Makalah Employee Engagement dan Modal Psikologi

Employee Engagement dan Modal Psikologi

Bab I. Pendahuluan

A. Latar Belakang

Employee engagement sebenarnya merupakan pengembangan dari teknik manajemen lama seperti Organiszational Citizenship Behavior (OCB/Perilaku Organisasi Karyawan). Konsep ini membuka mata para manajer perusahaan bahwa keterikatan karyawan terhadap perusahaan merupakan suatu elemen penting dalam meningkatkan produktivitas dan efisiensi kerja. Inisiatif pengembangan dalam bentuk apapun tidak akan membuahkan hasil jika tidak disertai dengan peran serta, komitmen, serta rasa keterikatan (engagement) yang dimiliki oleh para karyawannya.

Employee engagement muncul sebagai upaya pengembangan dari konsep-konsep sebelumnya seperti kepuasan kerja karyawan, komitmen karyawan, serta perilaku organisasi karyawan. Dengan adanya karyawan yang terlibat secara aktif di dalam perusahaan menandakan bahwa perusahaan tersebut memiliki iklim kerja yang positif. Hal ini disebabkan karena dengan adanya karyawan yang memiliki keterikatan yang baik dengan perusahaan tempat ia bekerja, maka mereka akan memiliki antusiasme yang besar untuk bekerja, bahkan terkadang jauh melampaui tugas pokok yang tertuang dalam kontrak kerja mereka.

Bab II. Pembahasan

A. Employee Engagement

1.      PENGERTIAN

Sejarah EvolusiKonsep ini ralatif baru dan muncul sekitar dua dekade belakangan ini (Rafferty, Maben, West dan Robinson, 2005; Melcrum Publishing, 2005; Ellis dan Sorensen, 2007). Employee engagement merupakan pengembangan dari dua konsep terdahulu, yaitu komitmen dan Organizational Citizenship Behavior (OCB/Perilaku Organisasi Karyawan) (Robinson, Perryman dan Hayday, 2004; Rafferty dkk., 2005).

Konsep employee engagement memiliki kesamaan dengan kedua konsep terdahulunya dan kadang definisinya sering tumpang tindih.

Kahn (1990; dalam Kular et al., 2008) mendefinisikan employee engagement sebagai pemberdayaan para anggota organisasi terhadap peran kerja mereka, dalam keterikatan, orang-orang mempergunakan dan memperlihatkan dirinya sendiri secara fisik, kognitif dan emosi selama memerankan kinerja.

Aspek kognitif dari employee engagement memberi perhatian pada keyakinan para karyawan mengenai organisasi, misalnya para pemimpin dan kondisi kerja. Aspek emosi menyangkut bagaimana para karyawan merasakan salah satu dari tiga faktor dan apakah mereka memiliki sikap positif atau negatif terhadap organisasi dan para pemimpinnya. Aspek fisik dari employee engagement menyangkut energi fisik yang digunakan oleh para individu untuk menyelesaikan peran mereka. Jadi menurut Kahn (1990; dalam Kular et al., 2008) keterikatan (engagement) merupakan cara yang secara psikologis seperti halnya secara fisik hadir ketika menduduki dan melakukan suatu peran organisasional.

Dalam Standard Chartered Bank’s Corporate Leadership Council tahun 2004 (Maheshwari, 2008) employee engagement didefinikan sebagai bentuk pernyataan kesetiaan kepada seseorang atau sesuatu di organisasi mereka, berkaitan seberapa keras mereka bekerja, dan seberapa bertahan mereka tinggal pada organisasi sebagai akibat dari komitmen yang dimilikinya. Employee engagement dikarakteristikkan sebagai suatu rasa komitmen, memiliki keinginan besar dan semangat, yang mewujudkan usaha-usaha ke tingkat yang lebih tinggi, tetap bekerja keras dengan setiap kesulitan-kesulitan tugas-tugas, melebihi apa yang diharapkan dan memiliki inisiatif. Hasil dari employee engagement sangat besar. Dari tingkat perputaran tenaga kerja yang rendah sampai tingginya tingkat produktivitas, karyawan-karyawan yang terikat (engeged employees) merupakan aset bisnis yang berharga (Dickson, 2008).

Definisi lain dikemukakan oleh The Institute for Employment Studies (IES, 2004; dalam  Endres& Mancheno-Smoak, 2008) yang menyatakan bahwa engagement sebagai sikap positif yang dianut karyawan terhadap organisasi dan nilai-nilai organisasi. Engaged employee merupakan kesadaran dalam kontek bisnis dan bekerja dengan rekan-rekan kerja untuk meningkatkan kinerja dalam pekerjaan yang bermanfaat bagi organisasi. Sedangkan Robinson, dkk (2004) mendefinisikan employee engagement sebagai sikap positif yang dimiliki karyawan terhadap organisasi tempat ia bekerja serta nilai-nilai yang dimiliki oleh organisasi tersebut. Dengan demikian, dalam konsep employee engagement, terdapat hubungan dua arah antara karyawan dengan perusahaan.

Dari berbagai definisi yang telah dijelaskan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa employee engagement sebagai bentuk pernyataan karyawan terhadap pekerjaan mereka melebihi apa yang diharapkan oleh organisasi. Para karyawan akan secara penuh terlibat dan antusias terhadap pekerjaan mereka. Para karyawan yang engaged peduli dengan masa depan perusahaan dan mereka rela untuk menginvestasikan karya terbaiknya untuk kesuksesan organisasi tempat mereka bekerja.

