Daftar isi
Regulasi Keuangan Sektor Publik
Bab I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Regulasi merupakan suatu cara yang digunakan untuk mengendalikan masyarakat dalam aturan tertentu. Regulasi banyak digunakan untuk menggambarkan peraturan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Istilah regulasi memiliki artian yang cukup luas. Regulasi banyak diterapkan pada peraturan hukum negara, perusahaan dan organisasi.
Terminologi keuangan publik yaitu dapat diartikan sebagai keuangan negara. Keuangan negara yang artinya aktivitas finansial pemerintah. Keuangan negara menurut UU 17/2003 “semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Ketika kita memahami apa maksud dari regulasi serta keuangan publik maka kita mungkin akan langsung mengarahkan pandangan kita pada peraturan-peraturan yang mengatur regulasi tersebut. Namun, untuk membuat peraturan tersebut harus ada dasar hukum, dan harus memahami lebih dalam bagaimana cara penyusunannya, apa saja yang terkait, serta memahami etika pengelolaan keuangan publik.
Selama ini kita melihat beberapa regulasi keuangan sector publik memiliki permasalahan contohnya alokasi anggaran pelayanan publik, jumlah pencairan dana tidak sesuai dengan anggaran. Berdasarkan contoh tersebut, maka diperlukan kedudukan dan peran oleh pihak pemerintah dalam memperbaiki kualitas pelayanan publik. Jika peran tersebut berjalan dengan baik maka akan menghasilkan kualitas publik yang baik terutama di Indonesia.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa Definisi Regulasi Publik?
2. Bagaimana Teknik Penyusunan Regulasi Publik?
3. Bagaimana Penyusunan Regulasi Publik?
4. Apa saja Dasar Hukum Keuangan Sektor Publik?
5. Bagaimana ASP Memasuki Era Desentralisasi?
6. Apa saja Regulasi yang terkait dengan ASP?
7. Bagaimana Regulasi dalam Siklus ASP?
8. Apa itu Review Regulasi ASP?
9. Apa itu Barang dan Jasa Publik?
10. Bagaimana Etika Pengelolaan Keuangan Publik?
11. Apa saja Permasalahan Regulasi Keuangan Sektor Publik di Indonesia?
12. Apa Kedudukan dan Peran Pemerintah dalam Memperbaiki Kualitas Pelayanan Publik?
C. TUJUAN PENULISAN
- Mengetahui apa Definisi Regulasi Publik
- Memahami bagaimana Teknik Penyusunan Regulasi Publik
- Mengetahui bagaimana Penyusunan Regulasi Publik
- Mengetahui apa saja Dasar Hukum Keuangan Sektor Publik
- Mengetahui bagaimana ASP Memasuki Era Desentralisasi
- Mengetahui apa saja Regulasi yang terkait dengan ASP
- Mengetahui bagaimana Regulasi dalam Siklus ASP
- Mengetahui apa itu Review Regulasi ASP
- Mengetahui apa itu Barang dan Jasa Publik
- Mengetahui bagaimana Etika Pengelolaan Keuangan Publik
- Mengetahui apa saja Permasalahan Regulasi Keuangan Sektor Publik di Indonesia
- Mengetahui Kedudukan dan Peran Pemerintah dalam Memperbaiki Kualitas Pelayanan Publik
Bab II. Pembahasan
A. Regulasi Publik
Regulasi berasal dari bahasa Inggis, yakni regulation atau peraturan. Dalam kamus bahasa Indonesia (Reality publisher, 2008), kata “peraturan” mengandung arti kaidah yang dibuat untuk mengatur, petunjuk yang dipakai untuk menata sesuatu dengan aturan, dan ketentuan yang harus dijalankan serta dipatuhi. Jadi, regulasi publik adalah ketentuan yang harus dijalankan dan dipatuhi dalam proses pengelolaan organisasi publik, baik pada organisasi pemerintahan pusat, pemerintahan daerah, partai politik, yayasan, LSM, organisasi keagamaan/tempat peribadatan, maupun organisasi sosial masyarakat lainnya.
2. TEKNIK PENYUSUNAN REGULASI PUBLIK
Teknik penyusunan regulasi publik berupa rangkaian alur tahapan, sehingga regulasi publik tersebut siap disusun dan kemudian ditetapkan serta diterapkan.
Ø Pendahuluan
Perencanaan regulasi publik harus mampu mendeskribsikan latar belakang perlunya disusun regulasi publik.
Ø Alasan penyusunan regulasi publik
Sebuah regulasi publik disusun karena adanya berbagai isu terkait, yang membutuhkan tindakan khusus dari organisasi publik.
Ø Permasalahan dan misi
Sebuah regulasi publik disusun dan ditetapkan jika solusi alternatif atau suatu permasalahan telah dapat dirumuskan. Selain itu, penyusunan dan penetapan regulasi publik juga dilakukan dengan misi tertentu sebagai wujud komitmen serta langkah organisasi publik menghadapi rumusan solusi permasalahan yang ada.
Ø Dengan apa diatur
Di setiap jenjang struktur pemerintahan dikenal regulasi tersendiri, seperti peraturan daerah atau keputusan keputusan kepala daerah sebagai aturan di daerah, bentuk aturan lainnya adalah Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden.
Ø Bagaimana mengaturnya
Subtansi regulasi publik yang disusun harus bisa menjawab pertanyaan berbagai solusi atas permasalahan yang ada.
Ø Diskusi/musyawarah
Materi regulasi publik harus disusun dan dibicarakan melalui mekanisme forum diskusi atau pertemuan khusus publik yang membahas regulasi publik.
Ø Catatan
Catatan yang dimaksud adalah hasil dari proses diskusi yang dilakukan sebelumnya.
3. PENYUSUNAN REGULASI PUBLIK
Ø Perumusan Masalah
Penyusunan regulasi publik diawali dengan merumuskan masalah yang akan diatur. Perumusan masalah publik meliputi hal-hal berikut:
a. Apa masalah publik yang ada?
b. Siapa masyarakat yang perilakunya bermasalah?
c. Siapa aparat pelaksana yang perilakunya bermasalah?
d. Analisis keuntungan dan kerugian atas penerapan regulasi publik?
e. Tindakan apa yang diperlukan untuk mengatasi masalah publik?
