Sejarah – Dalam sejarahnya kelahiran agama merupakan suatu jawaban atas suatu persoalan yang terjadi yang lahir dari konstruk penghayatan suatu tokoh atau melalui integritas Wahyu, hal ini bisa kita lihat pada agama-agama besar dunia, seperti Kristen, Islam, Hindu dan Budha.
Namun menariknya dari sekian agama besar itu, Budha memiliki ciri yang unik tersendiri, Ia tidak lahir berdasar supremasi wahyu, tetapi Ia lahir berdasar pengalaman serta proses penghayatan berfikir Budha Gautama dalam menjawab tantangan zaman pada waktu itu. Sehingga kemudian agama ini memiliki keunikan yang tidak kita jumpai dalam agama-agama lain, semisal kepercayaannya, dalam agama Budha kepercayaan kepada Tuhan yang personal tidak berperan sama sekali.
Berbicara agama tidak bisa terlepas dari bagaimana agama itu lahir serta persoalan apa yang sebenarnya ingin dijawab oleh kelahiran agama itu, artinya sosio-historis dan kultur yang ada pada masa itu tidak bisa kita abaikan begitu saja dalam upaya memahami agama secara komprehensif. Nah, berdasarkan hal ini menjadi penting kiranya agama Budha sebagai sebuah keunikan tersendiri untuk kita telisik bagaima sejarah, perkembangan, pertumbuhan, pokok-pokok ajaran serta aliran-alirannya dalam Agama itu, sehingga dengan adanya pemahaman yang demikian terwujudlah suatu paradigm keilmuan yang didasarkan pada nilai-nilai yang lebih objektif.
A. Lahirnya Agama Hindu
Budha berasal dari keturunan keluarga ksatria bangsa Cakya. Setelah ia lahir ia diberi nama Siddharta, yang artinya orang yang tercapai tujuanya. Ia juga diberi nama Gautama, yaitu suatu nama keluarga Budha adalah suatu gelar kehormatan keagamaan dan berarti yang bangun, maksudnya ialah orang yang telah mendapatkan pandangan yang dalam tentang kelepasan.
Setelah ia menemui beberapa hal yang sulit, hal yang tidak diknal, hal yang menarik perhatian, seperti berjumpa dengan orang sakit, orang mati, melihat cacing dan ulat-ulat yang digilas oleh bajak sawah, semua ini menyebabkan dia merenung kelahiran dan kemusnahan dari segala yang diciptakan. Akhirnya di bawah pohon Bodhi, di mana ia merenung itu, maka mulailah terbangun jiwanya. Pandangan yang dalam tentang perihal kelepasan melintas dalam pikiranya.
Dengan perantaraan sejumlah meditasi dan pemusatan pikiran ia mencapai apa yang disebut pengetahuan triganda selama tiga kali jaga dalam satu malam itu juga. Ketika ia terjaga buat pertama kali ia mendapat pengetahuan tentang bentuk-bentuk hidup purba, yang mengingatkan kita kita akan pikiran umum yang lama di India, bahwa roh melalui satu lingkaran eksistensi.
Ketika ia terjaga buat yang kedua kalinya ia mendapat pandangan yang luhur, yang memungkinkan padanya untuk dapat melihat sampai kealam yang lebih tinggi. Dan ketika itu ia terjaga buat ketiga kalinya ia mendapat pengetahuan tentang rangkaian sebab akibat.
Menurut suatu riwayat, peristiwa itu terjadi pada 531 SM. Dan waktu itu Siddharta sudah berusia 35 tahun. Jadi Budha ini bukan nama orang melainkan nama gelar. Beliau pergi kemana-mana mencari ilmu yang sempurna dan bertapa, tetapi semuanya itu sia-sia belaka. Sebab tidak mendapatkan apa yang dicapainya. Maka Siddharta kemudian mencari jalan sendiri. Di bawah pohon Bodhi, Siddharta mendapat ilham, menerima petunjuk bagaimana orang bisa melepaskan diri dari sasmara (sengsara penderitaan).
Peristiwa ini terjadi di Gaya, dan tempat ini kemudian disebut Bodh Gaya. Sesudah itu Siddharta pergi ke Kaci, hendak menyebarkan ilmunya. Khutbah pertama kali diadakan di taman Rusa di Benares. Tahun 480 SM. (usia 80 tahun) Siddharta menderita sakit dan meninggal dunia di Kusinara.
