Makalah Peranan Orang Suci dalam Penyebaran Agama Hindu di India, Indonesia dan Bali

12 min read

Peranan Orang Suci dalam Penyebaran Agama Hindu

Bab I. Pendahuluan

A. Latar Belakang

Agama Hindu merupakan agama yang paling tua di dunia. Agama Hindu (Bahasa Sanskerta: Sanātana Dharjma “Kebenaran Abadi”, dan Vaidika-Dharma (“Pengetahuan Kebenaran”) adalah sebuah agama yang berasal dari anak benua India. Agama ini merupakan lanjutan dari agama Weda (Brahmanisme) yang merupakan kepercayaan bangsa Indo-Iran (Arya). Agama ini diperkirakan muncul antara tahun 3102 SM sampai 1300 SM dan merupakan agama tertua di dunia yang masih bertahan hingga kini. Agama ini merupakan agama ketiga terbesar di dunia setelah agama Kristen dan Islam dengan jumlah umat sebanyak hampir 1 milyar jiwa. Penganut agama Hindu sebagian besar terdapat di anak benua India. Di sini terdapat sekitar 90% penganut agama ini. Agama ini pernah tersebar di Asia Tenggara sampai kira-kira abad ke-15, lebih tepatnya pada masa keruntuhan Majapahit. Mulai saat itu agama ini digantikan oleh agama Islam dan juga Kristen. Pada masa sekarang, mayoritas pemeluk agama Hindu di Indonesia adalah masyarakat Bali, selain itu juga yang tersebar di pulau Jawa, Lombok, Kalimantan (Suku Dayak Kaharingan), Sulawesi (Toraja dan Bugis – Sidrap). 

Sumber awal pengetahuan yang diketahui melalui prasasti-prasasti yang telah ada pada zaman ini. Baik dari penemuan arkeologi maupun penemuan dari kitab-kitab berupa rontal-rontal. Dan itu menunjukkan bahwa peninggalan itu pada umumnya memperlihatkan ciri-ciri Siwa yang amat dominan. Hal ini juga membuktikan bahwa ajaran agama Hindu yang menyebar di Indonesia adalah agama Hindu sekte Siwa Siddanta yang termasuk Tantrayana. Penyebaran agama Hindu tersebut dibantu oleh para MahaRsi yang menerima wahyu dari Tuhan. Para MahaRsi inilah yang menyebarkan dari benua satu ke benua yang lainnya hingga sampai ke Indonesia dan khususnya sampai ke Bali.

B. Rumusan Masalah

Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

  1. Kurangnya pendalaman umat Hindu mengenai asal-muasal Agama Hindu yang di anutnya.
  2. Kurangnya perhatian generasi muda terhadap kebudayaan dan tradisi agama Hindu yang di anutnya

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut :

  1. Dapat mengetahui sejarah perkembangan Agama Hindu di India, Indonesia, dan Bali.
  2. Meningkatkan pengetahuan tentang Agama Hindu di India, Indonesia, dan Bali.
  3. Dapat mengetahui peranan orang – orang suci penyebar Agama Hindu di India, Indonesia, dan Bali.
  4. Dapat mengetaui nama – nama orang suci penyebar Agama Hindu di India, Indonesia, dan Bali

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat yang ingin dicapai dari makalah ini adalah :

  1. Dapat mengetahui sejarah perkembangan Agama Hindu di India, Indonesia, dan Bali
  2. Meningkatkan pengetahuan tentang Agama Hindu di India, Indonesia, dan Bali
  3. Dapat mengetahui peranan orang – orang suci penyebar Agama Hindu di India, Indonesia, dan Bali
  4. Dapat mengetaui nama – nama orang suci penyebar Agama Hindu di India, Indonesia, dan Bali

