Sejarah Pendidikan Agama Islam di Indonesia tidak hanya dimulai pada saat mata pelajaran ini masuk ke kurikulum formal. Seperti yang diperjuangkan K.H. Ahmad Dahlan dalam memasukkan pelajaran Agama masuk ke sekolah-sekolah bentukan belanda.
Daftar isi
Sejarah Pendidikan Agama Islam
Secara Praktis, Pendidikan Agama Islam di Indonesia sudah ada sejak awal Islam masuk ke Nusantara. Pendidikan diajarkan secara individualis antara Mubaligh dan peserta didiknya dalam kasus ini adalah orang-orang yang tertarik belajar Islam. Setelah komunitas muslim terbentuk di banyak daerah, Komunitas ini mulai membangun Masjid yang memiliki fungsi sebagai tempat Ibadah dan tempat penyelenggaraan Pendidikan Islam secara parsial. Tidak ada hubungan khusus antara satu masjid satu dan yang lainnya, namun Kiblat yang sama membuat Ajaran Islam semakin cepat menyebar.
Inti dari materi yang disampaikan adalah ilmu-ilmu agama yang berkaitan dengan hukum-hukum Syariah yang penting dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan ini diajar berdasarkan kitab-kitab Klasik yang mungkin saja dibawa oleh Mubaligh setelah pulang dari Ibadah Haji atau belajar Islam ke Timur Tengah.
Agama Islam diajarkan secara terbatas dan sederhana di surau, masjid dan pendopo dengan kondisi yang sangat kontras dengan pendidikan yang dibangun Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda pada Abad 17.
Pada awal 20, Ide-ide Pembaharuan tentang Pendidikan Islam di Indonesia semakin besar. Hal ini merupakan dorongan dari umat Islam yang menjadi agama dengan jumlah penganut paling besar di Nusantara. Di sisi lain, Pendidikan Umat Islam yang banyak dari kaum bawah membuat orang-orang Islam sangat tertinggal dalam bidang pendidikan.
Dorongan dari para tokoh-tokoh Islam yang banyak berjuang dalam menyumbangkan pemikiran-pemikiran Islam seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridho, dan lain sebagainya membuat Pembaharuan sistem Pendidikan semakin besar.
Sampai pada Akhirnya Pendidikan Islam di INdonesia dapat dikelompokkan menjadi tiga Periode utama yakni (1) Periode Kedatangan Islam ke Indonesia, (2) Periode Awal Abad 20 yakni pada masa penjajahan Bangsan Eropa dan (3) Periode Pasca Kemerdekaan.
Muslih Usa dalam bukunya Pendidikan Islam di Indonesia, Antara Cita dan Fakta (Suatu Pengantar), menjelaskan secara garis besar membagi sejarah Islam ke dalam tiga periode, yaitu periode klasik, pertengahan, dan modern. Selanjutnya, pembahasan tentang lintasan atau periode sejarah pendidikan Islam mengikuti tahapan perkembangan sebagai berikut:
1. Pendidikan Islam Sebelum Penjajahan Eropa
Sebelum Masa Penjajah Eropa, Hubungan dagang kerajaan-kerajaan Nusantara dan Pedagang Islam baik dari Arab maupun Gujarat, India sudah terbentuk dengan baik. Pertukaran Budaya membuat Islam dikenal. Hasilnya Pendidikan Agama Islam dimulai oleh para pendakwah yang berdagang ke Nusantara. Ajaran Islam pertama kali disampaikan dalam bentuk perbuatan, contoh dan keteladanan. Budaya Islam dan Oran-orang Islam yang sangat berbudi luhur membuat banyak penduduk di Nusantara jatuh cinta dengan agama tersebut sehingga mereka mulai mempelajari Islam.
Proses pendidikan informal ini ternyata membawa hasil yang sangat baik sehingga Islam mulai tersebar hampir di semua tempat di Nusantara, mulai dari sabang sampai Maluku. Komunitas yang baru saja memeluk Islam kemudian mulai membangun tempat ibadah seperti Langgar, Surau dan Masjid yang memiliki dua fungsi yakni tempat beribadah dan tempat melaksanakan pendidikan Islam yang sederhana.
Modal utama dari para Mubaligh dalam menyampaikan agama Islam adalah semangat menyiarkan Agama dan semangat menuntut Ilmu bagi yang belum memilikinya. Masjid dan Surau ini kemudian menjadi tempat terbentuk sistem pendidikan agama Islam yang perlahan tumbuh menjadi pendidikan Formal seperti Madrasah dan Sekolah dasar Keagamaan.
Lembaga Pendidikan Islam yang dilaksanakan secara teratur pertama kali terbentuk pada tahun 1476 melalui berdirinya nya Bhayangkara Islah di Bintara Demak. Organisasi ini merupakan Organisasi yang memberikan pendidikan Islam pertama di Nusantara.
Bhayangkara Islah memiliki tujuan memberikan pemahaman Islam kepada Masyarakat sehingga Islam dapat diterima namun tidak menyalahi hukum-hukum Syara. Bentuk dukungan dari tujuan ini kemudian ditunjukkan dalam bentuk Sidang Dewan Walisongo dan Kerajaan Demak. Hasil sidang tersebut bahwa semua cabang kebudayaan Nasional yakni filsafat hidup, kesenian, adat istiadat, ilmu pengetahuan dan sebagainya sedapat mungkin diisi dengan anasir-anasir pendidikan dan pengajaran agama Islam.
“Kebijaksanaan Wali-wali menyiarkan agama dan memasukan anasir-anasir pendidikan dan pengajaran Islam dalam segala cabang kebudayaan nasional Indonesia, sangatlah memuaskan, sehingga agama Islam tersebar di seluruh kepulauan Indonesia”.
