Daftar isi
Imam Malik Dan Perkembangan Madzhab Malikiyah
Bab I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Setelah berakhirnya masa khilafah Islamiyah, fase selanjutnya adalah masa tabi’in yang pemerintahannya dipimpin oleh Bani Umayyah. Pada fase ini umat Islam sudah tersebar ke berbagai belahan dunia. Para pembesar tabi’in tidak terpusat lagi di Makkah Madinah seperti pada era sahabat. Perluasan wilayah secara besar-besaran menyebabkan banyak para tabi’in dikirim ke berbagai wilayah untuk menyebarkan ajaran agama Islam.
Walaupun begitu toh perkembangan ajaran islam di berbagai tempat tidak sepesat perkembangan Islam di tempat asalnya, Makkah dan Madinah. Di Makkah dan Madinah banyak sekali bermunculan para mujtahid baik dari generasi tabi’in maupun tabi’it tabiin. Banyak kaum muslimin dari luar Makkah dan Madinah berkunjung untuk menimba ilmu disitu. Ini membuktikan bahwa Makkah dan Madinah masih merupakan pusat utama keilmuan Islam yang murni, yang belum tercampur dengan keilmuan lain terutama dari yunani.
Salah satu mujtahid besar yang lahir dari kota Madinah adalah Imam Malik bin Anas, muassis madzhab Maliki. Madzhab Maliki merupakan salah satu madzhab Islam berfaham ahlussunnah wal jamaah yang dapat bertahan sampai sekarang. Madzhab ini merupakan madzhab yang terkenal dengan madzhab ahlul hadis karena konsentrasi pendirinya ke hadis nabawi. Selektifnya pemilahan hadis yang dilakukan oleh Imam Malik serta dalamnya analisis yang dilakukan olehnya menjadikan fundamen dasar madzhab Maliki sangatlah kuat.
Imam Malik terkenal sebagai seorang Mujtahid yang berpegang teguh kepada Hadis. Jika Abu Hanifah terkenal sebagai Ahlur Ra’yi, maka Imam Malik disebut dengan Ahlul Hadis. Diantara karya besarnya dalam bidang Hadis adalah Kitab Al-Muwatha’. Beliau menulis dan meneliti karyanya ini selama 40 tahun. Kitab inilah yang kemudian menjadi fundamen dasar dan menjadi pokok utama dalam pemikiran dan perkembangan madzhab Maliki. Dalam kitab inilah Imam Malik menuangkan gagasannya terhadap model ijtihad baru seperti amalu ahlil madinah dan qaul sahabi.
Bab II. Pembahasan
A. Biografi Imam Malik
Nama lengkap Imam Malik adalah Malik ibnu Anas ibnu Abi ‘Amar Al-Ashbaghi. Beliau dilahirkan di Madinah pada tahun 93 H. Tidak berbeda dengan Abu Hanifah, beliau adalah Ulama yang hidup di dua zaman. Beliau lahir pada zaman bani Umayyah, tepatnya pada pemerintahan al-Walid Abd Malik (setelah era kepemerintahan Umar ibn Abd Aziz) dan wafat pada zaman Bani Abbas, tepatnya pada era pemerintah Harun al-Rasyid (tahun 179 H). beliau sempat mersakan hidup pada zaman bani Umayyah selama 40 tahun, dan Bani Abbasiyah 46 tahun.
Imam Malik menyaksikan berbagai pemberontakan rakyat dan kezaliman penguasa waktu itu. Beliau tidak memihak kepada pemberontak dan tidak pula kepada pemerintah. Beliau memilih tidak memihak kepada pemberontak karena menurutnya suatu keadaan tidak dapat diperbaiki dengan pemberontakan. Sedangkan ketidak berpihakannya kepada pemerintah muncul setelah beliau menyaksikan pemerintah sering melakukan penindasan terhadap lawan politiknya, seperti terhadap keturunan Ali bin Abi Thalib. Dalam menyikapi pemberontakan ini Imam Malik pernah berkata, “Apabila seorang kepala negara mampu berlaku adil dan masyarakat senang menerimanya, kita tidak boleh memberontak terhadapnya. Jika ia tidak berlaku adil, rakyat harus bersabar dan memperbaikinya. Apabila ada yang memberontak karena ketidakadilannya, kita tidak boleh membantu pemerintah menindas pemberontak itu” (Mubarok, 2000:79).
