Nilai Siri’ Na Pacce dalam Pandangan Falsafah Bugis Makassar

3 min read

Siri’ Na Pacce

Dalam budaya Sulawesi Selatan (Bugis, Makassar, Mandar dan Tana Toraja) ada sebuah istilah atau semacam jargon yang mencerminkan identititas serta watak orang Sulawesi Selatan, yaitu Siri’ Na Pacce. Secara lafdzhiyah Siri’ berarti : Rasa Malu (harga diri), sedangkan Pacce atau dalam bahasa Bugis disebu Pesse yang berarti : Pedih/Pedas (Keras, Kokoh pendirian). Jadi Pacce berarti semacam kecerdasan emosional untuk turut merasakan kepedihan atau kesusahan individu lain dalam komunitas (solidaritas dan empati).

Kata Siri’, dalam bahasa Makassar atau Bugis, bermakna “malu”. Sedangkan Pacce (Bugis: Pesse) dapat berarti “tidak tega” atau “kasihan” atau “iba”. Struktur Siri’ dalam Budaya Bugis atau Makassar mempunyai empat kategori, yaitu (1) Siri’ Ripakasiri’, (2) Siri’ Mappakasiri’siri’, (3) Siri’ Tappela’ Siri (Bugis: Teddeng Siri’), dan (4) Siri’ Mate Siri’.

Kemudian, guna melengkapi keempat struktur Siri’ tersebut maka Pacce atau Pesse menduduki satu tempat, sehingga membentuk suatu budaya (karakter) yang dikenal dengan sebutan Siri’ Na Pacce.

Budaya Siri’ Na Pacce merupakan salah satu falsafah budaya Masyarakat Bugis-Makassar yang harus dijunjung tinggi. Apabila siri’ na pacce tidak dimiliki seseorang, maka orang tersebut dapat melebihi tingkah laku binatang, sebab tidak memiliki rasa malu, harga diri, dan kepedulian sosial. Mereka juga hanya ingin menang sendiri dan memperturutkan hawa nafsunya. Istilah siri’ na pacce sebagai sistem nilai budaya sangat abstrak dan sulit untuk didefenisikan karena siri’ na pacce hanya bisa dirasakan oleh penganut budaya itu. Bagi masyarakat Bugis-Makassar, siri’ mengajarkan moralitas kesusilaan yang berupa anjuran, larangan, hak dan kewajiban yang mendominasi tindakan manusia untuk menjaga dan mempertahankan diri dan kehormatannya. Siri’ adalah rasa malu yang terurai dalam dimensi-dimensi harkat dan martabat manusia, siri’ adalah sesuatu yang ‘tabu’ bagi masyarakat Bugis-Makassar dalam berinteraksi dengan orang lain. Sedangkan, pacce mengajarkan rasa kesetiakawanan dan kepedulian sosial tanpa mementingkan diri sendiri dan golongan inil adalah salah satu konsep yang membuat suku Bugis-Makassar mampu bertahan dan disegani diperantauan, pacce merupakan sifat belas kasih dan perasaan menanggung beban dan penderitaan orang lain, kalau istilah dalam bahasa Indonesia “Ringan sama dijinjing berat sama dipikul”

Layaknya sebuah tradisi, maka secara turun temurun konsep nilai ini senantiasa akan menjadi pegangan serta pedoman dalam kehidupan masyarakat Bugis Makassar. Bilamana pada suatu generasi penafsirannya meleset, maka akan berdampak ke generasi berikutnya. Jika terjadi disintegrasi terhadap penafsiran tentang nilai Siri’ ini, maka tentunya akan berdampak kepada kelanjutan eksistensi falsafah kepada generasi yang akan datang, inilah yang menjadi salah satu kekhawatiran banyak pihak termasuk penulis sendiri, sehingga harus diluruskan agar kedepannya nilai falsafah ini tetap bisa menjadi pedoman, pegangan serta ciri khas masyarakat Bugis-Makassar.

Dasar falsafah hidup yang menjiwai dan menjadi pegangan masyarakat Bugis-Makassar untuk senantiasa hidup baik di negeri sendiri atau negeri orang lain adalah menjadi manusia yang perkasa dalam menjalani kehidupan. Setiap manusia keturunan Bugis-Makassar dituntut harus memiliki keberanian, pantang menyerah menghadapi tantangan ataupun ujian hidup. Itulah sebabnya maka setiap orang yang mengaku sebagai masyarakat Bugis-Makassar memiliki orientasi yang mampu menghadapi apapun.

Hakekat prinsip tersebut bersumber pada leluhur masyarakat Bugis-Makassar yang tersimpul dengan “duai temmallaiseng, tellui temmasarang” (dua bagian yang tak terpisahkan dan tiga bagian yang tak terceraikan).

Nilai siri’ dapat dipandang sebagai suatu konsep kultural yang memberikan implikasi terhadap segenap tingkah laku yang nyata. Tingkah laku itu dapat diamati sebagai pernyataan ataupun perwujudan kehidupan masyarakat Bugis-Makassar.

Apabila kita mengamati pernyataan nilai siri’ ini atau lebih konkritnya mengamati kejadian-kejadiannya berupa tindakan, perbuatan atau tingkah laku yang katanya dimotivasi oleh siri’, maka akan timbul kesan bahwa nilai siri’ itu pada bagian terbesar unsurnya dibangun oleh perasaan sentimental atau sejenisnya. Kemudian penafsiran yang berpijak kepada melihat kejadian-kejadian yang timbul akibat penafsiran siri’, misalnya: malu-malu, aib, iri hati, kehormatan dan harga diri, dan kesusilaan. Cara pandang seperti ini jelas merupakan sebuah cara pandang yang kurang lengkap terutama apabila hendak mengamatinya dari sudut konfigurasi kebudayaan. Sebab hal tersebut merupakan sebuah nilai yang bukan hanya sebuah nilai kebudayaan akan tetapi juga merupakan sebuah nilai/falsafah hidup manusia.

