Daftar isi
Periodisasi Sejarah Hinduisme Zaman Brahmana
Bab I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberi rahmat, karunia, serta kasih sayang terbesar-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Periodisasi Sejarah Hinduisme (Zaman Brahmana)” .Makalah ini disusun bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Agama Hindu. Selain itu sebagai upaya untuk membuka wawasan para masyarakat dan khususnya mahasiswa/i UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk melestarikan kekayaan yang dimiliki Dunia.
Kami menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dan keterbatasan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sekalian demi memperbaiki makalah ini untuk penulisan lain di kemudian hari.Semoga makalah ini dapat mendatangkan manfaat bagi kita semua. Sekian dan terimakasih.
B. Rumusan Masalah
- Bagaimana Asal-Usul Kaum Pendeta (Brahmana)?
- Bagaimana Penjelasan Tentang Korban?
- Bagaimana Penjelasan Tentang Kasta dan Asrama?
- Bagaimana Penjelasan tentang Dewa-dewa dalam agama Hindu Brahmana?
C. Tujuan Makalah
- Bagaimana Asal-Usul Kaum Pendeta (Brahmana) ?
- Bagaimana Penjelasan Tentang Korban?
- Bagaimana Penjelasan Tentang Kasta dan Asrama?
- Bagaimana Penjelasan tentang Dewa-dewa dalam agama Hindu Brahmana?
Bab II. Pembahasan
A. Agama Brahmana
Agama Brahmana bersumber pada Kitab Brahmana, yaitu bagian Kitab Weda yang kedua. Kitab-kitab ini ditulis oleh para imam atau Brahmana dalam bentuk prosa. Isinya memberi keterangan tentang kurban.
Hal ini disebabkan karena zaman ini adalah suatu zaman yang memusatkan keaktifan rohaninya pada kurban. Oleh karena itu kitab-kitab ini menguraikan upacara-upacara kurban, membicarakan nilainya serta mencoba mencari asal-usul kurban itu. Pada zaman Brahmana timbul perubahan-perubahan suasana. Ciri-ciri zaman ini adalah:
- Kurban mendapat yang berat.
- Para imam menjadi golongan yang paling berkuasa.
- Perkembangan kasta dan asrama.
- Dewa-dewa berubah perangainya.
- Timbulnya Kitab-kitab Sutra.
Seluruh kitab suci agama Brahma terbagi ke dalam dua golongan, menilik sumber-asal dari kitab-kitab tersebut, yaitu :
- Sruti, yakni setiap kitab yang berisikan ajaran yang langsung diwahyukan Brahma ( Zat Tunggal Maha Pencipa ) kepada setiap rishi ( orang suci), yaitu Kitab Suci Veda.
- Smriti, yakni setiap tradisi ( ucapan, perbuatan, tulisan ) yang mengandung ajaran seseorang rishi ( orang suci ) atau ajaran seseorang acharya (guru) ataupun ajaran avatar ( inkarnasi-ilahi ) seumpama krishna dan lainnya. Di dalam himpunan Smitri itu termasuk Brahmanas, Upanishads, Mahabharata, Bhagavadgita, Ramayana, Purna, dan Lainnya.
Kitab – kitab yang termasuk golongan kedua itu pada masa belakangan melalui wewenang resmi dinyatakan kitab suci ( secret books ) guna menghambat suatu tantangan ataupun keragu – raguan. Dengan begitu kedudukan smriti itu disamakan dengan kedudukan sruti.
Komentar – komentar atas satu persatu kitab itu dipanggilkan dengan Brahma-sutras, yakni benang sulam melalui himpunan Brahmanas. Kitab-kitab berisikan komentar itu disusun oleh para acharya pada abad-abad menjelang dan sesudah tahun Masehi.
Disamping itu lahir kesusasteraan yang mengambil themanya dari keyakinan agamawi ataupun sesuatu ajaran agamawi mengenai masalah kehidupan dan kemasyarakatan, kitab-kitab golongan itu dipanggilkan dengan Brahma-shartras. Termasuk dalam golongan Brahma-shastras itu ialah kitab-kitab mengenai berbagai cabang ilmu pengetahuan seumpama astronomi, ketabiban, logika, matematika, bahasa, dan lainnya. Baik Brahma-sustras maupun Brahma-shastras itu tidaklah termasuk ke dalam himpunan kitab suci.
