Makalah Hubungan Olahraga dan Politik

Hubungan Olahraga dan Politik

Bab I. Pendahuluan

A. Latar Belakang

Kemajuan di Era global ini, bukan hanya masalah kepentingan negara yang menjadi politik. Tetapi dalam Olahraga pun sudah di jadikan bahan politik, misalnya demi kemenangan sebuah tim sepak bola, seorang manager atau pengurus rela mengeluarkan kocek sampai bermiliar rupiah untuk menyogok wasit agar berpihak kepada meraka dan memberi kemenagan untuk sebuah gengsi dan kekuasaan dan olahraga dimanfaatkan sebagai media propaganda saat zaman pemerintahan Hitler.

B. Identifikasi Masalah

Olahraga dengan politik sangat erat kaitannya. Tetapi terkadang karena politik dengan muatan negatif terlalu banyak campur tangan ke dalam olahraga maka akan membahayakan organisasi olahraga, atlet serta masyarakat banyak.

C. Tujuan

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :

  1. Memaparkan pengkembangan dan hubungan antara olahraga dengan politik.
  2. Memenuhi salah satu tugas mata kuliah Sosiologi Olahraga
  3. Menambah wawasan bagi kelompok penulis dan rekan-rekan.

Bab II. Pembahasan

A. Olahraga dan Politik

a.      Olahraga

Olahraga adalah aktivitas untuk melatih tubuh seseorang, tidak hanya secara jasmani tetapi juga secara rohani

b.      Politik

Pengertian Politik atau definisi dan makna politik secara umum yaitu sebuah tahapan dimana untuk membentuk atau membangun posisi-posisi kekuasaan didalam masyarakat yang berguna sebagai pengambil keputusan-keputusan yang terkait dengan kondisi masyarakat. Olahraga dan politik bukanlah sesuatu yang baru. Bahkan, bukan hanya dengan  politik. Sebab olahraga memiliki multimakna, yaitu sosial, ekonomi, politik atau ideologi, dan kesehatan. 

Seorang politikus sejati haruslah serentak merupakan simbol kejantanan sportif. Sedangkan bagi kaum sosialis, olahraga adalah manifestasi penting semangat ideal kolektivisme yang rasional dan higienis.

Jadi, dari pertalian antara olahraga dan politik atau ideologi, sudah tampak betapa olahraga dalam peradaban modern, bukan lagi sekadar kegiatan yang netral, melainkan kental sekali kandungan multimakna itu, bahkan sudah tidak terlihat makna olahraga itu sendiri setelah semuanya terbaur oleh politik, yang ada hanyalah manipulasi sebuah kepuasan pribadi.

Jika kita ingin mengerti olahraga dan politik kita harus membaca dua buku yang berbeda karena di zaman seperti sekarang ini jika olahraga dicampur dengan politik akan menjadi sesuatu yang sangat berbahaya. Unsur fairplay hilang, keselamatan atlet terabaikan, tujuan utama olahraga sebagai sarana untuk mencapai atau mendapat kesehatan serta ajang untuk meraih prestasi tercoreng.

2.        Antara Sepak Bola dengan Uang, Gengsi dan Kekuasaan

Tulisan ini memfokuskan diri pada sepakbola, dengan lebih menitik beratkan pada politik, terutama politik demokratik. Artinya, sepakbola bukan sekadar olahraga, melainkan telah lama menjadi alat politik sekaligus inspirasi dan pembelajaran dalam berpolitik. Dengan kata lain, sepakbola dalam perkembangannya bukan hanya sebagai alat politik atau legitimasi politik kekuasaan, seperti diktator Franco di Spanyol yang konon pernah memanfaatkan klub sepak bola Real Madrid sebagai alat legitimasi kekuasaannya, Mussolini pada Piala Dunia 1934 yang memaksakan Piala Dunia harus dilaksanakan di Italia dan klubnya harus “menang atau mati”.

Atau misalkan club sepak bola di Italia, demi kemenangan sebuah tim sepak bola, seorang manager atau pengurus rela mengeluarkan kocek sampai bermiliar Dolar untuk menyogok wasit agar berpihak kepada meraka dan memberi kemenagan untuk sebuah gengsi dan kekuasaan.

Tetapi Sepak bola juga sebagai media pembelajaran politik demokratik, terutama yang bertalian dengan politisi dan konstituennya. Sepakbola dan demokrasi. Bila dilihat lebih dalam, sepakbola memang mengajarkan banyak hal tentang politik, strategi memenangkan pertarungan politik, dan keterlibatan publik di dalamnya, atau yang biasa disebut demokrasi. Dalam demokrasi, yang didahulukan adalah kepentingan umum atau kepentingan bersama, kemudian barulah kepentingan pribadi atau kelompok. Tujuan utama demokrasi adalah menciptakan ruang bagi terciptanya keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat.

