4 Pilar Pendidikan Unesco

4 min read

4 Pilar Pendidikan Unesco

Pilar Pendidikan

Perkembangan dan perubahan zaman yang semakin cepat berdampak pada tantangan yang semakin beragam pula. Dalam upaya hal tersebut, dunia pendidikan harus dengan cepat mengadaptasi perubahan. Hal ini tertuang pada 4 Pilar Pendidikan yang dirumuskan oleh Unesco.

Adapun 4 Pilar Belajar tersebut adalah :

  1. learning to know
  2. learning to do
  3. learning to live together
  4. learning to be

A. Learning to Know

Learning to Know secara harfiah diartikan sebagai Belajar untuk Mengetahui. Pilar Pendidikan ini berkaitan dengan perolehan, penguasaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan oleh manusia.

Learning to Know dipandang sebagai cara dan tujuan dari eksistensi manusia. Delors (1996) mentarakan bahwa pengetahuan memiliki dua manfaat bagi manusia yakni untuk

  1. Mengetahui cara untuk melakukan sesuatu (tehnis)
  2. Mengetahui tujuan dari ilmu pengetahuan dipelajari

Belajar sebagai sebuah cara hidup

Manusia merupakan mahluk hidup yang memiliki perkembangan pengatahuan dan kognitif paling tinggi diantara seluruh mahluk hidup. Hal ini membuat manusia mampu memaksimalkan hal-hal yang ada di alam untuk keperluan hidup.

Pandangan ini membuat manusia dianggap wajib memahami dunia tempat mereka tinggal. Paling tidak seorang manusia harus memiliki pengetahuan tentang kebutuhannya terkait dengan hal-hal yang ada di lingkungan sekitarnya.

Tidak hanya kebutuhan fisik yang diatur oleh hukum-hukum alam, tapi juga kebutuhan manusia sebagai mahluk sosial. Manusia merupakan mahluk yang memiliki kehormatan, rasa percaya diri, memeliki keterampilan berkembang dan menguasai (okupasional), serta berinteraksi dengan sesama manusia. Dari segi tujuan, belajar untuk mengetahui bertujuan untuk memberkan kepuasan karena perolehan pemahaman, pengetahuan dan kepuasan ,melalui penemuan-penemuan secara mandiri.


Belajar  untuk mengetahui berimplikasi terhadap diamokodasikannya konsep belajar tentang bagaimana belajar, (learning how to learn), dengan mengembangkan seluruh potensi konsentraisi pembeajaran, keterampilan mengingat dan kecakapan untuk berpikir. Sesuai fitrahnya, sejak bayi, anak kecil harus belajar bagaimana berkonsentrasi terhadap objek atau orang-orang lain. Proses untuk memperbaiki keterampilan berkonsentrasi ini dapat bermasifestasi dengan bebagai kesempatan belajar yang berbeda-beda, yang muncul di sepanjang kehidupannya.

Pengembangan keterampila mengingat adalah suatu wahana yang unggul untuk menanggulangi aliran yang berlimpah dari informasi instan yang disebarluaskan oleh banayak media pada saat ini. Berbahaya jika kta berkesimpulan bahwa arus informasi yang luar biasa bnayaknya ini tidak perlu ditanggulangi dengan penigkata keterampilan dalam mengingat. Kecakapan manusia dalam memorisasi asosiatif yang spesifik ini tidak boleh direduksi semata oleh hadirnya proses automatisasi, tetapi harus selalu dikembangkan secara berhati-hati.

Sementara itu, berpikir terkait sesuatu yang dipelajari anak, mula-mula dari orang tuanya, kemudian dari para gurunya. Proses berpikir ini harus terkait dengan keterampilan menguasai penyelesaian masalah praktiks maupun mengembangkan masalah abstrak. Oleh sebab itu pembelajaran sebagai praktik pendidikan harus mampu memandu siswa untuk mampu memandu siswa secara sinergis penalaran deduktif sekaligus penalaran induktif yang pada hakkatnya justru suatu proses yang berbeda arah. Keterampilan berpikir secara reflektif ini penting untuk melatih anak menyelesaikan berbagai prolema kehidupan. Belajar untuk berpikir merupakan pembelajaran sepanjang hayat, seseorang selalu siap belajar unutk berpikir, selama hidupnya tidak akan mengalami kebosanan karena menghadapi keniscayaan rutinitas.

B. Learning to Do

Konsep learning to do ini terkait dengan pertanyaan pokok, bagaimana kita mengadaptasikan pendidikan sehingga kita mampu membekali siswa bekerja untuk mengisi berbagai jenis lowongan pekerjaan di masa depan. Dalam hal ini pendidikan dihrapkan mampu menyiapkan siswa berkaitan dengan dua hal. Pertama berhubunhan dengan ekonomi industri, dimana para pekerja memperoleh upah dari pekerjaanya. Kedua, yaitu suatu usaha yang kita kenal sebagai wirausaha, para luluasan sekolah menyiapkan jenis pekerjaanya sendiri dan menggaji dirinya sendiri (self employment), dalam semangat entrepreneuship. Suatu hal yang patut dicatat dan diimplikasikandengan baik dalam kurikulum pembelajaran di sekolah., sejak paruh kedua abad ke-20 yang lalu telah ada pergeseran besardalam dunia industry. Jika dulu lebih berpokus pada pekerjaan fisik di limgkungan manufaktur, maka saat ini justru yang banyak berkembang yaitu layanan jasa. Pekerjaan ini semaki dibutuhkan denga berkembang pesatnyateknologi komunikasi dan informasi, pekerjaan yang “tidak tampak” (intangible) makin menjmur.

