Daftar isi
Agroforestri
Menurut Anonymous, 1990 dalam Ainurrasjid (2001) agroforestri adalah manajemen pemanfaatan lahan secara optimal dan lestari, dengan cara mengkombinasikan kegiatan kehutanan dan pertanian pada unit pengelolaan lahan yang sama, dengan memperhatikan kondisi lingkungan fisik, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat yang berperan serta. Sedangkan menurut Soermarwoto, 1981 dalam Mahendra (2009) agroforestri adalah sistem tata guna lahan yang bersifat permanen. Tanaman semusim maupun tanaman tahunan ditanam bersamaan atau dalam rotasi sehingga membentuk tajuk-tajuk yang berlapis. Sistem ini memberikan keuntungan secara biologis maupun ekonomis.
Menurut Lahjie, 1992 dalam Mahendra (2009) agroforestri merupakan bentuk pengelolaan lahan yang memadukan prinsip-prinsip pertanian dan kehutanan. Pertanian dalam arti suatu pemanfaatan lahan untuk memperoleh pangan, serat, dan protein hewani. Kehutanan untuk memperoleh produksi kayu pertukangan dan atau kayu bakar serta fungsi estetika, hidrologi serta konservasi flora dan fauna.
Beberapa definisi agroforestri yang digunakan oleh lembaga penelitian agroforestri internasional International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF) agroforestri adalah sistem penggunaan lahan yang mengkombinasikan tanaman berkayu (pepohonan, perdu, bambu, rotan dan lainnya) dengan tanaman tidak berkayu atau dapat pula dengan rerumputan kadang – kadang ada komponen ternak atau hewan lainnya (lebah dan ikan) sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antara tanaman berkayu dengan komponen lainnya (Huxley, (1999) dalam Mahendra, 2009).
Menurut Hairiah dalam Mahendra (2009) pada dasarnya agroforestri terdiri dari tiga komponen pokok yaitu kehutanan, pertanian dan peternakan. Penggabungan tiga komponen yang termasuk dalam agroforestri adalah:
- Agrisilvikultur adalah kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan (pepohonan, perdu, palem, bambu, dan lain-lain.) dengan komponen pertanian.
- Silvopastura adalah kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan dengan peternakan.
- Agrosilvopastura adalah kombinasi antara komponen atau kegiatan pertanian dengan kehutanan dan peternakan/hewan.
Nair, 1987 dalam Usman dan Abdi (2010) menambahkan sistem-sistem lainnya yang dapat dikategorikan sebagai agroforestri. Beberapa contoh yang menggambarkan sistem lebih spesifik yaitu:
- Silvofishery adalah kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan dengan perikanan.
- Apiculture adalah budidaya lebah atau serangga yang dilakukan dalam kegiatan atau komponen kehutanan.
Tujuan akhir program agroforestri adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat petani, terutama yang di sekitar hutan, yaitu dengan memprioritaskan partisipasi aktif masyarakat dalam memperbaiki keadaan lingkungan yang rusak dan berlanjut dengan memeliharanya. Program-program agroforestri diarahkan pada peningkatan dan pelestarian produktivitas sumberdaya, yang akhirnya akan meningkatkan taraf hidup masyarakat (Irwanto, 2008).
Menurut Napoleon Vergara, 1981 dalam Mahendra (2009) mengklasifikasikan pola tanam agroforestrI dalam beberapa bentuk antara:
- Trees Along Border (pohon pembatas) yaitu pola penanaman pohon di bagian pinggir lahan dan tanaman pertanian berada di bagian tengah.
- Alternate Rows (baris) yaitu model penanaman agroforestry yang menempatkan pohon dan tanaman pertanian secara berselang-seling. Pola agroforestry ini dimungkinkan pada lahan yang relative datar.
- Alley cropping (pola lorong) yaitu pola penanaman agroforestry yang menempatkan pohon-pohon di pinggir kanan dan kiri tanaman pertanian.
