Taksonomi Bloom merujuk pada taksonomi yang dibuat untuk tujuan pendidikan. Taksonomi ini pertama kali disoleh Benjamin S. Bloom pada tahun 1956. Dalam hal ini, tujuan pendidikan dibagi menjadi beberapa domain (ranah, kawasan) dan setiap domain tersebut dibagi kembali ke dalam pembagian yang lebih rinci berdasarkan hierarkinya. Tujuan pendidikan dibagi kedalam tiga ranah atau domain, yaitu: 1) Ranah Kognitif, 2) Ranah Afektif, 3) Ranah Psikomotorik.
Beberapa istilah lain yang juga menggambarkan hal yang sama dengan ketiga domain tersebut di antaranya seperti yang diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara, yaitu: cipta, rasa, dan karsa. Selain itu, juga dikenal istilah: penalaran, penghayatan, dan pengamalan. Dari setiap ranah tersebut dibagi kembali menjadi beberapa kategori dan subkategori yang berurutan secara hierarkis (bertingkat), mulai dari tingkah laku yang sederhana sampai tingkah laku yang paling kompleks. Tingkah laku dalam setiap tingkat diasumsikan menyertakan juga tingkah laku dari tingkat yang lebih rendah, seperti misalnya dalam ranah kognitif, untuk mencapai “pemahaman” yang berada di tingkatan kedua juga diperlukan “pengetahuan” yang ada pada tingkatan pertama.
Daftar isi
A. Taksonomi Bloom
Taksonomi ialah klasifikasi atau pengelompokan benda menurut ciri-ciri tertentu. Taksonomi dalam bidang pendidikan, digunakan untuk klasifikasi tujuan instruksional; ada yang menamakannya tujuan pembelajaran, tujuan penampilan, atau sasaran belajar, yang digolongkan dalam tiga klasifikasi umum atau ranah (domain), yaitu:
- ranah kognitif, berkaitan dengan tujuan belajar yang berorientasi pada kemampuan berpikir;
- ranah afektif berhubungan dengan perasaan, emosi, sistem nilai, dan sikap hati);
- ranah psikomotor (berorientasi pada keterampilan motorik atau penggunaan otot kerangka).
Saat ini dikenal berbagai macam taksonomi tujuan instruksional yang diberi nama menurut penciptanya, misalnya: Bloom; Merrill dan Gagne (kognitif); Krathwohl, Martin & Briggs, dan Gagne (afektif); dan Dave,
Simpson dan Gagne (psikomotor).
Secara etimologi kata taksonomi berasal dari bahasa Yunani yaitu taxis dan nomos. Taxis berarti “pengaturan atau divisi” dan nomos berarti hukum (Enghoff, 2009:442). Jadi secara etimologi taksonomi dapat diartikan sebagai hukum yang mengatur sesuatu. Taksonomi dapat diartikan sebagai pengelompokan suatu hal berdasarkan hierarki (tingkatan) tertentu. Di mana taksonomi yang lebih tinggi bersifat lebih umum dan taksonomi yang lebih rendah bersifat lebih spesifik.
Taksonomi dapat digambarkan seperti sebuah hubungan antara ayah dan anak yang berada dalam satu struktur hirarki yang terhubung antara satu dengan yang lain. Taksonomi adalah sebuah kerangka untuk mengklasifikasikan pernyataan-pernyataan yang digunakan untuk memprediksi kemampuan peserta didik dalam belajar sebagai hasil dari kegiatan pembelajaran.
Taksonomi Bloom memiliki tiga ranah diantaranya 1) ranah kognitif, yang mencakup ingatan atau pengenalan terhadap fakta-fakta tertentu, pola-pola prosedural, dan konsep-konsep yang memungkinkan berkembangnya kemampuan dan skill intelektual (Huda, 2013:169), 2) ranah afektif, ranah yang berkaitan perkembangan perasaan, sikap, nilai dan emosi, 3) ranah psikomotor, ranah yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan manipulatif atau keterampilan motorik (Degeng, 2013:202). Pengembangan keterampilan ini memerlukan latihan dan diukur dalam hal kecepatan, ketepatan, jarak, prosedur, atau teknik dalam pelaksanaan.
