Daftar isi
Sejarah Pola Hunia Manusia Purba
Bab I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Pada dasarnya Manusia purba sudah bisa membuat pola hidup dan pola huni, meskipun masih sangat primitip namun mereka dapat mempertahankan hidupnya dengan beberapa cara yang dilakukan, baik dengan nomaden atau sedenter. Lingkungan sekitar merupakan salah satu faktor utama menentukan manusia purba untuk memilih tempat hidup. Oleh sebab itu, manusia purba memperhatikan kondisi lingkungan serta penguasaan terhadap teknologi. Pada saat itu Manusia purba selalu berusaha untuk menjadikan sesuatu menjadi lebih baik perubahan-perubahan sebagaimana telah ditemukan di beberapa tempat oleh arkeolog membuktikan bahwa pada saat itu manusia purba mulai menggunakan akal untuk melangsungkan hidupnya diantaranya dengan pola huni dan alat-alat perkakas. Beberapa hal yang membentuk pola huni adalah tempat yang memiliki beberapa variabel yang berhubungan dengan kondisi lingkungan antara lain :
- Tersedianya kebutuhan air yang cukup
- Adanya tempat berteduh
- Kondisi tanah yang tidak terlalu lembab, dan
- Tersedianya sumber makanan
B. Rumusan Masalah
- Bagaimana Sejarah pola huni pada masa Manusia Purba?
- Bagaimana Sejarah manusia menemukan api?
- Bagaimana Pola Manusia Purba mempertahankan hidupnya?
Bab II. Pembahasan
A. Pengertian Pola Hunian
Semenjak masa Mesolithikum (batu tengah) atau masa berburu Manusia telah mengenal tempat tinggal atau menetap. Sebelum itu Manusia tidak mengenal tempat tinggal dan hidup nomaden (berpindah-pindah). Setelahnya mengenal tempat tinggal mereka mulai bercocok tanam dengan menggunakan alat-alat sederhana yang terbuat dari batu, tulang binatang ataupun kayu. Pada tahun 1925 Von Stein Callenfels melakukan penelitian di sepanjang pantai Sumatra Timur antara Langsa di Aceh sampai Medan, terdapat tumpukan atau timbunan sampah kulit kerang dan siput yang disebut kjokkenmoddinger (kjokken = dapur , modding = sampah). di tumpukan sampah itu ia beberapa jenis alat yang digunakan oleh manusia purba berupa kapak genggam yang disebut pebble ( Kapak Sumatra) dan anak panah atau mata tombak yang diperkirakan alat ini digunakan untuk oleh manusia purba untuk menangkap ikan. Pada tahun 1928 sampai dengan 1931, Von Stein Callenfels melakukan penelitian di Gua Lawa dekat Sampung, Ponorogo. Di situ dapat ditemukan kebudayaan abris sous roche, yakni kebudayaan yang merupakan hasil dari peninggalan manusia purba. Beberapa hasil temuan berupa alat-alat yang digunakan oleh manusia purba adalah ujung panah, flake, batu penggiling, selain itu juga ditemukan beberapa alat yang terbuat dari tanduk rusa. Kebudayaan Abris sous roche ini banyak ditemukan di Besuki, Bojonegor, juga di daerah Sulawesi Selatan seperti di Lamoncong.
Pola hunian manusia purba memiliki dua karakter khas, yakni:
I. Kedekatan dengan Sumber Air
Air adalah salah satu kebutuhan pokok makhluk hidup. Keberadaan air pada suatu lingkungan mengundang hadirnya berbagai makhluk untuk hidup di sekitarnya tak terkecuali manusia purba pada saat itu. Jadi air adalah faktor utama bagi manusia purba membuat pola hunian. Pola hunian manusia purba dapat dilihat dari letak geografis situs-situs serta kondisi lingkungan, beberapa contoh yang menunjukkan pola hunian seperti itu adalah situs-situs purba disepanjang aliran sungai bengawan solo (sangiran, sambung macan, ngawi, trinil, dan ngandon), merupakan contoh dari adanya kecenderungan hidup di pinggir sungai.