Jenazahnya dibakar dengan upacara besar-besaran, abunya dibagi-bagi menjadi 8 bagian dan ditempatkan dalam stupa istimewa yaitu kuburan dan rumah-rumah kultus berbentuk kubah. Maka terdapatlah empat kota yang hingga sekarang masih dianggap suci oleh pemeluk-pemeluk agama Budha yaitu:
- Kapilawastu (tempat asal Budha)
- Bodh-Gaya (tempat menerima ilham)
- Benares/Kachi (tempat mengajarkan ilmu)
- Kusinara (tempat meninggal dunia)
Adapun Budha mempunyai beberapa sebutan dan sebutan-sebutan itu bertalian erat dengan riwayat hidupnya yaitu:
- Budha Gautama : yaitu orang yang menerima Bodhi
- Siddharta : yaitu orang yang tercapai tujuanya
- Cakyamuni : yaitu orang yang bijaksana dari keturunan Cakya
- Tathagata : yaitu orang yang telah mencapai kenyataan
- Yina : yaitu orang yang telah mencapai kemenangan.
B. Perkembangan Agama Budha
Agama Budha berganti-ganti mengalami masa maju dan surut. Sejak sang Budha Gutama pertama kali mengajarkan agama yang dibawanya, beliau selalu mendapatkan hasil yang cemerlang. Banyak orang yang mau mendengarkan pengajaranya dan mau menjadi pengikutnya. Budha mendapat hasil besar dalam usaha menyebarkan agamanya, karena ia bertindak terhadap agama Brahmana yang sedang merosot waktu itu.
Kemudian disusul pula oleh kemajuan yang diperoleh pada waktu pemerintahan Kaisar Ashoka pada tahun 272 SM, hingga waktu itu agama Budha dijadikan agama Negara. Putra raja sendiri Mahinda menjadi pengajar agama dan dikirim ke sailan. Tahun 323 SM Raja Ashoka wafat.
Sesudah mengalami kemajuan yang pesat, yaitu antara tahun 200 dan 800 maka tibalah masa surut selama 4 abad. Menjelang permulaan kekuasaan Islam disekitar tahun 1200 agama Budha kehilangan pengaruh di India, hingga dewaasa ini tinggal beberapa ratus ribu jumlah saja pengikut Budha di India. Dan mereka tinggal sebagian besar di sailan.
Di negeri-negeri Asia yang lain masih terdapat penganut. Berhubungan dengan banyaknya pengikut-pengikut Budha sejak dahulu kala dan karena kebijaksanaan yang memancar dari pengajaranya, dapatlah Budha disebut sebagai sinar timur dari India.
Walaupun agama budha mengalami kemunduran dan kemusnahan di negerinya yang asli, tetapi di luar India agama ini menjejakkan kakinya dengan kuat hingga sekarang.
Pada abad kesatu masehi, para pengajar Budha mulai masuk ke tiongkok. Abad keempat masehi agama Budha di Tiongkok sudah mendapat tempat yang utama dan tersiar luas. Dari Tiongkok terus meluas ke Korea.
Pada pertengahan abad ke V M. Birma dibudhakan oleh sailan. Setelah se abad kemudia Jepang dibudhakan oleh Korea, dan seterusnya Muang Thai juga memeluk Budha.
Dahulu kala agama Budha tersiar juga di Indonesia. Mula-mula Budha Hinayana, yakni pada permulaan zaman Hindu. Kemudian pada abad ke VII M. agama Budha Mahayana masuk ke Sriwijaya dan pada abad ke VIII masuk ke Jawa, yang menyebabkan timbulnya candi-candi Borobudur, Kalasan, dan Candi Sewu. Candi-candi itu memang bentuknya tidak sama dengan bangunan-bangunan di tempat asal Budha. Artinya agama Budha dipersatukan dengan Ciwaisme, juga dengan kepercayaan-kepercayaan asli orang Indonesia, hingga timbul seorang dewa yang bernama Ciwa Budha. Dan akhirnya sekarang sedikit sekali orang yang beragama Budha.
Beberapa tahun yang lalu kebetulan pada masa Eropa orang sedang giat menyelidiki alam fikiran dan agama Timur, agama Budha pun mulai dikenal. Nilai-nilai pelajaran Gautama dengan halusnya jalan fikiran dan cita-cita kedepanya memang berlainan dengan agama-agama yang biasa dianut di Eropa barat. Karena itu banyak orang eropa dan kemudian orang Amerika yang merasa tertarik mereka masuk agama Budha.
