Perkembangan Stilistika Di dalam ilmu bahasa dikenal namanya Stilistika, Style sebagai sebuah hal yang memiliki banyak definisi yang berbeda dan tidak dapat hanya diletakkan pada sebuah wilayah cakupan tertentu (spesifik) tentu secara cukup gamblang memberikan pemahaman bahwa stilistika (yang terbangun atasnya) berpotensi sangat besar untuk tidak hanya hadir dalam sebuah wilayah dan satu definisi khusus, bahkan ketika ia dimasukkan dalam khasanah sastra yang mengguunakan bahasa.
Daftar isi
Perkembangan Stilistika
Bab I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Penelitian karya sastra pada waktu sekarang banyak ditunjukan pada penerangan struktur pencitraanya: tema, alur, penokohan, latar, dan pusat pengisahan. Akan tetapi, pennelitian gaya bahasa yang merupakan salah satu sarana kasusastran yang sangat penting, masih sangat sedikit. Gaya bahasa merupakan sarana sastra yang turut menyumbangkan nilai kepuitisan atau estetik karya sastra, bahkan seringkali nilai seni suatu karya sastra ditentukan oleh gaya bahasanya (Pradopo, 2000: 263).
Sebagai suatu sistem, sastra merupakan suatu kebulatan dalam arti dapat dilihat dari berbagai sisi. Diantaranya adalah sisi bahan. Ellis (dalam Jabrohim, 2001: 11) mengemukakan tentang konsep sastra bahwa (teks) sastra tidak ditentukan oleh bentuk strukturnya tetapi oleh bahasa yang digunakan dalam macam cara tertentu oleh masyarakat. Ini menunjukan pengertian bahwa bahasa yang dipakai mengadung fungsi yang lebih umum dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Di dalam ilmu bahasa dikenal namanya Stilistika, Style sebagai sebuah hal yang memiliki banyak definisi yang berbeda dan tidak dapat hanya diletakkan pada sebuah wilayah cakupan tertentu (spesifik) tentu secara cukup gamblang memberikan pemahaman bahwa stilistika (yang terbangun atasnya) berpotensi sangat besar untuk tidak hanya hadir dalam sebuah wilayah dan satu definisi khusus, bahkan ketika ia dimasukkan dalam khasanah sastra yang mengguunakan bahasa. Stilistika verbal yang dekat dengan kebahasaan juga oleh beberapa ahli mendapat definisi khusus sebagai linguistic stylstics yang dicetuskan pertama kali oleh Firth (1957), dan kemudian dilanjutkan oleh Halliday (1964).
Oleh karena itu, dalam makalah ini saya akan membahas tentang bagaimana hakikat stilistika dan perkembangannya.
1.2.Rumusan masalah
1. Apakah hakikat stilistika?
2. Bagaimana perkembangan stilistika?
1.3.Tujuan
1. Untuk mengetahui hakikat stilistika?
2. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan stilistika
Bab II. Pembahasan
A. Hakikat Stilistika
Stilistika (stylistic) adalah ilmu tentang gaya, sedangkan stil (syle) secara umum sebagaimana akan dibicarakan secara lebih luas pada bagian berikut adalah cara-cara yang khas, bagaimana segala sesuatu diungkapkan dengan cara tertentu, shingga tujuan yang dimaksudkan dapat dicapai secara maksimal.
Dalam hubungannya dengan kedua istilah diatas perlu disebutkan istilah lain yang seolah-olah memperoleh perhatian tetapi sesungguhnya dalam proses analisis memegng peranan penting yaitu majas. Majas diterjemahkan dari kata trope (Yunani),
figure of speech (Inggris), berarti persamaan atau kiasan. Jenis majas sangat banyak, seperti : Hiperbola, Paradoks, sarkasme, inversi, dan sebagainya. Tetapi, pada umumnya dibedakan menjadi empat kelompok, yaitu : Majas Penegasan, majas perbandingan, pertentangan, dan majas sindiran. Majas inilah yang paling banyak dikenal, baik dalam masyarakat pada umumnya maupun dalam bidang pendidikan.