- Random mixture(acak) yaitu pola penanaman acak, artinya antara tanaman pertanian dan pohon ditanam tidak teratur.
Sistem Silvopastura
Menurut Ainurrasjid (2001) mengatakan bahwa silvopastura adalah bentuk agroforestri yang merupakan campuran kegiatan kehutanan dan peternakan, yang dilaksanakan di bawah tegakan hutan (Agathis sp, Pinus sp, Albizia sp, dan lain-lain). Pada tegakan tersebut ditanami rumput-rumputan dan berbagai jenis HMT secara bersama-sama tanpa merusak tegakannya. Sehingga sistem silvopastura merupakan upaya pengelolaan lahan hutan untuk menghasilkan kayu dan untuk memelihara ternak.
Sedangkan menurut Indriyanto (2008) silvopastura adalah bentuk agroforestri yang menggabungkan kegiatan kehutanan dan peternakan dalam satu sistem pengelolaan lahan. Wujud dalam sistem silvopastura dalam praktek di lapangan, yaitu dalam suatu kawasan hutan ditanami rumput atau jenis hijauan pakan ternak tanpa merusak tegakan hutan. Bentuk silvopastura tersebut dapat diterapkan dalam kawasan hutan yang penduduk disekitarnya mengembangkan usaha perternakan, tetapi tidak memiliki tempat pengembalaan, sehingga lahan di bawah tegakan hutan dapat ditanami rumput yang dimanfaatkan untuk pakan ternak. Para petani juga dapat tetap dikandangkan ternak, tetapi pakan ternaknya diambil dari dalam kawasan hutan yang terdapat di bawah tegakan hutan yang telah ditanami rumput dan hijauan pakan ternak.
Mustofa, dkk. (2003) mendefinisikan bahwa silvopastura merupakan salah satu sistem agroforestri yang mengintergrasikan antara tegakan pohon, tanaman pakan, dan temak dalam suatu kegiatan yang terstruktur dan menggambar berbagai interaksi. Tujuan silvopastura sendiri bagaimana dapat mengoptimalkan ketiga komponen tersebut. Pada sistem tersebut tegakan pohon diatur untuk menghasilkan kayu gelondongan yang bernilai tinggi, dan mengelola vegetasi di bawah tegakan yang berupa tanaman pakan untuk dapat disajikan atau digembalakan oleh ternak.
Hasil penelitian Mansyur at. al. (2007) diketahui bahwa budidaya HMT seperti rumput gajah dengan sistem silvopastura di Desa Cijambu merupakan silvopastura yang dilakukan penaman tanaman pakan pada saat tanaman kehutanan sudah dewasa. Silvopastura yang ada seluas 38 ha, terdiri dari 28 ha pengembangan yang pertama, 10 ha adalah pengembangan tahap dua. Alasan peternak sapi perah dalam melaksanakan sistem silvopastura. Pertama, kebutuhan pakan hijauan untuk pakan ternak sapi perahnya, karena kegiatan usaha sapi perah dianggap mampu meningkatkan stabilitas ekonomi, sehingga keberlangsungan usaha temak sapi perah perlu terus dipertahankan dengan selalu menggunakan HMT. Kedua, adanya keinginan untuk meningkatkan penggunaan sumberdaya alam yang lain, berupa lahan kehutanan, agar memberikan manfaat yang lebih tinggi. Petemak sangat menyadari bahwa sumberdaya lahan yang dimilikinya tidak akan mampu mendukung usaha peternakan sapi perahnya secara optimal .
