Daftar isi
Ekonomi Kelembagaan
Bab I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Studi tentang Ekonomi Kelembagaan saat ini begitu memperoleh tempat dikalangan pemikir ekonomi dan sosiologi. Tidak saja di Barat, tetapi kajian yang sama tumbuh di dunia timur, termasuk di Indonesia. Perkembangan studi ekonomi kelembagaan yang demikian dinamis memunculkan pertanyaan-pertanyaan mengenai konsep ekonomi kelembagaan itu sendiri, kenapa banyak diminati akhir-akhir ini? Bagaimana falsafah keilmuannya? Di dunia Barat, sebenarnya kajian kelembagaan bukan sesuatu yang baru. Di masa lampau setelah Adam Smith memahatkan teori ekonominya pada dinding-dinding sel otak setiap manusia, maka sejak itu pula muncul perlawanan atau semacam counter atas gagasan yang disampaikan oleh Smith. Dalam khazanah ilmu ekonomi kelompok penentang itu lazim dikenal dengan Ekonomi Kelembagaan Lama (Old Institutional Economic). Sebelum membahas tentang ekonomi kelembagaan, maka perlu diketahui bahwa dalam ilmu ekonomi kelembagaan dikenal juga institusi. Ada beberapa pengertian institusi yang dikemukakan oleh para ekonom. Salah satunya pengertian yang paling banyak dipakai adaah pengertian yang dikemukakan oleh Douglas C. North. Ia mendefinisikan institusi sebagai aturan-aturan (constraints) yang diciptakan oleh manusia untuk mengatur dan membentuk interaksi politik, sosial, dan ekonomi. Aturan-aturan tersebut terdiri dari aturan formal seperti undang-undang, konstitusi dan aturan informal seperti norma sosial, konvensi, adat istiadat. Indonesia harusnya banyak belajar dari apa yang telah dialami setelah krisis. Sepertinya sagat sulit untuk negara ini bagkit dan kembali menata perekonomian yang nyaris ujung tanduk. Namun Indonesia terus berusaha dan menunjukkan usaha yang keras dalam menata dan membawa perkonomian negara ini ke arah yang lebih baik. Banyak sistem-sistem baru yang diterapkan oleh Indonesia, banyak pula teori-teori barat yang diadopsi oleh Indonesia untuk diterapkan sebagai bentuk usaha membawa perekonomian Indonesia ke arah yang lebih baik. Salah satu ilmu atau teori ekonomi yang ada di Indonesia adalah mengenai ekonomi kelembagaan. Ekonomi Kelembagaan membahas masalah ekonomi dalam ranah hubungan ekonomi dan kehidupan sosial serta hubungannya dengan kepemilikan seseorang atau property right. Ekonomi Kelembagaan di Indonesia berhubungan dengan pembangunan berkelanjutan. Namun pengertian pembangunan di Indonesia dewasa ini telah mengalami penyimpangan dari pengertian normatif. Kini pembangunan ekonomi berkelanjutan, tidak lagi mementingkan korelasi keharmonisan antar aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Terutama faktor lingkungan. Pembangunan ekonomi berkelanjutan kini hanya memperioritaskan kemajuan, tidak lagi mempedulikan apa dampak yang ditimbulkan dari pembanguan tersebut. Bahkan kerusakan yang disisakan oleh usaha pembangunan yang dilakukan. Menyisakan dampak buruk bagi generasi setelah kita. Apakah dampak yang ditimbulkan oleh ekonomi berkelanjutan dan pembangunan yang dilakukan di Indonesia sebagai usaha memajukan perekonomian Indonesia?
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa itu Ekonomi Kelembagaan?