II. Kehidupan di Alam Terbuka
Ketersediaan air seperti adanya sungai membuat Manusia purba cenderung hidup untuk menghuni sekitar aliran sungai tersebut. Mereka membuat tempat berteduh di bawah pohon rindang dengan membuat atap dan sekat menggunakan dedaunan. Kehidupan ini dapat menunjukkan pola huni di alam terbuka.
Kecenderungan terhadap lingkungan yang menyesuaikan dengan kebutuhan baik air maupun makanan membuat manusia purba terbagi menjadi dua sifat pola hunian yakni Nomaden dan Sedenter.
1. Nomaden
Pola hunian nomaden adalah pola hidup manusia purba dengan cara berpindah-pindah atau menjelajah. Mata pencaharian mereka adalah dengan melakukan berburu dan mengumpulkan makanan dari alam (Food Gathering) Mereka hidup dalam komunitas-kuminatas kecil.
2. Sedenter
Pola hunian Sedenter adalah pola hidup menetap, pola hidup ini merupakan pola hidup terorganisir dan berkelompok serta menetap di suatu tempat. Mata pencaharian mereka adalah dengan cara bercocok tanam serta sudah mulai mengenal norma dan adat yang bersumber pada kebiasaan-kebiasaan.
Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan, mereka telah mulai lebih lama tinggal di suatu tempat. Ada kelompok-kelompok yang bertempat tinggal di pedalaman, ada pula yang tinggal di daerah pantai. Mereka yang bertempat tinggal di pedalaman, biasanya bertempat tinggal di dalam gua-gua atau ceruk peneduh (rock shelter) yang suatu saat akan ditinggalkan apabila sumber makanan di sekitarnya habis.
B. Mulai Mengenal Api
Pertama kali api dikenal adalah pada zaman manusia purba yang secara tidak sengaja mereka melihat sambaran petir yang menyambar sebuah pohon hingga pohon itu terbakar. Dan itu membuktikan data arkeologi yang memperkirakan tentang penemuan api pada 400.000 tahun yang lalu yakni pada jaman manusia purba.
Proses penemuan api ini bukan waktu yang singkat membutuhkan waktu yang cukup lama dengan menggunakan proses trial and error atau sebuah percobaan dengan tidak ada panduan. Setelah mengalami banyak kegagalan akhirnya mereka pun mendapatkan cara untuk membuat api, yakni dengan membenturkan dua buah batu yang dapat membuat percikan api atau dengan menggesekkan dua buah kayu sehingga akan menimbulkan panas dan menjadikan percikan api yang kemudian bisa gunakan untuk membuat sebuah api.
Sumber panas yang dikeluarkan dari api manusia purba mulai mengenal teknologi yakni menggunakan api sebagai alat untuk memasak makanan dengan cara membakar dan menggunakan bumbu dengan ramuan tertentu. Selain itu api juga digunakan untuk menghangatkan badan, kemudian menjadi sumber penerangan, dan sebagai senjata untuk menghalau binatang buas yang menyerang. Api juga pada saat itu digunakan untuk membuka lahan pertanian dengan cara membakar hutan dan mengolah menjadi lahan pertanian.
C. Perubahan Sistem Hidup Berburu-Meramu ke Bercocok Tanam
Kegiatan bercocok tanam dilakukan ketika mereka mulai bertempat tinggal, walaupun bersifat masih sementara. Awalnya, mereka melihat biji-bijian sisa dari makanan yang tumbuh di tanah setelah tersiram air hujan. Hal itulah yang kemudian mendorong manusia purba untuk bercocok tanam peralihan zaman Mesolithikum ke Neolithikum menandakan adanya revolusi kebudayaan dari food gathering menjadi food producing dengan Homo sapien sebagai pendukungnya..