Contoh masalah publik tentang akuntansi sektor public
Tahapan Siklus ASP | Permasalahan | Pihak Terkait |
Perencanaan Publik | Ketimpangan pelayanan publik (kesehatan,pendidikan) | Bagian perencanaan,bagian program, stakeholder |
Penganggaran publik | Alokasi anggaran pelayanan publik minimal | Bagian anggaran, bagian keuangan |
Realisasi anggaran publik | Jumlah pencairan dana tidak sesuai dengan anggaran | Bagian anggaran, bagian keuangan |
Pengadaan barang dan jasa publik | Informasi tidak transparan | Bagian pengadaan, organisasipenyedia layanan barang dan jasa |
Pelaporan keuangan sektor publik | Ketidaktepatan waktu pelaporan | Bagian keuangan |
Audit sektor bank | Kurangnya bukti | Audit internal, audit eksternal |
Pertanggungjawaban publik | Keterbatasan pendistribusian informasi | Kepala organisasi, legislatif |
Contoh analisis permasalahan publik
Permasalahan | Kerugian | Solusi tindakan |
Ketimpangan pelayanan publik(kesehatan, pendidikan) | Masyarakat tidak dapat dilayani kebutuhannya | Penyususnan daftar skala prioritas |
Alokasi anggaran pelayanan publik minimalJumlah pencairan dana tidak sesuai dengan anggaran | Pencapaian target tidak maksimalProgram tidak berjalan secara baik | Penambahan alokasi bagi pelayanan publikPendisiplinan anggaran dan perbaikan sistem perealisasian anggaran |
Informasi tidak transparan | Pilihan kriteria organisasi penyedia layanan barang dan jasa | Perluasan akses ke informasi yang terkait dengan mekanisme pengadaan baranag dan jasa |
Ketidaktepatan waktu pelaporan | Mengacaukan jadwal kegiatan | Penertiban penyusunan laporan keuangan |
Kurangnya bukti | Ketidakpercayaan publik | Perbaikan sistem akuntansi dan pengarsipan dokumen transaksi |
Keterbatasan pendistribusian informasi | Respon masyarakat minim | Perluasan akses informasi |
Ø Perumusan Draft Regulasi Publik
Draft regulasi publik pada dasarnya merupakan kerangka awal yang dipersiapkan untuk mengatasi mengatasi masalah publik yang hendak diselesaikan. Terkait dengan jenis regulasi publik yang akan dibentuk, rancangan regulasi publik tersebut harus secara jelas mendeskripsikan perataan wewenang bagi lembaga pelaksana dan perilaku bagi organisasi publik atau masyarakat yang harus mematuhinya.
Ø Prosedur Pembahasan
Terdapat tiga tahap penting dalam pembahasan draft regulasi publik, yaitu dalam lingkup tim teknis pelaksana organisasi publik (eksekutif), dengan lembaga legislatif (dewan penasihat, dewan penyantun dan lain-lain), dan dengan masyarakat. Pembahasan pada lingkup tim teknis adalah yang lebih merepresentasi kepentingan eksekutif(manajemen). Setelah itu, dilakukan publik hearing (pengumpulan pendapat masyarakat). Pembahasan pada lingkup legislatif (DPR/D misalnya) dan masyarakat biasanya sangat sarat dengan kepentingan politis.
Ø Pengesahan dan Pengundangan
Perjalanan terakhir dari draft regulasi publik adalah pengesahan yang dilakukan dalam bentuk penandatanganan naskah oleh pihak organisasi publik (pimpinan organisasi). Dalam konsep hukum, regulasi publik tersebut telah mempunyai kekuatan hukum materiil terhadap pihak yang menyetujuinya. Sejak ditandatangani, rumusan hukum yang ada dalam regulasi publik sudah tidak dapat diganti secara sepihak.
4. DASAR HUKUM KEUANGAN SEKTOR PUBLIK
4.1 Dasar Hukum Keuangan Negara
Wujud pelaksanaan keuangan negara tersebut dapat diidentifikasikan sebagai segala bentuk kekayaan, hak, dan kewajiban negara yang tercantum dalam APBN dan laporan pelaksanaannya.
Hak-hak Negara yang dimaksud, mencakup antara lain : | Kewajiban negara adalah berupa pelaksanaan tugas-tugas pemerintah sesuai dengan pembukaan UUD 1945 yaitu : |
1. Hak monopoli mencetak dan mengedarkan uang2. Hak untuk memungut sumber-sumber keuangan, seperti pajak, bea dan cukai3. Hak untuk memproduksi barang dan jasa yang dapat dinikmati oleh khalayak umum, yang dalam hal ini pemerintah dapat memperoleh (kontra prestasi) sebagai sumber penerima negara | 1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluuh tumpah darah Indonesia2. Memajukan kesejahteraan umum3. Mencerdaskan kehidupan bangsa4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial |
Pelaksanaan kewajiban atau tugas-tugas pemerintah tersebut dapat berupa pengeluaran dan diakui sebagai belanja negara. Dalam UUD 1945 Amandemen IV, secara khusus diatur mengenai Keuangan Negara, yaitu pada BAB VIII pasal 23 yang berbunyi sebagai berikut :
1. Anggaran pendapatan dan belanja ditetapkan setiap tahun dengan Undang-Undang. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan Pemerintah, maka Pemerintah menjalankan anggaran tahun lalu.
2. Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-Undang
3. Jenis dan harga mata uang ditetapkan dengan Undang-Undang
4. Hal keuangan negara selanjutnya diatur dengan Undang-undang
5. Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan Undang-Undang. Hasil pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Berdasarkan ketentuan tersebut, ditetapkan Undang-undang tentang APBN untuk tahun anggaran bersangkutan. Penyusunan APBN bukan hanya untuk memenuhi ketentuan konstitusional yang dimaksud pada pasal 23 ayat (1) UUD 1945, tetapi juga sebagai dasar rencana kerja yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam tahun anggaran yang bersangkutan. Oleh karena itu, penyusunannya didasarkan atas Rencana Strategi dalam UU Propenas, dan pelaksanaannya dituangkan dalam UU yang harus dijalankan oleh Presiden/Wakil Presiden dan Menteri-menteri serta pimpinan Lembaga Tinggi Negara Lainnya.
