Daftar isi
Nilai-nilai luhur budaya Bugis-Makassar
Bab I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Suku Bugis dan Makassar merupakan suku-bangsa utama yang mendiami Sulawesi Selatan, disamping suku-bangsa utama lainnya seperti toraja dan Man-dar.
Suku Bugis mendiami Kabupaten Daerah Tingkat II Bulukumba, Sinjai, bone, Wajo, Sidenreng-Rappang (sidrap), Pinrang, Polewali-Mamasa Polmas, Enrekang, Luwu, Pare-pare, Barru, Pangkajene-Kepulauan (Pangkep) dan Maros. Dua Daerah Tingkat II yang disebutkan terakhir (Pangkep dan Maros) merupakan daerah peralihan suku Bugis dan Makassar, Sedangkan Enrekang peralihan Bugis dengan Toraja sering dikenal sebagai orang-orang Duri atau Massenrempulu’.
Suku Makassar mendiami Kabupaten Daerah Tingkat II Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng dan selayar walaupun mempunyai dialek tersendiri.
SIRIK sebagai aspek kebudayaan atau aspek Sosial budaya Bugis-Makassar, guna mengkajinya dan menghayatinya secara mendasar dibutuhkan pengenalan-pengenalan pada pengertian-pengertian kebudayaan itu terlebih dahulu. Yakni pengertian tentang apakah kebudayaan itu?.
Kebudayaan Indonesia mengalami pengaruh-pengaruh (akulturasi) kebudayaan Hindu, kebudayaan Islam. Karenanya maka pengetahuan dasar perihal kebudayaan perlu dihayati, sebelum mengkaji masalah-masalah SIRIK tersebut.
Istilah kebudayaan dalam bahasa Indonesia yang biasa dipakai oleh umum dalam pembicaraan sehari-hari mengandung pengertian mengenai bangunan-bangunan indah, candi-candi, tarian-tarian, seni-suara, seni-rupa dan sebagainya. Tetapi Istilah tersebut yang berasal dari bahasa Sansekerta berarti akal, jadi dengan kebudayaan dapat diartikan segala sesuatu yang bersangkutan dengan akal.
Dalam lingkungan sosiologi, definisi kebudayaan dirumuskan, sebagai berikut:
“ Kebudayaan ialah keseluruhan dari kelakuan dan hasil kelakuan manusia yang teratur oleh tata-kelakuan yang harus didapatnya dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat”.
Dari definisi kebudayaan tersebut , kita dapat mengganggap: tujuh unsur kebudayaan yang
ada pada sebuah bangsa di dunia, yaitu:
1. Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, sistem hukum dan sebagainya.
2. Mata pencaharian dan sistem ekonomi.
3. Perlengkapan dan peralatan hidup manusia (pakaian,perumahan,alat-alat produksi dan sebagainya.
4. Religi.
5. Ilmu
6. Bahasa
7. Seni.
Diuraikan dalam buku Lontara ( catatan yang ditulis di atas daun lontar) yang kemudian diwariskan kepada generasi ke lain generasi dalam lingkungan masyarakat suku Bugis-Makassar, bahwa watak atau falsafah hidup orang-orang Bugis-Makassar itu, tergambar sebagai berikut:
1) Jangan dipermalukan dia, sebab dia akan pi-lih lebih baik mati daripa pada dipermalukan (“Aja mupakasiriwi, materi-tu”).
2) Jangan kecewakan dia, sebab apabila dikecewakan pasti meninggalkan anda (“Aja muballeiwi, nabokoriko-tu”).
Pada hakekatnya, sikap mental atau pandangan hidup orang Bugis-Makassar pada umumnya, sama atau sejalan dan tali temali dengan sikap mental orang-orang Makassar, karena berdasarkan kisah awal mula kelahiran kedua suku ini ( Bugis-Makassar), adalah satujuan adanya. Yakni, berawal usul dari satu sumber rumpun (leluhur).
Dikisahkan dalam buku Lontara, bahwa di Sulawesi selatan ini tempo dulu, ada tiga buah kerajaan besar. Masing-masing kerajaan Luwu/Toraja yang mengusai daerah sampai ke Sulawesi Tengah, kerajaan Gowa, dan kerajaan Bone.
Raja luwu/Toraja mencanangkan politik pemerintahnya dengan mengutamakan “rasa kekeluargaan” (menghendaki agar yang mengusai daerah Sulawesi selatan sebagai raja-raja ialah keturunannya).
Raja Gowa menjalankan politik perintahannya berdasarkan pengembangan syiar Agama Islam
Raja bone mencanangkan politik pemerintahannya berdasarkan politik pengusaha (perluasan daerah).
Secara umum dapat digambarkan bahwa pandangan orang-orang Bugis atau Makassar terhadap sirik dan masalah-masalah penyelesaian Sirik itu, hakekatnya sama saja. Begitu pula dengan masalah-masalah adat-istiadat sebagai warisan leluhur mereka yang satu. (bersumber dari satu rumpun asal usul).
