Perkembangan suatu zaman ditandai dengan tingkat kemajuan ilmu pengetahuan yang dimiliki individunya. Sementera itu, ilmu pengetahuan tidak bias muncul dengan sendirinya. Manusia membutuhkan proses yang panjang untuk memperoleh suatu ilmu pengetahuan. Dilatari rasa ingintahu. Yang dalam perkembangannya rasa tersebut menjadi pendorong untuk mencari kebenaran dengan berbagai cara, baik secara rasional maupun empiris. Ketika ilmu tersebut sudah diketahui kebenarannya dan disepakati oleh masyarakat kebanyakan, maka yang terjadi adalah ilmu tersebut menjadi acuan individu dalam berpikir dan belajar.
Namun sebagai makhluk yang berpikir, kita seharusnya tidak hanya mempelajari ilmu dari isinya saja. Tetapi juga segala bentuk segi dari ilmu tersebut. Misalnya tentang apa definisi ilmu tersebut, bagaimana cara memperoleh suatu ilmu tersebut, sampai pada kegunaan ilmu tersebut bagi manusia. Hal-hal mengenai apa, bagaimana dan kegunaan tersebut itulah yang disebut problem-problem filsafat ilmu.
Problem-problem tersebut menjadi acuan para ilmuwan dan penelaah ilmu dalam memperoleh pengetahuan baru. Oleh sebab itu, mempelajari problem-problem filsafat ilmu dianggap penting dalam kehidupan manusia.
Daftar isi
Masalah Filsafat Ilmu
Pengertian Problem
Problem menurut definisi A Cornelius Bejamin ialah “suatu-situasi praktis atau teoritis yang untuk itu tidak ada jawaban lazim atau otomatis yang memadai dan yang oleh sebab itu memerlukan proses-proses refleksi”.
Objek-Objek Filsafat Ilmu
Sebelum mengulas tentang problem-problem filsafat ilmu, ada baiknya kita mengethuii terlebih dahulu objek-objek yang dipelajari dalam filsafat. Sebab, objek-objek inilah yang nantinya akan mengantarkan kita pada permasalahan / problem-problem filsafat ilmu.
Objek materia, yaitu mengenai segala yang ada dan yang mungkin ada. Objek materia terdiri dari permasalahan
- tentang Tuhan, yang sama sekali diluar atau di atas jangkauan manusia
- tentang alam , yang belum atau tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa
- tentang manusia, yang juga belum atau tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa
Objek forma, yaitu mencari keterangan sedalam-dalamnya sampai ke akar persoalan, sampai pada sebab-sebabnya dan mengapanya yang terakhir tentang obyek material filsafat, sepanjang mungkin yang ada pada akal budi manusia.[1]
C. Problem-Problem Filsafat Ilmu
Problem epistemologis (teori pengetahuan)
Secara linguistic kata “Epistemologi” berasal dari bahasa Yunani yaitu kata “Episteme” dengan arti pengetahuan dan kata “Logos” berarti teori, uraian, atau alasan. Epistemologi dapat diartikan sebagai teori tentang pengetahuan yang dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah theory of knowledge. Istilah epistemologi secara etimologis diartikan sebagai teori pengetahuan yang benar dan dalam bahasa Indonesia lazim disebut filsafat pengetahuan. Secara terminologi epistemologi adalah teori mengenai hakikat ilmu pengetahuan atau ilmu filsafat tentang pengetahuan.
Dari pengertian diatas dapat diperoleh suatu pengertian bahwa epistemology suatu ilmu adalah teori pengetahuan yang membahas berbagai segi dari ilmu. Objek material dari epistemology ilmu adalah pengetahuan / ilmu itu sendiri. Sedangkan objek formalnya antara lain bagaimana cara memperoleh ilmu tersebut, dari mana sumbernya, asal mulanya bagaimana.
Sebenarnya seseorang baru dapat dikatakan berpengetahuan apabila telah sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaan epistemologi artinya pertanyaan epistemologi dapat menggambarkan manusia mencintai pengetahuan. Hal ini menyebabkan eksistensi epistemologi sangat urgen untuk menggambar manusia berpengetahuan yaitu dengan jalan menjawab dan menyelesaikan masalah-masalah yang dipertanyakan dalam epistemologi. Makna pengetahuan dalam epistemologi adalah nilai tahu manusia tentang sesuatu sehingga ia dapat membedakan antara satu ilmu dengan ilmu lainnya. Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap yang dapat diketahui tentang sesuatu objek tertentu. Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung atau tak langsung turut memperkaya kehidupan manusia, sukar untuk dibayangkan bagaimana kehidupan manusia seandainya tidak ada pengetahuan sebab urgensi pengetahuan bagi berbagai pengetahuan yang muncul dalam kehidupan.[2]
Permasalahan-permasalahan yang menjadi fokus pembicaraan epistimologi adalah asal-usul pengetahuan, peran pengalaman dan akal dalam pengetahuan, hubungan antara pengetahuan dan kebenaran, dan sebagainya. Dalam epistimologi, pengetahuan merupakan suatu aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan kebenaran.