Hijauan Pakan Ternak dan Produktivitas Hijauan Pakan Ternak
Syamsu (2008) hijauan pakan ternak adalah semua pakan sumber serat kasar yang berasal dari tanaman, khususnya bagian tanaman yang berwarna hijau. Sebagaimana diketahui pakan ternak bisa dibagi menjadi lima jenis, yaitu hijauan pakan ternak, sisa hasil pertanian, hasil ikutan pertanian, limbah agroindustri dan pakan non konvensional. Sisa hasil pertanian, hasil ikutan pertanian dan limbah agroindustri biasanya disebut sebagai limbah tanaman. Hijauan pakan ternak berupa rumput dan leguminosa merupakan hal penting bagi produksi dan pengembangan temak sapi potong. Hijauan pakan ternak dapat dibagi menjadi dua kategori. Pertama hijauan liar yaitu hijauan yang tidak sengaja ditanam dan tumbuh dengan sendirinya dan yang kedua yaitu hijauan introduksi atau hijauan yang sengaja ditanam dan dipelihara sebagaimana membudidayakan tanaman lainnya. Hijauan introduksi yang dibudidayakan hanya merupakan spesies rumput tertentu atau spesies leguminosa tertentu yang sengaja ditanam.
Budidaya tanaman hijauan pakan ternak sudah mulai dikembangkan di lahan kering sejalan dengan program konservasi tanah. Pembuatan teras gulud atau teras bangku pada lahan-lahan miring, selalu dilengkapi dengan penanaman rumput atau leguminosa pada bagian guludan atau bibir pada tebing teras yang sesuai untuk pakan dan penguat teras dan juga ditanam di sela-sela tanaman kehutanan atau ditanam di bawah tegakan pohon. Pada umumnya pengembangan usaha ternak di lahan kering lebih banyak ditekankan pada peningkatan populasi ternak, tetapi kurang didukung oleh upaya pengembangan hijauan pakannya. Kekurangan pakan merupakan salah satu kendala dalam pengembangan ternak. Khususnya pada musim kemerau pengembangan hijauan pakan lahan kering, baik rumput maupun leguminosa, merupakan suatu usaha penting dalam rangka untuk mendukung pengembangan pakan ternak dalam suatu sistem usaha tani (Adimihardja, 1990 dalam Salomon, 2005).
Perencanaan pengembangan HMT dengan sistem silvopastura untuk kebutuhan hijauan peternak. Tentunya penggunaan rumput gajah sebagai bahan baku pakan ternak ruminansia hanya tidak memungkinkan, maka perlu adanya pemilihan spesies yang persisten dalam sistem silvopastura dan dapat digunakan untuk bahan baku. Jenis – jenis hijauan pakan yang cocok untuk ditanam dan tumbuh di bawah naungan telah banyak dilakukan dan telah banyak menghasilkan jenis hijauan yang cocok untuk dikembangkan pada berbagai kondisi tersebut contoh rumput gajah (Pennisetum purpureum L.), rumput setaria (Setaria sp.) (Salomon, 2005).
Produktivitas hijauan makanan ternak merupakan kemampuan menghasilkan suatu hijauan pakan yang dihasilkan. Pada dasarnya ada dua faktor yang mempengaruhi produktivitas rumput yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan yang mencakup keadaan tanah dan kesuburannya, pengaruh iklim termasuk cuaca dan perlakuan manusia atau manajemen. McIlroy (1977) dalam Riyanto (2008) menjelaskan bahwa produktivitas rumput tergantung pada faktor-faktor seperti persistensi (ketahanan) agresivitas, kemampuan tumbuh kembali, sifat tahan kering dan tahan dingin, penyebaran produksi musiman, kesuburan tanah, dan iklim.
Hasil penelitian Windu (2000) menunjukkan bahwa naungan dengan paranet 50% dan di bawah tegakan karet umur 4 tahun menurunkan produksi hijauan rumput gajah masing-masing sebesar 60% dan 70%. Respon produksi hijauan rumput gajah terhadap peningkatan dosis pupuk N (50-200 kg/ha) lebih nyata pada kondisi terbuka dibandingan dengan pada kondisi naungan. Mutu hijauan rumput gajah seperti kandungan nitrat, serat kasar dan protein kasar pada kondisi naungan 50% dan di bawah tegakan karet umur 4 tahun masih dalam kisaran yang aman untuk dikonsumsi ternak. Pada kondisi naungan, pemupukan N dengan dosis rendah (50 kg/ha) tidak menunjukkan perbedaan produksi hijauan rumput gajah yang nyata dengan pemupukan N dosis tinggi (200 kg/ha).
