Filsafat memberikan asumsi-asumsi dasar bagi setiap cabang ilmu pengetahuan. Demikian pula halnya dengan pendidikan. Ketika filsafat membahas tentang ilmu alam, maka diperoleh filsafat ilmu alam. Ketika filsafat mempertanyakan konsep dasar dari hukum, maka terciptalah filsafat hukum, dan ketika filsafat mengkaji masalah-masalah dasar pendidikan, maka terciptalah cabang filsafat yang bernama filsafat pendidikan (Kneller, 1971: 4).
Daftar isi
Filsafat Pendidikan Tradisional
Theodore Brameld (O‘neil, 1999: 6) menggolongkan filsafat pendidikan Barat menjadi empat kategori:
- Tradisi filsafat klasik yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh dari teori Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas sehingga kemudian muncullah Perenialisme. Perenialisme sebagai gerakan dan aliran yang timbul di Amerika Serikat ingin mengembalikan pendidikan pada tradisi zaman lampau yang dipandang sudah teruji oleh waktu dan terbukti baik hasilnya.
- Ungkapan yang lebih modern dari realisme dan idealisme tradisional sehingga muncul aliran Esensialisme yang semula berkembang di Amerika Serikat.
- Filsafat pragmatisme yang memunculkan aliran pendidikan yang bernama: Progressivisme. Tokoh utama filsafat pragmatisme dalam pendidikan adalah John Dewey.
- Titik pandang sosiologi pendidikan yang dihubungkan dengan ide Karl Marx dan Karl Mannheim muncullah aliran Rekonstruksionisme.
Keempat aliran filsafat pendidikan tersebut dapat dijelaskan dalam uraian berikut ini:
1. Perenialisme
a. Landasan Ontologis Perenialisme
Ontologi perenialisme mengikuti paham Aristoteles bahwa manusia adalah makhluk rasional (animal rationale). Benda individual adalah benda sebagaimana nampak di hadapan manusia ditangkap oleh panca indera sebagai substansi. Segala sesuatu (benda dan manusia ) ada esensinya di samping ada aksidensi. Esensi benda-benda dan manusia lebih diutamakan daripada aksidensinya. Segala sesuatu itu mempunyai unsur potensialitas yang dapat menjadi aktualitas melalui tindakan ―berada‖.. Manusia adalah potensialitas yang sedang berubah menjadi aktualitas (Gutek, 1988: 271)
b. Landasan Epistemologis Perenialisme
Segala sesuatu yang dapat diketahui dan merupakan kenyataan bersandar pada kepercayaan. Kebenaran adalah sesuatu yang menunjukkan kesesuaian antara pikir dengan benda-benda. Kebenaran hakiki yang tertinggi dapat diperoleh dengan metode deduksi. Kebenaran hakiki itulah yang tertuang di dalam kajian metafisika, sedangkan kebenaran realita khusus kongkrit diperoleh dengan metode induksi yang hasilnya berupa sains (ilmu alam) dan ilmu empiris lainnya.
c. Landasan Aksiologis Penerialisme
Nilai-nilai berdasarkan azas supranatural yang abadi dan universal. Manusia sebagai subjek telah memiliki potensi untuk menjadi baik sesuai dengan kodratnya, tetapi ada kecendrungan dan dorongan untuk berbuat tidak baik. Kebaikan tetinggi adalah mendekatkan diri pada Tuhan sesudah itu baru kehidupan berpikir rasional.
Tokoh-tokoh yang berpengaruh untuk aliran perenialisme adalah filsuf-filsuf Yunani Kuno seperti Plato, Aristoteles dan filsuf Abad Pertengahan seperti Thomas Aquinas. Ilmu filsafat yang tertinggi adalah metafisika. Pengetahuan itu penting karena hasil dari pengolahan akal manusia (Gutek, 1988: 272).
d. Pandangan tentang peserta didik dan pendidik
Peserta didik diharapkan mampu mengenal dan mengembangkan karya-karya yang menjadi landasan pengembangan disiplin mental. Karya-karya ini merupakan buah pikiran tokoh-tokoh besar masa lampau seperti Bahasa, Sastera, Sejarah, Filsafat, Politik, Ekonomi, Matematika, Ilmu Alam, dan ilmu-ilmu lainnya yang terbukti dalam sejarah telah memberi kontribusi yang besar bagi umat manusia. Dengan mengetahui pikiran dan temuan para ahli tersebut, maka peserta didik akan mempunyai dua keuntungan: Mengetahui kejadian masa lampau yang telah dipikirkan oleh orang-orang besar dan memikirkan peristiwa-peristiwa penting dan karya tokoh tersebut untuk diri sendiri dan bahan pertimbangan bagi kemajuan zaman sekarang.