Brahmanas itu bermakna hal-hal yang berkaitan dengan Brahman, Kodrat universil yang menjadi tumpuan. Kebaktian (relating to the brahman, ritual and universal power). Brahmanas itu berisikan interpretasi (penapsiran) atas ajaran-ajaran keagamaan yang terkandung dalam himpunan nyanyian Veda. Penafsiran itu bermula timbul lebih kurang pada 1.000 dan 800 tahun sebelum Masehi, berbentuk prosa.
Ciri khusus dari Brahmanas itu berisikan wewenang kependetaan (secerdotalism) di dalam setiap upacara kebaktian. Justru menempati kedudukan terpenting di dalam Agama Hindu, yaitu nama pada masa belakangan terhadap Agama Brahma.
Buat pertama kalinya barulah di dalam Brahmanas itu dijumpai larangan memakan daging lembu (SBE, 26:11), dan sang istri tidak boleh makan sama-sama dengan sang suami(SBE, 12:259, 43:369-370), dan idea tentang reinkarnasi (hidup berulang kali ke dunia, samsara) adalah di dalam Brahmanas buat pertama kalinya dijumpai ajaran serupa itu.
B. Korban
Pada zaman Weda Purba kurban masih menjadi alat untuk mempengaruhi para dewa, agar mereka berkenan menolong manusia. Namun pada zaman itu juga sudah tampak adanya gejala-gejala magi, yaitu bahwa kurban dipandang sebagai alat untuk memaksa para dewa menolong manusia. Jadi sebenarnya kurban itu sendiri sudah dipandang memiliki daya magis, yang lebih berkuasa daripada para dewa. Pandangan yang demikian itu pada zaman Brahmana berkembang hingga mencapai puncaknya. Sebab di dalam Brahmana, kurban menjadi alat untuk memperoleh kekuasaan atas dunia sekarang dan akhirat, atas yang tampak dan yang tak tampak, atas yang bernyawa dan yang tak bernyawa.
Barangsiapa dapat berhasil memperoleh daya itu, dialah Tuhan dunia. Perubahan pandangan atas kurban yang demikian itu sudah barang tentu memerlukan keterangan yang agak mendalam. Oleh karena itu pada zaman ini timbullah karangan, bahwa kurban sebenamya sudah ada sejak dulu. Penciptaan dunia umpamanya adalah hasil kurban yang dilakukan oleh dewa tertinggi, Prajapati atau Brahma. Bahkan lebih dari itu, kurban dilepaskan dari diri dewa-dewa, dijadikan suatu daya suatu kesaktian yang berdiri sendiri, yang selalu berada di mana-mana, yang dapat dipergunakan sebagai jembatan manusia menuju kebahagiaan.
Secara mitologis kurban digambarkan sebagai suatu makhluk hidup yang memiliki anggota-anggota tubuh antara lain tangan, kaki, dan sebagainya. Jika semua anggota-anggota itu dapat disusun secara harmonis, dengan perantaraan mantra-mantra, maka bentuklah rupa kurban. Rupa kurban ini dapat menjadikan upacara kurban berhasil.[5]
Permasalahan paling pokok di dalam Brahmanas itu ialah korban-soma (soma sacrifice), yakni upacara kebaktian yang terpandang paling suci diantara seluruh kebaktian di dalam Veda. Soma itu sejenis cairan minuman yang memberikan sifat-sifat kedewasan bagi yang meminumnya dan memabukkan.
Brahmana itu terdiri atas 13 bagian, dan bagian yang terpandang paling penting ialah Shapatra-Brahmana, berisikan petunjuk-petunjuk tentang perusha-medha (pengorbanan diri) dan berbagai korban lainnya.
