Makalah Kebudayaan Suku Bali Aga

18 min read

Kebudayaan Suku Bali Aga

Bab I. Pendahuluan

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan Negara dengan tingkat kemajemukan yang tinggi. Kemultikulturan tersebut terdiri dari berbagai macam suku bangsa yang ada di Indonesia.Dalam buku “Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia” karya antropolog Zulyani Hidayah, tercantum sebanyak 656 suku bangsa di Indonesia. Untuk merinci unsure-unsur bagian dari suatu kebudayaan suku bangsa yang disusun berdasarkan suatu kerangka etnografi yang terdiri dari nama suku bangsa, lokasi, lingkungan alam dan demografi, asal mula dan sejarah, bahasa, system teknologi, system mata pencaharian, organisasi social, system pengetahuan, kesenian, agama dan system religi serta system kekerabatan.  

Dikarenakan banyaknya suku bangsa yang terdapat di Indonesia, maka kemajemukan suku bangsa tersebut jarang dimengerti oleh generasi muda saat ini, selain itu perkembangan zaman akibat pengaruh globalisasi juga mempengaruhi pola kehidupan dan interaksi suku bangsa tersebut.Suku Bali merupakan salah satu suku di Indonesia yang telah mengalami modernisasi dalam hal pola kehidupan, budaya maupun interaksi. Untuk itu kami akan membahas pola kehidupan, budaya dan interaksi serta pokok-pokok etnografi dari Suku Bali.

B. RUMUSAN MASALAH

1.   Bagaimana system kepercayaan masyarakat suku Bali?

2.   Bagaimana system kekerabatan dalam masyarakat suku Bali?

3.   Bagaimana system politik yang dianut masyarakat suku Bali?

4.   Bagaimana system politik masyarakat suku Bali?

5.   Bagaimanakah keadaan secara global masyarakat suku Bali saat ini?

C. TUJUAN DAN MANFAAT

1.   Untuk mengetahui system kepercayaan masyarakat suku Bali

2.   Untuk mengetahui system kekerabatan dalam masyarakat suku Bali

3.   Untuk mengetahui system politik yang dianut masyarakat suku Bali

4.   Untuk mengetahui system politik masyarakat suku Bali

5.   Untuk mengetahui keadaan secara global masyarakat suku Bali saat in

A. LOKASI, LINGKUNGAN ALAM DAN DEMOGRAFI

Bali dikenal sebagai Pulau Dewata (island God/island Paradise) merupakan salah satu tempat wisata terbaik di Indonesia bahkan dunia. Kuta, Sanur, Nusa Dua, Bedugul, Ubud, Sukawati, Lovina, dan lain lain merupakan tempat wisata yang terkenal di Bali.Bali adalah sebuah pulau di Indonesia, sekaligus menjadi salah satu provinsi Indonesia. Bali terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok.Ibukota provinsinya ialah Denpasar, yang terletak di bagian selatan pulau ini.Mayoritas penduduk Bali adalah pemeluk agama Hindu.

Pulau Bali adalah bagian dari Kepulauan Sunda Kecil sepanjang 153 km dan selebar 112 km sekitar 3,2 km dari Pulau Jawa. Saecara astronomis, Bali terletak di 8°25?23? Lintang Selatan dan 115°14?55? Lintang Timur yang mebuatnya beriklim tropis seperti bagian Indonesia yang lain. Gunung Agung adalah titik tertinggi di Bali setinggi 3.148 m. Gunung berapi ini terakhir meletus pada Maret 1963.Gunung Batur juga salah satu gunung yang ada di Bali.Sekitar 30.000 tahun yang lalu, Gunung Batur meletus dan menghasilkan bencana yang dahsyat di bumi.Berbeda dengan di bagian utara, bagian selatan Bali adalah dataran rendah yang dialiri sungai-sungai.

Berdasarkan relief dan topografi, di tengah-tengah Pulau Bali terbentang pegunungan yang memanjang dari barat ke timur dan diantara pegunungan tersebut terdapat gugusan gunung berapi yaitu Gunung Batur dan Gunung Agung serta gunung yang tidak berapi yaitu Gunung Merbuk, Gunung Patas, dan Gunung Seraya.Adanya pegunungan tersebut menyebabkan Daerah Bali secara Geografis terbagi menjadi 2 (dua) bagian yang tidak sama yaitu Bali Utara dengan dataran rendah yang sempit dan kurang landai, dan Bali Selatan dengan dataran rendah yang luas dan landai. Kemiringan lahan Pulau Bali terdiri dari lahan datar (0-2%) seluas 122.652 ha, lahan bergelombang (2-15%) seluas 118.339 ha, lahan curam (15-40%) seluas 190.486 ha, dan lahan sangat curam (>40%) seluas 132.189 ha. Provinsi Bali memiliki 4 (empat) buah danau yang berlokasi di daerah pegunungan yaitu : Danau Beratan, Buyan, Tamblingan dan Danau Batur.

Masyarakat suku Bali menempati keseluruhan pulau Bali yang menjadi satu propinsi, yakni propinsi Bali.Oleh karena pengaruh emigrasi, ada juga masyarakat Bali yang menetap di wilayah – wilayah lainnya di Indonesia.Pulau ini terletak disebelah timur pulau Jawa yang dihuungkan oleh selat Bali.Bali adalah propinsi yang terletak di sebelah timur ditengah – tengah lautan, oleh karena itu propinsi Bali mempunyai iklim tropis (panas).Propinsi Bali adalah salah satu propinsi yang padat penduduknya. Pada tahun 1971 penduduknya sebanyak 2.469.930 jiwa, pada tahun 1990 meningkat lagi menjadi 2.777.811 jiwa. Keadaan perhubungan pun sangat baik dan lancar, baik darat, laut, maupun udara.

