Sejarah Kerajaan Samudra Pasai
Pendidikan. Letak kerajaan Samudera Pasai itu berada di suatu wilayah pantai utara Aceh yang tergabung dari dua kota yakni Samudra dan Pasai, Samudra terletak di pedalaman dan Pasai berada di kota pesisir. Pada kedua kota tersebut kemudian akhirnya disatukan oleh Marah Silu yang juga dinobatkan sebagai raja yang bergelar Sultan Malik al Saleh. Sesudah menjadi sebuah kerajaan Islam. Kemudian Samudera Pasai mulailah berkembang secara pesat dengan menjadi inti atau pusat dari perdagangan dan penyebaran dari agama Islam. Para pedagang yang berasal dari Benggala, Gujarat, Cina, Arab dan India banyak melakukan perdagangan di Samudra Pasai. Selanjutnya, luas kekuasaan kerajaan samudra pasai semakin bertambah hingga sekitaran aceh yaitu Samerlangga, Beruana, perlak, Samudra, Hambu Aer, Tukas, Pekan, Rama Candhi, Pasai, Tamiang, dan Balek Bimba.
Kehidupan Politik Kerajaan Samudra Pasai.
Berdasarkan data dari Marco Polo bahwa raja pertama dari kerajaan Samudra Pasai yaitu Marah Silu dan bergelar Sultan Malik al Saleh pada tahun 1285 sampai 1297. Kemudian raja berikutnya di duduki oleh Sultan Muhammad yang memiliki gelar Sultan Malik al Thahir pada tahun 1297 sampai 1326, sultan ahmad yang memiliki gelar sebagai SUltan Malik al Thahir II yang pada tahun 1346 sampai 1383, Sultan Zain al Abidin Malik az Zahir pada tahun 1383 hingga 1405, Sultan Nahrisyah pada tahun 1405 sampai 1412, ABu Zaid Malik az Zahir pada tahun 1412 dan Mahmud Malik az Zahir pada tahun 1513 sampai 1524. Adapun catatan tentang kerajaan Pasai itu banyak ditemukan berasal dari Ibnu Batutah yang sudah pernah datang untuk berkunjung di tahun 1345. Ia menginformasikan bahwa Samudra Pasai sudah membangun komunikasi dan hubungan diplomasi kepada kerajaan Delhi. Rajanya begitu sangat dihormati oleh rakyat dan menjadi seorang pemimpin agama dengan dibantu oleh seorang patih yang memiliki gelar Amir.
Kerajaan Islam di Indonesia: Sejarah Kerajaan Samudra Pasai
sejarah kerajaan samudra pasai
Di masa pemerintahan Sultan Malik al Saleh, Samudra Pasai telah memiliki hubungan diplomatik kepada Cina. Hal tersebut telah diberitakan dalam sejarah Dinasti Yuan yang berasal dari Cina. Informasi itu telah menyatakan bahwa di tahun 1282 seorang utusan Cina akan bertemu dengan salah seorang menteri yang berasal dari kerajaan Sumatra. Mereka telah menyepakati agar raja Samudra mengirimkan dutanya ke CIna. Hubungan luar negeri lainnya ialah kepada negara yang ada di Timur Tengah. Informasi dari Ibnu Batutah yang sudah berkunjung ke Samudra Pasai di masa Sultan Malik al Thahir II pada tahun 1346 sampai 1383, telah menyatakan bahwa ada beberapa ahli agama datang ke wilayah Samudra Pasai, yang diantaranya Taj al Din dari Istahan dan Qadi Sharif Amir Sayyid yang berasal dari PErsi (Iran). ADapun hubungan perdagangan yang telah dilakukan dengan beberapa negara diantara lain Gujarat, Iran, Melayu, Jawa, Siam, Turki dan Arab.
Kehidupan Ekonomi dan Sosial Kerajaan Samudra Pasai
Kehidupan ekonomi dari Kerajaan Samudra Pasai sangat banyak telah dipengaruhi oleh adanya kegiatan perdagangan karena letak kerajaan samudra pasai sangat strategis. Posisi geogradi Samudra pasai sangat begitu strategis sebab berbatasan dengan Selat Malaka dan terletak pada jalur perdagangan internasional dengan melalui Samudra Hndia yang berada antara India, Cina dan Jazirah Arab. Komoditas yang dari kerajaan Samudra Pasai yang banyak diperdagangkan yaitu emas, lada dan kapur barus. Kemudian untuk kepentingan perdagangan telah dikenal adanya uang yang menjadi alat tukar dalam bentuk mata uang emas yang dikenal sebagai dirham atau deureuham. Kerajaan Samudra PAsai mempunyai hegemoni atau pengaruh terhadap pelabuhan-pelabuhan penting yang berada di Pidie, Perlak dan daerah-daerah yang ada diujung pulau Sumatra.