Adapun pertanyaan-pertanyaan tentang epistemology yang biasanya ditelaah dalam suatu kajian ilmu meliputi hal-hal sebagai berikut :
Apa pengertian / definisi dari suatu ilmu?
Sebutkan jenis dan penggolongan ilmu tersebut!
Apa dimensi / ruang lingkup ilmu tersebut?
Bagaimana struktur dari suatu ilmu?
Bagaimana asal mula terbentuknya suatu ilmu?
Apa saja kemungkinan yang terjadi seputar terbentuknya ilmu?
Apa saja asumsi dan landasan yang melatari suatu ilmu?
Bagaimana validitas dan reliabilitas isi ilmu tersebut?
- Problem metafisis (teori mengenai apa yang ada)
Metafisika berasal dari bahasa Yunani, yaitu meta ta physika yang berarti segala sesuatu yang berada di balik hal-hal yang sifatnya fisik. Metafisika sendiri dapat diartikan sebagai cabang filsafat yang paling utama, yang membicarakan mengenai eksistensi (keberadaan) dan esensi (hakekat). Oleh karena itu, metafisika lebih mempelajari sesuatu atau pemikiran tentang sifat yang terdalam (ultimate nature) dari kenyataan atau keberadaan. Menurut Wolff, metafisika dapat diklasifikasikan ke dalam 2 kategori, yaitu :
Metafisika Umum (Ontologi), yaitu metafisika yang membicarakan tentang “Ada” (Being).
Metafisika Khusus, yaitu metafisika yang membicarakan sesuatu yang sifatnya khusus. Dalam metafisika khusus ini, Wolff membagi ke dalam 3 (tiga) kategori :
i. Psikologi, yang membahas mengenai hakekat manusia
ii. Kosmologi, yang membahas mengenai alam semesta
iii. Theologi, yang membahas mengenai tuhan[3]
Dalam buku Pengantar Filsafat Ilmu, Liang Gie mengungkapkan, metafisika belakangan ini dipandang sebagai teori mengenai apa yang ada. Perkembangan sesuatu ilmu sesungguhnya bertumpu pada sesuatu landasan ontologism tertentu. adalah teori yang mengenai apa yang ada. Segi filsafat ilmu ini mempersoalkan misalnya eksistensi dari entitas-entitas dalam suatu ilmu khusus atau status dari kebenaran ilmu.[4]
Secara spesifik problem-problem tentang metafisika suatu ilmu dicontohkan dalam pertanyaan berikut :
Obyek apa yang ditelaah ilmu?
Bagaimana wujud hakiki dari objek tersebut?
Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tang kap manusia (seperti berpikir, merasa dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan?
Tiga contoh pertanyaan diatas bias juga disebut landasan ontologism. Ontologism merupakan cabang filsafat yang membahas tentang hakikat.[5] Persoalan hakikat suatu ilmu nantinya akan merujuk pada realita atau kenyataan. Yang selanjutnya menjurus pada masalah kebnaran. Kebenaran akan timbul bila orang telah dapat menarik kesimpulan bahwa pengetahuan/ ilmu yang dimilikinya telah nyata.
- Problem metodologis (studi tentang metode)
Problem-problem metodologis secara tegas disebutkan oleh D.W. Theobald sebagai salah satu dari problem filsafat ilmu. Menurutnya, problem=problem itu menyangkut struktur pernyataan ilmiah dan hubungan- hubungan diantara mereka (the structure of scientiece statements and the relations between them). Misalnya analisis probabilitas, peranan kesederhanaan dalam ilmu, realitas dari entitas teoritis, dalil ilmiah, sifat dasar penjelasan, dan hubungna antara pejelasan dan peramalan.[6]
Metodologi merupakan penelaahan terhadap metode yang khusus dipergunakan dalam suatu ilmu. Kokohnya metode menentukan validitas dan reliabilitas dari suatu ilmu.
Contoh pertanyaan yang mengacu pada problem-problem metodologis suatu ilmu adalah:
Metode apa saja yang dipakai untuk mendapatkan suatu ilmu?
Bagaimana proses yang memungkinkan ditibanya suatu ilmu?
Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapat pengetahuan yang benar?
Sarana apa yang membantu kita mendapat suatu ilmu?