Demikian juga dalam sepak bola, sebagai sebuah permainan tim. Dalam sepakbola, yang diutamakan adalah kebersamaan sebagai sebuah tim, setelah itu pribadi. Pertandingan sepakbola antar bangsa, misalnya, yang didahulukan adalah kepentingan dan kehormatan bangsa dan negara, kemudian baru kepentingan pribadi atau klub. Apabila dalam politik, partai politik adalah arena atau lapangan politik milik rakyat dalam membangun demokrasi, maka dalam sepakbola, lapangan hijau menjadi “lapangan politik” milik rakyat untuk membangun kepentingan bersama. Dalam hal ini, sepakbola dapat mengajarkan bagaimana seharusnya sebuah pementasan arena politik partai dan para pendukungnya dalam menjalankan tugas politiknya, yakni fair play.

3.    Politik Sepak Bola di Indonesia

Dualisme PSSI dalam PSSI di bawah ketua umum yang baru La Nyalla Mattaliti, yang terpilih pada KLB Ancol, Jakarta, masih berjuang untuk mendapatkan pengakuan FIFA. Adanya dualisme kepemimpinan di PSSI ini, sudah jelas bagaimana politik sepak bola yang sangat kacau dan semua menyayangkan hal ini, karena tidak bagus bagi perkembangan sepak bola Indonesia. Sangat terlihatlah perpecahan dalam sepak bola Indonesia, karna sebuah keegoisan seorang pemimpin yang hanya memikirkan kepentingan pribadi.

Apabila kita ketahui makna dalam sepak bola itu sendiri adalah Sepak bola bisa menjadi pemersatu karena unsur-unsur di dalamnya, seperti sikap mau bekerja sama, gotong-royong, dan rela menanggalkan sikap egois untuk bersatu padu dalam tim agar tercapai tujuan bersama. Dalam sebuah pertandingan, tujuannya tentu kemenangan.

Sepak bola juga mengajarkan kita untuk berjiwa besar, mau menerima kekalahan dengan lapang dada. Sementara bagi pemenang, juga tetap menghormati tim yang kalah dengan tidak melakukan tindakan mencemooh, dan melecehkan. Inilah sebuah nilai sportivitas. Nilai-nilai persahabatan yang ada di sepak bola seharusnya bisa diterapkan dalam kehidupan keseharian kita.

Kekuatan sepak bola begitu dahsyat, sepak bola sebagai permainan yang sangat digemari. Hampir di setiap kecamatan, kota dan kabupaten memiliki klub sepak bola. Orang  akan melupakan perpecahan, pertengkaran atau persoalan hidup lainnya untuk bersatu dalam mendukung timnas sepak bola yang tengah bertanding. Orang berbondong-bondong datang ke stadion, menonton televisi, seperti yang terjadi dalam ajang Piala AFF dan SEA Games 2011 lalu, untuk mendukung timnas. Begitu hebatnya magnit sepak bola. Inilah yang bisa dikatakan sepak bola sebagai alat pemersatu bangsa.

Harapan pecinta sepak bola di Tanah Air begitu tinggi terhadap prestasi timnas. Namun, PSSI bukannya memenuhi harapan itu, tapi malah menjadikan sepak bola kacau. Kini semua menjadi bias dan abu-abu. Sepak bola yang seharusnya bisa menjadi pemersatu, kini terkoyak oleh kepentingan-kepentingan pribadi para kepengurusan atau pemimpin yang di namakan PSSI.

Unsur sportivitas, persahabatan dan kerja sama tak lagi diindahkan. Yang justru timbul dan tampak di depan mata adalah perpecahan, perselisihan,keegoisan, kekuasaan dan gengsi yang entah sampai kapan akan berakhir.

Dan akibat kisruh yang terjadi di PSSI saat ini bisa menurunkan animo masyarakat terhadap sepak bola nasional. investor pun tentu akan berpikir panjang untuk ikut aktif mendukung kegiatan sepak bola. Animo sponsor jadi menurun. Lihat saja, beberapa pertandingan liga di Indonesia, tak banyak sponsor yang mendukung.