Imam Malik terkenal sebagai seorang Mujtahid yang berpegang teguh kepada Hadis. Jika Abu Hanifah terkenal sebagai Ahlur Ra’yi, maka Imam Malik disebut dengan Ahlul Hadis. Diantara karya besarnya dalam bidang Hadis adalah Kitab Al-Muwatha’. Beliau menulis dan meneliti karyanya ini selama 40 tahun. Pada awal mulanya kitab ini memuat lebih dari sepuluh ribu hadis. Setelah diteliti dan dibuang hadis-hadis yang terdapat cacatnya maka tinggal sekitar 1500 hadis yang terdapat dalam kitab ini. Kitab ini telah disyarahi oleh banyak sekali ulama’ baik salaf maupun khalaf, diantaranya adalah Tanwir Al-Hawalik karya Imam Jalaluddin As-Suyuthi As-Syafi’I (Al-Sayyis, 1999:180).
Walaupun sama-sama berfahamkan ahlussunnah wal jamaah yang diikuti oleh jumhurul ulama’, tetapi ada banyak perbedaan yang terdapat antara Imam Malik dan Abu Hanifah. Diantara hal yang menyebabkan madzhab Maliki berbeda dengan madzhab Hanbali adalah pertama, banyak pendapat-pendapat Imam Malik yang dibukukan oleh Imam Malik sendiri di kota kelahirannya dengan disertai alasan-alasannya. Dengan demikian maka kita bisa melihat dengan jelas dasar-dasar madzhabnya seperti yang kita lihat dari kitabnya, Al-Muwatha’. Kedua, madzhab Maliki merupakan hasil karya penelitiannya. Sumbangan dari murid-muridnya hanya mengenai pendapat-pendapat yang tidak keluar dari dasar-dasar yang ditetapkan oleh Imam Malik, dan oleh karena itu murid-murid imam Malik termasuk dalam tingkatan Mujtahid Madzhab (Hanafi, 1991:152).
B. Guru dan Murid Imam Malik Serta Penerusnya di Era Modern
Mayoritas ulama’ yang menjadi guru Imam Malik adalah ulama’ Madinah, karena seumur hidup Imam Malik tidak pernah keluar dari Madinah kecuali untuk berhaji. Diantara Ulama yang pernah menjadi tempatnya menimba ilmu adalah:
- Abdurrahman bin Hurmuz (Tabi’in, Wafat 117 H).
- Nafi’ Maula Ibnu Umar.
- Ibnu Syihab Az-Zuhri.
- Rabiah bin Abdurrahman (Al-Sayyis, 1999:178).
Sedangkan muridnya sendiri yang kemudian menjadi ulama’ dan tersebar ke seluruh penjuru dunia berjumlah lebih dari 1300 ulama’. Diantara murid-muridnya yang terkenal adalah:
- Imam Syafi’i (W. 204 H) adalah salah satu mudrid Imam Malik yang kemudian mendirikan madzhab sendiri.
- Abdurrahman Ibnu Qasim Al-Maliki (W. 191 H) adalah salah seorang ulama’ yang berguru kepada Imam Malik lebih dari 20 tahun. Beliau termasuk ulama’ yang berperan dalam penyusunan kitab al-Mudawwanah dan ikut menyebarkan madzhab Maliki di Mesir.
- Abu Muhammad Abdullah Ibnu Wahab (W. 197 H). Beliau berguru kepada Imam Malik lebih dari 17 tahun. Termasuk karyanya adalah kitab Ahwal Al-Qiyamah. Beliau berperan menyebarkan madzhab Maliki di Mesir dan Maghrib (Maroko).
- Asyhab (W. 204 H).
- Ibnul Furut (W. 213 H).
- Yahya Al-Laitsi.
- Utsman bin Hikam Al-Jadzami.
- Ziyad bin Abdurrahman Al-Qurthuby.
- Abdurrahman Al-Mahzumi.
- Abdullah bin Nafi’ Maula Bani Mahzum, dan yang lainnya (Hanafi, 1991: 153-154, Rayyan, tt: 118).