Agama Budha sebagai suatu aliran, sebagai satu agama Dunia di samping agama-agama lain dan sebagai satu cara berfikir manusia dalam percobaan hendak memecahkan soal hubungan antara makhluk dan yang Maha Gaib, juga dijadikan suatu vak mata pelajaran dalam perguruan-perguruan tinggi di Dunia.
1. Tahap Awal
Sebelum disebarkan di bawah perlindungan maharaja Asoka pada abad ke-3 SM, agama Budha kelihatannya hanya sebuah fenomena kecil saja, dan sejarah peristiwa-peristiwa yang membentuk agama ini tidaklah banyak tercatat. Dua sidang umum pembentukan dikatakan pernah terjadi, meski pengetahuan kita akan ini berdasarkan catatan-catatan dari kemudian hari. Konsili-konsili (juga disebut pasamuhan agung) ini berusaha membahas formalisasi doktrin-doktrin Buddhis, dan beberapa perpecahan dalam gerakan Budha.
2. Abad ke-5 SM
Konsili pertama Budha diadakan tidak lama setelah Budha wafat di bawah perlindungan raja Ajatasattu dari Kekaisaran Magadha, dan dikepalai oleh seorang rahib bernama Mahakassapa di Rajagaha (sekarang disebut Rajgir).
Tujuan konsili ini adalah untuk menetapkan kutipan-kutipan Budha (sutta (Budha)) dan mengkodifikasikan hukum-hukum monastik (vinaya): Ananda, salah seorang murid utama Budha dan saudara sepupunya, diundang untuk meresitasikan ajaran-ajaran Budha, dan Upali, seorang murid lainnya, meresitasikan hukum-hukum vinaya. Ini kemudian menjadi dasar kanon Pali, yang telah menjadi teks rujukan dasar pada seluruh masa sejarah agama Budha.
3. Tahun 383 SM
Konsili kedua Budha diadakan oleh raja Kalasoka di Vaisali, mengikuti konflik-konflik antara mazhab tradisionalis dan gerakan-gerakan yang lebih liberal dan menyebut diri mereka sendiri kaum Mahasanghika.
Mazhab-mazhab tradisional menganggap Budha adalah seorang manusia biasa yang mencapai pencerahan, yang juga bisa dicapai oleh para bhiksu yang mentaati peraturan monastik dan mempraktekkan ajaran Budha demi mengatasi samsara dan mencapai arhat.
Namun kaum Mahasanghika yang ingin memisahkan diri, menganggap ini terlalu individualistis dan egois. Mereka menganggap bahwa tujuan untuk menjadi arhat tidak cukup, dan menyatakan bahwa tujuan yang sejati adalah mencapai status Buddha penuh, dalam arti membuka jalan paham Mahayana yang kelak muncul. Mereka menjadi pendukung peraturan monastik yang lebih longgar dan lebih menarik bagi sebagian besar kaum rohaniwan dan kaum awam (itulah makanya nama mereka berarti kumpulan “besar” atau “mayoritas”).
Konsili ini berakhir dengan penolakan ajaran kaum Mahasanghika. Mereka meninggalkan sidang dan bertahan selama beberapa abad di Indian barat laut dan Asia Tengah menurut prasasti-prasasti Kharoshti yang ditemukan dekat Oxus dan bertarikh abad pertama.
4. Dakwa Asoka (+/- 260 SM)
Maharaja Asoka dari Kekaisaran Maurya (273–232 SM) masuk agama Budha setelah menaklukkan wilayah Kalingga (sekarang Orissa) di India timur secara berdarah. Karena menyesali perbuatannya yang keji, sang maharaja ini lalu memutuskan untuk meninggalkan kekerasan dan menyebarkan ajaran Budha dengan membangun stupa-stupa dan pilar-pilar di mana ia menghimbau untuk menghormati segala makhluk hidup dan mengajak orang-orang untuk mentaati Dharma.
