Teori Pembelajaran Sosial

20 min read

Pembelajaran sosial

Akhir-akhir ini para ahli psikologi perilaku telah menemukan bahwa operant conditioning  keterbatasan dalam menjelaskan belajar. Banyak di antara para ahli tersebut telah memperluas wawasan mereka tentang belajar yang mencakup kajian tentang proses-proses kognitif yang tidak dapat diamati secara langsung, seperti harapan, berpikir, dan keyakinan. Contoh utama dari perluasan wawsan ini adalah teori kognitif social dari Albert Bandura (1986). Bandura yakin bahwa pandangan behavoristik tradisional tentang belajar merupakan teori yang akurat, namun sekaligus juga tidak lengkap. Teori-teori behavoristik ini hanya memberikan penjelasan sebagian tentang belajar dan mengabaaikan berbagai aspek situasi yang penting, khususnya pengaruh aspek social yang penting terhadap belajar.

Bandura membedakan antara perolehan pengetahuan (belajar) dan kinerja teramati berdasarkan pengetahuan tersebut (perilaku). Dengan kata lain, Bandura berpendapat bahwa apa yang kita ketahui dapat lebih banyak daripada apa yang kita perlihatkan. Siswa dapat saja memahami bagaimana menyederhanakan pecahan namun menunjukkan kinerja yang jelek pada saat tes karena ia gugup atau sakit atau salah membaca soal. Sementara siswa dapat saja telah memami suatu materi, namun pemahaman ini dapat tidak terdemonstrasikan sampai situasinya memungkinkan. Oleh karena itu, dalam teori kognitif social, dua-duanya factor internal dan eksternal itu penting. Segala sesuatu yang terjadi di lingkungan sekitar, factor-faktor pribadi (seperti berpikir dan motivasi), dan perilaku dipandang saling berinteraksi, masing-masing factor saling mempengaruhi dalam proses pembelajaran. Bandura menanamkan interaksi ini sebagai kekuatan reciprocal determinism.

Satu faktor terabaikan oleh teori perilaku tradisonal adalah fakta adanya pengaruh yang amat kuat yang dimiliki oleh pemodelan dan pengimitasian terhadap belajar. Orang dan binatang dapat belajar hanya dengan mengamati orang lain atau binatang lain belajar, dan fakta inilah yang menantang ide-ide behavoristik yang menayatakan bahwa factor-faktor kognitif tidak perlu dipertimbangkan dalam penjelasan belajar. Apabila orang belajar dengan cara memperhatikan, maka factor-faktor kognitif yang terlibat adalah orang itu harus memusatkan perhatian, mengkonstruksikan gambaran-gambaran, mengingat, menganalisis, dan membuat keputusan yang mempengaruhi belajar.

1. Belajar dengan Mengamati Orang Lain

Pada saat Bu Ani tertawa spontan setelah mendengar jawaban seorang siswa, ia secara tidak sadar menkomunikasikan bahwa tertawa dibenarkan dalam situasi ini. Segera seluruh siswa tertawa bersama-sama dengan Bu Ani. Seluruh siswa itu belajar melalui Pemodelan atau Pengalaman, meskipun hal ini bukan termasuk jenis belajar yang dikehendaki Bu Ani. Bu Ani, melaluio perilakunya, menyediakan suatu model bagi siswa untuk ditiru.

Ada dua jenis pembelajaran memlalui pengamatan atau observational learning. Pertama, pembelajaran melalui pengamatan dapat terjadi melalui kondisi yang dialami orang lain atau vicarious conditioning. Ini terjadi apabila seorang siswa melihat siswa lain mendapat dipuji atau ditegur karena melakukan perbuatan tertentu dan kemudian siswa lain yang melihat hal itu memodifikasi perilakunya seolah-olah ia sendiri yang telah menerima pujian atau teguran itu, inilah yang dinamakan melalui pujian yang dialami oleh orang lain atau vicariosus reinforcement.

2. Elemen-elemen Pembelajaran Melalui Pengamatan

Menurut Bandura (1986) ada empat elemen penting yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran melalui pengamtan. keempat elemen itu adalah atensi, retensi, produksi, dan motivasi untuk mengulangi perilaku yang dipelajari itu.

Atensi. Seseorang harus menaruh perhatian atau atensi agar dapat belajar melalui pengamatan. Seseorang khususnya menaruh perhatian kepada orang yang menarik, populer, kompeten, atau dikagumi (Sulzer-Azaroff & Mayer, 1986). Bagi anak kecil ini dapat berarti orang tua, kakak laki-laki atau perempuan, atau guru. Bagi remaja, ini dapat berarti teman sejawat yang populer, penyanyi rock, atau idola di TV.

Retensi. Agar dapat meniru perilaku suatu model, seorang siswa harus mengingat perilaku itu. Mengingat itu termasuk menggambarkan tindakan-tindakan model itu dalam berbagai cara, boleh jadi sebagai langkah-langkah verbal.

Produksi. Sekali siswa mengetahui bagaimana seharusnya suatu perilaku dilakukan dan ingat element-elemen atau langkah-langkahnya dengan lancar. Kadang-kadang siswa memerlukan banyak latihan, umpan-balik, dan latihan khusus untuk langkah-langkah yang sulit sebelum siswa itu dapat memproduksi perilaku model tersebut. Pada fase produksi ini, latihan yang berulang-ulang membuat perilaku itu dapat ditirukan secara lebih lancar dan lebih mahir. Keyakinan bahwa seorang siswa mampu melaksankan suatu tugas (self-efficacy), merupakan hal penting pada fase ini dan mempengaruhi motivasi tersebut untuk menunjukkan kinerjanya.

Motivasi dan Penguatan. Seperti disebutkan terdahulu, teori kognitif social membedakan antara perolehan dan kinerja. Siswa dapat memperoleh suatu keterampilan atau perilaku pengamatan, namun siswa itu mungkin tidak melaksanakan perilaku itu sampai ada motivasi atau insentif untuk melaksanakannya. Penguatan dapat memainkan beberapa peran dalam pembelajaran melalui pengamatan. Apabila siswa itu mengantisipasi akan memproleh penguatan pada saat meniru tindakan-tindakan suatu model, siswa itu dapat lebih termotivasi untuk menaruh perhatian, mengingat dan memproduksi perilaku itu. Di samping itu, penguatan penting dalam mempertahankan pembelajaran. Seseorang yang mencoba suatu perilaku baru tidak mungkin untuk tetap melakukan tanpa ada penguatan (Barton, 1981; Ollendick, Dailey & Shapiro, 1983).