Berkat ketekunan para murid-muridnya maka madzhab Maliki banyak tersebar ke seleruruh penjuru dunia. Diantara negara-negara yang menjadi pusat madzhab Maliki adalah Maroko, Tunisia, Muritania, Afrika Utara, Mali, Somalia, Senegal, Sudan, Uni Emirat Arab, Spanyol, Prancis dan sebagian negara Mesir dan Yaman. Bahkan madzhab Maliki ini menjadi madzhab resmi di beberapa negara seperti Maroko dan Tunisia. Sedangkan di Spanyol dan Prancis Undang-Undang Dasar dan beberapa undang-undangnya merupakan turunan dan adopsi dari kitab-kitab madzhab Maliki, salah satunya adalah Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd atau yang lebih terkenal di Eropa dengan julukan Averoes (Rayyan, tt: 120-121).
Diantara ulama’ madzhab Maliki kontemporer yang banyak memberikan sumbangan pemikiran dan karya bagi madzhab Maliki di Zaman modern ini adalah Sayyid Muhammad Alwi Al-Maliki. Nama lengkap beliau adalah As-Sayyid Muhammad bin Alawi bin Abbas Al-Maliki Al-Hasani, yang merupakan keturunan Nabi Muhammad Saw dari jalur Hasan bin Ali Radhiyaallahu ‘Anhuma. Sayyid Muhammad merupakan salah satu doktor alumni Al-Azhar Mesir dengan gelar Ph.D yang beliau dapatkan pada umur 25 tahun. Tesisnya dalam bidang hadits banyak mendapatkan pujian dari banyak kalangan ulama dan profesor internasional.
Ayahnya, As-Sayyid Alawi Al-Maliki merupakan salah seorang ulama’ Makkah terkenal di abad yang lalu. Beliau telah mengajar berbagai ilmu Islam turats di Masjidil Haram selama hampir 40 tahun. Ratusan murid dari seluruh pelosok dunia telah mengambil faedah daripada beliau melalui kuliah beliau di Masjidil Haram, dan ramai di kalangan mereka telah memegang jawatan penting agama di negara masing-masin. Malah, Raja Faisal (Raja Arab Saudi) tidak akan membuat keputusan berkaitan Makkah melainkan setelah meminta nasihat dari As-Sayyid Alawi.
Sayyid Muhammad sendiri selain mengajar di Al-Azhar Mesir juga dilantik menjadi Profesor di Ummul Qura University Makkah dan mengajar disitu. Setelah wafat ayahandanya beliau menggantikan kedudukannya mengajar di Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawy di Madinah. Diantara karyanya dalam bidang ushul fiqh adalah Al-Qawa‘id al-Asasiyyah fi Usul al-Fiqh, Sharh Manzumat al-Waraqat fi Usul al-Fiqh, dan Mafhum at-Tatawwur wa altTajdid fi al-Shari‘ah al-Islamiyyah. Sedangkan karya beliau dalam bidang fiqh diantaranya Al-Risalah al-Islamiyyah Kamaluha wa Khuluduha wa ‘Alamiyyatuha dan Al-Ziyarah al-Nabawiyyah bayn as-Shar‘iyyah wa al-Bid‘iyyah.
C. Metode dan Dasar Madzhab (Ushulul Madzhab) Maliki
Sebagai sebuah madzhab yang dapat bertahan dan berkembang sampai sekarang tentunya madzhab Maliki mempunyai fundamen yang sangat kuat untuk menopang madzhabnya. Fundamen tersebut merupakan metode ijtihad yang dikembangkan oleh Imam Madzhab yang realistis dan relevan untuk kemudian dipraktekkan di berbagai tempat dan waktu yang berbeda. Metode ijtihad itulah yang kemudian diwarisi oleh para murid-muridnya dan bisa bertahan sampai sekarang.
Metode ijtihad dalam madzhab maliki berbeda dengan madzhab yang lain karena saking banyaknya. Metode ini terkenal dengan adillah ‘isyrin (20 Metode Dasar), yaitu:
- Ushulul Khamsah (5 dasar pokok) dalam al-Qur’an, yaitu
- Nash al-Qur’an.
- Dzahir al-Qur’an yaitu lafadz yang umum
- Dalil al-Qur’an, yaitu Mafhum Muwafaqah.