4.2 Dasar Hukum Keuangan Daerah
Berdasarkan pasal 18 UUD 1945, tujuan pembentukan daerah otonom adalah meningkatkan daya guna penyelenggaraan pemerintah untuk melayani masyarakat dan melaksanakan program pembangunan. Dalam rangka penyelenggaraan daerah otonom, menurut penjelasan pasal 64 Undang-undang No. 5 tanhun 1974, fungsi penyusunan APBD adalah untuk:
1. Menentukan jumlah pajak yang dibebankan kepada Rakyat Daerah yang bersangkutan
2. Mewujudkan otonomi yang nyata dan bertanggung jawab
3. Memberi isi dan arti kepada tanggung jawab pemerintah daerah umumnya dan kepala daerah khususnya, karena anggaran pendapatan dan belanja daerah itu menggambarkan seluruh kebijaksanaan pemerintah daerah
4. Melaksanakan pengawasan terhadap pemerintahan daerah dengan cara yang lebih mudah dan berhasil guna.
5. Merupakan suatu pemberian kuasa kepada kepala daerah untuk melaksanakan penyelenggaraan Keuangan Daerah didalam batas-batas tertentu
4.3 Dasar Hukum Keuangan Organisasi Lainnya
Di Indonesia, beberapa upaya untuk membuat standar yang relevan dengan praktek-praktek akuntansi di organisasi sektor publik telah dilakukan baik oleh Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) maupun oleh pemerintah sendiri. Untuk organisasi nirlaba, IAI menerbitkan pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 45 (PSAK No.45) tentang organisasi nirlaba. PSAK ini berisi akidah-akidah atau prinsip-prinsip yang harus diikuti oleh organisasi nirlaba dalam membuat laporan keuangan. Selain itu, juga lahir Undang-undang no.16 tahun 2001 tentang yayasan yang mengatur masalah organisasi publik yang berbentuk yayasan. Juga ada regulasi publik terkait dengan partai politik seperti Undang-undang no.2 tahun 2008 tentang bantuan keuangan kepada partai politik.
5. AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK MEMASUKI ERA DESENTRALISASI
Kebijakan desentralisasi telah mengubah sifat hubungan antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, antara BUMN dengan Pemerintah Pusat; antar Pemerintah dengan masyarakat, dan berbagai entitas lain dalam pemerintahan. Perananan laporan keuangan telah berubah dari posisi administrasi semata menjadi posisi akuntabilitas di tahun 2000. Pergeseran peranan laporan keuangan ini telah membuka peluang bagi posisi akuntansi sektor publik dalam manajemen pemerintahan dan organisasi sektor publik lainnya. Jadi tujuan akuntansi sektor publik adalah untuk memastikan kualitas laporan keuangan dalam pertanggungjawaban publik.
Sebagai perspektif baru, berbagai prasarana akuntansi sektor publik perlu dibangun, seperti:
a. Standar Akuntansi Sektor Publik untuk Pemerintahan Pusat, Pemerintahan Daerah, dan organisasi sektor publik lainnya
b. Account Code untuk Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, maupun organisasi sektor publik lainnya, dimana review terhadap transaksi yang berkaitan dapat dilakukan dalam rangka konsolidasi dan audit
c. Jenis Buku Besar yang menjadi pusat pencatatan data primer atas semua transaksi keuangan pemerintah
d. Manual sistem Akuntansi Pemerintahan dan Organisasi lainnya yang menjadi pedoman atas jenis-jenis transaksi dan perlakuan akuntansinya
Dengan kelengkapan prasarana tersebut, para petugas dibidang akuntansi dapat melakukan pencatatan, peringkasan, dan pelaporan keuangan, baik secara manual maupun komputasi. Akibat tidak tersedianya prasaran diatas, muncul persepsi bahwa :
a. Akuntansi adalah sesuatu yang sulit
b. Akuntansi harus dikerjakan oleh SDM yang terdidik dalam jangka waktu panjang.
6. REGULASI YANG TERKAIT DENGAN AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK
6.1 Regulasi Akuntansi Sektor Publik di Era Pra Reformasi
Perjalanan akuntansi sektor publik di era pra reformasi didasari pada UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Pengertian daerah dalam era pra reformasi adalah daerah tingkat I yang meliputi propinsi dan daerah tingkat II yang meliputi kotamadya atau kabupaten. Disamping itu,ada beberapa peraturan pelaksanaan yang diturunkan dari perundang-undangan,antara lain:
1. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1975 tentang Pengurusan, Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Keuangan Daerah
2. Pemerintah Pemerintah Nomor 6 Tahun 1975 tentang Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah, dan Penyusunan Perhitungan APBD
3. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 900-099 Tahun 1980 tentang Manual Administrasi Keuangan Daerah
4. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan APBD
5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang pajak Daerah dan Retribusi Daerah
6. Keputusan Mendagri Nomor 3 Tahun 1999 tentang Bentuk dan Susunan Perhitungan APBD
6.2 Regulasi Akuntansi Sektor Publik di Era Reformasi
Reformasi politik di Indonesia telah mengubah sistem kehidupan negara. Tuntutangood governance diterjemahkan sebagai terbebas dari tindakan KKN. Pemisahan kekuasaan antareksekutif, yudikatif, dan legislatif dilaksanakan. Selain itu, partisipasi masyarakat akan mendorong praktik demokrasi dalam pelaksanaan akuntabilitas publik yang sesuai dengan jiwa otonomi daerah.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah adalah dua undang-undang yang berupaya mewujudkan etonomi daerah yang lebih luas. Sebagai penjabaran otonomi daerah tersebut di bidang administrasi keuangan daerah,berbagai peraturan perundangan yang lebih operasional dalam era reformasipun telah dikeluarkan. Beberapa regulasi yang relevan antara lain :
1. Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851)
2. Peraturan pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3952)
3. Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan
4. Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 202, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4022)
5. Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah
6. Peraturan Pemerintah Nomor 108 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah
6.3 Paradigma Baru Akuntansi Sektor Publik di Era Reformasi
Paradigma baru dalam “Reformasi Manajemen Sektor Publik” adalah penerapan akuntansi dalam praktik pemerintah guna mewujudkan good governance. Landasan hukum pelaksanaan reformasi tersebut telah disiapkan oleh Pemerintah dalam suatu Paket UU Bidang Keuangan Negara yang terdiri dari UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, dan UU Pemeriksaan Tanggung Jawab Keuangan Negara yang pada saat ini telah disahkan oleh DPR.