Bandura mengidentifikasi tiga bentuk penguatan yang dapat mendorong pembelajaran melalui pengamatan. Pertama, sudah barang tentu pengamat itu dapat mereproduksi perilaku model dan menerima penguatan langsung, sebagai missal, seorang yang sedang berlatih tenis melakukan pukulah backhand dengan benar, pelatih memberikan pujian dengan berteriak,”bagus sekali!” Kedua, penguatan itu tidak mesti langsung seperti itu-penguatan itu juga dapat berwujud vicarious reinforcement. Bentuk yang ketiga adalah pengendalian penguatan yang datang dari dalam.

Diri sendiri atau self-reinforcement. Jenis penguatan ini penting bagi siswa dan guru. Guru menginginkan siswanya berkembang bukan karena didorong oleh pujian eksternal tetapi karena siswa itu menghargai dan menikmati tumbuhnya kompetensi mereka.

3. Pembelajaran Melalui Pengamatan Dalam Pengajaran

Ada lima kemungkinan hasil yang diproleh dari pembelajaran melalui pengamatan, yaitu mengajarkan perilaku dan sikap baru, mendorong perilaku yang telah ada, mengubah perilaku yang menghambat, mengarahkan perhatian, dan menimbulkan emosi. Berikut ini diuraikan tiap-tiap hasil itu pada saat terjadi di kelas.

Mengajarkan Perilaku Baru. Sesungguhnya pemodelan telah lama digunakan untuk melatih menari, olahraga, dan menukang, selain itu juga untuk melatihkan keterampilan dalam suatu mata pelajaran seperti ilmu kerumahtanggaan, kimia, dan kerja bengkel. Pemodelan juga dapat diterapkan di kelas untuk mengajarkan keterampilan mental dan untuk meluaskan cakrawala mengajarkan cara-cara baru dalam berpikir. Guru berperan sebagai model untuk rentang perilaku yang amat luas, mulai dari melafalkan kata-kata, reaksi terhadap siswa yang terkena serangan penyakit ayan, dan antusias dalam pembelajaran. Sebagai misal guru dapat memodelkan keterampilan berpikir kritis yang logis dengan cara mengucapkan dengan keras jalan pikirannya (thinking “out loud”) saat menjawab pertanyaan siswa.

Pemodelan apabila diterapkan secara hati-hati dapat merupakan alat mengajar perilaku baru yang efektif dan efesien (Bandura, 1986; Schunk, 1987). Penelitian menunjukkan bahwa pemodelan dapat berfungsi paling efektif apabila guru menggunakan elemen-elemen pembelajaran melalui pengamatan yang diuraikan terdahulu, khususnya penguatan dan latihan.

Model yang usianya sama dengan siswa yang cenderung efektif. Sebagai misal, Schunk dan Hanson (1985) membandingkan dua metode untuk mengajarkan pengurangan kepada kepada siswa kelas dua yang mengalami kesulitan mempelajari keterampilan ini. Satu kelompok siswa mengamati siswa kelas dua yang lain sedang belajar prosedur pengurangan, dan kemudian mengikuti program pengajaran yang sama. Di antara dua kelompok tersebut, siswa yang mengamati pemodelan oleh teman sebaya tidak hanya memproleh skor lebih tinggi tetapi juga menjadi lebih percaya terhadap diri mereka sendiri untuk belajar. Bagi siswa yang ragu terhadap kemampuan diri mereka sendiri, model yang baik adalah siswa yang hasil belajarnya rendah namun terus berusaha dan akhirnya siswa itu menguasai meteri pelajaran tersebut (Schunk, 1987).

Pemantapan Perilaku yang Telah Dipelajari. Barangkali kita semua pernah berada dalam situasi mencari-cari petunjuk dari orang lain pada saat dihadapkan pada situasi yang belum kita kenali. Mengamati perilaku orang lain dapat memberitahukan kepada kita perilaku manakah yang telah kita pelajari yang seharusnya digunakan, misalnya garpu yang benar untuk makan salad, kapan saat yang tepat untuk meninggalkan kelompok bicara jenis bahasa apa yang sesuai, dan sebagainya. Pengadopsian gaya pakian dan pengantian dari idola TV adalah contoh lain dari pemantaban perilaku yang telah dipelajari.

Penguatan dan Peredeman Perilaku yang Menghambat. Apabila anak-anak di kelas menyaksikan seorang siswa melanggar suatu peraturan kelas dan dibiarkan saja tanpa mendapatkan teguran dari guru, siswa lain dapat memproleh kesan bahwa konsekuensi yang tak diinginkan tidak selalu menyusul pelanggaran-aturan. Kelas itu di kemudian hari mungkin tidak lagi segan-segan melanggar peraturan ini. Apabila si pelanggar-aturan itu anak yang populer, anak yang menonjol yang memiliki status-tinggi, pengaruh pemodelan itu malah lebih besar lagi. Seorang ahli psikologi menyebut gejala ini sebagai efek ripel (kounin, 1970). Efek ripel ini dpat dimanfaatkan guru demi kebaikan. Apabila guru berhasil menangani secara efektif seorang pelanggar aturan, khususnya seorang siswa populer, ide pelanggaran aturan ini mungkin dapat dicegah agar tidak dilakukan oleh siswa lain yang menyaksikan kejadian ini. Hal ini tidak berarti bahwa guru  harus menegur tiap siswa yang melanggar suatu aturan; namun sekali guru telah melakukan tindakan tertentu, tindak lanjut merupakan bagian penting dalam menarik keuntungan dari efek ripel tersebut.

Pengarahan Perhatian. Dengan mengamati orang lain, kita tidak hanya belajar bagaimana bertindak, kita juga memperhatikan bagaimana bertindak, kita juga memperhatikan objek-objek yang terlibat dalam tindakan tersebut. Sebagai misal, dalam suatu kelas taman kanak-kanak, apabila ada seorang anak bermain penuh semangat dengan sebuah robot-robotan yang telah diabaikan beberapa hari, banyak anak lain mungkin menginginkan untuk memiliki robot-robotan itu, meskipun apabila mereka bermain dengan cara lain atau hanya sekedar membawanya berkeliling. Hal ini terjadi sebagian, karena perhatian anak-anak itu telah tertarik pada robot-robotan itu.