B. SEJARAH SUKU BALI

Zaman prasejarah Bali merupakan awal dari sejarah masyarakat Bali, yang ditandai oleh kehidupan masyarakat pada masa itu yang belum mengenal tulisan. Walaupun pada zaman prasejarah ini belum dikenal tulisan untuk menuliskan riwayat kehidupannya, tetapi berbagai bukti tentang kehidupan pada masyarakat pada masa itu dapat pula menuturkan kembali keadaanya Zaman prasejarah berlangsung dalam kurun waktu yang cukup panjang, maka bukti-bukti yang telah ditemukan hingga sekarang sudah tentu tidak dapat memenuhi segala harapan kita.

Berkat penelitian yang tekun dan terampil dari para ahli asing khususnya bangsa Belanda dan putra-putra Indonesia maka perkembangan masa prasejarah di Bali semakin terang. Perhatian terhadap kekunaan di Bali pertama-tama diberikan oleh seorang naturalis bernama Georg Eberhard Rumpf, pada tahun 1705 yang dimuat dalam bukunya Amboinsche Reteitkamer. Sebagai pionir dalam penelitian kepurbakalaan di Bali adalah W.O.J. Nieuwenkamp yang mengunjungi Bali pada tahun 1906 sebagai seorang pelukis.Dia mengadakan perjalanan menjelajahi Bali. Dan memberikan beberapa catatan antara lain tentang nekara Pejeng, desa Trunyan, Pura Bukit Penulisan. Perhatian terhadap nekara Pejeng ini dilanjutkan oleh K.C Crucq tahun 1932 yang berhasil menemukan tiga bagian cetakan nekara Pejeng di Pura Desa Manuaba desa Tegallalang.

Penelitian prasejarah di Bali dilanjutkan oleh Dr. H.A.R. van Heekeren dengan hasil tulisan yang berjudul Sarcopagus on Bali tahun 1954. Pada tahun 1963 ahli prasejarah putra Indonesia Drs. R.P. Soejono melakukan penggalian ini dilaksanakan secara berkelanjutan yaitu tahun 1973, 1974, 1984, 1985. Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap benda-benda temuan yang berasal dari tepi pantai Teluk Gilimanuk diduga bahwa lokasi Situs Gilimanuk merupakan sebuah perkampungan nelayan dari zaman perundagian di Bali. Di tempat ini sekarang berdiri sebuah museum.

Berdasarkan bukti-bukti yang telah ditemukan hingga sekarang di Bali, kehidupan masyarakat ataupun penduduk Bali pada zaman prasejarah Bali dapat dibagi menjadi :

  1. Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana

Sisa-sisa dari kebudayaan paling awal diketahui dengan penelitian-penelitian yang dilakukan sejak tahun 1960 dengan ditemukan di desa Sambiran (Buleleng Timur), dan ditepi timur dan tenggara Danau Batur (Kintamani) alat-alat batu yang digolongkan kapak genggamkapak berimbasserut dan sebagainya. Alat-alat batu yang dijumpai di kedua daerah tersebut kini disimpan di museum Gedung Arca di Bedahulu Gianyar. Pada zaman ini masyarakat masih hidup dengan pola nomaden (berpindah-pindah)

  1. Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut

Pada masa ini corak hidup yang berasal dari masa sebelumnya masih berpengaruh.Hidup berburu dan mengumpulkan makanan yang terdapat dialam sekitar dilanjutkan terbukti dari bentuk alatnya yang dibuat dari batu, tulang dan kulit kerang.Bukti-bukti mengenai kehidupan manusia pada masa mesolithik berhasil ditemukan pada tahun 1961 di Gua Selonding, Pecatu (Badung).Goa ini terletak di Pegunungan gamping di semenanjung Benoa. Di daerah ini terdapat goa yang lebih besar ialah goa Karang Boma, tetapi goa ini tidak memberikan suatu bukti tentang kehidupan yang pernah berlangsung disana.Dalam penggalian goa Selonding ditemukan alat-alat terdiri dari alat serpih dan serut dari batu dan sejumlah alat-alat dari tulang. Di antara alat-alat tulang terdapat beberapa lencipan muduk yaitu sebuah alat sepanjang 5 cm yang kedua ujungnya diruncingkan.

  1. Masa bercocok tanam

Masa bercocok tanam lahir melalui proses yang panjang dan tak mungkin dipisahkan dari usaha manusia prasejarah dalam memenuhi kebutuhan hidupnya pada masa-masa sebelumnya. Masa neolithik amat penting dalam sejarah perkembangan masyarakat dan peradaban, karena pada masa ini beberapa penemuan baru berupa penguasaan sumber-sumber alam bertambah cepat.Penghidupan mengumpulkan makanan (food gathering) berubah menjadi menghasilkan makanan (food producing).Perubahan ini sesungguhnya sangat besar artinya mengingat akibatnya yang sangat mendalam serta meluas kedalam perekonomian dan kebudayaan. Sisa-sisa kehidupan dari masa bercocok tanam di Bali antara lain berupa kapak batu persegi dalam berbagai ukuran, belincung dan panarah batang pohon.