Bab II. Pembahasan

A. Agama Hindu di India

Perkembangan agama Hindu di India, pada hakekatnya dapat dibagi menjadi 4 fase, yakni Jaman Weda, Jaman Brahmana, Jaman Upanisad dan Jaman Budha. Dari peninggalan benda-benda purbakala di Mohenjodaro dan Harappa, menunjukkan bahwa orang-orang yang tinggal di India pada jamam dahulu telah mempunyai peradaban yang tinggi. Salah satu peninggalan yang menarik, ialah sebuah patung yang menunjukkan perwujudan Siwa. Peninggalan tersebut erat hubungannya dengan ajaran Weda, karena pada jaman ini telah dikenal adanya penyembahan terhadap  Dewa – Dewa. Jaman Weda dimulai pada waktu bangsa Arya berada di Punjab di Lembah Sungai Sindhu, sekitar 2500 s.d 1500 tahun sebelum Masehi, setelah mendesak bangsa Dravida kesebelah Selatan sampai ke dataran tinggi Dekkan. bangsa Arya telah memiliki peradaban tinggi, mereka menyembah Dewa-dewa seperti Agni, Varuna, Vayu, Indra, Siwa dan sebagainya. Walaupun Dewa-dewa itu banyak, namun semuanya adalah manifestasi dan perwujudan Tuhan Yang Maha Tunggal. Tuhan yang Tunggal dan Maha Kuasa dipandang sebagai pengatur tertib alam semesta, yang disebut “Rta”. Pada jaman ini, masyarakat dibagi atas kaum Brahmana, Ksatriya, Vaisya dan Sudra.

Pada Jaman Brahmana, kekuasaan kaum Brahmana amat besar pada kehidupan keagamaan, kaum brahmanalah yang mengantarkan persembahan orang kepada para Dewa pada waktu itu. Jaman Brahmana ini ditandai pula mulai tersusunnya “Tata Cara Upacara” beragama yang teratur. Kitab Brahmana, adalah kitab yang menguraikan tentang saji dan upacaranya. Penyusunan tentang Tata Cara Upacara agama berdasarkan wahyu-wahyu Tuhan yang termuat di dalam ayat – ayat Kitab Suci Weda.

Sedangkan pada Jaman Upanisad, yang dipentingkan tidak hanya terbatas pada Upacara dan Saji saja, akan tetapi lebih meningkat pada pengetahuan bathin yang lebih tinggi, yang dapat membuka tabir rahasia alam gaib. Jaman Upanisad ini adalah jaman pengembangan dan penyusunan falsafah agama, yaitu jaman orang berfilsafat atas dasar Weda. Pada jaman ini muncullah ajaran filsafat yang tinggi – tinggi, yang kemudian dikembangkan pula pada ajaran Darsana, Itihasa dan Purana. Sejak jaman Purana, pemujaan Tuhan sebagai Tri Murti menjadi umum.

Selanjutnya, pada Jaman Budha ini, dimulai ketika putra Raja Sudhodana yang bernama ” Sidharta “, menafsirkan Weda dari sudut logika dan mengembangkan sistem yoga dan semadhi, sebagai jalan untuk menghubungkan diri dengan Tuhan.
Agama Hindu, dari India Selatan menyebar sampai keluar India melalui beberapa cara. Dari sekian arah penyebaran ajaran agama Hindu sampai juga di Nusantara.

2.2.      AGAMA HINDU DI INDONESIA

Berdasarkan beberapa pendapat, diperkirakan bahwa Agama Hindu pertamakalinya berkembang di Lembah Sungai Shindu di India. Dilembah sungai inilah para Rsi menerima wahyu dari Hyang Widhi dan diabadikan dalam bentuk Kitab Suci Weda. Dari lembah sungai sindhu, ajaran Agama Hindu menyebar ke seluruh pelosok dunia, yaitu ke India Belakang, Asia Tengah, Tiongkok, Jepang dan akhirnya sampai ke Indonesia. Ada beberapa teori dan pendapat tentang masuknya Agama Hindu ke Indonesia.