Menimbulkan Emosi. Akhirnya, melalui pembelajaaran melalui pengamatan, orang dapat mengembangkan reaksi emosional terhadap situasi yang mereka sendiri belum pernah mengalaminya.

B.     Pengaturan-Diri Dan Modifikasi Prilaku Kognitif

Penerapan teori pembelajaran perilaku yang terkini menekankan pada pengaturan-diri atau self-reulation membantu siswa mencapai pengendalian atas pembelajarannya sendiri. Peranan siswa dalam pembelajaran mereka sendiri merupakan kepedulian utama dari ahli psikologi dan pendidikan dewasa ini. Kepedulian ini tidak terbatas pada kelompok atau teori tertentu. Berbagai macam penelitian dan teori seluruhnya memusatkan pada satu ide penting bahwa tanggung jawab dan kemampuan untuk belajar terletak di pundak siswa. Tidak seorangpun dapat belajar untuk seseorang yang lain (Manning, 1991: Zimmerman, 1990: Zimmerman dan Schunk, 1989).

Salah satu alasan mengapa para ahli psikologi perilaku menjadi tertarik dalam pengelolaan-diri sendiri adalah dengan teramatinya kecenderungan bahwa siswa yang diajar dengan metode-metode perilaku yang klasik jarang dapat menggeneralisasikan pembelajaran mereka ke situasi yang baru. Sebagai misal, dalam disertasi Woolfolk ditemukan bahwa siswa-siswa yang kurang menaruh perhatian dalam belajar dapat belajar menaruh perhatian pada pelajaran dengan amat baik pada saat mereka secara sistematik mendapatkan penguatan dalam kelompok kecil. Namun pada saat mereka kembali ke kelas biasa, mereka tidak menerapkan keterampilan baru itu dan kembali pada sikap semula (Woolfolk & Woolfolk, 1974). Banyak para ahli psikologi perilaku menarik kesimpulan bahwa generalisasi akan terdorong apabila para siswa menjadi mitra dalam prosedur pengubahan perilaku.

1.      Pengelolaan-Diri

Apabila salah satu tujuan pendidikan adalah menghasilkan orang-orang yang mampu mendidik dirinya sendiri, maka siswa harus belajar mengelola hidup mereka sendiri, menetapkan tujuan mereka sendiri, dan mampu melakukan penguatan atas diri mereka sendiri dan mampu melakukan penguatan atas diri mereka sendiri. Dalam kehidupan orang dewasa, ganjaran kadang-kadang kabur dan tujuan sering memerlukan waktu lama untuk mencapainya. Bayangkan betapa banyak langkah kecil yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu pendidikan dan mendapatkan pekerjaan pertama Anda. Kehidupan dipenuhi dengan tugas-tugas yang menuntut jenis pengelolaan-diri sendiri ini (Kanfer & Gaelick, 1986).

Siswa dapat dilibatkan dalam setiap atau seluruh langkah dalam penerapan suatu program pengubahan perilaku dasar. Mereka dapat membantu menetapkan tujuan, mengamati pekerjaan mereka sendiri, membuat catatan tentang pekerjaan itu, dan mengevaluasi kinerja mereka sendiri. Akhirnya, mereka dapat memilih dan menghasilkan penguatan. Jenis keterlibatan ini dapat membantu siswa belajar melaksanakan perubahan itu atas kemauan diri mereka sendiri di masa yang akan dating (Kaplan, 1991).

Penetapan Tujuan. Jelas bahwa fase penetapan-tujuan sangat penting dalam pengelolaan-diri sendiri. Dalam kenyataannya, sejumlah peneliti menekankan bahwa penetapan tujuan khusus dan mengkomunikasikan tujuan itu secara terbuka merupakan elemen penting dalam program pengelolaan-diri. Sebagai misal, S.C. Hayes dan koleganya mengidentifikasi mahasiswa yang memiliki masalah serius dalam belajar dan mengajarkan merekan bagaimana menetapkan tujuan khusus pembelajaran.  Mahasiswa yang menetapkan tujuan dan mengkomunikasikan tujuan itu kepada peneliti, kinerja mereka dalam tes yang meliputi materi yang sedang dipelajari secara signifikan lebih baik dari pada siswa yang menetapkan  tujuan secara tertutup dan tidak pernah mengungkapkan tujuan itu kepada orang lain (Hayes, Rosenfarb, Wulfert, Munt, Korn, & Zettle, 1985).

Standar lebih tinggi cenderung menghasilkan kinerja lebig tinggi (McLaughlin & Gnagey, 1981). Patut disayangkan bahwa siswa yang menetapkan tujuan, standar tujuan itu berkecenderungan semakin lama menjadi semakin rendah. Guru dapat membantu siswa mempertahankan standar tinggi dengan memonitor tujuan yang ditetapkan dan memberikan penguatan untuk standar tinggi. Dalam suatu penelitian, seorang guru membantu siswa kelas satu setiap hari menaikkan jumlah soal metematika yang mereka tetapkan untuk mereka kerjakan sendiri dengan cara memberikan pujian kepada mereka apabila mereka menaikan tujuan mereka sebesar 10 persen. Siswa-siswa itu mempertahankan standar kerja mereka yang baru dan lebih tinggi, dan malah perbaikan itu diterapkan pada mata pelajaran lain (Price & O’Leary, 1974)..

Pencatatan dan Pengevaluasian Kemajuan. Siswa juga dapat berperan serta dalam fase pencatatan dan pengevaluasian suatu program pengubahan perilaku. Beberapa contoh perilaku yang sesuai untuk pencatatan oleh siswa sendiri ini adalah jumlah tugas yang terselesaikan, waktu yang diperlukan untuk melatih suatu keterampilan, jumlah buku yang dibaca, dan berapa kali meninggalkan tempat duduk tanpa ijin. Tugas-tugas yang harus diselesaikan tanpa pengawasan guru, seperti pekerjaan rumah atau belajar sendiri, juga merupakan contoh yang baik untuk pemonitoran sendiri oleh siswa. Siswa memegang suatu instrument pengamatan, seperti catatan harian, atau ceklis untuk mencatatat frekuensi atau selang waktu teramatinya perilaku yang sedang dikembangkan.

