Baik logika deduktif maupun induktif, dalam proses penalarannya tentu menggunakan premis-premis yang berupa pengetahuan yang dianggapnya benar. Kenyataan ini membawa kita kepada sebuah pernyataan “bagaimanakah caranya kita mendapatkan pengetahuan yang benar ?”. Pada dasarnya ada 2 cara yang pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar, yakni dengan mendasarkan diri kepada rasio (rasionalisme) dan mendasarkan diri kepada pengalaman/fakta/empiri (empirisme).
Seorang filsuf yang dikenal sebagai “bapak filsafat moderen”, yakni Cartesius alias RENE DESCRATES (1596-1650), pernah mengatakan : “De omnibus dubitandum !” (Segala sesuatu itu harus diragukan). Namun segala yang ada dalam hidup ini, biasanya dimulai dengan meragukan sesuatu.
Bahkan Hamlet, si peragu, yang berseru kepada Ophelia :
Doubt thou the stars are fire,
Doubt the sun doth move,
Doubt truth to be a liar,
But never doubt I love.
Kira-kira seperti ini :
Ragukan bahwa bintang-bintang itu api,
Ragukan bahwa matahari itu bergerak,
Ragukan bahwa kebenaran itu dusta,
Tapi jangan ragukan cintakoe !
Kebenaran adalah pernyataan tanpa ragu !
Pada hakikatnya ada 2 cara yang mendasar bagi manusia dalam mendapatkan pengetahuan yang benar. Pertama, dengan mendasarkan diri kepada rasio (αναλογία). Kedua, dengan mendasarkan diri kepada pengalaman/empiri (εμπειρικά). Kaum rasionalis mengembangkan paham (aliran) apa yang kita kenal dengan Rasionalisme. Sedangkan mereka yang mendasarkan diri kepada pengalaman/empiri, mengembangkan paham (aliran) apa yang kita kenal sebagai Empirisme.
Daftar isi
Rasionalisme (ορθολογισμός)
Dalam menyusun pengetahuannya, kaum rasionalis menggunakan metode deduktif. Premis yang dipakai dalam penalarannya, didapatkan dari ide-ide yang menurut anggapannya jelas dan dapat diterima. Ide-ide ini menurut mereka bukanlah ciptaan pemikiran manusia. Prinsip itu sendiri jauh sudah ada sebalum manusia memikirkannya. Akhirnya paham semacam ini kita kenal sebagai paham Idealisme.
Bagi mereka, fungsi pikiran manusia itu hanyalah mengenai prinsip-prinsip tersebut, yang kemudian menjadi dasar pengetahuannya. Prinsip itu sendiri sudah ada dan bersifat apriori, dan dapat diketahui oleh manusia lewat kemampuan berpikir rasionalnya. Pengalaman/empiri tidaklah membuahkan prinsip. Dan justru malah sebaliknya, hanya dengan mengetahui prinsip yang didapatkan lewat penalaran rasional itulah, maka kita dapat mengerti kejadian-kejadian yang berlaku dalam alam sekitar kita. Secara singkat, dapat dikatakan bahwa ide-ide dalam kaum rasionalis ini adalah bersifat apriori. dan pra-pengalaman yang didapatkan manusia melalui penalaran rasional.
Masalah utama yang timbul dari cara berpikir seperti ini adalah mengenai “kriteria” untuk mengetahui akan kebenaran dari suatu ide yang menurut seseorang adalah jelas dan dapat dipercaya. Ide yang satu bagi si A mungkin bersifat jelas dan dapat dipercaya, namun hal itu belum tentu bagi si B. Mungkin saja si B menyusun sistem pengetahuan yang sama sekali tidak sama dengan sistem pengatahuan si A, karena si B menggunakan ide lain, yang mungkin bagi si B memang merupakan prinsip yang jelas dan dapat dipercaya.
Jadi masalah utama yang dihadapi kaum rasionalis ini adalah “evaluasi” dari kebenaran premis-premis yang dipakainya dalam penalaran deduktif. Sebab premis-premis ini semuanya bersumber pada penalaran rasional yang bersifat abstrak dan terhindar dari pengalaman (empiris), maka evaluasi semacam ini tak dapat dilakukan.
Oleh sebab itu, maka melalui penalaran rasional akan didapatkan berbagai macam pengetahuan mengenai suatu obyek tertentu, tanpa adanya suatu konsensus yang dapat diterima oleh semua pihak. Dalam hal ini, maka pemikiran rasional itu cenderung untuk bersifat subyektif dan solipsistik (hanya benar menurut kerangka pemikiran tertentu dalam benak orang yang berpikir tersebut).
Empirisme (αισθησιαρχία)
Berbeda dengan kaum rasionalis, kaum empiris menggunakan metode induktif dalam menyusun pengetahuannya. Mereka berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu bukan didapatkan lewat penalaran rasional yang bersifat abstrak, tetapi lewat fakta/pengalaman yang konkrit. Gejala-gejala alamiah menurut kaum empiris ini, adalah bersifat konkrit dan dapat dinyatakan lewat tangkapan panca-indera manusia.
Gejala-gejala tersebut kalau kita telaah lebih dalam, mempunyai beberapa karakteristik tertentu, misalnya saja : terdapat pola yang teratur mengenai suatu kejadian tertentu; suatu benda padat akan memanjang kalau dipanaskan; langit mendung diikuti turunnya air hujan. Demikian seterusnya, dimana pengamatan kita akan membuahkan pengetahuan mengenai berbagai gejala yang mengikuti pola-pola tertentu.