1.      Krom (ahli – Belanda), dengan teori Waisya.

Dalam bukunya yang berjudul “Hindu Javanesche Geschiedenis”, menyebutkan bahwa masuknya pengaruh Hindu ke Indonesia adalah melalui penyusupan dengan jalan damai yang dilakukan oleh golongan pedagang (Waisya) India.

2.      Mookerjee (ahli – India tahun 1912).

Menyatakan bahwa masuknya pengaruh Hindu dari India ke Indonesia dibawa oleh para pedagang India dengan armada yang besar. Setelah sampai di Pulau Jawa (Indonesia) mereka mendirikan koloni dan membangun kota-kota sebagai tempat untuk memajukan usahanya. Dari tempat inilah mereka sering mengadakan hubungan dengan India. Kontak yang berlangsung sangat lama ini, maka terjadi penyebaran agama Hindu di Indonesia.

3.      Moens dan Bosch (ahli – Belanda)

Menyatakan bahwa peranan kaum Ksatrya sangat besar pengaruhnya terhadap penyebaran agama Hindu dari India ke Indonesia. Demikian pula pengaruh kebudayaan Hindu yang dibawa oleh para para rohaniwan Hindu India ke Indonesia.

4.      Data Peninggalan Sejarah di Indonesia.

Data peninggalan sejarah disebutkan Rsi Agastya menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia. Data ini ditemukan pada beberapa prasasti di Jawa dan lontar-lontar di Bali, yang menyatakan bahwa Sri Agastya menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia, melalui sungai Gangga, Yamuna, India Selatan dan India Belakang. Oleh karena begitu besar jasa Rsi Agastya dalam penyebaran agama Hindu, maka namanya disucikan dalam prasasti-prasasti seperti:

5.      Prasasti Dinoyo (Jawa Timur):

Prasasti ini bertahun Caka 628, dimana seorang raja yang bernama Gajahmada membuat pura suci untuk Rsi Agastya, dengan maksud memohon kekuatan suci dari Beliau.

  1. Prasasti Porong (Jawa Tengah)

Prasasti yang bertahun Caka 785, juga menyebutkan keagungan dan kemuliaan Rsi Agastya. Mengingat kemuliaan Rsi Agastya, maka banyak istilah yang diberikan kepada beliau, diantaranya adalah: Agastya Yatra, artinya perjalanan suci Rsi Agastya yang tidak mengenal kembali dalam pengabdiannya untuk Dharma. Pita Segara, artinya bapak dari lautan, karena mengarungi lautan-lautan luas demi untuk Dharma.

2.3.      AGAMA HINDU DI BALI

Selanjutnya agama Hindu berkembang pula di Bali. Kedatangan agama Hindu di Bali diperkirakan pada abad ke-8. Hal ini disamping dapat dibuktikan dengan adanya prasasti-prasasti, juga adanya Arca Siwa dan Pura Putra Bhatara Desa Bedahulu, Gianyar. Arca ini bertipe sama dengan Arca Siwa di Dieng Jawa Timur, yang berasal dari abad ke-8.

Menurut uraian lontar-lontar di Bali, bahwa Mpu Kuturan sebagai pembaharu agama Hindu di Bali. Mpu Kuturan datang ke Bali pada abad ke-2, yakni pada masa pemerintahan Udayana. Pengaruh Mpu Kuturan di Bali cukup besar. Adanya sekte-sekte yang hidup pada jaman sebelumnya dapat disatukan dengan pemujaan melalui Khayangan Tiga. Khayangan Jagad, sad Khayangan dan Sanggah Kemulan sebagaimana termuat dalam Usama Dewa. Mulai abad inilah dimasyarakatkan adanya pemujaan Tri Murti di Pura Khayangan Tiga. Dan sebagai penghormatan atas jasa beliau dibuatlah pelinggih Menjangan Salwang. Beliau Moksa di Pura Silayukti.