Perkembangan stilistika di Indonesia sangat lambat bahkan hampir tidak mengalami kemajuan. Penelitian tentang stilistika pada umumnya terbatas sebagai sub bagian dalam sebuah buku teks atau dalam skripsi dan tesis. Kualitas penelitianpun terbatas sebagai semata-mata deskripsi pemakaian bahasa yang khas, sebagai gaya bahasa. Oleh karena itu sampai saat ini belum ada buku yang secara khusus membahas stilistika. Sebagai contoh untuk menelusuri sejarah perkembangan stilistika di Indonesia, maka dicoba menelusuri buku-buku yang dapat diimplikasikan baik terhadap gaya bahasa maupun stilistika itu sendiri.
Buku pertama berkaitan dengan gaya bahasa ditulis oleh Slametmuljana. Meskipun tidak secara eksplisit menyebutkan gaya bahasa dan stilistika, tetapi dikaitkan dengan judulnya Peristiwa Bahasa dan Peristiwa Sastra (1956) dapatlah disebutkan bahwa buku tersebut mengawali studi stilistika di Indonesia. Sebagian besar pembicaraan yang dilakukan berkaitan dengan Bahasa Sastra, khususnya puisi (yang disebut kata ‘berjiwa’), bahasa kontekstual, yang di bedakan dengan bahasa kamus (bahasa dengan arti tetap), sebagai bahasa bebas konteks. Menurut Slametmuljana, perkembangan mengenai kata-kata berjiwa inilah yang disebut sebagai stilistika. Bahasa adalah alat untuk mewujudkan pengalaman jiwa yaitu cita dan rasa ke dalam rangkaian bentuk kata yang tepat dan dengan sendirinya sesuai tujuan pengarang. Teeuw dalam bukunya yang berjudul Tergantung pada Kata (1980) menganalisis sepuluh puisi dari sepuluh penyair terkenal, sehingga dapat mewakili ciri-ciri pemakaian bahasa pada masing-masing puisi sekaligus mewakili kekhasan personalitas pengarangnya. Menurut Teeuw, melalui karya-karya Chairil Anwarlah terjadi revolusi total dlam bahasa, dengan cara mendekonstruksi sistem sastra lama yang didiominasi oleh berbagai ikatan, sehingga menjadi baru sama sekali.
Panuti Sudjiman dalam bukunya yang berjudul Bunga Rampai Stilistika (1993), secara jelas telah menyinggung makna stilistika itu sendiri, yaitu mengkaji ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra. Dengan singkat stilistika mengkaji fungsi puitika suatu bahasa. Sesuai dengan judulnya, sebagai bunga rampai pembicaraan stilistika dibicarakan dalam empat bab dari keseluruhan buku yang terdiri atas delapan bab. Menurut Sudjiman, stilistika menjembatani analisis bahasa dan sastra.
Analisis terhadap “gaya” atau “style” sastra telah mulai diterapkan sejak tahun 1950-an. Sastra tidak lagi bicara kaidah tetapi lebih pada perkembangan, khususnya pada gaya. Perbedaan dan perdebatan yang masih terjadi mengenai apakah sebuah karya adalah bagian dari sastra atau bukan bisa jadi bersumber dari perbedaan interpretasi masing-masing ahli sastra (baca; pembaca karya sastra) terhadap sastra, sebuah hal yang merupakan salah satu hal istimewa dari sebuah karya sastra sehingga definisi mengenai stilistika yang sesungguhnya sebenarnya sama sekali belum terhenti pada konsep stilistika verbal seperti pendapat Lecerle (1993) yang menganggap bahwa sebenarnya tidak ada seorang pun (ahli sastra) yang benar-benar mengetahui maksud istilah stilistika. Style, sebagai hal yang mendasari lahirnya teori stilistika sendiri hingga sekarang pun belum selesai didefinisikan. Ackerman melalui McIntosh (1998: 221) menyatakan, “Style” is a word that surfaces when we are talking about different means to a single end. Style, like ‘character’, is a construct; it has no “objective correlative” (McIntosh, 1998: 221). Sementara Missikova (2003) menyebut bahwa meskipun istilah style sangat banyak dipakai dalam kritik sastra oleh para ahli sastra, style sendiri masih merupakan hal yang sulit didefinisikan.