2. Siapa sajakah tokoh Ekonomi Kelembagaan?
3. Bagaimana perkembangan Ekonomi Kelembagaan di Indonesia?
4. Bagaimanakah pemikiran dan paradigma ekonomi kelembagaan?
Bab II. Pembahasan
A. Pengertian Ekonomi Kelembagaan
Ekonomi Kelembagaan merupakan disiplin ilmu yang mempelajari tentang Ekonomi dengan tidak mengabaikan peran aspek non ekonomi seperti kelembagaan dan lingkungan. Ekonomi Kelembagaan adalah paradigma baru dalam ilmu ekonomi yang melihat kelembagaan (rule of the game) berperan sentral dalam membentuk perekonomian yang efisien. Ekonomi kelembagaan menekankan pada pentingnya aspek kelembagaan dalam menentukan bagaimana sistem ekonomi dan sosial bekerja (Black, 2002). Salah satu kunci dalam aspek ekonomi kelembagaan adalah menyangkut property right atau hak pemilikan. Property right ini melekat dalam bentuk aturan formal dan juga norma sosial dan adat. Relefansi hak pemilikan ini tergantung dari seberapa besar ia bisa dijalankan dan diakui dalam masyarakat. Barzel (1989) menulis dalam bukunya mengenai Economic of Property Rights, juga oleh Cheung (1968) yang melakukan study mengenai share cropping di Taiwan. Kedua studi ini membuktikan bahwa ketidakjelasan hak pemilikan dan enforced property rights terbukti menjadi handicap dalam mentransformasi pembangunan ekonomi yang berkaitan dengan lahan. Bagian lain yang juga penting dalam konteks ekonomi kelembagaan adalah menyangkut biaya transaksi. Biaya transaksi adalah sisi lain atau pendekatan lain yang digunakan untuk menjelaskan aspek ekonomi dari kelembagaan (Black, 2002). Biaya transaksi mempertimbangkan manfaat dalam melakukan transaksi di dalam organisasi dan antara aktor (organisasi) yang berbeda dengan menggunakan mekanisme pasar. Biaya transaksi mempertimbangkan beberapa aspek penting dalam ekonomi yakni bounded rationality (rasionalitas terbatas), masalah informasi, biaya negosisasi kontrak dan opportunism. Schmid (1987) di sisi lain membedakan biaya transaksi atas tiga hal yakni 1) biaya informasi, 2) biaya kontrak, dan 3) biaya pengawasan atau penegakan hukum. Dalam konteks inilah sering terjadi pemahaman yang keliru mengenai apa yang dimaksud dengan transaction cost. Transaction cost bukanlah biaya pertukaran atau salah satu biaya dalam jual beli barang dan jasa (termasuk lahan), namun transaction cost lebih diartikan sebagai “the cost of establishing and maintaining right” (Allen,1991). Kedua aspek di atas yakni property rights dan transaction cost adalah bagian penting yang memerlukan pemahaaman yang serius dalam kelembagaan pengelolaan lahan.
Jadi pada intinya, Ekonomi Kelembagaan adalah ekonomi yang menekankan pada hak kepemilikan. Perekonomian dikembangkan oleh individu atau kelompok yang memiliki sarana atau faktor produksi. Sehingga mereka memiliki keleluasaan atau wewenang untuk mengatur dan berperan dalam sektor perekonomia serta pengembangannya. Dalam hal ini pemilik faktor produksi menjadi pelaku pengembangan perekonomian. Ternyata dalam perakteknya banyak faktor-faktor yang memengaruhi individu dalam mengambil keputusan seperti faktor sosial, politik dan lainnya. Pada titik ini ekonomi kelembagaan masuk untuk mewartakan bahwa kegiatan ekonomi sangat dipengaruhi oleh tata letak antarpelaku ekonomi (teori ekonomi politik), desain aturan main (teori ekonomi biaya transaksi), norma dan keyakinan suatu individu atau komunitas (teori modal sosial), insentif untuk melakukan kolaborasi (teori tindakan kolektif), model kesepakatan yang dibuat (teori kontrak), pilihan atas kepemilikan aset fisik maupun non fisik (teori hak kepemilikan), dan lain-lain. Intinya, selalu ada insentif bagi individu untuk berperilaku menyimpang sehingga sistem ekonomi tidak bisa dibiarkan hanya dipandu oleh pasar. Dalam hal ini diperlukan kelembagaan non pasar (non-market institution) untuk melindungi agar pasar tidak terjebak dalam kegagalan yang tidak berujung, yakni dengan jalan mendesain aturan main atau kelembagaan (institutions).