Perdagangan yang terjadi kerajaan Samudra Pasai mulai berkembang pesat di masa pemerintahan SUltan Malik al Thahir II. Berdasarkan informasi Ibnu Batutah bahwa perdagangan yang ada di Samudra Pasai itu sudah semakin maju dan ramai karena didukung oleh armada laut yang sangat kuat sehingga para pedagang tentunya merasa nyaman dan aman untuk berdagangan di Samudra pAsai. Kemajuan didalam bidang ekonomi tersebut akhirnya membawah pengarauh atau dampak yang besar terhadap kehidupan masyarakat Samudra Pasai yang makmur. Kehidupan masyarakat dari kerajaan Samudra PAsai itu diwarnai dengan ajaran Islam. Hubungan antara rakyat dengan Sultan itu telah terjalin dengan baik. Sultan biasanya melaksanakan Musyawarah dan mulai bertukar pikiran dengan para ulama. Selain itu, Sultan juga sangat begitu hormat dengan para tamu yang sudah datang. Bahkan dia sering memberikan sebuah cinderamata untuk para tamu kerajaan Samudra PAsai.
Di Abad ke 14, Samudra Pasai sudah menjadi pusat penyebaran agama Islam yang ada di Asia Tenggara. Malaka juga mulai berkembang dengan menjadi kerajaan yang memilik corak Islam sesudah menjalin hubungan yang baik kepada Samudra Pasai, apalagi sesudah terjadi pernikahan yaitu Putra Sultan dengan Putri yang ada di Malaka. Didalam sebuah hikayat Patani telah diceritakan tentang pengislaman Raja Patani yang memiliki nama Paya Tu Naqpa. Pengislaman tersebut dilakukan oleh seseorang dari Pasai yang bernama Syaikh Sa’id sesudah berhasil dalam menyembuhkan penyakit dari Raja Patani. Setelah masuk dalam Islam, Raja Patani kemudian berganti nama sebagai Sultan Ismail SYah Zilullah Fil-Alam. Kemudian putra-putra raja terebut akhirnya mulai mengikuti ayahnya untuk masuk Islam.
Sejarah dan Perkembangan Kerajaan Islam Samudera Pasai. Kesultanan Pasai, juga dikenal dengan Samudera Darussalam, atau Samudera Pasai, adalah kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai utara Sumatera, kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara, Provinsi Aceh, Indonesia. Berdasarkan berita Marcopolo (th 1292) dan Ibnu Batutah (abad 13). Pada tahun 1267 telah berdiri kerajaan Islam di Indonesia, yaitu kerajaan Samudra Pasai. Hal ini juga dibuktikan dengan adanya Batu nisan makam Sultan Malik Al Saleh (th 1297) Raja pertama Samudra Pasai.
Sejak abad ke-9 sampai ke-11 M berita-berita pelayaran dan geografi Arab juga telah menambah sumber-sumber sejarah. Berita-berita itu, antara lain dari Ibn Khurdazbih (850),Ya’qubi (875-880), Ibnu Faqih (902), Ibnu Rusteh (903), Ishaq Ibn Iman (lk.907), Muhammad Ibnu Zakariyya al-Razi, Abu Zaid dari sirat (lk. 916), Abu Dulaf (lk.940), Mas’udi (943), dan Buzurg Ibn Syahriyar (awal abad ke-10). (Soejono,R.P&Leirissa,R.Z,2008:22). Hal ini membuktikan bahwa islamisasi telah ada sebelum kerajaan Samudra Pasai didirikan. Oleh karena itu, sejak abad ke-7 dan ke-8 sampai abad ke-11 M di daerah pesisir selat Malaka dan juga di Cina Selatan tumbuh komunitas-komunitas muslim akibat islamisasi.
Proses Pembentukan awal Kerajaan Samudera Pasai
Kerajaan Samudra Pasai berdiri sekitar abad 13 oleh Nazimuddin Al Kamil, seorang laksamana laut Mesir. Pada tahun 1238 M, ia mendapat tugas merebut pelabuhan Kambayat di Gujarat yang dijadikan tempat pemasaran barang-barang perdagangan dari timur. Nazimuddin al-Kamil juga mendirikan satu kerajaan di Pulau Sumatera bagian utara. Tujuan utamanya adalah untuk dapat menguasai hasil perdagangan rempah-rempah dan lada. Beliau kemudian mengangkat Marah Silu menjadi Raja Pasai pertama dengan gelar Sultan Malik Al Saleh (1285 – 1297).