- Mafhum al-Qur’an, yaitu Mafhum Mukhalafah.
- Tanbih al-Qur’an, yaitu memperhatikan illatnya.
- Ushulul Khamsah (5 dasar pokok) dalam al-Hadis, yaitu seperti diatas.
- Ijma’.
- Qiyas.
- Amalu Ahli Madinah (Tradisi/perbuatan penduduk Madinah). Ini merupakan salah satu metode Ijtihad yang identik dengan Imam Malik yaitu dengan cara mengambil perbuatan penduduk madinah yang telah menjadi tradisi untuk menjadi dalil. Beliau berpendapat demikian karena Madinah merupakan tempat tinggal Nabi Muhammad Saw dan mayoritas sahabat. Sehingga perilaku dan perbuatan para penduduknya banyak menuruni perbuatan Nabi dan para sahabatnya. Bahkan menurut Imam Malik, Amalu Ahli Madinah ini merupakan hujjah yang harus didahulukan atas qiyas dan khabar wahid (hadis yang diriwayatkan cuma dari satu jalur) walaupun itu khabar wahid. Dan yang kemudian menjadi kontroversial adalah hal tersebut merupakan metode ijtihad yang tidak ada ulama’ atau Imam Madzhab lain yang mempraktekkannya. Bahkan beberapa ulama banyak memberikan bantahan terhadap metode ini seperti Imam Syafi’I dalam kitabnya al-Um, Laits bin Sa’d dalam Risalahnya dan Abu Yusuf dalam Kitabnya.
- Qaul Shahabi, yaitu pendapat para sahabat terkemuka ketika sah jalur sanadnya dan tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat. Metode ini menjadi hujjah yang didahulukan atas qiyas menurut Imam Malik. Imam Ghazali merupakan salah satu ulama yang tidak sepakat dengan metode ijtihad ini karena sahabat tidaklah ma’shum (terjaga dari berbuat salah) sehingga dapat keliru dalam berijtihad, seperti yang dijelaskan dalam kitabnya al-Mushtashfa.
- Istihsan.
- Saddu Dzara’i.
- Muraatul Khilaf.
- Istihbab.
- Mashalihul Mursalah.
- Syar’u Man Qablana (Al-Sayyis, 1999:181-185).
D. Kitab-Kitab Madzhab Maliki
Sebagai sebuah madzhab besar dan dapat bertahan puluhan abad, madzhab Maliki telah banyak mewariskan banyak sekali kitab-kitab yang menjadi pustaka Turats Islami. Diantara kitab-kitab yang menjadi bahan referensi utama dalam madzhab Maliki adalah:
- Al-Muwaththa’ karya Imam Malik. Kitab ini telah banyak sekali disyarahi oleh para ulama’ dari berbagai madzhab.
- Al-Mudawwanah Al-Kubra karya Abdussalam At-Tanukhi.
- Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid karya Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Rusyd Al-Qurthuby Al-Andalusi.
- Al-I’tisham karya Abi Ishaq Ibnu Musa As-Syatibi.
- Mukhtashar Kholil ala Matn al-Risalah li Ibn Abi Zaid Aql-Qairawani karya Syaikh Abdul Madjid As-Syarnubi Al-Azhari.
- Syarah Tanqih al-Fushul fi Ikhtishar al-mahsul fil Ushul karya Syihabuddin Abu al-Abbas Ahmad ibn Idris al-Qurafi yang merupakan kitab dalam fan ushul fiqh.
- Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam karya Abu Ishaq ibn Musa Al-Syatibi yang merupakan kitab dalam fan ushul fiqh, dan yang lainnya (Mubarok, 2000:100).
E. Contoh Produk Hukum Madzhab Maliki.
Diantara beberapa contoh produk hukum madzhab Maliki atau Imam Malik adalah:
1. Menikahkan Anak Gadis Dengan Paksa.
Dalam pelajaran fikih munakahat dikenal dengan istilah wali mujbir. Wali berhak menikahkan anak gadisnya dengan paksa tanpa ada izin dari anak yang bersangkutan. Imam Malik berpendapat bahwa bapak yang anak perempuannya tanpa izin dari anak yang bersangkutan adalah sah. Hujjah Imam Malik adalah amal ahli Madinah.
