Makalah Enzim Dalam Industri Pangan

13 min read

Enzim Dalam Industri Pangan

Bab I. Pendahuluan

A. Latar Belakang

Enzim berperan sangat penting dalam industri pangan, baik produk pangan tradisional maupun maupun desain produk pangan yang baru. Sebelum dikenalnya teknologi modern, pemanfaatan enzim sudah dilakukan dengan tidak sengaja. Misalnya, pada proses pengolahan minuman beralkohol dan keju. Proses malting pada pengolahan minuman beralkohol berkembang aktivitas enzim amilase dan protease yang memecah pati dan protein pada mashing biji-bijian menghasilkan gula dan zat gizi lain yang dibutuhkan oleh yeast pada proses selanjutnya. Demikian pula pada pengolahan keju, peran enzim protease sangat penting dalam memecah misel kasein sehingga terbentuk curd pada tahapan pembuatan keju. Dengan kemajuan teknologi, peran enzim dalam produksi pangan sudah dilakukan optimasi terhadap kondisi proses sehingga aktivitas enzim dapat berjalan seperti yang diharapkan.

Contoh lain dari peran enzim untuk menghasilkan mutu pangan yang baik adalah proses produksi daging saat pemotongan hewan. Proses perubahan otot menjadi daging diperlukan kerja enzim, sehingga daging yang dihasilkan mempunyai mutu yang baik. Pentingnya hewan diistirahatkan sebelum dipotong, membunuhnya tanpa trauma, dan melayukan daging beberapa jam atau hari, dilakukan sebelum peran enzim selama proses tersebut diketahui. Sekarang telah diketahui bahwa pada saat hewan diistirahatkan sebelum dipotong menjamin ketersediaan glikogen sebagai substrat dari kerja enzim post mortem enzim. Proses glikolisis post mortem dan protease dalam proses konversi otot menjadi daging sangat penting untuk proses selanjutnya dan memperbaiki mutu daging.

Banyak produk pangan lain yang didesain dengan mengembangkan kerja enzim, baik langsung maupun tidak langsung. Contoh produk-produk pangan akibat kerja enzim secara tidak langsung adalah produk pangan fermentasi yang melibatkan mikroorganisme seperti yogurt, tempe, kecap, tape, sosis, dan lain-lainnya. Aktivitas enzim yang dimanfaatkan dalam proses produksi pangan secara endogenus berasal dari tanaman, hewan, maupun mikroorganisme. Aktivitas enzim endogenus dapat dimanipulasi dengan melakukan optimasi terhadap kondisi kerja enzim (pH dan suhu) atau meningkatkan ekspresi enzim dengan teknik rekayasa genetik. Karena keterbatasan penggunaan teknik manipulasi tersebut, maka berkembang ide untuk menambahkan enzim dari sumber lain (enzim eksogenus) untuk memperbaiki reaksi-reaksi yang sudah ada atau menginisiasi reaksi-reaksi baru. Pemanfaatan dan manipulasi kerja enzim telah pula dipergunakan untuk mendesain produk pangan fungsional.

Ada beberapa enzim yang telah digunakan secara umum dalam industri pangan, salah satunya enzim a-amilase. Enzim a-amilase digunakan dalam industri hidrolisis pati, bir, roti, dan deterjen. Dalam industri hidrolisis pati, enzim digunakan untuk mencairkan pati yang tergelatinasi. Enzim tersebut berfungsi menurunkan viskositas pati dan menghidrolisis menjadi maltodekstrin. Enzim a-amilase (1,4-a-glukanohidrolase) merupakan endoglukanase yang menghidrolisis ikatan internal a-l,4 glikosidik. Sebelum digunakan a-amilase termostabiI, enzim amilase dari B.sllbtilis dan B. amyloliquefaciens yang digunakan harus ditambahkan sebelum dan sesudah tahap gelatinasi pada suhu tinggi. Dengan ditemukan a-amilase dari B. Licheniformis maka tahap ini dapat dieliminasi. Enzim a-amiloglukosidase (1,4-a-D-glukan glukohidrolase atau glukoamilase) dari cendawan digunakan dalam produksi sirup glukosa yang setara dengan dekstrosa sebesar 95 sampai 97%. Enzim tersebut memiliki aktivitas exoacting yaitu melepaskan glukosa dari ujung pereduksi maltodekstrin. Bila diinginkan diperoleh sirup glukosa yang setara dengan dektrosa lebih dari 98% perIu ditambahkan pululanase dari Klebsiella aerogenes. Enzim ini ternyata tidak stabil karena secara cepat dapat kehilangan aktivitas pada pH 4.5 dan suhu 60°C (Thomas & Kenealy 1986).