Asoka juga membangun jalan-jalan dan rumah sakit-rumah sakit di seluruh negeri. Periode ini menandai penyebaran agama Budha di luar India. Menurut prasasti dan pilar yang ditinggalkan Asoka (piagam-piagam Asoka), utusan dikirimkan ke berbagai negara untuk menyebarkan agama Budha, sampai sejauh kerajaan-kerajaan Yunani di barat dan terutama di kerajaan Baktria-Yunani yang merupakan wilayah tetangga. Kemungkinan besar mereka juga sampai di daerah Laut Tengah menurut prasasti-prasasti Asoka.
Asoka juga membangun jalan-jalan dan rumah sakit-rumah sakit di seluruh negeri. Periode ini menandai penyebaran agama Budha di luar India. Menurut prasasti dan pilar yang ditinggalkan Asoka (piagam-piagam Asoka), utusan dikirimkan ke berbagai negara untuk menyebarkan agama Budha, sampai sejauh kerajaan-kerajaan Yunani di barat dan terutama di kerajaan Baktria-Yunani yang merupakan wilayah tetangga. Kemungkinan besar mereka juga sampai di daerah Laut Tengah menurut prasasti-prasasti Asoka.
C. Pokok-Pokok Ajaran Budha
Pokok-pokok ajaran Budha terdapat dalam tiga pokok “triratna”yaitu: Budha, Dharma dan Sangha.
a. Budha
Sebagaimana telah dijelaskan sejarahnya pada baba pertama
Budha
Ajaran Agama BudhaAda beberapa ajaran pada agama budha, yakni :
1. Empat kebenaran utama (khutbah pertama sang Budha )
- Dukha, Lahirnya manusia, menjadi tua dan meninggal dunia
- Samudaya, Penderitaan itu di sebabkan oleh hati yang tidak ikhlas dan hawa nafsu
- Nirodha, Penderitaan dapat di hilangkan, dengan hati ikhlas dan hawa nafsu ditahan
- Magga (Jalan), Budha mengemukakan empat tingkatan jalan yang harus dilalui yaitu :
- Sila ( kebajikan)
- Samadhi (perenungan)
- Panna (pengetahuan atau hikmat)
- Wimukti (kelepasan)
Kemudian keempat tingkatan ini diselaraskan dengan delapan jalan tengah atau jalan kebenaran (Astavida) atau Arya Attangika Magga, yaitu :
- Berpandangan yang benar
- Berniat yang benar
- Berbicara yang benar
- Berbuat yang benar
- Berpenghidupan yang benar
- Berusaha yang benar
- Berperhatian yang benar
- Memusatkan pemikiran yang benar
b. DharmaMerupakan pengakuan syahadad bagi orang Budha yang bunyinya:
- “saya berlindung diri di bawah Budha”
- “Saya berlindung diri di bawah Dharma”
- “saya berlindung diri di bawah Sangha”
Dharma atau kewajiban hidup, artinya wet atau hukum bagi orang Budha. Ringkasnya termasuk apa yang dinamakan kenyataan utama empat, dan dalam rantai/rangkaian dua belas. Dua hal inilah yang didapati oleh Sang Cakyamuni di waktu ia duduk di bawah pohon Bodhi.
Kenyataan Utama Empat Caryastyani atau biasa disebut kebenaran, ringkasnya mengandung hukum sebagai berikut:
- Manusia hidup pasti disertai penderitaan. Yang dianggap penderitaan yaitu kelahiran, penyakit, umur tua, dan kematian.
- Yang menyebabkan penderitaan adalah keinginan.
- Penderitaan dapat dihilangkan dengan memadamkan keinginan dan dapat mencapai nirwana.
- Memadamkan keinginan dan mencapai nirwana itu dapat tercapai dengan hidup melalui delapan jalan, yaitu:
- Kepercayaan yang benar
- Kehendak dan angan-angan yang benar
- Perkataan yang benar
- Tingkah laku yang benar(empat dari delapan jalan ini untuk semua orang, dan selanjutnya dari nomor 5 s/d 8 khusus bagi para rahib)
- Cara hidup yang benar
- Semangat yang benar dalam mempelajari undang-undang
- Minat yang benar dalam mengingat undang-undang
- Bersemedi yang benar
Orang yang patuh pada delapan jalan tersebut ada empat tingkat:
- Tingkat mereka yang milau masuk agama Budha
- Tingkat mereka yang akan lahir ke bumi sekali lagi
- Tingkat mereka yang tidak akan lahir kembali
- Tingkat arhat yang mencapai kelepasan sebagai manusia di dunia ini dan apabila mati akan masuk langsung ke nirwana
Dalam buku Winaya, salah satu dari buku tripitaka, tertulis beberapa hal yang yang diajarkan oleh Budha untuk mematikan nafsu hidup artinya untuk berfikir hidup yang baik yang terkenal dengan nama dasasila atau sepuluh larangan yaitu
- Tidak boleh membunuh
- Tidak boleh mengambil sesuatu tanpa izin
- Tidak boleh berzina
- Tidak boleh makan atau minum yang memabukkan
- Tidak boleh berbuat bohong
- Tidak boleh melihat tontonan kesenangan seperti nyanyian, tarian, dsb.