  1. Masa perundagian

Dalam masa neolithik manusia bertempat tinggal tetap dalam kelompok-kelompok serta mengatur kehidupannya menurut kebutuhan yang dipusatkan kepada menghasilkan bahan makanan sendiri (pertanian dan peternakan).Dalam masa bertempat tinggal tetap ini, manusia berdaya upaya meningkatkan kegiatan-kegiatannya guna mencapai hasil yang sebesar-besarnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.Berdasarkan bukti-bukti yang telah ditemukan dapat diketahui bahwa dalam masyarakat Bali pada masa perundagian telah berkembang tradisi penguburan dengan cara-cara tertentu. Adapun cara penguburan yang pertama ialah dengan mempergunakan peti mayat atau sarkofagus yang dibuat dari batu padas yang lunak atau yang keras.Cara penguburannya ialah dengan mempergunakan tempayan yang dibuat dari tanah liat seperti ditemukan di tepi pantai Gilimanuk (Jembrana).

Dahulu pulau Bali disebut dengan nama “Walidwipa”, yang merupakan suatu kerajaan yaitu kerajaan Bali. Kerajaan ini berkembang sekitar abad ke VIII Masehi.Pemerintahannya berpusat di Shinghamandawa, sebuah tempat yang hingga kini belum diketahui dengan pasti. Kerajaan ini pernah diperintah oleh dua diansti, yaitu Dinasti Warmmadewa dengan Dinasti Sakellendukirana
Kerajaan Bali bercorak Hindu, ini dapat diketahui dari pembagian golongan dalam masyarakat (kasta), pembagian warisan, kesenian, serta agama dan kepercayaan. Dalam hal agama dan kepercayaan, pengaruh zaman Megalithikum terasa masih kuat pada masyarakat kerajaan Bali.Keadaan tersebut menunjukan bahwa mayarakat Bali merupakan pemegang teguh tradisi Warisan budaya serta agama dan kepercayaan masih dipegang teguh hingga saat sekarang ini.

C. BAHASA 
Bahasa Bali adalah sebuah bahasa yang berasal dari rumpun bahasa Austronesia, Malayo-Polinesia, Melayu-Sumbawa, Bahasa Bali-Sasak-Sumbawa, Bali. Bahasa ini digunakan di pulau Bali, pulau Lombok bagian barat, dan sedikit di ujung timur pulau Jawa. Bahasa Bali memiliki tingkatan dalam penggunaannya, yaitu Bali Alus, Bali Madya dan Bali Kasar. Bali halus dipergunakan dalam lingkup formal misalnya dalam pertemuan di tingkat desa adat, atau antara orang berkasta rendah dengan berkasta lebih tinggi. Bali madya dipergunakan di tingkat masyarakat menengah misalnya pejabat dengan bawahannya, sedangkan yang kasar dipergunakan bertutur oleh orang kelas rendah misalnya kaum sudra atau antara bangsawan dengan abdi dalemnya, Di Lombok bahasa Bali terutama dipertuturkan di sekitar kota Mataram, sedangkan di pulau Jawa bahasa Bali terutama dipertuturkan di beberapa desa di kabupaten Banyuwangi. Bahasa Bali dipertuturkan oleh kurang lebih 4 juta jiwa.

Aksara Bali 

Aksara Bali adalah aksara tradisional masyarakat Bali dan berkembang di Bali. Aksara Bali merupakan suatu abugida yang berpangkal pada huruf Pallawa. Aksara ini mirip dengan aksara Jawa. Perbedaannya terletak pada lekukan bentuk huruf.Aksara Bali berjumlah 47 karakter, 14 di antaranya merupakan huruf vokal (aksara suara). Huruf konsonan (aksara wianjana) berjumlah 33 karakter. Aksara wianjana Bali yang biasa digunakan berjumlah 18 karakter. Juga terdapat aksara wianjana Kawi yang digunakan pada kata-kata tertentu, terutama kata-kata yang dipengaruhi bahasa Kawi dan Sanskerta.Meski ada aksara wianjana Kawi yang berisi intonasi nada tertentu, pengucapannya sering disetarakan dengan aksara wianjana Bali. Misalnya, aksaradirgha (pengucapan panjang) yang seharusnya dibaca panjang, seringkali dibaca seperti aksarahresua (pengucapan pendek).

D. SISTEM KEKERABATAN


Perkawinan merupakan suatu saat yang amat penting dalam kehidupan orang Bali, karena pada saat itulah ia dapat dianggap sebagai warga penuh dari masyarakat, dan baru sesudah itu ia memperoleh hak-hak dan kewajiban seorang warga komuniti dan warga kelompok kerabat.

Menurut anggapan adat lama yang amat dipengaruhi oleh sistem klen-klen (dadia) dan sistem kasta (wangsa), maka perkawinan itu sedapat mungkin dilakukan diantara warga se-klen, atau setidak-tidaknya antara orang yang dianggap sederajat dalam kasta.Demikian, perkawinan adat di Bali itu bersifat endogami klen, sedangkan perkawinan yang dicita-citakan oleh orang Bali yang masih kolot adalah perkawinan antara anak-anak dari dua orang saudara laki-laki.Keadaan ini memang menyimpang dari lain-lain masyarakat yang berklen, yang pada umumnya bersifat exogam.

Orang-orang se-klen di Bali itu, adalah orang orang yang setingkat kedudukannya dalam adat dan agama, dan demikian juga dalam kasta, sehingga dengan berusaha untuk kawin dalam batas klennya, terjagalah kemungkinan akan ketegangan-ketegangan dan noda-noda keluarga yang akan terjadi akibat perkawinan antar kasta yang berbeda derajatnya. Dalam hal ini terutama harus dijaga agar anak wanita dari kasta yang tinggi jangan sampai kawin dengan pria yang lebih rendah derajat kastanya, karena perkawinan itu akan membawa malu kepada keluarga, serta menjatuhkan gengsi dari seluruh kasta dari anak wanita tersebut. Karena system garis keturunan di Bali menggunakan system patrilineal (garis keturunan ayah).