2.2 Tokoh Ekonomi Kelembagaan
Para penganut Ekonomi Kelembagaan percaya bahwa pendekatan multidisipliner sangat penting untuk memotret masalah-masalah ekonomi, seperti aspek sosial, hukum, politik, budaya, dan yang lain sebagai satu kesatuan analisis. Berikut merupakan pemikir mazhab ekonomi kelembagaan yang dapat ditelesuri antara antara lain
1. Thorstein Bunde Veblen (1857-1929).
Veblen menilai pengaruh keadaan dan lingkungan sangat besar terhadap tingkah laku ekonomi masyarakat. Veblen pada intinya mengkritik teori-teori yang digunakan kaum Klasik dan Neo-Klasik yang model-model teoritis dan matematisnya dinilai biasa dan cenderung terlalu menyederhanakan fenomena-fenomena ekonomi. Pemikiran-pemikiran Ekonomi Klasik dan Neo-Klasik juga di kritiknya karena di anggap mengabaikan aspek-aspek non ekonomi seperti kelembagaan dan lingkungan. Padahal Veblen menilai pengaruh nilai dan lingkungan sangat besar terhadap tingkah laku ekonomi masyarakat. Struktur politik dan sosial yang tidak mendukung dapat memblokir dan menimbulkan distorsi proses ekonomi. Bagi Veblen keadaan dan lingkungan inilah yang disebut institusi. Institusi yang dimaksudkan veblen tidak dalam pengertian fisik, tetapi lebih berkaitan dengan nilai norma, kebiasaan, budaya yang sudah melekat dan mendarah daging dalam masyarakat. Beberapa asumsi yang dianggap Veblen lemah antara lain :
· Motif ekonomi melatarbelakangi setiap kegiatan. Setiap aktivitas manusia didasarkan atas perhitungan rasional untung ruginya.
· Mendahulukan kepentingan diri sendiri (Self interest).
· Persaingan akan meningkatkan efisiensi.
· Private property right merupakan sebuah keharusan.
· Teori Ekonomi Klasik mengabaikan faktor-faktor sejarah, sosial dan kelembagaan dalam membangun struktur ekonomi.
Pandangan Veblen
· Manusia bukan hanya mahkhluk rasional tapi juga makhluk emosional yang memiliki perasaan, selera, nilai, dan kecenderungan yang terikat dengan budaya.
· Selera, perasaan, nilai dan kecenderungan juga mempengaruhi transaksi ekonomi yang dilakukan oleh manusia.
· Pilihan-pilihan ekonomi juga dipengaruhi oleh lingkungan fisik dan teknologi.
· Dunia ekonomi tidak dapat lepas atau bahkan dipengaruhi oleh faktor sejarah, sosial dan kelembagaan yang selalu berubah.
2. Wesley Clair Mitchel (1874-1948)
adalah murid, teman dan pengagum Veblen. Ia juga berjasa dalam mengembangkan metode-metode kuantitatif dalam menjelaskan peristiwa-peristiwa ekonomi. Salah satu karyanya Business Cycle and Their Causes (1913) dengan menggunakan bermacam data statistik ia kemudian menjelaskan masalah fluktuasi ekonomi. Selain ikut dalam mendukung dan mengembangkan pemikiran-pemikiran gurunya, lebih lanjut ia juga berjasa dalam mengembangkan metode-metode kuantitatif dalam menjelaskan peristiwa-peristiwa ekonomi. Sesudah perang dunia kedua ia mengorganisir sebuah badan penelitian “National Bureau Of Economic Research” yang memungkinkan lebih dikembangkanya penelitian-penelitian tetang pendapatan nasional, fluktuasi ekonomi atau business cycles, perubahan produktifitas, analisis harga, dan sebagainya.
3. Gunnar Karl Myrdal (1898)
berasal dari Swedia. Gunnar Karl Myrdal banyak menulis buku, antara lain : An America Delima, Value In Social Theory, Challenge To Affluence, dan Asian Drama : An Inqury Into The Poverty Of Nations. salah satu pesan myrdal pada ahli-ahli ekonomi ialah agar ikut membuat value judgement. Jika itu tidak dilakukan struktur-struktur teoritis ilmu ekonomi akan menjadi tidak realities. Myrdal percaya bahwa pemikiran institusional sangat di perlukan dalam melaksanakan pembangunan di Negara berkembang. Myrdal meraih nobel di bidang ekonomi pada tahun 1974 bersama FA Hayek atas jasa-jasanya dalam menyumbang pemikiran ekonomi, terutama bagi pembangunan Negara berkembang.
4. Joseph A. Schumpeter (1883-1950)
Ia mengatakan bahwa sumber utama kemakmuran bukan terletak dalam domain ekonomi itu sendiri, melainkan berada diluarnya, yaitu dalam lingkungan dan institusi masyarakat. Lebih jelas lagi, sumber kemakmuran terletak dalam jiwa kewiraswastaan (entrepreneurship) para pelaku ekonomi yang mengarsiteki pembangunan.