- Tidak boleh memakai karangan bunga, wangi-wangian, dan perhiasan di luar batas
- Tidak boleh tidur di tempat tidur yang serba mewah
- Tidak boleh makan kecuali dalam jangka waktu yang telah ditentukan
- Tidak boleh menerima hadiah emas atau perak
Sepuluh larangan tadi tidak boleh ditawar-tawar lagi bagi seorang Bhiksu, tetapi orang biasa hanya meninggalkan larangan itu separo saja yaitu dari nomor 1 s/d 5. Para rahib/Bhiksu kepalanya harus digundul dan berpakaian kuning. Setiap hari mereka harus mencari makanannya dengan meminta-minta dari rumah ke rumah, dan hanya untuk makan sekali sehari saja. Mereka diam bersama-sama di biarara, masing-masing dalam sebuah bilik dan di situ mereka bertafakur bersemedi untuk mencari tingkat Budha. Pada waktu yang ditentukan mereka harus berpuasa (upawasa).
D. Aliran dan Sekte Agama Budha
1. Aliran Hinayana
Aliran Hinayana (kendaraan kecil) adalah aliran yang mempertahankan keasliannya ajaran agama Buddha. Sesuai dengan ajaran asli Buddha Gautama, aliran Hinayana tidak mengajarkan penyembahan kepada Tuhan. Yang penting ialah melaksanakan ajaran moral yang diajarkan oleh gurunya itu. Buku-buku ajarannya banyak menggunakan bahasa Pali. Tujuan dalam aliran ini ialah menjadi Arahat yaitu seorang yang benar-benar telah lenyap nafsunya, sehingga ia dapat mencapai Nirwana dan dengan demikian terbebaslah dari penderitaan. Aliran ini menitikberatkan pada kelepasan individual, artinya tiap-tiap orang berusaha melepaskan dirinya masing-masing dari penderitaan hidup.
Dalam aliran Hinayana beranggapan bahwa segala sesuatu dalam alam semesta ini berwujud dalam suatu ketika saja. Segala sesuatu selalu dalam perubahan, selalu dalam proses, hanya saja mata manusia tak mampu mengamatinya. Contohnya sungai yang mengalir. Mata kita melihat adanya air yang terbentang di hadapan kita, seolah-olah kita melihat suatu wujud benda yang tetap. Padahal air tersebut sebetulnya berdiri dari rangkaian titik-titik air yang berganti terus-menerus.
2. Aliran Mahayana
Aliran Mahayana (kendaraan besar) adalah aliran yang mengadakan pembaharuan terhadap ajaran Buddha yang asli. Ciri yang menonjol dari aliran ini adalah timbulnya upacara penyembahan kepada Tuhan dalam agama Buddha. Buku-buku ajarannya banyak menggunakan bahasa Sanskerta. Sedangkan penganutnya banyak terdapat di negara India, Nepal, Tibet, Mongolia, Tiongkok, Korea, Jepang dan Indonesia.
Tujuan dalam aliran ini bukan menjadi Arahat, tetapi menjadi Boddhisatva. Seorang Boddhisatva sebenarnya bisa langsung menikmati kebahagiaan di Nirwana, tetapi ia belum mau menetap di Nirwana, melainkan masih ingin turun ke dunia guna menyelamatkan umat manusia yang percaya dari penderitaan.
Dari tujuan tersebut, aliran Mahayana bukanlah kelepasan individual, melainkan kelepasan bersama-sama orang banyak sehingga aliran itu diberi nama “kendaraan besar” karena mempunyai jangkauan untuk menyelamatkan lebih banyak umat manusia.