Pada waktu ke waktu kegiatan bercocok tanam pun ada kemajuan dalam penggunaan alat pokoknya adalah kapak persegi dan kapak lonjong kemudian berkembang ke alat lain yang lebih baik. Dengan membukanya lahan dan ketersedianya air yang cukup, maka mereka pun membuat pertanian berupa persawahan. Hal ini berkembang karena saat itu, yakni sekitar tahun 2000 – 1500 SM ketika mulai terjadi perpindahan orang-orang dari rumpun bangsa Austronesia dari Yunnan ke Kepulauan Indonesia. Seiring kedatangan orang-orang dari Yunnan, maka kegiatan pelayaran bahkan dalam waktu singkat kegiatan perdangan dengan sistem barter mulai berkembang.
Maluku Utara merupakan pintu masuk manusia purba sejak jaman Pleistosen Akhir. Dari situ kemudian menyebar ke selatan sampai NTT, ke barat sampai Sulawesi dan ke timur sampai Kepulaun Pasifik. Salah satu Bukti yang menunjukan peninggalan manusia purba di Maluku Utara adalah adanya gua-gua hunian masa prasejarah (rock shelter) yang tersebar di Morotai, Halmahera Selatan dan Pulau Gebe. Penelitian oleh Bellwood membuktikan bahwa gua-gua di daerah Morotai Selatan (Tanjung Pinang dan Daeo) sudah dihuni manusia purba sejak 14.000 tahun yang lalu. Pada gua Tanjung Pinang bahkan ditemukan juga rangka manusia purba. Pada situs pulau Gebe dan gua Siti Nafisah di Halmahera Selatan ditemukan bekas-bekas kegiatan manusia sejak masa pra tembikar.
Situs Daeo dan Tanjung Pinang
Berdasarkan penelitian Bellwood, situs gua hunian Daeo dan Tanjung Pinang sudah dihuni sejak 14.000 tahun lalu. Bahkan pada masa belakangan situs-situs tersebut masih digunakan oleh manusia purba. Berdasarkan temuan rangka manusia di Gua Tanjung Pinang, diketahui manusia penghuni gua Tanjung Pinang berasal dari ras Austro Melanesia Desa Daeo secara administratif terletak di wilayah kecamatan Morotai Selatan, dan berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik. Mata pencaharian utama penduduk adalah bertani dan sebagian nelayan, pola pemukiman hunian penduduk desa berjejer di sepanjang pantai di tempat yang landai. Secara topografi letak desa berada tepat di pinggir pantai, namun di belakang pemukiman penduduk terletak perbukitan kapur dengan ketinggian 15 – 50 m di atas permukaan laut. Pada deretan perbukitan kapur inilah terdapat ceruk-ceruk gua yang diperkirakan dihuni oleh manusia pra sejarah. Sedangkan ceruk peneduh Tanjung Pinang terletak sekitar 2 km sebelah selatan desa Daeo. Selain di daerah perbukitan di pinggir pantai juga terdapat sebuah ceruk hunian yang agak besar, dibanding yang terletak di daerah perbukitan.
Dilihat dari penggunaannya gua hunian prasejarah dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu.
a. Sebagai tempat tinggal
Ceruk payung peneduh (rock shelter) dan gua sering digunakan oleh manusia purba untuk tempat berlindung dari gangguan iklim, cuaca (angin, hujan dan panas) juga gangguan dari serangan binatang buas atau bahkan serangan dari kelompok manusia yang lain.
b. Sebagai kuburan
Selain sebagai tempat tinggal, gua hunian juga digunakan sebagai kuburan. Posisi penguburan dalam gua biasanya dalam keadaan terlipat yang menurut pendapat para ahli merupakan posisi pada waktu bayi pada saat dalam rahim. Penguburan manusia dalam gua pada awalnya sangat sederhana sekali berupa penguburan langsung (primair burial), dengan posisi mayat terlentang atau terlipat dengan ditaburi warna merah (oker). Bukti penguburan tertua dalam gua dapat ditemukan pada situs Gua Lawa di Sampung, Jawa Timur.