Keberadaan kerajaan ini juga tercantum dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) karya Abu Abdullah ibn Batuthah (1304–1368), musafir Maroko yang singgah ke negeri ini pada tahun 1345. Kesultanan Pasai akhirnya runtuh setelah serangan Portugal pada tahun 1521. Makam Nahrasyiah Tri Ibnu Battutah, musafir Islam terkenal asal Maroko, mencatat hal yang sangat berkesan bagi dirinya saat mengunjungi sebuah kerajaan di pesisir pantai timur Sumatera sekitar tahun 1345 Masehi. Setelah berlayar selama 25 hari dari Barhnakar (sekarang masuk wilayah Myanmar), Battutah mendarat di sebuah tempat yang sangat subur. Perdagangan di daerah itu sangat maju, ditandai dengan penggunaan mata uang emas. Ia semakin takjub karena ketika turun ke kota ia mendapati sebuah kota besar yang sangat indah dengan dikelilingi dinding dan menara kayu.
Namun Berdasarkan Hikayat Raja-raja Pasai, menceritakan tentang pendirian Pasai oleh Marah Silu, setelah sebelumnya ia menggantikan seorang raja yang bernama Sultan Malik al-Nasser. Marah Silu ini sebelumnya berada pada satu kawasan yang disebut dengan Semerlanga kemudian setelah naik tahta bergelar Sultan Malik as-Saleh, ia wafat pada tahun 696 H atau 1297 M. Dalam Hikayat Raja-raja Pasai maupun Sulalatus Salatin nama Pasai dan Samudera telah dipisahkan merujuk pada dua kawasan yang berbeda, namun dalam catatan Tiongkok nama-nama tersebut tidak dibedakan sama sekali. Sementara Marco Polo dalam lawatannya mencatat beberapa daftar kerajaan yang ada di pantai timur Pulau Sumatera waktu itu, dari selatan ke utara terdapat nama Ferlec (Perlak), Basma dan Samara (Samudera).
Pada pemerintahan Sultan Malik Al Saleh masih belum terlihat tanda-tanda kejayaan yang signifikan, namun pada pemerintahannya setidaknya kerajaan Samudra pasai merupakan kerajaan yang besar dari wilayah Aceh sendiri. letak kerajaan Samudra Pasai kurang lebih 15 Km disebelah timur Lhoukseumawe, Nangroe Aceh. Diapit oleh sungai besar yaitu sungai Peusungan dan sungai Jambo Aye, jelasnya Kerajaan Samudra Pasai adalah daerah aliran sungai yang hulunya berasal jauh ke pedalaman daratan tinggi Gayo Kab. Aceh Tengah. Letaknya yang sangat strategis membuat Samudra pasai menjadi kerajaan yang besar dan berkembang pesat pada zaman itu.
Pemerintahan Sultan Malik as-Saleh kemudian dilanjutkan oleh putranya Sultan Muhammad Malik az-Zahir dari perkawinannya dengan Ganggang Sari putri Raja Perlak. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir, koin emas sebagai mata uang telah diperkenalkan di Pasai, seiring dengan berkembangnya Pasai menjadi salah satu kawasan perdagangan sekaligus tempat pengembangan dakwah agama Islam. Kemudian sekitar tahun 1326 ia meninggal dunia dan digantikan oleh anaknya Sultan Mahmud Malik az-Zahir dan memerintah sampai tahun 1345. Pada masa pemerintahannya, ia dikunjungi oleh Ibn Batuthah, kemudian menceritakan bahwa sultan di negeri Samatrah (Samudera) menyambutnya dengan penuh keramahan, dan penduduknya menganut Mazhab Syafi’i.
Dalam kisah perjalanannya ke Pasai, Ibnu Battutah menggambarkan Sultan Malikul Zhahir sebagai raja yang sangat saleh, pemurah, rendah hati, dan mempunyai perhatian kepada fakir miskin. Meskipun ia telah menaklukkan banyak kerajaan, Malikul Dhahir tidak pernah bersikap jemawa. Kerendahan hatinya itu ditunjukkan sang raja saat menyambut rombongan Ibnu Battutah. Para tamunya dipersilakan duduk di atas hamparan kain, sedangkan ia langsung duduk di tanah tanpa beralas apa-apa.
Selanjutnya pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Malik az-Zahir putra Sultan Mahmud Malik az-Zahir, datang serangan dari Majapahit antara tahun 1345 dan 1350, dan menyebabkan Sultan Pasai terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan.