Bagi orang-orang suku Makassar yang pada umumnya berwatak keras dan konsekwen
dijiwai oleh manifestasi sikap-sikap yang berpolakan semboyang:
a. Ejatompi na-doang (arti harfiah: Merah baru disebut udang; dalam arti positif, namun dalam arti negatif ada juga istilah “pabbamban-gang na-tolo” yang artinya semacam sikap membabi buta karena pancingan emosi yang kelewatan sehingga sukar menjaga keseimbangan pada dirinya, biasanya terjadi atau dilakukan dalam hal-hal yang sangat memalukan atau Ni-pakasiriki).
b. Ku-alleangnga tallanga na-towalia (arti harfiah: Lebih kupilih tenggelam daripada kembali ke pangkalan; lebih baik mati berkalangan tanah daripada hidup menanggung malu; juga biasa diartikan sekali layar terkembang pantang biduk surut ke pantai, demi mencapai sasaran yang hendak dicapai. Ibaratnya,dalam mengarungi lautan sekalipun badai mengamuk harus tetap melayarkan bahtera dan jika harus menanggung risikonya misalnya tenggelam ditengah ditengah laut, (memang yang bersangkutan sudah mempersiapkan diri untuk itu).
c. Punna tena sirik-nu pa’niaki pacce-nu (jika anda kehilangan harga diri atau kehormatan, pertahankanlah rasa kemanusiaan dan kesetiakawananmu (setia-kawan, solidaritas), tunjukkan kesetiaan (loyalitas) untuk itu.
Dengan sikap “ eja tompi na-doang” ( merah baru disebut udang) memanifestasikan watak yang keras (konsekwen pada pendiririan atau sikap). Yakni bertindak (berbuat) terlebih dahulu, resiko itu soal belakang. Menggambarkan bahwa emosi lebih menonjol (dominan) ketimbang rasionya bersifat resesif/sifat yang tak muncul pada keturunan (resesif, kebalikan dominan).
Atau dengan perkataan lain, dapat dikemukakan bahwasanya emosi seringkali mengusai rasio. Hal ini erat kaitannya dengan masalah sendi-sendi Sirik tersebut.
Yakni, manakala rasa ketersinggungan kehormatan (identitas terganggu), maka hal tersebut berarti Sirik. Yakni nilai Sirik bagi orang-orang suku Bugis-Makassar dinilai sesuatu yang perlu dimuliakan.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas maka kami merumuskan masalah sebaigai berikut:
a) Apa itu SIRIK NA PACCE/PESSE?
b) Apa itu SIPAKATAU?
c) Bagaimanakah unsur-unsur nilai positif dan negatifnya yang terkandung di dalamnya?
C. TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka kami bermaksud untuk menggambarkan nilai-nilai luhur budayah Bugis-Makassar.
D. MANFAAT PENULISAN
Manfaat penulisan ini adalah untuk mengetahui nilai-nilai luhur budaya Bugis-Makassar.
E. METODE PENULISAN
Penulisan nilai-nilai luhur budayah Bugis-Makassar ini dalam bentuk makalah, metode yang digunakan dalam mengumpulkan data yaitu dari buku-buku mengenai budaya Bugis-Makassar dan data dari internet. Sehingga apabilah dalam penulisan makalah ini ada kata-kata atau kalimat yang hampir sama dari sumber atau penulis lain harap dimaklumi dan merupakan unsur ketidak sengajaan kami.
F. BATASAN MASALAH
Mengingat Bugis-Makassar adalah suku-bangsa yang di dalamnya terkandung banyak nilai budaya dan suatu referensi yang sangat luas dan beragam macamnya maka kami hanya fokus pada rumusan masalah yang kami tulis.
BAB II
PEMBAHASAN
I. SIRIK NA PACCE/PESSE
Orang-orang Bugis-Makassar mengutamakan sifat-sifat Harga diri dan kesetia kawanan (loyalitas), yang di nilai sebagai unsur Sirik dan Pacce atau passe.
Sirik adalah kebanggaan atau keagungan harga diri . Bagi orang-orang suku Bugis-Makassar diwariskan amanah oleh leluhurnya untuk menjunjung tinggi adat-istiadatnya yang didalamnya terpatri pula sendi-sendi sirik tersebut.
Manakala harga diri tersebut disinggung yang karenanya melahirkan aspek-aspek sirik,maka diwajibkan bagi yang tertimpa Sirik itu untuk Melakukan aksi-aksi tantangan. Dapat berupa aksi (perlawanan) seseorang atau aksi (perlawanan) kelompok masing-masing.Terserah pada mutu nilai Sirik yang timbul sebagai ekses-ekses (kejadian bermasalah) kasus yang lahir karenanya.
Bagi pihak-pihak yang terkena Sirik tetapi hanya diam (tanpa aksi-aksi perlawanan) dijuluki sebagai: tau tena Sirikna (tak punya rasa malu atau tak punya hargadiri). Atau dalam bahasa Bugis diungkapkan sebagai tau kurang Sirik (orang yang tak ada harga diri).