E. Doktrin Agama Budha
1. Catur Arya Satyani
a. Dukkha Ariya Sacca (Kebenaran Ariya tentang Dukkha)
Berbagai bentuk penderitaan yang ada di dunia ini dapat dirangkum ke dalam tiga bagian utama atau kategori, yaitu:
- Penderitaan Biasa (Dukkha-Dukkha), misalnya sakit flu, sakit perut, sakit gigi, dan sebagainya.
- Penderitaan karena Perubahan (Viparinama-Dukkha), misalnya berpisah dengan yang dicintai, berkumpul dengan yang dibenci, tidak tercapai apa yang diinginkan, sedih, ratap tangis, putus asa, dan sebagainya.
- Penderitaan karena memiliki Badan Jasmani (Sankhara-Dukkha), yaitu penderitaan karena kita lahir sebagai manusia, sehingga bisa mengalami sakit flu, sakit gigi, sedih, kecewa, dan sebagainya.
b. Dukkha Samudaya Ariya Sacca (Kebenaran Ariya tentang Asal Mula Dukkha)
Ketiga macam penderitaan di atas tentu tidak muncul begitu saja, tetapi karena ada sebab yang mendahului, BUKAN asal mula. Karena disebut dengan SEBAB, maka hal itu tidak dapat diketahui awal dan akhirnya. Sebab penderitaan itu adalah karena manusia diliputi Keserakahan, Kebencian dan Kegelapan Batin, sehingga mengakibatkan kelahiran yang berulang-ulang dari masa ke masa dari satu alam ke alam berikutnya.
Manusia banyak yang tidak menyadari bahwa ada kebebasan dari semua bentuk penderitaan yang dapat dicapai ketika masih hidup. Mereka kebanyakan melekat pada kesenangan-kesenangan nafsu indera, menghancurkan kehidupan makhluk lain, menganut pandangan salah yang menyesatkan banyak orang dan menjanjikan kebahagiaan semu dan sementara, hidupnya tidak diarahkan dengan baik, tidak membuka diri untuk belajar lebih dalam tentang kebenaran universal, menjadi orang dungu yang hanya tahu tapi tidak mempraktekkan apa yang ia ketahui, menjadi orang bodoh yang tidak mampu membedakan kebaikan dan kejahatan. Inilah sebab penderitaan yang menyelimuti kebanyakan umat manusia, yaitu Nafsu yang tiada henti (Tanha), dan Avijja (kebodohan batin) yang menjadi sebab kelahiran berulang-ulang bagi dirinya.
c. Dukkha Nirodha Ariya Sacca (Kebenaran Ariya tentang Terhentinya Dukkha)
Sebagaimana kesakitan akan sembuh manakala sebabnya telah diketahui dan diberikan obat yang tepat, demikian pula penderitaan seseorang juga dapat dihentikan dengan mempraktekkan cara-cara yang benar dan berlaku secara universal. Kebahagiaan akan dicapai manakala ia terbebas dari penderitaan itu.
Kebahagiaan ini adalah kebahagiaan sejati, dimana tidak akan diketahui kemana perginya seseorang yang telah bebas dari derita batin dan jasmani. Inilah kebahagiaan Nibbana. Kebahagiaan yang dapat dicapai bukan setelah meninggal dunia saja, tetapi juga ketika masih hidup di dunia ini.
Nibbana bukanlah suatu tempat, melainkan keadaan dimana seseorang mempunyai pikiran yang sangat jernih yang telah terbebas dari sifat serakah, benci, dan gelap batin. Ia dapat mencapainya ketika masih memiliki badan jasmani. Sebagaimana perjuangan Pangeran Siddhartha untuk mencari jalan keluar dari fenomena usia tua, sakit dan kematian hingga menjadi Buddha, maka seperti itulah seseorang dengan sekuat tenaganya sendiri berusaha mengikis habis sifat-sifat jahat yang ada dalam dirinya, mengikis habis ego dalam dirinya, mengikis habis nafsu-nafsu indera, dan memunculkan kebijaksanaan paling tinggi dalam kehidupannya dan menjadikan dirinya sendiri sebagai Orang Suci meskipun masih bergaul dengan banyak orang dan berpenghidupan di masyarakat luas. Kelak ketika ia meninggal dunia, maka tidak akan ada lagi orang yang mengetahui kemana ia pergi, karena Nibbana bukanlah suatu tempat. Sebagaimana api itu ada, namun tidak seorang pun yang dapat mengetahui kemana perginya api setelah padam.