2. Hak Bulan Madu Bagi Suami yang Berpoligami.
Suami yang beristri lebih dari seorang berhak berbukan madu dengan istri yang baru dinikahinya. Menurut Imam Malik, apabila perempuan yang dinikahinya masih gadis hak bulan madunya adalah 7 malam. Sedangkan apabila perempuan yang dinikahinya berstatus janda maka hak bulan madunya adalah 3 malam (Mubarok, 2000:92-93).
3. Menikahi Perempuan Dalam Masa Iddah.
Ulama’ sepakat tentang ketidakbolehan menikah bagi wanita yang masih dalam keadaan iddah, baik karena ditinggal mati maupun cerai. Namun ulama’ berbeda pendapat dalam menentukan sanksi bagi perempuan yang melanggarnya, yakni menikah dalam keadaan iddah dan sudah melakukan hubungan suami istri. Menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I dan Imam Al-Tsauri, perempuan tersebut harus dipisahkan, apabila waktu tunggunya telah selesai ia boleh menikah kembali dengan laki-laki yang menikahinya tadi. Sedangkan menurut Imam Malik, ia wajib dipisahkan dan baginya diharamkan (selamanya) menikah dengan laki-laki yang menikahinya dalam waktu tunggu. Hujjah ini berdasarkan qaul sahabi, yaitu pendapat umar bin khattab yang diriwayatkan dari az-Zuhri (Mubarok, 2000:98).
4. Eksistensi Lembaga Pemerintahan dan Syarat Kepala Negara
Dalam hal ini dikemukakan oleh Ibnu Kholdun, salah seorang ulama’ madzhab Malikiyyah. Ibnu Khaldun berpendapat bahwa pembentukan pemerintahan (imamah) dan pengangkatan kepala negara (imam) adalah suatu keharusan. Para sahabat nabi dan para tabi’in telah membuat konsensus umum (ijma’) bahwa mendirikan pemerintahan adalah wajib menurut hukum. Jika pembentukan imamah itu atas petunjuk syariat, yakni dengan cara ijma’, maka wajibnya adalah fardhu kifayah. Bagaimana cara pembentukannya itu menjadi wewenang dan tanggung jawab ahlul halli wal ‘aqdi. Bila ia sudah terbentuk, setiap individu wajib menunjukkan ketaatan kepadanya. Menurut Ibnu Kholdun, disamping kepala negara harus dipilih oleh Ahlul Halli Wal ‘Aqdi, kepala negara juga harus memenuhi lima persyaratan: a) Berilmu Pengetahuan; b) Al-Kifayat; c) Berlaku Adil; d) Sehat panca Indra; dan e) Keturunan Quraisy (Pulungan, 2002: 58, Musa, 1990:72).
Bab III. Penutup
Alhamdulillahirabbil‘alamin, berkat usaha keras bersama dari teman-teman satu kelompok, tugas pembuatan makalah ini dapat selesai dengan tanpa ada halangan suatu apapun. Tentunya dalam pembuatan Makalah ini masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki. Dari itu, kami memohon dengan sangat kepada ibu Dosen dan teman-teman pembaca untuk selalu membimbing kami agar Makalah kami menjadi lebih baik lagi.
Demikian ada kurang dan lebihnya, atas nama segenap anggota kelompok senantiasa mohon ma’af yang sebesar-besarnya. Dan akhirnya semoga Makalah ini selalu membawa kemanfaatan bagi kita semua . Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Sayis, Muhammad Ali. 1999. Tariikh Al-Fiqhi Al-Islami; The History Of The Islamic Jurisprudence. Beirut: Dar Al-Fikr.
Hanafi, Ahmad. 1991. Pengantar Dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: PT Bulan Bintang.
Mubarok, Jaih. 2000. Sejarah dan Perkembangan Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakaraya.
Musa, M. Yusuf. 1990. Politik Dan Negara Dalam Islam. Al-Ikhlas. Surabaya.
Pulungan, J. Suyuthi. 2002. Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Rayyan, Ahmad Ali Taha. tt. Mudzakarat Fi Taariikhi Al-Tasyri’ Al-Islami. Tareem: Maktabah Al-Ahgaff.