5. Douglas C. North (1993)
North mengatakan bahwa reformasi yang dilakukan tidak akan memberikan hasil nyata hanya dengan memperbaiki kebijaksanaan ekonomi makro belaka. Agar reformasi berhasil, dibutuhkan dukungan seperangkat institusi yang mampu memberikan insentif yang tepat kepada setiap pelaku ekonomi. Beberapa contoh institusi yang mampu memberikan insentif tersebut adalah hukum paten dan hak cipta, hukum kontrak dan pemilikan tanah. Bagi North institusi adalah peraturan perundang-undangan berikut sifat-sifat pemaksaan dari peraturan-peraturan tersebut serta norma-norma perilaku yang membentuk interaksi antara manusia secara berulang-ulang. Nama terakhir diatas, North adalah merupakan tokoh ekonomi kelembagaan baru (New Institutional Economic) yang memperoleh nobel ekonomi pada tahun 1993, demikian juga dengan Ronald H. Coase pada tahun 1991. Nobel yang diperoleh kedua tokoh tersebut turut menjadi pemicu perkembangan keilmuan ekonomi kelembagaan baru di dunia saat ini. Pemikir Ekonomi Kelembagaan baru menolak sebagian asumsi ajaran ekonomi klasik atau neoklasik dan menganggapnya tidak realistis seperti tidak ada biaya transaksi (zero transaction cost) dan rasionalitas instrumental (instrumental rationality). Ekonomi klasik yang mengasumsikan bahwa semua manusia adalah rasional dan bekerja berdasarkan insentif ekonomi ternyata dalam prakteknya banyak faktor-faktor sosial, ekonomi dan politik yang mempengaruhi individu dalam keputusan ekonominya.
2.3 Pemikiran dan Paradigma Ekonomi Kelembagaan
Mahzab Ekonomi Kelembagaan lama ini menganggap bahwa semua asumsi yang membangun oleh mazhab ekonomi klasik atau neoklasik merupakan cara berfikir yang fatal. Itulah sebabnya, Ekonomi Kelembagaan lama ini bekerja diluar mekanisme dan cara pandang pemikiran ekonomi klasik atau neoklasik sejak ia diploklamirkan. Pada titik ini Ekonomi Kelembagaan masuk untuk mewartakan bahwa kegiatan ekonomi sangat dipengaruhi oleh tata letak antarpelaku ekonomi (teori ekonomi politik), desain aturan main (teori ekonomi biaya transaksi), norma dan keyakinan suatu individu/komunitas (teori modal sosial), insentif untuk melakukan kolaborasi (teori tindakan kolektif), model kesepakatan yang dibikin (teori kontrak), pilihan atas kepemilikan aset fisik maupun non fisik (teori hak kepemilikan), dan lain-lain. Intinya, selalu ada insentif bagi individu untuk berperilaku menyimpang sehingga sistem ekonomi tidak bisa dibiarkan hanya dipandu oleh pasar. Dalam hal ini diperlukan kelembagaan non pasar (non-market institution) untuk melindungi agar pasar tidak terjebak dalam kegagalan yang tidak berujung, yakni dengan jalan mendesain aturan main/kelembagaan (institutions). Ekonomi kelembagaan mempelajari dan berusaha memahami peranan kelembagaan dalam sistem dan organisasi ekonomi atau sistem terkait, yang lebih luas. Kelembagaan yang dipelajari biasanya bertumbuh spontan seiring dengan perjalanan waktu atau kelembagaan yang sengaja dibuat oleh manusia. Peranan kelembagaan bersifat penting dan strategis karena ternyata ada dan berfungsi di segala bidang kehidupan. Dengan demikian, ilmu ekonomi kelembagaan kemudian menjadi bagian dari ilmu ekonomi yang cukup penting peranannya dalam perkembangan ilmu pengetahuan sosial humaniora, ekonomi, budaya dan terutama ekonomi politik. Ilmu ekonomi kelembagaan terus berkembang semakin dalam karena ditekuni oleh banyak ahli ilmu ekonomi dan ilmu sosial lainnya, termasuk beberapa diantaranya memenangkan hadiah nobel. Penghargaan tersebut tidak hanya tertuju langsung kepada ahli dan orangnya, tetapi juga pada bidang keilmuannya, yakni ilmu ekonomi kelembagaan (Rachbini, 2002). Para penganut ekonomi kelembagaan percaya bahwa pendekatan multidisipliner sangat penting untuk memotret masalah-masalah ekonomi, seperti aspek sosial, hukum, politik, budaya, dan yang lain sebagai satu kesatuan analisis (Yustika, 2008: 55). Oleh karena itu, untuk mendekati gejala ekonomi maka, pendekatan ekonomi kelembagaan menggunakan metode kualitatif yang dibangun dari tiga premis penting yaitu: partikular, subyektif dan, nonprediktif.