Style sebagai sebuah hal yang memiliki banyak definisi yang berbeda dan tidak dapat hanya diletakkan pada sebuah wilayah cakupan tertentu (spesifik) tentu secara cukup gamblang memberikan pemahaman bahwa stilistika (yang terbangun atasnya) berpotensi sangat besar untuk tidak hanya hadir dalam sebuah wilayah dan satu definisi khusus, bahkan ketika ia dimasukkan dalam khasanah sastra yang mengguunakan bahasa. Stilistika verbal yang dekat dengan kebahasaan juga oleh beberapa ahli mendapat definisi khusus sebagai linguistic stylstics yang dicetuskan pertama kali oleh Firth (1957), dan kemudian dilanjutkan oleh Halliday (1964).
Perkembangan zaman yang begitu cepat karena adanya teknologi informasi seringkali menjadikan karya sastra dan sastra jauh meninggalkan para analis dan kritikus sastra. Perubahan dan perkembangan sastra yang sedemikian cepat seakan jauh meninggalkan para ahli sastra untuk menganalisisnya. Ketika sebuah karya sastra dengan genre atau bentuk atau jenis baru muncul, ahli sastra yang mendapatinya akan mengemukakan sebuah gagasan (teori) untuk mewadahi bentuk baru yang belum ada tersebut. Akan tetapi menciptakan sebuah teori tentu jauh lebih lama dan rumit daripada sekedar menciptakan sebuah karya sastra jenis baru yang mungkin dianggap menyimpang. Sehingga yang kemudian terjadi adalah ketika para ahli sastra sedang merancang dan mendiskusikan sebuah teori baru untuk menaungi satu karya sastra yang baru mereka temui, belasan, atau mungkin puluhan bentuk dan jenis karya sastra baru sudah membanjiri masyarakat.
Sebelum mengalami perkembangan dan perluasan seperti pada masa kini, stilistika sebagai sebuah bagian dari linguistik telah disepakati memiliki kaitan yang sangat erat dengan sastra. Sudjiman (1993: 3) menyebut bahwa sesungguhnya sumbangan linguistik dalam kritik sastra ialah, misalnya, sorotan pada penggunaan bahasa dan gaya bahasa sebagai unsur yang membangun karya sastra, pengunaan dialek dan register tertentu. Pengetahuan linguistik, khususnya fonologi dan fonemik, sangat bermanfaat dalam pengkajian puisi, yaitu dalam pautannya dengan metrik, penyusunan struktur segmen bunyi dalam hubungannya dengan unit-unit bunyi pada bahasa tertentu, atau derap dengan irama. Adapun pengetahuan linguistik yang termasuk di dalamnya fonologi, dan fonemik, dan juga syntax, lexico-semantic, adalah merupakan point utama dalam analisis stilistika sastra pada awal kemunculannya.
Hal ini tentu tidak lepas dari background tokoh-tokoh besar teori stilistika yang merupakan para ahli kebahasaan seperti Jakobson (1896 – 1982), Halliday (1925 – sekarang), dan Leech (1936 – sekarang). Halliday melalui Sudjiman (1993: 4) mengatakan,
Linguistics is not and will never be the whole of literary analysis, and only the literary analyst – not the linguist – can determine the place of linguistics in literary studies. But if a text is to be described at all, then it should be described properly; and this means by the theories and methods developed in linguistics, the subject whose task is precisely to show how language works (Sudjiman, 1993: 4)
Tujuan stilistika seringnya diketahui sebagai landasan analisis terhadap karya sastra untuk memberikan dan meningkatkan pemahaman terhadap sastra dalam kaitannya dengan unsur-unsur penyusunnya yang difokuskan pada bahasa sehingga banyak ahli sastra konvensional yang mengangap stilistika sebagai ilmu penggunaan bahasa dan gaya bahasa dalam karya sastra. Pradopo (1996) misalnya menyebut bahwa menurut Turner, stilistika merupakan bagian linguistik yang memusatkan diri pada variasi penggunaan bahasa. Stilistika bararti studi gaya, yang menyarankan suatu ilmu pengetahuan atau studi yang metodis. Stilistika berarti studi gaya bahasa, cara bertutur secara tertentu untuk mendapatkan suatu efek tertentu. Bally menyebut stilistika sebagai studi efek-efek ekspresif dan mekanisme dalam semua bahasa (Pradopo, 1996).