Terdapat empat prinsip dasar pengelolaan keuangan negara yang telah dirumuskan dalam 3 Paket UU Bidang Keuangan Negara tersebut, yaitu :
1. Akuntabilitas berdasarkan hasil atau kinerja
2. Keterbukaan dalam setiap prinsip transaksi
3. Pemberdayaan manajer professional
4. Adanya lembaga pemeriksa internal yang kuat, profesional, dan mendiri serta dihindarinya duplikasi dalam pelaksanaan pemerintahan.
Prinsip-prinsip tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip desentralisasi dan otonomi daerah yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dengan demikian, pelaksanaan tiga UU Bidang Keuangan Negara tersebut nantinya, selain menjadi acuan dalam pelaksanaan reformasi manajemen pemerintah, diharapkan akan memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di NKRI.
Paradigma baru regulasi Akuntansi Sektor Publik
1. UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara
Mengatur mengenai semua hak dan kewajiban Negara mengenai keuangan dan pengelolaan kekayaan Negara, juga mengatur penyusunan APBD dan penyusunan anggaran kementrian/lembaga Negara (Andayani, 2007)
2. UU No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara
Mengatur pengguna anggaran atau pengguna barang, bahwa undang-undang ini mengatur tentang pengelolaan keuangan Negara yang meliputi pengelolaan uang, utang, piutang, pengelolaan investasi pemerintah dan pengelolaan keuangan badan layanan hukum. (Andayani, 2007)
3. UU No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan Keuangan Negara.
Mengatur tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara yang dilaksanakan oleh BPK. BPK menyampaikan laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan kepada DPR dan DPD.Sedangkan laporan keuangan pemerintah daerah disampaikan kepada DPRD. (Andayani, 2007).
Empat Prinsip Pengelolaan Keuangan Negara yang didasarkan pada ketiga Undang-undang di atas, yaitu :
1. Akuntabilitas berdasarkan hasil atau kineja.
2. Keterbukaan dalam setiap transaksi pemerintah.
3. Adanya pemeriksa eksternal yang kuat, profesional dan mandiri dalam pelaksanaan pemeriksaan.
4. Pemberdayaan manajer profesional.
Selain ketiga UU di atas, juga terdapat peraturan lain, yaitu :
1. UU No.25/2004 tentang Sistem Perencanaan dan Pembangunan Nasional.
2. UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
3. UU No.33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah.
4. UU No.24/2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
6.4 Peraturan Pemerintah Nomor 71 Sebagai Regulasi Terkini di Indonesia
Dalam UU 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara pasal 1 angka 13, 14, 15, dan 16, dapat dilihat bahwa definisi pendapatan dan belanja negara/daerah berbasis akrual karena disana disebutkan bahwa : Pendapatan negara/daerah dalah hak pemerintah pusat/daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dan Belanja negara/daerah adalah kewajiban pemerintah pusat/daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. Namun kita diperkenankan untuk transisi karena saat itu praktik yang ada adalah dengan menggunakan basis kas, dimana pendapatan dan belanja diakui saat uang masuk/keluar ke/dari kas umum negara/daerah. Dispensasi ini tercantum dalam Pasal 36 ayat 1 UU 17 Tahun 2003 yang intinya ketentuan mengenai pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual dilaksanakan selambat-lambatnya dalam 5 (lima) tahun, artinya sampai dengan tahun 2008. Untuk masa transisi itulah PP 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah terbit, dimana kita memakai basis Kas Menuju Akrual (Laporan Realisasi Anggaran berdasarkan basis kas, Neraca berdasarkan basis Akrual). Dalam pelaksanaan PP 24 Tahun 2005 tersebut hingga Laporan Keuangan Pemerintah tahun 2008 selesai diaudit di tahun 2009, ternyata opini yang didapat pemerintah saat itu masih menyedihkan. Untuk itulah, Pemerintah akhirnya berkonsultasi dengan Pimpinan DPR, dan disepakati bahwa basis akrual akan dilaksanakan secara penuh mulai tahun 2014.
Pada tahun 2010 terbit PP 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah sebagai pengganti PP 24 tahun 2005. Diharapkan setelah PP ini terbit maka akan diikuti dengan aturan-aturan pelaksanaannya baik berupa Peraturan Menteri Keuangan untuk pemerintah pusat maupun Peraturan Menteri Dalam Negeri untuk pemerintah daerah. Ada yang berbeda antara PP 71 tahun 2010 ini dengan PP-PP lain. Dalam PP 71 tahun 2010 terdapat 2 buah lampiran. Lampiran I merupakan Standar Akuntansi Pemerintah berbasis Akrual yang akan dilaksanakan selambat-lambatnya mulai tahun 2014, sedangkan Lampiran II merupakan Standar Akuntansi Pemerintah berbasis Kas Menuju Akrual yang hanya berlaku hingga tahun 2014. Lampiran I berlaku sejak tanggal ditetapkan dan dapat segera diterapkan oleh setiap entitas (strategi pentahapan pemberlakuan akan ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri), sedangkan Lampiran II berlaku selama masa transisi bagi entitas yang belum siap untuk menerapkan SAP Berbasis Akrual. Dengan kata lain, Lampiran II merupakan lampiran yang memuat kembali seluruh aturan yang ada pada PP 24 tahun 2005 tanpa perubahan sedikit pun.
Perbedaan mendasar dari sisi jenis laporan keuangan antara Lampiran I dan Lampiran II adalah sebagai berikut:
Lampiran I
Ø Laporan Anggaran (Budgetary Reports): Laporan Realisasi Anggaran, Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih
Ø Laporan Keuangan (Financial Reports): Neraca, Laporan Operasional, Laporan Perubahan Ekuitas, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan
Lampiran II
Ø Laporan terdiri dari Neraca, Laporan Realisasi Anggaran, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan
Dengan perbedaan jenis Laporan Keuangan yang akan dihasilkan, otomatis penjelasan pada setiap Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) yang terkait dengan masing-masing Laporan Keuangan akan mengalami perubahan.
Perbedaan daftar isi pada Lampiran I dan Lampiran II adalah sebagai berikut:
Lampiran I
Ø Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan
Ø PSAP Nomor 01 tentang Penyajian Laporan Keuangan;
Ø PSAP Nomor 02 tentang Laporan Realisasi Anggaran Berbasis Kas;
Ø PSAP Nomor 03 tentang Laporan Arus Kas;
Ø PSAP Nomor 04 tentang Catatan atas Laporan Keuangan;
Ø PSAP Nomor 05 tentang Akuntansi Persediaan;
Ø PSAP Nomor 06 tentang Akuntansi Investasi;
Ø PSAP Nomor 07 tentang Akuntansi Aset Tetap;
Ø PSAP Nomor 08 tentang Akuntansi Konstruksi Dalam Pengerjaan;
Ø PSAP Nomor 09 tentang Akuntansi Kewajiban;
Ø PSAP Nomor 10 tentang Koreksi Kesalahan, Perubahan Kebijakan Akuntansi, Perubahan Estimasi Akuntansi, dan Operasi yang Tidak Dilanjutkan;
Ø PSAP Nomor 11 tentang Laporan Keuangan Konsolidasian.