2. Pendidikan Islam di Zaman Penjajahan
Kedatangan bangsa barat memang telah membawa kemajuan teknologi. Tetapi tujuannya adalah untuk meningkatkan hasil penjajahannya, bukan untuk kemakmuran bangsa yang dijajah. Begitu pula dibidang pendidikan, mereka memperkenalkan system dan metode baru tetapi sekedar untuk menghasilkan tenaga yang dapat membantu kepentingan mereka dengan upah yang murah dibandingkan dengan jika mereka harus mendatangkan tenaga dari barat. Apa yang mereka sebut pembaruan pendidikan itu adalah Westernisasi dan Kristenisasi yakni untuk kepentingan Barat dan Nasrani, dua motif inilah yang mewarnai kebijaksanaan penjajah Barat di Indonesia selama ± 3,5 abad. Pada tahun 1882 M pemerintah Belanda membentuk suatu Badan Khusus yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan Pendidikan Islam yang disebut Pries Terraden. “Atas nasihat dari Badan inilah maka pada tahun 1905 pemerintah mengeluarkan peraturan yang isinya bahwa orang yang memberikan pengajaran (pengajian) harus minta izin terlebih dahulu. Pada tahun-tahun itu memang sudah terasa adanya ketakutan dari pemerintah Belanda terhadap kemungkinan kebangkitan pribumi”.
Pada tahun 1925 pemerintah mengeluarkan peraturan yang lebih ketat lagi terhadap pendidikan agama Islam yaitu bahwa tidak semua orang (Kyai) boleh memberikan pelajaran mengaji. Peraturan itu mungkin disebabkan oleh adanya gerakan organisasi pendidikan Islam yang sudah tampak tumbuh. Jika kita melihat peraturan-peraturan pemerintah Belanda yang demikian ketat mengenai pengawasan, tekanan dan pemberantasan aktivitas Madrasah dan pondok pesantren di Indonesia, maka seolah-olah dalam tempo yang tidak lama, pendidikan Islam akan menjadi lumpuh. Akan tetapi yang dapat disaksikan dalam sejarah adalah keadaan yang sebaliknya. Masyarakat Islam di Indonesia pada zaman itu laksana air hujan atau air bah yang sulit dibendung.
3. Pendidikan Islam di Zaman Kemerdekaan
Pendidikan Agama Islam untuk pertama kalinya masuk dalam kurikulum sekolah Umum di Indonesia pada Desember 1946. Pendidikan Agama dijadikan sebagai mata pelajaran pengganti mata pelajaran Budi Pekerti, yang sudah ada sejak zaman pendudukan Jepang di Indonesia. Pendidikan Budi Pekerti ini sifatnya masih analog dengan muatan lokal karena dilaksanakan berbeda-beda di masing-masing daerah.
Desember 1946, Peraturan bersama dikeluarkan oleh dua Menteri yakni Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Pengajaran menetapkan bahwa Pendidikan Agama harus diajarkan mulai dari kelas IV pada tingkat Sekolah Rakyat. Sekolah Rakyat sendiri setara dengan Sekolah Dasar.
Pada masa Pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tahun 1946 kondisi keamanan Indonesia masih belum stabil. Belanda belum mengakui kemerdekaan Indonesia dan Kondisi Keamanan dalam negeri masih dalam proses perebutan Kekuasaan, seperti Partai Komunis Indonesia pihak Musso yang selalu mencoba merebut kekuasaan dari Pemerintah Resmi, ditambah pergerakan DI-TII yang punya Asosiasi yang kuat dengan ISlam membuat peraturan SKB dua menteri ini tidak bisa berjalan sesuai dengan rencana. Banyak daerah di Luar Jawa justru mengajarkan Agama Islam mulai dari kelas 1.
Majelis Pertimbangan Agama Islam
Tahun 1947, Pemerintah membentuk Majelis Pertimbangan Pengajaran Agama Islam yang dipimpin oleh Ki Hajar Dewantara sebagai Wakil dari Departemen Pendidikan dan Keilmuan dan Prd. Drs. Abdullah Sigit dari Departemen Agama. Majelis berperan mengatur pelaksanaan dan materi pengajaran Agama yang berlaku di sekolah-sekolah umum.
Setelah Belanda Mengakui Kemerdekaan Indonesia secara keseluruhan pada tahun 1949, maka pada tahun 1950 Rencana Penerapan Kurikulum Nasional Pendidikan Agama di seluruh wilayah kesatuan negara republik Indonesia. Penyusunan Kurikulum Pendidikan Agama Islam dilakukan Panitian Bersama yang dipimpin oleh Prod Mahmud Yunus wakil dari Departemen Agama dan Mr. Hadi dari Departemen P dan K. Dalam panitia tersebut juga diundang praktisi dan pakar yakni K.H. Imam Zarkasyi yang berasal dari Pondok Gontor Ponorogo. Hasil dari pertemuan tersebut kemudian disahkan oleh menteri Agama pada tahun 1952 dalam kurikulum Rencana Pelajaran Terurai.
Berdasarkan tekad dan semangat tersebut maka kehidupan beragama dan pendidikan agama khususnya makin memperoleh tempat yang kokoh dalam struktur organisasi pemerintahan dan dalam masyarakat pada umumnya. Dalam sidang-sidang MPR yang menyusun GBHN pada tahun 1973 – 1978 dan 1983 yang menegaskan bahwa pendidikan Agama menjadi mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah Negeri dalam semua tingkat (Jenjang) pendidikan.
Terima kasih, artikelnya menarikKunjungi juga website kami di walisongo.ac.id