Kemudian, hakikat kebenaran dari falsafah inilah yang mulai surut dalam setiap tingkah laku maupun tindakan kolektif masyarakat Bugis-Makassar. Sebagai seorang masyarakat Sulawesi Selatan, penulis melihat, disintegrasi semacam ini sudah lama terjadi. Bagaimana rasa malu yang tidak ditempatkan pada tempat semestinya, mendahulukan rasa amarah ketimbang sikap rasional dalam memahami suatu permasalahan. Jika berkaca pada peristiwa-peristiwa yang terjadi di daerah ini, mulai dari demonstrasi yang selalu berakhir dengan kerusuhan, sampai kepada perilaku bermasyarakat yang mulai berujung kepada konflik. Distintegrasi seperti inilah yang kemudian berpotensi melahirkan ketidakstabilan dalam kehidupan sosial bermasyarakat di masa yang akan datang.

Apabila kita ingin mendalami makna siri’ dengan segenap permasalahannya, antara lain dapat diketahui dari lontara’ La Toa. Dimana dalam lontara ini berisi pesan-pesan dan nasehat-nasehat yang merupakn kumpulan petuah untuk dijadikan sebagai suri tauladan. Kata La Toa sendiri sejatinya memiliki arti petuah-petuah, dimana juga memiliki hubungan yang erat dengan peranan siri’ dalam pola hidup atau adat istiadat masyarakat Bugis-Makassar. Misalnya dapat dilihat pada beberapa point dalam lontara’ tersebut: Siri’ sebagai harga diri ataupun kehormatan, Mapappakasiri’ artinya menodai kehormatannya, Ritaroang Siri’ yang artinya ditegakkan kehormatannya, Passampo Siri’ yang artinya penutup malu, Siri’ sebagai perwujudan sikap tegas demi sebuah kehormatan hidup.

Kata siri’ dapat juga diartikan sebagai pernyataan sikap yang tidak serakah dan sebuah prinsip hidup masyarakat Bugis-Makassar. Ungkapan-ungkapan seperti : siri’ na ranreng (siri’ dipertaruhkan demi kehormatan), palaloi siri’nu (tegakkan siri’mu), tau de’ siri’na (orang tak memiliki malu tak memiliki harga diri) merupakan semboyan-semboyan falsafah hidup masyarakat Bugis-Makassar.

Dari aspek ontologi (wujud) budaya siri’ na pacce mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan pandangan islam dalam kerangka spiritualitas, dimana kekuatan jiwa dapat teraktualkan melalui penaklukan jiwa atas tubuh. Inti budaya siri’ na pacce mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat Bugis-Makassar, karena siri’ na pacce merupakan jati diri dari orang-orang Bugis-Makassar. Dengan adanya falsafah dan ideologi siri’ na pacce maka keterikatan antar sesama dan kesetiakawanan menjadi lebih kuat, baik dengan sesama suku maupun dengan suku yang lain. Konsep siri’ na pacce bukan hanya dianut oleh kedua suku ini (Bugis dan Makassar), tetapi juga dianut oleh suku-suku lain yang mendiami daratan Sulawesi seperti, suku Mandar dan Tator, hanya kosakata dan penyebutannya saja yang berbeda, tetapi falsafah ideologinya memilikii kesamaan dalam berinteraksi dengan sesama.
Ungkapan sikap masyarakat Bugis-Makassar yang termanifestasikan lewat kata-kata taro ada’ taro gau (satu kata satu perbuatan), merupakan tekad atau cita-cita dan janji yang telah diucapkan pastilah dipenuhi dan dibuktikan dalam perbuatan nyata. Hal tersebut juga sejalan dengan prinsip-prinsip abattireng ripolipukku (asal usul leluhur senantiasa di junjung tinggi, semuanya ku abadikan demi keagungan leluhurku).
Berdasarkan jenisnya siri’ terbagi yaitu:

Siri’ Nipakasiri’
Adalah Siri’ yang berhubungan dengan harga diri pribadi, serta harga diri atau harkat dan martabat keluarga. Siri’ jenis ini adalah sesuatu yang tabu dan pantang untuk dilanggar karena taruhannya adalah nyawa.

Laporan Praktikum Efek Fotolistrik

Efek Fotolistrik Bab I. Pendahuluan A. Latar Belakang Efek fotolistrik adalah fenomena terlepasnya elektron logam akibat disinari cahaya. Ditinjau dari perspektif sejarah, penemuan efek...
Ananda Dwi Putri
9 min read

Laporan Praktikum Tetes Minyak Milikan

Tetes Minyak Milikan Bab I. Pendahuluan A. Latar Belakang Elektron merupakan suatu dasar penyusun atom. Inti atom terdiri dari elektron (bermuatan negatif) dan proton...
Ahmad Dahlan
7 min read

Makalah Sifat Fantasi Dalam Tinjauan Psikologi

Sifat Fantasi Bab I. Pendahuluan Pada dasarnya psikologi mempersoalkan masalah aktivitas manusia. Baik yang dapat diamati maupun tidak secara umum aktivitas-aktivitas (dan penghayatan) itu...
Wahidah Rahmah
4 min read

Leave a Reply