Sasaran pendidikan adalah kepemilikan atas prinsip-prinsip tentang kenyataan, kebenaran dan nilai-nilai abadi yang tidak terikat ruang dan waktu. Tolok ukur nilai-nilai bersifat mutlak, sehingga aliran ini menentang demokrasi yang murni.
Masyarakat harus diperbaiki karena adanya degradasi moral dan dehumanisasi. Maka, tugas utama pendidikan adalah mempersiapkan peserta didik ke arah kematangan akalnya. Keberhasilan anak dalam kematangan akal ini tergantung kepada guru (pendidik dan pengajar). Guru atau pendidik adalah benar-benar sosok yang dapat diteladani dan menguasai bidang ilmunya sehingga peserta didik akan mendapatkan pendidikan yang berkualitas (Gutek, 1988: 272).
Robert M. Hutchkins, salah seorang penganut paham perenialisme mengatakan bahwa pendidikan seharusnya ditujukan untuk memelihara dan meningkatkan intelektualitas manusia. Pendidikan tinggi harus bersendikan filsafat metafisika. Filsafat pada dasarnya adalah cinta intelektual dari Tuhan. Perguruan tinggi tidak seyogyanya bersifat utilities, yaitu hanya mengutamakan azas kegunaan atau kemanfaatan. Manusia itu sama, maka pendidikan dikembangkan sama bagi semua orang, yang disebutnya sebagai pendidikan umum (general education) (Gutek, 1988: 273).
2. Essensialisme
a. Landasan Ontologis Esensialisme
Kaum essensialis mengatakan bahwa dunia ini merupakan tatanan yang tiada cela; demikian pula isinya. Sifat, kehendak dan cita-cita manusia harus disesuaikan dengan tatanan alam semesta. Tujuan umum manusia adalah agar dapat hidup bahagia di dunia dan akhirat.
Essensialisme didukung dua aliran, yaitu realisme objektif dan idealism objektif. Realisme objektif berpandangan bahwa alam semesta dan manusia merupakan kenyataan yang dapat dipahami dan teratur sesuai dengan hukum alam. Aliran ini dipengaruhi oleh perkembangan dan hasil dari temuan ilmiah ilmu-ilmu alam terutama fisika.
Idealisme objektif berpandangan tentang alam semesta lebih bersifat menyeluruh meliputi segala sesuatu. Totalitas alam semesta ini pada hakikatnya adalah jiwa atau spirit. Pandangan tentang makro kosmos (alam semesta) dan mikro kosmos (manusia pribadi) menjadi dasar hubungan antara Tuhan dan manusia (Sadulloh, 2007: 15).
b. Landasan Epistemologis Esensialisme
Pribadi manusia adalah refleksi dari Tuhan. Manusia yang mampu menyadari realitas sebagai makro-kosmos dan mikro-kosmos akan mengetahui pada tingkat apa rasio yang dimiliki dan mampu memikirkan alam semesta ini. Dengan kualitas rasio yang dimiliki ini, manusia dapat memproduksi pengetahuan secara tepat dalam ilmu-ilmu alam, biologi, sosial dan agama. Teori ilmiah adalah pendapat yang diperoleh dari upaya manusia untuk mempertahankan pola-pola umum yang dapat digeneralisasi yang bersumber dari fakta, informasi atau praktik. Logika berpikir deduktif digunakan untuk teori-teori filsafat dan ideologi. Logika induktif digunakan untuk menggeneralisasi fenomena alam (Jalaluddin & Abdullah Idi, 1997: 84).