Jika diibaratkan sebuah lilin yang menyala, apinya adalah kebencian, keserakahan, dan kegelapan batin dan batang lilin adalah badan jasmani, maka ketika nyala lilin padam bersamaan dengan habisnya batang lilin yang terbakar, saat itulah fenomena-fenomena selanjutnya dari lilin tersebut tidak dapat diketahui oleh siapapun. Inilah gambaran Nibbana secara sederhana. Jadi sangat mungkin Kebahagiaan Sejati dapat dicapai bukan setelah meninggal dunia, tetapi juga ketika masih hidup.
d. Dukkha Nirodha Gamini Patipada Magga (Kebenaran Ariya tentang Jalan yang menuju Terhentinya Dukkha)
Cara melenyapkan Dukkha adalah dengan memiliki 8 unsur berikut (disebut juga Jalan Mulia Berunsur Delapan):
- Pengertian Benar
- Pikiran Benar
- Ucapan Benar
- Perbuatan Benar
- Mata Pencaharian Benar (Penghidupan Benar bagi bhikku/bhikkuni/samanera/samaneri)
- Usaha Benar
- Perhatian Benar
- Konsentrasi Benar
2. Nirwana
Nirwana merupakan tujuan terakhir setiap pemeluk agama budha adalah mencapai nirwana, di mana seseorang telah terlepas dari samsara, yang berarti ia lepas dari penderitaan, dan selanjutnya ia akan merasakan kebahagiaan yang abadi. Dalam Agama Budha nirwana adalah merupakan suatu keadaan yang lebih baik dari segala keadaan yang dapat di nikmati di dunia. Tidak mudah untuk mencapai nirwana, karena untuk mencapai nirwana harus hidup suci dan mampu melenyapkan tanha sama sekali. Jika seseorang telah dapat melakukan hidup suci dan melenyapkan tanha secara maksimal, maka akan sampailah ia ke Nirwana, sebelum mencapai tingkat yang maksimal, maka ia harus mengalami reinkarnasi yang berulang-ulang.
Bagi orang yang ingin mencapai nirwana, maka pokok-pokok etika ini yang harus di taati:
- Nirwana yang dapat di capai oleh seseorang pada waktu itu ia masih hidup yaitu pada saat lenyapnya tanha, yang berarti ia telah mencapai arahat. Keadaan ini di sebut Upadhisesa
- Nirwana dalam arti berhentinya segala hal proses hidup.
3. Arahat
Seseorang arahat adalah seseorang yang telah melenyapakan segala hawa nafsu dan keinginanya, sehingga ia tidak teringat olej apapun. Sebelim seseorang mencapai tingkat Arahat maka keadaan yang mendekatinya dapat di bagi 3 yaitu :
- Sotapatti ,yaitu tingkatan di mana seseorang harus menjelma tujuh kali lagi sebelum mencapai nirwana
- Sekadagami magga, yaitu tingkat seseorang tinggal satu kali lagi menjelma sebelum mencapai nirwana
- Anagami , yaitu tingkatan di mana seseorang sudah tidak akan menjelma lagi.
4. Tri ratna
Dalam syahadat (ucapan kesaksian) agama budha yang di sebut triratna, berbunyi :
“Aku berlindung kepada Budha “
“Aku berlindung kepada Dharma “
“Aku berlindung kepada Sangha “
Dalam susunan kalimat ini kesaksian tersebut tidak di sebut nama Tuhan.
5. Karma
Menurut apa yang di lukiskan sang Budha, karma adalah hukum tanpa pengadilan dan konsekuensi yang tak memihak, atau secara lebih sederhana adalah hukum tentang akibat yang mengikuti sebab.
6. Tiga corak Umum
Pengajaran pertama yang di berikan Sang budha adalah kepada para pertapa yang telah berada bersamanya selama tahun-tahun pertapaanya. Sang budha menjelaskan kesalingketerkaitan dari tiga corak yang menentukan semua keberadaaan.
- Semua yang di ciptakan dan tercipta selalu berubah dan tidak kekal ( Anicca)
- Semua yang di ciptakan dan tercipta selamanya tidak memuaskan dan menderita ( dukkah)
- Semua yang di ciptakan dan tercipta tidak ada diri atau jiwa abadi (anatta)