Salah satu rekomendasi penting dari Muktamar Muhammadiyah Ke-47 di Makassar pada 1-7 Agustus kemaren adalah himbauan agar umat Islam menempuh corak keberagamaan yang moderat, menghindari takfir (gemar mengkafirkan sesama Muslim) dan membangun dialog Sunni-Syiah.
Ini adalah undangan sangat penting yang perlu mendapatkan apresiasi. Bravo kepada Muhammadiyah yang berani memulai tradisi moderatisme selangkah lebih maju. Buat saya, istilah “Islam moderat” belum mengatakan apa-apa jika tidak diberikan isi yang progresif dan maju. Moderat saja bisa berarti suatu konservatisme. Moderatisme yang progresif, seperti ditunjukkan oleh Muhammadiyah ini, perlu kita dorong.
Himbauan ini merupakan “theo-political breakthrough” yang sangat berani. Andai saja ini dinyatakan lewat Facebook, tentu saja layak memperoleh berjuta-juta “like” beserta ikon jempol!
Yang menarik, undangan ini menyeruak di tengah-tengah kampanye besar-besaran yang tampaknya dibiayai oleh uang petro dollar dari negeri-negeri teluk. Tujuannya: menyebarkan sentimen sektarianisme dan mengekspor konflik Sunni-Syiah ke Indonesia.
Kampanye ini jelas bagian dari usaha negeri-negeri teluk, terutama Saudi Arabia yang berpaham Wahabi, untuk meluaskan “sphere of influence” ke dunia Islam vis-à-vis Iran yang juga melakukan hal yang sama. Di sini, kita melihat “war of proxies” versi dunia Islam. Indonesia, tampaknya, hendak diseret sebagai salah satu proxy dalam “perang” ini.
“Refrain” berikut kerap kita dengar akhir-akhir ini: Bahwa Syiah bukanlah Islam. Masalah ini sudah diperdebatkan sejak ratusan tahun lalu, dan tak akan membawa dunia Islam ke mana-mana selain jurang perpecahaan yang konyol. Umat Islam sebaiknya belajar dari umat Kristen yang berhasil mengakhiri konflik Katolik-Protestan yang pernah berlangsung ratusan tahun.
Dalam tulisan lalu, saya mengajukan suatu definisi minimalis mengenai Islam dan Muslim. Siapa saja yang mengucapkan syahadat, dia adalah Muslim, tak peduli apa sekte, mazhab dan afiliasi politiknya. Definisi minimalis ini sengaja saya ajukan untuk menghindarkan umat Islam dari perang “truth claims” yang tiada berkesudahan dan sia-sia belaka.
Dengan merujuk definisi minimalis itu, saya hendak meyakinkan Anda bahwa umat Syiah adalah bagian yang sah dari umat Islam. Syiah adalah salah satu firqah/sekte saja dari sejumlah sekte yang ada dalam sejarah Islam. Syiah adalah sekte, sebagaimana Sunni juga sekte. Sesama sekte janganlah saling menjatuhkan. Kesamaan antara orang Sunni dan Syiah jauh lebih banyak daripada perbedaannya. Keduanya adalah sama-sama ahl al-qiblah.
Sebagaimana umat Sunni, orang Syiah mengucapkan syahadat, melaksanakan salat, puasa, membayar zakat, dan melakukan ritual haji. Jangan percaya kepada sejumlah fitnah yang disebar-sebarkan untuk mengobarkan sentimen anti-Syiah. Misalnya: fitnah bahwa Syiah memiliki syahadat yang beda, Qur’an yang beda, dan gemar mencerca sahabat.
Soal mencerca sahabat (sabb al-shahabah) ini perlu saya bahas sedikit. Inilah tuduhan yang kerap dijadikan alasan kalangan Sunni/Wahabi untuk terus mengobarkan kebencian kepada kaum Syiah.
Menurut saya, tuduhan kaum Sunni ini tidak sepenuhnya salah. Tetapi sejumlah caatatan perlu saya berikan di sini. Apa yang disebut sebagai “mencerca” itu, jika kita telaah literatur Syiah secara menyeluruh, sebetulnya adalah sejenis kajian kritis atas sahabat. Kalangan Syiah memang memiliki pandangan yang kritis tentang sahabat. Ini berbeda dengan doktrin Sunni yang cenderung memandang semua sahabat adalah baik (‘adalat al-shahabah). Sebaiknya perbedaan mengenai posisi terhadap sahabat ini dipandang sebagai perbedaan sudut pandang saja. Tak harus membuat seseorang dianggap telah keluar dari Islam.
Meski demikian, saya setuju: Kebiasaan kalangan Syiah yang kadang menggunakan redaksi yang cenderung keras terhadap satu-dua figur sahabat sebaiknya dihentikan, karena hanya akan mengobarkan sentimen sektarianisme. Kultur baru yang lebih kondusif untuk menjalin dialog sebaiknya dikembangkan.
Dalam konteks inilah himbauan Muhammadiyah untuk membangun dialog Sunni-Syiah amatlah muhim. Ini mengingatkan pada inisiatif Pendekatan Mazhab-Mazhab (Al-Taqrib Bain al-Madzahib) yang pernah digagas di Mesir pada 1947, dan melibatkan beberapa tokoh seperti Syekh Mahmud Syaltut dan Hasan al-Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin.
Ada fatwa Mahmud Syaltut yang menarik: Mazhab fiqh Imamiyyah-Ja’fariyyah yang banyak dianut di Iran adalah mazhab yang sah dalam Islam. Kita boleh menjalankan ibadah (al-ta’abbud) dengan mengikuti mazhab ini. Bersama dengan empat mazhab Sunni yang lain, mazhab Imamiyyah merupakan kekayaan intelektual Islam yang patut dihargai dan dipelajari.
Penduduk Iran saat ini berjumlah sekitar 79 juta. Mayoritas adalah pengikut mazhab Syiah. Jika anda menganggap Syiah bukan Islam, paling tidak anda telah mengeluarkan sekitar tujuh puluh juta orang dari Islam. Ini jelas pemurtadan massal dan terbesar dalam sejarah Islam. Pendeta Kristen manapun tak akan kuasa melakukan hal seperti ini.