Suatu kartu catatan kemajuan dapat membantu siswa kelas-kelas atas memerinci suatu tugas ke dalam langkah-langkah kecil, menentukan urutan terbaik untuk menyelesaikan langkah-langkah tersebut, dan tetap mengikuti kemajuan harian dengan   menetapkan tujuan untuk tiap hari.

Kartu catatan itu sendiri berfungsi sebagai suatu dorongan yang sedikit demi sedikit dapat dikurangi (Jenson, Sloane,  & Young, 1988). Dikarenakan berbohong pada catatan merupakan masalah serius, khususnya apabila siswa diberi ganjaran untuk perbaikan yang dicapai, sebentar-bentar pengecekkan oleh guru ditambah poin bonus untuk pencatatan yang akurat mungkin dapat membantu (Hundert & Bucher, 1978).

Evaluasi-diri agak lebih sukar dibandingkan dengan pencatatan-diri, karena evalusi-diri melibatkan pemberian suatu pertimbangan tentang kualitas. Sangat sedikit penelitian dilakukan dalam daerah ini, namun jelas bahwa siswa dapat belajar mengevaluasi perilaku mereka dengan kecermatan yang masuk akal  (Rhode, Morgan, & Young, 1983). Salah satu kuncinya adalah secara periodic mengecek evaluasi-diri siswa dan memberikan penguatan untuk pertimbangan yang akurat. Siswa-siswa senior pada umumnya lebih siap melakukan evaluasi-diri yang akurat daripada  siswa yunior. Sekali lagi, poin bonus dapat diberikan apabila terjadi kesesuaian  antara evaluasi guru dan siswa (Kaplan, 1991).

Suatu penelitian yang dilakukan oleh Mark Morgan (1985) mengkobinasikan penetapan tujuan, pencatatan-diri, dan evaluasi-diri. Morgan mengajarkan strategi monitoring-diri kepada seluruh mahasiswa pendidikan pada mata kuliah psikologi pendidikan di perguruan tingginya. Siswa yang merumuskan tujuan khusus jangka-pendek untuk tiap unit pelajaran dan memonitor kemajuan mereka ke arah tujuan tersebut mengungguli mahasiswa yang hanya memonitor belajar mereka, meskipun mahasiswa yang memonitor waktu mereka menghabiskan jam belajar lebih banyak!

Penguatan-Diri. Langkah terakhir dari pengelolaan-diri adalah penguatan-diri. Meskipun demikian ada, ketidaksepakatan apakah langkah ini sesungguhnya perlu. Sejumlah ahli psikologi yakin bahwa penetapan tujuan dan pemonitoran kemajuan itu saja sudah cukup dan penguatan-diri tidak lagi memberikan tambahan pengaruh apa pun (Hays et al., 1985).

TEORI-TEORI BELAJAR PERILAKU

PENDAHULUAN

Ibu Julia, seorang guru kelas satu di suatu sekolah dasar di Amerika, mengajar siswanya bagaimana seharusnya berperilaku di dalam kelas. Suatu hari ia berkata: “Anak-anak, kita mempunyai masalah di kelas ini, saya akan diskusikan masalah itu dengan kalian. Masalahnya, ketika saya mengajukan sebuah pertanyaan, banyak di antara kalian langsung meneriakan jawaban, tanpa mengacungkan tangan terlebih dahulu dan menunggu untuk ditunjuk. Dapatkah salah satu dari kalian mengatakan kepada saya apa yang seharusnya kalian lakukan apabila saya mengajukan pertanyaan di kelas?”. Rani, langsung mengacungkan tangannya ke atas sambil berkata, “saya tahu, saya tahu Bu!”;”Acungkan tangan ke atas dan tunggu dengan tenang!”. Ibu Julia melirik Rani. Ia berusaha mengabaikan perilaku Rani yang melakukan sesuatu yang baru saja diingatkan untuk tidak dilakukan; tetapi tangan Rani masih mengacung ke atas, dan semakin lama ibu Julia mengabaikan Rani, semakin menjadi-jadi Rani melambaikan tangan ke atas sambil meneriakkan jawabannya. Akhirnya ibu Julia berkata,” Baiklah, Rani. Apa yang seharusnya kamu lakukan?” Rani menjawab,”seharusnya kami mengacungkan tangan dan menunggu dengan tenang sampai ditunjuk.” “Jika kamu sudah mengetahui aturannya, mengapa tadi kamu meneriakkan jawabanmu sebelum saya menunjuk kamu?” “Saya lupa Bu.” Ibu Julia berkata lagi, “Baiklah. Dapatkah salah seorang dari kalian mengingatkan teman-teman di kelas ini tentang aturan menjawab pertanyaan guru?”. Empat anak secara tiba-tiba mengacungkan tangan dan berterik bersama-sama,

“Satu orang tiap kali menjawab!”

“Tunggu giliran!”

“Jangan berbicara saat orang lain sedang menjawab!”

Melihat perilaku siswanya seperti itu, ibu Julia agak kesal dan berkata,“Anak-anak, kalian membuat saya jadi kesal!””bukankah baru saja kita berbicara, pertama-tama harus mengacungkan tangan dan menunggu dengan tenang sampai ditunjuk?”

“Akan tetapi, Bu…” Kata Yuni tanpa mengacungkan tangan.

“Tadi Ibu menunjuk Rani, padahal dia mengacungkan tangan sambil berteriak!”

            Anak-anak adalah pelajar yang amat baik dan kritis. Apa yang mereka pelajari, mungkin tidak selalu sesuai dengan apa yang kita maksudkan. Misalnya, dalam scenario di atas, Ibu Julia mencoba mengajarkan siswa-siswanya bagaimana seharusnya berperilaku di dalam kelas, tetapi kenyataannya Ibu Julia telah mengajarkan mereka kebalikan dari apa yang ia inginkan; yaitu dapa saat memberikan perhatian pada teriakan Rani. Apa yang dilakukan Bu Julia itu tidak hanya memperbesar kemungkinan Rani akan meneriakkan lagi jawabannya, tetapi Rani sekarang juga menjadi contoh bagi teman-temannya untuk langsung meneriakkan jawabannya. Dengan demikian, respon Bu Julia terhadap perilaku siswanya jauh lebih penting dibandingkan dengan apa yang ia ucapkan.