Enzim a-amilase dari cendawan termostabil Aspergillus niger dan A. oryzae digunakan untuk produksi sirupmaltosa. Enzim cendawan tersebut berbeda dari enzim a-amilase bakteri, yaitu produk utamanya adalah maltosa,disamping itu juga menghasilkan dekstrin dan glukosa dalam jumlah terbatas. Berdasarkan alasan ekonomi, a-amilase cendawan sering digunakan bersamaan dengan amiloglukosidase untuk menghasilkan sirup campuran yang setara dengan dekstran sebesar 60%.

Sirup campuran yang dihasilkan dapat digunakan sebagai substrat murah dalam industri bir dan fermentasi. Enzim isomerase digunakan untuk mengubah glukosa menjadi fruktosa dalam industri sirup jagung berkadar fruktosa tinggi. Fruktosa yang merupakan isomer D-glukosa adalah pemanis alami yang paling manis. Untuk tujuan isomerisasi ini digunakan enzim xilosa isomerase. Dalam industri modern, penggunaan xilosa isomerase dilakukan dalam reaktor fixed-bed dalam bentuk terimobilisasi. Xilosa isomerase yang sering digunakan berasal dari B. coagulans,Streptomyces albus, Arthrobacter spp., dan Actinoplanes missouriellsis.

Dua enzim karbohidrase penting lainnya yang digunakan dalam industri ialah pektinase dan laktase. Pektinase digunakan untuk menjernihkan jus buah. Laktase digunakan pada industri keju untuk memecah laktosa menjadi glukosa dan galaktosa (Thomas & Kenealy 1986). Enzim proteolitik memiliki peranan kira-kira dua pertiga dari total pasar industri berbasis enzim. Dari total protease yang digunakan dalam industri, 25% di antaranya merupakan protease alkalin termostabil yang digunakan dalam industri deterjen. Dari uraian tersebut terlihat betapa enzim termostabil sangat berpotensi untuk diaplikasikan dalam industri modern yang berbasis enzim.

Meskipun kemajuan yang dicapai dalam aplikasi enzim telah sangat luas selama dekade terakhir ini, namun pengetahuan tentang fisiologi, metabolisme, enzimologi, dan genetika dari mikrob penghasil enzim masih terbatas. Oleh karena itu, penelitian mendalam tentang sifat-sifat molekuler enzim dan gen-gennya untuk dapat memahami bagaimana mereka menjalankan fungsinya pada suhu tinggi, bahkan pada suhu di atas 100o masih diperlukan.

Bab II. Pembahasan

A. Enzim dalam pengolahan pangan

Penggunaan enzim dalam industri pangan dilakukan karena enzim merupakan alat yang ideal digunakan untuk memanipulasi bahan-bahan biologis. Beberapa keuntungan penggunaan enzim dalam pengolahan pangan adalah aman terhadap kesehatan karena bahan alami, mengkatalisis reaksi yang sangat spesifik tanpa efek samping, aktif pada konsentrasi yang rendah, dapat diinaktivasi, dan dapat digunakan sebagai indikator kesesuaian proses pengolahan. Walaupun demikian, dari ribuan enzim ditemukan oleh para ahli biokimia, hanya sebagian kecil enzim dapat dimanfaatkan dalam industri pangan. Hal ini disebabkan oleh ketidaksesuaian kondisi reaksi enzim, ketidakstabilan enzim selama pengolahan, atau karena biaya yang terlalu mahal untuk menggunakan enzim dalam pengolahan pangan.

Pada saat enzim dipertimbangkan untuk digunakan dalam industri pangan, maka sangat penting dijamin bahwa pemanfaatan enzim tersebut akan memberikan keuntungan secara komersial. Enzim dapat bermanfaat untuk konversi bahan baku menjadi bahan yang lebih mudah diolah pada tahapan proses selanjutnya. Selain untuk pengolahan yang lebih efisien dan aman, enzim dalam industri pangan dapat dimanfaatkan untuk mendesain produk pangan yang lebih mudah dicerna saat dikonsumsi. Degradasi makromolekul menjadi senyawa yang lebih sederhana dan mudah diserap di dalam saluran pencernaan sangat diperlukan oleh orang yang bermasalah dengan produksi enzim-enzim pencernaan.

Ada dua cara penggunaan enzim dalam pengolahan pangan, yaitu memanfaatkan enzim yang alami ada dalam produk pangan (enzim endogenus) dan menambahkan enzim dari luar ke dalam bahan pangan yang diolah (enzim eksogenus). Enzim endogenus dapat berasal dari bahan baku pangan (nabati atau hewani) maupun dari mikroorganisme yang digunakan dalam proses fermentasi produk pangan. Enzim eksogenus sudah banyak diproduksi secara komersial untuk dapat dimanfaatkan dalam proses pengolahan pangan. Beberapa produk enzim yang digunakan dalam pengolahan pangan dapat dilihat pada Tabel 1.

Secara alami enzim terdapat dalam sel dari mikroorganisme, jaringan tanaman dan jaringan hewan. Keterlibatan enzim dalam pengolahan pangan tidak semua menguntungkan. Enzim yang merugikan dapat menyebabkan kerusakan pangan seperti pembusukan, perubahan flavor, warna, tekstur dan kandungan gizi pangan. Untuk itu, dalam pengolahan pangan, inaktivasi enzim yang tidak menguntungkan tersebut perlu dilakukan. Namun beberapa enzim alami pada makanan apabila dikonsumsi segar dapat membantu kerja pencernaan dan kerja pankreas untuk sekresi enzim tidak bekerja berat. Bahan pangan yang melalui pemasakan (pemanasan) akan menginaktifkan enzim-enzim alami yang terdapat dalam makanan segar. Apabila kita selalu mengonsumsi makanan yang dimasak dalam waktu yang lama, maka akan terjadi kekurangan enzim yang kronis (chronic enzyme deficiency) yang memberi kecendrungan pada penyakit kanker.

I. Enzim Pada Industri Bir

Pembuatan bir (bahasa Inggris: brewing, dibaca; bruwing) adalah proses yang menghasilkan minuman beralkohol melalui fermentasi. Metode ini digunakan dalam produksi bir, sake, dan anggur. Brewing memiliki sejarah yang panjang, dan bukti arkeologi menunjukkan bahwa teknik ini telah digunakan di Mesir kuno. Berbagai resep bir ditemukan dalam tulisan-tulisan Sumeria. Tempat pembuatan bir dinamakan brewery (bahasa Inggris) atau brauerei (bahasa Jerman). Teknologi pembuatan bir mengalami perubahan yang cukup besar dari abad ke abad, dan bahkan dewasa ini setiap pembuat punya caranya sendiri. Tetapi, secara umum, hampir semua bir mengandung empat bahan dasar: barli, hop, air dan ragi.

Seluruh proses pembuatan bir dapat dibagi menjadi empat tahap: pembuatan malt, pengolahan wort, fermentasi dan pematangan. Pembuatan malt : semua bir dibuat dari malt. Malt ini, tergantung kebiasaan, dibuat dari bulir jelai, gandum, atau kadang gandum hitam. Selama tahap ini, barli disortir, ditimbang, dan dibersihkan. Setelah itu, barli direndam dalam air dengan tujuan supaya barli itu berkecambah. Prosesnya memakan waktu antara lima sampai tujuh hari pada suhu sekitar 14oC. Hasilnya adalah malt hijau, yang dipindahkan ke oven khusus untuk dikeringkan di kiln. Proses perkecambahan menghasilkan beberapa enzim, terutama α-amilase dan β-amilase, yang akan digunakan untuk mengubah pati dalam bulir menjadi gula. Kadar air dalam malt hijau itu diturunkan hingga antara 2% sampai 5% agar berhenti berkecambah. Setelah dikeringkan, kecambah dibuang dari butiran malt, lalu malt itu digiling. Kemudian, tahap berikutnya bisa dimulai. Pengolahan wort Malt yang telah digiling dicampur dengan air untuk menghasilkan adonan, yang kemudian dipanaskan perlahan-lahan dalam sebuah proses yang dinamai mashing. Mashing biasanya memakan waktu 1 sampai 2 jam.

Pada suhu tertentu, enzim-enzimnya mulai mengubah sarinya menjadi gula sederhana. Tetapi ini berlangsung lebih dari empat jam dan menghasilkan wort yang kemudian disaring sampai bersih. Berikutnya adalah proses pendidihan, yang menghentikan kegiatan enzim. Selama pendidihan, hop ditambahkan ke dalam wort untuk menghasilkan rasa pahit bir yang khas. Setelah kira-kira dua jam dididihkan, wort didinginkan sampai suhu tertentu. Fermentasi inilah tahap terpenting dalam proses pembuatan bir. Dengan bantuan ragi, gula sederhana dalam wort diubah menjadi alkohol dan karbon dioksida. Lama fermentasi yang berlangsung tidak lebih dari seminggu, dan suhu proses itu bergantung pada jenis bir misalnya ale (bir keras) atau lager (bir ringan) yang dihasilkan.

Bir mentah itu kemudian dipindahkan ke dalam tangki-tangki di ruang penyimpanan bawah tanah untuk dimatangkan. Selama tahap ini, terbentuklah rasa serta aroma bir yang khas dan juga gelembung-gelembung dari karbon dioksida. Bir mengalami pematangan selama suatu periode dari tiga minggu sampai beberapa bulan, bergantung pada jenis bir. Akhirnya, bir yang telah jadi itu dikemas dalam gentong atau botol dan siap dikirim ke tempat tujuan akhir.

II. Enzim Pada Produksi High Fructose Corn Syrup

Pembuatan HFCS (High Fructose Corn Syrup) dapat dilakukan dengan tersediaanya substrat pati jagung dan enzim isomerase yang mampu merubah glukosa menjadi fruktosa. Kini telah berkembang penggunaan “immobilized enzymes”, suatu enzim yang dikurung dalam sejenis kapsul, sehingga substrat dan produknya saja yang dapat masuk ke luar, sedang enzimnya tidak ke luar (immobilize) dari kapsulnya. Dengan demikian penggunaannya dapat berulang-ulang, sampai mengalami stadium “fatigue”.

Salah satu produk HFCS (yang pertama diproduksi) mengandung 71 persen padatan terlarut, dengan susunan 42 persen fruktosa, 52 persen dekstrosa (glukosa) dan 6 persen gula-gula lain. Karena kandungan dektrosanya, suhu penyimpanan sebaiknya dilakukan pada 80 – 900F, untuk mencegah terjadinya kristalisasi glukosa. Skema produksi HFCS terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Skema produksi HCFS 42 %

Untuk per ton pati diperlukan enzym liquefaction amylase sebanyak 1.15 kg, enzim sacharifikasi 0.85 kg, enzim isomerase 0.70 kg, filter aw 5.54, “active carbon” 6.00 kg. NaCI 10.9 kg dan HCI 56.20 kg. Untuk perhitungan tahun 1983 biaya bahan tambah tersebut meliputi Rp. 80.000,- per ton HFCS.

a. Likuifikasi

Kanji pati jagung (40 – 45%) dimasukkan ke dalam pompa dengan dicampur enzim amilase dan cofaktor. PH diatur sampai sekitar 6.8 sebelum ditambah dengan enzim. Dan kemudian dinjeksikan uap air panas sehingga mencapai suhu reaksi enzim yaitu 1040C. Dengan tekanan uap, mampu sekaligus mengocok sehingga mempercepat reaksi.

Penambahan enzim dilakukan dan produk dibiarkan pada suhu 930C selama 60 menit sehingga proses likuifikasi berlangsung lengkap. Pada tahap tersebut seluruhpati telah dirubah sehingga mencapai dekstrose-eqivalen (DE) sekitar 15 – 20.

b. Sacharifikasi

Campuran didinginkan sehingga mencapai 600C, suhu yang optimal untuk proses sacharifikasi. Karena reaksinya exotherm maka ada kecenderungan proses menyebabkan bertambahnya suhu, karena itu harus diturunkan dan dikendalikan. Pengendalian suhu sangat penting pada tahap sacharifikasi. Produk akhir mencapai DE 95 – 98.

Whitaker (1972) mengatakan dalam kurun waktu 50 tahun mendatang, khususnya dalam penelitian daging, perkembangan teknologi enzim akan mengarah ke masalah pemanfaatan enzim selama pemeraman daging (kaskas) sehingga dapat dicapai sesingkat mungkin. Dengan teknologi enzim yang maju misalnya dengan pengendalian enzim dalam daging, digabung dengan penambahan enzim yang spesifik akan dapat mencernakan polimer-polimer yang bertanggung jawab terhadap keempukan daging berbagai enzim daging tersebut, enzim kolagenase akan banyak berperan, diharapkan daging yang memenuhi mutu yang dikehendaki tanpa mengalami proses pemeraman. Dengan demikian cara tersebut akan sangat lebih ekonomis dibanding harus menunggu proses pemeraman yang lamanya 2 – 3 minggu atau lebih.

Pada hakekatnya yang menyebabkan kekerasan daging itu bukan jumlahnya kolagen tetapi mutu atau jenis kolagen yang menentukan kekerasan daging. Enzim spesifik tersebut (kolagenase) diperlukan untuk mencegah pemeraman dan terjadinya penuaan.

Enzim kolagenase tersebut dapat diperoleh dari mikroba khususnya yang diisolasi dari kulit yang telah disamak C. histolyticum, yang memiliki keaktifan enam kali lebih aktif dari kolagenase ternak.

Bahkan enzim kolagenase tersebut telah berkembang penggunaannya untuk mencegah proses penuaan pada manusia sehingga dapat lebih awet muda. Usaha-usaha mencari enzim anti crosslink tersebut akan berkembang maju di masa depan. Bjorksten (1977) dalam mencari jenis enzim tersebut telah menemukan dan mengisolasi Ca-activated (“micro-protease”) dari B. ceresu, yang istimewa dari enzim tersebut adalah ukurannya yang sangat kecil, dengan demikian memungkinkan memasuki dan menembus serat-serat kolagen. Enzim-enzim yang mampu memecah ikatan C-N akan besar perannya dalam memecahkan cross-link.

Enzim yang mampu menghambat bahkan menyetop terjadinya senescen = kelayuan dan penuaan pada buah khususnya memantapkan kemudaan, kelayuan dan kerenyahan produk hortikultura akan terus mendapat perhatian khususnya enzim yang berasal dari mikroba.

c. Refining sirup dekstrosa

Proses refining dimulai dengan proses filtrasi. Filtrasi dilakukan secara vakum yang mampu menjaring protein, serat atau padatan lain dengan cara sirup ampas dikeringkan untuk kemudian dibuat pellet untuk makanan ternak.

Sirup yang telah disaring tersebut dipompakan ke dalam kolom karbon aktif dan ion exchange dalam bentuk seri untuk lebih memurnikan sirup. Kolom karbon aktif biasanya terdiri dari dua buah kolom yang mampu menampung aliran sirup dnegan “retention time” 400 jam, yang diperlengkapi dengan alat distributor yang menjamin distribusi sehomogen mungkin.

Setelah melalui karbon aktif, sirup tersebut dialirkan dalam tangki-tangki “ion exchange” dan kemudian disaring lagi untuk memisahkan adanya karbon yang terikut dalam sirup.

Fungsi “ion-exchange” ialah untuk menghilangkan zat-zat mineral dalam sirup dan residu protein atau zat-zat warna yang mungkin lolos dari kolom karbon aktif.

Tahap berikutnya adalah pengentalan kembali dengan dilakukan evaporator.

d. Isomerisasi

Glukosa dan fruktosa adalah merupakan isomer satu dengan yang lainnya, artinya memilih berat molekul dan susunan atom yang sama tetapi dengan struktur konfigurasi yang berbeda.

Glukosa dapat dirubah strukturnya menjadi fruktosa atau sebaliknya, fruktosa dapat dirubah menjadi glukosa dengan pertolongan enzim yang sama yaitu glukosa-isomerase. Proses perubahan tersebut disebut “enzymatic glucose-isomerization”.

Karena enzim tersebut “reversible” artinya dapat mengkatalis ke aksi bolak-balik maka produk akhir selalu merupakan campuran dari biak glukosa maupun fruktosa. Relatif komposisi campuran dari kedua jenis gula tersbut dapat bervariasi tergantung kondisi reaksi, suhu dan keasaman dimana proses isomerasi berlangsung. High Fructose yang diproduksi mengandung fruktosa 42 persen, 50 persen glukosa dan 8 persen oligomerasi (gula lain).

Sirup kental dengan kadar padatan 45 persen dimasukkan ke dalam isomerasi selama 15 menit untuk mengatur pH 8.0 dan penambahan Mg sulfat sebagai promts, sirup dipompakan ke dalam kolom-kolom isomerasi. Sebelum proses dimulai, suhu kasar dan suhu tepat (600C) diatur secara cermat, dilakukan di aerasi dalam kolom sehingga mencapai kevakuman 254 mm Hg dan enzim gluko isomerasenya telah pula disiapkan. Adanya oksigen terlarut dapat memblokir reaksi isomerasi.

Dalam industri yang berskala besar proses isomerasi dilakukan pada sembilan kolom reaktor (fixed bed, densiflow) dan beberapa “immobilized enzym” kolom reaktor. Enzim dalam kolom secara cepat berubah secara isomerisasi, glukose menjadi fruktosa.

Kadar sirup glukosa harus diatur selalu tetap yaitu antara 42.5 – 43 persen agar “flowrate”nya konstan.

e. Refining HFS

“High Fructose Syrup” yang diperoleh kemudian ditampung dalam tangki penampung dan kemudian dialirkan ke dalam filter, karbon aktif dan “ion-exchange” kolom seperti yang digunakan dalam proses pemurnian sirup glukosa.

Karbon aktif mengambil senyawa berwarna yang terjadi selama proses isomerasi dan “ion-exchange” mengambil garam anorganik yang digunakan dalam proses isomerasi sehingga kadar abu dapat ditekan menjadi serendah mungkin.

Sirup HFS yang diperoleh disaring lagi, dipanaskan pada suhu di bawah diskolom HFS untuk meningkatkan kekentalan sirup sehingga mencapai kadar padatan terlarut 71 persen, disaring lagi baru ditampung ke dalam tangki-tangki penyimpanan.

III. Enzim Pada Produksi Gula Xilosa dengan Enzum Xilanase

Jenis mikroorganisme yang sudah umum menghasilkan xilanase ialah jamur dan bakteri. Beberapa jenis bakteri dan jamur diketahui mampu menghasilkan xilanase secara ekstraseluler. Xilanase dari Clostridium acetobuty-licum telah diteliti oleh Lee et al. (1985), yaitu dari 20 strain Clostri-dium sp. ternyata C. acetobutylicum NRRL B527 dan ATCC 824 menghasilkan xilanase terbanyak. Strain NRRL B527 menghasilkan xilanase pada pH 5,2, sedangkan strain ATCC 824 menghasilkan xilanase, xilopiranosidase, dan arabinofuranosidase pada kultur anaerob. 

Bacillus sp. penghasil xilanase bersifat alkalofilik yang telah diteliti adalah Bacillus sp. YC 335 (Park etal., 1992), Bacillus sp. 41M-1 (Nakamura et al., 1993), dan Bacillus sp.TAR-1 yang juga bersifat termofilik (Nakamura et al., 1994). Kubata et al. (1992) telah mengisolasi Aeromonascaviae ME-1 penghasil xilanase I dari usus herbivorous insect, sedangkan Dung et al. (1993) melakukan penelitian β-1,4-xilanase 2 dan 3 dari Acaviae W-61. Irawadi (1992) berhasil memproduksi selulase dan xilanase dari Neurospora sitophila pada substrat padat limbah kelapa sawit. Richana et al. (2000) telah melakukan isolasi bakteri penghasil xilanase alkalofilik yang berasal dari tanah berkapur pH 7,9.

Dalam memproduksi enzim dari mikroorganisme, hal yang penting untuk dikerjakan adalah mulai menggunakan strain mikroorganisme yang paling aktif yang tersedia. Suatu program seleksi strain harus dilakukan dengan mengambil kultur dari alam atau koleksi kultur, dan melakukan pengujian-pengujian aktivitas enzim. Persyaratan utama dalam seleksi adalah kemudahan metodologi, sehingga pengujian yang cepat untuk sejumlah besar strain dapat dikerjakan.

Jenis mikroorganisme yang sudah umum menghasilkan xylanase ialah dari golongan jamur dan bakteri. Meskipun enzim yang dihasilkan oleh golongan bakteri memiliki ketahanan pada temperatur yang lebih tinggi dibanding jamur, namun aktifitas xylanase dari golongan jamur jauh lebih tinggi dari bakteri. Disamping itu, level produksi yang tinggi dan kemudahan dalam cultivikasi membuat jamur lebih banyak digunakan dalam produksi enzim skala industri (Bergquist et al, 2002).

Adapun jenis jamur yang berpotensi menghasilkan enzim xylanase yaitu jamur Aspergillus niger dan Trichoderma ressei.

Aspergillus niger adalah mould dari klas fungi imperfecti, tersebar dimana-mana pada bermacam substrat antara lain terdapat pada buah-buahan, sayur-sayuran dan makanan lain yang telah busuk. Jamur ini berperan dalam mendekomposisi polisakarida di dalam kayu, mempunyai suhu pertumbuhan 300C – 370C, pH : 4 – 6 dan aerob.

Menurut tinjauan umum A.niger diklasifikasikan sebagai berikut:

Divisi : Fungi imperfecti

Sub kelas : Hyphomyces

Ordo : Monoliales

Famili : Monoleaceae

Genus : Aspergillus

Spesies : Niger

(Dwijoseputro, 1984)

Pemanfaatan Xilanase Sebagai Gula Xilosa

Xilanase juga dapat digunakan untuk menghidrolisis xilan (hemiselulosa) menjadi gula xilosa. Xilan banyak diperoleh dari limbah pertanian dan industri makanan. Pengembangan proses hidrolisis secara enzimatis merupakan prospek baru untuk penanganan limbah hemiselulosa (Biely, 1985; Rani dan Nand, 1996;Beg et al., 2001).

Gula xilosa banyak digunakan untuk konsumsi penderita diabetes. Di Malaysia gula xilosa banyak diguna-kan untuk campuran pasta gigi karena dapat berfungsi memperkuat gusi. Dengan beragamnya kegunaan gula xilosa maka perlu adanya inovasi ke arah produksi xilosa tersebut.Inovasi tersebut muncul diantaranya apabila enzim penghidro-lisis lignoselulosa tersebut sudah tersedia.

Adakalanya untuk mem-proses gula xilosa belum diminati karena kurang ekonomis meng-ingat kandungan xilan sangat rendah dibandingkan dengan selulosa. Namun demikian, perlu dipertimbangkan untuk melakukan proses multienzim sehingga hasilnya tidak hanya xilosa saja (dari xilan) tetapi juga glukosa (dari selulosa dan oligo sakarida lainnya). Sedangkan adanya teknologi baru seperti teknologi membran, di mana dapat memisahkan komponen sesuai ukuran molekul maupun berat molekul maka dapat dilakukan fraksinasi glukosa dan xilosa dengan mudah.

Pemanfaatan Xilanase untuk Makanan Ternak

Van Paridon et al. (1992) telah melakukan penelitian pemanfaatan xilanase untuk campuran makanan ayam boiler, dengan melihat pengaruhnya terhadap berat yang dicapai dan efisiensi konversi makanan serta hubungannya dengan viskositas pencernaan. Hal yang sama juga di-lakukan oleh Bedford dan Classen (1992), yang melaporkan bahwa campuran makanan ayam boiler dengan xilanase yang berasal dari T.longibrachiatum ternyata mampu mengurangi viskositas pencernaan, sehingga meningkatkan pencapaian berat dan efisiensi konversi makanan.

Pemanfaatan Xilanase untuk Makanan dan Minuman

Xilanase dapat juga digunakan untuk menjernihkan juice, ekstraksi kopi, minyak nabati, dan pati (Wongdan Saddler, 1993). Kombinasi dengan selulase dan pektinase dapat untuk penjernihan juice dan likuifikasi buah dan sayuran (Beg et al.,2001).

Efisiensi xilanase dalam perbaikan kualitas roti yang telah dilakukan, yaitu xilanase yang berasal dari Aspergillus niger var awamori yang ditambahkan ke dalam adonan roti menghasilkan kenaikan volume spesifik roti dan untuk lebih meningkatkan kualitas roti maka perlu dilakukan kombinasi penambahan amilase dan xilanase (Maatet al., 1992).

Sekalipun potensi penggunaan enzim xilanase cukup beragam tetapi untuk memproduksi juga masih menghadapi beberapa kendala, antara lain tidak tersedianya strain mikroorganisme unggul dan kurangnya pengetahuan tentang teknologiproduksi enzim. Di lain pihak, pakar dari negara maju mengakui bahwa negara yang kaya akan keanekaragaman hayati, termasuk Indonesia, merupakan sumber mikroorganisme maupun tanaman yang potensial untuk bioproses (Fox, 1994).

Melihat potensi bahan limbah berlignoselulosa yang melimpah, serta kekayaan sumber keanekaragaman hayati mikroorganisme di Indonesia, maka perlu dilakukan inovasi ke arah industri enzim. Xilanase yang sangat beragam penggunaannya dapat diproduksi sendiri di Indonesia seandainya memiliki strain mikroorganisme unggul penghasil xilanase dan menguasai teknologi produksinya.

Ekstraksi secara mekanis memiliki keuntungan dalam pengambilan sari buah dari daging buahnya karena caranya yang sederhana, biaya murah, tekanan dapat disesuaikan dengan jenis bahan, dan alat pengempa dapat untuk bermacam-macam bahan.

IV. Enzim Pada Proses Penjernihan Sari Buah dengan Enzum Pektinase

Pada proses produksi sari buah, metode pengambilan sari buah dari buah asalnya biasa menggunakan metode ekstraksi. Buah yang diekstrak akan menghasilkan saribuah. Sari buah yang diperoleh biasanya masih mengandung partikel padat. Sehingga perlu dihilangkan agar mendapatkan sari buah yang jernih. Penghilangan dapat dilakukan dengan penyaringan. Pemisahan dengan didiamkan beberapa waktu akan terjadi pengendapan padat karena adanya gaya gravitasi partikel padat, kemudian dapat diambil bagian jernihnya. Proses penjernihan yang lebih efisien dapat dilakukan dengan menggunakan bantuan enzim, yaitu enzim pektinase.

Enzyme treatment

Perlakuan pemberian enzim dapat membantu proses penjernihan sari buah. Enzim yang digunakan adalah pektinase, yaitu enzim yang memecah pektin, suatu substrat polisakarida yang ditemukan di dinding sel tumbuhan. Salah satu pektinase yang banyak digunakan secara komersial adalah poligalakturonase. Hal ini dikarenakan petin merupakan suatu matriks mirip jelly yang merekatkan sel-sel tumbuhan dan merekatkan antar dinding sel tumbuhan, seperti serbut selulosa. Oleh karenanya, enzim ini berperan dalam proses yang melibatkan degradasi bahan yang berasal dari tumbuhan, seperti mempercepat ektraksi jus dari buah-buahan.

Pektinase biasanya merupakan campuran dari beberapa enzim, seperti selulase, yang digunakan secara luas dalam industri jus untuk membantu ekstraksi, menjernihkan, dan memodifikasi jus. Selain itu, enzim yang termasuk dalam kelompok pektinase adalah poligalakturonase, pektin metil esterase, dan pektin lyase.

Penambahan enzim pectin membantu penjernihan dalam 2 cara: (1) enzim pektin menyebabkan koagulasi dan sedimentasi bahan-bahan tersuspensi dan kandungan koloid yang terdapat dalam jus, dan (2) penambahan enzim memperkecil viskositas jus dan sebagai akibatnya mempermudah dan mempercepat filtrasi.

V. Enzim Lipase untuk Produk Bakery

Enzim lipase merupakan salah satu enzim yang memiliki sisi aktif sehingga dapat menghidrolisis triasilgliserol menjadi asam lemak dan gliserol. Enzim lipase dapat digunakan untuk menghasilkan emulsifier, surfaktant, mentega, coklat tiruan, protease untuk membantu pengempukan daging, mencegah kekeruhan bir, naringinase untuk menghilangkan rasa pahit pada juice jeruk, glukosa oksidase untuk mencegah reaksi pencoklatan pada produk tepung telur dan lain-lain.

Sumber-sumber enzim lipase antara lain : bakteri (S. aureus), kapang (Aspergillus niger, Rhizopus arrhizus), tanaman yang menghasilkan trigliserida (kacang-kacangan), pancreas, susu.

Aplikasi enzim lipase untuk sintesis senyawa organik semakin banyak dikembangkan, terutama karena reaksi menggunakan enzim lipase bersifat regioselektif dan enansioselektif. Aktifitas katalitik dan selektivitas enzim, tergantung dari struktur substrat, kondisi reaksi, jenis pelarut, dan penggunaan air dalam media.Contohnya biosintesis senyawa pentanol, hexanol & benzyl alkohol ester, serta biosintesis senyawa terpene ester menggunakan enzim lipase yang berasal dari Candida antartica dan Mucor miehei.

DAFTAR PUSTAKA

Budiman , Albar & Setyawan ,Sigit . Pengaruh Konsentrasi Substrat, Lama Inkubasi Dan

Ph Dalam Proses Isolasi Enzim Xylanase Dengan Menggunakan Media Jerami

Padi . Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Diponegoro :

http://www.foodreview.biz/login/index.php

http://sudarmantosastro.wordpress.com
http://aguskrisnoblog.wordpress.com/2011/01/13/rekayasa-genetika-mikroorganisme-penghasil-enzim-lipase

Laporan Praktikum Efek Fotolistrik

Efek Fotolistrik Bab I. Pendahuluan A. Latar Belakang Efek fotolistrik adalah fenomena terlepasnya elektron logam akibat disinari cahaya. Ditinjau dari perspektif sejarah, penemuan efek...
Ananda Dwi Putri
9 min read

Laporan Praktikum Tetes Minyak Milikan

Tetes Minyak Milikan Bab I. Pendahuluan A. Latar Belakang Elektron merupakan suatu dasar penyusun atom. Inti atom terdiri dari elektron (bermuatan negatif) dan proton...
Ahmad Dahlan
7 min read

Makalah Sifat Fantasi Dalam Tinjauan Psikologi

Sifat Fantasi Bab I. Pendahuluan Pada dasarnya psikologi mempersoalkan masalah aktivitas manusia. Baik yang dapat diamati maupun tidak secara umum aktivitas-aktivitas (dan penghayatan) itu...
Wahidah Rahmah
4 min read

Leave a Reply