Makalah Pengertian dan Jenis Hadits Dhaif

14 min read

Pengertian Hadist Dhaif

Pengertian dan Jenis Hadits Dhaif tidak semata hasid lemah. Ada banyak jenis hadis daif berdasarkan penyebabnya.

Hadist Dhaif

Bab I. Pendahuluan

A. Latar Belakang

Dalam memahami dan mempelajari Ulumul hadis, seseorang butuh metodologi dalam melakukan penelitian terhadap suatu materi yang akan ditelitinya.Namun, jauh sebelum melakukan sebuah penelitian terhadap suatu materi yang harus diteliti, dibutuhkan suatu metodologi penelitian yang digunakan sebagai pisau untuk membedah keseluruhan dari tubuh materinya, mulai dari redaksi pengertian hadis dhaif macam-macamnya ini sendiri serta diteliti dari segi kualitasnya.

Di dalam makalah yang sangat sederhana ini, setidaknya ada beberapa poin pembahasan yang menggambarkan betapa pentingnya sebuah dhaif dan macam-macamnya, karena bagaimanapun ulumul hadis memberi peluang besar untuk selalu dipelajari dan di pahami.

B. Rumusan Masalah

  1. Bagaimanakah Pengertian Hadis Dahif?
  2. Bagaimanakah kriteria hadis masuk kategori Dhaif?
  3. Apaka sajakah kriteria hadis Dhaif?

C. Tujuan

Memberi sedikit pengetahuan tentang apa itu ulumul hadis terutama “Hadis hdaif dan macam-macamnya” dan membuat mahasiswa termotivasi belajar dan memahaminya.

Bab II. Pembahasan

A. Pengertian Hadis Dhoif.

Kata dhaif menurut bahasa, berarti lemah, sebagai lawan dari qawi (yang kuat). Sebagai lawan dari kata shahih, kata dhaif juga berarti saqim (yang sakit). Maka sebutan hadis dhaif secara bahasa berarti hadis yang lemah, yang sakit, yang tidak kuat. Secara terminologis, para ulama mendefinisikannya dengan redaksi yang beragam, meskipun maksud dan kandungannya sama. Al-Nawami dan Al- Qasami mendefinisikan hadis dhaif dengan

“hadis yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis shahih dan syarat-syarat hadis hasan”

Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib menyatakan bahwa definisi hadis dhaif adalah:

“segala hadis yang di dalamnya tidak terkumpul sifat-sifat maqbul”

Sifat-sifat maqbul dalam definisi di atas maksudnya adalah sifat-sifat yang terdapat dalam hadis shahih dan hadis hasan, karena keduanya memenuhi sifat-sifat maqbul. Dengan demikian, definisi kedua tersebut sama dengan definisi berikut:

“hadis yang di dalamnya tidak berkumpul sifat-sifat hadis shahih dan sifat-sifat hadis hasan”

Menurut Nur al-din ‘itr, definisi yang paling baik tentang hadis dhoif adalah:

“hadis yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadis maqbul”

Maksudnya, suatu hadis yang tidak memenuhi salah satu syarat (kriteria) hadis shahih atau hasan dinyatakan sebagai hadis dhhaif yang berarti hadis itu tertolak (mardud) untuk di jadikan sebagai hujjah.

B. Kriteria-kriteria hadis dhaif.

Pada definisi diatas terlihat bahwa hadis dhaif tidak memenuhi salah satu dari kriteria dari hadis shahih atau hadis hasan. Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya, kriteria-kriteria hadis shahih adalah:

  1. sanadnya bersambung
  2. periwayat adil
  3. periwayat dhabith
  4. terlepas dari syads
  5. terhindar dari illat.

Adapun kriteria –kriteria hadis hasan adalah:

  1. sanadnya bersambung
  2. periwayat adil
  3. Periwayat kurang dhabith
  4. terlepas dari syadz
  5. terhindar dari illat.

Berhubung hadist dhaif tidak memenuhi salah satu dari beberapa kirteria-kriteria di atas, maka kriteria-kriteria hadis dhaif adalah:

  1. sanatnya terputus
  2. periwayatnya tidak adil
  3. periwayatnya tidak dhabith
  4. mengandung syadz
  5. mengandung illat.

Penjelasan tentang kriteria-kriteria ini selanjutnya ini dapat di lihat pada penjelesan tenteng macam-macam hadist dhaif berikut.