            Maksud bab ini adalah untuk mendefenisikan belajar dan kemudian menyajikan beberapa teori belajar perilaku. Teori belajar perilaku, menjelaskan belajar dengan menekankan pada perilaku yang dapat diamati. Teori-teori perilaku menekankan kepada bagaimana konsekuensi yang menyenangkan atau tak menyenangkan dari perilaku dapat mengubah perilaku individu dari waktu ke waktu dan bagaimana perilaku individu mencontoh perilaku individu yang lain. Bab berikutnya akan meyajikan teori belajar kognitif. Teori belajar kognitif menekan pada proses-proses mental yang tidak dapat diamati yang digunakan seseorang untuk belajar dan mengingat informasi atau keterampilan baru. Para ahli teori perilaku mencoba menemukan  prinsip-prinsip perilaku yang berlaku untuk semua mahluk hidup (manusia maupun hewan); sedangkan para ahli teori kognitif secara eksklusif hanya tertarik dengan bagaimana manusia belajar. Sesungguhnya batas antara teori belajar perilaku dan kognitif telah menjadi semakin tidak jelas akhir-akhir ini karena teori itu telah saling memanfaatkan temuan-temuan mereka.

A.      PENGERTIAN BELAJAR

Apa belajar? Ini seperti pertanyaan sederhana, sampai Anda mulai sungguh-sungguh memikirkan tentang belajar. Pikirkan beberapa contoh berikut ini. Apakah empat contoh ini merupakan contoh belajar?

1.      Seorang anak (bayi) melakukan langkah pertama di awal ia berjalan.

2.      Seorang remaja pria merasa sangat tertarik dengan seorang remaja wanita.

3.      Seorang anak kecil merasa takut ketika melihat seorang dokter dating sambil memegang jarum suntik.

Belajar umumnya didefinisikan sebagai perubahan di dalam diri seseorang yang disebabkan oleh pengalaman (lihat: Mazur,1990; Rocklin,1987). Perubahan-perubahan yang disebabkan oleh perkembangan (seperti, badan tumbuh lebih tinggi) bukanlah contoh dari belajar. Begitu juga kaarakteristik yang dimiliki sesorang saat lahir (seperti gerak reflex dan respons terhadap rasa lapar atau sakit). Bagaimanapun juga, manusia banyak belajar semenjak dia dilahirkan (bahkan ada yang berpendapat sebelum lahir); behwa belajar dan berkembang merupakan hubungan yang tak terpisahkan. Belajar berjalan (contoh 1) pada dasarnya merupakan kemajuan perkembangan namun juga bergantung pada pengalaman dengan merangkak dan aktivitas lain. Dorongan seks seorang remaja (contoh 2) bukanlah belajar, namun belajar membentuk pilihan seseorang pada partner dikehendaki.

Rasa takut seorang anak ketika melihat dokter membawa jarum suntik mendekatinya (contoh 3) adalh perilaku yang dipelajari. Anak telah belajar mengaitkan jarum suntik dengan rasa sakit, dan badannyapun bereaksi secara emosional ketika ia melihat jarum suntik. Reaksi ini mungkin tak disadari, tetapi bagaimanapun juga perilaku ini merupakan hasil belajar.

Belajar dapat terjadi dengan banyak cara. Kadang-kadang terjadi karena disengaja, misalnya pada saat seorang anak memproleh informasi yang disajikan di kelas atau pada saat anak menemukan sesuatu di dalam ensiklopedia. Kadang-kadang belajar terjadi secara tak disengaja, seperti seorang anak bereaksi ketika melihat jarum suntik. Seluruh jenis belajar terjadi di sepanjeng waktu. Misalnya saat Anda sedang membaca bab ini, Anda sedang belajar sesuatu tentang belajar, bagaimanapun juga, Anda sedang belajar bahwa psikologi pendidikan menarik atau membosankan, berguna atau tidak berguna. Tanpa mengetahui hal tersebut, mungkin Anda belajar di halaman mana sepotong informasi dapat ditemukan. Anda belajar untuk menghubungkan isi bab ini dengan aspek-aspek yang tidak penting yang ada di sekeliling tempat Anda menbaca. Isi bab ini, penempatan kata-kata di halaman buku, bau-bauan, suara-suara dan suhu di sekeliling Anda adalah stimuli. Indera Anda biasanya terbuka luas untuk keseluruhan stimuli, namun Anda menyadari hanya sebagian stimuli-stimuli tersebut pada satu waktu tertentu.

Masalah yang dihadapi para pendidik tidak terletak pada bagaimana membuat siswa belajar; siswa telah terlibat dalam setiap waktu. Melainkan yang lebih penting adalah membantu siswa belajar konsep, keterampilan dan informasi-informasi tertentu yang berguna untuk masa depannya. Bagaimana kita sebaiknya menyajikan kepada siswa stimulus-stimulus yang benar sedemikian rupa sehingga mereka memfokuskan perhatian dan upaya mental mereka agar mereka memiliki keterampilan-keterampilan yang bermanfaat? Hal inilah merupakan masalah sentral dalam pengajaran.

B.      EVOLUSI TEORI BELAJAR PERILAKU

Penelitian secara sistematik tentang teori belajar relative masih baru. Dalam tahun-tahun terakhir abad 19 teori belajar mulai dipelajari secara ilmiah. Menggunakan teknik-teknik yang diadopsi dari sains, para peneliti mulai melakukan eksperimen untuk memahami bagaimana manusia dan hewan belajar. Dua orang peneliti terkenal merintis penelitian tentang teori belajar perilaku adalah Ivan Pavlov dan Edward Thorndike. Di antara peneliti yang muncul belakangan, adalah B.F Skinner. Skinner mempelajari hubungan antara tingkah laku dan konsekuensinya. Berikut, diulas secara ringkas teori belajar perilaku dari ketiga tokoh ini.

Ivan Pavlov : Classsical Conditioning (Pengkondisian Klasik)

Dalam tahun-tahun terakhir abad 19 dan tahun-tahun permulaan abad 20, Pavlov dan kawan-kawan mempelajari proses pencernaan pada anjing. Selama penelitian, peneliti mengamati perubahan waktu dan tingkat (kecepatan) pengeluaran air liur dari binatang tersebut.

Pavlov mengamati, jika seonggok daging diletakkan di sekitar mulut anjing yang kelaparan, maka anjing tersebut akan mengeluarkan air liur. Karena onggokan daging merangsang respon anjing secara otomatis (tanpa pengkondisian atau tanpa latihan terlebih dahulu), maka onggokan daging disebut stimulus tak terkondisi (unconditioned stimulus). Begitu pula, karena keluarnya air liur anjing secara otomatis (tanpa perlu latihan terlebih dahulu), respon pengeluaran air liur disebut respon tak terkondisi (unconditioned respond).