Perkembangan agama Hindu selanjutnya, sejak ekspedisi Gajahmada  ke Bali (tahun 1343) sampai akhir abad ke-19 masih terjadi pembaharuan dalam teknis pengamalan ajaran agama. Dan pada masa Dalem Waturenggong, kehidupan agama Hindu mencapai jaman keemasan dengan datangnya Danghyang Nirartha (Dwijendra) ke Bali pada abad ke-16. Jasa beliau sangat besar dibidang sastra, agama, arsitektur. Demikian pula dibidang bangunan tempat suci, seperti Pura Rambut Siwi, Peti Tenget dan Dalem Gandamayu (Klungkung).

Perkembangan selanjutnya, setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali pembinaan kehidupan keagamaan sempat mengalami kemunduran. Namun mulai tahun 1921 usaha pembinaan muncul dengan adanya Suita Gama Tirtha di Singaraja. Sara Poestaka tahun 1923 di Ubud Gianyar, Surya kanta tahun1925 di SIngaraja, Perhimpunan Tjatur Wangsa Durga Gama Hindu Bali tahun 1926 di Klungkung, Paruman Para Penandita tahun 1949 di Singaraja, Majelis Hinduisme tahun 1950 di Klungkung, Wiwadha Sastra Sabha tahun 1950 di Denpasar dan pada tanggal 23 Pebruari 1959 terbentuklah Majelis Agama Hindu. Kemudian pada tanggal 17-23 Nopember tahun 1961 umat Hindu berhasil menyelenggarakan Dharma Asrama para Sulinggih di Campuan Ubud yang menghasilkan piagam Campuan yang merupakan titik awal dan landasan pembinaan umat Hindu. Dan pada tahun 1964 (7 s.d 10 Oktober 1964), diadakan Mahasabha Hindu Bali dengan menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali dengan  menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali, yang selanjutnya menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia.

2.4       ENAM TOKOH SUCI DALAM PERKEMBANGAN AGAMA HINDU DI BALI

1.         DANGHYANG MARKANDEYA

Pada abad ke-8 beliau mendapat pencerahan di Gunung Di Hyang (sekarang Dieng, Jawa Timur) bahwa bangunan palinggih di Tolangkir (sekarang Besakih) harus ditanami panca datu yang terdiri dari unsur-unsur emas, perak, tembaga, besi, dan permata mirah. Setelah menetap di Taro, Tegal lalang – Gianyar, beliau memantapkan ajaran Siwa Sidhanta kepada para pengikutnya dalam bentuk ritual: Surya sewana, Bebali (Banten), dan Pecaruan. Karena semua ritual menggunakan banten atau bebali maka ketika itu agama ini dinamakan Agama Bali. Daerah tempat tinggal beliau dinamakan Bali.Jadi yang bernama Bali mula-mula hanya daerah Taro saja, namun kemudian pulau ini dinamakan Bali karena penduduk di seluruh pulau melaksanakan ajaran Siwa Sidanta menurut petunjuk-petunjuk Danghyang Markandeya yang menggunakan bebali atau banten. Selain Besakih, beliau juga membangun pura-pura Sad Kahyangan lainnya yaitu : Batur, Sukawana, Batukaru, Andakasa, dan Lempuyang. Beliau juga mendapat pencerahan ketika Hyang Widhi berwujud sebagai sinar terang gemerlap yang menyerupai sinar matahari dan bulan. Oleh karena itu beliau menetapkan bahwa warna merah sebagai simbol matahari dan warna putih sebagai simbol bulan digunakan dalam hiasan di Pura antara lain berupa ider-ider, lelontek, dll. Selain itu beliau mengenalkan hari Tumpek Kandang untuk mohon keselamatan pada Hyang Widhi, digelari Rare Angon yang menciptakan darah, dan hari Tumpek Pengatag untuk menghormati Hyang Widhi, digelari Sanghyang Tumuwuh yang menciptakan getah.