C. Macam-macam hadist dhaif.

1. Hadist dhaif karna sanatnya terputus.

 Dalam kaitannya dengan keterputusan sanat, ibn Hajar asl-asqalani membaagi hadist doif kepada lima macam, yaitu hadist mu’allaq, hadis mursal, hadist munqathi, hadist mu’dhal, dan hadist mudallas.

a. Hadis mu’allaq.

Hadis mu’allaq adalah hadis yang terputus di awal sanad. Kata mu’allaq secara bahasa berarti tergantung. Sebagai ulama menyatakan, kata mu’allaq yang secara bahasa berarti bergantung itu terambil dari pemakaian istilah ta’liq al-thalaq (cerai gantung0 dan ta’liq al-jidar (dinding tergantung) karena ada unsur kesamaan dalam hal keterputusan.

Secara terminologis, hadis mu’allaq adlah hadis yang periwayatnya di awal sanad (periwayat yang disandari oleh penghimpun hadis) gugur atau terputus seorang atau lebih secara terurut. Patokan tenttang keterputusannya terletak pada awal sanad atau beberapa periwayat yang gugur tidak secara berurutan, maka hadis itu tidak dinamakan mu’allaq.

Hadis mu’allaq disebut hadis dhaif karena rangkaian sanadnya terputus atau hilang, sehingga tidak diketahui identitas dan kualitas para periwayat yang sesungguhnya.

b. Hadis Munqathi’.

Keterputusan di tengah sanad dapat terjadi pada satu sanad atau lebih, secara berturut-turut atau tidak, jika keterputusan terjadi di tengah sanad pada satu tempat atau dua tempat dalam keadaan yang tidak berturut-turut, hadis yang bersangkutan dinamakan hadis munqathi’. Kata munqathi’ berasal dari bentuk inqatha’a yang berarti berhenti, kering, patah, pecah, atau putus.

Beberapa definisi tentang hadis munqathi’ para ulama berbeda pendapat sebagai berikut:

  • Hadis munqati’ adalah hadis yang sanadnya terputus di bagian mana saja, baik sanad terakhir atau periwayat pertama (sahabat) maupun bukan sahabat (selain periwayat pertama).
  • Hadis munqathi’ adalah hadis yang bagian sanadnya sebelum sahabat (periwayat sesudahnya) hilang atau tidak jelas orangnya.
  • Hadis munqathi’ adalah hadis yang sanadnya dan periwayat yang gugur seorang atau dua orang tidak secara berurutan.
  • Hadis munqathi’ adalah hadis yang dlam sanadnya ada seorang periwayat yang terputus atau tidak jelas.
  • Hadis munqathi’ adalah yang sanadnya dii bagian sebelum sahabat (periwayat sesudahnya) terputus seorang atau lebih tidak secra berurut, dan tidak terjadi di awal sanad.

Untuk mengetahui keterputusan sanad (al-inqitha’) pada hadis munqathi’ dapat diketahui dngan tiga cara:

  • Dengan jelas, yaitu periwayat yang menriwayatkan hadis dapat diketahui dengan pasti tidak sezaman dengan guru yang memberikan hadis kepadanya atau ia hidup sezaman dengan gurunya, tetapi tidak mendapatkan izin (ijazah) untuk meriwayatkan hadisnya. Hal ini dapt dilihat dari tahun lahir/wafat mereka.
  • Dengan samar-samar, yaitu karena tidak ada tahun lahir/wafat periwayat, maka keterputusan hadis munqathi’  hanya di ketahui oleh orang yang ahli saja.
  • Dengan komparasi, yaitu dengan membandingkan hadis-hadis dengan hadis lian yang senada sehingga di ketahui apakah hadis tertentu mun’athi’ atau bukan.

c. Hadis mu’an’na dan muannan.

Di samping hadis itu, hadis yang termasuk kategori hadis dhaif karena sanadnya diduga mengalami keterputusan adalah hadis al mu’an’an dan al-muannan. Kata al-mu’an’na merupakan bentuk maful dari kata ‘an’ana yang berarti periwayat berkata (dari….dari….) secara bahasa berarti pernyataan periwayat:si anu dari si anu. Kata al-muannan berasal dari kata annana yang berarti periwayat berkata (bahwa…bahwa…) yang menunjukkan bahwa periwayat meriwayatkan hadis dari periwayat lain dengan menggunakan metode.

Bebrapa para ulama berbeda pendapat tentang status hadis al-mu’an’an, sebagian mereka manyatakan bahwa hadis ini kategorinya berstatus munqathi’ yatiu sebagai berikut:

  • Hadis al-mu’an’an tidak mengandung tadlis.
  • Terdapat kemungkinan periwayat yang meriwayatkan secara al-mu’an’an bertemu dengan yang hadisnya diriwayatkan secara ‘an’anah.

Syarat lain yang tidak disepakati ialah:

  • Al-bukhori, ibn al-madini, dan beberapa ulama lain mensyaratkan keharusan bertemu periwayat yang meriwayatkan secara al-mu’an’an dengan periwayat yang hadisnya diriwayatkan secara ‘an’anah.
  • Abu al-muzhaffar al-sam’ani menharuskan keduanya telah lama bersahabat.
  • Abu ‘Amr al-dani berpendapat bahwa ia harus mengetahui hadis yang diriwayatkannya. Para ulama menhukumi hadis al-muannan sama dengan hadis al-mu’an’an diatas.dengan demikian, hadis al-mu’an’an atau al-muannan sama-sama berstatus munqathi’ jika tidak memnuhi persyaratan tersebut dan berkualitas dhaif.

d. Hadis mu’dhal.

Jika keterputusan secara bertutut-turut dan terjadi di tengah sanad, maka hadisnya dinamakan hadis mu’dhal. Kata mu’dhal berasal dari kata kerja ‘adhala yang berarti melemahkan, melelahkan, menutup rapat. Atau menjadi bercacat. Kata mu’dhal digunakan untuk jenis hadis tertentu karena pada hadis itu ada bagian sanadnya yang lemah, tertutup, atau cacat. Secara terminologi, menurut Muhammad ‘Ajjaj al-khathib, hadis mu’dhal adalah hadis yang gugur dua orang sanadny atau lebih secra berturut-turut.

Kriteria hadis mu’dhal adalah: (a) sanad yang gugur, lebih dari satu orang, (b) keterputusan secra berturut-turut. Sebagian ulama menambahkan kriteria (c) tempat keterputusan sanad di tengah sanad, bukan siawal atau diakhir. Jadi hadis mu’dhal adalah hadis yang gugur dua orang periwayatnya atau lebih secara berturut-turut baik gugurnya itu di antara sahabat dngan tabiin, antara tabiin dengan tabi’ al-tabi’in atau dua orang sesudah mereka.

Conttoh hadis mu’dhal dilihyat dlam kitab al-muwaththa’ karya imam malik sebgaia berikut:

“malik bercerita padaku bahwa sebuah cerita sampai kepadanya, abu hurayrah berkata, Rosulluloh Saw. Bersabda, ‘seorang budak berhak mendapatkan makanan dan pakaian serta ia tidak dibebeni pekerjaan kecuali yang ia mampu”.

e. Hadis mursal.

Sebagaimana terlihat pada penjelasan sebelunnya, sebuah hadis di sebut mursal apabila periwayatnya oleh tabi’i langsung dari Nabi tanpa menyebut sahabat. Kata mursal secara bahasa beerarti terlepas atau terceraikan dengan cepat atau tanpa ada halangan. Kata ini kemudian digunakan hadis tertentu yang periwayatnya melepaskan hadis tanpa terlebih dahulu mengaitkannya kepada sahabat yang menerima hadis itu dari Nabi.

Secara terminologis, mayoritas ulama hadis mendeffinisikan hadis mursal dengan hadis yang disandarkan langsung kepada Nabi oleh seorang tabi’i, baik tabi’i besar maupun tabi;’i kecil, tanpa terlebih dahulu disandarkan kepada sahabat Nabi.

Berhubung hadis-hadis mursal beragam, sebagaimana djelaskan , membuat tingkatan hadis –hadis mursal dari ya ng tertinggi sampai yang terrendah sebagai berikut:

  • Hadis mursal dari shabat yang bisa mendengar langsung.
  • Hadis mursal dari sahabat yang hanya dapat meiihat tetapi tidak bisa mendengarkannya sendiri.
  • Hadis mursal dari shabat yang hidup pada dua masa (masa jahiliah dan islam).
  • Hadis mursal dari orang oandai seperti sa’id bin al-musayyib.
  • Hadis mursal dari seorang yang tinggal bersma gurunya seperti al-sya’bi dan mujahid.
  • Hadis mursal periwayat yang mengutip dari setia periwayat seperti al-hasan.
  • Hadis mursal daria angkatan muda tabi’in seperti Qatadah.dkk

f. Hadis mawquf dan hadis maqthu.

Hadis mawquf adalah hadis yang disandarkan kepada sahabat nabi taua hadis yang diriwayatkan dari para sahabat berupa perkataan, perbuatan, atau persetujuannya. Dilihat dari bahasa, kata mawquf berasal dari kata waqafa yaqifu yang berarti di hentikan atau diwakafkan. Maksudnya, hadis jenis ini dihentikan penyandarannya kepada sahabat dan tidak sampai kepada nabi.

Menurut ibn hajar al-asqlani, sebuah hadis di sebut mawquf jika disandarkan pada shabat baik sanadnya bersambung maupun tidak. Pendapat ini sejalan dengan pernyataan ibn al-shalah yang membagi hadis mawquf menaji dua : (1) mawquf mawshul, yaitu hadis yang sanadnya bersambung sampai kepada sahabat sebagai sumber hadis dan (2) mawquf ghayr mawshul, yatitu hadis mawquf yang sanadnya tidak bersambung.

Hadis maqthu’ berasal dari kata qatha’a (memotong) lawan kata washala (menghubungkan). Secara istilahberarti hadis yang disandarkan kepada seorang tabi’i atau sesudahnya baik perkataan maupun perbuatan. Dengan kata lain hadis maqthu adlah perkataan, perbuatan taua ketetapan tabi’in atau orang –orang sesudah mereka. Disebut maqthu karena hadis itu terpotong, kerena sandarannya dipotong hanya sampai pada tabi’in.

Sebagaimna hadis mawquf, hadis maqthu berstatus lemah dan kerenanya tidak dapat dijadikan hujjah meskipun betul hadis itu berasal dari tabi’in.

2. Hadis dhaif karena periwayatnya tidak adil.

a. Hadits mawdhu

Hadits mawdhu adalah hadits dusta yang dibuat-buat dan dinisbahkan kepada rasulullah. Secara bahasa, mawdhu berarti sesuatu yang digugurkan (al-masqath), yang ditinggalkan (al-matruk), dan diada-adakan (al-muftara). Menurut istilah, hadits mawdhu adalah pernyataan yang dibuat seseorang pada nabi saw. Hadits mawdhu diciptakan oleh pendusta disandarkan kepada rasulullah untuk memperdayai.

Kriteria hadits mawdhu cukup banyak berbeda dengan kriteria hadits yang lain yang relatif lebih sedikit dan dikalangan ulama tidak ditentukan secara teperinci.

Kriteria hadits pals dapat dipaparkan sebagai berikut:

  1. Kriteria sanad: pengakuan periwayat (pemalsu) hadits, bertentangan dengan realita historis periwayat, periwayat pendusta, dan keadaan periwayat dan dorongan psikologisnya.
  2. Kriteria matan: buruk lafal atau redaksinya, rusak maknanya.

b. Hadits matruk

Hadits matruk adalah hadits yang diriwayatkan oleh periwayat yang tertuduh sebagai pendusta. Menurut mahmud al-Thahhan, sebab periwayat tertuduh dusta adalah:

  1. Hadits yang diriwayatkan tidak diriwayatka kecuali dari periwayat itu dan bertentangan denga kaidah-kaidah yang telah diketahui
  2. Diketahui periwayat berdusta dalam pembicaraan kesehariaan, tetapi belum terbukti pernah berdusta tentang hadits nabi.

c. Hadits munkar

Hadits munkar berasal dari kata al-inkar (mengingkari) lawan dari aliqrar (menetapkan). Kata munkar digunakan untuk hadits yang seakan mengingkari atau berlawanan dengan hadits lain yang lebih kuat. Dikalangan ulama hadits, hadits munkar didefinisikan dengan:

  1. hadits yang dalam sanatnya terdapat periwayat yang mengalami kekeliruan, kesalahan dan pernah berbuat fasik.
  2. Hadits yang diriwayatkan oleh periwayat yang dha’if bertentangan dengan riwayat periwayat yang tsiqoh.
3. Hadis dhaif karena periwayatnya tidak shahih.

Diantara hadis yang dhaif karena periwayat tiadk dhabith adalah hadis mudallas, hadis mudraj, hadis maqlub, hadis mazid, hadis mudhtarib, hadis mushahhaf, dan hadis majhul.

a. Hadis mudalllas.

Berasal dari kata dallasa yang secara bahasa berarti menipu aatu menyembunyikan cacat, mudallas berarti suatau hadis yang terdapat dalamm tipuan ataau cacat. Menurut iastilah, hadis mudalllas adalah hadis yang diriwayatkan dengan cara yang diperkirakan bahwa hadis itu tidak cacat. Periwayat yang menyembunyikan cacat di sebut mudallis, hadisnya disebut al-mudallas, dan perbuatan menyembunyikan di sebut al-tadlis.

Secara umum, jenis tadlis ada dua macam, yaitu: tadlis al-isnad dan tadlis al-syuyukh. Tadlis al-isnah adalah periwayat hadis menyatakan telah menerima hadis dari periwayat tertentu yang sezaman dengannya, padahal mereka tidak pernah bertemu atau mungkin saja mereka pernah berteu tetapi mereka tidak pernah diragukan pernah terjadi kegiatan penyampaian dan penerimaan periwayat hadis. Dalam hal ini terjadi penyembunyian periwayat dan sanad. Biasanya periwayat yang digugurkan adalah periwayat yang lemah dengan tujuan agar sanad hadis yang bersangkutan dinilai berkualiatas baik oleh orang lain. Perbuatan hadis tadlis dalam hadis sangat dilarang oleh para ulama terutama hadis isnah.karena dengan melakukan tadlis isnah berarti seseorang telah mengelabui oarang lain dengan menyampaikan hadis atau periwayatnya yang bercacat seolah-olah tidak cacat.

Disamping tadlis isnah dikenal pula tadlis al-taswiyah, yaitu periwayat mengugurkan gurunya atau guru dari gurunya atau oranglain karena lemah atau masih kecil kemudian dengan lafal tegas menyatakan mendengar hadis  dari periwayat tertentu hingga sanad bersambung (muttasil) pada periwayat tsiqah (terpercaya).

b. Hadis mudraj.

Kata mudraj berasal dari kata adraja (menyisipkan) seprti kata (aku menyisipkanmu pada sesuatu, jika akau memasukkanmu dan memngumpulkannya dengan sesuatu yang lain itu). Menurut istilah ilmu hadis, mudraj adalah hadis yang bentuk sanadnya  diubah atau ke dalam matannya dimasukkan sesuatu kata atau dua kalimat yang sebetulnya bukan bagian dari hadis tersebut tanpa ada tanda pemisah.

Hadits mudraj dapat terjadi pada sanad atau matan,yaitu kata atau kalimat yang dimasukan kedaalam hadis itu dapat terjadi pada sanad atau matan.ibn al-shalah menyatakan bahwa kata atau kalimat yang masukberagam jenisnya. Antara lain perkataan sebagian periwayat nya , misalnya seorang sahabat atau yang sesudahnya menyebutkan perkataanya sendiri setelah meriwayaatkan suatu hadis,lalu orang sesudahnya meriwayatkan perkataan itu secara bergandengan dengan hadis tanpa ada tanda pemisah atau pembatas, sehingga orang tidak mengerti akan mengaggap bahwa semuanya adalah sabda Nabi.

Faktor pendorong dilakukanya penyisipan dalam hadis, menurut mahmud al-thahhan, cukup banyak dan sering adalah: (1) karena keinginan untuk menjelaskan hukum syara’ (2) menistibadkan hukum syara’ dari suatu hadis sebelum hadis itu selasai diriwayatkan secara keseluruhan dan (3) menjelaskan lafal yang jarang dalam hadis. Juga karena terjadi kesalahan dalam memahami suatu pernyataan sebagai hadis sebagai mana kasus tsabith di atas. Para ulama melarang berhujjah dengan hadis mudraj dan memasukkan sebagai bagian dari hadis dhaif:

Untuk mengetahui keberadaan al- idraj dalam seatu hadis dapat ditempuh dengan cara:

  1. Mebandingkan hadis itu dengan riwayat lain, yaitu ketika hadis itu di riwayatkan secara terpisah dalam riwayat lain.
  2. Berdasarkan ketetapan para kritikus hadis yang menyatakan bahwa redaksi hadis tertentu merupakan al-idraj.
  3. Melalui pengakuan periwayat sendri bahwa ia telah menyisipkan kata dalam suatu hadis tertentu dan,
  4. Melalui pemahaman bahwa mustahil Rasulluloh Saw bersabda dengan redaksi itu.
c. Hadis maqlub.

Sebuah hadis yang diriwayatkan dengan cara menganti  kata-kata lain baik pada sanad maupun muatannya di sebut hadis maqlub. Kata al-maqlub sendiri berasal dari kata al-qalb yang berarti mengubah sesuatu dari keberadaannya. Jadi, hadis maqlub adalah hadis yang didalamnya periwayat menukar suatu kata ataua kalimat dengan kata atau kalimat lain.

Pembalikkan matan dapat dilakukan pula dengan meletakkan hadis pada sanad yang lain dan sanad hadis itu pada matan yang lain pula, dengan maksud unutk menguji kemanpuan periwayat tertentu dalam menghafal hadis, misalnya yang dilakukkan oleh ulama bahgdad ketika menguji al-bukhari mereka terdiri dari sepuluh orang, masing-masing mengubah sepuluh hadis sehingga jumlahh semuanya seratus hadis. Al-bukhari mengembalikan hadis-hadis itu pada tempat semula seperti sebelum diubah. Tak satupun hadis yang salah pemepatannya. Juga, ujian yahya ibn ma’in terhadap abu na’im dengan scara menulis tiga puluh hadis yang berasal dari abu na’im setiap sepuluh hadis disisipi dengan satu hadis yang tidak berasal darinya. Sebagai mana al-bukhari, abu na’im dapat menyelaksi hadis-hadis yang bukan riwayatnya dan memperbaikinya.

Menurut mahmud al-Thahhan, faktor-faktor pendorong terjadinya hadis maqlub adalah:

  1. Agar suatu hadis menyendiri dan orang-orang senang meriwayatkan dan berhujjah dengannya.
  2. Untuk menguji kekuatan hafalan seorang ahli hadis.
  3. Karena kesalahan dan kelalaian tanpa sengaja.

d.      Hadis mazid.

Jika sebuah hadis mendapat tambahan kata atau kalimat yang bukan berasal dari hadis itu baik pada sanad maupun matan, maka hadis itu disebut hadis mazid. Kata mazid sendiri merupakan isim maful dari kata al-ziyadah (tambahan). Tambahan dapat terjadi pada sanad atau matan. Tambahan pada sanad dilakukkan dengan menambah nama perwayat atau memarfukan hadis mawquf atau me-mawshulkan hadis mursal. Hadis mazid dafri segi sanad yang berupa penambahan nama periwayat misalnya, hadis riwayat ibn al-mubarak.

Hadis mazid dari segi matan terjadi dengan adanya tambahan kata atau kalimat dalam matan hadis itu. Menurut ibn al-shalah  seperti dikutip mahmud al-Thahhan, terdapat tiga kategori hadis mazid dari segi matan yaitu:

  1. Tambahan yang tidak yang tidak mengandung pertentangan dengan hadis poeriwayat yang tsiqoh atau lebih tsiqoh darinya.
  2. Tambahan yang mengandung pertentangan dengan hadis periwayat yang tsiqoh atau yang lebih darinya.
  3. Tambahan yang mengandung semacam pertentangan (nau’ munafah) dengan periwayat yang tsiqoh atau lebid tsiqoh.

e. Hadis mudhtharib.

Kata al-mudtarib berasal dari kata al-idthirab yang berarti kekacauan sesuatu dan kerusakakan aturannya. Menurut istilah, muththrib adalah hadis yang diriwayatkan dengan cara yang berbeda-beda, tetapi sama dengan kekuatan. Maksudnya, hadis yang diriwayatkan dengan be\ntuk yang bertentangan yang berdeda serta tidak mungkin dilakukan kompromi.

Dari definisi di atas  di ketahui bahwa kriteria hadis mudhtharib adalah: (1) adanya kekacauan riwayat hadis dan tidak mungkin dilakukan kompromi adanya keduanya, (2) adanya kesamaan kekuatan riwayat sehinggga tidak mungkin dilakukkan tarjih antara keduanya.

f. Hadis mushahhaf.

Kata mushahhaf berasal  dari bahasa arab al-tashhif yang berarti salah  dalam membaca lembaran, kata al-shahafi  berarti orang yang slah dalam membaca lembaran dengan mengubah sebagian redaksinya karena salah dalam membaca.

g. Hadis majhul.

Kata majhul yang juga disebut al-jahalah bi al-rawi, berasal dari kata jahiliah lawan kata ‘alima yang berarti bodoh, tidak mengetahui. Menurut istilah, majhul adalah hadis yang tidak ketahui jati diri periwayat atau keadaanya. Dalam hal ini, periwayat tidak diketahui jati diri dan kepribadiannya atau kepribadiannya di ketahui tetapi diketahui kadailan atau ke-dhabith-annya.

Hadis majhul dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori sesuai dengan sifat atau identitas yang menyebabkanya majhul, yaitu:

  1. Majhul al-‘ayn, yaitu periwayat yang namanya di sebut tetapi hadisnya hanya diriwayatkan oleh seotrang periwayatnya saja.
  2. Majhul al-hal, yaitu periwayat yang hadisnya diriwayatkan oleh dua orang periwayat atau labih tetapi tidak di sertai penilaian positif atau negatif.
  3. Al-mubham, yaitu perwayat yang namanya tidak disebut dalam hadis, misalnya si anu, seorang laki-laki, atau seorang syekh meriwayatkan hadis tertentu.

Keberadaan hadis majhul disebabkan oleh faktor-faktor penyebab baik yang terkait dengan identitas periwayat, kuantitas perwayat, atau faktor penyebutan nama, sebagai berikut:

  1. Banyaknya identitas periwayat baik berupa nama, julukan, sifat, asal daerah, keturunan, dan sebagainya.
  2. Hadis yang diriwayatkan oleh tertentu jumlahnya sedikit sehingga tidak banyak periwayat lain dam periwayatkan dari hadisnya.
  3. Tidak adanya penjelasan tentang nam periwayat dengan maksud untuk meringkas atau maksud lain.
  4. Hadits dha’if karena mengandung syadz

Secara bahasa syadz merupakan isim fa’il dari syadzadza yang berarti menyendiri (infarada) dan yang dimaksud adalah (sesuatu yang menyandiri terpisah dari mayoritas). menurut istilah, syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh periwayat tsiqah dan bertentangan dengan riwayat oleh periwayat yang lebi tsiqah. Pendapat ini dikemukakan oleh al-syafi’i dan diikuti oleh kebanyakan ulama. Menurut al-syafi’i, suatu hadits dinyatakan mengandung syadz apabila diriwayatkan oleh seorang periwayat yang tsiqah dan bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan banyak periwayat yang juga tsiqah. Berbeda dengan al-hakim al-nasyaburi menyatakan bahwa hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang periwayat tsiqah, tetapi tidak periwayat tsiqah lain yang meriwayatkannya.

Jadi bagi al-syafi’i, suatu hadits dinyatakan mengandung syadz apabila: hadits itu memiliki lebih dari satu sanad,para periwayat hadits itu seluruhnya tsiqah,matan atau sanad hadits itu mengandugn pertentangan. Sedangkan bagi al-hakim suatu hadits dinyatakan mengandung syadz apabila: hadits itu hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat (fard muthlaq), periwayat yang sendirian itu bersifat tsiqah.

Dengan demikian perbedaan al-syafi’i dan al-hakim dalam hal ini adalah: bagi al-syafi’i hadits itu memiliki lebih dari satu sanad dan menurut al-hakim hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat (fard muthlaq). Menurt al-syafi’i, harus terjadu pertentangan matan dan sanad periwayat yang sama-sama tsiqah dan bagi al-hakim tidak harus terjadi pertentangan matan atau sanad dari periwayat yang sama-sama tsiqah itu.

Berbeda dengan al-syafi’i dan al-hakim, Abu ya’la al-khalili berpendapat bahwa hadis yang sanadnya hanya satu macam, baik periwatnya bersifat tsiqah maupun tidak. Apabila periwatnya tidak tsiqah maka ditolak sebagai hujjah, sedang bila periwatnya tsiqah, maka hadits itu dibiarkan(maukuf), tidak ditolak dan tidak sebagai hujah. Jadi al-khalili sebuah hadits dikatakan mengandung syadz apabila: hadits itu hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat, periwayat yang sendirian itu mngkin bersifat tsiqah atau tidak.

Para ulama hadits seperti Ibnu Al-shalah, Al- Nawawi, Ibnu Hajar Al Asqolani, Al-Syuyuti, Al Iroqi, Muhammad Al-Shabbagh, Subi Al-shalih dan beberapa ulama lain sepakat dengan Al-Syafi’i ketika mendefinisikan hadits Syadz tersebut. Hal ini logis, karena disamping penererapannya tidak sulit juga. Jika pendapat Al-Hakim dan Al-Kholili yang diikuti, maka banyak hadits yang oleh ulama dinilai shohih akan berubah menjadi tidak shohih, karena hadits yang diriwayatkan oleh periwayat tsiqah yang sedirian termaksuk hadits ahad kategori Gharib yang jumlahnya sangt banyak.

5. Hadits Dha’if Karena Mengandung Ilat(cacat)

Jika dalam sebuah hadits terdapat cacat tersembunyi dan secara lahiriah tampak shahih maka hadits itu dinamakan hadits mu”alal yaitu hadits yang mengandung ilat. Kata Al-Mualal merupakan isim ma’ful dari kata a’allah(mencacatkannya). Secara bahasa kata ilat berarti cacat, kesalahan baca, dan keburukan. Menurut istilah ahli hadits ilat berarti sebab yang tersembunyi yang dapat merubah keshahihan hadits.

Sebagai sebab kecacatan hadits, pengertian ilat disini berbeda dngan pengertian Ilat secara umum, misalnya karena periwayat pendusta atau tidak kuat hafalan. Cacat umum seperti ini dalam ilmu hadits disebut dengan istilah Al-Tha’n atau Al-Jarah dan terkadang diistilahkan dengan Ilat dalam arti umum. Cacat umum ini dapat mengakibatkan pula lemahnya sanat, tetapi hadits yang mengandng cacat itu tidak disebut dengan hadits mualal(hdits yang bercacat).

Dilihat ari segi periwayat, hdits mualal sama dengan hadits syadz, yaitu keduanya sama-sama diriwayatkan oleh periwayat tsiqah. Bedanya, dalam hadits mualal Ilatnya dapat ditemukan sedangkan dalam hadits Syadz tidak. Sebagaimana telah dijelaskan, tidak hanya Ilat merupakan salah satu syarat keshahihan suatu hadits. Jika suatu hadits mengandung Ilat maka ia dinyatakan tidak shahih.

Suatu ilat hadits dapat terjadi pada sanat, pada matan, atau pada sanad dan matan sekaligus. Akan tetapi yang terbanyak ilat terjadi pada sanad. Masing-masing hadits, baik ilatnya terjadi pada sanad, matan, atau pada sanad dan matan sekaligus disebut hadits mualal. Suatu hadits juga disebut mengandung ilat apabila berupa hadits maqthu diriwayatkan secara marfu atau hadits munqathi yang diriwayatkan secara muttashil yang diketahui setelah dilakukan perbandingan sanad hadits.

6. Kehujjatan hadis da’if

Dikalangan ulama terjadi perbedaan pendapat tentang kehujjatan hadis dha’if. Setidaknya terdapat tiga pendapat berkenaan dengan dapat atau tidaknya berhujah dengan hadits jenis ini. Pertama menurut Yahya Ibnu ma’in, Abu Bakar Ibnu Arabi, Al.Bukhari, Muslim, dan Ibnu Hajam hadits Dha’if tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam masalah fada’il Al-mal maupun hukum. Kedua, Abu Daud dan Ahmad Ibnu Hanbal berpendapat bahwa hadits Dha’if dapat diamalkan secara mutlak. Ketiga, merurut Ibnu Hajar Al-Asqalani hadits Dha’if dapat dijadikan Hujah dalam masalah fadhail al-a’mal mawa’izh, al-tharib wa al-tagrib dan sebagainya jika memenuhi syarat-syarat tertentu.

Syarat-syarat itu adalah ke-dhaiannya tidak parah, seperti hadis yang diriwayatkan oleh para pendusta atau tertuduh dusta,atau sangat banyak mengalami kesalahan,terdapat dalil lain yang kuat yang dapat diamalkan,ketika mengamalkanya tidak beriktikad bahwa hadis itu tsubut,tetapi sebaiknya dalam rangka berhati-hati. Menurut Muhammad ‘Ajjaj al-khatib, pendapat yang paling kuat adalah yang pertama, sebab masalah keutamaan-keutamaan (fadhail al-a’mal) dan kemuliaan akhlak (makarim alakhlaq), temasuk pula mawa’izh,al-targhib merupakan tiang-tiang agama yang tidak ada berbeda dengan hukum yang harus berdasar hadis shahih atau hasan, karena kesemuanya itu harus harus bersumber dari hadis yang maqbul.

Bab III. Penutup

A.  Kesimpulan.

Kata dhaif menurut bahasa, berarti lemah, sebagai lawan dari qawi (yang kuat). Sebagai lawan dari kata shahih, kata dhaif juga berarti saqim (yang sakit). Maka sebutan hadis dhaif secara bahasa berarti hadis yang lemah, yang sakit, yang tidak kuat. Secara terminologis, para ulama mendefinisikannya dengan redaksi yang beragam, meskipun maksud dan kandungannya sama

Macam-macam hadis dhaif, yaitu:

  1. Hadis karena sanadnya terputus.
    1. Hadis mu’allaq
    2. Hadis munqathi’.
    3. Hadis mu’an’an dan hadis muannan.
    4. Hadis mu’dhal.
    5. Hadis mursal.
    6. Hadis mawquf dan hadis maqthu’.
  2. Hadis dhaif karena periwayatnya tidak adil.
    1. Hadis mawdhu’.
    2. Hadis matruk.
    3. Hadis munkar.
  3. Hadis dhiaf karena periwayatnya tidak dhabith
    1. Hadis mudallas.
    2.  Hadis mudraj.
    3. Hadis maqlub.
    4. Hadis mazid.
    5. Hadis mudhtharib.
    6. Hadis mushahhaf.
    7. Hadis majhul.