Taksonomi Bloom pada 1956 dituangkan dalam sebuah buku The Taxonomy of Educational Objectives, The Classification of Educational Goal, Handbook I: Cognitive Domain. Buku yang menjelaskan tentang sistem klasifikasi pendidikan tersebut disebut sebagai Handbook. Handbook tersebut kemudian direvisi dengan dua alasan yaitu:
- terdapat kebutuhan untuk mengarahkan kembali fokus para pendidik pada Handbook, bukan sekadar sebagai dokumen sejarah, melainkan juga sebagai karya yang dalam banyak hal telah
“mendahului” jamannya (Rohwer dan Sloane, 1994 dlm. Anderson dan Krathwohl,
2010). - adanya kebutuhan untuk memadukan pengetahuan- pengetahuan dan pemikiran-pemikiran baru dalam sebuah kerangka kategorisasi tujuan pendidikan. Kemajuan dalam khazanah ilmu ini mendukung keharusan untuk merevisi Handbook (Anderson dan Krathwohl, 2010).
Keunggulan dan Kelemahan
Jika kita lompat kedalam Taksonomi Bloom versi terbaru ada beberapa kekuatan. Antaranya ialah Taksonomi Bloom versi baru membedakan antara “tahu tentang sesuatu (knowing what)”, isi dari pemikirannya itu sendiri, dan “tahu tentang bagaimana melakukannya (Knowing how)”, sebagaimana prosedur yang digunakan dalam menyelesaikan masalah. Menurut taksonomi tersebut dimensi pengetahuan adalah “tahu tentang sesuatu”, yang memiliki empat kategori yaitu: faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif.
Pengetahuan yang bersifat faktual melibatkan bagian-bagian terkecil yang terpisah-pisah dari informasi, sebagaimana definisi kosakata dan pengetahuan tentang hal-hal khusus yang terperinci. Pengetahuan yang bersifat konseptual pula terdiri dari berbagai sistem infromasi, seperti bermacam-macam klasifikasi dan kategori.
Pengetahuan yang bersifat prosedural pula termasuk algoritma, heuristics atau aturan baku, teknik dan metode, sebagaimana pengetahuan tentang bagaimana kita harus menggunakan berbagai prosedur tersebut.
Pengetahuan yang bersifat metakognitif pula menggerakan kepada pengetahuan atas proses-proses berfikir dan informasi tentang bagaimana memanipulasi proses-proses tersebut secara efektif. Dalam taksonomi bloom ini, dimensi proses kognitif yang telah diperbaiki daripada taksonomi bloom versi lama mempunyai enam proses dari yang paling sederhana hingga yang paling rumit yaitu Mengingat, Memahami, Menerapkan, Menganalisis, Mengevaluasi dan Menciptakan. Proses mengingat adalah mengingat kembali informasi yang sesuai dari ingatan jangka panjang. Proses memahami pula adalah kemampuan untuk memahami secara mendalam dari bahan pendidikan, seperti bahan bacaan dan penjelasan guru.Kecakapan turunan dari proses ini melibatkan kemahiran memahami, mencontohkan, membuat klasifikasi, meringkas, menyimpulkan.
Proses ketiga yaitu menerapkan, melibatkan kepada pengguna prosedur yang telah dipelajari baik dalam situasi yang telah dikenal maupun pada situasi yang baru. Proses berikutnya adalah menganalisis, terdiri dari memecah pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil dan memikirkan bagaimana bagian-bagian tersebut berhubungan dengan struktur keseluruhan.
Menciptakan ialah proses yang tidak terdapat dalam taksonomi bloom versi lama. Proses ini adalah komponen tertinggi dalam Taksonomi Bloom versi baru ini. Kecakapan ini melibatkan usaha untuk meletakkan berbagai perkara secara bersama untuk menghasilkan suatu pengetahuan baru. Sesuai dengan taksonomi ini, setiap tingkat dari pengetahuan dapat berhubungan dengan setiap tingkat dari proses kognitif sehingga seorang pelajar dapat mengingat pengetahuan yang bersifat faktual atau prosedural, memahami pengetahuan yang bersifat konseptual atau metakognitif, atau menganalisis pengetahuan metakognitif atau faktual.