2.         MPU SANGKULPUTIH

Setelah Danghyang Markandeya moksah, Mpu Sangkulputih meneruskan dan melengkapi ritual bebali antara lain dengan membuat variasi dan dekorasi yang menarik untuk berbagai jenis banten dengan menambahkan unsur-unsur tetumbuhan lainnya seperti daun sirih, daun pisang, daun janur, buah-buahan: pisang, kelapa, dan biji-bijian: beras, injin, kacang komak. Bentuk banten yang diciptakan antara lain canang sari, canang tubugan, canang raka, daksina, peras, panyeneng, tehenan, segehan, lis, nasi panca warna, prayascita, durmenggala, pungu-pungu, beakala, ulap ngambe, dll. Banten dibuat menarik dan indah untuk menggugah rasa bhakti kepada Hyang Widhi agar timbul getaran-getaran spiritual. Di samping itu beliau mendidik para pengikutnya menjadi sulinggih dengan gelar Dukuh, Prawayah, dan Kabayan. Beliau juga pelopor pembuatan arca/pralingga dan patung-patung Dewa yang dibuat dari bahan batu, kayu, atau logam sebagai alat konsentrasi dalam pemujaan Hyang Widhi

Tak kurang pentingnya, beliau mengenalkan tata cara pelaksanan peringatan hari Piodalan di Pura Besakih dan pura-pura lainnya, ritual hari-hari raya : Galungan, Kuningan, Pagerwesi, Nyepi, dll. Jabatan resmi beliau adalah Sulinggih yang bertanggung jawab di Pura Besakih dan pura-pura lainnya yang telah didirikan oleh Danghyang Markandeya.

3.         MPU KUTURAN

Pada abad ke-11 datanglah ke Bali seorang Brahmana dari Majapahit yang berperan sangat besar pada kemajuan Agama Hindu di Bali. Seperti disebutkan oleb R. Goris pada masa Bali Kuna berkembang suatu kehidupan keagamaan yang bersifat sektarian. Ada sembilan sekte yang pernah berkembang pada masa Bali Kuna antara lain sekte Pasupata, Bhairawa, Siwa Shidanta, Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya. Diantara sekte-sekte tersebut Çiwa Sidhanta merupakan sekte yang sangat dominan (Ardhana 1989:56). Masing-masing sekte memuja Dewa-Dewa tertentu sebagai istadewatanya atau sebagai Dewa Utamanya dengan Nyasa (simbol) tertentu serta berkeyakinan bahwa istadewatalah yang paling utama sedangkan yang lainnya dianggap lebih rendah.Perbedaan-perbedaan itu akhirnya menimbulkan pertentangan antara satu sekte dengan sekte yang lainnya yang menyebabkan timbulnya ketegangan dan sengketa didalam tubuh masyarakat Bali Aga.

Inilah yang merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban di masyarakat yang membawa dampak negative pada hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Akibat yang bersifat negative ini bukan saja menimpa desa bersangkutan, tetapi meluas sampai pada pemerintahan kerajaan sehingga roda pemerintahan menjadi kurang lancar dan terganggu. Dalam kondisi seperti itu, Raja Gunaprya Dharmapatni/Udayana Warmadewa perlu mendatangkan rohaniawan dari Jawa Timur yang oleh Gunaprya Dharmapatni sudah dikenal sejak dahulu semasih beliau ada di Jawa Timur. Oleh karena itu Raja Gunaprya Dharmapatni/Udayana Warmadewa bersekepatan untuk mendatangkan 4 orang Brahmana bersaudara yaitu:a. Mpu Semeru, dari sekte Ciwa tiba di Bali pada hari jumat Kliwon, wuku Pujut, bertepatan dengan hari Purnamaning Kawolu, candra sengkala jadma siratmaya muka yaitu tahun caka 921 (999M) lalu berparhyangan di Besakih.b. Mpu Ghana, penganut aliran Gnanapatya tiba di Bali pada hari Senin Kliwon, wuku Kuningan tanggal 7 tahun caka 922 (1000M), lalu berparhyangan di Gelgelc.