Sedangkan Aitareya-Brahmana berisikan petunjuk-petunjuk tentang upacara kebaktian terbesar, yakni Rajasuya, tentang penunjukan raja dan upacara korban beserta tata cara penunjukan ganti raja.
Tentang korban Soma itu ditegaskan di dalam Satapatha Brahmana ayat 2, 3, 1, 5 sebagai berikut : “ Matahari sudah pasti akan tidak terbit bilamana sang Imam (priest) tidak melakukan korban.”
Disamping korban Soma itu berlaku pula korban-Hewan, yahng disebut dengan Asva-medha (korban-kuda), berlaku sepanjang tahun. Mengenai korban-Hewan itu dinyatakan sebagai berikut :
Barang siapa memakan korban Asva-medha niscaya akan mencapai seluruh hasratnya dan memperoleh seluruh idamannya, (SBE, 44 :347). Inilah penebusan obat bagi setiap sesuatunya. Dia yang melakukan Asva-Medha akan menebus seluruh dosanya, (SBE, 4 4 :328).
Setiap jenis korban itu mestilah dilakukan melalui sang Pendeta karena hal itu dipanndang amal yang teramat penting di dalam agama. Di dalam kitab suci agama-agama lainnya mungkin tidka dijumpai sesuatu ajarean seperti ajaran di dalam Brahmanas itu bahwa “ person’s salvation”. (penyelamatan diri seseorang) amat tergantung pada memberikan bayaran kepada sang pendeta yang memimpin kebaktian, (depends upon paying fees to officiating priest).
C. Kasta dan Asrama
I. Kasta
Pada zaman ini timbullah kasta-kasta, yaitu kasta Brahmana (para imam), kasta Ksatria yang (memerintah), kasta Waisya (para pekerja), dan kasta Sudra (rakyat jelata, hamba-hamba). Asal mula kasta-kasta ini tidaklah jelas.
Di dalam Kitab Rg- ‘Weda disebutkan, bahwa kasta-kasta itu timbul dari anggota tubuh Purusa, pencipta dunia. Mulutnya menjadi kasta Brahmana, kedua tangannya menjadi kasta Ksatria, pahanya menjadi kasta Waisya. dan kakinya menjadi kasta Sudra. Menurut para ahli bangsa Arya sebelum masuk India sudah mengenal kasta, yaitu golongan imam, prajurit, dan pekerja. Kemudian sesudah bangsa Arya memperkenankan bangsa pribumi India masuk ke dalamnya, terbentuklah golongan Sudra. Hal ini dikuatkan oleh kenyataan, bahwa bangsa Iran juga sudah mengenal dua turun-temurun, yaitu golongan imam dan golongan prajurit.
Agama Brahmana mengenal adanya Kasta-kasta, yaitu Kasta Brahmana (pendeta), Ksatria (pemegang tampuk pemerintah), Waisya (pekerja), dan Sudra (rakyat biasa). Sebenarnya dalam Rigweda hanya ada dua ‘’varna’’ saja, yaitu Arya Varna (kulit kuning) dan Dasyu Varna (kulit hitam). Menurut Bleeker, sistem ini berpangkal pada empat golongan tua dari Suku Arya, yaitu golongan pendeta (Brahmana), golongan perwira (ksatria), golongan pedaganng atau petani (waisya), dan golongan buruh atau budak (sudra). Di luar keempat kasta ini masih ada lagi suatu kasta atau golongan yang tidak boleh didekati atau disentuh, yaitu kasta paria (outcast). E.A. Gait mengatakan bahwa pada mulanya bangsa Arya tidak suka akan perkawinan campur antar suku, tidak suka makan bersama dengan suku yang lebih rendah apalagi dengan orng yang berkulit hitam.
Akan tetapi, akibat peperangan beberapa suku kekurangan istri sehingga terpaksa terpaksa kawin dengan orang-orang pribumi. Jelas bahwa anak-anak mereka ini akan dianggap lebih rendah status sosial mereka. Demikianlah keturunan kedua telah menimbulkan kelas antara bangsa Arya asli dan bangsa Pribumi, yaitu orang-orang yang darah campuran.