Sementara daging mengakibatkan anjing mengeluarkan air liur tanpa perlu dilatih terlebih dahulu, stimuli lainnya, seperti misalnya suara bel, tidak akan membuat anjing mengeluarkan air liur. Karena stimuli ini tidak mempunyai efek pada respon, stimuli itu disebut stimuli netral (netral stimuli). Percobaan-percobaan yang dilakukan oleh Pavlov menunjukkan, jika stimulus yang pada mulanya netral dipasangkan dengan stimulus terkondisi dan memiliki kekuatan untuk membangkitkan respon serupa dengan yang dihasilkan oleh stimulus tak terkondisi. Artinya, suara bel saja, pada akhirnya, dapat merangsang anjing meneteskan air liur. Proses ini dikenal dengan istilah pengkondisian klasik (classical conditioning). Dalam pengkondisian klasik, suatu stimulus netral (misalnya suara bel) yang pada mulanya tidak memicu suatu respon dipasangkan dengan stimulus yang terkondisi (misalnya daging) dan memperoleh kemampuan sedemikian rupa sehingga stimulus netral itu memicu suatu respon (misalnya keluarnya air liur) ada dalam lingkungan, bukan oleh pikiran yang sadar atau tak sadar.

Thonrdike : hukum pengaruh (the law of effect).

Selanjutnya eksperimen Thorndike dengan menunjukkan bahwa stimuli yang diberikan setelah perilaku tertentu mempunyai pengaruh terhadap perilaku-perilaku selanjutnya. Dalam sejumlah eksperimennya, Thorndike menempatkan kucing di dalam kotak dan kucing tersebut harus keluar dari kotak itu untuk mendapatkan makanan. Ia mengamati bahwa dalam selang waktu tertentu, kucing tersebut belajar bagaimana keluar dari kotak lebih cepat dengan cara mengulangi perilaku-perilakunya yang dapat mengiringnya keluar dari kotak dan tidak mengulangi perilaku-perilakunya yang tidak efekktif. Dari eksperimen seperti ini, Thorndike, membangun teori yang dikenal dengan hukum pengaruh (the law of effect).

Hukum Pengaruh Thorndike menyatakan bahwa :

jika suatu tindakan diikuti oleh hal yang memuaskan (menyenangkan) dalam lingkungan, maka kemungkinan tindakan itu akan diulangi dalam suasana serupa, akan meningkat. Sebaliknya, jika suatu perilaku diikuti oleh hal yang tidak memuaskan (tidak menyenangkan) dalam lingkungan, maka kemungkinan tindakan diulangi, akan menurun.”Dengan demikian, konsekuensi-konsekuensi dari perilaku seseorang pada saat ini, memegang peranan penting dalam menentukan perilaku orang tersebut selanjutnya. Misalnya seorang siswa yang belajar sambil mendengarkan music, dapat belajar dengan nyaman dan mendapat nilai yang baik, maka perilaku belajar sambil mendengarkan music kemungkinan tindakan itu diulangi, akan meningkat.  Sebaliknya jika seorang siswa yang ribut di dalam kelas, dihukum pada akhir jam pelajaran untuk memungut sampah, maka perilaku siswa ribut didalam kelas kemungkinan tindakan itu diulangi, akan menurun.

B.F. Skinner : Pengkondisian Operan (Operant Conditioning)

Kiranya jelas bahwa beberapa perilaku manusia dipicu oleh stimuli tertentu. Seperti halnya anjing dalam eksperimen Pavlov, kita juga akan mengeluarkan air liur apabila kita dalam keadaan lapar dan melihat makanan yang merangsang selera.

Kita juga mempercayai pendapat awal Thorndike tentang perilaku refleksif pada saat kita belajar sesuatu dengan baik, seperti bagaimana mengendarai sepeda, sepertinya otak merespon secara reflex. Sementara itu B.F. Skinner berpendapat bahwa perilaku yang demikian itu hanya merupakan sebagian kecil dari keseluruhan tindakan kita. Skinner mengajukan katagori perilaku lain yang disebut “perilaku operant” karena perilaku-perilaku ini berlaku (operated) pada lingkungan yang secara nyata tanpa kehadiran stimuli tak terkondisi, seperti misalnya makanan. Seperti hal Thorndike, studi Skinner berfokus pada hubungan antara perilaku dan konsekuensi-konsekuensinya. Misalnya, jika perilaku seseorang segera diikuti  oleh konsekuensi-konsekuensi yang mentenangkan, maka orang tersebut cenderung akan lebih sering mengulangi perilaku tersebut. Penggunaan konsekuensi-konsekuensi menyenangkan dan tak menyenangkan untuk mengubah perilaku sering disebut pengkondisian operant (operant conditioning).

Studi Skinner berpusat pada penempatan subjek di dalam situasi terkontrol dan mengamati perubahan-perubahan perilaku yang diakibatkan oleh perubahan konsekuensi-konsekuensi secara sistematis dari perilaku sebelumnya. Skinner terkenal dikarenakan alat yang dipakai dalam eksperimennya. Alat ini dikenal dengan nama “Kotak Skinner” (Skinner Box). Kotak skinner berisi sebuah peralatan yang sangat sederhana untuk mempelajari perilaku binatang, biasanya tikut dan burung merpati. Sebuah kotak skinner untuk tikus, berisi: sebuah batangan yang dengan mudah dapat ditekan oleh tikus tersebut, tempat makanan yang dapat memberikan makanan pada tikus tersebut dan tempat minuman. Alat ini dirancang sedemikian sehingga tikus itu tidak dapat melihat ataupun mendengar sesuatu yang ada diluar kotak, dengan demikian ssuatu stilmuli terkontrol oleh peneliti.