Dahulu, apabila ada perkawinan semacam itu, maka wanitannya akan dinyatakan keluar dari dadianya, dan secara fisik suami-istri akan dihukum buang (maselong) untuk beberapa lama, ketempat yang jauh dari tempat asalnya. Semenjak tahun 1951, hukuman sermacam itu tidak pernah dijalankan lagi, dan pada saat ini hukuman campuran semacam itu relatif lebih banyak dilaksanakan. Bentuk perkawinan lain yang dianggap pantang adalah perkawinan bertukar antara saudara perempuan suami dengan saudara laki-laki istri (makedengan ngad), karena perkawinan yang demikian itu dianggap dapat mendatangkan bencana (panes). Pada umumnya, seorang pemuda Bali memperoleh seorang istri dengan dua cara, yaitu dengan meminang (memadik, ngidih) kepada keluarga gadis, atau dengana cara melarikan seorang gadis (mrangkat,ngrorod). Kedua cara diatas berdasarkan adat.

Sesudah pernikahan, suami-istri yang baru biasanya menetap secara virilokal dikomplek perumahan dari orang tua suami, walauntidak sedikit suami istri yang menetap secara neolokal dengan mencari atau membangun rumah baru.Sebaliknya ada pula suami istri baru yang menetap secara uxorilokal dikomplek perumahan dari keluarga istri (nyeburin). Kalau suami istri menetap secara virilokal, maka anak-anak keturunan mereka selanjutnya akan diperhitungkan secara patrilineal (purusa), dan menjadi warga dari dadia si suami dan mewarisi harta pusaka dari klen tersebut. Sebaliknya, keturunan dari suami istri yang menetap secara uxorilokal akan diperhitungkan secara matrilineal menjadi warga dadia si istri, dan mewarisi harta pusaka dari klen itu. Dalam hal ini kedudukan si istri adalah sebagai sentana(penerus keturunan).

Suatu rumah tangga di Bali biasanya terdiri dari suatu keluarga batih yang bersifat monogami, sering ditambah dengan anak laki-laki yang sudah kawin bersama keluarga batih mereka masing-masing dan dengan orang lain yang menumpang, baik orang yang masih kerabat maupun orang yang bukan kerabat. Beberapa waktu kemudian terdapat anak laki-laki yang sudah maju dalam masyarakat sehingga ia merasa mampu untuk berdiri sendiri, memisahkan diri dari orang tua dan mendirikajn rumah tangga sendiri yang baru. Salah satu anak laki-laki biasanya tetap tinggal di komplek perumahan orang tua (ngerob), untuk nanti dapat membantu orang tua mereka kalau sudah tidak berdaya lagi dan untuk selanjutnya menggantikan dan melanjutkan rumah tangga orang tua.

Tiap-tiap keluarga batih maupun keluarga luas, dalam sebuah desa di Bali harus memelihara hubungan dengan kelompok kerabatnya yang lebih luas yaitu klen (tunggal dadia).Strutur tunggal dadia ini berbeda-beda di berbagai tempat di Bali.Di desa-desa pegunungan, orang-orang dari tunggal dadia yang telah memencar karena hidup neolokal, tidak usah lagi mendirikan tempat pemujaan leluhur di masing-masing tempat kediamannya.didesa-desa tanah datar, orang-orang dari tunggal dadia yang hidup neolokal wajib mendirikan mendirikan tempat pemujaan di masing-nasing kediamannya, yang disebut kemulan taksu.

Disamping itu, keluarga batih yang hidup neolokal masih mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap kuil asal (dadia atau sanggah) di rumah orang tua mereka.Suatu pura ditingkat dadia merayakan upacara-upacara sekitar lingkaran hidup dari semua warganya, dan dengan demikian pura/kuil tersebut mempersatukan dan mengintensifkan rasa solidaritet anggota-anggota dari suatu klen kecil.

Di samping itu ada lagi kelompok kerabat yang lebih besar yang melengkapi beberapa kerabat tunggal dadia (sanggah) yang memuja kuil leluhur yang samadisebut kuil (pura) paibon atau panti. Dalam prakteknya, suatu tempat pemujaan di tingkat paibon juga hanya mempersatukan suatu lingkaran terbatas dari kaum kerabat yang masih dikenal hubungannya saja.Klen-klen besar sering juga mempunyai suatu sejarah asal-usul yang ditulis dalam bentuk babad dan yang disimpan sebagai pusaka oleh salah satu dari keluarga-keluarga yang merasa dirinya senior, ialah keturunan langsung dan salah satu cabang yang tua dalam klen.

Sistem Kemasyarakatan Orang Bali

1.  Banjar

Merupakan bentuk kesatuan-kesatuan sosial yang didasarkan atas kesatuan wilayah. Kesatuan sosial itu diperkuat oleh kesatuan adat dan upacara-upacara keagaman yang keramat. Didaerah pegunungan, sifat keanggotaan banjar hanya terbatas pada orang yang lahir di wilayah banjar tersebut. Sedangkan didaerah datar, sifat keanggotaannya tidak tertutup dan terbatas kepada orang-orang asli yang lahir di banjar itu. Orang dari wilayah lain atau lahir di wilayah lain dan kebetulan menetap di banjar bersangkutan dipersilakan untuk menjadi anggota(krama banjar) kalau yang bersangkutan menghendaki.