Dalam hal-hal mencapai tujuan, orang-orang Makassar berpegang semboyan Kualleangnga tallanga na-towalia (sekali layar terkembang pantang biduk surut ke pantai),semboyan ini memanifestasiakan bahwa orang-orang Bugis-Makssar itu tabah menghadapi tantangan-tantangan hidup. Tabah menghadapi segala jenis cobaan-cobaan yang datang bertubi-tubi menimpa. Hal ini erat pula hubungannya dengan perjuangan-perjuangan hidup orang-orang Bugis-Makassar sebagai pelaut-pelaut.
Sebagaimana sejarah mengajarkan, bahwa oaring-oarang Bugis-Makassar adalah pelaut-pelaut yang ulung yang berlayar mengarungi selat Malaka sampai kepulauan Makassar. Yang kemudian melahirkan ammana Gappa yang terkenal sebagai penyusun ilmu pelayaran (ahli pelayaran) orang-orang Bugis pada zamannya.
Pacce dan pesse adalah suatu perasaan yang menyayat hati, pilu bagaikan tersayat sembilu apabila sesama warga masyarakat ditimba kemalangan (musibah). Perasaan yang demikian ini merupakan suatu pendorong kearah solidaritas dalam berbagai bentuk terhadap mereka yang dulunya ditimpa kemalangan itu seperti diperkosa dan sebagainya, maka dapat disimpulkan bahwa sirik atau pacce atau pesse tersebut adalah sama tetapi yang terakhir ini lebih rendah tingkatannya.
Namun demikian, antara keduanya sangat erathubungannya dan tak dapat dipisahkan, seperti jelas dalam ungkapan-ungkapan berikut:
punna tena sirita pacceta seng ammantang (Makssar)
rekuade sirita engka messa passeta (Bugis).
yang artinya: jika anda kehilangan harga diri atau kehormatan, pertahankanlah rasa kemanusiaan dan kesetiakawananmu
I.a. SIRIK
Manakala kita ingin mendalami pengertianSIRIK dengan segenap masalahnya antara lain dapat diketahui dari buku LA TOA. Buku ini berisi pesan-pesan dan nasehat-nasehat yang merupakan kumpulan petuah untuk dijadikan suri teladan.
BukuLA TOA artinyaYANG TUA. Tetapi, arti sebenarnya ialah PETUAH-PETUAH, berisis sekitar seribu jenis petuah-petuah. Hampir semua isiLA TOA ini erat hubungannya dengan peranan SIRIK dalam pola hidup atau adat istiadat Bugis-Makassar (merupakan falsafah hidup).
Misalnya:
– SIRIK sebagai harga diri atau kehormatan
– MAPPAKASIRI’(artinya: dinodai kehormatannya)
– RITAROANG SIRIK (artinya: ditegakkan kehormatannya).
– PASSAMPO SIRIK (artinya: penutup malu)
– TOMASIRI’NA (artinya : keluarga pihak yang dinodai kehormatannya).
– dan SIRIK sebagai perwujudan sikap tegas demi kehormatan tersebut.
Sirik adalah ethos kultur, berisi pandangan hidup dan pandangan dunia yang melekat pada sistim nilai yang terjelma dalam sistem budaya, sistim sosial, dan sistim kepribadian (Personality) masyarakat.
Sirik secara harfiah adalah suatu perasan malu. Jawaban menurut arti kata mungkin tepat secara harfiah tetapi tidak cukup mewakili makna sebenarnya. Sedangkan jiwanya dirumuskan dalam suatu batasan,inipun akan terbatas pada aspek tertentu saja yang mewakili sesuai pendekatan objek tersebut.
istilah sirik ini bila dibahas dalam bentuknya ada dua bagian, yaitu:
1. Sirik yang berasal dari pribadi yang merasakannya/ bukan kehendaknya (penyebabnya dari luar), jadi sirik ripakkasirik.
2. Sirik yang berasal dari pribadi yang itu sendiri ( penyebabnya di dalam) disebut sirik masirik.
Sedangkan dalam bentuk jenisnya ada empat yaitu:
1) Sirik dalam hal pelanggaran kesusilaan,
2) sirik yang dapat meningkatkan motivasi seseorang untuk bekerja,
3) sirik yang berakibat kriminal,
4) sirik yang berarti malu-malu (sirik-sirik).
Semua jenis sirik tersebut dapat diartikan sebagai harkat, martabat, dan harga diri manusia.
Jenis sirik yang pertama
adalah sirik dalam hal pelanggaran kesusilaan. Berbagai macam pelanggaran kesusilaan yang dapat dikategorikan sebagai sirik seperti kawin lari (dilariang, nilariang, dan erang kale), perzinahan, perkosaan, (perbuatan sumbang/salimarak)/susu talloa yakni perbuatan seks yang dilarang karena adanya hubungan keluarga yang terlalu dekat, misalnya perkawinan antara ayah dan putrinya, ibu dengan putranya dsb.
