Manusia Sebagai Mahluk Bersifat Terbuka
Manusia dilahirkan ke dunia dengan mengemban suatu keharusan untuk menjadi manusia, ia diciptakan dalam susunan yang terbaik, dan dibekali berbagai potensi untuk dapat menjadi manusia. Namun demikian, dalam kenyataan hidupnya, perkembangan manusia bersifat terbuka atau mengandung berbagai kemungkinan. Manusia mungkin berkembang sesuai kodrat dan martabat kemanusiaannya atau mampu menjadi manusia, sebaliknya mungkin pula ia berkembang ke arah yang kurang sesuai atau bahkan tidak sesuai dengan kodat dan martabat kemanusiaannya.
Gehlen seorang pemikir Jerman mengemukakan hasil studi perbandingannya tentang perkembangan struktur dan fungsi tubuh manusia dengan binatang. Ia sampai pada kesimpulan yang sama dengan teori Retardasi dan Bolk, yaitu bahwa “pada saat kelahirannya taraf perkembangan manusia tidak lebih maju dari hewan, tetapi kurang maju daripada hewan yang paling dekat dengan manusia (primata) sekali pun. Manusia lahir prematur dan tidak mengenal spesialisasi seperti hewan. Ia adalah makhluk yang ditandai kekurangan” (C.A. van Peursen, 1982).
Kesimpulan Gehlen didukung oleh pernyataan Nietzsche yang menyebut, manusia sebagai das nicht festgestellte Tier, artinya sebagai hewan yang belum ditetapkan. Pada hewan terdapat adaptasi dan koordinasi yang langsung, sedangkan pada manusia terdapat kekosongan. Apa yang bagi hewan merupakan spesialisasi, bagi manusia merupakan kemungkinan yang terbuka (C.A. van Peursen, 1982).
Pernyataan di atas barangkali dapat kita pahami dengan contoh sebagai berikut: kerbau lahir sebagai anak kerbau, selanjutnya ia hidup sesuai kodrat dan martabat kekerbauannya (menjadi kerbau). Sebaliknya, manusia, ia lahir sebagai anak manusia, tetapi dalam kelanjutan hidupnya menjadi manusia adalah suatu kemungkinan, mungkin ia menjadi manusia, mungkin juga ia kuranng atau bahkan tidak menjadi manusia.
Jika dibandingkan dengan hewan, manusia sepertinya dilahirkan terlalu dini. Sebelum ia disiapkan dengan spesialisasi tertentu dan sebelum ia mampu menolong dirinya sendiri, ia sudah dilahirkan. Akibatnya:
- Berbeda dengan hewan, kelanjutan hidup manusia menunjukan keragaman. Ragam dalam hal kesehatannya, dalam dimensi kehidupan individualitasnya, sosialitasnya, keberbudayaannya, kesusilaanya, keberagamaannya.
- Oleh karena saat dilahirkan manusia belum mempunyai spesialisasi tertentu maka spesialisasinya itu harus diperoleh setelah ia lahir dalam perkembangan menuju kedewasaannya.
Anne Rollet menyatakan bahwa sampai tahun 1976 para etnolog telah mencatat kira-kira sekitar 60 anak-anak buas yang tersebar di seluruh dunia. Tidak diketahui bagaimana awalnya anak-anak tersebut hidup dan dipelihara oleh binatang. Ada yang hidup bersama atau dipelihara oleh serigala, kijang, kera. Anak-anak tersebut tidak berperilaku sebagaimana layaknya manusia.
Tidak berpakaian, agresif untuk menyerang dan menggigit, tidak dapat tertawa, ada yang tidak dapat berjalan tegak, tidak berbahasa sebagaimana manusia (Intisari, No.160 Tahun ke XIII, November 1976). Salah satu kasus serupa dikemukakan M.I. soelaeman (1988), mengemukakan suatu peristiwa yang dikenal dengan peristiwa manusia serigala:
Seorang pemburu menemukan di tengah-tengah hutan belantara dua orang anak sekitar 6 dan 7 tahun, ketika anak itu melihat pemburu, mereka lari…dengan kaki dan tangannya sembari mengeluarkan suara seperti meraung-raung. Mereka masuk gua, mencari perlindungan pada seekor serigala. Tapi akhirnya kedua anak itu berhasil ditangkap dan kemdian di bawa ke kota dan dijadikan bahan studi para ahli. Setelah melalui kesukaran, kedua anak itu dapat dididik kembali seperti biasa.
Dari peristiwa di atas kita dapat memahami bahwa kemampuan berjalan tegak di atas dua kaki, kemampuan berbicara dan kemampuan berperilaku yang lazim dilakukan manusia yang berkebudayaan, tidak dibawa manusia sejak kelahirannya. Demikian halnya dengan kesadaran akan tujuan hidupnya, kemampuan untuk hidup sesuai individualitas, sosalitasnya, tidak dibawa manusia sejak kelahirannya melainkan harus diperoleh manusia melalui belajar.
Manusia mendapat kemampuan untuk hidup sesuai individualitas, sosalitasnya, dari bantuan berupa bantuan pengajaran, bimbingan, latihan, dan kegiatan lainnya yang dapat dirangkumkan dalam istilah pendidikan. Bila sejak lahir perkembangan dan pengembangan hidup manusia hanya diserahkan kepada dirinya masing-masing tanpa dididik oleh orang lain, kemungkinan ia hanya akan hidup berdasarkan dorongan dari instingnya saja.
Sampai di sini dapat dipahami bahwa manusia belumlah selesai menjadi manusia, ia dibebani keharusan untuk menjadi manusia, tetapi ia tidak dengan sendirinya menjadi manusia, adapun untuk menjadi manusia ia memerlukan pendidikan atau harus dididik. Immanuel Kant mengatakan dalam teori pendidikannya “Man can become man trough education only” (Henderson, 1959).
Pernyataan tersebut sejalan dengan hasil studi M.J. Langeveld. Hingga sehubungan dengan kodrat manusia seperti dikemukakan di atas, Langeveld menyampaikan identitas kepada manusia dengan sebutan Animal Educandum.