Prinsip dasar peraturan catur varna (empat kasta) adalah endogamis. Perpindahan kasta tidak diperbolehkan dan juga tidak mungkin. Artinya, seorang laki-laki harus hanya kawin dengan wanita dari kasta yang sama, dan anaknya lahir dalam kasta yang sama dengan orang tuanya.
Varna atau Kasta yang lebih tinggi selalu mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan lebih ‘’enak.’’ Hal ini tercantum dalam kitab undang-undang Manawa Dharma Sastra. Di dalamnya antara lain ditetapkan bahwa sesuatu kejahatan akan lebih ringan kalau yang melakukannya seorang Brahmana dari pada kalau kejahatan tersebut dilakukan oleh seorang ksatria, dan akan lebih berat lagi kalau yang melakukannya seorang dari golongan yang lebih rendah.
Dalam kenyataan peraturan-peraturan tersebut tidak selalu dipatuhi sepenuhnhya. Perkawinan campur antar varna cukup banyak terjadi. Karena itu terdapat varna campuran yang memiliki kedudukan tersendiri dai samping keempat varna yang asal. Kelompok ini sering disebut dengan ‘’Jati.’’
Kalau kita kembali kepada Rigweda, maka akan ditemukan pengertian kasta berdasarkan korban dewa untuk menciptakan dunia. Dikatakan bahwa ada suatu makhluk azali yang besar, laki-laki, yang disebut Purusa. Menurut Honig, makhluk ini memiliki seribu kepala, mata dan kakinya menutupi bumi bahkan masih menonjol sepuluh dim.
Purusa adalah segala yang ada dan yang akan ada, dan disebut sebagai ‘’dewa yang tidak dapat mati’’. Seperempat bagian badannya adalah makhluk yang makan dan tidak makan, dan tigaperempat lainnya merupakan makhluk abadi di langit. Para dewa melakukan persembahan korban dengan purusa ini. Ketika ia dipotong-potong, mulutnya menjadi Brahmana, lengannya menjadi ksatria, pahanya menjadi Waisya, dan dari kakinya muncul sudra.
Matanya menjadi matahari, nafasnya menjadi angin, dari pusatnya ke luar ruang langit, dari telinganya terjadi mata angina dan seterusnya. Nampaknya persoalan kasta tetap merupakan persoalan yang sulit dipecahkan sampai saat ini.
II. Asrama
Dengan adanya kasta atau warna timbullah juga yang disebut warnasramadharma, yaitu suatu konsep sosial yang memberikan peraturan-peraturan bagi tindakan-tindakan yang sesuai dengan tingkatan hidup orang menurut warna atau kastanya, Hidup manusia dibagi menjadi 4 asrama atau tingkatan hidup, yaitu: a. Brahmacarya, tahap menjadi murid. Pada waktu anak berumur 12 tahun, ia harus belajar kepada seorang guru. Jika ia sudah diterima dengan suatu upacara, maka ia disebut dwija, yaitu orang yang sudah lahir kedua kali. la harus belajar 12 tahun lamanya. Selama menjadi murid ia harus mempelajari Kitab Weda Samhita, melayani api suci dan menolong gurunya dengan menggembalakan ternaknya atau mengemis. Jika ia sudah selesai belajar, masuklah ia ke dalam asrama berikutnya,
Grhastha, tahap menjadi kepala keluarga. Dalam tahap ini ia harus berkeluarga dan mempunyai anak sebanyak mungkin, terlebih-lebih anak lelaki. Hal ini disebabkan karena anak lelaki mempunyai tugas keagamaan. Selanjut- nya orang harus memenuhi tugasnya sebagai kepala keluarga dengan berkurban, mempelajari Weda lebih lanjut dan bersedekah. Jika ia sudah tua dan sudah memenuhi tugas hidupnya, ia masuk ke dalam asrama berikutnya.