Pusat dari bale banjar adalah bale banjar, dimana warga banjar bertemu pada hari-hari yang tetap. Banjar dikepalai oleh seorang kepala yang disebut kelian banjar.Ia dipilih dengan masa jabatab tertentu oleh warga banjar. Tugasnya tidak hanya menyangkut segala urusan dalam lapangan kehidupan sosial dari banjar sebagai suatu komuniti, tapi juga lapangan kehidupan keagamaan. Kecuali itu ia juga harus memecahkan masalah yang menyangkut adat. Kadang kelian banjar juga mengurus hal-hal yang sifatnya berkaitan dengan administrasi pemerintahan.

2.  Subak
            Subak di Bali seolah-olah lepas dari dari Banjar dan mempunyai kepala sendiri. Orang yang menjadi warga subak tidak semuanya sama dengan orang yang menjadi anggota banjar. Warga subak adalah pemilik atau para penggarap sawah yang yang menerima air irigasinya dari dari bendungan-bendungan yang diurus oleh suatu subak. Sudah tentu tidak semua warga subak tadi hidup dalam suatu banjar. Sebaliknya ada seorang warga banjar yang mempunyai banyak sawah yang terpencar dan mendapat air irigasi dari bendungan yang diurus oleh beberapa subak. Dengan demikian warga banjar tersebtu akan menggabungkan diri dengan semua subak dimana ia mempunya sebidang sawah.

3.  Sekaha
            Dalam kehidupan kemasyarakatan desa di Bali, ada organisasi-organisasi yang bergerak dalam lapangan kehidupan yang khusus, ialah sekaha. organisasi ini bersifat turun-temurun, tapi ada pula yang bersifat sementara. Ada sekaha yang fungsinya adalah menyelenggarakan hal-hal atau upacara-upacara yang berkenan dengan desa, misalnya sekaha baris (perkumpulan tari baris), sekaha teruna-teruni. Sekaha tersebut sifatnya permanen, tapi ada juga sekaha yang sifatnya sementara, yaitu sekaha yang didirikan berdasarkan atas suatu kebutuhan tertentu, misalnya sekaha memula (perkumpulan menanam), sekaha manyi (perkumpulan menuai), sekaha gong (perkumpulan gamelan) dan lain-lain. sekaha-sekaha di atas biasanya merupakan perkumpulan yang terlepas dari organisasi banjar maupun desa.

4.   Gotong – Royong

            Dalam kehidupan berkomuniti dalam masyarakat Bali dikenal sistem gotong royong (nguopin) yang meliputi lapangan-lapangan aktivitet di sawah (seperti menenem, menyiangi, panen dan sebagainya), sekitar rumah tangga (memperbaiki atap rumah, dinding rumah, menggali sumur dan sebagainaya), dalam perayaan-perayaan atau upacara-upacara yang diadakan oleh suatu keluarga, atau dalam peristiwa kecelakaan dan kematian.nguopin antara individu biasanya dilandasi oleh pengertian bahwa bantuan tenaga yang diberikan wajib dibalas dengan bantuan tenaga juga. kecuali nguopin masih ada acara gotong royong antara sekaha dengan sekaha. Cara serupa ini disebut ngedeng (menarik).Misalnya suatu perkumpulan gamelan ditarik untuk ikut serta dalam menyelenggarakan suatu tarian dalam rangka suatu upacara odalan.bentuk yang terakhir adalah kerja bhakti (ngayah) untuk keprluan agama,masyarakat maupun pemerintah.

Kesatuan-kesatuan sosial di atas, biasanya mempunyai pemimpin dan mempunyai kitab-kitab peraturan tertulis yang disebut awig-awig atau sima.Pemimpin biasanya dipilih oleh warganya.Klen-klen juga mempunyai tokoh penghubung yang bertugas memelihara hubungan antara warga-warga klen, menjadi penasehat bagi para warga mengenai seluk beluk adat dan peristiwa-peristiwa yang bersangkaut paut dengan klen.Tokoh klen serupa itu di sebut moncol. Klen tersebut tidak mempunyai peraturan tertulis, akan tetapi mempunya silsilah/babad. Ditingkat desa ada kesatuan-kesatuan administratif yang disebut perbekelan.Suatu perbekelan yang sebenarnya merupakan warisan dari pemerintah Belanda, diletakkan diatas kesatuan-kesatuan adat yang asli di Bali, seperti desa adat dan banjar.Maka terdapatlah gabungan-gabungan dari banjar dan desa ke dalam suatu perbekelan yang dipimpin oleh perbekel atau bendesa yang secara administratif bertanggung jawab terhadap atasannya yaitu camat, dan seterusnya camat bertanggung jawab kepada bupati.

·        Ø  Catur Warna

Pada masa kerajaan khususnya pemerintahan Dalem Waturenggong di Bali, ada yang namanya Catur Warna. Yaitu empat penggolongan profesi dan pengabdian dalam kehidupan pada masa itu. Dari pembagian ini timbul gelar-gelar yang ditambahkan pada nama orang Bali. Dan pemberian nama itu diwariskan turun temurun hingga sekarang.Nama depan seperti Ida Bagus [untuk pria] dan Ida Ayu [untuk wanita] itu muncul dari golongan Brahmana yang pada masa ‘tempo doeloe’ menitikberatkan pengabdiannya di bidang kerohanian, kependetaan dan keagamaan.Sedangkan nama depan seperti Anak Agung, Cokorda, I Dewa Putu, Dewa Ayu, Desak, Gusti Putu, Gusti Ayu, atau Sayu, itu berasal dari golongan Ksatrya, yang pada jaman kerajaan ‘doeloe’ menitikberatkan pekerjaan dan pengabdiannya di bidang kepemimpinan, keperwiraan dan pertahanan keamanan negara.