Ø PSAP Nomor 12 tentang Laporan Operasional.
Lampiran II
Ø Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan
Ø PSAP Nomor 01 tentang Penyajian Laporan Keuangan;
Ø PSAP Nomor 02 tentang Laporan Realisasi Anggaran;
Ø PSAP Nomor 03 tentang Laporan Arus Kas;
Ø PSAP Nomor 04 tentang Catatan atas Laporan Keuangan;
Ø PSAP Nomor 05 tentang Akuntansi Persediaan;
Ø PSAP Nomor 06 tentang Akuntansi Investasi;
Ø PSAP Nomor 07 tentang Akuntansi Aset Tetap;
Ø PSAP Nomor 08 tentang Akuntansi Konstruksi Dalam Pengerjaan;
Ø PSAP Nomor 09 tentang Akuntansi Kewajiban;
Ø PSAP Nomor 10 tentang Koreksi Kesalahan, Perubahan Kebijakan Akuntansi, dan Peristiwa Luar Biasa;
Ø PSAP Nomor 11 tentang Laporan Keuangan Konsolidasian;
Kedua daftar isi hampir serupa karena memang kebijakan yang diambil oleh Komite Standar Akuntansi Pemerintah saat mengembangkan Standar Akuntansi Pemerintahan berbasis akrual ini adalah dengan beranjak dari PP 24 tahun 2005 yang kemudian dilakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap PP 24 tahun 2005 itu sendiri. Dengan strategi ini diharapkan pembaca PP 71 tahun 2010 nantinya tidak mengalami kebingungan atas perubahan-perubahan tersebut karena lebih mudah memahami perubahannya dibandingkan jika langsung beranjak dari penyesuaian atas International Public Sector of Accounting Standards (IPSAS) yang diacu oleh KSAP.
7. REGULASI DALAM SIKLUS AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK
Hasil regulasi dari siklus Akuntansi sektor publik
Regulasi Tahapan Dalam Siklus Akuntansi Sektor Publik | Contoh Hasil Regulasi Publik |
Regulasi Perencanaan Publik | Perturan Pemerintah No.7/2005 Mengenai Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) |
Regulasi Anggaran Publik | Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2006 Tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2007. |
Regulasi Tentang Pelaksanaan Realisasi Anggaran Publik | – Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 93 Tahun 2006 Tentang Rincian Anggaran Belanja Pemerintahan Pusat Tahun Anggaran 2007- Otorisasi Kepala Daerah Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) |
Regulasi Pengadaan Barang Dan Jasa | SK Gubernur Tentang Pemenang Dalam Pengadaan Barang Dan Jasa. |
Regulasi Laporan Pertanggugjawaban Publik | Peraturan Daerah Tentang Penerimaan Laporan Pertanggungjawaban Gubernur/Bupati/Walikota |
Contoh Regulasi Publik yang Mengatur Akuntansi Sektor Publik
Tahapan dalam siklus akuntansi sektor publik | Contoh regulasi publik |
Perencanaan publik | – UU No.25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaaan Pembangunan Nasional- Surat Edaran Bersama No.0295/M.PPN/I/2005050/166/SJ Tentang Tata Cara Penyelenggaraan Musyawarah Perencanaan Pembangunan tahun 2005 |
Penganggaran publik | – UU No.17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Daerah- UU No.33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah- Permandagri No.13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah- Permandagri no.59 tahun 2007 tentang perubahan atas paraturan mentri dalam negeri nomor 13 tahun 2006 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah |
Realisasi anggaran publik | UU No.1 tahun 2004 tentang perbendaharaan negara |
Pengadaan barang dan jasa | Peraturan presiden no.32 tahun 2005 tentang perubahan kedua atas keputusan presiden nomor 80 tahun 2003 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah |
Pelaporan keuangan sektor publik | PP no.8 Tahun 2006 tentang pelaporan keuangan dan kinerja instansi pemerintah |
Audit sektor publik | – UU no.15 tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara- SK BPK No.1 tahun 2008 tentang standar pemeriksaan keuangan negara |
Pertanggungjawaban publik | Peraturan pemerintah no.8 tahun 2006 tentang pelaporan keuangan dan kinerja instansi pemerintahan. |
8. REVIEW REGULASI AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK
“Judicial Review” (hak uji materiil) merupakan kewenangan lembaga peradilan untuk menguji kesahihan dan daya jual produk-produk hukum yang dihasilkan oleh eksekutif, legislatif, serta yudikatif di hadapan konstitusi yang berlaku. Pengujian oleh hakim terhadap produk cabang kekuasaan legislatif (legistaive acts) dan cabang kekuasaan eksekutif (executive acts) adalah konsekuensi dari dianutnya prinsip ‘checks and balancees’, berdasarkan doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power).
Amandemen ketiga UUD 1945 telah menetapkan kewenangan untuk mereview undang-undang yang terdapat di mahkama konstitusi (MK), sedangkan kewenangan mereview peraturan perundang-undangan di bawah UU diserahkan ke MA. Hal ini berpotensi menimbulkan masalah, seperti kemungkinan munculnya persengketaan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah, atau di antara pemerintahan daerah karena adanya keputusan-keputusan yang bersifat mengatur (regeling) ataupun keputusan-keputusan penetapan administratif (bechikking) yang dianggap merugikan salah satu pihak.