Dari berbagai perbuatan a-susila itu, maka salimarak merupakan pelanggara terberat. Sebab susah untuk diselesaikan karena menyangkut hubungan keluarga yang terlalu dekat, semuanya serba salah. Kalau perkawinan terus dilangsungkan, sengat dikutuk oleh masyarakat, dan kalau perkawinan tidak dilangsungkan, status anak yang lahir nanti bagaimana ? Perbuatan salimarak ini dulu dapat dikenakan hukuman “niladung” yakni kedua pelaku dimasukkan dalam karung kemudian ditenggelamkan kelaut atau ke dalam air sampai mati. Lain halnya perbuatan asusila lainnya seperti perzinahan, perkosaan, dan kawin lari Penyelesaiannya dapat dilakukan melalui perkawinan secara adat kapan saja, bilamana kedua belah pihak ada persetujuan atua mengadakan upacara abajik (damai). Sesudah itu tidak ada lagi masalah.
Jadi, kalau ada anggapan orang luar yang mengatakan sirik itu “kejam” atau “jahat” memang demikian, akan tetapi dibalik kekejaman itu tersimpan makna hidup yang harus dimiliki oleh manusia untuk menjaga harga dirinya. Lebih kejam atau lebih jahat, bilamana anak yang lahir tanpa ayah, anak haram, kemana anak ini harus memanggil ayah ? Apalagi kalau perbuatan a-susila membudaya di negara kita, jelas harkat dan martabat manusia lebih rendah dari pada binatang. Dekatakan memang nalurinya, sedangkan manusia punya otak, pikiran untuk membedakan mana yang baik dan mana yang salah. Alangkah jahatnya bila perbuatan free seks atau “kumpul kerbau/kebo”, membudaya di negara kita, berapa banyak wanita yang harus jadi korban kebuasan seksual ? Justru kehadiran sirik di tengah masyarakat dapat dijadikan sebagai penangkal kebebasan seks (free seks)
Jenis sirik yang kedua
adalah sirik yang dapat memberikan motivasi untuk meraih sukses. Misalnya, kalau kita melihat orang lain sukses, kenapa kita tidak? Contoh yang paling konkret, suku Bugis-Makassar biasanya banyak merantau ke daerah mana saja. Sesampai di daerah tersebut mereka bekerja keras untuk meraih kesuksesan. Kenapa mereka bekerja keras ? Karena mereka nantinya malu bilamana pulang kampung tanpa membawa hasil.
Contoh lain, semester yang lalu-lalu nilai saya ada yang jelek dikarenakan sesuatu hal (relative karena dosennya tidak objektif menurutku), karena saya malu maka semester kali ini saya meningkatkan pola belajar saya, karena saya malu bilamana ada nilai yang tidak bagus. Artinya orang yang kemarin nilainya jelek dan sekarang masih cuek sama pelajaran berarti tena sirik na (tidak ada malunya)
Jenis sirik yang ketiga
adalah sirik yang bisa berakibat kriminal. Sirik seperti ini misalnya menempeleng seseorang di depan orang banyak, menghina dengan kata-kata tidak enak didengar dan sebagainya tamparan itu dibalasnya dengan tamparan pula sehingga terjadi perkelahian yang bisa berakibat pembunuhan.
Ada anggapan orang luar bahwa orang Makassar itu “Pabbambangangi na tolo” (pemarah lagi bodoh). Anggapan seperti ini bagi orang Makassar tidaklah sepenuhnya benar, karena tindakan balasan yang dilakukannya bukan karena mereka bodoh, akan tetapi semata-mata ingin membela harga dirinya. Adalah lebih bodoh bila dipermukaan di muka umum lantas diam saja tanpa ada tindakan apa-apa. Yang jelas, memang marah karena harga dirinya direndahkan di depan umum, tapi bukan berarti bodoh.
Jenis sirik yang keempat
adalah sirik yang berarti malu-malu. Sirik semacam ini sebenarnya dapat berakibat negatifnya bagi seseorang, tapi ada juga positifnya. Misalnya yang ada akibat negatifnya ialah bila seseorang disuruh tampil di depan umum untuk jadi moderator tetapi tidak mau dengan alasan sirik-sirik. Ini dapat berakibat menhalangi bakat seseorang untuk berani tampil di depan umum. Sebaliknya akibat positif dari sirik-sirik ini, misalnya ada seseorang disuruh untuk mencuri ayam, lalu dia tidak mau dengan alasan sirik-sirik bilamana ketahuan oleh tetangganya.
Mengapa sirik bagi suku Bugis-Makassar perlu ditegakkan, jawabnya untuk meningkatkan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Yang menjadi masalah dalam kehidupan manusia ialah adanya dua versi hukum yang saling bertentangan, menyangkut sirik, yakni hukum adat Makassar menginginkan mengambil tindakan balasan terhadap orang-orang yang merendahkan martabatnya dalam arti kata bisa main hakim sendiri, sedang hukum positif (KUHP) melarang sama sekali melakukan tindakan main hakim sendiri. Suatu prinsip bagi suku Makassar, kalau harga dirinya direndahkan, akan melakukan tindakan balasan, Dalam ungkapan orang Makassar “Teai Mangkasarak punna boko’na lokok (bukan orang Makassar kalau bahagian belakangnya luka) maksudnya kalua luka itu berada di bagian belakang berarti orang itu takut berhadapan dengan lawannya, sebaliknya kalau luka itu ada di bagian depan menandakan keberaniannya.