1. Pertama, partikular dimaknai sebagai heterogenitas karakteristik dalam masyarakat. Artinya setiap fenomena sosial selalu spesifik merujuk pada kondisi sosial tertentu (dan tidak berlaku untuk kondisi sosial yang lain). Lewat premis partikularitas tersebut, sebetulnya penelitian kualitatif langsung berbicara dua hal: (1) keyakinan bahwa fenomena sosial tidaklah tunggal; dan (2) penelitian kualitatif secara rendah hati telah memproklamasikan keterbatasannya (Yustika, 2008: 69).
2. Kedua, yang dimaksud dengan subyektif disini sesungguhnya bukan berarti peneliti melakukan penelitian secara subyektif tetapi realitas atau fenomena sosial. Karena itu lebih mendekatkan diri pada situasi dan kondisi yang ada pada sumber data, dengan berusaha menempatkan diri serta berpikir dari sudut pandang “orang dalam” dalam antropologi disebut dengan emic.
3. Ketiga, nonprediktif ialah bahwa dalam paradigma penelitian kualitatif sama sekali tidak masuk ke wilayah prediksi kedepan, tetapi yang ditekankan disini ialah bagaimana pemaknaan, konsep, definisi, karakteristik, metafora, simbol, dan deskripsi atas sesuatu. Jadi titik tekannya adalah menjelaskan secara utuh proses dibalik sebuah fenomena.
2.4 Perkembangan Ekonomi Kelembagaan di Indonesia
Perkembangan pemikiran ekonomi di Barat turut mempengaruhi studi-studi Ekonomi di Indonesia. Beberapa sarjana-sarjana Indonesia lulusan sekolah Barat yang menaruh perhatian terhadap gagasan ini dapat dilacak misalnya, Mubyarto, dengan pemikirannya tentang pengembangan ilmu dan pendidikan ekonomi alternatif yang berpijak pada sistem nilai, sosial-budaya, dan kehidupan ekonomi riil (real-life economy) masyarakat Indonesia. A.R. Karseno (2004) dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar di fakultas ekonomi UGM mengemukakan, bahwa selama krisis kita pasar tidak bekerja dengan baik terdapat dimensi lain yang menolong perekonomian dan krisis, faktor lain itu adalah adanya pranata yang hidup di masyarakat. Pranata yang mengatur perilaku seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Saking kehidupan ekonomi masih berjalan, bahkan menurut pendapatnya teori ekonomi Neo-Klasik sudah terlalu jauh mengabaikannya. Tetapi tetap saja masalah kita semakin menunjukan bahwa dalam memahami perekonomian Indonesia ada beberapa hubungan dan penguasaan ekonomi yang harus menjadi perhatian kita. Ekonomi kebanyakan warga negara Indonesia yang harus dipahami dalam kontek hubungan individu dan masyarakat, hubungan antara-negara dan masyarakat, serta dipihak lain realitas pasar dalam kaitanya dengan peran negara dalam urusan fiskal-moneter-investasi-yang cenderung mendikte pasar. Derajat inilah yang perlu mendapatkan pendalaman dalam memahami kelembagaan (institusi) dalam kontek mikro dan makro ekonomi Indonesia. Masih dari UGM, Lincolin Arsyad (2005) dalam penelitiannyaAssessing the Performance and Sustainability of Microfinance Institution: The Case of Village Credit Institution of Bali menemukan kinerja Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Gianyar, Bali dipengaruhi oleh kelembagaan yang meliputi lembaga formal dan informal. Ia mencatat bahwa kelembagaan adat memberikan kontribusi dalam kinerja portofolio, leverage, rasio kecukupan modal, produktivitas, efisiensi, profitabilitas, dan kelayakan keuangan LPD.