Dalam melakukan proses judicial review, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, setelah mengidentifikasi permasalahan yang ada mengenai regulasi terkait, surat judicial review dapat diajukan kepada Mahkamah Agung/ Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
9. BARANG DAN JASA PUBLIK
9.1 Pengertian Barang dan Jasa Publik
Pelayanan Publik / Pelayanan umum sangat terkait dengan upaya penyediaan barang publik atau jasa publik dapat dipahami dengan menggunakan taksonomi barang dan jasa yang dikemukakan Hawlett dan Ramesh (1995 : 33-34), berdasarkan derajat eksklusifitasnya (apakah suatu barang / jasa hanya dapat dinikmati secara eksklusif oleh satu orang saja) dan derajat keterhabisannya (apakah satuan barang atau jasa habis terkonsumsi atau tidak setelah terjadinya transaksi ekonomi), Howlett dan Ramesh membedakan adanya 4 macam barang / jasa, yaitu :
a. Barang / jasa privat
Yaitu barang / jasa yang derajat ekslusifitas dan derajat keterhabisannya sangat tinggi. Contoh : Pakaian atau jasa tukang pijat yang dapat dibagi-bagi untuk beberapa pengguna, tetapi kemudian tidak tersedia lagi untuk orang lain jika telah dibeli oleh beberapa pengguna.
b. Barang / jasa public
Yaitu barang / jasa yang derajat eksklusifitas dan derajat keterhabisannya sangat rendah. Contoh : Penerangan jalan, keamanan atau kenyamanan lingkungan yang tidak dapat dibatasi penggunaannya dan tidak habis meski telah dinikmati banyak pengguna.
c. Peralatan publik atau barang / jasa semi public
Yaitu barang / jasa yang derajat eksklusifitasnya tinggi, tetapi tingkat keterhabisannya rendah. Contoh : jalan tol atau jembatan yang tetap masih dapat dipakai oleh pengguna lain setelah dipakai oleh seorang pengguna, tetapi memungkinkan untuk dilakukan penariakan biaya kepada setiap pengguna.
d. Barang / jasa milik Bersama
Yaitu barang / jasa yang derajat eksklusifitasnya rendah, tetapi tingkat keterhabisannya tinggi. Contoh : ikan, penyu, karang di laut yang kuantitasnya berkurang setelah terjadinya pemakaian, tetapi tak dimungkinkan untuk dilakukan penarikan biaya secara langsung kepada orang yang menikmatinya.
Perbedaan antara empat jenis barang / jasa tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut :
Taksonomi Barang dan Jasa
Tingkat Keterhabisan | Tingkat Ekslusifitas | |
Rendah | Tinggi | |
Tinggi | Barang milik bersama | Barang/Jasa Privat |
Rendah | Barang/Jasa Publik | Peralatan Publik atau Barang/Jasa Semi Publik |
9.2 Barang dan Jasa Publik vs Barang dan Jasa Swasta
Barang publik adalah barang kolektif yang seharusnya dikuasai oleh Negara atau pemerintah. Sifatnya tidak eksklusif dan diperuntukkan bagi kepentingan seluruh warga dalam skala yang luas, dan dapat dinikmati warga secara gratis, misalnya udara bersih, air bersih, dan lingkungan yang aman. Sedangkan barang swasta adalah barang spesifik yang dimiliki oleh pihak swasta. Sifatnya eksklusif dan hanya bias dinikmati oleh mereka yang mampu membelinya, karena harganya disesuaikan dengan harga pasar menurut penjual,yaitu harus untung sebesar-besarnya,misalnya perumahan mewah, villa, dan hotel. Dan ada juga setengah kolektif yang dimiliki oleh swasta atau pemilik gabungan antara swasta dan pemerintah. Seharusnya barang ini tidak boleh bersifat eksklusif, dan pemerintah harus ikut menentukan harga penjualannya, yang biasanya tidak terjangkau oleh rakyat kecil, misalnya sekolah dan rumah sakit.
9.3 Konsep-Konsep Pokok Barang dan Jasa Publik
Suatu barang dikategorikan sebagai barang ‘swasta’ atau ‘publik’ dalam kaitannya dengan tingkat excludability dan persaingannya. Tingkat excludablity suatu barang ditentukan dengan kondisi dimana konsumen dan produsen barang atau pelayanan bisa memastikan bahwa orang lain tidak memperoleh manfaat dari barang/pelayanan tersebut. Jika suatu barang memiliki daya saing yang tinggi, barang tersebut dipergunakan secara perorangan ; apabila daya saingnya rendah, barang tersebut dapat dimanfaatkan secara bersama-sama. Contoh taman umum daya saingnya rendah, sedangkan ‘ipod’ daya saingnya tinggi.
1. Secara umum, barang publik memiliki tingkat excludability dan daya saing yang rendah. Ini berarti bahwa jika barang itu diproduksi, barang tersebut dapat dipergunakan oleh banyak orang. Barang publik ini dimanfaatkan oleh banyak orang, sehingga umumnya dibiayai dari dana publik.
2. Barang swasta adalah barang yang punya excludability dan daya saing tinggi. Orang-orang yang memanfaatkanya jelas, sehingga mudah dikenakan biaya.
3. Barang yang excludable, tetapi daya saingnya rendah disebut toll goods. Contohnya sperti jalan tol.
4. Barang yang berdaya saing tinggi, tetapi non-excludable, disebut common pool goods. Contohnya adalah pengadaan air disebuah desa; meskipun termasuk barang yang non-excudable, namun penggunaannya secara berlebihan akan mengurangi kesempatan bagi orang lain untuk menggunakannya.
9.4 Penyedia Pelayanan
Barang atau pelayanan yang dibiayai secara publik dapat dikontrakkan kepada sektor swasta misalnya, penggunaan kontraktor swasta dalam pembangunan lapangan terbang, atau sebaliknya misalnya sekolah pemerintah menerima pembayaran dari orang tua murid dalam bentuk pemakai pelayanan. Setor swasta mempunyai kecendrungan bekerja lebih efisien dan efektif karena :
1. Sektor swasta memiliki fleksibilitas dalam pengolahan sumber daya sehingga permintaan pasar dapat ditanggapi.
2. Persaingan pelayanan mendorong lebih baiknya mutu pelayanan dengan harga yang lebih murah bagi pelanggan.
9.5 Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Publik
Pusat Pengembangan Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Publik mempunyai tugas mengkaji, menyiapkan perumusan kebijakan, perencanaan kebijakan pengadaan barang/jasa nasional, serta melaksanakan sosialisasi, pemantauan dan penilaian atas pelaksanaannya. Dalam melaksanakan tugasnya, Pusat Pengembangan Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Publik menyelenggarakan fungsi:
1. Penyiapan dan perumusan kebijakan dan sistem pengadaan nasional
2. Penyiapan dan perumusan kebijakan pengembangan dan pembinaan sumber daya manusia di bidang pengadaan
3. Pelayanan bimbingan teknis, pemberian pendapat dan rekomendasi, serta koordinasi penyelesaian masalah di bidang pengadaan
4. Pengembangan sistem informasi nasional di bidang pengadaan
5. Pengawasan pelaksanaan pelayanan pengadaan barang/jasa dengan teknologi informasi
6. Melaksanakan sosialisasi, pemantauan, dan penilaian pelaksanaan kebijakan dan sistem pengadaan nasional
Beberapa inisiatif yang diambil pemerintah guna memperbaiki penyelenggaraan pemerintah:
a. Reformasi hokum dan yudikatif, termasuk pembentukan Komisi Ombudsman untuk menanggapi masalah korupsi dan pembentukan komisi Reformasi Hukum.