Mpu Kuturan, pemeluk agama Budha dari aliran Mahayana tiba di Bali pada hari Rabu Kliwon wuku pahang, maduraksa (tanggal ping 6), candra sengkala agni suku babahan atau tahun caka 923 (1001M), selanjutnya berparhyangan di Cilayukti (Padang)d. Mpu Gnijaya, pemeluk Brahmaisme tiba di Bali pada hari Kamis Umanis, wuku Dungulan, bertepatan sasih kadasa, prati padha cukla (tanggal 1), candra sengkala mukaa dikwitangcu (tahun caka 928 atau 1006M) lalu berparhyangan di bukit Bisbis (Lempuyang)Sebenarnya keempat orang Brahmana ini di Jawa Timur bersaudara 5 orang yaitu adiknya yang bungsu bernama Mpu Bharadah ditinggalkan di Jawa Timur dengan berparhyangan di Lemahtulis, Pajarakan. Kelima orang Brahmana ini lazim disebut Panca Pandita atau “Panca Tirtha” karena beliau telah melaksanakan upacara “wijati” yaitu menjalankan dharma “Kabrahmanan”. Dalan suatu rapat majelis yang diadakan di Bata Anyar yang dihadiri oleh unsur tiga kekuatan pada saat itu, yaitu 😮 Dari pihak Budha Mahayana diwakili oleh Mpu Kuturan yang juga sebagai ketua sidango Dari pihak Ciwa diwakili oleh Mpu Semeruo Dari pihak 6 sekte yang pemukanya adalah orang Bali AgaDalam rapat majelis tersebut Mpu Kuturan membahas bagaimana menyederhanakan keagamaan di Bali, yg terdiri dari berbagai aliran.

Tatkala itu semua hadirin setuju untuk menegakkan paham Tri Murti (Brahma,Wisnu,Ciwa) untuk menjadi inti keagamaan di Bali dan yang layak dianggap sebagai perwujudan atau manifestasi dari Sang Hyang Widhi Wasa.Konsesus yang tercapai pada waktu itu menjadi keputusan pemerintah kerajaan, dimana ditetapkan bahwa semua aliran di Bali ditampung dalam satu wadah yang disebut “Ciwa Budha” sebagai persenyawaan Ciwa dan Budha.Semenjak itu penganut Ciwa Budha harus mendirikan tiga buah bangunan suci (pura) untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam perwujudannya yang masing-masing bernama: Pura Desa Bale Agung untuk memuja kemuliaan Brahma sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan)ØPura Puseh untuk memuja kemulian Wisnu sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa ØPura Dalem untuk memuja kemuliaan Bhatari Durga yaitu caktinya Bhatara Ciwa sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi WasaKetiga pura tersebut disebut Pura “Kahyangan Tiga” yang menjadi lambang persatuan umat Ciwa Budha di Bali. Dalam Samuan Tiga juga dilahirkan suatu organisasi “Desa Pakraman” yang lebih dikenal sebagai “Desa Adat”.

Dan sejak saat itu berbagai perubahan diciptakan oleh Mpu Kuturan, baik dalam bidang politik, social, dan spiritual. Jika sebelum keempat Brahmana tersebut semua prasasti ditulis dengan menggunakan huruf Bali Kuna, maka sesudah itu mulai ditulis dengan bahasa Jawa Kuna (Kawi).

Akhirnya di bekas tempat rapat itu dibangun sebuah pura yang diberi nama Pura Samuan Tiga.Atas wahyu Hyang Widhi beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep Trimurti dalam wujud simbol palinggih Kemulan Rong Tiga di tiap perumahan, Pura Kahyangan Tiga di tiap Desa Adat, dan Pembangunan Pura-pura Kiduling Kreteg (Brahma), Batumadeg (Wisnu), dan Gelap (Siwa), serta Padma Tiga, di Besakih. Paham Trimurti adalah pemujaan manifestasi Hyang Widhi dalam posisi horizontal (pangider-ider).