Dalam arti yang lebih luas, setiap orang Bugis-Makassar diwajibkan untuk menegakkan prinsip-prinsip: Loyalitas pada hukum yang berlaku dan atau pantang berkompromi dengan kebahtilan, bagaimanapun bentuknya dan manifestasinya. Pantang surut, sebelum cita-cita perjuangan dicapai. Harus tegas keyakinan. Tidak boleh terombang-ambing dalam sikap pendirian. Yang diistilahkan dengan semboyan: orang bugis-Makassar: Toddo puli (Memaku pendirian).
Jelaslah kiranya, bahwa jika dianalisa secara mendasar aspek-aspek Sirik ini perlu digali guna diarahkan dalam kerangka-kepentingan keagungan faktor-faktor yang menjiwai Wawasan Nasional Bangsa. Yakni kepentingan-kepentingan ke Bhinneka Tunggal Ika itu dalam pengalaman pancasila dan UUD 1945 demi pencapaian sasaran : Masyarakat adil, makmur dan sejahtera. Sirik sebagai harga diri, perlu menjiwai masyarakat dalam lingkungan pertahanan kepentingan-kepentingan sendi-sendi wawasan Nusantara tersebut. Aspek Khusus
Terhadap permasalahan Sirik, orang Makassar dan Bugis tak pernah mengenal kompromi. Seperti kata orang Makassar, Bawaku-ji akkaraeng badikku tena nakkareang (hanya mulut yang mengucapkan tuan,member penghormatan,tetapi kerisku tak tak kenal siap-kau, yakni na-pelakkanga’ Sirik-ku (menyinggung kehormatanku, membuat aku kehilangan malu/harga diri dan martabat), maka badikku tidak mengenal tuan (senjata tidak akan memilih merek,tidak pilih bulu).
Sirik sukar sekali dinilai oleh orang yang tidak bersangkutan (abstrak). Banyak sekali hal yang mengenai sirik yang tak dapat dituturkan dan banyak diantaranya tak dapat diterima Rasio, akan tetapi tak dapat dikesampingkan kerena benar-benar pengaruhnya untuk menimbulkan peristiwa pidana berdarah, antara lain: kentut tiba-tiba (nakelo ettu) di muka umum.
Contoh: (dikisakan dalam cerita orang Bugis-Makassar) Pernah seorang laki-laki nakelo ettu dimuka umum yang secara refleks kemudian menghunus kerisnya. Orang-orang sependapat bahwa itu sirik, sehingga tiada seorangpun menegadah, semua tunduk terpaku sebelum silaki-laki itu belum meninggalkan tempat. Oleh karena malunya, maka setibanya dirumah ia selalu berteriak :sayang sekali tiada seorangpun yang menegadah, kalau ada akan ku tikam mati.oleh karena menahan malu, maka diperintahkan istrinya untuk menumbuk lada sebanyak-banyaknya kemudian dipulaskan kejalan kentutnya sebagai ganjaran dan ia lalu meninggal dunia.
Dengan demikian, dapatlah dibayangkan betapa besar pengaruh nilai-nilai Sirik itu, bagi sikap mental orang-orang Bugis-Makassar pada umumnya.
Ada pendapat, menyatakan: perasaan sirik dipakasirik tidak akan lenyap di dalam perasaan seseorang yang didalam tubuhnya mengalir darah ugi-mengkasara’ (Bugis Makassar) sampe akhir zaman.
I.b. PACCE/PESSE
Pacce/Pesse secara harfiah bermakna perasaan pedih dan perih yang dirasakan meresap dalam kalbu seseorang karena melihat penderitaan orang lain. Pacce ini berfungsi sebagai alat penggalang persatuan, solidaritas, kebersamaan, rasa kemanusiaan, dan memberi motivasi pula untuk berusaha, sekalipun dalam keadaan yang sangat pelik dan berbahaya.
Pacce sebagai aspek yang hakiki dari pada sirik itu, bukan berarti kesetiaan kawanan dalam membelah kehormatan (sirik), melainkan ia mengandung makna : kepedihan yang tiada taranya, karena martabat harkat diri tersinggungan. Ia tersayat-sayat menjangkau jauh kedalam lubuk hati. Itulah hakekat dasar yang disebut pacce. Sebagai perwujudan lanjut (inti sari) dari pada sirik tersebut.
Dari pengertian tersebut, maka jelasnya bahwa pacce itu dapat memupuk rasa persatuan dan kesatuan bangsa, membina solidaritas antara manusia agar mau membantu seseorang yang mengalami kesulitan. Sebagai contoh, seseorang mengalami musibah, jelas masyarakat lainnya turut merasakan penderitaan yang dialami rekannya itu. Segera pada saat itu pula mengambil tindakan untuk membantunya, pakah berupa materi atau nonmateri.