Di samping itu, kita melihat adanya karakteristik lain, yakni adanya “kesamaan” dan “pengulangan”, misalnya : bermacam-macam logam kalau kita panaskan maka akan memanjang. Hal ini memungkinkan kita untuk dapat melakukan suatu generalisasi dari berbagai kasus yang telah terjadi. Dengan menggunakan metode induktif, maka dapat disusun pengetahuan yang berlaku secara umum lewat pengamatan terhadap gejala-gejala fisik yang bersifat individual (survival).
Masalah utama yang timbul dalam penyusunan pengetahuan secara empiris ini, adalah bahwa pengetahuan yang dikumpulkan itu cenderung untuk menjadi suatu kumpulan fakta-fakta. Kumpulan tersebut belum tentu bersifat konsisten, dan mungkin saja terdapat hal-hal yang bersifat kontradiktif. Suatu kumpulan mengenai fakta, atau kaitan mengenai berbagai fakta, belum menjamin terwujudnya suatu sistem pengetahuan yang sistematis. Seperti dikatakan HAROLD A. LARRABEE dalam bukunya, Reliable Knowledge, “….kecuali kalau dia hanya seorang kolektor barang-barang serba aneka….”. Lebih jauh ALBERT EINSTEIN dalam bukunya, Physic and Reality mengingatkan bahwa “tak ada metode induktif yang memungkinkan berkembangnya konsep dasar suatu ilmu…”. Kaum empiris menganggap bahwa dunia fisik adalah nyata, karena merupakan gejala yang tertangkap oleh pancaindera manusia.
Di samping Rasionalisme dan Empirisme, masih ada cara lain untuk mendapatkan pengetahuan. Yang penting untuk kita ketahui adalah Intuisi (διαίσθηση) dan Wahyu (αποκάλυψη). Kendatipun sampai sejauh ini pengetahuan yang didapatkan manusia secara rasional dan maupun secara empiris, keduanya juga merupakan induk produk dari sebuah rangkaian penalaran.
Intuisi (διαίσθηση)
Intuisi merupakan salah satu sumber pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Misalnya, seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah, tiba-tiba saja menemukan jawaban atas permasalahannya tersebut. Tanpa melalui proses berpikir yang berliku-liku, tiba-tiba saja dia sudah sampai di situ. Jawaban atas permasalahan yang sedang dipikikannya, muncul dalam benaknya, bagaikan kebenaran yang menemukan pintu.
Atau bisa juga dikatakan, intuisi ini bekerja dalam suatu keadaan yang tidak sepenuhnya sadar (tetapi bukan mabuk). Artinya, jawaban atas suatu permasalahan ditemukan tidak ada waktu orang tersebut secara sadar sedang menggelutinya. Suatu masalah yang sedang kita pikirkan, yang kemudian kita tunda (pending) karena menemui jalan buntu, tiba-tiba muncul dalam benak kita yang lengkap dengan jawabannya. Lalu kita merasa yakin bahwa itulah jawaban yang sedang kita cari, namun kita tidak bisa (belum bisa) menjelaskan bagaiman caranya kita sampai ke sana.
Intuisi biasanya bersifat personal dan tidak bisa diramalkan atau direka-reka. Sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan secara teratur, maka intuisi ini tidak bisa diandalkan sepenuhnya. Namun pengetahuan intuitif ini bisa juga digunakan sebagai hipotesis bagi analisis selanjutnya dalam menentukan benar atau tidaknya pernyataan-pernyataan yang telah kita kemukakan.
Wahyu (αποκάλυψη)
Wahyu juga merupakan salah satu sumber pengetahuan, yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Pengetahuan semacam ini hanya disalurkan lewat makhluk-makhluk pilihan-Nya. Agama, merupakan sumber pengetahuan yang bukan saja mengenai kehidupan sekarang yang terjangkau pengalaman/empiri, tetapi juga mencakup masalah-masalah yang bersifat transedental; yakni seperti latar belakang penciptaan manusia, tentang kehidupan kemudian di akhirat nanti, dan sebagainya.
Pengetahuan semacam ini, mutlak didasarkan kepada kepercayaan kita terhadap hal-hal yang bersifat ghaib (supernatural). Kepercayaan kepada Tuhan yang merupakan sumber pengetahuan, keselamatan, ketenangan jiwa, dan sebagainya. Kepercayaan terhadap wahyu sebagai cara penyampaian, merupakan dasar dari penyusunan pengetahuan ini. Bukankah suatu kepercayaan merupakan “titik tolak” dalam suatu agama ?.
Suatu pernyataan itu biasanya harus dipercaya dulu untuk dapat diterima, pernyataan ini bisa saja selanjutnya dikaji dengan metode lain. Misalnya : Secara rasional dapat dikaji apakah pernyataan-pernyataan yang terkandung di dalamnya bersifat konsisten atau tidak. Di pihak lain, secara empiris bisa dikumpulkan fakta-fakta yang mendukung pernyataan tersebut atau tidak. Dengan kata lain, agama dimulai dengan rasa percaya, dan dengan melalui pengkajian selanjutnya kepercayaan itu bisa meningkat (bertambah) atau bahkan menurun (berkurang).
Pengetahuan lain, misalnya seperti ilmu, bertitik tolak sebaliknya. Ilmu dimulai dengan rasa tidak percaya, dan setelah melalui proses pengkajian ilmiah, kita bisa saja bertambah yakin atau barangkali tetap pada pendirian semula.
Semoga ada manfaatnya!