4.         MPU MANIK ANGKERAN

Setelah Mpu Sangkulputih moksah, tugas-tugas beliau diganti oleh Mpu Manik Angkeran. Beliau adalah Brahmana dari Majapahit putra Danghyang Siddimantra. Dengan maksud agar putranya ini tidak kembali ke Jawa dan untuk melindungi Bali dari pengaruh luar, maka tanah genting yang menghubungkan Jawa dan Bali diputus dengan memakai kekuatan bathin Danghyang Siddimantra. Tanah genting yang putus itu disebut segara rupek.

5.         MPU JIWAYA

Beliau menyebarkan Agama Budha Mahayana aliran Tantri terutama kepada kaum bangsawan di zaman Dinasti Warmadewa (abad ke-9). Sisa-sisa ajaran itu kini dijumpai dalam bentuk kepercayaan kekuatan mistik yang berkaitan dengan keangkeran (tenget) dan pemasupati untuk kesaktian senjata-senjata alat perang, topeng, barong, dll.

6.         DANGHYANG DWIJENDRA

Datang di Bali pada abad ke-14 ketika Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong. Atas wahyu Hyang Widhi di Purancak, Jembrana, Beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang bahwa di Bali perlu dikembangkan paham Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Siwa, Sadha Siwa, dan Parama Siwa. Bentuk bangunan pemujaannya adalah Padmasari atau Padmasana. Jika konsep Trimurti dari Mpu Kuturan adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan horizontal, maka konsep Tripurusa adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan vertikal. Ketika itu Bali Dwipa mencapai jaman keemasan, karena semua bidang kehidupan rakyat ditata dengan baik. Hak dan kewajiban para bangsawan diatur, hukum dan peradilan adat/agama ditegakkan, prasasti-prasasti yang memuat silsilah leluhur tiap-tiap soroh/klan disusun. Awig-awig Desa Adat pekraman dibuat, organisasi subak ditumbuh-kembangkan dan kegiatan keagamaan ditingkatkan. Selain itu beliau juga mendorong penciptaan karya-karya sastra yang bermutu tinggi dalam bentuk tulisan lontar, kidung atau kekawin.

Karya sastra beliau yang terkenal antara lain : Sebun bangkung, Sara kusuma, Legarang, Mahisa langit, Dharma pitutur, Wilet Demung Sawit, Gagutuk menur, Brati Sesana, Siwa Sesana, Aji Pangukiran, dll. Beliau juga aktif mengunjungi rakyat di berbagai pedesaan untuk memberikan Dharma wacana. Saksi sejarah kegiatan ini adalah didirikannya Pura-Pura untuk memuja beliau di tempat mana beliau pernah bermukim membimbing umat misalnya :

  1. Pura Purancak,
  2. Pura Rambut siwi,
  3. Pura Pakendungan,
  4. Pura Hulu watu,
  5. Pura Bukit Gong,
  6. Pura Bukit Payung,
  7. Pura Sakenan,
  8. Pura Air Jeruk,
  9. Pura Tugu,
  10. Pura Tengkulak,
  11. Pura Gowa Lawah,
  12. Pura Ponjok Batu,
  13. Pura Suranadi (Lombok),
  14. Pura Pangajengan,
  15. Pura Masceti,
  16. Pura Peti Tenget,
  17. PuraAmertasari,
  18. Pura Melanting,
  19. Pura Pulaki,
  20. Pura Bukcabe,
  21. Pura Dalem Gandamayu,
  22. Pura Pucak Tedung, dll.

Ke-enam tokoh suci tersebut telah memberi ciri yang khas pada kehidupan beragama Hindu di Bali sehingga terwujudlah tattwa dan ritual yang khusus yang membedakan Hindu-Bali dengan Hindu di luar Bali.

BAB III

PENUTUP

3.1       Simpulan

Berdasarkan uraian tersebut di atas secara singkat dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Agama Hindu sebagai agama yang tertua tumbuh dan berkembang tidak terlepas dengan pengaruh dan dukungan lingkungan alam dan budaya dari suatu masyarakat pendukungnya. Demikianlah pada awalnya tidak terlepas dari peradaban lembah Sindhu dan pengaruh lokal di India Utara, Selatan atau Timur.