Ø  Pola perkampungan

Pertama, pola perkampungan mengelompok padat, pola ini terutama terdapat pada desa-desa di Bali bagian pegunungan. Pola perkampungan di desa-desa ini bersifat memusat dengan kedudukan desa adat amat penting dan sentral dalam berbagai segi kehidupan warga desa tersebut

Ø  Sistem Penamaan

            Sebelumnya akandijelaskan tentang tambahan kata “i” atau “Ni” yang biasanya terdapat pada awal nama orang Bali. “I” dipake untuk anak laki-laki, dan “Ni” digunakan untuk anak perempuan.Kedua kata ini mengandung arti “Si” dalam Bahasa Indonesia. Misalnya; si A, si B, si C, dst. Penambahan kata ini sebenarnya opsional, artinya ada yang memakainya ada juga yang tidak.Tapi mayoritas orang Bali memakainya.Yang mengabaikan penambahan “I” atau “Ni” ini biasanya rekan kita yang berasal dari Kabupaten Buleleng (Singaraja).

Nama Depan = Urutan Kelahiran

Di dalam adat istiadat dan budaya Bali, sistem pemberian nama depan umumnya didasarkan pada urutan kelahiran si anak.

  1. Anak pertama (sulung) umumnya akan diberi nama depan seperti; Putu, Gede, atau Wayan. Contohnya ; I Putu Budiastawa, Gede Prama, dst.
  2. Anak kedua umumnya diberi nama depan; Made, Kadek atau Nengah. Contohnya; I Made Ardana, Ni Made Wiratnati, Nengah Gunadi, dst.
  3. Anak ketiga biasanya diberi nama depan; Komang atau Nyoman. Misalnya; I Komang Tirtayasa, Ni Nyoman Dwi Arianti, Komang Budiasa, dst.
  4. Anak keempat umumnya diberikan nama depan; Ketut. Misalnya; I Ketut Pancasaka, Ni Ketut Widiadari, Ketut Astawara, dsb.

Untuk anak kelima, keenam, dan seterusnya ada dua alternatif. Pertama, ada yang menerapkan dengan kembali lagi ke putaran awal, misalnya kembali ke Putu, kemudian Made, dst. Kedua, ada juga yang menerapkan dengan terus-menerus memberikan nama depan Ketut untuk anak kelima, keenam dan seterusnya.

E. SISTEM KEPERCAYAAN


Masyarakat Bali sebagian besar menganut agama Hindu- Bali. Mereka percaya adanya satu Tuhan dengan konsep Trimurti yang terdiri atas tiga wujud, yaitu:

Brahmana : menciptakan;

Wisnu : yang memelihara;

Siwa : yang merusak.

           
 Selain itu hal-hal yang mereka anggap penting adalah sebagai berikut.

Atman : roh yang abadi.

Karmapala : buah dari setiap perbuatan.

Purnabawa : kelahiran kembali jiwa. 

 Pedoman dalam ajaran Agama Hindu – Bali yakni:
–    Tatwa (Filsafat Agama)
–    Etika (Susila)
–    Upacara (Yadnya)

           
 Tempat ibadah agama Hindu disebut pura. Pura memiliki sifat berbeda, sebagai berikut:

•      Pura Besakih: sifatnya umum untuk semua golongan.

•      Pura Desa (kayangan tiga): khusus untuk kelompok sosial setempat.

•      Sanggah: khusus untuk leluhur.


SISTEM KASTA

Akibat kuat agama Hindu, di Bali berlaku sistem kasta dibedakan menjadi 4 Kasta, yaitu:

1.  Kasta Brahmana

2.  Kasta Ksatria 
3.  Kasta Waisya, Petani Kelas Atas, Petani Kaya Sedang, Petani Kaya Bawah

4.  Kasta Sudra


UPACARA

Di bali ada lima macam upacara (Panca Yadnya) yaitu:

–    Manusia yadnya
–    Pitra yadnya
–    Dewa yadnya
–    Resi yadnya
–    Butha yadnya

F. SISTEM MATA PENCAHARIAN

Sistem Mata Pencaharian Bali Aga 
Mata pencarian penduduk beranekaragam yang meliputi pekerjaan sebagai petani, pengerajin, pedagang dan berbagai jasa khususnya bidang kepariwisataan. Pertanian merupakan mata pencarian pokok masyarakat dan sebagian besar masyarakat bali adalah petani. Jenis pertanian meliputi pertanian sawah dan perkebunan. Didalam system pertanian di bali subak memegang peranan yang sangat penting. Saat ini di Bali terdapat sekitar 1.482 subak dan subak abian sekitar 698.