b. Perumusan strategi reformasi pegawai negeri sipil.
c. Rancangan undang-undang untuk memantapkan manajemen keuangan pemerintah.
d. Pembentukan Komisi Anti Korupsi.
e. Pembentukan Kemitraan bagi pembaruan tata pemerintahan di Indonesia yang didukung oleh UNDP, Bank Dunia, dan ADB.
Dalam bidang pengadaan barang dan jasa, pemerintah telah menerbitkan Keppres No 61 Tahun 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Instansi Pemerintah, sebagai penyempurnaan dari aturan dan prosedur sebelumnya, yaitu Keppres 80 Tahun 2003. Peraturan-peraturan tersebut merupakan implementasi dari UU No 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, UU No 5 Tahun 2000 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha yang Tidak Sehat. UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan Bebas dari KKN; semuanya ditujukan untuk mengatur pengguna barang/jasa dan penyedia barang/jasa sesuai tugas, fungsi, hak dan kewajiban serta peranan masing-masing pihak dalam proses pengadaan barang/jasa yang dibutuhkan Instansi Pemerintah.
Tujuan pengadaan barang adalah untuk memperoleh barang/jasa yang dibutuhkan Instansi Pemerintah dalam jumlah yang cukup, dengan kualitas dan harga yang dapat dipertanggungjawabkan, serta dalam waktu dan tempat tertentu secara efektif dan efisien menurut ketentuan dan tata cara yang berlaku.
10. ETIKA PENGELOLAAN KEUANGAN PUBLIK
Pihak member amanah (principal) percaya bahwa pihak pemegang amanah (agent) mempunyai “kapasitas” yang menandai untuk menjalankan amanah yang didelegasikan. Makna kapasistas disini hanya dilihat dari kompetensi pada bidang kerja, tetapi juga dilihat dari perilaku etis. Perilaku etis nampaknya sangat menunjang kepercayaan para partner dan teman kerja.
Etika sering hanya dilihat dari segala sesuatu yang terwujud (tangible). Di tengah masyarakat yang masih mempercayai symbol-simbol, tanda-tanda (signals), dan berbagai bentuk aksesoris fisik lain, satandar etika amat diperlukan untuk menetukan perilaku etis.
Etika bisnis adalah bagaimana tindakan atau perbuatan yang dapat dikatagorikan sebagai etis atau tidak etis. Dalam banyak pembahasan tentang teori etika, para ahli filosofi umumnya menitikberatkan pada etika secara umum daripada etika dari suatu kelompok kecil, misalnya profesi dan bidang pekerjaan tertentu. Berbagai tulisan yang dibuat oleh para ahli filsafat sering jadikan acuan atau pedoman untuk memahami nilai rasionalisasi suatu sikap dan perbuatan yang disebut etis. Berikut ini adalah beberapa pemikiran dari para filsafat mengenai etika :
1. Socrates
Beliau berpendapat bahwa semua pengetahuan (knowledge) dari seseorang itu sebetulnya bersifat baik dan menjunjung nilai-nilai kebijakan. Tanpa didukung pengetahuan, seseorang tidak mungkin dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang berbudi luhur.
2. Hume
Beliau berpendapat bahwa perilaku seseorang (personal merit) yang beretika sebenarnya mempunyai beberapa nilai kualitas karakter dan kepribadian yang bermanfaat dan diterima baik oleh orang lain maupun dirinya sendiri.
3. John
Beliau berpendapat bahwa kebenaran, perilaku etis, dan prinsip moral seseorang sebenarnya tidak dibawa sejak lahir. Berbagai pedoman etika bisa diperoleh melalui suatu persepsi dan konsepsi. Ia juga mengemukakan bahwa hukum (law) merupakan sebuah kriteria untuk memutuskan apakah suatu perbuatan itu baik atau buruk. Tiga tipe dari hukum ini yaitu : divine law (hukum yang berkaitan dengan Ketuhanan), civil law (hukum yang berlaku di masyarakat), law of opinion and reputation (hukum yang berhububgan dengan opini dan reputasi).
4. Kant
Beliau berpendapat bahwa pentingnya standar formal sebagai pedoman umum untuk menilai perilaku seseorang. Tetapi ia tidak setuju dengan perilaku etis ini dibentuk dari suatu tekanan (hukum) yang disertai hukuman tertentu.
Dalam menyikapi pro-kontra terhadap suatu perbuatan, pengkategorian perilaku etis sebaiknya berpedoman pada etika umum, antara lain : pengetahuan (knowledge), kesadaran akan hidup bermasyarakat, respek terhadap divine law (hukum yang berkaitan dengan Ketuhanan), memahami bahwa suatu pekerjaan membutuhkan pertanggungjawaban, menyadari bahwa norma dari perilaku etis yang diakui masyarakat berlaku untuk semua jenis pekerjaan apapun.