c. Landasan Aksiologis Essensialisme
Nilai-nilai dari etika adalah hukum kosmos yang bersifat objektif. Seseorang itu dikatakan baik, jika banyak berinteraksi dan melaksanakan hukum yang ada. Berbekal paham idealisme, orang-orang esensialis mengatakan bahwa sikap, tingkah laku dan ekspresi perasaan mempunyai hubungan dengan kualitas baik dan buruk. Orang yang berpakaian serba formal seperti dalam upacara atau peristiwa lain yang membutuhkan suasana tenang haruslah bersikap formal dan teratur. Ekspresi perasaan yang mencerminkan adanya serba kesungguhan dan kesenangan terhadap pakaian resmi yang dikenakan dapat menunjukkan keindahan baik dari pakaiannya maupun dari suasana kesungguhan tersebut. Orang-orang yang berpaham esensialis juga setuju dengan pandangan aliran realisme tentang etika. Bahwa semua pengetahuan manusia terletak pada keteraturan lingkup hidupnya. Dapat dikatakan bahwa mengenai hal baik-buruk dan keadaan manusia pada umumnya bersandarkan atas keturunan dan lingkungan. Perbuatan seseorang adalah hasil perpaduan yang timbul akibat adanya saling hubungan antara unsur-unsur pembawa fisiologis dan pengaruh dari lingkungan (Jalaluddin & Abdullah Idi, 1997: 87).
d. Pandangan tentang Belajar
Menurut idealisme, seseorang belajar pada taraf permulaan adalah untuk memahami aku-nya sendiri, dan sang aku ini terus bergerak keluar untuk memahami dunia objektif, bergerak dari mikrokosmos menuju ke makrokosmos.
Sepaham dengan filsafat realisme, kaum esensialis mengatakan bahwa belajar merupakan pengalaman yang tidak dapat dihalang-halangi, bahkan harus ada dalam diri setiap manusia. Belajar dimulai dari hal-hal yang sederhana meningkat terus sampai mencapai ke tingkatan yang rumit (tinggi). Belajar memerlukan ketekunan dan sistem yang terjalin erat satu sama lain sehingga diperoleh pengetahuan yang utuh dan sistemik. Belajar didefinisikan sebagai jiwa yang berkembang pada dirinya sendiri sebagai substansi spiritual. Jiwa manusia membina dan menciptakan diri sendiri.
Robert L. Finney (Jalaluddin & Abdullah Idi, 1997: 88) mengatakan bahwa mental adalah keadaan rohani yang pasif, yang menerima apa saja yang telah tertentu dan diatur oleh alam. Belajar adalah menerima dan mengenal dengan sungguh-sungguh nilai-nilai sosial dari generasi ke generasi untuk ditambah dan dikurangi dan diteruskan kepada generasi berikutnya. Dengan demikian ada dua determinasi dalam kehidupan, yaitu determinasi mutlak dan determinasi terbatas.
Determinasi mutlak bermakna bahwa belajar adalah suatu pengalaman manusia yang tidak dapat dihalang-halangi adanya, jadi harus ada. Dengan belajar, manusia membentuk dunia ini. Pengenalan ini memerlukan pula proses penyesuaian supaya tercipta suasana hidup yang harmonis.
Determinasi terbatas berarti bahwa meskipun pengenalan terhadap hal-hal yang kausal di dunia ini (sebab-akibat) yang tidak mungkin dapat dikuasai sepenuhnya oleh manusia, tetapi kemampuan pengawasan tetap diperlukan untuk dapat hidup dengan harmonis tersebut (Jalaluddin & Abdullah Idi, 1997: 88).
e. Pandangan tentang Kurikulum
Kegiatan dalam pendidikan harus disesuaikan dan ditujukan kepada yang serba baik. Kegiatan anak didik tidak dikekang asalkan sejalan dengan fundamen yang telah ditentukan.
Kurikulum seperti balok-balok yang disusun teratur dari yang paling sederhana ke yang kompleks seperti susunan alam semesta. Kurikulum tidak terpisah satu sama lain dan diumpamakan sebagai sebuah rumah yang mempunyai empat bagian, yaitu:
Universum: pengetahuan tentang kekuatan alam, asal-usul tata surya dll. Basisnya adalah ilmu alam.
Sivilisasi: Karya yang dihasilkan manusia sebagai akibat hidup bermasyarakat. Dengan sivilisasi,manusia dapat mengawasi lingkungannya, memenuhi kebutuhannya dan hidup aman sejahtera.
