran kegiatan non-agresi. Pemilihan tontonan untuk anak dan bimbingan orang tua sekiranya perlu dilihat peruntukan acara tersebut, seperti BO adalah untuk bimbingan orang tua.

2.        Hukuman

Sejarah manusia mencatat lebih banyak hukuman sebagai cara penanganan atas agresivitas. Hal ini bisa dilihat mulai dari agresivitas yang dilakukan individu hingga oleh institusi Negara. Pada individu, pelaku melakukan kekerasan seperti pemerkosaan dan pembunuhan akan dihukum hukuman penjara atau hukuman mati. Namun tetap saja agresivitas muncul. Hal yang paling penting dalam penggunaan hukuman adalah hukum harus jelas dan segera mungkin mengikuti agresivitas yang dilakukan. Hukuman yang diberikan haruslah amat keras sehingga mengurangi kemungkinan pengulangan oleh pelaku.

3.        Katarsis

Katarsis adalah upaya untuk menurunkan rasa marah dan kebencian dengan cara yang lebih aman sehingga mengurangi bentuk agresivitas yang sekiranya akan muncul. Umumnya katarsis berupa kegiatan fisik yang menguras tenaga seperti olahraga, atau menonton film laga. Namun agresi bisa muncul jika adanya provokasi.

4.        Kognitif

Ketika seseorang melakukan kesalahan pada orang lain, maka tak ayal jika orang lain yang dizalimi akan marah. Namun, bagaimana dengan seseorang yang dizalimi bisa memaafkan. Hal ni bisa terjadi ketika kognisi orang yang dizalimi diisi dengan informasi bahwa perlunya memaafkan orang yang menzalimi. Memaafkan tentunya dengan tulus dan ikhlas. Hal ini bisa mengurangi agresivitas

5.        Penguatan

Pada sebuah penelitian (Cole & Cole dalam Mayang, 2011) terhadap agresi anak usia pra sekolah, penanganan perilaku agresif lebih efektif dengan memberikan penguatan pada anak yang berprilaku non-agresif atau perilaku kooperatif dengan memberikan perhatian, baik berupa waktu bermain lebih, memberikan mainan, atau yang lainnya, serta mengabaikan anak yang menunjukkan perilaku agresif.

Mayang (2011)  dalam penelitiannya, mengajukan penguatan tersebut dalam bentuk potongan gambar senyum bintang. Gambar bintang berekspresi senyum akan diberikan pada anak yang dapat menjalankan ketentuan yang telah ditetapkan, yakni tidak berprilaku agresif.

Penutup

Semua orang mengerti bahwa tindakan agresif, adalah tindakan yang tidak terpuji, maka orany yang memiliki keperibadian yang kuat tidak mudah untuk dipengaruhi untuk berbuat agresif. Mereka yang mengalami “emotional enstability“ atau ketidakstabilan emosi, karena perasaan marah dan perasaan negatif lainnya mudah dipengaruhi, dan mudah mendominasi perasaan yang lainnya.

Agresi berasal dari berbagai sumber seperti sosial, situasi, personal, kebudayaan, media massa, sumber daya, serta kekerasan yang terjadi di rumah tangga. Agresi dapat diatasi diantaranya dengan cara pengamatan atas hal yang baik, katarsis, mengubah pola pikir, huukuman, dan penguatan.

Daftar Pustaka

Alwisol. 2004. Psikologi Kepribadian Edisi Revisi. Malang: Universitas Negeri Malang.

Baron, R A, Dan Byrne. 2003. Psikologi Sosial Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Cox H. Richard. 1985. Sport Psychology, Concepts And Aplication, Iowa: W.Mc. Brown, Publishers Dubuque.

Husdarta. 2010. Psikologi Olahraga. Bandung: Alfabeta.

Insani, Mayang C. 2011. Pengaruh Program Senyum Bintang terhadap Penurunan Agresivitas Anak Usia Pra-SekolahRAP Journal. Vol. 2, No. 2, 143-152.

King, Laura A. 2012. Psikologi Umum: Sebuah Pandangan Apresiatif Jilid 2. Jakarta: Salemba Humanika.

Sarwono, Sarlito W. 2009. Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.

Comments

Leave a Reply