Wanaprastha, atau tahap menjadi penghuni hutan (pertapa). la harus meninggalkan anak cucunya dan pergi ke hutan, untuk mempelajari Kitab-kitab Aranyaka, serta merenungkan kurban- kurban rohani. Akhirnya ia memasuki asrama terakhir, yaitu:
Sannyasa atau tahap hidup penyangkalan. la harus meninggal- kan segala sesuatu, mengembara, hidup tanpa rumah, sebagai pengemis yang tidak memiliki apa-apa. Di dalam tahap ini ia harus mempelajari Kitab-kitab Upanisad. Dalam praktiknya sering tahap ketiga dan keempat digabung.
Asrama adalah tingkatan hidup. Dalam agama Brahmana disebutkan adanya empat tingkatan hidup yang harus dilalui oleh setiap orang penganut agama tersebut. Sebelum memasuki keempat tingkatan tersebut setiap orang harus lebih dahulu melakukan upacara upanayana, yaitu upacara menjadikan seseorang anak menjadi “dwija’’ dan resmi sebagai anggota kasta, serta siap memasuki tingkatan hidup yang pertama, yaitu kehdupan sebagai Brahmacarin.
Anak tadi akan meninggalkan rumah orang tuanya dan menetap sebagai siswa (sisya) di kediaman seorang guru untuk mempelajari isi kitab Veda dan pengetahuan keagamaan lainnya. Ia harus tunduk terhadap gurunya dan istri guru, patuh melaksanakan segala perintahnya dan harus mencari makan sendiri dengan cara minta-minta. Sebagai imbalannya ia akan menerima pelajaran dari guru terutama tentang dharm dan kitab suci.
Kalau pelajarannya sudah selesai, anak segera pulang dan kaawin. Mulailah ia memasuki tingkat kedua, Grhasta, yang dimulai dengan perkawinan. Upacara perkawinan termasuk upacara terpenting yang diselenggarakan di rumah. Selesai melakukan upacara ini, kedua mempelai melangkah sebanyak tujuh langkah ke timur-laut sambal diperciki air suci.
Sambal memegang tangan istrinya, suami mengucapkan mantra-mantra kemudian membawa api suci yang harus tetap menjadi kepala keluarga yang bertanggungjawab mendidik anak-anaknya dan melaksanakan kewajiban terhadap para dewa dengan menjalankan sesaji dan upacara korban. Ia juga harus melaksanakan kewajibannya yang berhubangan dengan kemasyarakatan. Tingkatan ketiga adalah Vanaprastha (kehidupan di hutan; Vana = hutan). Tingkatan ini adalah tingkatan yang harus ditempuh apabila seseorang sudah mencapai usia lanjut.
Segala kewajibannya sebagai kepala keluarga diserahkannya kepada anak laki-laki. Adakalanya ia masuk hutan bersama istrinya supaya dapat memberikan ketenangan dan keheningan berfikir dalam upayanya mencapai kesempurnaan hidup. Segala ikatan duniawi harus dilepaskannya untuk sepenuhnya mengabdikan diri secara keagamaan. Tingkatan terakhir, atau yang keempat, ialah Sanyasin, yaitu tingkat pertapa yang telah lepas dari kehidupan dunia. Sekalipun ia masih hidup di dunia ini namun ia sama sekali telah melepaskan diri dari permasalahan dunia sehingga terbuka kesempatan untuk mencapai moksa.
Barangkali benar bila dikatakan bahwa dalam kenyataannya sistem catur asrama di atas hanya berlaku bagi para ‘’dwija’’ dan hanya orang yang ingin hidup sempurna saja yang melakukannya.[10]
III. Dewa dan Dewi
Kurban dipandang sebagai alat yang dapat menjadikan manusia sebagai Tuhan dunia, maka dengan sendirinya dewa-dewa tak lagi memegang peranan penting di dalam hidup keagamaan orang. Pada zaman ini ada beberapa dewata yang sudah tak pernah disebut- sebut lagi, dan ada dewa-dewa yang hanya diturunkan kedudukan- nya, umpamanya Dewa Waruna. Dari pengawas rta ia menjadi dewa laut. Dewa Indra dan Dewi Sawitri disamakan dengan Surya, dan sebagainya. Akan tetapi hidup manusia memang tak mungkin tanpa ke- kuasaan yang dianggap lebih tinggi daripada manusia. Maka ada juga dewa-dewa yang dinaikkan kehormatannya, umpamanya Dewa Wisnu, Prajapati, dan beberapa dewa lainnya. Sebaliknya ada juga tambahan dewa-dewa, yang abstrak, yang jauh dari manusia. Mereka menjadi bahan-bahan pemikiran spekulatif saja.