Kebudayaan: Karya manusia yang mencakup di antaranya filsafat, kesenian, kesusasteraan, agama, penafsiran dan penilai mengenai lingkungan.
Kepribadian: untuk membentuk kepribadian peserta didik yang tidak bertentangan dengan kepribadian ideal. Faktor fisik, emosi, intelektual sebagai keseluruhan dapat berkembang harmonis dan organis sesuai dengan konsep manusia ideal.
Salah seorang tokoh esensialis dari Amerika Serikat adalah Robert Ulich. Ia mengatakan bahwa kurikulum dapat saja fleksibel, tetapi tidak untuk pemahaman mengenai agama dan alam semesta. Maka perlu perencanaan kurikulum dengan seksama. Sementara Butler mengatakan bahwa anak perlu dididik untuk mengetahui dan mengagumi kitab suci (Injil) sedangkan Demihkevich mengatakan bahwa kurikulum harus berisikan moralitas yang tinggi (Jalaluddin & Abdullah Idi, 1997: 89).
3. Progresivisme
a. Landasan Ontologis Progresivisme
Bagi kaum progressif, tidak ada hal yang absolut. Tidak ada prinsip apriori atau hukum alam yang abstrak. Kenyataan adalah pengalaman transaksional yang selalu berubah. Dunia selalu berubah, dinamis. Hukum-hukum ilmiah hanya bersifat probabilitas, tidak absolut.
Dewey (via Akinpelu, 1988:142) sebagai tokoh utama progresivisme juga dipengaruhi oleh teori evolusi biologis dari Charles Darwin yang meyakini bahwa manusia adalah makhluk yang berevolusi secara gradual melalui proses alam, mulai dari sel yang sangat sederhana sampai kepada struktur yang sangat kompleks sebagaimana yang tampak sekarang ini. Teori ini juga berasumsi bahwa manusia dengan kecerdasannya akan melanjutkan evolusi melalui berbagai jalan dan cara agar dapat meningkatkan kemampuan dirinya untuk bertahan hidup. Dewey meyakini bahwa manusia berevolusi, berkembang tanpa batas melalui pendidikan.
Dewey (via Akinpelu, 1988:143-144) menolak metafisika, khususnya metafisika para filsuf idealisme dan realisme. Dewey beranggapan bahwa suatu hal yang tidak ada gunanya mencari hakikat atau fundamen kenyataan yang tidak berubah. Walaupun demikian, dengan menolak metafisika sesungguhnya Dewey juga sudah mempunyai pandangan metafisika sendiri tentang manusia. Dewey mengatakan bahwa manusia adalah pengalamannya. Manusia adalah organisme yang memiliki pengalamannya sendiri. Suatu organisme tidak dapat berada tanpa berinteraksi dengan lingkungannya. Hanya saja, Dewey tidak mau terlibat lebih jauh dalam diskursus metafisika tentang eksistensi Tuhan dan takdir manusia. Perhatian Dewey dan kaum progresif lainnya hanyalah tentang dunia ini sebagaimana dialami oleh manusia. Itulah yang dapat dijangkau oleh ilmu pengetahuan (sains) untuk kita semua.
b. Landasan Epistemologis Progresivisme
Progresivisme memang menolak metafisika, tetapi mereka sangat vokal mengenai epistemologi. Epsitemologi ditempatkan sebagai pusat dari filsafatnya (Akinpelu, 1988: 144). Mereka meyakini bahwa pengetahuan tidak ada artinya tanpa pengalaman manusia yang terus berproses dan disempurnakan. Oleh karena manusia hidup dan berinteraksi dengan makhluk lainnya, baik yang hidup maupun yang tidak, dalam suatu lingkungan hidup, manusia tidak dapat mengelak bahwa ia memperoleh berbagai pengalaman sebagai hasil dari interaksinya tersebut. Manusia memperoleh pengalaman karena ia mencoba untuk mengatasi dan menyelesaikan masalah-masalahnya yang muncul seiring dengan proses kehidupan itu sendiri.