Antara sirik dan pacce ini keduanya saling mendukung dalam meningkatkan harkat dan martabat manusia, namun kadang-kadang salah satu dari kedua falsafah hidup tersebut tidak ada, martabat manusia tetap akan terjaga, tapi kalau kedua-duanya tidak ada, yang banyak adalah kebinatangan. Ungkapan orang Makassar berbubyi “Ikambe Mangkasaraka punna tena sirik nu, pacce seng nipak bulo sibatangngang (bagi kita orang Makassar kalau bukan sirik, paccelah yang membuat kita bersatu).
Ada berbagai ungkapan dalam kepustakaan Lon-tara Bugis-Makassar yang menunjukkan bahwa sirik bukanlah suatu sikap yang semata-mata berpangkal dari keluapan emosi. Dalam persekutuan hidup, desa, wanua ataupun tanah, niscaya terdapat pemimpin dari persekutuan itu. Tiap-tiap pemimpin menurut jenjangnya masing-masing, menjadi orang pertama tempat sirik itu harus terpelihara, dikembangkan dan dibela. Tiap-tiap orang anggota persekutuan yang dipimpinnya, merasa diri bersatu dengan pemimpinnya karena sirik yangdimilikinya bersama. Antara pemimpin dengan yang dipimpin terikat oleh satu kesadaran martabat diri yang menimbulkan sikap pesse(Bugis) = Pacce ( Makassar) yang dapat disebut solidaritas yang kuat.
Masing-masing orang yang ditentukan dan mengetahui hak-hak dan kewajiban-kewajiban masing-masing yang mendapat sandaran dari sirik dan pacce. Itulah yang melarutkan tiap-tiap orang pribadi mendukung sirik melebur diri untuk kepentingan bersama. Pacce atau pesse itulah yang mendorong dalam kenyataan adanya perbuatan tolong-menolong, adanya tindakan saling membantu, adanya pembalasan dendam, adanya tuntut bela dan segala kenyataan lain yang mirip pada solidaritas yang mendapatkan hidupnya dari konsep sirik. Pemimpin kaum terhina berarti sirik atau martabat negeri terhina, tiap-tiap orang terhina siriknya. Maka pesse atau paccepun muncul menjadi pendorong untuk menuntut bela.
Anak negeri terhina, berarti sirik (Martabat) negeri ternoda. Pemimpin kehinaan,maka pesse atau pacce mendorong sang pemimpin untuk bertindak. Apabila antara pemimpin dan yang dipimpin sudah tidak terdapat sirik bersama yang masing-masing mengetahui hak dan kewajiban untuk memikulnya, maka pesse atau pacce itupun tidaklah akan menjadi motif untuk perbuatan dan tindakan masing-masing. Dalam pesse atau pacce itulah melarut tiap-tiap pribadi didalam kesatuan antara pemimpin dengan yang dipimpin.
Sirik menjadi sumber dari panggilan pesse atau pacce itu. Karena siriklah yang menimbulkan kewajiban masing-masing untuk saling memelihara batas, sehingga tidak saling cegat mencegat daulat-mendaulat.
Di sini terletak aspek kesadaran atau pikiran yang memberi batas-batas rasional dari sirik itu. Bahwa masing-masing orang sepadan dengan siriknya, milik pribadi dan kepunyaannya, dibatasi oleh kesadaran adanya pesse atau pacce, menimbulkan kewajiban untuk bekerja sama, bantu membantu, bersetia kawan dalam lapangan-lapangan pekerjaan yang menyangkut sirik yang bersama-sama mereka miliki, dan penghinaan atas seseorang,berarti penghinaan atas semua. Lapangan-lapangan kehidupan yang menempati posisidemikian , disitulah perbuatan atau tindakan solidaritas berlangsung dengan intensifnya solidaritas seseorang terhadap kaumnya, merupakan totalitas yang pada oleh dorongan sirik.
II. SIPAKATAU
Sesungguhnya budaya Makassar mengandung esensi nilai luhur yang universal, namun kurang teraktualisasi secara sadar dan dihayati dalam kehidupan sehari-hari. Kalau kita menelusuri secara mendalam, dapat ditemukan bahwa hakikat inti kebudayaan Makassar itu sebenarnya adalah bertitik sentral pada konsepsi mengenai “tau”(manusia), yang manusia dalam konteks ini, dalam pergaulan sosial, amat dijunjung tinggi keberadaannya.
Dari konsep “tau” inilah sebagai esensi pokok yang mendasari pandangan hidup orang Makassar, yang melahirkan penghargaan atas sesama manusia. Bentuk penghargaan itu dimanifestasikan melalui sikap budaya “sipakatau”. Artinya, saling memahami dan menghargai secara manusiawi.
Dengan pendekatan sipakatau, maka kehidupan orang Makassar dapat mencapaui keharmonisan, dan memungkinkan segala kegiatan kemasyarakatan berjalan dengan sewajarnya sesuai hakikat martabat manusia. Seluruh perbedaan derajat sosial tercairkan, turunan bangsawan dan rakyat biasa, dan sebagainya. Yang dinilai atas diri seseorang adalah kepribadiannya yang dilandasi sifat budaya manusiawinya.