2. Nama Hindu bukanlah nama asli dari agama ini, melainkan diberikan oleh orang asing yang mengadakan kontak dengan bangsa Àrya yang pertama kali menetap di lembah sungai Sindhu kemudian menyebar ke berbagai penjuru  India dan berasimilasi dengan  berbagai suku bangsa asli di anak benua tersebut. Hinduisme kemudian berkembang di Nusantara (Indonesia) termasuk Bali dengan warna luarnya sendiri.

3. Nama asli agama Hindu adalah Sanàtana Dharma (karena ajarannya bersifat abadi dan berlaku sepanjang masa). Nama lainnya adalah Vaidika Dharma, karena bersumber pada kitab suci Veda.

4. Karakteristik agama Hindu memberikan kebebasan kepada umat-Nya, namun masih dalam koridor yang disebut Àdikara (disiplin diri) dan Iûþadevatà (aspek Tuhan Yang Maha Esa, yang dipuja dan sangat didambakan kasih dan karunia-Nya.

5. Dalam perkembangan agama Hindu dikenal adanya berbagai Sampradaya yang oleh orang Barat disebut Sekta, dan yang sangat dominan dan juga berpengaruh ke Indonesia adalah Úaiva,Vaiûóava dan Úakta sedang di Bali yang dominan adalah Úaiva Siddhanta (Tri Murti) yang sangat kental mendapat pengaruh Tantrik.

3.2       Saran

Adapun saran yang dapat diberikan berdasarkan makalah ini adalah :

  1. Para orang tua agar dapat membantu memberikan pengetahun-pengetahuan atau cerita-cerita yang bertemakan Agama Hindu kepada anak-anak mereka dirumah sehingga nantinya cerita ini dapat menjadi sesuatu yang bermanfaat dan memiliki nilai religi tersendiri.
  2. Generasi muda Bali hendaknya lebih memperhatikan dan mempelajari sejarah perkembangan Agama Hindu supaya nantinya dapat dilestarikan dan meneruskannya ke generasi berikutnya.

DAFTAR PUSTAKA

http://www.parisada.org/index

http://sejarah-puri-pemecutan.blogspot.com/2010/01/enam-tokoh-suci-dalam-perkembangan.html

http://www.freewebs.com/rinanditya/hindubudha.htm

http://seputar32.blogspot.com/2008/04/masuknya-agama-hindu-di-bali.html

http://wisatadewata.com/article/wisata/sejarah-hindu-indonesia

http://agama.kompasiana.com/2010/06/13/penyebaran-agama-hindu-di-indonesia/

Sudirga Ida Bagus, dkk. 2005. Widya Dharma Agama Hindu untuk Kelas X SMA. Ganeca Exact.Denpasar

Laporan Praktikum Efek Fotolistrik

Efek Fotolistrik Bab I. Pendahuluan A. Latar Belakang Efek fotolistrik adalah fenomena terlepasnya elektron logam akibat disinari cahaya. Ditinjau dari perspektif sejarah, penemuan efek...
Ananda Dwi Putri
9 min read

Laporan Praktikum Tetes Minyak Milikan

Tetes Minyak Milikan Bab I. Pendahuluan A. Latar Belakang Elektron merupakan suatu dasar penyusun atom. Inti atom terdiri dari elektron (bermuatan negatif) dan proton...
Ahmad Dahlan
7 min read

Makalah Sifat Fantasi Dalam Tinjauan Psikologi

Sifat Fantasi Bab I. Pendahuluan Pada dasarnya psikologi mempersoalkan masalah aktivitas manusia. Baik yang dapat diamati maupun tidak secara umum aktivitas-aktivitas (dan penghayatan) itu...
Wahidah Rahmah
4 min read

Leave a Reply