Pengalaman itu terbentuk dalam interaksi yang aktif maupun yang pasif. Jika lingkungannya memunculkan masalah, maka manusia terkena dampaknya; itulah yang disebut unsur pasif. Selanjutnya, manusia mengambil langkah-langkah aktif untuk menyesuaikan diri dengan situasi baru yang diciptakan oleh lingkungannya, atau ia memodifikasi dan mengubahnya. Manusia juga menanggung konsekusensi tertentu yang mungkin muncul dari langkah-langkah yang diambil terhadap lingkungan hidupnya.
Dewey (via Akinpelu, 1988: 144) mengatakan: “When we experience something, we act upon it, we do something with it; then we suffer or undergo the consequences. We do something to the thing and the thing does something to us in return”.
Pengetahuan adalah produk dari interaksi organisme dan lingkungannya. Pengalaman dikumpulkan dari kehidupan sosial, diproses oleh kecerdasan manusiam dan diterapkan untuk menyelesaikan masalah hidupnya. Kecerdasan atau intelegensi bukanlah sesuatu yang abstrak; bukan substansi yang ada di kepala manusia, juga bukan bagian dari otak manusia; melainkan hanyalah suatu kualitas berpikir yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah kehidupan secara efektif. Dengan kata lain, intelegensi atau kecerdasan adalah cara kita, manusia mendekati masalahnya untuk diselesaikan. Manusia memiliki intelegensi adalah ketika dia mampu mengatasi masalahnya dengan cara-cara ilmiah. Orang yang cerdas adalah orang yang dapat berpikir dan menggunakan cara-cara yang efektif untuk menyelesaikan masalah hidup yang menghadangnya. Itulah artinya bahwa manusia dapat menggunakan Metode Berpikir Reflektif (Method of Reflective Thinking) dalam keseharian hidupnya. Metode berpikir reflektif disebut juga oleh Dewey (via Akinpelu, 1988:145) sebagai Metode Penyelesaian Masalah (Problem Solving Method).
Selain pengalaman, kebenaran adalah aspek lain yang menjadi perhatian para kaum progressif (Akinpelu, 1988: 146). Kebenaran adalah ide yang dapat diuji, diverifikasi dan terbukti efektif untuk menyelesaikan masalah. Kebenaran ialah kemampuan suatu ide untuk memecahkan masalah. Kebenaran adalah konsekuen dari suatu ide, realita pengetahuan, dan daya guna di dalam hidup. Sebuah ide dapat dikatakan benar apabila dapat dilaksanakan dan berguna.
Kebenaran itu juga merupakan konsep sosial. Jika sekelompok orang mempunyai ide atau opini dan kemudian opini tersebut ditelaah oleh orang yang kompeten di bidangnya dan dinyatakan atau diakui benar menurut mayoritas kelompok manusia tersebut, maka opini tersebut benar.
c. Landasan Aksiologis Progresivisme
Kaum progressif meyakini bahwa nilai-nilai berasal dari masyarakat. Nilai- nilai bukan suatu kualitas yang sudah tetap dalam diri subjek, juga bukan sesuatu yang berasal dari wahyu, melainkan berpusat pada manusia itu sendiri. Nilai-nilai mengungkapkan keinginan, hasrat, minat, aspirasi, dan ambisi individu-individu dan juga kelompok. Dengan kata lain, apa pun yang dipandang berharga, atau diinginkan, itulah artinya nilai bagi individu atau kelompok tersebut (Akinpelu, 1988: 146). Jadi, individu atau masyarakat menentukan nilai-nilainya sendiri. Masyarakat menjadi wadah timbulnya nilai-nilai. Nilai-nilai bersifat relatif, tidak ada prinsip mutlak.
Nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa, dengan demikian timbul pergaulan. Bahasa adalah sarana ekspresi yang berasal dari dorongan, kehendak, perasaan dan kecerdasan individu. Nilai itu benar atau salah, baik atau buruk dapat dikatakan ada, bila menunjukkan kecocokan dengan hasil pengujian yang dialami manusia dalam pergaulan manusia. Kriteria tindakan etik adalah uji sosial dalam masyarakat. Kriteria keindahan (estetik) bergantung pada selera sosial. Seni tidak dibedakan antara yang tinggi dan praktis.
d. Pandangan tentang Asas Belajar
Pandangan aksiologi tersebut berimplikasi pada padangan tentang asas belajar menurut progresivisme sebagai berikut.