Subak merupakan satu kesatuan ekonomi, social dan keagamaan.


sistem irrigasi subak. 
Subak adalah organisasi kemasyarakatan yang khusus mengatur sistem pengairan sawah yang digunakan dalam cocok tanam padi di Bali, Indonesia . Subak ini biasanya memiliki pura yang dinamakan Pura Uluncarik, atau Pura Bedugul, yang khusus dibangun oleh para petani dan diperuntukkan bagi dewi kemakmuran dan kesuburan dewi Sri. Sistem pengairan ini diatur oleh seorang pemuka adat yang juga adalah seorang petani di Bali. Revolusi hijau telah menyebabkan perubahan pada sistem irigasi ini, dengan adanya varietas padi yang baru dan metode yang baru, para petani harus menanam padi sesering mungkin, dengan mengabaikan kebutuhan petani lainnya. Ini sangatlah berbeda dengan sistem Subak, di mana kebutuhan seluruh petani lebih diutamakan. Metode yang baru pada revolusi hijau menghasilkan pada awalnya hasil yang melimpah, tetapi kemudian diikuti dengan kendala-kendala seperti kekurangan air, hama dan polusi akibat pestisida baik di tanah maupun di air. Akhirnya ditemukan bahwa sistem pengairan sawah secara tradisional sangatlah efektif untuk menanggulangi kendala ini. 

Subak telah dipelajari oleh Clifford Geertz , sedangkan J. Stephen Lansing telah menarik perhatian umum tentang pentingnya sistem irigasi tradisional. Ia mempelajari pura- pura di Bali, terutama yang diperuntukkan bagi pertanian, yang biasa dilupakan oleh orang asing. Pada tahun 1987 Lansing bekerja sama dengan petani-petani Bali untuk mengembangkan model komputer sistem irigasi Subak. Dengan itu ia membuktikan keefektifan Subak serta pentingnya sistem ini.Pada tahun 2012 ini UNESCO, mengakui Subak (Bali Cultur Landscape), sebagai Situs Warisan Dunia ,pada sidang pertama yang berlangsung di Saint Petersburg, Rusia.

G.  KESENIAN

Perang Pandan 

Tradisi perang pandan atau yang sering disebut mekare-kare di Desa Tenganan dilakukan oleh para pemuda dengan memakai kostum/kain adat tenganan, bertelanjang dada bersenjatakan seikat daun pandan berduri dan perisai untuk melindungi diri. Tradisi ini berlangsung setiap tahun sekitar bulan Juni, biasanya selama 2 hari.Perang pandan diawali dengan ritual upacara mengelilingi desa untuk memohon keselamatan, setelah itu perang pandan dimulai dan kemudian ditutup persembahyangan di Pura setempat dilengkapi dengan menghaturkan tari Rejang. Bali hingga kini tetap melestarikan atraksi kuno yang menyuguhkan pemandangan kontras. Salah satu sisinya menampilkan atraksi menegangkan para pengunjung. Pasangan pria yang masing-masing dilengkapi perisai anyaman dan bersenjata seberkas potongan daun pandan berduri beradu ketangkasan untuk saling melukai lawannya. 

Duri pandan yang tertancap dalam atau merobek daging tubuh disusul cucuran darah segar adalah risiko bagi pelaga yang tidak tangkas menangkis. Namun, dari atraksi itu pengunjung juga disuguhi pemandangan kontras. Aksi saling melukai tersebut justru dilakukan sambil mengembangkan senyum ceria. Bahkan, tidak sedikit pasangan tanpa menggunakan tameng langsung berpelukan dan saling melukai.Atraksi saling melukai dengan wajah senyum ceria itu dikenal bernama perang pandan. Di Bali, perang pandan adalah atraksi khas masyarakat Tenganan di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, ujung timur Pulau Dewata.  

Masyarakat Tenganan, sebagai ahli waris tradisi kuno itu, sejak lama selalu setia mementaskan perang pandan. Tradisi itu biasanya dilaksanakan sekitar pertengahan Juni.Karena merupakan tradisi khas milik Tenganan, tempat pelaksanaannya pun hanya di kawasan tersebut. Persisnya di Tenganan Pegringsingan (TP) dan Tenganan Dauh Tukad (TDT), dua desa adat bertetangga rapat yang hanya dibatasi alur sungai.Namun, perang pandan di TDT sejak tahun lalu terpaksa batal dilaksanakan karena kampung yang hancur akibat gempa dahsyat tanggal 2 Januari 2004, hingga kini belum sepenuhnya pulih. 

Sesungguhnya, TP dan TDT adalah pemekaran dari induk yang sama, Desa Adat Tenganan. Namun, belakangan, hanya desa dinas (pemerintah) yang tetap bertahan dengan satu kesatuan wilayah Tenganan seluruhnya. Sementara desa adatnya telah mekar menjadi dua wilayah tersebut.Tenganan sendiri, meski merupakan satu kesatuan wilayah desa dinas (pemerintah), sebenarnya lebih dikenal sebagai Bali Aga, sebutan untuk kampung sekaligus warga penghuninya yang asli Bali. Seperti telah disebutkan, Bali Aga Tenganan meliputi desa adat TP dan TDT. 

Perang pandan di Tenganan tak ada duanya .di Bali atau daerah lainnya. Atraksi itu merupakan salah satu kekhasan kampung ini sehingga harus terus dipertahankan dan dilestarikan.Perang pandan bukanlah atraksi yang akan berakhir dengan posisi kalah atau menang bagi para pelaganya. Atraksi ini adalah bagian dari ritual pemujaan masyarakat Tenganan kepada Dewa Indra. Sang dewa perang itu dihormati dengan darah sehingga atraksi perang pandan dilakukan tanpa rasa dendam, atau bahkan dengan senyum ceria, meski harus saling melukai dengan duri pandan. 