Sikap Budaya Sipakatau dalam kehidupan orang Makassar dijabarkan ke dalam konsepsi Sirik na Pacce. Dengan menegakkan prinsip Sirik na Pacce secara positif, berarti seseorang telah meneapkan sikap Sipakatau dalam kehidupan pergaulan kemasyarakatan. Hanya dalam lingkunagn orang-orang yang menghayati dan mampu mengamalkan sikap hidup Sipakatau yang dapat secara terbuka saling menerima hubungan kekerabatan dan kekeluargaan.
Sipakatau dalam kegiatan ekonomi, sangat mencela adanya kegiatan yang selalu hendak “annunggalengi” (egois), atau memonopoli lapangan hidup yang terbuka secara kodrati bagi setiap manusia. Azas Sipakatau akan menciptakan iklim yang terbuka untuk saling “sikatallassa” (saling menghidupi), tolong-menolong, dan bekerjasama membangun kehidupan ekonomi masyarakat secara adil dan merata.
Demikianlah Sipakatau menjadi nilai etika pergaualan orang Makassar yang patut diaktualisasikan di segala sektor kehidupan. Di tengah pengaruh budaya asing cenderung menenggelamkan penghargaan atas sesama manusia, maka sikap Sipakatau merupakan suatu kendali moral yang harus senantiasa menjadi landasan. Hal itu meningkatkan budaya Sipakatau juga merupakan tuntunan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan azas Pancasila, terutama Sila Ketiga yaitu Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.
III. UNSUR-UNSUR POSITIF DAN NEGATIF SIRIK NA PACCE
Ditinjau dari segi kepentingan masyarakat dan kepentingan pembangunan budaya bangsa yang Bhineka Tunggal Ika ini sesungguhnya masalah Sirik tersebut mengandung nilai-nilai/ unsur-unsur positif dan negative. Namun dalam beberapa hal pada perwujudannya kadang kala menjurus pada yang negative. Karena salah diartikan atau ditafsirkan secara tidak tepat.
Nilai Positif
1. Bertolak dari hakekat Sirik, yakni masalah harga diri atau prestise (wibawa), maka Sirik sesungguhnya merupakan hal yang sangat positif untuk dikembangkan bagi kepentingan kemajuan masyarakat yang sudah berlembaga dengan tatanan nilai-nilai budaya ini.
2. Sirik pada pokoknya bersumber pada dasar dan nilai-nilai bentuk ikatan dalam masyarakat mentaati hukum, peraturan, perjanjian, dan lain-lain bentuk ikatan dalam masyarakat (community) sehingga dapat menjaga kelestarian hidup sesuatu kelompok masyarakat.
3. Dengan prinsip sirik, mendorong masyarakat untuk tidak tertinggal dalam bentuk kemajuan apapun. Sebab motivasi terhadap rasa tidak ingin ketertinggalan adalah bersumber pada sirik itu sendiri.
4. Sirik adalah merupakan harkat yang berlembaga dan hidup terus dihati masyarakat, berarti ia positif.
5. Sirik dapat dikembangkan lebih jauh untuk kepentingan kemajuan masyarakat disebabkan oleh rasa solider yang tinggi terhadap nilai-nilai saja yang bersikap untuk kepentingan kemajuan masyarakat.
6. Sirik oleh masyarakat Sulawesi Selatan telah dianggap sebagai suatu nilai budaya yang harus dipegang teguh (terus). Sebab tanpa sirik, manusia ini dianggap sangat rendah nilai kemanusiaanya (harkatnya).
7. Dengan memberikan bentuk dari segi basic Moral tentang sirik yang positif, maka sikap budaya ini mendorong masyarakat untuk mendukung masalah integritas nasional. Utamanya dalam permasalahan pembinaan moral bangsa yang diarahkan pada nilai-nilai semangat juang 1945 dan pengamalan Pancasila serta ke-Bhinneka Tunggal Ika-an.
8. Sirik dengan kaitannya sebagai unsur kewiraan / kepatriotikan kepahlawanan / ketahanan, dapat dijadikan unsur-unsur ketahanan. Yakni pantang menyerah kalah pada musuh atau pada setiap bentuk tantangan yang timbul (menantang kebathilan), dalam kerangka menegakkan yang haq. Yakni, pendirian (sikap) yang tak tergoyahkan, yang dalam istilah Bugis-Makassar disebut : Toddopuli. Yakni, Memaku dalam sikap pendirian. Tidak tergoyahkan dalam keyakinan.
Nilai Negatif
1) Sirik banyak diselewengkan oleh pribadi-pribadi pembawanya, menyimpang dari harkatnya sebagai aspek kebudayaan yang nilainya luhur. Karena terkadang perbutan yang negative dan sifatnya sangat sepele atau tidak prinsipil dikait-kaitkan dengan Sirik yang bernilai positif (mengandung nilai kulturil yang agung).