Ahmad Erani Yustika (2005) lulusan Georg-August-Universität Göttingen, Jerman dengan disertasi Transaction Cost Economics of The Sugar Industry in Indonesia dan juga buku teks “Ekonomi Kelembagaan: Defenisi, Teori, dan Strategi” sehingga tidaklah berlebihan jika Yustika dikategorikan sebagai salah satu pemikir ekonomi kelembagaan di tanah air. Perkembangan terkini yang perlu dicatat ialah dimasukkannya mata kuliah ekonomi kelembagaan dalam kurikulum studi pembangunan di fakultas ekonomi. Karena itu studi ekonomi kelembagaan semakin popular. Demikian juga pengalaman banyak negara menunjukkan bahwa kelembagaan(institutions)merupakan determinan utama kesejahteraan dan pertumbuhan jangka panjang. Negara-negara ataupun kawasan yang lebih makmur dewasa ini adalah yang memiliki kelembagaan politik dan ekonomi lebih baik di masa lalu (Hall & Jones, 1999; dan Acemoglu, et.al., 2001). Kemajuan China dan India dewasa ini, dengan segala kekurangannya, bisa dijelaskan dari aspek kelembagaan ini. Juga negara-negara di Asia yang paling dinamis. Apalagi saat terjadi gelombang krisis keuangan yang menerpa dunia saat ini dimana mainstream ekonomi yang berpijak pada asumsi-asumsi ekonomi klasik membuat pendekatan ekonomi klasik semakin dipertanyakan eksistensinya, karena itu studi ekonomi kelembagaan semakin memperoleh tempat sebagai pendekatan alternatif bagi ekonomi dunia saat ini.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di dalam makalah ini, dapat disimpulkan bahwa :
· Ekonomi klasik yang mengasumsikan bahwa semua manusia adalah rasional dan bekerja berdasarkan insentif ekonomi ternyata dalam prakteknya banyak faktor-faktor sosial, ekonomi dan politik yang mempengaruhi individu dalam keputusan ekonominya. Pada titik ini ekonomi kelembagaan masuk untuk mewartakan bahwa kegiatan ekonomi sangat dipengaruhi oleh tata letak antarpelaku ekonomi (teori ekonomi politik), desain aturan main (teori ekonomi biaya transaksi), norma dan keyakinan suatu individu/komunitas (teori modal sosial), insentif untuk melakukan kolaborasi (teori tindakan kolektif), model kesepakatan yang dibikin (teori kontrak), pilihan atas kepemilikan aset fisik maupun non fisik (teori hak kepemilikan), dan lain-lain. Intinya, selalu ada insentif bagi individu untuk berperilaku menyimpang sehingga sistem ekonomi tidak bisa dibiarkan hanya dipandu oleh pasar.
· Ekonomi kelembagaan mempelajari dan berusaha memahami peranan kelembagaan dalam sistem dan organisasi ekonomi atau sistem terkait, yang lebih luas. Kelembagaan yang dipelajari biasanya bertumbuh spontan seiring dengan perjalanan waktu atau kelembagaan yang sengaja dibuat oleh manusia. Peranan kelembagaan bersifat penting dan strategis karena ternyata ada dan berfungsi di segala bidang kehidupan.
· Gelombang krisis keuangan yang menerpa dunia saat ini dimana mainstream ekonomi yang berpijak pada asumsi-asumsi ekonomi klasik membuat pendekatan ekonomi klasik semakin dipertanyakan eksistensinya, karena itu studi ekonomi kelembagaan semakin memperoleh tempat sebagai pendekatan alternatif bagi ekonomi dunia saat ini.
3.2 Saran
Demikianlah makalah dengan judul “Ekonomi Kelembagaan” ini kami buat berdasarkan sumber-sumber yang ada. Kami juga menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini. Sehingga perlulah bagi kami dari pembaca untuk memberikan saran yang membantu agar makalah ini menjadi lebih baik. Atas perhatian Anda semua, kami ucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Basri, Faisal. 2009. Nasionalisme Kita. Kompasiana. Diakses hari Jumat, 19 April 2013. (http://faisalbasri.kompasiana.com/2009/06/13/nasionalisme-kita/#more-272).
http://baiqdian.wordpress.com/2011/06/15/ekonomi-kelembagaan/
Adiningsih, Sri. 2009. Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia Ditinjau dari Aspek Ekonomi.
Irawan, dan M. Suparmoko. 1987. Ekonomi Pembangunan (Edisi Keenam).Yogyakarta: BPFE Fakultas Ekonomi UGM
Arsyad, Lincolin. 2010. Ekonomi Pembangunan.Yogyakarta: UPP STIM YKPN