Dalam beberapa percobaan paling awal dengan menggunakan kotak Skinner, peralatan itu mula-mula dirakit sedemikian hingga, jika tikus menekan batangan itu secara tidak sengaja, maka tikus akan menerima makanan. Setelah menekan batangan beberapa kali secara kebetulan, selanjutnya tikus itu akan menekan batangan itu lebih sering dan setiap kali menekan, tikus itu mendapat makanan. Perilaku tikus itu telah terkondisi, menguatkan perilaku menekan batangan dan melemahkan semua perilaku lain (seperti misalnya, berkeliling-keliling dalam kotak). Pada tahap ini, para peneliti itu dapat melakukan beberapa hal. Alat-alat elektronika yang mengontrol batangan dan tempat makanan dapat dipasang sedemikian sehingga menekan batangan itu atau sedemikain rupa hingga sejumlah tekanan pada batangan menghasilkan makanan tetapi sejumlah tekanan yang lain tidak, atau sedemikian sehingga menekan batangan tidak lagi mendapat makanan. Dalam setiap kasus, perilaku tikus direkam secara otomatis. Salah satu keuntungan penting dari kotak Skinner ini, adalah kotak itu memungkinkan peneliti untuk melakukan studi ilmiah yang seksama dari perilaku dalam suatu lingkungan terkontrol, kontribusi Skinner, seperti halnya Pavlov, tidak hanya berupa apa yang dia temukan, tetapi juga metode yang digunakan. Percobaan Skinner dapat diulangi siapa saja dengan alat yang sama.

BEBERAPA PRINSIP TEORI BELAJAR PERILAKU

Peranan Konsekuensi

            Kerja rintisan Skinner dengan tikus dan merpati menghasilkan seperangkat prinsip perilaku yang telah ditunjang oleh ratusan penelitian baik yang melibatkan meanusia maupun binatang.

Barangkali prinsip terpenting dari teori belajar perilaku adalah bahwa perilaku berubah  sesuai dengan konsekuensi-konsekuensi yang menyenangkan akan “memperkuat” perilaku, sedangkan konsekuensi-konsekuensi yang tidak menyenangkan akan “memperlemah” perilaku. Dengan kata lain, sedangkan konsekuensi-konsekuensi yang tidak menyenangkan akan menurunkan frekuensi seseorang melakukan perilaku serupa. Misalnya, jika seorang anak menikmati membaca buku,, maka kemungkinan besar ia akan membaca lebih sering. Sebaliknya, jika seorang anak mendapatkan ceritera-ceritera membosankan atau tidak dapat berkonsentrasi, anak itu dapat menjadi jarang membaca, dan sebagai gantinya memilih aktivitas lain.

Konsekuensi-konsekuensi yang menyenangkan disebut penguat (reinforcer); sedangkan konsekuensi-konsekuensi yang tidak menyenangkan disebut hukuman (punisher).

Penguat (reinforcerdidefinisikansebagai setiap konsekuensi yang menguatkan perilaku (yaitu, meningkatkan frekuensi perilaku). Perlu dicatat bahwa keefektipan suatu penguat harus terdemonstrasikan. Artinya, kita tidak bisa menganggap suatu konsekuensi tertentu benar-benar merupakan penguat simpai terbukti konsekuensi itu menguatkana perilaku seseorang. Sebagai contoh, permen secara umum dapat dianggap sebagai penguat untuk anak-anak, namun sesudah makan sampai kenyang mungkin saja bukan lagi merupakan penguat untuk anak-anak tersebut; bahkan, ada beberapa anak yang tidak menyukai permen sama sekali. Perlu dicatat, tidak ada ganjaran (hadiah) yang dapat diasumsikan sebagai penguat untuk setiap orang dalam segala kondisi.

Penguat Primer dan Penguat Skunder

Penguat dibedakan menjadi dua kategori: Penguat Primer (Primary Reinforcer) dan Penguat Skunder(Secondary Reinforcer). Penguat primer memuaskan kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, air, keamanan, kehangatan, dan seks. Sedangkan penguat skunder adalah penguat yang memperoleh nilai-nilainya setelah dikaitkan dengan penguat primer atau penguat lain yang lebih diakui. Misalnya, uang tidak mempunyai nilai bagi seorang anak sampai anak itu  mnegetahui bahwa uang itu dapat digunakan untuk membeli sesuatu yang merupakan penguat primer atau skunder. Nilai tes mempunyai nilai kecil bagi anak kecuali orang tuanya menghargai anak itu atas nilai yang dicapainya, dan penghargaan orang tua itu memiliki nilai karena berkaitan dengan rasa cinta, kehangatan, rasa aman dan penguat-penguat yang lain. Uang dan nilai merupakan contoh dari penguat skunder karena keduanya tidak memiliki nilai sampai keduanya dikaitkan dengan penguat primer atau penguat skunder lain yang diterima baik atau mapan sebagai penguat. Terdapat tiga katagori penguat skunder, yaitu : 1) penguat social, misalnya penghargaan, senyuman, pelukan, perhatian; 2) penguat aktivitas, misalnya diperbolehkan menonton TV, menonton bioskop, mengunjungi arena permainan, atau aktivitas-aktivitas yang menyenagkan; 3) penguat simbolik, misalnya uang, nilai, dan tanda penghargaan.

Penguatan positif dan Penguatan negative. Penguatan yang paling sering digunakan di sekolah adalah berupa sesuatu yang diberikan kepada siswa. Penguatan ini disebut Penguatan Positif (Positive Reinforcement), termasuk pujian, nilai, dan tanda penghargaan. Cara lain untuk menguatkan suatu perilaku adalah memberikan konsekuensi perilaku yang berupa pembebanan dari situasi yang tidak menyengkan atau suatu cara pencegahan terjadinya sesuatu yang tidak menyengkan. Sebagai contoh, orang tua dapat membebaskan anaknya dari tugas mencuci piring, jika anak itu menyelesaikan  PR dengan baik. Jika pekerjaan mencuci piring dipandang sebagai tugas tidak menyenangkan bagi anak, pembebasan dari pekerjaan itu merupakan sesuatu penguatan. Penguatan yang membebaskan dari situasi-situasi yang tidak menyenangkan disebut Penguatan Negatif (Negative Reinforcement).

Isitilah penguatan negative sering keliru diartikan sebagai hukuman. Satu cara untuk menghindari kekeliruan ini adalah dengan mengingat-ingat bahwa penguatan (positif atau negative) merupakan perilaku, sedangkan hukuman melemahkan perilaku (lihar table 1).