Peserta didik mempunyai kecerdasan sebagai potensi kodrat yang membedakannya dengan makhluk lain.
Peserta didik mempunyai potensi kreatif dan dinamis, sebagai bekal untuk menghadapi dan memecahkan problem-problem hidupnya dan lingkungannya.
Hal penting bagi peserta didik adalah pengalaman. Dengan inteligensinya manusia dapat menyelesaikan masalah. Peserta didik belajar dari lingkungan dan bertindak dengan segala konsekuensinya.
Pendidikan merupakan wahana efektif dengan orientasi pada sifat dan hakikat anak didik sebagai manusia yang berkembang.
Guru adalah pembelajar juga hanya ia lebih berpengalaman sehingga dapat dipandang sebagai pembimbing atau pengarah oleh peserta didik. Guru tidak mengarahkan kelas berdasarkan kebutuhan dirinya melainkan karena kebutuhan dan minat peserta didik. Mata pelajaran dipilih berdasarkan kebutuhan peserta didik.
Usaha-usaha yang harus dilakukan guru adalah menciptakan kondisi edukatif, memberikan motivasi-motivasi, memberikan stimulus-stimulus sehingga akal peserta didik dapat berkembang dengan baik.
Sekolah adalah bagian dari kehidupan, bukan sekedar persiapan untuk hidup. Apa yang dipelajari di sekolah tidak banyak berbeda dengan apa yang dipelajari dalam berbagai aspek hidupnya.
John Dewey sebagai bapak progresivisme mengatakan bahwa pendidikan dipandang sebagai proses dan sosialisasi, yaitu proses pertumbuhan dan proses belajar dari kejadian di sekitarnya (gutek, 1988: 85). Oleh karena itu, dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat perlu dihapuskan, sebab belajar yang baik tidak cukup di sekolah saja. Sekolah yang ideal adalah sekolah yang isi pendidikannya berintegrasi dengan lingkungan sekitar. Sekolah adalah bagian dari masyarakat. Sekolah harus menyajikan program pendidikan yang dapat memberikan wawasan kepada peserta didik tentang apa yang menjadi karakteristik atau kekhasan daerah tersebut. Sekolah adalah transfer of knowledge sekaligus transfer of value.
Sekolah bertujuan menghasilkan orang yang cakap yang dapat berguna di masyarakat kelak. Sekolah berfungsi mengajarkan generasi muda untuk mengelola dan mengatasi perubahan dengan cara yang benar. Sekolah membiasakan peserta didik untuk belajar beradaptasi dengan dunia yang selalu berubah baik sekarang maupun di masa datang. Sekolah adalah juga sebagai wahana peserta didik belajar demokrasi. Sekolah adalah kehidupan demokratis dan lingkungan belajar yang setiap orang berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan sebagai antisipasi untuk proses kehidupan masyarakat yang lebih luas. Perubahan sosial, ekonomi dan politik dipandang baik sepanjang memberikan kondisi yang lebih baik bagi masyarakat.
e. Pandangan terhadap Kurikulum dan Metode
Kurikulum bersifat fleksibel, tidak kaku, bisa diubah sesuai dg kehendak zaman, terbuka dan tidak terikat oleh doktrin tertentu sehingga dapat dievaluasi dan direvisi sesuai kebutuhan. Kurikulum lebih difokuskan pada proses daripada isi. Kurikulum dipusatkan pada pengalaman manusia. Pengalaman diperoleh karena manusia terus belajar dan beradaptasi dengan lingkungannya.
Mata pelajaran tidak terpisah melainkan harus terintegrasi dalam satu kesatuan dengan tipe Core curriculum. Mata pelajaran yang terintegrasi akan menjadi aspek kognitif, afektif dan psikomotor sehingga anak akan dapat berkembang dengan baik. Praktik belajar di laboratorium, bengkel, kebun, lapangan merupakan kegiatan belajar yang dianjurkan sesuai dengan prinsip belajar sambil melakukan (learning by doing).
Metode belajar yang diutamakan adalah problem solving dengan langkah- langkah seperti metode ilmiah. Lima langkah proses pemikiran reflektif sebagaimana berikut.
- Ada masalah.
- Diagnosa situasi: upaya mengidentifikasi masalah (apa masalahnya?)