B. Implementasi
Pada tahun 1956, Benjamin Samuel Bloom dan kawan-kawannya memperkenalkan konsep baru dalam dunia pendidikan, yaitu tentang kerangka konsep berpikir yang berupa struktur tingkatan kompetensi. Kecerdasan manusia secara operasional dapat digambarkan melalui tiga dimensi, yakni kognitif, psikomotorik, dan afektif (Khusniati, 2012). Dari setiap ranah tersebut, dibagi kembali menjadi beberapa kategori dan subkategori yang berurutan secara hirarkis (bertingkat), mulai dari tingkah laku yang sederhana, sampai tingkah laku yang paling kompleks (Taher, 2013). Pembagian intelektual dalam kerangka berpikir ini, penting bagi peserta didik untuk menguasai ketiganya dalam takaran tertentu. Semakin komprehensif dan stabil ketiganya maka akan semakin berdampak bagus pada perkembangan peserta didik.
Taksonomi Bloom merupakan struktur hierarki yang mengidentifikasikan skills mulai dari tingkat terendah hingga tertinggi. Setiap tingkatan dalam Taksonomi Bloom memiliki korelasinya masing-masing. Maka, untuk mencapai tingkatan yang paling tinggi, tentu tingkatan-tingkatan yang berada di bawahnya harus dikuasai terlebih dahulu. Konsep Taksonomi Bloom, membagi domainnya menjadi 3 ranah, yaitu : (1) ranah kognitif, (2) ranah afektif, dan (3) ranah psikomotorik. (Utari, 2012).
Ranah kognitif mengurutkan keahlian sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Proses berpikir menggambarkan tahap berpikir yang harus dikuasai oleh siswa agar mampu mengaplikasikan teori ke dalam perbuatan. Ranah kognitif ini terdiri atas enam level, yaitu: (1) knowledge (pengetahuan), (2) comprehension (pemahaman atau persepsi), (3) application (penerapan), (4) analysis (penguraian atau penjabaran), (5) synthesis (pemaduan), dan (6) evaluation (penilaian) (Utari, 2012).
Penguasaan ranah kognitif peserta didik, meliputi perilaku peserta didik yang ditunjukkan melalui aspek intelektual, seperti pengetahuan serta keterampilan berpikir. Pengetahuan serta keterampilan peserta didik, dapat diketahui dari berkembangnya teori-teori yang dimiliki oleh peserta didik, serta memori berpikir peserta didik yang dapat menyimpan hal-hal baru yang diterimanya. Misalnya, peserta didik baru belajar mengenai definisi dari drama, teater, serta tata panggung. Pada umumnya, peserta didik yang ranah kognitifnya kuat, dapat menghafal serta memahami definisi yang baru diketahuinya. Selain itu, kemampuan peserta didik dalam mengingat teori yang baru didapatnya, sangat kuat.
Penguasaan ranah afektif peserta didik, dapat ditinjau melalui aspek moral, yang ditunjukkan melalui perasaan, nilai, motivasi, dan sikap peserta didik. Pada ranah afektif lah pada umumnya peserta didik lemah dalam penguasaannya. Hal ini terbukti dari maraknya kekerasan yang ada di sekolah. Hal ini tentu berseberangan dengan UUD 1945, pasal 28 B ayat 2 yang mengatakan bahwa, “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Akan tetapi, mirisnya yang melakukan kegiatan immoral, seperti kekerasan serta diskriminasi di sekolah, pada dewasa ini, banyak kasus yang pelakunya adalah peserta didik.
Hal ini merupakan cerminan, bahwasanya penguasaan aspek afektif pada peserta didik belum dapat dikatakan baik. Oleh karena itu, seharusnya peserta didik yang aspek afektifnya terbangun dengan baik pada proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM), memiliki implementasi dari sikap yang baik, berupa saling toleransi dalam pertemanan, jujur, amanah, serta mandiri, dalam melakukan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) di sekolah, maupun melakukan berbagai aktivitas di luar sekolah. Sehingga, peserta didik yang penguasaan pada ranah afektifnya kuat, akan memiliki kehidupan sosial yang baik, hubungan pertemanan yang baik, serta dapat mengatasi keadaan genting dengan bijak.
Ranah psikomotorik dapat ditinjau melalui aspek keterampilan peserta didik, yang merupakan implementasi dari Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) di kelas. Peserta didik tidak cukup hanya menghapal suatu teori, definisi saja, akan tetapi peserta didik juga harus menerapkan teori yang sifatnya abstrak tersebut, ke dalam aktualisasi nyata. Hal ini menjadi sebuah tolok ukur, dipahami atau tidaknya sebuah
ilmu secara komprehensif oleh peserta didik. Peserta didik yang memahami suatu ilmu dengan komprehensif, memiliki daya implementasi yang kuat dalam menerapkan ilmu yang dimilikinya.