Salah satu ilmu yang menarik secara metodologisnya adalh matematika. Menurut Alfred Tarski, bidang studi ini dikenal dengan sebutan yang berkali-kali berubah. Semula methodology of deductive science (metodologi ilmu deduktif), emudian diganti dengan theory of proof (teori pembuktian), selanjutnya metelogic and meta-mathematics (adi-logika dan adi-matematika).
- Problem logika (teori penyimpulan)
Penalaran merupakan suatu proses berpikir yang membuahkan pengetahuan. Agar pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar kebenaran maka proses berpikir itu harus dilakukan suatu cara tertentu. Suatu penarikan kesimpulan baru dianggap sahih (valid) kalau proses penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara tertentu tersebut. Cara penarikan kesimpulan ini disebut logika.
Dimana logika secara luas didefinisikan sebagai pengkajian untuk berpikir secara sahih.[7] Dengan demikian struktur logis dari suatu ilmu mensyaratkan agar suatu ilmu dalam penyimpulannya tunduk pada kaidah-kaidah logika yaitu terbentuknya suatu teori yang sahih.
Contoh pertanyaan tentangproblem logis filsafat ilmu anatar lain:
Apakah esensi sesuatu ilmu sesuai dengan nalar
Apakah penyimpulan suatu ilmu sudah sesuai kaidah logika?
- Problem etika (teori moralitas)
Etika disebut juga filsafat moral (moral philosophy), yang berasal dari kata ethos (Yunani) yang berarti watak. Moral berasal dari kata mos atau mores (Latin) yang artinya kebiasaan. Dalam bahasa Indonesia istilah moral atau etika diartikan kesusilaan.. Dalam etika, obyek materialnya adalah perilaku manusia yang dilakukan secara sadar. Sedangkan obyek formalnya adalah pengertian mengenai baik atau buruk, bermoral atau tidak bermoral dari suatu perilaku manusia.
Problem estetika termasuk dalam pembahasan landasan aksiologi (filsafat nilai). Dengan mempelajari nilai estetis dari suatu ilmu, kita dapat menyadari tentang perbuatan-perbuatan manusia mana yang baik dan buruk berdasar ukuran kesusilaan.
Walter Weimer, ahli filsuf mengemukakan salah satu problem filsafat ilmu adalh mengenai kejujuran intelektual (the problem of intellectual honesty). Problem ini menyangkut perilaku senyatanya daripara ilmuwan dengan teori yang mereka anut.
Begitupun dengan Philip Weiner. Menurutnya, para filsuf ilmu dewasa ini juga membahas problem yang menyangkut hubungan ilmu-ilmu yang sedang tumbuh dengan tahap-tahap lain dari peradaban, yaitu kesusilaan, politik, seni dan agama.
Problem-problem etika yang sering ditanyakan antara lain:
Apakah ilmu tersebut bermanfaat?
Apakah ilmu tersebut berguna daam membentuk pribadi manusia yang baik?
Bagaimana kaitan antara ilmu dengan norma-norma moral?
Nilai-nilai bagaimanakah yang dikehendaki oleh manusia dan yang dapat digunakan sebagai dasar hidupnya?
- Problem estetika (teori keindahan)
Estetika disebut juga dengan filsafat keindahan (philosophy of beauty), yang berasal dari kata aisthetika atau aisthesis (Yunani) yang artinya hal-hal yang dapat dicerap dengan indera atau cerapan indera. Estetika membahas hal yang berkaitan dengan refleksi kritis terhadap nilai-nilai atas sesuatu yang disebut indah atau tidak indah.
Problem estetis yang menyangkut ilmu pada dasawarsa terakhir ini mulai menjadi topic perbincangan oleh sebgaian filsuf dan ilmuwan. Dalam tahun 1980 didakan sebuah konferensi para ahli yang membahas dimensi estetis dari ilmu. Antara lain dalam pertemuan itu disajikanuraian yang berjudul “science the search for the hidden beauty of the world” (ilmu sebagai pencarian terhadap keindahan yang tersembunyi dari dunia) oleh seorang filsuf terkemuka Charles Hartshorne.[8]
Salah satu cabang ilmu yang dipelajari estetikanya adalah matematika. Tidak jarang matematika dipandang sebagai seni. Karena merupakan karya seni, matematika pada dirinya mengandung keindahan.
Menurut ahli matematika Morris Kline, matematika yang baik harus memnuhi salah satu dari tiga ukuran. Yaitu kegunaan langsungnya, kegunaan potensial dan keindahan.[9]
Contoh problem mengenai sifat estetis suatu ilmu antara lain:
Dimana letak keindahan suatu ilmu?
Apakah ukuran keindahan suatu ilmu?