Pada awal abad ke-16 mungkin masa memuncaknya kerajaan Samudra Pasai sebagaimana diberitakan oleh Tome Pires (1512-1515) tengah mengalami berbagai kemajuan dibidang politik pemerintahan, di bidang keagamaan, terutama di bidang pertanian dan perdagangan. (Soejono,R.P&Leirissa,R.Z,2008:23), adapun Pasai yang selalu menjalin hubungan persahabatan dengan kerajaan lain, seperti Malaka yang saat itu Malaka menjadi pusat perdagangan Dunia, yang diikuti pula pernikahan antara raja-raja malaka dengan para putri Pasai (Gade Ismail, M.1997:28).
Tome Pires menceritakan tentang hubungan antara Pasai dan Malaka,terutama pada masa pemerintahan Saquem Darxa yang dapat disamakan dengan nama sultan Iskandar Syah raja kedua Malaka. (Soejono,R.P&Leirissa,R.Z,2008:23).
Kemajuan kemajuan Kerajaan Samudera Pasai Pada Masa Kejayaannya Sekitar Awal Abad ke 16 antara lain:
1. Perdagangan
Yang merupakan perdagangan internasional, Pasai mempunyai Bandar-bandar yang dapat menjadi persinggahan para pedagang asing dan mereka juga membayar uang pajak untuk Pasai
2. Pelayaran
Sebagai kerajaan maritime, pastinya Pasai mempunya keunggulan dalam bidang pelayaran dan nelayan. Maka dari itu masyarakat Pasai, mayoritas ialah nelayan.
3. Perekonomian
Merupakan salah satu kemajuan Pasai dalm meraih kejayaannya, dan perekonomian Pasai telah terbantu dengan adanya perdagangan dan pelayaran, serta pajak dagang yang dikenakan bagi pedagang,
4. Hubungan internasional dan politik
Merupakan keterkaitan, yakni terjadi pula politik pernikahan, yang dilakukan oleh sultannya.
Relasi dan Persaingan
Kesultanan Pasai kembali bangkit dibawah pimpinan Sultan Zainal-Abidin Malik az-Zahir tahun 1383, dan memerintah sampai tahun 1405. Dalam kronik Cina ia juga dikenal dengan nama Tsai-nu-li-a-pi-ting-ki, dan disebutkan ia tewas oleh Raja Nakur. Selanjutnya pemerintahan Kesultanan Pasai dilanjutkan oleh istrinya Sultanah Nahrasiyah.
Armada Cheng Ho yang memimpin sekitar 208 kapal mengunjungi Pasai berturut turut dalam tahun 1405, 1408 dan 1412. Berdasarkan laporan perjalanan Cheng Ho yang dicatat oleh para pembantunya seperti Ma Huan dan Fei Xin. Secara geografis Kesultanan Pasai dideskripsikan memiliki batas wilayah dengan pegunungan tinggi disebelah selatan dan timur, serta jika terus ke arah timur berbatasan dengan Kerajaan Aru, sebelah utara dengan laut, sebelah barat berbatasan dengan dua kerajaan, Nakur dan Lide. Sedangkan jika terus ke arah barat berjumpa dengan kerajaan Lambri (Lamuri) yang disebutkan waktu itu berjarak 3 hari 3 malam dari Pasai. Dalam kunjungan tersebut Cheng Ho juga menyampaikan hadiah dari Kaisar Cina, Lonceng Cakra Donya.
Sekitar tahun 1434 Sultan Pasai mengirim saudaranya yang dikenal dengan Ha-li-zhi-han namun wafat di Beijing. Kaisar Xuande dari Dinasti Ming mengutus Wang Jinhong ke Pasai untuk menyampaikan berita tersebut.
Pemerintahan
Lonceng Cakra Donya
Pusat pemerintahan Kesultanan Pasai terletaknya antara Krueng Jambo Aye (Sungai Jambu Air) dengan Krueng Pase (Sungai Pasai), Aceh Utara. Menurut ibn Batuthah yang menghabiskan waktunya sekitar dua minggu di Pasai, menyebutkan bahwa kerajaan ini tidak memiliki benteng pertahanan dari batu, namun telah memagari kotanya dengan kayu, yang berjarak beberapa kilometer dari pelabuhannya. Pada kawasan inti kerajaan ini terdapat masjid, dan pasar serta dilalui oleh sungai tawar yang bermuara ke laut. Ma Huan menambahkan, walau muaranya besar namun ombaknya menggelora dan mudah mengakibatkan kapal terbalik. Sehingga penamaan Lhokseumawe yang dapat bermaksud teluk yang airnya berputar-putar kemungkinan berkaitan dengan ini.