4.    Hubungan Olahraga dan Politik Luar Negeri

Tidak hanya berkaitan dengan kebijakan politik dalam negeri, olahraga ternyata besar kaitannya dengan politik luar negeri sebuah negara. Kepemimpinan Ir. Soekarno yang sangat tegas di masanya sangat mempengaruhi aktivitas olahraga resmi dIndonesia di luar negeri. Salah satu contohnya adalah ketika sebagai presiden, Ir. Soekarno secara resmi melarang tim nasional Indonesia maju ke babak kualifikasi Piala Dunia 1950 di Brazil sebab di babak penentuan tersebut timnas Indonesia harus melawan Israel yang di mata kebijaksanaan politik luar Indonesia merupakan negara aggressor dan melakukan tindakan perampasan wilayah Palestina.

Maju ke babak final Piala Dunia merupakan kebanggaan bagi suatu negara meski kemungkinan lolos tidaknya timnas Indonesia kala itu masih harus ditentukan hasil dari pertandingan melawan Israel, Indonesia memilih mundur daripada mengakui keberadaan Israel sebagai sebuah negara berdaulat.

Demikian pula halnya yang terjadi pada penyelenggaraan Asian Games (Ganefo) di masa pemerintahan Presiden Soekarni. Penyelenggaraan Ganefi yang dicetuskan Ir. Soekarno pada tahun 1961 sarat bermuatan politis. Beliau mengungkapkan pemikirannya tentang peta politik dunua yang dipengaruhi oleh Nefo (The New Emerging Force) dan Oldefo (The Old Established Force). NEFO di mata Bung Karno sebagai negarawan dipetakan sebagai perwakilan kekuatan baru yang sedang tumbuh yaitu negara Asia, Afrika dan Amerika latin yang baru atau berusaha terbebas dari imperialisme dan neo kolonialisme serta berusaha membangun tata dunia baru. Sementara Oldefo merupakan golongan negara-negara imperialisme dengan kekuatan lama mereka.

Bung Karno tidak hanya piawai mengobarkan semangat kebangsaan ketika merebut kemerdekaan, namun juga membakar semangat nasionalisme para atlet untuk bertanding di kancah internasional, Ganefo adalah salah satunya demi menunjukkan keberadaan negara indonesia yang lebih dari tiga setangah abad telah terjajah. Maka ketika Indonesia ditunjuk sebagai tuan rumah Asian Games keenam, Bung Karno memanfaatkan politik luar negeri untuk melobi Uni Soviet demi mengucurkan bantuan agar pembangunan fasilitas, sarana dan prasarana olahraga persiapan Asian games dapat terlaksana sesuai standar Internasional.

Perjuangan dan lobi tersebut membuahkan hasil, Istora Senayan, Gedung Basket, Stadion Olahraga, Hotel Indonesia, Jembatan Semanggi yang digunakan sebagai sarana dan prasarana Asian Games berhasil dibangun. Hal ini diikuti dengan prestasi gemilang kontingen Indonesia yang berhasil menduduki peringkat ketiga setelah Republik Rakyat Tiongkok dan USSR. Di ajang Asian Games ini sekali lagi Indonesia menunjukkan sikap tegasnya dalam bidang politik luan negeri, yaitu dengan tidak mengundang Israel dan Taiwan sebagai bukti menentang kepesertaan kedua negara tersebut di Asian Games.

Dalam pandangan politik luar negeri Indonesia saat itu Israel dan Taiwan dianggap tidak berdaulat, keputusan ini menyebabkan komite Olympiade Internasional mencabut sementara Indonesia dalam organisasi tersebut, Bung Karno menjawabnya dengan menyatakan bahwa Indonesia secara resmi keluar dari IOC dan menganggap organisasi tersebut hanyalah perpanjangan tangan dari negara Oldefo sebagai kedok imperialisme.

Hubungan olahraga dan politik tidak hanya ditunjukkan oleh Indonesia. Secara global terbukti bahwa ada hubungan erat antara politik dan olahraga, terutama penyelenggaraan kompetisi olahraga internasional. Penundaan olimpiade karena pecahnya Perang Dunia adalah fakta bahwa politik sangat berpengaruh pada olahraga.

Tokoh-tokoh besar seperti Adolf Hitler bahkan pernah memanfaatkan Federasi Sepak Bola Jerman (DFB) sebagai alat propaganda politik Nazi, itulah sebabnya negara Yunani pernah menjatuhkan sanksi berat kepada Giorgios Katidis dilarang bermain membela Yunani karena memperagakan salam gaya Nazi ketika mencetak goal yang membawa AEK Athens unggul 2-1 atas Veria di Liga Yunani.

Comments

Leave a Reply