TABEL 1

KONSEKUENSI DALAM PEMBELAJARAN PERILAKU

Memperkuat PerilakuMemperlemah Perilaku
Penguatan PositifContoh : member hadiah atau pujian.Penguatan NegatifContoh: membebaskan dari tugas atau situasi yang tidak menyenagkanTidak ada penguatanContoh: pengabaianHukuman laranganContoh: melarang melakukan tugas atau yang tidak menyenangkan.Hukuman paksaanContoh: memaksa melakukan tugas atau situasi yang tidak menyenangkan.

PRINSIP PREMACK salah satu prinsip perilaku yang penting adalah bahwa aktivitas-aktivitas yang kurang disukai dapat ditingkatkan dengan cara mengaitkan aktivitas-aktivitas tersebut dengan aktivitas-aktivitas  yang lebih disukai. Sebagai contoh, seorang guru dapat berkata: “Segera setelah kamu menyelesaikan pekerjaanmu, kamu dapat keluar,” atau “Bersihkan meja kerjamu dan setelah itu kamu boleh pulang.” Apa yang diucapkan guru ini merupakan contoh dari Prinsip Premack (Premack, 1965). Seorang guru dapat menggunakan Prinsip Premack dengan cara menukar aktivitas-aktivitas yang lebih menyenagkan dengan aktivitas yang kurang menyenangkan, dan dapat tidaknya ikut berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas yang menyenagkan itu tergantung pada keberhasilan  menyelesaikan aktivitas-aktivitas yang kurang menyenagkan tadi. Misalnya menjadwal pelajaran music (dianggap aktivitas yang menyenangkan bagi sebagian besar siswa), setelah menuntaskan suatu pelajaran yang sulit di Sekolah Dasar, sehingga para siswa mengetahui bahwa jika mereka bermain-main atau tidak serius dalam mengikuti pelajaran yang sulit tadi, mereka akan kehilangan sebagian waktunya untuk mengikuti pelajaran yang mereka sukai yaitu pelajaran music.

Pelaksanaan Penguatan dalam Praktek di Kelas

            Prinsip yang paling berguna dari teori belajar perilaku dalam praktek di kelas juga yang paling sederhana: Memperkuat perilaku-perilaku yang Anda haarapkan berulang-ulang melihatnya lagi. Prinsip ini kelihatannya sederhana tetapi dalam pelaksanaannya tidaklah muda, atas dasar bahwa, “Mengapa saya harus memperkuat mereka? Mereka hanya mengerjakan apa yang seharusnya mereka kerjakan.”

            Prinsip-prinsip utama dari penggunaan penguatan untuk meningkatkan perilaku yang diinginkan di dalam kelas, adalah sebagai berilut:

a.       Tetapkan perilaku-perilaku apa yang Anda inginkan dari para siswa, dan perkuat perilaku-perilaku itu bila perilaku itu muncul. Misalnya, berilah pujian atau penghargaan bila seseorang siswa berhasil menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Jangan memuji atau member hadiah pekerjaan yang tidak sepadan dengan kemampuan siswa.

b.      Beritahu siswa perilaku-perilaku apa yang Anda inginkan untuk dilakukan mereka, dan bila mereka melakukannya, dan Anda memperkuat perilaku mereka, katakana kepada mereka mengapa hal itu Anda lakukan.

Banyak studi telah menunjukkan bahwa bila penguatan diberikan kepada siswa berdasarkan pada perilaku-perilaku mereka di kelas dan pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan sekolah, perilaku-perilaku mereka menjadi lebih baik.

Hukuman

            Konsekuensi-konsekuensi yang tidak memperkuat, yaitu yang melemahkan perilaku disebut Hukuman. Sekali lagi perhatikan perbedaan antara penguatan negative (penguatan perilaku yang diiinginkan dengan mencabut konsekuensi tidak menyenangkan) dan hukuman, yang ditujukan pada pengurangan perilaku dengan memberikan konsekuensi yang tidak diinginkan. Perhatikan juga bahwa ada nuansa yang sama pada defenisi hukuman seperti pada defenisi penguatan: Jika suatu konsekuensi yang tidak menyenangkan nyata-nyata tidak mengurangi frekuensi dari perilaku yang tidak diinginkan, maka konsekuensi yang tidak menyenangkan tersebut belum dapat dipandang sebagai hukuman. Contohnya, terkadang beberapa siswa malah suka jika dia disuruh ke luar kelas karena dengan keluar kelas, mereka merasa terbebas dari situasi kelas yang menurut mereka tidak menyenangkan. Pengeluaran mereka dari kelas dalam hal ini tidak dapat dipandang sebagai hukuman. Beberapa siswa suka jika dia ditegur gurunya, sebab dia ingin mencari perhatian guru dan barangkali menaikan status di mata teman-temannya. Dalam hal ini teguran guru juga tidak dapat dipandang sebagai hukuman. Dengan demikian seperti halnya pada penguatan, keefektifan dari suatu hukuman tidak dapat diasumsikan, tetapi haruslah diperlihatkan.

Hukuman Paksaan dan Hukuman Larangan hukuman dapat dibagi menjadi dua bentuk, yaitu hukuman paksaan dan hukuman larangan. Hukuman Paksaan (presentation punishment) adalah hukuman dengan menggunakan konsekuensi-konsekuensi yang tidak menyenangkan (aversive stimuli), seperti misalnya: seorang anak bercakap-cakap saat pelajaran berlangsung, lalu anak itu diperirintahkan untuk menulis 100 kali kalimat “saya tidak akan bercakap-cakap di dalam kelas”, atau anak tersebut dimarahi atau ditampar.  

Laporan Praktikum Efek Fotolistrik

Efek Fotolistrik Bab I. Pendahuluan A. Latar Belakang Efek fotolistrik adalah fenomena terlepasnya elektron logam akibat disinari cahaya. Ditinjau dari perspektif sejarah, penemuan efek...
Ananda Dwi Putri
9 min read

Laporan Praktikum Tetes Minyak Milikan

Tetes Minyak Milikan Bab I. Pendahuluan A. Latar Belakang Elektron merupakan suatu dasar penyusun atom. Inti atom terdiri dari elektron (bermuatan negatif) dan proton...
Ahmad Dahlan
7 min read

Makalah Sifat Fantasi Dalam Tinjauan Psikologi

Sifat Fantasi Bab I. Pendahuluan Pada dasarnya psikologi mempersoalkan masalah aktivitas manusia. Baik yang dapat diamati maupun tidak secara umum aktivitas-aktivitas (dan penghayatan) itu...
Wahidah Rahmah
4 min read

Leave a Reply