Agama hindu menyebut adanya banyak dewa individual. Berbagai dewa dan dewi adalah personifikasi dari aspek Tuhan yang sama (iswara). Sebagai contoh, ketika umat Hindu membayangkan Iswara sebagai pemberi ilmu dan pengetahuan, aspek Iswara tersebut diidentifikasi sebagai Dewi Saraswati.
Dewi Laksmi adalah personifikasi Iswara sebagai pemberi kekayaan dan kemakmuran. Tidak berarti bshwa Iswara adalah penguasa segala dewa-dewi. Iswara hanyalah nama yang digunakan untuk merujuk kepada kepribadian Tuhan secara umum, dan tidak merujuk kepada dewa-dewi tertentu.[11]
Kurban dipandang sebagai alat yang dapat menjadikan manusia sebagai Tuhan dunia, maka dengan sendirinya dewa-dewa tak lagi memegang peranan penting di dalam hidup keagamaan orang. Pada zaman ini ada beberapa dewata yang sudah tak pernah disebut- sebut lagi, dan ada dewa-dewa yang hanya diturunkan kedudukan- nya, umpamanya Dewa Waruna. Dari pengawas rta ia menjadi dewa laut.
Dewa Indra dan Dewi Sawitri disamakan dengan Surya, dan sebagainya. Akan tetapi hidup manusia memang tak mungkin tanpa ke- kuasaan yang dianggap lebih tinggi daripada manusia. Maka ada juga dewa-dewa yang dinaikkan kehormatannya, umpamanya Dewa Wisnu, Prajapati, dan beberapa dewa lainnya. Sebaliknya ada juga tambahan dewa-dewa, yang abstrak, yang jauh dari manusia. Mereka menjadi bahan-bahan pemikiran spekulatif saja.
Bab III. Penutup
A. Kesimpulan
Agama Brahmana bersumber pada Kitab Brahmana, yaitu bagian Kitab Weda yang kedua. Kitab-kitab ini ditulis oleh para imam atau Brahmana dalam bentuk prosa. Isinya memberi keterangan tentang kurban.
Hal ini disebabkan karena zaman ini adalah suatu zaman yang memusatkan keaktifan rohaninya pada kurban. Oleh karena itu kitab-kitab ini menguraikan upacara-upacara kurban, membicarakan nilainya serta mencoba mencari asal-usul kurban itu. Pada zaman Brahmana timbul perubahan-perubahan suasana. Ciri-ciri zaman ini adalah:
a. Kurban mendapat yang berat.
b. Para imam menjadi golongan yang paling berkuasa.
c. Perkembangan kasta dan asrama.
d. Dewa-dewa berubah perangainya.
e. Timbulnya Kitab-kitab Sutra.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mukti, Agama-Agama Di Dunia (Yogyakarta : IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS, 1988)
Hajiwijono, Harun, Agama Hindu dan Budha (Jakarta: PT BPK Gunung, 2008)
Sou’yb, Joesoef : Agama Agama Besar di Dunia (Jakarta : Al Husna Zikra, 1996)
Ardhana Suparta. Sejarah perkembangan AGAMA HINDU di Indonesia. Surabaya: Paramita, 2002
Arifin Muhammad. Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar. Jakarta: Golden Terayon Press, 1986
Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press,1988. Cet. Ke-1
Tim Prima Pena. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: GITAMEDIA PRESS. Cet.I
Titib Made. TEOLOGI & SIMBOL-SIMBOL dalam AGAMA HINDU. Surabaya: Paramita, 2003
Viresvarananda Svami. Brahma Sutra Pengetahuan Tentang Ketuhanan. Surabaya: Paramita, 2004