11. PERMASALAHAN REGULASI KEUANGAN SEKTOR PUBLIK DI INDONESIA
a. Regulasi yang Berfokus Pada Manajemen
Regulasi yang berfokus pada pengaturan wilayah manajemen organisasi publik sering kali mengaburkan proses pencapaian kesejahteraan masyarakat. Jadi, regulasi publik harus fokus pada tujuan pencapaian organisasi publik yaitu kesejahteraan publik. Dengan demikian, manajemen akan menata dirinya dalam segala situasi dan kondisi mengikuti regulasi yang berfokus pada tujuan kesejahteraan publik tersebut.
b. Regulasi Belum Bersifat Teknik
Banyak regulasi publik di Indonesia yang tersusun dengan sangat baik untuk tujuan kesejahteraan publik. Namun, banyak diantara tidak dapat diaplikasikan dalam masyarakat. Hal ini terjadi karena regulasi tersebut tidak menjelaskan atau tidak disertai dengan regulasi lain yang membahas secara lebih teknis bagaimana mengimplementasikan regulasi tersebut.
c. Perbedaan Interpretasi antara Undang-Undang dan Regulasi di Bawahnya
Dalam banyak kajian, beberapa ayat atau pasal dari undang-undang atau regulasi terkait sering menimbulkan berbagai interpretasi yang berbeda dalam pelaksanaannya. Di tingkat daerah, substansi dari isi undang-undang terkait tidak dapat diturunkan dalam peraturan daerah. Kondisi ini membuat tujuan peraturan pemerintah tidak dapat tercapai sesuai konsep awalnya.
d. Pelaksanaan Regulasi Yang Bersifat Transisi Berdampak Pemborosan Anggaran
Saat ini, banyak regulasi yang bersifat transisi telah dilaksanakan secara bertahap dan membutuhkan kapasitas tertentu untuk melaksanakannya. Hal ini akan mempengaruhi anggaran yang senantiasa meningkat dan cenderung boros. Pemborosan anggaran akan menurunkan kapasitas organisasi dalam menjalankan roda organisasi sehingga pencapaian tujuan organisasi semakin menurun.
e. Pelaksanaan Regulasi Tanpa Sanksi
Sanksi yang dimaksud adalah hukuman jika organisasi publik tidak melaksanakan regulasi tersebut. Dengan tidak adanya sanksi, organisasi akan seenaknya melaksakan dan tidak melaksanakan regulasi tersebut.
12. KEDUDUKAN DAN PERAN PEMERINTAH DALAM MEMPERBAIKI KUALITAS PELAYANAN PUBLIK
Semua masyarakat memiliki hak yang sama atas jaminan sosial dan ekonomi dari pemerintah sebagai konsekuensi langsung atas pembayaran pajak yang telah dipenuhi. Kebijakan dan regulasi yang ditetapkan pemerintah bisa berimbas pada bidang yang lain. Pemerintah mempunyai peran menentukan kualitas tingkat kehidupan masyarakat secara individual.
Peningkatan kualitas pelayanan publik dapat diperbaiki melalui perbaikan manajemen kualitas jasa, yakni upaya meminimasi kesenjangan antara tingkat layanan dengan harapan konsumen. Kinerja organisasi layanan publik harus diukur dari outcome-nya, karena outcome merupakan variabel kinerja yang mewakili misi organisasi dan aktivitas oprasional, baik aspek keuangan dan nonkeuangan. Dalam penentuan outcome sangat perlu untuk mempertimbangkan dimensi kualitas (Mardiasmo 2007). Selanjutnya, monitoring kinerja perlu dilakukan untuk mengevaluasi pelayanan publik dalam memenuhi kebutuhan masyarakat.
Langkah-langkah penting dalam monitoring kinerja organisasi layanan publik antara lain: mengembangkan indikator kinerja yang mengembangkan pencapaian tujuan organisasi, memaparkan hasil pencapaian tujuan berdasarkan indikator kinerja diatas, mengidentifikasi apakah kegiatan pelayanan sudah efektif dan efisien sebagai dasar pengusulan program perbaikan kualitas pelayanan (Bastian, 2007).
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Regulasi keuangan sektor publik merupakan ketentuan yang harus di jalankan dan di patuhi dalam proses pengelolaan organisasi publik baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan serta organisasi lainnya.
Proses penyelenggaraan pemerintahan ditujukan untuk mengkoordinasi pelaksanaan hak dan kewajiban warga negara dalam suatu sistem pengelolaan keuangan negara. Pengelolaan keuangan negara maupun keuangan daerah, sebagai mana yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945 perlu dilaksanakan secara profesional, terbuka dan bertanggungjawab untuk kemakmuran rakyat Indonesia.
Pusat Pengembangan Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Publik mempunyai tugas mengkaji, menyiapkan perumusan kebijakan, perencanaan kebijakan pengadaan barang/jasa nasional, serta melaksanakan sosialisasi, pemantauan dan penilaian atas pelaksanaannya.
Peningkatan kualitas pelayanan publik dapat diperbaiki melalui perbaikan manajemen kualitas jasa, yakni upaya meminimasi kesenjangan antara tingkat layanan dengan harapan konsumen.
B. SARAN
Permasalahan terbesar dalam regulasi keuangan sector public di Indonesia adalah melanggar peraturan. Beberapa pihak bahkan turut campur tangan, sehingga dapat mengakibatkan keadilan dalam bentuk jaminan sosial serta keuangan yang tidak sesuai. Oleh karena itu, perlu adanya sanksi yang sesuai dengan apa yang disebabkan agar regulasi public di Indonesia semakin membaik berdasarkan dengan UU.
DAFTAR PUSTAKA
Taufik Subardi, Makalah Regulasi Keuangan Sektor Publik (https://www.academia.edu/26088673/Makalah_Regulasi_Keuangan_Sektor_Publik, di akses tanggal 2 September 2018)
Lisa karlina, 2013, Akuntansi Sektor Publik
(http://kedebok.blogspot.com/2013/03/akuntansisektor-publik-pokokpembahasan_21.html,diakses tanggal 2 September 2018)
Lukman Hakim, 2014, REGULASI KEUANGAN SEKTOR PUBLIK
(http://salugumu.blogspot.com/2014/05/regulasi-keuangan-sektor-publik.html, diakses tanggal 2 September 2018)
Afriyan Rizqi, 2016, Pengertian Barang dan Jasa Publik
(https://definisi-dari.blogspot.com/2016/11/pengertian-barang-dan-jasa-publik.html, di akses tanggal 2 September 2018)
LUKMAN BASIR, 2013, REGULASI KEUANGAN SEKTOR PUBLIK DI INDONESIA
(http://gratiscatanku.blogspot.com/2013/03/regulasi-keuangan-sektor-publik-di.html, di akses 2 September 2018)
Nissa Karimah, ASP – Kelompok 2 – Regulasi Keuangan Sektor Publik.doc
(https://www.coursehero.com/file/26347733/ASP-Kelompok-2-Regulasi-Keuangan-Sektor-Publikdoc, diakses 2 September 2018)
SyauQi Subuh, 2016, Definisi Regulasi Publik (Akuntansi Sektor Publik)
(http://blogoblokgoblok.blogspot.com/2016/12/definisi-regulasi-publik-akuntansi.html, di akses 4 September 2018)