c. Sebagai lokasi kegiatan industri alat batu
Selain sebagai tempat hunian dan kuburan, gua juga digunakan sebagai tempat kegiatan pembuatan alat-alat batu atau perbengkelan. Banyak situs gua-gua prasejarah yang ditemukan adanya alat-alat batu dan sisa-sisa pembuatannya. Dalam hal ini bekas-bekas pengerjaan yang masih tersisa berupa serpihan batu yang merupakan pecahan batu inti sebagai bahan dasar alat batu. Situs perbengkelan ini banyak terdapat di pegunungan Seribu Jawa (daerah Pacitan), dan juga di Sulawesi Selatan. Salah satu situs yang banyak meninggalkan sisa alat batu adalah situs yang terdapat di Gunung (Pacitan) yang merupakan sentra pembuatan kapak perimbas yang kemudian lebih dikenal dengan istilah chopper chopping tool kompleks.
Dari uraian di atas, dan berdasarkan temuan peninggalan yang ada dapat diketahui fungsi dari gua hunian di Tanjung Pinang dan Daeo. Gua peneduh Tanjung Pinang dan Daeo merupakan situs tempat tinggal (hunian) yang menyatu dengan kuburan, hal ini dapat dilihat dari adanya temuan sisa-sisa aktifitas manusia dan temuan tulang manusia yang berasal dari ras Austro Melanesoid. Penguburan yang dilakukan di Tanjung Pinang adalah penguburan tidak langsung, posisi mayat ditemukan dalam wadah yang berupa tembikar. Temuan sisa aktifitas manusia masa lalu situs Tanjung Pinang dan Daeo adalah adanya sisa pembakaran dan sisa sampah dapur (kulit kerang dan siput yang merupakan makanan manusia penghuni gua).
BAB III
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan :
- Pola hunian manusia purba terbagi menjadi dua bagian yakni nomaden dan sedenter
- Pola kehidupan manusia purba memiliki 2 karakter khas yaitu kedekatan dengan sumber air dan kehidupan di alam terbuka
- Berdasarkan data arkeologi, api kira-kira ditemukan pada 400.000 tahun yang lalu pada periode manusia homo erectus
- Api ditemukan dengan prinsip trial and error oleh manusia purba
- Peralihan zaman Mesolithikum ke Neolithikum menandakan adanya revolusi kebudayaan dari food gathering menuju food producing dengang Homo sapien
- Kedatangan Rumpun Austronesia dari Yunnan ke Indonesia, mengenalkan pada rakyat indonesia cara berlayar, bertani, berdagang, dengan cara barter
- Fungsi gua hunian pada masa pra-aksara berdasarkan situs Daeo dan Tanjung Pinang ada 3 yakni, sebagai tempat tinggal, kuburan, dan tempat produksi alat batu
Saran :
Kita harus menjaga dan menyimpan peninggalan-peninggalan zaman dahulu dengan baik agar anak cucu kita juga bisa mempelajari dan melihatnya. Makalah ini merupakan resume dari berbagai sumber, untuk lebih mendalami isi makalah dapat dibaca dalam website rujukan yang tercantum dalam daftar pustaka. Selanjutnya, penulis menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya pada pembaca apabila terdapat kesalahan dalam penulisan ataupun kekeliruan dalam penyusunan makalah ini. Untuk itu, saran dan kritikan dari pembaca sangat diharapkan demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, semoga makalah ini bisa menambah wawasan dan pengetahuan kita terutama mengenai Sejarah manusia purba.
SUMBER : http://pengetetahuan.blogspot.co.id/2016/01/makalah-tentang-sejarah-pola-hunian.html
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.