- Pikirkan kemungkinan-kemungkinan penyelesaian masalah (apa rumusan hipotesisnya?)
- Pikirkan solusi yang dipandang paling tepat dan akibat-akibatnya.
- Pengujian hipotesis yang dipilih (hipotesis yang masuk akal).
Jika hipotesis berjalan baik, maka diperoleh kebenaran yang dicari. Jika hipotesis gagal, maka dicari terus kebenaran sampai diperoleh dengan menguji hipotesis lain (kembali ke tahap 4).
Peserta didik diberi kebebasan memilih dalam pengalaman belajar yang akan sangat bermakna bagi dirinya. Kelas dipandang sebagai laboratorium ilmiah, di sinilah ide-ide diverifikasi. Selain di dalam sekolah (kelas), studi lapangan juga sangat bermanfaat karena peserta didik mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi langsung dalam interaksi dengan lingkungan, dan dapat memotivasi mereka (membangunkan minat intrinsik) dalam belajar.
Metode pengalaman ini tidak menolak buku, perpustakaan, museum dan pusat pengetahuan lainnya. Kalau seseorang membangun pengetahuan yang bermakna didasarkan pada pengalaman, ia akan mampu menyusun pengetahuannya melalui pendekatan tidak langsung dan logis. Anak bergerak bertahap dari belajar berdasar pengalaman langsung ke metode belajar tidak langsung mengalami (Gutek, 1988: 85).
4. Rekonstruksionisme Sosial
Rekonstruksionisme sosial dengan tokoh-tokoh seperti Harold Rugg, George Counts, dan Theodore Brameld menaruh perhatian yang besar pada hubungan antara kurikulum sekolah dan perkembangan politik, sosial, dan ekonomi suatu masyarakat. Pandangan kaum rekonstruksionisme termasuk ke dalam kelompok progressif yang sasarannya lebih luas. Berikut ini pokok-pokok pemikiran rekonstruksionisme terkait dengan dunia, masyarakat, dan pendidikan.
a. Pandangan tentang Dunia dan Pendidikan
Rekonstruksionisme sosial secara mencolok bersifat kontras dengan kaum konservatif . Rekonstruksionisme menganggap bahwa dunia dan moral manusia mengalami degradasi di sana-sini sehingga perlu adanya rekonstruksi tatanan sosial menuju kehidupan yang demokratis, emansipatoris dan seimbang. Keadaan yang timpang dan hanya menguntungkan salah satu belahan dunia harus diatasi dengan merekonstruksi pendidikan untuk memajukan peradaban. Kaum rekonstruksionis percaya bahwa dengan pendidikan yang baik, maka moral manusia dapat pula menjadi baik. Pendidikan yang mengedepankan kepekaan sosial dan perjuangan HAM mendapat penekanan.
Kaum rekonstruksionis meyakini bahwa masyarakat modern dan daya tahan manusia modern saling berkaitan erat. Untuk menjamin keberlangsungan hidup manusia dan untuk menciptakan peradaban yang lebih memuaskan, manusia harus menjadi insinyur sosial, yaitu orang yang mampu merancang jalannya perubahan dan mengarahkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara dinamis untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Kaum rekonstruksionis percaya bahwa semua reformasi sosial muncul dalam kehidupan itu sendiri.
Pendidikan adalah jalan utama untuk perubahan atau reformasi sosial. Pendidikan berperan untuk memelihara: (1) kepekaan akan adanya diskriminasi dalam pewarisan budaya; (2) berkomitmen untuk bekerja bagi upaya reformasi sosial yang adil.; (3) kehendak untuk mengembangkan mentalitas yang terencana yang mampu mengarahkan jalannya revisi budaya; (4) pengujian rencana budaya yang telah dilaksanakan dalam berbagai program untuk mewujudkan reformasi sosial (Gutek, 1974: 165).