Dalam struktur pemerintahan terdapat istilah menteri, syahbandar dan kadi. Sementara anak-anak sultan baik lelaki maupun perempuan digelari dengan Tun, begitu juga beberapa petinggi kerajaan. Kesultanan Pasai memiliki beberapa kerajaan bawahan, dan penguasanya juga bergelar sultan.
Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir, Kerajaan Perlak telah menjadi bagian dari kedaulatan Pasai, kemudian ia juga menempatkan salah seorang anaknya yaitu Sultan Mansur di Samudera. Namun pada masa Sultan Ahmad Malik az-Zahir, kawasan Samudera sudah menjadi satu kesatuan dengan nama Samudera Pasai yang tetap berpusat di Pasai. Pada masa pemerintahan Sultan Zain al-Abidin Malik az-Zahir, Lide (Kerajaan Pedir) disebutkan menjadi kerajaan bawahan dari Pasai. Sementara itu Pasai juga disebutkan memiliki hubungan yang buruk dengan Nakur, puncaknya kerajaan ini menyerang Pasai dan mengakibatkan Sultan Pasai terbunuh.
Perekonomian
Tercatat, selama abad 13 sampai awal abad 16, Samudera Pasai dikenal sebagai salah satu kota di wilayah Selat Malaka dengan bandar pelabuhan yang sangat sibuk. Bersamaan dengan Pidie, Pasai menjadi pusat perdagangan internasional dengan lada sebagai salah satu komoditas ekspor utama.
Saat itu Pasai diperkirakan mengekspor lada sekitar 8.000- 10.000 bahara setiap tahunnya, selain komoditas lain seperti sutra, kapur barus, dan emas yang didatangkan dari daerah pedalaman. Bukan hanya perdagangan ekspor impor yang maju. Sebagai bandar dagang yang maju, Samudera Pasai mengeluarkan mata uang sebagai alat pembayaran. Salah satunya yang terbuat dari emas dikenal sebagai uang dirham.
Hubungan dagang dengan pedagang-pedagang Pulau Jawa juga terjalin. Produksi beras dari Jawa ditukar dengan lada. Pedagang-pedagang Jawa mendapat kedudukan yang istimewa di pelabuhan Samudera Pasai. Mereka dibebaskan dari pembayaran cukai.
Pasai merupakan kota dagang, mengandalkan lada sebagai komoditi andalannya, dalam catatan Ma Huan disebutkan 100 kati lada dijual dengan harga perak 1 tahil. Dalam perdagangan Kesultanan Pasai mengeluarkan koin emas sebagai alat transaksi pada masyarakatnya, mata uang ini disebut Deureuham (dirham) yang dibuat 70% emas murni dengan berat 0.60 gram, diameter 10 mm, mutu 17 karat.
Sementara masyarakat Pasai umumnya telah menanam padi di ladang, yang dipanen 2 kali setahun, serta memilki sapi perah untuk menghasilkan keju. Sedangkan rumah penduduknya memiliki tinggi rata-rata 2.5 meter yang disekat menjadi beberapa bilik, dengan lantai terbuat dari bilah-bilah kayu kelapa atau kayu pinang yang disusun dengan rotan, dan di atasnya dihamparkan tikar rotan atau pandan.
Agama dan Budaya
Kehidupan masyarakat Samudera Pasai diwarnai oleh agama dan kebudayaan Islam. Pemerintahnya bersifat Theokrasi (berdasarkan ajaran Islam) rakyatnya sebagian besar memeluk agama Islam, walau pengaruh Hindu dan Buddha juga turut mewarnai masyarakat ini. Dari catatan Ma Huan dan Tomé Pires, telah membandingkan dan menyebutkan bahwa sosial budaya masyarakat Pasai mirip dengan Malaka, seperti bahasa, maupun tradisi pada upacara kelahiran, perkawinan dan kematian. Kemungkinan kesamaan ini memudahkan penerimaan Islam di Malaka dan hubungan yang akrab ini dipererat oleh adanya pernikahan antara putri Pasai dengan raja Malaka sebagaimana diceritakan dalam Sulalatus Salatin.
Akhir pemerintahan
Menjelang masa-masa akhir pemerintahan Kesultanan Pasai, terjadi beberapa pertikaian di Pasai yang mengakibatkan perang saudara. Sulalatus Salatin menceritakan Sultan Pasai meminta bantuan kepada Sultan Melaka untuk meredam pemberontakan tersebut. Namun Kesultanan Pasai sendiri akhirnya runtuh setelah ditaklukkan oleh Portugal tahun 1521 yang sebelumnya telah menaklukan Melaka tahun 1511, dan kemudian tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh.