Pendidikan kewarganegaraan Jepang yang dikenal dalam terminologi social studies, living experience and moral education (Kerr, 1999). Hal ini berorientasi pada pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan warga negara berkaitan dengan upaya untuk membangun bangsa Jepang.
Daftar isi
Pendidikan Kewarganegaraan Jepang
Bab I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
I. Asal Usul Nama dan Sejarah Awal Jepang
Jepang disebut “Nippon” atau “Nihon” dalam bahasa Jepang, yang berarti “asal-muasal matahari”. Kedua kata ini ditulis dengan huruf kanji 日本. “Nippon” digunakan dalam urusan resmi, sedangkan “Nihon” digunakan sehari-hari. Nama ini mengacu pada letak Jepang di timur daratan Cina. Sebelum berhubungan dengan Cina, Jepang dikenal sebagai Yamato (大和), dan di Cina disebut negara Wa (倭).
a. Sejarah Arkeologi dan Zaman Klasik
Penelitian arkeologi menunjukkan bahwa Jepang dihuni manusia purba sejak 600.000 tahun lalu. Kebudayaan Jomon muncul sekitar 11.000 SM, dengan gaya hidup pemburu-pengumpul dan pembuatan kerajinan tembikar. Periode Yayoi dimulai sekitar 300 SM dengan teknologi baru seperti bercocok tanam padi dan pembuatan perkakas dari besi dan perunggu. Periode Kofun sekitar tahun 250 ditandai dengan negeri-negeri militer kuat. Pada abad ke-5 dan ke-6, sistem tulisan Cina, agama Buddha, dan kebudayaan Cina lainnya masuk ke Jepang dari Korea.
b. Zaman Pertengahan dan Feodalisme
Abad pertengahan ditandai dengan feodalisme dan perebutan kekuasaan antar kelompok samurai. Minamoto no Yoritomo mendirikan Keshogunan Kamakura pada tahun 1185. Keshogunan ini berhasil menahan serangan Mongol pada tahun 1274 dan 1281. Periode ini diikuti oleh periode Ashikaga yang diwarnai oleh perang saudara. Pada abad ke-16, pedagang dan misionaris Portugis tiba di Jepang, memulai pertukaran budaya dan perdagangan dengan Dunia Barat.
c. Periode Edo dan Isolasi
Tokugawa Ieyasu mendirikan Keshogunan Tokugawa pada tahun 1603, yang menjalankan kebijakan sakoku (“negara tertutup”) selama dua setengah abad. Meskipun isolasi, Jepang terus mempelajari ilmu-ilmu dari Barat. Pada periode Edo, Jepang juga memulai studi tentang dirinya sendiri yang disebut kokugaku.
d. Zaman Modern dan Restorasi Meiji
Pada tahun 1854, Jepang membuka diri terhadap Dunia Barat melalui Persetujuan Kanagawa yang dibawa oleh Komodor Matthew Perry. Restorasi Meiji pada tahun 1868 mengubah Jepang menjadi negara industri modern dan kekuatan militer dunia. Jepang mengadopsi sistem politik, hukum, dan militer dari Barat, dan memperluas pengaruh teritorial di Asia melalui perang dan ekspansionisme.
e. Perang Dunia II dan Pasca-Perang
Pada tahun 1937, invasi Jepang ke Manchuria memicu Perang Sino-Jepang Kedua. Serangan ke Pearl Harbor pada tahun 1941 menyeret Amerika Serikat ke Perang Dunia II. Setelah pengeboman Hiroshima dan Nagasaki, Jepang menyerah tanpa syarat pada tahun 1945. Pasca perang, Jepang mengalami pemulihan ekonomi dan menjadi kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia hingga awal 1990-an.
f. Kependudukan
Populasi Jepang diperkirakan sekitar 127,614 juta orang (perkiraan 1 Februari 2009). Masyarakat Jepang homogen dalam etnis, budaya dan bahasa, dengan sedikit populasi pekerja asing. Di antara sedikit penduduk minoritas di Jepang terdapat orang Korea Zainichi, Cina Zainichi, orang Filipina, orang Brazil-Jepang, dan orang Peru-Jepang. Pada 2003, ada sekitar 136.000 orang Barat yang menjadi ekspatriat di Jepang.
Kewarganegaraan Jepang diberikan kepada bayi yang dilahirkan dari ayah atau ibu berkewarganegaraan Jepang, ayah berkewarganegaraan Jepang yang wafat sebelum bayi lahir, atau bayi yang lahir di Jepang dengan ayah/ibu tidak diketahui/tidak memiliki kewarganegaraan. Suku bangsa yang paling dominan adalah penduduk asli yang disebut suku Yamato dan kelompok minoritas utama yang terdiri dari penduduk asli suku Ainudan Ryukyu, ditambah kelompok minoritas secara sosial yang disebut burakumin.
Pada tahun 2006, tingkat harapan hidup di Jepang adalah 81,25 tahun, dan merupakan salah satu tingkat harapan hidup tertinggi di dunia. Namun populasi Jepang dengan cepat menua sebagai dampak dari ledakan kelahiran pascaperang diikuti dengan penurunan tingkat kelahiran. Pada tahun 2004, sekitar 19,5% dari populasi Jepang sudah berusia di atas 65 tahun.
Perubahan dalam struktur demografi menyebabkan sejumlah masalah sosial, terutama kecenderungan menurunnya populasi angkatan kerja dan meningkatnya biaya jaminan sosial seperti uang pensiun. Masalah lain termasuk meningkatkan generasi muda yang memilih untuk tidak menikah atau memiliki keluarga ketika dewasa. Populasi Jepang dikhawatirkan akan merosot menjadi 100 juta pada tahun 2050 dan makin menurun hingga 64 juta pada tahun 2100. Pakar demografi dan pejabat pemerintah kini dalam perdebatan hangat mengenai cara menangani masalah penurunan jumlah penduduk. Imigrasi dan insentif uang untuk kelahiran bayi sering disarankan sebagai pemecahan masalah penduduk Jepang yang semakin menua.
Perkiraan tertinggi jumlah penganut agama Buddha sekaligus Shinto adalah 84-96% yang menunjukkan besarnya jumlah penganut sinkretisme dari kedua agama tersebut.Walaupun demikian, perkiraan tersebut hanya didasarkan pada jumlah orang yang diperkirakan ada hubungan dengan kuil, dan bukan jumlah penduduk yang sungguh-sungguh menganut kedua agama tersebut. Professor Robert Kisala (dari Universitas Nanzan) memperkirakan hanya 30% dari penduduk Jepang yang mengaku menganut suatu agama.
Taoisme dan Konfusianisme dari Cina juga memengaruhi kepercayaan dan tradisi Jepang. Agama di Jepang cenderung bersifat sinkretisme dengan hasil berupa berbagai macam tradisi, seperti orang tua membawa anak-anak ke upacara Shinto, pelajar berdoa di kuil Shinto meminta lulus ujian, pernikahan ala Barat di kapel atau gereja Kristen, sementara pemakaman diurus oleh kuil Buddha. Penduduk beragama Kristen hanya minoritas sejumlah (2.595.397 juta atau 2,04%).Kebanyakan orang Jepang mengambil sikap tidak peduli terhadap agama dan melihat agama sebagai budaya dan tradisi. Bila ditanya mengenai agama, mereka akan mengatakan bahwa mereka beragama Buddha hanya karena nenek moyang mereka menganut salah satu sekte agama Buddha. Selain itu, di Jepang sejak pertengahan abad ke-19 bermunculan berbagai sekte agama baru (Shinshūkyō) seperti Tenrikyo dan Aum Shinrikyo (atau Aleph).
Lebih dari 99% penduduk Jepang berbicara bahasa Jepang sebagai bahasa ibu.Bahasa Jepang adalah bahasa aglutinatif dengan tuturan hormat (kata honorifik) yang mencerminkan hirarki dalam masyarakat Jepang. Pemilihan kata kerja dan kosa kata menunjukkan status pembicara dan pendengar. Menurut kamus bahasa Jepang Shinsen-kokugojiten, kosa kata dari Cina berjumlah sekitar 49,1% dari kosa kata keseluruhan, kata-kata asli Jepang hanya 33,8% dan kata serapan sekitar 8,8%.Bahasa Jepang ditulis memakai aksara kanji, hiragana, dan katakana, ditambah huruf Latin dan penulisan angka Arab. Bahasa Ryukyu yang juga termasuk salah satu keluarga bahasa Japonik dipakai orang Okinawa, tapi hanya sedikit dipelajari anak-anak. Bahasa Ainu adalah bahasa mati dengan hanya sedikit penutur asli yang sudah berusia lanjut di Hokkaido. Murid sekolah negeri dan swasta di Jepang hanya diharuskan belajar bahasa Jepang dan bahasa Inggris.
Kota-Kota Besar di Pijit | |||
No | Kota | Prefektur | Populasi |
1 | Tokyo | Tokyo | 8.483.050 |
2 | Yokohama | Kanagawa | 3.579.133 |
3 | Osaka | Osaka | 2.628.776 |
4 | Nagoya | Aichi | 2.215.031 |
5 | Sapporo | Hokkaido | 1.880.875 |
6 | Kobe | Hyogo | 1.525.389 |
7 | Kyoto | Kyoto | 1.474.764 |
8 | Fukuoka | Fukuoka | 1.400.621 |
9 | Kawasaki | Kanagawa | 1.327.009 |
10 | Saitama | Saitama | 1.176.269 |
11 | Hirosima | Hirosima | 1.159.391 |
12 | Sendai | Miyagi | 1.028.214 |
g. Pendidikan
10. Budaya
B. Budaya Jepang
Budaya Jepang mencakup interaksi antara budaya asli Jomon yang kokoh dengan pengaruh dari luar negeri yang menyusul. Mula-mula Cina dan Korea banyak membawa pengaruh, bermula dengan perkembangan budaya Yayoi sekitar 300 SM. Gabungan tradisi budaya Yunani dan India, memengaruhi seni dan keagamaan Jepang sejak abad ke-6 Masehi, dilengkapi dengan pengenalan agama Buddha sekte Mahayana. Sejak abad ke-16, pengaruh Eropa menonjol, disusul dengan pengaruh Amerika Serikat yang mendominasi Jepang setelah berakhirnya Perang Dunia II. Jepang turut mengembangkan budaya yang original dan unik, dalam seni (ikebana, origami, ukiyo-e), kerajinan tangan (pahatan, tembikar, persembahan (boneka bunraku, tarian tradisional, kabuki, noh, rakugo), dan tradisi (permainan Jepang, onsen, sento, upacara minum teh, taman Jepang), serta makanan Jepang.
Kini, Jepang merupakan salah sebuah pengekspor budaya pop yang terbesar. Anime, manga, mode, film, kesusastraan, permainan video, dan musik Jepang menerima sambutan hangat di seluruh dunia, terutama di negara-negara Asia yang lain. Pemuda Jepang gemar menciptakan trend baru dan kegemaran mengikut gaya mereka memengaruhi mode dan trend seluruh dunia. Pasar muda-mudi yang amat baik merupakan ujian untuk produk-produk elektronik konsumen yang baru, di mana gaya dan fungsinya ditentukan oleh pengguna Jepang, sebelum dipertimbangkan untuk diedarkan ke seluruh dunia.
Chakinzushi, sushi yang dibungkus telur dadar tipis.
Baru-baru ini Jepang mula mengekspor satu lagi komoditas budaya yang bernilai: olahragawan. Popularitas pemain bisbol Jepang di Amerika Serikat meningkatkan kesadaran warga negara Barat tersebut terhadap segalanya mengenai Jepang.
Orang Jepang biasanya gemar memakan makanan tradisi mereka. Sebagian besar acara TV pada waktu petang dikhususkan pada penemuan dan penghasilan makanan tradisional yang bermutu. Makanan Jepang mencetak nama di seluruh dunia dengan sushi, yang biasanya dibuat dari pelbagai jenis ikan mentah yang digabungkan dengan nasi dan wasabi. Sushi memiliki banyak penggemar di seluruh dunia. Makanan Jepang bertumpu pada peralihan musim, dengan menghidangkan mi dingin dan sashimi pada musim panas, sedangkan ramen panas dan shabu-shabu pada musim dingin.
Bab II. Pembahasan
Pendidikan kewarganegaraan Jepang yang dikenal dalam terminologi social studies, living experience and moral education (Kerr, 1999), berorientasi pada pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan warga negara berkaitan dengan upaya untuk membangun bangsa Jepang. Dalam tulisan ini, kajian pendidikan kewarganegaraan di Jepang akan memfokuskan diri kepada kajian tentang konteks kelahiran, landasan pengembangan, kerangka sistemik, dan kurikulum dan bahan ajar pendidikan kewarganegaraan di Jepang.
A. Konteks Kelahiran
Konteks kelahiran Pendidikan Kewarganegaraan di Jepang dapat ditelusuri, terutama setelah Perang Dunia kedua (1945). Pada masa itu, perhatian pemerintah Jepang terhadap pendidikan mulai menunjukkan peningkatan. Pendidikan menjadi pusat perhatian pemerintah sebagaimana direncanakan sejak periode Meiji (abad ke-19) (Otsu, 1998:51; Ikeno, 2005:93). Periode setelah kekalahan Jepang ini, merupakan titik balik yang sangat penting bagi pendidikan di Jepang.
Pendidikan Jepang mengubah orientasinya dari yang bersifat militer ke arah pendekatan yang lebih demokratis. Demikian pula perubahan dirasakan dalam Pendidikan Kewarganegaraan, mata pelajaran ini telah bergeser penekanannya dari pendidikan untuk para warga negara dan pengajaran disiplin ilmu-ilmu sosial yang terkait dengan upaya untuk membangun bangsa Jepang, ke arah Pendidikan Kewarganegaraan untuk semua warga negara (Ikeno, 2005:93).
Pendidikan Kewarganegaraan Jepang setelah Perang Dunia II dapat digambarkan dalam tiga periode (Ikeno, 2005:93) sebagai berikut: “Pertama, periode tahun 1947-1955, berorientasi pada pengalaman. Kedua, periode tahun 1955-1985, berorientasi pada pengetahuan, dan ketiga, periode tahun 1985-sekarang, berorientasi pada kemampuan”.
Periode pertama, Pendidikan Kewarganegaraan sebagian besar diterapkan secara integratif ke dalam studi sosial. Studi sosial mengadopsi metoda-metoda pemecahan masalah, seperti penelitian dan diskusi, dan mengajarkan kehidupan sosial dan masyarakat secara umum. Di dalam kelas, para guru dan anak-anak mempertimbangkan permasalahan kehidupan sosial dan masyarakat melalui pengalaman sosial yang diperoleh dengan pemecahan masalah. Mereka belajar tentang “masyarakat mereka sendiri” dan mengembangkan “sikap dan keterampilan-keterampilan untuk berpartisipasi secara positif untuk membangun masyarakat yang demokratis”.
Pelaksanaan pembelajaran studi sosial pada periode ini adalah melalui “yubin-gokko (playing the post)” dan “yamabiko-gakko (echo school)”. Dalam praktek ini, guru mengorganisir suatu struktur yang berhubungan dengan kegiatan pos sebagai satu aktivitas untuk anak-anak. Di yamabiko-gakko, guru mengorganisir aktivitas penyelidikan sehingga anak-anak bisa membuat pertanyaan-pertanyaan melalui komposisi dan jawaban bebas mereka.
Dalam situasi demikian, anak-anak itu melaksanakan aktivitas, sementara para guru tidak mengambil peran yang besar untuk memimpin dalam proses pembelajaran tersebut. Banyak orang mengkritik praktek pembelajaran ini, mereka berpendapat bahwa dalam praktek pembelajaran tersebut, anak-anak hanya memperoleh pengetahuan biasa yang dipelajari tanpa sengaja, dan mereka menuntut para guru studi sosial untuk mengajar ilmu sosial secara sistematis.
Pada periode yang kedua, Pendidikan Kewarganegaraan didasarkan atas prinsip intelektualisme yang berkembang dalam disiplin akademis. Kementerian Pendidikan Jepang memisahkan Pendidikan Moral (dotoku) dari studi sosial. Studi sosial dipecah menjadi Geografi, Sejarah, dan politik/ekonomy/kemasyarakatan.
Masing-masing disipilin di atas terdiri atas seperangkat pengetahuan dan keterampilan. Hal tersebut dipersiapkan agar para siswa memiliki pengetahuan inti tentang budaya Jepang secara umum. Pendidikan Kewarganegaraan periode kedua ini diarahkan agar para siswa memperoleh pengetahuan yang dianggap penting bagi bangsa Jepang.
Sasaran pengajaran Pendidikan Kewarganegara pada periode kedua ini terdiri atas empat unsur (Ikeno, 2005:94), yaitu untuk mengembangkan:
- pengetahuan dan pemahaman
- keterampilan berpikir dan ketetapan
- keterampilan dan kemampuan
- kemauan, minat, dan sikap warganegara
Pada periode ketiga, Pendidikan Jepang ditekankan pada pengembangan prinsip hubungan timbal balik. Dalam hal ini, pendidikan sekolah difokuskan untuk mengembangkan “kemampuan yang diperlukan dalam kehidupan siswa”, dalam arti siswa mampu menemukan suatu masalah sendiri, belajar tentang permasalahan itu, memikirkannya, menilai dengan bebas, menggunakan metode yang tepat, memecahkan masalah secara tepat, kreatif, dan memperdalam pemahamannya tentang hidup. Sasaran ini dicapai melalui integrasi dari setiap disiplin ilmu. Karena itu, periode ini disebut sebagai “periode studi yang terintegrasi”.
Pendidikan Kewarganegaraan dalam periode ketiga bertujuan mempersiapkan setiap individu untuk dapat terlibat dalam secara aktif dalam masyarakat, dan menggunakan budaya umum dalam setiap hal. Penekanan Pendidikan Kewarganegaraan telah diubah dari mengutamakan pengetahuan umum tentang bangsa Jepang kepada kemampuan itu untuk membangun masyarakat. Pada periode ketiga ini, pendidikan Kewarganegaraan Jepang sebagian besar diterapkan sebagai “kewarganegaraan (civics)” dalam sekolah tingkat atas, dan sebagai “studi sosial” dalam sekolah tingkat menengah (Otsu, 1998:51).
B. Landasan Pengembangan
Landasan Pengembangan Pendidikan Kewarganegaraan di Jepang tidak dapat dilepaskan dari konsep warga negara (komin, citizen) dan kewarganegaraan (citizenship). Oleh karena itu, penting diketahui bagaimana konsep-konsep tersebut dikonstruksi. Untuk menjelaskan hubungan antara citizen dan citizenship di Jepang, Otsu (1998:53) mengemukakan sebagai berikut: “Related to the definition of ‘citizen’, ‘citizenship’ has a much wider meaning and can be used differently in different contexts”. Berdasarkan kutipan tersebut diketahui bahwa definisi antara citizen dan citizenship dapat memiliki arti yang luas dan dapat digunakan dalam cara dan dalam konteks yang berbeda.
Lebih lanjut Otsu (1998:53) mengemukakan bahwa pada saat “studi sosial (social studies)” dimulai sebagai mata pelajaran inti pada tahun 1948, Kementerian Pendididikan menjelaskan bahwa ‘studi sosial tidak hanya membantu penduduk mengikuti kebijakan pemerintah, tetapi setiap penduduk secara intens belajar tentang masyarakat mereka dan untuk mengembangkan sikap dan keterampilan mereka untuk berpartisipasi secara positif dalam masyarakat mereka untuk membangun masyarakat yang demokratis.
Pada saat “kewarganegaraan (civics)” disiapkan sebagai suatu mata pelajaran pada sekolah menengah pada tahun 1970, Kementerian Pendidikan menggambarkan tujuan inti Pendidikan Kewarganegaraan sebagai berikut:
- to develop an awareness and understanding of Japan as a nation and the principle of sovereignty (Untuk mengembangkan kesadaran dan pemahaman tentang Jepang sebagai sebuah negara dan prinsip kedaulatan).
- to develop a concept of local community and the state and ways in which the individual can contribute to the work of the community and the state (Untuk mengembangkan suatu konsep tentang masyarakat lokal dan negara serta cara bagaimana setiap individu dapat berkontribusi dalam satu pekerjaan di masyarakat dan negara).
- to appreciate rights and responsibilities and duties of the individual in the community and wider society (Untuk menghargai hak dan tanggungjawab serta tugas dari individu dalam suatu komunitas dan masyarakat yang lebih luas).
- to develop an ability to act positively in relation to rights and duties (untuk mengembangkan kemampuan untuk bertindak secara positif dalam hubungan antara hak dan kewajiban).
C. Kerangka Sistemik
Kerangka sistemik yang dimaksud adalah “istilah teknis yang digunakan, pendekatan yang dikembangkan, dan jumlah jam perminggu, baik untuk pendidikan dasar maupun pendidikan menengah” (Kerr, 1999; Winataputra, 2007). Pada tabel berikut ini disajikan pengorganisasian Civic Education di Jepang pada pendidikan dasar dan pendidikan lanjutan pertama dan tingkat atas.
Tabel 1. Organisation of Citizenship Education in Primary Phase
Country | Terminology | Approach | Hours per week |
Japan | Social studies, living experiences and moral education | Statutory core separate and integrated | 175 x 45 minutes per year |
Kerr, (1999:18)
Tabel di atas dapat menggambarkan kerangka sistemik pendidikan kewarganegaraan pada tingkat pendidikan dasar. Terminologi yang digunakan untuk mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah “Social studies, living experiences and moral education”. Kedudukan dalam program pendidikan bersifat wajib yang dikemas sebagai materi inti yang terintegrasi atau secara berdiri sendiri. Beban belajar perminggu adalah 175 x 45 menit per tahun.
Sementara itu, Pendidikan Kewarganegaraan untuk tingkat pendidikan lanjutan pertama dan tingkat atas dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 2. Organisation of Citizenship Education in the Lower and Upper Secondary Phase
Country | Terminology | Approach | Hours per week |
Japan | Social studies, living experiences and moral education | Statutory coreIntegrated and specific | 175 x 45 minutes per year (grade 7 dan ’8)140 x 50 minutes per year (grade 9)140 x 50 minutes per year (upper secondary) |
Kerr, (1999:19)
Untuk sekolah lanjutan tingkat pertama dan atas, bahan kajian atau mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan digunakan istilah “Social studies, living experiences and moral education”. Kedudukan dalam program pendidikan bersifat wajib yang dikemas sebagai materi inti yang terintegrasi atau secara berdiri sendiri. Beban belajar perminggu adalah: tingkat lanjutan pertama: 175 x 45 menit per tahun untuk tingkat 7 dan 8, dan 140 x 50 menit per tahun untuk tingkat 9. Sedangkan untuk tingkat atas adalah 140 x 50 menit per tahun.
D. Kurikulum dan Bahan Belajar
Dalam uraian Otsu (1998:) Pendidikan Kewarganegaraan dalam sekolah dasar diimplementasikan sebagai “life and environmental studies” pada tingkat 1-2, dan “social studies” pada tingkat 3-6 untuk tiga jam pelajaran (1 jam pelajaran = 45 menit) per minggu. Di sekolah menengah, studi sosial terdiri atas tiga mata pelajaran, Geografi (4 jam per minggu pada tingkat 1 dan 2, 1 jam = 50 menit), Sejarah (dengan proporsi yang sama dengan geografi), dan Kewarganegaraan (2-3 jam per minggu pada tingkat 3).
Isi (kurikulum) Kewarganegaraan pada sekolah menengah terdiri atas:
- contemporary social life (Kehidupan sosial kontemporer)
- Improvement of national life and economy (Perbaikan kehidupan nasional dan ekonomi)
- democratic government and international community (Pemerintahan demokratis dan masyarakat internasional)
(Otsu, 1998:54)
Pada sekolah menengah, para siswa belajar Kewarganegaraan pada tahun terakhir, pelajaran Kewarganegaraan tingkat tiga cenderung diarahkan sebagai pusat pengetahuan dan ditekankan terhadap hapalan (memorization), karena banyak siswa dan guru berkonsentrasi untuk ujian masuk ke tingkat sekolah menengah atas.
Kurikulum sekolah menengah atas terdiri atas bidang mata pelajaran dan sub mata pelajaran yang spesifik. Para siswa diharuskan mengambil empat kredit dari mata pelajaran Kewarganegaraan yang terdiri atas: masyarakat kontemporer (4 jam, 1 jam = 50 menit), etika (2 jam), dan politik/ekonomi (2 jam).
Isi dari kajian tentang masyarakat kontemporer adalah sebagai berikut:
- the individual and culture in contemporary society (individu dan budaya dalam masyarakat kontemporer)
- environment and human life (lingkungan dan kehidupan manusia)
- contemporary politics and economy and the individual (politik dan ekonomi kontemporer dan individual)
- international community and global issues (organisasi internasional dan isu-isu global)
(Otsu, 1998:54)
Dalam kajian tentang masyarakat kontemporer, berbagai inovasi pembelajaran telah dihasilkan. Untuk mengembangkan keterampilan dan sikap pembelajar seperti pengetahuan, beberapa guru menciptakan inovasi pembelajaran dengan mengambil isu-isu kontemporer dengan menggunakan pendekatan yang komprehensif dan aktifitas yang bervariasi, seperti diskusi, games dan simulasi. Meskipun studi sosial dalam sekolah menengah atas dicitrakan sebagai pelajaran hapalan dalam waktu yang lama, namun studi tentang masyarakat kontemporer telah mengubah citra (image) studi sosial sampai taraf tertentu. Pembelajaran kreatif pada masyarakat kontemporer dipublikasikan dan memiliki pengaruh yang mendukung guru-guru lintas bangsa.
Kajian tentang etika dan politik/ekonomi merupakan kajian penting untuk Pendidikan Kewarganegaraan. Tetapi mata pelajaran ini cenderung berfokus pada pengajaran tentang struktur dan metode setiap disiplin ilmu-ilmu sosial.
Sejak kajian masyarakat kontemporer diubah dari pelajaran wajib menjadi satu pilihan, Pendidikan Kewarganegaraan secara umum telah mengakhiri kehilangan statusnya. Hal ini berarti, pada saat yang sama Pendidikan Kewaranegaraan di sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas menjadi hal penting bagi setiap siswa yang akan menjadi pemilih dan bekerja dalam masyarakat segera setelah kelulusan mereka.
Bab III. Penutup
A. Kesimpulan
Pendidikan Kewarganegaraan di Jepang yaitu secara dipisah atau separated. Pendidikan Kewarganegaran di Jepang di sebut juga pendidikan moral. Pendidikan Kewarganegaraan di Jepang di pisah dari studi sosial ( dotoku ) studi sosial di pecah menjadi geografi, sejarah, dan politik atau ekonomi atau kemasyarakatan, pendidikan kewarganegaraan di jepang ada setelah perang dunia kedua tahun 1945. Pendidikan jepang mengubah orientasinya dari yang bersifat militer ke arah pendekatan yang lebih demokratis. Pendidikan kewarganegaraan juga bergeser dari pendidikan untuk para warga dan pengajaran disiplin ilmu ilmu sosial yang terkait dengan upaya untuk membangun bangsa jepang, kearah kependidikan kewarganegaraan ( ikeno,2005:95)
Pendidikan Kewarganegaraan Jepang setelah Perang Dunia II dapat digambarkan dalam tiga periode (Ikeno, 2005:93) sebagai berikut: “Pertama, periode tahun 1947-1955, berorientasi pada pengalaman. Kedua, periode tahun 1955-1985, berorientasi pada pengetahuan, dan ketiga, periode tahun 1985-sekarang, berorientasi pada kemampuan”.
Daftar Pustaka
http://id.wikipedia.org/wiki/Jepang
Baehaqi.wordpress.com/2009/03/05/pendidikan-kewarganegaraan-di-jepang/
Ikeno, N. (2005). “Citizenship Education in Japan After World War II”. In Citized. International Journal of Citizenship and Teacher Education. Vol 1, No. 2 December 2005.
Cogan, J.J. and Ray Derricott (ed). (1998). Citizenship Education for the 21st Century: An International Perspective on Education. London: Kogan Page.
Otsu, K. (1998). “Japan”. In Cogan J.J. and Ray Derricott (ed). Citizenship Education for the 21st Century: An International Perspective on Education. London: Kogan Page.
Kerr, D. (1999). Citizenship Education: An International Comparrison. England: nfer, QCA.
———–. (1999). Citizenship Education in The Curriculum: An International Review. England:nfer, QCA.