Pemujaan terhadap Dewa Indra ini juga ternyata menyimpan kisah unik, setidaknya di lingkungan masyarakat Tenganan—entah di TP atau TDT. Merujuk mitologinya, kawasan Tenganan dan sekitarnya di waktu silam diyakini berada di bawah kekuasaan seorang raja yang lalim dan otoriter. Raja kejam dan lalim bernama Maya Denawa itu, menurut kisahnya, bahkan menjadikan dirinya sebagai Tuhan dan melarang orang Bali melakukan ritual keagamaan. Menyaksikan perilaku Maya Denawa yang semakin kejam dan bengis, para dewa di surga pun murka, yang selanjutnya mengutus Dewa Indra dengan tugas khusus memimpin pertempuran melawan Maya Denawa. Melalui pertempuran sengit, Maya Denawa dapat dilumpuhkan dan Dewa Indra lalu tampil sebagai penggantinya.


kain tenun Gringsing.

Jika di Flores ada kain tenun ikat, maka di Bali ada warisan budaya asli Bali Aga yang disebut dengan kain tenun Gringsing. Kain tradisional ini selain dibuat dalam jangka waktu yang cukup lama, juga menggunakan pewarnaan yang berasal dari bahan-bahan tradisional alami.

Masyarakat Bali Aga sangat berbakat dalam menghasilkan benda seni. Diantaranya keahlian dalam menenun kain Gringsing. Untuk membuatnya membutuhkan kesabaran dan ketelitian tingkat tinggi. Teknik yang digunakan untuk menghasilkan Kain Gringsing adalah teknik dobel ikat. Makin lama usia Kain Gringsing, semakin kuat warna kainnya.

Kain Gringsing dipercaya memiliki suatu ikatan tertentu bagi si pemilik. Bahkan dapat memberikan kekuatan dan kesembuhan dari tiap helai benangnya. Ada Kain Gringsing yang dibuat dari darah manusia untuk pewarnaannya. Sayang sekali, saya tidak berkesempatan untuk melihatnya. Kain hasil tenunan ini di dunia hanya terdapat di 3 negara dan salah satunya di Bali. Teknik pembuatan kain Gringsing dinamakan dobel ikat. Kain ini biasanya dipakai di upacara adat dan kini mulai hadir di beberapa pentas peragaan busana.

Kerajinan daun lontar

Selain keahlian dalam menenun kain, penduduk Bali Aga juga bertani, menghasilkan kerajinan anyaman bambu, ukiran, dan lukisan di atas daun lontar. Bagaimana membuat kalender tanggalan Bali pada daun lontar ?  Pertama-tama dia bersihkan daun lontar, kemudian diukir dengan pisau, setelah itu beliau mengoleskan daun yang telah selesai diukir dengan kemiri yang dibakar. Maka muncul bayangan hitam dari hasil ukiran tersebut. Setelah itu permukaannya dibersihkan, dan ukiran berwarna hitam yang dihasilkan dari kemiri akan tetap berada di daun tersebut dan bertahan.

Pemakaman Terunyan 
Terunyan adalah sebuah desa yang berada di Kecamatan KintamaniKabupaten BangliBaliIndonesia. Terunyan terletak di dekat Danau Batur, Masyarakat Trunyan mempunyai tradisi pemakaman dimana jenazah dimakamkan di atas batu besar yang memiliki cekungan 7 buah, Jenazah hanya dipagari bambu anyam. Adat Desa Terunyan mengatur tata cara menguburkan mayat bagi warganya. Di desa ini ada tiga kuburan (sema) yang diperuntukan bagi tiga jeniskematian yang berbeda. Apabila salah seorang warga Terunyan meninggal secara wajar, mayatnya akan ditutupi kain putih, diupacarai, kemudian diletakkan tanpa dikubur di bawah pohon besar bernama Taru Menyan, di sebuah lokasi bernama Sema Wayah. Namun, apabila penyebab kematiannya tidak wajar, seperti karena kecelakaan, bunuh diri, atau dibunuh orang, mayatnya akan diletakan di lokasi yang bernama Sema Bantas. Sedangkan untuk mengubur bayi dan anak kecil, atau warga yang sudah dewasa tetapi belum menikah, akan diletakan di Sema Muda. Penjelasan mengapa mayat yang diletakan dengan rapi di sema itu tidak menimbulkan bau padahal secara alamiah, tetap terjadi penguraian atas mayat-mayat tersebut ini disebabkan pohon Taru Menyan tersebut, yang bisa mengeluarkan bau harum dan mampu menetralisir bau busuk mayat. Taru berarti pohon, sedang Menyan berarti harum. Pohon Taru Menyan ini, hanya tumbuh di daerah ini. Jadilah Tarumenyan yang kemudian lebih dikenal sebagai Terunyan yang diyakini sebagai asal usul nama desa tersebut.

Laporan Praktikum Efek Fotolistrik

Efek Fotolistrik Bab I. Pendahuluan A. Latar Belakang Efek fotolistrik adalah fenomena terlepasnya elektron logam akibat disinari cahaya. Ditinjau dari perspektif sejarah, penemuan efek...
Ananda Dwi Putri
9 min read

Laporan Praktikum Tetes Minyak Milikan

Tetes Minyak Milikan Bab I. Pendahuluan A. Latar Belakang Elektron merupakan suatu dasar penyusun atom. Inti atom terdiri dari elektron (bermuatan negatif) dan proton...
Ahmad Dahlan
7 min read

Makalah Sifat Fantasi Dalam Tinjauan Psikologi

Sifat Fantasi Bab I. Pendahuluan Pada dasarnya psikologi mempersoalkan masalah aktivitas manusia. Baik yang dapat diamati maupun tidak secara umum aktivitas-aktivitas (dan penghayatan) itu...
Wahidah Rahmah
4 min read

Leave a Reply