b. Pandangan tentang Pendidik, Peserta Didik, dan Kurikulum
Kaum rekonstruksionis percaya bahwa semua reformasi sosial muncul dalam kehidupan itu sendiri. Peserta didik diharapkan dapat menemukan masalah besar yang menghadang umat manusia. Kepekaan akan kesadaran adanya diskriminasi mengandung makna bahwa peserta didik atau siswa mampu mengenali kekuatan dinamik yang ada sekarang ini. Juga, siswa diharapkan mampu untuk mendeteksi keyakinan-keyakinan, kebiasaan-kebiasaan, dan lembaga-lembaga yang menghalangi perbaikan budaya. Nilai-nilai budaya yang dominan semata-mata karena sudah menjadi kebiasaan memasyarakat harus dibuang bila tidak sesuai dengan semangat perbaikan budaya. Moral dan budaya ideologis yang sarat dengan nilai-nilai peninggalan zaman prailmiah dan pratekonologi tidak dapat dipakai lagi. Sikap fanatik, kebencian, tahayul, dan ketidaktahuan harus diidentifikasi dan dibuang (Gutek, 1974: 165).
Kaum rekonstruksionisme menginginkan siswa belajar mengidentifikasi masalah, metode, kebutuhan, dan sasaran yang jelas. Setelah itu, siswa menerapkan strategi yang agresif untuk mengubah keadaan secara efektif. Contohnya, kampanye keberaksaraan telah berkontribusi positif dalam mewujudkan revolusi politik yang sukses. Inilah contoh bahwa pendidikan telah berhasil membawa perubahan sosial yang sangat berarti.
Pendidik memegang peran penting dalam perubahan kurikulum yang sesuai dengan semangat rekonstruksionisme. Mereka percaya bahwa rekonstruksionisme sebagai sebuah paham dan pedoman bertindak akan mampu untuk membantu peserta didik dalam hubungannyadengan tujuan akademik dan tujuan personal untuk kesejahteraan masyarakatnya, bangsa, dan dunia. Peserta didik dengan minatnya masing-masing membantu menemukan solusi untuk mengatasi masalah-masalah sosial yang dipelajari di dalam kelas. Guru menekankan pengalaman belajar siswa secara berkelompok dan bekerjasama dengan komunitas yang ada di sekitarnya dan berbagai sumber daya yang dimiliki. Mereka juga dituntut untuk membuat proyek terntentu berdasarkan prinsip saling tergantung satu sama lain dan konsensus bersama. Seperti yang dinyatakan oleh McNeil (Reed & Davis, 1999: 292) bahwa pengalaman peserta didik harus memenuhi kriteria: real, memerlukan aksi, dan mengajarkan nilai-nilai.
Pertama, peserta didik harus fokus pada satu aspek dari komunitas yang menurut mereka harus dilakukan perubahan dengan usaha mereka sendiri.
Kedua, peserta didik harus bertindak aktif dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi komunitas; tidak sekedar meneliti. Tindakan yang bertanggung jawab di dalamnya termasuk bekerja bersama komunitas tersebut, memberi informasi pada komunitas mengenai permasalahan sosial yang dihadapi, dan mengambil posisi yang jelas untuk isu-isu kontroversial.
Ketiga, peserta didik harus membentuk sistem nilai yang koheren. Pengalaman belajar harus memberikan kesempatan pada peserta didik untuk menunjukkan pendapat dan sikapnya: benar atau salah, suka atau tidak suka terhadap suatu kondisi masyarakat atau fenomena yang ada.
Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa kurikulum rekonstruksionisme sosial merupakan kendaraan atau sarana ideal untuk menolong orang miskin, siswa miskin perkotaan, atau kelompok marginal lainnya agar mereka memiliki daya tahan untuk hidup, berjuang untuk mengubah hidup dan komunitasnya, sehingga pada akhirnya mereka akan dapat memperbaiki kehidupannya pula. Kurikulum yang dikembangkan diarahkan untuk mencapai tujuan kehidupan dunia yang demokratis dan menghargai HAM; oleh karena itu rekonstruksionisme setuju dengan ide-ide perenialis tentang pentingnya pendidikan moral bagi subjek didik, tetapi tidak secara otoritatif melainkan dalam suasana demokratis sebagaimana diajarkan oleh John Dewey dan kaum progresivisme.
Pandangan tentang peserta didik lebih mirip dengan pandangan progresivisme dan banyak hal lain lagi dari progresivisme yang diterima oleh rekonstruksionisme. Hanya saja, menurut kaum rekonstruksionis, perubahan dilakukan secara global, meliputi perubahan sikap dan perilaku umat manusia, tidak cukup hanya di lingkungan tempat tinggal peserta didik saja.