Hasil penelitian Prasetyo (2008) diketahui produksi rumput gajah dengan luas lahan 1 Ha mampu menampung sapi perah sebanyak 20 ekor selama setahun sedangkan kebutuhan ternak sapi akan hujauan segar yaitu 10% dari berat badan per hari per ekor. Jika berat seekor sapi perah 600 kg, maka kebutuhan hijauan per hari adalah 60 kg, jadi kebutuhan akan hijauan per tahun 21,9 ton. Berdasarkan perhitungan tersebut berarti rumput raja dapat menampung 49 ekor sapi perah/ha/tahun secara potong angkut.
Ketersediaan Lahan Silvopastura
Hasil penelitian Mansyur, at. al. (2007) menjelaskan keterbatasan lahan merupakan masalah umum dalam pengembangan ternak ruminansia untuk penanaman hijauan pakan. Strategi PHBM merupakan salah satu cara untuk tetap menjaga kelestarian hutan. Kegiatan PHBM di Desa Cijambu melalui menanam tanaman pakan di bawah naungan hutan sangat menjanjikan untuk dikembangkan. Peternak menanam rumput potongan, dalam hal ini rumput gajah, sebagai bahan makanan ternak ruminansia, sehingga ketersediaan lahan untuk penaman hijauan terpenuhi. Selain itu, peternak mempunyai kewajiban menjaga dan memelihara tanaman utama kehutanan.
Sebagian besar penduduk Desa Cijambu bermatapencaharian sebagai petani, dengan tata guna lahan seperti sawah teknis 89,406 ha, sawah setengah teknis 2 ha, lahan kering 168,14 ha, hutan lindung 992 ha, hutan produksi 48 ha, perkebunan rakyat 34 ha, pekarangan 4,7 ha. Jenis ternak yang dipelihara meliputi ternak ruminansia dengan jumlah temak terdiri dari domba 3000 ekor, sapi potong dan perah 791 ekor. Kepemilikan lahan yang sempit dan usahatani untuk menanam sayuran yang selalu mengalami ketidakpastian harga, membuat petani yang beralih profesi menjadi petani peternak sapi perah. Hal ini menunjukkan bahwa memelihara temak dapat membantu meningkatan pendapatan petani dan mempunyai lahan dengan kepemilikan yang sempit dengan memanfaatkan sumberdaya milik umum seperti lahan pangonan, pinggiran jalan, dan pinggiran hutan. Peluang usaha ternak sapi perah di Desa Cijambu sangat menjanjikan. Permasalahan ketersediaan penyediaan HMT bagi peternak di daerah tersebut telah dapat diatasi karena pihak perhutani dapat menyediakan lahan untuk masyarakat sekitar hutan untuk budidaya hijauan pakan ternak dengan sistem silvopastura (Mansyur, at. al.,2007).
Berbagai jenis rumput dan leguminosa yang ditanam menunjukkan pertumbuhan yang baik dan sesuai dengan kondisi lahan. Hal ini sangat mendukung produksi hijauannya dan untuk produksi ternak ruminansia. Penanaman berbagai jenis HMT di lahan petani atau di lahan milik perhutani selain untuk mengukur produktivitasnya juga untuk memberikan alternatif pilihan kepada petani untuk memilih jenis-jenis yang disukai ternaknya. Jenis rumput gajah menjadi pilihan utama bagi petani karena selain produktivitasnya tinggi, juga sangat disukai temaknya. Untuk meningkatkan kualitas HMT maka jenis-jenis hijauan berupa rumput dapat dikombinasikan penanamannya dengan jenis-jenis leguminosa. Pertanaman campuran antara rumput dan leguminosa sangat baik dilakukan tapi keduanya tidak saling menekan pertumbuhan masing-masing (Syamsu, 2008).
I