Pemidanaan Dalam Hukum Pidana
Teori-teori pemidanaan berkembang mengikuti dinamika kehidupan masyarakat sebagai reaksi dari timbul dan berkembangnya kejahatan itu sendiri yang senantiasa mewarnai kehidupan sosial masyarakat dari masa ke masa. Dalam dunia ilmu hukum pidana itu sendiri, berkembang beberapa teori tentang tujuan pemidanaan, yaitu teori absolut (retributif), teori relatif (deterrence/utilitarian), teori penggabungan (integratif), teori treatment dan teori perlindungan sosial (social defence). Teori-teori pemidanaan mempertimbangkan berbagai aspek sasaran yang hendak dicapai di dalam penjatuhan pidana.
Teori absolut (teori retributif), memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan, jadi berorientasi pada perbuatan dan terletak pada kejahatan itu sendiri. Pemidanaan diberikan karena si pelaku harus menerima sanksi itu demi kesalahannya. Menurut teori ini, dasar hukuman harus dicari dari kejahatan itu sendiri, karena kejahatan itu telah menimbulkan penderitaan bagi orang lain, sebagai imbalannya (vergelding) si pelaku harus diberi penderitaan.
Setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar menawar. Seseorang mendapat pidana oleh karena melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibat-akibat apapun yang timbul dengan dijatuhkannya pidana, tidak peduli apakah masyarakat mungkin akan dirugikan. Pembalasan sebagai alasan untuk memidana suatu kejahatan. Penjatuhan pidana pada dasarnya penderitaan pada penjahat dibenarkan karena penjahat telah membuat penderitaan bagi orang lain. Menurut Hegel bahwa, pidana merupakan keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan.
Ciri pokok atau karakteristik teori retributif, yaitu :
- Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan ;
- Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat;
- Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana ;
- Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar ;
- Pidana melihat ke belakang, ia merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan kembali si pelanggar.
Teori relatif (deterrence), teori ini memandang pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan. Dari teori ini muncul tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan, yaitu pencegahan umum yang ditujukan pada masyarakat. Berdasarkan teori ini, hukuman yang dijatuhkan untuk melaksanakan maksud atau tujuan dari hukuman itu, yakni memperbaiki ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat kejahatan itu. Tujuan hukuman harus dipandang secara ideal, selain dari itu, tujuan hukuman adalah untuk mencegah (prevensi) kejahatan.
Menurut Leonard, teori relatif pemidanaan bertujuan mencegah dan mengurangi kejahatan. Pidana harus dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku penjahat dan orang lain yang berpotensi atau cederung melakukan kejahatan. Tujuan pidana adalah tertib masyarakat, dan untuk menegakan tata tertib masyarakat itu diperlukan pidana.
Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Dasar pembenaran pidana terletak pada tujuannya adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan. Pidana dijatuhkan bukan karena orang membuat kejahatan, melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan. Sehingga teori ini sering juga disebut teori tujuan (utilitarian theory).
Adapun ciri pokok atau karakteristik teori relatif (utilitarian), yaitu :
- Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention) ;
- Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat ;
- Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana ;
- Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan ;
- Pidana melihat ke muka (bersifat prospektif), pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.
Teori gabungan (integratif) mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas tertib pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Pada dasarnya teori gabungan adalah gabungan teori absolut dan teori relatif. Gabungan kedua teori itu mengajarkan bahwa penjatuhan hukuman adalah untuk mempertahankan tata tertib hukum dalam masyarakat dan memperbaiki pribadi si penjahat.
Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu :
- Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang pelu dan cukup untuk dapatnya dipertahankannya tata tertib masyarakat;
- Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana.
Teori treatment, mengemukakan bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan kepada perbuatannya. Teori ini memiliki keistimewaan dari segi proses re-sosialisasi pelaku sehingga diharapkan mampu memulihkan kualitas sosial dan moral masyarakat agar dapat berintegrasi lagi ke dalam masyarakat. Menurut Albert Camus, pelaku kejahatan tetap human offender, namun demikian sebagai manusia, seorang pelaku kejahatan tetap bebas pula mempelajari nilai-nilai baru dan adaptasi baru. Oleh karena itu, pengenaan sanksi harus mendidik pula, dalam hal ini seorang pelaku kejahatan membutuhkan sanksi yang bersifat treatment.
Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif. Aliran ini beralaskan paham determinasi yang menyatakan bahwa orang tidak mempunyai kehendak bebas dalam melakukan suatu perbuatan karena dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor lingkungan maupun kemasyarakatannya.
Dengan demikian kejahatan merupakan manifestasi dari keadaan jiwa seorang yang abnormal. Oleh karena itu si pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan atas perbuatannya dan tidak dapat dikenakan pidana, melainkan harus diberikan perawatan (treatment) untuk rekonsialisasi pelaku.
Teori perlindungan sosial (social defence) merupakan perkembangan lebih lanjut dari aliran modern dengan tokoh terkenalnya Filippo Gramatica, tujuan utama dari teori ini adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Hukum perlindungan sosial mensyaratkan penghapusan pertanggungjawaban pidana (kesalahan) digantikan tempatnya oleh pandangan tentang perbuatan anti sosial, yaitu adanya seperangkat peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama tapi sesuai dengan aspirasi-aspirasi masyarakat pada umumnya.
Berdasarkan teori-teori pemidanaan yang dikemukakan di atas, dapat diketahui bahwa tujuan pemidanaan itu sendiri merumuskan perpaduan antara kebijakan penal dan non-penal dalam hal untuk menanggulangi kejahatan. Di sinilah peran negara melindungi masyarakat dengan menegakan hukum. Aparat penegak hukum diharapkan dapat menanggulangi kejahatan melalui wadah Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System).
DARTAR PUSTAKA
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2010.
Dwidja Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Bandung : PT. Rafika Aditama, 2009.
Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Grafika,, 2009.
Muladi dan Barda Nawawi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung : Alumni, Bandung, 1992.
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana (Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi), Jakarta : Pustaka Pelajar, 2005
[1] Dwidja Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Bandung : PT. Rafika Aditama, 2009, Hlm 22.
[2] Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Grafika, 2009, Hlm 105.
[3] Dwidja Priyanto, Op. Cit, Hlm 24.
[4] Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Op. Cit, Hlm 90.
[5] Muladi dan Barda Nawawi, Op. Cit, Hlm 12.
[6] Karl O.Cristiansen sebagaimana dikutip oleh Dwidja Priyanto, Op. Cit, Hlm 26.
[7] Leden Marpaung, Op. Cit, Hlm 106.
[8] Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Op. Cit, Hlm 96-97.
[9] Dwidja Priyanto, Op. Cit, Hlm 26.
[10] Karl O.Cristiansen dalam Dwidja Priyanto, Ibid.
[11] Leden Marpaung, Op. Cit, Hlm 107.
[12] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2010, Hlm 162-163.
[13] Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Op. Cit, Hlm 96-97.
[14] Muladi dan Barda Nawawi, Op. Cit, Hlm 12.
[15] Ibid