2.      KATEGORI EMPLOYEE ENGAGEMMENT

Kategori Employee Engagement Menurut Gallup sebuah konsultan organisasi (dalam Santosa, 2012) dan (www.Bayt.com, 2009), terdapat 3 perbedaan tipe orang dalam kategori engagement:

1.      Engeged (Terikat). Karyawan yang engaged adalah pembangun. Mereka tahu harapan-harapan apa yang diinginkan dari peran mereka, oleh karena itu mereka dapat memenuhi dan mencapainya. Secara natural mereka memiliki keingintahuan tentang perusahaan dan tempat di mana mereka saat ini bekerja. Secara konsisten mereka melakukan pekerjaan dengan tingkatan yang tinggi. Mereka ingin menggunakan talenta atau bakat dan kekuatan mereka di tempat kerja setiap hari. Mereka bekerja dengan keinginan yang besar dan mendorong inovasi dan menggerakkan organisasi untuk maju.  Ciri dari karyawan yang engaged adalah antusias, semangat dan bergairah terhadap pekerjaan mereka, loyal, termotivasi, berkomitmen dan produktif. Mereka memiliki emosi yang kuat dan setia pada tempat kerja mereka dan terdorong untuk sukses. 

2.      Not Engeged (Tidak Terikat). Para karyawan yang tidak terikat (not engaged) cenderung untuk berkonsentrasi pada tugas-tugas daripada sasaran-sasaran atau hasil yang mereka harapkan untuk diselesaikan. Mereka hanya ingin mengetahui apa yang harus dikerjakan kemudian melakukan dan mengatakan bahwa mereka telah menyelesaikannya. Mereka fokus pada pemenuhan tugas dibandingkan mencapai suatu hasil. Para karyawan yang tidak terikat cenderung merasa kontribusi mereka diabaikan, dan kemampuan mereka tidak memberi manfaat. Mereka seringkali merasa bahwa ini cara mereka karena mereka tidak memiliki hubungan yang produktif dengan para manajer atau dengan para rekan kerja mereka.  Para karyawan yang tidak terikat (not engaged) tidak terhubung secara psikologis dan secara total dengan perusahaan mereka. Mereka memang bekerja keras dan berkontribusi tetapi memiliki dorongan yang kurang untuk sukses dibandingkan dengan rekan sekerja yang terikat dan kemungkinan besar memiliki perilaku yang akan meninggalkan perusahaan jika ada tawaran yang lebih menarik di tempat lain.

3.      Actively Disengaged (Melepaskan Diri Secara Aktif) – Karyawan yang secara aktif melepaskan diri adalah ‘penghuni gua’. Hampir segala sesuatu secara konsisten mereka tentang atau lawan. Mereka tidak hanya tidak bahagia di tempat kerja, tetapi justru sibuk memerankan ketidakbahagiaan mereka. Mereka menyebarkan benihbenih negatif dalam setiap kesempatan. Setiap hari, pekerja yang secara aktif melepaskan diri merusak apa yang harus diselesaikan oleh rekan kerja mereka yang terikat. Karyawan dalam kategori ini secara emosi dan secara kognitif ‘bercerai’ dengan pekerjaan mereka, mereka memiliki suatu perasaan untuk keluar dari perusahaan meskipun secara fisik mereka berada di sana. Mereka tidak puas, tidak bahagia berada di dalam perusahaan tersebut dan mereka jelas memiliki pandangan yang negatif terhadap perusahaan, hal ini akan menular dan mengacaukan bagi organisasi.

3.      DIMENSI EMPLOYEE ENGAGEMENT

Dimensi atau aspek-aspek dari employee engagement terdiri dari tiga (Schaufeli et al, 2003), yaitu:

a.       Aspek Vigor

Vigor merupakan aspek yang ditandai dengan tingginya tingkat kekuatan dan resiliensi mental dalam bekerja, keinginan untuk berusaha dengan sungguh-sungguh di dalam pekerjaan, gigih dalam menghadapi kesulitan (Schaufeli & Bakker, 2003).

b.      Aspek Dedication

Aspek dedication ditandai oleh suatu perasaan yang penuh makna, antusias, inspirasi, kebanggaan dan menantang dalam pekerjaan. Orang-orang yang memiliki skor dedication yang tinggi secara kuat mengidentifikasi pekerjaan mereka karena menjadikannya pengalaman berharga, menginspirasi dan menantang. Disamping itu, mereka biasanya merasa antusias dan bangga terhadap pekerjaan mereka. Sedangkan skor rendah pada dedication berarti tidak mengidentifikasi diri dengan pekerjaan karena mereka tidak memiliki pengalaman bermakna, menginspirasi atau menantang, terlebih lagi mereka merasa tidak antusias dan bangga terhadap pekerjaan mereka (Schaufeli dan Bakker, 2003).

c.       Aspek Absorption

Aspek absorption ditandai dengan adanya konsentrasi dan minat yang mendalam, tenggelam dalam pekerjaan, waktu terasa berlalu begitu cepat dan individu sulit melepaskan diri dari pekerjaan sehingga dan melupakan segala sesuatu disekitarnya, (Schaufeli & Bakker, 2003). Orang-orang yang memiliki skor tinggi pada absorption biasanya merasa senang perhatiannya tersita oleh pekerjaan, merasa tenggelam dalam pekerjaan dan memiliki kesulitan untuk memisahkan diri dari pekerjaan. Akibatnya, apapun disekelilingnya terlupa dan waktu terasa berlalu cepat. Sebaliknya orang dengan skor absorption yang rendah tidak merasa tertarik dan tidak tenggelam dalam pekerjaan, tidak memiliki kesulitan untuk berpisah dari pekerjaan dan mereka tidak lupa segala sesuatu disekeliling mereka, termasuk waktu (Schaufeli & Bakker, 2003).

4.      PERBEDAAN EMPLOYEE ENGAGEMENT DENGAN KOMITMEN ORGANISASI, KETERLIBATAN KERJA DAN OCB

Komitmen organisasi berbeda dari engagement yang menunjuk pada sikap dan mengikat seseorang terhadap organisasi mereka. Engagement bukanlah sikap, ini merupakan kadar di mana seseorang memberi perhatian dan memiliki keterikatan terhadap kinerja dalam peran mereka. Engagement juga berbeda dengan organizational citizenship behavior (OCB). OCB melibatkan kesukarelaan dan perilaku informal yang dapat membantu rekan kerja dan organisasi, sedangkan engagement berfokus pada peran kinerja formal seseorang melebihi extra-role dan perilaku sukarela. Engagement juga berbeda dari keterlibatan kerja (job involvement).

Menurut May et al. (2004; dalam Saks, 2006), keterlibatan kerja merupakan hasil dari sebuah keputusan kognitif tentang kemampuan untuk memuaskan kebutuhan dari pekerjaan dan diikat pada gambar diri seseorang.  Engagement dilakukan bagaimana individu memperkerjakan diri mereka sendiri untuk mencapai kinerja dalam pekerjaannya. Lebih lanjut, engagement melibatkan emosi dan perilaku secara aktif juga melibatkan aspek kognitif. May et al., (2004; dalam Saks, 2006) juga menyarankan bahwa keterikatan dapat dipikirkan sebagai suatu anteseden dari keterlibatan kerja pada individu di mana pengalaman keterikatan yang dalam dalam peran mereka seharusnya datang untuk mengenal pekerjaan mereka. Keterikatan memperlihatkan bagaimana individu-individu memberdayakan diri mereka sendiri dalam kinerja.  Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa meskipun definisi dan pengertian dari keterikatan (engagement) dalam literatur para praktisi seringkali saling melengkapi dengan konstruk-konstruk lain, dalam literatur akademisi didefinisikan sebagai sesuatu konstruk yang  berbeda dan unik yang terdiri dari komponen kognitif, emosional dan perilaku yang dihubungan dengan peran kinerja individu. Selanjutnya, engagement dapat dibedakan dari beberapa konstruk yang berhubungan, lebih khususnya pada konstruk komitmen organisasi, OCB dan keterlibatan kerja.

5.      FAKTOR PENDORONG EMPLOYEE ENGAGEMENT

Faktor-faktor yang mendorong karyawan untuk memiliki rasa keterikatan/employee engagement terhadap perusahaannya, diantaranya:

a)      Rasa bahwa perusahaan dan pekerjaan memiliki arti bagi karyawan. Karyawan harus merasa bahwa perusahaan dan pekerjaannya memiliki arti bagi mereka sehingga hal ini akan membuat hubungan karyawan-perusahaan menjadi lebih dekat dan karyawan akan merasa menjadi bagian dari perusahaan yang akan membuat mereka dapat memberikan kontribusi untuk kepentingan kedua belah pihak (Penna, 2007). Dengan demikian, karyawan akan menemukan makna akan pekerjaan dan perusahaan tempat ia bekerja. Penna juga menambahkan tentang “hierarki keterlibatan”, dimana setelah karyawan puas dengan gaji dan tunjangan, mereka akan melihat peluang pengembangan seperti promosi, dan kemudian gaya kepemimpinan akan terlihat. Jika semua sudah terpenuhi dan karyawan merasa puas, maka akan muncul arti/makna sehingga karyawan dan perusahaan pada akhirnya akan memiliki tujuan yang sama, dan sama-sama memiliki arti/makna satu sama lain.

b)      Peluang pengembangan diri/karir. 60% karyawan menginginkan peluang untuk berkembang untuk membuat mereka tetap puas terhadap pekerjaannya Survey Blessing White (2006).

c)      Hubungan manajer-karyawan yang kuat juga merupakan unsur penting untuk meningkatkan employee engagement dan mempertahankan karyawan di perusahaan (Clifton, 2008).

d)     Menurut Dimensi Pengembangan Internasional (2005) ada 5 hal yang diperlukan untuk membuat karyawan merasa terikat dengan perusahaan:

–          Memberikan dukungan dan pengakuan jika dibutuhkan

–          Menyelaraskan upaya karyawan dengan strategi perusahaan

–          Pemberdayaan

–          Memperkenalkan dan mendorong kerjasama tim

–          Membantu karyawan tumbuh dan berkembang

e)      3 dari 10 karakteristik tempat kerja teratas menyebutkan bahwa: 1) kepedulian manajemen puncak akan kesejahteraan karyawan, 2) pekerjaan yang menantang, 3) adanya kewenangan untuk membuat keputusan sebagai faktor pendorong employee engagement.

f)       Robinson dkk. (2004) menyebutkan bahwa dalam penelitian 10.000 karyawan NHS di Inggris, faktor pendorong employee engagement adalah: rasa untuk dihargai dan terlibat, yang didalamnya memuat pengambilan keputusan, dapat menyuarakan pendapat, dan peluang untuk berkembang, serta kepedulian perusahaan terhadap kesehatan dan kesejahteraan karyawan.

g)      Komunikasi adalah faktor pendorong employee engagement yang paling penting menurut CIPD (2006) dimana karyawan dapat menyuarakan pendapatnya kepada tingkatan yang lebih tinggi. Selain itu juga perasaan selalu diberi informasi juga disebut sebagai komponen komunikasi perusahaan yang penting.

h)      Vance (2006) mengatakan bahwa employee engagement merupakan hasil/outcome dari karakteristik personal karyawan seperti pengetahuan, keahlian, kemampuan, temperamen, sikap, dan kepribadian dan konteks organisasi seperti kepemimpinan, pengaturan fisik tempat kerja, pengaturan sosial di tempat kerja, serta pelaksanaan manajemen sumber daya manusia yang secara langsung mempengaruhi manusia, proses, dan konteks kinerja.

i)        Gaji dan keuntungan lain, walaupun uang bukanlah satu-satunya hal yang mendorong kesejahteraan sosial dan sumber daya manusia (Coffman, 2005). Gaji harus setidaknya bersaing dengan rata-rata kisaran gaji di pasar, dan terkadang bisa memadukan gaji dengan keuntungan lain seperti tiket gratis.

6.      DAMPAK DARI EMPLOYEE ENGAGEMENT

Penting bagi perusahaan untuk memperhatikan employee engagement para karyawannya karena hal tersebut sangat berkaitan erat dengan outcome bisnis penting seperti: kesediaan karyawan untuk tetap bekerja di perusahaan, produktivitas, keuntungan, loyalitas dan kenyamanan pelanggan. Semakin karyawan memiliki rasa keterikatan yang tinggi dengan perusahaan, maka semakin meningkat pula pertumbuhan pendapatan bisnis tersebut. Employee engagement juga berhubungan secara positif dengan kepuasan pelanggan (Coffman, 2000; Ellis dan Sorensen, 2007; Towers Perrin Talent Report, 2003; Hewitt Associates, 2004; Heintzman dan Marson, 2005; Coffman dan Gonzalez-Molina, 2002).

Baumruk dan Gorman, 2006) mengatakan jika karyawan memiliki rasa keterikatan yang tinggi dengan perusahaan, hal tersebut akan meningkatkan tiga perilaku umum yang akan meningkatkan kinerja perusahaan:

Ø  Say (mengatakan)—karyawan akan memberikan masukan untuk organisasi dan rekan kerjanya, dan akan memberikan masukan mengenai karyawan dan konsumen yang berpotensi.

Ø  Stay (tetap tinggal)—karyawan tetap akan bekerja di organisasi tersebut walaupun ada peluang utuk bekerja di tempat lain .

Ø  Strive (upaya)—karyawan akan memberikan lebih banyak waktu, usaha dan inisiatif untuk dapat berkontribusi demi kesuksesan organisasi.

Sebaliknya jika rasa keterikatan/employee engagement tersebut tidak ada, maka akan muncul perilaku seperti: karyawan bekerja tidak efektif dan efisien, tidak menunjukkan komitmen penuh terhadap pekerjaannya, tidak tertarik untuk melakukan perubahan dalam organisasi, serta selalu merasa khawatir terhadap segala bentuk evaluasi seperti survey kinerja (BlessingWhite, 2006; Perrin Report, 2003)

7.      PERAN PEMIMPIN DALAM EMPLOYEE ENGAGEMENT

Engagement merupakan suatu cara untuk meningkatkan produktivitas dari sekolompok karyawan yang berbakat dalam organisasi. Oleh karena itu, para manajer perlu untuk menciptakan lingkungan agar para karyawan merasa lebih bergairah dengan pekerjaan mereka dan menujukkan perilaku bahwa organisasi perlu untuk mendorong ke arah hasil yang lebih baik, tidak hanya untuk organisasi tetapi juga untuk para karyawan sebagai individu. Pemimpin atau para manajer seharusnya memahami pentingnya engagement. Peran mereka sebagai pemimpin seharusnya dapat membangkitkan semangat engagement, gaya kepemimpinan hampir dipastikan dapat meningkatkan engagement.

Para pemimpin juga perlu untuk bisa menolong para karyawan mereka dalam menemukan pekerjaan yang paling engaged. Ditambahkan pula, para pemimpin perlu memahami lingkungan dan kondisi personal yang paling mungkin mendorong kearah kelelahan dan disengagement  (Wildermuth & Wildermuth, 2008).

Beberapa rekomendasi tindakan strategik pemimpin dalam mengembangkan engagement (Lockwood, 2007; dalam Margaretha & Saragih, 2008):

Ø  Komunikasikan tujuan dan sasaran organisasi dengan jelas dan konsisten.

Ø  Menciptakan aturan dan praktik-praktik yang dapat menstimulasi employee engagement.

Ø  Mengkaitkan sasaran organisasi dengan tugas sehari-hari karyawan.

Ø  Memelihara diskusi terbuka antara senior manajer, manajer dan karyawan.

Ø  Pemberian penghargaan terhadap manajer yang mampu menciptkan serta meningkatkan employee engagement.

Ø  Mampu mendengarkan apa yang diinginkan oleh karyawan dan apa yang mereka butuhkan.

Ø  Menyediakan peluang-peluang dan tantangan-tantangan untuk menggali potensi-potensi yang dimiliki oleh karyawan

Ø  Kejelasan cara bagaimana karyawan dapat memberikan kontribusi mereka.

Ø  Pemberian penghargaan kepada karyawan atas kontribusi mereka.

B.     MODAL PSIKOLOGI (PSYCHOLOGY CAPITAL

1.      PENGERTIAN

“PsyCap is an individual’s positive psychological state of development and is characterized by: (1) having confidence (self-efficacy) to take on and put in the necessary effort to succeed at challenging tasks; (2) making a positive attribution (optimism) about succeeding now and in the future; (3) persevering toward goals and, when necessary, redirecting paths to goals (hope) in order to succeed; and (4) when beset by problems and adversity, sustaining and bouncing back and even beyond (resiliency) to attain success”.

Psychological capital didefinisikan sebagai kapasitas positif yang dimiliki oleh setiap individu yang berguna untuk dapat membantu individu tersebut untuk dapat berkembang dan yang ditandai oleh :

1)      percaya diri (self-efficacy) untuk menyelesaikan pekerjaan,

2)      memiliki pengharapan positif (optimism) tentang keberhasilan saat ini dan di masa yang akan datang,

3)      tekun dalam berharap (hope) untuk berhasil, dan

4)      tabah dalam menghadapi berbagai permasalahan (resiliency) hingga mencapai sukses (Luthans dkk, 2007, h. 3).

Dari penjelasan di atas dapat diartikan bahwa PsyCap merupakan kondisi perkembangan psikologis seseorang yang positif yang memiliki beberapa karakteristik, yakni:

a.       Kepercayaan diri (self-efficacy) untuk berusaha agar dapat menyelesaikan tugas yang menantang.

b.      Memiliki atribusi positif (optimism) tentang keberhasilan di masa sekarang dan masa depan.

c.       Tetap mengejar tujuan dan mengatur ulang cara mencapai tujuan jika diperlukan (hope) agar berhasil/sukses.

d.      Dapat bertahan bahkan menjadi lebih baik dari sebelumnya ketika mengalami kesulitan dan masalah (resiliency) untuk memperoleh kesuksesan.

Luthans, Youssef, & Avolio (2007) lebih lanjut menjelaskan bahwa PsyCap bersifat terbuka terhadap perubahan, dalam artian PsyCap dapat terus berkembang. Tidak seperti human capital yang berbicara tentang apa yang seseorang ketahui, atau social capital yang berbicara tentang siapa yang seseorang ketahui, PsyCap lebih mengacu kepada diri individu itu sendiri dan akan menjadi apa individu tersebut ke depannya. Karena berfokus kepada siapa individu tersebut, PsyCap dapat mencakup pengetahuan, skill, kemampuan teknikal, dan pengalaman. PsyCap juga mencakup metakonstuk level kelompok seperti dukungan sosial dan relasi yang juga menjadi bagian dari diri individu. Individu dengan PsyCap yang tinggi dapat bertindak dalam “kapasitas yang berbeda-beda” secara fleksibel dan adaptif agar sesuai dengan tuntutan yang ada dan PsyCap mereka akan membantu mereka merasakan well-being dan menyadari kompetensi tinggi yang mereka miliki.

2.      Dimensi

a.       PsyCap Efficacy Disebut juga dengan confidence to succeed (keyakinan akan memperoleh keberhasilan). PsyCap efficacy merupakan dimensi yang terdapat di dalam diri individu yang terus berkembang dan merupakan kesadaran individu tentang dirinya dan dapat diubah secara positif sehingga sesuai dengan yang diharapkan.

Peran PsyCap efficacy diantaranya :

ü  memotivasi individu untuk memilih dan menerima tantangan dan menggunakan kekuatan dan kemampuan yang ada dalam menghadapi tantangan tersebut.

ü  mendorong individu untuk mengejar tujuan dan menggunakan waktu dan usaha keras untuk memperoleh tujuan-tujuan tersebut.

ü  membantu individu untuk bertahan ketika menemui kendala yang membuat individu ingin menyerah dan menghubungkannya dengan hope, optimism, dan resiliency individu tersebut.

Individu yang memiliki PsyCap efficacy memiliki karakteristik berikut ini:

(1) Membuat goal (tujuan) yang tinggi untuk mereka sendiri dan lebih
self-select terhadap tugas-tugas yang sulit;

(2) Menerima dan berjuang dalam menghadapi tantangan; (

(3) Sangat self-motivated;

(4) Melakukan usaha seperlunya untuk memperoleh tujuan mereka;

(5) Tetap teguh meski menghadapi kendala dalam mengejar tujuan.

Meski kesuksesan berperan penting dalam PsyCap efficacy, namun kesuksesan tidak sama dengan PsyCap efficacy. Kesuksesan individu dapat mempengaruhi PsyCap efficacy-nya namun hal ini tidak terjadi secara serta merta, individu harus melewati proses kognitif hingga akhirnya kesuksesan yang dialaminya dapat memberi pengaruh positif bagi PsyCap efficacy. Di samping itu, PsyCap efficacy pada individu juga harus sesuai dengan konteks yang ada dan cenderung spesifik serta fokus terhadap hal yang sedang terjadi pada individu.

Dalam penelitiannya, Luthans, Youssef, & Avolio (2007) menjelaskan 5 temuan kunci dalam PsyCap efficacy. Kelima temuan tersebut ialah:

1)       PsyCap efficacy bersifat domain-specific. Keyakinan akan kemampuan diri tidak bersifat general yang berarti bahwa individu yang yakin mampu menyelesaikan tugas tertentu belum tentu yakin bahwa ia mampu dalam menyelesaikan tugas atau hal yang lain;

2)       PsyCap efficacy didasarkan pada latihan atau mastery. Ketika individu menghadapi suatu tugas atau kegiatan berkali-kali, individu akan menjadi semakin yakin bahwa ia mampu mengerjakan tugas tersebut;

3)       Selalu ada hal yang harus diperbaiki dalam PsyCap efficacy. Individu mungkin sangat yakin akan kemampuannya dalam menyelesaikan tugas tertentu, meski demikian ia tetap memiliki beberapa hal yang pelu diperbaiki atau ditingkatkan. Sebagai contoh, seseorang memiliki kemampuan komunikasi yang sangat baik namun tidak mampu berpikir secara mendetail dan kritis;

4)       PsyCap efficacy dipengaruhi oleh orang lain. Pengaruh dari orang lain dapat berupa penilaian yang positif terhadap diri individu sehingga mampu meningkatkan keyakinan individu terhadap kemampuannya. Selain itu dengan melihat orang yang sama dengan diri individu itu sendiri berhasil dalam suatu hal akan membuat individu yakin dirinya juga mampu berhasil dalam hal tersebut;

5)       PsyCap efficacy bervariasi. PsyCap efficacy tergantung dari banyak faktor, baik yang berasal dari dalam diri individu (pengetahuan, kecakapan, dan kemampuan), dari lingkungan (misalnya ketersediaan sumber yang membantu pencapaian tujuan), dan kesejahteraan fisik dan psikologis.

PsyCap efficacy dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kesuksesan, proses kognitif dan magnitud (tingkat kesulitan yang ingin dicapai individu), serta kekuatan (tingkat keyakinan individu terhadap kemampuannya menyelesaikan tantangan dalam tiap tingkat kesulitan).

b.      PsyCap Hope disebut juga the will and the way. Luthans, Youssef, & Avolio (2007) menjelaskan PsyCap hope sebagai harapan yang dimiliki individu untuk mencapai tujuan dan keyakinan bahwa individu tersebut bertanggung jawab secara pribadi terhadap tujuannya sendiri serta dapat mencari alternatif jalan untuk mencapai tujuannya ketika menemukan suatu hambatan. Dalam bukunya, Luthans, Youssef, & Avolio (2007) mengutip pernyataan C. Rick Snyder – seorang profesor psikologi klinis di University of Kansas – yang mendefinisikan hope sebagai “a positive motivational state that is based on an interactively derived sense of successful (1) agency (goal-directed energy) and (2) pathways (planning to meet goals)”.

Didasari oleh pengertian ini, PsyCap hope dapat dimengerti dalam pengertian kognitif atau pemikiran di mana individu mampu membuat tujuan yang realistis namun menantang dan mencapai tujuan tersebut dengan mandiri, energi, dan persepsi yang berfokus pada kontrol personal atau sebagai kemampuan individu dalam memfokuskan usaha mereka untuk mencapai tujuan dan membuat strategi alternatif dalam mencapai tujuan tersebut ketika menemukan hambatan dalam mencapainya. Namun umumnya pembuatan jalan alternatif dalam mencapai tujuan ini sering disalahartikan menjadi salah satu dari ketiga dimensi PsyCap lainnya (resiliency, self-efficacy, dan optimism). Terdapat 8 (delapan) pendekatan yang berkontribusi dalam pengembangan PsyCap hope seseorang:

1)       Goal-setting. Goal yang diciptakan individu, bersifat partisipatori, dan tepat dapat mendorong individu melakukan kinerja yang lebih baik dan mempengaruhi bagaimana seseorang mendesain cara yang kreatif untuk dapat mencapai tujuan.

2)       Stretch goals. Goal yang berperan baik dalam perkembangan dan kematangan pikiran yang hopeful harus spesifik, dapat diukur, bersifat menantang namun dapat dicapai. Stretch goals dapat dilihat dalam artian hal-hal yang sulit memunculkan semangat dalam mencapai tujuan namun tetap dapat dicapai.

3)       Stepping. Dalam proses ini, tujuan yang sulit, berjangka panjang, bahkan yang overwhelming dipecah menjadi bagian-bagian lebih kecil sehingga dapat dikerjakan secara bertahap.

4)       Involvement. Yang ditekankan dalam hal ini ialah pengambilan keputusan yang bottom-up dan komunikasi, kesempatan untuk berpartisipasi, employee empowerment, engagement, delegation,dan increased autonomy have documented, hasil workplace yang diharapkan.

5)       Reward systems. PsyCap hope dapat diberi penguatan dengan pemberian reward bagi individu yang melakukan usaha untuk mencapai tujuan.

6)       Resources. Pengubahan strategi dalam pencapaian tujuan ini tidak terlepas dari resource yang tersedia. Resources berguna bagi individu dalam menemukan jalan untuk mencapai tujuan. Selain yang bersifat materil, resouces di juga berbicara mengenai hubungan yang baik antara individu dengan orang-orang di sekitarnya, untuk itu diperlukan hubungan yang baik dari orang-orang yang berpengaruh pada individu agar lebih mudah dalam menemukan jalan untuk memperoleh tujuan yang ingin dicapai.

7)       Strategic alignment. Pendekatan ini berbicara tentang kesesuaian strategi dengan individu yang menjalankannya. Ketika individu menciptakan strategi yang sesuai, maka kesempatannya untuk sukses akan tinggi, namun ketika tidak sesuai, maka sedikit kemungkinan baginya untuk berhasil.

8)       Training. Hal ini dibutuhkan agar individu lebih mudah dalam mencari cara untuk mencapai tujuannya atau cara menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Training yang dapat meningkatkan hope mudah dilaksanakan, interaktif, partisipatif, berorientasi pada kompetensi umum, dan dapat mengembangkan bakat menjadi kekuatan yang dapat diterapkan dalam berbagai situasi.

c.       PsyCap Optimism Dikenal juga dengan realistic and flexible. seseorang dikatakan optimis ketika mereka mengharapkan kejadian yang positif di masa yang akan datang, dan dikatakan pesimis ketika selalu memiliki pikiran negatif dan berpikir akan kejadian negatif yang akan terjadi di masa yang akan datang. Dalam konteks PsyCap, pengertiannya tidak hanya sebatas demikian. PsyCap optimism tergantung pada alasan dan atribusi yang digunakan seseorang untuk menjelaskan mengapa sesuatu terjadi, apakah bernilai positif atau negatif, apakah itu terjadi pada masa lalu, sekarang, atau masa depan (tidak terikat waktu) Luthans, Youssef, & Avolio (2007) menjelaskan PsyCap optimism sebagai explanatory atau attributional style. Anggapan ini didasari oleh pernyataan Martin Seligman yang mendefinisikan optimism sebagai explanatory style yang mengatribusi kejadian positif secara personal, permanen, dan pervasif dan kejadian negatif secara eksternal, sementara, dan terjadi pada situasi spesifik saja (tidak menyeluruh atau pervasif), sedangkan pesimistic sebaliknya. Namun perlu diperhatikan bahwa individu yang terlalu atau over optimistic tidak dapat dikatakan baik karena individu dapat menerima tantangan yang sebenarnya terlalu ekstrim atau membahayakan bagi dirinya ataupun orang lain. Untuk itu, Peterson (dalam Luthans, Youssef, & Avolio, 2007) menekankan agar individu memiliki “flexible optimism” dan Schneider (dalam Luthans, Youssef, & Avolio, 2007) menekankan agar memiliki “realistic optimism”.
                       PsyCap optimism yang harus dimiliki ialah yang efektif dan tidak ekstrim, serta harus dipandang sebagai pembelajaran untuk disiplin diri, analisis hal-hal yang terjadi di masa lampau, perencanaan kontingen, dan program preventif yang tepat. Sehingga individu dengan PsyCap optimism yang positif, efektif, fleksibel, dan realistis dapat menikmati implikasinya baik secara kognitif maupun emosional karena mampu bertanggung jawab atas kesuksesannya dan memiliki kontrol atas tujuan pribadinya tanpa mengambil resiko berbahaya baik bagi dirinya maupun orang lain secara tidak sadar.
                       Individu dengan PsyCap optimism yang positif juga mampu menunjukkan rasa terima kasih mereka terhadap orang lain atau hal-hal yang berkontribusi terhadap kesuksesan mereka. Ketika menghadapi masa-masa sulit, individu dapat menyelidiki masalah, belajar dari kesalahan, menerima apa yang tidak dapat diubahnya, dan kembali melanjutkan dan fokus pada apa yang harus dikerjakannya. PsyCap
optimism yang positif dapat diperoleh individu dengan melepaskan apa yang ada di masa lalu, baik itu yang bersifat positif maupun negatif; menghargai apa yang sedang terjadi saat ini; dan mencari kesempatan untuk masa yang akan datang.

d.      PsyCap Resiliency Disebut juga dengan bouncing back and beyond. PsyCap
resiliency tidak hanya berarti kemampuan untuk menjadi teguh kembali setelah ditimpa kejadian atau hal buruk atau kesulitan, namun juga menjadi lebih positif dan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Faktor yang mempengaruhi kualitas PsyCap resiliency individu ialah gaya kepemimpinan orang yang berkuasa terhadap dirinya. Gaya kepemimpinan yang berpengaruh positif terhadap perkembangan PsyCap resiliency ialah transformasional yang dapat dirasakan dari kharisma, pengaruh idealis, stimulasi intelektual, dan pertimbangan individualisasi orang yang berkuasa atas diri individu. Sedangkan gaya kepemimpinan yang berpengaruh negatif terhadap PsyCap efficacy ialah transaksional. 

3.      Hubungan Antara Modal Psikologis Dengan Keterikatan Kerja

Bakker, Schaufeli, & Taris (2002) menyatakan bahwa keterikatan kerja merupakan aspek yang meliputi emosi positif, keterlibatan penuh dalam melakukan pekerjaan dan dikarakteristikkan oleh tiga dimensi utama, yaitu semangat (vigor), dedikasi (dedication), serta penyerapan terhadap pekerjaan (absorption). Keterikatan kerja merupakan salah satu konstruk yang dimasukkan ke dalam konteks psikologi positif. Dimasukkannya keterikatan kerja ke dalam dimensi positif karena konstruk tersebut menekankan pada kesejahteraan seorang karyawan (Schaufeli et.al.,2001). Karyawan yang memiliki tingkat keterikatan kerja yang tinggi akan menunjukkan performa terbaik mereka, hal ini karena karyawan tersebut
menikmati pekerjaan yang mereka lakukan (Bakker, 2010).

Schaufeli & Bakker (2003) menyatakan bahwa keterikatan kerja pada dasarnya dipengaruhi oleh dua hal, yaitu model JD-R (job demand-resources model) dan modal psikologis (psychological capital). Model JD-R meliputi beberapa aspek seperti lingkungan fisik, sosial, dan organisasi, gaji, peluang untuk berkarir, dukungan supervisor dan rekan kerja, serta performance feedback. Sedangkan untuk modal psikologis meliputi kepercayaan diri (self efficacy), rasa optimis (optimism), harapan mengenai masa depan (hope), serta resiliensi (resilience).

Schaufeli (2000), menyatakan bahwa terdapat beberapa karakteristik karyawan yang memiliki keterikatan dengan pekerjaannya, seperti memiliki keyakinan terhadap kemampuannya sendiri serta memiliki angapan bahwa “work is fun”. Keyakinan terhadap diri sendiri (efficacy) dan perasaan bahagia saat bekerja merupakan salah satu aspek dalam modal psikologis. Hal inilah kemudian yang mendasari penulis untuk lebih menyoroti modal psikologis sebagai salah satu anteseden atas konstruk keterikatan kerja.

4.      Hubungan Antara Psychology Capital dan OCB

Psychological capital merupakan konstruksi individu yang positif yang berorientasi pada keberhasilan tujuan melalui kemampuan seseorang untuk menemukan berbagai jalan untuk sukses.OCB diklasifikasikan sebagai perilaku positif dalam organisasi, sehingga ada kemungkinan bahwa psychological capital secara positif berhubungan dengan OCB.

Psychological capital dapat memunculkan perilaku kerja yang diinginkan baik yang ditetapkan dalam deskripsi pekerjaan (job description) karyawan maupun yang tidak ditetapkan (extra-role).Psychological capital diartikan sebagai kapasitas psikologis individu yang berkembang secara positif yang memiliki karakteristik efikasi diri, optimisme, harapan dan resiliensi, sedangkan organizational citizenship behavior diartikan perilaku diluar kewajiban formal karyawan, dilakukan secara sukarela dan berkelanjutan, yang akan meningkatkan produktivitas dan efektivitas perusahaan.

Studi empiris mengenai hubungan antara psychological capital dengan OCB telah dilakukan beberapa kali di beberapa negara seperti Cina, India, Amerika Serikat menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Penelitian di Cina yang dilakukan oleh Lifeng (2007) menunjukkan hasil bahwa OCB berkorelasi dengan psychological capital. Norman dkk (2010) melakukan penelitian pada 199 karyawan dari organisasi di Amerika Serikat menunjukkan bahwa karyawan dengan psychological capital tertinggi paling mungkin untuk terlibat dalam OCB dan paling tidak mungkin untuk terlibat dalam perilaku penyimpangan. Penelitian yang berbeda dilakukan oleh Shahnawaz dan Jafri di India (2009) menunjukkan hasil bahwa psychological capital secara keseluruhan tidak dapat memprediksi komitmen organisasi dan OCB pada dua jenis organisasi (publik dan swasta).

Kategorisasi OCB yang dilakukan berdasarkan dari hasil penelitian menunjukkan bahwa karyawan cenderung memiliki OCB tinggi. Tingginya OCB pada subjek penelitian dipengaruhi oleh tingginya psychological capital, sebagaimana hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara psychological capital dengan OCBMenurut Podsakoff (dalam Garay, 2006, h. 35). OCB dipegaruhi oleh faktor karakteristik individu. Karakteristik individu merupakan perbedaan dari masing-masing individu yang akan mempengaruhi dalam perilaku kerja individu meliputi faktor keturunan dan keragaman (demografis), kepribadian, kemampuan, keterampilan, persepsi, dan sikap.

Kemampuan(ability) adalah kapasitas individu untuk melaksanakan berbagai pekerjaan tertentu (Ivancevich dkk, 2007, h. 83). Salah satu kapasitas yang membangun individu untuk berkembang dan mempengaruhi perilaku kerja individu adalah psychological capital (Luthans dkk, 2007, h. 20).

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

1.      Employee Engagement

Employee engagement merupakan kata yang mendengung untuk istilah komunikasi dengan karyawan. Ini adalah sikap positif yang dipegang oleh para karyawan terhadap organisasi serta nilai-nilai yang dianut di dalamnya. Hal ini juga dengan cepat memperoleh kepopuleran, kegunaan dan kepentingannya di tempat kerja dan berdampak terhadap organisasi dalam banyak hal. Engagement juga merupakan suatu hal yang penting bagi organisasi dan pemiliknya karena engagement dapat mendorong individu dan kinerja organisasi.

Employee engagement juga menekankan pentingnya komunikasi dengan karyawan untuk kesuksesan dalam suatu bisnis. Organisasi seharusnya menghargai para karyawannya, lebih daripada variabel lainnya, sebagai kekuatan yang memberikan kontribusi bagi posisi perusahaan yang sedang bersaing. Oleh karena itu employee engagement seharusnya menjadi sebuah proses yang berkelanjutan dari pembelajaran, perbaikan, pengukuran dan tindakan. Jadi, meningkatkan dan memelihara employee engagement berada di tangan organisasi dan membutuhkan suatu perpaduan yang sempurna dari waktu, usahausaha, komitmen dan investasi untuk mencapai hasil akhir yang terbaik.

2.      Modal Psikologi

Psychological capital merupakan kapasitas positif yang termasuk ke dalam perilaku positif organisasional. Individu dengan psychological capital yang tinggi merasakan afek positif yang lebih sering dalam bekerja. Afek positif ini merupakan salah satu faktor penentu tinggi rendahnya OCB. Suasana hati yang positif (positive mood) akan meningkatkan frekuensi seseorang untuk membantu orang lain dan menunjukkan perilaku prososial spontan lainnya (Jex & Britt, 2008, h. 117). Psychological capital juga ditemukan berhubungan dengan sikap kerja yang diinginkan seperti kepuasan kerja (Avey dkk, 2011, h. 127). Kepuasan kerja yang tinggi akan meningkatkan perilaku extra-role yang ditunjukkan karyawan atau yang dikenal juga dengan OCB (Hasanbasri, 2007).

DAFTAR PUSTAKA

            Rachmawati, Meida. 2010. Employee Engagement sebagai Kunci Meningkat Kinerja Karyawan. International Journal Review. 12(5).

            Santosa, Cintya T. Elisabeth. 2012. Memahami dan Mendorong Terciptanya Employee Engagement dalam Organisasi. Jurnal Manajemen. 2(11).

Bakker, A.B., & Bal, P.M. (2010). Weekly Work Engagament and Performance: A study among starting teachers. Journal of Ocupational and Organizational Psychology, 83, 189-206.

Hadi, Cholichul., Indrianti, Rullyta. (2012). Hubungan Antara Modal Psikologis Dengan Keterikatan Kerja Pada Perawat di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya. Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi, 1(03), 121

Luthans, F., Youssef, C.M. & Avolio, B.J. 2007. Psychological Capital: Developing the Human Competitive Edge. New York: Oxford University Press.

Ivancevich, J.M., Konopaske, R. & Matteson, M.T. 2007. Perilaku dan Manajemen Organisasi: Edisi Ketujuh, Jilid 1. Jakarta: Erlangga.

Jex, S.M. & Britt, T.W. 2008. Organizational Psychology: A Scientist- Practitioner Approach: Second Edition. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.

Avey, J. B., Reichard, R. J., Luthans, F. & Mhatre, M. 2011. Meta-Analysis of The Impact of Positive Psychological Capital on Employee Attitudes, Behavior and Performance.Human Resource Development Quarterly, Vol. 22, No. 2, P. 127-152.

Hasanbasri, M. Hubungan Kepuasan Kerja dan Komitmen Organisasi dengan Organizational Citizenship Behavior (OCB) Di Politeknik Kesehatan Banjarmasin. Working Paper Series, First Draft, No. 2, P. 1-18.

Comments

Leave a Reply

Index