Stilistika dalam sejarahnya mulai bersumber semenjak zaman Yunani kuno yang dikenal dengan tiga konsep utama nilai bahasa sastra yaitu Rhetoric, Poetics, dan Dialectics dengan salah satu karya yang dijadikan gambaran mencolok dari salah satu di antara ketiga unsur ini adalah karya Aristoteles (384 – 322 S.M) yang berjudul Poetics. Tiga unsur bahasa dalam karya sastra itu lah yang kemudian menjadi awal kelahiran kritik sastra. Sekitar 300 tahun kemudian di Roma dua style yang berbeda dikemukakan oleh Caesar dan Cicero sebagai perkembangan awal stilistika. Stilistika berkembang pada zaman pertengahan dengan dua konsep utama yang dikenal dengan Form (bentuk) dan Content (Isi) dan terus berlanjut pada zaman selanjutnya dengan aneka perubahan seperti pada masa Romanticism, style dilekatkan pada bentuk bahasa tertulis, tidak pada bahasa lisan dan saat itu populer disebut stylos. Stilistika terus berkembang pada abad-abad selanjutnya dengan aneka konsep baru yang dipengaruhi dan dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Ferdinand de Saussure, Charles Bally, hingga Jakobson. Akan tetapi konsep stilistika ini masih terpaku pada bahasa tertulis dan kaidah bahasa.
Pun mengalami perkembangan dari masa ke masa, sampai saat ini stilistika masih banyak dianggap memfokuskan pada bahasa yang tidak jauh dari teori stilistika De Saussure mengenai langue dan parole hingga Jakobson dengan enam elemen pentingnya; addresser – context code contact message – addresseez. Analisis pada kaidah bahasa juga tidak hanya dilihat pada nilai estetika atau pesan yang dibawanya, tetapi juga mengenai adanya deviasi. Deviasi sendiri disebabkan oleh banyak faktor mulai dari faktor manusia (penulisnya) hingga faktor budaya lingkungan tempat ia berada. Hal seperti ini pernah disampaikan oleh Teew (1984) yang menyebut bahwa pada jaman modern stilistika seringkali memperlihatkan persamaan dengan retorika, tetapi tanpa aspek normatifnya; stilistika, ilmu gaya bahasa, juga diberi definisi yang bermacam-macam, tetapi pada prinsipnya selalu meneliti pemakaian bahasa yang khas atau istimewa, yang merupakan ciri khas seorang penulis, aliran sastra dan lain-lain, atau pula yang menyimpang dari bahasa sehari-hari atau dari bahasa yang dianggap normal, baku dan lain-lain.
Pemahaman mengenai cakupan stilistika pada gaya bahasa biasa juga disebut sebagai stilistika verbal yang kemudian dianggap oleh sebagian besar orang hanya dapat diterapkan pada karya beragam puisi (yang paling banyak bermain dengan diksi dan tata bahasa).
BAB III
PENUTUP
2.1.Kesimpulan
Sebelum mengalami perkembangan dan perluasan seperti pada masa kini, stilistika sebagai sebuah bagian dari linguistik telah disepakati memiliki kaitan yang sangat erat dengan sastra. Sudjiman (1993: 3) menyebut bahwa sesungguhnya sumbangan linguistik dalam kritik sastra ialah, misalnya, sorotan pada penggunaan bahasa dan gaya bahasa sebagai unsur yang membangun karya sastra, pengunaan dialek dan register tertentu.
2.2.Saran
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada pembuatan makalah ini. Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat membangun kami. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan masyarakat pada umumnya.