Belajar untuk bekerja, learning to do adalah belajar atau berlatih menguasai keterampilan dan kompetensi kerja. Jadi menurut konsep UNESCO belajar jenis ini berkaitan dengan pendidikan vokasional. Pada perkembangannya, dunia usaha/dunia industry menuntut agar setelah lulus, para  siswa pembelajar siap memasuki lapangan kerja, sehinggga seharusnya ada link and match antara sekolah dengan dunia usaha. Maknanya, sekolah wajib menyiapkan berbagai keterampilan dasar untuk siap bekerja. Keterampilan dan kompetensi kerja harus dikuasai siswa, sejalan denga tuntunan perkembangan dunia industry memang semakin tinggi, tidak sekadar pada tingkat keterampilan kompetensi teknis atau operasiaonal, tetapi bahkan sampai dengan kompetensi profesioanal. Sehubung dengan pesatnya perkembangan dunia kewirausahaan, pendidikan dan pembelajaran dituntut untuk mampu menyiapkan para lulusan yang siap mengisi sector informal, itu berarti pembelajaran harus mampu mengembangkan jiwa inovatif siswa.

C. Learning to Live Together

Belajar untuk hidup bersama,( Learning to Live Together), mengisyaratkan keniscayaan interaksi berbagai kelompok dan golongan dalam kehidupan global yang dirasakan semakin menyempit akibat kemajuan teknologo komunikasi dan informasi. Komunikasi antar manusia di kedua belahan dunia kini sudah dalam hitungan detik. Agar dapat berinteraksi, berkomunikasi, saling berbagi dan, bekerja sama dan hidup bersama, saling menghargai dalam kesetaraan, sejak kecil anak-anak sudah harus dilatih, dibiasakan hidup berdampingan bersama. Anak-anak harus banyak belajar dari hidup bersama secara damai, apalagi di alam Indonesia yang multikultur, multietnik ini sehingga mereka biasa bersosialisasi sejak awal (being sociable). 

Sepanjang sejarah, kehidupan manusia secara konstan memperoleh ancaman dari berbagai konflik, tetapi resiko menghadapi konflik ini semakin tinggi terutama karena dua faktor penyebab. Penyebab pertama adalah potensi potensi luar biasa untuk merusak yang berkembang dari diri manusia sendiri, dan ini dibuktikan di dalam abad ke-20 yang lalu. Pada abad ini berlangsung dua perang dunia, perang dunia I dan perang dunia II yang menghancurkan kemanusiaan, membunuh jutaan manusia, menyebabkan kesengsaraan dan penderitaan global. Penyebab keduan, perkembangan media informasi yang luar biasa canggih sehingga berita tentang konflikdi berbagai belahan dunia cepat tersebar luas, dan hal ini telah banayak berpengaruh terhadap diri manusia, sayangnya justru pengaruh negative semacam ini yang paling mudah ditiru. Sehubung dengan itu muncul pertanyaan mendasar. Dapatkah kita berbuat lebih baik? Dapatkah kita hidup berdampingan secara damai untuk memperoleh kemaslahatan bersama? Jawabanya tentu melalui usaha terus menerus yang tidak kenal lelah dan tidak kenal putus asa melalui dunia pendidikan.

D. Learning to Be

Belajar untuk menjadi manusia yang utuh (learning to be), mengharuskan tujuan belajar dirancang dan diimplemantasikam sedemikian rupa, sehingga pembeajaran menjadi utuh,paripurna. Manusia yang utuh adalah manusia yang seluruh aspek kepribadiannya berkembang secara optimal dan seimbang, baik aspek ketakwaan, terhadap tuhan, intelektual, emosi, social, fisik, maupun moral. Seimbang dengan kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan social, dan keceradasan spiritual. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan individu-individu yang banyak belajar dalam mengembangkan seluruh aspek kepribadiannya. Dalam kaitan itu mereka harus berusaha banyak meraih keunggulan (being excellene) keunggulan ditunjang dan diperkuat oleh moral yang kuat (being morality). Moral yang kuat wajib ditunjang oleh keimanan inilah yang diharapkan mampu memandu pembelajaran untuk belajar menghargai orang lain, toleran terhadap hak-hak orang lain, dan memahami bahwa hidup bersama dengan berbagai jenis ras, suku, warna kulit, bahasa, tradisi dan budaya merupakan suatau keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Pembelajar secara ringkasnya harus mampu menemukan orang lain (to discover other people) sebagai bagian dari dirinya sendiri. Ikatan manusia semacam ini akan lebih diperkuat jika sejak kecil anak sudah dibiasakan, dilatih, dihadapkan kepada situasi, bahwa manusia diseluruh dunia ini harusnya memang menuju kejutuan umum bersama (toward the common goals) , yaitu tercapainya kondisi dunia yang sejahtera, aman, adil, makmur dalam kesejahteraan an salng menghormati.

Leave a Reply