2) Kadangkala nilai Sirik itu ditunggangi untuk kepentingan-kepentingan untuk mencapai
sasaran-sasaran atau melindungi perbuatan-perbuatan yang negative. Yang di gerakkan oleh seseorang atau kelompok tertentu.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Siri’ yang merupakan konsep kesadaran hukum dan falsafah masyarakat Bugis-Makassar adalah sesuatu yang dianggap sakral . Siri’ na Pacce ( Bahasa Makassar ) atau Siri’ na Pesse’ ( Bahasa Bugis ) adalah dua kata yang tidak dapat dipisahkan dari karakter orang Bugis-Makassar dalam mengarungi kehidupan di dunia ini.
Siri’ adalah rasa malu yang terurai dalam dimensi-dimensi harkat dan martabat manusia, rasa dendam ( dalam hal-hal yang berkaitan dengan kerangka pemulihan harga diri yang dipermalukan ).
Jadi Siri’ adalah sesuatu yang tabu bagi masyarakat Bugis-Makassar dalam interaksi dengan orang lain. Sedangkan pacce/pesse merupakan konsep yang membuat suku ini mampu menjaga solidaritas kelompok dan mampu bertahan di perantauan serta disegani.
Pacce/pesse merupakan sifat belas kasih dan perasaan menanggung beban dan penderitaan orang lain, meskipun berlainan suku dan ras. Jadi, kalau pepatah Indonesia mengatakan “ Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul ”.
Itulah salah satu aplikasi dari kata pacce/pesse, jadi Siri’ skopnya dalam skala intern, sedang pacce/pesse bersifat intern dan ekstern, sehingga berlaku untuk semua orang.
Dengan adanya falsafah dan ideologi Siri’ na pacce/pesse, maka keterikatan dan kesetiakawanan di antara mereka mejadi kuat, baik sesama suku maupun dengan suku yang lain.
Konsep Siri’ na Pacce/pesse bukan hanya di kenal oleh kedua suku ini, tetapi juga suku-suku lain yang menghuni daratan Sulawesi, seperti Mandar dan Toraja. Hanya saja kosa katanya yang berbeda, tapi ideologi dan falsafahnya memiliki kesamaan dalam berinterasi.
Sikap Budaya Sipakatau dalam kehidupan orang Makassar dijabarkan ke dalam konsepsi Sirik na Pacce. Dengan menegakkan prinsip Sirik na Pacce secara positif, berarti seseorang telah menerapkan sikap Sipakatau dalam kehidupan pergaulan kemasyarakatan.
B. SARAN-SARAN
a) Sirik perlu digali sebagi suatu aspek budaya bangsa kita sebagai sub kultur budaya bangsa yang Bhineka Tunggal Ika. Guna dimanfaatkan sebagai ramuan-ramuan pembinaan kebudayaan Nasional dan aspek-aspek pembangunan Nasional pdaumumnya yang Bhineka Tunggal Ika itu.
b) Sirik sebagai aspek budaya bangsa yang Bhineka Tunggal Ika ini perlu diangkat nilai-nilai positifnya. Digali nilai-nilai mutiaranya, demi kepentingan identitas bangsa dalamkerangka penghayatan dan pengamalan pancasila.
c) Perlu ditempu langkah-langkah agar nilai-nilai sirik tersebut, terpisahkan dari nilai-nilai emosional. Dengan kegiatan-kegiatan berupa merasionalkan masyarakat bersangkutan Melalui sarana-sarana pendidikan. Hal ini memungkin kan dengan berkembang pesatnya dunia pendidikan yang kini merata sampai ke pelosok-pelosok desa dimana desa sebagai tempat pesemaian sirik itu masih merupakan sesuatu yang berakar (melembaga).
d) SIRIK sebagai manifestrasi harga diri dan pegangan hidup untuk tidak berbuat yang tercela atau a’moral, disamping merupakan tekat untuk memperkuat iman untuk mencapai sukses yang dicita-citakan serta daya dorong untuk mengatasi hambatan yang dihadapi perlu dilestarikan sebagai aspek budaya bangsa yang Bhineka TunggalIka dan upaya mengamalkan nilai-nilai luhur falsafah pancasila.
DAFTAR RUJUKAN
Hasil Rumusan Tudang Sipulung Kebudayaan Majelis Pertimbangan Budaya Daerah Propensi Sulawesi Selatan tanggal 15-17 Juli 1989.
H.A.Mattulada. 1996. Demokrasi dalam Perspektif Budaya Bugis-Makassar. Dalam Najib,
dkk (Ed.) Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara (hal. 21—90). Yokyakarta: LKPSM
R. Rahim,. 1985. Nilai-nilai Utama Kebudayaan Bugis. Ujung Pandang: Hasanuddin University Press.
Sudjiman, Panuti dan Aart Van Zoest, 1992 “Serba-serbi Semiotika”, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
http://algazali-sosiologi.blogspot.com
Indonesia’s Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape. Institute of Southeast Asian Studies. 8 Januari 2011. ISBN9812302123.
http://www.rajaalihaji.com/id/article.php?a=YURIL3c%3D= Situs Raja Ali Haji
Vlekke, Bernard H.M.. Nusantara Sejarah Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 263.
Vlekke, Bernard H.M.. Nusantara Sejarah Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 200.
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.